Anda di halaman 1dari 35

Hubungan Antarper,aturan Perundang-undangan

1. Permasatahan Antarperaturan Perundang-undangan


Di dalam kehidupan suatu negara, peraturan
perundangundangan memiliki fungsi vital. Peraturan perundang-
undangan memengaruhi tertib dan tidak tertibnya masyarakat.
Hal ini karena peraturan perundang-undangan disusun untuk
membentuk tatanan sosial yang tertib sesuai cita-cita ideal
masyarakat.
Tatanan sosial masyarakat yang ideal sejatinya didesain oleh
peraturan perundang-undangan yang terdapat di masyarakat.
Contohnya, UU RI No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan mengatur segala sesuatu terkait lalu lintas dan
angkutan jalan di Indonesia. Hadirnya peraturan perundang-
undangan ini mendorong keteraturan berlalu lintas di Indonesia.
Contohnya, aturan pada Pasal 294 UU RI No. 22 Tahun 2009
mengenai kewajiban memberikan isyarat dengan lampu penunjuk
arah atau isyarat tangan bagi setiap pengemudi kendaraan
bermotor yang akan membelok arah atau berbalik arah.
Pengemudi yang melanggarnya akan dikenai pidana kurungan
paling lama 1 (satu) butan atau denda paling banyak
Rp250.OOO,OO.
Melihat pentingnya peraturan perundang-undangan tersebut,
harus dipahami puta adanya pembuatan peraturan
perundangundangan. Terdapat tahap-tahap yang harus dilakukan
untuk menyusun suatu peraturan perundang-undangan. Contohnya,
untuk menyusun suatu undang-undang, Rancangan Undang-Undang
(RUU) disertakan naskah akademik serta keterangan yang memuat
pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. Rencana penyusunan
UU dilakukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang
disusun DPR, DPD, dan pemerintah. DPR, presiden, atau DPD
kemudian mengajukan RUU pada rapat paripurna DPR. Setelah
dilakukan rapat tingkat pertama dan kedua, RUU yang disetujui DPR
dan wakil pemerintah diserahkan ke presiden untuk ditandatangani.

Bab 2 1 Undang-Undang Dasar Negara Republi


Perundang-undangan yang terdapat di Indonesia juga harus
diakui tidak semuanya sempurna. Pada tahap penyusunan
peraturan perundang-undangan, Redi (2018) mencatat terdapat
adanya masalah Masalah tersebut salah satunya mengenai tata
cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Masalah
pembentukan ini terkait dengan penyimpangan atas proses baku
yang seharusnya ditaati. Contohnya, pada proses perencanaan
penyusunan Peraturan pemerintah dan peraturan presiden,
masalah yang umum ditemukan ialah ketidaktaatan untuk secara
konsisten melaksanakan jangka waktu pembentukan peraturan
pemerintah dan peraturan presiden sesuai waktu yang
ditentukan Oleh peraturan induknya (yang menjadi dasar
pembentukan). Contohnya, UU RI No. 39 Tahun 2014 tentang
Perkebunan. Di dalam Pasal 117 UU ini diatur bahwa peraturan
pelaksanaan atas Undang-Undang ini ditetapkan paling lama
(dua) tahun sejak undang-undang ini diundangkan. Namun,
sampai dengan 2017 atau lebih dari dua tahun sejak undang-
undang ini diundangkan, hanya terdapat satu peraturan
pemerintah yang terbentuk, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan.
Padahal, ada 7 (tujuh) amanah ketentuan lebih lanjut undang-
undang ini diatur dalam peraturan pemerintah (Redi, 2018).
2. Keselarasan Peraturan Perundang-undangan
Masih terkait hubungan antarperaturan perundang-
undangan, Sadiawati, dkk., dalam bukunya, Kajian Reformasi
Regulasi di Indonesia (2019), juga mencatat ketidakselarasan
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sadiawati, dkk.,
yang tergabung dalam lembaga Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia (PSHK), bekerja sama dengan Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) selama tahun 2018-2019

melakukan studi mengenai reformasi regulasi atau peraturan


perundang-undangan. Hasilnya dituangkan dalam Kajian
Reformasi Regulasi di Indonesia (2019) dan menjadi bahan
masukan dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Periode 2019-2024.
Sadiawati, dkk. mencatat, sepanjang 2000-2015, pemerintah
telah menerbitkan 12.471 produk regulasi. Jumlah itu tentu
belum
termasuk produk peraturan yang diterbitkan Oleh lembaga-
lembaga Iain, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mahkamah
Agung (MA), dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Fenomena tingginya jumlah peraturan pada akhirnya
menimbulkan potensi tumpang tindih pengaturan, baik secara
vertikal maupun horizontal (Sadiawati, dkk., 2019).
Berbagai produk regulasi, baik pusat maupun daerah pada
akhirnya dapat menimbulkan tidak selarasnya peraturan
perundang-
Sumber:
shutterstock.com Gambar 2.8 Harmonisasi memungkinkan susunan batu-
batu menjadi selaras dan tegak. Harmonisasi peraturan perundang-
undangan sangat penting agar tercipta peraturan yang baik dan selaras
antara maksud, tujuan, dan kepentingan bersama.

undangan. Penelitian PSHK pada tahun 2011 menunjukkan pemerintah


telah membatalkan 1.691 Perda selama 2004-2009. Dari jumlah
tersebut, sebanyak 63 persen Perda mengatur retribusí daerah, 13
persen Perda mengatur pajak daerah, dan 11 persen Perda mengatur
perizinan. Ketiga kategori Perda yang dibatalkan itu dinilai menghambat
iklim investasi di daerah. Selain itu, pada pertengahan 2016,
pemerintah membatalkan 3.143 Peraturan Daerah (perda) yang dinilai
menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, memperpanjang jalur
birokrasi, serta menghambat investasi dan kemudahan berusaha.
Banyaknya peraturan tingkat daerah yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan di atasnya dan bertentangan dengan
kebijakan nasional menjadi kendala dalam mendorong percepatan
pembangunan (Sadiawati, dkk., 2019).
Selain itu, pada Oktober 2016, pemerintah mengeluarkan
paket kebijakan revitalisasi hukum. T iga program direncanakan
dalam kebijakan itu. Pertama, penataan regulasi. Kedua,
pembenahan kelembagaan. Ketiga, pembangunan budaya hukum.
Terkait program penataan regulasi, terdapat tiga subprogram yang
dijalankan, yaitu penguatan pembentukan peraturan perundang-
undangan, revitalisasi evaluasi peraturan perundang-undangan,
dan penataan pangkalan data (database) peraturan perundang-
undangan. Sejumlah langkah tersebut dilakukan pemerintah dalam
menata kembali regulasi di Indonesia,
Peraturan perundang-undangan merupakan elemen
penting dalam negara hukum untuk mencapai tujuan nasional.
Kita harapkan proses keselarasan peraturan perundang-
undangan di Indonesia

Bab 2 t Undang-Undang Dasar Negara Republ


Indonesia Tahun 19 z
terus berjalan dengan tepat. Juga, kualitas peraturan
perundang.
undangan di Indonesia terus meningkat.
3. Menganalisis Peraturan Perundang-undangan
Di Negara Indonesia, segala peraturan tidak boleh
bertentangan dengan Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum negara dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum
dasar bagi Peraturan perundang-undangan. Kedua hal tersebut
tercantum dengan jelas pada Pasai 2 dan Pasai 3 Ayat (1) UU RI
No. 12 Tahun 2011 Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 13
Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Adapun kaitan antara UUD NRI Tahun 1945 dan
peraturanperaturan di bawahnya dapat dilihat pada Penjelasan
UUD NRI Tahun 1945 berikut.
"Maka telah cukup jikalau Undang-Undang Dasar hanya
memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar
sebagai instruksi kepada Pemerintah Pusat dan lain-lain
penyelenggara Negara untuk menyelenggarakan kehidupan
Negara dan kesejahteraan sosial. Terutama bagi Negara baru
dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu
hanya memuat aturan-aturan pokok, sedang aturanaturan
yang menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu diserahkan
kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat,
mengubah, dan mencabut.
Berdasarkan pernyataan pada Penjelasan UUD NRI Tahun
1945 tersebut, suatu undang-undang dapat melaksanakan atau
mengatur lebih lanjut hal-hal yang disebutkan secara tegas
ataupun tidak di dalam UUD NRI Tahun 1945. Secara tidak
langsung, undangundang dan peraturan-peraturan lain di
bawahnya harus tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945 sebagai hukum dasar peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
Hubungan antarperaturanperundang-undangan
Bagan 2.2 di Indonesia
a. Penyesuaian melalui Perubahan Perundang-undangan
Perubahan peraturan perundang-undangan adalah proses
yang dilakukan dengan menyisipkan atau menambah materi ke
dalam peraturan perundang-undangan, atau dengan
menghapus/ mengganti sebagian materi peraturan perundang-
undangan yang telah ada sebelumnya. Perubahan peraturan
perundang-undangan dapat dilakukan terhadap seluruh atau
sebagian buku, babi bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat, kata,
frasa, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca. Perubahan
peraturan umumnya dilakukan dengan menerbitkan peraturan
yang tingkatnya sama dalam hierarki dengan peraturan yang
diubah.

Analisis UU Mineral dan UU Mineral Perubahan


Untuk membahas peraturan perundang-undangan lebih lanjut,
berikut akan dianalisis secara sederhana UU RI No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah
diubah dengan UIJ RI No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas
UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara atau yang dikenal dengan UIJ Minerba. Bahan yang
dianalisis adalah Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan Laporan
Akhir Analisis dan Evaluasi Hukum terkait Pengelolaan Pertambangan
Mineral dan Batubara yang Berkelanjutan yang dikeluarkan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia pada tahun 2020.
Pada Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi, "Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat". Pasal tersebut memperlihatkan Indonesia menganut prinsip
demokrasi ekonomi (dari, oleh, dan untuk rakyat), yaitu bahwa negara
menguasai SDA untuk digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Oleh karena itu, dilarang adanya penguasaan sumber daya
alam di tangan orang seorang atau kelompok tertentu. Dengan kata
lain monopoli, oligopoli, maupun praktek kartel dalam pengelolaan
sumber daya alam tidak dibolehkan.
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1899 mengundangkan
"Indische Mijn Wet 1899", yaitu Undang-Undang Pertambangan yang
diberlakukan di Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka, baru pada
tahun 1960 pemerintah menerbitkan suatu kebijakan yang mengatur
tentang pertambangan, yaitu dengan diundangkannya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi UU RI No. 37 Tahun
1960 tentang Pertambangan. UIJ ini merupakan produk regulasi
nasional pertama di bidang pertambangan. Pemerintah Orde Baru
kemudian mengeluarkan UIJ RI No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan. Seiring berjalannya waktu, UU
tersebut diniali tidak lagi sesuai sehingga perlu produk peraturan
perundang-undangan
yang baru di sektor pertambangan mineral dan batubara. Peraturan
baru diperlukan agar pengelolaan potensi mineral dan batu bara
dapat dilakukan secara mandiri, andal, transparant berdaya saing,
efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin
pembangunan nasional secara berkelanjutan.
Untuk itu, pemerintah kemudian menerbitkan UU RI No. 4

Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau yang


dikenal dengan 1JU
Minerba. Pada tanggal
12 Mei 2020, dalam sidang paripurna DPR menyetujui RUU
Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara (RUU Minerba) untuk disahkan menjadi Undang-
Undang. RUU Minerba Perubahan pun diundangkan menjadi UU RI
No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara.
Terdapat sejumlah perubahan siginifikan dalam UU Minerba
Perubahan ini, antara lain jumlah bab menjadi dua puluh delapan
dan jumlah pasal menjadi 217 pasal. Perubahan ini dilakukan dengan
menambah dua bab, menghapus sembilan pasal, menambah 51
pasal, dan mengubah 83 pasal.
Terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam Undang
Undang Minerba Perubahan, yaitu sebagai berikut.
1. Ketentuan mengenai konsep wilayah hukum pertambangan;
Perubahan kewenangan pengelolaan mineral dan
batubara; Kewajiban menyusun rencana pengelolaan
mineral dan batubara bagi usaha pertambangan;
Penugasan kepada lembaga riset negara, BUMN, BUMD, atau Badan
Usaha untuk melakukan penyelidikan dan penelitian dalam rangka
menyiapkan wilayah ijin usaha pertambangan (WIUP);
5. Pengaturan kembali perizinan dalam pengusahaan mineral dan
batubara, termasuk di dalamnya konsep perizinan baru terkait
pengusahaan bantuan untuk jenis tertentu atau untuk keperluan
tertentu, serta perizinan untuk pertambangan rakyat; dan
6. Penguatan kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup pada
kegiatan usaha pertambangan, termasuk pelaksanaan reklamasi
pascatambang.
Berdasarkan poin-poin perubahan tersebut, dapat dipahami
bahwa pembaruan peraturan perundang-undangan dilakukan guna
mewujudkan kehidupan bangsa Indonesia yang makmur, adil, dan
damai.

b. Ketidaksesuaian Peraturan Perundang-undangan


Bentuk ketidaksesuaian antarperaturan perundang-
undangan dapat berupa materi produk peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Materi yang telah
ditetapkan dan diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya UU yang
bertentangan dengan UUD NRI Tahun
Sumber: shutterstock.com

Gambar 2,9 Kekayaan alam Indonesia. Menurut Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI Tahun
1945, seluruh kekayaan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat Indonesia.

1945, akan dilakukanjudicial review atau pengujian oleh


Mahkamah Konstitusi. Keputusan berdasarkan hasil pengujian
dapat berupa pembatalan terhadap UU yang telah ditetapkan
tersebut.

Ketidaksesuaian UU Perkoperasian dengan UUD NRI Tahun 1945


Untuk membahas ketidaksesuaian peraturan perundang-
undangan, pada bagian ini akan dianalisis UU RI No. 17 Tahun 2012
tentang Perkoperasian. UU tersebut diundangkan pada tanggal 30
Oktober 2012 untuk menggantikan UU RI No. 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian yang dianggap sudah tidak cocok dengan kebutuhan
hukum dan perkembangan perkoperasian di Indonesia.
UU RI No. 17 Tahun 2012 (UU Perkoperasian) disusun untuk
mempertegas jati diri koperasi, asas dan tujuan, keanggotaan,
perangkat organisasi, modal, pengawasan, peranan gerakan koperasi
dan pemerintah, pengawasan Koperasi Simpan Pinjam dan penjamin
Simpanan Anggota Koperasi Simpan Pinjam, serta sanksi yang dapat
turut mencapai tujuan pembangunan koperasi, Implementasi undang
undang ini diharapkan menjadikan koperasi Indonesia makin dipercaya,
kuat, sehat, mandiri, dan tangguh serta bermanfaat bagi anggota pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya,
Akan tetapi, materi UIJ Perkoperasian dianggap bertentangan
dengan Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan
"Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan." Pasal-pasal yang dianggap bertentangan dan digugat ke
Mahkamah Konstitusi (MK) adalah Pasal 1 angka 1, Pasal 50 Ayat
(1), Pasal 55 Ayat (1), Pasal 56 Ayat (1), Pasal 66, 68
75
Pasal 67, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal
73, Pasal 74, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82,
dan Pasal 83.
Setelah melakukan pengujian, MK memutuskan untuk
mengabulkan gugatan pihak pemohon dan membatalkan seluruh
materi rnuatan Perkoperasian. Keputusan MK membatalkan UU
tersebut didasarkan pertimbangan, salah satunya bahwa UU
tersebut secara masif mengandung ciri-ciri kapitalisme yang
bertentangan dengan jiwa koperasi sebagai usaha gotong royong
yang didasarkan pada semangat kekeluargaan. Ciri-ciri kapitalisme
yang diidentifikasi MK adalah sebagai berikut.
1) UU Perkoperasian menempatkan modal sebagai penentu
Menurut MK, UU ini menitikberatkan pada modal sebagai
fondasi utama koperasi dengan menggunakan istilah Setoran Pokok
dan Sertifikat Modal Koperasi menggantikan simpanan pokok,
simpanan wajib, dan simpanan sukarela. Dengan Setoran Pokok,
anggota menyerahkan uangnya untuk menjadi modal koperasi. Ini
berbeda dengan konsep simpanan pokok yang maknanya anggota
menaruh uangnya di koperasi bukan sematamata sebagai modal
koperasi, tetapi juga sebagai tabungan sehingga ketika anggota
bersangkutan keluar, simpanan tersebut bisa diambil lagi.
Simpanan pokok, simpanan wajib, dan simpanan sukarela
adalah salah satu struktur pemodalan koperasi. Akan tetapi, bagi MK,
UU Perkoperasian justru mengubahnya dan mendorong anggota
untuk menumpuk Sertifikat Modal Koperasi. konsekuensinya, celah si
kaya dan si miskin akan makin lebar. Praktik koperasi ini identik
dengan Perseroan Terbatas. UU ini juga mewajibkan anggota
membeli Sertifikat Modal Koperasi dalam jumlah minimum yang
ditetapkan dalam anggaran dasar. Hal ini mengabaikan prinsip
kesukarelaan dalam koperasi.
2) UU Perkoperasian berorientasi pada keuntungan (profit
oriented)
Menurut MK, Pasal 78 Ayat (2) UU Perkoperasian melarang
koperasi membagikan kepada anggota Surplus Hasil Usaha yang
berasal dari transaksi dengan non-anggota. Ketentuan ini menurut
MK mengindikasikan bahwa UU Perkoperasian berorientasi pada
keuntungan pribadi. Anggota koperasi tidak bisa menikmati hasil
usaha dari koperasi yang mereka bangun sehingga keuntungan
atas adanya koperasi hanya dinikmati oleh non-anggota koperasi.
Untuk mewujudkan keuntungan tersebut, menurut MK, UU
Perkoperasian mengabaikan kedudukand dan fungsi Rapat
Anggota sebagai perangkat organisasi koperasi yang memegang
kekuasaan tertinggi dalam koperasi. Wewenang Rapat Anggota
justru diserahkan kepada pengawas untuk mengusulkan calon
pengurus, menetapkan penerimaan, penolakan, atau
pemberhentian anggota, serta mengusulkan gaji dan tunjangan
pengurus. Hal ini bagi MK sangat bertentangan dengan Pasal 33
Ayat (1) (JUD NRI Tahun 1945'
3) UU Perkoperasian berbasis kepentingan orang seorang

Pasal 1 Angka 1 UU Perkoperasian mengatur bahwa koperasi


adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perorangan. Bagi
MK, ketentuan
tersebut secara gamblang menjadikan kepentingan orang
perseorangan sebagai salah satu unsur pembentuk koperasi. Ini
bertentangan dengan jati diri koperasi sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan dan didirikan di atas dasar paham
kolektif/kolektivisme. Jati diri koperasi bukan didirikan oleh
seseorang, tetapi oleh sekelompok orang.
4) UU Perkoperasian menjadikan orang lain sebagai kompetitor
Pasal 55 Ayat (1), UU Perkoperasian menentukan bahwa
pengurus dipilih dari orang perseorangan, baik anggota maupun
non-anggotar Menurut MK, ketentuan ini dengan sendirinya
menjadikan orang lain, khususnya non-anggota sebagai kompetitor
dari anggota untuk menjadi pengurus koperasi. Bagi MK, dalam
koperasi, orang lain adalah saudara seperjuangan, bukan sebagai
kompetitor. Penempatan orang lain (non-anggota) sebagai
kompetitor, menurut MK, diwujudkan dengan menjadikan pengawas
sebagai organ superior yang melebihi Rapat Anggota. Akibatnya,
tidak ada checks and balances system sehingga terjadi persaingan
kekuasaan antarorgan koperasi.
Oleh karena keputusan membatalkan UU Perkoperasian dan
untuk menghindari kekosongan hukum, MK menyatakan berlaku
kembali UU RI No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. UU
tersebut berlaku untuk sementara waktu sampai dengan
terbentuknya UU yang baru.

Pembentukan peraturan harus dilandasi asas keterbukaan.


Asas tersebut perlu sejak dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Dengan demikian,
proses pembentukan peraturan harus transparan dan terbuka agar
ruang publik, seperti masyarakat, dapat mengawasi dan terlibat.
Keterlibatan masyarakat sangat penting untuk mengawal proses
perumusan sehingga peraturan yan dihasilkan dapat sesuai dengan
kepentingan umum.
Perilaku yang Sesuai Peraturan
Sebagai warga Negara Indonesia, kita harus menaati segala
peraturan yang telah dihasilkan lembaga-lembaga negara.
Ketidakpatuhan warga negara terhadap aturan hukum
menjadikan aturan hukum dapat menjadi tidak efektif. Sebaik apa
pun suatu peraturan perundang-undangan akan menjadi sia-sia
jika tidak dipatuhi oleh setiap warga negara. Oleh karena itu,
setiap warga negara harus patuh terhadap semua peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Contoh sikap patuh terhadap peraturan perundang-undangan
adalah sebagai berikut.
1. Melaksanakan setiap peraturan yang berlaku.
2. Menjalankan tugas dan kewajiban sesuai dengan peraturan yang
berlaku.

Bab 2 1 Undang-Undang Dasar Negara Republi lf


Indonesia Tahun 194E
3. Mendukung setiap upaya untuk memperbaiki keadaan
peraturan.
4. Melaporkan kepada pihak yang berwenang jika ada suatu
pelanggaran terhadap aturan.
5. Mematuhi peraturan lalü lintas, seperti berkendara di lajur
yang benar, tidak menerobos lampu merah, dan memakai
atribut keselamatan berkendara.
Kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku sangat
bermanfaat untuk mewujudkan keadaan masyarakat yang
tertib dan aman, Ketertiban dan keamanan adalah modal
yang akan memperlancar
segala upaya pembangunan ke arah Indonesia baru yang lebih

Perilaku patuh terhadap perundang-undangan di lingkungan glr


keluarga, antara lain sebagai berikut.
a. Bersikap sopan dan şantun dalam lingkungan keluarga.
b. Menjaga nama baik dan kehormatan keluarga.
c. Menggunakan fasilitas keluarga dengan tertib.
d. Menjauhi perilaku buruk yang merugikan diri dan keluarga.
Şili
Mematuhi nasihat orang tua. N

adil,

sejahtera, dan demokratis. Kepatuhan terhadap perundang-


undangan dapat dilakukan di lingkungan keluarga, sekolah,
masyarakat, dan negara.
Lingkungan Keluarga

e.

2, Lingkungan Sekolah
Perilaku patuh terhadap perundang-undangan di
lingkungan sekolah, antara lain sebagai berikut.
Disiplin waktu maşuk sekolah, pulang sekolah, upacara,
dan menyelesaikan tugas.
b. Mengenakan pakaian seragam sekolah sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
c. Tekun belajar.
d. Menjaga kebersihan sekolah.
Membuang sampah pada tempatnya.
f. Berperilaku baik dan sopan, serta tidak merokok.
g. Mengerjakan pekerjaan rumah.
3, Lingkungan Masyarakat perilaku patuh terhadap
perundang-undangan di lingkungan masyarakat, antara
lain sebagai berikut. Tidak berbuat onar.
b. Menghormati tata cara adat kebiasaan setempat.
c. Menjaga nama baik masyarakat.

„„*didikan Pancasila untuk SMK/MAK Kelas XI


Gambar 2.10 Pengendara melewati batas henti. Ketidakpatuhan terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan merupakan perilaku yang
wajib dihindari oleh tiap warga Indonesia.

d. Peduli terhadap aturan yang berlaku di masyarakat.


e. Melaksanakan hasil musyawarah di lingkungan masing-
masing.
4. Lingkungan Negara
Perilaku patuh terhadap perundang-undangan di lingkungan
negara, antara lain sebagai berikuta
a. Taat dan tepat waktu membayar pajak.
b. Mematuhi aturan ataupun rambu-rambu lalu lintas.
c. Mengendarai kendaraan dengan surat izin mengemudi.
d. Menyeberang jalan di tempat penyeberangan. Menjaga
nama baik negara dan bangsa.
f. Menjaga rahasia negara.
Melaksanakan perundang-undangan yang berlaku, baik
tertulis maupun yang tidak tertulis.

Anda mungkin juga menyukai