Anda di halaman 1dari 74

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG

MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN

YANG DILAKUKAN OLEH AYAH TIRI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH :

HANDIKA PRAYOGA

19100195

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SLAMET RIYADI

SURAKARTA

2023
HALAMAN PERSETUJUAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENJADI

KORBAN TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN

OLEH AYAH TIRI

Diajukan oleh:

HANDIKA PRAYOGA

19100195

Disetujui untuk dipertahankan,


Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

(______________________) (______________________)
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini dipertahankan di depan tim penguji skripsi Fakultas Hukum


Universitas Slamet Riyadi Surakarta pada:

Hari :

Tanggal :

Tim Penguji :

1. Ketua :

2. Anggota : 1)

2)

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum


Universitas Slamet Riyadi Surakarta

Dr. Dora Kusumawati, S. H., M. H.


NIPY. 01100265
MOTTO

“Barang siapa keluar untuk mencari sebuah ilmu, maka ia akan berada di jalan

Allah hingga ia kembali.”

(HR Tirmidzi)

“The best way to get started is to quit talking and begin doing.”

(Walt Disney)
PERSEMBAHAN

Pertama-tama Puji Syukur saya panjatkan kepada Tuuhan Yang Maha Esa
atas berkat dan rahmatnya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik dan lancar. Skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. Skripsi ini saya persembahkan untuk Papa dan Mama, terima kasih atas doa,
semangat, motivasi, pengorbanan, nasihat serta kasih sayang yang tidak pernah
henti sampai saat ini.
2. Skripsi ini saya persembahkan untuk kakak saya, terima kasih telah menjadi
penyemangat dalam mengerjakan skripsi ini.
3. Saya persembahkan skripsi ini kepada teman-teman saya yang telah menemani
selama penulisan skripsi dan senantiasa memberikan motivasi untuk menjadi
lebih baik.
4. Skripsi ini saya persembahkan untuk Dosen Pembimbing saya Ibu Dr.
Widiastuti, S.H,M.S,.M.Hum dan Ibu Dr. Dora Kusumawati, S.H., M.H. yang
sudah membimbing serta memberi masukan dan saran selama ini, sehingga
saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. dan Banyak lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur Kepada Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan memberikan hidayah-Nya. Sholawat serta salam semoga
tercurah selalu kepada Rasulullah SAW, keluarga, dan para sahabat sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK
PIDANA PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH AYAH TIRI.”
Skripsi ini dimaksudkan untuk melengkapi dan memenuhi syarat guna
mendapatkan gelar sarjana hukum dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Meskipun penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan skripsi ini banyak hambatan dan kesulitan atau masalah yang
dihadapi. Namun berkat adanya bantuan dari berbagai pihak akhirnya hambatan
atau masalah tersebut dapat diatasi. Karena itu penulis dengan kerendahan dan
kesungguhan hati mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Bapak Rohenda dan Ibu Sri Winarsih Orang tua saya tercinta, kerja keras,
cinta, ketulusan dan kasih sayang yang diberikan kepada saya yang membuat
saya tergetar mengingat kerja keras Bapak dan Ibu demi masa depan saya yang
syarat dengan semangat untuk senantiasa membentuk dan membimbing
kepribadian saya, hingga saat menulis kata pengantar ini. Hanya dengan ridho
Bapak dan Ibu, sehingga Ridho Allah tercurah.
2. Ibu Dr. Dora Kusumawati, S.H., M.H. selaku dekan Fakultas Hukum
Universitas Slamet Riyadi Surakarta.
3. Xxxxx selaku Dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan penulis
dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen dan Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi
Surakarta yang telah membantu serta memberikan arahan kepada penulis
selama menuntut ilmu hingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi.
5. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi
Surakarta.
6. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini,
terimakasih atas bantuannya dan mohon maaf apabila saya tidak
mencantumkan seluruh nama secara definitive, ini semata-mata dikarenakan
keterbatasan penulis.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan karya
ilmiah yang jauh dari sempurna, penulis berharap, penulisan ini dapat menjadi
proses pembelajaran dan pengembangan diri bagi penulis.

Surakarta, Agustus 2023

Penulis

Handika Prayoga
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................................2
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................3
MOTTO...................................................................................................................4
PERSEMBAHAN....................................................................................................5
KATA PENGANTAR.............................................................................................6
DAFTAR ISI............................................................................................................8
ABSTRAK...............................................................................................................9
ABSTRACT...........................................................................................................10
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................11
A. Latar Belakang............................................................................................11
B. Rumusan Masalah.......................................................................................15
C. Tujuan Penelitian........................................................................................15
D. Manfaat Penelitian......................................................................................16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................17
A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum..........................................17
1. Pengertian Perlindungan Hukum.............................................................17
2. Perlindungan Hukum Bagi Pelaku Kejahatan.........................................19
3. Perlindungan Hukum Bagi Korban Kejahatan........................................20
B. Tinjauan Umum tentang Anak....................................................................23
1. Pengertian Anak......................................................................................23
2. Kenakalan Anak......................................................................................25
3. Hak-Hak Anak.........................................................................................27
C. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Persetubuhan...............................31
1. Pengertian Tindak Pidana........................................................................31
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana....................................................................32
3. Macam-Macam Tindak Pidana...............................................................34
4. Pengertian Tindak Pidana Persetubuhan.................................................35
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................37
A. Jenis Penelitian............................................................................................37
B. Sifat Penelitian............................................................................................38
C. Jenis dan Sumber Data................................................................................38
D. Teknik Pengumpulan Data..........................................................................39
E. Metode Analisis Data..................................................................................41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.......................................42
A. Penanganan Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana
Persetubuhan di Polres Wonogiri.......................................................................42
B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Tindak
Pidana Persetubuhan Yang Dilakukan Oleh Ayah Tiri......................................51
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................67
ABSTRAK
ABSTRACT
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan generasi penerus bangsa Indonesia, mempunyai hak

dan kewajiban ikut serta membangun negara dan bangsa Indonesia. Anak

merupakan subyek dan objek pembangunan nasional indonesia dalam

mencapai aspirasi bangsa, masyarakat yang adil dan makmur. Anak adalah

modal pembangunan, yang akan memelihara dan mempertahankan serta

pengembangan hasil pembangunan bangsa.1

Menurut M. Nasir Djamil, sebagai Negara yang Pancasilais, serta

menjunjung tinggi nilai-nilai Kebangsaan dan Kemanusiaan, Indonesia

memiliki banyak peraturan yang secara tegas memberikan upaya perlindungan

Anak. Dalam Konstitusi UUD 1945, Pasal 34 ayat (1) disebutkan bahwa “Fakir

Miskin dan Anak terlantar dipelihara oleh Negara”, kemudian juga

perlindungan spesifik hak anak sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia masuk

dalam Pasal 28 B ayat (2) bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,

tumbuh dan berkembang serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.2

Upaya perlindungan terhadap anak telah cukup lama dibicarakan baik di

Indonesia maupun di dunia Internasional. Pembicaraan mengenai masalah ini

tidak akan pernah berhenti, karena di samping merupakan masalah universal

juga karena dunia ini akan selalu dihiasi oleh anak-anak. Pembicaraan

1
Arif Gosita, 1985, Masalah Perlindungan Anak Akademika, Jakarta: Pressindo, hal.123.
2
M. Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan Untuk di Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hal.27.
mengenai anak ini menandakan masih adanya kasih sayang atau cinta kasih

diantara umat manusia, khususnya pada orang tua.

Tingginya angka kejahatan terhadap anak yang terjadi di masyarakat

tentunya sangat memperihatikan orang tua dan masyarakat. Definisi anak

sebagai korban menurut Pasal 1 angka 4 UU SPPA, merupakan “anak yang

menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban

adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami

penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh

tindak pidana”.

Segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia menjadi perhatian sebagai

kelompok problematic tersendiri. Manusia yang menjadi korban kejahatan itu

sama artinya dengan dirampas hak-hak asasinya. Eksistensi hak-hak asasi

manusia (HAM) dikalahkan oleh perilaku yang lebih mengedepankan

kebiadaban (kekejian) khususnya kejahatan seksual. Perilaku jahat tersebut

sudah sampai pada stadium yang membahayakn bagi kehidupan dan masa

depan bangsa terkhusus anak-anak yang menjadi korban. Dalam beberapa

waktu terakhir, kasus persetubuhan dan pelecehan di Indonesia kian meningkat

dan mencuat ke publik. Hal tersebut menjadikan Negara Indonesia darurat

kekerasan seksual. Bukan lagi masalah baru, melainkan sudah sejak lama

terjadi dan dari waktu ke waktu dapat memakan korban semakin meningkat

dengan modus operandi yang semakin tidak berperikemanusiaan. Tindak

pidana persetubuhan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap


perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan, utamanya

terhadap kepentingan seksual laki-laki.3

Pelaku kejahatan pemerkosaan dewasa ini tidak hanya dilakukan oleh

orang dewasa tetapi juga dilakukan oleh para remaja dan anak-anak, bahkan

tragisnya yang melakukan persetubuhan tersebut tidak lain adalah ayah tiri

korban itu sendiri. Cara pelaksaannya pun atau cara kerja atau yang lebih

dikenal dengan Modus Operandi kejahatan persetubuhan berbeda-beda, ada

yang dilakukan perorangan dan ada juga yang berkelompok. Para pelaku

biasanya sudah mengenal korbannya bahkan terkadang korban adalah anggota

keluaraga dari pelaku itu sendiri.

Pelaku persetubuhan bukan didominasi mereka yang berasal dari

golongan ekonomi menengah atau rendah apalagi kurang atau tidak

berpendidikan sama sekali, melainkan pelakunya sudah menembus semua

strata sosial dari strata rendah sampai tertinggi. Kejahatan tersebut dapat timbul

karena pengaruh lingkungan maupun latar belakang kejiwaan bahkan karena

guncangan psikis spontanitas akibat adanya rangsangan seksual. Rangsangan

seksual yang tidak terkendali melahirkan tindak pidana kesusilaan khususnya

kejahatan persetubuhan. Tindak pidana ini dapat dilakukan dengan melakukan

ancamaan, paksaan, kekerasan dan bahkan dapat dilakukan dengan

mempergunakan zat kimia yang dapat menghilangkan kesadaran seseorang

sekaligus menimbulkan rangsangan seksual tanpa disadarinya.

3
Abd. Wahid dan Muh Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi
atas Hak Asasi Perempuan, Bandung: PT Refika Aditama, hal. 1
Kejahatan kesusilaan secara umum merupakan perbuatan atau tindakan

melanggar kesusilaan yang sengaja merusak kesopanan dan tidak atas kemauan

si korban yaitu dengan paksaan dan melalui ancaman kekerasan. Tindakan

yang dapat dikatagorikan sebagai tindakan yang dapat melanggar kesusilaan

ialah persetubuhan. Sebagaimana menurut pendapat Abdul Wahid dan

Muhammad Irfan menjelaskan bahwa masalah kekerasan seksual

(persetubuhan) merupakan salah satu bentuk kejahatan yang melecehkan dan

menodai harkat kemanusiaan, serta patut dikategorikan sebagai jenis kejahatan

melawan kemanusiaan (crime againts humanity) atau kesusilaan.4

Menurut pendapat Dewantara Agung Nanda mengatakan bahwa pada

tahap pemeriksaan terhadap korban kejahatan seperti korban persetubuhan atau

perkosaan dilakukan dengan tidak memperhatikan hak-hak asasi korban.

Sementara itu, pada tahap penjatuhan putusan hakim, korban kembali

dikecewakan karena putusan yang dijatuhkan pada pelaku cukup ringan atau

jauh dari memperhatikan hak-hak asasi anak.5

Menurut R. Soesilo bahwa tindakan persetubuhan yakni segala perbuatan

yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji semua itu

dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman meraba-raba

anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan lain sebagainya pada

umumnya yang menjadi kasus perbuatan persetubuhan ini adalah anak-anak.3

Sudah sepatutnya aparat penegak hukum memberikan perlindungan hukum


4
Abd. Wahid dan Muh Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi
atas Hak Asasi Perempuan, Bandung: PT Refika Aditama, hal. 2
5
Dewantara Agung Nanda, 1987, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Perkara
Pidana, Jakarta: Aksara Persada Indonesia, hal.54.
kepada korban seperti restitusi dan juga retribusi serta kompensasi kepada

korban pelanggaran hak asasi manusia seperti korban pencabulan sehingga

proses hukum tidak tumpang tindih melainkan terciptanya hukum yang

berkeadilan.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis terdorong untuk

melakukan penelitian dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA

PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH AYAH TIRI”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang dan fenomena yang telah

diuraikan pada pembahasan sebelumnya, maka peneliti membuat rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Penanganan Terhadap Anak Yang menjadi Korban Tindak

Pidana Persetubuhan di Polres Wonogiri?

2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi

korban tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh ayah tiri?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian diatas

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Penanganan Terhadap Anak Yang menjadi Korban

Tindak Pidana Persetubuhan di Polres Wonogiri.


2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi

korban tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh ayah tiri.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat atau berguna baik secara

teoritis maupun praktis sebagai berikut:

1. Manfaat secara Teoritis.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman

mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak

pidana persetubuhan yang dilakukan oleh ayah tiri dan untuk memberikan

sumbangan pemikiran bagi pengembangannya dibidang ilmu hukum pada

umumnya dan hukum pidana khususnya serta dapat menjadi acuan terhadap

penelitian-penelitian sejenisnya.

2. Manfaat secara Praktis.

Penelitian ini diharapkan memberikan jawaban atas permasalahan

yang akan diteliti dan memberikan gambaran serta informasi terhadap

penelitian sejenis ini. Selain itu juga bermanfaat bagi masyarakat umum

maupun bagi mahasiswa sebab dengan adanya penelitian ini dapat

memberikan wawasan dan pemahaman terkait perlindungan hukum

terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana persetubuhan yang

dilakukan oleh ayah tiri.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum

1. Pengertian Perlindungan Hukum

Menurut Setiono Perlindungan Hukum merupakan tindakan dan/atau

upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh

penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan

ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk

menikmati martabatnya sebagai manusia.6 Senada dengan Setiono, Satjipto

Rahardjo menjelaskan perlindungan hukum adalah adanya upaya

melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu

kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya

tersebut.7

Perlindungan hukum juga dapat diartikan penyempitan dari

perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja.

Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak

dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek

hukum dalam interaksinya dengan sesame manusia serta lingkungannya.

Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk

melakukan suatu tindakan hukum.8

6
Setiono, 2004, Supremasi Hukum, Surakarta: UNS, Hal. 3
7
Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Kompas, Hal. 121.
8
C.S.T Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
Hal 102
Berbeda dengan Muchsin, Muchsin menjelaskan perlindungan hukum

merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan

pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu:9

a. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk

mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam

peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu

pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam

melakukan suatu kewajiban;

b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa

sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan

apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.\

Walaupun telah ada bukti awal yang mengkuatkan tuduhan sebagai

pelaku kejahatan, yang bersangkutan tetap berkedudukan sama sebagai

manusia yang memiliki hak-hak asasi yang harus dihormati oleh siapa pun

termasuk negara, hukum acara pidana di Indonesia mengenal asas praduga

tidak bersalah (presumption of innocence) dimana seseorang dianggap tidak

bersalah selama belum ada putusan hakim yang menyatakan sebaliknya.

Tujuan diberikannya perlindungan hukum bagi pelaku kejahatan adalah

9
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia, Surakarta:
Universitas Sebelas Maret, Hal. 20
untuk menghormati hak asasi pelaku kejahatan agar nasibnya tidak

terkatung-katung, adanya kepastian hukum bagi si pelaku, serta

menghindari perlakuan sewenang-wenang dan tidak wajar.10

2. Perlindungan Hukum Bagi Pelaku Kejahatan

Perlindungan hukum bagi pelaku kejahatan (tersangka atau terdakwa)

dalam sistem hukum pidana nasional banyak diatur dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Beberapa bentuk perlindungan

terhadap pelaku kejahatan yang dapat ditemukan dalam KUHAP, antara lain

sebagai berikut:11

a. Hak untuk mengetahui dasar/alasan penangkapan, penahanan dan/atau

penjatuhan pidana terhadap dirinya. Hak-hak ini dapat dilihat pada Pasal

50, Pasal 51, dan Pasal 59 KUHAP.

b. Hak untuk memperoleh ganti kerugian maupun rehabilitasi, apabila

penangkapanm penahanan ataupun penjatuhan pidana terhadap dirinya

tidak berdasarkan hukum. Hak ini dapat ditemukan dalam Pasal 95, Pasal

97 KUHAP.

c. Hak untuk mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan. Hak

ini dapat dilihat pada Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62 KUHAP.

d. Hak untuk tidak mengeluarkan pernyataan (hak untuk diam). Hak ini

dapat ditemukan dalam Pasal 52 KUHAP.

10
Dikdik M. Arief Mansyur dan Gultom Elisatris, 2007, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan: Antara Norma dan Realita, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Hal. 20
11
Ibid, 18
e. Hak untuk diperlakukan sama (tanpa diskriminasi). Hak ini dapat dilihat

pada Pasal 153, Pasal 158 KUHAP.

f. Hak untuk didampingi oleh penasihat hukum. Hak ini dapat dilihat pada

Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58 KUHAP.

Menurut Kansil, dalam KUHAP pelaku kejahatan diberikan hak

yakni:12

a. Untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya

tentang apa yang disangkakan atau didakwakan;

b. Untuk menerima kunjungan dokter pribadinya selama penahanan untuk

kepentingan kesehatan, baik yang ada hubungannya dengan proses

perkara maupun tidak;

c. Untuk menerima kunjungan dokter keluarga untuk mendapat jaminan

bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan

hukum ataupun untuk kepentingan pekerjaan atau kepentingan

kekeluargaan;

d. Untuk menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniawan;

e. Untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum;

f. Tidak dibebankan kewajiban pembuktian.

3. Perlindungan Hukum Bagi Korban Kejahatan

Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara

memadai tidak saja merupakan isu nasional tapi juga internasional.

Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius, hal

12
Dikdik M. Arief Mansyur dan Gultom Elisatris, 2007, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan: Antara Norma dan Realita, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Hal. 19
tersebut dapat dilihat dari dibentuknya Declaration of Basic Principles of

Justice for Victims of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-

Bangsa, sebagai hasil dari The Seventh United Nation Congress on The

Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di

Milan, Italia, September 1985. Dalam Deklarasi Milan 1985 tersebut,

bentuk perlindungan yang diberikan mengalami perluasan, tidak hanya

ditujukan pada korban kejahatan (victims of crime) tetapi juga perlindungan

terhadap korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 40/A/Res/34 Tahun

1985 telah menetapkan beberapa hak korban agar lebih mudah memperoleh

akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan yaitu:13

a. Belas Kasih, Saling Menghormati, dan Pengakuan (Compassion, respect

and recognition);

b. Menerima informasi dan penjelasan dari proses kasus (Receive

information and explanation about the progress of the case);

c. Mendapatkan informasi (Provide information);

d. Mendapatkan bantuan yang sesuai (Providing proper assistance);

e. Perlindungan terhadap privasi dan keselamatan diri (Protection of

privacy and physical safety);

f. Restitusi dan Kompensasi (Restitution and compensastion); dan

g. Akses terhadap mekanisme ssstem peradilan (to access to the mechanism

of justice system).

13
Dikdik M. Arief Mansyur dan Gultom Elisatris, 2007, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan: Antara Norma dan Realita, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Hal. 54
Hukum Indonesia menempatkan korban sebagai pihak yang paling

dirugikan, karena selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan

yang menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik dan psikologis, korban

juga harus menanggung derita berganda karena tanpa disadari sering

diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian

hukum, misalnya harus kembali mengemukakan, mengingat bahkan

merekonstruksi kejahatan yang menimpanya demi kepentingan

penyelidikan, penyidikan maupun saat di pengadilan. Perlindungan hukum

terhadap korban kejahatan diperlukan dalam suatu negara salah satunya

dikarenakan sudah banyaknya korban yang berjatuhan karena tidak adanya

jaminan yang diberikan terhadap korban maupun saksi dari suatu kejahatan.

Perlindungan korban pada hakikatnya merupakan perlindungan hak asasi

manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh C. Maya Indah, bahwa the rights

of the victim are a component part of the concept of human rights.14

Perlindungan korban dalam konsep luas meliputi dua hal, yaitu:15

a. Perlindungan korban untuk tidak menjadi korban kejahatan atau yang

identik dengan perlindungan hak asasi manusia atau kepentingan hukum

seseorang. Berarti perlindungan korban tidak secara langsung.

b. Perlindungan untuk memperoleh jaminan atau santunan hukum atas

penderitaan atau kerugian orang yang telah menjadi korban kejahatan,

termasuk hak korban untuk memperoleh assistance dan pemenuhan hak

14
C. Maya Indah S, 2014, Perlindungan Korban, Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi,
Jakarta: Prenadamedia Group, Hal. 121
15
Ibid, Hal. 125
untuk acces to justice and fair treatment. Hal ini berarti adalah

perlindungan korban secara langsung.

Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan sebagai bagian dari

perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk,

seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan

bantuan hukum.

B. Tinjauan Umum tentang Anak

1. Pengertian Anak

Pengertian anak berbeda-beda dalam beberapa peraturan perundang-

undangan di Indonesia yang memberikan pengertian tentang anak, peraturan

undang-undang yang memberikan pengertian tentang anak antara lain:16

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dalam Pasal 330

menyatakan anak adalah seseorang belum dewasa yaitu mereka yang

belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu

telah kawin.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 45

menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum dewasa yaitu

belum mencapai umur enam belas tahun.

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dalam Pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa anak adalah mereka

16
Laurensius Arliman S, 2015, Komnas HAM dan Perlindungan Anak Pelaku Tindak Pidana,
Yogyakarta: Deepublish, hal 9-11.
yang belum dewasa yaitu 16 (enam belas) untuk perempuan dan 19

(sembilan belas) tahun untuk laki-laki.

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak dalam Pasal 1 angka menyatakan bahwa anak adalah

seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan

belum pernah menikah.

e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak dalam Pasal 1 angka 2 menyatakan anak adalah orang

yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun

tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah

kawin.

f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang

Hak Asasi Manusia dalam Pasal 1 Angka 5, anak adalah setiap manusia

yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,

termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi

kepentingannya.

g. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan Anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak

yang masih dalam kandungan.

h. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Pasal 1 angka 5


menyatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

i. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Pornografi dalam Pasal 1 angka 4 menyatakan anak adalah seorang yang

belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

j. Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of Child) yang

disetujui oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 November 1984 dan

disahkan oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun

1990, Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun,

kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa

usia dewasa dicapai lebih awal.

2. Kenakalan Anak

Kenakalan anak berasal dari istilah Juvenale Delinquency akan tetapi

kenakalan anak bukan kenakalan yang dimaksud dalam Pasal 489 KUHP. 17

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Delinquency diartikan sebagai

tingkah laku yang menyalahi (secara ringan) meliputi norma dan hukum

yang berlaku dalam masyarakat.18

Romli Atmasasmita menerangkan bahwa delinquency adalah suatu

perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh seorang anak di bawah umur

18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin yang perbuatan tersebut

dianggap bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku di suatu

17
Liza Agnesta Krisna, 2018, Hukum Perlindungan Anak: Panduan Memahami Anak Yang
Berkonflik Dengan Hukum, Yogyakarta: Deepublish, Hal. 34.
18
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, Hal. 219.
negara dan oleh masyarakat dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan

yang tercela.19

Sedangkan Kartini Kartono mengartikan Kenakalan remaja adalah

suatu perilaku jahat, kejahatan atau kenakalan anak-anak muda yang

merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja

yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu

mengembangkan bentuk pengabaian menjadi tingkah laku yang

menyimpang. Kartini Kartono menegaskan bahwa deliquency selalu

mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang

dilakukan anak-anak muda di bawah usia 22 tahun.20

Soedjono Dirjosisworo, menerangkan bahwa suatu kejahatan dapat

dilihat dari:21

a. Menurut segi yuridis, yaitu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang

dan pelanggarannya diancam dengan sanksi;

b. Segi kriminologi, yaitu perbuatan yang melanggar norma-norma yang

berlaku di dalam masyarakat dan mendapat reaksi negatif dari

masyarakat.

c. Segi psikologi, yaitu perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat

melanggar norma hukum, yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiawaan

dari perbuatan pelaku.

19
Maidin Gulton, 2014, Perlindungan Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di
Indonesia, Bandung: Refika Aditama, Hal 67
20
Kartini Kartono, 2010, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Jakarta: Rajawali Pers, Hal 6
21
Soedjono Dirdjosisworo, 1997, Ilmu Jiwa Kesehatan, Bandung: Karya Nusantara, Hal. 20
Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak istilah anak nakal tidak dikenal lagi tetapi

digunakan istilah anak yang berkonflik dengan hukum. Menurut Pasal 1

angka 3 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan

bahwa: “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut

anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum

berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”

3. Hak-Hak Anak

Yang bertanggungjawab dalam perlindungan anak adalah Negara,

Pemerintah, Pemerinta Daerah, Masyarakat, Keluarga, Orang Tua atau wali.

Kewajiban Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur Dalam Pasal

21 – 24. Kewajiban Masyarakat diatur dalam Pasal 25. Kewajiban Orang

Tua dan Keluarga diatur dalam Pasal 26.22

Dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of Child),

hak anak dibagi menjadi 4 (empat) bagian kategori, yaitu antara lain:

a. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights)

yaitu hak anak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak utuk

melestarikan dan mempertahankan hidup (the rights of life) dan hak

untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang

sebaik-baiknya.

b. Hak terhadap perlindungan (protection rights)

22
Bambang Ali Kusumo, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, ADIWIDYA, Volume I Nomor 1
- November 2017.
yaitu hak anak dalam konvensi hak anak yang melipputi hak

perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan keterlantaran bagi anak

yang tidak mempunyai keluarga dan bagi anak-anak pengungsi.

c. Hak untuk tumbuh kembang (development rights)

yaitu hak anak dalam konvensi hak anak yang meliputi segala

bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai

standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spritual,

moral dan sosial anak.

d. Hak untuk berpartisipasi (participation rights)

yaitu hak anak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak anak

untuk menyatakan berpendapat di dalam segala hal yang akan

mempengaruhi kehidupan anak-anak sehingga anak dapat berpartisipasi

tanpa ada halangan dari orang lain (the rights of child to exress her/his

views in all metters affecting that child).

Hak-hak Anak tertuang dalam ketentuan Pasal 4 sampai Pasal 18

Undang-Undang Perlindungan Anak, yaitu sebagai berikut:23

a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan

berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi. (Pasal 4)

b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai nama atas identitas dan status

kewarganegaran. (Pasal 5)

23
Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Pembaharuan Sostem Peradilan Pidana Anak
di Indonesia, Yogyakarta: Genta publishing, Hal. 25
c. Setiap anak berhak beribadah menurut agamanya dan berpikir sesuai

dengan tingkat kecerdasan dan dalam bimbingan orang tuanya. (Pasal 6

UU 35 Tahun 2014)

d. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan

diasuh oleh orang tuanya sendiri atau oleh orang lain bila orang tuanya

tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak. (Pasal 7)

e. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial

sesuai dengan kebutuhan fiisk, mental, spiritual, dan sosial. (Pasal 8)

f. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai

dengan minat dan bakatnya. (Pasal 9 Ayat 1)

g. Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari

kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga

kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. (Pasal 9 Ayat 1a

UU 35 Tahun 2014)

h. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,

mencari, memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan

usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nlai-nilai kesusilaan

dan kepatutan. (Pasal 10)

i. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang

bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat,

bakat, dan tingkat kecerdasannya. (Pasal 11)


j. Setiap Anak Penyandang Disabilitas berhak memperoleh rehabilitasi,

bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. (Pasal 12 UU

35 Tahun 2014)

k. Setiap anak selama pengasuhan orang tua, wali dan pihak lain berhak

mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi,

penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakdilan,

perlakuan salah lainnya. (Pasal 13)

l. Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika

ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa

pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan

merupakan pertimbangan terakhir. Dalam hal terjadi pemisahan, Anak

tetap berhak:

1) bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua

Orang Tuanya;

2) mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan

perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya

sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;

3) memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan

4) memperoleh Hak Anak lainnya. (Pasal 14 UU 35 Tahun 2014)

m. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan

dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata pelibatan

dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam perisitiwa yang mengandung


unsur kekerasan, dan pelibatan daalam peperangan serta kejahatan

seksual. (Pasal 15 UU 35 Tahun 2014)

n. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,

penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (Pasal 16

Ayat 1)

o. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum

(Pasal 16 Ayat 2)

p. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara bagi anak hanya dapat

dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat

dilakukan sebagai upaya terakhir. (Pasal 16 Ayat 3)

q. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan

perlakuan secara manusiawi dan penempatan dipisahkan dari orang

dewasa dan memperoleh bantuan hukum serta bantuan lainnya. (Pasal 17

dan Pasal 18)

r. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau

berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. (Pasal 17)

C. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Persetubuhan

1. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan

yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Hal

tersebut bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yang

menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi pidana bagi
orang yang melakukan perbuatan tersebut.24 Menurut Prodjodikoro

mengatakan bahwa tindak pidana dalam bahasa Belanda strafbaarfeit, atau

dalam bahasa Inggris delict, berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat

dikenai hukuman pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan subyek tindak

pidana.25 Sedangkan menurut Moeljatno menjelaskan tindak pidana adalah

perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan disertai ancaman

(sanksi) yang berbentuk pidana tertentu, bagi yang melanggar larangan

tersebut.26

Perbuatan pidana atau tindak pidana adalah suatu perbuatan yang

dikatakan telah melanggar hukum dan dapat dikenai sanksi pidana harus

memenuhi dua unsur, yakni (1) unsur actus reus atau unsur esensial dari

kejahatan (physical element) dan (2) men rea (mental element), keadaan

sikap batin.27

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut doktrin ahli hukum, unsur-unsur delik terdiri atas 2 unsur,

yaitu sebagai berikut:28

a. Unsur Subjektif

Unsur Subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku.

Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada
24
Rianda Prima Putri, 2019, Pengertian Dan Fungsi Pemahaman Tindak Pidana Dalam
Penegakkan Hukum Di Indonesia, Ensiklopedia Social Review Vol. 1 No. 2 ( Juni 2019), hal
133.
25
Wirjono Pradjodikoro, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Refika
Aditama, Hal 59.
26
Sudaryono & Natangsa Surbakti, 2017, Hukum Pidana: Dasar-Dasar Hukum Pidana
Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP, Surakarta: Muhammadiyah University Press, hal 92
27
Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakkan Hukum Psikotropika: Dalam Kajian Sosiologi Hukum,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, hal 35.
28
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta:Sinar Grafika, Hal 9-10.
kesalahan”. Kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan yang

diakibatkan oleh kesengajaan dan kealpaan. Pada umumnya para ahli

mendefinisikan “kesengajaan” terdiri dari 3 (tiga) bentuk, yaitu:

1) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk);

2) Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn);

3) Kesengajaan dengan keninsafan dengan kemungkinan (dolus

evantualis).

Kealpaan ialah wujud kesalahan yang lebih ringan dari

kesengajaan. Kealpaan terdiri atas 2 (dua) bentuk yaitu:

1) Tidak berhati-hati;

2) Dapat menduga akibat dari perbuatan.

b. Unsur Objektif

Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri

atas:

1) Perbuatan manusia antara lain:

a) Act,yakni perbuatan yang aktif atau positif,

b) Omission, yakni perbuatan pasif atau negatif, yaitu perbuatan yang

mendiamkan atau membiarkan.

2) Akibat (result) dari perbuatan manusia

Akibat dari perbuatan manusia membahayakan dan/atau

merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang

dipertahankan oleh hukum, contohnya nyawa, badan, kemerdekaan,

hak milik, kehormatan, dan sebagainya.


3) Keadaan-keadaan (circumstances)

Pada umumnya keadaan dibedakan menjadi 2 antara lain:

a) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan;

b) Keadaan setelah perbuatan dilakukan.

4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.

Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang

membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum

adalah apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum, yaitu

berkenaan dengan larangan atau perintah.

Menurut Moeljatno unsur-unsur tindak atau perbuatan pidana antara

lain:29

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan);

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;

d. Unsur melawan hukum yang objektif;

e. Unsur melawan hukum yang subjektif.

Menurut E. Mezger yang menjelaskan bahwa tindak pidana yaitu

keseluruhan syarat untuk adanya pidana. Dari penjelasan tersebut unsur-

unsur tindak pidana antara lain:30

a. Perbuatan manusia (aktif atau membiarkan);

b. Sifat melawan hukum (objektif maupun subjektif);

c. Dapat dipertanggunjawabkan kepada seseorang;


29
Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, hal 63.
30
Sudaryono & Natangsa Surbakti, 2017, Hukum Pidana: Dasar-Dasar Hukum Pidana
Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP, Surakarta: Muhammadiyah University Press, hal 95
d. Diancam dengan pidana.

3. Macam-Macam Tindak Pidana

Tindak pidana dibagi menjadi 3 yaitu:31

a. Tindak pidana commissionis

Tindak pidana berupa melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang

dalam peraturan perundang-undangan. Hal tersebut merupakan

pelanggaran terhadap larangan.

b. Tindak pidana omissionis

Tindak pidana omissionis adalah tindak pidana berupa perbuatan

pasif atau negatif, ditandai dengan tidak dilakukannya sesuatu perbuatan

yang diperintahkan atau diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.

Contohnya tidak hadir di pengadilan untuk menjadi saksi (Pasal 522

KUHP); dan tidak menolong orang yang berada dalam keadaan bahaya

(Pasal 531 KUHP).

c. Tindak pidana commisionis per omisionem commisa.

Tindak pidana commisionis per omisionem commisa adalah

perbuatan tersebut adalah tindak pidana commissionis tetapi dilakukan

dengan tidak berbuat, yaitu tidak melakukan sesuatu yang merupakan

kewajibannya. Contohnya, seorang ibu yang membunuh anakanya

dengan membiarkannya kelaparan/kehausan (Pasal 338 & 340 KUHP);

dan seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api

dengan sengaja tidak memindahkan wissel (Pasal 194 KUHP).

31
Ibid, hal 111-112.
4. Pengertian Tindak Pidana Persetubuhan

Persetubuhan yang dilakukan terhadap anak merupakan suatu tindak

pidana walaupun dengan persetujuan anak. Kepustakaan hukum pidana

asing menyatakan bahwa tindak pidana persetubuhan terhadap anak dikenal

dengan istilah statutory rape. “Statutory rape” diartikan sebagai “having

sexual intercourse with a female under a stated age (usualy 16 or 18, but

sometimes 14), with or without her consent”.32

Isilah “perkosaan” di dalam ilmu kedokteran memiliki istilah

tersendiri, yaitu “persetubuhan”. Istilah ini dinilai objektif dan

mempersempit pengertian “perkosaan”. Istilah mediknya untuk

persetubuhan, yaitu Suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki masuk

kedalam alat kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya dan dengan atau

tanpa terjadinya pancaran air mani.33

Sementara persetubuhan dalam arti biologis adalah suatu

persetubuhan yang memungkinkan terjadinya kehamilan (untuk prokreasi),

sehingga harus terjadi:34

a. Erectio penis;

b. Penetratio penis kedalam vagina;

c. Ejaculatio dalam vagina

32
P.A.F.Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,
Hal. 181
33
Idries, Abdul Mun’im & Tjiptomartono, Agung Legowo. 1981. Penerapan Ilmu Kedokteran
Kehakiman Dalam Proses Penyidikan. Jakarta: PT Karya Unipres. Hlm. 113.
34
Murtika, I Ketut & Prakoso, Djoko. 1992. Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta:
Rieneka Cipta. Hlm. 201.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak dijumpai

definisi persetubuhan. Dalam buku-buku uraian pasal-pasal KUHP ada

beberapa penulisan yang menyatakan bahwa persetubuhan adalah perbuatan

alat kelamin laki-laki dengan alat kelamin wanita dimana seluruh penis

masuk keliang senggama dengan air mani (spermatozoa).

Namun dalam suatu persetubuhan tidak harus ditemukan spermatozoa

dalam liang senggama meskipun seluruh penis masuk kedalam alat kelamin

wanita, misalnya pelaku menggunakan kondom. Hal ini juga bisa terjadi

apabila pelaku tersebut menderita aspermia atau penderita air mani tidak

mengandung sel mani. Melihat pandangan dan perkembangan yang

demikian, maka timbullah pemikiran baru akan arti dari persetubuhan yaitu

perpaduan antara alat kelamin laki-laki dengan alat kelamin wanita dengan

penetrasi yang amat ringan dengan atau tanpa mengeluarkan air mani yang

menggandung sel mani.


BAB III

METODE PENELITIAN

Metode merupakan cara bagian seorang ilmuan mempelajari dan

memahami lingkungan-lingkungan yang dipahaminya. 35 Metode penelitian ini

merupakan suatu metode atau cara kerja yang digunakan oleh peneliti untuk

digunakan dalam memahami obyek yang menjadi sasaran yang menjadi ilmu

pengetahuan yang bersangkutan.

A. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang akan digunakan oleh penulis adalah penelitian

yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris yang dengan dimaksudkan kata lain

yang merupakan jenis penelitian hukum sosiologis dan dapat disebutkan

dengan penelitian secara lapangan, yang mengkaji ketentun hukum yang

berlaku serta yang telah terjadi didalam kehidupan masyarakat. 36 Atau dengan

kata lain yaitu suatu penelitian yang dilakukang terhadap keadaan sebenarnya

atau keadaan nyata yang telah terjadi di masyarakat dengan maksud dengan

mengetahui dan menemukan fakta-fakta dan data yang dibutuhkan.37

B. Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah

penelitian deskriptif. Penelitian ini terbatas pada perlindungan hukum terhadap

35
Soerjono Soekamto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, hal. 67.
36
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, Hal. 15.
37
Loc.cit
anak yang menjadi korban tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh

ayah tiri.

C. Jenis dan Sumber Data

Adapun jenis dan sumber data penulis gunakan dalam melaksanakan

penelitian ini adalah:

1. Data Primer

Data primer ialah data dasar, data asli yang diperoleh peneliti dari

tangan pertama, dari sumber asalnya yang pertama dan belum diolah dan

diuraikan orang lain.38 Data ini diperoleh dengan melakukan wawancara

dengan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satuan Reserse Kriminal

Polres Wonogiri yang menerapkan pihak berwenang dalam menindak tindak

pidana persetubuhan terhadap anak. Disini, peneliti terlebih dahulu

melakukan wawancara dengan disertai dengan pertanyaan-pertanyaan yang

telah disusun sebelumnya.39

a. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah Unit

Perlindungan Perempuan dan Anak Satuan Reserse Kriminal Polres

Wonogiri yang menerapkan pihak berwenang dalam membina dan

membimbing anak yang menjadi korban tindak pidana terutama

pembullyan.

38
Hilman Hadikusumo, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Bandung: Mandar Maju, hal. 65.
39
Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, hal. 25.
2. Data Sekunder

Data Sekunder yaitu bahan-bahan kepustakaan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang yang terkait

dengan pokok permasalahan, buku hukum pidana, hasil-hasil penelitian,

hasil karya ilmiah para sarjana serta pendapat para pakar hukum yang

berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

3. Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan petunjuk terhadap

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, dan

bahan pustaka lainnya.

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Studi Kepustakaan

Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sekunder,

yaitu data yang diperoleh seorang peneliti secara tidak langsung dari

obyeknya, tetapi melalui sumber lain baik lisan maupun tulisan. Misalnya,

buku-buku, teks, jurnal, majalah, koran, dokumen, peraturan perundang-

undangan, dan sebagainya.40 Data diambil dari bahan pustaka yang terdiri

dari 3 (tiga) sumber bahan hukum yaitu bahan primer, sekunder, dan tersier.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan terdiri atas peraturan

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam


40
M. Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hal
99.
pembuatan suatu peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.41

Dalam penulisan penilitian ini bahan-bahan primer, antara lain:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak.

4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

b. Bahan Sekunder

Bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan hukum primer dan

dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer,

antara lain buku-buku literature, hasil penelitian, peraturan pelaksana dan

lain-lainnya yang dapat mendukung penulisan ini.

2. Wawancara

Wawancara disini adalah situasi peran antar pribadi yang bertatap

muka, ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-

pertanyaan yang sudah disusun untuk memperoleh jawaban-jawaban yang

relevan dengan masalah penelitian kepada seorang responden. Dengan

wawancara, interviewer dapat memnanyakan perihal pribadi responden,

fakta-fakta yang ada dan pendapat maupun persepsi diri responden juga

saran-saran dari responden.42

41
Zainudin Ali, 2015, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hal 41.
42
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 57.
E. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis

deskriptif, yaitu analisis yang hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu

menganalisa dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga lebih mudah

dipahami dan disimpulkan. Kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar

faktualnya sehingga semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data

yang diperoleh.43

43
M. Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hal
100.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penanganan Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana


Persetubuhan di Polres Wonogiri

Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara

fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi

sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus

kekerasan dalam rumah tangga. Yang terkait dengan anak, perlindungan anak

bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,

tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat

dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak

mulia dan sejahtera (Pasal 3 UU. No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan

anak). Dalam perkembangannya dalam kurun waktu kurang lebih 13 (tiga

belas) tahun berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

perlindungan anak, para pelaku kekerasan terhadap anak tidak mengalami

penurunan, justru semakin bertambah banyak baik pelakunya dari lingkungan

keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Mengingat hal yang

demikian, maka Undang-Undang tersebut mengalami perubahan, yakni

menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-

Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.44

44
Bambang Ali Kusumo, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, ADIWIDYA, Volume I Nomor 1
- November 2017.
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di

mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk

rangsangan seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau

menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari

hasilnya), memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin untuk

anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual

terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam

konteks non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin

anak tanpa kontak fisik (kecuali dalam konteks non-seksual seperti

pemeriksaan medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi

anak.

Sistem peradilan pidana melibatkan beberapa komponen atau unsur yakni

Kepolisian sebagai penyidik atau ujung tombak Sistem Peradilan Pidana,

Kejaksaan sebagai penuntut, Pengadilan sebagai pemeriksa dan pemutus dan

Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan para pelanggar hukum:45

1. Kepolisian mempunyai tugas menerima laporan dan pengaduan dari

masyarakat bila terjadi tindak pidana, melakukan penyelidikan dan

penyidikan tindak pidana, melakukan penyaringan terhadap kasus-kasus

yang akan diajukan ke kejaksaan, melaporkan hasil penyidikan kepada

kejaksaan dan memastikan perlindungan pada para pihak yang terkait

dengan proses peradilan pidana.

45
Bambang Ali Kusumo, Problematika Penegakan Hukum Pidana Dan Upaya Mengatasinya,
Dosen Fakultas Hukum UNISRI.
2. Kejaksaan mempunyai tugas menyaring kasus-kasus yang layak untuk

diajukan ke pengadilan, mempersiapkan berkas penuntutan, melakukan

penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan.

3. Pengadilan mempunyai fungsi menerima berkas perkara dari kejaksaan,

melakukan pemeriksaan perkara secara efisien dan efektif serta memberi

putusan yang seadil-adilnya.

4. Lembaga Pemasyarakatan mempunyai fungsi menjalankan putusan

pengadilan, melindungi hak-hak narapidana, melakukan upaya-upaya untuk

memperbaiki narapidana dan mempersiapkan sebaik-baiknya narapidana

untuk kembali ke masyarakat.

Dari keterangan Unit PPA Polres Wonogiri, menjelaskan pada salah satu

contoh kasus yaitu Nima Saifulloh, yang merupakan ayah tiri korban sering

melihat korban yang menggunakan celana pendek saat tidur sehingga

menimbulkan keinginan atau nafsu untuk melakukan kejahatan yaitu

melakukan persetubuhan dengan anak tirinya sendiri. Adapun beberapa faktor-

faktor penyebab terjadinya kejahatan persetubuhan dimaksud. Kejahatan

persetubuhan dalam hal ini harus melihat dari segala aspek terhadap anak di

bawah umur dapat terjadi karena bertemunya faktor internal dan eksternal

dalam diri pelaku maupun dalam diri korban.

faktor internal adalah faktor yang terdapat pada diri seseorang pelaku

maupun korban. Pada kasus persetubuhan misalnya sikap dan tindakan korban

yang menyebabkan rangsangan sehingga pelaku terpancing untuk melakukan

persetubuhan, contohnya:
1. Pelaku tidak dapat menahan nafsunya dan tidak dapat mengontrol emosinya,

2. Adanya prilaku yang menyimpang yaitu kejiwaan dalam diri pelaku maupun

korban,

3. Ketaatan dalam menjalankan perintah agama yang masih kurang baik,

4. Keadaan keluarga yang tidak harmonis.

Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, dinyatakan bahwa:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau

dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima

belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak

Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp

60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula

bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,

serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan

dengannya atau dengan orang lain.

Kepolisian RI merupakan institusi yang memiliki wewenang secara

langsung dalam penegakan hukum terhadap semua tindak pidana, termasuk

juga tindak pidana pencurian dengan kekerasan. Hal ini sesuai dengan fungsi

kepolisian sebagai penegak hukum, pemeliharaan keamanan dan ketertiban

masyarakat serta perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta

penegakan hukum. Pada pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2


Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia secara tegas

dinyatakan bahwa Polri bertujuan mewujudkan tegaknya hukum. Sehubungan

dengan perannya dalam penegakan hukum, maka kepolisian melaksanakan

berbagai kegiatan penting, yaitu: menerima pengaduan dari masyarakat,

melakukan penyidikan, yang kemudian dilanjutkan dengan pelimpahan berkas

kepada jaksa penuntut umum untuk diteruskan dalam pemeriksaan perkara di

pengadilan.

1. Menerima Pengaduan dari Masyarakat

Kepolisian Resor Wonogiri selalu dalam kondisi siap menerima dan

merespon setiap pengaduan yang datang dari masyarakat mengenai tindak

pidana persetubuhan kepada anak. Polisi harus sigap dan cepat dalam

menangani kasus seperti ini Karena hubungannya dengan kondisi psikis

korban, karena pada umumnya pelapor adalah orang terdekat korban yang

pertama kali mengetahui persetubuhan tersebut terjadi.

Sama halnya dengan contoh kasus yang ditangani oleh Polres

Wonogiri, yaitu kasus Nima Saifulloh yang menyetubuhi anak tirinya,

pelapor merupakan orang terdekat korban dan merupakan saudara dari

teman curhat korban, itu artinya Kepolisian sebagai penegak hukum sangat

bergantung pada peran masyarakat dalam hal-hal seperti ini, tujuannya

untuk menjangkau kasus-kasus yang tidak mungkin diungkap oleh

kepolisian sendiri melainkan sebagian besar ada campur tangan masyarakat.

2. Melakukan Penyidikan
Proses penyidikanterhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan

selalu diawali dengan melakukan pemeriksaan terhadap laporan serta bukti-

bukti pendahuluan yang biasanya juga disertakan oleh pelapor. Pada tahap

ini penyidik harus bertindak hati-hati dengan mempelajari perkara secara

hati-hati, sehingga dapat dirumuskan langkah terencana untuk mengungkap

kasus secara tuntas dan cepat serta menangkap pelaku. Dalam hal ini,

laporan atau pengaduan dari korban atau keluarga korban menjadi bahan

pertimbangan utama untuk dipelajari untuk merencanakan Langkah-langkah

apa yang diperlukan dalam penyidikan.

Dalam melakukan penyidikan, penyidik melakukan Langkah-langka

penyidikan sebagai berikut:

a. Membuat surat perintah penyidikan

Surat perintah penyidikan dibuat sebelum penyidikan terhadap

suatu perkara itu dilakukan, surat ini dibuat oleh penuntut umum untuk

diturunkan kepada penyidik kepolisian.

Dengan surat perintah penyidikan inilah penyidik kepolisian dapat

mulai melakukan tugas dan wewenangnya sebagai penyidik untuk

mengusut suatu perkara pidana. Selain itu Surat Perintah Penyidikan

adalah alat pengaman yang sangat efektif untuk mencegah terjadinya

penyalahgunaan wewenang dan dipihak tersangka berarti jaminan dan

perlindungan terhadap diri dan martabat tersangka. Surat perintah

penyidikan ini tidak secara langsung diatur dalam KUHAP.

b. Membuat surat perintah tugas


Surat perintah tugas dibuat oleh kepala satuan reskrim yang berisi

penugasan kepada satuannya untuk melakukan penyidikan terhadap suatu

perkara. Surat tugas memuat atau berisi nama-nama anggota yang

ditugaskan dalam suatu penyidikan perkara pidana.

c. Membuat pemberitahuan kepada kejaksaan dimulainya penyidikan

Penyidik dengan penuntut umum memiliki hubungan yang sangat

pokok, yaitu:

1) Pemberitahuan dimulainya tindakan penyidikan oleh penyidik kepada

penuntut umum (Pasal 109 Ayat (1) KUHAP)

2) Pemberitahuan penghentian penyidikan (Pasal 109 Ayat (2) KUHAP)

3) Perpanjangan penahanan

Berdasarkan pedapat Mahkamah Agung dalam fatwa yang

disampaikan dalam Hasil Rapat Kerja MARI-Depkeh dengan KPT,

bahwa pemberitahuan penyidik kepada penuntut umum atas dimulainya

penyidikan adalah merupakan kewajiban atas dasar bahwa

pemberitahuan tersebut merupakan rangkaian tugas yustisial yang

bersifat imperatif.

Kapan tepatnya penyidik memberitahukannya adalah tepat pada

saat penyidik mulai melakukan penyidikan tersebut. Sedangkan cara

pemberitahuannya tidak diatur dalam Undang-Undang, namun cara yang

paling dapat dipertanggungjawabkan adalah dengan cara:

1) Pemberitahuan dengan cara tertulis


Dari segi praktis dan sekaligus untuk unformalitas tata laksana

pemberitahuan, formulir pemberitahuan harus mampu memberi

gambaran jelas tentang peristiwa pidana yang sedang disidik.

Penjelasan yang demikian sangat diperlukan, agar sejak dini penuntut

umum dapat mengikuti jalannya penyidikan, dan apabila dianggap

perlu memberi petunjuk dalam rangka kesempurnaan penyidikan

sesuai dengan maksud yang terkandung pada ketentuan Pasal 14 huruf

b dan Pasal 110 Ayat (3) dan (4).

2) Atau dalam keadaan mendesak dapat dilakukan dengan lisan asal

disusul dengan pemberitahuan tertulis.

d. Melakukan pemanggilan terhadap tersangka dan saksi-saksi

e. Melakukan pemeriksaan terhadap tersangka dan saksi-saksi

f. Upaya Paksa

Upaya paksa terdiri dari beberapa bentuk yaitu:

1) Penangkapan

2) Penahanan

3) Penggeledahan

4) Penyitaan

5) Pemeriksaan surat

Berdasarkan Pasal 39 Ayat (1) KUHAP, benda-benda yang dapat

dikenakan penyitaan adalah:


1) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau

sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari

tindak pidana.

2) Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan

tindak pidana atau mempersiapkannya.

3) Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan

tindak pidana.

4) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak

pidana.

5) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana

yang dilakukan.

g. Menyusun sampul berkas perkara

Sampul berkas perkara dibuat oleh Penyidik Kepolisian dengan No.

Pol: BP / 149 / VIII / 2006 / Reskrim berisi:

1) RESUME

2) Pemeriksaan saksi-saksi

3) Berita Acara Pemeriksaan saksi

4) Surat Panggilan

5) Berita Acara Pemanggilan

6) Surat Perintah Penangkapan

7) Berita Acara Penangkapan

8) Surat Perintah Penahanan

9) Berita Acara Penahanan


10) Surat Perintah Penggeledahan

11) Berita Acara Penggeledahan

12) Surat Perintah Penyitaan

13) Berita Acara Penyitaan

14) Visum Et Repertum

15) Daftar Barang Bukti

16) Daftar Saksi

17) Daftar Tersangka

18) Foto TKP

19) Foto Korban

h. Menyerahkan berkas perkara kepada Kejaksaan

Menurut KUHAP penyerahan berkas perkara ada 2 tahap, yaitu:

1) Tahap pertama menyerahkan berkas perkara

2) Tahap kedua menyerahkan barang bukti dan tersangka

Berdasarkan Pasal 110 Ayat (1) KUHAP, dalam hal penyidik telah

selesai melakukan penyidikan maka penyidik wajib segera menyerahkan

berkas perkara itu kepada penuntut umum. Hal ini dimaksudkan agar

dapat diperiksa oleh penuntut umum, jika dirasa seluruh berkas telah

cukup maka penuntut umum akan menerbitkan P21, tapi jika berkas

dirasa masih belum cukup untuk mendukung penuntutan, maka penuntut

umum akan menerbitkan P18 dan mengembalikan berkasnya kepada

penyidik untuk segera dilengkapi.

3. Pelimpahan Berkas Ke Penuntut Umum


Dalam perkara pidana persetubuhan kepada anak, sering terjadi bolak-

balik berkas dari penuntut ke penyidik, dimana penyidik diminta untuk

membuat berkas perkara menjadi lebih lengkap. Sebenarnya menurut

penyidik bahwa berkas sudah sudah lengkap atau sudah memenuhi syarat,

tetapi penuntut kadang menganggapnya belum lengkap. Tetapi

pengembalian berkas yang demikian selalu disikapi dengan baik dan positif

sebagai upaya agar perkara menjadi lebih kuat untuk

dipertanggugnjawabkan di pengadilan.

Upaya-upaya yang dilakukan didasari doleh beberapa peraturan

perundang-undangan seperti dalam Pasal 15 Ayat (1) UU tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia yang berbunyi:

1. Menerima laporan dan pengaduan;

2. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat

mengganggu ketertiban umum;

3. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

4. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam

persatuan dan kesatuan bangsa;

5. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan

administratif kepolisian;

6. Melaksabakan pemeriksaan khusus sebagai bagian;

7. Melakukan tidakan pertama di tempat kejadian;

8. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;

9. Mencari keterangan dan barang bukti;


10. Menyelenggarakan pusat informasi Kriminal Nasional; Mengeluarkan

surat ijin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka

pelayanan masyarakat;

11. Memberikan bantuan pengamanan dalam siding dan pelaksanaan putusan

pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat;

12. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Tindak


Pidana Persetubuhan Yang Dilakukan Oleh Ayah Tiri

Seorang anak harus mendapat perlindungan dari cepatnya arus

globalisasi di bidang komunikasi dan informasi sehingga sebagai penerus

bangsa yang akan melanjutkan pembangunan yang memiliki tugas dan

wewenang yang sangat penting serta memiliki karakter dan keistimewaan

tertentu. Sebagai amanah Tuhan yang diberikan kepada setiap orang tua, maka

sebagai orang tua harus memberikan pembelajaran yang sungguh-sungguh

sedini mungkin.Ini karena anak memiliki hak atas kehidupan, kemerdekaan

serta pengamanan dari siapapun tanpa terkecuali. Hal ini merupakan

konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan

pemerintah yang bertujuan melindungi Anak.46

Sebagai manusia, kita membutuhkan perlindungan, begitu juga dengan

anak-anak. Perlindungan anak adalah suatu upaya masyarakat dalam berbagai

46
Shinta Rukmi Budiastuti dan Wibowo Murti Samadi, Penerapan Penjatuhan Sanksi Diversi
Sebagai Alternatif Sanksi Pidana Penjara Untuk Anak Pelaku Tindak Pidana, Widya Pranata
Hukum: Jurnal Kajian dan Penelitian Hukum.
posisi dan peran, yang menyadari akan pentingnya anak bagi masa depan

bangsa dan negara. Lebih jauh lagi, perlindungan anak adalah suatu upaya

untuk mewujudkan agar anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya agar

dapat tumbuh dan berkembang secara anak secara wajar baik secara mental,

fisik maupun sosial.47

Menurut Setiono Perlindungan Hukum merupakan tindakan dan/atau

upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh

penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan

ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati

martabatnya sebagai manusia.48 Senada dengan Setiono, Satjipto Rahardjo

menjelaskan perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi

kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan

kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.49

Perlindungan hukum juga dapat diartikan penyempitan dari

perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan

yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban,

dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam

interaksinya dengan sesame manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek

hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan

47
Mey Sylvia Loren, Shinta Rukmi Budiastuti, dan Endang Yuliana Susilowati, Tindak Pidana
Eksploitasi Anak Secara Ekonomi Dan Seksual (Studi Kasus Putusan Nomor
86/Pid.Sus/2018/Pn Pwt), WACANA HUKUM: JURNAL FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SLAMET RIYADI.
48
Setiono, 2004, Supremasi Hukum, Surakarta: UNS, Hal. 3
49
Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Kompas, Hal. 121.
hukum.50 Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:51

1. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk

mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan

perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran

serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan

suatu kewajiban;

2. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa

sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan

apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara

memadai tidak saja merupakan isu nasional tapi juga internasional. Pentingnya

perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius, hal tersebut dapat

dilihat dari dibentuknya Declaration of Basic Principles of Justice for Victims

of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai hasil

dari The Seventh United Nation Congress on The Prevention of Crime and the

Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia, September 1985.

Dalam Deklarasi Milan 1985 tersebut, bentuk perlindungan yang diberikan

mengalami perluasan, tidak hanya ditujukan pada korban kejahatan (victims of

crime) tetapi juga perlindungan terhadap korban akibat penyalahgunaan

50
C.S.T Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
Hal 102
51
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia, Surakarta:
Universitas Sebelas Maret, Hal. 20
kekuasaan (abuse of power).

Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 40/A/Res/34 Tahun 1985

telah menetapkan beberapa hak korban agar lebih mudah memperoleh akses

keadilan, khususnya dalam proses peradilan yaitu:52

1. Belas Kasih, Saling Menghormati, dan Pengakuan (Compassion, respect

and recognition);

2. Menerima informasi dan penjelasan dari proses kasus (Receive information

and explanation about the progress of the case);

3. Mendapatkan informasi (Provide information);

4. Mendapatkan bantuan yang sesuai (Providing proper assistance);

5. Perlindungan terhadap privasi dan keselamatan diri (Protection of privacy

and physical safety);

6. Restitusi dan Kompensasi (Restitution and compensastion); dan

7. Akses terhadap mekanisme ssstem peradilan (to access to the mechanism of

justice system).

Hukum Indonesia menempatkan korban sebagai pihak yang paling

dirugikan, karena selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan yang

menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik dan psikologis, korban juga harus

menanggung derita berganda karena tanpa disadari sering diperlakukan hanya

sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian hukum, misalnya harus

kembali mengemukakan, mengingat bahkan merekonstruksi kejahatan yang

menimpanya demi kepentingan penyelidikan, penyidikan maupun saat di

52
Dikdik M. Arief Mansyur dan Gultom Elisatris, 2007, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan: Antara Norma dan Realita, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Hal. 54
pengadilan.

Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan diperlukan dalam suatu

negara salah satunya dikarenakan sudah banyaknya korban yang berjatuhan

karena tidak adanya jaminan yang diberikan terhadap korban maupun saksi

dari suatu kejahatan. Perlindungan korban pada hakikatnya merupakan

perlindungan hak asasi manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh C. Maya

Indah, bahwa the rights of the victim are a component part of the concept of

human rights.53 Perlindungan korban dalam konsep luas meliputi dua hal,

yaitu:54

1. Perlindungan korban untuk tidak menjadi korban kejahatan atau yang

identik dengan perlindungan hak asasi manusia atau kepentingan hukum

seseorang. Berarti perlindungan korban tidak secara langsung.

2. Perlindungan untuk memperoleh jaminan atau santunan hukum atas

penderitaan atau kerugian orang yang telah menjadi korban kejahatan,

termasuk hak korban untuk memperoleh assistance dan pemenuhan hak

untuk acces to justice and fair treatment. Hal ini berarti adalah perlindungan

korban secara langsung.

Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan sebagai bagian dari

perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk,

seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan

bantuan hukum.

Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak


53
C. Maya Indah S, 2014, Perlindungan Korban, Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi,
Jakarta: Prenadamedia Group, Hal. 121
54
Ibid, Hal. 125
Asasi Manusia (DUHAM) yang diterbitkan pada tahun 1948 menegaskan

mengenai hak-hak asasi yang melekat pada setiap diri manusia. Pasal 2

DUHAM menjelaskan bahwa “Everyone is entittled to all the rights and

freedoms set forth in this declaration, without distinction of any kind, such as

race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or

social origin, property, birth or other status” yang berarti setiap orang berhak

atas keseluruhan hak dan kebebasan yang ditetapkan dalam deklarasi ini, tanpa

adanya perbedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,

agama, politik atau pendapat lain, kebangsaan atau sosial, kepemilikan,

kelahiran maupun status lainnya.

Perlindungan diperuntukan bagi siapa saja dengan mengutamakan

melindungi terhadap hak-hak setiap entitas yang menderita atas suatu kerugian

yang ada pada dirinya. Kerugian tersebut dapat berupa kerugian fisik, mental,

maupun kerugian secara materi. Hal yang selaras juga diterapkan dalam United

Nations Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and

Abuse of Power tahun 1985 dengan memberikan himbauan kepada anggota

Persekutuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memberikan perhatian bagi korban

kejahatan dengan memberikan pelayanan yang adil dalam proses peradilan,

mengusahakan kompensasi bagi mereka, dan memberikan bantuan dalam

aspek material, psikologis dan sosial melalui pemerintah dan lembaga swadaya

masyarakat.

Perlindungan hukum sedikit berbeda dari perlindungan psikososial yang

mana dalam perlindungan hukum, aparat penegak hukum diharuskan untuk


memberikan berbagai upaya hukum sebagai upaya pemberian rasa aman, baik

psikis maupun fisik yang terbebas dari campur tangan dan ancaman dari pihak

manapun. Upaya pemberian hak asasi manusia atas korban yang seharusnya

diayomi dan dilindungi dilakukan agar semata-mata korban dapat merasakan

bahwa hukum benar-benar memberikan dan menjamin atas keseluruhan hak-

haknya, inilah yang dinamakan dengan perlindungan hukum.

Bantuan yang diberikan kepada manusia yang merasa hak atau

kepentingannya dirugikan, baik bantuan berupa pendampingan psikososial

maupun perlindungan hukum sangat membantu mereka yang berposisi sebagai

korban berusaha untuk dapat kembali kepada keadaan semula dan mampu

mengatasi persoalan yang dihadapinya. Bentuk-bentuk perlindungan yang

dapat diberikan kepada korban diantaranya adalah:

1. Ganti Rugi

Konsep ganti rugi mencakup dua manfaat. Pertama, mengganti

kerugian material dan semua biaya yang timbul. Kedua, mengenai adanya

kepuasan emosional korban. Sementara dari sisi kepentingan pelaku,

kewajiban mengganti kerugian dianggap konkrit dan langsung terkait

dengan kesalahan pelaku. Tujuan utama pemberian ganti rugi tidak lebih

dari pembangunan keadilan dan kesejahteraan para korban sebagai bagian

dari masyarakat, langkah implementasinya adalah dengan memberikan

kesempatan kepada korban untuk mengembangkan hak dan kewajibannya

sebagai manusia.

2. Restitusi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban mendefinisikan restitusi sebagai ganti kerugian yang diberikan

kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.

3. Kompensasi

Adanya ganti kerugian oleh negara yang diberikan kepada korban

ataupun keluarga korban dikarenakan pelaku dianggap tidak mampu untuk

menunaikan tanggung jawab atas kesalahannya dengan memberikan ganti

rugi secara sepenuhnya.

4. Konseling

Konseling merupakan proses pemberian bantuan kepada individu

(client) yang mengalami suatu permasalahan melalui konsultasi wawancara

dengan pakar (conselor) yang mengarah pada solusi dari masalah yang

dihadapi oleh client. Layanan konseling sangat dibutuhkan baik korban

maupun penyintas kejahatan seksual, sebagai upaya perbaikan kondisi psikis

dan mental korban agar kembali dalam kondisi baik seperti sediakala.

5. Pelayanan Medis

Pelayanan medis adalah segala upaya yang dilakukan sendiri atau

bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan

kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit, serta memulihkan kesehatan

individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Pelayanan medis turut

meliputi pemeriksaan dan menyediakan laporan medis secara tertulis yang

berkekuatan hukum dan dapat digunakan sebagai alat bukti, berupa visum

atau surat keterangan medis. Hasil pemeriksaan medis diperuntukan


terutama bagi korban apabila hendak melaporkan kejahatan yang dialaminya

kepada pihak yang berwenang dalam hal ini adalah kepolisian untuk

ditindaklanjuti.

6. Bantuan Hukum

Terlepas dari apakah korban meminta atau tidak, bantuan hukum

harus diberikan kepada korban kejahatan. Hal ini penting mengingat

sebagian besar korban kejahatan ini memiliki kesadaran hukum yang

rendah. Sikap yang menolak akses korban kejahatan terhadap bantuan

hukum yang sesuai dapat memperburuk kondisi korban kejahatan tersebut.

Korban kasus persetubuhan terutama anak-anak perlu mendapat bantuan

hukum selayaknya korban kejahatan lainnya. Kondisi korban yang takut

akan ketentuan hukum karena masih anak-anak dan juga kondisi psikis anak

yang menjadi korban persetubuhan memerlukan pendampingan bantuan

hukum yang layak.

7. Pemberian Informasi

Memberikan informasi kepada korban atau keluarganya terkait dengan

proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang diderita korban,

maka pemberian informasi ini menjadi sesuatu peran yang penting sebagai

upaya untuk menjadikan masyarakat yang bermitra dengan kepolisian

karena dengan adanya informasi ini diharapkan fungsi community control

atas kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif.

Berdasarkan wawancara pada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak,

Satuan Reskrim Polres Wonogiri, dijelaskan bahwa perlindungan hukum yang


diberikan kepada anak-anak yang menjadi korban tindak pidana persetubuhan

oleh ayah tiri yang utama adalah menjamin hak-haknya terpenuhi termasuk

terhindar dari segala bentuk ancaman dan juga mendapatkan ketenangan batin

selama proses hukum berlangsung. Perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman terhadp hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain, dan

perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua

hak-hak yang diberikan oleh hukum.

Perlindungan hukum bagi anak korban kejahatan kesusilaan dapat

mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung) maupun

yang konkret (langsung). Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan

bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara

emosional (psikis), seperti rasa puas (kepuasan). Sementara itu, perlindungan

yang kongkret pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat

dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa atau bersifat materii

maupun nonmateri.

Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau

restitusi, pembebeasan beaya hidup atau pendidikan. Pemberian perlindungan

yang bersifat nonmateri dapat berupa pembebasan dari ancaman, dari

pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan.

Perlindungan hukum bagi anak korban kejahatan seksual dalam bentuk

abstrak antara lain diatur dalam KUHP. Perumusan tindak pidana kesusilaan

dalam KUHP yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menjerat pelaku baik

perbuatan persetubuhan atau pencabulan diatur dalam Bab XIV Pasal 287,
Pasal 289, Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, dan Pasal 296

KUHP. Terhadap pelaku diancam dengan pidana penjara antara 9 bulan sampai

dengan 7 tahun dan pidana denda antara Rp.15.000.00 (lima belas ribu rupiah).

Selain itu perlindungan terhadap anak juga menjadi komitmen

pemerintah yaitu dengan dikeluarkannya Perpu No.1 tahun 2016 tentang

Perubahan kedua UU No. 2 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam

Perpu antara lain diatur mengenai pidana pemberatan, pidana tambahan, dan

tindakan lain bagi pelaku. Pemberatan pidana berupa tambahan pidana

sepertiga dari ancaman penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20

tahun. Selain itu, ancaman hukuman seumur hidup dan hukuman mati pun

masuk ke pemberatan pidana. Sedangkan untuk tambahan pidana alternatif

yang diatur ialah pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan

alat deteksi elektronik. Berdasarkan ketentuan di atas, selain pidana penjara

terdapat juga terdapat pidana denda bagi pelaku tindak pidana kejahatan

seksual terhadap anak.

Pidana denda yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak

tersebut sebenarnya cukup ironis, karena pidana denda tidak mengakomodir

kepentingan anak selaku korban tetapi hanya mengakomodir kepentingan

negara, yaitu sebagai pemasukan kepada kas negara yang mana hal tersebut

tidak memberikan manfaat apapun bagi anak selaku korban kejahatan seksual.

Pemberian perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual, khususnya

yang berupa pemenuhan ganti kerugian, baik melalui pemberian kompensasi

dan/atau restitusi seharusnya memperoleh perhatian dari pembuat kebijakan.


Mengenai kompensasi dan restitusi, Stephen Schafer,2 dalam bukunya

“The Victim and His Criminal”, mengemukakan 5 (lima) sistem pemberian

kompensasi dan restitusi kepada korban kejahatan, yaitu:

1. ganti rugi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses hukum perdata,

terpisah dengan proses hukum pidana;

2. kompensasi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana;

3. restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana, diberikan

melalui proses pidana;

4. kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan

didukung oleh sumbersumber penghasilan negara;

5. kompensasi yang bersifat netral diberikan melalui prosedur khusus.

Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya pidana denda tidak perlu

dimasukkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Adapun yang

seharusnya dimasukkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak adalah

sesuatu hal yang dapat mengakomodir kepentingan anak selaku korban

kejahatan seksual, yaitu pemberlakuan restitusi. Dalam perkembangan

selanjutnya muncul bentuk lain yaitu masyarakat harus diberi kesempatan

untuk memintakan pertanggungjawaban dari si pembuat yang telah

mengganggu ketentraman masyarakat dan untuk menghindari kemungkinan

adanya kesewenang-wenangan bagi korban, diperlukan jalan hukum melalui

ganti kerugian dari si pembuat untuk korban dan masyarakat untuk menutup

akibat gangguan sosial dalam masyarakat.

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian


Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban didalam Pasal 20

sampai dengan Pasal 33 telah mengatur mengenai pemberian ganti kerugian

(restitusi) dari pelaku tindak pidana kepada korban tindak pidananya. Selain

restitusi, korban tindak pidana dalam hal ini anak yang sekaligus menjadi saksi

tindak pidana yang dialaminya, juga mendapat bantuan rehabilitasi

sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu:

1. Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Korban tindak pidana

terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana

penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban

penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,

juga berhak mendapatkan:

a. bantuan medis; dan

b. bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.

2. Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan

Keputusan LPSK

Selain ancaman hukuman untuk pelaku, juga diatur mengenai

perlindungan hukum bagi anak korban kejahatan kesusilaan, yaitu UU. No. 35

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, yaitu Pasal 69A, bahwa Perlindungan Khusus bagi

anak korban kejahatan seksual dilakukan melalui upaya:

1. edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan;


2. rehabilitasi sosial;

3. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan

4. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan

mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang

pengadilan.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penanganan Terhadap Anak Yang menjadi Korban Tindak Pidana

Persetubuhan di Polres Wonogiri – Dalam hal penanganan terhadap tindak

pidana persetubuhan terhadap anak, pelaporan dari masyarakat menjadi

sangat berperan besar, mengingat banyak kasus persetubuhan anak justru

dilaporkan dari masyarakat terutama orang terdekat korban melalui RT atau

Kelurahan setempat, hal ini menjadi titik awal penanganan terhadap tindak

pidana persetubuhan, Polres Wonogiri kemudian dapat melakukan

penyelidikan dan penyidikan sebagai tindak lanjut dari laporan yang dibuat

oleh masyarakat tersebut, dengan yang dilakukan pertama adalah

mengamankan korban sebagai bentuk perlindungan yang diberikan kepada

anak yang menjadi korban tindak pidana persetubuhan, kemudian

penyidikan akan dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan terhadap

korban memastikan korban tidak terancam dan juga mendapatkan

pendampingan terutama psikososial, barulah melanjutkan proses hukum

terhadap pelaku dengan sesegera mungkin.

2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang menjadi Korban Tindak Pidana

Persetubuhan di Polres Wonogiri – Perlindungan yang diberikan kepada

anak yang menjadi korban tindak pidana persetubuhan di Polres Wonogiri

berupa perlindungan hukum dan perlindungan psikososial, perlindungan


hukum yaitu jaminan perlindungan hak-hak anak dna pendampingan hukum

agar anak mendapatkan keadilan hukum dengan dipidananya ayah tiri si

anak yang telah melakukan pelecehan seksual terhadapnya, termasuk

perlindungan dari intervensi pihak-pihak yang dirasa dapat menganggu

proses hukum. Kemudian untuk perlindungan yang diberikan berbentuk

psikososial adalah pemeriksaan hukum yang dilakukan dengan cara yang

ramah anak dan juga pemberian pendaping psikis si anak, hal ini karena

perbuatan pelaku sangat beresiko dapat merusak kondisi psikis anak

sehingga kepolisian perlu bekerja sama dengan pihak-pihak terkait seperti

Dinas Sosial dan Dinas lain dalam hal pendampingan secara psikososial

agar psikis anak dapat dipulihkan.

B. Saran

1. Bagi Kepolisian Republik Indonesia Khususnya Polres Wonogiri, untuk

senantiasa melakukan penyuluhan kepada masyarkat terkait bahayanya dan

pentingnya peran serta masyarakat dalam hal pengawasan terjadinya tindak

pidana persetubuhan terhadap anak, karena anak merupakan masa depan

bangsa, serta senantiasa memberikan perlindungan hukum dan

pendampingan kepada korban tindak pidana persetubuhan dengan

maksimal agar anak merasa terlindungin dan dapat kembali pulih seperti

sediakala kondisi psikisnya.

2. Bagi masyarakat, untuk senantiasa ikut berperan serta dalam mengawasi

dan melaporkan segala tindakan yang mencurigakan serta mengarah


terhadap adanya tindak pidana pencabulan, pelecehan seksual dan/atau

persetubuhan yang mengarah kepada anak-anak, karena dengan adanya

peran serta masyarkat kita dapat mencegah dan menindak tindak pidana

tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Agung Nanda, Dewantara. 1987. Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani
Suatu Perkara Pidana. Jakarta: Aksara Persada Indonesia.

Ali Kusumo, Bambang. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. ADIWIDYA.


Volume I Nomor 1 - November 2017.

Ali Kusumo, Bambang. Problematika Penegakan Hukum Pidana Dan Upaya


Mengatasinya. Dosen Fakultas Hukum UNISRI.

Ali, Zainudin. 2015. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Amirudin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.

Arliman S, Laurensius. 2015. Komnas HAM dan Perlindungan Anak Pelaku


Tindak Pidana. Yogyakarta: Deepublish.

Gosita, Arif. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademi Pressindo. hal.
19

Haar, Ter. 1977. Beberapa Masalah Tentang Kenakalan Remaja. Bandung: PT.
Karya Nusantara.

Hadikusumo, Hilman. 1995. Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu
Hukum. Bandung: Mandar Maju.

Idries, Abdul Mun’im & Tjiptomartono. Agung Legowo. 1981. Penerapan Ilmu
Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan. Jakarta: PT Karya
Unipres.

Kansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.

Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra


Aditya Bakti.

Lihat Konvensi. 1998. Media Advokasi dan Penegakan Hak-hak Anak. Volume II
No. 2 Medan: Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LLAI).

M. Arief Mansyur, Dikdik dan Gultom Elisatris. 2007. Urgensi Perlindungan


Korban Kejahatan: Antara Norma dan Realita. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Marpaung, Leden. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta:Sinar
Grafika.

Marsaid. 2015. Perlindungan Hukum Anak Pidana Dalam Perspektif Hukum


Islam (Maqasid AsySyari’ah). Palembang: NoerFikri.

Maya Indah S, C. 2014. Perlindungan Korban. Suatu Perspektif Viktimologi dan


Kriminologi. Jakarta: Prenadamedia Group.

Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta

Muchsin. 2003. Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia.


Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Murtika, I Ketut & Prakoso. Djoko. 1992. Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran


Forensik. Jakarta: Rieneka Cipta.

Pradjodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia.


Bandung: Refika Aditama.

Rahardjo, Satjipto. 2003. Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta:


Kompas.

Setiono. 2004. Supremasi Hukum. Surakarta: UNS.

Shinta Rukmi Budiastuti dan Wibowo Murti Samadi. Penerapan Penjatuhan


Sanksi Diversi Sebagai Alternatif Sanksi Pidana Penjara Untuk Anak
Pelaku Tindak Pidana. Widya Pranata Hukum: Jurnal Kajian dan Penelitian
Hukum.

Sudaryono & Natangsa Surbakti. 2017. Hukum Pidana: Dasar-Dasar Hukum


Pidana Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP. Surakarta: Muhammadiyah
University Press.

Sunarso, Siswantoro. 2004. Penegakkan Hukum Psikotropika: Dalam Kajian


Sosiologi Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Syamsudin, M. 2007. Operasionalisasi Penelitian Hukum. Jakarta: RajaGrafindo


Persada.

Sylvia Loren, Mey; Rukmi Budiastuti, Shinta; dan Yuliana Susilowati, Endang.
Tindak Pidana Eksploitasi Anak Secara Ekonomi Dan Seksual (Studi Kasus
Putusan Nomor 86/Pid.Sus/2018/Pn Pwt). WACANA HUKUM: JURNAL
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI.
Wahid, Abdul & Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban
Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan). Bandung: PT
Refika Aditama.

Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi Pembaharuan Sostem Peradilan


Pidana Anak di Indonesia. Yogyakarta: Genta publishing.

Waluyo, Bambang. 2002. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar


Grafika.

Jurnal
Pandapotan, Dosma. et.al. Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencabulan
Terhadap Anak Dibawah Umur. Mahadi: Jurnal Hukum Indonesia Vol. 1
No. 2 2022.

Prima Putri, Rianda. 2019. Pengertian Dan Fungsi Pemahaman Tindak Pidana
Dalam Penegakkan Hukum di Indonesia. Ensiklopedia Social Review Vol.
1 No. 2 (Juni 2019).

Website
Anonim. https://idalamat.com/alamat/2281/kepolisian-resor-polres-wonogiri.
diakses pada tanggal 12/12/2022.

Anda mungkin juga menyukai