Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PKN.

POTENSI DAN ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA

KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puja & Puji syukur atas rahmat & ridho Allah SWT, karena
tanpa Rhmat & RidhoNya, kita tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai
tepat waktu. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Drs. Anwar Sinare selaku dosen
pengampu kewarganegaraan yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kami yang selalu setia membantu dalam hal
mengumpulkan data-data untuk pembuatan Makalah ini.
Dalam makalah ini kami membahas tentang potensi dan ancaman serta disintegrasi
nasional yang sering di alami oleh bangsa kita. Harapan kami selaku penulis adalah agar para
pembaca setelah melihat isi makalah ini dapat mengerti daan memahami betapa pentingnya
menjaga dan mempertahankan kedaulatan NKRI.
Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui,.
maka dari itu kami mohon saran & kritik dari teman-teman maupun dosen agar kedepannya kami
bisa membuat makalah dengan lebih sempurna.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 latar belakang ................................................................................................................ 1
1.2 Rumusan masalah ......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Potensi dan ancaman NKRI .......................................................................................... 2
2.2 Indonesia dan ancaman disintegrasi.............................................................................. 3
2.3 Cara penanggulangan ancaman disintegrasi bangsa .................................................... 5
2.4 Kedudukan dan fungsi ketahanan nasional ................................................................... 10
2.5 Konsepsi ketahanan nasional ........................................................................................ 10
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 11
3.2 Saran ............................................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 14

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terbentuknya negara Indonesia dilatar belakangi oleh perjuangan seluruh bangsa. Sudah
sejak lama Indonesia menjadi incaran banyak negara atau bangsa lain, karena potensinya yang
besar dilihat dari wilayahnya yang luas dengan kekayaan alam yang banyak. Kenyataannya
ancaman datang tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam. Terbukti, setelah perjuangan
bangsa tercapai dengan terbentuknya NKRI, ancaman dan gangguan dari dalam juga timbul dari
yang bersifat kegiatan fisik sampai yang idiologis. Meski demikian, bangsa Indonesia memegang
satu komitmen bersama untuk tegaknya negara kesatuan Indonesia. Dorongan kesadaran bangsa
yang dipengaruhi kondisi dan letak geografis dengan dihadapkan pada lingkungan dunia yang
serba berubah akan memberikan motivasi dlam menciptakan suasana damai.

Ancaman disintegrasi bangsa dibeberapa bagian wilayah sudah berkembang sedemikian kuat.
Bahkan mendapatkan dukungan kuat sebagian masyarakat, segelintir elite politik lokal maupun
elite politik nasional dengan menggunakan beberapa issue global Issue tersebut meliputi issu
demokratisasi, HAM, lingkungan hidup dan lemahnya penegakan hukum serta sistem keamanan
wilayah perbatasan. Oleh sebab itu, pengaruh lingkungan global dan regional mampu menggeser
dan merubah tata nilai dan tata laku sosial budaya masyarakat Indonesia yang pada akhirnya
dapat membawa pengaruh besar terhadap berbagai aspek kehidupan termasuk pertahanan
keamanan.

Untuk itu pembangunan dan pengamanan wilayah NKRI harus dilakukan melalui pendekatan
beberapa aspek, terutama aspek demarkasi dan delimitasi garis batas negara, disamping itu
melalui pendekatan pembangunan kesejahteraan, politik, hukum, dan keamanan. Pembangunan
nasional yang diharapkan dapat menghasilkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan
masyarakat. Sehingga dapat dijadikan sebagai landasan yang kokoh dalam upaya mencapai
masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri dalam suasana tentram dan sejahtera lahir dan
batin, dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang berlandaskan Pancasila, pada
kenyataannya belum terwujud. Pancasila sebagai ideologi negara yang lahir dari ide-ide
bangsa yang mengandung nilai-nilai hakiki semakin terkikis oleh ideologi asing. Inilah berbagai
permasalahan yang kita hadapi dan menjadi tantangan kita bersama.

Menghadapi situasi dan kondisi demikian kita harus memiliki satu visi. Baik para pemimpin
pemerintahan, sipil maupun militer, juga para elite politik, tokoh masyarakat, tokoh agama dan
tokoh partai serta media massa. Penyamaan visi itu penting untuk mengatasi perbedaan-
perbedaan yang ada dan dapat menimbulkan permusuhan. Karena tidak ada satu negarapun
didunia toleran terhadap aspirasi rakyat di sebagian wilayah teritorial yang berniat
mengembangkan wacana dan berkeinginan memisahkan diri akibat dari ketidakpuasan yang
mendasar, terhadap keadilan sosial, keseimbangan pembangunan, pemerataan hasil
pembangunan dan hal-hal sejenisnya. Oleh karena itu diharapkan setiap warga negara harus
dapat mengendalikan emosi, sabar, dan tidak terlalu sensitif, sehingga bangsa dan negara kita
dapat terhindar dari semua situasi dan kondisi yang bernuansa konflik dan dapat mengakibatkan
disintegrasi bangsa.

1.2 Rumusan Masalah


A. Bagaimana potensi dan ancaman di NKRI?
B. Apa penyebab ancaman disintetegrasi di Indonesia?
C. Bagaimana cara penanggulangan ancaman disintegrasi bangsa?
D. Bagaiman kedudukan dan fungsi ketahanan nasional?
E. Bagaimana konsepsi ketahanan nasional?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Potensi dan ancaman di NKRI
Bela negara adalah upaya setiap warga negara untuk mempertahankan NKRI terhadap
ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri.

A. Ancaman dari dalam negeri.


Potensi yang dihadapi NKRI dari dalam negeri, antara lain :
a. Disintegrasi bangsa, melalui gerakan-gerakan separatis berdasarkan sentimen kesukuan atau
pemberontakan akibat ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat.
b. Keresahan sosial akibat ketimpangan kebijakan ekonomi dan pelanggaran Hak Azasi Manusia
yang pada gilirannya dapat menyebabkan huru hara/kerusuhan massa.
c. Upaya penggantian ideologi Pancasila dengan ideologi lain yang ekstrim atau tidak sesuai
dengan jiwa dan semangat perjuangan bangsa Indonesia.
d. Potensi konflik antar kelompok/golongan baik perbedaan pendapat dalam masalah politik,
maupun akibat masalah SARA.
e. Makar atau penggulingan pemerintah yang sah dan konstitusional.

Di masa transisi ke arah demokrasi sesuai tuntutan reformasi, potensi konflik antar
kelompok/golongan dalam masyarakat sangatlah besar. Perbedaan pendapat justru adalah esensi
dari demokrasi akan menjadi potensi konflik yang serius apabila salah satu pihak berkeras dalam
mempertahankan pendapat atau pendiriannya, sementara pihak yang lain berkeras memaksakan
kehendaknya. Contoh kasus FPI dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan (AKKB). Namun cara yang sesungguhnya merupakan ciri khas budaya bangsa
Indonesia itu tampaknya sudah dianggap kuno. Masalahnya, cara pengambilan keputusan
melalui pengambilan suara terbanyakpun (yang dianggap sebagai cara yang paling demokratis
dalam menyelesaikan perbedaan pendapat) seringkali menimbulkan rasa tidak puas bagi pihak
yang kalah, sehingga mereka memilih cara pengerahan massa atau melakukan tindak
kekerasan untuk memaksakan kehendaknya.

B. Ancaman dari luar negeri.


Dengan berakhirnya Perang Dingin pada awal tahun 1990an, maka ketegangan regional
di dunia umumnya, dan di kawasan Asia Tenggara khususnya dapat dikatakan berkurang.
Meskipun masih terdapat potensi konflik perbatasan khususnya di wilayah Laut Cina Selatan,
misalnya sengketa kepulauan Spratly yang melibatkan beberapa negara di kawasan tersebut,
namun diperkirakan semua pihak terkait tidak akan menyelesaikan masalah tersebut melalui
kekerasan bersenjata. Dapat dikatakan bahwa ancaman dalam bentuk agresi dari luar relatif kecil.
Potensi ancaman dari luar tampaknya akan lebih berbentuk upaya menghancurkan moral dan
budaya bangsa melalui disinformasi, propaganda, peredaran narkoba, film-film porno atau
berbagai kegiatan kebudayaan asing yang mempengaruhi bangsa Indonesia, terutama generasi
muda, dan merusak budaya bangsa. Potensi ancaman lainnya adalah dalam bentuk penjarahan
sumber daya alam melalui eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkontrol sehingga merusak
lingkungan, seperti illegal loging, illegal fishing, dsb.

Semua potensi ancaman tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan Ketahanan Nasional
melalui berbagai cara, antara lain :
1. Pembekalan mental spiritual di kalangan masyarakat agar dapat menangkal pengaruh budaya
asing yang tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia.
2. Upaya peningkatan perasaan cinta tanah air (patriotisme) melalui pemahaman dan penghayatan
(bukan sekedar penghafalan) sejarah perjuangan bangsa.
3. Pengawasan yang ketat terhadap eksploitasi sumber daya nasional serta terciptanya
pemerintahan yang bersih dan berwibawa (legitimasi, bebas KKN, dan konsisten melaksanakan
peraturan/undang-undang).
4. Kegiatan yang bersifat kecintaan terhadap tanah air serta menanamkan semangat juang untuk
membela negara, bangsa dan tanah air serta mempertahankan Pancasila sebagai ideologi
negara dan UUD 1945sebagai landasan berbangsa dan bernegara.
5. Untuk menghadapi potensi agresi bersenjata dari luar, meskipun kemungkinannya relatif sangat
kecil, selain menggunakan unsur komponen utama (TNI), tentu saja dapat menggunakan
komponen cadangan dan komponen pendukung (UU komponen cadangan dan komponen
pendukung masih dalam proses persetujuan anggota Dewan yang terhormat).
Dapatlah disimpulkan bahwa potensi ancaman terhadapkeamanan nasional dan
pertahanan negara dapat datang dari mana saja. Namun potensi ancaman yang lebih besar adalah
dari dalam negeri. Pengalaman menunjukkan bahwa instabilitas dalam negeri seringkali
mengundang campur tangan asing baik langsung maupun tidak langsung.

2.2 Indonesia dan ancaman disintegrasi


Bangsa Indonesia yang kaya dengan keragaman yang dimiliki masyarakatnya
menempatkan dirinya sebagai masyarakat yang plural. Masyarakat yang plural juga berpotensi
dan sangat rentan kekerasan etnik, baik yang dikonstruksi secara kultural maupun politik. Bila
etnisitas, agama, atau elemen premordial lain muncul di pentas politik sebagai prinsip paling
dominan dalam pengaturan negara dan bangsa, apalagi berkeinginan merubah sistem yang
selama ini berlaku, bukan tidak mungkin ancaman disintegrasi bangsa dalam arti yang
sebenarnya akan terjadi di Indonesia.

Maraknya fenomena formalisasi syariat Islam kedalam konstitusi formal dan tertulis
dibeberapa daerah di Indonesia menjadi pro kontra, dan bukan tidak mungkin ancaman
disintegrasi bangsa itu akan berpotensi muncul. Formalisasi syariat Islam merupakan bentuk
pelanggaran kebebasan beragama dilakukan kelompok agama dominan dengan memberangus,
mengkebiri, dan menghalang, maupun memberikan stigmatisasi terhadapi penganut agama
minoritas atau kelompok agama yang berpemahaman dan melaksanakan praktek ritus yang
berbeda dengan arus dominan. Tidak boleh hukum publik didasarkan pada ajaran agama tertentu.
Sebab, hukum harus menjamin toleransi hidup beragama yang berkeadaban. Negara tidak bisa
memberlakukan secara formal hukum-hukum agama. Tapi, negara harus memfasilitasi warga
negara yang ingin melaksanakan ajaran agamanya secara sukarela agar tidak terjadi benturan-
benturan atau penelantaran.

Konflik-konflik yang sering terjadi di tingkatan elite, khususnya menjelang pelaksanaan


dan pasca Pilkada, juga sering memicu konflik di tingkat bawah yang dapat berujung pada
kekerasan antar massa pendukung elite. Masyarakat yang seharusnya di posisikan sebagai
subjek, tetapi saat ini justru lebih banyak yang di jadikan objek dan tumbal untuk kepentingan
pragmatis elite. Sehingga masyarakat bawah yang secara pemahaman masih cukup ngamblang
dan mudah terprovokasi, cenderung dapat berbuat sesuai arah si pemberi perintah, bahkan
termasuk untuk merusak tatanan ketentraman masyarakat bawah yang selama ini hanya terus-
menerus sebagai obyek eksploitasi.

Mungkin sekilas permasalahan tersebuat nampak biasa saja, namun apabila hal ini
berlarut-larut terus terjadi dan tidak ada usaha atau perhatian pemerintah untuk menyelesaikan
persoalan tersebut, bukan tidak mungkin disintegrasi yang selama ini di khawatirkan akan
terwujud. Pemerintah harus dapat merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan
tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan bagi
semua pihak, semua wilayah.

Untuk membahas lebih lanjut mengenai permasalahan diatas mari kita ulas 2 hal berikut:
1. Sejenak Mengulas Sejarah.

Sebenarnya perdebatan mengenai formalisasi syariat Islam sudah terjadi sejak lama,
bahkan sudah dimulai pada masa pra kemerdekaan RI dengan cakupan yang lebih luas, yaitu
sebagai dasar negara. Segenap funding fathers Indonesia antara pihak Islam dan nasionalis
melalui Panitia Sembilan yang dibentuk oleh BPUPKI pada tanggal 22 Juni 1945 telah
mendiskusikan dan membahas tentang dasar negara Indonesia, yang kemudian disepakati dan
menghasilkan lima point.

Pada sidang kedua tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah
menjadi Pembukaan dan butir pertama diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena
adanya aspirasi dari wilayah Indonesia timur yang mayoritas non muslim itu menyatakan
keberatan dengan bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Mereka
mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang
beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi
pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas.
Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.
Perubahan isi dari Piagam Jakarta itulah yang sampai saat ini kita sebutnya dengan Pancasila.

Setelah berakhirnya rezim Orba dan memasuki era Reformasi, perdebatan mengenai
Piagam Jakarta pun kembali mengemuka. Bahkan keinginan beberapa parpol untuk memasukan
isu Piagam Jakarta dalam agenda sidang MPR hasil Pemilu 1999 sempat terjadi, meskipun
gagasan serta usulan tersebut tidak ditanggapi dan tidak berhasil. Tetapi dari hal tersebut bukan
berati perdebatan berhenti begitu saja. Diluar parlemen perdebatan tersebut sering dijadikan
bahasan yang pokok dan menarik, terutama di Ormas-Ormas atau Organisasi yang berbasiskan
Islam yang masih mengharapkan Piagam Jakarta. Banyaknya kegagalan dan jalan buntu untuk
mengangkat isu Piagam Jakarta ke dalam isu nasional, itulah yang kemungkinan bergeser ke arah
cakupan yang lebih kecil, sehingga akhirnya berkembang dalam isu di daerah.

2. Kembali Ke Pancasila
Berbagai persoalan yang muncul baik yang menyangkut politik, sosial budaya maupun
hukum yang melanda negara kita yang berpotensi mengancam disintegrasi bangsa, sudah barang
tentu kita sikapi secara arif dan bijaksana. Prinsip persatuan dibutuhkan karena kenyataan bahwa
bangsa Indonesia sangat plural. Keragaman suku, bangsa, agama, dan budaya yang diwarisi oleh
bangsa Indonesia dalam sejarah mengharuskan bangsa Indonesia bersatu dengan seerat-eratnya
dalam keragaman. Keragaman merupakan kekayaan yang memang harus dipersatukan (united),
tetapi tidak dan bukan untuk diseragamkan (uniformed).

Pancasila yang kita pahami sebagai falsafah bangsa Indonesia sebagai philosphical way
of thingking atau philosophical system, yang menggambarkan fungsi & peranannya sebagai jiwa
dan kepribadian bangsa Indonesia, serta cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia. Konsep bangsa
Indonesia yang kaya dengan keragaman dan memposisikan sebagai bangsa yang plural, dan
dengan kenekaragaman tersebut lah yang menjadikan sebuah identitas nasional bangsa Indonesia
sekaligus menjadi identitas kebangsaan. Kebanggaan kita akan sebuah identitas nasional itulah
yang dapat mewujudkan integrasi nasional. Revitalisasi ideologi Pancasila sebagai
pemberdayaan identitas nasional perlu dilakukan, karena didasari keyakinan bahwa Pancasila
merupakan simpul nasional yang paling tepat bagi Indonesia yang majemuk

2.3 Cara penanggulangan ancaman disintegrasi bangsa


Keinginan masyarakat untuk membangun rasa persatuan dan kesatuan merupakan bagian
dari budaya bangsa melalui kegotong royongannya tetap ada ,namun disisi lain para pemimpin
dan elit politik lebih disibukkan dengan urusan politik dan kekuasaan. Rasa persatuan dan
kesatuan tidak akan bisa dilaksanakan apabila rasa solidaritas sebagai bangsa tak dapat ditumbuh
kembangkan, karena solidaritas bertumpu atas dasar kepentingan bersama dalam sejarah
perjuangan masa lalu telah dibuktikan untuk bebas dari penjajah dan membangun bangsa tanpa
paksaan muncul kesediaan rela berkorban demi masa depan bangsa. Solidaritas mencakup
upaya-upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan rasa kebersamaan, toleransi, empati,
saling menghormati, mau mengakui kesalahan serta bersedia mengorbankan kepentingan pribadi,
kelompok dan golongsn demi kepentingan NKRI.

Apabila hal ini dapat dihayati dan diamalkan oleh setiap warga negara maka akan
terbangun rasa cinta tanah air, oleh karena itu perlu mendefinisikan kembali masa depan
kebangsaan dan demokrasi Indonesia yang menghargai keberagaman dalam berbagai perbedaan
sekaligus menumbuh kembangkan rasa persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI. Berikut
berbagai ancaman yang dihadapi bangsa:

a. Ancaman Disintegrasi Bangsa Pasca Reformasi.


Ancaman Pasca reformasi berbagai bentuk kekerasan telah terjadi diberbagai tempat dalam
bingkai NKRI. Citra NKRI sebagai negara yang ramah dan penuh santun mulai luntur bahkan
hilang ditelan gelombang dan derasnya arus reformasi. Munculnya konflik yang berbasis
sentimen primordial dengan sebab-sebab yang tidak terduga telah memberikan wajah baru pada
NKRI. Konflik yang muncul tidak berada dalam ruang hampa. Namun berada diatas timbunan
dibawah karpet tebal kesatuan dan persatuan yang menghimpit ke Bhinekaan pada jaman
Orde Baru. Reformasi telah membuka semua saluran yang dimampatkan dengan pendekatan
keamanan, membuat beragam kepentingan yang lama terpendam mencuat keatas permukaan.

Gambarannya semakin jelas, khususnya pasca reformasi ketika relasi-relasi kekuasaan yang
semula mapan menjadi tergoyahkan dan batas-batas identitas kembali digugat. Dalam situasi
seperti ini konflik menjadi suatu keniscayaan, berbagai konflik seperti hal biasa misalnya
dalam Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) dan pemekaran wilayah yang dalam banyak hal
tampaknya lebih didasari kepentingan politik daripada ketimbang kesejahteraan rakyat.

Karakteristik konflik tak bisa diisolasi satu dengan yang lainnya. Konflik yang
menggunakan sentimen agama dan etnis bisa saja hanya bungkus untuk menutupi kepentingan
lain yang bersifat pragmatis dan kepentingan jangka pendek. Terkadang inti persoalannya terkait
dengan isu-isu politik dan marjinalisasi masyarakat adat akibat kebijakan pemerintah. Seperti
yang dikatakan Presiden Soekarno bahwa karakter bangsa harus terus-menerus dibangun melalui
pemimpin-peminpin yang memahami peta sosio-kultural-ekologis setiap wilayahnya dan
masyarakatnya. Hal inipun harus tercermin dalam berbagai produk per undang-undangan yang
menentukan hajat hidup warga negara. Kondisi NKRI yang terdiri dari ribuan kebudayaan dan
tersebar diribuan pulau dengan perbedaan yang ekstreem, isu yang paling rentan adalah yang
terkait dengan masalah etnis dan agama.

Politisasi identitas dua isu itu yang paling banyak digunakan dalam konflik dan kekerasan
untuk membungkus kepentingan pribadi dan politik oleh para elit politik. Terkait dengan
timbulnya persoaalan yang mendasar dalam hubungan antara agama dan negara, ketika negara
menentukan yang mana agama dan bukan agama, implikasinya sangat luas. Para penganut
keyakinan diluar enam agama yang resmi akan dicap animisme, bahkan yang tidak beragama
dianggap komunis.

Permasalahan kasus kekerasan terkait dengan kebebasan beragama saja pada tahun 2007
telah terjadi 185 kasus. Konflik kekerasan yang bernuansa sentimen agama sangat komplek dan
rumit, baik menyangkut konstruksi paham maupun faktor-faktor sosiologis tak jarang konflik itu
terbungkus dalam relasi sosial yang bersifat hegemonil ketika dihubungkan antar pemeluk agama
berada dalam pola hubungan mayoritas dan minoritas yang sarat ketegangan.

Keinginan masyarakat untuk membangun rasa persatuan dan kesatuan merupakan bagian dari
budaya bangsa melalui kegotong royongannya tetap ada ,namun disisi lain para pemimpin dan
elit politik lebih disibukkan dengan urusan politik dan kekuasaan. Rasa persatuan dan kesatuan
tidak akan bisa dilaksanakan apabila rasa solidaritas sebagai bangsa tak dapat ditumbuh
kembangkan, karena solidaritas bertumpu atas dasar kepentingan bersama dalam sejarah
perjuangan masa lalu telah dibuktikan untuk bebas dari penjajah dan membangun bangsa tanpa
paksaan muncul kesediaan rela berkorban demi masa depan bangsa. Solidaritas mencakup
upaya-upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan rasa kebersamaan, toleransi, empati,
saling menghormati, mau mengakui kesalahan serta bersedia mengorbankan kepentingan pribadi,
kelompok dan golongsn demi kepentingan NKRI. Apabila hal ini dapat dihayati dan diamalkan
oleh setiap warga negara maka akan terbangun rasa cinta tanah air, oleh karena itu perlu
mendefinisikan kembali masa depan kebangsaan dan demokrasi Indonesia yang menghargai
keberagaman dalam berbagai perbedaan sekaligus menumbuh kembangkan rasa persatuan dan
kesatuan dalam bingkai NKRI.

b. Keaneka ragaman masyarakat Indonesia.


Pandangan bahwa pruralitas, suku, agama, ras dan antar golongan sebagi penyebab konflik atau
kekerasan massal, tidak dapat diterima begitu saja. Pendapat ini benar mungkin untuk sebuah
kasus, tapi belum tentu benar untuk kasus yang lain. Segala macam peristiwa dan gejolak sosial
budaya termasuk konflik dan kekerasan massal pada dasarnya tidaklah lahir begitu saja, akan
tetapi ada kondisi-kondisi struktural dan kultural tertentu dalam masyarakat yang beraneka
ragam, tetapi bukan tanpa batas dan merupakan hasil dari suatu proses sejarah yang bersifat
khusus.

Namun demikian tidak semua kondisi struktural menjadi pemicu atas munculnya suatu
gejolak atau peristiwa, tapi ada kondisi primer dan skunder maupun pendukung penting dari
munculnya gejolak tersebut antara lain akibat terdesaknya kelompok tertentu dari akses
kekuasaan serta adanya suatu proses yang dianggap tidak adil dan curang. Disisi lain karena
keberadaan pendatang yang berbeda budaya, agama, atau rasnya serta etnosentrisme dan
seklusivisme. Kondisi sekundernya adalah rasa keadlan masyarakat setempat yang tidak
terpenuhi, aparat pemerintah tidak peka terhadap kondisi yang dihadapi masyarakat, atau malah
memihak salah satu etnik atau kelompok masyarakat lainnya. Hal ini akan berdampak makin
meruncingnya suatu masalah dan membuat renggangnya rasa persatuan dan kesatuan.

Faktor lain yang terjadi dikawasan timur Indonesia memiliki komposisi keragaman etnik
yang banyak dalam bentuk kelompok suku-suku kecil dan rentan, sedang kawasan barat
Indonesia di pulau-pulau besar tinggal kelompok suku-suku yang besar yang relatif miskin
sumber daya alam, membuat mereka bergerak mengeksploitasi SDA di kawasan timur
Indonesia, bahkan nyaris menggusur partisipasi penduduk setempat. Akibatnya terjadi
kesenjangan antara pendatang dan penduduk asli. Keadaan ini membuat penduduk setempat
menjadi antipati terhadap pendatang, sementara pendatang yang sukses justru memanfaatkan
ketertinggalan penduduk setempat sebagai kelemahan mereka.

Berbagai catatan sejarah membuktikan bahwa benang merah kekerasan yang terjadi
ditingkat elit politik maupun rakyat selalu ada cara adat untuk menyelesaikannya, bila terjadi
konflik mulai masalah personal sampai keranah publik. Penyelesaian dengan mendamaikan
setiap kerusuhan, konflik, atau perang masa kinipun hal seperti itu tidak dapat dihindari.
Perdamaian dengan cara itu hanya bersifat sementara, karena rekonsiliasi hanya terjadi dimeja
perundingan, bahkan banyak melibatkan pihak luar. Sementara ditingkat akar rumput yang
paling menderita akibat konflik, tidak banyak mengalami perubahan karena mereka tidak
terwakili dimeja perundingan.
Sebagai contoh, konflik di Ambon dan Maluku misalnya perempuan banyak berperan
sebagai agen perdamaian dengan menghubungkan pihak bertikay melalui hal yang sangat
sederhana dalam kehidupan sehari-hari, banyak keluarga yang saling melindungi pihak yang
dianggap lawan karena kesadaran akan persaudaraan dan hakekat kemanusiaan.

c. Konflik-konflik Pacsa Reformasi.

Secara sadar kita harus mengakui bahwa pasca reformasi telah terjadi ancaman disintegrasi
bangsa yang mencakup lima wilayah sbb:
1. Kekerasan memisahkan diri di Timor-Timor setelah jajak pendapat tahun 1999 yang pada
akhirnya lepas dari NKRI, di Aceh sebelum perundingan Helsinki dan beberapa kasus di Papua.
2. Kekerasan komunal berskala besar, baik antar agama, intra agama, dan antar etnis yang terjadi
Kalimatan Barat, Maluku, Sulawesi Tengah, dan Kalimatan Tengah.
3. Kekerasan yang terjadi dalam skala kota dan berlansung beberapa hari seperti peristiwa Mei
1998, huru-hara anti Cina di Tasikmalaya, Banjarmasin, Situbondo dan Makassar.
4. Kekerasan sosial akibat main hakim sendiri seperti pertikaian antar desa dan pembunuhan dukun
santet di Jawa Timur 1998.
5. Kekerasan yang terkait dengan terorisme seperti yang terjadi di Bali dan Jakarta.

Semua itu belum termasuk konflik kekerasan yang diakibatkan Pilkada dan issu pemekaran
yang menggunakan rakyat sebagi objek kepentingan politik kekuasaan para elit politik baik lokal
maupun nasional. Berdasarkan data GERRY VAN KLINKEN (2007) kekerasan komunal yang
berskala besar ataupun lokal memakan korban paling besar 90 %, dari jumlah itu 57 %
meninggal akibat issu agama, 30 % akibat etnis, 13 % akibat kekerasan rasial. Semua kejadian
tersebut tentu akan berdampak terhadap pecahnya persatuan dan kesatuan bangsa apabila
penanggannya tidak dilaksanakan dengan cepat, tepat dan tuntas.

d. Stabilitas Keamanan yang mantap dan dinamis.

Dalam rangka menjaga keutuhan bangsa dan negara kondisi stabilitas keamanan yang
mantap dan dinamis diseluruh wilayah tanah air merupakan syarat mutlak. Artinya setiap
gangguan dan ancaman yang datang disebagian wilayah NKRI pada hakekatnya ancaman bagi
seluruh wilayah NKRI. Menciptakan keamanan merupakan tanggung jawab semua pihak (Warga
Negara) dengan pihak aparat keamanan (TNI dan POLRI) sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku. Dengan mencermati dan memperhatikan kondisi keamanan diberbagai daerah saat ini
dan kondisi bangsa yang sedang krisis kepercayaan dan mutlidimensi, maka terciptanya
kondisi stabilitas keamanan yang mantap dan dinamis amat diperlukan. Hal ini selain merupakan
kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan rasa aman, nyaman, tentram dan adanya tata
kehidupan masyarakat yang tertib juga untuk meningkatkan kepercayaan dunia usaha yang
membutuhkan adanya kepastian dan jaminan investasi. Tanpa adanya stabilitas keamanan di
suatu daerah, sudah dapat dipastikan akan terganggu roda pembangunan dalam banyak hal. Oleh
karena itu gangguan keamanan/konflik yang terjadi di beberapa daerah perlu dilakukan
penangganan yang serius agar tidak terjadi sikap balas dendam dan luka yang terus berlanjut
bahkan dapat mengancam perpecahan bangsa.

e. Stabilitas Keamanan yang mendukung Integrasi Bangsa.

Mencermati masalah keamanan dibeberapa daerah yang cukup serius dan segera harus
diselesaikan melalui langkah-langkah yang komprehensif. Guna mendorong kembalinya
semangatnya persatuan bangsa dan kesatuan wilayah yang telah dimiliki dan guna mencegah
disintegrasi bangsa tidak ada alternatif lain mengembalikan kondisi aman yang didambakan oleh
seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia. Stabilitas keamanan di daerah konflik yang
cenderung mengarah kepada disintegrasi bangsa harus terus diciptakan dengan pendekatan
komprehensif baik dari aspek ekonomi, sosial budaya, politik maupun dari pendekatan hukum
dengan dibantu aparat hukum yang terus melakukan tindakan konkrit dan koordinatif serta tetap
mengedepankan semangat kebersamaan dalam menciptakan keutuhan bangsa dan negara.

f. Menegakkan Peraturan Hukum yang berlaku.

Melihat, memperhatikan dan mencermati kondisi keamanan diberbagai daerah yang


rawan konflik saat ini serta kondisi bangsa supaya tidak terjadi ancaman disintegrasi bangsa
pemerintah pusat, instansi maupun daerah dalam hal ini pihak keamanan/aparat keamanan harus
menegakkan aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku serta melakukan tindakan
persuasif dan pendekatan keamanan secara bertahap dan disesuaikan dengan kondisi daerah
masing-masing. Guna mendorong kembali semangat persatuan, kesatuan wilayah dan bela
negara sebaiknya pemerintah mencari terobosan lain untuk mensosialisasikan Pancasila agar
dapat dihayati dan diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun yang paling
penting adalah bagaimana contoh dan ketauladan dari semua penyelenggara negara, tokoh formal
maupun informal terhadap rakyatnya dalam berpikir, bersikap dan bertindak yang pada
berdasarkan Pancasila sebagai ideologi, pandangan hidup serta dasar negara.

2.4 Kedudukan dan fungsi ketahanan nasional


Kedudukan dan fungsi ketahanan nasional dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Kedudukan
ketahanan nasional merupakan suatu ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh
bangsa Indonesia serta merupakan cara terbaik yang perlu di implementasikan secara berlanjut
dalam rangka membina kondisi kehidupan nasional yang ingin diwujudkan, wawasan nusantara
dan ketahanan nasional berkedudukan sebagai landasan konseptual, yang didasari oleh Pancasil
sebagai landasan ideal dan UUD sebagai landasan konstisional dalam paradigma pembangunan
nasional.

b) Fungsi
Ketahanan nasional nasional dalam fungsinya sebagai doktrin dasar nasional perlu
dipahami untuk menjamin tetap terjadinya pola pikir, pola sikap, pola tindak dan pola kerja
dalam menyatukan langkah bangsa yang bersifat inter regional (wilayah), inter sektoral
maupun multi disiplin. Konsep doktriner ini perlu supaya tidak ada cara berfikir yang terkotak-
kotak (sektoral). Satu alasan adalah bahwa bila penyimpangan terjadi, maka akan timbul
pemborosan waktu, tenaga dan sarana, yang bahkan berpotensi dalam cita-cita nasional.
Ketahanan nasional juga berfungsi sebagai pola dasar pembangunan nasional. Pada hakikatnya
merupakan arah dan pedoman dalam pelaksanaan pembangunman nasional disegala bidang dan
sektor pembangunan secara terpadu, yang dilaksanakan sesuai dengan rancangan program.

2.5 Konsepsi ketahanan nasional


Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa yang meliputi segenap
kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung
kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala
tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar,
untuk menjamin identitas, integrasi dan kelangsungan hidup bangsa dan negar serta perjuangan
mencapai tujuan nasional dapat dijelaskan seperti dibawah ini :
1) Ketangguhan
Adalah kekuatan yang menyebabkan seseorang atau sesuatu dapat bertahan, kuat menderita atau
dapat menanggulangi beban yang dipikulnya.

2) Keuletan
Adalah usaha secara giat dengan kemampuan yang keras dalam menggunakan kemampuan
tersebut diatas untuk mencapai tujuan.
3) Identitas
Yaitu ciri khas suatu bangsa atau negara dilihat secara keseluruhan. Negara dilihat dalam
pengertian sebagai suatu organisasi masyarakat yang dibatasi oleh wilayah dengan penduduk,
sejarah, pemerintahan, dan tujuan nasional serta dengan peran internasionalnya.

4) Integritas
Yaitu kesatuan menyeluruh dalam kehidupan nasional suatu bangsa baik unsur sosial maupun
alamiah, baik bersifat potensional maupun fungsional.

5) Ancaman
Yang dimaksud disini adalah hal/usaha yang bersifat mengubah atau merombak kebijaksanaan
dan usaha ini dilakukan secara konseptual, kriminal dan politis.

6) Hambatan dan gangguan


Adalah hal atau usaha yang berasal dari luar dan dari diri sendiri yang bersifat dan bertujuan
melemahkan atau menghalangi secara tidak konsepsional.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kondisi NKRI secara nyata harus diakui oleh setiap warganegara bila ditinjau dari kondisi
geografi, demografi, dan kondisi sosial yang ada akan terlihat bahwa pluralitas, suku, agama, ras
dan antar golongan dijadikan pangkal penyebab konflik atau kekerasan massal, tidak bisa
diterima begitu saja. Pendapat ini bisa benar untuk sebuah kasus tapi belum tentu benar untuk
kasus yang lain. Namun ada kondisi-kondisi struktural dan kultural tertentu dalam masyarakat
yang beraneka ragam yang terkadang terjadi akibat dari suatu proses sejarah atau peninggalan
penjajah masa lalu, sehingga memerlukan penanganan khusus dengan pendekatan yang arif
namun tegas walaupun aspek hukum, keadilan dan sosial budaya merupakan faktor berpengaruh
dan perlu pemikiran sendiri.
2. Pemberlakuan Otonomi Daerah sesuai dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 merupakan
implikasi positif bagi masa depan pemerintahan daerah di Indonesia namun berpotensi untuk
terciptanya sikap fanatisme primodialisme yang sempit, sektarianisme dan supranasionalisme.
Kondisi ini terjadi karena tidak semua masyarakat mengetahui tujuan pemberlakuan otonomi
daerah bagi sebuah negara kesatuan RI.
3. PILKADA dan pertarungan elit politik yang diimplementasikan kedalam bentuk penggalangan
massa, dengan alasan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, namun sarat dengan kepentingan
pribadi atau politik yang pada akhirnya dapat menciptakan konflik horizontal maupun vertikal,
dalam penyelesaiannya tidak pernah tuntas.
4. Kepemimpinan (leadership) dari tingkat elit politik nasional hingga kepemimpinan daerah,
sangat menentukan dalam rangka meredam konflik yang terjadi saat ini. Sedangkan peredaman
konflik pada skala kejadiannya memerlukan tingkat profesionalisme dari seluruh aparat hukum
dan instansi terkait secara terpadu dan tidak berpihak pada sebelah pihak.

B. Saran
Adapun beberapa saran yang kami sampaikan kepada pemerintah dengan harapan adanya
perubahan dimasa depan:
1. Untuk mendukung terciptanya keberhasilan suatu kebijakan dan strategi pertahanan serta upaya-
upaya apa yang akan ditempuh, maka disarankan beberapa langkah sebagai berikut :
2. Pemerintah perlu mengadakan kajian secara akademik dan terus menerus agar didapatkan suatu
rumusan bahwa nasionalisme yang berbasis multi kultural dapat dijadikan ajaran untuk
mengelola setiap perbedaan agar muncul pengakuan secara sadar/tanpa paksaan dari setiap
warga negara atas kemejemukan dengan segala perbedaannya.
3. Setiap pemimpin dari tingkat desa sampai dengan tingkat tertinggi , dalam membuat aturan atau
kebijakan haruslah dapat memenuhi keterwakilan semua elemen masyarakat sebagai warga
negara.
4. Setiap warga negara agar memiliki kepatuhan terhadap semua aturan dan tatanan yang berlaku,
kalau perlu diambil sumpah seperti halnya setiap prajurit yang akan menjadi anggota TNI dan
tata cara penyumpahan diatur dengan Undang-undang.
5. Sebaiknya diadakan suatu konsensus nasional yang berisi pernyataan bahwa setiap warga negara
Indonesia cinta damai, persatuan dan kesatuan dan rela berkorban untuk mementingkan
kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi atau golongan.
6. Menghimbau para musisi agar mau menciptakan suatu karya musik atau lagu-lagu yang
mengobarkan rasa cinta tanah air dan bangga menjadi Bangsa Indonesia. Berdasarkan
pengalaman sejarah telah membuktikan betapa dahsyatnya sebuah lagu mempunyai pengaruh
terhadap para pejuang kemerdekaan dimasa lalu.
7. Perlu dihimbau semua insan jurnalistik/pers dengan memperkenalkan rasa nasionalisme diatas
segalanya bagi keutuhan NKRI, sehingga dapat memposisikan diri dalam keikutsertaan
meredam konflik dan bukannya memperbesar melalui berita-berita yang berdampak kebencian
dan prsangka buruk bagi setiap warga negara.
DAFTAR PUSTAKA
Amirul Isnaini, Mayor Jenderal TNI, Mencegah Keinginan Beberapa Daerah Untuk Memisahkan
Diri Tegak Utuhnya NKRI, Jakarta, Lemhannas 2001.

Budi Utomo, ancamn disintegrasi bansa ,diakses tanggal 10 Juni 2013 dari
http://budiutomo79.blogspot.com/2007/09/pembangunan-wilayah-perbatasan.html

HB. Amiruddin Maula, Drs, SH, Msi, Menjaga Kepentingan Nasional Melalui Pelaksanaan Otonomi Daerah Guna
Mencegah Terjadinya Disintegrasi Bangsa, Jakarta, Lemhannas, 2001.

Anda mungkin juga menyukai