net/publication/349522358
ERGONOMI PARTISIPATORI
CITATIONS READS
0 939
1 author:
Bambang Suhardi
Universitas Sebelas Maret
130 PUBLICATIONS 300 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Make or Buy Analysis and Quality Improvement Based on Tolerance Allocation View project
All content following this page was uploaded by Bambang Suhardi on 23 February 2021.
ERGONOMI PARTISIPATORI
Implementasi Bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja
ERGONOMI PARTISIPATORI
IMPLEMENTASI BIDANG KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
Desain Cover :
Herlambang Rahmadhani
Sumber :
https://www.shutterstock.com
Tata Letak :
Gofur Dyah Ayu
Proofreader :
Avinda Yuda Wati
Ukuran :
x, 105 hlm, Uk: 15.5x23 cm
ISBN Elektronis :
978-623-02-2173-6
Cetakan Pertama :
Januari 2021
PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: cs@deepublish.co.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Swt. karena atas rahmat, berkat, izin
dan petunjuk dari-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan ebook Implementasi Ergonomi
Partisipatori untuk Penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Sungguh merupakan
kebahagiaan tersendiri tatkala kami dapat menyelesaikan ebook ini, mengingat begitu
banyak hambatan yang menghadang.
Ebook Implementasi Ergonomi Partisipatori untuk Penerapan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja disusun dengan tujuan agar dapat dijadikan panduan bagi para
mahasiswa, para akademisi, dan semua orang yang ingin belajar bagaimana menerapkan
kesehatan dan keselamatan kerja di industri. Buku ini disusun secara sistematis berdasarkan
tahapan implementasi kesehatan dan keselamatan kerja di industri berdasarkan sebuah studi
kasus.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penulisan ebook ini. Kami menyadari bahwa di dunia ini tidak ada yang
sempurna termasuk ebook yang kami susun ini. Untuk itu, kai sangat mengharapkan kritik,
saran dan masukan dari pembaca yang bersifat membangun untuk menyempurnakan ebook
ini di kemudian hari. Semoga ebook ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan dapat
memenuhi harapan pembaca
Penulis
v
DAFTAR ISI
vi
3.5. Pengolahan Data ............................................................................... 35
3.6. Kerangka Kerja Ergonomi Partisipatori ............................................. 38
BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA ................................... 41
4.1. Pengumpulan Data ............................................................................ 41
4.1.1. Proses Pembuatan Gamelan .................................................. 41
4.1.2. Layout Produksi .................................................................... 44
4.1.3. Diagram Alir......................................................................... 48
4.1.4. Keluhan Kesehatan, Kecelakaan Kerja dan Near Miss ........... 50
4.1.5. Penilaian Kondisi Kerja dengan ILO PATRIS Check
Sheet ..................................................................................... 52
4.2. Pengolahan Data ............................................................................... 58
4.2.1. Rekapitulasi Hasil Penilaian Kondisi Kerja ........................... 58
4.2.2. Penentuan Prioritas Masalah ................................................. 59
4.2.3. Usulan Pengendalian Kebisingan .......................................... 64
4.2.4. Usulan Pengendalian Debu ................................................... 78
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN ............................................................ 83
5.1. Analisis Kondisi Saat Ini ................................................................... 83
5.1.1. Analisis Penilaian Kondisi Kerja ........................................... 83
5.1.2. Analisis Prioritas Masalah ..................................................... 85
5.2. Analisis Usulan Perbaikan ................................................................. 86
5.2.1. Analisis Usulan Pengendalian Kebisingan ............................. 87
5.2.2. Analisis Usulan Pengendalian Debu ...................................... 89
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 92
6.1. Kesimpulan ....................................................................................... 92
6.2. Saran ................................................................................................. 93
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 94
LAMPIRAN ................................................................................................................... 98
Lampiran L.1 Kuesioner Delphi Putaran I ..................................................................... 98
Lampiran L.2 – Kuesioner Delphi Putaran II ............................................................... 102
PROFIL PENULIS ....................................................................................................... 104
vii
DAFTAR TABEL
viii
Tabel 4.22 Biaya Pengadaan APT Untuk Pekerja di Proses Finishing ........................ 78
Tabel 4.23 Sumber Debu ........................................................................................... 78
Tabel 4.24 SOP Pembersihan Area Kerja ................................................................... 81
Tabel 4.25 Usulan Masker Anti Debu ........................................................................ 82
Tabel 4.26 Biaya Pengadaan Masker Anti Debu......................................................... 82
ix
DAFTAR GAMBAR
x
BAB I
PENDAHULUAN
1
Proses pembuatan gamelan di Industri Gamelan Wirun Palu Gongso terdiri dari
beberapa tahapan. Tahap pertama dimulai dari stasiun kerja peleburan di mana terdapat
proses peleburan tembaga serta timah. Setelah campuran antara timah dan tembaga sesuai,
maka dilakukan tahap kedua yaitu pencetakan campuran antara timah dan tembaga menjadi
sebuah lempengan logam. Tahap ketiga merupakan tahap penempaan menggunakan palu
khusus. Setelah proses penempaan selesai maka proses pembuatan gamelan memasuki tahap
keempat yaitu proses pemetakan untuk membentuk, meratakan dan melengkungkan bagian
pembatas perangkat gamelan. Tahap kelima adalah proses finishing dengan mesin gerinda
dan kikir untuk mendapatkan tampilan gamelan yang mengkilap. Tahap terakhir adalah
pelarasan yaitu proses pencarian nada gamelan yang sesuai.
Dalam proses pembuatan gamelan terdapat beberapa aktivitas yang berpotensi
membahayakan pekerja. Berdasarkan hasil observasi awal, didapatkan kondisi-kondisi yang
tidak mengindahkan K3. Salah satu kondisi kerja yang memiliki potensi bahaya bagi
kesehatan pekerja adalah adanya paparan kebisingan dari proses penempaan, pemetakan dan
proses finishing dengan gerinda. Selain kebisingan di tempat kerja, didapati beberapa
perilaku yang tidak aman dan berpotensi menyebabkan kecelakaan kerja seperti pekerja
tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) berupa kacamata las saat melakukan
pengelasan serta tidak menggunakan sarung tangan maupun kacamata safety saat
menggerinda. Berdasarkan observasi tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa aspek-
aspek lain juga memiliki potensi bahaya bagi kesehatan dan keselamatan pekerja sehingga
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi risiko di Industri Gamelan
Wirun Palu Gongso.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap pekerja di Industri Gamelan Wirun Palu
Gongso, terdapat beberapa keluhan kesehatan serta kecelakaan kerja dan nearmiss yang
pernah dialami di antaranya adalah pekerja merasakan nyeri pada beberapa bagian tubuh
seperti pinggang dan pundak yang disebabkan oleh aktivitas fisik yang berat, iritasi mata
karena terkena debu atau asap pembakaran, gangguan pendengaran seperti telinga
berdengung dan menurunnya kemampuan pendengaran, kulit melepuh karena terkena
percikan api, dan hampir terjatuh akibat tersandung alat kerja. Dari hasil observasi dan
wawancara diketahui tindakan preventif yang diupayakan oleh pekerja dan pemilik Industri
Gamelan Wirun Palu Gongso masih kurang tepat. Tindakan tersebut salah satunya adalah
penyediaan APD berupa kapas untuk melindungi telinga pekerja dari kebisingan. Alat
tersebut tentunya tidak cukup memadai untuk melindungi pekerja dari kebisingan dan pada
akhirnya pekerja tidak pernah menggunakan alat tersebut karena merasa kurang nyaman.
Ergonomi makro merupakan perspektif, metodologi, dan subdisiplin dari ergonomi
atau human factors (Hendrick dan Kleiner, 2002). Secara konseptual, menurut Hendrick dan
Kleiner (2001) ergonomi makro didefinisikan sebagai pendekatan sosioteknik dari tingkat
atas ke bawah yang diterapkan pada perancangan sistem kerja secara keseluruhan pada
berbagai level interaksi ergonomi mikro dan memanfaatkan hasilnya dalam perancangan
manusia-pekerjaannya, perancangan manusia-mesin, dan perancangan manusia-software
2
interface (seperti yang disitasi dalam Hendrick dan Kleiner, 2002). Tujuan dari ergonomi
makro adalah mengoptimalkan sebuah rancangan sistem kerja dalam kaitannya dengan
sistem sosioteknik, untuk kemudian membawa karakteristik atau hasil rancangan tersebut ke
level yang ada di bawahnya sehingga tercipta suatu sistem kerja yang harmonis (Hendrick
dan Kleiner, 2002).
Ergonomi partisipatori merupakan salah satu metode yang digunakan dalam
ergonomi makro. Ergonomi partisipatori telah didefinisikan ke dalam beberapa pengertian
yang berbeda namun saling melengkapi. Menurut Wilson dan Haines (1997), ergonomi
partisipatori dapat dianggap sebagai sebuah filosofi, pendekatan atau strategi, program atau
seperangkat alat dan teknik. Nagamachi (1995) mendefinisikan ergonomi partisipatori
sebagai keterlibatan aktif pekerja dalam pengetahuan dan prosedur ergonomi di tempat kerja
dan didukung baik oleh supervisor maupun manajer dengan tujuan untuk meningkatkan
kondisi kerja dan kualitas produk. Sedangkan Kourinka (1997) mendefinisikan ergonomi
partisipatori sebagai ergonomi praktis dengan partisipasi pekerja yang diperlukan dalam
penyelesaian masalah.
Berdasarkan permasalahan terkait kurangnya kesadaran akan K3 di Industri
Gamelan Wirun Palu Gongso, maka pada penelitian ini digunakan pendekatan ergonomi
partisipatori. Ergonomi partisipatori dipilih karena memungkinkan adanya keterlibatan
pekerja dan juga pemilik dalam merancang perbaikan terhadap K3. Adanya partisipasi dari
pekerja dan pemilik pada akhirnya akan meningkatkan rasa kepemilikan pekerja terhadap
ide atau solusi yang dibuat, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan komitmen yang besar
terhadap perubahan yang akan dilaksanakan (Imada dan Robertson, 1987). Keterlibatan
pekerja dan juga pemilik pada penelitian ini ada pada proses identifikasi potensi bahaya,
penyusunan prioritas potensi bahaya, serta penyusunan solusi.
Beberapa penelitian terkait aplikasi ergonomi partisipatori telah dilakukan
sebelumnya. Pendekatan ergonomi partisipatori telah digunakan pada beberapa penelitian
untuk mengurangi dan mencegah terjadinya Work-related Musculoskeletal Disorders
(Kourinka & Patry, 1995; Yuan, 2015; Aznam, Safitri, & Anggraini, 2017; Marfuah, 2018).
Ergonomi partisipatori juga telah digunakan untuk mendesain fasilitas kerja (Lindgaard &
Caple, 2001; Widananto & Purnomo, 2013; Hidayat & Purnomo, 2014; Umar, Ahmad,
Halim, Lee, & Hamid, 2019).
Selain itu, ergonomi partisipatori telah digunakan untuk menentukan potensi bahaya
yang dapat menimbulkan kecelakaan pada departemen cutting dan laminating di PT
Primarindo Asia Infratructure Tbk (Sukapto, Djojosubroto, & Audiandra, 2016). Guimaraes,
Anzanello, Ribeiro, & Saurin (2015) melakukan penelitian terkait intervensi ergonomi
partisipatori pada usaha furnitur di Brazil yang bertujuan untuk meningkatkan ergonomi
serta hasil produksi. Nugraha (2017) mengaplikasikan ergonomi partisipatori untuk
memperbaiki lingkungan kerja di industri informal yang memproduksi alas kaki di
Cibaduyut. Haines, Wilson, Vink & Koningsveld (2010) melakukan penelitian untuk
mengembangkan kerangka kerja ergonomi partisipatori.
3
Selain penelitian terkait ergonomi partisipatori, penelitian terkait metode untuk
mengevaluasi kondisi di tempat kerja juga telah dilakukan sebelumnya. Metode ergonomi
checklist telah dilakukan sebelumnya untuk mengevaluasi kondisi di tempat kerja (Suhardi,
Zoratoshi & Laksono, 2016; Sidiq, Suhardi, & Jauhari, 2016) Sedangkan Markkannen
(2003) menggunakan ILO-PATRIS Checksheet untuk mengevaluasi kondisi kerja di sektor
alas kaki informal Cibaduyut.
Berdasarkan permasalahan terkait kurangnya kesadaran K3 di Industri Gamelan
Wirun Palu Gongso yang telah diuraikan sebelumnya serta kajian literatur terkait
pendekatan ergonomi partisipatori maka pertanyaan pada penelitian ini adalah bagaimana
merancang usulan perbaikan K3 di Industri Gamelan Wirun Palu Gongso dengan
pendekatan ergonomi partisipatori.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
(tonjolan) saja. Sedangkan gamelan Jawa proses finishing dilakukan di semua bagian
gamelan sehingga seluruh permukaannya tampak mengkilap. Hal ini mengakibatkan proses
pembuatan gamelan Jawa lebih lama dibandingkan proses pembuatan gamelan Bali.
Gambar 2.1 dan 2.2 menunjukkan gamelan Jawa dan gamelan Bali.
Gambar 2.1 Gamelan Jawa (Kempul) Gambar 2.2 Gamelan Bali (Kempul)
2.2.1. Gamelan
Gamelan merupakan seperangkat alat musik tradisional yang biasanya terdiri dari
gong, kenong, kempul, gambang, celempung serta beberapa alat musik pendamping lainnya.
Gamelan menjadi ensamble musik tradisional dari beberapa daerah seperti Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Barat, Bali, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan. Gamelan berasal
dari kata “gambelan”. Secara harfiah “gemel” berarti pukul atau “digemel” yang artinya di
pukul. Benda yang dipukul dinamakan “gambelan”. Pengucapan kata “gambelan” telah
bergeser menjadi “gamelan”. Gamelan biasanya digunakan untuk mengiringi pementasan
wayang baik wayang kulit maupun wayang orang, ketoprak, dan tarian Jawa. Gamelan
memiliki beberapa perangkat musik, di antaranya adalah:
a. Gong
Gong merupakan perangkat musik berukuran besar atau sedang. Gong biasanya
digantung dalam posisi vertikal dan dimainkan dengan cara ditabuh di bagian tengah
bundaran (pencu) menggunakan alat tabuh bundar yang dilapisi dengan kain. Bentuk dari
alat musik gong dapat dilihat pada Gambar 2.3
6
Gambar 2.3 Alat Musik Gong
Sumber: https://balubu.com
b. Bonang
Bonang merupakan perangkat musik yang terdiri dari gong-gong berukuran kecil
dan berposisi horizontal. Satu set bonang terdiri dari sepuluh sampai empat belas gong kecil
yang disusun dalam dua deretan. Bentuk dari alat musik bonang dapat dilihat pada Gambar
2.4.
c. Kenong
Kenong merupakan satu set instrumen berjenis gong yang ditempatkan dalam posisi
horizontal pada tali yang ditegangkan pada bingkai kayu. Dalam memberi batasan struktur
suatu gending, kenong adalah instrumen kedua yang paling penting setelah gong. Bentuk
dari alat musik kenong dapat dilihat pada Gambar 2.5
7
d. Gambang
Gambang merupakan instrumen musik yang terbuat dari bilah-bilah kayu yang
dibingkai pada gerobogan dan berfungsi sebagai resonator. Gambang dimainkan dengan
tabuh berbentuk bundar dan memiliki tangkai panjang yang terbuat dari tanduk. Bentuk dari
alat musik gambang dapat dilihat pada Gambar 2.6
e. Kempul
Kempul merupakan gong berukuran kecil yang digantung. Kempul menandai aksen-
aksen penting dalam kalimat lagu gending. Bentuk dari alat musik kempul dapat dilihat pada
Gambar 2.7
8
Gambar 2.8 Alat Musik Kendang
Sumber: https://balubu.com
g. Rebab
Rebab merupakan alat musik berkawat-gesek dengan dua kawat ditegangkan pada
kayu dan memiliki bentuk hati yang bisanya ditutup dengan menggunakan kulit sapi. Rebab
digunakan sebagai salah satu bagian dari instrumen pemuka yang memimpin lagu dalam
ensambel, terutama dalam gaya tabuhan lirih. Bentuk dari alat musik rebab dapat dilihat
pada Gambar 2.9
9
mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya Keselamatan dan
Kesehatan Kerja”. Pasal 87: “Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan”.
10
3) Ekonomi
Alasan ekonomi akan dialami oleh banyak perusahaan karena mengeluarkan
biaya-biaya yang tidak sedikit jumlahnya akibat kecelakaan kerja yang dialami
pekerja. Kebanyakan perusahaan membebankan kerugian kecelakaan kerja yang
dialami karyawan kepada pihak asuransi. Kerugian tersebut bukan hanya berkaitan
dengan biaya pengobatan dan pertanggungan lainnya, tetapi banyak faktor lain yang
menjadi perhitungan akibat kecelakaan kerja yang diderita para pekerja.
d. Tujuan Penerapan K3
Tujuan dari penerapan keselamatan dan kesehatan kerja pada intinya adalah untuk
memberikan perlindungan bagi pekerja. Tujuan keselamatan dan kesehatan kerja adalah
untuk melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk
11
kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas kerja, untuk menjamin
keselamatan orang lain yang berada di lingkungan tempat kerja dan sumber produksi
dipelihara dan digunakan secara efisien, menurut Suma’mur (seperti yang disitasi dalam
Rofiah, 2016). Sedangkan menurut Sutrisno dkk. (seperti yang disitasi dalam Gayatri,
2015), tujuan keselamatan dan kesehatan kerja adalah untuk tercapainya keselamatan
karyawan saat bekerja dan setelah bekerja.
12
domino yang jatuh. Ketika terdapat satu domino yang terjatuh maka domino lain akan ikut
terjatuh. Heinrich mengemukakan lima faktor kecelakaan yang berurutan yang dapat
menyebabkan kecelakaan, yaitu (1) kondisi kerja, (2) kelalaian manusia, (3) tindakan tidak
aman, (4) kecelakaan, (5) cedera.
Dalam teori domino, pencegahan kecelakaan berfokus pada menghilangkan
tindakan tidak aman yang merupakan poin ketiga dari lima faktor penyebab kecelakaan di
mana tindakan tidak aman tersebut menyumbang 98% penyebab kecelakaan. Jika
dianalogikan dengan kartu domino, apabila domino ketiga tidak ada lagi, maka seandainya
kartu pertama dan kedua jatuh, tidak akan menyebabkan semua kartu lainnya jatuh. Ketika
terdapat jarak antara kartu kedua dengan kartu keempat, maka ketika kartu kedua jatuh tidak
akan sampai menimpa kartu keempat. Sehingga kecelakaan pada kartu keempat dan cedera
pada kartu kelima dapat dicegah.
13
1) Faktor Lingkungan
Syarat lingkungan kerja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a) Memenuhi syarat aman, meliputi higiene umum, sanitasi, ventilasi udara,
pencahayaan dan penerangan di tempat kerja dan pengaturan suhu udara ruang
kerja.
b) Memenuhi syarat keselamatan, meliputi kondisi gedung dan tempat kerja yang
dapat menjamin keselamatan.
c) Memenuhi penyelenggaraan ketatarumahtanggaan, meliputi pengaturan
penyimpanan barang, penempatan dan pemasangan mesin, penggunaan tempat,
dan ruangan.
2) Faktor Mesin dan Peralatan Kerja
Mesin dan peralatan kerja harus memiliki perencanaan yang baik dengan
memperhatikan ketentuan yang berlaku. Perencanaan yang baik dapat dilihat dari
baiknya pagar atau tutup pengaman pada bagian-bagian mesin atau perkakas yang
bergerak, antara lain bagian yang berputar. Bila pagar atau tutup pengaman telah
terpasang, harus diketahui efektif tidaknya pagar atau tutup pengaman tersebut yang
dilihat dari bentuk dan ukurannya yang sesuai terhadap mesin atau alat serta
perkakas yang terhadapnya keselamatan pekerja dilindungi.
3) Faktor Perlengkapan Kerja
Alat pelindung diri (APD) merupakan perlengkapan kerja yang wajib terpenuhi
untuk para pekerja. APD berupa pakaian kerja, kacamata, sarung tangan, dan yang
lainnya harus sesuai ukurannya sehingga menimbulkan kenyamanan dalam
penggunaannya
4) Faktor Manusia
Pencegahan kecelakaan dengan memperhatikan faktor manusia meliputi
peraturan kerja, pertimbangan batas kemampuan dan keterampilan pekerja,
mengeliminasi hal-hal yang mengurangi konsentrasi kerja, menegakkan disiplin
kerja, menghindari perbuatan yang mendatangkan kecelakaan kerja serta
menghilangkan adanya ketidakcocokan fisik maupun mental.
2.2.4. Bahaya
Bagian ini akan menjelaskan mengenai pengertian bahaya serta jenis-jenis bahaya.
a. Pengertian Bahaya
Bahaya atau biasa disebut dengan hazard, merupakan segala sesuatu baik situasi
maupun aktivitas yang memiliki potensi untuk menyebabkan kecelakaan kerja atau penyakit
akibat kerja. Sedangkan Budiono (2003) mendefinisikan bahaya atau hazard sebagai segala
hal atau sesuatu yang mempunyai kemungkinan mengakibatkan kerugian baik pada harta
benda, lingkungan maupun manusia.
14
b. Jenis-Jenis Bahaya
Bahaya yang ada di sekitar sangatlah beragam jenisnya. Ramli (2010)
mengklasifikasikan bahaya menjadi beberapa jenis, yaitu:
1) Bahaya Mekanis
Bahaya mekanis merupakan bahaya yang berasal dari peralatan mekanis atau
benda bergerak dengan gaya mekanika baik yang digerakkan secara manual maupun
dengan penggerak. Misalnya mesin gerinda, bubut, potong, press, pengaduk, alat
berat. Bahaya mekanis dapat menimbulkan cedera mekanis seperti luka
terbuka/sayatan, terpotong, remuk tertimpa atau terjepit, sobek pada bagian ligamen
atau otot, puncturing (tertusuk benda tajam).
2) Bahaya Listrik
Bahaya listrik merupakan bahaya yang berasal dari energi listrik. Energi listrik
dapat mengakibatkan berbagai bahaya seperti kebakaran, sengatan listrik, dan
hubungan arus pendek. Di lingkungan kerja banyak ditemukan bahaya listrik, baik
dari jaringan listrik, maupun peralatan kerja serta mesin yang menggunakan energi
listrik
3) Bahaya Kimiawi
Bahan kimia mengandung berbagai potensi bahaya sesuai dengan sifat dan
kandungannya. Pada umumnya bahan kimia dapat ditemukan dalam beberapa
bentuk sebagai berikut:
a) Debu
Debu merupakan partikel padat yang sedikit lebih berat daripada udara dan
memiliki ukuran berkisar dari 0,4 µm (halus) – 10 µm (kasar). Debu yang
partikelnya sangat kecil lebih berbahaya karena dapat masuk baik ke paru-paru
ataupun peredaran darah dan tinggal selamanya. Debu yang dapat masuk ke
saluran pernafasan disebut respirable dust atau inhalable dust. Contoh debu
halus adalah debu silika.
b) Gas
Gas merupakan wujud benda yang berada di atas titik didih zat yang
bersangkutan. Gas sangat mudah terhirup manusia. Beberapa gas yang
berbahaya akan menjadi racun bagi tubuh apabila terhirup seperti karbon
monoksida (CO).
c) Uap
Uap merupakan wujud benda yang berada sedikit di atas titik didih yang
bersangkutan. Uap merupakan salah satu jenis gas. Sama seperti gas, uap dari
bahan kimia berbahaya sangat rawan terhirup dan dapat bersifat racun bagi
tubuh manusia karena dapat memasuki tubuh tidak hanya saluran pernafasan
namun juga aliran darah.
d) Cairan
Cairan merupakan bentuk zat yang berada di antara gas dan padat.
15
e) Mists
Mists merupakan bentuk serupa dengan gas tetapi dalam derajatnya lebih pekat
dengan bentuk cairan. Mists sering diproduksi saat proses penyemprotan suatu
zat. Bentuk mists ini dapat langsung masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pernafasan atau melalui makanan ketika mists jatuh dan menempel pada
makanan yang akan dikonsumsi.
f) Fume
Fume adalah kumpulan partikel logam yang sangat kecil kurang dari 1 µm
yang telah memadat dari state gas. Fume sering dihasilkan dari proses
pengelasan dan dapat menyebabkan kanker paru-paru. Bahaya dari fume sangat
bergantung pada zat logam yang sedang digunakan.
4) Bahaya Fisik
Bahaya fisik merupakan bahaya yang bersumber dari faktor fisik seperti dari
getaran, tekanan, gas, kebisingan, suhu panas atau dingin, cahaya penerangan, dan
radiasi dari bahan radioaktif.
16
dalam analisis, intervensi, dan evaluasi ergonomi makro. Metode-metode tersebut meliputi
laboratory experiment, field study, field experiment, organizational questionnaire survey,
dan focus groups. (Hendrick dan Kleiner, 2001). Selain metode-metode tersebut, terdapat
metode-metode lain yang difungsikan untuk tujuan tertentu. Metode tersebut telah
dikembangkan, disempurnakan, dan divalidasi oleh beberapa kelompok universitas secara
internasional. Terdapat 3 metode yang sangat berguna menurut Hendrick dan Kleiner (2002)
yaitu 1) user systems analysis, berfungsi untuk menentukan hardware dan software
komputer, 2) metodologi ORDIT, berfungsi untuk menentukan persyaratan atau kebutuhan
sistem teknologi informasi, dan 3) anthropotechnology, berfungsi untuk memastikan bahwa
teknologi, dan sistem kerja yang terkait, dan budaya yang mengembangkan sistem
dimodifikasi secara tepat sesuai dengan budaya penerima.
17
c. Kerangka Kerja Ergonomi Partisipatori
Kerangka kerja konseptual yang menjelaskan variasi dalam program ergonomi
partisipatori telah diusulkan oleh Haines, Wilson, Vink & Koningsveld (2002). Kerangka
kerja ergonomi partisipatori memiliki 9 dimensi yang berbeda. Dimensi-dimensi tersebut
terangkum dalam Tabel 2.1.
18
pekerja sebagai wakil yang terpilih yang akan merepresentasikan sudut pandang dari
semua pekerja.
3) Level of influence (Tingkat Pengaruh)
Dimensi ketiga dari kerangka kerja ergonomi partisipatori adalah level of
influence atau tingkat pengaruh. Dimensi ini mempertimbangkan tingkat organisasi
di mana ergonomi partisipatori terjadi. Terdapat ergonomi partisipatori yang
berlangsung dan hanya berpengaruh pada tingkat departemen atau suatu kelompok
kerja dan ada pula yang terjadi serta berpengaruh pada keseluruhan organisasi.
4) Decision-making (Pengambilan Keputusan)
Dimensi keempat dalam kerangka kerja ergonomi partisipatori
mempertimbangkan siapa yang memiliki kuasa untuk melakukan pengambilan
keputusan. Group delegation berarti masing-masing grup yang menjadi
stakeholders akan mengajukan delegasi untuk mengambil keputusan. Group
consultation berarti akan terjadi diskusi antar grup hingga tercapainya sebuah
konsensus. Individual consultation berarti pengambilan keputusan dilakukan oleh
salah satu stakeholders biasanya adalah pemilik atau pimpinan tertinggi dalam suatu
organisasi.
5) Mix of Participants (Peserta)
Dimensi kelima dalam kerangka kerja ergonomi partisipatori adalah peserta.
Dimensi ini mempertimbangkan stakeholders yang terlibat dalam proses ergonomi
partisipatori. Peserta yang terlibat bisa merupakan operator, supervisor, middle
management, suatu kelompok/serikat, staff teknis/spesialis bidang tertentu, atau
manajemen senior.
6) Requirement (Kebutuhan)
Dimensi keenam dalam kerangka kerja ergonomi partisipatori berfokus pada
kebutuhan partisipasi: apakah bersifat sukarela atau wajib. Apabila bersifat sukarela
maka para peserta yang terlibat akan memberikan kontribusinya secara sukarela
tanpa ada suatu aturan yang mewajibkannya. Namun jika bersifat wajib maka
keterlibatan mereka berada dalam sebuah program wajib dan memiliki aturan
tertentu.
7) Focus (Fokus)
Dimensi ketujuh dalam kerangka kerja ergonomi partisipatori adalah fokus.
Dimensi ini mengidentifikasi topik yang dibahas oleh peserta dalam proses
ergonomi partisipatori. Terdapat 3 kategori yaitu desain alat dan tugas, desain
pekerjaan, tim atau organisasi kerja, dan memformulasikan strategi atau kebijakan.
8) Remit (Tugas)
Dimensi kedelapan dalam kerangka kerja ergonomi partisipatori
menggambarkan kegiatan yang dilakukan oleh peserta dan sejauh mana keterlibatan
mereka dalam proses perubahan. Terdapat 6 kategori tugas yaitu pengembangan
proses, identifikasi masalah, penyusunan solusi, evaluasi solusi, implementasi
19
solusi, dan pengawasan proses. Dalam sebuah proses ergonomi partisipatori, peserta
mungkin saja memiliki lebih dari satu kategori tugas.
9) Role of Ergonomics Specialist (Peran Ahli Ergonomi)
Dimensi terakhir dalam kerangka kerja ergonomi partisipatori menggambarkan
keterlibatan ahli ergonomi dalam proses ergonomi partisipatori. Terdapat 4 kategori
keterlibatan ahli ergonomi yaitu menginisiasi dan mengawasi proses, menjadi
anggota tim ergonomi partisipatori dengan tugas yang sama dengan peserta, melatih
peserta dalam proses ergonomi partisipatori, atau bertindak sebagai konsultan.
2.2.7. ILO-PATRIS
ILO-PATRIS merupakan sebuah singkatan dari International Labour Organization–
Participatory Action Training for Informal Sector Operators. PATRIS merupakan sebuah
metodologi yang pertama kali dikembangkan di Afrika oleh International Labour
Organization (ILO) pada tahun 1995 hingga 1996. Selain itu manual asli dari PATRIS juga
dikembangkan untuk digunakan pada sektor informal pembuatan alas kaki oleh program
ILO tentang penghapusan pekerja anak atau International Programme on the Elimination of
Child Labour (IPEC).
Panduan PATRIS yang telah disesuaikan untuk industri alas kaki dikembangkan
oleh program ILO-IPEC di industri alas kaki Bandung, Indonesia dan juga Pia Markkanen,
ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Tim ILO-IPEC pada program di industri alas kaki
mengadaptasi checklist PATRIS yang asli ke dalam checklist yang dapat digunakan di
industri informal alas kaki di Cibaduyut. ILO-PATRIS tersebut digunakan untuk
mengevaluasi kondisi yang ada di industri informal alas kaki Cibaduyut. ILO-PATRIS
Checklist tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2.
20
Monitoring Item Score (0-2) Observations/Changes
Welfare facilities
14. Toilets
15. Showers
16. Rest/sleep/eating/smoking areas
17. Dringking water
Ergonomics
18. Hazardous postures
19. Seat
20. Working surfaces
21. Lifting
Equipment
22. Tools, machines, equipment
Work Organizations
23. Interaction with workers
24. Work rotation
25. Work rest cycles
Personal Protective Equipment
26. Shoes, gloves, aprons, masks, goggles, etc
Day to day management
27. First aid
28. Health services
29. Delegation of safety responsibilities to worker
Scoring : 0 = major improvement needed, 1 = improvement needed, 2 = satisfactory
Sumber : ILO-IPEC Footwear Programme & Markkannen (2003)
21
Metode delphi dikembangkan oleh Dalkey dan Helmer di Rand Corporation pada
tahun 1950-an. Pada saat itu metode delphi banyak digunakan untuk mencapai suatu
konvergensi pendapat mengenai pengetahuan dunia nyata yang diminta dari para ahli dalam
bidang tertentu. Metode delphi dirancang sebagai proses komunikasi kelompok yang
bertujuan melakukan pemeriksaan secara rinci dan diskusi dari isu tertentu untuk penetapan
tujuan, penyelidikan kebijakan, atau memprediksi peristiwa di masa depan, menurut
Ulschak (seperti yang disitasi dalam Hsu dan Sandford, 2007). Metode delphi cocok
digunakan sebagai sarana untuk membangun sebuah konsensus dengan menggunakan
serangkaian kuesioner untuk mengumpulkan data dari panel subyek yang dipilih (Hsu dan
Sandford, 2007). Menurut Rowe dan Wright (1999), metode delphi memiliki empat fitur
utama, yaitu:
1) Kerahasiaan peserta delphi: para peserta dalam metode delphi bebas untuk
mengekspresikan pendapat mereka tanpa adanya tekanan sosial untuk menyesuaikan
diri dengan orang lain dalam kelompok.
2) Iterasi: metode delphi memiliki proses iterasi yang memungkinkan para peserta
dapat memperbaiki pandangan mereka dari putaran ke putaran.
3) Kontrol umpan balik: metode delphi memiliki kontrol umpan balik yang berfungsi
untuk menginformasikan perspektif semua peserta kepada peserta-peserta yang
terlibat, dan memberikan kesempatan bagi peserta delphi untuk mengklarifikasi atau
mengubah pandangan mereka.
4) Agregasi statistik dari respons kelompok: memungkinkan adanya analisis kuantitatif
dan interpretasi data.
22
1) Pemilihan panelis ahli (expert)
Pemilihan panelis ahli (expert) merupakan hal yang penting dalam metode
delphi. Dalam melakukan metode delphi, orang-orang ahli yang terlibat dapat
berasal dari profesional atau peneliti yang memiliki pengetahuan khusus atau
berpengalaman,
2) Jumlah panelis ahli (expert)
Dalam pelaksanaan metode delphi, tidak terdapat aturan baku mengenai jumlah
panelis ahli. Beberapa peneliti berpendapat bahwa tidak terdapat korelasi yang
signifikan antara ukuran panel delphi dengan akurasi serta efektivitas metode delphi
(Boje & Murnighan, 1982). Terdapat beberapa penelitian yang menggunakan
metode delphi dengan jumlah peserta yang berbeda-beda di antaranya berkisar dari
5 hingga 7 peserta (Rowe & Wright, 1999).
3) Jumlah putaran
Jumlah putaran merupakan aspek yang penting dalam pelaksanaan metode
delphi. Dalkey (1969) menyatakan bahwa hasil dari metode delphi lebih akurat
setelah 2 iterasi.
4) Pengukuran konsensus
Tujuan dari penggunaan metode delphi adalah untuk mencapai konsensus
antara panelis ahli. Kuesioner delphi dikatakan konsensus jika nilai standar deviasi
berada di bawah 1,5 (Christie & Barella, 2005) dan nilai jangkauan interkuartile
(IQR) berada di bawah 2,5, menurut Limerick (seperti yang disitasi dalam
Giannarou & Zervas, 2014).
23
2.2.9. Bunyi
Bagian ini akan menjelaskan mengenai pengertian bunyi serta mekanisme
perambatan bunyi.
a. Pengertian Bunyi
Bunyi merupakan gelombang mekanik jenis longitudinal yang merambat dan
sumbernya berupa benda yang bergetar (Yasid, Yushardi & Handayani, 2016). Gelombang
mekanik berjenis longitudinal tersebut kemudian ditangkap oleh manusia melalui indera
pendengaran yaitu telinga. Bunyi dapat terjadi ketika memiliki 3 syarat yaitu terdapat
sumber yang menghasilkan bunyi, terdapat medium untuk perambatan bunyi dan terdapat
penerima yang mendeteksi bunyi melalui telinga atau alat yang menerima bunyi.
b. Perambatan Bunyi
Bunyi memiliki dua jenis perambatan yaitu yang menimpa secara tegak lurus pada
bidang yang dituju (vertical propagation) dan yang membuat sudut terhadap bidang
pemantul (oblique propagation) (Makainas, Sela, Nangoy, Rate, & Andries, 2011). Apabila
di suatu ruangan terdapat sumber bunyi, bidang pemantul dan pendengar maka pendengar
akan mendengar bunyi yang datang secara langsung dari sumber bunyi dan juga bunyi
pantulan seperti pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10 menunjukkan seorang penonton yang menerima bunyi dari beberapa
sumber yaitu bunyi pantulan dari dua sisi dinding, plafon, bagian belakang panggung dan
bunyi yang dihasilkan langsung oleh sumber bunyi.
2.2.10. Kebisingan
Bagian ini menjelaskan mengenai pengertian kebisingan, jenis kebisingan, Nilai
Ambang Batas Kebisingan dan upaya pengendalian kebisingan.
24
a. Pengertian Kebisingan
Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51 (1999) kebisingan adalah semua
suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-
alat kerja pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Kebisingan
merupakan bunyi atau suara yang tidak dikehendaki dan berasal dari sumber suara yang
memiliki tekanan yang berubah-ubah tergantung pada sumbernya hingga sampai pada alat
pendengaran yaitu telinga dan merangsang pendengaran. Bising yang dihasilkan dari
sumber suara (kebisingan) merambat dengan kecepatan bunyi melalui medium yaitu udara,
zat cair, zat padat/kayu dan logam.
b. Jenis-Jenis Kebisingan
Jenis-jenis kebisingan dibagi kedalam beberapa kategori, yaitu kebisingan kontinu,
kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi sempit, kebisingan impulsive, kebisingan
nada tunggal, kebisingan frekuensi rendah, dan kebisingan fluktuatif. Berikut adalah
penjelasan dari masing-masing jenis kebisingan:
1) Kebisingan Kontinu
Kebisingan kontinu adalah kebisingan yang terjadi secara terus menerus
dengan level spektrum yang konstan dengan lama waktu pemaparan selama 8 jam
kerja per-hari atau 40 jam per-minggu. Kebisingan kontinu dengan spektrum
frekuensi luas (steady state wide band noise) misalnya adalah mesin-mesin, kipas
angin, dapur pijar. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi sempit (steady
state norrow band noise) misalnya adalah gergaji sirkuler dan katup gas.
2) Kebisingan Intermittent
Kebisingan intermittent adalah kebisingan yang terjadi secara terputus-putus
dalam selang waktu tertentu. Contohnya adalah lalu lintas dan suara kapal terbang
di lapangan udara.
3) Kebisingan Impulsif
Kebisingan impulsif merupakan kebisingan yang sifatnya berupa kejutan.
Bising jenis ini diakibatkan oleh sumber suara tumbukan atau ledakan seperti pile
driver, punch press, mesin tempa ataupun suara tembakan senapan. Suaranya sangat
jelas terdengar di mana efek ketika suara tersebut mulai berbunyi menyebabkan
gangguan yang sangat nyata. Kriteria yang menyebabkan suatu kebisingan dapat
dimasukan dalam kriteria bising impulsive adalah fluktuasi dari Sound Pressure
Level bising tersebut tidak lebih dari 10 dB, pada durasi kurang dari satu detik.
Untuk pengukuran bising impulsif diukur dalam selang waktu tertentu yang terdapat
pada sumber bising impulsif. Kebisingan impulsif juga dapat terjadi secara
berulang.
4) Kebisingan Nada Tunggal
Bising nada tunggal merupakan bising yang dominan pada sebuah frekuensi.
Contoh sumber bising nada tunggal seperti bising dari motor pada mesin, gearbox,
25
fan dan pompa. Mesin yang sedang beroperasi kerap kali menimbulkan gesekan dan
tumbukan antar permukaannya. Tumbukan yang berulang bisa terdengar sebagai
bising nada tunggal akibat transmisi oleh udara dari permukaan yang terkena
tumbukan. Jarak antara alat ukur dengan sumber bising adalah sama dengan jarak
antara sumber bising dengan pekerja yang bertugas pada sumber bising tersebut.
5) Kebisingan Frekuensi Rendah
Energi akustik untuk bising frekuensi rendah dominan pada rentang frekuensi
8–100Hz. Bising tipe ini terdapat pada mesin-mesin diesel besar, kereta api, maupun
power plants. Bising jenis frekuensi rendah masih terdengar untuk jarak yang cukup
jauh dan lebih mengganggu secara psikologis.
6) Kebisingan Fluktuatif
Bising ini terjadi ketika sebuah kendaraan atau pesawat terbang berlalu, di
mana tingkat kebisingan naik dan turun secara cepat. Salah satu kriteria yang
penting dalam mengategorikan sebuah bising dalam bising fluktuatif adalah
fluktuasi dari Sound Pressure Level bising tersebut tidak lebih dari 3 sampai 10 dB,
dalam sebuah jangka waktu tertentu.
26
d. Dampak Paparan Kebisingan
Suara yang keras mempunyai potensi mengganggu seluruh sistem pendengaran,
karena pengaruh langsung kepada telinga bagian tengah, yaitu ossicular, tympanic
membrane, oval window, dan cochlear (bila rusak tidak dapat disembuhkan lagi, karena
terjadinya perubahan syaraf dengar). Gangguan dapat terjadi pada fisiologis, psikologis,
gangguan komunikasi dan ketulian, atau dapat juga digolongkan menjadi gangguan auditori,
misalnya gangguan terhadap pendengaran dan gangguan non auditori seperti gangguan
komunikasi, ancaman bahaya keselamatan menurunnya performa kerja, kelelahan dan
stress.
1) Gangguan Fisiologis
Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi basal
metabolisme, konstruksi pembuluh darah kecil terutama pada bagian kaki, dapat
menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.
2) Gangguan Psikologis
Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi,
susah tidur, emosi dan lain-lain. Pemaparan jangka waktu lama dapat menimbulkan
penyakit, psikosomatik seperti gastritis, penyakit jantung koroner dan lain-lain.
3) Gangguan Komunikasi
Gangguan komunikasi ini menyebabkan terganggunya pekerjaan, bahkan
mungkin terjadi kesalahan, terutama bagi pekerja baru yang belum berpengalaman.
Gangguan komunikasi ini secara tidak langsung akan mengakibatkan bahaya
terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, karena tidak mendengar teriakan
atau isyarat tanda bahaya dan tentunya akan dapat menurunkan mutu pekerjaan dan
produktivitas kerja.
4) Gangguan Keseimbangan
Gangguan keseimbangan ini mengakibatkan gangguan fisiologis seperti kepala
pusing, mual, dan lain-lain.
5) Gangguan Terhadap Pendengaran (Ketulian)
Di antara sekian banyak gangguan yang ditimbulkan oleh bising, gangguan
terhadap pendengaran adalah gangguan yang paling serius karena dapat
menyebabkan hilangnya pendengaran atau ketulian. Ketulian ini dapat bersifat
progresif atau awalnya bersifat sementara tapi bila bekerja secara terus menerus di
tempat bising tersebut maka daya dengar akan menghilang secara menetap atau tuli.
Jenis-jenis ketulian di kategorikan sebagai berikut:
a) Tuli Sementara (Temporary Treshold Shift = TTS)
Diakibatkan pemaparan terhadap bising dengan intensitas tinggi, tenaga kerja
akan mengalami penurunan daya dengar yang sifatnya sementara. Biasanya
waktu pemaparan terlalu singkat. Apabila tenaga kerja diberikan waktu
istirahat secara cukup, daya dengarnya akan pulih kembali kepada ambang
dengar semula dengan sempurna.
27
b) Tuli Menetap (Permanent Treshold Shift = PTS)
Biasanya terjadi akibat waktu paparan yang lama (kronis). Besarnya PTS
dipengaruhi oleh faktor-faktor tingginya level suara, lama pemaparan,
spektrum suara, temporal pattern, bila kebisingan yang kontinyu maka
kemungkinan terjadinya TTS akan lebih besar, kepekaan individu, pengaruh
obat-obatan, dan keadaan kesehatan.
Ketulian juga dapat disebabkan oleh pekerjaan (occupational hearing loss)
misalkan akibat kebisingan, trauma akustik, dapat pula disebabkan oleh bukan
karena pekerjaan (non-occupational hearing loss). Berikut faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap ketulian akibat kerja (occupational hearing loss):
a) Intensitas suara yang terlalu tinggi
b) Usia karyawan
c) Ketulian yang sudah ada sebelumnya (pre-employment hearing impairment)
d) Tekanan dan frekuensi bising tersebut.
e) Lamanya bekerja
f) Jarak dari sumber suara
g) Gaya hidup pekerja di luar tempat kerja.
28
menurunkan (derated) nilai NRR pada alat pelindung telinga dengan aturan yang dapat
dilihat pada Tabel 2.4.
2.2.11. Debu
Bagian ini menjelaskan mengenai debu yang meliputi pengertian debu, jenis-jenis
debu, bahaya debu, dan metode pengendalian debu.
a. Pengertian Debu
Debu memiliki beberapa pengertian, salah satunya adalah menurut Suma’mur
(2009), debu merupakan zat kimia yang berbentuk padat yang dihasilkan dari kekuatan-
kekuatan alami maupun mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pengepakan yang
berlangsung cepat, pelembutan, peledakan, dan lain-lain dari benda organik maupun
anorganik contohnya debu kayu, logam, arang, batu, butir-butir zat dan sebagainya.
b. Jenis-Jenis Debu
Debu merupakan partikel berbentuk padat berukuran 1 mikron sampai dengan 500
mikron yang melayang di udara dan terdiri dari 3 macam, yaitu:
29
1) Dust
Dust atau debu memiliki berbagai ukuran mulai dari ukuran submikroskopik sampai
ukuran yang cukup besar. Debu berbahaya ketika memiliki ukuran yang lebih kecil
dari 100 mikron karena dapat dengan mudah terhirup dan masuk ke dalam sistem
pernafasan.
2) Fumes
Fumes merupakan partikel-partikel zat berbentuk padat yang dihasilkan oleh proses
kondensasi dari bentuk gas. Fumes biasanya terbentuk sesudah penguapan benda
padat yang dipijarkan dan seringkali disertai dengan oksidasi kimiawi. Contoh
fumes adalah welding fumes yang dihasilkan dari kegiatan pengelasan.
3) Smoke
Smoke atau seringkali disebut dengan asap, merupakan hasil dari proses pembakaran
bahan organik yang tidak sempurna. Smoke memiliki ukuran sekitar 0,5 mikron.
Debu memiliki beberapa kategori berdasarkan tingkat bahayanya yaitu:
1) Debu karsinogenik: merupakan debu yang dapat memicu munculnya sel kanker.
Contohnya adalah debu arsenik dan asbes
2) Debu fibrogenik: merupakan debu yang dapat memicu fibrosis pada sistem
pernafasan. Contohnya adalah debu silika dan batubara
3) Debu radioaktif: merupakan debu yang memiliki paparan radiasi alfa maupun beta
4) Debu eksplosif: merupakan debu yang mudah meledak pada suhu dan kondisi
tertentu. Contohnya adalah debu metal (magnesium, alumunium, zinc, timah putih,
besi, batu bara dan debu organik
5) Debu yang memiliki racun bagi organ atau jaringan tubuh. Contohnya adalah debu
merkuri, debu nikel, debu timbal.
6) Debu inert: merupakan debu yang memiliki kandungan <1% kuarsa. Debu ini
berpotensi mengakibatkan iritasi pada mata dan kulit. Contohnya adalah debu
gypsum, dan batu kapur.
7) Irrespirable dust: merupakan debu yang berukuran lebih dari 10 µ sehingga hanya
dapat tertahan di hidung.
8) Respirable dust: merupakan debu yang memiliki ukuran kurang dari 10 µ sehingga
dapat terhirup dan masuk ke sistem pernafasan bahkan dapat mencapai paru-paru.
Suma’mur (2009) mengelompokkan debu menjadi dua jenis yaitu debu organik dan
debu anorganik. Jenis atau klasifikasi debu yang berpotensi menimbulkan gangguan
kesehatan pada manusia dapat dilihat pada Tabel 2.5.
30
No Jenis Debu Contoh
3. Jamur Actinomycosis, Kriptokokus, Thermophilic
4. Virus Cacar air, Q fever, psikatosis
5. Sayuran Kompos jamur, ampas tebu, tepung padi, gabus, serat nanas, atap alang-
alang, katun, rami
6. Binatang Kotoran burung/kesturi/ayam
b. Sintesis
1. Plastik Politetrafluoretilen, toluene diisosianat
2. Reagen Minyak isopropyl, pelarut organik
2 Anorganik
a. Silika bebas
1. Crystaline Quarz, trymite cristobalite
2. Amorphous Diatomaceous earth, silica gel
b. Silika
1. Fibrosis Asbestosis, silinamite, talk
2. Lain-lain Mika, kaolin, debu semen
c. Metal
1. Inert Besi, barium, titanium, alumunium
2. Lain-lain Berilium
3. Bersifat ganas Arsen, kobal, nikel, hematite, uranium, khrom
Sumber: Suma’mur, 2009
31
adalah 5 µ, namun debu dengan ukuran 5-10 µ dengan kadar yang berbeda dapat
masuk ke alveoli.
4) Durasi Paparan
Semakin lama durasi paparan debu maka akan semakin berbahaya dampak
yang dapat ditimbulkan bagi kesehatan sistem pernapasan seseorang.
32
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
33
3.4. Pengumpulan Data
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data berupa data primer yang meliputi peta
proses operasi, layout produksi, diagram aliran, keluhan kesehatan pekerja, kecelakaan kerja
dan nearmiss, serta penilaian kondisi kerja dengan ILO-PATRIS checksheet.
a. Layout Produksi
Proses pembuatan layout produksi dimulai dengan melakukan observasi secara
langsung guna memperoleh data pembagian area kerja masing-masing aktivitas produksi
dan area fasilitas yang ada di tempat kerja seperti tempat istirahat/makan/toilet. Kemudian
dilakukan pengukuran area kerja untuk mengetahui ukuran masing-masing area kerja dan
fasilitas kerja. Setelah didapatkan pembagian area kerja dan ukuran dari area-area tersebut,
maka layout produksi dibuat dengan menggunakan software Sweet Home 3D.
b. Diagram Alir
Proses pembuatan diagram alir dimulai dari pengumpulan data berupa layout
produksi dan urutan aktivitas proses produksi gamelan. Pembuatan diagram alir
menggunakan software Sweet Home 3D.
34
1) Melakukan observasi kondisi kerja sesuai dengan monitoring item yang terdapat
pada ILO-PATRIS checksheet
2) Melakukan dokumentasi kondisi kerja
3) Melakukan diskusi dengan pekerja terkait kondisi kerja sesuai dengan monitoring
item yang terdapat pada ILO-PATRIS checksheet
4) Melakukan pengisian ILO-PATRIS checksheet sesuai dengan hasil observasi dan
diskusi dengan pekerja.
Contoh pengisian ILO-PATRIS checksheet berdasarkan kondisi kerja yang ada di
Gamelan Wirun Palu Gongso dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Pada gambar tersebut dilakukan penilaian terhadap salah satu monitoring item
physical environment yaitu dust atau debu. Observasi difokuskan pada debu yang ada di
tempat kerja kemudian dilakukan dokumentasi terhadap kondisi yang berkaitan dengan
adanya debu di tempat kerja. Diskusi dengan pekerja berkaitan dengan debu yang ada di
tempat kerja seperti sumber debu, bahaya debu, dan usaha penanggulangan terhadap debu
oleh pihak manajemen/pemilik/pekerja dilakukan untuk memperoleh informasi yang
kemudian dideskripsikan secara singkat pada kolom Observation/Changes. Selain itu
dokumentasi terkait adanya debu di tempat kerja dimasukkan pada kolom Gambar. Setelah
diperoleh informasi terkait monitoring item debu di tempat kerja, pengisian skor akan
dilakukan pada kolom Score. Berdasarkan hasil observasi yang menunjukkan kondisi
tempat kerja yang sangat berdebu sehingga memiliki potensi bahaya serta belum adanya
tindakan untuk memperbaiki kondisi tersebut, maka diberikan skor 0 pada kolom Score
yang artinya perbaikan mayor/besar diperlukan bagi kondisi tersebut.
35
a. Rekapitulasi Penilaian Kondisi Kerja
Pada bagian ini akan dilakukan rekapitulasi penilaian kondisi kerja berdasarkan
penilaian ILO-PATRIS checksheet. Dengan melakukan rekapitulasi penilaian kondisi kerja
ini didapatkan hasil berupa pencapaian kinerja untuk masing-masing monitoring item.
Rekapitulasi ini digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan prioritas potensi
bahaya yang akan diberi usulan perbaikan. Proses rekapitulasi penilaian kondisi kerja
dilakukan dengan menghitung jumlah score untuk masing-masing monitoring items
kemudian membaginya dengan nilai skor maksimum yang dapat diperoleh masing-masing
monitoring items dan kemudian mengalikannya dengan seratus persen. Setelah persentase
pencapaian kinerja untuk masing-masing monitoring items diperoleh, langkah terakhir
adalah membuat grafik pencapaian skor masing-masing monitoring item.
36
menggunakan bantuan kuesioner yang berjenis likert. Penggunaan kuesioner pada
metode delphi putaran pertama ini diadaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh
Rizqiah (2017). Bentuk dari kuesioner delphi putaran pertama dapat dilihat pada
Lampiran 1. Setelah semua responden selesai memberikan pendapatnya melalui
kuesioner delphi, rekapitulasi data akan dilakukan untuk mempermudah proses
pengolahan data. Data-data tersebut kemudian diolah dan dianalisis secara statistik.
Pada metode delphi putaran pertama, nilai standar deviasi dan jangkauan
interkuartile (IQR) akan menjadi dasar untuk menentukan konsensus atau
konvergensi opini dari setiap aspek yang telah dinilai oleh responden. Syarat yang
digunakan dalam menentukan konsensus atau konvergensi opini mengacu pada
beberapa referensi di mana kuesioner delphi dikatakan mencapai konsensus jika
nilai standar deviasi di bawah 1,5 (Christie & Barella, 2005) dan nilai IQR di bawah
2,5 menurut Limerick (seperti yang disitasi dalam Giannarou & Zervas, 2014).
2) Metode Delphi Putaran II
Responden yang terlibat dalam metode delphi putaran kedua merupakan
responden yang sama dengan metode delphi putaran pertama yaitu berjumlah 6
orang yang terdiri dari 5 orang pekerja dan 1 orang pemilik industri gamelan Wirun
Palu Gongso. Masing-masing responden akan ditemui secara terpisah seperti pada
metode delphi putaran pertama. Hal ini dilakukan untuk menjamin responden dapat
memberikan pendapat mereka tanpa ada tekanan dari pihak mana pun.
Pelaksanaan metode delphi putaran kedua ini diawali dengan memberikan
ringkasan hasil kuesioner delphi putaran pertama. Isi dari ringkasan tersebut adalah
rata-rata jawaban dan keterangan nilai untuk setiap aspek yang ada pada kuesioner
metode delphi putaran pertama. Pemberian ringkasan hasil kuesioner delphi putaran
pertama dapat digunakan oleh responden sebagai bahan pertimbangan dalam
melakukan penilaian terhadap aspek-aspek yang ada pada kuesioner delphi.
Selanjutnya, responden akan diminta untuk menilai tingkat kepentingan
dilakukannya perbaikan terhadap masing-masing aspek menggunakan bantuan
kuesioner yang berjenis likert. Kuesioner pada metode delphi putaran kedua tidak
jauh berbeda dengan kuesioner delphi putaran pertama. Bentuk dari kuesioner
delphi putaran kedua dapat dilihat pada Lampiran 2. Setelah semua responden
selesai memberikan pendapatnya melalui kuesioner delphi, rekapitulasi data akan
dilakukan untuk mempermudah proses pengolahan data. Data-data tersebut
kemudian diolah dan dianalisis secara statistik.
Pada metode delphi putaran kedua, nilai standar deviasi dan jangkauan
interkuartile (IQR) akan menjadi dasar untuk menentukan konsensus atau
konvergensi opini dari setiap aspek yang telah dinilai oleh responden. Syarat
tercapainya konsensus atau konvergensi opini sama seperti pada metode delphi
putaran pertama yakni nilai standar deviasi di bawah 1,5 dan nilai IQR di bawah
2,5.
37
3) Penentuan Peringkat Potensi Bahaya
Setelah didapatkan hasil berupa aspek-aspek potensi bahaya yang telah
mencapai konsensus, maka tahap selanjutnya adalah menentukan peringkat dari
aspek-aspek yang menjadi potensi bahaya bagi kesehatan dan keselamatan pekerja.
Penentuan peringkat potensi bahaya tersebut dilakukan dengan
mempertimbangkan nilai rata-rata atau mean masing-masing aspek pada hasil
pengolahan kuesioner delphi putaran kedua. Nilai rata-rata masing-masing aspek
tersebut akan menunjukkan tingkat kepentingan diperlukannya perbaikan. Semakin
besar nilai rata-rata yang diperoleh oleh aspek tersebut, maka semakin tinggi pula
peringkat atau prioritasnya.
Konsultasi
Grup
Pekerja
Sementara Pemilik
Pengambilan
Keputusan
Peserta
Keberlang
sungan
Voluntary
Identifikasi
masalah
Kebutuhan Kerangka
Kerja Tugas
Ergonomi (Remit)
Keseluruhan
Tingkat Penyusunan
organisasi
Pengaruh solusi
Fokus
Peran Ahli
Ergonomi
Peralatan/per
lengkapan Keterlibatan
Konsultasi
Proses
kerja Organisasi
di tempat
kerja Perwakilan
38
Kerangka kerja yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kerangka kerja
yang telah dimodifikasi dari kerangka kerja oleh Haines, Wilson, Vink & Koningsveld
(2002) dan disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi pada penelitian ini. Dalam kerangka
kerja ergonomi partisipatori yang digunakan dalam penelitian ini, terdapat 9 dimensi di
mana masing-masing dimensi memiliki kategori. Berikut ini merupakan penjelasan terkait
dimensi dalam kerangka kerja ergonomi partisipatori yang digunakan:
a. Keberlangsungan
Pada penelitian ini keberlangsungan intervensi ergonomi partisipatori memiliki
kategori sementara. Artinya, intervensi ergonomi partisipatori hanya berlangsung selama
penelitian ini dilakukan.
b. Keterlibatan
Pada penelitian ini keterlibatan peserta ergonomi partisipatori memiliki kategori
perwakilan. Artinya, tidak semua stakeholder akan terlibat dalam jalannya penerapan
ergonomi partisipatori ini. Beberapa perwakilan dari peserta (pekerja) akan dipilih untuk
mewakili pandangan keseluruhan pekerja. Keterlibatan ergonomi partisipatori dengan
kategori perwakilan dipilih dengan mempertimbangkan keterbatasan waktu dan persetujuan
dari pihak industri gamelan Wirun Palu Gongso.
c. Tingkat Pengaruh
Pada penelitian ini tingkat pengaruh dari intervensi ergonomi partisipatori memiliki
kategori keseluruhan organisasi. Artinya intervensi ergonomi partisipatori pada penelitian
ini tidak hanya berpengaruh pada beberapa stasiun kerja melainkan akan berlangsung dan
berpengaruh pada keseluruhan organisasi di industri gamelan Wirun Palu Gongso.
Intervensi ergonomi partisipatori pada penelitian akan berlangsung dan berpengaruh pada
bagian produksi mulai dari stasiun kerja peleburan hingga stasiun kerja pelarasan.
d. Pengambilan Keputusan
Pada penelitian ini pengambilan keputusan dalam intervensi ergonomi partisipatori
memiliki kategori konsultasi grup. Beberapa perwakilan pekerja dan pemilik akan menjadi
pengambil keputusan dalam penelitian ini. Perwakilan pekerja dan pemilik pada penelitian
ini akan terlibat dalam metode pengambilan keputusan kelompok yaitu metode delphi.
Metode delphi akan menjadi sarana pekerja dan pemilik untuk memutuskan urutan prioritas
permasalahan yang ada di industri gamelan Wirun Palu Gongso.
e. Peserta
Pada penelitian ini stakeholder yang menjadi peserta intervensi ergonomi
partisipatori adalah pekerja dan juga pemilik. Pemilihan pekerja dan juga pemilik sebagai
peserta intervensi ergonomi partisipatori dilakukan karena baik pekerja maupun pemilik
merupakan orang yang sudah memiliki banyak pengalaman dalam proses produksi gamelan.
39
Sehingga mereka dapat mengetahui secara mendalam terkait permasalahan yang ada dan
paling memerlukan perbaikan serta mengetahui solusi yang sesuai dengan kondisi yang ada.
f. Kebutuhan
Pada penelitian ini dimensi kebutuhan terhadap partisipasi dalam intervensi
ergonomi partisipatori memiliki kategori voluntary atau sukarela. Artinya dalam
menjalankan ergonomi partisipatori, peserta yaitu beberapa pekerja dan pemilik akan
dengan sukarela berkontribusi dalam intervensi ergonomi partisipatori. Partisipasi peserta
dalam intervensi ergonomi partisipatori tidak akan didasarkan pada aturan khusus yang
mewajibkan peserta untuk terlibat dalam intervensi ergonomi partisipatori ini.
g. Fokus
Pada penelitian ini fokus dilakukannya intervensi ergonomi partisipatori adalah
peralatan/perlengkapan kerja, proses kerja, dan organisasi di tempat kerja. Pada penelitian
ini ketiga kategori tersebut akan dievaluasi kondisinya menggunakan ILO-PATRIS Check
Sheet. Evaluasi kondisi tersebut nantinya akan menghasilkan permasalahan yang sedang
berlangsung berkaitan dengan ketiga kategori tersebut.
h. Tugas
Pada penelitian ini tugas dari peserta ergonomi partisipatori adalah mengidentifikasi
masalah dan menyusun solusi. Pada identifikasi masalah, beberapa pekerja dan pemilik akan
terlibat dalam wawancara dan membantu memberikan penjelasan terkait kondisi yang
tengah berlangsung. Hasil wawancara tersebut nantinya akan menjadi salah satu landasan
selain observasi yang dilakukan untuk mengisi ILO-PATRIS Check Sheet. Pada penyusunan
solusi, pekerja dan pemilik akan terlibat sebagai responden metode delphi untuk
menentukan prioritas permasalahan yang akan diperbaiki. Pekerja dan pemilik akan
memberikan gagasannya terkait tingkat kepentingan dari masing-masing subaspek pada
ILO-PATRIS Checksheet untuk diperbaiki. Kemudian setelah diperoleh dua prioritas
dengan peringkat tertinggi maka dalam menyusun usulan perbaikan, akan dilakukan diskusi
dengan pekerja maupun pemilik untuk mengetahui usulan perbaikan apa yang sesuai dengan
kondisi di Industri Gamelan Wirun Palu Gongso.
40
BAB IV
PENGUMPULAN
DAN PENGOLAHAN DATA
41
b. Tahap Pemeriksaan
Tahap kedua adalah pemeriksaan terhadap hasil campuran timah dan tembaga.
Tahap ini memerlukan waktu sekitar 20 menit. Pekerja akan mengambil sampel campuran
timah dan tembaga kemudian dituangkan ke suatu cetakan kecil untuk mengetahui apakah
campuran yang dihasilkan telah sesuai atau belum. Proses pengujian campuran tersebut
disebut dengan proses njujut. Pengujian dilakukan pada saat logam mulai membeku tetapi
masih dalam keadaan panas membara dengan cara memipihkan dengan palu besi kemudian
diamati permukaannya, jika permukaannya memiliki tekstur yang halus maka campuran
sudah dapat dikatakan baik.
c. Tahap Pencetakan
Setelah campuran yang dihasilkan maka dilakukan tahap ketiga yaitu proses
pencetakan. Tahap pencetakan berlangsung dalam waktu yang singkat yaitu 10 menit. Pada
tahap ini hasil leburan antara timah dan tembaga yang berada di dalam kowi akan diangkat
kemudian dituang pada cetakan berbahan batu yang sebelumnya telah ditimbuni dengan
arang bara agar hasil lakaran (hasil tuangan logam) tidak pecah saat dituang. Cetakan ini
disebut penyingen dan untuk selanjutnya dibentuk menjadi ricikan gamelan (bentuk
gamelan setengah jadi) dengan proses penempaan.
d. Tahap Pendinginan
Tahap keempat adalah proses pendinginan. Pendinginan dilakukan dengan
mendiamkan lakaran pada suhu ruang selama kurang lebih 6 jam.
e. Tahap Penempaan
Setelah lakaran dingin, dilanjutkan dengan tahap kelima yaitu proses penempaan
untuk membentuk gamelan. Tahap penempaan untuk gamelan jenis Kempul Jawa
berlangsung sekitar 300 menit atau 5 jam. Pada tahap penempaan ini juga dilakukan
inspeksi untuk hasil penempaan. Pengaturan kerja dilakukan dengan menentukan urutan
proses penempaan dan pengaturan besar kecil pemanasan lakaran saat akan ditempa. Hal
pertama yang dilakukan sebelum proses penempaan adalah memanaskan lakaran hingga
merah membara. Sebelum dilakukan penempaan untuk membuat lakaran gamelan menjadi
lebar (jleberan), dilakukan terlebih dahulu penempaan dengan palu geblog pada tepi lakaran
agar bagian tepi lakaran kuat saat melalui proses selanjutnya. Proses selanjutnya adalah
mengembangkan lakaran hingga diameter tertentu sesuai jenis gamelan yang diinginkan
dengan beberapa kali pemanasan dan penempaan. Penempaan dilakukan secara bergantian
oleh para pekerja yang berdiri dengan urutan melingkar hingga pukulan awal dan akhir
saling bertemu (tepung). Penempaan dilakukan hingga beberapa kali tepungan sampai
diperoleh diameter yang diinginkan. Jleberan yang sudah dipanaskan diletakkan pada
landasan dari baja yang disebut paron kemudian disandarkan pada balok kayu yang dilapisi
tanah liat kemudian ditempa dengan menggunakan palu laga secara berulang - ulang. Cara
42
ini untuk pembuatan bahu kelompok gamelan besar yaitu jenis gong, kenong dan kempul.
Untuk pembuatan bagian bahu (tepi bonang) biasanya digunakan lumpang seperti
penumbuk padi, jleberan diletakkan di atas permukaan lumpang kemudian di pukul
perlahan hingga terbentuk lengkungan. Setelah tinggi bahu yang diinginkan sudah tercapai,
langkah selanjutnya adalah pembuatan pencu atau ujung gamelan yang berbentuk setengah
bola. Gamelan ditempatkan menengadah pada landasan berlubang sebagai cetakan
pembuatan pencu kemudian dilakukan penempaan dengan palu laga munjulan hingga
terbentuk pencu yang dikehendaki.
f. Tahap Pemetakan
Setelah pencu (ujung gamelan) terbentuk, maka dilakukan tahap keenam yaitu
proses pemetakan dan inspeksi terhadap hasil pemetakan. Pemetakan dilakukan selama 1
jam. Pada proses pemetakan ini akan dilakukan pembentukan recepan serta batas antara rai
dan recepan. Gamelan akan diberi tanda untuk memudahkan pekerja mengetahui batas
antara recepan dan rai. Gamelan akan ditempatkan pada landasan berupa kayu. Kemudian
sebuah balok kayu akan di letakkan di atas gamelan sehingga gamelan tertekan oleh balok
kayu. Balok kayu tersebut akan ditekan oleh beberapa pekerja. Sedangkan pekerja lainnya
akan memukul permukaan gamelan hingga bagian rai dan recepan terbentuk. Setelah bagian
rai dan recepan terbentuk, gamelan akan diletakkan menengadah pada landasan kayu yang
memiliki lubang. Fungsi lubang di sini adalah sebagai sandaran pencu saat proses
pemetakan berlangsung. Gamelan tersebut kemudian akan dipukul-pukul menggunakan palu
alang untuk memperjelas batas antara rai dengan recepan.
g. Tahap Finishing
Setelah dilakukan tahap pemetakan, tahap ketujuh adalah tahap finishing dan
inspeksi terhadap hasil finishing gamelan. Tahap ini berlangsung selama 450 menit atau 7,5
jam. Tahap finishing dilakukan untuk mendapatkan tampilan gamelan yang mengkilap dan
indah. Tahap finishing dilakukan dengan menggerinda permukaan gamelan agar permukaan
gamelan yang semula berwarna hitam menjadi mengkilap. Setelah dilakukan
penggerindaan, pekerja akan melakukan pengikiran pada permukaan gamelan yang
dianggap kurang rapi dan kurang halus.
h. Tahap Pelarasan
Tahap terakhir dalam proses pembuatan gamelan adalah proses pelarasan dan
inspeksi terhadap hasil pelarasan. Proses pelarasan ini dilakukan untuk mendapatkan nada
gamelan yang sesuai. Pada proses pelarasan ini, gamelan akan dipukul atau dikikir hingga
mendapatkan nada yang sesuai. Pada proses pelarasan ini tidak sembarang pekerja dapat
melakukannya. Dibutuhkan keahlian khusus untuk mengenali nada yang sesuai dari
gamelan yang dibuat.
43
4.1.2. Layout Produksi
Area produksi di industri gamelan Wirun Palu Gongso terbagi menjadi beberapa
area meliputi area peleburan, area penempaan, area finishing dan pelarasan, area pemetakan,
area penyimpanan arang, area istirahat, dapur, kamar mandi dan area penyimpanan bahan
baku pembuatan gamelan yaitu timah dan tembaga. Layout produksi di industri gamelan
Wirun Palu Gongso dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Area peleburan di industri gamelan Wirun Palu Gongso memiliki suatu ruang
tersendiri yang memiliki lantai tanah berpasir dan dinding batu bata dengan lubang ventilasi
di dindingnya. Area peleburan dirancang memiliki pencahayaan yang redup atau cukup
gelap untuk mempermudah pekerja melihat bara api yang sedang menyala. Pada area
peleburan ditemukan masih banyak alat kerja yang diletakkan di lantai secara tidak teratur
di mana hal tersebut menimbulkan risiko pekerja tersandung bahkan terjatuh akibat alat
44
kerja. Pada area peleburan juga terdapat banyak sampah yang berserakan di lantai dan
membuat area peleburan menjadi kotor dan kurang tertata. Selain itu area peleburan juga
memiliki kondisi yang berdebu akibat adanya proses pembakaran. Kondisi area peleburan di
industri gamelan Wirun Palu Gongso dapat dilihat pada Gambar 4.2
Area penempaan di industri gamelan Wirun Palu Gongso terletak di sebelah area
peleburan. Area penempaan memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda dengan area
peleburan yaitu memiliki lantai tanah dan dinding batu bata serta pencahayaan ruangan yang
redup. Pada area penempaan juga ditemukan banyak alat kerja yang diletakkan secara tidak
teratur di lantai dan menimbulkan risiko pekerja tersandung bahkan terjatuh. Jika proses
penempaan sedang berlangsung, suhu ruang di area penempaan dapat mencapai 32,3 °C.
Kondisi area penempaan di industri gamelan Wirun Palu Gongso dapat dilihat pada Gambar
4.3.
45
Area pemetakan memiliki kondisi ruang dengan pencahayaan yang lebih terang
dibandingkan area peleburan dan penempaan. Pencahayaan tersebut berasal dari sinar
matahari yang menembus atap berbahan transparan. Namun tidak terdapat lampu khusus
untuk area pemetakan. Sehingga jika cuaca sedang mendung maka area kerja akan menjadi
lebih gelap dan dapat menimbulkan risiko kecelakaan kerja. Di area pemetakan terdapat
balok kayu yang digunakan untuk menekan gamelan pada proses pemetakan. Pada area
tersebut juga terdapat lubang tepatnya di bawah balok kayu. Lubang tersebut digunakan
untuk bagian pencu ketika proses pemetakan sedang berlangsung. Tidak seperti area
peleburan dan area penempaan, area pemetakan memiliki lantai semen. Pada area
pemetakan ditemukan beberapa alat kerja dan sampah yang diletakkan di lantai. Hal tersebut
selain membuat area kerja pemetekan menjadi tidak rapi, dapat juga menimbulkan risiko
pekerja tersandung bahkan terjatuh jika tidak berhati-hati. Kondisi area kerja pemetakan
dapat dilihat pada Gambar 4.4 dan 4.5.
Gambar 4.4 Kondisi Area Pemetakan Gambar 4.5 Kondisi Area Pemetakan
Area pelarasan dan finishing merupakan area yang digunakan untuk melakukan
proses finishing sekaligus pelarasan. Area pelarasan dan finishing memiliki lantai semen dan
dinding yang telah dicat. Pada area ini proses finishing yang dilakukan adalah mengikir.
Terdapat dua lubang di area finishing yang digunakan untuk tempat menampung geram hasil
dari proses pengikiran. Geram tersebut kemudian akan dikumpulkan dan kemudian dijual.
Pekerja melakukan proses finishing dengan posisi duduk dan tidak tersedia fasilitas kerja
berupa kursi. Di area pelarasan dan finishing juga terdapat beberapa produk gamelan yang
telah jadi dan diletakkan sementara di area tersebut. Kondisi area pelarasan dan finishing
dapat dilihat pada Gambar 4.6.
46
Gambar 4.6 Kondisi Area Pelarasan dan Finishing
Area finishing memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda dengan area pelarasan dan
finishing yaitu memiliki lantai semen dan dinding yang telah dilapisi cat. Area ini digunakan
hanya untuk proses finishing yaitu menggerinda permukaan gamelan.
47
Area penyimpanan arang merupakan area yang digunakan untuk menyimpan arang
yang akan digunakan untuk proses pembakaran. Arang-arang tersebut disimpan dalam
sebuah karung dan kemudian ditumpuk karena ruang penyimpanan yang tersedia untuk
menyimpan arang sangat terbatas. Kondisi area penyimpanan arang dapat dilihat pada
Gambar 4.8.
48
1
4 2 3
2 1
1
1
3 5
1
3
1
7 5 6
1
Bahan dasar untuk pembuatan kempul Jawa yaitu timah dan tembaga akan dibawa
ke area peleburan untuk kemudian memasuki tahap pertama yaitu peleburan. Setelah
dilakukan peleburan timah dan tembaga kemudian dilakukan inspeksi atau pengecekan
campuran dengan mengambil sampel leburan tersebut. Jika leburan yang dihasilkan telah
cukup baik, maka dilakukan tahap kedua yaitu pencetakan. Tahap pencetakan ini akan
menghasilkan lempengan logam yang disebut lakaran. Setelah lakaran terbentuk maka
dilakukan tahap ketiga yaitu pendinginan lakaran. Lakaran yang telah didinginkan
kemudian dibawa ke area penempaan yang terletak di sebelah area peleburan. Tahap
keempat adalah proses penempaan. Pada tahap penempaan, lakaran akan ditempa hingga
berbentuk Kempul Jawa dengan diameter yang diinginkan. Kemudian dilakukan inspeksi
atau pengecekan terhadap hasil penempaan untuk memastikan permukaan gamelan yang
ditempa tidak berlubang dan bentuk yang dihasilkan telah sesuai. Setelah dilakukan
inspeksi, Kempul Jawa setengah jadi tersebut akan dibawa ke area pemetakan yang berada
di depan area peleburan. Pada area ini, akan dilakukan tahap kelima yaitu pemetakan dan
49
inspeksi terhadap hasil pemetakan. Setelah tahap pemetakan selesai dan inspeksi terhadap
hasil pemetakan telah dilakukan, Kempul Jawa setengah jadi tersebut akan dibawa ke area
finishing untuk memasuki tahap keenam yaitu finishing. Tahap finishing memiliki dua area
kerja. Satu area kerja khusus untuk proses penggerindaan. Sedangkan area kerja lainnya
digunakan untuk proses finishing dengan menggunakan kikir. Pada tahap ini, akan
dilakukan penggerindaan gamelan. Penggerindaan pada kempul Jawa dilakukan pada
seluruh permukaannya. Setelah penggerindaan selesai, gamelan akan dibawa ke area
finishing dan pelarasan. Pada area ini gamelan akan dikikir untuk mendapatkan tampilan
yang lebih halus dan indah sekaligus dilakukan tahap terakhir yaitu pelarasan untuk
mendapatkan nada gamelan yang sesuai. Setelah melalui semua tahap, pada area ini
gamelan akan diinspeksi atau diperiksa secara keseluruhan untuk memastikan produk yang
dihasilkan sesuai dengan yang dikehendaki. Setelah dipastikan memiliki kualitas yang baik,
kempul Jawa tersebut akan tetap berada di area finishing dan pelarasan untuk disimpan
sementara sebelum dikirim pada pemesan.
Berdasarkan Tabel 4.1 terdapat sembilan jenis keluhan kesehatan. Keluhan nyeri di
bagian pinggang, punggung, pundak dan iritasi mata memiliki persentase terbanyak yaitu
87,5% dari 8 pekerja yang diwawancara. Berdasarkan hasil wawancara terhadap pekerja
50
yang mengalami keluhan kesehatan tersebut, rasa nyeri di bagian pinggang, punggung dan
pundak diakibatkan oleh aktivitas fisik yang berat selama melakukan proses produksi
gamelan. Sementara iritasi mata yang dialami pekerja diakibatkan oleh debu dan asap yang
ada di tempat kerja. Debu dan asap tersebut dihasilkan oleh pembakaran arang saat proses
peleburan maupun penempaan. Sementara pekerja sendiri tidak menggunakan alat
pelindung diri berupa kacamata pelindung. Selain itu terdapat juga keluhan kesehatan
berupa gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran yang dialami pekerja berupa telinga
berdengung dan menurunnya kemampuan pendengaran pekerja. Berdasarkan hasil
wawancara terhadap pekerja, gangguan pendengaran ini terjadi karena pekerja tidak
menggunakan alat pelindung telinga ketika melakukan pekerjaan yang menghasilkan
kebisingan. Pemilik industri gamelan Wirun Palu Gongso sebenarnya telah menyediakan
alat pelindung telinga untuk kebisingan berupa kapas, namun pekerja tidak
menggunakannya karena merasa tidak nyaman. Gangguan kesehatan lain seperti nyeri di
bagian lengan, pusing, batuk, dan sesak nafas juga dialami oleh beberapa pekerja namun
dengan persentase yang lebih kecil. Selain keluhan kesehatan, pekerja juga pernah
mengalami kecelakaan kerja dan near miss. Kecelakaan kerja dan near miss yang dialami
pekerja selama setahun terakhir ditampilkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Kecelakaan Kerja dan Near Miss yang Dialami Pekerja
Frekuensi Persentase
Kecelakaan Kerja dan Near Miss
Pekerja (%)
Kulit melepuh atau lecet terkena percikan api 6 75
Jatuh atau hampir jatuh di tempat kerja 3 37.5
Tertimpa alat kerja 1 12.5
Terluka akibat alat kerja 5 62.5
Siku bengkak akibat terbentur palu 3 37.5
Tersetrum 1 12.5
Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa terdapat 6 jenis kecelakaan kerja dan near
miss yang dialami oleh pekerja selama setahun terakhir. Kecelakaan kerja yang paling
banyak dialami oleh pekerja adalah kulit melepuh atau lecet akibat terkena percikan api
yaitu sebesar 75% dari 8 pekerja yang diwawancara. Kecelakaan kerja kulit melepuh atau
lecet tersebut terjadi saat proses penempaan gamelan berlangsung. Gamelan yang dibakar
dan kemudian ditempa akan menghasilkan percikan-percikan api. Semakin besar ukuran
gamelan yang sedang dibuat maka semakin banyak percikan api yang dihasilkan. Selain itu,
pekerja juga tidak menggunakan alat pelindung diri untuk menghindari terkenanya percikan
api tersebut sehingga potensi terkena percikan api tersebut semakin besar.
Kecelakaan kerja yang banyak dialami pekerja selanjutnya adalah terluka akibat alat
kerja yaitu sebanyak 62,5% dari 8 pekerja yang diwawancarai. Pekerja dapat terluka karena
beberapa hal antara lain tergores alat kerja yang terbuat dari seng yang digunakan untuk
51
menutupi uap panas ketika proses penuangan leburan timah tembaga dilakukan dan lecet
akibat terlalu sering menggunakan palu untuk menempa. Kecelakaan kerja berupa jatuh atau
hampir jatuh di tempat kerja juga pernah dialami oleh beberapa pekerja yaitu 37,5% dari 8
pekerja yang diwawancarai. Kecelakaan tersebut terjadi karena pekerja tidak berkonsentrasi
saat berjalan dan tersandung oleh alat kerja atau permukaan lantai yang tidak rata.
Kecelakaan kerja berupa siku bengkak akibat terbentur palu dialami oleh 37,5% dari 8
pekerja yang diwawancarai. Kecelakaan kerja tersebut terjadi ketika proses penempaan di
mana pekerja akan bergantian menempa gamelan dan pada saat itu gagang palu pekerja
mengenai siku pekerja di sebelahnya hingga mengakibatkan pembengkakan pada siku.
Selain itu kecelakaan kerja tertimpa alat kerja dan tersetrum juga pernah dialami oleh
pekerja yaitu sebanyak 12,5% dari 8 pekerja yang diwawacarai.
52
Tabel 4.3 Penilaian Kondisi Kerja dengan ILO-PATRIS Checksheet
Score
Monitoring Item Observations/changes Gambar
(0 to 2)
Physical environment
53
Score
Monitoring Item Observations/changes Gambar
(0 to 2)
54
Score
Monitoring Item Observations/changes Gambar
(0 to 2)
Kebersihan dan kerapian tempat kerja
kurang diperhatikan. Ditemukan
banyak sampah di area kerja.
8. Housekeeping/
Pembersihan tempat hanya dilakukan
general order 0
satu tahun sekali. Hingga saat ini
and cleanliness
belum ada aturan atau jadwal teratur
untuk merapikan atau membersihkan
tempat kerja.
55
Score
Monitoring Item Observations/changes Gambar
(0 to 2)
Welfare facilities
14. Toilets 2 Telah tersedia toilet bagi pekerja. -
15. Showers 2 Telah tersedia tempat cuci bagi pekerja. -
16. Rest/sleep/ Telah tersedia tempat beristirahat dan
eating/ 2 tempat makan yang khusus bagi -
smoking areas pekerja.
Pihak manajemen/pemilik telah
menyediakan fasilitas berupa minum
bagi pekerja dan meja khusus untuk
meletakkan air minum. Namun
beberapa pekerja masih meletakkan
17. Drinking water 1 gelas minum di sembarang tempat
bahkan kadang dalam kondisi terbuka
(tanpa tutup). Hal tersebut dapat
menimbulkan air minum
terkontaminasi debu yang ada di area
kerja.
Ergonomics
56
Score
Monitoring Item Observations/changes Gambar
(0 to 2)
Alat kerja telah tersedia secara khusus
untuk masing-masing pekerjaan namun
tidak ada perawatan secara berkala.
22. Tools, Selain itu belum ada tempat
machines, 1 penyimpanan khusus bagi peralatan
equipment kerja. Hal tersebut dapat menimbulkan
risiko bagi keselamatan pekerja ketika
alat yang digunakan dalam kondisi
yang tidak memadai atau rusak.
Work organization
23. Interaction with Pekerja bekerja dalam tim dengan
2 -
workers interaksi yang baik.
Pekerja bekerja dalam tim dan saling
membantu dalam melakukan
24. Work rotation 2 pekerjaannya. Tidak ada penerapan -
rotasi kerja karena keterbatasan jumlah
pekerja.
Pekerja memiliki waktu istirahat
selama satu jam di setiap harinya yaitu
pukul 12.00 hinga 13.00. Selain itu
25. Work-rest
2 terdapat istirahat-istirahat pendek di -
cycles
tengah aktivitas fisik yang berat. Hal ini
memungkinkan pekerja untuk duduk
sejenak atau minum.
Personal protective equipment
Day-to-day management
Belum tersedia kotak P3K di tempat
kerja. Hal tersebut menyulitkan pekerja
27. First aid 1 -
untuk melakukan pertolongan pertama
jika terjadi kecelakaan pada pekerja.
Day-to-day management
Belum ada fasilitas kesehatan di tempat
kerja. Namun pengadaan fasilitas
kesehatan tidak memungkinkan untuk
28. Health services 2 -
dilakukan di area kerja. Hal yang
mungkin dilakukan hanyalah
pengadaan kotak P3K di area kerja.
57
Score
Monitoring Item Observations/changes Gambar
(0 to 2)
Kesadaran dan tanggung jawab pekerja
29. Delegation of
akan keselamatan kerja masih kurang.
safety
1 Hal ini terlihat dari kondisi lingkungan -
responsibilities
kerja serta sikap pekerja saat
to workers
melakukan aktivitas produksi.
Scoring: 0 - major improvement needed; 1 - improvement needed ; 2 -satisfactory
58
items tersebut. Namun jika persentase pencapaian skor yang didapat semakin rendah maka
kondisi dari monitoring items tersebut kurang baik dan perlu perbaikan.
Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa work organization memiliki
pencapaian skor tertinggi yang artinya organisasi kerja yang meliputi interaksi antar pekerja,
rotasi kerja, dan siklus waktu istirahat telah memiliki kondisi yang memuaskan dan tidak
perlu dilakukan perbaikan. Welfare facilities juga memiliki pencapaian skor yang cukup
tinggi yaitu 88% hal ini menunjukkan bahwa fasilitas kesejahteraan pekerja seperti toilet,
kamar mandi, tempat istirahat dan fasilitas air minum untuk pekerja telah memiliki kondisi
yang cukup baik meskipun terdapat aspek yang masih harus diperbaiki yaitu aspek air
minum untuk pekerja. Monitoring item yang memiliki skor paling rendah yaitu personal
protective equipment yaitu 0%. Persentase tersebut menunjukkan bahwa kondisi pada
personal protective equipment masih sangat kurang memuaskan dan perlu adanya
perbaikan. Skor terendah lainnya terdapat pada physical environment sebesar 20% dan
premises sebesar 38%.
59
dengan ILO-PATRIS Check Sheet dan kuesioner delphi tahap pertama. Resume hasil
penilaian kondisi kerja di industri gamelan Wirun Palu Gongso ini diberikan kepada
responden sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penilaian terhadap subaspek yang
tercantum pada kuesioner. Bentuk kuesioner delphi tahap pertama dapat dilihat pada
Lampiran 1. Kuesioner delphi yang telah diisi oleh keenam responden kemudian diolah
secara statistik meliputi nilai rata-rata (mean), standar deviasi, kuartil dan jangkauan inter
kuartil (IQR). Pengolahan data kuesioner delphi putaran pertama dapat dilihat pada Tabel
4.5.
Contoh perhitungan untuk subaspek debu:
∑ 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑟𝑒𝑠𝑝𝑜𝑛𝑑𝑒𝑛 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑎𝑠𝑝𝑒𝑘 𝑑𝑒𝑏𝑢
1) 𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑒𝑠𝑝𝑜𝑛𝑑𝑒𝑛
4+4+5+4+5+4
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 =
6
26
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = 6
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = 4.33
∑(𝑥𝑖−𝑥̅ )2
2) 𝑆𝑡𝑑 𝐷𝑒𝑣 = √
𝑛−1
0.11+0.11+0.44+0.11+0.44+0.11
𝑆𝑡𝑑 𝐷𝑒𝑣 = √ 6−1
1.33
𝑆𝑡𝑑 𝐷𝑒𝑣 = √ 5
𝑋6 +𝑋6
+1
𝑄2 = 2
2
2
𝑋3 +𝑋4
𝑄2 =
2
4+4
𝑄2 = 2
𝑄2 = 4
5) 𝑄3 = 𝑋3𝑛+2
4
𝑄3 = 𝑋3(6)+2
4
𝑄3 = 𝑋20
4
60
𝑄3 = 𝑋5 (data kelima setelah semua data diurutkan)
𝑄3 = 5
6) 𝐼𝑄𝑅 = 𝑄3 − 𝑄1
𝐼𝑄𝑅 = 5 − 4
𝐼𝑄𝑅 = 1
Setelah dilakukan pengolahan data terhadap nilai dari responden untuk masing-
masing subaspek yang memerlukan perbaikan, maka akan dilakukan evaluasi terhadap nilai
standar deviasi dan IQR untuk masing-masing subaspek. Pada tahap evaluasi ini,
konvergensi atau konsensus terjadi jika nilai standar deviasi kurang dari 1,5 dan nilai IQR
kurang dari 2,5. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka pendapat responden terhadap
subaspek tersebut tidak mencapai konvergensi atau konsensus.
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap nilai standar deviasi dan IQR untuk setiap
subaspek, diperoleh hasil yaitu dari 19 subaspek yang dinilai terdapat 15 subaspek yang
telah mencapai konsensus dan terdapat 4 subaspek yang belum mencapai konsensus yaitu
zat kimia, temperatur (suhu ruang), tempat duduk, dan fasilitas P3K. Sementara untuk nilai
rata-rata tertinggi ada pada subaspek debu yaitu 4,33. Sedangkan, nilai rata-rata terendah
ada pada subaspek dinding yaitu 2,00.
61
Aspek yang Narasumber Evaluasi
Rata- Std.
No memerlukan Q1 Q2 Q3 IQR Std.
1 2 3 4 5 6 rata Deviasi IQR
perbaikan Dev
8 Kebersihan dan 3 4 4 5 3 4 3,83 0,75 3,00 4,00 4,00 1,00 Kon Kon
kerapian
9 Pembuangan 1 2 3 3 3 2 2,33 0,82 2,00 2,50 3,00 1,00 Kon Kon
limbah/sampah
10 Dinding 2 2 2 2 1 3 2,00 0,63 2,00 2,00 2,00 0,00 Kon Kon
11 Lantai/tangga 3 3 5 4 3 3 3,50 0,84 3,00 3,00 4,00 1,00 Kon Kon
12 Air minum 2 3 3 5 4 2 3,17 1,17 2,00 3,00 4,00 2,00 Kon Kon
13 Postur tubuh saat 2 2 3 2 3 2 2,33 0,52 2,00 2,00 3,00 1,00 Kon Kon
bekerja
14 Tempat duduk 3 1 4 1 5 2 2,67 1,63 1,00 2,50 4,00 3,00 Div Div
15 Permukaan kerja 1 4 2 2 3 1 2,17 1,17 1,00 2,00 3,00 2,00 Kon Kon
16 Alat kerja atau 2 5 3 4 3 2 3,17 1,17 2,00 3,00 4,00 2,00 Kon Kon
mesin
17 Sepatu, sarung 5 4 3 4 5 3 4,00 0,89 3,00 4,00 5,00 2,00 Kon Kon
tangan, masker,
kacamata, dll
18 Fasilitas 1 3 1 2 5 4 2,67 1,63 1,00 2,50 4,00 3,00 Div Div
pengobatan
pertolongan
pertama (P3K)
19 Kesadaran akan 4 4 4 4 5 4 4,17 0,41 4,00 4,00 4,00 0,00 Kon Kon
tanggungjawab
terhadap
keselamatan dan
kesehatan kerja
62
Aspek yang Narasumber Evaluasi
Rata- Std.
No memerlukan Q1 Q2 Q3 IQR Std.
1 2 3 4 5 6 rata Deviasi IQR
perbaikan Dev
17 Sepatu, sarung 5 4 5 4 5 4 4,50 0,55 4,00 4,50 5,00 1,00 Kon Kon
tangan, masker,
kacamata, dll
18 Fasilitas 2 2 4 2 5 4 3,17 1,33 2,00 3,00 4,00 2,00 Kon Kon
pengobatan
pertolongan
pertama (P3K)
19 Kesadaran akan 4 5 4 4 5 4 4,33 0,52 4,00 4,00 5,00 1,00 Kon Kon
tanggungjawab
terhadap
keselamatan dan
kesehatan kerja
Pengolahan data pada metode delphi putaran kedua tidak berbeda dengan metode
delphi putaran pertama. Pada metode delphi putaran kedua dilakukan perhitungan untuk
mendapatkan nilai rata-rata (mean), standar deviasi, kuartil, dan jangkauan inter kuartil
(IQR). Nilai-nilai tersebut kemudian akan digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap
nilai standar deviasi dan IQR untuk masing-masing subaspek. Seperti metode delphi putaran
pertama, pada tahap evaluasi ini konvergensi atau konsensus terjadi jika nilai standar deviasi
kurang dari 1,5 dan nilai IQR kurang dari 2,5. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka
pendapat responden terhadap subaspek tersebut tidak mencapai konvergensi atau konsensus.
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap nilai standar deviasi dan IQR untuk setiap
aspek, diperoleh hasil yaitu dari 19 subaspek yang dinilai terdapat 18 subaspek yang telah
mencapai konsensus dan hanya terdapat 1 subaspek yang belum mencapai konsensus yaitu
tempat duduk. Hal ini menunjukkan perbaikan pada hasil konsensus untuk setiap subaspek
di mana terdapat peningkatan jumlah subaspek yang mencapai konsensus pada metode
delphi putaran kedua dibandingkan metode delphi putaran pertama. Sementara untuk nilai
rata-rata tertinggi ada pada subaspek kebisingan yaitu 4,67. Sedangkan, nilai rata-rata
terendah ada pada subaspek dinding yaitu 2,50.
c. Peringkat Subaspek
Setelah dilakukannya metode delphi putaran kedua telah didapatkan konsensus
untuk beberapa subaspek. Dari aspek-aspek yang telah mencapai konsensus tersebut perlu
diperhatikan peringkat dari masing-masing subaspek untuk menentukan subaspek mana
yang akan menjadi prioritas untuk dilakukannya penyusunan usulan perbaikan. Untuk
menentukan peringkat dari subaspek tersebut, akan digunakan nilai rata-rata masing-masing
subaspek yang telah mencapai konsensus pada metode delphi putaran kedua. Subaspek
tersebut akan diurutkan berdasarkan nilai rata-rata terbesar hingga terkecil. Semakin besar
nilai rata-rata yang diperoleh suatu subaspek, maka semakin sangat penting dan semakin
prioritaslah penyusunan usulan perbaikan dilakukan pada subaspek tersebut. Peringkat
subaspek yang telah disusun berdasarkan nilai rata-rata subaspek dapat dilihat pada Tabel
4.7.
63
Tabel 4.7 Peringkat Subaspek
Sub Aspek yang Memerlukan Perbaikan Rata-Rata Peringkat
Kebisingan 4.67 1
Debu 4.50 2
Kebersihan dan kerapian 4.50 3
Sepatu, sarung tangan, masker, kacamata, etc 4.50 4
Kesadaran akan tanggung jawab terhadap keselamatan dan kesehatan kerja 4.33 5
Lantai/tangga 3.67 6
Zat Kimia 3.50 7
Penyimpanan dan penanganan material 3.33 8
Pembuangan limbah/sampah 3.33 9
Alat kerja atau mesin 3.33 10
Postur tubuh saat bekerja 3.17 11
Fasilitas pengobatan/pertolongan pertama (P3K) 3.17 12
Pencahayaan 3.00 13
Permukaan kerja 3.00 14
Temperatur (Suhu ruang) 2.83 15
Pencegahan kebakaran 2.83 16
Air minum 2.83 17
Dinding 2.50 18
64
a. Pengendalian Kebisingan pada Proses Penempaan
Proses penempaan merupakan proses yang dilakukan dengan cara memanaskan
gamelan di bara api kemudian menempanya berulang kali hingga terbentuk jenis gamelan
yang diinginkan. Terdapat 10 orang pekerja di proses penempaan yang bekerja secara
bersama-sama. Pembagian kerja pada proses penempaan dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Dalam melakukan proses penempaan terdapat 4 orang pekerja yang akan memukul
(menempa) gamelan secara bergantian menggunakan palu khusus. Satu orang pekerja akan
memanaskan gamelan di bara api dengan cara memutar-mutar gamelan menggunakan dua
buah tongkat. Satu orang pekerja akan menghalangi uap panas dari gamelan dengan
menggunakan seng ketika dilakukan penempaan agar uap panas dari gamelan tidak
mengenai pekerja yang sedang menempa. Satu orang pekerja akan menahan gamelan ketika
proses penempaan dengan sebuah penjepit khusus sambil memutar gamelan ketika proses
penempaan berlangsung. Dua orang pekerja akan bertugas mengangkat gamelan dari tempat
penempaan ke tempat pemanasan / bara api maupun sebaliknya. Sedangkan 1 orang pekerja
akan bertugas mengatur blower untuk pembakaran.
65
Menghalangi uap panas ketika penempaan 1 orang
Pada saat proses penempaan berlangsung, kebisingan tidak hanya dipengaruhi oleh
aktivitas menempa gamelan saja, tetapi dipengaruhi juga oleh proses finishing gamelan
menggunakan mesin gerinda tangan yang dilakukan bersamaan. Area kerja yang tidak
memiliki tembok penghalang membuat kebisingan antar area kerja saling mempengaruhi.
Kebisingan pada proses penempaan yang dipengaruhi oleh kebisingan dari mesin gerinda
66
mencapai 96 dB dengan jenis kebisingan kontinu. Waktu pajanan kebisingan tersebut
mencapai 240 menit per hari mengikuti waktu pengoperasian mesin gerinda pada proses
finishing. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan interpolasi linier, durasi
pajanan per hari yang diperbolehkan untuk intensitas kebisingan 96 dB selama 40 menit.
Kondisi ini berada di atas NAB yang dipersyaratkan.
Intensitas kebisingan pada proses penempaan tanpa dipengaruhi oleh kebisingan
mesin gerinda sebesar 95,6 dB. Pekerja terpapar selama 300 menit. Berdasarkan hasil
perhitungan dengan menggunakan interpolasi linier, durasi pajanan per hari yang
diperbolehkan untuk intensitas kebisingan 95,6 dB selama 44 menit. Kondisi ini berada di
atas NAB yang dipersyaratkan.
Usulan untuk mengendalikan tingkat kebisingan pada proses penempaan melalui
tahapan sebagai berikut:
1) Eliminasi
Eliminasi merupakan tahapan untuk menghilangkan sumber kebisingan yang
ada di tempat kerja. Penempaan merupakan proses untuk membentuk gamelan.
Bentuk gamelan yang awalnya hanya berupa lempengan campuran timah dan
tembaga akan ditempa menjadi bentuk gamelan yang diinginkan seperti kenong,
gong, kempul atau jenis gamelan lainnya. Proses penempaan merupakan proses
utama untuk membentuk sebuah gamelan. Meskipun menghasilkan kebisingan yang
melebihi NAB, namun proses tersebut tidak dapat dieliminasi. Eliminasi proses
penempaan tidak bisa dilakukan, sehingga dilanjutkan ke tahap substitusi.
2) Substitusi
Substitusi merupakan tahapan untuk mengganti sumber kebisingan dalam hal
ini adalah proses penempaan dengan proses lain yang memiliki tingkat kebisingan
lebih rendah. Berdasarkan diskusi yang dilakukan dengan pekerja di industri
gamelan Wirun Palu Gongso, hingga saat ini belum terdapat proses lain yang dapat
menggantikan proses penempaan. Upaya pengendalian kebisingan dengan substitusi
tidak bisa dilakukan dan dilanjutkan ke tahap engineering control.
3) Engineering Control
Engineering control merupakan tahapan yang dilakukan dengan melakukan
rekayasa untuk mengurangi potensi bahaya yang dihasilkan dari kebisingan di
tempat kerja. Engineering control untuk mengendalikan kebisingan dapat dilakukan
dengan beberapa cara di antaranya adalah memasang sound barrier maupun
pemasangan material akustik penyerap suara (absorber).
Untuk mencegah adanya pengaruh kebisingan dari proses finishing, bisa
dilakukan dengan memasang sound barrier. Sound barrier yang paling
memungkinkan untuk dipasang pada area kerja penempaan adalah berupa tembok
dari batu bata. Salah satu aktivitas pada proses penempaan adalah memanaskan
gamelan yang membutuhkan sumber panas dari bara api. Dengan menambahkan
67
tembok batu bata sebagai sound barrier maka tidak akan menimbulkan potensi
bahaya lain yaitu kebakaran.
Kondisi saat ini, antara area kerja penempaan dengan area finishing terdapat
sekat dinding dari batu bata. Pemasangan sekat dinding dari batu bata ini tidak
menutup seluruh area kerja penempaan, sehingga perambatan bunyi dari proses
finishing masih terjadi. Agar pengaruh kebisingan dari proses finishing terhadap
pekerja di proses penempaan dapat tereduksi, maka diperlukan pemasangan sound
barrier yang dapat menutup keseluruhan area kerja penempaan. Pemasangan sound
barrier secara keseluruhan tersebut memang dapat mengurangi pengaruh kebisingan
dari mesin gerinda. Namun di sisi lain terdapat masalah yang dapat ditimbulkan dari
adanya pemasangan sound barrier pada area kerja penempaan. Masalah pertama
yang dapat terjadi adalah menurunnya aksesibilitas terhadap area kerja penempaan.
Sedangkan masalah lain yang dapat terjadi adalah meningkatnya suhu area kerja
penempaan akibat area kerja yang sangat tertutup. Hal tersebut justru dapat
membuat pekerja menjadi tidak nyaman dalam bekerja dan berpotensi menimbulkan
masalah dalam proses produksi gamelan.
Dengan mempertimbangkan masalah yang timbul akibat memasang dinding
tembok dari batu bata, maka tahapan engineering control ini tidak
direkomendasikan. Tahap selanjutnya adalah administrative control.
4) Administrative Control
Pengendalian administratif dilakukan dengan menyediakan suatu sistem kerja
yang dapat mengurangi kemungkinan seseorang terpapar potensi bahaya (Setyorini,
2010). Metode administratif kontrol meliputi pengaturan waktu kerja dan waktu
istirahat, rotasi kerja untuk mengurangi kebosanan dan kejenuhan, penerapan
prosedur kerja, dan pengaturan kembali jadwal kerja (Setyorini, 2010).
Proses penempaan memiliki durasi pajanan kebisingan yang melebihi durasi
pajanan yang diperbolehkan. Oleh sebab itu usaha pengendalian administratif
dengan pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, rotasi kerja, dan pengaturan
jadwal kerja perlu dipertimbangkan untuk mereduksi durasi pajanan kebisingan per
hari yang dirasakan secara langsung oleh pekerja pada proses penempaan.
Jumlah pekerja pada proses penempaan adalah sebanyak 10 orang. Para pekerja
di proses penempaan tersebut bekerja sebagai sebuah tim. Pembagian kerja pada
proses penempaan dapat dilihat pada Tabel 4.8. Namun, pada kondisi nyata di
tempat kerja ditemukan bahwa proses penempaan masih dapat berjalan dengan
jumlah minimal pekerja 7 orang. Upaya pengendalian secara administratif dapat
dilakukan dengan melakukan pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat serta rotasi
kerja. Pekerja pada proses penempaan dapat bekerja kemudian beristirahat dan
keluar dari area yang terpapar kebisingan secara bergiliran untuk mengurangi waktu
pajanan kebisingan secara langsung. Intensitas kebisingan rata-rata pada proses
penempaan sebesar 95,6 dB (tidak dipengaruhi oleh kebisingan mesin gerinda)
68
maka batas durasi pajanan yang diperbolehkan adalah 40 menit. Sehingga masing-
masing pekerja diharuskan beristirahat dan keluar dari area kerja penempaan
sebelum terpajan kebisingan selama 40 menit. Untuk dapat memenuhi persyaratan
durasi pajanan maksimal yaitu 40 menit, maka harus terdapat minimal 2 grup kerja
yang masing-masing beranggotakan minimal 7 orang pekerja yang berbeda. Grup
tersebut akan bekerja secara bergantian. Perubahan grup kerja dilakukan setiap 40
menit sekali. Usulan mekanisme rotasi kerja pada proses penempaan ditunjukkan
pada Tabel 4.10.
69
dilakukan. Rotasi pekerja ini memerlukan komunikasi yang baik antar kelompok
kerja.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut. maka pengendalian
kebisingan secara administratif tidak cukup efisien dan efektif untuk diterapkan
pada proses penempaan. Sehingga diperlukan penyusunan usulan perbaikan pada
tahap selanjutnya yaitu penggunaan alat pelindung diri.
5) Alat Pelindung Diri (APD)
Penggunaan APD merupakan tahapan terakhir pengendalian kebisingan yang
dapat dilakukan. Pengendalian kebisingan melalui penggunaan APD dapat
dilakukan dengan menggunakan alat pelindung telinga (APT). Terdapat dua jenis
APT yang dapat digunakan untuk melindungi telinga dari paparan kebisingan di
lingkungan kerja, yaitu earplug (alat penyumbat telinga) dan earmuff (alat penutup
telinga). Kedua jenis alat pelindung telinga tersebut dapat mereduksi intensitas
kebisingan yang diterima pekerja namun dengan kemampuan yang berbeda.
Earmuff biasanya memiliki efek yang lebih besar untuk menurunkan intensitas
kebisingan dibandingkan dengan earplug. Earmuff memiliki kemampuan untuk
mengurangi intensitas suara sebesar 24-32 dB (Rizkiana, 2017). Sedangkan Earplug
dapat mengurangi intensitas kebisingan sekitar 10-25 dB (Suma’mur, 2014).
National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) menjelaskan,
untuk mengetahui efektivitas dan kemampuan alat pelindung pendengaran dalam
mengurangi kebisingan dapat dilihat berdasarkan nilai Noise Reduction Rating
(NRR). Perhitungan tingkat reduksi kebisingan yang diperlukan pada proses
penempaan mengacu pada persamaan 2.1. Tingkat reduksi kebisingan yang
diperlukan pada proses penempaan (tidak dipengaruhi oleh mesin gerinda) dapat
dilihat pada Tabel 4.11
Tabel 4.11 Tingkat reduksi kebisingan yang diperlukan pada proses penempaan
Tingkat Kebisingan NAB Tingkat Reduksi Kebisingan yang Diperlukan
(A) (B) (A – B)
95,6 dB 85 dB 10,6 dB
70
Tabel 4.12 Usulan Alat Pelindung Telinga pada Proses Penempaan
Area Kerja APT Merk NRR Harga Bentuk
71
Tabel 4.13 Biaya Pengadaan APT Untuk Pekerja di Proses Penempaan
Jenis APT Merk Harga Satuan Kebutuhan Total
Earplug Besgard Rp32.000,00 10 Rp320.000,00
72
Menahan gamelan agar tidak bergeser 2 orang
Tabel 4.16 Tingkat Reduksi Kebisingan yang Diperlukan Pada Proses Pemetakan
Tingkat Kebisingan NAB Tingkat Reduksi Kebisingan yang Diperlukan
(A) (B) (C)
93 dB 85 dB 8 dB
APT yang diusulkan berupa earplug seperti yang diusulkan pada proses penempaan.
Dalam memilih APT, penting untuk dilakukan perhitungan effective a-weighted noise level
(ENL) yang mengacu pada persamaan 2.3. Perhitungan ENL sesuai dengan alat pelindung
telinga yang diusulkan adalah sebagai berikut:
Diketahui:
𝑁𝑜𝑖𝑠𝑒 𝐸𝑥𝑝𝑜𝑠𝑢𝑟𝑒 𝐿𝑒𝑣𝑒𝑙 = 93 𝑑𝐵
𝑁𝑅𝑅 𝐸𝑎𝑟𝑝𝑙𝑢𝑔 = 30 𝑑𝐵
73
Perhitungan:
𝐸𝑁𝐿 = 𝑁𝑜𝑖𝑠𝑒 𝑒𝑥𝑝𝑜𝑠𝑢𝑟𝑒 𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 − (𝑁𝑅𝑅 − 7)𝑥 50%
𝐸𝑁𝐿 = 93 − (30 − 7)𝑥 50%
𝐸𝑁𝐿 = 93 − (23)𝑥 50%
𝐸𝑁𝐿 = 93 − 11,5
𝐸𝑁𝐿 = 81,5 𝑑𝐵 (Kebisingan yang diterima telinga pekerja telah berada di bawah NAB)
Hasil perhitungan ENL menunjukkan bahwa intensitas kebisingan yang diterima
oleh pekerja bagian pemetakan sebesar 81,5 dB. Intensitas kebisingan ini di bawah NAB.
74
pekerja yang melakukan proses lain yang berlangsung bersamaan dengan proses finishing
yaitu penempaan. Intensitas kebisingan pada proses finishing ditunjukkan pada Tabel 4.18
Intensitas kebisingan pada proses finishing sebesar 96,2 dB. Durasi pajanan
kebisingan per hari sebesar 240 menit. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan
interpolasi linier, durasi pajanan per hari yang diperbolehkan untuk intensitas kebisingan
96,2 dB selama 38 menit. Durasi pajanan kebisingan yang diterima pekerja di atas NAB
yang dipersyaratkan.
Dengan mempertimbangkan intensitas kebisingan dan durasi paparan kebisingan
yang diterima pekerja melebihi NAB, maka perlu dilakukan upaya untuk mengendalikan
kebisingan pada proses finishing. Dengan mempertimbangkan karakteristik proses finishing
dan area kerja bagian finishing maka tahapan eliminasi, substitusi, dan engineering control
tidak bisa diterapkan. Tahapan pengendalian kebisingan pada proses finishing yang bisa
dilakukan adalah dengan menerapkan administrative control dan pemakaian APD.
1) Administrative Control
Pengendalian administratif dengan pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat
perlu dipertimbangkan untuk mereduksi durasi pajanan kebisingan per hari yang
diterima para pekerja di bagian finishing. Pada proses finishing, belum terdapat
aturan yang mewajibkan pekerja menggunakan APT ataupun standard operating
procedur (SOP) yang mengharuskan pekerja dengan aktivitas menggerinda
beristirahat selama beberapa waktu agar pekerja tidak terpajan kebisingan yang
dihasilkan oleh mesin gerinda secara terus menerus. Kebisingan pada proses
finishing merupakan kebisingan berjenis kontinu dengan nilai tertinggi di antara
proses lain. Pengendalian secara administratif pada proses finishing adalah
pembuatan SOP yang mewajibkan pekerja beristirahat dan tidak mengoperasikan
mesin gerinda selama beberapa waktu untuk mengurangi pajanan kebisingan secara
terus menerus selama 4 jam kerja. SOP pada proses finishing ditunjukkan pada
Tabel 4.19.
75
Tabel 4.19 SOP Proses Finishing Pembuatan Gamelan
PROSES FINISHING GAMELAN MENGGUNAKAN MESIN GERINDA
I. UMUM
Proses finishing gamelan menggunakan mesin gerinda tangan merupakan proses yang
bertujuan untuk mengubah tampilan gamelan yang semula tidak mengkilap karena melalui
proses pembakaran menjadi mengkilap karena dilakukan proses penggerindaan permukaan
gamelan
II. ALAT-ALAT YANG DIBUTUHKAN
1. Mesin gerinda tangan
2. Selang air
3. Sarung tangan
4. Earmuff
5. Kacamata safety
III. LANGKAH PENGERJAAN
1. Pekerja mempersiapkan gamelan yang akan digerinda dan menempatkannya pada area
kerja finishing
2. Pekerja menggunakan alat pelindung diri berupa sarung tangan, earmuff dan kacamata
safety
3. Pekerja memeriksa kondisi mesin gerinda tangan
4. Pekerja menghidupkan mesin gerinda tangan
5. Pekerja menghaluskan permukaan gamelan dengan mesin gerinda tangan
6. Pekerja mengalirkan air pada permukaan gamelan selama proses penggerindaan
7. Pekerja mematikan mesin gerinda tangan setelah bekerja selama 30 menit
8. Pekerja melepaskan alat pelindung diri berupa sarung tangan, earmuff dan kacamata
safety
9. Pekerja ke luar dari area kerja
10. Pekerja beristirahat di luar area kerja selama 5 menit
11. Pekerja kembali masuk ke area kerja finishing
12. Pekerja mengulangi langkah ke 2 hingga langkah ke 11 untuk menyelesaikan proses
finishing gamelan menggunakan mesin gerinda tangan
76
Tabel 4.20 Tingkat Reduksi Kebisingan yang Diperlukan pada Proses Finishing
Tingkat Kebisingan NAB Tingkat Reduksi Kebisingan yang Diperlukan
(A) (B) (C)
96,2 dB 85 dB 11,2 dB
Tingkat reduksi kebisingan yang diperlukan pada proses finishing adalah 11,2
dB. APT yang diusulkan berupa earmuff seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.21.
Pemilihan earmuff sebagai alat pelindung bagi telinga pekerja pada proses
finishing didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu kenyamanan dalam
penggunaan, kondisi lingkungan kerja, tingkat dan jenis kebisingan, NRR, serta
biaya pengadaan alat pelindung telinga.
Dalam memilih alat pelindung telinga, penting untuk dilakukan perhitungan
effective a-weighted noise level (ENL) yang mengacu pada persamaan 2.3.
Perhitungan ENL sesuai dengan alat pelindung telinga yang diusulkan adalah
sebagai berikut:
Diketahui:
𝑁𝑜𝑖𝑠𝑒 𝐸𝑥𝑝𝑜𝑠𝑢𝑟𝑒 𝐿𝑒𝑣𝑒𝑙 = 96,2 𝑑𝐵
𝑁𝑅𝑅 𝐸𝑎𝑟𝑝𝑙𝑢𝑔 = 35 𝑑𝐵
Perhitungan:
𝐸𝑁𝐿 = 𝑁𝑜𝑖𝑠𝑒 𝑒𝑥𝑝𝑜𝑠𝑢𝑟𝑒 𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 − (𝑁𝑅𝑅 − 7)𝑥 75%
𝐸𝑁𝐿 = 96,2 − (35 − 7)𝑥 75%
𝐸𝑁𝐿 = 96,2 − (28)𝑥 75%
𝐸𝑁𝐿 = 96,2 − 21
𝐸𝑁𝐿 = 75,2 𝑑𝐵
Berdasarkan perhitungan ENL yang diterima pekerja pada proses penempaan
setelah menggunakan APT yang diusulkan maka intensitas kebisingan yang
diterima pekerja sebesar 75,2 dB. Intensitas kebisingan masih di bawah NAB.
Penggunaan earmuff yang benar dan sesuai dengan petunjuk pemakaian sangat
penting untuk memastikan kinerja earmuff yang digunakan maksimal atau sesuai
dengan NRR yang tertera. Oleh karena itu, dibutuhkan sosialisasi kepada pekerja
dalam penggunaan earmuff yang benar. Selain itu aturan dari pihak manajemen atau
77
pemilik mengenai kewajiban menggunakan earmuff bagi pekerja pada proses
finishing diperlukan agar pengendalian kebisingan tersebut efektif untuk melindungi
para pekerja. Dengan adanya usulan pengendalian kebisingan pada proses finishing
menggunakan earmuff maka secara otomatis akan terdapat tambahan biaya yang
harus dikeluarkan untuk pengadaan earmuff yang dapat dilihat pada Tabel 4.22.
78
Stasiun Kerja Aktivitas Waktu Pajanan/hari Gambar
Proses melelehkan tembaga dan timah pada proses peleburan menghasilkan asap
dan debu dari pembakaran arang berbahan kayu. Proses memanaskan gamelan pada proses
penempaan menghasilkan asap dan debu dari pembakaran arang berbahan kayu serta
pembakaran gamelan yang berbahan timah dan tembaga.
Kondisi lantai produksi yang berupa tanah juga mendukung timbulnya debu.
Kondisi lantai produksi pada proses peleburan ditunjukkan pada Gambar 4.10.
Gambar 4.10 menunjukkan bahwa lantai pada stasiun kerja peleburan masih berupa
tanah. Selain itu banyak sampah-sampah yang masih berserakan di area kerja sehingga
membuat stasiun kerja peleburan semakin kotor dan berdebu.
Kondisi yang tidak berbeda terdapat pada stasiun kerja penempaan. Lantai produksi
stasiun kerja penempaan masih berupa tanah. Gambar 4.11 menunjukkan kondisi stasiun
kerja penempaan.
79
Gambar 4.11 Kondisi Lantai Produksi Stasiun Kerja Penempaan
Selain itu, terlihat beberapa tumpukan alat kerja maupun sampah yang berserakan di
lantai kerja. Hal tersebut juga menyebabkan stasiun kerja penempaan semakin kotor dan
berdebu.
Usaha untuk mengendalikan debu di tempat kerja belum dilakukan. Usaha yang
dilakukan untuk membersihkan lingkungan kerja hanya dilakukan dua kali dalam setahun.
Padahal debu dihasilkan setiap hari. Hingga saat ini belum tersedia APD berupa masker
yang dapat digunakan oleh pekerja untuk mengurangi risiko paparan debu. Hasil wawancara
menunjukkan bahwa 3 orang pekerja mengeluhkan batuk dan 2 orang pekerja mengeluhkan
sesak napas ketika bekerja akibat paparan debu dan asap.
Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan upaya untuk
mengendalikan debu di tempat kerja. Pengendalian debu dilakukan dengan engineering
control, administrative contol, dan penggunaan APD.
a. Pengendalian Debu dengan Engineering Control
Pengendalian debu dengan upaya engineering control dilakukan dengan metode
basah. Metode basah tersebut memanfaatkan sifat higroskopis debu yang memungkinkan
partikel debu berikatan dengan molekul air. Metode basah dilakukan dengan menyiram
lantai pada stasiun kerja peleburan dan penempaan menggunakan selang air. Penyiraman
area kerja menggunakan air ini dimaksudkan untuk menambah kandungan air pada debu di
tempat kerja sehingga debu tersebut bertambah berat dan akhirnya mengendap di lantai.
Dengan mengendapnya debu di lantai maka akan mengurangi debu yang beterbangan di
udara dan pada akhirnya dapat mengurangi risiko debu terhirup oleh para pekerja.
Penyiraman pada area kerja menggunakan selang air dapat dilakukan dua kali sehari, yaitu
pagi hari sebelum bekerja dan siang hari di tengah jam kerja yaitu sebelum waktu istirahat.
80
b. Pengendalian Debu dengan Administrative Control
Pengendalian debu dengan administrative contol dilakukan dengan membersihkan
area kerja secara teratur setelah selesai bekerja. Selain melakukan penyiraman, pekerja
sebaiknya juga membersihkan dan merapikan tempat kerja sehingga tidak ada lagi sampah
yang berserakan di area kerja yang dapat memperburuk kondisi lingkungan kerja. Selama
ini belum ada aturan khusus mengenai pembersihan area kerja secara rutin, sehingga pada
bagian ini akan diusulkan SOP untuk memberi arahan bagi para pekerja dalam
membersihkan area kerja. SOP pembersihan area kerja ditunjukkan pada Tabel 4.24
81
Tabel 4.25 Usulan Masker Anti Debu
Merk Harga Satuan Gambar
Selain itu intensitas interaksi antar pekerja juga menjadi pertimbangan dalam
memilih APD masker, di mana masker ini dipilih karena tidak terlalu mengganggu pekerja
dalam berinteraksi. Pemilihan masker tersebut juga mempertimbangkan biaya. Perhitungan
biaya untuk pengadaan masker anti ditunjukkan pada Tabel 4.26
Masker yang dipilih berjenis disposable sehingga harus diganti setiap hari. Dalam
Pemilik industri gamelan Wirun Palu Gongso harus mengeluarkan biaya sebesar
Rp400.000,00 per bulan untuk menyediakan masker.
82
BAB V
Perbaikan
Memuaskan
Mayor
Perbaikan
10 sub aspek Minor
83
industri gamelan Wirun Palu Gongso yang memerlukan perhatian perusahaan agar segera
dilakukan tindakan untuk memperbaiki kondisi tersebut dan mengurangi risiko yang ada.
Berdasarkan hasil rekapitulasi penilaian kondisi kerja didapatkan persentase
pencapaian skor untuk masing-masing monitoring items atau aspek. Persentase pencapaian
skor tertinggi pertama diperoleh oleh aspek work organization yaitu sebesar 100%.
Pencapaian skor tertinggi kedua diperoleh oleh aspek welfare facilities yaitu sebesar 88 %.
Pencapaian skor tertinggi ketiga diperoleh oleh aspek day-to-day management yaitu sebesar
67%. Pencapaian skor tertinggi keempat diperoleh oleh dua aspek yaitu ergonomics dan
equipment sebesar 50%. Pencapaian skor tertinggi kelima diperoleh oleh aspek premises
yaitu sebesar 38%. Pencapaian skor tertinggi keenam diperoleh oleh aspek physical
environment yaitu sebesar 20%. Pencapaian skor tertinggi ketujuh atau dapat dikatakan
terendah diperoleh oleh aspek personal protective equipment yaitu 0%.
Pencapaian skor yang rendah pada beberapa aspek seperti premises, physical
environment dan personal protective equipment disebabkan karena kurangnya perhatian
baik pemilik maupun pekerja terhadap kondisi yang ada saat ini. Kurangnya kesadaran akan
kerugian yang dapat ditimbulkan dari potensi bahaya pada kondisi saat ini juga membuat
pekerja maupun pemilik tidak berupaya untuk meningkatkan atau memperbaiki kondisi
yang berisiko tersebut. Sehingga cenderung mempertahankan kondisi yang ada hingga saat
ini.
Hasil penilaian kondisi kerja yang menunjukkan masih banyaknya potensi bahaya di
tempat kerja juga didukung dengan data keluhan kesehatan akibat kerja serta data
kecelakaan kerja dan near miss yang dialami oleh pekerja selama setahun terakhir ini.
Keluhan kesehatan, kecelakaan kerja dan near miss yang dialami oleh pekerja merupakan
dampak dari kondisi kerja yang saat ini berlangsung dengan kondisi yang kurang aman dan
kurang sehat.
Data keluhan kesehatan akibat kerja menunjukkan terdapat 9 jenis keluhan
kesehatan akibat kerja yang dirasakan oleh para pekerja. Jenis keluhan kesehatan yang
paling banyak dialami oleh pekerja adalah nyeri di bagian pinggang, punggung, pundak,
lengan serta iritasi mata yaitu sebanyak 87,5%. Nyeri pada beberapa bagian tubuh pekerja
dirasakan karena pekerja cenderung melakukan aktivitas fisik yang berat saat bekerja.
Aktivitas berat tersebut antara lain melebur, menempa, mengikir, dan menggerinda. Nyeri
yang dirasakan pekerja juga dirasakan akibat adanya postur kerja yang berisiko seperti
postur membungkuk serta duduk lesehan pada aktivitas mengikir di proses finishing dan
postur membungkuk serta gerakan berulang pada aktivitas menempa di proses penempaan.
Iritasi mata dirasakan oleh pekerja karena kondisi lingkungan kerja yang berdebu, di mana
debu tersebut dihasilkan dari pembakaran arang dan juga gamelan. Selain itu sebanyak 75%
pekerja juga mengeluhkan adanya gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran tersebut
dirasakan akibat adanya paparan kebisingan di tempat kerja yang melebihi NAB yaitu pada
proses penempaan, pemetakan, dan finishing serta tidak adanya upaya untuk mengontrol
kebisingan tersebut dengan penggunaan alat pelindung telinga. Keluhan kesehatan lain
84
seperti pusing, batuk, sesak nafas, dan nyeri di bagian lengan juga dialami oleh beberapa
pekerja namun dalam jumlah yang sedikit. Kondisi kerja yang tengah berlangsung saat
inilah menjadi faktor munculnya keluhan kesehatan yang dirasakan oleh para pekerja.
Selain data keluhan kesehatan, data kecelakaan kerja dan near miss yang dialami
pekerja juga menunjukkan setidaknya telah terjadi 6 jenis kecelakaan kerja pada satu tahun
terakhir ini. Kecelakaan kerja yang paling banyak dialami oleh pekerja adalah kulit melepuh
atau lecet terkena percikan api yaitu sebanyak 75%. Kecelakaan kerja kedua yang paling
banyak dialami oleh pekerja adalah terluka akibat alat kerja yaitu sebanyak 62,5%.
Kecelakaan kerja ketiga yang paling banyak dialami oleh pekerja adalah jatuh atau hampir
jatuh di tempat kerja serta siku bengkak akibat terbentur palu yaitu sebanyak 37,5%.
Sedangkan kecelakaan kerja yang paling sedikit dialami oleh pekerja adalah tertimpa alat
kerja dan tersetrum yaitu sebanyak 12,5%. Masih adanya beberapa kecelakaan kerja yang
dialami pekerja dikarenakan adanya kondisi maupun perilaku yang tidak aman di tempat
kerja. Masih banyaknya potensi bahaya terutama bagi keselamatan pekerja membuat
kecelakaan kerja berpotensi terus terjadi.
Hingga saat ini, belum ada kecelakaan kerja ataupun penyakit akibat kerja yang
memiliki dampak kerugian besar bagi Industri Gamelan Wirun Palu Gongso. Namun,
apabila kondisi saat ini terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan terjadinya kecelakaan
kerja maupun penyakit kerja dapat menimbulkan kerugian yang besar bagi perusahaan
maupun bagi pekerja itu sendiri.
85
mendapatkan ringkasan hasil metode delphi putaran 1 yang menunjukkan nilai rata-rata
masing-masing subaspek sebagai bahan pertimbangan untuk mengisi kuesioner delphi
putaran kedua.
Pada metode delphi putaran kedua, didapatkan peningkatan jumlah subaspek yang
mencapai konsensus yaitu dari 19 subaspek yang dinilai hanya terdapat 1 subaspek yang
belum mencapai konsensus yaitu aspek tempat duduk. Sedangkan 18 subaspek lainnya telah
mencapai konsensus. Hal tersebut menunjukkan perbaikan pada putaran kedua.
Setelah didapatkan 18 subaspek yang mencapai konsensus, selanjutnya dilakukan
penyusunan peringkat terhadap subaspek tersebut berdasarkan nilai rata-rata. Hasil
penyusunan peringkat subaspek berdasarkan nilai rata-rata menunjukkan bahwa subaspek
yang memiliki peringkat pertama adalah kebisingan, kedua adalah debu, ketiga adalah
kebersihan dan kerapian, keempat adalah sepatu, sarung tangan, masker, kacamata, dll.,
kelima adalah kesadaran akan tanggung jawab terhadap K3, keenam adalah lantai/tangga,
ketujuh adalah zat kimia, kedelapan adalah penyimpanan dan penanganan material,
kesembilan adalah pembuangan limbah/sampah, kesepuluh adalah alat kerja atau mesin,
kesebelas adalah postur tubuh saat bekerja, kedua belas adalah fasilitas P3K, ketiga belas
adalah pencahayaan, keempat belas adalah permukaan kerja, kelima belas adalah temperatur
(suhu ruang), keenam belas adalah pencegahan kebakaran, ketujuh belas adalah air minum,
dan yang terakhir atau yang kedelapan belas adalah dinding.
Usulan perbaikan pada penelitian ini akan difokuskan pada dua subaspek dengan
peringkat tertinggi pertama dan tertinggi kedua. Pembatasan jumlah subaspek yang akan
ditindaklanjuti ke tahap usulan perbaikan didasarkan pada keterbatasan waktu yang dimiliki
oleh peneliti serta tingkat kerumitan dari masalah yang akan diberi usulan perbaikan. Pada
penelitian ini, subaspek kebisingan merupakan subaspek dengan peringkat tertinggi dengan
rata-rata 4,67. Sedangkan subaspek dengan peringkat tertinggi kedua adalah debu dengan
nilai rata-rata 4,50. Nilai rata-rata subaspek debu sebenarnya sama dengan nilai rata-rata
subaspek kebersihan dan kerapian serta nilai subaspek alat pelindung diri meliputi sepatu,
sarung tangan, masker, kacamata. Pada penelitian ini subaspek debu dipilih dengan
mempertimbangkan keluhan kesehatan yang dirasakan oleh para pekerja di mana keluhan
tersebut erat hubungannya dengan paparan debu di tempat kerja. Keluhan kesehatan tersebut
adalah batuk, sesak nafas dan iritasi mata.
86
5.2.1. Analisis Usulan Pengendalian Kebisingan
Pengendalian kebisingan di industri gamelan Wirun Palu Gongso dilakukan pada
tiga proses atau stasiun kerja yaitu proses penempaan, pemetakan, dan finishing. Pada
proses penempaan sumber kebisingan berasal dari aktivitas penempaan dan kebisingan yang
berasal dari proses finishing. Usulan pengendalian kebisingan pada bagian penempaan yang
bisa dilakukan adalah pemakaian APD.
APD yang diusulkan pada pengendalian kebisingan di proses penempaan adalah
APT berjenis reusable earplug yang memiliki tali. Earplug dipilih dengan
mempertimbangkan kenyamanan dalam penggunaan serta kondisi lingkungan kerja. Proses
penempaan memiliki kondisi lingkungan kerja yang panas dan berdebu. Earplug cenderung
lebih nyaman dan lebih mudah dibersihkan ketika digunakan oleh para pekerja yang berada
di lingkungan kerja dengan suhu tinggi dan berdebu dibandingkan dengan earmuff (Brueck,
2009). Pemilihan earplug berjenis reusable ini bertujuan untuk menghemat biaya pengadaan
alat pelindung telinga. NRR juga menjadi pertimbangan utama dalam memilih earplug.
Pada penelitian ini, diusulkan earplug dengan NRR 30 dB untuk pekerja pada proses
penempaan. Setelah dilakukan perhitungan ENL maka didapatkan hasil bahwa ketika
pekerja menggunakan earplug dengan NRR sebesar 30 dB, kebisingan yang diterima oleh
pekerja pada proses penempaan telah berada di bawah NAB yaitu 84,1 dB. Earplug yang
diusulkan memiliki harga satuan Rp32.000 dan diperlukan untuk 10 orang pekerja.
Sehingga jumlah biaya untuk pengadaan earplug bagi pekerja proses penempaan adalah
Rp320.000. Biaya tersebut harus dikeluarkan oleh pemilik/perusahaan setiap 1 bulan sekali.
Hal tersebut dikarenakan efektivitas earplug akan berkurang seiring dengan waktu
penggunaannya (Pessina & Guerretti, 2000). Untuk menjaga agar earplug yang digunakan
tetap efektif dalam mengurangi kebisingan yang diterima oleh pekerja, maka penggantian
earplug secara berkala perlu dilakukan. Penggantian reusable earplug dapat dilakukan
setiap 1 bulan sekali (SafetySign, 2017).
Kebisingan di proses pemetakan bersumber dari aktivitas melakukan penempaan
gamelan yang dilakukan oleh dua orang pekerja. Meskipun durasi pajanan kebisingan pada
proses pemetakan tidak melebihi durasi pajanan yang diperbolehkan, tetapi intensitas
kebisingan yang masih cukup tinggi mengharuskan dilakukan upaya untuk pengendalian
kebisingan. Selain itu pekerja pada proses pemetakan merupakan pekerja yang sama dengan
proses penempaan. Sehingga sebelum melakukan proses pemetakan, pekerja telah terlebih
dahulu terpapar kebisingan di proses penempaan dengan durasi pajanan yang cukup lama
yaitu 300 menit.
Pengendalian kebisingan yang diusulkan untuk proses pemetakan adalah
penggunaan APD. APD yang diusulkan adalah APT berjenis reusable earplug yang
memiliki tali. Earplug yang diusulkan pada proses pemetakan sama dengan earplug pada
proses penempaan. Dengan nilai NRR sebesar 30 dB, maka setelah dilakukan perhitungan
ENL didapatkan hasil bahwa kebisingan yang diterima oleh pekerja pada proses pemetakan
telah berada di bawah NAB yaitu 81,5 dB. Usulan penggunaan earplug pada pekerja di
87
proses pemetakan tidak memerlukan biaya. Hal tersebut dikarenakan pekerja yang
melakukan pekerjaan di proses pemetakan merupakan pekerja yang sama dengan proses
penempaan. Sehingga earplug yang diadakan untuk pekerja di proses penempaan dapat
kembali digunakan pada proses pemetakan.
Kebisingan di proses finishing berasal dari aktivitas menggerinda gamelan.
Aktivitas finishing tersebut menghasilkan kebisingan dengan jenis kontinu serta tingkat
kebisingan mencapai 96,2 dB. Usaha pengendalian kebisingan pada proses finishing
dilakukan dengan cara administrative control dan pemakaian APD.
Tahap administrative control untuk pengendalian kebisingan pada proses finishing
dilakukan dengan pembuatan SOP untuk aktivitas finishing gamelan menggunakan mesin
gerinda. Pembuatan SOP tersebut didasarkan pada kondisi di tempat kerja di mana belum
adanya aturan tertulis terkait langkah-langkah penggunaan mesin gerinda yang aman untuk
proses finishing. Dalam SOP yang diusulkan terdapat pengertian proses finishing, alat-alat
yang dibutuhkan serta langkah pengerjaan. Dalam langkah pengerjaan sendiri akan terdapat
beberapa poin yang digunakan sebagai upaya dalam pengendalian kebisingan di antaranya
adalah pekerja diwajibkan untuk menggunakan alat pelindung telinga serta wajib mematikan
mesin gerinda setelah bekerja selama 30 menit dan meninggalkan area kerja yang terpapar
kebisingan selama 5 menit. Ketentuan tersebut dimaksudkan agar pekerja dapat terhindar
dari paparan kebisingan yang melebihi NAB secara terus menerus. Dengan ketentuan
tersebut pekerja pun dapat mengistirahatkan dan menormalkan pendengarannya kembali
dari pajanan kebisingan yang melebihi NAB. Selain dapat mereduksi risiko paparan
kebisingan bagi pekerja di proses finishing, langkah pengendalian kebisingan yang
tercantum dalam SOP tersebut juga dapat mereduksi pengaruh kebisingan dari
pengoperasian mesin gerinda bagi pekerja di proses lainnya. Untuk memastikan jalannya
SOP yang diusulkan maka sebaiknya ketua tim ataupun pemilik dapat mengingatkan pekerja
setiap sebelum memulai pekerjaannya untuk mematuhi SOP yang ada dan memberikan
penjelasan terkait pentingnya SOP tersebut dilakukan. Dengan langkah tersebut maka
pekerja yang awalnya tidak terbiasa dengan langkah-langkah pada SOP dapat menjadi
terbiasa dan disiplin dalam menjalankan SOP yang ada. Selain pengendalian kebisingan
dengan tahap administrative control, tahap selanjutnya yaitu penggunaan APD akan tetap
dilakukan mengingat pajanan kebisingan di atas NAB masih ada dan tidak dapat
dihilangkan dari lingkungan kerja.
APD yang diusulkan pada pengendalian kebisingan di proses finishing adalah alat
pelindung telinga berjenis earmuff. Oleh karena intensitas kebisingan yang tinggi dan
bersifat kontinu, maka pekerja pada proses finishing sebaiknya menggunakan alat pelindung
telinga yang memiliki keefektifan yang tinggi dalam mereduksi kebisingan. Earmuff
merupakan jenis alat pelindung telinga yang memiliki kemampuan paling tinggi dalam
meredam kebisingan apabila dibandingkan dengan jenis alat pelindung telinga lainnya
(NIOSH, 1998). Sehingga pekerja pada proses finishing diusulkan untuk menggunakan
earmuff. Apabila dilihat dari segi kenyamanan dalam penggunaan serta kondisi lingkungan
88
kerja, earmuff masih dapat digunakan dengan nyaman oleh pekerja karena suhu lingkungan
kerja yang tidak setinggi suhu pada area penempaan dan debu yang dihasilkan dari proses
finishing juga tidak sebanyak pada proses penempaan. NRR dalam pemilihan alat pelindung
telinga juga menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan. Pada penelitian ini, diusulkan
earmuff dengan NRR 35 dB untuk pekerja pada proses finishing. Setelah dilakukan
perhitungan ENL maka didapatkan hasil bahwa ketika pekerja menggunakan earmuff
dengan NRR sebesar 35 dB, kebisingan yang diterima oleh pekerja pada proses finishing
telah berada di bawah NAB yaitu 75,2 dB. Earmuff yang diusulkan memiliki harga satuan
Rp193.000 dan diperlukan untuk 3 orang pekerja. Sehingga jumlah biaya untuk pengadaan
earmuff bagi pekerja proses penempaan adalah Rp579.000. Biaya tersebut harus dikeluarkan
oleh pemilik/perusahaan setiap 6 bulan sekali. Hal tersebut dikarenakan efektivitas earmuff
akan berkurang seiring dengan waktu penggunaannya (Pessina & Guerretti, 2000). Agar
earmuff yang digunakan tetap efektif untuk mengurangi kebisingan yang diterima oleh
pekerja, maka penggantian earmuff secara berkala perlu dilakukan. Penggantian earmuff
sebaiknya dilakukan setiap 6 bulan sekali (SafetySign, 2017).
89
kondisi tersebut juga membuat lingkungan kerja semakin kotor dan tentunya menambah
potensi bahaya bagi keselamatan dan kesehatan pekerja.
Kondisi lingkungan kerja yang berdebu tersebut hingga saat ini memang belum
memberi kerugian yang besar bagi perusahaan, namun sudah terdapat keluhan kesehatan
yang disebabkan oleh pajanan debu. Keluhan kesehatan tersebut meliputi batuk, sesak nafas
dan iritasi mata. Keluhan batuk dirasakan oleh 3 orang pekerja. Keluhan sesak nafas
dirasakan oleh 2 orang pekerja. Sedangkan keluhan iritasi mata dirasakan oleh 7 orang
pekerja. Dampak pajanan debu yang sangat merugikan bagi kesehatan manusia pada
dasarnya jarang dirasakan secara langsung. Namun pajanan debu yang dirasakan pekerja
setiap hari selama waktu kerjanya dapat memperbesar peluang terjadinya akumulasi debu di
tubuh pekerja khususnya paru-paru.
Berdasarkan kondisi tersebut maka tindakan untuk pengendalian debu perlu segera
dilakukan. Pada penelitian ini tindakan yang dilakukan adalah penyusunan usulan
pengendalian debu dengan mempertimbangkan kondisi yang ada. Pengendalian debu
dilakukan dengan tahapan engineering control, administrative contol, serta penggunaan
APD.
Tahap pengendalian debu dengan engineering control dilakukan dengan metode
basah. Metode basah merupakan metode yang dilakukan dengan memanfaatkan sifat
higroskopis debu yaitu sifat di mana partikel debu dapat berikatan dengan molekul air.
Metode debu dilakukan dengan melakukan penyiraman area peleburan dan penempaan
menggunakan air. Dengan menyiram air pada area tersebut maka akan meningkatkan
kelembaban area kerja dan menambah kandungan air pada debu-debu yang ada di area
kerja. Bertambahnya kandungan air pada debu-debu tersebut akan membuat debu menjadi
lebih berat dan pada akhirnya mengendap di lantai. Pengendapan debu di lantai akan
mengurangi debu yang beterbangan di udara dan pada akhirnya dapat mengurangi risiko
debu terhirup oleh para pekerja. Penyiraman area peleburan dan penempaan dilakukan dua
kali sehari yaitu pada pagi hari sebelum bekerja dan siang hari sebelum waktu istirahat.
Tujuan penyiraman debu pada pagi hari sebelum bekerja adalah agar ketika mulai bekerja,
kondisi lingkungan kerja tidak terlalu kering dan mengurangi debu yang beterbangan di
udara. Sedangkan tujuan penyiraman debu pada siang hari di tengah jam kerja yaitu sebelum
waktu istirahat adalah untuk mengurangi jumlah debu yang telah dihasilkan selama proses
penempaan berlangsung. Pengendalian debu menggunakan metode basah ini merupakan
cara yang efektif dan juga efisien karena jumlah debu yang beterbangan dapat dikendalikan
dengan mudah oleh pekerja tanpa harus mengeluarkan biaya.
Tahap pengendalian debu selanjutnya adalah administrative control. Tahap
administrative control dilakukan dengan membuat SOP pembersihan rutin area kerja. SOP
tersebut dibuat sebagai petunjuk dan bentuk aturan tertulis yang harus dilakukan oleh para
pekerja setiap harinya. Pada SOP yang dibuat terdapat bagian umum yang menjelaskan
maksud dari pembersihan rutin area kerja, alat-alat yang dibutuhkan, serta langkah
pembersihan area kerja. Pada langkah pembersihan area kerja semua pekerja diwajibkan
90
untuk merapikan area kerja, membuang sampah yang berserakan ke tempat sampah serta
menyiram lantai kerja pada area peleburan dan penempaan dengan air.
Kegiatan pembersihan rutin area kerja pada dasarnya akan terasa berat untuk
dilakukan oleh para pekerja setelah lelah bekerja. Terlebih lagi mereka tidak terbiasa dalam
melakukan kegiatan pembersihan tersebut. Namun dengan pengarahan dari pemilik,
pembiasaan dan kerja sama yang baik antar pekerja maka kegiatan pembersihan rutin akan
dapat dilakukan dengan disiplin dan mudah. Kegiatan pembersihan area kerja secara rutin
tersebut dirancang untuk mudah dilakukan oleh para pekerja setiap harinya dan tidak
membutuhkan waktu, biaya serta tenaga yang banyak. Selain itu dengan disiplin dalam
menjalankan SOP yang ada maka lingkungan kerja akan menjadi lebih aman dan nyaman
bagi para pekerja, khususnya dapat mengurangi risiko pajanan debu bagi kesehatan pekerja.
Tahap pengendalian debu selanjutnya adalah penggunaan APD. Penggunaan APD
sebagai upaya pengendalian debu tetap dilakukan mengingat sumber debu tidak dapat
dieliminasi dari tempat kerja. Sehingga risiko debu bagi kesehatan pekerja khususnya bagi
sistem pernapasan masih mungkin terjadi. APD yang diusulkan untuk mengurangi risiko
terhirupnya debu oleh para pekerja adalah masker anti debu yang berjenis disposable atau
sekali pakai. Masker anti debu yang diusulkan memiliki 3 lapisan yang dapat menyaring
debu dan mencegah debu terhirup oleh para pekerja. Sehingga secara fungsi, masker anti
debu tersebut telah memenuhi kebutuhan para pekerja di stasiun kerja peleburan dan
penempaan. Pemilihan masker debu tersebut juga didasarkan pada kenyamanan dalam
penggunaanya. Masker yang dipilih merupakan masker yang memungkinkan pekerja tetap
nyaman dalam bernapas dan juga berkomunikasi. Selain itu masker dengan jenis disposable
ini dipilih karena lingkungan kerja cenderung sangat berdebu dan dalam sehari pemakaian
saja masker dapat menjadi sangat kotor. Apabila masker yang dipilih berjenis reusable
maka para pekerja akan kesulitan dalam membersihkan masker setiap harinya, bahkan
mungkin saja masker tidak sempat dibersihkan oleh pekerja dan pada keesokan harinya
masker tidak dapat digunakan atau digunakan dalam kondisi yang masih kotor. Biaya dan
ketersediaan juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan masker anti debu. Masker yang
diusulkan merupakan masker yang mudah didapatkan serta memiliki harga satuan Rp2.000.
Masker tersebut akan digunakan oleh 10 orang pekerja. dan digunakan selama 20 hari kerja
dalam 1 bulan. Sehingga jumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh pemilik untuk
pengadaan masker adalah Rp400.000/bulan. Pengendalian debu menggunakan alat
pelindung berupa masker anti debu memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun
dengan adanya upaya pengendalian debu tersebut maka dapat mengurangi potensi bahaya
pajanan debu bagi kesehatan pekerja. Biaya yang dikeluarkan tersebut tentunya sangat
berguna bagi kesehatan para pekerja. Terlebih lagi jika mengingat terbatasnya sumber daya
manusia yang memiliki skill dalam pembuatan gamelan sehingga tidak mudah untuk
mencari pengganti pekerja apabila ada pekerja yang sakit dan tidak dapat bekerja kembali.
91
BAB VI
6.1. Kesimpulan
Dari seluruh tahap-tahap penelitian yang telah dilaksanakan, maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut:
1. Kondisi kerja di industri gamelan Wirun Palu Gongso hingga saat ini masih
memiliki banyak potensi bahaya bagi kesehatan maupun keselamatan pekerja.
Setidaknya terdapat 19 potensi bahaya yang memiliki potensi bahaya dan
memerlukan perbaikan. 19 potensi bahaya tersebut terbagi menjadi 2 kategori yaitu
9 potensi bahaya memerlukan perbaikan mayor dan 10 potensi bahaya memerlukan
perbaikan minor. Potensi bahaya yang memerlukan perbaikan mayor meliputi debu,
kebisingan, suhu ruang, pencegahan kebakaran, kebersihan dan kerapian,
pembuangan limbah, kondisi lantai/tangga, postur kerja berbahaya, dan penggunaan
APD. Sedangkan potensi bahaya yang memerlukan perbaikan minor meliputi bahan
kimia, pencahayaan, penyimpanan dan penanganan material, dinding, air minum,
tempat duduk, permukaan kerja, alat kerja dan mesin, P3K, dan kesadaran akan
tanggung jawab terhadap K3.
2. Potensi bahaya yang memiliki peringkat pertama adalah kebisingan, kedua adalah
debu, ketiga adalah kebersihan dan kerapian, keempat adalah APD (sepatu, sarung
tangan, masker, kacamata), kelima adalah kesadaran akan tanggung jawab terhadap
K3, keenam adalah lantai/tangga, ketujuh adalah zat kimia, kedelapan adalah
penyimpanan dan penanganan material, kesembilan adalah pembuangan
limbah/sampah, kesepuluh adalah alat kerja atau mesin, kesebelas adalah postur
tubuh saat bekerja, kedua belas adalah fasilitas P3K, ketiga belas adalah
pencahayaan, keempat belas adalah permukaan kerja, kelima belas adalah
temperatur (suhu ruang), keenam belas adalah pencegahan kebakaran, ketujuh belas
adalah air minum, dan yang terakhir atau yang kedelapan belas adalah dinding.
3. Usulan perbaikan yang diberikan adalah pengendalian kebisingan dan pengendalian
debu. Pada pengendalian kebisingan diusulkan pengendalian dengan penggunaan
APD berupa earplug untuk pekerja pada proses penempaan dan pemetakan serta
earmuff untuk pekerja pada proses finishing. Selain itu SOP untuk pengerjaan
finishing menggunakan gerinda juga dibuat sebagai upaya pengendalian kebisingan.
92
Pada pengendalian debu diusulkan engineering control, administrative control, dan
penggunaan APD. Engineering control yang diusulkan berupa metode basah.
Administrative control yang diusulkan berupa pembuatan SOP pembersihan rutin
area kerja. APD yang diusulkan berupa masker anti debu.
6.2. Saran
Saran yang dapat diberikan untuk industri gamelan Wirun Palu Gongso dan langkah
pengembangan untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut:
1. Usulan pengendalian yang telah diberikan akan dapat diimplementasikan dengan
baik apabila terdapat kerja sama antarpekerja dan juga pemilik serta upaya kontrol
yang baik dari pihak pemilik. Upaya kontrol tersebut dapat berupa briefing setiap
pagi antar pekerja dan pemilik.
2. Penelitian ini dilakukan sampai pada tahap usulan perbaikan, sehingga pada
penelitian selanjutnya dapat dilakukan tahap implementasi agar evaluasi terhadap
keefektifan usulan perbaikan dapat dilakukan.
3. Penelitian selanjutnya dapat fokus pada usulan perbaikan untuk aspek-aspek yang
masih memiliki potensi bahaya selain aspek kebisingan dan debu yang telah dibahas
pada penelitian ini.
93
DAFTAR PUSTAKA
Aznam, S.A., Safitri, D.M., Anggraini, R.D. (2017). Ergonomi Partisipatif untuk
Mengurangi Potensi Terjadinya Work-Related Musculoskeletal Disorders. Jurnal
Teknik Industri, 7 (2), 94-104
Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia. (2018). Keadaan Ketenagakerjaan
Indonesia Februari 2018. Diakses dari Website: https://www.turc.or.id/wp-
content/uploads/2018/06/BPS_Berita-Resmi-Statsitik_Keadaan-Ketenagakerjaan-
Indonesia-Februari-2018.pdf
Bangun, W. (2012). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Erlangga
Boje, D.M., Murnighan, J.K. (1982). Group Confidence Pressures In Iterative Decisions.
Management Science, 28(10), 1187-1196. doi: 10.1287/mnsc.28.10.1187
Brueck, L. (2009). Real World Use and Performance of Hearing Protection. Derbyshire:
Health and Safety Laboratory.
Budiono, AM. (2003). Bunga Rampai Hiperkes dan KK. Surabaya: Badan Penerbit UNDIP
Christie, C.A., Barela, E. (2005). The Delphi Technique As A Method For Increasing
Inclusion In The Evaluation Process. The Canadian Journal of Program Evaluation,
20 (1), 105-122.
Dalkey, N. (1969). Analyses From A Group Opinion Study. Futures, 1(6), 541-551.
Doi:10.1016/s0016-3287(69)80044-3
Gayatri, I.A.E.M. (2015). Hubungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dengan
Kinerja Karyawan Pada PT UOB Indonesia Cabang Bengkulu. Jurnal Ekombis
Review, 3(2), 185-196.
Giannarou, L., Zervas, E. (2014). Using Delphi Technique to Build Consensus In Practice.
International Journal of Business Science and Applied Management, 9(2), 66-82.
Guimaraes, L.B.M., Ananello, M.J., Ribeiro, J.L.D., Saurin, T.A. (2015). Participatory
Ergonomics Intervention for Improving Human and Production Outcomes of
Brazilian Furniture Company. International Journal of Industrial Ergonomics, 49,
97-107. doi:10.106/j.ergon.2015.02.002
Gunawan, A.C. (2016). Analisis Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Studi
Evaluasi Penanggulangan Kecelakaan Kerja Karyawan Pabrik KElapa Sawit Rama
Bakti Estate, Kec Tapung Hilir, Kab Kampar, Riau. JOM FISIP 3(1), 1-16
Gunawan, F.A., Waluyo. (2015). Risk Based Behavioral Safety Membangun Kebersamaan
Untuk Mewujudkan Keunggulan Operasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
94
Haerani, R., Rahardjo, K., Nurtjahjono, G.E. (2014). Pengaruh Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Pada Karyawan Tetap PT Perkebunan
Nusantara Pabrik Gula Toelangan Sidoarjo). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB),
15(1), 1-7.
Haines, H., Wilson, J.R., Vink, P., & Koningsveld, E. (2002). Validating A Framework For
Participatory Ergonomics (the PEF). Ergonomics, 45(4), 309-327
Hendrick, H.W., Kleiner, B.M. (2002). Macroergonomics: Theory, Methods, and
Apllications. London, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Hidayat, A.H., Purnomo, H. (2014, Maret). Desain Pengering Kerupuk Menggunakan
Metode Ergonomi Partisipatori. Paper presented at Seminar Nasional IENACO,
Surakarta. Diakses dari https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/4699
Hsu, C., Sandford, B.A. (2007). The Delphi Technique: Making Sense of Consensus.
Practical Assessment Research & Evaluation, 12 (10), 1-8
Husni, L. (2003). Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Imada, A.S., Robertson, M.M. (1987). Cultural Perspectives In Participatory Ergonomics.
Proceding of the Human Factors Society Annual Meeting, 31(9), 1019-1022.
Inspeksi dan Perawatan Pelindung Pendengaran (Earplug dan Earmuff). (n.d). Diakses
pada November 26, 2019, dari PT Safety Sign Indonesia,
http://www.safetysign.co.id/image-upload/Care-Maintenance-of-Earplug-and-
Earmuff-SSI-OK.pdf
Kani, B.R., Mandagi, R.J.M., Rantung, J.P., Malingkas, G.Y. (2013). Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Pada Pelaksanaan Proyek Konstruksi (Studi Kasus: Proyek PT
Trakindo Utama). Jurnal Sipil Statistik, 1(6), 430-433.
Kourinka, I., Patry L. (1995). Participation as a means of promoting occupational health.
International Journal of Industrial Ergonomics, 15, 365-370
Kourinka, I. (1997). Tools and Means of Implementing Participatory Ergonomics.
International Journal of Industrial Ergonomics, 19, 267-270.
Lindgaard, G., Caple, D. (2001). A Case Study in Iterative Keyboard Design Using
Participatory Design Techniques. Applied Ergonomics, 32, 71-80.
Makainas, I., Sela, R.I., Nangoy, W.M., Rate, J.V., Andries, F.T. (2011). Kompartemen
Akustik Ruang. Jurnal Sabua, 3(2), 15-25
Marfuah, H.H. (2018). Perbaikan Sistem Kerja yang Ergonomis Untuk Mengurangi
Kelelahan dan Keluhan Muskuloskeletal dengan Pendekatan Ergonomi Partisipatori.
Dinamika Teknik, 11(1), 1-8.
Markkannen, P. (2003). Improving Safety, Health and the Working Environment in the
Informal Footwear Sector. Jakarta: International Labour Office.
Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia. (1999). Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI
Nomor 51 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja. Jakarta:
Menteri Tenaga Kerja RI
95
Nagamachi, M. (1995). Requisites and Practices of Participatoy Ergonomics. International
Journal of Industrial Ergonomics, Special Issue: Participatory Ergonomics, 15 (5),
371-379
NIOSH. (1998). Occupational Noise Exposure. Cincinnati: U.S Department of Health and
Human Services
Nugraha, D.A. (2017). Perbaikan Lingkungan Kerja di Sektor Alas Kaki Informal
Cibaduyut dengan Participatory Ergonomics: Studi Kasus di Tiga Bengkel (Skripsi
Sarjana, Universitas Katolik Parahyangan). Diakses dari repository.unpar.ac.id
Paramita, C.C.P. (2012). Pengaruh Keselamatan dan Kesehatan Kerja Terhadap Prestasi
Kerja Karyawan PT PLN Persero APJ Semarang. Jurnal Administrasi Bisnis, 1 (1),
1-11
Pemerintah Indonesia. (1970). Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja. Jakarta: Sekretariat Negara
Pemerintah Indonesia. (1992). Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja. Jakarta: Sekretariat Negara
Pemerintah Indonesia. (1992). Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Jakarta: Sekretariat Negara
Pemerintah Indonesia. (2003). Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Jakarta: Sekretariat Negara
Pessina, D., Guerretti, M. (2000). Effectiveness of Hearing Protection Devices in the Hazard
Reduction of Noise from Used Tractors. Journal of Agricultural Engineering
Research, 75, 73-80.
Ramli, S. (2010). Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001.
Jakarta: Dian Rakyat.
Rizqiah, E. (2017). Manajemen Risiko Supply Chain dengan Mempertimbangkan
Kepentingan Stakeholder pada Industri Gula (Master Theses, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember). Tersedia di repository.its.ac.id.
Rofiah, N. (2016). Implementasi Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bagi
Pekerja Proyek Konstruksi di CV. Mupakat Jayat Teknik (Tinjauan Undang-
Undangan No 13 Tahun 2003 dan Mashlahah Mursalah). Jurnal Hukum dan
Syariah, 7(1), 73-89
Rowe, G., Wright, G. (1999) The Delphi Technique as A Forecasting Tool: Issues and
Analysis. International Journal of Forecasting, 15 (4), 353-375
Sidiq, J.M., Suhardi, B., Jauhari, W.A. (2016, Mei). Perbaikan Sistem Kerja di Stasiun
Kerja Assembly Sol Pabrik Kerajinan Sepatu Yessy dengan Pendekatan Metode 5S.
Paper presented at Seminar Internasional dan Konferensi Nasional IDEC, Surakarta.
Diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/336367783_Perbaikan_Sistem_Kerja_di_
Stasiun_Kerja_Assembly_Sol_Pabrik_Kerajinan_Sepatu_Yessy_dengan_Pendekata
n_Metode_5S.
96
Suhardi, B., Zoratoshi, N., Laksono, P.W. (2016, Oktober). Ergonomic Checkpoints as the
Base of Stamping Station Work Facilities Improvement. Paper presented at the 2nd
International Conference of Industrial, Mechanical, Electrical, Chemical
Engineering (ICIMECE), Yogyakarta. Diakses dari
https://ieeexplore.ieee.org/document/7910440.
Sukapto, P., Djojosubroto, H., & Audiandra, K. (2016). Penerapan Participatory
Ergonomics Dalam Perbaikan Sistem K3 Di Bagian Laminating dan Cutting (Studi
Kasus di PT Primarindo Asia Infrastructure Tbk). JEMIS, 4 (1), 77-83.
Suma’mur, P.K. (2009). Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Jakarta:
Sagung Seto.
Sunyoto, D. (2012). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Penerbit CAPS.
Umar, R.Z.R., Ahmad, N., Halim, I., Lee, P.Y., Hamid, M. (2019). Design and
Development of an Ergonomic Trolley-Lifter for Sheet Metal Handling Task: A
Preliminary Study. Safety and Health at Work, 10, 327-335.
Widananto, H., Purnomo, H. (2013, Maret). Rancangan Mesin Pengupas Sabut Kelapa
Berbasis Ergonomi Partisipatori. Paper presented at Seminar Nasional IENACO,
Surakarta. Diakses dari https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/3595
Widiasih, W., Karningsih, P.D., Ciptomulyono, U. (2015) Identifikasi Risiko Pada Saat
Implementasi Lean Manufacturing Dengan Metode Delphi. Prosiding Seminar
Nasional Manajemen Teknologi XXIII.
Wilson, J.R., Haines, H.M. (1997). Participatory Ergonomics. In G. Salvendy (Ed),
Handbook of Human Factors and Ergonomics (2nd ed). New York:Wiley.
Yasid, A., Yushardi., Handayani, R.D. (2016). Pengaruh Frekueni Gelombang Bunyi
Terhadap Perilaku Lalat Rumah (Musca domestica). Jurnal Pembelajaran Fisika,,
5(2), 190-196.
Yousuf, M.I. (2007). Using Experts’ Opinions Through Delphi Technique. Practical
Assesment Research & Evaluation, 12(4).
Yuan, L. (2015). Reducing Ergonomic Injuries For Librarians Using A Participatory
Approach. International Journal of Industrial Ergonomics, 47, 93-103.
97
LAMPIRAN
Kuesioner ini bertujuan untuk melakukan identifikasi dan analisis mengenai prioritas
permasalahan yang terdapat di Industri Gamelan Wirun Palu Gongso. Hasil kuesioner akan diolah
lebih lanjut dan digunakan untuk kepentingan akademik (penelitian skripsi). Atas kerja sama dan
kesediaan Bapak/Saudara dalam mengisi kuesioner, kami ucapkan terima kasih.
Score
Monitoring Item Observations/changes Gambar
(0 to 2)
Lingkungan Fisik
98
Lampiran L.1 Kuesioner Delphi Putaran I (lanjutan)
Score
Monitoring Item Observations/changes Gambar
(0 to 2)
Lingkungan Fisik
Kebisingan dihasilkan pada proses
penempaan, pemetakan dan finishing .
Kebisingan saat aktivitas penempaan
mencapai 95,6 dB dan dialami pekerja selama
5 jam dalam sehari. Kebisingan pada aktivitas
pemetakan mencapai 93 dB dan dialami
pekerja selama 1 jam dalam sehari.
Sedangkan kebisingan pada aktivitas
3. Kebisingan 0
finishing yaitu penggerindaan mencapai 96,2
dB dan dialami pekerja selama kurang lebih 4
jam dalam sehari. Nilai kebisingan tersebut
telah melebihi NAB menurut Kepmenaker
No. 51 tahun 1999 yaitu 85 dB. Beberapa
pekerja mengalami gangguan pendengaran.
Belum terdapat tindakan untuk memperbaiki
kondisi tersebut.
Suhu ruang kerja pada saat proses
penempaan dan peleburan cukup tinggi yaitu
mencapai 32,3 Celcius diukur dengan
envirometer. Panas tersebut dihasilkan dari
4. Temperature (Suhu ruang) 0
pembakaran arang. Panas yang dihasilkan
akan mengalami peningkatan seiring dengan
bertambahnya diameter gamelan yang
diproduksi.
Pencahayaan pada area eleburan dan
penempaan diatur lebih redup agar pekerja
mudah melihat bara api yang sedang menyala.
Sedangkan pada area pemetakan, finishing
dan pelarasan cahaya alami diperoleh dari
sinar matahari melalui atap berbahan
5. Pencahayaan 1
transparan namun kebersihan atap kurang
terjaga sehingga cahaya yang masuk belum
maksimal. Selain itu belum tersedia lampu
yang cukup terang di area pemetakan,
finishing dan pelarasan untuk mengantisipasi
apabila cuaca mendung.
Premises
99
Lampiran L.1 Kuesioner Delphi Putaran I (lanjutan)
Score
Monitoring Item Observations/changes Gambar
(0 to 2)
Premises
Dinding tempat kerja kotor akibat debu yang
dihasilkan oleh proses peleburan dan
penempaan. Hal tersebut menjadikan area
11. Dinding 1
kerja terlihat semakin kotor. Hingga saat ini
belum ada upaya pembersihan untuk dinding
yang kotor tersebut.
Lantai di area pemetakan, finishing dan
pelarasan terbuat dari semen namun terdapat
beberapa bagian lantai yang tidak rata dan
terdapat banyak alat kerja, material maupun
12. Lantai/tangga 0
sampah. Hal tersebut menimbulkan potensi
bahaya yaitu pekerja dapat tersandung bahkan
terjatuh apabila tidak berhati-hati dan
berkonsentrasi.
Fasilitas Kesejahteraan
100
Lampiran L.1 Kuesioner Delphi Putaran I (lanjutan)
2. Kuesioner
Pada bagian ini silahkan Bapak/Saudara menilai masing-masing masalah aspek dengan
memberi tanda lingkaran (O) pada nilai yang dikehendaki.
Keterangan Nilai:
1 = Sangat Tidak Penting 4 = Penting
2 = Tidak Penting 5 = Sangat Penting
3 = Kurang Penting
Terima kasih atas kesediaan Bapak/Saudara meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner
penelitian ini. Semua informasi yang Bapak/Saudara berikan dalam kuesioner ini dijamin
kerahasiannya dan hanya dipakai untuk keperluan penelitian saja.
101
Lampiran L.2 – Kuesioner Delphi Putaran II
Kuesioner ini bertujuan untuk melakukan identifikasi dan analisis mengenai prioritas
permasalahan yang terdapat di Industri Gamelan Wirun Palu Gongso. Hasil kuesioner akan diolah
lebih lanjut dan digunakan untuk kepentingan akademik (penelitian skripsi). Atas kerja sama dan
kesediaan Bapak/Saudara dalam mengisi kuesioner, kami ucapkan terima kasih.
*Rata-Rata
No Aspek yang Memerlukan Perbaikan Keterangan Nilai
Jawaban
1 Debu 4 Penting
2 Zat Kimia 3 Kurang Penting
3 Kebisingan 4 Penting
4 Temperatur (Suhu ruang) 2 Tidak Penting
5 Pencahayaan 3 Kurang Penting
6 Pencegahan kebakaran 2 Tidak Penting
7 Penyimpanan dan penanganan material 3 Kurang Penting
8 Kebersihan dan kerapian 4 Penting
9 Pembuangan limbah/sampah 2 Tidak Penting
10 Dinding 2 Tidak Penting
11 Lantai/tangga 4 Penting
12 Air minum 3 Kurang Penting
13 Postur tubuh saat bekerja 2 Tidak Penting
14 Tempat duduk 3 Kurang Penting
15 Permukaan kerja 2 Tidak Penting
16 Alat kerja atau mesin 3 Kurang Penting
17 Sepatu, sarung tangan, masker, kacamata, etc 4 Penting
18 Fasilitas pengobatan/pertolongan pertama (P3K) 3 Kurang Penting
19 Kesadaran akan tanggung jawab terhadap keselamatan dan kesehatan kerja 4 Penting
*Nilai dari rata-rata jawaban telah dibulatkan
102
Lampiran L.2 – Kuesioner Delphi Putaran II (lanjutan)
2. Kuesioner
Pada bagian ini silahkan Bapak/Saudara menilai masing-masing aspek dengan memberi tanda
lingkaran (O) pada nilai yang dikehendaki.
Keterangan Nilai:
1 = Sangat Tidak Penting 4 = Penting
2 = Tidak Penting 5 = Sangat Penting
3 = Kurang Penting
Terima kasih atas kesediaan Bapak/Saudara meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner
penelitian ini. Semua informasi yang Bapak/Saudara berikan dalam kuesioner ini dijamin
kerahasiaannya dan hanya dipakai untuk keperluan penelitian saja.
103
PROFIL PENULIS
Profil Penulis ke 1
Prof. Dr. Ir. Bambang Suhardi, ST, MT, IPM, ASEAN. Eng,
dilahirkan di Pati, dan merupakan putra kedua dari empat
bersaudara dari pasangan Bapak H. Soeratman dan Ibu Hj.
Sunarsih. Penulis menempuh pendidikan dasar dan menengah
di Kota Pati dan kemudian melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi di Jurusan Teknik dan Manajemen Industri
Universitas Pasundan (UNPAS) Bandung lulus tahun 1996,
kemudian penulis melanjutkan studi strata 2 jurusan Teknik
Industri di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Surabaya lulus tahun 2001. Penulis melanjutkan studi strata 3
di jurusan Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta lulus tahun 2012. Gelar Insinyur (Ir) diperoleh dari Program Studi Program
Profesi Insinyur Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta pada tahun 2018. Gelar IPM
diperoleh dari Persatuan Insinyur Indonesia (PII) pada tahun 2016. Gelar ASEAN. Eng
diperoleh dari ASEAN.
Federation of Engineering Organisations (AFEO) pada tahun 2019. Dalam kesehariannya
penulis merupakan dosen di Prodi S2 Teknik Industri UNS dan Prodi S1 Teknik Industri
UNS. Penulis merupakan Editor in Chief di Jurnal Performa Prodi Teknik Industri UNS
terindeks SINTA 4, sebagai reviewer di Jurnal Teknik Industri Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS) terindeks SINTA 2, sebagai reviewer di Jurnal INTECH Universitas
Serang Raya terindeks SINTA 4, reviewer Jurnal Tekinfo Universitas Setiabudi Surakarta
terindeks SINTA 4, dan reviewer Jurnal Teknik Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
terindeks SINTA 2
104
Profil Penulis Ke 2
Profil Penulis Ke 3
105
View publication stats