Anda di halaman 1dari 14

Belajar Merdeka

Oleh: Yudi Latif

Dikatakan oleh Bung Karno, ”Lebih baik kita membuka


hutan kita dan menggaruk tanah kita dengan jari
sepuluh dan kuku kita ini daripada menjual serambut
pun daripada kemerdekaan kita ini untuk dollar, untuk
rubel.”

Setelah lebih dari tujuh dekade kolonialisme berlalu,


tampaknya bangsa Indonesia masih harus berjuang
untuk belajar merdeka. Warisan penindasan terlama dari
penjajahan bukanlah pengurasan sumber daya alam,
pengalaman penderitaan, dan penghilangan nyawa
manusia, melainkan perbudakan mental-kejiwaan
(mind).

Mental-kejiwaan adalah pusat eksistensi dan identitas


manusia. Dengan itulah manusia memiliki pengalaman
merasakan, mengingat, menalar, membayangkan,
mengarahkan tindakan, dan mengomunikasikan
kehidupannya. Hidup di bawah kendali penjajah
merampas kebebasan manusia, membuat mental-
kejiwaannya terpasung, terkorupsi, dan teralienasi.

Ketidakbebasan hidup menjadikan mereka tercerabut


dari memori kesejarahan, terputus dari ikatan sosial,

1
terusir dari ruang hidup, dan terhadang kemampuannya
untuk memilih dan mengembangkan diri.

Mentalitas kaum terjajah

Kolonialisme berlalu dengan meninggalkan residu


perbudakan mental ini. Manusia-bangsa Indonesia
secara umum masih kurang mengenal dan menghargai
diri, kurang percaya diri, kurang aktualisasi diri, lemah
pendirian, dan lemah kepribadian.

Jika disederhanakan, manusia-bangsa Indonesia kurang


memiliki mentalitas kemandirian. Rendahnya mentalitas
kemandirian membuat perilaku manusia-bangsa
Indonesia kerap terperangkap dalam dua pilihan
ekstrem.

Warisan penindasan terlama dari penjajahan bukanlah


pengurasan sumber daya alam, pengalaman
penderitaan, dan penghilangan nyawa manusia,
melainkan perbudakan mental-kejiwaan (mind).

Pertama, mental orang (kaum) terjajah itu sering


terobsesi untuk meniru perangai tuannya, dengan
konsekuensi melakukan apa saja yang orang (bangsa)
lain lakukan, yang mendorong mentalitas konformis,
peniru dan pembebek.

Kedua, mental terjajah itu biasanya menuruti apa yang


dikehendaki tuannya, dengan konsekuensi melakukan

2
apa saja yang diinginkan orang (bangsa) lain, yang
menyuburkan mentalitas pecundang dan totalitarian.

Para pendiri bangsa menyadari benar, perjuangan


kemerdekaan masih jauh dari tuntas. Pada Peringatan
Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956, Bung Karno
menjelaskan tiga fase revolusi bangsa.

Dua fase telah dilalui secara berhasil, dan satu fase lagi
menghadang sebagai tantangan. Indonesia telah
melewati ”Taraf physical revolution” (1945-1949) dan
”taraf survival” (1950-1955).

Lantas ia tandaskan, ”Sekarang kita berada pada ’taraf


investment”, yaitu taraf menanamkan modal-modal
dalam arti yang seluas-luasnya: investment of human skill,
material investment, dan mental investment.”

Dalam pandangannya, investasi keterampilan dan


material amat penting. Namun, yang paling penting
adalah investasi mental. Investasi keterampilan dan
material tidak bisa menjadi dasar persatuan dan
kemakmuran bersama tanpa didasari investasi mental.

Tanpa kekayaan mental, upaya-upaya pemupukan


keterampilan dan material hanya akan melanggengkan
perbudakan. Dikatakan oleh Bung Karno, ”Lebih baik
kita membuka hutan kita dan menggaruk tanah kita
dengan jari sepuluh dan kuku kita ini daripada menjual

3
serambut pun daripada kemerdekaan kita ini untuk
dollar, untuk rubel.”

Ditambahkan pula, ”Mental kita harus mengangkat diri


kita di atas kekecilan jiwa, yang membuat kita suka geger
dan eker-ekeran mempertentangkan urusan tetek
bengek yang tak penting.”

Dalam praktiknya, apa yang diingatkan Bung Karno itu


tidak pernah sungguh-sungguh menjadi komitmen
pembangunan. Rezim silih berganti, tetapi titik berat
pembangunan terus mengutamakan investasi material
dengan tambahan pembangunan keterampilan ala
kadarnya.

Sebegitu jauh, pembangunan mental cenderung


diabaikan. Pembangunan ekonomi-politik kerap
dijadikan panglima, dengan menjadikan kebudayaan
sebagai pelengkap penderita.

Akibat pengabaian pembangunan mental-kultural,


mimpi kemerdekaan pascakolonial sangat rentan
terhadap infeksi dari residu mentalitas perbudakan,
dengan mental konformis, pecundang, dan totalitarian
membonceng di setiap pergantian rezim pasca kolonial.

Penguasa baru bisa muncul dari mekanisme demokratis,


tetapi dalam perkembangannya bisa tertular mental
totalitarian-kolonialis dengan ketundukan buta
pendukung konformis.

4
Secara konvensional, watak penindasan kolonialisme
menampakkan diri dalam kesewenang-wenangan klaim
penguasaan atas ruang. Pendudukan VOC atas
kepulauan Banda dan wilayah lainnya, dengan
membantai sebagian besar penduduk yang telah lama
menetap dan mengusir sebagian yang lain, lantas
menggantinya dengan budak yang didatangkan dari
berbagai wilayah dan negara, adalah representasi dari
penjajahan konvensional, berbasis klaim ”ruang tak
bertuan” (terra nullius).

Rezim silih berganti, tetapi titik berat pembangunan


terus mengutamakan investasi material dengan
tambahan pembangunan keterampilan ala kadarnya.

Dengan mental kolonial yang mengendap, rezim-rezim


pemerintahan pascakolonial kerap tertular watak
kolonial dengan membentangkan karpet merah bagi
para investor (asing dan lokal), untuk menguasai lahan
seluas-luasnya dengan menyingkirkan warga setempat,
seolah-olah sebagai tanah tak bertuan.

Lebih dari itu, ekspresi penjajahan menampakkan


dirinya dalam bentuk lain, berupa kesewenang-
wenangan penguasaan atas waktu. Seolah-olah masa
depan adalah ”waktu tak bertuan” (tempus nullius)
sehingga hak-hak generasi mendatang bisa dirampas

5
dan ditindas oleh kepentingan aji mumpung generasi
saat ini. Inilah penjajahan gaya baru yang tengah
merajalela di Tanah Air.

Para pengusaha dan penguasa bersekongkol menjajah


masa depan demi memenuhi hasrat keserakahan dan
keuntungan jangka pendek. Hutan digunduli dan
dihanguskan, tambang dikuras dan diselundupkan, flora
dan fauna dibantai, sungai, laut dan udara dicemari,
utang dan anggaran dikorupsi, inovasi teknologi dan
kapabilitas manusia diabaikan.

Kesewenang-wenangan elite untuk melemparkan


sampah, kerusakan, penderitaan, dan kesulitan ke masa
depan itu sudah sampai pada taraf yang disebut Simon
Caney sebagai ”anarki antarwaktu” (intertemporal
anarchy), karena tekanan kepentingan sesaat yang
mengancam keberlanjutan bangsa.

Memang benar, fokus mengerjakan hal mendesak tidak


mesti kesalahan. Musibah semacam kebakaran hutan
memang harus lekas dipadamkan. Namun, kita harus
bisa berpikir melampaui kobaran api, dengan
perencanaan jangka panjang untuk memastikan
kelestarian alam terjaga. Kelebihan manusia merdeka
atas hewan adalah kapasitas mental-kejiwaannya untuk
mengingat secara kreatif dengan mengambil pelajaran
dari pengalaman masa lalu untuk diproyeksikan ke masa
depan.

6
Terperangkap ”short-termism”

Dalam menghadapi masa depan, mindset manusia


merdeka bukan saja harus bertindak sebagai homo
sapiens (yang tahu dan bijak), melainkan juga homo
imaginatus (yang bisa mengantisipasi dan merancang
masa depan).

Benar pula, tak seorang pun yang tahu pasti apa yang
akan terjadi di masa depan. Namun, memprediksi dan
mengantisipasi kemungkinan mendatang jauh lebih baik
daripada tidak mempersiapkannya sama sekali, agar kita
tidak terus tersandung di berbagai tikungan sejarah.
Untuk itu, pengetahuan tentang masa lalu bersama
kapasitas imajinatif untuk memprediksi bagaimana
sekiranya sesuatu terjadi (what ifs) dapat membantu
merencanakan masa depan.

Maka, untuk bisa membebaskan diri dari mentalitas


penjajahan waktu, jiwa merdeka memerlukan kesadaran
bahwa setiap kita adalah penumpang perahu
penghubung, yang mengantarkan manusia berjelajah
dari hulu masa lalu ke samudra masa depan, melalui
aliran sungai masa kini. Seperti diingatkan Edmund
Burke, mitra keberadaan kita bukan hanya sesama
penumpang perahu saat ini, melainkan juga leluhur di
masa lalu dan keturunan di masa datang.

7
Dengan kemampuan melakukan penjelajahan waktu
(time-travel)—mengenang jauh ke masa lalu dan
membayangkan jauh ke masa depan—gerak tumbuh
pohon kehidupan bangsa harus senantiasa mengingat
dari mana kita bermula, di mana kita berjejak, karunia
potensi apa yang kita miliki, dari akar tradisi-kesejarahan
seperti apa kita tumbuh.

Gerak kehidupan juga harus bisa membayangkan


kemungkinan mendatang dengan mengantisipasi
perubahan, menyesuaikan diri dengan perkembangan,
berwawasan kosmopolitan dengan kesiapan belajar pada
praktik terbaik dari sumber mana pun, seraya
menyiapkan perencanaan dan haluan ke masa depan.

Ancaman terbesar yang menguji kesejatian dan


keberlangsungan kita saat ini adalah jebakan pandangan
waktu jangka pendek (short-termism). Kita hidup dalam
kubangan involutif kedaruratan lima tahunan, yang
harus dibayar mahal dengan kerusakan berkelanjutan.
Setiap percobaan perubahan kembali tergulung oleh
tekanan kedaruratan.

Kita hidup dalam kubangan involutif kedaruratan lima


tahunan, yang harus dibayar mahal dengan kerusakan
berkelanjutan. Setiap percobaan perubahan kembali
tergulung oleh tekanan kedaruratan.

8
Kehidupan dijalani secara kontradiktif. Tren
perkembangan global menuju otomatisasi, ekonomi
pengetahuan, perampingan pemerintahan, perubahan
iklim, penggunaan energi hijau, penyebaran pandemi,
dan perluasan kesenjangan sosial. Semua itu
memerlukan perencanaan jangka panjang
berkesinambungan untuk meresponsnya. Namun,
orientasi politik dan visi waktu kita justru tertawan short-
termism.

Tendensi seperti itu memang bak pandemi yang


mewabah secara global (Richard Fisher, 2023). Meski
begitu, ada kekhawatiran anarki tersebut lebih
membunuh di negeri ini. Indonesia tak cukup siap
merancang masa depan dan menjaga kesinambungan
yang sehat dalam pembangunan. Berdasarkan ukuran
Intergenerational Solidarity Index, Indonesia ada di urutan
ke-72 dari 122 negara. Bandingkan dengan posisi negara
jiran seperti Vietnam (21) dan Malaysia (38).

Di negeri ini, gejala short-termism begitu menggurita.


Dalam politik, ada satir: dua tahun bekerja, setelah itu
persiapkan pemilihan. Haluan jangka panjang diabaikan
oleh janji musiman kampanye pemimpin politik. Dalam
bisnis, asal bisa tumbuh, kekayaan alam dikuras dengan
merusak lingkungan dan kemakmuran berkelanjutan.
Dalam media, asal viral mendulang algoritma pengikut,
perhitungan dampak ikutan dikorbankan.

9
Membangun manusia

Menurut survei Microsoft 2021, perilaku keberadaban


Indonesia berdasarkan Digital Civility Index termasuk
paling rendah di kawasan Asia Pasifik. Penyebabnya,
menurut John-Claude Juncker, mantan Presiden Komisi
Eropa, ”Kita tahu apa yang harus dilakukan, tetapi kita
tak tahu bagaimana terpilih kembali setelah
melakukannya.”

Bahkan, tatkala ada pemimpin politik yang berpikir


visioner dan bertindak benar, tak ada jaminan kebijakan
dan programnya diteruskan penggantinya. Di sinilah
terasa perlu adanya kerangka institusi yang dapat
menjamin keberlangsungan pembangunan yang
disepakati oleh berbagai representasi kekuatan rakyat
dan pemangku kepentingan sehingga mengikat siapa
pun yang terpilih sebagai pelanjut pemerintahan.

Untuk itu, sekali lagi, diperlukan kekuatan mental untuk


percaya pada pilihan sistem sendiri, tak merasa rendah
diri dengan tidak konformis terhadap pilihan model
demokrasi di negara lain. Demokrasi itu memiliki prinsip
universal, tetapi dalam penerapannya memberi ruang
bagi kekhasan masing-masing seiring dengan kondisi
sosial-budaya dan tradisi kesejarahannya.

Dalam kaitan itu, pembangunan kualitas dan karakter


manusia (bangsa) menjadi sangat fundamental.

10
Bagaimanapun, hakikat pembangunan itu adalah usaha
untuk meningkatkan kapabilitas manusia, dengan
menyehatkan jiwa dan raganya.

Jiwa merdeka yang mengenali dan percaya diri serta


sadar akan tempatnya di alam raya dengan
mengaktualisasikan tujuan moral dari hidupnya. Jiwa
merdeka itu laksana burung yang bertengger di atas
dahan yang tak pernah takut dahannya patah. Karena
kepercayaannya tidak diletakkan pada dahan, tetapi
pada kemampuan terbang sayang-sayapnya sendiri.

Warga melintasi mural bertemakan kemerdekaan di


tanggul beton Sungai Ciliwung di Tebet, Jakarta Selatan,
Minggu (9/8/2020).

Perjuangan belajar merdeka itu ditempuh melalui proses


peningkatan kapabilitas budaya merdeka yang
berkepribadian, politik merdeka yang berkedaulatan,
serta ekonomi merdeka yang berkemandirian. Budaya
merdeka-berkepribadian diupayakan melalui
pendidikan budi pekerti (olah pikir, rasa, karsa, dan
raga) yang dapat melahirkan jiwa merdeka dan patriotis.

Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara, ”Dengan


adanya ’budi pekerti’ itu tiap-tiap manusia berdiri
sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat
memerintah atau menguasai diri sendiri (mandiri,

11
zelfbeheersching). Inilah manusia yang beradab dan itulah
maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya.”

Dengan demikian, tugas terpenting dunia pendidikan


adalah menyediakan wahana bagi warga bangsa untuk
”belajar merdeka”—adapun ”merdeka belajar” hanyalah
salah satu dari sekian banyak pilihan untuk belajar
merdeka.

Manusia merdeka dalam bayangan Ki Hadjar Dewantara


adalah manusia mandiri dengan tiga sifat: berdiri
sendiri, tak tergantung pada orang lain, dan bisa
mengatur diri sendiri. Meski demikian, pribadi mandiri
yang dikehendaki itu hendaklah tidak mengarah pada
kedirian yang bersifat individualistis dalam garis
libertarian, tetapi manusia etis yang bisa menempatkan
keistimewaan dan kapabilitas dirinya dalam semangat
pelayanan bagi keserasian jagat besar.

Bersamaan dengan itu, politik merdeka-berkedaulatan


diupayakan melalui pemberdayaan partisipasi dan
responsibilitas rakyat dalam politik dengan menjaga
prinsip kesetaraan kebebasan dan kesempatan dalam
semangat kekeluargaan. Dalam pandangan Bung Karno,
politik menjadi wahana perjuangan semua buat semua
melalui usaha saling gosok mengubah gabah jadi beras
dengan berbekal daya-daya deliberatif-argumentatif
yang berkebijaksanaan.

12
Dalam pandangan Bung Karno, politik menjadi wahana
perjuangan semua buat semua melalui usaha saling
gosok mengubah gabah jadi beras dengan berbekal daya-
daya deliberatif-argumentatif yang berkebijaksanaan.

Politik juga menjadi wahana perjuangan demokrasi


politik yang berkelindan dengan demokrasi ekonomi,
dengan mencegah demokrasi untuk tidak terjerembap di
bawah dominasi ”mayorokrasi” identitas ataupun
”minorokrasi” oligarkis.

Adapun ekonomi merdeka-berkemandirian diusahakan


melalui penguatan kemampuan berdikari dengan
semangat tolong-menolong (kooperatif).

Dalam pandangan Bung Hatta, semangat kooperatif ini


tidak terbatas pada badan usaha koperasi, tetapi juga
harus menjiwai usaha perekonomian secara keseluruhan.
Menurut Bung Hatta, koperasi bisa menjadi wahana
pendidikan, politik, dan ekonomi merdeka. ”Kooperasi
mendidik semangat percaya pada diri sendiri,
memperkuat kemauan bertindak dengan dasar self-help
dan oto-aktivita. Dengan kooperasi, rakyat seluruhnya
dapat ikut serta membangun, berangsur-angsur maju
dari yang kecil melalui yang sedang sampai akhirnya ke
lapangan perekonomian yang besar.”

13
Selain itu, ”Kooperasi yang semacam itu memupuk
semangat toleransi—aku mengakui pendapat masing-
masing dan rasa tanggung jawab bersama.”

Lebih dari itu semua, ”Semangat kolektivisme Indonesia


yang akan dihidupkan kembali oleh kooperasi
mengutamakan kerja sama dalam suasana kekeluargaan
antara manusia pribadi, bebas dari penindasan dan
paksaan.”

Akhirnya, seperti diingatkan William Faulkner, ”Kita


bisa sungguh-sungguh merdeka bukan karena klaim
kemerdekaan, melainkan karena kita
mempraktikkannya.” Proklamasi kemerdekaan tanpa
sungguh-sungguh belajar merdeka ibarat tubuh tanpa
jiwa. Mari kobarkan terus semangat belajar merdeka!

Yudi Latif, Pemikir Kebangsaan

14

Anda mungkin juga menyukai