Anda di halaman 1dari 102

RISALAH KEBANGSAAN

PILIHAN BUAT PAK JOKOWI

MUNDUR
ATAU
TERUS
M. AMien RAis
RISAL AH KEBANGSA AN

P I L I H A N B U AT PA K J O KOW I

MUNDUR
ATAU
TERUS
M. AMien RAis
RISALAH KEBANGSAAN

PILIHAN BUAT PAK JOKOWI

MUNDUR
ATAU TERUS
Penulis:

M. Amien Rais

Editor:

Fernan Rahadi

Desain Sampul:

Marochin

Lay out:

Marochin

Penerbit:

DA Press

Cetakan Pertama September 2020

ii+94 halaman 14x21 cm


PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: ii
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
BAB 1 BANGSA INDONESIA DIBELAH .................................................... 3
BAB 2 MEMBERI ANGIN KEBANGKITAN
KOMUNISME ............................................................................................... 5
BAB 3 POLITIK LEBENSRAUM CHINA ..................................................... 11
BAB 4 OTORITERISME MAKIN PEKAT ..................................................... 17
BAB 5 OLIGARKI MAKIN SUBUR ................................................................. 21
BAB 6 TUNDUK PADA MAFIA, TAIPAN,
DAN CUKONG ........................................................................................... 25
BAB 7 NEPOTISME TANPA ETIKA ............................................................. 33
BAB 8 EKONOMI SEMAKIN SURAM ......................................................... 37
BAB 9 PENGELOLAAN SDA YANG TERANG-TERANGAN
MENENTANG PASAL 33 UUD 1945 DAN
MENABRAK ATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
YANG ADA ................................................................................................... 49
BAB 10 PENDIDIKAN KARUT MARUT ..................................................... 57
BAB 11 KEGAGALAN REFORMASI KESEHATAN DAN
PENANGANAN COVID-19 .............................................................. 63
BAB 12 MENERAPKAN PSIKOLOGI KETAKUTAN .......................... 69
BAB 13 MASA DEPAN PAPUA BARAT DAN PAPUA ..................... 73
REKOMENDASI .................................................................................... 85
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 1
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
Pendahuluan

P
ada 17 Agustus 2020 lalu bangsa Indonesia merayakan
Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang ke-75 kalinya
(17 Agustus 1945-17 Agustus 2020). Sudah seharusnya kita
bangsa Indonesia melakukan kritik dan koreksi atas perjalanan
bangsa yang telah kita lewati secara jujur, berani, dan seobjektif
mungkin. Agar kita mampu melihat masalah-masalah nasional apa
saja yang perlu kita angkat ke permukaan, secara apa adanya.
Namun segera harus kita catat, bahwa risalah singkat ini
hanyalah mengemukakan puncak-puncak masalah. Tentu diperlu-
kan sebuah buku tebal bila kita ingin menyajikan telaah yang relatif
lengkap tentang kondisi bangsa Indonesia dewasa ini.
Saya sadar tidak ada satu analisa atau gagasan mengenai
apa saja, yang tidak menimbulkan sikap pro dan kontra. Saya tentu
siap menerima kritik, koreksi, dan bantahan serta masukan lain.
Bahkan dengan senang hati saya ingin melakukan diskusi terbuka
dengan siapapun tentang apa yang saya kemukakan secara terbuka.
Demokrasi sejati selalu membuka lebar keran pertukaran
gagasan supaya muncul pilihan-pilihan alternatif bagi seluruh anak
bangsa. Pilihan yang bersifat pro bono publico, pilihan yang
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
2
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

menguntungkan kepentingan orang banyak sepantasnya jadi


pilihan kita. Sedangkan pilihan yang bersifat eksklusif untuk se-
kelompok kecil yang cenderung memangsa (predatorik) kepen-
tingan bangsa atau kepentingan nasional biarlah terlempar ke
sampah sejarah.
Saya lihat dan cermati bahwa dalam pergaulan antarbangsa
dewasa ini, Indonesia yang kita cintai bersama semakin tidak
bersinar, malahan semakin meredup. Kekuatan-kekuatan anti-
ketuhanan tampak semakin beringas dan berani. Kemanusiaan kita
bisa dikatakan cenderung menjadi kemanusiaan agak zalim dan
tidak lagi beradab. Persatuan Indonesia semakin goyah karena
politik rezim tidak memiliki kesadaran bahwa politik adu domba
antarkekuatan sosial-politik dengan harapan rezim penguasa
semakin kuat dan stabil justru dapat menghancurkan bangsa
seluruhnya. Kerakyatan kita kini cenderung membuang hikmah
serta keunggulan prinsip permufakatan, permusyawaratan, dan
perwakilan. Mayoritas rakyat kecil kita belum merasakan keadilan
sosial bagi seluruh bangsa, tetapi lebih sering menderita kezaliman
sosial dari mereka yang berkuasa dan berharta.
Saya membaca perkembangan kehidupan politik, sosial,
ekonomi, penegakan hukum serta kehidupan moral bangsa terus
mengalami kemerosotan. Padahal kehidupan yang tidak memiliki
pijakan yang kokoh di atas akhlak atau moralitas atau etika dapat
dipastikan akan meluncur ke bawah. Tidak mustahil pula proses
kemerosotan multidimensional itu membuat semakin redup
kehidupan bangsa kita. Menjadikan bangsa Indonesia seolah tanpa
masa depan. Berikut ini saya sampaikan beberapa masalah nasional
yang semakin memprihatinkan. ●
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 3
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
BAB 1

Bangsa Indonesia
Dibelah

S
ejak Jokowi jadi presiden pada periode pertama (2014-
2019) dan diteruskan pada periode kedua sampai sekarang,
perkembangan politik nasional bukan semakin demokratis,
tetapi malahan kian jauh dari spirit demokrasi.
Tidak berlebihan bila dikatakan hasil pembangunan politik
di masa Jokowi telah memecah belah persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia. Kecurigaan dan ketakutannya terhadap umat
Islam yang bersikap kritis dan korektif terhadap rezim begitu jelas
kita rasakan.
Kriminalisasi dan demonisasi, serta persekusi terhadap para
ulama yang ber-amar ma’ruf dan ber-nahi munkar telah menjadi
rahasia umum.
Sebagai presiden seharusnya Jokowi berpikir, bekerja, dan
terus berusaha supaya tidak jadi pemimpin partisan: membela
sekitar separuh anak bangsa dan menjauhi, bahkan kelihatan
memusuhi sekitar separuh anak bangsa lainnya. Politik partisan
semacam ini tidak bisa tidak, cepat atau lambat membelah bangsa
4 PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

Indonesia. Tidak boleh seorang presiden terjebak pada mentalitas


“koncoisme”.
Sekeping contoh bisa dikemukakan tatkala jutaan umat Islam
berunjuk rasa secara damai, tertib, bersih, dan bertanggung jawab
pada tanggal 4 November 2016, tiga orang utusan mereka ingin
bertemu dengan Jokowi. Tetapi ditunggu dari pagi sampai larut
senja, Jokowi di hari itu seharian meninggalkan istana. Alasannya,
ada satu urusan teknis harus diselesaikan di Bandara Soekarno-
Hatta.
Sampai sekarang penyakit politik bernama partisanship itu
tetap menjadi pegangan rezim Jokowi dalam menghadapi umat
Islam yang kritis terhadap kekuasaannya. Para buzzer bayaran dan
juga para jubir istana di berbagai diskusi atau acara di banyak stasiun
televisi semakin menambah kecurigaan banyak kalangan terhadap
politik Jokowi yang beresensi politik belah bambu. Menginjak
sebagian dan mengangkat sebagian yang lain. ●
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 5
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
BAB 2

Memberi Angin
Kebangkitan
Komunisme

A
da fenomena yang memprihatinkan bagi banyak orang
yang berpikir kritis dan mengikuti perkembangan ko-
munisme internasional mutakhir. Mengapa? Mereka
prihatin karena banyak tokoh pendukung rezim yang berusaha
meyakinkan masyarakat bahwa PKI sudah mati dikubur, dan
komunisme sudah tidak laku lagi. PKI sudah jadi hantu. Juga tidak
ada lagi negara yang masih menerapkan komunisme, marxisme,
dan leninisme.
Para komunis malam yang berupaya meyakinkan masyarakat
bahwa komunisme sudah jadi bagian sejarah masa lalu lupa bahwa
di zaman internet sekarang ini seluruh informasi global di bidang
apa saja sudah sangat mudah diakses oleh setiap orang. Mereka
buta bahwa RRC yang menjadi junjungan beberapa oknum dalam
rezim Jokowi pada hakikatnya merupakan kekuatan komunisme
internasional yang paling dahsyat.
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
6
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

Bila dulu Mao Zedong (Mao Tse Tung) mempropagandakan


dan memaksakan Maoisme sebagai ideologi tunggal RRC, maka Xi
Jinping, penguasa puncak dan penguasa tunggal RRC, yang jadi
presiden dan sekaligus sekjen PKC, sekarang ini telah mengeluarkan
XiJinpingisme.
Di antara 14 butir ideologi Xi Jinping disebutkan bahwa PKC
memegang kekuasaan mutlak atas Tentara Pembebasan Rakyat
(PLA) dan mengukuhkan jabatan Xi sebagai penguasa tunggal China
seumur hidup. Keputusan Kongres PKC itu diambil pada 2017 dan
sekaligus menekankan bahwa China harus melaksanakan nilai-nilai
asasi dari marxisme, komunisme, dan sosialisme (walaupun ada
embel-embel sesuai ciri-ciri China). Perhatikan, marxisme, ko-
munisme, dan sosialisme masih jadi rujukan baku China.
Oknum-oknum rezim Jokowi sedang menipu rakyat
Indonesia ketika mereka menyatakan bahwa sudah tidak ada lagi
komunisme di muka bumi dan juga tidak perlu khawatir PKI akan
muncul kembali. Kata mereka tidak ada lagi negara yang menganut
marxisme, leninisme, komunisme.
Kita bersyukur bahwa umat Islam tidak buta sejarah dan
tidak mungkin dapat dibohongi oleh omongan oknum-oknum
rezim Jokowi yang sungguh tidak bertanggung jawab. Kita
diingatkan oleh David Satter, seorang wartawan intelektual dan
yang mendalami masalah-masalah komunisme. Dia menulis bahwa
selama 1917-2017 (100 tahun), kaum komunis telah membunuh
sekitar 100 juta orang yang dipandang sebagai musuh komunis.
Lebih terinci lagi adalah temuan yang cukup otentik dari seorang
guru besar yang mengajar di Universitas Indiana, Universitas Yale,
dan Universitas Hawaii bernama Rudolph Joseph Rummel (1932-
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 7
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
2014), yang mendedikasikan kehidupan akademiknya sampai
puluhan tahun untuk mendalami ideologi komunisme. Ia mencatat
jumlah pelenyapan manusia (democide atau genosida) oleh kaum
komunis sebagai berikut:

Lokasi Tahun Jumlah Terbunuh

Kamboja 1975-1979 2.035.000


RRC 1949-1987 77.277.000
Polandia 1945-1948 1.585.000
Korea Utara 1948-1987 1.563.000
Vietnam 1945-1987 1.670.000
Yugoslavia 1944-1987 1.072.000
Uni Soviet 1917-1987 61.911.000

Ketika Polpot, tokoh komunis bengis menguasai Kamboja


selama 1975-1979, ada sekitar 2 juta rakyat Kamboja yang dibunuh
secara sadis. Untuk menghemat peluru, musuh-musuh komunis
itu dipenggal kepalanya pakai kapak. Jumlah yang dibunuh itu
berkisar 25 persen lebih dari seluruh jumlah penduduk yang
mencapai 7,8 juta.
Akankah kita biarkan neo-PKI bangkit dan kemudian
mempraktikkan kebengisan dan kebiadaban yang khas komunis
yang akan menyasar seluruh orang yang dianggap anti-komunisme?
Apakah demikian loyonya bangsa Indonesia, termasuk sebagian
umat Islam, sehingga tidak mampu mengantisipasi kemungkinan
kebangkitan neo-PKI?
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
8
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

Sesungguhnya kita beruntung memiliki pakar ahli PKI/


komunisme, Ustaz Alfian Tanjung. Namun pakar yang rajin me-
ngingatkan bahaya PKI/komunisme di Indonesia lewat berbagai
tulisan dan ceramahnya tersebut harus keluar-masuk penjara.
Padahal sudah semestinya kita berterima kasih pada sang ustaz
yang tidak pernah lelah mengingatkan bangsa Indonesia agar tidak
terperosok ke lubang musibah besar yang sama untuk ketiga kalinya
(pertama, Peristiwa Madiun 1948 dan kedua, Gestapu/PKI 1965).
Cara kaum komunis dalam merebut kekuasaan biasanya
lewat kudeta cepat. Di Rusia, kaum komunis pimpinan Lenin, pada
17 Oktober 1917 malam hari menangkap seluruh menteri Tsar
Nicholas II, menangkap dan membunuh ribuan orang yang tidak
setuju dengan komunisme-leninisme, menguasai seluruh stasiun
kereta api, menguasai seluruh markas kepolisian, dan menghabisi
seluruh kekuatan militer pendukung Tsar dan sekaligus mengganti
dengan tokoh-tokoh tentara merah. Pada 18 Oktober 1917, ketika
bangun pagi seluruh rakyat Rusia, terutama di Moskow terperanjat
merasa seolah hidup di planet lain. Rezim Tsarisme telah berubah
total menjadi rezim komunisme.
Kolonel Untung dan para kameradnya mungkin memba-
yangkan bahwa setelah berhasil membunuh secara keji tujuh
pahlawan revolusi dari Angkatan Darat, pada 30 September 1965,
kemudian menguasai stasiun pusat RRI dan kantor telegraf, dia bisa
berhasil seperti Lenin. Lewat Dewan Revolusi abal-abal yang
dibentuknya Indonesia akan dijadikan negara komunis. Alham-
dulillah, Yang Maha Esa dan Yang Maha Kuasa masih berkenan
melindungi bangsa Indonesia.
Omongan beberapa oknum pendukung rezim Jokowi yang
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 9
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
menyatakan tidak ada lagi negara yang berhaluan komunisme
adalah puncak kebohongan politik. Paling tidak ada enam negara
komunis sejati yang masih berpegang teguh pada komunisme,
marxisme, dan leninisme dengan nuansa perbedaan di sana-sini,
yakni China, Vietnam, Korea Utara, Laos, dan Kuba. Dua di antaranya
bahkan berkekuatan nuklir, China dan Korea Utara. Dan jangan
lupa, China makin lama makin jadi kiblat ideologi, politik dan
ekonomi buat rezim Jokowi. Sementara Rusia, yang keenam,
mengalami kambuh massal bernostalgia kembali ke komunisme.
Kekuatan-kekuatan komunis malam di Indonesia, dengan
difasilitasi oleh sebuah partai besar di DPR RI dan berkoordinasi
dengan rezim Jokowi membuat rancangan UU Haluan Ideologi
Pancasila, yang seperti kita ketahui telah memantik reaksi sangat
luas dari kalangan umat Islam.
Kita saksikan sebagian besar umat Islam, yang merupakan
mayoritas bangsa Indonesia, telah bersikap seragam, “cabut RUU
HIP, titik.” Umat Islam dengan pengetahuannya, firasatnya, dan
pengalamannya berkesimpulan bahwa di balik RUU itu adalah
strategi comeback-nya PKI dengan dukungan utama datang dari
PKC.
Bukan saja para kader partai besar yang berkuasa dewasa ini
di negara kita telah sering melakukan saling-kunjung dengan PKC
di markas besar atau kantor pusat masing-masing. Tetapi juga
sebagian ulama vokal yang populer di medsos juga sudah
berkunjung ke markas PKC di Beijing, difasilitasi oleh rezim Jokowi.
Sepulang dari Beijing, beberapa ulama ini ditanya oleh
temannya, mengapa antum tetap pergi ke RRC, padahal Habib
Rizieq Shihab sudah melarang. Jawabannya, memang, tetapi hikmah
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
10
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

perjalanan ke China dan berkunjung ke markas PKC sungguh sangat


besar.
Mereka menyatakan sangat takjub dengan kemajuan
ekonomi China dan berkesimpulan bila komunisme menjadi dasar
penggerak kemajuan China, maka Islam dapat dijadikan penggerak
pembangunan di Indonesia. Namun ada yang mereka lupakan,
bahwa pikiran dan sikap istikamah mereka sedang ditumpulkan,
sehingga paling tidak sikap mereka menjadi lunak dan lembek serta
lupa bahwa komunisme dari ujung kaki sampai ubun-ubun ber-
tentangan diametral dengan Islam. Bahkan salah satu dogma
komunis yang paling penting adalah pembasmian agama-agama,
terutama Islam.
Namun kita bersyukur, mereka hanya khilaf atau alpa
sebentar. Mereka telah kembali ke pangkuan umat. Para ulama
harapan kita itu telah menohok rezim dan menuntut supaya RUU
HIP itu dibatalkan sesegera mungkin. Bravo! ●
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 11
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
BAB 3

Politik Lebensraum
China

D
engan memberikan angin kencang buat kebangkitan
komunisme, Presiden Jokowi mungkin tidak menyadari
bahwa RRC sesungguhnya sedang menjalankan politik
Lebensraum, yakni politik ekspansionisme untuk secara perlahan
menguasai negara-negara di Asia Tenggara, yakni Filipina, Vietnam,
Brunei dan Indonesia, serta Taiwan yang dianggap bagian integral
wilayah RRC.
Tidak perlu diragukan bahwa Xi merupakan tokoh besar
komunisme China dan telah diberi kesempatan memimpin China
seumur hidup. Kini ia sedang berusaha keras membangun Pax-
Sinica. Xi dan para kameradnya di PKC membayangkan China akan
menggenggam supremasi atau hegemoni dunia, dan salah satu
cara yang paling efektif adalah dengan membangun dua jalur sutera,
di darat lewat One Belt, di laut dengan One Road (OBOR). Mencapai
keunggulan dunia lewat supremasi ekonomi.
Gagasan ini mula-mula dilontarkan oleh Xi pada 2013, tetapi
pada 2016 nama One Belt One Road Strategy diubah menjadi BRI
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
12
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

(Belt Road Initiative), berhubung kata strategy dicurigai banyak


negara sebagai strategi China untuk menguasai ekonomi dan politik
dunia.
BRI ini dimasukkan ke dalam konstitusi China. Ambisi China
yang direncanakan akan tercapai pada 2049 dengan tercapainya
Pax-Sinica itu kini mulai melemah, karena pertumbuhan ekonomi
China yang makin kecil, bahkan sebelum dilanda Covid-19. BRI ini
direncanakan melewati 68 negara yang penduduknya berjumlah
65 persen penduduk dunia dan mencakup sekitar 40 persen produk
domestik global pada 2017.
Growth Domestic Product (GDP) China di kuartal kedua tahun
2020 ini anjlok menjadi 3 persen, sementara pada 2019 masih
bertengger di angka 6,1 persen. Dengan adanya banjir besar yang
melanda berbagai wilayah China beberapa waktu lalu, diperkirakan
terus anjlok menjadi paling tinggi 2 persen.
Penurunan GDP China ini kemungkinan besar akan mem-
perlemah tangan jahil China untuk terus mengangkangi pulau-
pulau di Laut China Selatan, seperti Spratly Islands dan Paracels.
Akan tetapi mungkin ada blessing in disguise dari rontoknya (paling
tidak sementara waktu) keperkasaan ekonomi China, sehingga
ancaman Lebensraum China ke Indonesia juga turut memudar.
Dalam pada itu ada pernyataan Jokowi yang dilansir oleh
banyak media, antara lain oleh Tempo.co dan Detik.com, yakni ketika
menghadiri KTT Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Beijing
11 November 2014, Jokowi menyatakan obsesinya (sekali lagi,
obsesi) untuk mengawinkan tol laut Indonesia dan maritime silk
road China.
Obsesi (obsession) berarti sebuah gagasan yang pagi-petang-
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 13
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
siang-malam terus mendominasi pikiran seseorang. Obsesi Jokowi
itu menjadi kemauan Jokowi agar dua pelabuhan dijadikan hub
internasional, yaitu Pelabuhan Kuala Tanjung, Sumatera Utara, di
Selat Malaka, dan pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Dananya
“hanya” 5 sampai 6 miliar dolar AS.
Seorang pengamat menyatakan bahwa Jokowi sungguh
gegabah mencoba mengawinkan tol laut Indonesia dengan Jalur
Sutra Laut China. Perkawinan yang tidak seimbang pasti me-
nimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan. Kalau China berhasil
menguasai sekitar 20 pelabuhan Indonesia, maka secara de facto,
NKRI jatuh ke dalam cengkeraman China, karena “simpul-simpul
ekonomi ada di situ…!!”
Memang rada mengherankan, Jokowi yang memperoleh S1
dari Fakultas Kehutanan UGM tiba-tiba menjadi ahli kemaritiman,
dengan obsesi aneh di atas. Pasti ada kekuatan ekonomi dan politik
yang menekan Jokowi sehingga sangat bergairah menjadikan
Indonesia sekedar subordinat kepentingan ekonomi China.
Sementara itu aksi-aksi Lebensraum China di Laut China
Selatan melanggar Exclusive Economic Zones (EEZ) dari negara-
negara pantai (coastal states) ASEAN. Klaim China meliputi 80 persen
EEZ Vietnam, 80 persen EEZ Malaysia, dan 80 persen EEZ Borneo
yang menghadap ke laut China Selatan. Pengadilan PBB yang
mengatur batas pemilikan negara-negara pantai, berdasar United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), telah
menetapkan ketidaksahan kepemilikan China atas Laut China
Selatan.
Seluruh perairan di luar EEZ, menurut ICJ, adalah perairan
internasional dan tidak boleh diklaim oleh China. Namun peme-
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
14
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

rintahan Beijing menganggap keputusan ICJ itu tidak perlu diper-


hatikan, karena seluruh Laut China Selatan “sejak 2.000 tahun lalu
telah menjadi milik China”. Klaim ini tidak dapat dibuktikan oleh
China. Tetapi Xi menyatakan bahwa tidak boleh ada sebuah negara
berani menentang klaim kepemilikan China atas Laut China Selatan
itu. Menurut Xi, China bisa menetapkan kepentingan nasionalnya
tanpa memperhatikan hukum internsional.
Ada baiknya kita catat politik Lebensraum China dalam
rangka membangun Pax-Sinica, saat ini berhadapan dengan
Amerika Serikat di bawah Donald Trump yang gigih melancarkan
upaya agar Amerika harus besar dan berjaya kembali: Amerika yang
perkasa, kuat ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dan militernya,
dus sebuah Pax-Americana. Itu impian Donald Trump. Fenomena
internasional yang paling spektakuler dewasa ini adalah perang
dingin (perang dagang, perang informasi, perang intelijen, perang
ideologi, perang psiko-politik dan lain-lain) antara Pax-Sinica dan
Pax-Americana.
Ada beberapa alasan mengapa China tampak mengarahkan
politik Lebensraum-nya ke Indonesia: pertama, banyak masyarakat
China yang merasa bahwa sekalipun mereka memegang KTP dan
paspor Indonesia, namun kesetiaan mereka berlabuh di RRC, tanah
leluhur mereka. Mereka menggasak ekonomi Indonesia dan
sebagian besar keuntungannya ditransfer ke daratan China untuk
membangun berbagai perusahaan besar di daratan China.
Kedua, jumlah WNI dari kalangan Tionghoa, berdasarkan
beberapa sumber berkisar antara 4 persen-5 persen dari seluruh
penduduk Indonesia. Sekitar 10 juta masyarakat Tionghoa tentu
akan menjadi modal sangat penting bagi politik Lebensraum Beijing.
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 15
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
Jangan dilupakan, penduduk China perantauan (diaspora China)
yang hidup di Indonesia lebih banyak dari mereka lainnya yang
berada di luar Tiongkok.
Ketiga, dalam kenyataan dominasi China dalam ekonomi
Indonesia sudah sangat sulit direkonstruksi, bahkan cukup banyak
pebisnis China yang sangat jemawa dan memandang bangsa
Indonesia sebagai bangsa inferior. Dalam sebuah seminar terbatas,
ada pebisnis China yang cukup ternama menyatakan jangan pernah
penguasaan ekonomi orang China diungkit, apalagi diprotes-protes.
Kalau sampai terjadi proses politik yang menyudutkan mereka,
dalam hitungan menit, uang mereka bisa ditransfer habis ke
Tiongkok daratan. Seminar itu terjadi sekitar 22 tahun lalu, tatkala
electrical banking belum banyak dikenal di Indonesia.
Keempat, perlakuan istimewa buat TKA China, apalagi para
pebisnis China oleh pemerintah Jokowi memang sudah terlalu jelas
bagi rakyat Indonesia. Sang super minister di kabinet Jokowi pada
periode pertama dan masih super minister di periode kedua tanpa
malu menyatakan: “Kita dan China sedang mesra-mesranya. Kita
mesra dengan siapa saja yang bawa duit.” Sikap mental dan sikap
politik budak ini melicinkan proses Lebensraum China untuk
mencaplok Indonesia secara sistematik dan meyakinkan.
Kelima, tampaknya seluruh peta politik, ekonomi, dan
pertahanan dan segenap kehidupan nasional bangsa Indonesia
sudah dipahami China secara menyeluruh. Pada 1997, tiga orang
Indonesia bertamu ke markas Angkatan Darat China di Beijing.
Seorang berpangkat brigjen AD China menyatakan kurang lebih
pada tetamunya: “Silakan tanya apa saja tentang China, pasti saya
jawab. Tetapi saya tidak akan bertanya sama sekali tentang
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
16
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

Indonesia. Karena saya sudah tahu semuanya tentang negara Anda.”


Shocking and humiliating bukan? ●
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 17
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
BAB 4

Otoriterisme
Makin Pekat

I
ndonesia di zaman Jokowi tidak sendirian dalam membanting
demokrasi sehingga berubah esensi. Beberapa negara di Asia,
Amerika Latin, dan Afrika menunjukkan kemiripan dalam
menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis pada awalnya.
Tetapi tidak terlalu lama kemudian berubah jadi otoriterisme. Tak
terkecuali Indonesia. Hanya saja di Indonesia otoriterisme itu jauh
lebih parah.
Kita menyaksikan pada kuartal pertama ketika Jokowi
menjadi presiden, pada umumnya rakyat percaya akan ada berbagai
perbaikan signifikan bagi kehidupan rakyat Indonesia. Namun
harapan itu cepat kandas karena politik pencitraan (image building)
terus saja dilakukan oleh Jokowi sambil terus melancarkan janji-
janji sosial, politik, ekonomi, dan hukum yang terdengar merdu di
telinga kebanyakan rakyat Indonesia.
Dalam literatur politik, Jokowi cukup lihai memainkan politik
yang penampilannya terlihat demokratis, tetapi substansinya
otoriter (democratic in form, authoritarian in substance). Pada kuartal
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
18
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

ketiga, tampak mantan wali kota Solo ini, yang dicitrakan oleh mesin
politik para pendukungnya sebagai salah satu dari lima wali kota
terbaik di muka bumi, lebih banyak berulah daripada berprestasi.
Demokrasi yang dijalankan menjadi demokrasi illiberal,
karena kebebasan berbicara, kebebasan berpendapat dan
berkumpul mulai dicurigai. Namun gaya populis Jokowi banyak
mengecoh rakyat. Sehingga media darling dari Solo ini tetap saja
populer, sekalipun hampir semua janji kampanyenya tidak menjadi
kenyataan.
Orang-orang yang berada di belakang keberhasilan Jokowi
menjadi presiden pada 2014 mampu membentuk citra Jokowi
sebagai demokrat populis. Namun citra sebagai demokrat populis
ini justru mulai membuat “kehebatannya” pelan-pelan meredup.
Jokowi terbuai dengan puja-puji para pendukungnya. Para
sycophants (penjilat) itu dapat meyakinkan mantan wali kota yang
“terbaik di dunia” itu bahwa dia memang benar-benar dicintai
rakyat. Sampai batas yang sangat jauh, dia yakin sehingga berani
menyatakan “Aku adalah Pancasila”.
Kebetulan untuk menopang persangkaannya yang keliru itu
Jokowi menemukan sejumlah sycophants yang memang diperlukan
bilamana seorang pemimpin sedang membangun otoriterisme.
Kita menyaksikan bukan saja di Indonesia, juga di negara lain,
seorang presiden atau pemimpin yang ingin menjadi seorang
otokrat pasti memerlukan pendukung-pendukung yang sudah
mematikan akal sehatnya. Namun di Indonesia dukungan itu
menjadi ekstrem. Dukungan yang diekspresikan dengan “pejah
gesang ndherek” bapak ini atau ibu itu. Slogan kosong makna ini
khas Indonesia.
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 19
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
Mudah-mudahan watak sycophancy itu bukan watak asli
bangsa Indonesia, tetapi sekedar watak artifisial yang dangkal,
sehingga tidak membuat bangsa Indonesia bangsa yang kerdil.
Hanya saja, kita menyaksikan selalu ada manusia yang bermental
ABS dan bermental muntaber (munafik tapi berhasil) demi
memburu keuntungan keduniaan yang diimpikannya.
Dari masa ke masa kita melihat penderita penyakit mental
dan moral itu selalu muncul ke permukaan. Mereka datang dari
kalangan jurnalis, intelektual kampus, birokrat, pebisnis, oknum-
oknum petinggi militer dan kepolisian, sebagian ulama yang
bingung atau pura-pura bingung, penggiat LSM dan lain sebagainya.
Malahan ada sebuah kampus besar dan ternama yang sebagian
besar dosennya seperti kena sihir kekuasaan enteng-entengan
rezim Jokowi.
Hanya karena diberi jabatan komisaris di sebuah bank atau
staf ahli sebuah BUMN atau sebuah kementerian, atau jabatan
sepele di sebuah instansi atau apa pun, dengan serta merta mereka
mengalami kematian intelektual dan kehancuran integritas.
Hal ini mengingatkan cerita abadi tatkala Fir’aun mau me-
ngadu kekuatan dengan Musa AS, para petinggi sihir yang me-
ngerumuni Fir’aun bertanya, ”Apa kiranya yang akan kami peroleh
bila kita berhasil menang?” Jawab Fir’aun: “Pasti kalian akan
mendapat posisi-posisi penting di sekitarku.” (Al-A’raf: 113-114)
Dalam sistem otoriter, sang otokrat selalu mematikan checks
and balances sebuah demokrasi. Lembaga legislatif dijadikan tukang
stempel kemauan sang otokrat yang sudah jadi penguasa puncak
eksekutif. Sementara lembaga yudikatif tidak boleh merusak orkestra
politik yang sudah dirancang oleh sang otokrat itu. Penghalang
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
20
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

atau penghancuran hukum secara sangat efektif dilakukan oleh


para penegak hukum sendiri, sehingga obstruction of justice (meng-
halangi keadilan) menjadi lebih berbahaya lagi, yaitu menjadi
desctruction of justice (penghancuran keadilan).
Tipikal otoriterisme ini sepenuhnya dipraktikkan oleh rezim
Jokowi. Tangan rezim otoriter sangat ringan untuk memangkas
kekuatan masyarakat yang tidak sejalan dengan kemauan rezim
yang sesungguhnya immoral dan illegitimate. Tetapi berdasarkan
contoh-contoh nasib rezim otoriter di dunia, otoriterisme atau
otoritarianisme pasti ambruk. Tidak bisa lain. Makar politik sebuah
rezim otoriter tidak ada artinya sama sekali berhadapan dengan
makar Allah SWT.
Sayang sekali otoriterisme rezim Jokowi bukannya makin
melemah sehingga demokrasi kita yang sudah terengah-engah
makin tak berdaya. Otoriterisme Jokowi makin kuat dan pekat.
Sayang. ●
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 21
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
BAB 5

Oligarki Makin
Subur

T
eori hukum besi oligarki (iron law of oligarchy) yang
dirumuskan oleh Robert Michels di tahun 1911 sampai se-
karang masih tetap relevan. Michels menyatakan bahwa
setiap organisasi, partai, dan negara, walaupun awal pemben-
tukannya berdasar proses demokrasi, namun tidak bisa tidak, karena
keniscayaan taktis dan teknis, semuanya berakhir dengan sebuah
bentuk oligarki.
Sekelompok elite yang hakikatnya memegang kekuasaan
pada berbagai bentuk organisasi akhirnya mengontrol, mengarah-
kan, dan mendominasi kebijakan yang harus diambil. Dalam ke-
nyataan, memang itulah yang terjadi. Sehingga ada kata “besi”
dalam teori besi oligarki, saking absolutnya keniscayaan itu.
Karena itu, jangan dilupakan bahwa pemerintahan yang
otoriter lebih memudahkan kehadiran oligarki, berhubung di balik
layar peristiwa-peristiwa penting yang merugikan kepentingan
rakyat terjadi di luar pengetahuan publik.
Sebagai misal kita dikejutkan akhir-akhir ini oleh temuan
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
22
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

berbagai lembaga. Ada sekitar 370-an rangkap jabatan di BUMN


yang dihuni oleh oknum-oknum dari kalangan birokrasi, kepolisian,
penegak hukum lainnya, dan juga oknum-oknum tentara. Ma-
salahnya bukan sekedar pemborosan uang negara karena para
pejabat rangkap jabatan itu bergaji tinggi, tetapi yang lebih parah
lagi mereka tanpa merasa salah menadahi uang dari negara secara
tidak sah. Sayang, pemerintah justru memberi payung kekuasaan.
Mengapa Jokowi membiarkan para pejabat yang defisit moral
itu terus saja berjalan santai merugikan keuangan negara besar-
besaran? Karena mereka dianggap membantu stabilitas politik
rezim. Rekrutmen para pejabat serakah itu tentu dilakukan oleh
sebuah tim kecil yang bertanggung jawab pada Jokowi. Dengan
kata lain Jokowi telah menjadi kolaborator paling penting dalam
skandal masalah rangkap jabatan yang cukup menghebohkan
masyarakat.
Sekalipun demikian, ratusan perangkap jabatan itu bukan
apa-apa bila dibandingkan dengan keserakahan seorang super
minister yang sering ada di bawah tanah, kadang ada di lautan
(maritim), dan kadangkala ada di hutan, dan tiba-tiba ada di
dirgantara.
Si super minister ini memiliki 16 perusahaan yang bergerak
di bidang pertambangan, perkebunan, kehutanan, juga power-
plants, serta lainnya lagi. Karena rakyat Indonesia sudah dididik
sejak muda agar bersikap nrimo, yaitu jangan mengeluh, jangan
ribut, si super minister masih tampak tenang-tenang saja. Siapa yang
mengalah, tidak suka berkonfrontasi serta ribut-ribut akan
mendapat akhir kehidupan yang terhormat dan mulia. Begitu ajaran
sebagian pendahulu kita.
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 23
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
Sikap mental yang cenderung menyukai kekalahan dan
mengalah sesungguhnya ikut bertanggung jawab dalam maraknya
oligarki di Indonesia. Ciri elite oligarki ini adalah tamak dan serakah.
Kalau kebanyakan rakyat masih miskin, lemah, dan agak bodoh, di
mata mereka itu semua karena salah rakyat sendiri. Mengapa
mereka terlahir dari keluarga yang tidak berpunya sehingga mereka
dihinggapi defeatism disease, penyakit suka kalah. Tentu memang
takdirnya begitu. “So what?” kata mereka.
Ada yang dilupakan Robert Michels dalam teori besi oligarki
yang sangat tersohor itu, yakni tidak dibedakannya antara oligarki
yang sampai batas tertentu masih mengindahkan etika atau
moralitas dan oligarki yang sama sekali buta moral dan etika. Jenis
kedua ini punya obsesi aneh. Oligarki Indonesia termasuk jenis yang
kedua. Obsesi mereka hanyalah uang, uang, uang, dan terjebak
dalam nafsu hewaniyah yang hanya mementingkan makan, minum,
berkembang biak. Hal ini mengingatkan sinyalemen Pak Said Didu
tentang perangai si super minister. Mereka lupa bahwa dalam
hitungan puluhan tahun kemudian mereka pasti masuk ke kuburan.
Urusan mereka akan diambil-alih oleh malaikat munkar-nakir. ●
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 25
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
BAB 6

Tunduk pada Mafia,


Taipan, dan Cukong

A
da kelakar politik yang terdengar sangat sinis supaya RI
(Republik Indonesia) diganti menjadi RMI (Republik Mafia
Indonesia). Atau diganti jadi Republik Taipan Indonesia
(RTI). Atau Republik Cukong Indonesia (RCI). Alasannya, karena
kelompok mafia di hampir seluruh kehidupan nasional telah
menancapkan taring berbisanya. Peran mereka makin lama makin
kuat sehingga pemerintah, yang memiliki AD/AL/AU serta Polri dan
lembaga-lembaga penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan Agung
dan Mahkamah Agung tidak bisa lagi bebas dalam membela
kepentingan bangsa atau rakyat, karena selalu ada intervensi para
mafioso, para taipan, dan para cukong.
Seorang pengamat dunia mafia menyatakan bahwa fokus
tunggal mafia hanya satu: uang. The Mafia at its core is about one
thing: money. Mafia adalah sebuah kelompok pelaku kejahatan
yang terorganisir secara rapi dan melakukan apa saja (mengancam,
meneror, membunuh, menipu, memfitnah, dan selalu bersembunyi
atau terang-terangan menyatu di sel-sel kekuasaan sebuah rezim)
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
26
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

untuk meraih tujuannya.


Para mafioso itu kadang berlindung dan dilindungi oleh
kekuasaan, tetapi tidak jarang sebaliknya dapat mendikte kekuasaan
supaya meloloskan berbagai rencana jahat mereka di banyak
kehidupan nasional.
Di depan kita banyak contoh bahwa tokoh-tokoh mafia malah
ada yang mempekerjakan petinggi oknum-oknum kepolisian dan
tentara. Bahkan beberapa gubernur, beberapa menteri dan sampai
presiden dapat diintervensi oleh para mafia.
Di negara kita di mana demokrasi telah ditenggelamkan oleh
para pendukung otoriterisme, sebagian besar rakyat bertanya-
tanya: siapa yang sesungguhnya dilayani oleh rezim yang sedang
berkuasa?
Sebagai misal, beranikah KPK (yang dipuja-puji rakyat)
menyeret tokoh-tokoh mafia yang sudah berhasil menghancurkan
ekonomi, sosial, dan politik bangsa kita? Jawabannya, tidak. KPK,
apalagi yang sekarang, hakikatnya bukan saja menghalangi
penegakan hukum, tetapi telah meremuk-redamkan hukum
(destruction of justice) seperti telah disinggung di atas. Bila kita jujur,
malah presiden sendiri punya andil paling besar dalam melakukan
destruksi hukum itu.
Salamudin Daeng meyakini, berdasarkan pengamatannya
sebagai seorang ekonom, bahwa yang meletakkan proyek pem-
bangunan di atas meja Jokowi adalah para mafia-taipan-cukong.
Proyek tax amnesty itu, katanya, dirancang justru oleh para mafia-
taipan-cukong agar dapat membawa pulang uang haramnya ke
Indonesia dengan bebas. Tentu karena sudah “menyelesaikan” aturan
pengampunan pajak abal-abal itu seenak sendiri, uang mereka jadi
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 27
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
bersih. Bahwa proyek tax amnesty itu kini sudah gagal, tidak jadi
persoalan bagi kelompok kriminal mafia-taipan-cukong itu.
Hersubeno Arief, seorang wartawan senior, menengarai
tatkala rakyat banyak mengkis-mengkis menghadapi ekonomi yang
sangat sulit dewasa ini, banyak dari kelompok mafia-taipan-cukong
(m-t-c) yang justru menggaruk ikan di air keruh. Tidak terlintas di
benak para bandit m-t-c itu untuk membantu peringanan beban
kehidupan rakyat yang sudah sangat kritis.
Namun banditisme kelompok m-t-c itu bisa menggilas
hampir semua program pembangunan yang di atas kertas cukup
bagus, gara-gara sebagian besar wakil rakyat di DPR hakikatnya
bersekongkol dengan para bandit itu. Hersubeno menyitir pendapat
Ketua MPR Bambang Soesatyo yang dengan jujur mengakui bahwa
hampir semua partai sontoloyo di DPR-RI mudah disetir oleh para
kriminil m-t-c itu. Kata Bamsoet, untuk menguasai partai politik
seorang pemodal cukup merogoh kantong tak lebih dari Rp 1 triliun.
Tidak perlu sembilan partai yang lolos ambang parlemen
dibeli semuanya. Cukup dengan tiga atau empat partai dengan
suara tertinggi jadi modal politik, kira-kira hanya Rp. 5-6 triliun.
Dengan modal secuil itu “mereka sudah bisa menguasai Indonesia.”
Jadi tidak salah bila dikatakan bahwa pemerintah Indonesia sudah
didominasi dan didikte oleh kekuatan kriminal m-t-c, menjadi
sebuah m-t-c dominated and directed government.
Pertanyaan mendasar di sini adalah mengapa para bandit
m-t-c itu makin membrutal, beringas, dan bengis menghancurkan
tatanan sosial-politik-ekonomi-hukum Indonesia? Jawabannya
karena mereka punya pasangan yang ideal dalam tubuh rezim yang
kelakuannya, mentalitasnya, dan keserakahannya lebih kurang
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
28
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

sama.
Namun bisa dikatakan bahwa tangan para bandit itu lebih
sering ada di atas, sementara sebagian pejabat tinggi kita, yang
telah menjadi penjahat busuk memiliki tangan di bawah. Dengan
kata lain, yang mengatur hampir di segala kehidupan nasional kita
adalah para bandit m-t-c itu.
Masih adakah bidang kehidupan nasional bangsa kita yang
tidak dicampur-tangani bahkan didominasi dan diarahkan oleh
para penjahat m-t-c itu? Sulit saya kira mencari bidang kehidupan
nasional yang masih bandit-free.
Kekuatan mafia itu mengejawantah menjadi bercabang-
cabang, sehingga kita kenal ada mafia beras, mafia daging, mafia
gula, mafia pupuk, mafia terigu, mafia cabe, mafia bawang, mafia
minyak, mafia obat-obatan, mafia gas, mafia mineral dan batu bara,
mafia pajak, mafia olahraga (yang mengatur skor), mafia hukum,
dan lain sebagainya.
Jenderal Polisi (Purnawirawan) Budi Waseso, tokoh kepolisian
yang dihormati dan disegani oleh masyarakat karena integritasnya
mengatakan bahwa mafia beras sulit diberantas karena mafia beras
bersembunyi di proyek pemerintah. Beliau menerangkan ciri mafia
adalah mencari peluang terus-menerus. Sebagai misal, program
Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang dimaksudkan untuk
menolong rakyat miskin juga “dimanfaatkan oleh kelompok-
kelompok mafia”.
Ada semacam cerita yang sudah klise di antara para m-t-c,
bila ada pelantikan pejabat baru di tingkat provinsi sampai pusat,
mereka segera berkumpul dan menanyakan: pejabat baru itu masih
makan nasi apa tidak? Kalau masih ya pasti dapat ditaklukkan oleh
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 29
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
kelompok kriminal m-t-c itu.
Bayangkan, ada beberapa petinggi polri yang memung-
kinkan buronan Djoko Tjandra keluar-masuk Indonesia sesuka hati.
Atau Gubernur Jakarta yang dulu jadi harapan rakyat kini melakukan
langkah sangat gegabah. Surat IMB diterbitkan untuk Pulau D yang
membolehkan terus diselesaikannya 932 gedung yang masih
terbengkelai dan sekian ratus rukan dan rumah tinggal.
Janji kampanye sudah dilupakan dan dengan logika abal-
abal mencoba membela diri bahwa yang dilakukan bukan reklamasi.
Bukan, kilahnya dengan berbagai dalih. Hati-hati mas Gubernur,
jangan sampai merunduk di depan tekanan para kriminal m-t-c.
Dari apa yang kita lihat dan dengar dari banyak medsos
maupun media mainstream, hampir bisa dipastikan bahwa Jokowi
tidak lagi punya taring menghadapi kedigdayaan political cabal
dan economic cabal di negara kita.
Insiden kebakaran dan pembalakan hutan dan lahan di
zaman Jokowi adalah yang paling parah. Berkali-kali lurah Indonesia
ini mengancam supaya m-t-c yang membalak dan membakar hutan
sampai jutaan hektare harus segera diringkus dan diberi hukuman
berat. Kenyataannya, ancaman itu dianggap gertak sambal yang
sama sekali tidak pedas. Tidak ada pelaksanaannya.
Ratusan oknum m-t-c itu mungkin tertawa riang sambil
mengirim sinyal ke istana, bahwa sumbangan finansial mereka
tatkala Pak Joko ikut pilpres tentu tidak dapat diremehkan. Yang
dapat dilakukan oleh Pak Joko Widodo mungkin hanyalah merasa
jengkel dan marah-marah. Tetapi tidak menutup kemungkinan
bahwa marah-marah Pak Joko Widodo sesungguhnya hanyalah
sebuah aksi teatrikal. Mungkin.
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
30
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

Dari berbagai jenis mafia yang paling perkasa dalam melipat-


lipat penegakan hukum adalah tentu saja mafia hukum. Presiden
SBY pernah berupaya memberantas mafia hukum pada 2009
dengan menerbitkan Keppres Nomor 37 tahun 2009 tentang Satgas
Pemberantasan Mafia Hukum (PMH).
Tidak tanggung-tanggung, Satgas yang penuh harapan ini
bekerja sama dengan MA, MK, BPK, KY, Komisi Ombudsman, Polri,
Kejagung, KPK, Komisi Kepolisian Nasional, Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban, dan PPATK. Dua tahun kemudian, Satgas yang
awalnya mencorong itu dinyatakan bubar. Tidak perlu diteruskan
keberadaannya.
Sudah tentu para kriminal m-t-c bergembira ria karena
ternyata kekuatan mereka lebih besar dan lebih menentukan
daripada pemerintah. Di zaman Jokowi, keperkasaan m-t-c semakin
sulit dibendung karena keakraban Jakarta-Beijing juga semakin
kuat.
Sebagai contoh, para bandit m-t-c itu,kata seorang pengamat
terutama di bidang pangan, terbagi menjadi kelompok “samurai’
dan “naga”. Oleh para bandit samurai dan bandit naga itu, kata sang
pengamat, pemerintah dijadikan “semacam cecunguk saja”.
Pemerintah tidak berdaya karena mereka mempraktikkan per-
mainan kartel.
Kenyataan lebih gawat lagi adalah pernyataan yang keluar
dari Mahfud MD dalam sebuah seminar (11 September 2020).
Menyangkut praktik pilkada, Mahfud bilang: “Di mana-mana calon
itu 92 persen dibiayai oleh cukong, dan sesudah terpilih melahirkan
korupsi kebijakan.”
Pernyataan jujur Mahfud ini sudah sangat ekstrem, sulit untuk
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 31
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
mencari pernyataan yang lebih lugas dan lebih ekstrem dari
pernyataan ini. Namun masyarakat terkesiap sebentar, kemudian
tertidur lelap lagi. Kita memang sedang mengalami musibah besar.
Kita masih ingat omongan Ahok yang pernah viral di medsos
pada 26 Mei 2015 yaitu: “Pak Jokowi tidak akan bisa jadi presiden
kalau mengandalkan APBD. Saya ngomong jujur kok. Jadi selama
ini kalau bapak-bapak ibu-ibu, semua yang terbangun sekarang,
rumah susun, jalan inspeksi, waduk, itu semua bantuan
pengembang. ●
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 33
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
BAB 7

Nepotisme
Tanpa Etika

asih segar dalam ingatan kita bahwa gerakan reformasi

M sekitar dua dasawarsa lalu adalah niat kuat dari sebagian


besar anak bangsa untuk menghilangkan nepotisme.
KKN (korupsi,kolusi, nepotisme) jadi musuh bersama sebagian besar
rakyat.
Akan tetapi nepotisme dan juga gaya serta budaya feodal
dalam puluhan tahun terakhir masih saja berlangsung. Di zaman
Orde Baru dikenal istilah sarkastik bahwa Anak, Menantu, Ponakan,
Istri dan Ipar (AMPII) mendominasi kehidupan politik masyarakat
kita. AMPII ada di lembaga legislatif maupun eksekutif.
Sekarang kita melihat banyak gubernur, wali kota, dan bupati
ketika menjelang turun sesudah dua periode jabatan, segera
menyiapkan salah satu AMPII-nya agar meneruskan jabatan yang
segera ditinggalkan. Tidak bisa tidak untuk mencapai tujuannya
itu, mereka harus melakukan political buying yang mencapai miliaran
rupiah. Mereka tidak punya rasa malu dan tidak merasa bersalah
untuk terus melakukan korupsi politik. Nabi SAW pernah bersabda:
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
34
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

Bila engkau tidak lagi punya rasa malu, lakukan apa saja yang kau
suka.”
Ki Hadjar Dewantara merumuskan sasanti kehidupan seorang
pemimpin, yang pertama, ing ngarso sung tulodo, yang kedua ing
madya mangun karso, yang ketiga tut wuri handayani. Pemimpin
bila sedang berada di depan harus memberikan keteladanan, di
tengah menggerakkan kerja kreatif dan di belakang mendorong
kemajuan penuh wibawa.
Sayang sekali Jokowi seringkali menampakkan aslinya, yang
ternyata menyukai gaya feodal dan juga gaya otoriter di dalam
politik. Mungkin Jokowi lupa bahwa seluruh rakyat Indonesia selalu
mengamati dan memperhatikan kehidupan presidennya. Jokowi
membuat kejutan ketika usai dilantik jadi presiden pada 20 Oktober
2014, dia melakukan kirab dengan mengendarai kereta kencana
dari bundaran HI menuju Istana. Ribuan pendukungnya mengelu-
elukan sepanjang jalan. Kereta kencana tentu berbau sok keraton
dan sok kerajaan.
Juga ketika mengadakan pesta perkawinan anak perem-
puannya dengan pemuda Medan, diselenggarakan pesta perka-
winan tiga hari tiga malam. Aturan Menpan dan Reformasi Birokrasi
yang berisi larangan menggelar resepsi pernikahan secara mewah
dan yang diundang tidak boleh melampaui 400 orang dilanggar
dengan tenang dan tampak seperti tidak ada apa-apa. Karena aturan
itu tidak berlaku bagi Bapak Presiden.
Tujuh kereta kencana, 14 kuda poni, 23 sais (kusir) dan kru
didatangkan dari keraton Solo. Tamu yang diundang 8.000 orang
(20 kali yang diperbolehkan oleh pemerintah sendiri). Pesta mewah
yang pasti menghabiskan uang miliaran dan sumbangan dari para
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 35
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
pengusaha dengan cara yang tidak terdeteksi oleh KPK, merupakan
keteladanan yang buruk. Jokowi seperti lupa asal-usul.
Keteladanan Jokowi makin parah ketika dengan otoritasnya,
anak sulungnya yang akan maju dalam pilkada Solo dan menan-
tunya dalam pilkada Medan, dibantu terang-terangan agar ke-
duanya harus menang. Bahwa langkah Jokowi itu menimbulkan
sinisme dan cemooh yang sangat luas dari masyarakat tampak tidak
dianggap oleh Bapak Presiden.
Nepotisme yang dilakukan oleh Jokowi untuk mendongkrak
anak sulungnya di Solo dan menantu laki-lakinya di Medan cukup
memalukan. Tetapi bagi orang-orang yang selalu apriori mendu-
kung Jokowi dapat berkilah: Bukankah nepotisme (sekalipun sangat
vulgar) tidak dilarang oleh konstitusi. Memang tidak ada bab, pasal,
atau ayat dalam konstitusi yang dilanggar, tetapi menabrak etika
sejatinya lebih parah dan buruk, karena menyangkut moral atau
akhlak, dan umumnya berakhir dengan kegagalan. ●
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 37
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
BAB 8

Ekonomi
Semakin Suram

D
ari berbagai tulisannya, Rangga Almahendra, salah satu
ekonom di FE UGM, selalu mengingatkan bahwa tugas
pemerintahan adalah untuk membawa kemajuan bagi
bangsanya, bukan hanya untuk membuat kita lebih baik dibanding
negara lain. Tapi setidaknya negara ini harusnya lebih baik dari lima
tahun kemarin. Namun sayang, Pemerintahan kita tidak berhasil
mengemban tugas itu.
Terlepas dari klaim yang dilakukan pemerintah, realita yang
terjadi tidak seindah seperti yang dicitrakan saat ini.
Data World Economic Forum menunjukkan Global Competi-
tiveness Index, rangking daya saing Indonesia mengalami keme-
rosotan yang cukup tajam. Pada tahun 2015 Indonesia sudah
menduduki peringkat 37, namun lima tahun kepemimpinan
Presiden Jokowi peringkat Indonesia turun ke nomor 50. Peringkat
Indonesia ini masih lebih buruk dibanding Malaysia yang berada
di peringkat 27 dan Thailand di peringkat 40.
Begitu juga dengan Human Development Index yang
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
38
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

dikeluarkan oleh United Nation Development Programe. Indeks


Pembangunan Manusia di Indonesia pada tahun 2015 menduduki
peringkat 113, dan pada laporan terakhir yaitu tahun 2018 men-
duduki peringkat 111. Peringkat ini juga masih sangat jauh lebih
buruk dibandingkan dengan negara Malaysia di peringkat 61 dan
Thailand di peringkat 77.
Selain itu, data dari World Happiness Report yang menunjuk-
kan Happiness Index, tingkat kebahagiaan di Indonesia pada tahun
2015 hingga 2019 mengalami kenaikan dan penurunan. Happiness
Index di Indonesia tahun 2014 menduduki peringkat 74 dan pada
tahun 2019 ini menurun ke peringkat 92. Peringkat negara tetangga
seperti Thailand dan Malaysia yang juga menunjukkan peringkat
yang jauh lebih tinggi yaitu di angka 54 dan 82.
Masih membekas dalam ingatan kita, dalam Pilpres 2014,
Jokowi gencar dicitrakan sebagai pemimpin yang membawa
perubahan. Citra itu dibumbui pula dengan janji-janji dan target-
target pembangunan ekonomi yang muluk dan besar, atau
‘meroket’ dalam istilah yang digunakannya sendiri.
Karena janji muluk dan citra rekaan itu, maka tidaklah
mengherankan masyarakat menjadi terbuai dan terlena dengan
realita yang sebenarnya terjadi. Sebagian dari pemilih Jokowi
menaruh harapan besar bahwa Kabinet Kerja bisa membawa
terobosan-terobosan yang diperlukan menuju perekonomian
Indonesia yang lebih baik.
Namun, selubung pencitraan semacam itu, yang terus
dipelihara dan masih menyelimuti Jokowi hingga saat ini, kerap
membuat orang lupa bahwa kinerja perekonomian rezim ini,
sebagaimana yang ditunjukkannya pada periode pertamanya,
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 39
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
sesungguhnya sama sekali tidak mengesankan. Penamaan Kabinet
Kerja justru berbanding terbalik dengan kinerja. Banyak orang yang
tidak menyadari bahwa persis pada periode pertamanya, Jokowi
telah terbukti gagal mewujudkan janji-janji dan target-target yang
ditetapkannya sendiri.
Target pertumbuhan ekonomi menjadi contoh paling pen-
ting. Sejak awal, Jokowi telah menjadikan pertumbuhan ekonomi
7 persen sebagai salah satu janji kampanyenya. Janji kampanye itu
pula yang kemudian dijadikan target pencapaian pertumbuhan
ekonomi pada RPJMN 2015-2020. Perlu diingat, bahwa sepanjang
14 tahun sejak krisis ekonomi tahun 1998 yang membuat
pertumbuhan ekonomi kita terjun bebas hingga minus 13,13 persen
hingga tahun 2014 saat Jokowi mengucapkan janji kampanyenya,
pertumbuhan ekonomi sebesar itu belum pernah terjadi. Hingga
saat itu, pertumbuhan ekonomi tertinggi yang pernah kita capai
adalah 6,35 persen yang terjadi pada tahun 2007 saat pemerintahan
SBY.
Keberanian Jokowi menjanjikan pertumbuhan ekonomi
hingga 7 persen, bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai
sebuah bentuk kepercayaan diri dan tekad yang menimbulkan
harapan. Namun pada akhirnya itu hanya menjadi fatamorgana
dan ilusi yang membutakan.
Pada kenyataannya, pada tahun pertama pemerintahannya
di tahun 2015, tingkat pertumbuhan ekonomi kita justru anjlok
menjadi hanya 4,79 persen. Meleset jauh dari target yang dijanjikan
dan bahkan merosot dari tingkat pertumbuhan ekonomi tahun
sebelumnya yang sebesar 5,02 persen. Kegagalan memenuhi target
itu terus berulang tahun demi tahun sepanjang lima tahun periode
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
40
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

pertamanya. Dalam urusan pertumbuhan ekonomi, prestasi terbaik


yang bisa diraih oleh Jokowi adalah 5,07 persen yang dicapainya
pada tahun 2017. Akhir cerita, pada tahun 2019 Jokowi menutup
periode pertamanya dengan nilai pertumbuhan ekonomi hanya
5,02 persen saja. Angka yang sama persis saat ia menerimanya dari
SBY di tahun 2014. (Sumber: Badan Pusat Statistik, 2019)
Kisah serupa juga terjadi pada angka kemiskinan. Sepanjang
lima tahun periode pertama pemerintahan Jokowi, salah satu klaim
terbesarnya adalah bahwa pemerintahannya telah secara luar biasa
berhasil menurunkan angka kemiskinan dari sebelumnya 10,96
persen pada September 2014 turun menjadi 9,22 persen pada
September 2019, atau yang berarti terjadi penurunan sebesar 1,14
persen atau rata-rata 0,28 persen per tahun.
Namun keberhasilan itu dan terutama klaim yang menyer-
tainya, agar proporsional, perlu kita periksa secara kritis. Harap
diingat bahwa sejak dari jaman Orde Baru, tanpa peduli siapapun
presidennya, tingkat kemiskinan dengan pengecualian beberapa
tahun tertentu, secara umum berada dalam tren yang menurun.
Ditinjau dari sudut pandang tersebut, keberhasilan Jokowi tidaklah
terlalu istimewa. Dalam urusan keberhasilan menurunkan tingkat
kemiskinan ini, Presiden SBY pada periode pertama pemerinta-
hannya bahkan mampu menurunkan angka kemiskinan dalam
persentase yang lebih besar, yaitu 2,51 persen (dari 16,66 persen
pada tahun 2004 menjadi 14,15 persen pada akhir tahun 2009).
Pada periode keduanya, SBY bahkan mampu menunjukkan hasil
yang lebih baik lagi yaitu dengan menurunkan 3,19 persen angka
kemiskinan (dari 14,15 persen menjadi 10,96 persen) atau rata-rata
penurunannya per tahun 0,57 persen.
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 41
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
Namun bukan itu saja catatan yang perlu diberikan bagi
Jokowi terkait dengan angka kemiskinan ini. Keberhasilan Jokowi
dalam menurunkan angka kemiskinan ini pun, pada saat yang sama
juga masih jauh dari pemenuhannya terhadap target penurunan
kemiskinan sebagaimana yang ditetapkannya sendiri dalam RPJMN
2015-2019. RPJMN 2015-2019 memuat pencapaian angka
kemiskinan pada tahun 2019 yang ditargetkan turun hingga angka
7 persen hingga 8 persen. Kenyataannya, pada tahun yang sama,
angka kemiskinan masih ada pada angka 9,2 persen. Tidak perlu
tafsir yang lain kecuali bahwa sekali lagi Jokowi gagal memenuhi
target yang ditetapkannya sendiri. (Sumber : Badan Pusat Statistik,
2020)
Setelah angka kemiskinan, kini saatnya beralih kepada
masalah kesenjangan. Angka kesenjangan dicerminkan melalui
apa yang disebut sebagai Rasio Gini. Rasio Gini adalah rasio yang
digunakan untuk mengukur ketimpangan pengeluaran penduduk.
Semakin kecil nilainya semakin baik karena mengindikasikan
kecilnya kesenjangan. Pada September 2019 tercatat Rasio Gini
Indonesia berada pada angka 0,38, yang merupakan penurunan
0,034 poin dibanding periode yang sama lima tahun sebelumnya
pada tahun 2014. Namun seperti juga yang terjadi pada
pertumbuhan ekonomi serta angka kemiskinan, penurunan Rasio
Gini itu, masih belum sesuai dengan target penurunan yang dipatok
oleh Pemerintah sendiri dalam RPJMN 2015-2019. Dalam dokumen
RPJMN itu, Pemerintah menargetkan Rasio Gini di tahun 2019
seharusnya berada pada angka 0,36. Pencapaian pemerintah masih
juga menyisakan selisih 0,02 poin dengan target.
Kita tidak boleh menutup mata terhadap fenomena
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
42
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

kesenjangan yang sedang menjangkiti tubuh bangsa kita.


Dalam dunia kesehatan, kita sering diingatkan pentingnya
menjaga keseimbangan metabolisme tubuh. Karena segala bentuk
ketidakseimbangan seperti misalnya penggumpalan darah pada
sel-sel tertentu, justru memunculkan nekrosis organ yang ber-
dampak pada gangguan kesehatan yang serius pada tubuh se-
seorang. Demikian halnya dalam dunia ekonomi adanya kesenja-
ngan bisa menjadi bom waktu yang mengancam keutuhan ber-
bangsa kita. Terdapat dua jenis kesenjangan yang siap meledak
sewaktu-waktu di bumi nusantara ini: Yang pertama adalah
kesenjangan antarwilayah (interregional disparity), bisa kita lihat
dari timpangnya pusat dan daerah dari segala aspek kehidupan.
Data BPS menunjukkan 80 persen dari PDB Indonesia
didominasi oleh provinsi di kawasan Barat. Tak mengherankan
intensitas konflik dan gerakan separatisme di kawasan Indonesia
Timur semakin kuat terutama di Papua, Papua Barat, daerah yang
juga menunjukkan tingkat kemiskinan dan kesenjangan yang tinggi
di kawasan Indonesia Timur.
Masih dari data BPS menunjukkan Provinsi Papua memiliki
Angka kemiskinan tertinggi (28 persen) dan angka kesenjangan
gini mendekati (0.4). Yang kedua dan tak kalah mengkhawatirkan
adalah kesenjangan di dalam wilayah (Intraregional disparity), karena
kesenjangan ini yang paling kasat mata dan paling mudah kita
saksikan dalam keseharian di sekitar kita. Rasio Gini terbesar masih
disumbang oleh penduduk perkotaan yang artinya ketimpangan
yang terjadi dijumpai dalam jumlah terbanyak di daerah perkotaan.
Paradoks “ketimpangan yang merata” hampir di seluruh kota di
Indonesia.
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 43
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
Kegagalan pemerintahan Jokowi pada periode pertama
untuk mencapai target yang ditetapkannya sendiri, sekali lagi, terjadi
juga pada pembangunan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Dalam dokumen RPJMN 2015-2019, pemerintah menargetkan IPM
akan dapat mencapai 76,3 poin pada 2019. Kenyataannya IPM kita
pada tahun 2019 hanya berhenti pada angka 71,9 saja. Konsisten
dengan data Human Development Index yang dikeluarkan UNDP,
tingkat kualitas hidup masyarakat Indonesia terhitung sangat rendah
relatif dibandingkan dengan negara tetangga.
Bertolak belakang dengan pernyataan berbagai pejabat
negara yang kerap kali menggunakan istilah-istilah tertentu yang
mengarahkan kita kepada kesimpulan bahwa walaupun banyak
aspek dalam pembangunan perekonomian gagal dalam mencapai
target, namun perekonomian kita ‘masih aman’, atau perekonomian
kita berjalan ‘stabil’. Cukup melalui statistik sederhana sebagaimana
yang dikemukakan di atas saja, kita dapat dengan segera menyim-
pulkan bahwa perekonomian kita berjalan dalam stagnansi.
Ironinya, stagnansi dalam perekonomian nasional justru
terjadi di atas latar dimana Jokowi melakukan pembangunan
infrastruktur secara besar-besaran. Pembangunan infrastruktur
yang masif ternyata tidak memberi dampak kepada pertumbuhan
ekonomi mengingat bahwa pertumbuhan ekonomi bergerak landai
pada kisaran hanya 5 persen saja sepanjang lima tahun periode
pertama Jokowi. Pembangunan infrastruktur tersebut bahkan juga
tidak berdampak signifikan kepada peningkatan ekspor manufaktur
yang semestinya mendapatkan manfaat terbesar darinya.
Salah satu alasan dasar bagi segala pembangunan infra-
struktur tersebut adalah sebagai upaya untuk menekan biaya logistik
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
44
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

sehingga pada akhirnya terjadi peningkatan ekspor yang berasal


dari industri manufaktur. Namun nyatanya, bertolak belakang
dengan target pertumbuhan industri manufaktur sebagaimana
yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019 yang tumbuh 8 persen,
hingga akhir pemerintahan periode pertama Jokowi, pertumbuhan
industri manufaktur terus berada di bawah angka 5 persen. Hal itu
melengkapi kabar buruk lain yang datang dari neraca perdagangan
ekspor-impor Indonesia, di mana sepanjang tahun 2019 Indonesia
mengalami defisit sebesar 3,20 miliar dolar AS, sedikit lebih baik
dari tahun sebelumnya dimana neraca perdagangan mengalami
defisit yang lebih dalam yakni 8,57 miliar dolar AS.
Sulit untuk mengelak dari kesimpulan bahwa pembangunan
infrastruktur yang masif oleh pemerintahan Jokowi, yang dise-
lenggarakan di atas utang pemerintah, berjalan secara tidak efektif.
Target pertumbuhan ekonomi maupun target-target lainnya, seperti
penurunan tingkat kemiskinan dan kesenjangan, gagal tercapai.
Bahkan argumen utama bagi pembangunan infrastruktur, seperti
pertumbuhan industri manufaktur, pun juga luput dari capaian.
Demikian pula neraca perdagangan antara ekspor dan impor yang
juga mengalami defisit.
Pada bulan Januari 2020 saja, Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar
870 juta dolar AS. Defisit tersebut disebabkan posisi neraca ekspor
sebesar 13,41 miliar dolar AS, lebih rendah dari neraca impor yang
mencapai 14,28 miliar dolar AS. BPS mencatat ekspor nonmigas
per Januari 2020 mencapai 12,61 miliar dolar AS atau turun 5,33
persen dibandingkan Desember 2019.
Barangkali salah satu legacy Jokowi yang akan selalu diingat
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 45
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
adalah meroketnya utang luar negeri kita. Belum ada satu pun
Presiden Indonesia pasca-Reformasi yang mampu mengungguli
pemerintahan Jokowi dalam laju dan besarnya utang luar negeri
yang dibuatnya
Hanya dalam satu periode pemerintahannya saja, Jokowi
telah menaikkan utang jauh lebih besar dari yang dilakukan SBY
selama dua periode. Selama 10 tahun berkuasa, SBY menaikkan
nominal utang dari Rp 1.299,5 triliun pada tahun 2004, menjadi Rp
2.608 triliun pada 2014 atau naik Rp 1.308,5 triliun. Dan kini
pemerintah Jokowi yang baru berjalan enam tahun sudah
menaikkan utang luar negeri menjadi Rp 6.300 triliun, atau naik Rp
3.700 triliun. (Data Statistik Utang Luar Negeri, Bank Indonesia 2020)

Indikator Pemerintahan Pemerintahan


SBY Jokowi

Nominal hutang Rp 2.608 triliun Rp 6.300 Triliun


(tahun 2014) (tahun 2020)

Pertumbuhan 100% 141%


hutang (dalam 10 tahun) (dalam 6 tahun)

Hutang pada RRC 7 miliar USD 20 miliar USD


(tahun 2014) (tahun 2020,
naik 300%)
Defisit APBN Rp 220,2 triliun Rp 853 triliun
(Tahun 2014) (diperkirakan
akan mencapai
1.028,6 triliun
per Mei 2020)
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
46
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

Saat ini utang pemerintah bertumbuh lebih cepat daripada


utang swasta. Data menunjukkan bahwa rasio utang terhadap PDB
adalah sebesar 35,6 persen, dengan kata lain rasio ini naik sebesar
2 persen hanya dalam satu bulan. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin buruknya rasio utang terhadap PDB sejak pemerintahan
Jokowi.
Utang terhadap luar negeri salah satunya dari negara
China/Tiongkok telah naik sebesar 300 persen dalam enam tahun
terakhir. Pada tahun 2014 lalu, utang dari negara China hanya
sebesar 7 miliar USD dan kini utang itu sudah meroket jauh menjadi
sebesar 20 miliar USD. Angka ini adalah angka yang sangat fantastis.
Di sisi lain, utang untuk sektor finansial/asuransi porsi paling
besar hampir 20 persen, lalu untuk sektor pertanian hanya 4 persen.
Hal ini menunjukkan adanya indikasi bahwa utang ini justru tidak
mendukung sektor yang produktif. Proporsi utang dengan mata
uang Rupiah pun hanya 18 persen saja dan sisanya adalah utang
dalam mata uang asing.
Kecenderungan pemerintahan Jokowi untuk melakukan
utang sayangnya tidak diimbangi dengan produktivitas pere-
konomian. Tidak efektifnya utang yang terus menggunung pada
masa Jokowi ini terindikasi dari laju utang luar negeri yang terus
bertambah seperti bola salju, namun tidak memberi dampak pada
pertumbuhan ekonomi yang tetap saja stagnan pada angka 5
persen atau kurang.
Kinerja BUMN pun juga terus memburuk, seperti Garuda,
PLN dan ditambah dengan banyaknya korupsi-korupsi di per-
usahaan konstruksi.
Hal ini memberi dampak pada mahalnya biaya pemba-
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 47
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
ngunan jalan tol dan infrastruktur lainnya. Faktanya yaitu biaya
pembangunan infrastruktur di Indonesia senilai US$ 2.150 (Rp 30
juta) per meter. Padahal di Filipina, negara yang laten dengan
keterbelakangan seperti Indonesia, biaya pembangunan infra-
struktur hanya US$ 1.150 per meter (Sumber: Asian Infrastructure
Finance 2019).
Seperti halnya proyek pembangunan jalan tol di ruas tol
Pejagan hingga Pasuruan sepanjang 626 kilometer, biayanya
mencapai Rp 68 triliun. Rata-rata biaya pembangunan tol ini senilai
Rp 108,4 miliar/kilometer, itu pun di luar biaya pembebasan tanah.
Dan biaya pembangunan tol termahal mencapai Rp 143 miliar/
kilometer, yaitu pada pembangunan tol Probolinggo-Banyuwangi.
Semua ini menunjukkan bahwa birokrasi kita telah menjadi sebuah
kleptokrasi (birokrasi para maling) yang sangat akrab, santai, dan
menikmati korupsi.
Utang luar negeri yang demikian besar tentu saja merupakan
beban yang harus ditanggung oleh negara. APBN 2020, yang
disusun sebelum Pandemi Covid-19, telah mengalokasikan sebesar
Rp 295,2 triliun hanya untuk membayar bunga utang saja. Sehingga
praktis, kita berutang hanya untuk membayar bunga utang.
Saat ini kita menghadapi ujian besar pandemi Covid-19. Kita
tentu menyadari bahwa pandemi Covid-19 ini bukan lagi sekedar
masalah kesehatan. Pandemi Covid-19 dan dampak yang ditim-
bulkannya bagi fundamen perekonomian negara juga pada saat
yang sama merupakan batu ujian bagi kemampuan pengelolaan
negara. Saat ini kita menyaksikan bahwa perekonomian kita berada
di ambang resesi dengan proyeksi terhadap pertumbuhan ekonomi
yang minus, pengangguran meningkat tajam, angka kemiskinan
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
48
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

terjun bebas.
Bukan hanya karena Covid-19, namun terlebih karena
rapuhnya fundamen ekonomi yang dibangun dalam enam tahun
terakhir. Jangan sampai kemudian pemerintah menggunakan
kampanye new normal untuk memberi ilusi bahwa keterpurukan
yang kita alami adalah kenormalan baru yang harus kita terima.
Sama sekali tidak. Sungguh tidak boleh dianggap normal,
ketika kondisi negara saat ini justru jauh lebih buruk dari enam
tahun lalu.
Dan dengan pengelolaan perekonomian yang serampangan
serta kinerja perekonomian yang demikian semrawut, sungguh
sangat beralasan jika kita mengkhawatirkan masa depan bangsa
kita. Akhirnya harus kita simpulkan bahwa enam tahun kebijakan
ekonomi Jokowi tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan
Pasal 33 UUD 1945. Masih belum sadarkah kita? ●
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 49
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
BAB 9
Pengelolaan SDA yang
Terang-terangan Menentang
Pasal 33 UUD 1945 dan
Menabrak Aturan Perundang-
undangan yang Ada

M
arwan Batubara, salah satu pakar yang menekuni
pengelolaan SDA Indonesia, selalu resah karena ceng-
keraman pengusaha swasta dan asing di sektor energi
dan sumber daya mineral terus berlanjut. Bahkan semakin menguat
dengan ditetapkannya UU Nomor 3/2020 tentang Perubahan atas
Undang Undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara (Minerba) oleh DPR RI pada 12 Mei 2020. Salah satunya
terlihat pada ketentuan dalam UU tersebut dengan dijaminnya hak
perpanjangan kontrak atas sejumlah kontrak pengelolaan tambang
berdasar Kontrak Karya (KK) dan kontrak Perusahaan Perjanjian
Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B). Selain itu, UU Nomor 3/2020
ini pun memberi jaminan bagi para pemegang izin usaha per-
tambangan khusus (IUPK) untuk otomatis mendapat perpanjangan
izin.
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
50
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

Padahal sesuai amanat Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945 cabang-


cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Konstitusi dengan
jelas menyatakan tidak boleh ada aturan yang menjamin per-
panjangan otomatis atas kontrak dan izin. Artinya, dalam hal Wilayah
Kerja (WK) tambang yang kontrak dan izinnya berakhir, maka WK-
nya harus dikembalikan kepada negara. Tujuannya, agar penge-
lolaan WK tambang dapat diserahkan kepada BUMN, sehingga
rakyat akan memperoleh manfaat terbesar dari pengelolaan sumber
daya milik negara tersebut.
Penafsiran tersebut dapat dilihat pada peraturan dan
landasan legal yang berlaku saat ini sebagai turunan dari Pasal 33
UUD 1945, yang dengan jelas menjamin hak BUMN untuk me-
lanjutkan pengelolaan WK tambang tersebut. Peraturan dimaksud
di antaranya adalah TAP MPR Nomor 4/1998, Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 12/2012, Putusan MK Nomor 85/2013 dan
Pasal 75 UU Minerba Nomor 4/2009.
Namun oleh rezim oligarkis yang dipimpin Jokowi, seluruh
peraturan di atas diganti dengan mengeliminasi kedaulatan negara
serta hak 270-an juta rakyat Indonesia. Pengerdilan hak rakyat ini
berlangsung kasat mata melalui rekayasa konspiratif pembahasan
RUU Perubahan UU Minerba Nomor 4/2009 yang dengan sengaja
melanggar konstitusi dan prosedur pembuatan perundang-
undangan berdasar UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
Menjadi keanehan jika pembahasan materi RUU yang
mencapai 938 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dapat diselesaikan
oleh Panja RUU Minerba (terdiri dari anggota-anggota DPR dan
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 51
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
pejabat-pejabat pemerintah) dalam waktu hanya sekitar dua
minggu. Pembahasan pun dilakukan secara tertutup di hotel
berbintang dan diyakini sarat moral hazard. Di samping itu, panja
RUU memanfaatkan pandemi korona agar publik maupun
stakeholder lain terhalang menyampaikan aspirasi dan ikut terlibat
membahas RUU sebagaimana dijamin UU P3 Nomor 12/2011.
Jika dicermati, kekayaan negara SDA batubara yang dikuasai
para kontraktor PKP2B saja bernilai lebih dari Rp 6.000 triliun. Jika
digabung dengan sektor mineral, kekayaan SDA tersebut bernilai
lebih dari Rp 10 ribu triliun. Sedangkan nilai keuntungan bersih
yang diperoleh dari pengelolaan tambang minerba tersebut dapat
mencapai Rp 60-90 triliun per tahun. Keuntungan yang besar ini
selama ini hanya dinikmati oleh para pengusaha tambang,
konglomerat, termasuk investor asing.
Karena nilai untung besar inilah, maka tak heran jika para
pengusaha dan konglomerat tambang melakukan berbagai upaya,
termasuk yang dikategorikan menghalalkan segala cara agar
dominasi dan perampokan hak rakyat dapat berlangsung mulus
dan legal. Ironisnya, yang berada di garis depan untuk memuluskan
agenda para pengusaha dan konglomerat tambang adalah pe-
merintah sendiri, yang dipimpin oleh Presiden Jokowi dan didukung
penuh oleh Menko Perekonomian Airlangga, Menteri ESDM Arifin,
dan Menkeu Sri Mulyani.
Di sektor mineral, salah satu kerugian besar NKRI adalah
dalam akuisisi saham Rio Tinto (40 persen) senilai US$ 3,5 miliar dan
saham Freeport, FCX, (5,6 persen) senilai US$ 350 juta pada tambang
emas dan tembaga di Freeport, Timika, Papua. Dengan total
pembelian saham senilai US$ 3,85 miliar, ditambah dengan saham
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
52
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

yang telah dimiliki sebelumnya, maka total kepemilikan saham


negara yang dikelola BUMN/Inalum menjadi mayoritas, yakni 51
persen.
Ironisnya, dalam pembelian saham yang digembar-gem-
borkan pemerintah sebagai sukses besar, NKRI justru menjadi
pecundang. Pertama, walau memegang saham mayoritas 51 persen,
FCX tetap menjadi operator pengelola tambang. Kedua, pemerintah
telah menerbitkan PP Nomor 1/2017 guna memberi peluang
perpanjangan kontrak yang merugikan. Ketiga, kedaulatan negara
hilang akibat perhitungan nilai divestasi bagi negara yang dijamin
Pasal 33 UUD 1945 disamakan dengan perhitungan nilai divestasi
kepada swasta (discounted cashflow). Keempat, negara membayar
lebih mahal sekitar US$ 1 miliar atas 40 persen saham Rio Tinto.
Kelima, sesuai ketentuan dalam KK, terdapat opsi NKRI dapat
menguasai tambang dengan biaya murah saat KK berakhir 2021,
namun pemerintah tunduk pada gertakan arbitrase FCX dan Rio
Tito.
Pada sektor mineral nikel, yang ke depan merupakan mineral
sangat strategis untuk mobil listrik, terjadi pula pelanggaran fatal
terhadap Pasal 33 UUD 1945. Sejumlah investor China (antara lain
Sulawesi Mining Investment, Virtue Dragon Industry, Huadi Nickel
Aloy, dan Harita Nickel) dapat menguasai pengelolaan tambang
dari hulu hingga hilir, bekerja sama dengan swasta nasional
bersaham minimalis, tanpa sedikit pun saham negara/BUMN. Pada
beberapa proyek, si asing China dapat menambang dan mem-
bangun smelter di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, meng-
gunakan produk dan TKA China, sehingga akan memberi keun-
tungan sangat besar bagi asing dibanding NKRI sebagai pemilik
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 53
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
SDA. Khusus Harita Nickel, perusahaan ini adalah milik taipan
domestik yang “berhasil merampok” lahan tambang nikel milik
negara (BUMN Antam) di Konawe, Sulawesi Tenggara pada 2008-
2009.
Bahkan dengan larangan ekspor nikel yang mulai berlaku
Januari 2020, para penambang lokal/pribumi kelas gurem terpaksa
menjual produk dengan harga lebih rendah dibanding harga ekspor
kepada perusahaan China, yang justru diyakini diberi hak
memonopoli bisnis, karena memiliki smelter. Karena tidak jelasnya
program divestasi saham kepada negara/BUMN, maka dominasi
dan manfaat terbesar SDA nikel milik negara ini akan terus dinikmati
China bersama partner swasta yang antara lain didukung Menko
Maritim LBP berpuluh tahun ke depan. NKRI boleh punya SDA nikel,
namun penikmat terbesar SDA adalah China dan segelintir pe-
ngusaha yang didukung penguasa oligarkis pembangkang UUD
1945.
Di sektor migas, BUMN seperti Pertamina atau PGN yang
tergabung dalam Holding BUMN Migas juga terjadi hal-hal
berpotensi merugikan negara. Hal prinsip, terjadi privatisasi atau
pengalihan saham negara pada anak usaha Pertamina, yaitu Perta
Gas, kepada PGN. Kebijakan ini merupakan IPO terselubung yang
lebih banyak menguntungkan pihak swasta dan investor asing
pemegang saham PGN dibanding negara atau Pertamina, yang
kehilangan salah satu mata rantai bisnis strategisnya.
Kebijakan populis Jokowi yang sarat pencitraan politik guna
memenangkan Pilpres 2019 juga telah merugikan Pertamina.
Kebijakan harga BBM yang tidak tepat sasaran sejak 2017 sampai
2019 telah membebani keuangan Pertamina sekitar Rp 95 triliun.
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
54
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

Karena piutang Pertamina tersebut belum juga dilunasi pemerintah


hingga sekarang, keuangan Pertamina menjadi terganggu dan
terancam gagal bayar atau default atas kewajiban pelunasan utang
jatuh tempo tahun ini.
Kebijakan populis demi pencitraan Jokowi telah memakan
korban berupa rusaknya kinerja Pertamina. Minimal, karena piutang
yang tak kunjung dilunasi, Pertamina harus menerbitkan surat utang
(bond) untuk menjaga cashflow dan kebutuhan investasi. Pertamina
rugi triliunan rupiah akibat harus membayar bunga utang, dimana
utang tersebut terpaksa dibuat akibat kebijakan pemerintahan
Jokowi yang menjadikan Pertamina sebagai sapi perah untuk
pencitraan.
Selain itu, rakyat pun ikut merugi karena tidak memperoleh
kesempatan menikmati harga BBM lebih murah sebagai akibat
turunnya harga minyak dunia. Pemerintahan Jokowi mengatakan
harga BBM tidak turun guna membantu keuangan Pertamina dan
karena harga minyak masih bergejolak. Padahal, keuangan Per-
tamina rusak akibat pencitraan Jokowi. Harga BBM seharusnya turun
mengikuti formula bikinan pemerintah sendiri, yang justru
ditetapkan untuk mengikuti gejolak harga minyak, tetapi tidak
diturunkan! Sebagai korban kebijakan Jokowi, konsumen BBM
Indonesia selama April-Juni 2020 dirugikan sekitar Rp 18 triliun.
Dalam periode kedua pemerintahan, kabinet Jokowi gencar
mengampanyekan rencana penjualan saham anak-anak usaha
Pertamina melalui program Initial Public Offering (IPO). Dikatakan,
IPO perlu dilakukan melalui penjualan sub-holding Pertamina untuk
memperoleh dana murah. Padahal mekanisme IPO merupakan
agenda investor kapitalis-liberal untuk meraih untung dari bisnis
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 55
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
BUMN. Di sisi lain, bidang usaha Pertamina merupakan sektor bisnis
strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak sesuai Pasal
33 UUD 1945, yang mestinya dikelola secara penuh, 100 persen,
oleh BUMN.
Saat ini Kementerian BUMN dan Pertamina sedang mengolah
dan menganalisis anak-anak usaha dan sub-holding korporat yang
akan di-IPO/diprivatisasi mengikuti skema unbundling. Melalui
skema ini, agar investor tertarik, maka akan dipilih anak-anak usaha
yang menguntungkan dan mempunyai prospek bisnis yang baik
untuk di-IPO. Padahal dengan skema unbundling tersebut akan
timbul dua masalah besar, pertama nilai produk yang harus dibayar
konsumen menjadi lebih tinggi. Kedua, keuntungan Pertamina
sebagai induk holding akan semakin turun, karena sebagai induk
holding Pertamina tinggal mengelola anak-anak usaha yang kurang
menguntungkan atau yang merugi.
Sebagai BUMN yang mempunyai tugas perintisan, Pertamina
harus tetap menjalankan usaha di sektor-sektor yang merugikan
sesuai perintah UU BUMN Nomor 19/2003. Hal ini dapat berjalan
karena mekanisme cross subsidy. Namun jika IPO anak-anak usaha
yang menguntungkan terus berlanjut, maka kemampuan cross
subsidy Pertamina akan hilang dan pembangunan wilayah-wilayah
terpencil atau terbelakang semakin tertinggal.
Di sektor listrik, PLN pun mengalami hal yang sama dengan
Pertamina. Untuk kepentingan pencitraan Jokowi, pada 2018-2019
PLN harus menanggung beban subsidi listrik yang menjadi ke-
wajiban pemerintah sekitar Rp 48 triliun. Kondisi APBN 2020 yang
semakin terbebani utang akibat defisit hingga Rp 1.220 triliun, telah
menjadikan pelunasan utang ke PLN semakin sulit dilakukan. Karena
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
56
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

itu, akibat kebijakan Jokowi keuangan PLN bermasalah dan beban


utang rakyat akibat defisit yang membengkak semakin bertambah.
Di samping akibat kebijakan subsidi listrik yang tidak tepat
sasaran, potensi bangkrutnya PLN dapat pula dipicu oleh kebijakan
ambisius bernuansa oligarkis pemerintah membangun proyek
pembangkit listrik 35.000 Megawatt. Meskipun sebagian (70 persen)
pembangkit dibangun swasta, PLN tetap harus membangun
pembangkit sisanya (30 persen), ditambah sarana transmisi, gardu-
gardu listrik, dan sarana distribusi yang biayanya sangat besar.
Untuk itu, PLN harus berutang sekitar Rp 100 triliun setiap tahun,
dan telah terakumulasi menjadi lebih dari Rp 500 triliun hingga saat
ini!
Ternyata, karena didasari kesalahan perencanaan dan ambisi
besar bernuansa oligarkis, pertumbuhan konsumsi listrik dalam 3
tahun terakhir tidak seperti yang diperkirakan semula. Hal ini pun
ikut mengganggu keuangan. Ekonom Faisal Basri mengatakan PLN
akan bangkrut dalam beberapa bulan ke depan jika pemerintah
tak segera melunasi utang. Jika hal ini terjadi maka tingkat
kepercayaan terhadap pemerintah akan turun. Di samping itu, yang
lebih fatal adalah tidak berlanjutnya pelayanan PLN yang dapat
menjadi alasan masuknya swasta mengelola sektor listrik negara.
Jika itu terjadi, di samping melanggar konstitusi, rakyat pun akan
dibebani tarif listrik yang akan lebih mahal. ●
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 57
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
BAB 10

Pendidikan
Karut Marut

i antara berbagai sektor kehidupan nasional, barangkali

D sektor pendidikan adalah yang paling penting dan


menentukan masa depan bangsa Indonesia. Sampai ada
yang menyatakan pendidikan bagaikan senjata diam (silent weapon)
yang punya tenaga untuk mengangkat derajat bangsa Indonesia
ke jajaran yang terhormat di kalangan bangsa-bangsa lain di dunia.
Tetapi kalau salah strategi malah bisa membawa aib internasional.
Secara sangat elementer bisa dikatakan bahwa setiap
bangsa, baik yang sudah maju maupun yang masih terbelakang,
ditentukan oleh sejauh mana bangsa itu mengelola sumber daya
alamnya (natural resources), sumber daya manusianya (human
resources), dan sumber daya kapital/permodalannya (capital
resources).
Nah, berhasil atau tidaknya ketiga sumber itu dikelola dengan
baik atau tidak, sepenuhnya ditentukan oleh kualitas pendidikan
yang dimiliki bangsa tersebut.
Di Indonesia, sumber daya alam baik yang terbarukan
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
58
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

(renewable) maupun yang tidak terbarukan (non-renewable)


ditentukan, sekali lagi, oleh mutu pendidikan nasional kita.
Dalam kaitan inilah kita menyaksikan dengan prihatin dan
segenap konsen kita bahwa telah terjadi penurunan kualitas
pendidikan kita dari waktu ke waktu. Di zaman Presiden Joko
Widodo karut marut pendidikan nasional kita mengalami keme-
rosotan yang paling dalam dibandingkan dengan masa presiden-
presiden sebelumnya.
Kita bisa melihat hasil tes Programme for International
Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh Organization
for Economic Cooperation and Development (OECD) pada 2018.
Yang diuji di bidang pengetahuan dan keterampilan siswa-siswa
usia 15 tahun di bidang matematika, science, dan reading.
Hasilnya, Indonesia selalu di urutan bawah. Untuk mate-
matika, Indonesia berada di urutan nomor 7 paling bawah dari 79
negara. Kemampuan dan mencerna bacaan (reading) Indonesia
mendapat skor 371, menurun dibandingkan tahun 2015, yang
mendapatkan skor 391. Padahal skor rata-rata negara-negara yang
tergabung dalam OECD adalah 487. Perhatikan jarak 126 poin di
bawah rata-rata. Sedangkan di bidang science lagi-lagi Indonesia
berada di urutan 9 dari bawah. Artinya, kita berada jauh di bawah
pencapaian Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, Thailand, apalagi
Singapura.
Bahkan menurut penelitian Jurnal Penelitian Pendidikan
Indonesia (JPPI) dari berbagai indikator dalam survei yang mencakup
pengelolaan pendidikan, keterjangkauan, aksesibilitas, aksepta-
bilitas, dan adaptasibilitas, Indonesia hanya memperoleh skor 77
persen, sama dengan Honduras dan Nigeria, dan di bawah Filipina
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 59
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
81 persen dan Ethiopia 79 persen.
Kualitas pendidikan kita menentukan pengetahuan, kete-
rampilan dan profesionalitas anak-anak bangsa yang akan menge-
lola sumber daya alam kita yang sangat kaya raya. Akan tetapi
dengan kualitas pendidikan yang tidak kompetitif secara inter-
nasional, maka dengan kebodohan kita, kita serahkan kepada pihak
asing sumber daya alam kita untuk mereka keruk semau mereka.
Seperti yang terjadi di berbagai kontrak karya, kita sudah puas
dengan pajak yang mereka hitung sendiri dan fee sangat rendah
yang tidak masuk akal.
Otomatis dengan rendahnya kualitas pendidikan kita, maka
rendah pula sumber daya manusia kita. Kita jadi penonton yang
setia dan bengong tatkala kekayaan alam kita, minyak kita, minerba
kita, hasil hutan dan laut kita diangkut keluar secara semena-mena.
Demikian pula dengan kualitas pendidikan kita, apalagi
pendidikan tersier ditambah dengan mentalitas inlander kita, dari
machinery sampai technical and managerial knowhow hampir
semuanya diborong oleh pihak asing.
Sayang sekali menteri pendidikan masa 2014-2019 tidak
berhasil memperbaiki kualitas pendidikan kita karena hanya
menjalankan sekedar rutinisme. Sementara yang sekarang, yang
katanya kurang mengetahui masa lalu tetapi mengetahui masa
depan, menciptakan anarkisme karena tidak ada lagi standar kualitas
nasional bagi pendidikan. Dengan menghapus ujian nasional,
kebanyakan sekolah akan memproduksi banyak anak didik atau
siswa yang sama sekali tidak berprestasi. Anarkisme pendidikan
pasti muncul karena masing-masing sekolah berkecenderungan
kuat untuk meluluskan siswa-siswanya 100 persen.
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
60
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

Sesungguhnya OECD sudah mengingatkan khusus Indonesia,


agar memperbaiki kualitas pendidikan lewat nationality promulgated
standards, yang justru sudah dihilangkan oleh menteri yang lumayan
jemawa dan percaya diri terlalu berlebihan itu.
Melihat prestasi pemerintahan Jokowi enam tahun terakhir
ini, agenda untuk Pembangunan yang Berkelanjutan (SDG’s) yang
dicanangkan oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (SU
PBB) pada September 2015 kiranya makin jauh tak terjangkau bagi
Indonesia. SDG’s itu diproyeksikan akan dicapai oleh seluruh negara,
tidak ada satu pun yang tertinggal (leaving no one behind) pada
2030. Indonesia ikut tanda tangan di forum yang sangat terhormat
itu. Artinya, kita akan mengikuti komitmen internasional itu.
Sebanyak 17 SDG’s itu antara lain tidak ada lagi kemiskinan
(no proverty), tidak ada lagi kelaparan (no hunger), pendidikan
berkualitas, air bersih dan sanitasi yang berkecukupan, ketersediaan
lapangan kerja dan ekonomi yang terus tumbuh, energi bersih yang
terbeli, industri, inovasi dan infrastruktur, dan lain sebagainya.
Pendek kata seluruh bangsa di muka bumi, di tahun 2030 besok
akan bisa mengatakan kita semua sudah masuk ke zaman ke-
makmuran dan kesentosaan. Selamat tinggal keterbelakangan.
Bagaimana mungkin kita dapat mencapai 17 Sustainable
Development Goals itu, sementara kualitas pendidikan kita keropos
dan praktek pendidikan di lapangan sempoyongan? Pating blasur?
Saat saya menulis risalah singkat ini, Kemendikbud menun-
jukkan kebodohannya yang serampangan mengeluarkan Program
Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebuda-
yaan. Dalam POP itu calon penerima bantuan dibagi dalam tiga
jenis: gajah, macan, dan kijang. Perhatikan cara menentukan kategori
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 61
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
penerima bantuan, seperti guru TK menerangkan pada para
muridnya. Yang gajah dapat 20 miliar rupiah, yang macan 5 miliar,
yang kijang 1 miliar, per tahun.
Dari 156 yayasan yang dicatat oleh Kemendikbud ada dua
yang mengagetkan, yaitu yayasan Sampoerna dan yayasan Tanoto.
Masyarakat pendidikan marah besar pada daftar program POP itu.
Bisa-bisanya dan tega-teganya Sampoerna dan Tanoto masuk dalam
156 yayasan yang akan dibantu oleh Kemendikbud.
Namun kenyataan ini membuktikan, memang sudah tidak
ada lagi bidang kehidupan nasional yang tidak diintervensi,
didominasi, dan dieksploitasi oleh unsur-unsur m-t-c, seperti
diterangkan di atas.
Kita semua bangga dengan Muhammadiyah, NU, dan PGRI
yang segera mundur dari dagelan mereka itu. Kita bangga karena
masih ada sekelompok anak bangsa yang tidak bersedia diajak
masuk ke pusaran permainan politik yang penuh risiko. Siapa tahu
pada pergantian rezim mendatang, setiap permainan politik yang
beraroma korupsi akan dibongkar. Ketiga kelompok yang cabut
diri itu adalah yang paling paham sejarah dan dunia pendidikan
nasional dari masa ke masa. Bravo!
Sesungguhnya kritik pedas pada Kemendikbud sudah
disampaikan oleh banyak kalangan. Misalnya Azyumardi Azra, tokoh
yang sangat paham dengan dunia pendidikan memberikan rapor
merah untuk sang menteri. Sementara Direktur Eksekutif Indo
Barometer Muhammad Qodari menyebut menteri itu sebagai
menteri abuleke, yang dalam bahasa Saparua berarti menteri yang
suka membual atau berbohong.
Sebaiknya kritik pedas seperti di atas ditanggapi dengan
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
62
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

tenang dan bijak. Jangan membela diri dengan merendahkan para


pengritiknya. Misalnya, “yang tidak suka pada kebijakan saya pasti
tidak nyaman dengan perubahan yang saya lakukan.”
Perlu diingat, Dunia Pendidikan berbeda sama sekali dengan
Dunia Pergojekan.
Sesungguhnya UUD 1945 dalam bab XII (Pendidikan dan
Kebudayaan) telah menetapkan dengan jelas dalam pasal 31, ayat
2 dan ayat 3, bahwa :

(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu


sistem pendidikan dan pengajaran nasional dengan mengedepan-
kan budi pekerti dan karakter bangsa dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, yang diatur
dengan undang-undang.
(3) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Andaikata Pemerintah Jokowi dan para menterinya benar-


benar membaca, meresapi, dan menghayati UUD 1945 termasuk
pasal 31 UUD 1945, tidak mungkin muncul program POP yang
menyedihkan itu. Jangan-jangan program buruk itu hanyalah
sebuah gunung es yang mengindikasikan Pancasila memang sudah
seharusnya diganti dengan Gotong-Royong, sementara agama
dianggap sudah kuno dan ketinggalan zaman? ●
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 63
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
BAB 11

Kegagalan
Reformasi Kesehatan
dan Penanganan
Covid-19

K
ebijakan Kesehatan di Era Reformasi telah dipayungi
dengan adanya Amandemen UUD’45 Pasal 28 (h) ayat 1.
Di mana kesehatan adalah hak asasi manusia yang harus
dikedepankan. Akan tetapi sektor kesehatan tetap belum men-
dapatkan fokus perhatian utama, karena dalam Propenas sektor
kesehatan tidak berada dalam topik khusus, tetapi masuk ke dalam
topik sosial budaya.
Hal ini berdampak kepada anggaran kesehatan yang masih
minim jika dibandingkan dengan anggaran pendidikan. Di sisi lain,
anggaran kesehatan saat ini masih menitikberatkan pada program-
program kuratif (kesehatan individu) dibandingkan dengan
program-program promotif preventif (kesehatan masyarakat).
Masalah penting ini sering dinyatakan oleh dr M Baharuddin dan
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
64
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

teman-temannya dari RS Budi Kemulyaan Jakarta.


Sebagaimana dicanangkan oleh WHO, tentang Universal
Health Coverage (UHC), Indonesia pun turut berperan serta dengan
dilaksanakannya program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Di banyak negara, implementasi UHC dilakukan secara bertahap,
hati-hati dan disertai penguatan pada block sistem pelayanan
kesehatan yang komprehensif seperti yang diamanahkan oleh
WHO, dalam bentuk road map, Indikator UHC, dengan melibatkan
penerapan IT, sistem pembiayaan, partisipasi masyarakat, dan para
provider pelayanan kesehatan. Di Indonesia, UHC dilaksanakan
dengan lumayan serampangan, kurang kehati-hatian dan adanya
ketidaksiapan sistem dan subsistem kesehatan. Sehingga hal ini
berdampak kepada kualitas pelayanan kesehatan dan yang bila
dibandingkan dengan indikator UHC negara-negara tetangga kita,
kita belum mencapai harapan dari SDG’s, sebagai cerminan keta-
hanan kesehatan nasional.
Indonesia sudah membuat road map SJSN, di mana
koordinasi setiap elemen stakeholder dan peningkatan coverage
(cakupan kepesertaan) direncanakan secara cepat dalam 5 (lima)
tahun. Namun yang terjadi di lapangan, koordinasi dan pelaksanaan
peran masing-masing elemen stakeholder tidak berjalan dengan
baik. Sistem Informasi Kesehatan Nasional belum terbangun dan
terintegrasi, sehingga sering terjadi kesimpangsiuran data yang
dipublikasikan oleh berbagai stakeholder pemerintah dalam
merespons berbagai permasalahan. Dengan demikian pengambilan
keputusan tidak dilakukan dengan data yang sahih dan proses
keputusan kebijakan yang kemampuan leadership-nya berbeda-
beda di setiap daerah.
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 65
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
Dalam situasi seperti di atas dan permasalahan turunnya
aktivitas ekonomi karena dampak global, terjadi peristiwa wabah
Covid-19 di Wuhan yang menjalar ke seluruh dunia, sehingga pada
bulan Maret terjadi di Indonesia.
Respons dan reaksi pemerintah sangat beragam, bahkan
cenderung anti-science dan melecehkan bahaya Pandemi Covid-
19 ini. Aktivitas anti-science yang menyatakan bahwa Pandemi
Covid-19 adalah konspirasi politik global, pernyataan bahwa Covid-
19 bisa diatasi dengan kalung herbal sangat kontradiktif dengan
logika keilmuan dan keilmiahan.
Leadership pemerintah seyogianya menangani pandemi
dengan pendekatan crisis management, menghidupkan struktur,
mencari orang yang tepat dan tangkas yang mampu menyelesaikan
masalah bersama dengan tim.
Dalam mengatasi krisis, hal yang terpenting adalah melihat
bagaimana proses penanganannya dilakukan. Di mana harus
didasarkan kepada pendekatan terhadap struktur, person, dan
problem solving. Bukan kepada badan-badan ad-hoc yang bersifat
temporer.
Pendekatan WHO dengan test trace and threat tidak dapat
dilaksanakan dengan cepat di Indonesia disebabkan oleh berbagai
hal yang terkesan keputusan tidak dibuat dengan pendekatan
science, tidak partisipatif, dan tanpa empati serta dilaksanakan
setengah hati.
Pemerintah harus fokus pada penanganan Covid-19 sebaik
mungkin. Selama masalah Covid-19 ditangani amatiran, perbaikan
sektor ekonomi, sosial politik akan terhambat. Bahkan kehidupan
berbangsa bernegara, dan keutuhan NKRI jadi pertaruhan. Akibatnya
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
66
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

bisa dahsyat. Pemerintah berperan dalam testing, isolating and


treating . Testing kita masih rendah dari 1 per 1.000 penduduk per-
pekan, baru tercapai kurang dari 40 persen. Daerah-daerah harus
menyediakan rumah sakit darurat untuk pasien Covid tanpa gejala
dan yang ringan. Wacana membawa pasien Covid dari Surabaya ke
Pulau Galang menunjukkan pemerintah daerah belum siap.
Harusnya RS darurat cukup di Jawa Timur di Surabaya misalnya.
Pengaturan RS Covid dan non-Covid harus dilakukan, saat ini tidak
ada pembatasan, semua RS terpaksa tangani Covid-19.
Hal lain pemerintah jalan sendiri. IDI sudah bersilaturahmi
ke organisasi kemasyarakatan besar di Indonesia, mereka masih
belum dilibatkan dalam penanganan Covid baik dalam sosialiasi
protokol hidup sehat di era kehidupan baru. Bila misalnya dilakukan
PSBB lanjutan karena pasien Covid melonjak tinggi, pemerintah
harus fokus pada subsidi BLT, sembako, dan lain-lain ke masyarakat
yang tidak mampu, dan didukung data yang valid. Tanpa pemberian
subsidi, rakyat kecil makin sengsara, mereka akan memaksa keluar
untuk bekerja mencari nafkah, yang berakibat protokol kesehatan
akan gagal.
Masalah di profesi yang perlu dukungan pemerintah:
ketersediaan APD standar harus cukup, tidak boleh kurang. Tenaga
Medis berguguran oleh Covid-19, dan angkanya mencapai 6,5
persen. Angka ini adalah tertinggi di dunia, dibandingkan dengan
AS 0,16 persen dan Inggris 0,5 persen. Jika ini terus dibiarkan, maka
bukan tidak mungkin Indonesia menjadi Negara Darurat Tenaga
Medis karena kekurangan tenaga medis yang handal.
Dampak masalah kesehatan masyarakat yang lebih jauh dari
Covid-19 adalah beban ganda (multiple burden) yang akan menjadi
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 67
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
semakin berat. Penyakit Infeksi seperti TB, HIV, Malaria, masalah
kematian ibu dan anak, akan semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya kasus-kasus non-infeksi seperti kanker, masalah
cakupan imunisasi, kesehatan reproduksi dan kemiskinan yang
merajalela.
Proses pembayaran klaim RS pasien Covid-19 seharusnya
mudah, tidak berbelit, Rumah Sakit perlu cashflow untuk tetap
memberikan pelayanan di kala sulit. Nilai klaim Covid-19 yang
langsung di-handle oleh Kemenkes tanpa perhitungan yang cermat,
menyebabkan biaya tinggi penanganan Covid. Tentunya ini
menguras kas APBN sekaligus. Sehingga saat ini banyak provider
pelayanan kesehatan belum menerima klaim pembayaran pasien
Covid-19 karena ketiadaan dana kas negara.
Dalam Perppu tentang Covid 19, sangat terlihat bahwa
perhatian pemerintah sebagian besar terkait permasalahan
ekonomi, hanya sebagian kecil saja terkait kesehatan. Berbeda de-
ngan negara-negara lain yang mengedepankan dahulu penye-
lesaian masalah kesehatan, fokus kepada mengatasi Covid-19.
Kondisi ini sangat berbahaya bagi bangsa dan negara.
Dampak terhadap politik dan ekonomi secara signifikan terasa oleh
semua lapisan masyarakat Indonesia. Pseudo treatment yang di-
lakukan pemerintah dengan adanya pembagian sembako, lockdown
setengah hati, dan pendekatan-pendekatan non ilmiah yang
dilakukan oleh stakeholder pemerintah, telah menghantarkan
Indonesia ke pintu gerbang keterpurukan politik dan ekonomi.
Hal terburuk bagi negeri ini adalah adanya potensi disinte-
grasi bangsa karena hilangnya kepercayaan kepada kepemimpinan
nasional dalam melindungi segenap tumpah darah Indonesia. ●
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 69
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
BAB 12

Menerapkan
Psikologi Ketakutan

aya melihat salah satu perkembangan politik-psikologis

S selama enam tahun Jokowi jadi presiden adalah


diterapkannya sebuah psikologi ketakutan dan pengawasan
(psychology of fear and control) terhadap rakyat Indonesia.
Mengapa? Karena rakyat yang takut membuka mulut dan
tidak berani melakukan kritik dan koreksi pada penguasa, diyakini
oleh pihak rezim sebagai sesuatu yang ideal untuk memperoleh
stabilitas sosial-politik. Kemudian diupayakan pula agar rakyat harus
sangat hati-hati setelah diterbitkan UU ITE Nomor 11 tahun 2008.
Di dalam UU itu terdapat ancaman pada siapa saja yang tanpa hak
menyebarkan dan/atau mentransmisikan dan/atau dapat diaksesnya
informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.
Ini jelas pasal karet. Penafsiran tentu tergantung dari
penguasa yang sangat takut dengan kritik atau kontrol dan
pengawasan dari rakyat. Padahal ada sebuah ungkapan yang sangat
sederhana sejak lebih satu abad lalu dari seorang pakar Amerika,
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
70
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

Johm B. Barnhill yang berbunyi: “When government fears the people,


there is liberty. When the people fear the government, there is tyrany”
(kalau pemerintah takut sama rakyatnya akan ada kebebasan. Kalau
rakyat takut sama pemerintahnya, akan ada tirani).
Sesungguhnya menakut-nakuti rakyat supaya rakyat menjadi
sendiko dawuh, siap melaksanakan perintah apa saja dan harus mau
menerima apa saja, hampir secara instingtif dilakukan oleh
pemimpin-pemimpin yang tidak paham demokrasi, atau juga
pembenci demokrasi. Mereka berusaha dengan aparat birokrasi
dan aparat keamanannya dapat membuat rakyat ketakutan dan
sekaligus dihilangkan daya kritis dan korektifnya.
Di panggung dunia dalam sepuluhan tahun terakhir ini
muncul beberapa buku dan tulisan para pakar yang mengejutkan
pembacanya bahwa demokrasi yang sehat, proporsional, memihak
kepentingan rakyat, serta berkeadilan tampak semakin gelap,
bahkan demokrasi sedang dalam proses kematian. Istilah-istilah
yang beredar luas di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat
sendiri menunjukkan demokrasi memang sedang menuju
kehancurannya. Istilah-istilah itu misalnya democracy on trial
(demokrasi dalam ujian), democracy on decline (demokrasi terus
merosot), democracy in darkness (demokrasi dalam kegelapan),
democracy in retreat (demokarasi terus berjalan mundur), dying
democracy (demokrasi sedang mati), democracy hijacked (demokrasi
dibajak), pseudo democracy (demokrasi jadi-jadian) dan lain
sebagainya.
Menurut Freedom House, para pakar ilmu sosial, dan para
pengamat bahkan pelaku politik yang paham demokrasi memiliki
persamaan persepsi bahwa dengan membungkam rakyat agar
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 71
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
tidak berani melakukan kritik pada pemerintahan berarti rezim
penguasa akan dapat melestarikan kekuasaannya.
Sebuah kekuasaan yang ingin melanggengkan kekuasaan-
nya, seringkali terjebak pada doktrin busuk yakni “tujuan meng-
halalkan cara”. Terus terang, bila kita menoleh kembali proses Pileg
dan Pilpres tahun lalu, ada pertanyaan-pertanyaan besar yang
sekarang tidak mungkin terjawab. Namun semoga di masa datang
akan terkuak apa yang sebenarnya telah terjadi. JawaPos.com
menulis bahwa Pemilu 2019 tahun lalu adalah “Pemilu Terkelam
Sepanjang Sejarah”. Sementara Kompas.com dalam rangka refleksi
Pemilu 2019 mencatat keterangan resmi Ketua KPU total ada 894
petugas yang meninggal dan 5.175 petugas masih dirawat di rumah
sakit.
Ketika banyak orang yang berpikir sehat dan sederhana
menanyakan bagaimana mungkin sampai terjadi kematian massal
dengan gejala-gejala sakit yang berkemiripan yang menimpa para
petugas KPPS itu sehingga menimbulkan kecurigaan sosial, maka
yang berwenang di Departemen Kesehatan menjawab kira-kira:
“Tidak ada yang aneh, karena mereka yang meninggal itu umumnya
sudah membawa penyakit bawaan, ini dan itu.” Titik.
Yang lebih mengherankan lagi adalah bahwa pihak rumah
sakit dilarang melakukan autopsi terhadap mayat petugas KPPS itu
tanpa seizin pihak kepolisian. Sekalipun keluarga korban merengek
dan menangis supaya jenazah korban KPPS itu diautopsi lebih dulu,
kepolisian tetap bersikukuh. Tidak boleh.
Bahkan para dokter yang terhimpun dalam MER-C terus
menerus meminta Pemerintah dan KPU untuk peduli dan turun
langsung melihat korban-korban yang sakit dan mengambil
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
72
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

kebijakan segera, namun permintaan itu dianggap angin lalu. Malah


Dr Jose Rizal bermaksud menggugat ke Mahkamah Keadilan
Internasional (ICJ), ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC), dan
Dewan Hak-hak Asasi Manusia di PBB (UNHRC) ke Geneva dan Den
Haag. Namun sepertinya ada rintangan politik-diplomatik bagi
MER-C untuk melaksanakan rencananya.
Saya cuma khawatir, seperti pendapat yang luas di ma-
syarakat kita bahwa rezeki (Arab: rizqi) yang halal akan membawa
berkah, sedangkan yang haram membawa musibah. Termasuk
rezeki dari langit adalah keluarga, kesehatan, harta, dan kekuasaan.
Saya tidak pernah dapat memastikan apakah kekuasaan Jokowi
pada periode kepresidenannya yang pertama dan kedua ini, yang
masih berjalan, termasuk membawa berkah atau yang membawa
musibah. Wallahu’alam. ●
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 73
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
BAB 13

Masa Depan Papua


Barat dan Papua

epublik Indonesia resmi memperoleh West Guinea

R (sekarang Propinsi Papua Barat dan Propinsi Papua) setelah


dilakukan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act
of Free Choice bagi rakyat di kedua provinsi tersebut pada 2 Agustus
1969, berdasarkan New York Agreement antara Indonesia dan
Belanda di New York, sesuai salah satu resolusi SU PBB 1962. Resolusi
itu berisi ketentuan bahwa otoritas PBB sementara mengambil alih
urusan West New Guinea dari kekuasaan Belanda.
Ditentukan bahwa Pemerintah Indonesia agar menyeleng-
garakan Pepera (Act of Free Choice) untuk mengetahui apakah
rakyat West Guinea ikut Indonesia atau ikut Belanda. Hasil Act of
Free Choice itu adalah 1.025 orang Papua di West Guinea, yang
ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia secara aklamasi (100 persen)
memilih ikut Indonesia. Atas anjuran pejuang Papua, Frans Kasiepo,
wilayah Papua Indonesia itu, setelah Papua dinamakan Irian (Ikut
Republik Indonesia Anti Nedherland). Kemudian Pak Harto
menyetujui nama Irian Barat menjadi Irian Jaya.
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
74
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

Belakangan para tokoh Papua dari berbagai kalangan


menyebut Act of Free Choice itu sebagai Act of Mockery atau Act
of No Choice. Alasannya, Pepera itu dilakukan secara sepihak dan
1.025 orang itu tidak berhak mewakili jumlah penduduk etnik
Melanesia yang menghuni wilayah West Guinea yang berjumlah
800 ribu orang.
Namun Indonesia bersikukuh bahwa West Guinea yang
dijajah oleh Belanda merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
wilayah Hindia Belanda sehingga protes semacam itu tidak usah
diperhatikan. Apalagi SU PBB telah mengesahkannya lewat resolusi
2504. Pada 2004 Pemerintah Indonesia kemudian memecah Provinsi
Papua menjadi Papua Barat dan Papua, sampai sekarang.
Ada baiknya kita mencoba memahami sungguh-sungguh
dan memperhatikan mengapa rakyat kita di dua provinsi itu terus
bergejolak. Dari waktu ke waktu bukan makin reda, tetapi justru
kian bergolak. Kata orang, pemimpin yang bijak dan arif harus
pandai mendengar, bukan hanya pandai bicara. Juga tentu bersedia
melakukan perbaikan bila diyakini memang ada kelemahan atau
kesalahan dari kebijakan atau politik yang selama ini telah ditempuh.
Jangan seperti omongan Luhut, “Ya kalau orang Papua
enggak ada gejolak bukan orang Papua namanya”. Omongan seperti
ini tentu membuat rakyat Papua lebih marah lagi. Kita perhatikan
beberapa butir berikut ini:
Pertama, semakin luas opini di kalangan masyarakat Papua
bahwa transfer kekuasaan dari Belanda ke Indonesia lewat Act of
Free Choice 1969 harus dibatalkan. Keputusan PBB 51 tahun yang
lalu itu telah mengesahkan hasil Pepera, namun kini terus digugat
oleh tokoh-tokoh antara lain Benny Wanda, ketua ULMWP (United
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 75
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
Liberation Movement for West Papua). Dia sampai batas tertentu
mendapat dukungan internasional agar PBB meninjau ulang hasil
Pepera 1969. Misalnya, Presiden Senegal, Abdulaye Wade, me-
nyatakan dalam sebuah konferensi di Dakar, ibu kota Senegal,
bahwa “West Papua is now an issue for all black Africans” pada 23
Agustus 2019. Sementara Parlemen Uganda juga menyatakan
dukungan penuh untuk kemerdekaan Papua Barat.
Bahwa Benny Wenda sampai dijadikan warga kehormatan
kota Oxford menunjukkan simpati Inggris pada langkah-langkah
ULMWP. Jacob Rumbiak, sekretaris ULMWP, juga sangat aktif
berkeliling ke kampus-kampus besar di luar negeri menjual gagasan
pentingnya re-run Act of Free Choice 1969 yang lalu. Usaha ULMWP
sangat gigih untuk menembus PBB agar isu Papua Barat merdeka
masuk ke jadwal SU PBB agar ada referendum untuk Papua seperti
referendum di Timor Timur tahun 1999 yang melahirkan Timor
Leste.
Kita sebaiknya tidak meremehkan gerakan internasional
ULMWP. Lebih baik sedia payung sebelum hujan.
Kedua, mulai tercetak di benak banyak kalangan bahwa telah
terjadi pelanggaran HAM sejak Papua dan Papua Barat bergabung
dengan Indonesia. Di sini kita perlu merenung bahwa memang ada
ekses serius hilangnya nyawa orang-orang tidak berdosa di Papua,
karena mengekspresikan keinginan merdeka lewat pengibaran
bendera Bintang Kejora. Sementara itu, banyak kalangan LSM
internasional yang menyebarkan hoax, seolah yang terjadi di Papua
dan Papua Barat adalah sebuah bentuk genocide.
Ketiga, telah terjadi ketidakadilan ekonomi bagi rakyat Papua.
Di Papua Barat misalnya, British Petroleum (BP) mengeruk gas alam
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
76
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

dari Lapangan Gas Tangguh siang malam sejak 2002. Pemerintahan


Megawati menjual gas tersebut ke China dalam suatu kontrak jangka
panjang. Hal yang merugikan adalah bahwa harga jual gas hanya
berkisar US$ 2,4 – US$ 3,35 per MMBtu, yang berlaku untuk 20 tahun,
tidak peduli jika terjadi kenaikan harga gas internasional. Padahal,
harga jual gas biasanya berubah naik atau turun sesuai fluktuasi
harga minyak dunia, dan sempat mencapai US$ 12 per MMBtu.
Setelah dirugikan puluhan tahun dengan harga jual gas Tangguh
yang rendah, pada 2014 pemerintahan SBY akhirnya berhasil
menegosiasikan harga menjadi lebih baik, yakni sekitar US$ 12 per
MMBtu.
Di Papua, Freeport-McMoran bukan saja menjadi semacam
negara dalam negara, tetapi “negara” di atas negara. Di Papua PT
Freeport (asing) dan MIFEE (nasional) menjadi musuh rakyat Papua.
Keempat, di samping perusahaan asing seperti BP di Papua
Barat dan Freeport-McMoran di Papua, kehancuran ekologi (bahkan
pembunuhan ekologi/ecocide) berjalan terus tanpa henti.
Sumbangan Freeport yang berupa royalti dan pajak buat APBN
Indonesia rata-rata hanya 0,8 persen. Jadi andaikata Freeport ditutup
dan tidak diperpanjang lagi, ekonomi Indonesia tidak akan
terpengaruh sama sekali.
Akan tetapi kehancuran ekologi yang tidak mungkin
diperbaiki dengan cara apa saja, sesungguhnya lebih berbahaya
lagi. Menirukan pendapat Prof Agus Sumule dari Universitas Papua:
Keputusan seluruh perusahaan ekstraktif seperti BP dan Freeport
ditentukan 100 persen oleh Jakarta. Setelah 30 tahunan semua
akan musnah. Tidak ada lagi yang tersisa. Kecuali limbah toxid untuk
rakyat Papua.
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 77
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
Kelima, sangat lucu kalau ada tuduhan telah terjadi rasialisme
terhadap rakyat Papua. Tetapi itu menurut kita. Namun banyak
tokoh Papua pro-kemerdekaan yang menuduh ada rasisme
institusional yang dilakukan Indonesia sejak 1969. Musibah yang
terjadi pada Juli-Agustus 2019 karena ucapan tidak senonoh dari
sejumlah orang terhadap mahasiswa Papua di asrama mereka di
Surabaya ternyata memicu huru-hara di banyak kota besar di
Indonesia.
Di antara kita banyak yang kaget melihat demikian luasnya
warga Papua bergerak serentak menuntut kemerdekaan Papua. Di
antara intelektual Papua ada yang berkomentar dulu Papua dijajah
oleh White Colonialism, sekarang oleh Brown Colonialism.
Pemerintahan Jokowi rada panik pada Agustus 2019
menghadapi unjuk rasa yang sampai merambat ke ibu kota di depan
istana. Akhirnya pemerintah pusat memblokir akses internet di
Papua (19 kota/kabupaten) dan Papua Barat (13 kota/kabupaten).
Dilaporkan oleh lima LSM terkemuka ke PTUN, Jokowi dan
Menkominfo divonis melanggar hukum. Tentu dua tokoh kita ini
tersenyum kecil karena harus membayar biaya perkara sebesar Rp.
475.000,- Akan tetapi yang lebih parah adalah pelarangan wartawan
asing dan perwakilan PBB yang tidak pernah diberi izin masuk ke
Papua dan Papua Barat.
Pelarangan itu tetap berlaku sampai sekarang, sehingga
mereka menyimpulkan memang ada yang ditutupi oleh pemerintah
Jakarta. Otomatis hal ini membuat citra Indonesia menjadi negatif
di mata publik internasional.
Keenam, kesadaran rakyat Papua makin dalam bahwa bukan
saja korporasi-korporasi ekstraktif asing semisal BP, Freeport, dan
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
78
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

korporasi yang lebih kecil dari Perancis, Spanyol, Norwegia dan lain-
lain telah menyedot kekayaan alam Papua dan dibawa ke luar negeri,
namun juga perusahaan-perusahaan dalam negeri.
Sebagai misal MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy
Estate). MIFEE ini membagi tanah Merauke seperti membagi tanah
kakeknya sendiri. Dan jangan lupa, semuanya seizin Pemerintah
Pusat. MIFEE bergerak sejak 2008, yang sebelumnya bernama MIRE
(Merauke Integrated Rice Estate) tahun 2006.
Lihatlah tanah di Merauke dibagi-bagi oleh 33 perusahaan
dalam negeri yang bergerak di perkebunan kayu, sawit, tebu, jagung,
padi, dan pengolahan kayu. Misalnya PT Kerta Kencana memperoleh
160 ribu hektare, PT Balikpapan Forest Indo 45 ribu hektare, di
bidang sawit PT Energi Hijau Kencana, 90 ribu hektare, di bidang
pertebuan PT Hardaya Sugar Papua 45 ribu hektare, PT Agri Surya
Agung 40 ribu hektare, di bidang perjagungan PT Medco Papua
Alam 74 ribu hektare, dan banyak PT lainnya yang bila dijumlahkan
telah membagi-bagi sekitar 2 juta hektare tanah milik rakyat Papua
di Merauke. Perampasan lahan ini punya tujuan tunggal: memenuhi
semata-mata kebutuhan PT-PT ekstraktif itu. Bukan untuk memenuhi
kebutuhan pangan nasional seperti jargon yang dijual selama ini.
Sayang sekali pemerintahan Jokowi bukannya menghentikan
perampokan sebagian tanah Merauke itu, tetapi melanjutkan secara
konsisten.
Akhirnya perlu kita catat perkembangan mutakhir Papua
dan Papua Barat. Setelah kejadian George Floyd yang diinjak
lehernya oleh polisi sampai mati di Minneapolis pada 25 Mei 2020,
demo bermunculan di semua kota besar Amerika membawa tagar
“Black Lives Matter”. Yang sangat spektakuler adalah setelah itu
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 79
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
segera semua kota besar di Papua Barat dan Papua juga menyak-
sikan merebaknya tagar “Papuan Lives Matter”.
Saya usul, sebelum semuanya terlambat, secepatnya pende-
katan yang selama ini dilakukan Jakarta di Papua yang lebih banyak
bernuansa security and military approach dalam mengatasi gejolak
sosial, politik dan ekonomi Papua dan Papua Barat, segera di-
hentikan.
Pendekatan keamanan dan militer itu dipadukan dengan
UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat,
ternyata belum dapat mengatasi gejolak keinginan merdeka dari
rakyat Papua. Paling tidak propaganda yang dilancarkan oleh Benny
Wenda lewat ULMWP dan diperkuat oleh aksi-aksi damai pimpinan
Filep Karma yang menulis buku berjudul “As If We’re Half Animals”,
terus saja dan tampak semakin besar pengikutnya.
Justice Approach dalam arti luas barangkali dapat segera
diterapkan. Semua korporasi asing yang sudah melakukan ecocide,
menghancurkan lingkungan harus dipaksa berhenti dan diterminasi.
Pemerintah selalu berkilah bahwa ada prinsip hukum internasional
yang berbunyi pacta sunt servanda, perjanjian harus ditunaikan.
Padahal ada prinsip yang sederajat, berbunyi rebus sicstantibus
(things thus standing) yang bermakna bila dalam perjalanan
pelaksanaan perjanjian terjadi perubahan situasi yang meruntuhkan
maksud pokok perjanjian itu, maka pihak yang dirugikan langsung
dapat meminta renegosiasi bahkan minta terminasi alias peng-
akhiran perjanjian.
Lihatlah musnahnya ratusan kilometer persegi pegunungan
Jaya Wijaya yang berubah menjadi legokan atau lubang raksasa
gara-gara tambang Freeport yang ugal-ugalan mengeksploitasi
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
80
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

dan mengekstraksi tambang emas di sana sambil menghancurkan


lingkungan secara total. Seharusnya Freeport bisa ditutup pada
pertengahan 1990-an. Tetapi kita tidak berani. Alasannya bila
Freeport marah, kasus itu akan dibawa ke arbitrase nasional, dan
kita pasti kalah.
Sebagai negara terbesar keempat di muka bumi, seharusnya
Indonesia bersikap tegas bahwa sumber daya alam Indonesia adalah
untuk bangsa Indonesia sendiri. Korporasi asing silakan melakukan
investasi di bidang pertambangan, pertanian, perkebunan, dan
sebagainya, namun Indonesia tetap menjadi negara tuan, bukan
negara kacung yang menderita kompleks inferioritas.
Lihatlah China misalnya. Dalam membela kepentingan
ekonominya, China membuat peraturan, setiap sengketa dengan
korporasi asing harus dibawa ke arbitrase China sendiri. Ternyata
semua korporasi asing yang bergerak di China mematuhinya. Bolivia
negara kecil, tetapi presidennya punya nyali dan berjiwa petarung.
Evo Morales, begitu dilantik jadi Presiden pada 2006 langsung
memanggil seluruh korporasi asing yang ada di Bolivia. Semua
korporasi asing diberitahu bahwa secara sepihak pemerintah yang
baru akan membuat aturan baru yang berpihak pada kepentingan
rakyat Bolivia. Dengan aturan baru itu semua korporasi asing masih
mendapat untung, tetapi jauh lebih kecil, tidak bisa semena-mena
lagi. Anehnya, seluruh korporasi asing semua setuju, tidak ada yang
meninggalkan Bolivia.
Sayangnya Indonesia negara besar, tetapi elite penguasanya
bernyali kerdil dan terus saja menjadi subordinat berbagai korporasi
asing itu. Di atas kertas setelah Inalum membayar 3,8 miliar dolar,
Indonesia menguasai 51 persen saham PT Freeport. Ternyata
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 81
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
Freeport masih 100 persen menjadi operatornya, sehingga ada
kecurigaan, siapa tahu saham 51 persen milik Indonesia tidak banyak
mengubah keadaan, kecuali jutaan limbah tailing yang menutupi
ratusan kilometer persegi di sekitar pertambangan Freeport semakin
membawa kesengsaraan puluhan ribu rakyat Papua.
Saya yakin, sudah sangat mendesak bagi kita untuk menatap,
merenung, dan berpikir realistis dalam menghadapi perkembangan
mutakhir di Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua. Situasi di
lapangan bergerak sangat cepat, sehingga kita tidak boleh berleha-
leha dan menganggap perkembangan politik di dua provinsi paling
timur Indonesia itu masih normal dan terkendali.
Tidak berlebih bila Jakarta Post pada 2 September 2019
menurunkan tulisan berjudul “How to lose propaganda war over
Papua”. Harus kita akui bahwa ofensif diplomatik dan propaganda
tokoh-tokoh di dua provinsi Papua sudah memetik hasil besar di
dalam dan luar negeri. Yang dilakukan pemerintah hanyalah de-
fensif, dan cenderung menganggap enteng perkembangan per-
golakan saudara-saudara kita di Papua Barat dan Papua.
Di dalam negeri, khususnya di dua provinsi itu, keinginan
merdeka dari NKRI lewat referendum yang disupervisi oleh PBB
sudah sangat meluas. Sangat keliru kalau kita terus menganggap
sepele perkembangan politik yang sangat dramatis dan drastis di
bumi Papua itu. Secara resmi 57 pastor pribumi Katolik Papua dari
lima keuskupan se Regio-Papua menyatakan sikap agar Pemerintah
Jakarta memberi kesempatan kepada orang Papua untuk melakukan
referendum, apakah tetap bersama Indonesia, atau membangun
Negara Papua sendiri. Pernyataan sikap itu diluncurkan pada 21
Juli 2020.
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
82
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

Undang-undang Otonomi Khusus untuk Papua ditentang


oleh hampir seluruh masyarakat di tanah Papua. Lukas Enembe,
Gubernur Papua, Majelis Rakyat Papua dan Papua Barat, ULMWP,
FRIWP, WPCC, Solidaritas Perempuan Papua, Pemuda dan Mahasiswa
Papua menolak Otonomi Khusus jilid II. Di antara mereka ada yang
mengibaratkan, Otsus hakekatnya sebuah peti mati (coffin) untuk
rakyat Papua. Juga ada yang mengibaratkan Otsus seperti “makanan
beracun” yang berakhir dengan kematian rakyat Papua.
Dewan Gereja Papua (WPCC) juga menolak Otsus Jilid Dua,
dengan alasan karena dirancang sepihak oleh Jakarta. Refleksi
tahunan yang dipublikasikan pada 5 Juli 2020 itu bertema: “Tuhan
Otsus dan Pembangunan Indonesia di Papua sudah mati”. Tema itu
menunjukkan kekesalan dan kemarahan masyarakat Papua yang
kini sudah sama cerdasnya, sama pintarnya, sama tajamnya dengan
masyarakat suku-suku lainnya di Indonesia.
Sungguh sangat gegabah bila di antara kita ada yang masih
menganggap saudara-saudara di Papua kalah cerdas dan kalah
pintar dibandingkan dengan suku atau etnik lainnya. Perkembangan
cukup mengagetkan adalah apa yang terjadi di Kantor Dewan Adat
Papua (DAP) Expo, Wamena pada 22 Juli 2020, tatkala diumumkan
sebuah petisi bernama Peluncuran Petisi Rakyat Papua Tolak Otsus
jilid II. Yang hadir tidak sembarangan, tokoh-tokoh seperti Filep
Karma, Yosepha Alomang, Dewan Adat Papua, Perwakilan Akademisi
Uncen, dan 23 organisasi pergerakan yang terdiri dari LSM dan
berbagai organisasi akar rumput.
Filep Karma mungkin lebih berpengaruh dari Benny Wenda,
karena ketekunannya dalam menanamkan kesadaran Papua, bahwa
Papua bisa mandiri, terhormat dan lebih punya masa depan
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 83
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
daripada terus bersama Indonesia, dengan segala alasan dan
argumen. Sementara Mama Alomang (Yosepha Alomang) dianggap
sebagai Ibu Kartini Papua. Tokoh wanita yang sudah sangat sepuh
tetapi berani menentang PT Freeport itu tidak pernah lelah
membangun rasa percaya diri rakyat Papua.
Saya melihat dukungan internasional pada upaya Papua
melepaskan diri dari NKRI juga semakin luas, terutama di kampus-
kampus Australia, Inggris, dan Amerika. Hampir semua negara
Melanesia mulai terbuka mendukung perjuangan kemerdekaan
Papua. Pada 30 Juli 2020 rakyat Vanuatu di samping merayakan
kemerdekaannya yang ke-40, juga menyatakan dukungan Vanuatu
untuk kemerdekaan Papua dan Papua Barat.
Pada 23 Juli 2020 ada pawai ribuan orang di kota Port Villa
yang membawa dua bendera, bendera Vanuatu, dan bendera
Bintang Kejora Papua. Dalam setiap forum internasional, Vanuatu
secara konsisten menyatakan dukungannya pada kemerdekaan
Papua dan Papua Barat.
Memang, bagaimana masa depan Papua Barat dan Papua
tidak ada yang sanggup meramalkan. Hanya saja dalam sejarah
bangsa-bangsa sejak dulu sampai sekarang ada sebuah keajegan,
atau katakanlah lebih tegas lagi sunnatullah, bahwa setiap kekuasaan
atau rezim penguasa yang tidak peduli pada keadilan, pasti akhirnya
roboh atau runtuh. Soal kapan, bukan urusan manusia. Manusia
hanya berusaha, hasil akhir di tangan Yang Maha Esa. ●
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 85
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
Rekomendasi

aya berpendapat bahwa 13 butir masalah yang saya bahas

S secara singkat di atas hakikatnya merupakan pencapaian


negatif atau katakanlah, prestasi negatif Jokowi. Tidak
sepantasnya Pak Jokowi mencari kambing hitam buat enam tahun
kegagalannya di hampir semua sektor kehidupan nasional bangsa
Indonesia.
Saya melihat inti permasalahannya (the crux of the problem)
adalah pada kegagalan kepemimpinan (leadership failure). Saya
melihat Pak Joko Widodo terbukti tidak kompeten menjadi Presiden
Republik Indonesia. Bisa dikatakan, sejak tahun pertama Pak Jokowi
menjadi Presiden, dia dan sebagian menterinya sudah membawa
portofolio of failure.
Tidak tampak Pak Jokowi memiliki wawasan yang jelas
tentang arah pembangunan Indonesia yang seharusnya. Pema-
haman dan penguasaannya pada jiwa dan aksara Pancasila dan
UUD RI 1945 masih kabur. Wawasannya tentang globalisasi dan
geopolitik pada umumnya juga tidak jelas. Di masa krisis seperti
sekarang ini terlalu jelas bahwa Pak Jokowi memang tidak punya
kompetensi kepemimpinan.
Kegagalan kepemimpinannya telah melahirkan kegagalan
(fiasco) multidimensional. Fiasco itu terjadi hampir di seantero
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
86
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

kehidupan nasional bangsa Indonesia. Kegagalan demokrasi, yang


telah berubah menjadi oligarki, otoritarianisme, nepotisme, dan
menjadi rezim pemborong kebenaran.
Kegagalan ekonomi yang berupa makin lebarnya kesenja-
ngan ekonomi antara lapisan kaya dan super kaya di satu pihak dan
lapisan miskin dan super miskin di lain pihak.
Kegagalan sosial yang makin luas sehingga jarak sosial kaya-
miskin makin menganga dan dicoba diatasi hanya dengan Bantuan
Tunai Langsung (BLT) serta pembagian beras miskin (raskin) untuk
lapisan kaum yang tidak berpunya (the have-nots). Sejatinya hal ini
mengandung semacam penghinaan pada lapisan kaum miskin.
Kegagalan penegakan hukum sudah demikian luas sehingga
Indonesia mendekati tahapan lawless country. Masyarakat diletakkan
dalam hukum rimba. Yang kuat, yang punya back-up kekuasaan,
pasti menang. Mereka yang lemah dan miskin dipastikan pasti kalah.
Kita jadi ingat apa yang diramalkan oleh Jusuf Kalla beberapa
bulan sebelum Jokowi ikut pilpres 2014. Kalla mengingatkan supaya
Jokowi membuktikan dulu sukses sebagai gubernur DKI, barulah
ikut pilpres. Urusan negara bukan urusan uji coba, tetapi capres
harus memiliki pengetahuan dan pengalaman politik yang cukup
memadai. Misalnya sebagai gubernur yang berhasil atau anggota
DPR-MPR atau DPD lebih dulu. Kalau tidak, “bisa hancur negara kita”.
Saya khawatir tanda-tanda kehancuran atau kebangkrutan bangsa
Indonesia, seperti diramalkan oleh Pak Jusuf Kalla, kini semakin
nyata di depan kita.
Di dalam ilmu kepemimpinan, seorang calon pemimpin
dapat menjadi pemimpin yang berhasil manakala ia punya
kompetensi. Seorang pemimpin punya kompetensi bila ia punya
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 87
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
pengetahuan yang baik tentang masyarakatnya, punya kejujuran,
punya wawasan nasional, regional, dan global serta menomor-
satukan kepentingan bangsa dan rakyatnya di atas kepentingan
partainya atau kepentingan lapisan kaya.
Jokowi harus segera berhenti, secepat mungkin, sebagai
petugas partai. Seorang pemimpin yang bekerja sebagai petugas
partai atau pelaksana kepentingan lapisan kaya, mustahil dapat
membawa bangsa ke masyarakat yang berkeadilan dan ber-
kemakmuran.
Seorang pengamat dan wartawan asing pernah menulis
bahwa Jokowi dan para pembantunya bermain smoke and mirror
game, bermain membuat asap yang menutupi cermin realitas.
Rakyat terkecoh oleh asap tebal yang berupa informasi resmi dari
istana bahwa Indonesia sudah berhasil membangun kehidupan
nasional yang bagus dan segera mencapai keberhasilan sosial,
ekonomi, dan politik. Jokowi dan para pembantu terdekatnya
berhasil menjadi spin doctors atau ahli penjungkirbalikan kenyataan.
Akan tetapi begitu asap itu menipis dan kemudian sirna maka
kenyataan apa adanya segera terkuak dan mengagetkan anak-anak
bangsa. Ternyata kenyataan itu sungguh pahit. Kini asap itu makin
tipis, sebagian besar rakyat sulit untuk dibohongi lagi, bahwa enam
tahun rezim Jokowi telah membawa Indonesia ke dataran yang
lebih rendah dan tidak mustahil semakin mendekati jurang sosial,
politik, dan ekonomi yang curam, tajam dan dalam.
Saya ingin membuat imbauan pada TNI dan Polri. Menurut
pasal 30 UUD 1945, TNI (AD, AL dan AU) sebagai alat negara bertugas
mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan
kedaulatan negara. Sedangkan Kepolisian Negara Republik Indo-
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
88
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

nesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban


masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat,
serta menegakkan hukum.
Dalam pada itu TNI punya doktrin Sapta Marga, Sumpah
Prajurit, dan 8 Wajib TNI, sedangkan Polri memiliki Tribata, Catur
Prasetya serta 11 asas kepemimpinan yang sangat ideal, sesuai
dengan moralitas yang luhur dan adiluhung.
Baik TNI maupun Polri adalah alat negara. Kesetiaan puncak
keduanya adalah pada negara, bukan pada pemerintah. Pemerintah
yang konsekuen menjalankan ideologi negara (Pancasila), Bhineka
Tunggal Ika, UUD 1945 dan benar-benar menjaga NKRI, pemerintah
itu otomatis harus didukung, dilindungi dan dibela oleh TNI dan
Polri. Namun loyalitas TNI dan Polri pada Pemerintah bersifat
fakultatif, tergantung apakah pemerintah masih lurus atau sudah
menyeleweng dari Pancasila dan UUD 1945.
Karena itu, bila ada pemerintah yang bergeser dari rel yang
benar, TNI dan Polri akan mencabut loyalitas mereka, secara
otomatis. Mengapa? Karena TNI dan Polri punya loyalitas wajib,
yakni pada bangsa dan rakyat Indonesia. Kepentingan bangsa
adalah juga kepentingan TNI dan Polri. Dan sama sekali tidak ada
cerita TNI dan Polri membela salah satu golongan, partai, agama,
suku, atau etnik tertentu.
Keduanya berada di atas kepentingan semua golongan.
Kepentingan TNI dan Polri sama dan sebangun dengan kepentingan
bangsa Indonesia. Kepentingan nasional bangsa Indonesia adalah
juga kepentingan TNI dan Polri.
Secara demikian kita mengimbau dan mengingatkan, jangan
sampai pimpinan TNI dan Polri membuka peluang ikut terseret ke
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 89
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
dalam kepentingan politik yang bersifat sesaat, namun risikonya
bisa jadi musibah bangsa sepanjang masa. Ada sebuah rumus
mutlak yang harus kita ingat selalu, yakni, begitu TNI dan Polri ikut
campur politik praktis, ikut power politics partai-partai, maka secara
otomatis TNI dan Polri pecah ke dalam. Pasti, tidak bisa tidak.
Di zaman peralihan Orde Baru ke Orde Reformasi, ada dua
istilah yang sangat populer waktu itu, yakni TNI adalah motivator
dan stabilisator demokrasi. Polri tidak disebut dalam semboyan itu,
karena pada waktu itu Polri masih berada dalam kesatuan ABRI.
Secara bertahap TNI-Polri mundur dari gelanggang politik. Setelah
itu tidak ada lagi Fraksi TNI/Polri di DPRD dan DPR-RI.
Di mata rakyat TNI dan Polri pasca- Orde Baru tetap punya
nama yang harum, karena reputasinya yang profesional, pro-
porsional, dan konstitusional. Maka apabila sekarang TNI dan Polri
sampai membiarkan diri mau diseret ke politik praktis oleh siapapun,
termasuk oleh Presiden, TNI dan Polri bisa menjadi provokator dan
destabilisator demokrasi.
Ada baiknya kita perhatikan ungkapan kearifan para
pendahulu kita, jangan sampai kita terjebak atau terperangkap
pada kesenangan atau kepentingan sesaat, tetapi risiko buruknya
bisa dialami sepanjang musim hujan dan musim kemarau. Artinya,
kehancuran sepanjang masa.
Ada baiknya kita ingatkan pada generasi milenial Indonesia,
yang menurut banyak pengamat berjumlah sekitar 60 juta, yakni
mereka yang lahir antara 1980 dan 1996. Mereka jangan sampai
lupa, hakikatnya mereka itu adalah the cream of nation atau
kelompok paling menjanjikan, karena kegesitannya untuk mencerna
perubahan, sang technology savvy, sangat kreatif, tak pernah nyaman
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
90
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

dengan status quo, sangat menguasai fenomena globalisasi dalam


arti luas, dan lain sebagainya.
Hanya saja, saran saya, jangan mengikuti kecenderungan
milenial di negara-negara Barat yang menjauhi agama dan agak
abai terhadap sejarah. Alangkah idealnya bila generasi milenial
Indonesia tetap memegang teguh agamanya dan tidak melupakan
sejarah bangsa sendiri. Ini perlu, karena Generation Y ini akan
membawa Indonesia ke depan.
Apalagi sering dikatakan banyak pengamat bahwa generasi
milenial selalu menjadi the most looking forward group, kelompok
anak bangsa yang paling keras berpikir ke masa depan
Saya juga mengimbau pada para m-t-c, milikilah logika dan
perasaan kemanusiaan universal. Anda lahir di Nusantara, minum
dan makan dari kemurahan Ibu Pertiwi Indonesia. Anda semua
dimanjakan oleh hampir seluruh rezim yang pernah berkuasa,
sebagai lapisan rakyat yang dibiarkan menguasai perekonomian
Indonesia.
Kendalikan ambisi dan syahwat Anda untuk juga menguasai
politik kekuasaan di negara yang sudah sangat bermurah hati pada
Anda semua. Sampai-sampai di zaman Orde Baru, bahkan sampai
jaman reformasi, posisi Anda aman dan dilindungi lewat sebuah
larangan keras bagi semua anak bangsa. Larangan itu bernama
SARA.
Supaya tidak pernah ada kata-kata yang merugikan posisi
istimewa warga negara Indonesia berlatar belakang etnik Tionghoa.
Kata-kata itu begitu sakti. ”Jangan Menyinggung SARA”. SARA,
kepanjangan dari Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan. Dilarang
keras rakyat mengungkit-ungkit SARA dengan alasan apa pun.
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 91
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
Padahal SARA adalah sebuah trik busuk untuk membungkam anak-
anak bangsa yang menggugat ketidakadilan ekonomi yang terus
masih berlangsung sampai sekarang, oleh WNI tertentu.
Berdasarkan 13 prestasi negatif Pak Jokowi, kemunduran
sistematik dan konsisten di 13 kehidupan bangsa seperti di atas,
maka saya ajukan dua opsi pilihan buat Pak Jokowi.
Pertama, turun (resign) secara sukarela karena ternyata Pak
Jokowi tidak punya kompetensi menjadi Presiden Indonesia di
pergantian abad dan milenium dewasa ini. Disertai dengan
permintaan maaf yang tulus kepada seluruh bangsa dan rakyat
Indonesia, karena Pak Jokowi telah berusaha sesuai kemampuan,
namun tidak berhasil.
Atau opsi kedua, terus, tapi banting setir kebijakan nasional
yang mengarah kepada pembangunan nasional di segala bidang
yang benar-benar berasas Pancasila, UUD 1945, melanjutkan tradisi
dan perjuangan serta pengorbanan para founding mothers dan
founding fathers kita.
Sementara itu, ada pakar politik yang menyatakan, “tidak
mungkin sebuah pemerintahan yang inkompeten dapat diperbaiki”
(There is no cure for an incompetent government). Namun masih ada
harapan, kalau sekitar separuh menteri Kabinet Jokowi II yang tidak
kompeten segera di-reshuffle dengan mereka yang jauh lebih
mumpuni berdasarkan track record, pengetahuan, pengalaman dan
komitmen kerakyatan, tentu masih ada harapan. Akan tetapi Pak
Jokowi sendiri harus berubah total dan segera memulai
membuktikan bahwa negara dengan segenap aparat kekuasaannya
harus dapat mengalahkan, paling tidak menjinakkan secara cepat
kekuatan perbanditan dari kelompok mafia seperti tersebut di atas.
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
92
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

Saya yakin, sebagian besar rakyat Indonesia yang masih


berpikir merdeka, emoh penjajahan ekonomi dan politik, yang
terselubung maupun yang terang-terangan, pasti akan mendukung
langkah-langkah perbaikan guna mengatasi setidaknya 13 prestasi
negatif pemerintahan Pak Jokowi selama ini.
Anak-anak bangsa yang setia pada perjuangan HOS
Tjokroaminoto, Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Tomo, KH Hasyim
Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan, H Agus Salim, Mohammad Natsir,
dan puluhan para pahlawan nasional lainnya, pasti akan bergabung
bersama seluruh anak bangsa lainnya yang masih setia pada NKRI,
Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika, guna menegakkan
marwah bangsa.
Pak Jokowi, Anda masih punya kartu kuat untuk melakukan
terobosan politik yang radikal demi masa depan Indonesia yang
kini cukup suram.
Rumusnya sederhana: Bangsa Indonesia jangan dibelah,
tetapi satu-padukan. Jangan Anda teruskan proses pembelahan
bangsa yang sangat berbahaya. Hentikan politik Anda selama ini
yang membuat dua kelompok besar, Islam dan Nasionalis-Sekularis
menjadi saling mengeluarkan, saling berhadapan (mutually
exclusive).
Sebaliknya, sebagai Presiden, kalau masih ingin maju terus
sampai selesai dengan husnul khatimah pada 2024, mulai upayakan
proses saling mendekatkan di antara dua kubu, sehingga dapat
menuju persatuan yang bersifat saling merangkul secara ikhlas
demi kelangsungan bangsa dan negara Indonesia. Dus, mutually
inclusive.
Seruan Allahu Akbar umat Islam yang dikumandangkan setiap
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI: 93
MUNDUR ATAU TERUS

RISALAH KEBANGSAAN
kali umat Islam mengadakan rapat akbar atau pertemuan-perte-
muan massa, jangan dicurigai dengan berbagai kecurigaan aneh-
aneh. Bangsa Indonesia dari Merauke sampai Sabang, dari Pacitan
sampai Kalimantan setiap hari mendengarkan seruan Allahu Akbar
puluhan kali dari azan dan ikamah yang dikumandangkan dari
seluruh masjid dan mushola.
Allahu Akbar berintikan hanya Allah yang Maha Besar, dan
berisikan ajaran kemerdekaan dan kebebasan. Allahu Akbar
memerintahkan umat beriman untuk tidak pernah tunduk pada
penjajahan, sampai kapan pun.
Sementara pekik kemerdekaan MERDEKA! yang dikuman-
dangkan oleh bangsa Indonesia adalah seruan yang paralel se-
penuhnya dengan isi seruan takbir.
Karena itulah ketika saya berada di tengah-tengah massa
umat Islam, di tengah para kyai, habaib dan ustaz, saya selalu
mengingatkan jangan sampai lupa: ”Setelah menyerukan takbir,
langsung ikuti dengan pekik kemerdekaan”.
Bung Tomo, di samping dua Bung besar lain, yaitu Bung
Karno dan Bung Hatta, ketika mengusir penjajah Inggris dari
Surabaya pada November 1945, memekikkan berkali-kali: Allahu
Akbar, Merdeka! Gabungan Takbir dan Merdeka itu membakar
semangat rakyat Surabaya dari semua lapisan sehingga pasukan
Inggris lari terbirit-birit.
Tantangan berat buat Pak Jokowi adalah keberanian mewarisi
tradisi perjuangan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo dan para
pendahulu kita yang segenap hidup mereka, mereka abdikan untuk
bangsa dan negara Indonesia. Tidak pernah terlintas dalam
kehidupan para pendiri bangsa itu untuk memperkaya diri, apalagi
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI:
94
RISALAH KEBANGSAAN MUNDUR ATAU TERUS

sampai menuhankan uang dan dunia.


Masih ada waktu empat tahun. Pak Jokowi, bersihkan istana
dari elemen-elemen yang merusak kehidupan Bangsa Indonesia.
Kalau bingung karena masukan dan nasihat yang simpang siur dari
oknum-oknum yang punya vested interest yang berbahaya, tanyalah
pada hati nurani Anda. Bisikan nurani selalu berupa cahaya yang
dapat membedakan mana benar mana salah, mana haqq mana
bathil, mana adil mana zalim.
Saya, sebagai salah satu dari 270 jutaan anak bangsa, hanya
dapat mengingatkan, lain tidak. Seluruh Nabi dan Rasul yang
dilengkapi dengan sifat ma’shum (bebas jeratan dosa) dan dibimbing
wahyu saja hanya mengingatkan kaum atau umat masing-masing.
Tidak ada Nabi dan Rasul yang memaksakan kehendak.
Apalagi kita semua Pak Jokowi, hanya manusia biasa yang
sangat rentan dengan segala kesalahan dan dosa. Saya hanya dapat
menirukan pernyataan Nabi Syuaib AS: “Tidak ada yang aku inginkan
kecuali perbaikan sesuai kesanggupanku. Tidak ada pula keberha-
silan kecuali datang dari Allah. KepadaNya-lah aku bertawakal dan
kepada-Nya pula aku akan kembali.” (Qur’an Surat Hud: 88)
Allahu Akbar, Merdeka! ●

Al-Faqir
M. Amien Rais
R
PILIHAN BUAT PAK JOKOWI isalah Kebangsaan ini

MUNDUR menjelaskan secara


gamblang mengapa
M. Amien Rais selalu masuk

ATAU dalam barisan terdepan peng-


kritik pemerintahan Presiden

TERUS Joko Widodo. Terdapat 13 butir


masalah nasional yang dipa-
parkan tokoh reformasi ini
yang merupakan pencapaian negatif Jokowi selama kurang lebih
enam tahun masa jabatannya.
Beberapa di antara pencapaian buruk Jokowi yang diung-
kapkan Amien Rais adalah pembelahan terhadap bangsa Indonesia,
memberi angin kebangkitan komunisme, otoriterisme yang kian
pekat, suburnya oligarki, serta ekonomi yang semakin suram.
Namun Amien Rais tidak ingin hanya memberikan beragam
kritik tanpa adanya solusi. Oleh karena itu, di bagian akhir buku ini,
mantan ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ini mem-
berikan rekomendasi berupa dua pilihan untuk Jokowi.

"Demokrasi sejati selalu membuka lebar keran pertukaran


gagasan supaya muncul pilihan-pilihan alternatif bagi seluruh
anak bangsa. Pilihan yang bersifat pro bono publico, pilihan
yang menguntungkan kepentingan orang banyak sepantasnya
jadi pilihan kita. Sedangkan pilihan yang bersifat eksklusif untuk
sekelompok kecil yang cenderung memangsa (predatorik) ke-
pentingan bangsa atau kepentingan nasional biarlah terlempar
ke sampah sejarah."
- M. Amien Rais

Anda mungkin juga menyukai