Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
MUTIARA KHADIJAH
NIM. 2010913320006
FAKULTAS KEDOKTERAN
2023
Definisi Penanganan Kegawatdaruratan
Gawat artinya mengancam nyawa, sedangkan darurat adalah perlu mendapatkan penanganan
atau tindakan segera untuk menghilangkan ancaman nyawa korban. Jadi, gawat darurat
adalah keadaan yang mengancam nyawa yang harus dilakukan tindakan segera untuk
Penanganan kegawatdaruratan adalah perawatan individu dari segala usia dengan perubahan
kesehatan fisik atau emosional yang dirasakan secara aktual yang tidak terdiagnosis atau
Asuhan pada pasien dengan kegawatdaruratan bersifat episodik, primer, biasanya akut, dan
terjadi dalam berbagai keadaan. Tenaga medis di instalasi gawat darurat merawat semua usia
dan populasi di berbagai spektrum penyakit dan pencegahan cedera lebih lanjut,
intervensi, dan keterampilan manajemen. Perilaku profesional yang melekat dalam praktik
keterampilan khusus, akuntabilitas dan tanggung jawab, komunikasi, otonomi, dan hubungan
Menurut Kepmenkes RI No 856 Tahun 2009, setiap Rumah Sakit wajib memiliki pelayanan
3) Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit harus dapat memberikan pelayanan 24
4) Berbagai nama untuk instalasi/unit pelayanan gawat darurat di rumah sakit diseragamkan
5) Rumah Sakit tidak boleh meminta uang muka pada saat menangani kasus gawat darurat.
6) Pasien gawat darurat harus ditangani paling lama 5 (lima) menit setelah sampai di IGD.
multiprofesi dan terintegrasi, dengan struktur organisasi fungsional yang terdiri dari unsur
pimpinan dan unsur pelaksana, yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pelayanan
terhadap pasien gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat (IGD), dengan wewenang penuh
Adapun ketentuan pelayanan di IGD Rumah Sakit sesuai tingkatan klasifikasi pelayanan di
a) Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level IV sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit
Kelas A.
b) Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level III sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit
Kelas B.
c) Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level II sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit
Kelas C.
d) Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level I sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit
Kelas D.
Triase
Definisi Triase
Triase adalah metode yang memprioritaskan perawatan pasien sesuai dengan jenis penyakit
atau cedera dan urgensi kondisi pasien. Triase digunakan untuk memastikan bahwa setiap
pasien menerima perawatan sesuai dengan kebutuhannya pada waktu yang tepat.
Triase adalah suatu cara untuk menseleksi atau memilah korban berdasarkan tingkat
kegawatan. Menseleksi dan memilah korban tersebut bertujuan untuk mempercepat dalam
memberikan pertolongan terutama pada para korban yang dalam kondisi kritis atau emergensi
darurat. Proses utamanya adalah: penilaian cepat; mengidentifikasi masalah yang mengancam
jiwa atau anggota tubuh; memulai investigasi; memberikan analgesia; dan mengontrol aliran
pasien.
Kesimpulannya, triase adalah sebuah proses seleksi pasien gawat darurat untuk mempercepat
dan memastikan agar pasien dengan kegawatdaruratan bisa memperoleh penangananan yang
Banyak orang dengan kondisi tidak mendesak datang ke IGD karena pada saat tertentu IGD
menjadi satu-satunya sumber perawatan medis mereka. Karena adanya kunjungan kasus tidak
mendesak ini, maka diperlukan cara untuk mengidentifikasi dan mengobati dengan cepat
pasien dengan kondisi yang lebih serius. Perawat triase harus dapat dengan cepat menilai sifat
dan urgensi masalah banyak pasien dan memprioritaskan perawatan mereka berdasarkan
penilaian itu.
Di ruang triase dilakukan pemeriksaan singkat dan cepat untuk menentukan derajat
Emergency Nursing Associations (ENA) telah menetapkan pedoman untuk triase berdasarkan
1) Tingkat I: Resusitasi
Tingkat ini mencakup pasien yang membutuhkan perawatan dan perhatian medis
segera, seperti orang dengan henti jantung paru, trauma mayor, gangguan pernapasan
mungkin akan dinilai sebagai tingkat II termasuk mereka dengan cedera kepala, nyeri
menit untuk dilakukan penilaian dan pengobatan. Pasien tersebut mungkin melapor ke
UGD dengan tanda infeksi, ringan gangguan pernapasan, atau nyeri sedang.
Pasien dalam kategori triase ini bisa tunggu hingga 1 jam untuk penilaian dan
punggung kronis, pernapasan bagian atas gejala, dan sakit kepala ringan.
5) Level V: Non-urgent
Pasien ini dapat menunggu hingga 2 jam (mungkin lebih lama) untuk penilaian dan
pengobatan; mereka dengan sakit tenggorokan, kram menstruasi, dan gejala minor
Di Indonesia sendiri khususnya pada pelayanan di Instalasi Gawat Darurat, pasien dibedakan
1) Kategori merah:
prioritas pertama (area resusitasi), pasien cedera berat mengancam jiwa yang
kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera. Pasien kategori merah dapat
medis lebih lanjut, pasien dapat dipindahkan ke ruang operasi atau di rujuk ke rumah
sakit lain.
2) Kategori kuning:
prioritas kedua (area tindakan), pasien memerlukan tindakan defenitif tidak ada
ancaman jiwa segera. Pasien dengan kategori kuning yang memerlukan tindakan
medis lebih lanjut dapat dipindahkan ke ruang observasi dan menunggu giliran setelah
3) Kategori hijau:
prioritas ketiga (area observasi), pasien degan cedera minimal, dapat berjalan dan
menolong diri sendiri atau mencari pertolongan. Pasien dengan kategori hijau dapat
dipindahkan ke rawat jalan, atau bila sudah memungkinkan untuk dipulangkan, maka
4) Kategori hitam:
prioritas nol pasien meninggal atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan tindakan darurat untuk mencegah kematian biologis
dengan tujuan mengembalikan keadaan henti jantung dan napas (kematian klinis) ke fungsi
yang optimal (Muttaqin, 2009). RJP terdiri dari pemberian bantuan sirkulasi dan napas, dan
merupakan terapi umum, diterapkan pada hampir semua kasus henti jantung atau napas.
kompresi dan ventilasi merupakan tindakan yang efektif dalam melakukan RJP. Orang awam
dan orang terlatih dalam bidang kesehatanpun dapat melakukan tindakan RJP.
suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti nafas atau
henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis.
Kematian klinis ditandai dengan hilangnya nadi arteri carotis dan arteri femoralis, terhentinya
denyut jantung dan pembuluh darah atau pernafasan dan terjadinya penurunan atau
kehilangan kesadaran. Kematian biologis dimana kerusakan otak tak dapat diperbaiki lagi,
dapat terjadi dalam 4 menit setelah kematian klinis. Oleh Karena itu, berhasil atau tidaknya
tindakan RJP tergantung cepatnya dilakukan tindakan dan tepatnya teknik yang dilakukan.
INDIKASI
A. Henti Napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya
napas oleh benda asing, tesengat listrik, tersambar petir, serangan infark jantung,
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi, pemberian O2 ke
otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit. Kalau henti napas
mendapat pertolongan segera maka pasien akan teselamatkan hidupnya dan sebaliknya
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan curah jantung untuk
memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat
balik normal, kalau dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian
atau kerusakan otak. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi tanpa
denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (+10%) dan terakhir oleh
disosiasi elektro-mekanik (+5%). Dua jenis henti jantung yang terakhir lebih sulit
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis femoralis, radialis)
disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu
(gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak
sadar.
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin (Hb), saturasi
Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi melebih 3-4 menit pada suhu normal
akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat
1. FASE I :
Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur pertolongan darurat
mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti jantung, dan bagaimana
2. FASE II :
Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan hidup dasar
ditambah dengan :
mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricular complexes.
3. FASE III :
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari
kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf pusat
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang
perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
Untuk mengenali terjadinya SCA (sudden cardiac arrest) adalah hal yang tidak mudah.
Jika terjadi kekeliruan dan keterlambatan untuk bertindak dan memulakan CPR, ini akan
mengurangi survival rate korban tersebut. Chest compression merupakan antara tindakan
yang sangat penting dalam CPR kerana perfusi tergantung kepada kompresi. Oleh kerana
itu, chest compression merupakan tindakan yang terpenting jika terdapat korban yang
mempunyai SCA.
Prinsip utama dalam resusitasi: memperkuat rantai harapan hidup (chain of survival).
Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi koordinasi jalur chain of survival. Jalur ini
meliputi:
Pengenalan segera akan henti jantung dan aktivasi sistem respons darurat (emergency
response system)
RJP dini dengan penekanan pada kompresi dada
Defibrilasi cepat
Advance life support yang efektif
Post-cardiac arrest care (perawatan pasca henti jantung) yang terintegrasi’
Sistem gawat darurat yang secara efektif menerapkan jalur ini dapat meningkatkan
harapan hidup pasien dengan henti jantung VF (ventricle fibrillation) hingga 50%. Pada
sebagian besar sistem gawat darurat angkanya masih lebih rendah, menandakan bahwa masih
ada ruang untuk perbaikan dengan evaluasi ulang dari jalur ini.
Penyelamat dapat memiliki berbagai pengalaman, pelatihan dan kemampuan. Begitu
pula dengan status korban dan keadaan sekitar kejadian. Tantangannya adalah bagaimana
meningkatkan RJP yang lebih dini dan lebih efektif bagi setiap korban.
Chain of survival
Kerangka kerja RJP: interaksi antara penyelamat dan korban
RJP secara tradisional menggabungkan antara kompresi dada dan nafas buatan dengan tujuan
untuk meningkatkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik penyelamat dan korban dapat
mempengaruhi penerapannya.
Penyelamat
Setiap orang dapat menjadi penyelamat bagi korban henti jantung. Kemampuan
RJP dan penerapannya tergantung dari hasil pelatihan, pengalaman dan kepercayaan diri
si penyelamat.
Kompresi dada adalah dasar RJP. Setiap penyelamat, tanpa memandang hasil pelatihan,
harus melakukan kompresi dada pada semua korban henti jantung. Karena pentingnya,
kompresi dada harus menjadi tindakan RJP yang pertama kali dilakukan terhadap semua
korban tanpa memandang usianya. Penyelamat yang memiliki kemampuan sebaiknya
juga melakukan ventilasi. Beberapa penyelamat yang sangat terlatih harus saling
berkoordinasi dan melakukan kompresi dada serta nafas buatan secara tim.
Terdapat 3 pola strategi RJP yang dapat diterapkan pada penolong sesuai dengan
keadaannya, yaitu: untuk penolong non petugas kesehatan yang tidak terlatih, mereka
dapat melakukan strategi “Hands only CPR” (hanya kompresi dada). Kompresi dada
sebaiknya dilakukan hingga petugas kesehatan hadir atau alat defibrilasi otomatis
tersedia.
Kedua, untuk penolong non petugas kesehatan yang terlatih, mereka dapat
melakukan strategi RJP kompresi dada dan dilanjutkan dengan ventilasi dengan
perbandingan 30 : 2. RJP sebaiknya dilakukan hingga petugas kesehatan hadir atau alat
defibrilasi otomatis tersedia.
Ketiga, untuk petugas kesehatan, lakukan RJP kompresi dada sebanyak satu
siklus yang dilanjutkan dengan ventilasi dengan perbandingan 30 : 2.
Korban
Sebagian besar henti jantung dialami orang dewasa secara tiba-tiba setelah suatu
sebab primer; karenanya sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi dada menjadi yang
terpenting. Sebaliknya, henti jantung pada anak-anak sebagian besar karena asfiksia yang
memerlukan baik ventilasi dan kompresi untuk hasil yang optimal. Karenanya, bantuan
nafas lebih penting bagi anak-anak dibandingkan orang dewasa.
AHA 2010 dalam panduannya memberikan 2 jenis algoritma BLS bagi korban dewasa
yaitu algoritma sederhana untuk penolong non petugas kesehatan dan khusus untuk petugas
kesehatan.
1. Simple Algorithma
Kompresi dada
Memulai dengan segera kompresi dada adalah aspek mendasar dalam resusitasi. RJP
memperbaiki kesempatan korban untuk hidup dengan menyediakan sirkulasi bagi jantung
dan otak. Penolong harus melakukan kompresi dada untuk semua korban henti jantung, tanpa
memandang tingkat kemampuannya, karakteristik korban dan lingkungan sekitar. Penolong
harus fokus pada memberikan RJP yang berkualitas baik:
Melakukan kompresi dada dalam kecepatan yang cukup (setidaknya 100/menit)
Melakukakan kompresi dada pada kedalaman yang cukup (dewasa: setidaknya 2
inchi/5 cm, bayi dan anak-anak: setidaknya sepertiga diameter anteroposterior (AP)
dada atau sekitar 1,5 inchi/4 cm pada bayi dan sekitar 2 inchi/5 cm pada anak-anak).
Menunggu dada mengembang sempurna setelah setiap kompresi
Meminimalisir interupsi selama kompresi
Menghindari ventilasi yang berlebihan.
Jika ada lebih dari satu penolong, mereka harus bergantian melakukan kompresi setiap 2
menit.
Membuka jalan nafas (dengan head tilt, chin lift atau jaw thrust) yang diikuti nafas
bantuan dapat meningkatkan oksigenasi dan ventilasi. Tetapi manuver ini dapat menjadi sulit
dan mengakibatkan tertundanya kompresi dada, terutama pada penolong yang sendirian dan
tidak terlatih. Karenanya, penolong yang sendirian dan tidak terlatih hanya melakukan
kompresi dada saja tanpa ventilasi. Ventilasi harus diberikan jika korban cenderung
disebabkan oleh asfiksia (contohnya pada bayi, anak-anak atau korban tenggelam).
Begitu alat bantu nafas tersedia, penolong harus memberikan ventilasi dalam
kecepatan yang tetap 1 nafas setiap 6-8 detik (8-10 nafas/menit) dan kompresi dada tetap
diberikan tanpa terputus.
Defibrilasi
Kesempatan korban untuk selamat menurun seiring jeda waktu antara henti jantung
dan defibrilasi. Karenanya defibrilasi tetap menjadi dasar tatalaksana untuk fibrilasi ventrikel
(VF ventricular fibrillation) dan pulseless ventricular tachycardia. Strategi bersama antara
masyarakat dan rumah sakit harus ditujukan untuk mengurangi jeda waktu ini.
Satu penentu defibrilasi yang berhasil adalah efektifitas kompresi dada. Defiibrilasi lebih
berhasil jika interupsi pada kompresi dada sedikit.
Pengenalan dini.
Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsive maka petugas
kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan memeriksa respon korban. Tepukan
pada pundak dan teriakkan nama korban sembari melihat apakah korban tidak bernafas
atau terengah-engah. Lihat apakah korban merespon dengan jawaban, erangan atau
gerakan. Korban yang tidak responsif serta tidak ada nafas atau hanya terengah-engah
maka petugas kesehatan dapat mengasumsi bahwa korban mengalami henti jantung.
Petugas sebaiknya mengaktivasi sistem respon darurat yang dalam hal ini berarti
menghubungi institusi yang mempunyai fasilitas/layanan gawat darurat, contohnya
menghubungi rumah sakit, polisi, atau instansi terkait.
Hal yang perlu diperhatikan adalah pada AHA ini ada dua hal yang tidak dianjurkan
setelah memeriksa korban tidak responsif yaitu :
Memeriksa ada tidaknya nafas pada korban dengan “look, feel, listen”. Sulitnya
menilai nafas yang adekuat pada korban merupakan alasan dasar hal tersebut tidak
dianjurkan. Nafas yang terengah dapat disalah artikan sebagai nafas yang adekuat oleh
professional maupun bukan. Contohnya pada korban dengan sindroma koroner akut
sering kali terdapat nafas terengah yang dapat disalah artikan sebagai pernafasan yang
adekuat. Maka tidak dianjurkan memeriksa pernafasan dengan “look, feel, listen” dan
direkomendasikan untuk menganggap pernafasan terengah sebagai tidak ada
pernafasan.
Memeriksa denyut nadi pasien. Untuk petugas kesehatan, pemeriksaan nadi korban
sebaiknya tidak lebih dari 10 detik jika lebih dari waktu tersebut tidak didapatkan
denyut nadi yang definitive maka petugas sebaiknya memulai RJP.
Kedua hal tersebut tidak lagi dianjurkan bertujuan untuk meminimalisir waktu untuk
memulai RJP.
AHA 2015: HCP harus meminta bantuan terdekat bila mengetahui korban tidak
menunjukkan reaksi, namun akan lebih praktis bagi HCP untuk melanjutkan dengan
menilai pernapasan dan denyut secara bersamaan sebelum benar-benar mengaktifkan
system tanggapan darurat (atau meminta HCP pendukung).
AHA 2010: Melakukan kompresi dada dan napas buatan untuk korban serangan jantung
adalah tindakan yang perlu dilakukan oleh EMS dan penolong profesional di lingkungan
rumah sakit.
AHA 2015: Melakukan kompresi dada dan menyediakan ventilasi untuk semua pasien
dewasa yang mengalami serangan jantung adalah tindakan yang harus dilakukan oleh
HCP, baik yang disebabkan maupun tidak disebabkan oleh jantung. Lebih lanjut, penting
bagi HCP untuk menyesuaikan urutan tindakan penyelamatan berdasarkan penyebab
utama serangan.
Alasan: CPR hanya kompresi direkomendasikan untuk penolong yang tidak terlatih
karena relative mudah bagi operator untuk memandu dengan instruksi melalui telepon.
HCP diharapkan menerima pelatihan tentang CPR dan secara efektif dapat menjalankan
kompresi dan ventilasi. Namun, prioritas untuk penyedia layanan medis, terutama jika
bertindak sendiri, harus tetap mengaktifkan sistem tanggapan darurat dan menjalankan
kompresi dada. Mungkin terdapat kondisi yang harus terjadi perubahan urutan, misalnya
ketersediaan AED yang dapat dengan cepat diambil dan digunakan oleh penyedia
layanan medis.
AHA 2015: Untuk pasien dewasa yang mengalami serangan jantung dan terlihat jatuh
saat AED dapat segera tersedia, penting bahwa defibrillator digunakan secepat mungkin.
Untuk orang dewasa yang mengalami serangan jantung tidak terpantau atau saat AED
tidak segera tersedia, penting bila CPR dijalankan sewaktu peralatan defibrillator sedang
diambil dan diterapkan, dan bila defibrilasi, jika diindikasikan, diterapkan segera setelah
perangkat siap digunakan.
AHA 2010: Penolong tidak terlatih dan HCP perlu melakukan kompresi dada
AHA 2015: Pada orang dewasa yang menjadi korban serangan jantung, penolong perlu
melakukan kompresi dada pada kecepatan 100 hingga 120/min.
Alasan: Nilai kecepatan kompresi minimum yang direkomdasi tetap 100/min. kecepatan
batas atas 120/min telah ditambahkan karena 1 rangkaian register besar menunjukkan
bahwa saat kecepatan kompresi meningkat menjadi lebih dari 120/min, kedalaman
kompresi akan berkurang tergantung pada dosis. Misalnya, proporsi kedalaman kompresi
tidak memadai adalah sekitar 35% untuk kecepatan kompresi 100 hingga 119/min,
namun bertambah menjadi kedalaman kompresi tidak memadai sebesar 50% saat
kecepatan kompresi berada pada 120 hingga 139/min dan menjadi kedalaman kompresi
tidak memadai sebesar 70% saat kecepatan kompresi lebih dari 140/menit.
AHA 2010: Tulang dada orang dewasa harus ditekan minimum sedalam 2
inci (5 cm).
AHA 2015: Sewaktu melakukan CPR secara manual, penolong harus melakukan
kompresi dada hingga kedalaman minimum 2 inci (5 cm) untuk dewasa rata-rata, dengan
tetap menghindari kedalam kompresi dada yang berlebihan (lebih dari 2,4 inci [6 cm]).
6. Rekoil Dada
AHA 2010: Penolong harus membolehkan rekoil penuh dinding dada setelah setiap
kompresi agar jantung terisi sepenuhnya sebelum kompresi berikutnya dilakukan.
AHA 2015: Penting bagi penolong untuk tidak bertumpu di atas dada di antara kompresi
untuk mendukung rekoil penuh dinding dada pada pasien dewasa saat mengalami
serangan jantung.
Alasan: Rekoil penuh dinding dada terjadi bila tulang dada kembali ke posisi alami atau
netralnya saat fase dekompresi CPR berlangsung. Recoil dinding dada memberikan
tekanan intratoraks negatif yang mendorong pengembalian vena dan aliran darah
kardiopulmonari. Bertumpu di atas dinding dada di antara kompresi akan menghalangi
recoil penuh dinding dada. Recoil tidak penuh akan meningkatkan tekanan intrathoraks
dan mengurangi pengembalian vena, tekanan perfusi coroner, dan aliran darah
miokardium, serta dapat mempengaruhi hasil resusitasi.
AHA 2010: Penolong harus berupaya meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan
dalam kompresi untuk mengoptimalkan jumlah kompresi yang dilakukan permenit.
AHA 2015: Untuk orang dewasa yang mengalami serangan jantung dan menerima CPR
tanpa saluran udara lanjutan, mungkin perlu untuk melakukan CPR dengan sasaran fraksi
kompresi dada setinggi mungkin, dengan target minimum 60%.
Alasan: Gangguan dalam kompresi dada dapat ditunjukkan sebagai bagian dari
perawatan yang diperlukan (misalnya, analisis ritme dan ventilasi) atau yang tidak
disengaja (misalnya, gangguan terhadap penolong). Fraksi kompresi dada adalah
pengukuran proporsi waktu resusitasi total yang dilakukan kompresi. Peningkatan fraksi
kompresi dada dapat diperoleh dengan meminimalkan jeda dalam kompresi dada.
Sasaran optimal untuk fraksi kompresi dada belum didefinisikan. Penambahan fraksi
kompresi target ditujukan untuk membatasi gangguan dalam kompresi dan
mengoptimalkan perfusi coroner dan aliran darah saat CPR berlangsung.
8. Ventilasi tertunda
AHA 2010: -
AHA 2015: Untuk pasien OHCA yang terpantau dengan ritme dapat dikejut, mungkin
penting bagi sistem EMS dengan umpan balik beberapa tingkat berbasis prioritas untuk
menunda ventilasi bertekanan positif (PPV/Positive Pressure Ventilation) dengan
menggunakan strategi hingga 3 siklus dari 200 kompresi berkelanjutan dengan insuflasi
oksigen pasif dan tambahan saluran udara.
Alasan: Beberapa system EMS telah menguji strategi penerapan kompresi dada awal
secara berkelanjutan dengan PPV tertunda untuk korban OHCA dewasa. Dalam semua
sistem EMS ini, penyedia layanan menerima pelatihan tambahan dengan penekanan pada
penerapan kompresi dada berkualitas tinggi. Tiga penelitian dalam sistem yang
menggunakan umpan balik beberapa tingkat berbasis prioritas dalam komunitas
perkotaan dan pedesaan, serta memberikan paket perawatan mencakup hingga 3 siklus
insuflasi oksigen pasif, penyisipan tambahan saluran udara, dan 200 kompresi dada
berkelanjutan dengan penerapan kejut, menunjukan peningkatan kelangsungan hidup
pasien dengan status neurologis yang dapat diterima pada korban serangan jantung yang
terlihat jatuh dan dengan dengan ritme dapat dikejut.
• Kedalaman kompresi untuk dewasa minimal 2 inchi (5 cm), sedangkan untuk bayi
minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm)
dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm).
• Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum). Petugas
berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping korban jika korban
berada di tempat tidur (bila perlu dengan bantuan ganjalan kaki untuk mencapai tinggi
yang diinginkan sehingga dan papan kayu untuk mendapatkan kompresi yang efektif
selama tidak memakan waktu).
Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian setiap 2 menit.
Prosedur RJP
Pada dasarnya resusitasi jantung paru terdiri dari 2 elemen : kompresi dada dan mulut-
ke-mulut (mouth-to-mouth) napas buatan.Sebelum menolong korban, hendaklah menilai
keadaan lingkungan terlebih dahulu:
2. Apakah korban tampak mulai tidak sadar, tepuk atau goyangkan bahu korban dan
bertanya dengan suara keras “Apakah Anda baik-baik saja?”
3. Apabila korban tidak berespon, mintalah bantuan untuk menghubungi rumah sakit
terdekat, dan mulailah RJP
Bantuan Hidup Dasar
Prinsip utama dalam resusitasi adalah memperkuat rantai kelangsungan hidup (chain of
survival). Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi koordinasi rantai kelangsungan
hidup. Urutan rantai kelangsungan hidup pada pasien dengan henti jantung (cardiac
arrest) dapat berubah tergantung lokasi kejadian: apakah cardiac arrest terjadi di dalam
lingkungan rumah sakit (HCA) atau di luar lingkungan rumah sakit (OHCA).
Dalam melakukan resusitasi jantung paru, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Pengenalan dan pengaktifan cepat sistem tanggapan darurat Jika melihat seorang yang
tiba-tiba jatuh atau tidak responsive maka petugas kesehatan harus mengamankan tempat
kejadian dan memeriksa respon korban. Tepukan pada pundak dan teriakkan nama
korban sembari melihat apakah korban tidak bernafas atau terengah-engah. Lihat apakah
korban merespon dengan jawaban, erangan atau gerakan. Penolong harus memanggil
bantuan terdekat setelah korban tidak menunjukkan reaksi. Akan lebih baik bila penolong
juga memeriksa pernapasan dan denyut nadi korban seiring pemeriksaan respon pasien
agar tidak menunda waktu dilakukannya RJP.
Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik). Kriteria penting untuk
mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah:
a. Kompresi dada diberikan dengan kecepatan minimal 100 kali per menit dan maksimal
120 kali per menit. Pada kecepatan lebih dari 120 kali / menit, kedalaman kompresi akan
berkurang seiring semakin cepatnya interval kompresi dada.
b. Kompresi dada dilakukan dengan kedalaman minimal 2 inci (5 cm) dan kedalaman
maksimal 2,4 inci (6 cm). Pembatasan kedalaman kompresi maksimal diperuntukkan
mengurangi potensi cedera akibat kedalaman kompresi yang berlebihan. Pada pasien
bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm)
dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm). Pada pasien anak dalam masa pubertas (remaja),
kedalam kompresi dilakukan seperti pada pasien dewasa.
c. Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum). Petugas
berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping korban jika korban
berada di tempat tidur.
d. Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi. Selama melakukan siklus
kompresi dada, penolong harus membolej\hkan rekoil dada penuh dinding dada setelah
setiap kompresi; dan untuk melakukan hal tersebut penolong tidak boleh bertumpu di
atas dada pasien setelah setiap kompresi.
f. Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan
nafas melalui head tilt – chin lift. Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang
maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust.
i. Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian setiap 2 menit.
Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi
dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan
memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus perbandingan kompresi
dan ventilasi adalah 30 : 2.
RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun, atau petugas
ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan
lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan
advance airway.
1. Penting :
a. Adrenalin : Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang diberikan
0,5 – 1 mg iv diulang setelh 5 menit sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat
meningkatkan pemakaian O2 miokard, takiaritmi, dan fibrilasi ventrikel.
d. Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara
meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada dosis
terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan
arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan
iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang
berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang multi fokal dan episode
takikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa
diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg/menit, biasanya tidak
lebih dari 4 mg/menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml).
2. Berguna
b. Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna
untuk kasus-kasus takikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang
dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg
iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat.
• Airway. Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka
bebaskan jalan nafas melalui head tilt– chin lift. Namun jika korban dicurigai cedera
tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust.
• Breathing. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik
diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal
yang masuk adekuat.
• Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua selama satu detik.
Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui mulut korban dapat
dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban. Untuk pemberian melalui bag mask
pastikan menggunakan bag mask dewasa dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan
ventilasi yang memenuhi volume tidal sekitar 600 ml. Setelah terpasang advance airway
maka ventilasi dilakukan dengan frekuensi 6 – 8 detik/ventilasi atau sekitar 8-10
nafas/menit dan kompresi dada dapat dilakukan tanpa interupsi.
RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun, atau
petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak
memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau
pemasangan advance airway.
Alat defibrilasi otomatis
Posisi mantap
Ringkasan komponen BLS (basic life support) bagi dewasa, anak-anak dan bayi
1. Penting:
a. adrenalin : Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang
fibrilasi ventrikel.
Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan
Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang
dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total
pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu
1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500
2. Berguna:
fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti
jantung. Bila ada kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg
methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan.
Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan
monitoring.
F: (Fibrilation Treatment)
Gambaran EKG pada Ventrikel Fibrilasi ini menunjukan gelombang listrik tidak teratur
Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang sebelah kiri
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari kerusakan
lebih lanjut, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic yang permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf pusat yaitu
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang
pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila
Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil, tingkat
kesadaran, gerakan dan pernafasan spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam
tanpa pernafasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya menandakan
ventrikuler secara berturut-turut selama 10 menit atau lebih sesudah RJP yang tepat
memberikan kejutan listrik melalui dinding dada ke jantung. Pemberian Shock dapat
menghentikan ritme tidak biasa (VT dan VF) dan memungkinkan irama normal
Segera setelah mengaktifkan respon gawat darurat, penolong (jika sendirian) harus segera
menjangkau AED (Automated External Defibrilator) yang tersedia dekat dan terjangkau
dan kemudian segera kembali ke pasien dan memasang AED dan tetap mempertahankan
CPR dengan kualitas tinggi. Jika dua penolong tersedia, maka satu penolong dapat
menjangkau AED terdekat sementara seorang penolong lain tetap memberikan CPR
perekat (Patch) yang diletakkan pada dinding dada pasien. Satu elektroda akan
ditempatkan pada dada kanan tepat di bawah tulang clavikula sedangkan satu elektroda
lain diletakkan pada sisi lateral dibawah aksila dada kiri pasien ( Sternal dan Apical)..
Komputer secara otomatis akan menganalisa apakah tindakan defibrilasi perlu dilakukan.
AED akan mengistruksikan kepada penolong apakah defibrilasi dapat dilakukan atau
tidak.
Aplikasi terapi elektrik melalui tindakan defibrilasi dapat digunakan untuk menyelamatkan
nyawa jika digunakan secara tepat. Pengunaan defibrillator mampu meningkatkan angka
keselamatan hanya jika segera digunakan dalam hitungan menit. Defibrilasi merupakan
terapi yang tepat pada kasus VT dan VF tanpa nadi akan tetapi, bukan merupakan indikasi
pada kasus PEA ataupun asystole. Tindakan defibrilasi dapat diberikan diantara dua siklus
CPR jika terdapat perintah bahwa gelombang yang muncul VT ataupun VF.
AED harus tersedia segera setelah aktifasi EMS (Should For Help). Dalam sebuah
penelitian didapatkan bahwa, ketika defibrilasi dilakukan dalam 1,5-3 menit setelah CPR
dilakukan. Penundaan tindakan defibrilasi akan menurunkan harapan hidup pasien 7-10%
setiap menitnya. Berikut merupakan gambar diagram teknis pemberian CPR dan
Keadaan Khusus
Dada yang berbulu
Dalam beberapa keadaan, penolong mungkin menemui korban dengan permukaan dada
yang berbulu. Jika hal ini terjadi maka Patch tidak akan menempel secara optimal. AED
Air
Air merupakan konduktor listrik yang baik. Jangan menggunakan AED saat berada di air.
Jika korban berada di air, maka pindahkan lah terlebih dahulu ke area yang kering. Jika
dada korban basah maka keringkan terlebih dahulu. Dada yang basah karena air akan
mengalirkan aliran listrik ke permukaan dada sehingga dosis energy yang ditargetkan ke
terpasang Implanted Defibrilator. Alat ini akan secara otomatis mengalirkan ”Shock” jika
korban menderita serangan. Alat ini sangat mudah dikenali dengan adanya tonjolan
sebesar tumpukan kartu di bawah kulit yang terletaj di dada berbatasan dengan perut
bagian atas. Jika pasien telah meggunakan Implanted Defibrilator, hindari menempatkan
Pads diatas Implanted Defibrilator karena dapat menghalangi aliran listrik yang diberikan
AED ke jantung.
nitroglycerin, pain theraphy, HRT, dan antihipertensi). Penempatan Pads AED tepat di
atas Trasdermal Medication Patch akan menghalangi aliran listrik dan menyebabkan luka
bakar pada kulut korban. Lepaskan Trasdermal Medication Patch, usap dan bersihkan area
AED digunakan untuk menghidupkan kembali seseorang dari serangan jantung mendadak.
Ini biasanya terjadi ketika gangguan pada aktivitas listrik jantung menyebabkan detak
jantung yang sangat cepat (ventrikel takikardia) atau detak jantung yang cepat dan tidak
teratur (fibrilasi ventrikel). Salah satu dari ritme jantung yang tidak teratur ini membuat
jantung tidak dapat memompa secara efektif dan dapat menyebabkannya berhenti. Ketika
ini terjadi, otak dan organ vital lainnya tidak mendapatkan darah dan oksigen yang mereka
butuhkan. Ini membutuhkan perawatan dalam beberapa menit untuk mencegah kematian.
Semakin cepat ritme jantung pulih, semakin besar kemungkinan tidak terjadi kerusakan
Jika AED berada di dekat seseorang yang mengalami fibrilasi ventrikel atau takikardia
ventrikel, pengamat di tempat umum atau anggota keluarga dapat menggunakannya untuk
dapat menjaga aliran darah ke jantung dan otak untuk sementara waktu. Namun seringkali
hanya defibrilasi yang dapat mengembalikan irama jantung. Bersama-sama perawatan ini
2. Perbesar gambar
1. Periksa untuk melihat apakah orang tersebut bernapas dan memiliki denyut
nadi.
2. Jika Anda tidak dapat merasakan denyut nadi dan korban tidak bernapas,
hubungi bantuan darurat. Jika ada orang lain yang hadir, satu orang dapat
menelepon 911 sementara yang lain menyiapkan AED . Jika Anda sendirian,
hubungi 911 atau layanan darurat terlebih dahulu untuk memastikan bantuan
segera datang.
suara langkah demi langkah. Ini akan memberi tahu Anda cara memeriksa
irama jantung orang tersebut dan menentukan apakah diperlukan kejutan. Jika
ya, mesin memberi tahu pengguna untuk mundur dan menekan tombol untuk
memberikan kejutan. AED diprogram untuk tidak memberikan kejut jika kejut
tidak diperlukan .
5. Mulai CPR . Mulailah CPR setelah kejut diberikan jika CPR masih
AED rumah dilengkapi dengan instruksi yang menjelaskan cara menggunakan dan
merawat perangkat. Di rumah dengan AED , sebaiknya semua orang di rumah membaca
Polisi dan kru ambulans membawa AED . Plus, mereka biasanya tersedia di banyak
tempat umum, termasuk mal, gedung perkantoran, arena olahraga, pusat kebugaran, dan
pesawat terbang. Namun, banyak serangan jantung terjadi di rumah, sehingga memiliki
AED di rumah dapat menghemat waktu yang berharga dalam menghidupkan kembali
seseorang dengan fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel. Pendukung AED rumah
banyak nyawa. Tetapi para kritikus berpendapat tidak ada bukti yang dapat dipercaya
Berikut adalah beberapa hal yang perlu diingat saat mempertimbangkan apakah akan
Risiko kematian jantung mendadak. Untuk seseorang yang berisiko tinggi mengalami
kematian jantung mendadak karena masalah irama jantung tertentu, penyedia layanan
(ICD) daripada AED . ICD ditanamkan di dada dan terhubung ke jantung melalui kabel
Pengaturan hidup. Anda memerlukan seseorang untuk bersama Anda untuk menggunakan
AED jika Anda mengalami serangan jantung. Dan orang tersebut harus bisa naik ke lantai
untuk menggunakan perangkat dan bangkit kembali. Jika Anda tinggal sendiri atau jika
orang yang tinggal bersama Anda tidak dapat naik dan turun, AED di rumah mungkin
Biaya. AED rumah bisa mahal dan biasanya tidak ditanggung oleh asuransi.
Kesehatan dan kualitas hidup secara keseluruhan. Seseorang dengan banyak kondisi
medis, terutama yang mungkin berakibat fatal, atau yang memiliki jantung sangat lemah
yang tidak merespon pengobatan mungkin memilih untuk tidak diresusitasi dari kematian
jantung mendadak.
pengunjung mengetahui lokasi dan cara menggunakannya. Dan Anda harus membuatnya
tetap berfungsi dengan baik. Berikut adalah beberapa tips untuk membeli dan memelihara
AED rumah :
Henti jantung bisa terjadi ketika ada gangguan pada aktivitas listrik jantung. Gangguan ini
mulanya membuat detak semakin cepat dan tidak teratur (aritmia). Nah, aritmia membuat
jantung tidak dapat memompa darah secara efektif dan dapat menyebabkannya berhenti.
Melansir dari laman The Food and Drug Administration (FDA), peluang hidup seseorang
yang mengalami aritmia bisa menurun 7-10 persen untuk setiap menitnya. Ini karena, otak
dan organ vital lainnya tidak mendapatkan darah dan oksigen yang dibutuhkan.
Maka dari itu, dibutuhkan tindakan sesegera mungkin untuk mencegah kematian. Semakin
cepat ritme jantung dipulihkan, semakin kecil peluang kerusakan permanen pada otak dan
organ lainnya.
Pengkajian
1. Identitias klien :
2. Diagnosa medis :
3. Tindakan keperawatan : Resusitasi
4. Diagnosa Keperawatan : Penurunan Curah jantung
5. Data : Perubahan EKG
6. Resusitasi
Aktivitas-aktivitas :
Evaluasi ketiadaan respon untuk menentukan tindakan yang cepat
Panggil bantuan jika tidak ada pernapasan atau tidak ada respon
Lakukan RJP yang memfokuskan pada kompresi dada pada pasien
Mulai 30 kompresi dada dengan laju dan kedalaman yang spesifik dan menghindari
ventilasi berlebih
Berikan dua pernafasan buatan setelah pemberian 30 kompresi dada komplit
Monitor respon pasien setelah usaha resusitasi
Sediakan obat sesuai kebutuhan
Prinsip-prinsip tindakan dan rasional
a. Mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas (respiratory
arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest) pada orang dimana fungsi tersebut gagal total
oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup normal selanjutnya bila kedua fungsi
tersebut bekerja kembali.
c. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkukasi (fungsi jantung) dan ventilasi
(fungsi pernafasan/paru) pada pasien/korban yang mengalami henti jantung atau henti
nafas melalui Cardio Pulmonary Resuciation (CPR) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP)
8 Kontra indikasi :
c. Cardiac tamponade
e. Keadaan terminal penyakit yang tidak dapat disembuhkan, misalnya Gagal Ginjal
Kronis
10. Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan RJP, monitor EKG pasien masih menunjukan keterangan
Asistole, dan reaksi pupil terhadap cahaya negatif. Maknanya :Klien dinyatakan mati
biologis saat sel otak mengalami kematian, bila terjadi henti nafas dan henti jantung tidak
dapat mendistribusikan darah yang mengandung oksigen, kemungkinan kerusakan yang
irreversibel terjadi dalam 4-6 menit dan otak memulai kematian dalam 10 menit
DAFTAR PUSTAKA
AK, I., MI, M. J., NI, M. S., & NA, H. (2016). Outcome of early cardiopulmonary resuscitation in out-
of-hospital cardiac arrest managed in Universiti Kebangsaan Malaysia Medical
Centre. Medicine and Health, 38-46.
Detiana, S. K., & Sriwiyanti, S. P. (2020). Panduan Sederhana Memberikan Bantuan Hidup Dasar
(BHD). Lembaga Chakra Brahmana Lentera.
Kombong, R., & Hatala, T. N. (2022). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah: Prinsip Utama
dalam Bantuan Hidup Dasar. Penerbit NEM.
Sari, N. K. (2022). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Kardiopulmonal. Penerbit NEM.
Sulastri, T., Rustiawati, E., & Dewi, N. H. (2020). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Keberhasilan Bantuan Hidup Dasar Resusitasi Jantung Paru di Unit Gawat Darurat RSD DR.
Drajat Prawiranegara Kabupaten Serang. Jurnal Ilmiah Keperawatan, 1(1), 16-21.
Waluyo, E. M. J., & Kurniawan, R. (2022). BUKU MODUL: BANTUAN HIDUP DASAR.