Revisi Skripsi - Gratianus Agustinus Adityo
Revisi Skripsi - Gratianus Agustinus Adityo
DISUSUN OLEH :
Nama Mahasiswa : Gratianus Agustinus Adityo Widiapratama
NIM : 2018 – 0551 – 0035
Program Peminatan: Hukum Perdata
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
2022
PERSETUJUAN SELESAI PENULISAN HUKUM
Diajukan oleh :
NIM : 2018-0551-0035
Tim Penguji
Ketua
(Dr. Samuel M.P. Hutabarat, SH., M.Hum ) (Dr. Marhaeni Ria Siombo, SH., M.Si)
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Unika Atma Jaya
Mengetahui,
Mahasiswa,
Pembimbing Skripsi,
SECARA DIGITAL
(E) Asuransi merupakan pertanggungan pengalihan resiko yang sudah ada sejak sebelum
Indonesia merdeka. Asuransi di Indonesia merupakan suatu perjanjian yang dilakukan
oleh Tertanggung dengan suatu Perusahaan Asuransi. Dahulu perjanjian asuransi
berbentuk perjanjian baku yang konvensional dimana untuk membuat perjanjian
tersebut para pihak harus bertemu secara langsung. Seiring perkembangan zaman,
Perjanjian asuransi konvensional berkembang menjadi perjanjian asuransi yang
digital. perjanjian asuransi sendiri mengandung klausula eksonerasi didalamnya yang
membuat pengawasan terhadap perjanjian asuransi yang dilakukan secara digital sulit
untuk dilakukan. Keabsahan dan pemberlakuan perjanjian digital merupakan salah
satu hal yang sangat dibutuhkan oleh para tertanggung asuransi, sehingga tertanggung
bisa mendapatkan kepastian hukum. Sampai saat ini Peraturan Perundang-udangan
yang berlaku di Indonesia masih belum mengatur mengenai keabsahan perjanjian
digital ini. Metode penelitian yang penulis gunakan adalah Metode Yuridis Normatif
dan mengacu kepada beberapa Peraturan Perundang-undangan yang relevan yaitu
Pengaturan terkait perasuransian di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 40
Tahun 2014 Tentang Perasuransian, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/
POJK.05/2015 Tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi. Keabsahan
perjanjian yang diberikan dapat ditinjau dari beberapa peraturan perundangan yang
terkait, sehingga dalam penulisan hukum ini, penulis menganalisa mengenai kepastian
hukum terhadap keabsahan perjanjian yang dapat diterima oleh tertanggung.
(F) 2022
i
ABSTRACT
(E) Insurance is a risk transfer coverage that has existed since before Indonesia's
independence. Insurance in Indonesia is an agreement made by the Insured with an
Insurance Company. In the past, insurance agreements were in the form of
conventional standard agreements where to make the agreement the parties had to
meet in person. Along with the times, conventional insurance agreements have
developed into digital insurance agreements. Conventional insurance agreements
develop into digital insurance agreements. The insurance agreement itself contains an
exoneration clause in it which makes it difficult to supervise digitally conducted
insurance agreements.The validity and enforcement of digital agreements is one of the
things that the insured really needs, so that the insured can get legal certainty. The
research method that the author uses is the Normative Juridical Method and refers to
several relevant laws and regulations, namely Regulations related to insurance in
Indonesia are regulated in Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 Tentang
Perasuransian, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/ POJK.05/2015 Tentang
Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi. The validity of the agreement
given can be reviewed from several related laws and regulations, so that in writing
this law, the author analyzes the legal certainty of the validity of the agreement that
can be accepted by the insured.
(F) 2022
ii
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat karunia dan rahmat-Nya, Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum berupa skripsi
dengan judul "KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN ASURANSI YANG
DILAKUKAN SECARA DIGITAL". Penulisan Hukum ini dilakukan dalam rangka
memperoleh memenuhi syarat meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya. Sebelumnya, Penulis mengucapkan terima kasih kepada para
pihak yang membantu keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi dan penulisan skripsi
ini baik secara formil, materil, maupun melalui doa-doa dan bimbingannya:
1. Ibu Dr. Marhaeni Ria Sihombo, SH, MSi, selaku pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu dan tenaga, serta memberikan saran dan arahan kepada penulis
dalam menyusun penulisan hukum skripsi dari awal hingga akhir.
2. Ibu Tisa Windayani, S.H., LL.M. dan Ibu Putri Purbasari Raharningtyas Marditia,
S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik. Terima kasih atas perhatian dan
bimbingan yang terus diberikan kepada penulis aktif berkuliah di Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya.
3. Ibu Dr.iur. Asmin Fransiska, S.H., LL.M, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya.
4. Ibu J. De Brito Sardadi Sambada, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan Fakultas Hukum
Unika Atma Jaya.
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen dan Staf Sekretariat Fakultas Hukum Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta atas segala bantuan yang diberikan untuk
melancarkan segala kegiatan perkuliahan selama penulis kuliah.
6. Orang tua tercinta ayahanda Friedericus Wishnubroto, S.H., ibunda Stefani Dwi
Berdina Riyantie, serta adik Gabriel Benedicto, atas dukungan yang tak terbatas serta
usaha yang diberikan kepada penulis sejak kecil hingga sekarang.
iii
7. RD. Albertus Yogo Prasetianto dan Paulus Ari Triwibowo selaku pendamping
Pastoran Atma Jaya yang telah memberikan dukungan, semangat, dan hiburan Penulis
selama masa perkuliahan dan pembuatan penulisan hukum ini.
8. Keluarga Besar Pastoran Atma Jaya khusunya Kepengurusan Eunoia (2020) dan
Elysian (2021), terima kasih telah memberikan kesempatan bagi Penulis untuk ikut
berorganisasi, berproses, dan berkembang bersama dalam pelayanan kerohanian.
Terimakasih atas segala pengetahuan, berbagai pengalamannya, relasi persaudaraan,
dukungan, semangat dan hiburan selama ini kepada Penulis.
9. Sahabat Penulis, yaitu Kevin Partogi, Mikha, Naufal, Shafira, dan Dinda yang telah
mendukung dan menyemangati Penulis dalam mengerjakan skripsi.
10. Glorio Tuaraja Imanuel Ritonga, selaku Sekretaris Kepemudaan Satuan Pelajar dan
Mahasiswa Pemuda Pancasila, terima kasih sudah memberikan dukungan kepada
Penulis selama menyususn Penulisan Hukum ini.
11. April, Nara, Reynard, Jasson, Jose, dan teman-teman angkatan 2018 Fakultas Hukum
BSD. Terima kasih sudah berjuang dan berproses bersama dari awal perkuliahan
hingga akhir. Terima kasih atas dukungan dan kebersamaannya selama ini.
12. Seluruh pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung yang
tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala doa dan dukungan yang
telah diberikan kepada Penulis.
Akhir kata, Penulis juga menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, Penulis memohon maaf apabila ada kesalahan kata dan
penulisan. Penulis sangat terbuka untuk kritik dan saran yang membangun guna menjadikan
penulisan hukum ini lebih baik. Harapannya penulisan hukum ini dapat membawa manfaat
terhadap upaya pembangunan hukum nasional terutama di bidang hukum perdata.
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK..................................................................................................................................i
ABSTRACT...............................................................................................................................ii
KATA PENGANTAR...............................................................................................................iii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
B. MASALAH PENELITIAN.......................................................................................6
C. TUJUAN PENELITIAN...........................................................................................6
D. MANFAAT PENELITIAN.......................................................................................7
E. METODE PENELITIAN..........................................................................................8
F. SISTEMATIKA SKRIPSI.......................................................................................10
A. SUBJEK HUKUM..................................................................................................11
B. PERJANJIAN..........................................................................................................17
C. ASURANSI.............................................................................................................26
v
3. PENGATURAN PERJANJIAN YANG DILAKUKAN MELALUI VIDEO
PADA PERJANJIAN ASURANSI DIGITAL...................................................66
1. PERJANJIAN BAKU.........................................................................................68
BAB IV PENUTUP................................................................................................................81
A. KESIMPULAN.......................................................................................................81
B. SARAN....................................................................................................................83
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................84
vi
1
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan manusia, risiko merupakan hal yang tidak bisa dijauhkan serta
dapat mendatangi manusia kapanpun dimanapun sehingga membuat orang merasa takut
dengan adanya kejadian resiko yang akan dialaminya. Oleh karena itu, dengan adanya
kesadaran bahwa diperlukannya perlindungan terhadap resiko yang tidak dapat diduga
preventif jika terjadi kerugian finansial akibat terjadinya resiko yang sewaktu-waktu dialami.
Kebutuhan asuransi pada zaman modern seperti saat ini sudah merupakan hal wajib yang
dimiliki oleh masyarakat demi melindungi resiko keuangan jika terjadi risiko penyakit atau
perusahaan dibidang jasa asuransi yang mampu menanggung resiko tersebut. Sebuah
Perusahaan asuransi harus mampu mengambil risiko yang ditanggung oleh nasabahnya baik
individual ataupun instansi hukum. Asuransi memiliki fungsi adalah untuk melakukan
peralihan ataupun pembagian sebuah resiko yang berkemungkinan akan terjadi ataupun
dialami oleh pihak yang menanggung.1 Besaran ganti rugi yang tertanggung terima mesti
diselaraskan dengan kerugian yang diderita oleh tertanggung. Hal tersebut menjadi prinsip
dari penggantian rugi atau yang dinamai dengan prinsip ganti kerugian. Sudah banyaknya
perlindungan jika seseorang menderita penyakit dan mesti memperoleh perawatan di rumah
sakit serta beragam manfaat-manfaat yang bisa diberikan oleh perusahaan asuransi. Hal ini
sesuai dengan pengaturan pada Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya
layanan yang semakin terbuka di taraf regional serta disesuaikan pada praktek terbaik di taraf
oleh dua pihak yakni antara korporasi asuransi dengan pemegang polis yang merupakan
landasan untuk menerima premi oleh perusahaan asuransi selaku imbalan bagi:
a. "Pemberian ganti kepada Tertanggung atau pemegang polis karena adanya kerugian,
kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang diderita Tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu
pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah
dari pasal tersebut bisa secara singkat disimpulkan bahwasanya asuransi ialah
kesepakatan timbal balik antara korporasi asuransi dengan pemegang polis atau tertanggung
yang mana perusahaan asuransi memiliki kewajiban memberikan pembayaran jika pemegang
polisnya ataupun tertanggung wafat atau menderita penyakit serta tertanggung memiliki
kewajiban untuk membayarkan premi kepada perusahaan asuransi. Pada Pasal 255 KUHD,
suatu kesepakatan asuransi haruslah dituliskan berbentuk akta yang dinamai polis. Di dalam
2
Mulhadi, Dasar-Dasar Hukum Asuransi, Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2017, HLM 85
3
Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian
3
perjanjian asuransi, korporasi asuransi dikatakan selaku pihak yang menanggung sedangkan
seseorang harus membuat kesepakatan asuransi dengan perusahaan asuransi lewat agen
asuransi dari korporasi asuransi ataupun bisa melalui pialang asuransi yang telah terdaftar di
OJK. Pada saat membuat perjanjian, seseorang harus memenuhi 4 persyaratan keabsahan
sebuah kesepakatan yakni terdapat istilah sepakat untuk seluruh pihak yang mengikat diri
satu sama lain, kemampuan seluruh pihak dalam membuat sebuah perikatan, sesuatu tertentu,
serta sebuah sebab yang halal.5 Keempat persyaratan tersebut dapat diartikan juga sebagai
syarat subjektif dan syarat objektif dalam melakukan perjanjian sebagaimana telah diatur
dalam Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Selanjutnya disebut KUH
Perdata). Persyaratan pertama serta kedua merupakan persyaratan subjektif, sementara yang
Perjanjian berdasarkan pasal 1313 KUH perdata ialah sebuah tindakan di mana seseorang
ataupun lebih mengikat diri mereka pada seorang individu ataupun lebih. Subekti dalam
bukunya menjelaskan juga bahwa perjanjian ialah sebuah kejadian di mana seorang individu
melakukan perjanjian kepada individu lainnya ataupun kedua orang tersebut saling berjanji
dalam menjalankan sesuatu6. KUH Perdata juga mengatur tentang kebebasan berkontrak yang
diatur dalam 1338 KUH Perdata yang artinya tiap individu dibebaskan dalam melakukan
sebuah perjanjian yang didalamnya terdapat persyaratan kesepakatan apa saja, sepanjang
kesepakatan itu sendiri terbuat dengan absah serta berniat dan baik dan tidak melakukan
Dalam perjanjian asuransi kerap kali terdapat adanya kontrak baku yang mana
salah satu pihak dalam sebuah perjanjian sehingga pihak yang lebih kuat akan memanfaatkan
pihak yang lebih lemah. Pada perjanjian baku, ada klausula eksonerasi, yang mana hal
tersebut sendiri memiliki arti yang berisikan dibatasinya pertanggungjawaban dari pihak
debitur. Menurut Sutan Remy Sjahdeni, terdapatnya klausula ini ialah ditujukan bagi
pembebasan ataupun pembatasan pertanggungjawaban salah satu pihak pada gugatan pihak
lain perihal yang terkait tidak maupun tidak sebagaimana mestinya menjalankan kewajiban
yang dimilikinya yang ditetapkan pada kesepakatan tersebut. Klausula eksonerasi sifatnya
senantiasa memberatkan satu pihak, yang hampir bisa dijamin akan memberikan keuntungan
terhadap pihak yang kedudukannya cenderung kuat dibandingkan pihak lain dan kerap ada
pada kontrak baku. Klausula eksonerasi bisa muncul oleh sejumlah sebab, yaitu kecermatan
pada saat perjanjian, itikad baik pada kontrak dan posisi tawar yang tidak seimbang 8. Hal
tersebut bisa diamati pada Putusan No. 164/PDT/2018/PT.DKI yang mana terbanding
merupakan seorang tertanggung dari PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (Manulife
Indonesia) yang mana dalam kasusnya tersebut klaim yang diajukan oleh terbanding kepada
Manulife Indonesia tidak dibayarkan yang dikarenakan salah satau penyebabnya adalah
adanya klausula eksonerasi yang terkandung di dalam Perjanjian asuransi. Kontrak baku
kerap kali muncul dalam perjanjian penutupan asuransi yang mana pemberlakuannya dapat
menimbulkan kerugian bagi tertanggung atau pemegang polis asuransi jiwa. Pada dasarnya,
perusahaan Asuransi sudah menyiapkan perjanjian yang nantinya tertanggung hanya tinggal
menandatangani perjanjian penutupan asuransi sehingga tidak ada posisi tawar menawar bagi
pihak tertanggung dalam melakukan perjanjian. Perusahaan asuransi juga harus memastikan
bahwa prinsip yang ada dalam Pasal 1 angka 10 jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen tetap terlaksana yang mana melalui adanya
kesepakatan baku dalam perjanjian penutupan asuransi jiwa elektronik tidak mengandung
klausula eksonerasi didalamnya. Oleh karena itu di dalam polis atau perjanjian asuransi mesti
8
Sarjana I Made, 2016, Pembatasan Klausula Eksonerasi, Jurnal Notariil Vol. 1 No. 1, November 2016, hlm 112
5
terang serta tidak terdapat kalimat atau istilah yang kemungkinan muncul ketidaksamaan
penafsiran sehigga membuat sulit Tertanggung atau nasabah dalam melaksanakan hak dan
inovasi dalam hal melakukan perjanjian asuransi yang kesepakatan yang dilangsungkan
dengan digital bisa berupa tanda tangan digital atau melakukan rekaman video. Inovasi yang
dilakukan oleh perusahaan asuransi ini merupakan efek dari adanya pandemi COVID-19
yang membuat perjanjian asuransi sulit untuk dilakukan secara tatap muka. Hal ini juga
mendorong kegiatan bisnis di era globalisasi dalam pembangunan ekonomi, sosial dan
budaya serta tidak terbatas dengan keadaan tempat dan waktu. Perkembangan teknologi di
bidang jasa asuransi sering disebut sebagai Insurtech (Insurance Technology). Insurtech
berkonsentrasi pada inovasi teknologi yang berfokus pada penghematan dan efisiensi dari
model asuransi pada saat ini. Inovasi-inovasi pada insurtech mempermudah masyarakat
dalam membeli asuransi atau pertanggungan. Salah satu contoh Insurtech adalah
pemberlakuan polis elektronik yang telah diatur dalam POJK Nomor 23/POJK.05/2015
Tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi yang menyebutkan bahwa polis
dapat diterbitkan secara hardcopy atau dengan digital. Selian polis digital, dalam strategi
pengajuan polis asuransi tanpa harus melakukan tatap muka antara agen asurnasi dengan
calon nasabah.9 Salah satu perusahaan asuransi yang sudah menerapkan E-Submission adalah
PT. Asuransi Allianz Life yang menawarkan kepada nasabahnya untuk melakukan perjanjian
asuransi hanya dengan melakukan voice call atau video call antara calon nasabah dengan
tenaga pemasar.
9
https://www.allianz.co.id/tentang-kami/berita-perusahaan/rilis-media/2020/2020-juni/allianz-indonesia-
luncurkan-allianz-eazy-cover-untuk-memberikan-proteksi-asuransi-dari-rumah-saja.html
6
video terdapat pada Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 5
peraturan tersebut disebutkan bahwa dalam melakukan pemasaran produk asuransi mesti
didokumentasikan berbentuk rekaman video maupun audio secara baik. Namun pada
praktiknya, mengingat perjanjian asuransi kerap kali terdapat kesepakatan baku yang
berisikan klausula eksonerasi membuat kesepakatan asuransi yang dilakukan secara digital
mengkaji terkait keabsahan perjanjian asuransi yang dilakukan dengan digital yang
B. MASALAH PENELITIAN
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
i. Bagi Pembaca
secara digital;
7
b. Untuk mengetahui apakah klausula baku yang ada pada perjanjian asuransi
yang berlaku;
c. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya
Jakarta.
a. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya
Jakarta;
D. MANFAAT PENELITIAN
diantaranya:
asuransi elektronik.
4. Diharapkan hasil dari riset ini bisa memberi masukan dan sumbangan pemikiran
E. METODE PENELITIAN
1. Bentuk Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian yang
menggunakan studi menggunakan peraturan, norma dan asas hukum untuk dikaji secara
2. Analisis Data
deskriptif analisis guna menulis realitas serta mendapat ilustrasi secara keseluruhan
terkait regulasi serta dihubungkan dengan sejumlah teori hukum pada praktek
peneliti akan menjelaskan pengaturan adanya kontrak baku di dalam perjanjian asuransi
elektronik. Peneliti akan menganalisis data dengan pemaknaan atau penafsiran sendiri
3. Jenis Data
Jenis data yang akan dipergunakan pada Penelitian ini merupakan data sekunder,
yakni data yang didapat dari penelusuran kepustakaan. Data sekunder yang dipergunakan
ialah data yang sifatnya general, yakni data berbentuk tulisan dan berbagai data lainnya
10
Yanti Fristikawati, 2018, Metodologi Penelitian Hukum, Sebuah Pengantar, Jakarta: Fakultas Hukum
Unika Atma Jaya, hlm 4.
9
Elektronik
Berupa teori ataupun pandangan para pakar, hasil karya insan hukum,
Bahan hukum yang memberi petunjuk penelitian baik studi dokumentasi atau
bahan kepustakaan.
pustaka serta seluruh regulasi yang berkorelasi dengan masalah hukum yang ada.
F. SISTEMATIKA SKRIPSI
Sistematika Penelitian secara keseluruhan yang terdiri dari empat (4) bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
10
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang, rumusan permasalaham
tujuan penelitian hukum, manfaat peneltian hukum, metode penelitian hukum dan
sistematika penulisan
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai subjek hukum. Setelah itu diuraikan
mengenai pengertian hukum perjanjianm sumber hukum perjanjian dan syarat sahnya
diakui di Indonesia.
Pada bab ini Penulis membahas mengenai pengaturan alat bukti elektronik dalam
praktik di indonesia yang didalamnya dibahas terkait tanda tangan elektronik dan
perjanjian asuransi yang dilakukan secara video. selain itu Penulis memabahas
mengani perjanjian baku yang terdapat pada suatu perjanjian asuransi yang dilakukan
secara digital.
BAB 1V PENUTUP
Pada bab ini Penulis menguraikan bagian akhir dari seluruh kegiatan penelitian yang
BAB II
A. SUBJEK HUKUM
Subjek hukum berasal dari bahasa belanda yaitu rechtsubject atau dalam bahasa
Inggris subject of law. Subjek hukum diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban yaitu
hukum merupakan seluruh hal yang bisa mendapat hak serta kewajiban dari hukum.11 Tidak
hukum ialah sesuatu yang membawa hak ataupun subjek pada hukum yakni seorang individu.
Kewenangan subjek hukum dibagi ke dalam dua. Pertama adalah kewenangan dalam
menjalankan hak dan berikutnya adalah kewenangan dalam berbuat tindakan hukum serta
seluruh faktor yang memberikan dampak kepadanya. Dengan demikian maka dapat
disimpulkan bahwa seluruh hal yang mempunyai wewenang hukum, menyandang hak serta
kewajiban pada tindakan hukum. Subjek hukum sangatlah berhubungan dengan kemampuan
dari aspek hukum serta wewenang pada hukum kategorisasi subjek hukum.
Dalam hukum perdata, subjek hukum memiliki posisi serta peranan terpenting
dikarenakan subjek hukum itulah yang memiliki wewenang hukum. Subjek hukum
1. Manusia
mahkluk yang berakal budi.12 Dalam wewenangnya sebagai subjek hukum, manusia
11
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar(Liberty 1988) 53.
12
https://www.kbbi.co.id/arti-kata/manusia ditelusuri pada 22 April 2022
12
menjalankan hak serta kewajiban guna diberi kebebasan mengambil tindakan sesuai
hukum. Cakap yang dimaksud ialah seseorang yang sudah dewasa dan berumur 21
tahun serta memiliki akal sehat, sementara seseorang yang tidak memiliki kecakapan
ialah seseorang yang di bawah umur serta seseorang yang berada di naungan
boros. Kedewasaan seorang individu ialah sebuah tolak ukur Apakah sudah dapat
mampu dalam menjalankan tindakan hukum. Pada pasal 330 KUH perdata
menyatakan bahwasanya orang yang sudah dewasa adalah orang yang berusia 21
KUH Perdata).
d. Seorang pria yang sudah memasuki usia 15 tahun serta wanita yang
Perdata).
13
f. Anak yang sudah berusia 15 tahun bisa berperan sebagai saksi (Pasal
Ketentuan terkait ketidakcakapan seseorang ditentukan pada pasal 1330 yang mengatur
perundang-undangan sendiri.13
2. Badan Hukum
instansi hukum selaku sebuah subjek hukum. Dengan diakuinya badan hukum
sebagai subjek hukum membuat badan hukum memiliki hak dan kewajiban.
artinya seseorang yang hukum ciptakan. Badan hukum ini kerap dinamai selaku
Beberapa ahli memberikan pengertian dari badan hukum yaitu antara lain
suatu badan atau perkumpulan yang memiliki hata, hal, dan kewajiban
selain individu yang dinilai bisa mengambil tindakan pada hukum dan
13
Rini Pamungkasih, 101 Draft Surat Perjanjian dan Kontrak, Yogyakarta: Gradien Mediatama, 2009, hlm 10
14
Dyah Hapsari Prananingrum, Telaah Terhadap Esensi Subjek Hukum: Manusia dan Badan Hukum, Jurnal
Refleksi Hukum Vol 8 No. 1, 2014, hlm 78
15
memiliki sejumlah hak serta kewajiban dan relasi dengan individu lain
tersebut, maka bisa disimpulkan bahwasanya badan hukum yang sebuah subjek
hukum. Badan hukum ada dua unsur terpenting yaitu hak serta kewajiban badan
berikutnya adalah organ dari badan hukum bisa mengalami pergantian akan
tetapi badan hukum senantiasa ada. Sehingga kemudian badan hukum ialah
Selain kedua unsur penting tersebut, unsur badan hukum yang harus selalu ada
mendirikan badan hukum dengan badan hukum itu sendiri, memiliki harta
terbagi ke dalam dua yakni badan hukum publik dan badan hukum privat.
Badan hukum publik adalah instansi yang didirikan berdasarkan pada hukum
15
ibid hlm 81
16
ibid hlm 82
16
publik ataupun instansi yang menjadi pengatur hubungan antara negara dengan
yang bekerja sama atau melakukan pendirian badan usaha serta integritas yang
sudah sesuai dengan persyaratan yang sudah hukum tetapkan. Contoh dari
bisa dijual Oleh sebab itu kepemilikan perseroan terbatas bisa berubah
bersangkutan.17
Koperasi
Yayasan
17
Adrian Sutedi, Buku Pintar Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014, hlm 6
18
Oemar Moechthar, Teknik Pembuatan Akta Badan Hukum dan Badan Usaha di Indonesia, Surabaya:
Airlangga University Press, 2019, hlm 227
17
Bahasa Inggris.
B. PERJANJIAN
Berdasarkan pendapat Subekti, Perjanjian merupakan sebuah peristiwa yang mana satu
pihak menjanjikan pada pihak lainnya guna menjalankan sesuatu. Dari peristiwa tersebut,
maka muncul sebuah relasi hukum antara satu pihak dengan pihak lainnya. Berdasarkan
merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih." Pada umumnya, perjanjian merupakan hal yang
disepakati oleh seluruh pihak terkait mengenai sesuatu yang memunculkan ikatan
ataupun relasi hukum, memunculkan hak serta kewajiban jika tidak dilangsungkan sesuai
dengan yang sudah disepakati maka terdapat sanksi. Tujuan dari perjanjian ialah guna
19
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. 2000. Kamus Istilah Aneka Hukum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.,
hlm. 198
20
Subekti, Kamus Hukum: Pradya Paramita, hlm. 156.
18
hal yang terpenting. Perjanjian yang sudah disepakati ialah sebuah perundang-undangan
untuk mereka yang merancangannya, pada arti lain seluruh pihak sudah terikat hingga
sebagaimana dengan kesepakatan itu sendiri, Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 KUHPer.
Dari penjelasan tersebut maka dapat diartikan bahwa perjanjian yang sudah dibuat secara
sah mengikat para pihak sebagai Undang-Undang, dan secara hukum para pihak setelah
adanya perjanjian tersebut dituntut untuk melaksanakan isi perjanjian dengan baik
selayaknya undang-Undang bagi para pihak. Oleh karena itu dapat diterjemahkan bahwa:
itikad baik.21
Para pihak dalam mengadakan sebuah kesepakatan berhak dalam penentuan isi
kesepakatan sesuai dengan perjanjian dan keinginan yang dibebaskan kepada seluruh pihak.
Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer menjelaskan bahwasanya “Perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik”. Pasal tersebut memiliki makna bahwasanya para pihak
yang mengadakan perjanjian memiliki kebebasan untuk menentukan apa isi dari sebuah
kesepakatan yang akan dibuatnya, namun mesti adanya niatan baik antara seluruh pihak yang
menuangkan hak dan kewajiban yang adil dan seimbang dengan itikad baik.
21
Hartana, Hukum Perjanjian (Dalam Perspektif Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara), Jurnal
Komunikasi Hukum, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2016, Hlm. 149
19
pihak sehingga hal ini berkaitan dengan niatan baik seperti yang dijelaskan pada 1338 ayat
(3) KUH Perdata. Penekanan pesan moral tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata,
kemudian ditegaskan kembali pada Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan, “Perjanjian
tidak saja mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga
untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
Undang-Undang”. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan itikad baik adalah
kewajaran (redelijkheid) dan kepatutan (billijkheid). Suatu kewajiban untuk seluruh pihak
yang melakukan perjanjian untuk berlaku wajar serta patut satu dengan yang lain. Sehingga
mengikatnya, yang dinyatakan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, dibatasi oleh “itikad baik”.
Hal ini berarti dalam keadaan tertentu tidak dibenarkan untuk menuntut pelaksanaan
kewajiban-kewajiban dalam perjanjian, apabila hal itu tidak lagi wajar dan patut.22
Tujuan dari perjanjian itu sendiri adalaj untuk tercapainya stabilitas kepentingan
seluruh pihak. Stabilitas merupakan hal terpenting bahkan merupakan titik utama semenjak
Pada tahapan pra kontraktual, selanjutnya ketika timbul kesepakatan yang memicu ikatan
antara seluruh pihak, sampai kepada tahapan pelaksanaan perjanjian yang mengikat para
pihak. Asas stabilitas diartikan selaku kondisi hening ataupun kondisi yang sejalan
dikarenakan tidak terdapat satupun yang menjadi dominan. Asas keseimbangan dimaknai
selaku sesuatu yang dilandasi oleh usaha agar tercapainya kondisi yang setara selaku
dampaknya mesti menimbulkan pengalihan kekayaan dengan sah. Asas keseimbangan ialah
asas pada Hukum perjanjian Indonesia yang menjadi asas keberlanjutan dari asas persamaan
yang menghendaki stabilitas hak serta kewajiban antar seluruh pihak pada kesepakatan. Asas
keseimbangan selain mesti berkarakteristik tertentu pula mesti dengan konsisten terarah
22
Marhaeni Ria Siombo, Lembaga Pembiayaan dalam Perspektif Hukum, Jakarta:Penerbit Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya, 2018, Hlm. 13
20
kepada kebenaran yang sifatnya konkret.23 Asas keseimbnagan menjadi asas yang berkinerja
dari asas hukum perjanjian baik dari Hukum perjanjian Indonesia ataupun hukum perjanjian
Belanda yang merepresentasi hukum modern. Pada hukum perjanjian Belanda, implementasi
asas stabilitas tersebut nampak dari kewajiban yang merujuk kepada kesusilaan, niatan baik,
keharusan serta kelayakan Pada pelaksanaan seluruh hak serta kewajiban pada sebuah
perjanjian.24
Perjanjian baru dapat dijalankan apabila syarat-syarat sah suatu perjanjian sudah
dipenuhi. Didalam perjanjian terdapat beberapa persyaratan yang mesti terpenuhi oleh
seluruh pihak yang terdapat pada sebuah kesepakatan. Apabila persyaratan sah sebuah
kesepakatan terpenuhi dengan demikian suatu kesepakatan itu sendiri tidak bisa dibatalkan
ataupun tidak batal demi hukum dikarenakan hanyalah kesepakatan yang sah berdasarkan
hukum yang menjamin hak serta kewajiban seluruh pihak di dalam kesepakatan tersebut. Jika
melihat dari pasal 1320 KUH Perdata, pasal tersebut mengatur supaya terjadi persetjuan yang
Dari 4 persyaratan di atas, bisa terbagi ke dalam dua jenis persyaratan yakni persyaratan
1) Syarat Subjektif
23
Aryo Dwi Prasnowo, Implementasi Asas Keseimbangan Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Baku, Jurnal
Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 8 No. 1 Mei 2019, hal 64
24
ibid hal 65
21
Kesepakatan mereka yang mengikatnya menjadi elemen yang mutlak agar terjalin
sebuah kesepakatan. Kesepakatan bisa dialami lewat beragam cara, akan tetapi
yang terpenting ialah dengan terdapatnya penawaran serta penerimaan antar para
pihak. Kesepakatan yang terjadi antar pihak harus berasal dari kehendak bebas
Berdasarkan pada pasal 1329 KUH Perdata menjelaskan bahwasanya tiap individu
undang dinyatakan tidak mampu. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa seorang
b) Sudah berusia 21 tahun namun gelap mata, sakit ingatam, dungu atau
boros.
Pada pasal 1330 KUH Perdata menjelaskan bahwasanya terdapat sejumlah individu
Jika persyaratan subjektif tidak bisa dipenuhi dengan demikian dampak yang timbul
disebabkan apabila terdapat pihak yang tidak memenuhi syarat subjektif namun tidak
terdapat pihak yang keberatan akan pemberlakuan kesepakatan itu sendiri dengan
demikian kesepakatan itu masih diberlakukan serta sebaliknya jika terdapat pihak
yang keberatan akan kesepakatan itu sendiri dengan demikian pihak yang ada di
itu sendiri. Kedua persyaratan ini dinamakan syarat subjektif dikarenakan keduanya
harus dipenuhi dan melekat kepada subjek dari kesepakatan yakni seluruh pihak yang
2) Syarat Objektif
Didalam sebuah perjanjian, objek dari suatu perjanjian mesti jelas harta ditetapkan
oleh seluruh pihak. Objek dari suatu kesepakatan bisa berbentuk barang ataupun
layanan, akan tetapi bisa pula berbentuk tidak berwujud apapun. Objek dari
jenis dan ukurannya, serta dapat diidentifikasikan. Pokok tertenti ini dalam
sebuah perjanjian disebut sebagai prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian,
atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu. Didalam KUH Perdata dan pendapat para
b) Melakukan tindakan
Suatu sebab yang tidak terlatang/sebab yang halam dapat diartikan bahwa isi dari
ada.25 Sebab yang tidak terlarang berkaitan dengan isi dari sebuah perjanjian yang
Apabila syarat objektif tidak terpenuhi dengan demikian dampak yang bisa ditimbulkan
dari kesepakatan itu sendiri ialah pembatalan demi hukum yang artinya kesepakatan
tersebut dinilai tidak pernah terjadi. Syarat objektif terkait dengan isi serta materi dari
sebuah kesepakatan itu sendiri. Kedua persyaratan ini disebut sebagai persyaratan
objektif dikarenakan syarat ini melekat di objek dari sebuah kesepakatan itu sendiri.
Dalam sebuah kesepakatan terdapat asas kebebasan berkontrak yang di mana seorang
individu dapat melakukan kesepakatan apa saja isinya serta bentuk dari perjanjian sesuai
dengan kebebasan oleh para pihak yang membuatnya sepanjang tidak melakukan
pelanggaran terhadap regulasi undang-undang yang ada. Para pihak yang mengadakan
perjanjian juga dapat memperjanjikan untuk bertanggung jawab dengan adanya kerugian
yang timbul di kemudian hari dikarenakan kelalaian ataupun hanya sebatas batasan
tiap individu dapat melakukan sebuah kesepakatan tanpa adanya batasan yang harus
Undang, ketertiban umum, dan kesusialaan seperti yang sudah diatur didalam Pasal 1337
dan Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak merupakan sebuah prinsip
dimana para pihak bersepakat untuk membentuk kontrak berdasarkan kehendak yang
bebas dari para pihak tersebut. Di dalam Undang-Undang hanya diatur mengenai seluruh
persyaratan sahnya sebuah kesepakatan saja, dengan adanya asas kebebasan berkontrak,
seluruh pihak bebaskan dalam penentuan apapun isi serta bentuk dari suatu perjanjian
25
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Jakarta:PT.Raja GrafindoPersada, 2007, Hlm 14-31
24
yang dibentuk dan disepakati. Hal tersebut sudah tercantum di dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari hal itu sendiri dapat
diketahui bahwasanya seluruh pihak dibebaskan untuk penentuan isi serta bentuk
sesuai dengan persyaratan sah suatu perjanjian yang dicantumkan pada Pasal 1320 KUH
Perdata.
Dalam praktiknya, sebuah perjanjian kerap kali terdapat perjanjian baku. Menurut
Hondius perjanjian baku merupakan konsepsi perjanjian tertulis yang tersusun dengan tidak
adanya pembicaraan isi serta umumnya tertuang pada beberapa perjanjian tak terbatas yang
bersifat tertentu. Utan Remy Sjahdeni menyebutkan bahwasanya yang dimaksudkan dengan
perjanjian baku ialah kesepakatan yang hampir semua klausulnya telah dibakukan oleh
penggunanya serta pihak lainnya secara mendasar tidak berpeluang dalam melakukan
bentuk formulir. Penggunaan kontrak baku memicu persoalan yang membutuhkan solusi.
Secara tradisionalnya sebuah kesepakatan dialami didasari oleh asas kebebasan berkontrak
diantara dua pihak yang mempunyai posisi yang setara. Perjanjian yang diperoleh pada
perjanjian ialah hasil bernegosiasi dari seluruh pihak. Proses seperti ini tidak dijumpai pada
perjanjian baku. Hampir tidak terdapat kebebasan pada penentuan isi perjanjian diproses
ditetapkan dengan pihak oleh pengusaha. Ketidakstabilan posisi pada kesepakatan baku
dikarenakan seluruh pihak mempunyai bargaining position yang tidak setara hingga
a) Pihak yang membuat kesepakatan baku secara umum mempunyai penguasaan akan
sumber daya yang dimiliki namun posisinya relatif tinggi daripada pihak penerima
kontrak baku. Salah satu wujudnya ialah nampak pada seluruh klausul yang ada
berbentuk standar ataupun baku yang berisikan cenderung memberatkan sepihak atau
dinamai selaku klausula esensi maupun eksonerasi. Klausula ini memberi pembatasan
serta ataupun mengalihkan pertanggungjawaban pada sebuah risiko bisnis pada pihak
lain hingga kemudian bisa memicu kondisi merugi maupun memperoleh untung yang
Di luar batas kewajaran pada salah satu pihak. Ketidakstabilan posisi ini bisa diamati
melalui terdapatnya seluruh klausula pada kontrak baku yang sebatas hanya
b) Terbatasnya akses informasi yang semestinya didapat oleh penerima kontrak baku.
memfokuskan dirinya kepada beberapa hal terpenting pada kontrak, beberapa hal
difokuskan. Hak yang terbatas pada penyampaian pendapat dalam kontrak mengalami
leave it” terlebih lagi jika pihak yang menerima kontak menghadapi objek kontrak
yang sifatnya pemenuhan keperluan dasar misalnya keperluan sandang tanda tangan
yang menerima kontrak baku memicu aspek stabilitas kedudukan terasa kurang
d) Terdapatnya kekuasaan maupun wewenang yang salah satu pihak memiliki, hal
tersebut nampak pada kontrak yang terjalin antara pemerintah pada kapasitas mereka
Posisi yang tidak stabil bisa nampak dari ke seluruh rasul yang dituliskan di suatu
kesepakatan yang dimana dalam klausul itu sendiri memberi pembatasan untuk seluruh pihak.
Perjanjian baku berbentuk formulir yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh salah satu
pihak dalam sebuah perjanjian, selanjutnya diserahkan pada pihak lainnya yang ada di dalam
perjanjian dengan prinsip take it or leave it contract. Pihak yang mendapatkan formulir
tersebut tidak bisa mengusulkan, memberikan saran ataupun merasa diberatkan akan format
Umumnya sebuah perjanjian yang didalam terdapat perjanjian baku kerap kali dapat
klausula xonerasi. Klausula eksonerasi ialah kesepakatan yang tidak stabil. Relasi antara
seluruh pihak yang tidak stabil pada suatu kesepakatan tentunya merupakan ketidakadilan
untuk seluruh pihak. Kondisi yang tidak adil ini dialami di sebuah relasi seluruh pihak yang
tidak stabil dinamai undue influence sementara kondisi tidak adil yang dialami di sebuah
kondisi yang tidak stabil dikatakan unconscionability. Keadilan hakikatnya ialah dipenuhinya
seluruh hal yang merupakan hak serta kewajiban. Keadilan mengharuskan terdapatnya
C. ASURANSI
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 246 KUHD menjelaskan definisi asuransi ialah
penerimaan premi guna memberi ganti padanya dikarenakan adanya sebuah kerugian,
dikarenakan sebuah evenemen. Evenemen sendiri merupakan suatu peristiwa yang tidak
pasti. Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda yang memiliki pengertian assurantie yang
terdiri dari kata assurandeur yang berarti Penanggung dan geassurreerde yang berarti
Tertanggung. Beberapa ahli memiliki pengertian terhadap definisi dari asuransi yaitu antara
lain adalah:
O.P Simorangkir dan Abbas salim menjelaskan bahwasanya asuransi ialah sebuah
keinginan dalam menentukan sejumlah kerugian kecil yang telah pasti selaku
dan dalam suatu asuransi dilibatkan dua pihak yakni pihak yang satu
lainnya mendapatkan ganti atas sebuah kerugian yang bisa jadi akan dideritanya
selaku dampak dari sebuah kejadian yang tadinya belum tentu alami ataupun
sejumlah kerugian kecil yang telah pasti selaku ganti rugi atas kerugian besar yang
belum pasti.27
mana pada pasal Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian. “Asuransi merupakan perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi
dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan suatu premi oleh perusahaan
26
27
Abbas Salim, Asuransi dan Manajemen Risiko, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 1.
28
a. pemberian ganti pada tertanggung ataupun pihak yang memegang polis dikarenakan
adanya hal yang rugi, rusak, pembiayaan yang muncul, hilang ataupun
pertanggungjawaban hukum pada pihak ketiga yang bisa jadi dialami tertanggung
ataupun pemegang polis dikarenakan di alamnya sebuah kejadian yang tidak pasti
terdapat 5 (lima unsur) yang terdapat dalam asuransi, yaitu antara lain adalah:
Subjek Asuransi
Subjek asuransi ialah seluruh pihak yang terdapat di dalam sebuah perjanjian asuransi
Penanggung ialah pihak yang menerima sebuah pengalihan risiko dan memberikan
proteksi. Sementara tertanggung ialah pihak yang melakukan pengalihan risiko dan
diberikan padanya serta memiliki hak atas mendapat pembayaran premi. Sebaliknya
pendapat ganti apabila dialami kerugian atas harta kekayaan yang dimiliki yang
diasuransi.
Pihak Penanggung wajib memiliki status sebagai sebuah badan hukum, yakni dapat
badan hukum baik sebagai perusahaan atau bukan perusahaan. Tertanggung harus
berstatus sebagai pemilik atau pihak yang memiliki kepentingan atas objek yang
diasuransikan.
Objek Asuransi
Objek asuransi bisa berbentuk benda berwujud ataupun benda tidak berwujud, hak,
ataupun kepentingan yang terdapat di benda tersebut. Atas objek asuransi itu sendiri
harus terdapat risiko yang dapat terjadi hingga dapat menimbulkan kerugian bagi
pemiliknya ataupun pihak yang berkepentingan terhadap objek tersebut. Lewat objek
asuransi ini terdapat sebuah tujuan yang hendak direalisasi oleh seluruh pihak. Pihak
imbalan dari beralihnya risiko. Sementara tertanggung memiliki tujuan terbebas dari
sebuah risiko serta mendapat ganti apabila muncul kerugian atas kekayaan yang
dipunyai yang diasuransikan yang bisa jadi dapat mengalami kerugian dikarenakan
Peristiwa Asuransi
Peristiwa asuransi merupakan suatu tindakan hukum yang berbentuk kesepakatan ataupun
tujuan bebas antara penanggung atau tertanggung terkait objek asuransi, peristiwa
tidak pasti yang menjadi ancaman objek yang diasuransikan serta seluruh persyaratan
dirancang berbentuk tertulis yakni akta yang dinamakan sebagai polis asuransi. Polis
asuransi ialah alat yang dipergunakan pada pembuktian sudah dilakukannya perjanjian
Hubungan Asuransi
30
Hubungan asuransi yang terjalin antara penanggung serta tertanggung ialah suatu ikatan
hukum yang muncul dikarenakan kesepakatan maupun persetujuan bebas. Ikatan ini
sendiri ialah berbentuk kesiapan dengan sukarela dari penanggung serta tertanggung
guna mengakomodasi kewajiban serta hak tiap-tiap pada satu dengan yang lainnya
semenjak terjadinya kesepakatan asuransi. Dalam hal ini tertanggung sudah terikat
serta diwajibkan untuk membayarkan premi asuransi pada penanggung serta semenjak
apabila tidak dialami suatu evenemen, premi yang telah dibayarkan oleh tertanggung
merupakan kepemilikan penanggung. Namun pada saat ini sudah muncul berbagai
macam jenis asuransi yang baru sehingga memungkinkan premi dikembalikan kepada
Tertanggung apabila tidak terjadi evenemen dalam jangka waktu yang telah disepakati
dalam polis.
Dalam dunia perasuransian sendiri terdapat 2 (dua) pihak utama, yaitu antara lain
adalah: 28
Pihak Penanggung
Penanggung merupakan pihak yang memiliki kesiapan dalam menerima peralihan resiko
berikrar agar memberi ganti atau suatu kompensasi pada pihak tertanggung jika pihak
dikarenakan sebuah kejadian yang tidak tertentu sebagaimana yang disetujui pada
kesepakatan.
28
Direktorat Jenderal Perdagangan dalam Negeri Republik Indonesia bekerja sama dengan LKHT-FHUI, Laporan
Penelitian Tahap Pertama versi 1.04, Jakarta, 2001, hlm 161
31
Pihak Tertanggung
Tertanggung ialah pihak yang risikonya ditanggung oleh pihak penanggung. Pihak yang
badan hukum yang meliputi korporasi maupun siapapun yang bisa merugi. Sebagai
memiliki kewajiban untuk membayar sejumlah premi sudah disepakati dengan pihak
penanggung
yang mesti ditaati oleh para pihak pada kesepakatan tersebut. Prinsip-prinsip perjanjian
asuransi, seluruh pihak mesti berkepentingan pada objek yang diasuransi. 29 Prinsip ini
kerap dinamai insurable interest. Terkait hal ini tertuang pada Pasal 250 KUHD yang
objek yangh dapat diasuransikan harus merupakan suatu kepentingan yang dapat
diasuransikan yaitu kepentingan yang dapat dinilai dengan uang. Atau dengan
29
30
Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-Asek Hukum Asiuransi dan Surat Berharga, Bandung Alumnu, 2003, hlm
66
32
Prinsip Itikad Baik diatur dalam Pasal 253 KUHD yang menyebutkan bahwasanya intinya
bahwasanya perjanjian asuransi baru jika perjanjian dilandasi oleh itikad baik. Istilah
prinsip etika baik dinamai pula dengan asas kejujuran yang sebaik mungkin. Dalam
bahasa Inggris, prinsip etika baik disebut Principle Utmost Good Faith. Prinsip Itikad
Baik bisa dimaknai bahwasanya tiap-tiap pihak pada sebuah kesepakatan yang hendak
yang selengkap mungkin, yang dapat berdampak pada keputusan pihak lainnya dalam
masuk ke kesepakatan atau sebaliknya, baik keterangan yang dimintai ataupun tidak.
Konsekuensi yang terjadi apabila prinsip ini dilanggar adalah batalnya perjanjian
asuransi sehingga apabila terjadi evenemen Penanggung terlepas dari kewajiban untuk
Prinsip Ganti Kerugian diatur dalam Pasal 253 KUHD. Secara hakikat fungsi dari
Karenanya besaran penggantian rugi yang tertanggung menerima mesti sama dengan
kerugian yang dialami. Hal tersebut menjadi inti dari prinsip ganti rugi atau dinamai
pula sebagai prinsip keseimbangan. Berdasarkan pada prinsip ganti rugi bahwasanya
yang merupakan landasan dalam mengganti rugi dari pihak penanggung pada pihak
tentang ialah sebanyak kerugian yang sebenarnya dialami oleh tertanggung yang
asuransi ataupun bulutangkis inti dari prinsip ganti rugi ialah adanya keseimbangan
yaitu kesamaan antara kerugian yang benar-benar dialami oleh tertanggung dengan
Prinsip Subrogasi
Prinsip subrogasi diatur dalam Pasal 284 KUHD yang menyebutkan bahwasanya “Pihak
meggantikan pihak Tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhdap ornag-
orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut, dan pihak Tertanggung
memiliki tanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat memberi kerugian
terhadap hak dari pihak penanggung yang sudah mengganti kerugian pada pihak
kebermanfaatan yang bisa jadi didapat dari pihak lainnya. Tanpa mempedulikan
Apakah hal itu sendiri telah dijalankan ataupun belum. Prinsip subrogasi muncul
ilmu kimia ketiga selaku pemicu munculnya kerugian. Hak dari penanggung guna
kesepakatan asuransi yang disepakati oleh pihak penanggung serta tertanggung dan
meningkatkan dua belah pihak dapat dipahami melalui dua teori perjanjian. Kedua teori itu
sendiri ialah teori tawar-menawar (bargaining theory) dan teori penerimaan (acceptance
theory).
31
Heru Susanto, Subrogasi sebagai Bentuk Pertaggung Jawab Pihak Ketiga Terhadap Penanggung dalam
Perasuransian, Dialektika, Vol.5, No.1, Mei 2007, hlm 35
34
Teori tawar menawar merupakan tiap kesepakatan hanya dapat dialami antara dua pihak
jika penawar dari pihak satu dihadapi oleh penerimaan pihak lain. Hasil yang menjadi
harapan ialah adanya keselarasan penawaran serta penerimaan secara timbal balik ke
antar dua belah pihak. Pada penawaran tersebut ada dua elemen yang menjadi penentu
yakni adanya penawaran serta penerimaan. Penawaran dari salah satu pihak yang
dihadapkan pada penawaran pihak lainnya, serta penerimaan dari pihak lain pula
dihadapkan kepada penerimaan dari pihak lain. Timbal balik antara tawaran dan
penerimaan menciptakan kesepakatan yang menjadi dasar perjanjian antara kedua pihak.
keunggilan dari bargaining theory ialah adanya kepastian hukum yang dilahirkan
berlandaskan perjanjian yang menjadi dasar kesepakatan antara kedua belah pihak.
Namun terdapat kekurangan dari teori ini yaitu pihak menanggung selalu berposisi relatif
serta kerugian dikarenakan kejadian yang bisa saja dialami. Pada adanya kesepakatan
yang dicapai, selalu terdapat kecenderungan tanggung jawab penanggung yang terbatas
terhadap kerugian yang bisa jadi muncul dikarenakan adanya peristiwa, yang mana hal
menawar serta menerima yang tertanggung serta penanggung lakukan secara timbal balik
dan ada titik rangkaian tindakan itu sendiri tidak secara detail diatur pada UU
satu elemen sah perjanjian pada pasal 1320 KUHPer. Rangkaian tindakan penawaran
serta penerimaan guna merealisasi kesepakatan kehendak terkait asuransi hanyalah bisa
diketahui lewat kebiasaan yang sudah ada pada praktek bisnis asuransi. Karenanya
rangkaian tindakan itu sendiri mesti ditelusur lewat proses praktek perjanjian asuransi.
35
Teori Penerimaan
Sesuai dengan apa yang telah dijelaskan pada bagian penawaran terkait waktu perjanjian
ketetapan hukum pada uu perasuransian. Oleh karena itu untuk mengetahui waktu
dialaminya serta mengikatkan perjanjian asuransi yang bisa dikaji lewat teori
keadaan konkret yang pembuktiannya bisa dilakukan lewat tindakan konkrit ataupun
Lewat dokumen perbuatan hukum dengan demikian bisa kita ketahui waktu dialaminya
ditandatangani oleh para pihak yang berkaitan, keunggulan dari teori ini ialah waktu
serta mengikat kesepakatan antara dua pihak bisa ditetapkan dengan pasti hingga
kemudian ketika mulai terpenuhinya kewajiban, dampak hukumnya pun pula akan
bisa dipastikan. Namun terdapat juga kelemahan yaitu pada pihak tertanggung
menerima seluruh konsekuensi yuridis yang terdapat pada perjanjian, kendati pihak
Perjanjian asuransi adalah salah satu perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD.
Pertanggungan merupakan suatu perjanjian oleh karena itu syarat-syarat sah perjanjian dalam
merupakan suatu kesepakatan khusus, dengan demikian selain persyaratan umum pada pasal
1320 KUHPer masih berlaku kembali persyaratan terkhusus yang diatur pada KUHD.
Terdapat 5 (lima) syarat sahnya perjanjian asuransi, yaitu antara lain adalah:32
32
Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum pertanggungan, Bandung; PT. Citra Aditya Bakti, 1994, hlm 21-26
36
Kesepakatan/Persetujuan Kehendak
yang berarti dua belah pihak setuju terhadap objek dari suatu kesepakatan atau suatu
tertanggung dihendaki pula oleh pihak yang menanggung. Sehingga kemudian maka
Kecakapan
menjalankan tindakan hukum. Maknanya para pihak mesti telah terlebih dahulu sudah
sakit ingatan dan tidak berada pada kondisi pailit. Demikian pula jika para pihak
mewakili pihak lainnya maka mesti menyatakan bagi kepentingan siapa pertanggung
tersebut diadakan: belah pihak bisa berbentuk badan hukum. Akan tetapi pihak
berbentuk benda, jiwa manusia, raga manusia ataupun kepentingan yang terdapat di
benda dan kejiwaan manusia. Dikarenakan yang mempertemukan objek ialah pihak
tertanggung, dengan demikian tertanggung mesti memiliki relasi langsung atau tidak
langsung dengan objek pertemuan. Disebut terdapat relasi langsung jika tertentu
mempunyai sendiri benda, jiwa, raga yang merupakan objek pertanggungan. Disebut
37
terdapat relasi tidak langsung jika tertanggung hanyalah berkepentingan atas objek
undangan tidak bisa membenarkan, tidak memberikan pengakuan atas seseorang yang
mesti menyebut bagi kepentingan siapa penanggungan tersebut dilakukan. Apabila hal
mengalami pembatalan.
umum serta tidak berlawanan dengan asusila. Tujuan yang ingin direalisasi pada
dibarengi dengan pembayaran premi. Oleh sebab itu kedua belah pihak melakukan
peralihan.
38
Pemberitahuan
sesuai dengan Pasal 251 KUHD. Kewajiban pemberitahuan Pasal 251 KUHD ini
tidak digantungkan kepada terdapatnya iktikad baik ataupun tidak dari tertanggung.
Jika tertanggung salah pada pemberitahuan, dengan tidak adanya unsur sengaja,
demikian pula memicu pembatalan bertanggung jawab apabila para pihak sudah
menyepakati hal lainnya. Umumnya kesepakatan semacam ini tertuang secara tegas
Dalam suatu perjanjian asuransi, polis asuransi ialah integritas yang tidak bisa
dipisahkan dengan perjanjian asuransi, yang meliputi tanda bukti kepesertaan asuransi untuk
pertanggungan himpunan antara pihak yang menanggung serta pihak yang memegang polis.
Pihak yang memegang polis merupakan pihak yang mengikat dirinya berlanda sangat pada
perlindungan ataupun pengelolaan terhadap risiko untuk diri mereka, tertanggung atau
peserta lainnya di pasal 255 KUHD menjelaskan bahwasanya asuransi disusun dengan
tertulis pada sebuah akta yang dinamai polis.33 Berdasarkan pada pasal tersebut maka
alasannya belum mencukupi dalam penarikan sebuah konklusi bahwasanya asuransi ialah
pada kesepakatan asuransi. Hal ini dikarenakan dengan tersistematis pada ketentuan Pasal
255 KUHD dihubungkan dengan Pasal 257 KUHD. Pasal 257 KUHD Ayat (1) menyatakan
33
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan Kebijakan moneter dan Perbankan, Depok Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005, hlm 688
39
timbal-balik dari Penanggung dan Tertanggung mulai sejak saat itu, bahkan sebelum polis
terjalin dengan terdapatnya istilah "sepakat" para pihak, kena tipolis belum ada. Sehingga
kemudian asuransi ialah suatu kesepakatan konsensual. Hal ini artinya bahwasanya polis
bukan persyaratan esensial pada kesepakatan asuransi namun hanyalah memiliki fungsi
selaku pembuktian. Hal tersebut dijelaskan pada Pasal 258 Ayat (1) KUHD yang
kesepakatan asuransi maka diperlukannya pembuktian dengan tulisan dalam hal ini adalah
polis tetapi diperkenankan alat lainnya untuk membuktikan dipakai pulang ketika telah
terdapat sebuah awalan pembuktian dengan tulisan. Dalam pasal tersebut jika disimak dengan
cermat bawah yang dimaksud dengan frasa "tulisan" di kalimat pertama ialah polis sementara
definisi frasa "tulisan" di kalimat terakhir dimaksud bukan polis akan tetapi permulaan bukti
melalui surat yaitu diantaranya korespondensi antara seluruh pihak, pencatatan mau keluar
Berdasarkan pada teori diatas, nampak bahwasanya polis asuransi bukan menjadi
persyaratan mutlak bagi kesepakatan asuransi namun hanyalah memiliki fungsi selaku
pengemudian bagi kepentingan pihak menanggung. Hal ini dikarenakan berdasarkan pada
ketetapan Pasal 256 ayat (2) KUHD yang ditafsirkan bahwa polis penandatanganannya
dilakukan oleh penanggung serta bukan tas tanggung. Tanda tidak demikian, meski polis
bukan menjadi persyaratan mutlak pada sebuah kesepakatan asuransi, bukan berarti tidak
penting dalam suatu perjanjian asuransi. Posisi polis masih penting dikarenakan di dalamnya
terdapat biji yang lengkap dari kesepakatan yang meliputi hak serta kewajiban dari seluruh
pihak. Karena hanya polis adalah pembuktian sempurna terkait kesepakatannya bersangkutan
serta jika tidak terdapat penulis akan membuat sulit dalam pembuktian. Praktek asuransi
40
disertai persyaratan khusus serta klausula tertentu. Dari persyaratan khusus serta klausul
tertentu yang tercantum di polis, maka timbul jenis polisi yang tidak serupa antar satu sama
lain, bahkan ketidaksamaan ini merupakan sarana kompetisi antara sesama penanggung.
Guna meminimalisir kompetisi yang tidak sehat antar sesama korporasi asuransi, dengan
demikian diusahakan penyamaan persyaratan khusus pada polis melalui cara penciptaan polis
standar baik nasional ataupun internasional hingga kemudian bisa mencegah pertidaksamaan
yang menonjol dari polis korporasi asuransi satu dengan yang lain.
Suatu perjanjian asuransi dapat batal dikarenakan adanya beberapa peristiwa yang
Asuransi pada umumnya dilakukan Pada kurun waktu tertentu, contohnya adalah
pertanggungan yang dilakukan selama 1 tahun. Kurun waktu pada umumnya ada di
dilakukan Pada kurun waktu yang panjang contohnya pertanggungan yang selama 10-
20 tahun. Periode itu sendiri terdapat pula di asuransi kejiwaan. Periode ini ditentukan
pada polis. KUHD sendiri tidak memperlakukan dengan tegas kurun waktu asuransi.
Jika kurun waktu bertanggung jawab sudah habis, dengan demikian asuransi akan
usai.
Perjalanan Berakhir
Suatu asuransi bisa dilakukan berlandaskan perjalanan, contohnya adalah asuransi yang
Pada suatu polis asuransi, terdapat pernyataan pada kejadian apa saja yang dapat
yang diasuransikannya. Selain itu, tujuan diselidikinya ialah untuk mengetahui apakah
kejadian yang dialami benar bukan dikarenakan kekeliruan tertanggung serta selaras
dengan kejadian yang sudah ditetapkan pada polis. Apabila setelah diselidiki dan
sesuai dari asas stabilitas. Melalui dipenuhinya ganti rugi berlandaskan klaim
pertanggungan dapat juga terjadi karena faktor di luar kemauan dari pihak
berjalan (Pasal 293 dan 628 KUHD). Selaim itu KUHD sudah mengatur tentang
salah atau tidak tepat ataupun jika tertanggung tidak memberitahu sejumlah
hal yang diketahui hingga kemudian jika hal tersebut disampaikannya pada
sendiri.
d. Pasal 282 menjelaskan apabila suatu perjanjian asuransi terdapat suati akal
Dalam dunia perasuransian, asuransi dibagi menjadi dua yaitu Asuransi Jiwa
dan Asuransi Kerugian. Asuransi jiwa merupakan layanan yang diberikan oleh
dirinya pada pihak lainnya guna mengganti rugi yang bisa tertanggung derita
disebabkan dialami sebuah kejadian yang sudah ditunjuk serta yang belum tentu
dengan kebetulan, dengan mana juga tertanggung memiliki janji guna membayarkan
sejumlah premi yang sudah ditentukan. Selain itu, manfaat dari asuransi jiwa adalah
34
Virdita Ratriani, “Simak pengertian Asuransi Jiwa dan Jenis-Jenis Sesuai Kebutuhan” dalam
https://keuangan.kontan.co.id/news/simak-pengertian-asuransi-jiwa-dan-jenis-jenisnya-sesuai-kebutuhan
(Dikakses pada 23 September 2021 Pukul 13.16 WIB)
43
asuransi kerugian adalah upaya pemberian layanan menggunakan sebuah risiko atas
yang tidak pasti. Salah satu contoh dari asuransi kerugian adalah sebagai berikut:
a. Asuransi Kebakaran
c. Asuransi laut;
d. Asuransi Pengangkutan;
e. Asuransi Kredit.
terbaru yaitu sebuah internet. Pada zaman modern seperti sekarang, pemakaian internet
bertumbuh dengan cepat. Hal ini disebabkan karena tiap aspek sendi hidup manusia
baru yaitu pembuatan kontrak yang dilakukan secara elektronik. Pada umumnya, kontrak
elektronik sudah memperoleh pengakuan dari United Nations dan dituangkan dalam United
(selanjutnya disebut ECC) Pasal 8 ayat (1). Pada pasal ini menyebutkan bahwasanya “Tidak
diperbolehkan untuk menolak keabsahan dari status kontrak yang dilakukan via elektonik dan
dalam bentuk elektronik. Maka dari penjelasan tersebut dapat dinyatakan bahwa Persatuan
Bangsa Bangsa (PBB) mengakui dengan adanya keabsahan kontrak elektronik dan mengikat
Secara mendasar terbentuknya kontrak elektronik sejalan dengan Pasal 1320 KUH
Perdata. Namun terdapat perbedaan dengan penyusunan kontrak konvensional, seluruh pihak
yang merancang kontrak elektronik tidak saling tatap muka dengan langsung, keadaan yang
seperti itu kemudian memicu suatu persoalan yang berhubungan dengan validitas dari
kontrak elektronik yang disusun serta persoalan bagi penentuan dokumentasi asli serta
salinan guna menjadi pembuktian. Kontrak elektronik menurut edmin Makarim ialah sebuah
relasi hukum atau sebuah ikatan yang dilangsungkan dengan elektronik, yakni ikatan yang
dilangsungkan serta di saranai oleh akses internet melalui perpaduan layanan telekomunikasi
sistem informasi dengan basis komputerisasi serta jaringan. Terlaksananya kontrak elektronik
dikomunikasikan Melalui aplikasi surat elektronik atau yang bisa pula dikombinasikan
terkhusus pada UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Onformasi dan Transaksi Elektronik
elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Sedangkan
sistem elektronik itu sendiri merupakan serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang
Kontrak elektronik memiliki ciri-ciri Dibuat dengan jarak jauh bahkan bisa melewati
batasan sebuah negara lewat internet serta seluruh pihak pada suatu kontrak elektronik tidak
sama sekali bertatap muka ataupun bisa jadi tidak sama sekali berjumpa. Terdapat tiga aturan
regulasi yang mencari pengaturan terkait kontrak elektronik di Indonesia ialah Undang-
Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik;
dan Peraturan Pemrrintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan
Melalui Sidtem Elektronik. Hal umum yang ikut masuk ke dalam kontrak elektronik ialah
tanda tangan elektronik. Indonesia mengkategorikan dua jenis tanda tangan elektronik yaitu
tanda tangan elektronik serta tanda tangan elektronik "bersertifikat". Tanda tangan elektronik
berbeda dengan tanda tangan elektronik bersertifikat apabila dibuat dengan tidak
Secara mendatar suatu kontrak elektronik ialah versi digital dan kontrak kertas konvensional
atau tradisional. Saat seperti kontak tradisional, kontrak yang dilakukan secara digital
contract merupakan suatu dokumen yang bisa ditegakkan serta meningkat secara hukum
yang umumnya dipergunakan terkait pekerjaan jual beli, pelayan maupun penyewaan.
Melalui kontrak kertas pada umumnya, satu pihak membuat penawaran serta pihak lainnya
membaca. Apabila dua belah pihak sudah setuju terhadap semua persyaratan serta ketetapan
yang pertama dikenali selaku kontrak market yaitu mengikutkan dirakitnya kontrak
permintaan awal, mempergunakan aturan bisnis serta klausul yang sudah disepakati
sebelumnya yang ditentukan pada aplikasi. Lalu sesudah kontrak dibuat kontrak selanjutnya
dikirimkan kembali ke pemohon awal. Lalu untuk mekanisme kedua adalah mengikutkan
seseorang yang memiliki kewenangan agar melakukan peninjauan serta penyusunan kontrak.
Biasanya pihak yang menyusun kontak digital akan mengawalinya dengan suatu template
elektronik yang sudah disepakati sebelumnya selaku titik awal. Dari hal tersebut seluruh
37
ibid
46
pihak mempunyai akses kepustakaan langsung serta bisa menambah klausula yang sudah
disepakati sebelumnya yang memiliki relevansi serta mengacu kepada hukum panduan
klausula didasari oleh keperluan. Seseorang itu sendiri selanjutnya akan mengirim kontak
yang sudah rampung pada pihak yang memohon. Keduanya membuat kontak elektronik yang
akurat serta aman secara hukum serta pada beragam kasus, cara yang dipergunakan ditunjang
oleh keperluan bisnis.38 Beberapa bisnis dalam zaman modern seperti sekarang ini lebih
memilih untuk menggunakan kontrak digital dengan tujuan agar meminimalisir banyaknya
kertas yang dipergunakan pada sebuah bisnis. Hal ini karena menjadi bagian dari gerakan "go
green". Hal ini ialah pilihan yang membantu dikarenakan kontak hampit selaliu memiliki
halaman yang banyak. Demikian juga terdapat sejumlah bisnis menjumpai bahwasanya relatif
mudah dalam pengaturan serta pengelolaan kontrak digital dikarenakan kintrak digital
maupun dokumentasi elektronik ataupun hasil cetak tersebut ialah pembuktian hukum yang
valid. Lalu pada Pasal 5 ayat (2) UU ITE ditetapkan bahwasanya informasi elektronik
ataupun dokumen elektronik ialah perluasan alat pembuktian yang valid sebagaimana dengan
hukum acara yang diberlakukan di Indonesia. Oleh karena itu uu ite sudah menetapkan
bahwasanya dokumen elektronik maupun hasil cetaknya ialah sebuah pembuktian yang valid
serta menjadi perluasan alat pembuktian yang absah sebagaimana dengan hukum acara yang
meja persidangan dengan adanya uu ite kemajuan pada sikap serta penanggulangan kejahatan
Berdasarkan pada Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE sudah menjelaskan secara jelas
yang valid serta perluasan dari pembuktian yang sah sebagaimana dengan hukum acara yang
bertujuan untuk menegakkan hukum atas permintaan lembaga penegak hukum yang
ditentukan di 31 ayat (1) UU ITE. Syarat sah suatu dokumen elektronik adalah apabula
ITE, khususnya pada Pasal 6 UU ITE yaitu “informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses,
suatu keadaan”. Di samping itu pula ada keistimewaan pada pelaksanaan sertifikasi
Terkait kontrak digital pada sudut pandang hukum perdata, para pakar memberi
penjelasan umum uu ite terkait penyertaan kekuatan pembuktian dari kontrak elektronik serta
dokumentasi yang tersusun dengan konvensional ataupun di atas kertas. Validitas dokumen
elektronik yang disertakan dengan dokumen dibuat di atas kertas serta memperoleh
pengakuan dengan tegas menjadi sesuatu yang tidak bisa dielakan dikarenakan bahwasanya
sesungguhnya dokumen yang disusun dengan elektronik bisa dicetak pada suatu kertas.
seluruh pihak terkait. Hal itu sendiri secara mendasar berhubungan kuat dengan pengakuan
seluruh pihak menjadi salah satu kekuatan pembuktian dari akta yang disusun serta
mengikatkan seluruh pihak. Apabila menelaah pada fakta otentik yang dibuat di hadapan
notaris, kekuatan pembuktiannya ialah sempurna serta mengikatkan seluruh pihak. Namun
apabila kelak dijumpai terdapat kecacatan formil yang terindikasikan pada sebuah aktor
40
Dominikus Rato, op.cit, hlm 1468
48
otentik, dengan demikian kekuatan pembuktiannya akan terdegradasi serta menjadi layaknya
Aku tak Di bawah tangan. Hal yang mesti senantiasa diwaspadai di sebuah auto autentik ialah
bahwasanya kesempurnaan yang terdapat di aktor otentik tetap tidak dapat menutupi peluang
Pada KUHPer, keabsahan mengenai suatu perjanjian elektronik itu sendiri masih
mengacu pada syarat sahnya suatu perjanjian yaitu pada 1320 KUHPerdata. Berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 1320 BW tersebut, bisa dikonklusikan bahwasannya persyaratan sah
kontrak ialah terdapatnya persetujuan dari seluruh pihak yang tertuang dengan tegas
keinginan antara seseorang ataupun lebih dengan pihak lain. Kesepakatan maupun
persetujuan itu sendiri mesti dilangsungkan atas keinginan bebas, pada artian tidak
berisikan unsur pemaksaan, khilaf ataupun penipuan seperti yang tertuang di pasal
pihak pada kontrak, dengan demikian pada penyusunan sebuah e-contract mesti
diperlukan penandatanganan selaku bukti persetujuan yang pada perihal ini ialah
“belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua
41
Prayogo, Sedyo. "Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum
dalam Perjanjian." Pembaharuan Jurnal Hukum 3, no. 2 (2016): 280-287.
49
puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.” Jika pernikahan dibubarkan
dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, ataupun mata
c) Seorang wanita. Wanita pada sejumlah hal tertentu didasari regulasi undang-
sebuah e-contract supaya menjadi valid haruslah diikuti yang paling tidak berisikan
nama, alamat, warga negara, usia, gender serta pekerjaan seluruh pihak dengan jelas.
c. Berisikan sejumlah hal tertentu yang tertuang pada klausul, muatan dari klausul pada
sebuah kontrak bisa dimaknai selaku objek hukum dari kontrak. Seluruh hal yang
disepakati mesti sesuatu ataupun sebuah barang yang cukup jelas adanya. 12 Menurut
Pasal 1332 KUHPer, “hanya benda-benda yang dapat diperdagangkan saja yang dapat
menjadi valid, dengan demikian di penyusunan kontrak itu sendiri mesti dengan jelas
dipaparkan terkait isi ataupun pokok dari sejumlah hal yang hendak dijanjikan
diperkenankan pada sebuah kontrak ialah jika objek kesepakatan bermuatan hal-hal
asusila serta pula ketertiban umum supaya kontrak menjadi valid, dengan demikian
pada penyusunan kontrak mesti memperhatikan terkait sejumlah regulasi dan norma
42
Seran, Marcelo, and Anna Mariam Wahyun Setyowatit. "Penggunaan Klausula Eksonerasi
Dalam Perjanjian Dan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen." Hukum Jurnal Pro Justitiat 26,
no. 2 (2008).
51
52
BAB III
aktivitas kehidupan manusia pada beragam bidang yang dengan langsung sudah
salah satu negara yang berusaha dalam melakukan pemanfaatan kemajuan iptek untuk
kehidupan di Indonesia. IPTEK bisa menyentuh sejumlah sendi hidup manusia, salah satunya
ialah pada bidang jual beli. Sekarang sering ditemukan transaksi jual beli modern yang
elektronik. Dengan adanya tantangan pada kemajuan zaman Ini mesti memperoleh fokus
yang serius agar tidak muncul suatu permasalahan disebabkan Indonesia yang tidak siap pada
beragam aspek guna mengantisipasikan seluruh peluang yang dialami berhubungan dengan
Permasalahan tertentu tentunya akan timbul selaku pengaruh dari kemajuan zaman, salah satu
permasalahan yang timbul dari sistem perdagangan elektronik ialah terkait dengan validitas
dari sistem transaksi elektronik. Telah menjadi sebuah kebiasaan apabila tiap kontrak
transaksi jual beli tertuang pada suatu kesepakatan ataupun perjanjian. Berdasarkan pada teori
perdata secara umum, suatu transaksi ialah tindakan hukum yang mengikutkan 12 pihak yang
saling memerlukan pada konteks ini yang mempunyai nilai ekonomis tertentu, serta
direalisasi lewat suatu perikatan yang dinamai kontrak, dikarenakan kontrak memiliki fungsi
Dari aspek teoritis suatu kontrak dinilai valid secara hukum apabila sesuai dengan prasyarat
secara subjektif serta objektif. Apabila salah satu persyaratan tidak bisa terpenuhi oleh salah
satu pihak maka kontrak itu sendiri bisa dibatalkan ataupun bisa batal demi hukum.
pendeteksian terdapatnya prasyarat yang tidak terpenuhi di sistem kontrak jual beli yang
kesepakatan yang dibuat secara digital. Hal ini disebabkan pada proses membuat kontrak
konvensional seluruh pihak mungkin telah saling mengenal, berjumpa ataupun telah
mengetahui kecakapan hukum dari tiap-tiap pihak. Hal ini tidak serupa dengan proses
membuat kontrak digital tanpa, pada perihal ini seluruh pihak bisa jadi tidak berjumpa
ataupun tidak mengenali satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu hal tersebut menyulitkan
Comission on International Trade Law) yaitu suatu instansi yang mengemban tugas untuk
perumusan suatu regulasi hukum yakni UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce.
Untuk melengkapi Model Law on Electronic Commerce, UNCITRAL pula mempunyai suatu
regulasi terpenting di bidang hukum kontrak internasional terlebih lagi kontrak yang
melakukan penghilangan rintangan yang bisa jadi muncul sehubungan dengan pemakaian
Transaksi Elektronik merupakan bentuk nyata dari pemerintah Indonesia agar lebih
menanggapi pembangunan nasional selaku sebuah proses yang kontinyu serta selalu responsif
akan beragam dinamika yang dialami di masyarakat, terlebih lagi bagi pengisian kekosongan
hukum di persoalan kemajuan teknologi informasi. Akan tetapi pada UU IPS, dengan
substansial belum dengan tegas memberi aturan terkait validitas ataupun persyaratan sah
kontrak digital. Dalam UUD diterangkan dengan tegas hubungan antara uu ite dengan pasal
1320 KUHPer seperti yang dikatakan oleh Huala Adolf yang menyatakan bahwa “…
mengingat ketentuan pada KUHPer adalah undang-undang yang dijadikan dasar dalam
menentukan sah atau tidaknya sebuah perikatan khususnya jika perikatan tersebut dilakukan
baik antara para pihak yang berdomisili di Indonesia maupun para pihak yang tunduk dengan
KUH Perdata, terlebih dalam UU ITE tidak merumuskan dengan jelas bagaimana posisi
keterkaitan dengan Pasal 1320 KUHPer dan kurangnya infra struktur hukum yang
Transaksi elektronik selaku pelopor awal suatu kontrak elektronik ialah peristiwa
terbaru yang tidak bisa dilepaskan dari hukum dikarenakan transaksi elektronik pula
mempunyai aspek hukum perjanjian. Keberadaan sebuah kesepakatan yang terbuat diantara
para pihak merupakan salah satu poin penting pada perkembangan zaman. Beberapa pakar
hukum kontrak menyebutkan bahwasanya transaksi yang dilakukan melalui digital pada
dasarnya adalah transaksi yang mempunyai prinsip mendasar dengan transaksi konvensional.
Serupa dengan transaksi konvensional, transaksi digital pula meliputi tahap menawar serta
Agar tercapainya kesuksesan pada suatu transaksi tentunya seluruh pihak tidak luput mesti
memberi perhatian terhadap aspek kontrak yang menjadi selaku dasar supaya arah serta
tujuan dari suatu transaksi terkawal secara baik, bagi pengukuran apakah suatu kontrak itu
55
sendiri sudah terkawal serta memberi perlindungan terhadap transaksi secara baik tentunya
diperlukan suatu kontrak yang valid dihadapan hukum. Terdapat permasalahan kontak di
Indonesia hingga sekarang masih merujuk kepada sejumlah ketetapan KUHPer yang mana
sejumlah persyaratan sah dari suatu kesepakatan sebagaimana Pasal 1320 diperlukan 4
Tidak terpenuhinya salah satu prasyarat itu sendiri di atas memberi konsekuensi untuk
terlaksananya kesepakatan itu sendiri. Suatu kontrak bisa melakukan pembatalan apabila
prasyaratan terkait persetujuan serta kemampuan seluruh pihak tidak terpenuhi. Lalu suatu
kontrak dapat batal demi hukum apabila objek dari suatu kontrak tidak ada serta pula pemicu
kontrak dari kontrak itu sendiri sudah menjadi suatu hal yang tidak diperkenankan.
Dengan terdapatnya kesurupan pada transaksi yang dialami di Indonesia baik yang
hal tersebut ada suatu koneksi yaitu prasyarat dua kontrak itu sendiri seharusnya diikatkan
dengan prasyarat kontrak yang ada di Pasal 1320 KUHPer serta berkonsekuensi serupa baik
kontrak yang dilakukan konvensional atau kontrak yang dilakukan secara digital. Akan tetapi
apabila ditilik kepada uu ite tidak terdapat pasal yang menegaskan secara jelas terkait
kontrak elektronik yang terinspirasi ataupun implementasi dari prasyarat kontrak pada Pasal
1320 KUHPer.
Bagi pengukuran ada ataupun tidak perjanjian pada transaksi elektronik bisa
dilangsungkan melalui diaksesnya sebuah penawaran lewat internet ataupun bisa diartikan
56
selaku penerimaan maupun sepakat atas suatu relasi hukum. Seperti yang diterangkan oleh
Sukarni bahwasanya relasi hukum ataupun transaksi elektronik tertuang pada kontrak baku
dengan prinsip take it or leave it contract yang mana penawaran serta seluruh hal prasyarat
dari suatu kontrak tercantum pada proses penawaran serta apabila terdapat pihak yang
demikian bisa langsung melakukan pengaksesan serta penyetujuan atas penawaran itu sendiri.
Tidak dipersoalkan Bagaimana seluruh pihak sepakat atas transaksi itu sendiri dikarenakan
suatu perjanjian bisa saja dialami melalui terdapatnya keserupaan keinginan dari dua belah
pihak. Akan tetapi menjadi susah apabila pengukuran suatu kemampuannya yang akan
melangsungkan transaksi serta pula suatu sebab yang diperkenankan. Apabila perpaduan
pada teori persyaratan kontrak, seluruh pihak yang melakukan suatu perjanjian mesti mereka
yang memiliki kecakapan. Sementara pada uu ite pasal 2 mengatakan bahwasanya UU ITE
diberlakukan bagi tiap individu yang melaksanakan tindakan hukum. Kalimat tiap orang pada
ite dapat dimaknai seluruh ini hidup dengan tidak adanya pembatasan usia yang dapat
Pada realitanya seringkali anak-anak di bawah umur dapat secara baik menjalankan sistem
elektronik lewat internet. Maka hal ini sudah pasti berlawanan dengan isi pasal 1320 kuh per.
Kendati pada pengaturan pasal 2 UU ITE diperlakukan bagi tiap individu, namun tiap anak
masih di bawah umur dikarenakan seorang anak tersebut tentunya tidak bisa diberikan hak
serta kewajiban dan padanya tidak bisa dikatakan cakap untuk berbuat tindakan hukum, yang
mana perbuatan hukum itu sendiri bisa dipastikan mengikutkan sebuah objek yang bernilai
ekonomis tertentu. Sedangkan permasalahan kecakapan yang terdapat di subjek hukum ini
tidak dihiraukan dengan demikian memicu pembatalan relasi hukum atau kontrak itu sendiri.
Commerce, UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce adalah soft law yang
57
merangkul kehadiran transaksi elektronik lewat sejumlah pasal di dalamnya. Pada kemajuan
aturan transaksi elektronik timbul pula suatu konvensi saat 2005 yakni The convention on the
International Contracting tidak menitikberatkan adanya sebuah prasyarat formal tertentu bagi
sebuah kontrak. UNCITRAL serta konvensinya tidak mengharuskan sebuah bentuk tertentu
bagi sebuah kontrak, namun bagi pencegahan peluang tuntutan dari sejumlah negara anggota
terkait prasyarat suatu kontrak, dengan demikian UNCITRAL Model Law on Electronic
Commerce dalam Pasal 6, 7, dan 8 memberi prasyarat minimum suatu kontrak elektronik
yakni diantaranya:
(2) Mesti adanya penandatanganan, bahwasanya suatu kontrak elektronik sesuai dengan
apabila:
keinginan seluruh pihak yang tertuang pada informasi yang memuat pada
komunikasi elektronik
bisa dihandalkan selaku cara yang tepat serta cara itu sendiri sesuai dengan
fungsi selaku sebuah metode tertentu yang bisa dinyatakan dari metode tersebut,
pembuktian.
(3) Bentuk asli kontrak, yaitu persyaratan bentuk asli dari suatu kontrak internasional,
sebagai berikut:
58
muatan kontrak itu sendiri disusun berbentuk akhir berupa sebuah komunikasi
elektronik
ulang oleh seseorang yang ingin mengakses informasinya ada pada suatu
Commerce yang menjadi dasar hukum yang sangat penting, yaitu antara lain adalah sebagai
berikut:
sebuah data elektronik bisa sesuai dengan prasyarat tersebut, sebagaimana yang
daluarsa, bahwa yang merupakan alat bukti diantaranya adalah bukti tertulis maka jika
digunakan ketentuan ini data elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah”).
c. Pada perihal penandatanganan, sebuah tanda tangan elektronik ialah tanda tangan
yang valid.
Dalam Hukum perjanjian sendiri konsep elektronik diklasifikasi selaku perikatan disertai
ancaman hukum, dikarenakan apabila pelaku usahanya tidak menjalankan kewajiban mereka
dengan demikian konsumen memiliki hak untuk memperoleh penggantian rugi atas kerugian
59
yang dikarenakan oleh kelalaian pelaku bisnis dalam menjalankan kewajiban, begitu
sebagaimana yang ada pada kontrak elektronik itu sendiri. Kontrak elektronik itu tergolong
pada jenis kesepakatan tidak bernama, dikarenakan kontrak elektronik ini tidak tertuang pada
KUHPer. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya mengenai keabsahan suatu perjanjian yang
harus memenuhi pasal 1320 KUHPer pada pasal 9 uu ite menyatakan bahwasanya pelaku
bisnis yang melakukan penawaran produk lewat sistem elektronik harus mengakomodasi
informasi yang lengkap serta tepat berhubungan dengan persyarat kontrak, produsen serta
produk yang ditawarkannya, akan tetapi pada ketetapan ini tidak diterangkan lebih lanjut
mengenai persyaratan kontrak seperti apa yang dimaksud. Bahkan pada keterangannya tidak
dijelaskan keterangan lebih lanjut terkait hal tersebut. Pada Pasal 47 Peraturan Pemerintah
No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik tercantum
pengaturan dalam hal sayarat-syarat sahnya kontrak elektronik, yaitu adanya persetujuan
seluruh pihak, dilangsungkan oleh subjek hukum yang mampu ataupun memiliki kewenangan
berinterpretasi sebagaimana dengan ketetapan regulasi undang-undang, ada hal tertentu serta
objek transaksi yang tidak bisa berlawanan dengan regulasi perundang-undangan, kesusilaan
serta ketertiban umum. Yang menjadi poin terpenting yang tidak tercantum dengan jelas pada
ketetapan ini ialah terkait sebuah musabab yang diperkenankan ataupun iktikad baik, padahal
sebagaimana yang diketahui bahwasanya iktikad baik ialah hal terpenting pada sebuah
kesepakatan yang bisa memberi perlindungan terhadap seluruh pihak dari kondisi merugi.
Bahkan pada bagian penjelasan pada PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem
dan Transaksi Elektronik tidak menerangkan secara mendalam terkait persyaratan validitas
kontrak elektronik.
60
Hukum perikatan mengenal adanya 2 (dua) jenis akta yakni akta di bawah tangan dan
akta otentik43. Akta dibawah perjanjian lewat Media elektronik ialah perluasan dari konsepsi
kesepakatan perdagangan yang tertuang pada KUH perdata yang mempunyai landasan
hukum dagang konvensional. Keberadaan ketidaksamaan dari kesepakatan dagang itu sendiri
ialah bahwasanya kontrak jual beli tersebut ialah kontrak jual beli lewat internet yang
sifatnya terkhusus dikarenakan ada elemen peran yang mendominasi media serta seluruh alat
perjanjian elektronik ialah dokumentasi digital yang disimpan di suatu database komputer
yang apapun bisa menghilang ataupun musnah apabila terserang virus ataupun error yang
terjadi dikarenakan kekeliruan sebuah data yang dipicu oleh komputer itu sendiri.
Pemberlakuan kesepakatan yang dilakukan secara elektronik ini dilandasi oleh asas
kebebasan berkontrak yang dianut oleh ketetapan KUHPer. Asas kebebasan berkontrak telah
diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan bahwasanya "semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya".
Dari ketetapan ini maka bisa dipahami bahwasanya seluruh pihak dibebaskan dalam
penentuan wujud serta ketetapan yang diberlakukan dari kesepakatan yang dibuatnya
sepanjang tidak berlawanan dengan regulasi, kesusilaan serta ketertiban umum, terkait kapan
Alat bukti menurut penjabaran yang diuraikan oleh G.W Paton terdiri dari beberapa macam,
antara lain: “Alat bukti berdasarkan lisan yaitu perkataan ata uucapan yang disampaikan oleh
para saksi pada saat sidang pengadilan, alat bukti dokumen yaitu biasana berupa surat-surat
dokumen, dan alat bukti non-dokumen atau alat bukti meteriil berupa barang yang bersifat
fisik akan tetapi diluar barang dokumen. Contoh untuk meperjelas jenis alat bukti tersebut
yaitu apabila ada seorang saksi pembunuhan yang memberikan keterangan di pengadilan,
maka keteranagan tersebut adalah kesaksian secara lisan. Jika harus mengirimkan surat
pengiriman uang atas ancaman dari pelaku pemerasan untuk pembunuhan, maka hal tersebut
termasuk bukti dokumenter. Sedangkan pisau yang digunakan dalam upaya pembunuhan
termasuk sebagai bukti materil”. Secara garis besar, alat bukti menuurt G.W Paton terdiri
dari:
Secara mendasar jenis alat pembuktian yang diterangkan G.W paton tidak begitu berbeda
dengan pembuktian yang diatur pada regulasi undang-undang Indonesia di Pasal 1866
KUHPer, namun Pasal itu sendiri tidak membahas terkait pembuktian elektronik. Namun
dikarenakan kehadiran pembuktian elektronik yang masih menjadi sebuah konsepsi terbaru.
Dalam halnya pada perjanjian asuransi, pada zaman modern ini sudah banyak
perusahaan asuransi yang sudah menerapkan perjanjian asuransi yang dilakukan secara
62
elektronik. Ada sejumlah kriteria yang mesti terpenuhi pada pemberian dokumen elektronik
salah satu dari jenis alat pembuktian. Kriteria itu sendiri diantaranya:
bukti;
c. Alat bukti tersebut harus dihadirkan sebagai suatu fakta atau necessity;
d. Alat bukti yang diajukan berkaitan dengan fakta kasus atau relevance;
Apabila dipaparkan secara mendalam terkait kriteria elektronik itu sendiri serta dihubungkan
berisikan terkait regulasi tentang dokumentasi elektronik yang sudah tertuang pada
berbunyi:
sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan perluasan alat bukti yang sah sesuai
a. surat yang meurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta."
63
Bunyi Pasal 5 ayat (1), (2) dan (4) UU ITE dengan tegas sudah mengatakan bahwasanya
Yang dimaksud dari reliability adalah bahwasanya pada regulasi UU sudah memuat
terkait sejumlah tahap ataupun proses yang mesti dilewati supaya dokumentasi
elektronik yang hendak menjadi pembuktian bisa diterima pada proses persidangan,
Pada Pasal 5 ayat (3) UU ITE yang berbunyi “Informasi Elektronik dan/atau
realitas serta relevansi. Yakni pembuktian yang diberikan memiliki relevansi dengan
Dalam halnya pada perjanjian asuransi yang dilakukan secara digital, sudah banyak
perusahaan asuransi sudah melakukan digitaliasi terkait dengan perjanjian asuransi. Salah
satunya adalah perusahaan PT. Asuransi Allianz Life Indonesia yang dalam melakukan
perjanjian asuransi dengan calon nasabah sudah melakukan tanda tangan digital dan melalui
video. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah perjanjian yang dilakukan tersebut sudahkah
sah menurut hukum yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Suatu perjanjian asuransi terjadi apabila syarat sah dari suatu perjanjian sudah
terpenuhi, maka kedua belah pihak mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Adapun
dalam hal ini pihak-pihak yang ada di dalam perjanjian asuransi adalah pihak penanggung
(perusahaan asuransi) dan pihak tertanggung (peserta asuransi). Dalam hal ini, pihak
penanggung adalah pihak terhadapnya resiko tersebut dialihkan, yang seharusnya dipikul
sendiri oleh tertanggung karena menderita suatu kerugian atas suatu peristiwa yang tidak
64
tentu. Resiko ini hanya dialihkan kepada penanggung bila adanya premi yang diberikan oleh
tertanggung. Jadi, dengan adanya premi ini, pihak penanggung mengikatkan dirinya untuk
menanggung resiko yang seharusnya ditanggung oleh pihak tertanggung Pihak tertanggung
sebagai orang- orang yang berkepentingan mengadakan perjanjian asuransi adalah sebagai
pihak yang berkewajiban untuk membayar premi kepada penanggung, sekaligus atau
berangsur-angsur, dengan tujuan akan mendapat penggantian atas kerugian yang mungkin
akan dideritanya akibat dari suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi.
ASURANSI DIGITAL
Terkait dengan tanda tangan elektronik, merujuk pada Pasal 5 ayat (1) UU ITE dokumen
elektronik merupakan alat bukti yang sah, hal ini adalah perluasan dari alat bukti yang sah
berdasarkan pada Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan pada Pasal 11 ayat
(1) UU ITE jo Pasal 53 Ayat (2) PP No. 82 Tahun 2012, tanda tangan digital memiliki
kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah apabila sudah memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
b. Data pembuatan tanda tangan elektonik pada saat proses penandatangan elektronik
diketahui
65
menandatanganinya
Dari penjelasan tersebut, penerapan transaksi elektronik terlebih lagi di korporasi asuransi
sudah diimplementasi selama penerbitan dokumen digital tersebut sudah lewat serangkaian
proses sejalan dengan kebijakan internal korporasi yang sudah dilakukan pada sistem serta
dijamin keamanannya.
Berdasarkan pemaparan dari Arionti Mukti Wibowo, suatu tanda tangan elektronik
pada suatu dokumen agar memiliki kekuatan pembuktian yang kuat maka harus
mendaftarkan tanda tangan elektronik tersebut pada badan Certification Authority (CA).
Tanda tangan digital yag telah memperoleh sertifikat dari lembaga CA akan lebih terjamin
otentikasi dari sebuah dokumen, dan tanda tangan digital akan sangat sulit untuk dipalsukan .
2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dalam Layanan Keuangan
digital.
suatu transaski yang didahului dengan adanya suatu transaksi yang didahukui dengan
perjanjian, yang dimana hal ini yang menjadi dasar adalah pada Pasal 1320 KUHPer terkait
dengan syarat sahnya dari suatu perjanjian. Namun pada ketentuan Pasal 1320 KUHPer tidak
mensyaratkan bentuk dan jenis media yang digunakan dalam bertransaksi. Oleh karena itu
apapun bentuk dan media dari kesepakatan dari suatu kesepakatan tersebut yang dalam hal ini
merupakan trnasaksi elektronik yang ditandatngani dengan tanda tangan elektronik tetap
berlaku dan mengikat para pihak yang terikat dalam perjanjian dan merupakan undang-
66
undang bagi para pihak. Dikarenakan dokumen elektronik yang disertai dengan tanda tangan
elektronik yang esensinya adalah mengenai perjanjian, atau dengan penfasiran lain perjanjian
elektronik yang ditanda tangani dengan tanda tangan elektronik, maka jika dikaitkan
berdasarkan pada Pasal 1333KUHPer bahwa pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang
paling sedikit ditentukan jenisnya, Tidaklah menjadi menjadi halangan bahwa jumlah
kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudia dapat ditentukan atau dihitung.
Berlakunya perjanjian digital juga berasal dari asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh
ktentuan KUHPer. Asas kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer
yang meyebutkan "semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi yang membuatnya.” Dari Pasal tersebut dapat dipahami bahwa para pihak dapat seara
bebas untuk menentukan bentuk ketentuan yang berlaku dari perjanjian yang dibuat selama
tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Pada pasal
1458 KUHPer juga dijelaskan bahwa jual beli telah terjadi jika terjadi kesepakatan antara
penjual dan pembeli mengenai barang dan harga, walaupun uang pembayaran belum
diserahkan. Pada perjanjian jual beli konvensional penerimaan dari suatu penawaran yang
menandakan terjadinya suatu kesepakatan dapat dilakukan secara lisan maupun secara
tertulis, akan tetapi dalam transaksi digital kesepakatan ini tidak disampaikan secara
Terkait perjanjian asuransi yang dilakukan secara video, pengaturan sudah ada dalam dalam
peraturan terbaru yaitu Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 5/
SEOJK.05/ 2022 Tentang Produk Asuransi Yang Dikaitkan engan Investasi (Selantunya
disebut "SEOJK.05/ 2022"). Dalam bab V bagian A, Pada Nomor 6 dijelaskan bahwa Dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas
harus dilakukan dokumentasi dalam bentuk rekaman video dan/atau audio dengan baik."
Dari penjelasan diatas dapat dimengerti bahwa dalam pemasaran dan perjanjian antara
perusahaan asuransi dengan calon tertanggung dapat dilakukan melalui video. Terkait dengan
kerahasiaannya telah diatur dalam Bab 5 bagian A No. 7 SEOJK.05/ 2022 yang menjelaskan
"bahwa Dokumentasi dalam bentuk rekaman video dan/atau audio sebagaimana dimaksud
pada angka 6 harus diverifikasi, disimpan, dan dipelihara sesuai dengan kebijakan
Perusahaan agar dokumentasi tersebut dapat digunakan sebagai bukti dalam hal terjadi
perselisihan."
Perjanjian asuransi yang dilakukan dengan video merupakan terobosan baru dalam
dunia perasuransian. Terobosan ini merupakan hasil dari inovasi akibat adanya pandemi
COVID 19 yang membatasi orang untuk saling bertatap muka. Namun terkait dengan status
keperdataan dari para pihak yang melakukan perjanjian harus menjadi perhatian khusus. Hal
ini dikarenakan tidak saling bertemunya antar pihak dalam melakukan perjanjian membuat
status keperdataan dari seseorang sulit untuk diawasi. Namun selama para pihak sudah
memenuhi ketentuan 1320 KUHPer, maka perjanjian yang dilakukan oleh para pihak sudah
sah secara hukum. Dalam perjanjian asuransi yang dilakukan secara elektronik bukan hanya
serta merta hanya perekaman video saja, namun dalam melakukan perjanjian calon
tertanggung harus sudah membaca dari ilsutrasi dari produk asuransi dan menandatangani
secara digital suatu dokumen. setelah seluruh proses sudah dijalankan oleh kedua belah
68
pihak, maka rekaman video yang sudah direkam sebelumnya akan diperiksa oleh pihak
Dalam hal perjanjian yang dibuat secara digital, perlindungan yang antar pihak harus
diperhatikan. Para pihak yang terlibat dalam pembuatan kontrak elektronik biasanya adalah
pelaku usaha dan konsumen. Sedangkan Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai pengawas
waktu dan biaya, pelaku usaha biasanya menggunakan klausula baku dalam pembuatan
kontrak digital. Klausula baku selalu ditentukan oleh pelaku usaha yang kemudian
ditawarkan ditawarkan pada konsumen dan konsumen hanya memiliki 2 (dua) pilihan, yaitu
menyetujui seluruh klausula tersebut atau tidak sama sekali. Hal in jelas membuat posisi
konsumen menjadi sangat lemah, terutama dalam transaksi digital. Pada pasal 18 Undang-
Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan bahwa klausula-
klausula baku yang dilarang untuk dicantumkan dalam perjanjian baku, salah satu klausula
baku yang dilarang adalah pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen.
1. PERJANJIAN BAKU
Perjanjian baku itu sendiri disebabkan karena keadaan sosial ekonomi misalnya perusahaan
besar, dan perusahaan pemerintah mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi dan untuk
kepentingan mereka, ditentukan dengan syarat-syarat secara sepihak. Pada umumnya pihak
ketidaktahuannya, dan hanya menerima apa yang diberikan. Pemakaian perjanjian baku ini
masyarakat, terlebih dengan mengingat bahwa masih awamnya masyarakat terhadap aspek
jawab terhadap isinya. Tanda tangan pada formulir perjanjian baku membangkitkan
perjanjian. Lalu menurut Hondius dengan definisinya yaitu perjanjian baku sebagai
sebuah konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan
bentuknya.44 Dari definisi tersebut dapat kita lihat bahwa suatu perjanjian baku adalah
suatu perjanjian yang memuat klausula-klausula yang sudah dibakukan, dan dicetak
dalam bentuk formulir dengan jumlah yang banyak serta dipergunakan untuk semua
perjanjian yang sama bentuknya. Banyak ahli hukum menilai perjanjian baku/klausula
baku sebagai perjanjian yang tidak sah, cacat dan bertentangan dengan asas kebebasan
dunia bisnis karena para pengusaha akan memperoleh efisiensi dalam pengeluaran
biaya dan waktu, selain itu klausula baku berlaku di masyarakat karena kebiasaan.
antara lain adalah sebagai berikut dalam bentuk perjanjian tertulis jadi bentuk
perjanjian meliputi seluruh naskah perjanjian secara keseluruhan dan dokumen bukti
meliputi model, rumusan, dan ukuran format ini dibakukan sehingga tidak dapat
44
Op.Cit, Aldo Renathan, hlm 32.
70
diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Model perjanjian
dapat berupa blanko naskah perjanjian lengkap atau blangko formulir yang dilampiri
dengan naskah syarat-syarat perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat
oleh pengusaha atau organisasi pengusaha, konsumen hanya menerima atau menolak
menekankan bahwa perjanjian ini telah sesuai dengan asas kebebasan berkontrak
yakni dengan terpenuhinya kebebasan dalam aspek formil maka kebebasan para pihak
untuk membuat atau tidak membuat perjanjian. Berdasarkan pasal 1320 KUHPer
bahwa adanya kesepakan para pihak dalam melakukan perjanjian merupakan salah
satu syarat yang harus ada berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian. suatu perjanjian
harus terdapat kata “setuju” dari para pihak dalam melakukan hubungan kontraktual
dan hal ini tercermin pada konsep take it or leave it yang diartikan dalam bahasa
Indonesia adalah “ambil atau tinggalkan”, maksud dari arti ambil atau tinggalkan
yaitu menyetujui atau menolak perjanjian. Jadi konsep take it or leave it merupakan
suatu konsep dasar dalam perjanjian yakni berkaitan dengan menyetujui atau menolak
perjanjian karena perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak para pihak untuk
mengikatkan diri secara sukarela guna memenuhi suatu prestasi yang melahirkan hak
dan kewajiban. Disini pihak yang membuat klausula baku memberikan pilihan kepada
pihak lain yang akan mengikatkan diri untuk menerima seluruh isi perjanjian
45
Ibid, hlm. 34.
71
termasuk yang merugikan pihak terebut atau menolak seluruh isi perjanjian termasuk
yang menguntungkan pihak tersebut. Konsep ini dalam perjanjian baku merupakan
salah satu opsi yang diberikan oleh pihak yang lebih dominan kedudukannya kepada
Sehingga prinsip ini bersifat alternatif. Jika pihak lain memilih alternatif take it, maka
perjanjian yang telah dituangkan dalam formulir baku yang disodorkan kepadanya.
dirinya pada perjanjian tersebut. Take it or leave it dalam artiannya hanya ada dua
pilihan yaitu sepakat membuat perjanjian atau tidak sepakat membuat perjanjian.46
Fungsi dari perjanjian baku sangatlah penting dalam dunia usaha dan
perdagangan modern. Dengan maksud untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya-
biaya transaksi, juga agar dapat memusatkan perhatian pada hal-hal khusus yang lebih
Didalam suatu perjanjian baku itu sendiri, kerap kali pihak yang membuat
pihak debitur. Menurut Sutan Remy Sjahdeni, keberadaan klausula eksonerasi adalah
bertujuan membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap
46
Fahdelika Mahendar dan Christiana Tri Budhayati, 2019, KONSEP TAKE IT OR LEAVE IT DALAM PERJANJIAN
BAKU SESUAI DENGAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK, Volume 2 Nomor 2, Hal 9, diakses dari
https://ejournal.uksw.edu/alethea/article/download/3568/1459/ (pada 28 Juni 2022 pukul 20.43)
72
gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan
Klausula Eksonerasi selalu bersifat berat sebelah, yang hampir dapat dipastikan akan
menguntungkan pihak yang kedudukannya lebih kuat daripada pihak lainnya serta
dalam berkontrak, itikad baik (good faith) dalam berkontrak dan posisi tawar yang
pihak yang membentuk kontrak. Dalam hal ini para pihak dituntut untuk mampu
kontrak, kemampuan para pihak untuk selalu memperhitungkan segala resiko yang
dapat timbul dari setiap syarat atau kausula yang dirancang dalam kontrak. Selain itu
sehingga memperkecil ruang resiko dan pada akhirnya dapat mewujudkan kontrak
yang bersih, terbuka dan adil. Sebab kedua yaitu itikad baik yang berkaitan dengan
kejujuran dan kualitas mental para pihak. Para pihak yang memiliki itikad baik dan
itikad buruk akan sukar untuk ditentukan. Penyimpangan terhadap prinsip hukum
kontrak sebagaimana halnya perilaku yang tidak jujur sulit untuk dihapuskan. Maka
hal ini dapat diantisipasi untuk mencegah dampak buruk dengan kecerdasan serta
kecermatan dalam berkontrak. Sebab ketiga adalah adanya faktor posisi tawar yang
tidak seimbang, maksudnya bahwa posisi pihak-pihak yang melakukan kontrak adalah
tidak seimbang, memiliki kedudukan tidak sejajar, sehingga berdampak pada posisi
tawar yang lemah pada pihak lainnya. Faktor ekonomi juga merupakan salah satu
pemicu munculnya posisi tawar yang lemah yang sering dimanfaatkan oleh mereka
73
yang berposisi lebih kuat. Faktor-faktor ini dapat memberikan peluang dan dapat
dimanfaatkan oleh pihak yang telah memiliki niat tidak baik untuk melakukan
tanggung jawab dilarang pemakaiannya namun sebenarnya dalam KUHPer telah ada
pengaturan untuk klausula yang tertera dalam pasal 1493-1512 KUHPer.48 Klausula
eksonerasi ini disebut memberatkan salah satu pihak. Sehingga biasanaya digunakan
dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik. Eksonerasi terhadap kerugian yang
Dalam prinsip kebebasan berkontrak memberikan batasan bahwa para pihak harus
terlibat dan saling mengetahui perjanjian yang akan mengikat mereka satu sama lain.
Dalam Pasal 1337 KUHPer dikatakan bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan
Pasal 1320 KUHPer mengenai syarat sahnya perjanjian. Terhadap klausula eksonerasi
K/Pdt/1985 tanggal 4 Maret 1987 terkait pinjaman uang dan barang jaminan yang
keadaan memaksa yang mengakibatkan kerugian bukan tanggung jawab para pihak
47
Sarjana I Made, 2016, Pembatasan Klausula Eksonerasi, Jurnal Notariil Vol. 1 No. 1, November 2016, 109-
127, Hal 112.Diakses dari
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_dir/cfc171a5cad160bba3c9afd5809c5aa6.pdf, (pada 28 Juni
2022 pukul 10.13)
48
Aldo Renathan, 2009, Tinjauan Yuridis Terhadap Klausula Baku Sebagai Suatu Perjanjian Dilihat Dari Sisi
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UUPK, Depok Hal 60. Diakses dari
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-8/20323066-S21505-Aldo%20Renathan.pdf (pada 28 Juni 2022 pukul
10.35)
49
Ibid.
50
Op.Cit, I Made Sarjana, hlm 117-118.
74
tetapi dapat dibebankan kepada konsumen sehingga pengusaha dibebaskan dari beban
tanggung jawab.51 Selain itu juga dapat karena kesalahan pelaku usaha yang
merugikan pihak kedua dalam perjanjian, serta dapat terjadi karena kesalahan
klausula eksonerasi merupakan salah satu bentuk klausula baku yang dilarang oleh
klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian pada umumnya ditemukan
dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang sangat merugikan
konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen,
karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya klausula
tersebut menjadi beban konsumen. Patut disadari bahwa meskipun terdapat asas
kebebasan berkontrak, namun salah satu syarat sahnya perjanjian seperti yang
tertuang pada Pasal 1320 KUHPer adalah suatu sebab yang halal. Selanjutnya Pasal
kesusilaan baik atau ketertiban umum. Secara substantif, Pasal 1337 dan Pasal 1339
KUHPer memuat asas-asas hukum yang dapat digunakan sebagai persyaratan materiil
(substantif) untuk menetukan sahnya suatu kontrak baku yang memuat klausula yang
secara tidak wajar dan tidak seimbang dapat merugikan satu pihak dalam kontrak.
Pasal 1337 KUHPer memuat ketentuan limitative yang melarang suatu kontrak
51
Op.Cit, Aldo Renathan, hlm 47
52
Ibid, hlm. 48.
75
dalam perjanjian baku tersebut yang sangat memberatkan salah satu pihak dalam
penggunaannya, tetapi dari berbagai keuntungan yang ada tersebut, perjanjian baku
ketidakadilan sebagai akibat dari kedudukan atau posisi tawar-menawar yang tidak
seimbang di antara para pihak.54 Klausula baku menjadi tidak patut ketika kedudukan
para pihak menjadi tidak seimbang karena pada dasarnya, suatu perjanjian adalah sah
apabila menganut asas konsensualisme (disepakati oleh kedua belah pihak) dan
mengikat kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut sebagai undang-
Oleh karena itu, klausula baku yang mengandung klausula eksonerasi dilarang
oleh hukum. Patut disadari bahwa meskipun terdapat asas kebebasan berkontrak,
namun salah satu syarat sahnya perjanjian seperti yang tertuang pada Pasal 1320
KUHPer adalah suatu sebab yang halal. Selanjutnya Pasal 1337 KUHPer menyatakan
bahwa suatu sebab (dilakukannya perjanjian) adalah terlarang, apabila dilarang oleh
53
M. Naufal Fileindi, 2014, Keabsahan Perjanjian yang Mengandung Klausula Eksonerasi, pada
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52b66e4e181a5/keabsahan-perjanjian-yang-
mengandung-klausula-eksonerasi/ (diakses pada 28 Juni 2022, Pukul 12.37 WIB).
54
Jein Stevany Manumpil, 2016, Klausula Eksonerasi Dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Hal
37, https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/download/11547/11148 (Diakses pada 28 Juni
2022 Pukul 10.16)
76
umum.55 Sehubungan dengan klausula baku dalam kontrak yang batal demi hukum
menurut Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, maka berdasarkan
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, para pelaku usaha wajib
dengan undang-undang.56
KUHPer bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-
undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban
perjanjian yang terdapat dalam 1320 KUHPer. Selanjutnya dalam pasal 1339 KUHPer
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian,
walaupun dua pihak atau lebih mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, para pihak
tidak hanya harus memperhatikan tersebut namun juga harus memperhatikan hal-hal
55
Ibid Hal 38
56
Ibid
57
Sarjana I Made, 2016 halaman 7 diakses dari
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_dir/cfc171a5cad160bba3c9afd5809c5aa6.pdf(diakses pada
28 Juni 2022 pada pukul 10.27)
77
tanggung jawab pelaku usaha; pelaku usaha menolak penyerahan kembali barang
kembali uang yang dibayarkan; menyatakan pemberian kuasa kepada pelaku usaha
untuk segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran; dan lain-lain.58 Klausula baku dalam isi pasal tersebut
kedudukan antara konsumen dengan pelaku usaha. Hal tersebut dikarenakan terjadi
berada dalam posisi yang membutuhkan sehingga memungkinkan pelaku usaha untuk
merugikan konsumen. Terkait dengan perjanjian asuransi, pada Pasal 251 KUHD
menyebutkan bahwasanya “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau
dilakukannya dengan itikad baik, yang sifat sedemikian rupa, sehingga perjanjian itu
tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila
penanggung mengetahui keadaaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat
pertanggungan itu batal". dari Pasal tersebut dapat dipahami bahwa dalam suatu akta
perjanjian asuransi baik yang dilakukan secara digital harulah dibuat secara jujur
perjanjian yaitu timbulnya pihak yang merasa dirugikan. Klausula eksonerasi dapat
58
Lih. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
78
dikatakan perbuatan melawan hukum jika terpenuhi syarat seperti yang tertuang pada
1365 KUHPer yaitu “Tiap Perbuatan pelanggaran hukum, yang membawa kerugian
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”59 artinya dapat disimpulkan bahwa dapat
dikatakan melanggar hukum jika suatu hal tertentu dilakukan oleh salah satu pihak
sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain. Akibat lain dari adanya klausula
eksonerasi yaitu timbulnya wanprestasi. Hal tersebut dikarenakan salah satu pihak
kepada pengadilan selaku pihak berwenang untuk melakukan diskresi. Hakim dituntut
hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip perjanjian. Hal tersebut dikarenakan
tidak terlaksananya syarat sahnya perjanjian dalam 1320 KUHPer sehingga dalam hal
ini hakim dapat memutus sengketa tersebut dengan batal demi hukum dan perjanjian
Suatu perjanjian asuransi yang dibuat secara sah akan menimbulkan akibat-
akibat hukum sebagai berikut: Berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya (Pasal 1338 Ayat (1) KUHPer), asas janji itu mengikat; Suatu perjanjian
hanya berlaku antara pihak yang membuatnya (Pasal 1340 KUHPer) dan perjanjian
dapat mengikat pihak ketiga apabila telah diperjanjikan sebelumnya (Pasal 1317
KUHPer); Konsekuensinya para pihak dalam perjanjian tidak dapat secara sepihak
menarik diri akibat-akibat perjanjian yang dibuat oleh mereka (Pasal 1338 Ayat (2)
KUHPer); Perjanjian dapat diakhiri secara sepihak jika ada alasan-alasan yang oleh
59
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
79
Perdata), yaitu seperti yang termuat dalam Pasal 1571, Pasal 1572, Pasal 1649, Pasal
1813 KUHPer.
Janji untuk kepentingan pihak ketiga hanya mungkin dilakukan dalam 2 (dua)
hal yaitu jika seseorang memberi sesuatu kepada orang lain dan jika seseorang dalam
perjanjian membuat suatu janji untuk kepentingan sendiri; Dalam pelaksanaan suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik Pasal 1338 Ayat (3) KUHPer, jadi
itikad baik harus ada sesudah perjanjian itu ada; Selain mengikat untuk hal-hal yang
diperjanjikan juga mengikat segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan
oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang Pasal 1339 KUH Perdata serta hal-hal
dalam perjanjian (Pasal 1347 KUHPer); Pada saat menentukan isi perjanjian harus
itu harus sesuai dengan sifat perjanjian yang mau ditambah (Pasal 1339 KUH Per);
kepada para pihak yang membuat perjanjian tidak diberikan kesempatan untuk
Undang-undang yang bersifat menambah atau mengatur berarti kepada para pihak
disingkirkan, tetapi jika para pihak tinggal diam, maka secara otomatis ketentuan
dalam membuat perjanjian, maka seluruh atau bagian tertentu dari isi perjanjian yang
Akibat hukum dari perjanjian jual beli yang menggunakan klausula eksonerasi
adalah batal demi hukum, karena pencantuman klausula eksonerasi pada perjanjian
jual beli merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab pelaku usaha terhadap
jual beli sebagaimana diatur pada ketentuan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor
sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di
klausula eksonerasi pada perjanjian jual beli berdasarkan Pasal 52 huruf a Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan cara melalui mediasi atau arbitrase
rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulang
kembali kerugian yang diderita oleh konsumen”. Berdasarkan hal tersebut maka
dibuat alternatif penyelesaian sengketa konsumen. Hal ini terdapat dalam Pasal 49
60
Hellen Rumiris, 2018, KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN KREDIT ANTARA PT. MANDIRI PERSERO
(TBK) SEMARANG DENGAN WIBOWO S.E. DAN SITI AISYAH, Vol 1 No 2, Hal 13 diakses dari
https://journal.untar.ac.id/index.php/adigama/article/download/2848/1747 (pada 29 Juni 2022 pukul 12.33)
81
litigasi).” 61
suatu akta perjanjian asuransi untuk tidak mengandung kata, frasa, atau kalimat yang
dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang ditutup, kewajiban
dalam akta perjanjian asuransi dilarang untuk mencantumkan kata, frasa, atau kalimat
akta perjanjian yang mana dapat ditafsirkan bahwa adanya pembatasan hukum bagi
para pihak dalam hal terjadi perselisihan mengenai ketentuan dari akta perjanjian
asuransi. Meski Perjanjian Asuransi merupakan perjanjian baku, suatu akta perjanjian
asuransi wajib ditulis dengan jelas sehingga dapat dibaca dengan mudah dan
dimengerti oleh Tertanggung. Namun apabila dalam suatu akta perjanjian asuransi
tersebut harus ditulis dengan huruf tebal atau miring sehingga dapat dengan mudah
terdapat pada Pasal 22 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/ POJK.05/2015
tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi. Selain itu, Pada POJK 23/
61
Bure Teguh Satria,2014, EKSISTENSI DAN AKIBAT HUKUM KLAUSULA EKSENORASI, Vol.II/No. 3, diakses dari
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/viewFile/6157/5683 (pada 18 November 2020
pukul 12.37)
82
haruslah menyampaikan informasi yang akurat, jelas, jujur, dan tidak menyesatkan
asuransi (Pasal 52). Oleh karena itu dengan pasal tersbut maka perusahaan asuransi
merupakan sebuah perjanjian baku yang mana salah satu pihak tidak dapat melakukan
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
berikut:
Keabsahan mengenai perjanjian asuransi yang dilakukan secara digital telah diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang pada Pasal 1320 KUHPer
yang dilakukan secara konvensional syarat sahnya suatu perjanjian harus ditaati
oleh para pihak yang melakukan perjanjian asuransi. Pada pasal 1 angka 17
elektronik adalah mengenai tanda tangan elektronik yang mana harus memenuhi
Pasal 11 UU ITE.
84
2. Perjanjian asuransi merupakan suatu perjanjian baku yang mana tidak ada proses
tawar menawar antar para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam hal ini
Calon Tertannggung hanya menyetujui atau tidak dari suatu perjanjian, atau dapat
dikenal dengan take it or leave it contract. Sebuah perjanjian baku itu dalam
salah satu pihak yang mengadakan suatu perjanjian. Sehubungan dengan klausula
baku dalam kontrak yang batal demi hukum menurut Pasal 18 ayat (3) Undang-
berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, para pelaku
mencatumkan suatu ketentuan dalam akta perjanjian yang mana dapat ditafsirkan
bahwa adanya pembatasan hukum bagi para pihak dalam hal terjadi perselisihan
merupakan perjanjian baku, suatu akta perjanjian asuransi wajib ditulis dengan
jelas sehingga dapat dibaca dengan mudah dan dimengerti oleh Tertanggung.
Namun apabila dalam suatu akta perjanjian asuransi terdapat rumusan yang dapat
huruf tebal atau miring sehingga dapat dengan mudah diketahui adanya
B. SARAN
hal syarat sahnya suatu perjanjian harus diperhatikan dan harus sesuai dengan
ketentuan 1320 KUHPer. Hal ini dikarenakan dalam perjanjian asuransi yang
penggunaan tanda tangan elektronik dalam akta perjanjian asuransi. Apabila tidak
ada klausul terkait tanda tangan digital maka akan terjadi kekosongan hukum yang
menyebabkan itikad buruk yang memenafaatkan perkemban gan zaman. Selain itu
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Budiono, Herlien. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan. Citra Aditya: Bandung, 2020.
Kansil, C.S.T. Kamus Istilah Aneka Hukum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 1999.
Miru, Ahmadi. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. Jakarta: PT.Raja
GrafindoPersada, 2007.
Mona. Kitab Undang-Undang hukum Dagang. Yogyakarta: Pustaka Mahardika, 2014.
Mulhadi. Dasar-Dasar Hukum Asuransi. Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2017.
Moechthar, Oemar. Teknik Pembuatan Akta Badan Hukum dan Badan Usaha di
Indonesia, Surabaya: Airlangga University Press, 2019.
Muhammad, Abdulkadir. Pengantar Hukum pertanggungan. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1994.
Pamungkasih, Rini. 101 Draft Surat Perjanjian dan Kontrak. Yogyakarta: Gradien
Mediatama, 2009.
Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta,
2004.
Salim, Abbas. Asuransi dan Manajemen Risiko. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Sastrawidjaja, Man Suparman. Aspek-Asek Hukum Asiuransi dan Surat Berharga.
Bandung: Alumnu, 2003.
Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan Kebijakan moneter dan Perbankan.
Depok: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005.
Siombo, Marhaeni Ria. Lembaga Pembiayaan dalam Perspektif Hukum, Jakarta: Penerbit
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 2018.
Subekti, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980.
Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya
Paramita, 2003.
Sutedi, Adrian. Buku Pintar Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014.
87
Wibowo, Arrianto Mukti, et. al. Naskah Akademik Kerangka Hukum Indonesia untuk
Tanda Tangan Elektronik dan Transaksi Elektronik. Jakarta: Lembaga Kajian Hukum
Teknologi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001.
JURNAL
Hartana, “Hukum Perjanjian (Dalam Perspektif Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara)”. Komunikasi Hukum, Vol. 2, No. 2, (Agustus 2016). Hlm.
149.
Mahendar, Fahdelika dan Christiana Tri Budhayati. “Konsep Take It or Leave It Dalam
Perjanjian Baku Sesuai Dengan Asas Kebebasan Berkontrak”. Jurnal Ilmu Hukum,
Vol. 2, No. 2 (2019). Hlm 9.
Makarim, Edmon. “Keautentikan Dokumen Publik Elektronik Dalam Administrasi
Pemerintahan dan Pelayanan Publik”. Hukum dan Pembangunan, Vol. 45, No. 4
(Oktober-Desember 2015). Hlm. 555.
Manumpil, Jein Stevany. “Klausula Eksonerasi Dalam Hukum Perlindungan Konsumen
di Indonesia”. Lex Privatum, Vol. 4, No. 5 (2016). Hlm 37.
Prananingrum, Dyah Hapsari. “Telaah Terhadap Esensi Subjek Hukum: Manusia dan
Badan Hukum”. Refleksi Hukum, Vol 8, No. 1 (2014). hlm 78.
Prasnowo, Aryo Dwi. “Implementasi Asas Keseimbangan Bagi Para Pihak dalam
Perjanjian Baku”. Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 8,
No. 1 (Mei 2019). Hlm. 64.
Prayogo, Sedyo. "Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum
dalam Perjanjian." Pembaharuan Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 2 (2016). Hlm. 280-287.
Rato, Dominikus. “Legalitas Kontrak Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif
Hukum Perdata”. Syntax Literate, Vol.7, No. 3 (Maret 2022). Hlm 1463.
Rumiris, Hellen. “Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Kredit Antara Pt. Mandiri
Persero (Tbk) Semarang Dengan Wibowo S.E. Dan Siti Aisyah”. Jurnal Hukum
Adigama, Vol. 1, No. 2 (2018). Hlm 13.
Satria, Bure Teguh. “Eksistensi dan Akibat Hukum Klausula Eksenorasi”. Lex Privatum,
Vol. 2, No. 3 (2014). Hlm 39 – 49.
INTERNET
Ratriani, Virdita. “Simak pengertian Asuransi Jiwa dan Jenis-Jenis Sesuai Kebutuhan”
dalam https://keuangan.kontan.co.id/news/simak-pengertian-asuransi-jiwa-dan-jenis-
jenisnya-sesuai-kebutuhan, ditelusuri 23 September 2021.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, LN Nomor 337
TLN Nomor 5618.
SKRIPSI
Renathan, Aldo. “Tinjauan Yuridis Terhadap Klausula Baku Sebagai Suatu Perjanjian
Dilihat Dari Sisi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UUPK”. Depok: Skripsi,
2009.
LAINNYA
Kamus Besar Bahasa Indonesia
89