Anda di halaman 1dari 100

KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN ASURANSI YANG

DILAKUKAN SECARA DIGITAL


SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH :
Nama Mahasiswa : Gratianus Agustinus Adityo Widiapratama
NIM : 2018 – 0551 – 0035
Program Peminatan: Hukum Perdata

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
2022
PERSETUJUAN SELESAI PENULISAN HUKUM

Kontrak Baku Dalam Perjanjian Asuransi Yang


Dilakukan Secara Digital

Diajukan oleh :

Nama Mahasiswa : Gratianus Agustinus Adityo Widiapratama

NIM : 2018-0551-0035

Peminatan : Hukum Perdata

Telah disetujui Dosen Pembimbing


di Jakarta, 15 Juli 2022

(Dr. Marhaeni Ria Siombo, SH, MSi)


Pengesahan Skripsi

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji Ujian Komprehensif


Fakultas Hukum Unika Atma Jaya pada tanggal 27 Juli 2022
Dan dinyatakan LULUS.

Tim Penguji

Ketua

(Dra. Lidwina Maria T. S.H., Sp.N)

Penguji I Penguji II/ Pembimbing Skripsi

(Dr. Samuel M.P. Hutabarat, SH., M.Hum ) (Dr. Marhaeni Ria Siombo, SH., M.Si)

Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Unika Atma Jaya

( Dr. iur. Asmin Fransiska, S.H., LL.M. )


TERJEMAHAN JUDUL SKRIPSI DALAM
BAHASA INGGRIS
(formulir ini diisi dengan huruf cetak yang jelas/diketik)

JUDUL BAHASA INDONESIA


Kontrak Baku Dalam Perjanjian Asuransi Yang Dilakukan
Secara Digital

JUDUL BAHASA INGGRIS

Standard Contracts in Digital Insurance Agreements

Jakarta, 15 Juli 2022

Mengetahui,
Mahasiswa,
Pembimbing Skripsi,

Gratianus Agustinus Adittyo Widiapratama Dr.


Marhaeni Ria Siombo, SH, MSi
(2018-0551-0035)
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
ABSTRAK

(A) Gratianus Agustinus Adityo Widiapratama (2018-0551-0035)

(B) KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN ASURANSI YANG DILAKUKAN

SECARA DIGITAL

(C) 41 (Buku, Jurnal. Peraturan Perundang-Undangan, Internet 1980-2022)

(D) Perjanjian, Asuransi, Kontrak Baku, Kontrak Digital

(E) Asuransi merupakan pertanggungan pengalihan resiko yang sudah ada sejak sebelum
Indonesia merdeka. Asuransi di Indonesia merupakan suatu perjanjian yang dilakukan
oleh Tertanggung dengan suatu Perusahaan Asuransi. Dahulu perjanjian asuransi
berbentuk perjanjian baku yang konvensional dimana untuk membuat perjanjian
tersebut para pihak harus bertemu secara langsung. Seiring perkembangan zaman,
Perjanjian asuransi konvensional berkembang menjadi perjanjian asuransi yang
digital. perjanjian asuransi sendiri mengandung klausula eksonerasi didalamnya yang
membuat pengawasan terhadap perjanjian asuransi yang dilakukan secara digital sulit
untuk dilakukan. Keabsahan dan pemberlakuan perjanjian digital merupakan salah
satu hal yang sangat dibutuhkan oleh para tertanggung asuransi, sehingga tertanggung
bisa mendapatkan kepastian hukum. Sampai saat ini Peraturan Perundang-udangan
yang berlaku di Indonesia masih belum mengatur mengenai keabsahan perjanjian
digital ini. Metode penelitian yang penulis gunakan adalah Metode Yuridis Normatif
dan mengacu kepada beberapa Peraturan Perundang-undangan yang relevan yaitu
Pengaturan terkait perasuransian di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 40
Tahun 2014 Tentang Perasuransian, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/
POJK.05/2015 Tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi. Keabsahan
perjanjian yang diberikan dapat ditinjau dari beberapa peraturan perundangan yang
terkait, sehingga dalam penulisan hukum ini, penulis menganalisa mengenai kepastian
hukum terhadap keabsahan perjanjian yang dapat diterima oleh tertanggung.

(F) 2022

i
ABSTRACT

(A) Gratianus Agustinus Adityo Widiapratama (2018-0551-0035)

(B) STANDARD CONTRACTS IN DIGITAL INSURANCE AGREEMENTS

(C) Agreements, Insurance, Standard Contracts, Digital Contracts

(D) 41 (Books, Journals, Legislation, Internet 1980-2022)

(E) Insurance is a risk transfer coverage that has existed since before Indonesia's
independence. Insurance in Indonesia is an agreement made by the Insured with an
Insurance Company. In the past, insurance agreements were in the form of
conventional standard agreements where to make the agreement the parties had to
meet in person. Along with the times, conventional insurance agreements have
developed into digital insurance agreements. Conventional insurance agreements
develop into digital insurance agreements. The insurance agreement itself contains an
exoneration clause in it which makes it difficult to supervise digitally conducted
insurance agreements.The validity and enforcement of digital agreements is one of the
things that the insured really needs, so that the insured can get legal certainty. The
research method that the author uses is the Normative Juridical Method and refers to
several relevant laws and regulations, namely Regulations related to insurance in
Indonesia are regulated in Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 Tentang
Perasuransian, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/ POJK.05/2015 Tentang
Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi. The validity of the agreement
given can be reviewed from several related laws and regulations, so that in writing
this law, the author analyzes the legal certainty of the validity of the agreement that
can be accepted by the insured.

(F) 2022

ii
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat karunia dan rahmat-Nya, Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum berupa skripsi
dengan judul "KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN ASURANSI YANG
DILAKUKAN SECARA DIGITAL". Penulisan Hukum ini dilakukan dalam rangka
memperoleh memenuhi syarat meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya. Sebelumnya, Penulis mengucapkan terima kasih kepada para
pihak yang membantu keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi dan penulisan skripsi
ini baik secara formil, materil, maupun melalui doa-doa dan bimbingannya:
1. Ibu Dr. Marhaeni Ria Sihombo, SH, MSi, selaku pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu dan tenaga, serta memberikan saran dan arahan kepada penulis
dalam menyusun penulisan hukum skripsi dari awal hingga akhir.
2. Ibu Tisa Windayani, S.H., LL.M. dan Ibu Putri Purbasari Raharningtyas Marditia,
S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik. Terima kasih atas perhatian dan
bimbingan yang terus diberikan kepada penulis aktif berkuliah di Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya.
3. Ibu Dr.iur. Asmin Fransiska, S.H., LL.M, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya.
4. Ibu J. De Brito Sardadi Sambada, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan Fakultas Hukum
Unika Atma Jaya.
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen dan Staf Sekretariat Fakultas Hukum Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta atas segala bantuan yang diberikan untuk
melancarkan segala kegiatan perkuliahan selama penulis kuliah.
6. Orang tua tercinta ayahanda Friedericus Wishnubroto, S.H., ibunda Stefani Dwi
Berdina Riyantie, serta adik Gabriel Benedicto, atas dukungan yang tak terbatas serta
usaha yang diberikan kepada penulis sejak kecil hingga sekarang.

iii
7. RD. Albertus Yogo Prasetianto dan Paulus Ari Triwibowo selaku pendamping
Pastoran Atma Jaya yang telah memberikan dukungan, semangat, dan hiburan Penulis
selama masa perkuliahan dan pembuatan penulisan hukum ini.
8. Keluarga Besar Pastoran Atma Jaya khusunya Kepengurusan Eunoia (2020) dan
Elysian (2021), terima kasih telah memberikan kesempatan bagi Penulis untuk ikut
berorganisasi, berproses, dan berkembang bersama dalam pelayanan kerohanian.
Terimakasih atas segala pengetahuan, berbagai pengalamannya, relasi persaudaraan,
dukungan, semangat dan hiburan selama ini kepada Penulis.
9. Sahabat Penulis, yaitu Kevin Partogi, Mikha, Naufal, Shafira, dan Dinda yang telah
mendukung dan menyemangati Penulis dalam mengerjakan skripsi.
10. Glorio Tuaraja Imanuel Ritonga, selaku Sekretaris Kepemudaan Satuan Pelajar dan
Mahasiswa Pemuda Pancasila, terima kasih sudah memberikan dukungan kepada
Penulis selama menyususn Penulisan Hukum ini.
11. April, Nara, Reynard, Jasson, Jose, dan teman-teman angkatan 2018 Fakultas Hukum
BSD. Terima kasih sudah berjuang dan berproses bersama dari awal perkuliahan
hingga akhir. Terima kasih atas dukungan dan kebersamaannya selama ini.
12. Seluruh pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung yang
tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala doa dan dukungan yang
telah diberikan kepada Penulis.
Akhir kata, Penulis juga menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari kata 
sempurna. Oleh karena itu, Penulis memohon maaf apabila ada kesalahan kata dan
penulisan.  Penulis sangat terbuka untuk kritik dan saran yang membangun guna menjadikan
penulisan  hukum ini lebih baik. Harapannya penulisan hukum ini dapat membawa manfaat
terhadap  upaya pembangunan hukum nasional terutama di bidang hukum perdata.

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK..................................................................................................................................i

ABSTRACT...............................................................................................................................ii

KATA PENGANTAR...............................................................................................................iii

DAFTAR ISI..............................................................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG MASALAH..........................................................................1

B. MASALAH PENELITIAN.......................................................................................6

C. TUJUAN PENELITIAN...........................................................................................6

D. MANFAAT PENELITIAN.......................................................................................7

E. METODE PENELITIAN..........................................................................................8

F. SISTEMATIKA SKRIPSI.......................................................................................10

BAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN ASURANSI ELEKTRONIK..................11

A. SUBJEK HUKUM..................................................................................................11

B. PERJANJIAN..........................................................................................................17

C. ASURANSI.............................................................................................................26

D. ALAT BUKTI ELEKTRONIK...............................................................................43

BAB III ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN PERJANJIAN BAKU DALAM


PERJANJIAN ASURANSI ELEKTRONIK..........................................................52

A. LEGALITAS KONTRAK DIGITAL DALAM PERJANJIAN ASURANSI........52

1. PENGATURAN KONTRAK DIGITAL DI INDONESIA...............................52

2. PENGATURAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK DALAM PERJANJIAN


ASURANSI DIGITAL.......................................................................................64

v
3. PENGATURAN PERJANJIAN YANG DILAKUKAN MELALUI VIDEO
PADA PERJANJIAN ASURANSI DIGITAL...................................................66

B. BAGAIMANA PELAKSANAAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN


ASURANSI SECARA DIGITAL?.........................................................................67

1. PERJANJIAN BAKU.........................................................................................68

2. KLAUSULA EKSONERASI DALAM KONTRAK BAKU............................71

3. KEABSAHAN PERJANJIAN DENGAN KLAUSULA EKSONERASI.........73

BAB IV PENUTUP................................................................................................................81

A. KESIMPULAN.......................................................................................................81

B. SARAN....................................................................................................................83

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................84

vi
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam kehidupan manusia, risiko merupakan hal yang tidak bisa dijauhkan serta

dapat mendatangi manusia kapanpun dimanapun sehingga membuat orang merasa takut

dengan adanya kejadian resiko yang akan dialaminya. Oleh karena itu, dengan adanya

kesadaran bahwa diperlukannya perlindungan terhadap resiko yang tidak dapat diduga

(evenemen), maka masyarakat mulai mempertanggungkan evenemennya sebagai cara

preventif jika terjadi kerugian finansial akibat terjadinya resiko yang sewaktu-waktu dialami.

Kebutuhan asuransi pada zaman modern seperti saat ini sudah merupakan hal wajib yang

dimiliki oleh masyarakat demi melindungi resiko keuangan jika terjadi risiko penyakit atau

insiden yang menimpa. Untuk mempertanggungkan evenemen tersebut maka dibutuhkan

perusahaan dibidang jasa asuransi yang mampu menanggung resiko tersebut. Sebuah

Perusahaan asuransi harus mampu mengambil risiko yang ditanggung oleh nasabahnya baik

individual ataupun instansi hukum. Asuransi memiliki fungsi adalah untuk melakukan

peralihan ataupun pembagian sebuah resiko yang berkemungkinan akan terjadi ataupun

dialami oleh pihak yang menanggung.1 Besaran ganti rugi yang tertanggung terima mesti

diselaraskan dengan kerugian yang diderita oleh tertanggung. Hal tersebut menjadi prinsip

dari penggantian rugi atau yang dinamai dengan prinsip ganti kerugian. Sudah banyaknya

perusahaan-perusahaan asuransi yang menawarkan manfaat-manfaat perlindungan yang

dibutuhkan oleh masyarakat seperti perlindungan jika seseorang meninggal dunia,

perlindungan jika seseorang menderita penyakit dan mesti memperoleh perawatan di rumah

sakit serta beragam manfaat-manfaat yang bisa diberikan oleh perusahaan asuransi. Hal ini

sesuai dengan pengaturan pada Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)

yang menerangkan "Untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian,


1
Djoko Prakoso dan I ketut Murtika, Hukum Asuransi Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, hlm 8
2

kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya

karena suatu peristiwa yang tidak pasti". 2

Pengaturan terkait perasuransian di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 40

Tahun 2014 Tentang Perasuransian (Selanjutnya disebut UU Perasuransian). Regulasi pada

UU perasuransian merefleksikan perhatian serta dukungan yang besar terhadap usaha

perlindungan pelanggan layanan asuransi, usaha mengantisipasi lingkungan perdagangan

layanan yang semakin terbuka di taraf regional serta disesuaikan pada praktek terbaik di taraf

internasional guna menyelenggarakan, mengatur serta mengawasi industri asuransi. Pada

Pasal 1 angka 1 UU Perasuransian, asuransi memiliki definisi kesepakatan yang dilakukan

oleh dua pihak yakni antara korporasi asuransi dengan pemegang polis yang merupakan

landasan untuk menerima premi oleh perusahaan asuransi selaku imbalan bagi:

a. "Pemberian ganti kepada Tertanggung atau pemegang polis karena adanya kerugian,

kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada

pihak ketiga yang diderita Tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu

peristiwa yang tidak pasti; atau

b. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau

pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah

ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.”3

dari pasal tersebut bisa secara singkat disimpulkan bahwasanya asuransi ialah

kesepakatan timbal balik antara korporasi asuransi dengan pemegang polis atau tertanggung

yang mana perusahaan asuransi memiliki kewajiban memberikan pembayaran jika pemegang

polisnya ataupun tertanggung wafat atau menderita penyakit serta tertanggung memiliki

kewajiban untuk membayarkan premi kepada perusahaan asuransi. Pada Pasal 255 KUHD,

suatu kesepakatan asuransi haruslah dituliskan berbentuk akta yang dinamai polis. Di dalam

2
Mulhadi, Dasar-Dasar Hukum Asuransi, Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2017, HLM 85
3
Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian
3

perjanjian asuransi, korporasi asuransi dikatakan selaku pihak yang menanggung sedangkan

nasabahnya disebut sebagai tertanggung.4 Untuk bisa mendapatkan manfaat asuransi,

seseorang harus membuat kesepakatan asuransi dengan perusahaan asuransi lewat agen

asuransi dari korporasi asuransi ataupun bisa melalui pialang asuransi yang telah terdaftar di

OJK. Pada saat membuat perjanjian, seseorang harus memenuhi 4 persyaratan keabsahan

sebuah kesepakatan yakni terdapat istilah sepakat untuk seluruh pihak yang mengikat diri

satu sama lain, kemampuan seluruh pihak dalam membuat sebuah perikatan, sesuatu tertentu,

serta sebuah sebab yang halal.5 Keempat persyaratan tersebut dapat diartikan juga sebagai

syarat subjektif dan syarat objektif dalam melakukan perjanjian sebagaimana telah diatur

dalam Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Selanjutnya disebut KUH

Perdata). Persyaratan pertama serta kedua merupakan persyaratan subjektif, sementara yang

ketiganya serta keempatnya merupakan persyaratan objektif pada sebuah kesepakatan.

Perjanjian berdasarkan pasal 1313 KUH perdata ialah sebuah tindakan di mana seseorang

ataupun lebih mengikat diri mereka pada seorang individu ataupun lebih. Subekti dalam

bukunya menjelaskan juga bahwa perjanjian ialah sebuah kejadian di mana seorang individu

melakukan perjanjian kepada individu lainnya ataupun kedua orang tersebut saling berjanji

dalam menjalankan sesuatu6. KUH Perdata juga mengatur tentang kebebasan berkontrak yang

diatur dalam 1338 KUH Perdata yang artinya tiap individu dibebaskan dalam melakukan

sebuah perjanjian yang didalamnya terdapat persyaratan kesepakatan apa saja, sepanjang

kesepakatan itu sendiri terbuat dengan absah serta berniat dan baik dan tidak melakukan

pelanggaran terhadap ketertiban umum serta kesusilaan7.

Dalam perjanjian asuransi kerap kali terdapat adanya kontrak baku yang mana

adanya penyalahgunaan yang disebabkan adanya ketidakseimbangan tanggung jawab dari


4
Mona, Kitab Undag-Undang hukum Dagang, Yogyakarta: Pustaka Mahardika, hlm 131.
5
Subekti dan Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita. hlm 330
6
Subekti, 2007,Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, hlm 1
7
Ahyuni Yunus, 2019, Penyalahgunaan Keadaan Dalam Bentuk Perjanjian Baku, Kanun Jurnal Ilmu
Hukum Vol. 21, No. 2 (Agustus 2019), hlm 174
4

salah satu pihak dalam sebuah perjanjian sehingga pihak yang lebih kuat akan memanfaatkan

pihak yang lebih lemah. Pada perjanjian baku, ada klausula eksonerasi, yang mana hal

tersebut sendiri memiliki arti yang berisikan dibatasinya pertanggungjawaban dari pihak

debitur. Menurut Sutan Remy Sjahdeni, terdapatnya klausula ini ialah ditujukan bagi

pembebasan ataupun pembatasan pertanggungjawaban salah satu pihak pada gugatan pihak

lain perihal yang terkait tidak maupun tidak sebagaimana mestinya menjalankan kewajiban

yang dimilikinya yang ditetapkan pada kesepakatan tersebut. Klausula eksonerasi sifatnya

senantiasa memberatkan satu pihak, yang hampir bisa dijamin akan memberikan keuntungan

terhadap pihak yang kedudukannya cenderung kuat dibandingkan pihak lain dan kerap ada

pada kontrak baku. Klausula eksonerasi bisa muncul oleh sejumlah sebab, yaitu kecermatan

pada saat perjanjian, itikad baik pada kontrak dan posisi tawar yang tidak seimbang 8. Hal

tersebut bisa diamati pada Putusan No. 164/PDT/2018/PT.DKI yang mana terbanding

merupakan seorang tertanggung dari PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (Manulife

Indonesia) yang mana dalam kasusnya tersebut klaim yang diajukan oleh terbanding kepada

Manulife Indonesia tidak dibayarkan yang dikarenakan salah satau penyebabnya adalah

adanya klausula eksonerasi yang terkandung di dalam Perjanjian asuransi. Kontrak baku

kerap kali muncul dalam perjanjian penutupan asuransi yang mana pemberlakuannya dapat

menimbulkan kerugian bagi tertanggung atau pemegang polis asuransi jiwa. Pada dasarnya,

perusahaan Asuransi sudah menyiapkan perjanjian yang nantinya tertanggung hanya tinggal

menandatangani perjanjian penutupan asuransi sehingga tidak ada posisi tawar menawar bagi

pihak tertanggung dalam melakukan perjanjian. Perusahaan asuransi juga harus memastikan

bahwa prinsip yang ada dalam Pasal 1 angka 10 jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen tetap terlaksana yang mana melalui adanya

kesepakatan baku dalam perjanjian penutupan asuransi jiwa elektronik tidak mengandung

klausula eksonerasi didalamnya. Oleh karena itu di dalam polis atau perjanjian asuransi mesti
8
Sarjana I Made, 2016, Pembatasan Klausula Eksonerasi, Jurnal Notariil Vol. 1 No. 1, November 2016, hlm 112
5

terang serta tidak terdapat kalimat atau istilah yang kemungkinan muncul ketidaksamaan

penafsiran sehigga membuat sulit Tertanggung atau nasabah dalam melaksanakan hak dan

kewajiban dalam pelaksanaan asuransi.

Seiring perkembangan zaman, sudah banyak perusahaan asuransi yang melakukan

inovasi dalam hal melakukan perjanjian asuransi yang kesepakatan yang dilangsungkan

dengan digital bisa berupa tanda tangan digital atau melakukan rekaman video. Inovasi yang

dilakukan oleh perusahaan asuransi ini merupakan efek dari adanya pandemi COVID-19

yang membuat perjanjian asuransi sulit untuk dilakukan secara tatap muka. Hal ini juga

mendorong kegiatan bisnis di era globalisasi dalam pembangunan ekonomi, sosial dan

budaya serta tidak terbatas dengan keadaan tempat dan waktu. Perkembangan teknologi di

bidang jasa asuransi sering disebut sebagai Insurtech (Insurance Technology). Insurtech

berkonsentrasi pada inovasi teknologi yang berfokus pada penghematan dan efisiensi dari

model asuransi pada saat ini. Inovasi-inovasi pada insurtech mempermudah masyarakat

dalam membeli asuransi atau pertanggungan. Salah satu contoh Insurtech adalah

pemberlakuan polis elektronik yang telah diatur dalam POJK Nomor 23/POJK.05/2015

Tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi yang menyebutkan bahwa polis

dapat diterbitkan secara hardcopy atau dengan digital. Selian polis digital, dalam strategi

pemasaran produk asuransi perusahaan asuransi sudah mulai mengedepankan digitalisasi

dengan menerapkan e-submission. E-Submission merupakan pemasaran asuransi dan

pengajuan polis asuransi tanpa harus melakukan tatap muka antara agen asurnasi dengan

calon nasabah.9 Salah satu perusahaan asuransi yang sudah menerapkan E-Submission adalah

PT. Asuransi Allianz Life yang menawarkan kepada nasabahnya untuk melakukan perjanjian

asuransi hanya dengan melakukan voice call atau video call antara calon nasabah dengan

tenaga pemasar.

9
https://www.allianz.co.id/tentang-kami/berita-perusahaan/rilis-media/2020/2020-juni/allianz-indonesia-
luncurkan-allianz-eazy-cover-untuk-memberikan-proteksi-asuransi-dari-rumah-saja.html
6

Landasan hukum dari pemberlakuan E-Submission secara digital khususnya melalui

video terdapat pada Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 5

/SEOJK.05/2022 Tentang Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi. Dalam

peraturan tersebut disebutkan bahwa dalam melakukan pemasaran produk asuransi mesti

didokumentasikan berbentuk rekaman video maupun audio secara baik. Namun pada

praktiknya, mengingat perjanjian asuransi kerap kali terdapat kesepakatan baku yang

berisikan klausula eksonerasi membuat kesepakatan asuransi yang dilakukan secara digital

rawan akan terjadinya ketidakseimbangan didalam perjanjian asuransi.

Dengan pertimbangan latar belakang diatas, dengan demikian peneliti hendak

mengkaji terkait keabsahan perjanjian asuransi yang dilakukan dengan digital yang

mengandung kontrak baku di dalamnya. Karenanya peneliti melangsungkan penelitian yang

berjudul: KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN ASURANSI YANG

DILAKUKAN SECARA DIGITAL.

B. MASALAH PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis menarik permasalahan:

1. Bagaimanakah legalitas kontrak digital dalam perjanjian asuransi?

2. Bagaimana pelaksanaan kontrak baku dalam perjanjian asuransi secara digital?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

i. Bagi Pembaca

a. Untuk mengetahui pengaturan legalitas perjanjian asuransi yang dilakukan

secara digital;
7

b. Untuk mengetahui apakah klausula baku yang ada pada perjanjian asuransi

secara digital sesuai dengan ketentuan dari peraturan perundang-undangan

yang berlaku;

c. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan

gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya

Jakarta.

ii. Bagi Penulis

a. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan

gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya

Jakarta;

b. Penulis dapat menganalis terkait legalitas dari perjanjian asuransi yang

dilakukan secara digital yang mana didalamnya terdapat klausula baku.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini dilangsungkan disertai harapan akan bisa memberi kebermanfaatan

diantaranya:

1. Memberi wawasan mengenai pengaturan yang mengatur adanya perjanjian baku

didalam suatu perjanjian perjanjian.

2. Memberi wawasan mengenai peraturan yang mengatur didalam perjanjian

penutupan asuransi digital.

3. Memberi wawasan tentang perlindungan konsumen dalam perjanjian penutupan

asuransi elektronik.

4. Diharapkan hasil dari riset ini bisa memberi masukan dan sumbangan pemikiran

untuk masyarakat mengenai pembuatan perjanjian yang megandung kontrak baku.

5. Untuk meraih gelar Sarjana Hukum bagi penulis.


8

E. METODE PENELITIAN

Metode penelitian ialah upaya dalam menjumpai, mengelustrasi serta mewujudkan

kebenaran sebuah pengetahuan di mana dilangsungkan Melalui penggunaan metode

ilmiah. Pada riset ini mempergunakan sejumlah metode penelitian diantaranya10

1. Bentuk Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian yang

menggunakan studi menggunakan peraturan, norma dan asas hukum untuk dikaji secara

lebih mendalam guna menyelesaikan permasalahan hukum yang ada.

2. Analisis Data

Penelitian ini mempergunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan

deskriptif analisis guna menulis realitas serta mendapat ilustrasi secara keseluruhan

terkait regulasi serta dihubungkan dengan sejumlah teori hukum pada praktek

penyelenggaraannya yang berkaitan dengan persoalan yang dikaji. Dan Kemudian

peneliti akan menjelaskan pengaturan adanya kontrak baku di dalam perjanjian asuransi

elektronik. Peneliti akan menganalisis data dengan pemaknaan atau penafsiran sendiri

terhadap data-data yang diperoleh dari studi kepustakaan.

3. Jenis Data

Jenis data yang akan dipergunakan pada Penelitian ini merupakan data sekunder,

yakni data yang didapat dari penelusuran kepustakaan. Data sekunder yang dipergunakan

ialah data yang sifatnya general, yakni data berbentuk tulisan dan berbagai data lainnya

yang dipublikasikan. Di bawah ini bahan hukum penelitian yang dipergunakan:

a. Bahan Hukum Primer

10
Yanti Fristikawati, 2018, Metodologi Penelitian Hukum, Sebuah Pengantar, Jakarta: Fakultas Hukum
Unika Atma Jaya, hlm 4.
9

 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

 Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik

 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/ POJK.05/2015 tentang Produk

Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi

b. Bahan Hukum Sekunder

Berupa teori ataupun pandangan para pakar, hasil karya insan hukum,

penelusuran internet, artikel ilmiah, majalah, jurnal, koran, makalah serta

berbagai hal lainnya yang berkorelasi dengan penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum yang memberi petunjuk penelitian baik studi dokumentasi atau

bahan kepustakaan.

4. Metode Pengumpulan data

Metode penghimpunan data dilangsungkan melalui mengumpulkan data lewat studi

pustaka serta seluruh regulasi yang berkorelasi dengan masalah hukum yang ada.

F. SISTEMATIKA SKRIPSI

Sistematika Penelitian secara keseluruhan yang terdiri dari empat (4) bab, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN
10

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang, rumusan permasalaham

tujuan penelitian hukum, manfaat peneltian hukum, metode penelitian hukum dan

sistematika penulisan

BAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN ASURANSI ELEKTRONIK

Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai subjek hukum. Setelah itu diuraikan

mengenai hukum perjanjian. Pada hukum perjanjian, didalamya akan dibahwas

mengenai pengertian hukum perjanjianm sumber hukum perjanjian dan syarat sahnya

suatu perjanjian. Selanjutnya Penulis menguraikan terkait hukum asuransi di

Indonesia. Selanjtnya Penulis menguraikan mengenai alat bukti elektronik yang

diakui di Indonesia.

BAB III ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN PERJANJIAN BAKU DALAM

PERJANJIAN ASURANSI ELEKTRONIK

Pada bab ini Penulis membahas mengenai pengaturan alat bukti elektronik dalam

praktik di indonesia yang didalamnya dibahas terkait tanda tangan elektronik dan

perjanjian asuransi yang dilakukan secara video. selain itu Penulis memabahas

mengani perjanjian baku yang terdapat pada suatu perjanjian asuransi yang dilakukan

secara digital.

BAB 1V PENUTUP

Pada bab ini Penulis menguraikan bagian akhir dari seluruh kegiatan penelitian yang

terdiri dari kesimpulan dan saran.


11

BAB II

TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN ASURANSI ELEKTRONIK

A. SUBJEK HUKUM

Subjek hukum berasal dari bahasa belanda yaitu rechtsubject atau dalam bahasa

Inggris subject of law. Subjek hukum diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban yaitu

seseorang maupun instansi hukum. Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwasanya subjek

hukum merupakan seluruh hal yang bisa mendapat hak serta kewajiban dari hukum.11 Tidak

jauh dari pernyataan Sudikno Mertokusumio, Subekti mengemukakan bahwasanya subjek

hukum ialah sesuatu yang membawa hak ataupun subjek pada hukum yakni seorang individu.

Subjek hukum pada saat melaksanakan tindakan hukum mempunyai kewenangan.

Kewenangan subjek hukum dibagi ke dalam dua. Pertama adalah kewenangan dalam

menjalankan hak dan berikutnya adalah kewenangan dalam berbuat tindakan hukum serta

seluruh faktor yang memberikan dampak kepadanya. Dengan demikian maka dapat

disimpulkan bahwa seluruh hal yang mempunyai wewenang hukum, menyandang hak serta

kewajiban pada tindakan hukum. Subjek hukum sangatlah berhubungan dengan kemampuan

dari aspek hukum serta wewenang pada hukum kategorisasi subjek hukum.

Dalam hukum perdata, subjek hukum memiliki posisi serta peranan terpenting

dikarenakan subjek hukum itulah yang memiliki wewenang hukum. Subjek hukum

memiliki 2 macam, yaitu terdiri dari:

1. Manusia

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan manusia adalah

mahkluk yang berakal budi.12 Dalam wewenangnya sebagai subjek hukum, manusia

harus memiliki kecakapan manusia mesti mempunyai kemampuan terkecuali

perundang-undangan mengatakan lain. Seseorang setelah diputuskan sudah memiliki

11
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar(Liberty 1988) 53.
12
https://www.kbbi.co.id/arti-kata/manusia ditelusuri pada 22 April 2022
12

kewenangan hukum maka selanjutnya kepadanya diberi wewenang dalam

menjalankan hak serta kewajiban guna diberi kebebasan mengambil tindakan sesuai

hukum. Cakap yang dimaksud ialah seseorang yang sudah dewasa dan berumur 21

tahun serta memiliki akal sehat, sementara seseorang yang tidak memiliki kecakapan

ialah seseorang yang di bawah umur serta seseorang yang berada di naungan

pengampuan, dialaminya kejiwaan yang terganggu, pemabuk ataupun seseorang yang

boros. Kedewasaan seorang individu ialah sebuah tolak ukur Apakah sudah dapat

mampu dalam menjalankan tindakan hukum. Pada pasal 330 KUH perdata

menyatakan bahwasanya orang yang sudah dewasa adalah orang yang berusia 21

tahun serta sudah berada di sebuah perkawinan sebelum menyentuh 21 tahun.

Kemampuan bertindak serta wewenang dalam tindakan berdasarkan hukum ialah

suatu hal yang benar pada ketetapan undang-undang tersebut diantaranya:

a. Seorang anak yang belum mencapai kedewasaan bisa menjalankan semua

tindakan hukum jika sudah berumur 20 tahun serta sudah memperoleh

surat pernyataan dewasa yang presiden beri sesudah mendengarkan nasehat

MA (Pasal 419 dan 420 KUH Perdata).

b. Anak yang berusia 18 tahun bisa melaksanakan tindakan hukum tertentu

sesudah memperoleh surat pernyataan dewasa dari pengadilan (Pasal 426

KUH Perdata).

c. Seorang individu yang berusia 18 tahun bisa menuliskan surat wasiat

(Pasal 897 KUH Perdata).

d. Seorang pria yang sudah memasuki usia 15 tahun serta wanita yang

sudah berusia 15 tahun dalam melaksanakan pernikahan (Pasal 29 KUH

Perdata).
13

e. Pengakuan anak bisa dilaksanakan oleh seseorang yang sudah berusia 19

tahun (Pasal 282 KUH Perdata).

f. Anak yang sudah berusia 15 tahun bisa berperan sebagai saksi (Pasal 

1912) KUH Perdata).

g. Seorang individu yang sudah berada di bawah naungan pengampuan

dikarenakan boros bisa:

 Menuliskan surat wasiat (Pasal 446 KUH Perdata).

 Melaksanakan pernikahan (Pasal 452 KUH Perdata)

a. Istri mampu mengambil tindakan pada hukum diantaranya :

 Memperoleh tuntutan pada perkara pidana, melakukan penelitian

perceraian pernikahan, pemisahan meja serta ranjang dan memberi

tuntutan pemisahan harta kekayaan (Pasal 111 KUH Perdata)

 Menuliskan surat wasiat (Pasal 118 KUH Perdata)

Ketentuan terkait ketidakcakapan seseorang ditentukan pada pasal 1330 yang mengatur

antara lain adalah sebagai berikut:

a. Seseorang yang belum mencapai kedewasaan dan berusia 18 tahun

ataupun yang belum berada dalam pernikahan.

b. Seseorang yang berada di naungan pengampuan tidak terbebas dalam

mengambil tindakan pada harta kekayaan, namun diawasi (curatele)

yang sakit-sakitan (anak-anak, atau orang-orang yang pola pikirannya

tidak sehat atau mengalami gangguan mental) orang seperti ini

dinyatakan dengan orang yang belum dewasa.

c. Wanita pada perihal yang ditentukan oleh perundang-undangan serta

seluruh individu yang oleh perundang-undangan sudah dilarang dalam

melaksanakan kesepakatan tertentu (seorang istri yang membuat


14

perjanjian untuk transaksitransaksi tertentu harus mendapatkan

persetujuan dari suaminya); badan hukum yang bertindak melakukan

perbuatan hukum. Sebab atau causa yang diperkenankan, yaitu sebuah

perbuatan hukum mesti berlandaskan musabab yang diperkenankan oleh

perundang-undangan sendiri.13

2. Badan Hukum

Selain manusia sebagai subjek hukum, hukum pula mengakui keeksisan

instansi hukum selaku sebuah subjek hukum. Dengan diakuinya badan hukum

sebagai subjek hukum membuat badan hukum memiliki hak dan kewajiban.

Instansi-instansi serta perhimpunan tersebut bisa mempunyai kekayaannya

tersendiri, berpartisipasi pada lalu lintas hukum melalui perantara pengurusnya,

bisa melakukan penggugatan serta memperoleh gugatan di hadapan pengadilan.

Instansi-instansi maupun himpunan itu sendiri dinamai badan hukum yang

artinya seseorang yang hukum ciptakan. Badan hukum ini kerap dinamai selaku

seseorang yang hukum ciptakan selaku persona. 14

Beberapa ahli memberikan pengertian dari badan hukum yaitu antara lain

adalah sebagai berikut:

 Rochmat Soemitro menyebutkan bahwasanya badan hukum meruapak

suatu badan atau perkumpulan yang memiliki hata, hal, dan kewajiban

sama seperti orang pribadi.

 Wirjono Prodjodikiro menjelaskah bahwa badan hukum selaku instansi

selain individu yang dinilai bisa mengambil tindakan pada hukum dan

13
Rini Pamungkasih, 101 Draft Surat Perjanjian dan Kontrak, Yogyakarta: Gradien Mediatama, 2009, hlm 10

14
Dyah Hapsari Prananingrum, Telaah Terhadap Esensi Subjek Hukum: Manusia dan Badan Hukum, Jurnal
Refleksi Hukum Vol 8 No. 1, 2014, hlm 78
15

memiliki sejumlah hak serta kewajiban dan relasi dengan individu lain

ataupun instansi lainnya 15

 Loegemann memiliki pendapat mengenai badan hukum yaitu suati

personifikasi, hak dan keajiban hukum yang menetapkan strukturisasi

internal dari personifikasi itu.

Berdasarkan pada pandangan-pandangan seluruh pakar terkait badan hukum

tersebut, maka bisa disimpulkan bahwasanya badan hukum yang sebuah subjek

hukum dikarenakan badan hukum adalah sebuah instansi yang sifatnya

independensi, memiliki hak serta kewajiban serta dapat bertindak di depan

hukum. Badan hukum ada dua unsur terpenting yaitu hak serta kewajiban badan

hukum dapat dipisahkan dari hak serta kewajiban anggotanya. Kemudian

berikutnya adalah organ dari badan hukum bisa mengalami pergantian akan

tetapi badan hukum senantiasa ada. Sehingga kemudian badan hukum ialah

pihak yang menyandang hak serta kewajiban sama seperti perseorangan.16

Selain kedua unsur penting tersebut, unsur badan hukum yang harus selalu ada

adalah terdapatnya harta kekayaan yang dipisahkan antara pihak yang

mendirikan badan hukum dengan badan hukum itu sendiri, memiliki harta

kekayaannya tertentu, adanya kepentingan tertentu, mempunyai organ badan

hukum yang menggerakkan badan hukum, dan terdapatnya manajerial yang

beraturan. Seluruh elemen tersebut yang bisa membedakan sebuah subjek

hukum adalah badan hukum ataupun non badan hukum.

Berdasarkan pada bentuknya, E. Utrecht menjelaskan bahwasanya badan hukum

terbagi ke dalam dua yakni badan hukum publik dan badan hukum privat.

Badan hukum publik adalah instansi yang didirikan berdasarkan pada hukum

15
ibid hlm 81
16
ibid hlm 82
16

publik ataupun instansi yang menjadi pengatur hubungan antara negara dengan

warga negaranya yang memiliki kaitan dengan kepentingan kolektif. Contoh

badan hukum publik adalah Pemerintah Provinsi, Bank Negara, lembaga-

lembaga, dan majelis-majelis. Sedangkan badan hukum privat ialah badan

hukum yang dibentuk berdasarkan hukum perdata atau sekumpulan individu

yang bekerja sama atau melakukan pendirian badan usaha serta integritas yang

sudah sesuai dengan persyaratan yang sudah hukum tetapkan. Contoh dari

badan hukum privat adalah sebagi berikut:

 Perseroaan Terbatas (PT)

Perseroan Terbatas memiliki definisi suatu persekutuan yang di mana

untuk menjalankan usahanya harus mempunyai modal yang meliputi seluruh

saham yang mana pihak yang memilikinya sendiri mempunyai bagiannya

sejumlah saham yang ia miliki. Dikarenakan modal meliputi saham yang

bisa dijual Oleh sebab itu kepemilikan perseroan terbatas bisa berubah

dengan tidak harus melakukan pembubaran atas Perseroaan Terbatas yang

bersangkutan.17

 Koperasi

Koperasi ialah organisasi ataupun perkumpulan ekonomi yang

anggotanya ialah individu ataupun instansi hukum yang membebaskan

untuk memasuki ataupun keluar selaku anggota berdasarkan regulasi yang

diberlakukan suatu usaha disertai tujuan untuk mempertinggi kesejahteraan

jasmani para anggota yang bergabung.18

 Yayasan

17
Adrian Sutedi, Buku Pintar Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014, hlm 6

18
Oemar Moechthar, Teknik Pembuatan Akta Badan Hukum dan Badan Usaha di Indonesia, Surabaya:
Airlangga University Press, 2019, hlm 227
17

Menurut C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, adalah: “Yayasan

atau Stichting (Belanda), suatu badan hukum yang melakukan kegiatan

dalam bidang sosial.”19 sementara berdasarkan Subekti, menjelaskan

bahwasanya yayasan ialah instansi hukum yang dinaungi oleh pemimpin

sebuah badan pengurus disertai Tujuan sosial ataupun tertentu yang

memiliki legalitas.20 Istilah Yayasan yaitu Stichen yang berarti membangun

ataupun melakukan pendirian, pada bahasa Belanda serta Foundation dalam

Bahasa Inggris.

B. PERJANJIAN

Berdasarkan pendapat Subekti, Perjanjian merupakan sebuah peristiwa yang mana satu

pihak menjanjikan pada pihak lainnya guna menjalankan sesuatu. Dari peristiwa tersebut,

maka muncul sebuah relasi hukum antara satu pihak dengan pihak lainnya. Berdasarkan

pada KUHPer, sesuai dengan Pasal 1313 menerangkan bahwasanya "perjanjian

merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih." Pada umumnya, perjanjian merupakan hal yang

disepakati oleh seluruh pihak terkait mengenai sesuatu yang memunculkan ikatan

ataupun relasi hukum, memunculkan hak serta kewajiban jika tidak dilangsungkan sesuai

dengan yang sudah disepakati maka terdapat sanksi. Tujuan dari perjanjian ialah guna

merealisasi stabilitas kepentingan seluruh pihak. Hingga kemudian stabilitas merupakan

19
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. 2000. Kamus Istilah Aneka Hukum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.,
hlm. 198

20
Subekti, Kamus Hukum: Pradya Paramita, hlm. 156.
18

hal yang terpenting. Perjanjian yang sudah disepakati ialah sebuah perundang-undangan

untuk mereka yang merancangannya, pada arti lain seluruh pihak sudah terikat hingga

kemudian diharuskan mematuhi dan diwajibkan mengambil tindakan serta sikap

sebagaimana dengan kesepakatan itu sendiri, Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 KUHPer.

Dari penjelasan tersebut maka dapat diartikan bahwa perjanjian yang sudah dibuat secara

sah mengikat para pihak sebagai Undang-Undang, dan secara hukum para pihak setelah

adanya perjanjian tersebut dituntut untuk melaksanakan isi perjanjian dengan baik

selayaknya undang-Undang bagi para pihak. Oleh karena itu dapat diterjemahkan bahwa:

 Perjanjian yang seluruh pihak buat dengan absah diberlakukan selaku

regulasi untuk pembuatnya.

 Perjanjian yang sudah seluruh pihak sepakati tidak bisa dibatalkan

namun apabila terdapatnya perjanjian dari seluruh pihak ataupun

dikarenakan terdapatnya alasan yang peraturan benarkan.

 Sebuah perjanjian yang sudah disepakati haruslah dilaksankan dengan

itikad baik.21

Para pihak dalam mengadakan sebuah kesepakatan berhak dalam penentuan isi

kesepakatan sesuai dengan perjanjian dan keinginan yang dibebaskan kepada seluruh pihak.

Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer menjelaskan bahwasanya “Perjanjian harus

dilaksanakan dengan itikad baik”. Pasal tersebut memiliki makna bahwasanya para pihak

yang mengadakan perjanjian memiliki kebebasan untuk menentukan apa isi dari sebuah

kesepakatan yang akan dibuatnya, namun mesti adanya niatan baik antara seluruh pihak yang

mengadakan kesepakatan. Para pihak dalam mengadakan perjanjian diwajibkan untuk

menuangkan hak dan kewajiban yang adil dan seimbang dengan itikad baik.

21
Hartana, Hukum Perjanjian (Dalam Perspektif Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara), Jurnal
Komunikasi Hukum, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2016, Hlm. 149
19

Hubungan kepercayaan merupakan hubungan hukum yang terjalin diantara seluruh

pihak sehingga hal ini berkaitan dengan niatan baik seperti yang dijelaskan pada 1338 ayat

(3) KUH Perdata. Penekanan pesan moral tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata,

kemudian ditegaskan kembali pada Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan, “Perjanjian

tidak saja mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga

untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau

Undang-Undang”. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan itikad baik adalah

kewajaran (redelijkheid) dan kepatutan (billijkheid). Suatu kewajiban untuk seluruh pihak

yang melakukan perjanjian untuk berlaku wajar serta patut satu dengan yang lain. Sehingga

kemudian bisa disebutkan bahwasanya kebebasan menyatakan kehendak dengan kekuatan

mengikatnya, yang dinyatakan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, dibatasi oleh “itikad baik”.

Hal ini berarti dalam keadaan tertentu tidak dibenarkan untuk menuntut pelaksanaan

kewajiban-kewajiban dalam perjanjian, apabila hal itu tidak lagi wajar dan patut.22

Tujuan dari perjanjian itu sendiri adalaj untuk tercapainya stabilitas kepentingan

seluruh pihak. Stabilitas merupakan hal terpenting bahkan merupakan titik utama semenjak

Pada tahapan pra kontraktual, selanjutnya ketika timbul kesepakatan yang memicu ikatan

antara seluruh pihak, sampai kepada tahapan pelaksanaan perjanjian yang mengikat para

pihak. Asas stabilitas diartikan selaku kondisi hening ataupun kondisi yang sejalan

dikarenakan tidak terdapat satupun yang menjadi dominan. Asas keseimbangan dimaknai

selaku sesuatu yang dilandasi oleh usaha agar tercapainya kondisi yang setara selaku

dampaknya mesti menimbulkan pengalihan kekayaan dengan sah. Asas keseimbangan ialah

asas pada Hukum perjanjian Indonesia yang menjadi asas keberlanjutan dari asas persamaan

yang menghendaki stabilitas hak serta kewajiban antar seluruh pihak pada kesepakatan. Asas

keseimbangan selain mesti berkarakteristik tertentu pula mesti dengan konsisten terarah
22
Marhaeni Ria Siombo, Lembaga Pembiayaan dalam Perspektif Hukum, Jakarta:Penerbit Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya, 2018, Hlm. 13
20

kepada kebenaran yang sifatnya konkret.23 Asas keseimbnagan menjadi asas yang berkinerja

dari asas hukum perjanjian baik dari Hukum perjanjian Indonesia ataupun hukum perjanjian

Belanda yang merepresentasi hukum modern. Pada hukum perjanjian Belanda, implementasi

asas stabilitas tersebut nampak dari kewajiban yang merujuk kepada kesusilaan, niatan baik,

keharusan serta kelayakan Pada pelaksanaan seluruh hak serta kewajiban pada sebuah

perjanjian.24

Perjanjian baru dapat dijalankan apabila syarat-syarat sah suatu perjanjian sudah

dipenuhi. Didalam perjanjian terdapat beberapa persyaratan yang mesti terpenuhi oleh

seluruh pihak yang terdapat pada sebuah kesepakatan. Apabila persyaratan sah sebuah

kesepakatan terpenuhi dengan demikian suatu kesepakatan itu sendiri tidak bisa dibatalkan

ataupun tidak batal demi hukum dikarenakan hanyalah kesepakatan yang sah berdasarkan

hukum yang menjamin hak serta kewajiban seluruh pihak di dalam kesepakatan tersebut. Jika

melihat dari pasal 1320 KUH Perdata, pasal tersebut mengatur supaya terjadi persetjuan yang

sah, mesti terpenuhi persyaratan yaitu:

1) Kesepakatannya yang mengikat diri

2) Kemampuan dalam membuat sebuah perikatan

3) Suatu pokok permasalahan tertentu

4) Suatu musabab yang diperkenankan / halal

Dari 4 persyaratan di atas, bisa terbagi ke dalam dua jenis persyaratan yakni persyaratan

subjektif serta objektif yang diantaranya:

1) Syarat Subjektif

 Kesepakatan mereka yang mengikatnya

23
Aryo Dwi Prasnowo, Implementasi Asas Keseimbangan Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Baku, Jurnal
Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 8 No. 1 Mei 2019, hal 64

24
ibid hal 65
21

Kesepakatan mereka yang mengikatnya menjadi elemen yang mutlak agar terjalin

sebuah kesepakatan. Kesepakatan bisa dialami lewat beragam cara, akan tetapi

yang terpenting ialah dengan terdapatnya penawaran serta penerimaan antar para

pihak. Kesepakatan yang terjadi antar pihak harus berasal dari kehendak bebas

tanpa adanya tekanan secara verbal atau nonverbal. Kesepakatan dalam

pembuatan perjanjian mengikat yang memiliki konsekuensi hukum apabila

adanya pelanggaran dai isi dari perjanjian tersebut.

 Kemampuan dalam membuat sebuah perikatan

Berdasarkan pada pasal 1329 KUH Perdata menjelaskan bahwasanya tiap individu

adalah mampu dalam menyusun perjanjian, terkecuali jika berdasarkan undang-

undang dinyatakan tidak mampu. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa seorang

individu dinilai tidak mampu jika:

a) Berumur dibawah 21 tahun serta belum berada dalam ikatan pernikahan

b) Sudah berusia 21 tahun namun gelap mata, sakit ingatam, dungu atau

boros.

Pada pasal 1330 KUH Perdata menjelaskan bahwasanya terdapat sejumlah individu

yang tidak mampu dalam merancang suatu kesepakatan yaitu diantaranya:

a) Seseorang yang belum mencapai kedewasaan

b) Seseorang yang berada di naungan pengampuan

c) Seorang wanita pada perihal yang diterapkan oleh perundang-undangan

serta secara umum seluruh individu pada siapa perundang-undangan

sudah melarang pembuatan kesepakatan tertentu

Jika persyaratan subjektif tidak bisa dipenuhi dengan demikian dampak yang timbul

adalah kesepakatan tersebut bisa terbatalkan. Persyaratan subjektif yang sangat

berkaitan dengan keadaan personal seluruh pihak yang melakukan perjanjian


22

disebabkan apabila terdapat pihak yang tidak memenuhi syarat subjektif namun tidak

terdapat pihak yang keberatan akan pemberlakuan kesepakatan itu sendiri dengan

demikian kesepakatan itu masih diberlakukan serta sebaliknya jika terdapat pihak

yang keberatan akan kesepakatan itu sendiri dengan demikian pihak yang ada di

dalam perjanjian bisa melakukan untuk mengajukan Untuk membatalkan kesepakatan

itu sendiri. Kedua persyaratan ini dinamakan syarat subjektif dikarenakan keduanya

harus dipenuhi dan melekat kepada subjek dari kesepakatan yakni seluruh pihak yang

mengikat dirinya di kesepakatan itu sendiri.

2) Syarat Objektif

 Suatu pokok tertentu

Didalam sebuah perjanjian, objek dari suatu perjanjian mesti jelas harta ditetapkan

oleh seluruh pihak. Objek dari suatu kesepakatan bisa berbentuk barang ataupun

layanan, akan tetapi bisa pula berbentuk tidak berwujud apapun. Objek dari

kesepakatan tersebut adalah sesuatu yang bisa diperdagangkan, dapat ditentukan

jenis dan ukurannya, serta dapat diidentifikasikan. Pokok tertenti ini dalam

sebuah perjanjian disebut sebagai prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian,

atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu. Didalam KUH Perdata dan pendapat para

ahli menjelaskan bahwa prestasi dapat berupa:

a) Melakukan penyerahan ataupun pemberian suatu hal

b) Melakukan tindakan

c) Tidak melakukan tindakan apapun

 Suatu sebab yang tidak terlarang/ sebab yang halal

Suatu sebab yang tidak terlatang/sebab yang halam dapat diartikan bahwa isi dari

sebuah perjanjian tidak bertentangan dengan peraturan perudang-undangan yang


23

ada.25 Sebab yang tidak terlarang berkaitan dengan isi dari sebuah perjanjian yang

dimana isi perjanjian tersebut dilarang bertentangan dengan undang-Undang,

ketertiban umum, norma, adat istiadat, dan kesusilaan.

Apabila syarat objektif tidak terpenuhi dengan demikian dampak yang bisa ditimbulkan

dari kesepakatan itu sendiri ialah pembatalan demi hukum yang artinya kesepakatan

tersebut dinilai tidak pernah terjadi. Syarat objektif terkait dengan isi serta materi dari

sebuah kesepakatan itu sendiri. Kedua persyaratan ini disebut sebagai persyaratan

objektif dikarenakan syarat ini melekat di objek dari sebuah kesepakatan itu sendiri.

Dalam sebuah kesepakatan terdapat asas kebebasan berkontrak yang di mana seorang

individu dapat melakukan kesepakatan apa saja isinya serta bentuk dari perjanjian sesuai

dengan kebebasan oleh para pihak yang membuatnya sepanjang tidak melakukan

pelanggaran terhadap regulasi undang-undang yang ada. Para pihak yang mengadakan

perjanjian juga dapat memperjanjikan untuk bertanggung jawab dengan adanya kerugian

yang timbul di kemudian hari dikarenakan kelalaian ataupun hanya sebatas batasan

tertentu semata. Dengan adanya kebebasan berkontrak tidak mengartikan bahwasanya

tiap individu dapat melakukan sebuah kesepakatan tanpa adanya batasan yang harus

diperhatikan seperti kesepakatan yang tidak diperkenankan untuk melanggar Undang-

Undang, ketertiban umum, dan kesusialaan seperti yang sudah diatur didalam Pasal 1337

dan Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak merupakan sebuah prinsip

dimana para pihak bersepakat untuk membentuk kontrak berdasarkan kehendak yang

bebas dari para pihak tersebut. Di dalam Undang-Undang hanya diatur mengenai seluruh

persyaratan sahnya sebuah kesepakatan saja, dengan adanya asas kebebasan berkontrak,

seluruh pihak bebaskan dalam penentuan apapun isi serta bentuk dari suatu perjanjian

25
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Jakarta:PT.Raja GrafindoPersada, 2007, Hlm 14-31
24

yang dibentuk dan disepakati. Hal tersebut sudah tercantum di dalam Pasal 1338 ayat (1)

KUH Perdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari hal itu sendiri dapat

diketahui bahwasanya seluruh pihak dibebaskan untuk penentuan isi serta bentuk

kesepakatan sebagaimana dengan kehendak serta kesepakatan seluruh pihak, sepanjang

sesuai dengan persyaratan sah suatu perjanjian yang dicantumkan pada Pasal 1320 KUH

Perdata.

Dalam praktiknya, sebuah perjanjian kerap kali terdapat perjanjian baku. Menurut

Hondius perjanjian baku merupakan konsepsi perjanjian tertulis yang tersusun dengan tidak

adanya pembicaraan isi serta umumnya tertuang pada beberapa perjanjian tak terbatas yang

bersifat tertentu. Utan Remy Sjahdeni menyebutkan bahwasanya yang dimaksudkan dengan

perjanjian baku ialah kesepakatan yang hampir semua klausulnya telah dibakukan oleh

penggunanya serta pihak lainnya secara mendasar tidak berpeluang dalam melakukan

perundingan ataupun permintaan perubahan. Perjanjian baku seringkali dituangkan dalam

bentuk formulir. Penggunaan kontrak baku memicu persoalan yang membutuhkan solusi.

Secara tradisionalnya sebuah kesepakatan dialami didasari oleh asas kebebasan berkontrak

diantara dua pihak yang mempunyai posisi yang setara. Perjanjian yang diperoleh pada

perjanjian ialah hasil bernegosiasi dari seluruh pihak. Proses seperti ini tidak dijumpai pada

perjanjian baku. Hampir tidak terdapat kebebasan pada penentuan isi perjanjian diproses

tawar-menawar dalam pembuatan perjanjian. Isi maupun persyaratan kesepakatan sudah

ditetapkan dengan pihak oleh pengusaha. Ketidakstabilan posisi pada kesepakatan baku

dikarenakan seluruh pihak mempunyai bargaining position yang tidak setara hingga

kemudian memicu “unreal bargaining”. Ketidakstabilan posisi pada perjanjian baku

dikarenakan sejumlah hal diantaranya:


25

a) Pihak yang membuat kesepakatan baku secara umum mempunyai penguasaan akan

sumber daya yang dimiliki namun posisinya relatif tinggi daripada pihak penerima

kontrak baku. Salah satu wujudnya ialah nampak pada seluruh klausul yang ada

berbentuk standar ataupun baku yang berisikan cenderung memberatkan sepihak atau

dinamai selaku klausula esensi maupun eksonerasi. Klausula ini memberi pembatasan

serta ataupun mengalihkan pertanggungjawaban pada sebuah risiko bisnis pada pihak

lain hingga kemudian bisa memicu kondisi merugi maupun memperoleh untung yang

Di luar batas kewajaran pada salah satu pihak. Ketidakstabilan posisi ini bisa diamati

melalui terdapatnya seluruh klausula pada kontrak baku yang sebatas hanya

mengedepankan kepentingan si pelaku bisnis ataupun pihak yang memiliki modal

yang kedudukan tawarnya relatif kuat.

b) Terbatasnya akses informasi yang semestinya didapat oleh penerima kontrak baku.

Pihak yang menerima kontrak pada penandatanganan kontrak baku hanyalah

memfokuskan dirinya kepada beberapa hal terpenting pada kontrak, beberapa hal

misalnya pemilihan forum dalam menyelesaikan sengketa, penggantian kerugian jika

wanprestasi, beberapa perubahan kebijakan, serta berbagai hal lainnya tidak

difokuskan. Hak yang terbatas pada penyampaian pendapat dalam kontrak mengalami

hambatan dikarenakan pihak yang menerima kontrak menghadapi pilihan “take it or

leave it” terlebih lagi jika pihak yang menerima kontak menghadapi objek kontrak

yang sifatnya pemenuhan keperluan dasar misalnya keperluan sandang tanda tangan

dan papan dengan demikian pilihan ini dapat memicu dilematis.

c) Terdapatnya kekurangan di bidang perekonomian ataupun pengetahuan pada pihak

yang menerima kontrak baku memicu aspek stabilitas kedudukan terasa kurang

dipenuhi. Pihak yang menerima kontrak baku secara umum melakukan

penandatanganan kontrak yang diberikan dikarenakan keperluan akan objek kontrak.


26

d) Terdapatnya kekuasaan maupun wewenang yang salah satu pihak memiliki, hal

tersebut nampak pada kontrak yang terjalin antara pemerintah pada kapasitas mereka

sebagai subjek hukum privat pada hubungan keperdataan contohnya kontrak

pengadaan barang serta jasa.

Posisi yang tidak stabil bisa nampak dari ke seluruh rasul yang dituliskan di suatu

kesepakatan yang dimana dalam klausul itu sendiri memberi pembatasan untuk seluruh pihak.

Perjanjian baku berbentuk formulir yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh salah satu

pihak dalam sebuah perjanjian, selanjutnya diserahkan pada pihak lainnya yang ada di dalam

perjanjian dengan prinsip take it or leave it contract. Pihak yang mendapatkan formulir

tersebut tidak bisa mengusulkan, memberikan saran ataupun merasa diberatkan akan format

perjanjian serta seluruh klausul yang ada di dalam perjanjian.

Umumnya sebuah perjanjian yang didalam terdapat perjanjian baku kerap kali dapat

klausula xonerasi. Klausula eksonerasi ialah kesepakatan yang tidak stabil. Relasi antara

seluruh pihak yang tidak stabil pada suatu kesepakatan tentunya merupakan ketidakadilan

untuk seluruh pihak. Kondisi yang tidak adil ini dialami di sebuah relasi seluruh pihak yang

tidak stabil dinamai undue influence sementara kondisi tidak adil yang dialami di sebuah

kondisi yang tidak stabil dikatakan unconscionability. Keadilan hakikatnya ialah dipenuhinya

seluruh hal yang merupakan hak serta kewajiban. Keadilan mengharuskan terdapatnya

tindakan proporsional, sesuai, seimbang, sejalan dengan tiap hak individu.

C. ASURANSI

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 246 KUHD menjelaskan definisi asuransi ialah

kesepakatan yang mana penanggungnya mengikatkan diri pada tertanggung melalui

penerimaan premi guna memberi ganti padanya dikarenakan adanya sebuah kerugian,

kerusakan maupun kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin di alaminya


27

dikarenakan sebuah evenemen. Evenemen sendiri merupakan suatu peristiwa yang tidak

pasti. Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda yang memiliki pengertian assurantie yang

terdiri dari kata assurandeur yang berarti Penanggung dan geassurreerde yang berarti

Tertanggung. Beberapa ahli memiliki pengertian terhadap definisi dari asuransi yaitu antara

lain adalah:

 O.P Simorangkir dan Abbas salim menjelaskan bahwasanya asuransi ialah sebuah

keinginan dalam menentukan sejumlah kerugian kecil yang telah pasti selaku

pengganti ataupun substitusi sejumlah kerugian besar yang belum terjadi26.

 Wirjono Prodjodikiro menyebutkan bahwasanya asuransi adalah pertanggungan

dan dalam suatu asuransi dilibatkan dua pihak yakni pihak yang satu

menyanggupi dalam penanggungan ataupun penjaminan, sedangkan pihak yang

lainnya mendapatkan ganti atas sebuah kerugian yang bisa jadi akan dideritanya

selaku dampak dari sebuah kejadian yang tadinya belum tentu alami ataupun

sebelumnya bisa ditetapkan akan sewaktu-waktu dialami.

 Abbas Salim menjelaskan asuransi adalah suatu keinginan dalam menentukan

sejumlah kerugian kecil yang telah pasti selaku ganti rugi atas kerugian besar yang

belum pasti.27

Pengaturan terkait perasuransian di Indonesia sudah diatur dalam UU Perasuransian yang

mana pada pasal Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang

Perasuransian. “Asuransi merupakan perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi

dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan suatu premi oleh perusahaan

asuransi sebagai imbalan”:

26

27
Abbas Salim, Asuransi dan Manajemen Risiko, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 1.
28

a. pemberian ganti pada tertanggung ataupun pihak yang memegang polis dikarenakan

adanya hal yang rugi, rusak, pembiayaan yang muncul, hilang ataupun

pertanggungjawaban hukum pada pihak ketiga yang bisa jadi dialami tertanggung

ataupun pemegang polis dikarenakan di alamnya sebuah kejadian yang tidak pasti

b. membayarkan sejumlah dana didasari oleh wafatnya tertanggung ataupun

pembayaran yang didasari oleh kehidupan tertanggung disertai kebermanfaatan yang

besarannya sudah ditentukan ataupun didasari oleh hasil pengelolaan dana.

Berdasarkan pengertian-pengertian tentang asuranso diatas, maka dapat dipahami bahwa

terdapat 5 (lima unsur) yang terdapat dalam asuransi, yaitu antara lain adalah:

 Subjek Asuransi

Subjek asuransi ialah seluruh pihak yang terdapat di dalam sebuah perjanjian asuransi

yakni terdapat penanggung serta tertanggung yang melakukan kesepakatan.

Penanggung ialah pihak yang menerima sebuah pengalihan risiko dan memberikan

proteksi. Sementara tertanggung ialah pihak yang melakukan pengalihan risiko dan

menerima proteksi. Penanggung berkewajiban untuk menanggung resiko yang

diberikan padanya serta memiliki hak atas mendapat pembayaran premi. Sebaliknya

tertanggung diwajibkan melakukan pembayaran premis serta memiliki hak atas

pendapat ganti apabila dialami kerugian atas harta kekayaan yang dimiliki yang

diasuransi.

 Status Para Pihak

Pihak Penanggung wajib memiliki status sebagai sebuah badan hukum, yakni dapat

berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Perseroan (Persero), atau Koperasi.

Sedangkan Pihak Tertanggung dapat berstatus sebagai perorangan, persekutuan atau


29

badan hukum baik sebagai perusahaan atau bukan perusahaan. Tertanggung harus

berstatus sebagai pemilik atau pihak yang memiliki kepentingan atas objek yang

diasuransikan.

 Objek Asuransi

Objek asuransi bisa berbentuk benda berwujud ataupun benda tidak berwujud, hak,

ataupun kepentingan yang terdapat di benda tersebut. Atas objek asuransi itu sendiri

harus terdapat risiko yang dapat terjadi hingga dapat menimbulkan kerugian bagi

pemiliknya ataupun pihak yang berkepentingan terhadap objek tersebut. Lewat objek

asuransi ini terdapat sebuah tujuan yang hendak direalisasi oleh seluruh pihak. Pihak

penanggung memiliki tujuan dan mendapat pembayaran sebanyak premis laku

imbalan dari beralihnya risiko. Sementara tertanggung memiliki tujuan terbebas dari

sebuah risiko serta mendapat ganti apabila muncul kerugian atas kekayaan yang

dipunyai yang diasuransikan yang bisa jadi dapat mengalami kerugian dikarenakan

sebuah kejadian yang tidak terbuka.

 Peristiwa Asuransi

Peristiwa asuransi merupakan suatu tindakan hukum yang berbentuk kesepakatan ataupun

tujuan bebas antara penanggung atau tertanggung terkait objek asuransi, peristiwa

tidak pasti yang menjadi ancaman objek yang diasuransikan serta seluruh persyaratan

yang diberlakukan pada asuransi. Persetujuan ataupun kesepakatan itu sendiri

dirancang berbentuk tertulis yakni akta yang dinamakan sebagai polis asuransi. Polis

asuransi ialah alat yang dipergunakan pada pembuktian sudah dilakukannya perjanjian

asuransi antara para pihak.

 Hubungan Asuransi
30

Hubungan asuransi yang terjalin antara penanggung serta tertanggung ialah suatu ikatan

hukum yang muncul dikarenakan kesepakatan maupun persetujuan bebas. Ikatan ini

sendiri ialah berbentuk kesiapan dengan sukarela dari penanggung serta tertanggung

guna mengakomodasi kewajiban serta hak tiap-tiap pada satu dengan yang lainnya

semenjak terjadinya kesepakatan asuransi. Dalam hal ini tertanggung sudah terikat

serta diwajibkan untuk membayarkan premi asuransi pada penanggung serta semenjak

itu juga penanggung menerima peralihan resiko. Penanggung jawab membayarkan

penggantian rugi sebagaimana dengan ketetapan polis asuransi namun umumnya

apabila tidak dialami suatu evenemen, premi yang telah dibayarkan oleh tertanggung

merupakan kepemilikan penanggung. Namun pada saat ini sudah muncul berbagai

macam jenis asuransi yang baru sehingga memungkinkan premi dikembalikan kepada

Tertanggung apabila tidak terjadi evenemen dalam jangka waktu yang telah disepakati

dalam polis.

Dalam dunia perasuransian sendiri terdapat 2 (dua) pihak utama, yaitu antara lain

adalah: 28

 Pihak Penanggung

Penanggung merupakan pihak yang memiliki kesiapan dalam menerima peralihan resiko

dari pihak lainnya. Wujud penerimaan tersebut merupakan kesepakatan antara

penanggung dan tertanggung yang mana penanggung memiliki kesediaan serta

berikrar agar memberi ganti atau suatu kompensasi pada pihak tertanggung jika pihak

tertanggung menghadapi suatu kerugian, kerusakan maupun kehilangan untuk

dikarenakan sebuah kejadian yang tidak tertentu sebagaimana yang disetujui pada

kesepakatan.
28
Direktorat Jenderal Perdagangan dalam Negeri Republik Indonesia bekerja sama dengan LKHT-FHUI, Laporan
Penelitian Tahap Pertama versi 1.04, Jakarta, 2001, hlm 161
31

 Pihak Tertanggung

Tertanggung ialah pihak yang risikonya ditanggung oleh pihak penanggung. Pihak yang

bisa menjadi tertanggung ialah seseorang, sekelompok individu maupun instansi,

badan hukum yang meliputi korporasi maupun siapapun yang bisa merugi. Sebagai

imbalannya atas peralihan risikonya kepada Pihak Penanggung, Tertanggung

memiliki kewajiban untuk membayar sejumlah premi sudah disepakati dengan pihak

penanggung

Sebuah perjanjian asuransi dalam pelaksanaannya terdapat beberapa prinsip mendasar

yang mesti ditaati oleh para pihak pada kesepakatan tersebut. Prinsip-prinsip perjanjian

asuransi antara lain adalah:

 Prinsip Kepentingan yang Dapat Diasuransikan (Insurable Interest)

Hukum asuransi menetapkan bahwasanya Jika seorang individu melakukan perjanjian

asuransi, seluruh pihak mesti berkepentingan pada objek yang diasuransi. 29 Prinsip ini

kerap dinamai insurable interest. Terkait hal ini tertuang pada Pasal 250 KUHD yang

menyebutkan bahwasanya “Agar suatu perjanjian asuransi bisa dilaksanakan, maka

objek yangh dapat diasuransikan harus merupakan suatu kepentingan yang dapat

diasuransikan yaitu kepentingan yang dapat dinilai dengan uang. Atau dengan

penafsiran lain adalah seseorang bisa mengasurnasikan barang-barang apabila

bersangkutan mempunyai kepentingan atas barang yang dipertanggungkan”.30

 Prinsip Itikad Baik

29

30
Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-Asek Hukum Asiuransi dan Surat Berharga, Bandung Alumnu, 2003, hlm
66
32

Prinsip Itikad Baik diatur dalam Pasal 253 KUHD yang menyebutkan bahwasanya intinya

bahwasanya perjanjian asuransi baru jika perjanjian dilandasi oleh itikad baik. Istilah

prinsip etika baik dinamai pula dengan asas kejujuran yang sebaik mungkin. Dalam

bahasa Inggris, prinsip etika baik disebut Principle Utmost Good Faith. Prinsip Itikad

Baik bisa dimaknai bahwasanya tiap-tiap pihak pada sebuah kesepakatan yang hendak

disetujui demi hukum berkewajiban dalam memberi keterangan ataupun informasi

yang selengkap mungkin, yang dapat berdampak pada keputusan pihak lainnya dalam

masuk ke kesepakatan atau sebaliknya, baik keterangan yang dimintai ataupun tidak.

Konsekuensi yang terjadi apabila prinsip ini dilanggar adalah batalnya perjanjian

asuransi sehingga apabila terjadi evenemen Penanggung terlepas dari kewajiban untuk

memberukan ganti rugi pada Tertanggung.

 Prinsip Ganti Kerugian

Prinsip Ganti Kerugian diatur dalam Pasal 253 KUHD. Secara hakikat fungsi dari

asuransi merupakan peralihan ataupun pembagian resiko yang berkemungkinan

dialami oleh tertanggung dikarenakan di alamnya sebuah kejadian tidak pasti.

Karenanya besaran penggantian rugi yang tertanggung menerima mesti sama dengan

kerugian yang dialami. Hal tersebut menjadi inti dari prinsip ganti rugi atau dinamai

pula sebagai prinsip keseimbangan. Berdasarkan pada prinsip ganti rugi bahwasanya

yang merupakan landasan dalam mengganti rugi dari pihak penanggung pada pihak

tentang ialah sebanyak kerugian yang sebenarnya dialami oleh tertanggung yang

berarti tidak diperkenankan melakukan pencarian profit dari penggantian kerugian

asuransi ataupun bulutangkis inti dari prinsip ganti rugi ialah adanya keseimbangan

yaitu kesamaan antara kerugian yang benar-benar dialami oleh tertanggung dengan

banyaknya ganti rugi yang harus diberikan oleh pihak penanggung.


33

 Prinsip Subrogasi

Prinsip subrogasi diatur dalam Pasal 284 KUHD yang menyebutkan bahwasanya “Pihak

Penanggung yang sudah membayar kerugian suatu barang yang diasuransikan,

meggantikan pihak Tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhdap ornag-

orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut, dan pihak Tertanggung

memiliki tanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat memberi kerugian

terhadap hak dari pihak penanggung yang sudah mengganti kerugian pada pihak

tertanggung guna mengganti posisi tertanggung pada upaya penerimaan seluruh

kebermanfaatan yang bisa jadi didapat dari pihak lainnya. Tanpa mempedulikan

Apakah hal itu sendiri telah dijalankan ataupun belum. Prinsip subrogasi muncul

dengan tujuannya melakukan penegakan prinsip identitas yaitu pencegahan

tertanggung memperoleh keuntungan dari kerugian yang dialami dikatakan terdapat

ilmu kimia ketiga selaku pemicu munculnya kerugian. Hak dari penanggung guna

memperoleh manfaat dikarenakan penerapan prinsip subrogasi terbatas oleh

banyaknya klaim yang dibayar langsung pada tertanggung.31

Daalam terjadinya suatu perjanjian asuransi, guna menyatakan dialaminya semua

kesepakatan asuransi yang disepakati oleh pihak penanggung serta tertanggung dan

meningkatkan dua belah pihak dapat dipahami melalui dua teori perjanjian. Kedua teori itu

sendiri ialah teori tawar-menawar (bargaining theory) dan teori penerimaan (acceptance

theory).

 Teori Tawar Menawar

31
Heru Susanto, Subrogasi sebagai Bentuk Pertaggung Jawab Pihak Ketiga Terhadap Penanggung dalam
Perasuransian, Dialektika, Vol.5, No.1, Mei 2007, hlm 35
34

Teori tawar menawar merupakan tiap kesepakatan hanya dapat dialami antara dua pihak

jika penawar dari pihak satu dihadapi oleh penerimaan pihak lain. Hasil yang menjadi

harapan ialah adanya keselarasan penawaran serta penerimaan secara timbal balik ke

antar dua belah pihak. Pada penawaran tersebut ada dua elemen yang menjadi penentu

yakni adanya penawaran serta penerimaan. Penawaran dari salah satu pihak yang

dihadapkan pada penawaran pihak lainnya, serta penerimaan dari pihak lain pula

dihadapkan kepada penerimaan dari pihak lain. Timbal balik antara tawaran dan

penerimaan menciptakan kesepakatan yang menjadi dasar perjanjian antara kedua pihak.

keunggilan dari bargaining theory ialah adanya kepastian hukum yang dilahirkan

berlandaskan perjanjian yang menjadi dasar kesepakatan antara kedua belah pihak.

Namun terdapat kekurangan dari teori ini yaitu pihak menanggung selalu berposisi relatif

kuat daripada tertanggung dikarenakan penanggung memiliki pengalaman terkait resiko

serta kerugian dikarenakan kejadian yang bisa saja dialami. Pada adanya kesepakatan

yang dicapai, selalu terdapat kecenderungan tanggung jawab penanggung yang terbatas

terhadap kerugian yang bisa jadi muncul dikarenakan adanya peristiwa, yang mana hal

tersebut tidak tertanggung pahami.

Dialaminya suatu kesepakatan asuransi didahulukan oleh adanya rangkaian tindakan

menawar serta menerima yang tertanggung serta penanggung lakukan secara timbal balik

dan ada titik rangkaian tindakan itu sendiri tidak secara detail diatur pada UU

perasuransian namun hanyalah terdapat pernyataan "persetujuan kehendak" selaku salah

satu elemen sah perjanjian pada pasal 1320 KUHPer. Rangkaian tindakan penawaran

serta penerimaan guna merealisasi kesepakatan kehendak terkait asuransi hanyalah bisa

diketahui lewat kebiasaan yang sudah ada pada praktek bisnis asuransi. Karenanya

rangkaian tindakan itu sendiri mesti ditelusur lewat proses praktek perjanjian asuransi.
35

 Teori Penerimaan

Sesuai dengan apa yang telah dijelaskan pada bagian penawaran terkait waktu perjanjian

asuransi terjalin serta mengikatkan penanggung serta tertanggung tidak terdapat

ketetapan hukum pada uu perasuransian. Oleh karena itu untuk mengetahui waktu

dialaminya serta mengikatkan perjanjian asuransi yang bisa dikaji lewat teori

penerimaan. Berdasarkan teori ini, ketika dialami perjanjian tergantung kepada

keadaan konkret yang pembuktiannya bisa dilakukan lewat tindakan konkrit ataupun

dokumentasi perbuatan hukum.

Lewat dokumen perbuatan hukum dengan demikian bisa kita ketahui waktu dialaminya

kesepakatan yakni di tempat, hari serta tanggal tindakan konkrit tersebut

ditandatangani oleh para pihak yang berkaitan, keunggulan dari teori ini ialah waktu

serta mengikat kesepakatan antara dua pihak bisa ditetapkan dengan pasti hingga

kemudian ketika mulai terpenuhinya kewajiban, dampak hukumnya pun pula akan

bisa dipastikan. Namun terdapat juga kelemahan yaitu pada pihak tertanggung

menerima seluruh konsekuensi yuridis yang terdapat pada perjanjian, kendati pihak

tertanggung tidak mengerti isi dari perjanjian ketika melakukan pernyataan

penerimaan ataupun penandatanganan nota perjanjian tersebut.

Perjanjian asuransi adalah salah satu perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD.

Pertanggungan merupakan suatu perjanjian oleh karena itu syarat-syarat sah perjanjian dalam

Pasal 1320 KUHPer juga berlaku terhdapa pertanggungan. Dikarenakan pertanggungan

merupakan suatu kesepakatan khusus, dengan demikian selain persyaratan umum pada pasal

1320 KUHPer masih berlaku kembali persyaratan terkhusus yang diatur pada KUHD.

Terdapat 5 (lima) syarat sahnya perjanjian asuransi, yaitu antara lain adalah:32

32
Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum pertanggungan, Bandung; PT. Citra Aditya Bakti, 1994, hlm 21-26
36

 Kesepakatan/Persetujuan Kehendak

Para pihak yang melakukan pertanggungan mesti memiliki kesepakatan kehendak

yang berarti dua belah pihak setuju terhadap objek dari suatu kesepakatan atau suatu

objek yang dipertanggungkannya. Terkait hal-hal yang dihendaki oleh pihak

tertanggung dihendaki pula oleh pihak yang menanggung. Sehingga kemudian maka

terealisasinya satu pengertian yang serupa mengenai objek pertanggungan dan

persyaratan pertanggungan antara dua belah pihak.

 Kecakapan

dua belah pihak yang melakukan pertanggungan mesti wewenang

menjalankan tindakan hukum. Maknanya para pihak mesti telah terlebih dahulu sudah

mencapai kedewasaan, tidak berada di naungan pengampuan, tidak pada keadaan

sakit ingatan dan tidak berada pada kondisi pailit. Demikian pula jika para pihak

mewakili pihak lainnya maka mesti menyatakan bagi kepentingan siapa pertanggung

tersebut diadakan: belah pihak bisa berbentuk badan hukum. Akan tetapi pihak

tertanggung bisa berbentuk badan hukum maupun perorangan, sementara pihak

penanggung selaku bahan dan hukum yang melakukan bisnis perasuransian

sebagaimana yang tertuang pada UU Perasuransian.

 Objek Pertanggungan/Ada kepentingan yang dapat diasuransikan

Dalam suatu pertanggungan mesti terdapat objek pertanggungannya yang

berbentuk benda, jiwa manusia, raga manusia ataupun kepentingan yang terdapat di

benda dan kejiwaan manusia. Dikarenakan yang mempertemukan objek ialah pihak

tertanggung, dengan demikian tertanggung mesti memiliki relasi langsung atau tidak

langsung dengan objek pertemuan. Disebut terdapat relasi langsung jika tertentu

mempunyai sendiri benda, jiwa, raga yang merupakan objek pertanggungan. Disebut
37

terdapat relasi tidak langsung jika tertanggung hanyalah berkepentingan atas objek

pertanggungan. Bahwa pihak tertanggung diharuskan untuk bisa melakukan

pembuktian bahwasanya ia sungguh-sungguh memiliki ataupun berkepentingan atas

objek pertanggungan. Jika pihak bertanggung tidak bisa membuktikannya dengan

demikian akibat yang muncul adalah penilaian ia tidak berkepentingan apapun, di

mana hal tersebut memicu pertanggungan mengalami pembatalan. Perundang-

undangan tidak bisa membenarkan, tidak memberikan pengakuan atas seseorang yang

melakukan pertanggungan namun tidak berkepentingan. Meskipun pihak yang

melakukan pertanggungan tidak berhubungan langsung dengan objek pertanggungan,

mesti menyebut bagi kepentingan siapa penanggungan tersebut dilakukan. Apabila hal

tersebut tidak dipenuhi dengan demikian pertanggungan dinilai tidak ada.

Berdasarkan pada ketentuan pasal 599 KUHD, dinilai tidak berkepentingan

merupakan seseorang yang mempertanggungkan objek yang tidak diperkenankan oleh

perundang-undangan. Apabila dilakukan pertanggungan maka pertanggungan tersebut

mengalami pembatalan.

 Adanya Kausa yang Diperbolehkan

Adanya kau sayang diperbolehkan berarti bahwa suatu kesepakatan pertanggungan

tidak diperkenankan oleh perundang-undangan, tidak berlawanan dengan ketertiban

umum serta tidak berlawanan dengan asusila. Tujuan yang ingin direalisasi pada

pertanggungan ialah adanya pengambilalihan risiko atas objek pertanggungan yang

dibarengi dengan pembayaran premi. Oleh sebab itu kedua belah pihak melakukan

prestasi tambang umum tertanggung membahayakan premi, penanggung menerima

pengalihan resiko atas objek rangkuman. Apabila brainly dibayarkan, risiko

mengalami peralihan. Apabila premi tidak dibayarkan, risiko tidak mengalami

peralihan.
38

 Pemberitahuan

Kewajiban pemberitahuan ini terdapat pada bertanggung. Tanda gombal kewajiban

untuk memberitahukan pada penanggung mengenai kondisi objek pertanggungan.

Kewajiban tersebut dijalankan ketika mengadakan pertanggungan tanah Didik jika

tertanggung lupa, maka dapat memicu pertemuan tersebut mengalami pembatalan

sesuai dengan Pasal 251 KUHD. Kewajiban pemberitahuan Pasal 251 KUHD ini

tidak digantungkan kepada terdapatnya iktikad baik ataupun tidak dari tertanggung.

Jika tertanggung salah pada pemberitahuan, dengan tidak adanya unsur sengaja,

demikian pula memicu pembatalan bertanggung jawab apabila para pihak sudah

menyepakati hal lainnya. Umumnya kesepakatan semacam ini tertuang secara tegas

pada polis dengan "klausula sudah diketahui".

Dalam suatu perjanjian asuransi, polis asuransi ialah integritas yang tidak bisa

dipisahkan dengan perjanjian asuransi, yang meliputi tanda bukti kepesertaan asuransi untuk

pertanggungan himpunan antara pihak yang menanggung serta pihak yang memegang polis.

Pihak yang memegang polis merupakan pihak yang mengikat dirinya berlanda sangat pada

kesepakatan dengan korporasi asuransi ataupun korporasi sejenis guna memperoleh

perlindungan ataupun pengelolaan terhadap risiko untuk diri mereka, tertanggung atau

peserta lainnya di pasal 255 KUHD menjelaskan bahwasanya asuransi disusun dengan

tertulis pada sebuah akta yang dinamai polis.33 Berdasarkan pada pasal tersebut maka

alasannya belum mencukupi dalam penarikan sebuah konklusi bahwasanya asuransi ialah

kesepakatan formal, hingga kemudian diangkat polisi merupakan satu-satunya pembuktian

pada kesepakatan asuransi. Hal ini dikarenakan dengan tersistematis pada ketentuan Pasal

255 KUHD dihubungkan dengan Pasal 257 KUHD. Pasal 257 KUHD Ayat (1) menyatakan

33
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan Kebijakan moneter dan Perbankan, Depok Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005, hlm 688
39

bahwa "Perjanjian pertanggungan ada seketika diadakan; hak-hak dan kewajiban-kewajiban

timbal-balik dari Penanggung dan Tertanggung mulai sejak saat itu, bahkan sebelum polis

ditandatangani". Pasal tersebut bisa diartikan bahwasanya kesepakatan asuransi sudah

terjalin dengan terdapatnya istilah "sepakat" para pihak, kena tipolis belum ada. Sehingga

kemudian asuransi ialah suatu kesepakatan konsensual. Hal ini artinya bahwasanya polis

bukan persyaratan esensial pada kesepakatan asuransi namun hanyalah memiliki fungsi

selaku pembuktian. Hal tersebut dijelaskan pada Pasal 258 Ayat (1) KUHD yang

menyebutkan bahwasanya dalam melakukan pembuktian sudah dilakukannya suatu

kesepakatan asuransi maka diperlukannya pembuktian dengan tulisan dalam hal ini adalah

polis tetapi diperkenankan alat lainnya untuk membuktikan dipakai pulang ketika telah

terdapat sebuah awalan pembuktian dengan tulisan. Dalam pasal tersebut jika disimak dengan

cermat bawah yang dimaksud dengan frasa "tulisan" di kalimat pertama ialah polis sementara

definisi frasa "tulisan" di kalimat terakhir dimaksud bukan polis akan tetapi permulaan bukti

melalui surat yaitu diantaranya korespondensi antara seluruh pihak, pencatatan mau keluar

asuransi, nota penutupan beserta berbagai hal lainnya.

Berdasarkan pada teori diatas, nampak bahwasanya polis asuransi bukan menjadi

persyaratan mutlak bagi kesepakatan asuransi namun hanyalah memiliki fungsi selaku

pengemudian bagi kepentingan pihak menanggung. Hal ini dikarenakan berdasarkan pada

ketetapan Pasal 256 ayat (2) KUHD yang ditafsirkan bahwa polis penandatanganannya

dilakukan oleh penanggung serta bukan tas tanggung. Tanda tidak demikian, meski polis

bukan menjadi persyaratan mutlak pada sebuah kesepakatan asuransi, bukan berarti tidak

penting dalam suatu perjanjian asuransi. Posisi polis masih penting dikarenakan di dalamnya

terdapat biji yang lengkap dari kesepakatan yang meliputi hak serta kewajiban dari seluruh

pihak. Karena hanya polis adalah pembuktian sempurna terkait kesepakatannya bersangkutan

serta jika tidak terdapat penulis akan membuat sulit dalam pembuktian. Praktek asuransi
40

memperlihatkan bahwasanya tiap korporasi asuransi sudah membuat polisnya tersendiri

disertai persyaratan khusus serta klausula tertentu. Dari persyaratan khusus serta klausul

tertentu yang tercantum di polis, maka timbul jenis polisi yang tidak serupa antar satu sama

lain, bahkan ketidaksamaan ini merupakan sarana kompetisi antara sesama penanggung.

Guna meminimalisir kompetisi yang tidak sehat antar sesama korporasi asuransi, dengan

demikian diusahakan penyamaan persyaratan khusus pada polis melalui cara penciptaan polis

standar baik nasional ataupun internasional hingga kemudian bisa mencegah pertidaksamaan

yang menonjol dari polis korporasi asuransi satu dengan yang lain.

Suatu perjanjian asuransi dapat batal dikarenakan adanya beberapa peristiwa yang

dapat mengakibatkan batalnya perjanjian asuransi. Berikut beberapa peristiwa tersebut:

 Jangka Waktu Berlakunya Telah Habis

Asuransi pada umumnya dilakukan Pada kurun waktu tertentu, contohnya adalah

pertanggungan yang dilakukan selama 1 tahun. Kurun waktu pada umumnya ada di

asuransi kebakaran ataupun kendaraan bermotor. Terdapat pula asuransi yang

dilakukan Pada kurun waktu yang panjang contohnya pertanggungan yang selama 10-

20 tahun. Periode itu sendiri terdapat pula di asuransi kejiwaan. Periode ini ditentukan

pada polis. KUHD sendiri tidak memperlakukan dengan tegas kurun waktu asuransi.

Jika kurun waktu bertanggung jawab sudah habis, dengan demikian asuransi akan

usai.

 Perjalanan Berakhir

Suatu asuransi bisa dilakukan berlandaskan perjalanan, contohnya adalah asuransi yang

dilakukan bagi perjalanan kapal dari pelabuhan Ketapang ke Gilimanuk. Jika

perjalanannya tersebut sudah sampai kepada tujuan, maka pertanggungan berakhir.


41

Pertanggungan jenis ini secara umum dilangsungkan bagi asuransi pengangkutan,

angkutan barang ataupun penumpang.

 Terjadi Evenemen Diikuti Klaim

Pada suatu polis asuransi, terdapat pernyataan pada kejadian apa saja yang dapat

dipertanggungkan. Jika selama pertanggungan berlangsung dan dialami kejadian yang

ditanggungkan serta memicu kerugian, pihak penanggung dapat melakukan

penyelidikan dengan tujuan Apakah benar tertanggung berkepentingan atas benda

yang diasuransikannya. Selain itu, tujuan diselidikinya ialah untuk mengetahui apakah

kejadian yang dialami benar bukan dikarenakan kekeliruan tertanggung serta selaras

dengan kejadian yang sudah ditetapkan pada polis. Apabila setelah diselidiki dan

rupanya jawabannya tepat, dengan demikian dilaksanakan pemberesan didasari klaim

dari pihak tertanggung. Pembayaran penggantian rugi dipenuhi oleh penanggung

sesuai dari asas stabilitas. Melalui dipenuhinya ganti rugi berlandaskan klaim

tertanggung, dengan demikian pertanggungan sudah usai

 Asuransi Berhenti atau Dibatalkan

Suatu pertanggungan asuransi berakhir apabila pertanggungan itu berhenti. Berhentinya

pertanggungan dapat terjadi karena kesepakaran antara Tertanggung dan Penanggung,

contohnya dikarenakan premi tidak dibayarkan oleh Tertanggung. Berhentinya

pertanggungan dapat juga terjadi karena faktor di luar kemauan dari pihak

Tertanggung dan Penanggung, contohnya terjadi pemberatan risiko setalah asuransi

berjalan (Pasal 293 dan 628 KUHD). Selaim itu KUHD sudah mengatur tentang

ancaman batal jika didalam perjanjian asuransi terdapat:


42

a. Pasal 251 KUHD menjelaskan apabilan perjanjiian berisikan keterangan yang

salah atau tidak tepat ataupun jika tertanggung tidak memberitahu sejumlah

hal yang diketahui hingga kemudian jika hal tersebut disampaikannya pada

penanggung dapat memicu tidak tertutupinya suatu kesepakatan asuransi itu

sendiri.

b. Pasal 269 KUHD menjelaskan apabila perjanjian asuransi memuat sebuah

kerugian yang telah telah ada sebelum kesepakatan asuransi ditandatangan.

c. Pasal 272 KUHD menjelaskan apabila suatu perjanjian asuransi berisikan

ketetapan bahwasanya tertanggung dengan pemberitahuan lewat pengadilan

memberikan kebebasan terhadap pihak penanggung dari seluruh kewajiban

yang bisa dialaminya.

d. Pasal 282 menjelaskan apabila suatu perjanjian asuransi terdapat suati akal

cerdik ataupun penipuan maupun tindakan curang dari Pihak Tertanggung.

Dalam dunia perasuransian, asuransi dibagi menjadi dua yaitu Asuransi Jiwa

dan Asuransi Kerugian. Asuransi jiwa merupakan layanan yang diberikan oleh

penanggung untuk memberikan perlindungan terhadap dampak dari adanya kerugian

finansial yang dikarenakan adanya kematian.34 Sedangkan asuransi menurut

Djojosoedarso berarti kesepakatan dengan satu pihak penanggung untuk mengikat

dirinya pada pihak lainnya guna mengganti rugi yang bisa tertanggung derita

disebabkan dialami sebuah kejadian yang sudah ditunjuk serta yang belum tentu

dengan kebetulan, dengan mana juga tertanggung memiliki janji guna membayarkan

sejumlah premi yang sudah ditentukan. Selain itu, manfaat dari asuransi jiwa adalah

memberikan perlindungan terhadap dampak dari adanya kerugian finansial jika

34
Virdita Ratriani, “Simak pengertian Asuransi Jiwa dan Jenis-Jenis Sesuai Kebutuhan” dalam
https://keuangan.kontan.co.id/news/simak-pengertian-asuransi-jiwa-dan-jenis-jenisnya-sesuai-kebutuhan
(Dikakses pada 23 September 2021 Pukul 13.16 WIB)
43

tertanggung mengalami risiko kecelakaan atau risiko menderita penyakit. Lalu,

asuransi kerugian adalah upaya pemberian layanan menggunakan sebuah risiko atas

kerugian, kehilangan, manfaat serta pertanggungjawaban hukum dari sebuah kejadian

yang tidak pasti. Salah satu contoh dari asuransi kerugian adalah sebagai berikut:

a. Asuransi Kebakaran

b. Asuransi Kehilangan dan Kerusakan;

c. Asuransi laut;

d. Asuransi Pengangkutan;

e. Asuransi Kredit.

D. ALAT BUKTI ELEKTRONIK

Berkembangnya teknologi yang sangat cepat memberikan kemajuan pada segi

kehidupan manusia. Berkembangnya teknologi berujung pada terlahirnya suatu inovasi

terbaru yaitu sebuah internet. Pada zaman modern seperti sekarang, pemakaian internet

bertumbuh dengan cepat. Hal ini disebabkan karena tiap aspek sendi hidup manusia

khususnya yang berhubungan dengan relasi sosial sekolah mewajibkan dalam

mempergunakan fasilitas internet. Perkembangan zaman tersebut juga menciptakan inovasi

baru yaitu pembuatan kontrak yang dilakukan secara elektronik. Pada umumnya, kontrak

elektronik sudah memperoleh pengakuan dari United Nations dan dituangkan dalam United

Nations Convention on the Use of Electronic Communications in Internationals Contracts

(selanjutnya disebut ECC) Pasal 8 ayat (1). Pada pasal ini menyebutkan bahwasanya “Tidak

diperbolehkan untuk menolak keabsahan dari status kontrak yang dilakukan via elektonik dan

dalam bentuk elektronik. Maka dari penjelasan tersebut dapat dinyatakan bahwa Persatuan

Bangsa Bangsa (PBB) mengakui dengan adanya keabsahan kontrak elektronik dan mengikat

para pihak yang bersangkutan.”


44

Secara mendasar terbentuknya kontrak elektronik sejalan dengan Pasal 1320 KUH

Perdata. Namun terdapat perbedaan dengan penyusunan kontrak konvensional, seluruh pihak

yang merancang kontrak elektronik tidak saling tatap muka dengan langsung, keadaan yang

seperti itu kemudian memicu suatu persoalan yang berhubungan dengan validitas dari

kontrak elektronik yang disusun serta persoalan bagi penentuan dokumentasi asli serta

salinan guna menjadi pembuktian. Kontrak elektronik menurut edmin Makarim ialah sebuah

relasi hukum atau sebuah ikatan yang dilangsungkan dengan elektronik, yakni ikatan yang

dilangsungkan serta di saranai oleh akses internet melalui perpaduan layanan telekomunikasi

sistem informasi dengan basis komputerisasi serta jaringan. Terlaksananya kontrak elektronik

dikomunikasikan Melalui aplikasi surat elektronik atau yang bisa pula dikombinasikan

dengan media komunikasi lain.35

Kontrak elektronik merupakan kontrak yang memperoleh perlindungan dengan

terkhusus pada UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Onformasi dan Transaksi Elektronik

(Selanjutnya disebut UU ITE), pada Pasal 1 angka 17 menyebutkan bahwasanya “Kontrak

elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Sedangkan

sistem elektronik itu sendiri merupakan serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang

berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,

menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik”

seperti yang tertuang pada Pasal 1 angka 5 UU ITE. 36

Kontrak elektronik memiliki ciri-ciri Dibuat dengan jarak jauh bahkan bisa melewati

batasan sebuah negara lewat internet serta seluruh pihak pada suatu kontrak elektronik tidak

sama sekali bertatap muka ataupun bisa jadi tidak sama sekali berjumpa. Terdapat tiga aturan

regulasi yang mencari pengaturan terkait kontrak elektronik di Indonesia ialah Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016, Peraturan Pemerintah Republik


35
Dominikus Rato, Legalitas Kontrak Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Hukum Perdata, Jurnal
Syntax Literate, Vol.7, No. 3 Maret 2022, Hlm 1463
36
ibid
45

Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik;

dan Peraturan Pemrrintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan

Melalui Sidtem Elektronik. Hal umum yang ikut masuk ke dalam kontrak elektronik ialah

tanda tangan elektronik. Indonesia mengkategorikan dua jenis tanda tangan elektronik yaitu

tanda tangan elektronik serta tanda tangan elektronik "bersertifikat". Tanda tangan elektronik

berbeda dengan tanda tangan elektronik bersertifikat apabila dibuat dengan tidak

mempergunakan layanan penyelenggara jasa sertifikat elektronik yang terdaftar di Indonesia.

Secara mendatar suatu kontrak elektronik ialah versi digital dan kontrak kertas konvensional

atau tradisional. Saat seperti kontak tradisional, kontrak yang dilakukan secara digital

merupakan kesepakatan yang penandatanganannya dilakukan oleh kedua belah pihak. e-

contract merupakan suatu dokumen yang bisa ditegakkan serta meningkat secara hukum

yang umumnya dipergunakan terkait pekerjaan jual beli, pelayan maupun penyewaan.

Melalui kontrak kertas pada umumnya, satu pihak membuat penawaran serta pihak lainnya

membaca. Apabila dua belah pihak sudah setuju terhadap semua persyaratan serta ketetapan

yang tertuang pada penawaran, maka mereka diharuskan melakukan penandatanganan

dokumen serta menjadi kontrak yang absah.37

Pada umumnya penyusunan kontrak elektronik mempunyai dua mekanisme yakni

yang pertama dikenali selaku kontrak market yaitu mengikutkan dirakitnya kontrak

elektronik secara otomatis. Kontrak disusun mempergunakan informasi dari formulir

permintaan awal, mempergunakan aturan bisnis serta klausul yang sudah disepakati

sebelumnya yang ditentukan pada aplikasi. Lalu sesudah kontrak dibuat kontrak selanjutnya

dikirimkan kembali ke pemohon awal. Lalu untuk mekanisme kedua adalah mengikutkan

seseorang yang memiliki kewenangan agar melakukan peninjauan serta penyusunan kontrak.

Biasanya pihak yang menyusun kontak digital akan mengawalinya dengan suatu template

elektronik yang sudah disepakati sebelumnya selaku titik awal. Dari hal tersebut seluruh
37
ibid
46

pihak mempunyai akses kepustakaan langsung serta bisa menambah klausula yang sudah

disepakati sebelumnya yang memiliki relevansi serta mengacu kepada hukum panduan

klausula didasari oleh keperluan. Seseorang itu sendiri selanjutnya akan mengirim kontak

yang sudah rampung pada pihak yang memohon. Keduanya membuat kontak elektronik yang

akurat serta aman secara hukum serta pada beragam kasus, cara yang dipergunakan ditunjang

oleh keperluan bisnis.38 Beberapa bisnis dalam zaman modern seperti sekarang ini lebih

memilih untuk menggunakan kontrak digital dengan tujuan agar meminimalisir banyaknya

kertas yang dipergunakan pada sebuah bisnis. Hal ini karena menjadi bagian dari gerakan "go

green". Hal ini ialah pilihan yang membantu dikarenakan kontak hampit selaliu memiliki

halaman yang banyak. Demikian juga terdapat sejumlah bisnis menjumpai bahwasanya relatif

mudah dalam pengaturan serta pengelolaan kontrak digital dikarenakan kintrak digital

menawarakan keamanan yang ditingkatkan.39

Berdasarkan pada Pasal 5 ayat 1 UU ITE ditetapkan bahwasanya informasi elektronik

maupun dokumentasi elektronik ataupun hasil cetak tersebut ialah pembuktian hukum yang

valid. Lalu pada Pasal 5 ayat (2) UU ITE ditetapkan bahwasanya informasi elektronik

ataupun dokumen elektronik ialah perluasan alat pembuktian yang valid sebagaimana dengan

hukum acara yang diberlakukan di Indonesia. Oleh karena itu uu ite sudah menetapkan

bahwasanya dokumen elektronik maupun hasil cetaknya ialah sebuah pembuktian yang valid

serta menjadi perluasan alat pembuktian yang absah sebagaimana dengan hukum acara yang

sudah diberlakukan di Indonesia, hingga kemudian bisa dipergunakan selaku pembuktian di

meja persidangan dengan adanya uu ite kemajuan pada sikap serta penanggulangan kejahatan

siber sekarang khususnya pada proses penegakan hukum.

Berdasarkan pada Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE sudah menjelaskan secara jelas

mengenai posisi informasi elektronik ataupun dokumentasi elektronik selaku pembuktian


38
ibid hlm 1466
39
Edmon Makarim, Keautentikan Dokumen Publik Elektronik Dalam Administrasi Pemerintahan dan
Pelayanan Publik, Jurnal hukum dan pembangunan Tahun ke- 45 No. 4 Oktober-Desember 2015, hlm 555
47

yang valid serta perluasan dari pembuktian yang sah sebagaimana dengan hukum acara yang

diberlakukan di Indonesia. Frasa informasi elektronik selaku pembuktian dilangsungkan

bertujuan untuk menegakkan hukum atas permintaan lembaga penegak hukum yang

ditentukan di 31 ayat (1) UU ITE. Syarat sah suatu dokumen elektronik adalah apabula

mempergunakan sistem elektronik sebagaimana dengan ketetapan yang tertuang pada UU

ITE, khususnya pada Pasal 6 UU ITE yaitu “informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses,

ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan

suatu keadaan”. Di samping itu pula ada keistimewaan pada pelaksanaan sertifikasi

elektronik serta sistem elektronik dan transaksi elektronik.40

Terkait kontrak digital pada sudut pandang hukum perdata, para pakar memberi

perspektif yang beragam untuk menjelaskan mengenai validitas pembuktian kontrak

elektronik apabila dihubungkan dengan KUHPer. Sudah kita ketahui bahwasanya di

penjelasan umum uu ite terkait penyertaan kekuatan pembuktian dari kontrak elektronik serta

dokumentasi yang tersusun dengan konvensional ataupun di atas kertas. Validitas dokumen

elektronik yang disertakan dengan dokumen dibuat di atas kertas serta memperoleh

pengakuan dengan tegas menjadi sesuatu yang tidak bisa dielakan dikarenakan bahwasanya

sesungguhnya dokumen yang disusun dengan elektronik bisa dicetak pada suatu kertas.

Otentikasi kontrak elektronik bisa dilangsungkan apabila memperoleh pengakuan dari

seluruh pihak terkait. Hal itu sendiri secara mendasar berhubungan kuat dengan pengakuan

seluruh pihak menjadi salah satu kekuatan pembuktian dari akta yang disusun serta

mengikatkan seluruh pihak. Apabila menelaah pada fakta otentik yang dibuat di hadapan

notaris, kekuatan pembuktiannya ialah sempurna serta mengikatkan seluruh pihak. Namun

apabila kelak dijumpai terdapat kecacatan formil yang terindikasikan pada sebuah aktor
40
Dominikus Rato, op.cit, hlm 1468
48

otentik, dengan demikian kekuatan pembuktiannya akan terdegradasi serta menjadi layaknya

Aku tak Di bawah tangan. Hal yang mesti senantiasa diwaspadai di sebuah auto autentik ialah

bahwasanya kesempurnaan yang terdapat di aktor otentik tetap tidak dapat menutupi peluang

saat dilumpuhkan oleh pihak lainnya apabila kelak ada konflik.

Pada KUHPer, keabsahan mengenai suatu perjanjian elektronik itu sendiri masih

mengacu pada syarat sahnya suatu perjanjian yaitu pada 1320 KUHPerdata. Berdasarkan

ketentuan dalam Pasal 1320 BW tersebut, bisa dikonklusikan bahwasannya persyaratan sah

sebuah kontrak ataupun kesepakatan diantaranya ialah:

a. Terdapatnya persetujuan seluruh pihak, persyaratan pertama dari validitas sebuah

kontrak ialah terdapatnya persetujuan dari seluruh pihak yang tertuang dengan tegas

serta konkrit lewat ditandatanganinya kontrak. Persetujuan ialah sesuainya pernyataan

keinginan antara seseorang ataupun lebih dengan pihak lain. Kesepakatan maupun

persetujuan itu sendiri mesti dilangsungkan atas keinginan bebas, pada artian tidak

berisikan unsur pemaksaan, khilaf ataupun penipuan seperti yang tertuang di pasal

1320 KUHPer. Berhubungan dengan persyaratan terdapatnya persetujuan seluruh

pihak pada kontrak, dengan demikian pada penyusunan sebuah e-contract mesti

diperlukan penandatanganan selaku bukti persetujuan yang pada perihal ini ialah

tanda tangan elektronik supaya e-contract menjadi valid.

b. Kemampuan seluruh pihak perbuatan hukum dilangsungkan sesuai Pasal

1329KUHPer, “para pihak membuat kontrak haruslah cakap melakukan perbuatan

hukum.” ada sejumlah klasifikasi terkait individu-individu yang dikatakan tidak

mencakup hukum diantaranya :41

a) Seorang yang belum mencapai kedewasaan sesuai Lopasal 330 KUHPer,

“belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua
41
Prayogo, Sedyo. "Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum
dalam Perjanjian." Pembaharuan Jurnal Hukum 3, no. 2 (2016): 280-287.
49

puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.” Jika pernikahan dibubarkan

belum genap 21 tahun Dengan demikian artinya status hukumnya kembali

kepada kondisi belum dewasa.

b) Seseorang yang dinaungi pengakuan seseorang yang Tengah terdapat di

naungan pengampuan tidak bisa bertendak bebas dengan harta yang

dimilikinya yang mana posisi hukumnya disetarakan dengan seseorang yang

belum dewasa. Pasal 433 KUHPer menyatakan bahwasanya “setiap orang

dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, ataupun mata

gelap, dan boros harus di bawah pengampunan.”

c) Seorang wanita. Wanita pada sejumlah hal tertentu didasari regulasi undang-

undang di Indonesia tidak diperkenankan melakukan pembuatan kontrak

tertentu. Akan tetapi Seorang istri bisa menjalankan tindakan hukum

sebagaimana Pasal 31 ayat (2) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 1974 juncto SEMA nomor 3 tahun 1963.

Berhubungan dengan terdapatnya persyaratan kemampuan seluruh pihak pada

menjalankan tindakan hukum, dengan demikian berhubungan dengan dibuatnya

sebuah e-contract supaya menjadi valid haruslah diikuti yang paling tidak berisikan

nama, alamat, warga negara, usia, gender serta pekerjaan seluruh pihak dengan jelas.

c. Berisikan sejumlah hal tertentu yang tertuang pada klausul, muatan dari klausul pada

sebuah kontrak bisa dimaknai selaku objek hukum dari kontrak. Seluruh hal yang

disepakati mesti sesuatu ataupun sebuah barang yang cukup jelas adanya. 12 Menurut

Pasal 1332 KUHPer, “hanya benda-benda yang dapat diperdagangkan saja yang dapat

menjadi pokok-pokok dari perjanjian di dalam kontrak.” Selanjutnya Pasal 1333 BW

menerangkan bahwasanya “suatu persetujuan itu harus mempunyai pokok suatu

benda yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.” berhubungan dengan


50

terdapatnya persyaratan dalam membuat sejumlah hal tertentu supaya e-contract

menjadi valid, dengan demikian di penyusunan kontrak itu sendiri mesti dengan jelas

dipaparkan terkait isi ataupun pokok dari sejumlah hal yang hendak dijanjikan

berhubungan dengan objek-objek yang ingin diperjualbelikan.42

d. Terdapatnya musabab yang diperkenankan. Adapun musabab yang tidak

diperkenankan pada sebuah kontrak ialah jika objek kesepakatan bermuatan hal-hal

yang berlawanan dengan regulasi undang-undang, norma asusila serta ketertiban

umum, hubungan dengan terdapatnya persyaratan pemuatan sejumlah hal tertentu

yang diperkenankan atau tidak berlawanan dengan regulasi undang-undang, norma

asusila serta pula ketertiban umum supaya kontrak menjadi valid, dengan demikian

pada penyusunan kontrak mesti memperhatikan terkait sejumlah regulasi dan norma

yang diberlakukan di wilayah maupun negara asal seluruh pihak di dalam.

42
Seran, Marcelo, and Anna Mariam Wahyun Setyowatit. "Penggunaan Klausula Eksonerasi
Dalam Perjanjian Dan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen." Hukum Jurnal Pro Justitiat 26,
no. 2 (2008).
51
52

BAB III

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN PERJANJIAN BAKU DALAM

PERJANJIAN ASURANSI ELEKTRONIK

A. LEGALITAS KONTRAK DIGITAL DALAM PERJANJIAN ASURANSI

1. PENGATURAN KONTRAK DIGITAL DI INDONESIA


Perkembangan teknologi informasi yang cepat memberikan dampak berubahnya

aktivitas kehidupan manusia pada beragam bidang yang dengan langsung sudah

mempengaruhi terlahirnya tindakan hukum terbaru di Indonesia. Di Indonesia merupakan

salah satu negara yang berusaha dalam melakukan pemanfaatan kemajuan iptek untuk

menghadapi tantangan globalisasi serta kemajuan zaman demi meningkatnya tingkat

kehidupan di Indonesia. IPTEK bisa menyentuh sejumlah sendi hidup manusia, salah satunya

ialah pada bidang jual beli. Sekarang sering ditemukan transaksi jual beli modern yang

mempergunakan teknologi selaku mediumnya ataupun yang dikenal sebagai transaksi

elektronik. Dengan adanya tantangan pada kemajuan zaman Ini mesti memperoleh fokus

yang serius agar tidak muncul suatu permasalahan disebabkan Indonesia yang tidak siap pada

beragam aspek guna mengantisipasikan seluruh peluang yang dialami berhubungan dengan

sistem perdagangan elektronik.

Permasalahan tertentu tentunya akan timbul selaku pengaruh dari kemajuan zaman, salah satu

permasalahan yang timbul dari sistem perdagangan elektronik ialah terkait dengan validitas

dari sistem transaksi elektronik. Telah menjadi sebuah kebiasaan apabila tiap kontrak

transaksi jual beli tertuang pada suatu kesepakatan ataupun perjanjian. Berdasarkan pada teori

perdata secara umum, suatu transaksi ialah tindakan hukum yang mengikutkan 12 pihak yang

saling memerlukan pada konteks ini yang mempunyai nilai ekonomis tertentu, serta

direalisasi lewat suatu perikatan yang dinamai kontrak, dikarenakan kontrak memiliki fungsi

guna menjadi pengaman suatu transaksi.


53

Dari aspek teoritis suatu kontrak dinilai valid secara hukum apabila sesuai dengan prasyarat

secara subjektif serta objektif. Apabila salah satu persyaratan tidak bisa terpenuhi oleh salah

satu pihak maka kontrak itu sendiri bisa dibatalkan ataupun bisa batal demi hukum.

Implementasi dari teori dan ketentuan KUHperdata tersebut dapat mempermudah

pendeteksian terdapatnya prasyarat yang tidak terpenuhi di sistem kontrak jual beli yang

disusun dengan konvensional daripada pendeteksian tidak dipenuhinya persyarat di

kesepakatan yang dibuat secara digital. Hal ini disebabkan pada proses membuat kontrak

konvensional seluruh pihak mungkin telah saling mengenal, berjumpa ataupun telah

mengetahui kecakapan hukum dari tiap-tiap pihak. Hal ini tidak serupa dengan proses

membuat kontrak digital tanpa, pada perihal ini seluruh pihak bisa jadi tidak berjumpa

ataupun tidak mengenali satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu hal tersebut menyulitkan

dalam mendeteksi pemenuhan persyaratan sah dari sebuah perjanjian.

Pada dasaranya, seiring dengan pesarnya perkembangan teknologi ini, Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) menanggapinya melalui pembentukan UNCITRAL (United Nations

Comission on International Trade Law) yaitu suatu instansi yang mengemban tugas untuk

melakukan pengembangan hukum dagang internasional. Berikutnya saat 1996 dilakukan

perumusan suatu regulasi hukum yakni UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce.

Untuk melengkapi Model Law on Electronic Commerce, UNCITRAL pula mempunyai suatu

regulasi terpenting di bidang hukum kontrak internasional terlebih lagi kontrak yang

mempergunakan elektronik (e-contract) pada suatu konvensi yang dinamai Convention on

the Use of Electronic Communications in International Contracting, yang bertujuan utama

melakukan penghilangan rintangan yang bisa jadi muncul sehubungan dengan pemakaian

komunikasi secara elektronik, pada kontak internasional pura ditunjukkan supaya

menghadirkan kepastian hukum di bidang bisnis.


54

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik merupakan bentuk nyata dari pemerintah Indonesia agar lebih

menanggapi pembangunan nasional selaku sebuah proses yang kontinyu serta selalu responsif

akan beragam dinamika yang dialami di masyarakat, terlebih lagi bagi pengisian kekosongan

hukum di persoalan kemajuan teknologi informasi. Akan tetapi pada UU IPS, dengan

substansial belum dengan tegas memberi aturan terkait validitas ataupun persyaratan sah

kontrak digital. Dalam UUD diterangkan dengan tegas hubungan antara uu ite dengan pasal

1320 KUHPer seperti yang dikatakan oleh Huala Adolf yang menyatakan bahwa “…

mengingat ketentuan pada KUHPer adalah undang-undang yang dijadikan dasar dalam

menentukan sah atau tidaknya sebuah perikatan khususnya jika perikatan tersebut dilakukan

baik antara para pihak yang berdomisili di Indonesia maupun para pihak yang tunduk dengan

KUH Perdata, terlebih dalam UU ITE tidak merumuskan dengan jelas bagaimana posisi

keterkaitan dengan Pasal 1320 KUHPer dan kurangnya infra struktur hukum yang

mengaturnya tidak ada".

Transaksi elektronik selaku pelopor awal suatu kontrak elektronik ialah peristiwa

terbaru yang tidak bisa dilepaskan dari hukum dikarenakan transaksi elektronik pula

mempunyai aspek hukum perjanjian. Keberadaan sebuah kesepakatan yang terbuat diantara

para pihak merupakan salah satu poin penting pada perkembangan zaman. Beberapa pakar

hukum kontrak menyebutkan bahwasanya transaksi yang dilakukan melalui digital pada

dasarnya adalah transaksi yang mempunyai prinsip mendasar dengan transaksi konvensional.

Serupa dengan transaksi konvensional, transaksi digital pula meliputi tahap menawar serta

menerima, mengikat diri pada ikatan serta berbagai hal lainnya.

Agar tercapainya kesuksesan pada suatu transaksi tentunya seluruh pihak tidak luput mesti

memberi perhatian terhadap aspek kontrak yang menjadi selaku dasar supaya arah serta

tujuan dari suatu transaksi terkawal secara baik, bagi pengukuran apakah suatu kontrak itu
55

sendiri sudah terkawal serta memberi perlindungan terhadap transaksi secara baik tentunya

diperlukan suatu kontrak yang valid dihadapan hukum. Terdapat permasalahan kontak di

Indonesia hingga sekarang masih merujuk kepada sejumlah ketetapan KUHPer yang mana

sejumlah persyaratan sah dari suatu kesepakatan sebagaimana Pasal 1320 diperlukan 4

(empat) syarat, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu hal tenrtentu;

d. Suatu sebab yang halal;

Tidak terpenuhinya salah satu prasyarat itu sendiri di atas memberi konsekuensi untuk

terlaksananya kesepakatan itu sendiri. Suatu kontrak bisa melakukan pembatalan apabila

prasyaratan terkait persetujuan serta kemampuan seluruh pihak tidak terpenuhi. Lalu suatu

kontrak dapat batal demi hukum apabila objek dari suatu kontrak tidak ada serta pula pemicu

kontrak dari kontrak itu sendiri sudah menjadi suatu hal yang tidak diperkenankan.

Dengan terdapatnya kesurupan pada transaksi yang dialami di Indonesia baik yang

dilangsungkan secara elektronik ataupun konvensional, dengan demikian dari masing-masing

hal tersebut ada suatu koneksi yaitu prasyarat dua kontrak itu sendiri seharusnya diikatkan

dengan prasyarat kontrak yang ada di Pasal 1320 KUHPer serta berkonsekuensi serupa baik

kontrak yang dilakukan konvensional atau kontrak yang dilakukan secara digital. Akan tetapi

apabila ditilik kepada uu ite tidak terdapat pasal yang menegaskan secara jelas terkait

prasyarat kontrak elektronik yang terinspirasi ataupun implementasinya dari prasyarat

kontrak elektronik yang terinspirasi ataupun implementasi dari prasyarat kontrak pada Pasal

1320 KUHPer.

Bagi pengukuran ada ataupun tidak perjanjian pada transaksi elektronik bisa

dilangsungkan melalui diaksesnya sebuah penawaran lewat internet ataupun bisa diartikan
56

selaku penerimaan maupun sepakat atas suatu relasi hukum. Seperti yang diterangkan oleh

Sukarni bahwasanya relasi hukum ataupun transaksi elektronik tertuang pada kontrak baku

dengan prinsip take it or leave it contract yang mana penawaran serta seluruh hal prasyarat

dari suatu kontrak tercantum pada proses penawaran serta apabila terdapat pihak yang

memiliki ketertarikan dalam mengikatkan dirinya dalam sebuah kesepakatan dengan

demikian bisa langsung melakukan pengaksesan serta penyetujuan atas penawaran itu sendiri.

Tidak dipersoalkan Bagaimana seluruh pihak sepakat atas transaksi itu sendiri dikarenakan

suatu perjanjian bisa saja dialami melalui terdapatnya keserupaan keinginan dari dua belah

pihak. Akan tetapi menjadi susah apabila pengukuran suatu kemampuannya yang akan

melangsungkan transaksi serta pula suatu sebab yang diperkenankan. Apabila perpaduan

pada teori persyaratan kontrak, seluruh pihak yang melakukan suatu perjanjian mesti mereka

yang memiliki kecakapan. Sementara pada uu ite pasal 2 mengatakan bahwasanya UU ITE

diberlakukan bagi tiap individu yang melaksanakan tindakan hukum. Kalimat tiap orang pada

ite dapat dimaknai seluruh ini hidup dengan tidak adanya pembatasan usia yang dapat

melakukan sistem elektronik serta selanjutnya menjalankan tindakan hukum di dalamnya.

Pada realitanya seringkali anak-anak di bawah umur dapat secara baik menjalankan sistem

elektronik lewat internet. Maka hal ini sudah pasti berlawanan dengan isi pasal 1320 kuh per.

Kendati pada pengaturan pasal 2 UU ITE diperlakukan bagi tiap individu, namun tiap anak

masih di bawah umur dikarenakan seorang anak tersebut tentunya tidak bisa diberikan hak

serta kewajiban dan padanya tidak bisa dikatakan cakap untuk berbuat tindakan hukum, yang

mana perbuatan hukum itu sendiri bisa dipastikan mengikutkan sebuah objek yang bernilai

ekonomis tertentu. Sedangkan permasalahan kecakapan yang terdapat di subjek hukum ini

tidak dihiraukan dengan demikian memicu pembatalan relasi hukum atau kontrak itu sendiri.

Terkait keabsahan kontrak elektonik menurut UNCITRAL Model Law on Electronic

Commerce, UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce adalah soft law yang
57

merangkul kehadiran transaksi elektronik lewat sejumlah pasal di dalamnya. Pada kemajuan

aturan transaksi elektronik timbul pula suatu konvensi saat 2005 yakni The convention on the

Use of Electronic Communication in International Contracting. Baik UNCITRAL Mode Law

on Electronic Commerce maupun The convention on the Use of Electronic Communication in

International Contracting tidak menitikberatkan adanya sebuah prasyarat formal tertentu bagi

sebuah kontrak. UNCITRAL serta konvensinya tidak mengharuskan sebuah bentuk tertentu

bagi sebuah kontrak, namun bagi pencegahan peluang tuntutan dari sejumlah negara anggota

terkait prasyarat suatu kontrak, dengan demikian UNCITRAL Model Law on Electronic

Commerce dalam Pasal 6, 7, dan 8 memberi prasyarat minimum suatu kontrak elektronik

yakni diantaranya:

(1) Harus tertulis

(2) Mesti adanya penandatanganan, bahwasanya suatu kontrak elektronik sesuai dengan

prasyarat penandatanganan serta persyaratan penandatanganan mesti dinilai dipenuhi

apabila:

a. Seluruh pihak yang mempergunakan sebuah cara tertentu bisa mengenal

keinginan seluruh pihak yang tertuang pada informasi yang memuat pada

komunikasi elektronik

b.Metode tertentu yang dipergunakan sebagaimana yang disebutkan sebelumnya

bisa dihandalkan selaku cara yang tepat serta cara itu sendiri sesuai dengan

fungsi selaku sebuah metode tertentu yang bisa dinyatakan dari metode tersebut,

metode itu sendiri bisa pula ditegaskan kehandalannya oleh sejumlah

pembuktian.

(3) Bentuk asli kontrak, yaitu persyaratan bentuk asli dari suatu kontrak internasional,

bahwa persyaratan tersebut dipenuhi oleh kontrak-kontrak internasional dengan bukti

sebagai berikut:
58

a. Bahwasanya kontak secara elektronik mempunyai jaminan yang bisa

dihandalkan terkait integritas dari informasi yang terdapat di dalamnya saat

muatan kontrak itu sendiri disusun berbentuk akhir berupa sebuah komunikasi

elektronik

b. Bahwasanya kontrak secara digital berisikan informasi yang bisa diakses

ulang oleh seseorang yang ingin mengakses informasinya ada pada suatu

kontrak yang dibuat secara elektronik.

Terdapat beberapa prinsip utama dalam UNCITRAL Model Law on Electronic

Commerce yang menjadi dasar hukum yang sangat penting, yaitu antara lain adalah sebagai

berikut:

a. Seluruh informasi elektronik berbentuk data elektronik bisa dinyatakan mempunyai

akibat hukum, validitas maupun kekuatan hukum

b. Hukum mewajibkan terdapatnya sebuah informasi berbentuk tertulis dengan demikian

sebuah data elektronik bisa sesuai dengan prasyarat tersebut, sebagaimana yang

disebutkan pada Article 6 UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce “Where

the law requires information to be in writing, the requirement is met by a data

message if the information contained there in is accessible so as to be useable for

subsequent reference”. (“jika melihat pada ketentuan tentang pembuktian dan

daluarsa, bahwa yang merupakan alat bukti diantaranya adalah bukti tertulis maka jika

digunakan ketentuan ini data elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah”).

c. Pada perihal penandatanganan, sebuah tanda tangan elektronik ialah tanda tangan

yang valid.

Dalam Hukum perjanjian sendiri konsep elektronik diklasifikasi selaku perikatan disertai

ancaman hukum, dikarenakan apabila pelaku usahanya tidak menjalankan kewajiban mereka

dengan demikian konsumen memiliki hak untuk memperoleh penggantian rugi atas kerugian
59

yang dikarenakan oleh kelalaian pelaku bisnis dalam menjalankan kewajiban, begitu

sebaliknya apabila konsumen tidak melakukan pemenuhan atas kewajiban mereka

sebagaimana yang ada pada kontrak elektronik itu sendiri. Kontrak elektronik itu tergolong

pada jenis kesepakatan tidak bernama, dikarenakan kontrak elektronik ini tidak tertuang pada

KUHPer. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya mengenai keabsahan suatu perjanjian yang

harus memenuhi pasal 1320 KUHPer pada pasal 9 uu ite menyatakan bahwasanya pelaku

bisnis yang melakukan penawaran produk lewat sistem elektronik harus mengakomodasi

informasi yang lengkap serta tepat berhubungan dengan persyarat kontrak, produsen serta

produk yang ditawarkannya, akan tetapi pada ketetapan ini tidak diterangkan lebih lanjut

mengenai persyaratan kontrak seperti apa yang dimaksud. Bahkan pada keterangannya tidak

dijelaskan keterangan lebih lanjut terkait hal tersebut. Pada Pasal 47 Peraturan Pemerintah

No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik tercantum

pengaturan dalam hal sayarat-syarat sahnya kontrak elektronik, yaitu adanya persetujuan

seluruh pihak, dilangsungkan oleh subjek hukum yang mampu ataupun memiliki kewenangan

berinterpretasi sebagaimana dengan ketetapan regulasi undang-undang, ada hal tertentu serta

objek transaksi yang tidak bisa berlawanan dengan regulasi perundang-undangan, kesusilaan

serta ketertiban umum. Yang menjadi poin terpenting yang tidak tercantum dengan jelas pada

ketetapan ini ialah terkait sebuah musabab yang diperkenankan ataupun iktikad baik, padahal

sebagaimana yang diketahui bahwasanya iktikad baik ialah hal terpenting pada sebuah

kesepakatan yang bisa memberi perlindungan terhadap seluruh pihak dari kondisi merugi.

Bahkan pada bagian penjelasan pada PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem

dan Transaksi Elektronik tidak menerangkan secara mendalam terkait persyaratan validitas

kontrak elektronik.
60

Hukum perikatan mengenal adanya 2 (dua) jenis akta yakni akta di bawah tangan dan

akta otentik43. Akta dibawah perjanjian lewat Media elektronik ialah perluasan dari konsepsi

kesepakatan perdagangan yang tertuang pada KUH perdata yang mempunyai landasan

hukum dagang konvensional. Keberadaan ketidaksamaan dari kesepakatan dagang itu sendiri

ialah bahwasanya kontrak jual beli tersebut ialah kontrak jual beli lewat internet yang

sifatnya terkhusus dikarenakan ada elemen peran yang mendominasi media serta seluruh alat

elektronik. Ketidaksamaan lainnya terdapat di wujud kesepakatan konvensional, bahwasanya

di kesepakatan yang dilangsungkan secara digital tidak mempergunakan dokumentasi kertas

apapun seperti yang terdapat di perjanjian konvensional. Namun dipergunakan dalam

perjanjian elektronik ialah dokumentasi digital yang disimpan di suatu database komputer

yang apapun bisa menghilang ataupun musnah apabila terserang virus ataupun error yang

terjadi dikarenakan kekeliruan sebuah data yang dipicu oleh komputer itu sendiri.

Pemberlakuan kesepakatan yang dilakukan secara elektronik ini dilandasi oleh asas

kebebasan berkontrak yang dianut oleh ketetapan KUHPer. Asas kebebasan berkontrak telah

diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan bahwasanya "semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya".

Dari ketetapan ini maka bisa dipahami bahwasanya seluruh pihak dibebaskan dalam

penentuan wujud serta ketetapan yang diberlakukan dari kesepakatan yang dibuatnya

sepanjang tidak berlawanan dengan regulasi, kesusilaan serta ketertiban umum, terkait kapan

dijalinnya persetujuan, ada sejumlah dokumen yang mengikuti diantaranya ialah:

a. Ucapan, yakni sebuah kesepakatan terealisasi ketika seseorang memperoleh

penawaran serta mempersetujui penawaran itu sendiri

b. Pengiriman, yang mana kesepakatan terealisasi ketika dikirimnya surat jawaban

terkait penerimaan akan suatu penawaran


43
Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra
Aditya, Bandung,h. 67.
61

c. Pengetahuan, bahwasanya kesepakatan terealisasi sesudah individu-individu yang

menawarkan mengetahui bahwasanya penawaran tersebut disetujui

d. Penerimaan, menjelaskan bahwasanya kesepakatan realisasi ketika surat jawaban

penerimaan penawaran diterima oleh pihak yang menawarkannya.

Alat bukti menurut penjabaran yang diuraikan oleh G.W Paton terdiri dari beberapa macam,

antara lain: “Alat bukti berdasarkan lisan yaitu perkataan ata uucapan yang disampaikan oleh

para saksi pada saat sidang pengadilan, alat bukti dokumen yaitu biasana berupa surat-surat

dokumen, dan alat bukti non-dokumen atau alat bukti meteriil berupa barang yang bersifat

fisik akan tetapi diluar barang dokumen. Contoh untuk meperjelas jenis alat bukti tersebut

yaitu apabila ada seorang saksi pembunuhan yang memberikan keterangan di pengadilan,

maka keteranagan tersebut adalah kesaksian secara lisan. Jika harus mengirimkan surat

pengiriman uang atas ancaman dari pelaku pemerasan untuk pembunuhan, maka hal tersebut

termasuk bukti dokumenter. Sedangkan pisau yang digunakan dalam upaya pembunuhan

termasuk sebagai bukti materil”. Secara garis besar, alat bukti menuurt G.W Paton terdiri

dari:

c. Alat bukti lisan berupa keterangan saksi, sumpah dan pengakuan;

c. Alat bukti dokumenter berupa surat;

c. Alat bukti berupa barang fisik selain dokumen.

Secara mendasar jenis alat pembuktian yang diterangkan G.W paton tidak begitu berbeda

dengan pembuktian yang diatur pada regulasi undang-undang Indonesia di Pasal 1866

KUHPer, namun Pasal itu sendiri tidak membahas terkait pembuktian elektronik. Namun

dikarenakan kehadiran pembuktian elektronik yang masih menjadi sebuah konsepsi terbaru.

Dalam halnya pada perjanjian asuransi, pada zaman modern ini sudah banyak

perusahaan asuransi yang sudah menerapkan perjanjian asuransi yang dilakukan secara
62

elektronik. Ada sejumlah kriteria yang mesti terpenuhi pada pemberian dokumen elektronik

salah satu dari jenis alat pembuktian. Kriteria itu sendiri diantaranya:

a. Undang-Undang memperkenankan alat bukti tersebut untuk dipakai sebagai alat

bukti;

b. Bukti yang dibawa dapat dipercaya atau relibilty;

c. Alat bukti tersebut harus dihadirkan sebagai suatu fakta atau necessity;

d. Alat bukti yang diajukan berkaitan dengan fakta kasus atau relevance;

Apabila dipaparkan secara mendalam terkait kriteria elektronik itu sendiri serta dihubungkan

dengan regulasi undang-undang di Indonesia sebagaimana di bawah ini:

Diperbolehkan oleh perundang-undangan agar dipakai selaku pembuktian. Kriteria ini

berisikan terkait regulasi tentang dokumentasi elektronik yang sudah tertuang pada

uu. Hingga kemudian bisa diperlihatkan di persidangan Pasal 5 UU ITE yang

berbunyi:

"(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan perluasan alat bukti yang sah sesuai

dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

(3) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elktronik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. surat yang meurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan

b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam

bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta."
63

Bunyi Pasal 5 ayat (1), (2) dan (4) UU ITE dengan tegas sudah mengatakan bahwasanya

dokumentasi elektronik ialah valid ataupun bisa dipergunakan selaku pembuktian

pada tiap persidangan terlebih lagi dihukum secara perdata Indonesia.

a. Realibilty yaitu alat bukti dapat dipercaya keabsahannya

Yang dimaksud dari reliability adalah bahwasanya pada regulasi UU sudah memuat

terkait sejumlah tahap ataupun proses yang mesti dilewati supaya dokumentasi

elektronik yang hendak menjadi pembuktian bisa diterima pada proses persidangan,

Pada Pasal 5 ayat (3) UU ITE yang berbunyi “Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai

dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini".

c. Necessity yaitu pembuktian yang memang dibutuhkan bagi pembuktian sebuah

realitas serta relevansi. Yakni pembuktian yang diberikan memiliki relevansi dengan

realita yang hendak dibuktikan.

Dalam halnya pada perjanjian asuransi yang dilakukan secara digital, sudah banyak

perusahaan asuransi sudah melakukan digitaliasi terkait dengan perjanjian asuransi. Salah

satunya adalah perusahaan PT. Asuransi Allianz Life Indonesia yang dalam melakukan

perjanjian asuransi dengan calon nasabah sudah melakukan tanda tangan digital dan melalui

video. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah perjanjian yang dilakukan tersebut sudahkah

sah menurut hukum yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia. Suatu perjanjian asuransi terjadi apabila syarat sah dari suatu perjanjian sudah

terpenuhi, maka kedua belah pihak mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Adapun

dalam hal ini pihak-pihak yang ada di dalam perjanjian asuransi adalah pihak penanggung

(perusahaan asuransi) dan pihak tertanggung (peserta asuransi). Dalam hal ini, pihak

penanggung adalah pihak terhadapnya resiko tersebut dialihkan, yang seharusnya dipikul

sendiri oleh tertanggung karena menderita suatu kerugian atas suatu peristiwa yang tidak
64

tentu. Resiko ini hanya dialihkan kepada penanggung bila adanya premi yang diberikan oleh

tertanggung. Jadi, dengan adanya premi ini, pihak penanggung mengikatkan dirinya untuk

menanggung resiko yang seharusnya ditanggung oleh pihak tertanggung Pihak tertanggung

sebagai orang- orang yang berkepentingan mengadakan perjanjian asuransi adalah sebagai

pihak yang berkewajiban untuk membayar premi kepada penanggung, sekaligus atau

berangsur-angsur, dengan tujuan akan mendapat penggantian atas kerugian yang mungkin

akan dideritanya akibat dari suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi.

2. PENGATURAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK DALAM PERJANJIAN

ASURANSI DIGITAL

Terkait dengan tanda tangan elektronik, merujuk pada Pasal 5 ayat (1) UU ITE dokumen

elektronik merupakan alat bukti yang sah, hal ini adalah perluasan dari alat bukti yang sah

berdasarkan pada Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan pada Pasal 11 ayat

(1) UU ITE jo Pasal 53 Ayat (2) PP No. 82 Tahun 2012, tanda tangan digital memiliki

kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah apabila sudah memenuhi persyaratan sebagai

berikut:

a. Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penandatangan;

b. Data pembuatan tanda tangan elektonik pada saat proses penandatangan elektronik

hanya berada dalam kuasa penandatangan;

c. Seluruh perubahan pada penandatanganan elektronik yang dilangsungkan sesudah

waktu penandatanganan bisa diketahui

d. Seluruh perubahan pada informasi elektronik yang berhubungan dengan

penandatanganan elektronik itu sendiri sesudah waktu penandatanganan bisa

diketahui
65

e. Ada metode tertentu yang dipergunakan bagi mengidentifikasian siapa yang

menandatanganinya

f. Terhadap metode tertentu guna menunjukkan bahwasanya seseorang menandatangani

sudah memberi persetujuannya pada informasi elektronik terkait

Dari penjelasan tersebut, penerapan transaksi elektronik terlebih lagi di korporasi asuransi

sudah diimplementasi selama penerbitan dokumen digital tersebut sudah lewat serangkaian

proses sejalan dengan kebijakan internal korporasi yang sudah dilakukan pada sistem serta

dijamin keamanannya.

Berdasarkan pemaparan dari Arionti Mukti Wibowo, suatu tanda tangan elektronik

pada suatu dokumen agar memiliki kekuatan pembuktian yang kuat maka harus

mendaftarkan tanda tangan elektronik tersebut pada badan Certification Authority (CA).

Tanda tangan digital yag telah memperoleh sertifikat dari lembaga CA akan lebih terjamin

otentikasi dari sebuah dokumen, dan tanda tangan digital akan sangat sulit untuk dipalsukan .

Di Indonesia, telah dibentuk badan CA oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika

Republik Indonesia sebagai ppewujudan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun

2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dalam Layanan Keuangan

digital.

Terkait dengan keperdataannya, tanda tangan elektronik diperoleh dengan adanya

suatu transaski yang didahului dengan adanya suatu transaksi yang didahukui dengan

perjanjian, yang dimana hal ini yang menjadi dasar adalah pada Pasal 1320 KUHPer terkait

dengan syarat sahnya dari suatu perjanjian. Namun pada ketentuan Pasal 1320 KUHPer tidak

mensyaratkan bentuk dan jenis media yang digunakan dalam bertransaksi. Oleh karena itu

apapun bentuk dan media dari kesepakatan dari suatu kesepakatan tersebut yang dalam hal ini

merupakan trnasaksi elektronik yang ditandatngani dengan tanda tangan elektronik tetap

berlaku dan mengikat para pihak yang terikat dalam perjanjian dan merupakan undang-
66

undang bagi para pihak. Dikarenakan dokumen elektronik yang disertai dengan tanda tangan

elektronik yang esensinya adalah mengenai perjanjian, atau dengan penfasiran lain perjanjian

elektronik yang ditanda tangani dengan tanda tangan elektronik, maka jika dikaitkan

berdasarkan pada Pasal 1333KUHPer bahwa pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang

paling sedikit ditentukan jenisnya, Tidaklah menjadi menjadi halangan bahwa jumlah

kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudia dapat ditentukan atau dihitung.

Berlakunya perjanjian digital juga berasal dari asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh

ktentuan KUHPer. Asas kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer

yang meyebutkan "semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi yang membuatnya.” Dari Pasal tersebut dapat dipahami bahwa para pihak dapat seara

bebas untuk menentukan bentuk ketentuan yang berlaku dari perjanjian yang dibuat selama

tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Pada pasal

1458 KUHPer juga dijelaskan bahwa jual beli telah terjadi jika terjadi kesepakatan antara

penjual dan pembeli mengenai barang dan harga, walaupun uang pembayaran belum

diserahkan. Pada perjanjian jual beli konvensional penerimaan dari suatu penawaran yang

menandakan terjadinya suatu kesepakatan dapat dilakukan secara lisan maupun secara

tertulis, akan tetapi dalam transaksi digital kesepakatan ini tidak disampaikan secara

langsung, melainkan disampaikan melalui media elektronik.

3. PENGATURAN PERJANJIAN YANG DILAKUKAN MELALUI VIDEO PADA

PERJANJIAN ASURANSI DIGITAL

Terkait perjanjian asuransi yang dilakukan secara video, pengaturan sudah ada dalam dalam

peraturan terbaru yaitu Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 5/

SEOJK.05/ 2022 Tentang Produk Asuransi Yang Dikaitkan engan Investasi (Selantunya

disebut "SEOJK.05/ 2022"). Dalam bab V bagian A, Pada Nomor 6 dijelaskan bahwa Dalam

melakukan pemasaran PAYDI:


67

a. "penjelasan Perusahaan mengenai manfaat, biaya, risiko pada produk yang

ditawarkan, dan fitur tambahan jika ada; dan

b. pernyataan pemahaman calon pemegang polis sebagaimana tercantum dalam

Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas

Jasa Keuangan ini.

harus dilakukan dokumentasi dalam bentuk rekaman video dan/atau audio dengan baik."

Dari penjelasan diatas dapat dimengerti bahwa dalam pemasaran dan perjanjian antara

perusahaan asuransi dengan calon tertanggung dapat dilakukan melalui video. Terkait dengan

kerahasiaannya telah diatur dalam Bab 5 bagian A No. 7 SEOJK.05/ 2022 yang menjelaskan

"bahwa Dokumentasi dalam bentuk rekaman video dan/atau audio sebagaimana dimaksud

pada angka 6 harus diverifikasi, disimpan, dan dipelihara sesuai dengan kebijakan

Perusahaan agar dokumentasi tersebut dapat digunakan sebagai bukti dalam hal terjadi

perselisihan."

Perjanjian asuransi yang dilakukan dengan video merupakan terobosan baru dalam

dunia perasuransian. Terobosan ini merupakan hasil dari inovasi akibat adanya pandemi

COVID 19 yang membatasi orang untuk saling bertatap muka. Namun terkait dengan status

keperdataan dari para pihak yang melakukan perjanjian harus menjadi perhatian khusus. Hal

ini dikarenakan tidak saling bertemunya antar pihak dalam melakukan perjanjian membuat

status keperdataan dari seseorang sulit untuk diawasi. Namun selama para pihak sudah

memenuhi ketentuan 1320 KUHPer, maka perjanjian yang dilakukan oleh para pihak sudah

sah secara hukum. Dalam perjanjian asuransi yang dilakukan secara elektronik bukan hanya

serta merta hanya perekaman video saja, namun dalam melakukan perjanjian calon

tertanggung harus sudah membaca dari ilsutrasi dari produk asuransi dan menandatangani

secara digital suatu dokumen. setelah seluruh proses sudah dijalankan oleh kedua belah
68

pihak, maka rekaman video yang sudah direkam sebelumnya akan diperiksa oleh pihak

underwriting dari Perusahaan Asuransi terkait.

B. BAGAIMANA PELAKSANAAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN

ASURANSI SECARA DIGITAL?

Dalam hal perjanjian yang dibuat secara digital, perlindungan yang antar pihak harus

diperhatikan. Para pihak yang terlibat dalam pembuatan kontrak elektronik biasanya adalah

pelaku usaha dan konsumen. Sedangkan Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai pengawas

dalam penegakan hukum perlindungan konsumen. Karena dianggap dapat mempersingkat

waktu dan biaya, pelaku usaha biasanya menggunakan klausula baku dalam pembuatan

kontrak digital. Klausula baku selalu ditentukan oleh pelaku usaha yang kemudian

ditawarkan ditawarkan pada konsumen dan konsumen hanya memiliki 2 (dua) pilihan, yaitu

menyetujui seluruh klausula tersebut atau tidak sama sekali. Hal in jelas membuat posisi

konsumen menjadi sangat lemah, terutama dalam transaksi digital. Pada pasal 18 Undang-

Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan bahwa klausula-

klausula baku yang dilarang untuk dicantumkan dalam perjanjian baku, salah satu klausula

baku yang dilarang adalah pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang

dibeli konsumen.

1. PERJANJIAN BAKU

Perjanjian baku itu sendiri disebabkan karena keadaan sosial ekonomi misalnya perusahaan

besar, dan perusahaan pemerintah mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi dan untuk

kepentingan mereka, ditentukan dengan syarat-syarat secara sepihak. Pada umumnya pihak

lawannya mempunyai kedudukan lemah baik karena posisinya maupun karena

ketidaktahuannya, dan hanya menerima apa yang diberikan. Pemakaian perjanjian baku ini

sedikit banyaknya telah menunjukan perkembangan yang sangat membahayakan kepentingan


69

masyarakat, terlebih dengan mengingat bahwa masih awamnya masyarakat terhadap aspek

hukum secara umum dan khususnya pada aspek hukum perjanjian.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian baku adalah

perjanjian yang didalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan dituangkan dalam

bentuk formulir yang bermacam-macam bentuknya. Lalu menurut Asser Rutten

dengan definisinya yaitu setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung

jawab terhadap isinya. Tanda tangan pada formulir perjanjian baku membangkitkan

kepercayaan bahwa yang menandatangani mengetahui dan menghendaki isi formulir

perjanjian. Lalu menurut Hondius dengan definisinya yaitu perjanjian baku sebagai

sebuah konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan

lazimnya dituangkan kedalam sejumlah bentuk formulir yang bermacam-macam

bentuknya.44 Dari definisi tersebut dapat kita lihat bahwa suatu perjanjian baku adalah

suatu perjanjian yang memuat klausula-klausula yang sudah dibakukan, dan dicetak

dalam bentuk formulir dengan jumlah yang banyak serta dipergunakan untuk semua

perjanjian yang sama bentuknya. Banyak ahli hukum menilai perjanjian baku/klausula

baku sebagai perjanjian yang tidak sah, cacat dan bertentangan dengan asas kebebasan

berkontrak. Namun demikian perjanjian baku/klausula baku sangat dibutuhkan dalam

dunia bisnis karena para pengusaha akan memperoleh efisiensi dalam pengeluaran

biaya dan waktu, selain itu klausula baku berlaku di masyarakat karena kebiasaan.

Ciri-ciri perjanjian baku sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat

antara lain adalah sebagai berikut dalam bentuk perjanjian tertulis jadi bentuk

perjanjian meliputi seluruh naskah perjanjian secara keseluruhan dan dokumen bukti

perjanjian yang memuat syarat-syarat baku, format perjanjian distandarisasikan

meliputi model, rumusan, dan ukuran format ini dibakukan sehingga tidak dapat

44
Op.Cit, Aldo Renathan, hlm 32.
70

diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Model perjanjian

dapat berupa blanko naskah perjanjian lengkap atau blangko formulir yang dilampiri

dengan naskah syarat-syarat perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat

syarat-syarat baku, syarat perjanjian ditentukan oleh pengusaha karena syarat

perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri secara sepihak

oleh pengusaha atau organisasi pengusaha, konsumen hanya menerima atau menolak

dari syarat perjanjian yang ditawarkan, penyelesaian sengketa melalui musyawarah

atau badan peradilan, perjanjian standar selalu menguntungkan pengusaha karena

dibuat secara sepihak.45

Lalu muncul istilah Take it or leave it dalam perjanjian baku yang

menekankan bahwa perjanjian ini telah sesuai dengan asas kebebasan berkontrak

yakni dengan terpenuhinya kebebasan dalam aspek formil maka kebebasan para pihak

untuk membuat atau tidak membuat perjanjian. Berdasarkan pasal 1320 KUHPer

bahwa adanya kesepakan para pihak dalam melakukan perjanjian merupakan salah

satu syarat yang harus ada berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian. suatu perjanjian

harus terdapat kata “setuju” dari para pihak dalam melakukan hubungan kontraktual

dan hal ini tercermin pada konsep take it or leave it yang diartikan dalam bahasa

Indonesia adalah “ambil atau tinggalkan”, maksud dari arti ambil atau tinggalkan

yaitu menyetujui atau menolak perjanjian. Jadi konsep take it or leave it merupakan

suatu konsep dasar dalam perjanjian yakni berkaitan dengan menyetujui atau menolak

perjanjian karena perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak para pihak untuk

mengikatkan diri secara sukarela guna memenuhi suatu prestasi yang melahirkan hak

dan kewajiban. Disini pihak yang membuat klausula baku memberikan pilihan kepada

pihak lain yang akan mengikatkan diri untuk menerima seluruh isi perjanjian

45
Ibid, hlm. 34.
71

termasuk yang merugikan pihak terebut atau menolak seluruh isi perjanjian termasuk

yang menguntungkan pihak tersebut. Konsep ini dalam perjanjian baku merupakan

salah satu opsi yang diberikan oleh pihak yang lebih dominan kedudukannya kepada

pihak yang kedudukan lebih rendah dikarenakan perbedaan dominasi kedudukan.

Sehingga prinsip ini bersifat alternatif. Jika pihak lain memilih alternatif take it, maka

sebagai konsekuensinya adalah bahwa ia dianggap secara hukum menyetujui isi

perjanjian yang telah dituangkan dalam formulir baku yang disodorkan kepadanya.

Sedangkan leave it diartikan bahwa ia dianggap telah menolak untuk mengikatkan

dirinya pada perjanjian tersebut. Take it or leave it dalam artiannya hanya ada dua

pilihan yaitu sepakat membuat perjanjian atau tidak sepakat membuat perjanjian.46

Fungsi dari perjanjian baku sangatlah penting dalam dunia usaha dan

perdagangan modern. Dengan maksud untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya-

biaya transaksi, juga agar dapat memusatkan perhatian pada hal-hal khusus yang lebih

penting, maka perjanjian biasanya dibentuk pengusaha untuk mengadakan berbagai

jenis transaksi khusus, tanpa harus melakukan perundingan berkepanjangan mengenai

syarat-syarat yang senantiasa muncul.

2. KLAUSULA EKSONERASI DALAM KONTRAK BAKU

Didalam suatu perjanjian baku itu sendiri, kerap kali pihak yang membuat

suatu perjanjian baku mencantumkan klausula eksonerasi di dalamnya. Klausula

eksonerasi mengandung makna yang berisi pembatasan pertanggungjawaban dari

pihak debitur. Menurut Sutan Remy Sjahdeni, keberadaan klausula eksonerasi adalah

bertujuan membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap

46
Fahdelika Mahendar dan Christiana Tri Budhayati, 2019, KONSEP TAKE IT OR LEAVE IT DALAM PERJANJIAN
BAKU SESUAI DENGAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK, Volume 2 Nomor 2, Hal 9, diakses dari
https://ejournal.uksw.edu/alethea/article/download/3568/1459/ (pada 28 Juni 2022 pukul 20.43)
72

gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan

semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut.

Klausula Eksonerasi selalu bersifat berat sebelah, yang hampir dapat dipastikan akan

menguntungkan pihak yang kedudukannya lebih kuat daripada pihak lainnya serta

sering kali terdapat dalam kontrak baku.

Klausula Eksonerasi dapat muncul oleh beberapa sebab, yaitu kecermatan

dalam berkontrak, itikad baik (good faith) dalam berkontrak dan posisi tawar yang

tidak seimbang. Kecermatan berkontrak berkaitan dengan wawasan hukum pihak-

pihak yang membentuk kontrak. Dalam hal ini para pihak dituntut untuk mampu

memanfaatkan saluran-saluran hukum, yang digunakan untuk meningkatkan kualitas

kontrak, kemampuan para pihak untuk selalu memperhitungkan segala resiko yang

dapat timbul dari setiap syarat atau kausula yang dirancang dalam kontrak. Selain itu

dituntut juga kemampuan untuk melakukan negosiasi, memperhitungkan kelengkapan

materi kontrak serta kecermatan dalam merancang rumusan-rumusan klausula,

sehingga memperkecil ruang resiko dan pada akhirnya dapat mewujudkan kontrak

yang bersih, terbuka dan adil. Sebab kedua yaitu itikad baik yang berkaitan dengan

kejujuran dan kualitas mental para pihak. Para pihak yang memiliki itikad baik dan

itikad buruk akan sukar untuk ditentukan. Penyimpangan terhadap prinsip hukum

kontrak sebagaimana halnya perilaku yang tidak jujur sulit untuk dihapuskan. Maka

hal ini dapat diantisipasi untuk mencegah dampak buruk dengan kecerdasan serta

kecermatan dalam berkontrak. Sebab ketiga adalah adanya faktor posisi tawar yang

tidak seimbang, maksudnya bahwa posisi pihak-pihak yang melakukan kontrak adalah

tidak seimbang, memiliki kedudukan tidak sejajar, sehingga berdampak pada posisi

tawar yang lemah pada pihak lainnya. Faktor ekonomi juga merupakan salah satu

pemicu munculnya posisi tawar yang lemah yang sering dimanfaatkan oleh mereka
73

yang berposisi lebih kuat. Faktor-faktor ini dapat memberikan peluang dan dapat

dimanfaatkan oleh pihak yang telah memiliki niat tidak baik untuk melakukan

penyalahgunaan keadaan dalam kontrak standar.47

Pada dasarnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen pasal 18 ayat (1)

huruf a telah mengatur bahwasanya klausula eksonerasi atau klausula pengalihan

tanggung jawab dilarang pemakaiannya namun sebenarnya dalam KUHPer telah ada

pengaturan untuk klausula yang tertera dalam pasal 1493-1512 KUHPer.48 Klausula

eksonerasi ini disebut memberatkan salah satu pihak. Sehingga biasanaya digunakan

dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik. Eksonerasi terhadap kerugian yang

timbul karena kesengajaan pengusaha adalah bertentangan dengan kesusilaan. 49

Dalam prinsip kebebasan berkontrak memberikan batasan bahwa para pihak harus

terlibat dan saling mengetahui perjanjian yang akan mengikat mereka satu sama lain.

Dalam Pasal 1337 KUHPer dikatakan bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan

dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum yang ditegaskan dalam

Pasal 1320 KUHPer mengenai syarat sahnya perjanjian. Terhadap klausula eksonerasi

juga berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3431

K/Pdt/1985 tanggal 4 Maret 1987 terkait pinjaman uang dan barang jaminan yang

bertentangan dengan kepatutan dan keadilan.50

Eksonerasi biasanya dapat dirumuskan dalam syarat-syarat perjanjian karena

keadaan memaksa yang mengakibatkan kerugian bukan tanggung jawab para pihak
47
Sarjana I Made, 2016, Pembatasan Klausula Eksonerasi, Jurnal Notariil Vol. 1 No. 1, November 2016, 109-
127, Hal 112.Diakses dari
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_dir/cfc171a5cad160bba3c9afd5809c5aa6.pdf, (pada 28 Juni
2022 pukul 10.13)
48
Aldo Renathan, 2009, Tinjauan Yuridis Terhadap Klausula Baku Sebagai Suatu Perjanjian Dilihat Dari Sisi
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UUPK, Depok Hal 60. Diakses dari
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-8/20323066-S21505-Aldo%20Renathan.pdf (pada 28 Juni 2022 pukul
10.35)
49
Ibid.
50
Op.Cit, I Made Sarjana, hlm 117-118.
74

tetapi dapat dibebankan kepada konsumen sehingga pengusaha dibebaskan dari beban

tanggung jawab.51 Selain itu juga dapat karena kesalahan pelaku usaha yang

merugikan pihak kedua dalam perjanjian, serta dapat terjadi karena kesalahan

pengusaha yang merugikan pihak ketiga.52

3. KEABSAHAN PERJANJIAN DENGAN KLAUSULA EKSONERASI

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

klausula eksonerasi merupakan salah satu bentuk klausula baku yang dilarang oleh

UU tersebut. Klausula Eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai

klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian pada umumnya ditemukan

dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang sangat merugikan

konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen,

karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya klausula

tersebut menjadi beban konsumen. Patut disadari bahwa meskipun terdapat asas

kebebasan berkontrak, namun salah satu syarat sahnya perjanjian seperti yang

tertuang pada Pasal 1320 KUHPer adalah suatu sebab yang halal. Selanjutnya Pasal

1337 KUHPer menyatakan bahwa suatu sebab (dilakukannya perjanjian) adalah

terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan

kesusilaan baik atau ketertiban umum. Secara substantif, Pasal 1337 dan Pasal 1339

KUHPer memuat asas-asas hukum yang dapat digunakan sebagai persyaratan materiil

(substantif) untuk menetukan sahnya suatu kontrak baku yang memuat klausula yang

secara tidak wajar dan tidak seimbang dapat merugikan satu pihak dalam kontrak.

Pasal 1337 KUHPer memuat ketentuan limitative yang melarang suatu kontrak

mengandung klausa yang dilarang oleh Undang-Undang, bertentangan dengan

51
Op.Cit, Aldo Renathan, hlm 47
52
Ibid, hlm. 48.
75

ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Dengan demikian, meskipun perjanjian baku

yang mengandung klausula eksonerasi telah diperjanjikan sebelumnya, perjanjian

tersebut tidak dapat dianggap sah karena mengandung ketentuan/klausula yang

bertentangan dengan undang-undang.53

Sumber permasalahan dari suatu perjanjian baku adalah adanya klausula

dalam perjanjian baku tersebut yang sangat memberatkan salah satu pihak dalam

perjanjian. Perjanjian baku sendiri banyak memberikan keuntungan dalam

penggunaannya, tetapi dari berbagai keuntungan yang ada tersebut, perjanjian baku

juga mendapat kritik, karena dipahami oleh para pengkritiknya mengandung

ketidakadilan sebagai akibat dari kedudukan atau posisi tawar-menawar yang tidak

seimbang di antara para pihak.54 Klausula baku menjadi tidak patut ketika kedudukan

para pihak menjadi tidak seimbang karena pada dasarnya, suatu perjanjian adalah sah

apabila menganut asas konsensualisme (disepakati oleh kedua belah pihak) dan

mengikat kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut sebagai undang-

undang. Dengan demikian, pelanggaran terhadap asas konsensualisme tersebut dapat

mengakibatkan perjanjian antara kedua belah pihak menjadi tidak sah.

Oleh karena itu, klausula baku yang mengandung klausula eksonerasi dilarang

oleh hukum. Patut disadari bahwa meskipun terdapat asas kebebasan berkontrak,

namun salah satu syarat sahnya perjanjian seperti yang tertuang pada Pasal 1320

KUHPer adalah suatu sebab yang halal. Selanjutnya Pasal 1337 KUHPer menyatakan

bahwa suatu sebab (dilakukannya perjanjian) adalah terlarang, apabila dilarang oleh

53
M. Naufal Fileindi, 2014, Keabsahan Perjanjian yang Mengandung Klausula Eksonerasi, pada
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52b66e4e181a5/keabsahan-perjanjian-yang-
mengandung-klausula-eksonerasi/ (diakses pada 28 Juni 2022, Pukul 12.37 WIB).

54
Jein Stevany Manumpil, 2016, Klausula Eksonerasi Dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Hal
37, https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/download/11547/11148 (Diakses pada 28 Juni
2022 Pukul 10.16)
76

undan-gundang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban

umum.55 Sehubungan dengan klausula baku dalam kontrak yang batal demi hukum

menurut Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, maka berdasarkan

Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, para pelaku usaha wajib

menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang

Perlindungan Konsumen. Dengan demikian, meskipun perjanjian baku yang

mengandung klausula eksonerasi telah diperjanjikan sebelumnya, perjanjian tersebut

tidak dapat dianggap sah karena mengandung ketentuan/klausula yang bertentangan

dengan undang-undang.56

Pembatasan terhadap klausula eksonerasi dijelaskan dalam pasal 1337

KUHPer bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-

undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban

umum.” Hal tersebut tentu bersinggungan dengan ketentuan mengenai sahnya

perjanjian yang terdapat dalam 1320 KUHPer. Selanjutnya dalam pasal 1339 KUHPer

“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan

didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian,

diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” artinya bahwa

walaupun dua pihak atau lebih mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, para pihak

tidak hanya harus memperhatikan tersebut namun juga harus memperhatikan hal-hal

lain, yaitu kepatutan, kebiasaan serta Undang-Undang lainnya.57

Pembatasan terhadap klausula eksonerasi juga terdapat dalam Undang-Undang

Nomor 18 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dimana pelaku usaha

55
Ibid Hal 38
56
Ibid
57
Sarjana I Made, 2016 halaman 7 diakses dari
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_dir/cfc171a5cad160bba3c9afd5809c5aa6.pdf(diakses pada
28 Juni 2022 pada pukul 10.27)
77

dilarang mencantumkan klausula baku pada perjanjian jika menyatakan pengalihan

tanggung jawab pelaku usaha; pelaku usaha menolak penyerahan kembali barang

yang dibeli konsumen; menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan

kembali uang yang dibayarkan; menyatakan pemberian kuasa kepada pelaku usaha

untuk segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh

konsumen secara angsuran; dan lain-lain.58 Klausula baku dalam isi pasal tersebut

merupakan klausula eksonerasi. larangan-larangan serta ketentuan dalam Pasal 18

UUPK tersebut dimaksudkan agar tidak terjadinya ketimpangan atau ketidaksetaraan

kedudukan antara konsumen dengan pelaku usaha. Hal tersebut dikarenakan terjadi

kecenderungan pemanfaatan kondisi oleh pelaku usaha pada saat konsumennya

berada dalam posisi yang membutuhkan sehingga memungkinkan pelaku usaha untuk

menyalahgunakan keadaan guna kepentingan pribadi pelaku usaha sehingga

merugikan konsumen. Terkait dengan perjanjian asuransi, pada Pasal 251 KUHD

menyebutkan bahwasanya “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau

semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun

dilakukannya dengan itikad baik, yang sifat sedemikian rupa, sehingga perjanjian itu

tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila

penanggung mengetahui keadaaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat

pertanggungan itu batal". dari Pasal tersebut dapat dipahami bahwa dalam suatu akta

perjanjian asuransi baik yang dilakukan secara digital harulah dibuat secara jujur

tanpa menutup-nutupi suatu hal demi mengedepankan asas itikad baik.

Adanya klausula eksonerasi berkaitan erat dengan perbuatan melawan hukum.

Hal tersebut dikarenakan klausula eksonerasi memiliki dampak terhadap pelaksanaan

perjanjian yaitu timbulnya pihak yang merasa dirugikan. Klausula eksonerasi dapat

58
Lih. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
78

dikatakan perbuatan melawan hukum jika terpenuhi syarat seperti yang tertuang pada

1365 KUHPer yaitu “Tiap Perbuatan pelanggaran hukum, yang membawa kerugian

kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”59 artinya dapat disimpulkan bahwa dapat

dikatakan melanggar hukum jika suatu hal tertentu dilakukan oleh salah satu pihak

sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain. Akibat lain dari adanya klausula

eksonerasi yaitu timbulnya wanprestasi. Hal tersebut dikarenakan salah satu pihak

telah menimbulkan kerugian pada pihak lain.

Dalam hal pembatalan terhadap klausula eksonerasi, keputusan diserahkan

kepada pengadilan selaku pihak berwenang untuk melakukan diskresi. Hakim dituntut

untuk mampu mengambil keputusan untuk membatalkan perjanjian demi menghindari

hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip perjanjian. Hal tersebut dikarenakan

tidak terlaksananya syarat sahnya perjanjian dalam 1320 KUHPer sehingga dalam hal

ini hakim dapat memutus sengketa tersebut dengan batal demi hukum dan perjanjian

tersebut dianggap tidak pernah ada.

Suatu perjanjian asuransi yang dibuat secara sah akan menimbulkan akibat-

akibat hukum sebagai berikut: Berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya (Pasal 1338 Ayat (1) KUHPer), asas janji itu mengikat; Suatu perjanjian

hanya berlaku antara pihak yang membuatnya (Pasal 1340 KUHPer) dan perjanjian

dapat mengikat pihak ketiga apabila telah diperjanjikan sebelumnya (Pasal 1317

KUHPer); Konsekuensinya para pihak dalam perjanjian tidak dapat secara sepihak

menarik diri akibat-akibat perjanjian yang dibuat oleh mereka (Pasal 1338 Ayat (2)

KUHPer); Perjanjian dapat diakhiri secara sepihak jika ada alasan-alasan yang oleh

59
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
79

Perdata), yaitu seperti yang termuat dalam Pasal 1571, Pasal 1572, Pasal 1649, Pasal

1813 KUHPer.

Janji untuk kepentingan pihak ketiga hanya mungkin dilakukan dalam 2 (dua)

hal yaitu jika seseorang memberi sesuatu kepada orang lain dan jika seseorang dalam

perjanjian membuat suatu janji untuk kepentingan sendiri; Dalam pelaksanaan suatu

perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik Pasal 1338 Ayat (3) KUHPer, jadi

itikad baik harus ada sesudah perjanjian itu ada; Selain mengikat untuk hal-hal yang

diperjanjikan juga mengikat segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan

oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang Pasal 1339 KUH Perdata serta hal-hal

yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan ke

dalam perjanjian (Pasal 1347 KUHPer); Pada saat menentukan isi perjanjian harus

memperhatikan pembatasan umum yaitu unsur-unsur penambah baru ditambahkan,

kalau sifat perjanjiannya memang membutuhkan penambahan dan yang ditambahkan

itu harus sesuai dengan sifat perjanjian yang mau ditambah (Pasal 1339 KUH Per);

Yang menentukan isi perjanjian adalah undang-undang yang memaksa, kata-kata

dalam perjanjian yang bersangkutan, janji yang selalu diperjanjikan, undang-undang

yang menambah/mengatur, kebiasaan dan kepatutan; Undang-undang yang memaksa

kepada para pihak yang membuat perjanjian tidak diberikan kesempatan untuk

memilih menggunakan atau mengesampingkan ketentuan yang bersangkutan;

Undang-undang yang bersifat menambah atau mengatur berarti kepada para pihak

yang membuat perjanjian ketentuan yang bersangkutan boleh secara tegas

disingkirkan, tetapi jika para pihak tinggal diam, maka secara otomatis ketentuan

yang bersifat mengatur mengisi kekosongan perjanjian yang dibuat tersebut;

Konsekuensi jika undang-undang yang bersifat memaksa disampingkan para pihak


80

dalam membuat perjanjian, maka seluruh atau bagian tertentu dari isi perjanjian yang

bertentangan dengan undang-undang yang memaksa tersebut menjadi batal.60

Akibat hukum dari perjanjian jual beli yang menggunakan klausula eksonerasi

adalah batal demi hukum, karena pencantuman klausula eksonerasi pada perjanjian

jual beli merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab pelaku usaha terhadap

perlindungan konsumen yang berakibat timbulnya suatu kerugian bagi konsumen.

Cara menyelesaikan sengketa akibat penggunaan klausula eksonerasi dalam perjanjian

jual beli sebagaimana diatur pada ketentuan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen “Setiap konsumen yang dirugikan

dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan

sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di

lingkungan peradilan umum”. Maka penyelesaian sengketa terhadap pencantuman

klausula eksonerasi pada perjanjian jual beli berdasarkan Pasal 52 huruf a Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah melalui Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan cara melalui mediasi atau arbitrase

atau konsiliasi, karena berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, “penyelesaian sengketa di luar pengadilan

diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti

rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulang

kembali kerugian yang diderita oleh konsumen”. Berdasarkan hal tersebut maka

dibuat alternatif penyelesaian sengketa konsumen. Hal ini terdapat dalam Pasal 49

ayat (1), bahwa: “Pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

60
Hellen Rumiris, 2018, KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN KREDIT ANTARA PT. MANDIRI PERSERO
(TBK) SEMARANG DENGAN WIBOWO S.E. DAN SITI AISYAH, Vol 1 No 2, Hal 13 diakses dari
https://journal.untar.ac.id/index.php/adigama/article/download/2848/1747 (pada 29 Juni 2022 pukul 12.33)
81

di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan (non-

litigasi).” 61

Pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/ POJK.05/2015 tentang

Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi menyebutkan bahwasanya “Pada

suatu akta perjanjian asuransi untuk tidak mengandung kata, frasa, atau kalimat yang

dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang ditutup, kewajiban

Perusahaan, dan kewajiban Perusahaan, dan kewajiban Tertanggung”. Selain itu

dalam akta perjanjian asuransi dilarang untuk mencantumkan kata, frasa, atau kalimat

yang mempersulit Tertanggung mengurus haknya. Pada Pasal 17 disebutkan juga

bahwa Perusahaan Asuransi dilarang untuk mencantumkan suatu ketentuan dalam

akta perjanjian yang mana dapat ditafsirkan bahwa adanya pembatasan hukum bagi

para pihak dalam hal terjadi perselisihan mengenai ketentuan dari akta perjanjian

asuransi. Meski Perjanjian Asuransi merupakan perjanjian baku, suatu akta perjanjian

asuransi wajib ditulis dengan jelas sehingga dapat dibaca dengan mudah dan

dimengerti oleh Tertanggung. Namun apabila dalam suatu akta perjanjian asuransi

terdapat rumusan yang dapat ditafsirkan sebagai pengecualian atau pembatasan

penyebab risiko yang ditutup berdasarkan akta perjanjian dan pengurangan,

pembatasan, atau pembatasan kewajiban Perusahaan, maka bagian perumusan

tersebut harus ditulis dengan huruf tebal atau miring sehingga dapat dengan mudah

diketahui adanya pengecualian atau pembatasan penyebab risiko atau adanya

pengurangan, pembatasan, atau pembebsan kewajiban perusahaan. ketentuan tersebut

terdapat pada Pasal 22 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/ POJK.05/2015

tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi. Selain itu, Pada POJK 23/

61
Bure Teguh Satria,2014, EKSISTENSI DAN AKIBAT HUKUM KLAUSULA EKSENORASI, Vol.II/No. 3, diakses dari
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/viewFile/6157/5683 (pada 18 November 2020
pukul 12.37)
82

POJK.05/2015 dijelaskan bahwa dalam pemasaran dan melakukan perjanjian asuransi

haruslah menyampaikan informasi yang akurat, jelas, jujur, dan tidak menyesatkan

mengenai Produk Asuransi kepada Calon Tertanggung untuk melakukan perjanjian

asuransi (Pasal 52). Oleh karena itu dengan pasal tersbut maka perusahaan asuransi

termasuk tenaga pemasarnya berkewajiban untuk menjelaskan secara rinci mengenai

isi-isi di dalam perjanjian Asuransi. Hal ini dikarenakan perjanjian asuransi

merupakan sebuah perjanjian baku yang mana salah satu pihak tidak dapat melakukan

penawaran atas isi perjanjian.


83

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesmpulan sebagai

berikut:

1. Dengan adanya kemajuan teknologi membuat Perusahaan Asuransi melakukan

inovasi. Inovasi yang dilakukan oleh Perusahaan Asuransi adalah dengan

membuat perjanjian dengan Calon Tertanggung secara digital. Dengan adanya

inovasi tersebut mendorong modernisasi dalam dunia perasuransian di Indonesia

yang sebelumnya perjanjian asuransi dilakukan secara konvensional/hardcopy.

Keabsahan mengenai perjanjian asuransi yang dilakukan secara digital telah diatur

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang pada Pasal 1320 KUHPer

menjelaskan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Sama dengan perjanjian

yang dilakukan secara konvensional syarat sahnya suatu perjanjian harus ditaati

oleh para pihak yang melakukan perjanjian asuransi. Pada pasal 1 angka 17

menjelaskan mengenai perjanjian elektronik yaitu perjanjian para pihak yang

dibuat melalui sistem elektronik. Sistem elektronik itu sendiri merupakan

serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan,

mengunpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan,

mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.

Seluruh perjanjian elektronik dianggap sah apabila sudah memenuhi peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Salah satu ketentuan terkait perjanjian

elektronik adalah mengenai tanda tangan elektronik yang mana harus memenuhi

Pasal 11 UU ITE.
84

2. Perjanjian asuransi merupakan suatu perjanjian baku yang mana tidak ada proses

tawar menawar antar para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam hal ini

Calon Tertannggung hanya menyetujui atau tidak dari suatu perjanjian, atau dapat

dikenal dengan take it or leave it contract. Sebuah perjanjian baku itu dalam

praktiknya kerap kali terdapat suatu klausul eksonerasi di dalamnya. Klausul

eksonerasi merupakan suatu klausul yang membebaskan tanggung jawab dari

salah satu pihak yang mengadakan suatu perjanjian. Sehubungan dengan klausula

baku dalam kontrak yang batal demi hukum menurut Pasal 18 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka

berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, para pelaku

usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-

Undang Perlindungan Konsumen. Dengan demikian, meskipun perjanjian baku

yang mengandung klausula eksonerasi telah diperjanjikan sebelumnya, perjanjian

tersebut tidak dapat dianggap sah karena mengandung ketentuan/klausula yang

bertentangan dengan undang-undang. Pada Pasal 17 Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 23/ POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran

Produk Asuransi menjelaskan juga bahwa Perusahaan Asuransi dilarang untuk

mencatumkan suatu ketentuan dalam akta perjanjian yang mana dapat ditafsirkan

bahwa adanya pembatasan hukum bagi para pihak dalam hal terjadi perselisihan

mengenai ketentuan dari akta perjanjian asuransi. Meski Perjanjian Asuransi

merupakan perjanjian baku, suatu akta perjanjian asuransi wajib ditulis dengan

jelas sehingga dapat dibaca dengan mudah dan dimengerti oleh Tertanggung.

Namun apabila dalam suatu akta perjanjian asuransi terdapat rumusan yang dapat

ditafsirkan sebagai pengecualian atau pembatasan penyebab risiko yang ditutup

berdasarkan akta perjanjian dan pengurangan, pembatasan, atau pembatasan


85

kewajiban Perusahaan, maka bagian perumusan tersebut harus ditulis dengan

huruf tebal atau miring sehingga dapat dengan mudah diketahui adanya

pengecualian atau pembatasan penyebab risiko atau adanya pengurangan,

pembatasan, atau pembebsaan kewajiban perusahaan.

B. SARAN

Berdasarkan pada bab-bab sebelumnya, Penulis memiliki beberapa saran terkait

pelaksanaan dan pengaturan hukum Insurance Technology di Indonesia:

1. Bagi perusahaan asuransi sebagai pihak yang menawarakan suatu perjanjian

asuransi kepada calon tertanggung haruslah memperhatikan peraturan-peraturan

terkait perjanjian elektronik yang dilakukan secara elektronik. pengawasan dalam

hal syarat sahnya suatu perjanjian harus diperhatikan dan harus sesuai dengan

ketentuan 1320 KUHPer. Hal ini dikarenakan dalam perjanjian asuransi yang

dilakukan secara digital suli untuk melakukan pengawasan terhadap syarat

subjektif dari syarat sahnya suatu perjanjian.

2. Perusahaan asuransi untuk kedepannya harus menambahkan klasusul tentang

penggunaan tanda tangan elektronik dalam akta perjanjian asuransi. Apabila tidak

ada klausul terkait tanda tangan digital maka akan terjadi kekosongan hukum yang

menyebabkan itikad buruk yang memenafaatkan perkemban gan zaman. Selain itu

perushaan asuransi harus mendaftarkan diri pada Certification Authority yang

telah supaya keamanan dan keontentikannya terjamin.


86

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Budiono, Herlien. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan. Citra Aditya: Bandung, 2020.

Fristikawati, Yanti. Metodologi Penelitian Hukum, Sebuah Pengantar, Jakarta: Fakultas


Hukum Unika Atma Jaya, 2018.

Kansil, C.S.T. Kamus Istilah Aneka Hukum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 1999.
Miru, Ahmadi. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. Jakarta: PT.Raja
GrafindoPersada, 2007.
Mona. Kitab Undang-Undang hukum Dagang. Yogyakarta: Pustaka Mahardika, 2014.

Mulhadi. Dasar-Dasar Hukum Asuransi. Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2017.

Moechthar, Oemar. Teknik Pembuatan Akta Badan Hukum dan Badan Usaha di
Indonesia, Surabaya: Airlangga University Press, 2019.
Muhammad, Abdulkadir. Pengantar Hukum pertanggungan. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1994.
Pamungkasih, Rini. 101 Draft Surat Perjanjian dan Kontrak. Yogyakarta: Gradien
Mediatama, 2009.
Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta,
2004.
Salim, Abbas. Asuransi dan Manajemen Risiko. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Sastrawidjaja, Man Suparman. Aspek-Asek Hukum Asiuransi dan Surat Berharga.
Bandung: Alumnu, 2003.
Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan Kebijakan moneter dan Perbankan.
Depok: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005.
Siombo, Marhaeni Ria. Lembaga Pembiayaan dalam Perspektif Hukum, Jakarta: Penerbit
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 2018.
Subekti, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980.
Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya
Paramita, 2003.

Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2007.

Sutedi, Adrian. Buku Pintar Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014.
87

Wibowo, Arrianto Mukti, et. al. Naskah Akademik Kerangka Hukum Indonesia untuk
Tanda Tangan Elektronik dan Transaksi Elektronik. Jakarta: Lembaga Kajian Hukum
Teknologi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001.

JURNAL
Hartana, “Hukum Perjanjian (Dalam Perspektif Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara)”. Komunikasi Hukum, Vol. 2, No. 2, (Agustus 2016). Hlm.
149.
Mahendar, Fahdelika dan Christiana Tri Budhayati. “Konsep Take It or Leave It Dalam
Perjanjian Baku Sesuai Dengan Asas Kebebasan Berkontrak”. Jurnal Ilmu Hukum,
Vol. 2, No. 2 (2019). Hlm 9.
Makarim, Edmon. “Keautentikan Dokumen Publik Elektronik Dalam Administrasi
Pemerintahan dan Pelayanan Publik”. Hukum dan Pembangunan, Vol. 45, No. 4
(Oktober-Desember 2015). Hlm. 555.
Manumpil, Jein Stevany. “Klausula Eksonerasi Dalam Hukum Perlindungan Konsumen
di Indonesia”. Lex Privatum, Vol. 4, No. 5 (2016). Hlm 37.

Prananingrum, Dyah Hapsari. “Telaah Terhadap Esensi Subjek Hukum: Manusia dan
Badan Hukum”. Refleksi Hukum, Vol 8, No. 1 (2014). hlm 78.
Prasnowo, Aryo Dwi. “Implementasi Asas Keseimbangan Bagi Para Pihak dalam
Perjanjian Baku”. Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 8,
No. 1 (Mei 2019). Hlm. 64.
Prayogo, Sedyo. "Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum
dalam Perjanjian." Pembaharuan Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 2 (2016). Hlm. 280-287.
Rato, Dominikus. “Legalitas Kontrak Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif
Hukum Perdata”. Syntax Literate, Vol.7, No. 3 (Maret 2022). Hlm 1463.
Rumiris, Hellen. “Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Kredit Antara Pt. Mandiri
Persero (Tbk) Semarang Dengan Wibowo S.E. Dan Siti Aisyah”. Jurnal Hukum
Adigama, Vol. 1, No. 2 (2018). Hlm 13.

Satria, Bure Teguh. “Eksistensi dan Akibat Hukum Klausula Eksenorasi”. Lex Privatum,
Vol. 2, No. 3 (2014). Hlm 39 – 49.

Sarjana, I Made. “Pembatasan Klausula Eksonerasi”. Jurnal Notariil, Vol. 1 No. 1


(November 2016). Hlm 112.
88

Seran, Marcelo, and Anna Mariam Wahyun Setyowatit. "Penggunaan Klausula


Eksonerasi Dalam Perjanjian Dan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen". Hukum
Jurnal Pro Justitiat, Vol. 26, No. 2 (2008).
Susanto, Heru. “Subrogasi sebagai Bentuk Pertaggung Jawab Pihak Ketiga Terhadap
Penanggung dalam Perasuransian”. Dialektika, Vol. 5, No.1 (Mei 2007). Hlm. 35.
Yunus, Ahyuni. “Penyalahgunaan Keadaan Dalam Bentuk Perjanjian Baku”. Kanun
Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 21, No. 2 (Agustus 2019). Hlm 174.

INTERNET

Fileindi, Muhammad Naufal “Keabsahan Perjanjian yang Mengandung Klausula


Eksonerasi”.https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52b66e4e181a5/
keabsahan-perjanjian-yang-mengandung-klausula-eksonerasi/, ditelusuri 28 Juni
2022.

Murtiani, Wahyuni. “Allianz Indonesia Luncurkan AllianzeAZy Cover untuk Memberikan


Proteksi Asuransi dari Rumah Saja”. https://www.allianz.co.id/tentang-kami/berita-
perusahaan/rilis-media/2020/2020-juni/allianz-indonesia-luncurkan-allianz-eazy-
cover-untuk-memberikan-proteksi-asuransi-dari-rumah-saja.html, ditelusuri 16 Juli
2022.

Ratriani, Virdita. “Simak pengertian Asuransi Jiwa dan Jenis-Jenis Sesuai Kebutuhan”
dalam https://keuangan.kontan.co.id/news/simak-pengertian-asuransi-jiwa-dan-jenis-
jenisnya-sesuai-kebutuhan, ditelusuri 23 September 2021.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, LN Nomor 337
TLN Nomor 5618.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, LN


Nomor 1999 TLN Nomor 3821.

SKRIPSI
Renathan, Aldo. “Tinjauan Yuridis Terhadap Klausula Baku Sebagai Suatu Perjanjian
Dilihat Dari Sisi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UUPK”. Depok: Skripsi,
2009.

LAINNYA
Kamus Besar Bahasa Indonesia
89

Anda mungkin juga menyukai