Anda di halaman 1dari 3

Nama :Patmawati

Nim :043812339
Fakultas :FHISIP
Jurusan :Ilmu Hukum (S1)
Tugas : Satu ,Administrasi Negara (ADPU4332)

Langkah Pemerintah Susun Pedoman Interpretasi UU ITE Dipertanyakan

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari
mempertanyakan langkah pemerintah soal penyusunan pedoman interpretasi resmi atas
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Feri mengatakan, pedoman
interpretasi tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU
Nomor 12 Tahun 2011 dan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. "Mana ada (pedoman interpretasi) dalam ilmu perundang-undangan.
Bahkan tidak ada dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 tahun 2019, apakah
pemerintah tidak membaca UU?" kata Feri saat dihubungi, Kamis (18/2/2021).

Dalam UU tersebut disebutkan hierarki perundang-undangan terdiri atas UUD 1945,


Ketetapan MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. Dengan demikian, kata Feri, pedoman interpretasi tidak dapat diterapkan
sebagai regulasi atau aturan hukum.

Feri mengatakan, interpretasi atas undang-undang bukan menjadi ranah pemerintah,


melainkan hakim yang memutus di pengadilan. "Mana ada pedoman interpretasi, pemerintah
tidak berhak mengintepretasi peraturan, hakim yang berwenang," ujar dia.

Feri menambahkan, jika pemerintah benar-benar ingin menghindari multitafsir atas pasal-
pasal yang ada di UU ITE, maka sebaiknya UU tersebut direvisi atau diuji ke Mahkamah
Konstitusi (MK). "Berbagai cara bisa agar UU menjadi rigid dan detail, misalnya revisi, uji
ke MK, dan membuat aturan pelaksana yang benar," kata dia. Sebelumnya diberitakan,
pemerintah akan menyiapkan pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE. Hal ini
disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate saat
dikonfirmasi soal langkah pemerintah terkait revisi UU ITE. "Yang perlu disiapkan segera
adalah pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE," kata Johnny kepada Kompas.com,
Rabu (17/2/2021).

Johnny mengatakan, pembentukan pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE


diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo. Pedoman tersebut dibuat agar implementasi pasal-
pasal UU ITE berjalan adil dan tak multitafsir. Selain Kemenkominfo, pedoman ini juga akan
disusun oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Polri,
Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung. Menurut Johnny, pedoman interpretasi resmi UU
ITE bakal dibuat dalam bentuk yang bisa menjadi acuan formal dan mempunyai kedudukan
hukum. "Koordinasi pembahasannya dilakukan melalui Kemenko Polhukam," ujarnya. Baca
juga: Jokowi Bakal Minta DPR Revisi UU ITE Jika Implementasinya Tak Adil Terkait target
penyusunan pedoman, Johnny mengatakan akan ditentukan dalam pembahasan pertama
pemerintah. Johnny menyampaikan bahwa Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE
yang kerap dianggap sebagai pasal karet atau multitafsir sudah beberapa kali diuji di
Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya, MK selalu menyatakan bahwa pasal tersebut
konstitusional dan tak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pada prinsipnya,
lanjut dia, UU ITE bertujuan untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat,
beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif. Jaminan keadilan dalam UU ITE diklaim
telah diupayakan pemerintah. Namun, jika pelaksanaannya tidak dapat memberikan rasa adil,
terbuka peluang UU ITE direvisi kembali. "Kami mendukung sesuai arahan Bapak Presiden,"
kata Johnny.

Wacana revisi UU ITE pertama kali dilontarkan oleh Presiden Jokowi. Ia mengaku bakal
meminta DPR memperbaiki UU tersebut jika implementasimya tak memberikan rasa
keadilan. Menurut Jokowi, hulu persoalan dari UU ini adalah pasal-pasal karet atau yang
berpotensi diterjemahkan secara multitafsir. Oleh karenanya, jika revisi UU ITE dilakukan, ia
akan meminta DPR menghapus pasal-pasal tersebut.

Pertanyaan :

1. Dalam hukum administrasi negara ada yang dinamakan instrumen hukum


menurut Riawan Tjandra yang dapat digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan
tugas dan fungsinya, berikan analisis saudara termasuk dalam instrumen hukum
manakah permasalah pada kasus diatas, jelaskan!
2. Ada asas yang perlu diperhatikan didalam penyusunan perundang-undangan seperti
prinsip dasar dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, korelasikan salah satu asas dengan
kasus diatas, jelaskan juga pengertian asas tersebut!

Jawaban
1) Pada kasus diatas termasuk kedalam instrument yuridis yaitu peraturan kebijaksanaan
(beleidsregal),karena permasalahan diatas menyatakan bahwa  interpretasi tidak
masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor
12 Tahun 2011 dan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. "Mana ada (pedoman interpretasi) dalam ilmu perundang-
undangan. Bahkan tidak ada dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 tahun
2019.Serta interpretasi atas undang-undang bukan menjadi ranah pemerintah,
melainkan hakim yang memutus di pengadilan. interpretasi, pemerintah tidak berhak
mengintepretasi peraturan, hakim yang berwenang,".
Mengapa saya menjawab istrumen yuridis yaitu peraturan kebijaksanaan
Karena didalam peraturan kebijaksanaan (belaidsregal) ketika menjalankan tugas dan
fungsinya dalam kehidupan pemerintah sehari-hari,aparatur negara tidak hanya
mengikuti ketentuan peraturan yang bersifat umum pada level tingkat tinggi.Akan
tetapi,juga mengikuti ketentuan peraturan yang diterbitkan bukan oleh legislatif,tetapi
justru oleh eksekutif.
Peraturan kebijakan sangat berbeda dengan perundangan.Hal ini mengingat bahwa
perundangan dibuat oleh lembaga legislatif yang secara atributif mendapatkan
kewenangan untuk menerbitkan dan menciptakan hukum baru;sedangkan dalam
peraturan kebijakan,pembuatannya bukan legislator,melainkan eksekutif sehingga
pembuatan dan subtansi yang diatur didalamnya menjadi faktor penentu daya
ikatannya.
Subtansi peraturan kebijaksanaan (beleidsregel) harus memuat unsur atau elemen-
elemen dasar secara lengkap,jika peraturan kebijakan tersebut kekurangan elemen
dapat dikatakan bahwa kebijaksanaan tersebut cacat secara substansial.

2) Asas yang termasuk didalam kasus diatas adalah asas ketertiban dan kepastian hukum.
Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan adanya kepastian hukum.

Anda mungkin juga menyukai