Anda di halaman 1dari 46

Profesi Guru di Simpang Jalan 1

“This report is made possible by the support of the American


People through the United States Agency for International
Development (USAID). The content of this report are the
sole responsibility of Indonesia Corruption Watch and do not
necessarily reflect the views of USAID or the United States
Government

2 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


Daftar Isi
Pengantar 4
Rerutmen dan Pendidikan Calon Guru 7
Pendidikan Calon Guru: Kesarjanaan Jadi Formalitas 8
Rekrutmen dan Proses Induksi Guru Baru 11
Status dan Kesejahteraan Guru 14
Pengembangan Karir Guru 21
Ketimpangan dan Redistribusi Guru 30
Politisasi Guru: Desentralisasi atau Resentralisasi 33
Politisasi Guru 33
Desentralisasi atau Resentralisasi 34
Kesimpulan dan Rekomendasi 38
Referensi 43

Profesi Guru di Simpang Jalan 3


Kajian ICW tentang Tata Kelola Guru

Profesi Guru di Simpang Jalan

Pengantar
Guru merupakan faktor penentu keberhasilan pendidikan. Pengalaman menunjukkan, sistem pendi-

dikan yang paling berhasil di dunia selalu berkorelasi positif dengan penghargaan yang tinggi terha-

dap profesi guru dan keseriusan dalam pengembangan guru. Para pengajar yang tidak saja memiliki

repertoar luas, menguasai pengetahuan pedagogis dan bidang studi yang diajarkan, mampu melaku-

kan observasi kelas dan menangani murid berdasarkan keuningan per individu, menguasai teknik

dan metode mengajar tetapi juga sekaligus mengikuti perkembangan pengetahuan, guru yang kritis,

reflektif, serta menguasai seni berbicara dan komunikasi interpersonal yang baik sangat merupakan

kunci bagi kemajuan pendidikan.

Berbagai upaya telah dilakukan. Akan tetapi, setelah 70 tahun Indonesia merdeka, kita be-

lum berhasil mengangkat harkat-martabat guru menjadi profesi yang berharga tinggi dan menjadi

impian. Guru-guru yang berepertoar luas, guru-guru yang dicintai oleh murid-murid, masih langka di

sekolah-sekolah kita. Tidak sedikit usaha telah dijalankan dan dana dianggarkan pemerintah, terma-

suk reformasi pengembangan guru yang menyeluruh yang dimulai sejak akhir 1980-an. Sayangnya,

semua daya upaya itu hampir tidak meninggalkan jejak bagi kemajuan kualitas guru dan pengajaran

di sekolah-sekolah kita.

Harus diakui bahwa pemerintah telah berupaya serius untuk membenahi persoalan tersebut.

Salah satunya dilakukan dengan menaikkan kesejahteraan guru yang dilakukan dengan memberikan

tunjangan sertifikasi guru sebesar satu kali gaji selama lama hampir satu dasa warsa terakhir. Gaji

guru yang rendah merupakan batu sandungan bagi upaya-upaya pengembangan guru dan perbaikan

kualitas pendidikan. Namun demikian sementara sebagian guru telah memperoleh kenaikan peng-

4 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


hasilan yang signifikan, ratusan ribu guru lainnya -- khususnya guru-guru honor dan guru tetap mau-

pun tidak tetap di sekolah-sekolah swasta – masih mendapatkan upah tidak atau sangat tidak layak.

Cakupan dan dimensi masalah yang kita hadapi dalam tata kelola dan pengembangan guru

sungguh luar biasa, yang mempersulit kita untuk berbenah. Jumlah guru yang kita miliki saat ini telah

mencapai jumlah 3.220.345 orang, kurang dari separonya atau sejumlah 1.467.633 berstatus pega-

wai negeri sipil (PNS). Sisanya, sejumlah 1.752.712 guru memiliki status beragam dengan sebutan

guru tidak tetap, guru bantu sekolah, guru honor sekolah dan lain-lainnya. Hanya sejumlah kecil di

antaranya, yakni guru non PNS yang telah tersertifikasi dan guru-guru di sekolah-sekolah swasta pa-

pan atas, yang telah mendapatkan upah layak. Di sisi lain berdasarkan data Kementerian Pendidikan

2012-2013, masih ada sejumlah 888.753 guru yang belum memiliki gelar sarjana. Hasil uji kompetensi

guru (UKG), terlepas dari sejumlah kritik menyangkut perangkat penguji maupun penyelenggaraanya,

mengindikasikan bahwa kompetensi guru-guru kita rata-rata rendah. Data dari Kementerian Pendi-

dikan menyebutkan, dari 1.611.251 guru yang mengikuti ujian kompetensi, hampir 65 persen di an-

taranya memperoleh skor di bawah 50,01 dari skor tertinggi 100.

Pendidikan yang mengabaikan mutu akan sia-sia. Perbaikan mutu pendidikan akan selalu dih-

adapkan pada kegagalan tanpa upaya perbaikan fundamental dalam tata kelola dan pengembangan

guru. Sejumah studi mengonfirmasi korelasi positif antara guru yang berkualitas dengan prestasi mu-

rid-muridnya. Sanders dan Rivers (1996) dalam penelitiannya “Cummulative and Residual Effect on

Future Academic Achiement” menemukan bahwa murid yang selama tiga tahun diajar oleh 20 persen

terbaik dapat menghasilkan kemajuan dua tahun lebih baik daripada murid yang diajar oleh guru di

20 persen terbawah. Studi itu juga menunjukan bahwa murid-murid yang prestasinya kurang mer-

upakan kelompok yang paling mendapatkan manfaat dengan meningkatnya efektivitas guru, semen-

tara 20 persen guru terbaik peningkatan pencapaian yang sangat baik untuk semua kelompok murid.

Keberhasilan guru dalam mencapai puncak keahlian profesionalnya ditentukan bersama-sa-

ma oleh faktor individual dan ketersediaan sistem pendukung bagi pengembangan guru yang dikait-

kan dengan jenjang karir dan renumerasi. Sebaik apapun kesejahteraan dan sistem penunjang untuk

pengembangan guru disediakan, tetap diperlukan komitmen personal dari setiap guru untuk menuju

puncak keahlian profesionalnya. Di lain pihak, ketiadaan kompetensi dan prestasi guru menjadi se-

buah gejala umum, hal itu menjadi petunjuk yang kuat bahwa sistem yang tidak berjalan dengan baik.

Dean H. Nielsen dalam sebuah tulisannya menyoroti kegagalan usaha besar-besaran yang

Profesi Guru di Simpang Jalan 5


dilakukan pemerintah Indonesia dalam memperbaiki pendidikan dasar melalui perubahan pendi-

dikan guru yang diawali pada 1990-an, seperti peningkatan pendidikan calon guru SD ke tingkat per-

guruan tinggi, sertifikasi pada lebih 1 juta guru, mengorganisasikan guru dalam kelompok-kelompok

kerja untuk memberikan dukungan profesional dan pendidikan pada masa kerja di tingkat lokal, serta

sistem kredit promosi berbasis kinerja (Nielsen, H Dean: 2006).

Menurut Nielsen, semua upaya itu menjadi sia-sia karena lingkungan birokrasi dalam negara

birokrasi otoriatarian, di antaranya budaya teknokratik dalam birokrasi yang lebih menekankan pada

pertumbuhan yang cepat berdasarkan ukuran-ukuran kuantitatif. Akibatnya, kata Nielsen, pencapa-

ian tujuan yang bersifat kuantitatif itu diasumsikan akan mengantarkan perubahan kualitatif akan

tetapi dalam banyak hal justru menghancurkannya.

Catatan yang menarik diberikan pula oleh anthropolog pendidikan Christopher Bjork yang

selama beberapa tahun melakukan riset tentang guru di Indonesia. Bjork menyoroti kegagalan refor-

masi guru di Indonesia berakar pada budaya pengajaran dalam sistem birokrasi otoritarian yang lebih

menekankan pada kepatuhan daripada sebagai agen perubahan di kelas (Bjork, Christopher: 2013).

Memberikan sekolah lebih banyak uang atau memperbaiki kualitas pelatihan guru, kata Bjork, tidak

akan menghasilkan reformasi fundamental kualitas pengajaran dan pembelajaran, yakni budaya pen-

gajaran. Sebelum perubahan bermakna dapat terjadi, kata Bjork, kultur mengajar harus dibentuk

ulang agar sesuai dengan ideal yang mendasari visi tentang sistem pendidikan.

Untuk tidak mengulang kegagalan di masa lalu, upaya menata ulang pendidikan dan pengem-

bangan profesi guru perlu dilakukan dengan bersungguh-sungguh mendengarkan suara dan kepent-

ingan guru, bukan upaya perubahan yang ditentukan sepihak dari atas ke bawah, menempatkan guru

sebagai objek dalam projek-projek pengujian dan pelatihan, serta menciptakan sistem tata kelola

yang membuat guru dalam suasana was-was dan takut diawasi. Sebagai awal dari upaya itu, maka

kajian ini disusun pertama-tama dengan melibatkan dan mendengarkan suara guru.

Kajian ini disusun berdasarkan wawancara mendalam dan diskusi-diskusi terfokus yang mel-

ibatkan guru-guru di lapangan, aktivis organisasi guru, pejabat pemerintahan di bidang pendidikan

di Pusat dan daerah, serta para ahli pendidikan yang dilakukan di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.

Hasil wawancara dan diskusi kemudian diolah dengan dipadukan dengan riset kepustakaan dan pen-

elusuran data yang relevan. Laporan ini akan dibagi dalam empat bagian, yakni Rekrutmen dan Pen-

didikan Calon Guru, Status dan Kesejahteraan Guru, Kepangkatan dan Pengembangan Karir Guru,

6 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


Ketimpangan Persebaran Guru, Politisasi Guru: Desentralisasi atau Resentralisasi, ditutup dengan

Rekomendasi.

Rerutmen dan Pendidikan Calon Guru


Tantangan yang dihadapi saat ini, setelah hak untuk memperoleh akses pendidikan dasar secara

kuantitatif dapat dipenuhi, adalah meningkatkan kualitas pendidikan. Ini berarti perlu ada strategi

besar untuk membangun sistem rekrutmen dan pendidikan persiapan menjadi guru, pengemban-

gan karir dan pendidikan berkelanjutan bagi guru, dan kesejahteraan guru. Di negara-negara yang

pendidikannya berada pada peringkat teratas, kualitas pengajaran dijamin melalui pendidikan calon

guru yang berkualitas tinggi, penggajian yang kompetitif, pendampingan untuk guru-guru pemula,

kesempatan yang luas untuk belajar selama berkarir, dan keterlibatan guru dalam pengembangan

kurikulum, penilaian dan pengambilan keputusan dalam dunia pendidikan (Darling-Hammond, Linda

Dkk: 2010). Oleh karena itu sangat krusial untuk mendapatkan orang-orang yang tepat untuk bekerja

menjadi guru dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkembang sebagi para pengajar

yang efektif.

Sistem rekrutmen dan pendidikan guru semestinya didesain untuk melahirkan guru-guru yang

tidak hanya memiliki repertoar yang luas dalam kelas tetapi guru mampu bersikap menghadapi kom-

pleksitas dunia pendidikan dan menjadi aktor-aktor perubahan baik di unit terkecil sekolah maupun

di lingkungan pendidikan di tingkat lokal, nasional. Di sinilah perlunya otoritas dan akuntabilitas guru

perlu dikembangkan secara bersamaan.

Pembenahan rekrutmen dan penataan ulang pendidikan calon guru merupakan hal yang

mendesak dilakukan sejak hilir. Pertama-tama hal itu mesti dijalankan memperbaiki kualitas calon

mahasiswa yang akan masuk ke sekolah guru. Di sejumlah negara yang berhasil membangun sistem

pendidikan yang baik, hanya anak-anak yang memiliki kemampuan akademik terbaik yang masuk

sekolah guru dan kemudian direkrut menjadi guru.

Di Indonesia yang terjadi justru kebalikannya. Meski belum ada studi yang mendalam yang

mengungkap profil anak-anak muda yang masuk sekolah guru dan akhirnya memutuskan profesi guru

sebagai pilihan hidup mereka namun secara umum diketahui bahwa pilihan masuk ke sekolah guru

merupakan pilihan kedua, ketiga, atau bahkan pilihan terakhir lulusan SLTA yang ingin melanjutkan ke

Profesi Guru di Simpang Jalan 7


perguruan tinggi. Data passing grade ujian masuk perguruan tinggi negeri di lima kota Medan, Jakar-

ta, Bandung, Yogyakarta, dan Makassar pada 2015 menunjukkan, program-program studi kependi-

dikan masih berada jauh di bawah program-program studi favorit, seperti di universitas negeri yang

bukan eks-IKIP. Sementara di universitas eks-IKIP, program-program studi kependidikan cenderung

berada di atas passing grade program-program studi nonkependidikan (lihat tabel).

Penyebab utama kurangnya minat lulusan SLTA terbaik masuk ke sekolah guru karena persep-

si gaji guru yang rendah dan kemerosotan status sosial guru di tengah masyarakat. Sejumlah guru

yang kami temui mengakui bahwa kenaikan gaji guru akibat kebijakan pemberian tunjangan sertifi-

kasi meningkatkan animo sebagian anak-anak muda untuk masuk sekolah guru, khususnya di daerah

dan kota-kota kecil. Akan tetapi kebijakan itu belum mampu mengangkat guru menjadi profesi yang

prestisius di kalangan anak-anak muda maupun masyarakat pada umumnya. Di kalangan anak-anak

dari kelas menengah, guru bukanlah profesi yang menjanjikan dan dilirik menjadi pilihan hidup kare-

na kurangnya ruang untuk kebebebasan, kreasi, tempat kerja yang buruk, serta keterbatasan aktual-

isasi dalam profesi dan merupakan citra pekerjaan guru yang syarat dengan kepatuhan.

Kompleksitas persoalan guru yang kita hadapi tidak bisa dilepaskan dari perjalanan pendi-

dikan kita di masa lampau. Massalisasi pendidikan yang dilakukan pada awal pemerintahan Orde Baru

dengan melakukan ekspansi besar-besaran berhasil meningkatkan secara fantastis Angka Partisipasi

Kasar (APK) di tingkat SD dari sekitar 41 persen menjadi di atas 100 persen. Keberhasilan itu diikuti

dengan pencanangan program wajib belajar sembilan tahun pada 1994. Peningkatan secara dramatis

jumlah murid itu melampuai kapasitas sekolah guru untuk melahirkan calon guru yang berkualitas.

Pendidikan Calon Guru: Kesarjanaan Jadi Formalitas


Berdasarkan keyakinan bahwa pendidikan calon guru merupakan kunci pendidikan yang bermutu,

pemerintah melakukan langkah drastis dengan menghapuskan Sekolah Pendidikan Guru setingkat

SLTA dan membuka program Pendidikan Guru SD setingkat Diploma Dua. Persyaratan akademik un-

tuk guru ditingkatkan lagi menjadi setingkat Sarjana sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 14

tahun 2005 tentang guru dan dosen. Tuntutan itu membuat guru berlomba-lomba mengejar gelar

kesarjanaan, termasuk perguruan tinggi swasta yang membuka program studi kependidikan melalui

kelas-kelas jauh dengan menggunakan ruko atau dengan meminjam ruang kelas di SD swasta ataupun

negeri. Ijazah kesarjanaan tidak memperbaiki kualifikasi guru secara substansial, sementara jumlah

8 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


masih ada sekitar 1,6 juta guru yang belum memenuhi persyaratan formal yang seharusnya tuntas

tahun ini.

Pada tahun 1999 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 93 tahun 1999 ten-

tang perubahan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan menjadi universitas, seluruh IKIP lenyap dari

dunia perguruan tinggi Indonesia. IKIP Jakarta, misalnya menjadi Universitas Negeri Jakarta. Dengan

lenyapnya IKIP dan berdasarkan UU Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,

untuk menjadi guru syaratnya bergelar sarjana atau diploma empat bidang apa saja yang kemudian

mengikuti pendidikan profesi guru. Dengan demikian bisa dikatakan model pendidikan guru di Indo-

nesia tidak hanya satu tetapi dua, yaitu : model bersambungan, bersambung (consecutive model),

dan model serempak, simultan (concurrent model). Dan ini bisa dikatakan telah terjadi perubahan

karena, paling tidak sejak adanya pendidikan guru untuk pendidikan dasar dan pendidikan menen-

gah, yaitu sejak dekade 50, pendidikan guru hanya satu model, yaitu model simultan.

Bagaimana dengan negara-negara Eropa, misalnya, Finlandia, Jerman, Inggris dan Perancis?

Jerman pada dasarnya pendidikan guru menjalankan model simultan. Sedangkan Inggris melak-

sanakan model bersambungan (consecutive model) khususnya untuk pendidikan menengah. Swedia

dan Finlandia dikenal dengan menggunakan model simultan dan Perancis menjalankan model ber-

sambung (Ostinelli, Giorgio: 2009).

Berdasarkan data yang kami peroleh, jumlah sekolah yang mendidik calon guru yang sela-

ma ini dikenal dengan sebutan Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) mencapai 415 institusi,

terdiri atas 347 institusi swasta dan 68 institusi negeri negeri, dengan jumlah mahasiswa yang mem-

bengkak sekitar 1 juta orang. Dari jumlah itu, 12 LPTK eks IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan)

menghasilkan kurang lebih 100.000 sarjana pendidikan setiap tahun. Belum ada data pasti berapa

jumlah lulusan LPTK lainnya, tetapi diperkirakan mencapai sekitar 300.000 pertahun. Jumlah ini be-

gitu fantastis bila dibandingkan kebutuhan guru pertahun, yakni sekitar 30.000 orang dengan asumsi

tiap tahun 2,5 hingga 3 persen guru memasuki masa pensiun. Kualitas calon guru yang dihasilkan

LPTK negeri masih bermasalah, apalagi mereka yang dihasilkan LPTK ruko atau kelas jauh yang saat

ini menjamur di mana-mana.

Di Pandeglang yang terletak di ujung timur Provinsi Banten, misalnya, memiliki tidak kurang

empat perguruan tinggi yang menghasilkan guru.

Profesi Guru di Simpang Jalan 9


Kata seorang guru yang bertugas di wilayah itu:

Di Pandeglang ada enam perguruan tinggi. Empat diantaranya menawarkan program


pendidikan. Semua yang mendaftar di program-program studi kependidikan diterima
begitu saja.

Seorang guru di Bandung juga menyatakan pendapat senada:

Banyak LPTK membuka program studi yang justru sudah kelebihan jumlah gurunya.
Seharusnya LPTK hanya membuka program studi sesuai dengan kebutuhan guru di
lapangan. Jadi akan terjadi sinkronisasi antara lulusan LPTK dengan kebutuhan guru.
Saya agak prihatin dengan LPTK. Seharusnya LPTK melahirkan seorang guru tetapi
yang terjadi hanya menghasilkan tukang-tukang mengajar saja.

Inflasi lulusan sekolah guru, kualifikasi lulusan yang rendah selain berimplikasi luas bagi

rekrutmen maupun kegagalan program pengembangan kualitas guru melalui peningkatan kualifikasi

akademik. Laporan Bank Dunia (Chang, Mae Chu: 2014) memberikan konfirmasi bahwa guru-guru

dengan gelar sarjana di Indonesia tidak menunjukkan tingkat pengetahuan tentang materi pelajaran

yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang tidak bergelar sarjana. Laporan tersebut juga

mengemukakan bahwa tidak secara otomatis guru yang meningkat kualifikasi akademisnya berkaitan

dengan kualitas mengajarnya.

Perlu ada keberanian dan kesungguhan bagi pemerintah untuk menata ulang dan mengon-

trol secara ketat keberadaan LPTK. Lembaga-lembaga pendidikan keguruan yang tidak mampu meng-

hasilkan lulusan yang layak menjadi guru harus diawasi dan ditutup bila dalam jangka waktu tertentu

tidak mampu memperbaiki kinerjanya secara signifikan. Sekolah-sekolah guru harus bisa menjamin

semua lulusannya mencapai kemampuan literasi dan numerasi yang disyarakatkan sebagai seorang

guru, serta menguasai pengetahuan dalam bidang studi yang diajarkan selain pengetahuan dan ket-

erampilan pedagogis yang diperlukan. Pemerintah perlu menerapkan lisensi dalam rekrutmen ma-

hasiswa program studi kependidikan berdasarkan sistem kuota sesuai prediksi kebutuhan guru ke

depan. Program-program studi yang ditawarkan mesti cukup luas dan fleksibel, dengan pilihan bidang

studi mayor dan minor, sehingga pada saat menjadi guru ia bisa lebih fleksibel dalam bidang studi

yang diajarkan. Kelulusan dalam penguasaan bidang studi mesti didasarkan pada prinsip ketuntasan

sehingga tidak ada lagi lulusan dengan tingkat pengetahuan bidang studinya berada di bawah standar.

10 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


Reorientasi dan pengetatan yang perlu dilakukan sungguh-sungguh khususnya pada pro-

gram-program studi kependidikan dan keguruan di tingkat Strata 2. Program ini mesti benar-benar

didesain untuk melahirkan guru-guru yang memiliki keahlian dalam bidang studi yang diajarkan dan

dapat menjadi kader-kader untuk perubahan. Hanya perguruan tinggi yang memiliki reputasi prima

dan program studi berakreditasi A yang diperbolehkan menyelenggarakan program studi kependi-

dikan setingkat S2.

Untuk mempercepat lahirnya guru-guru berkualitas, perlu dibuka kesempatan secara selektif

bagi universitas-universitas terbaik non LPTK untuk membuka pendidikan guru bidang-bidang studi

tertentu, seperti sains, matematika. Prinsip ketuntasan bidang studi yang akan menjadi tanggung

jawab mengajar ini akan memudahkan usaha-usaha menjaga dan meningkatkan mutu guru di ma-

sa-masa mendatang dan memungkinkan fokus pendidikan guru pada sepanjang masa berkarir ter-

konsentrasi pada pemutakhiran pengetahuan dan keterampilan praktis mengajar.

Rekrutmen dan Proses Induksi Guru Baru


Undang Undang No 14 tahun 2015 tentang Guru dan Dosen tidak secara tegas mengatur mekanisme

rekrutmen seorang guru. Dalam Undang Undang ini hanya mengatur tentang persyaratan yang harus

dipenuhi dan pengangkatan seorang guru. Seorang yang berhak diangkat menjadi guru adalah mer-

eka yang telah bergelar sarjana dan telah memiliki sertifikat sebagai seorang pendidik. Sedangkan

institusi yang berhak mengangkat guru adalah satuan pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh

pemerintah maupun swasta. Di tingkat swasta yang relatif tidak berimplikasi langsung pada beban an-

ggaran negara, pemerintah cukup memastikan agar perguruan swasta dalam melakukan rekrutmen

dan penangkatan guru mengikuti ketentuan UU Guru dan Dosen serta ketentuan ketenagakerjaan

yang berlaku.

Mekanisme rekrutmen guru di sekolah negeri perlu segera ditata ulang. UU Guru dan Dosen

selain menyebutkan pengangkatan guru negeri dilakukan oleh satuan pendidikan yang diselengga-

rakan pemerintah, dalam pasal lain disebutkan bahwa pengangkatan guru pada satuan pendidikan

yang diselengarakan oleh pemerintah diatur sesuai peraturan perundang-undangan (pasal 25). Di

pasal-pasal lain disebutkan tentang guru yang diangkat oleh pemerintah (pusat) atau pemerintah

daerah (pasal 26 dan pasal 28). Akan tetapi apabila mengacu pada UU 5 tahun 2014 tentang Aparatur

Sipil Negara disebutkan tentang dua kategori aparatur negara, yakni PNS dan pegawai tidak tetap

Profesi Guru di Simpang Jalan 11


atau yang disebut dengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Baik PNS maupun

pegawai tidak tetap diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Di tingkat daerah, Pejabat Pem-

bina Kepegawaian adalah gubernur di tingkat provinsi dan bupati di tingkat kabupaten atau kota.

Akan tetapi dalam praktiknya kepala sekolah yang tidak memiliki kewenangan mengangkat pegawai

sebagaimana ketentuan dalam UU ASN melakukan rekrutmen dan penangkatan guru yang dikenal

sebagai guru honor.

Mekanisme rekrutmen guru sekolah pemerintah saat ini tidak berbeda jauh dari rekrutmen

calon pegawai negeri lainnya, yang lebih condong pada bobot kepegawaian dari pada profesional-

isme guru. Di lain pihak birokrasi yang panjang dalam proses rekrutmen guru PNS, perencanaan kebu-

tuhan tenaga guru yang tidak sinkron dengan kebutuhan riil di tingkat sekolah, mengakibatkan seko-

lah-sekolah negeri melakukan rekrutmen sendiri guru-guru dengan status honorer tanpa aturan dan

standar yang jelas. Dua proses ini bila dibiarkan berjalan terus akan menjadi penghalang peningkatan

mutu guru dan akan menjadi bom waktu di masa mendatang. Pemerintah harus segera menghenti-

kan proses rekrutmen guru sekolah negeri di tingkat sekolah.

Sejumlah guru yang kami temui di lapangan sepakat agar rekrutmen guru diperketat. Rekrut-

men guru pemerintah sebaiknya bukan dari mereka yang baru lulus dari perguruan tinggi. Rekrutmen

guru pegawai negeri sebaiknya dibedakan dengan rekrutmen calon PNS biasa dan harus teruji mam-

pu mengajar di kelas. Untuk itu perlu ada persyaratan calon guru untuk mengikuti program praktik

mengajar dan lolos dari proses evaluasi sebelum diangkat menjadi guru.

Prasyarat akademik untuk menjadi guru, sebagaimana disebutkan dalam UU Guru dan Dosen,

adalah sarjana atau diploma IV tanpa ada ketentuan bahwa mereka harus berasal dari Lembaga Pen-

didikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Dengan demikian tidak ada perbedaan perlakukan antara lu-

lusan perguruan tinggi LPTK atau non LPTK untuk menjadi guru. Pemerintah perlu segera mengatur

pendidikan profesi guru baik yang menempel atau terpisah dari institusi LPTK dengan beban kredit

dan masa studi yang diperlakukan sama. Program pendidikan profesi ini mesti diselenggarakan den-

gan kontrol yang ketat untuk menjamin selama masa ini para calon guru dibekali dengan pengala-

man melakukan pengamatan dan analisis kelas serta pengalaman mengajar dengan mentoring dari

guru-guru yang memiliki pengalaman mengajar yang baik berkolaborasi dengan para pengajar dari

institusi penyelenggara pendidikan profesi.

12 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015

Guru pemula di Indonesia tidak atau belum menjadi perhatian di sekolah-sekolah. Ini terlihat

belum adanya program induksi di sekolah-sekolah, padahal program induksi antara lain merupakan

fase belajar mengajar, atau tempat proses beradaptasi atau transformasi, dan sebagai program (Sha-

ron Feiman-Nemser: 2010). Dalam pengertian yang terakhir induksi memiliki tujuan, kurikulum dan

kegiatan. Dengan demikian dalam pelaksanaan program induksi guru pemula memiliki dua pekerjaan,

yakni mengajar dan belajar mengajar dalam konteks yang khas, artinya belajar mengajar dari pengala-

man yang sangat khusus (Sharon Feiman-Nemser: 2010). Dalam konteks ini program induksi menjadi

sangat penting dilakukan di sekolah-sekolah. Program induksi misalnya di AS untuk membantu guru

pemula menemukan gaya atau pendekatan mengajarnya, dan di Selandia Baru, Swiss, Inggris dan

Singapura lebih dari sekedar membantu guru pemula dalam menghadapi persoalan psikologis, yaitu

memperhatikan pengembangan profesional dan ketrampilan para guru pemula agar menjadi guru

lebih kompeten (Lyn, W. Paine & John R. Schwile: 2010) . Sedangkan di Swiss, dalam program induksi,

guru pemula diminta menuliskan tidak saja refleksi mengenai pengajaran yang dilakukan tetapi juga

pengembangan dirinya sebagai pribadi (Lyn, W. Paine & John R. Schwile: 2010). Dengan demikian

fungsi program induksi, tidak saja melihat apa yang dilakukan guru pemula di sekolah tempat dia

bekerja, tetapi juga berkaitan dengan pendidikan guru (preservice teacher preparation) dan pengem-

bangan guru .

Proses seleksi yang ketat dan sistem pra-jabatan dengan program induksi yang kuat pen-

Profesi Guru di Simpang Jalan 13


gangkatan definitif sebagai guru merupakan langkah yang penting untuk melahirkan guru-guru yang

berkualitas di masa depan. Sistem pengangkatan guru kita belum menyediakan perangkat ini. Bila

sertifikasi merupakan pernyataan bahwa seorang guru dinyatakan memiliki kompetensi mengajar,

program induksi merupakan sebuah proses peralihan ke tempat kerja yang dilakukan pada masa per-

cobaan. Dalam proses ini dalam menjalankan pekerjaannya, seorang guru dibimbing oleh mentor

dan dievaluasi terus-menerus sebelum akhirnya dinyatakan layak untuk menjadi seorang guru. Pada

tahun-tahun awal mengajar, mentoring dan penguatan-penguatan perlu dilakukan secara intensif

untuk mempercepat guru memperoleh keahlian profesionalnya. Apa yang sekarang terjadi, guru-gu-

ru baru yang masih memiliki motivasi belajar dan semangat bekerja tinggi segera dihadapkan pada

lingkungan kerja di sekolah yang kurang menantang sehingga dengan cepat semangat mereka pudar.

Kesulitan yang dihadapi untuk menciptakan sistem induksi yang kuat adalah kelangkaan kepala seko-

lah dan guru-guru pendamping yang memadai.

Status dan Kesejahteraan Guru


Selama hampir hampir satu dasawarsa terakhir terjadi perubahan signifikan dalam kese-

jahteraan guru di Indonesia setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian tunjangan pro-

fesi sebesar satu kali gaji pokok bagi guru yang lolos sertifikasi. Peningkatan kesejahteraan guru ini

merupakan langkah yang penting untuk meningkatkan peningkatan mutu pendidikan, meski seju-

mah studi termasuk yang dilakukan oleh Bank Dunia belum menunjukkan tanda-tanda ke arah itu.

Bagaimanapun guru yang sejahtera dan profesi guru yang dihormati merupakan sebuah keniscayaan

yang selama puluhan tahun diabaikan oleh pemerintah akibat kebijakan pendidikan yang lebih me-

nitikberatkan pada aspek kuantitas. Akan tetapi kebijakan pemberian tunjangan profesi guru secara

keseluruhan belum mampu mengangkat harkat martabat guru di Indonesia karena begitu massifnya

keberadaaan guru non Pegawai Negeri Sipil (PNS) baik di sekolah-sekolah pemerintah maupun swas-

ta. Di lapangan sebutan status guru pun beragam: guru PNS, guru honor sekolah, guru honor daerah,

guru bantu, guru tetap, guru tidak tetap, guru kontrak.

14 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015

Keragaman status guru itu dalam kenyataanya disertai dengan ketimpangan penghasilan guru.

Ada ketimpangan penghasilan berdasarkan status maupun daerah tempat ia bekarja. Guru-guru neg-

eri yang bekerja di daerah-daerah dengan PAD tinggi, seperti Jakarta, cenderung memperoleh gaji

yang lebih tinggi ketimbang di daerah-daerah lain. Guru PNS bersertifikat di Jakarta, misalnya, selain

mendapatkan satu kali gaji pokok, satu kali tunjangan profesi, juga mendapatkan tunjangan kinerja

dari daerah yang besarannya antara Rp 5.480.625 (IIIA) hingga Rp 6.521.250 (IVc-IVe). Akan tetapi

guru honor disekolah negeri dibayar jauh di bawah UMR dan tidak berhak mendapatkan tunjangan

kinerja daerah. Guru honor dibayar berdasarkan jam kerja mengajar dengan perhitungan jam menga-

jar pada minggu pertama. Banyak di antarnya guru honor di daerah yang mengajar bertahun-tahun

dengan penghasilan sekitar 300.000 perbulan.

Taufan, guru SD Andir Kidul di Bandung mengungkapkan, bila untuk guru-guru PNS yang su-

dah memperoleh tunjangan sertifikasi, bisa dikatakan cukup. Akan tetapi untuk guru honor di swasta

ataupun di negeri masih sangat memprihatinkan. Bila ia mengajar 24 jam perminggu dengan honor

perjam Rp 20.000, ia hanya mendapatkan Rp 500.000 perbulan. Penghasilan itu bahkan masih di

bawah upah pembantu rumah tangga. Padahal ia sarjana dan beban mengajarnya juga 24 jam, tidak

ada bedanya dengan guru PNS. Guru-guru honor di sekolah negeri tidak bisa mendapatkan sertifikasi

karena syaratnya harus ada SK dari kepala daerah.

Profesi Guru di Simpang Jalan 15


Hingga saat ini belum ada cetak biru bagaimana persoalan guru honorer dan guru-guru swasta

yang sebagian besar diupah tidak layak ini diselesaikan.

Berdasarkan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dibedakan antara guru yang diangkat

oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah dan guru

yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Guru yang diangkat

oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah mendapat-

kan gaji dari pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan. Sedangkan guru yang diangkat oleh

satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja

atau kesepakatan kerja bersama. Guru-guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselengga-

rakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah atau sekolah negeri digaji oleh sesuai ketentuan pe-

rundang-undangan yang berlaku. Mengacu pada UU 43/1999 tentang Perubahan Atas UU no 8/1974

tentang Pokok-pokok Kepegawaian, ada guru pegawai negeri sipil (PNS) dan ada guru tidak tetap

atau yang selama ini sering disebut sebagai guru honorer. Akan tetapi baik UU 43/1999 maupun UU

5/2014 tentang Aparatur Sipil Negera tidak menjelaskan secara rinci tentang hak dan kewajiban guru

dengan status pegawai tidak tetap ini. UU ASN hanya menyebutkan tentang keberadaan pegawai ti-

dak tetap (PPPK) yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian.

Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015

16 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


Praktik yang terjadi di lapangan terjadi karut-marut tentang keberadaan guru pegawai tidak

tetap di sekolah-sekolah negeri ini. Meskipun selalu dinyatakan bahwa secara nasional jumlah guru di

Indonesia mencukupi dan rasio antara guru dan murid termasuk ideal akan tetapi di lapangan, banyak

sekolah negeri yang mengalami kekurangan guru akibat distribusi guru yang tidak merata. Kekuran-

gan ini diatasi oleh sekolah bersangkutan dengan merekrut guru-guru sendiri, baik dengan surat per-

janjian kerja ataupun tanpa surat perjanjian kerja. Padahal menurut ketentuan perundang-undangan,

kepala sekolah bukan merupakan pejabat pembina kepegawaian. Di tingkat daerah, pejabat pembina

kepegawaian adalah bupati/wali kota untuk atau gubernur. Kepala Sekolah dalam merekrut guru ti-

dak tetap semata-mata hanya mengacu pada kebutuhan jangka pendek, berdasarkan suka atau tidak

suka, tidak didasarkan pada proses rekrutmen yang standar. Praktik pengangkatan guru tidak tetap

oleh sekolah ini seolah-olah dilegalkan dengan adanya ketentuan Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

yang mengizinkan sekolah untuk mengalokasikan 15 persen dana BOS untuk membayar gaji guru.

Karena guru tidak tetap di sekolah negeri ini tidak didasarkan pada perjanjian kerja yang ditandatan-

gani oleh pejabat yang berwenang, dalam hal ini bupati atau gubernur, maka guru-guru honorer di

sekolah negeri tidak bisa mendapatkan tunjangan profesi.

Akibat rekrutmen guru tidak tetap di sekolah negeri yang tidak standar, guru-guru tersebut

hanya diupah seadanya. Tidak ada standar upah bagi guru-guru tidak tetap di sekolah negeri ini.

Beberapa sekolah negeri favorit bisa menggaji guru honorer di atas RP 1 juta tetapi sebagian besar

di bawah Rp 500.000, bahkan ada yang hanya Rp 200.000 hingga Rop 300.000 perbulan. Mereka

bersedia menerima upah jauh di bawah upah untuk hidup layak atau upah minimum regional (UMR)

karena mereka berharap, sesuai dengan pengalaman sebelumnya, suatu saat mereka akan diangkat

menjadi guru PNS.

Guru-guru honorer di sekolah negeri ini sesuai ketentuan pemberian tunjangan sertifikasi ha-

nya boleh mengikuti sertifikasi apabila memiliki perjanjian kontrak kerja yang ditandatangani oleh

bupati atau walikota. Sementara bupati atau walikota sebagai pejabat berwenang untuk mengangkat

guru pegawai tidak tetap karena ketakutan para guru akan menagih upah atau gaji dari pemerin-

tah daerah maka pejabat pembina kepegawaian tidak melakukan perjanjian kontrak. Akibat ketida-

kjelasan ini para guru honor di sekolah-sekolah negeri hanya diupah berdasarkan kebijakan sekolah

yang jumlahnya jauh dari kepantasan. Sebagian guru honorer di sekolah-sekolah negeri menyiasati

ketentuan ini dengan merangkap mengajar di sekolah-sekolah swasta semata-mata dengan tujuan

mendapatkan surat kontrak kerja dari yayasan penyelenggara pendidikan sebagai syarat untuk mem-

Profesi Guru di Simpang Jalan 17


peroleh sertifikasi meskipun penghasilan total mereka tetap berada di bawah standar upah layak.

Agar mendapatkan tunjangan sertifikasi Euis, merangkap sebagai guru honor di SMK Negeri

dan sekolah swasta di Jakarta. Ia mengajar 40 jam seminggu, dengan total pendapatan di bawah Rp 2

juta, jauh di bawah UMP Jakarta yang telah mencapai Rp 3,1 juta. Euis mengaku telah lolos ujian sert-

ifikasi pada 2012 tetapi sampai sekarang masih menggantung karena SK impassing-nya belum keluar.

Euis jauh dari guru-guru PNS di Jakarta yang bisa mencapai belasan juta rupiah karena mendapatkan

tiga komponen gaji berupa 1 kali gaji pokok, 1 kali tunjangan profesi, dan tunjangan dari daerah yang

mencapai Rp 6,1 juta perbulan.

Kata Euis:

Saya mengajar di sekolah yang tidak jauh dari Istana Negara tetapi mengalami mas-
alah yang sama seperti guru-guru honor di daerah terpencil.

Di sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat atau sekolah swasta, tidak ada stan-

dar upah dan ketentuan yang secara tegas yang mengatur tentang hal ini. Ketidakjelasan ini membuat

yayasan pendidikan swasta leluasa memberikan gaji kepada guru-guru yang dipekerjakannya jauh

di bawah ketentuan upah minimum regional. Hanya di sejumlah kecil sekolah swasta yang melayani

pendidikan untuk masyarakat menengah atas yang mampu dan bersedia menggaji guru-gurunya se-

cara layak. Persoalannya, banyak sekolah swasta yang melayani kelompok masyarakat bawah yang ti-

dak dijangkau oleh pelayanan sekolah-sekolah negeri sehingga sumbangan dari masyarakat jauh dari

memadai untuk menutup gaji guru dan biaya operasional mereka. Sementara di yayasan pendidikan

yang besar dan mampu, tidak ada ketentuan yang mengharuskan mereka memberikan upah yang

lebih kepada guru-gurunya.

Berdasarkan wawancara dan FGD yang dilakukan ICW di sejumlah daerah, para guru swasta ini

ada yang memiliki status sebagai guru honorer maupun guru tetap yayasan. Sejumlah yayasan pen-

didikan swasta yang cukup mapan memberikan gaji pokok dan renumerasi lainnya kepada guru-gu-

ru tetap. Akan tetapi sebagian besar guru swasta mendapatkan upah berdasarkan hitungan perjam

mengajar, dengan besaran bervariasi minimal Rp 12.500 per jam mengajar (antara empat sampai lima

kali di depan kelas setiap bulan). Dengan demikian apabila seorang guru mengajar lima jam pelajaran

perhari atau 30 jam pelajaran. Dengan upah sebesar Rp 12.500 perjam, ia akan memperoleh upah Rp

365.000 dengan kewajiban bekerja tiap hari dalam satu bulan.

18 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


Iman, seorang guru honor, yang mengajar di sejumlah sekolah dari tingkat prasekolah hingga

perguruan tinggi swasta di Tasikmalaya mengungkapkan:

Upah guru honor dihitung perjam. Ada yang Rp 10.000 perjam, Rp 12.000, atau Rp
15.000 perjam mengajar. Honor dibayarkan kadang-kadang enam bulan sekali. Itupun
yang cair hanya dua bulan. Honor saya sebulan total Rp 140.000 karena ada jabatan
di bidang kurikulum dan kesiswaan. Kalau honor mengajarnya hanya Rp 40.000 perbu-
lan. Seluruh honor mengajar saya lebih dari 40 jam dari prasekolah, SD, SMK, sampai
sekolah tinggi masih jauh dari UMP Tasik yang sudah mencapai Rp 1.400.000 perbu-
lan.

Guru-guru honorer di sekolah swasta ada yang mengajar dengan perjanjian kerja tetapi ada

yang tidak. Tidak ada upah ketentuan upah standar yang diberikan oleh yayasan pendidikan swasta.

Di banyak sekolah swasta, guru-guru honor yang telah memenuhi persyarakatan mengikuti setifikasi

merasa cukup puas setelah mendapatkan surat kontrak kerja meskipun tidak mendapatkan gaji pokok

bahkan honor dari yayasan. Berbekal dari surat kontrak kerja itu mereka mengikuti sertifikasi dan bila

lolos mereka akan mendapatkan tunjangan profesi dari pemerintah sebesar satu kali gaji pokok ses-

uai ketentuan penyetaraan jabatan dan pangkat guru non PNS (inpassing). Sedangkan bagi guru non

PNS yang belum memiliki keputusan inpassing memperleh tunjangan profesi dari pemerintah sebesar

Rp 1.500.000,00. Guru-guru swasta yang telah memperoleh tunjangan sertifikasi ini kadang-kadang

merelakan haknya atas honorarium perjam mengajar dikembalikan pada yayasan.

Seorang guru di Tasikmalaya mengemukakan, yayasan biasanya dibentuk untuk legalitas

pendirian sekolah. Banyak yayasan bukannya memberikan dukungan anggaran ke sekolah tetapi

malah sebaliknya. Bila sekolah mendapatkan dana BOS atau rehab, yayasan harus mendapatkan seki-
an. Itulah jahatnya yayasan. Rata-rata begitu karena mereka merasa berjasa, sekolah di bawah naun-

gan yayasan.

Berdasarkan praktik seperti ini, tunjangan profesi untuk guru non-PNS di sekolah-sekolah

swasta tidak mampu mengangkat kesejahteraan mereka. Di kota-kota kecil dan pedesaan, penghasi-

lan guru honor yang telah mendapatkan tunjangan sertifikasi hanya berada sedikit di atas atau upah

minimum regional. Di kota-kota besar, upah mereka masih berada di bawah upah minimum regional.

Praktik pengupahan guru honorer berdasarkan hitungan jam mengajar, kecuali bagi mereka

yang hanya mengajar di depan kelas beberapa jam mengajar saja (di bawah 7-10 jam mengajar), san-

gat tidak manusiawi dan merusak sistem kepegawaian atau ketenagakerjaan. Oleh karena itu harus

ada ketentuan yang jelas untuk mengatur keberadaan guru tidak tetap atau guru honorer di sekolah

Profesi Guru di Simpang Jalan 19


negeri maupun guru tetap dan guru tidak tetap di sekolah swasta beserta standar upah untuk mere-

ka. Tunjangan profesi harus dikembalikan pada proporsi semestinya, yakni sebagai tunjangan bukan

sebagai pengganti gaji pokok. Kebijakan ini tentu mesti dikaitkan dengan regulasi dan penataan ulang

sekolah swasta. Kecuali bagi sekolah khusus yang diselenggarakan oleh komunitas dengan tujuan dan

karakter yang khusus, harus diberlakukan ketentuan yang tegas tentang kewajiban penyelenggara

pendidikan untuk memberikan upah sesuai ketentuan ketenagakerjaan yang berlaku.

Sejauh ini tidak ada data yang valid tentang berapa jumlah guru honor di Indonesia. Menurut

Ketua Umum PGRI Sulistiyo jumlah guru yang berada di bawah Kemdikbud mencapai 2.925.676 dan

guru di bawah Kementerian Agama sebanyak 762.222. Sedangkan, jumlah guru honorer mencapai

sekitar 1,4 juta. Menurut data Kemendikbud 2013, di tingkat SD saja terdapat sejumlah 1.441.171

orang guru, sejumlah 489.459 di antaranya adalah guru honor. Berdasarkan studi (Bank Dunia), setiap

sekolah negeri terdapat sekitar 30 persen guru honor, suatu jumlah yang signifikan untuk mempen-

garuhi kinerja pendidikan secara keseluruhan.

Belum ada kebijakan yang jelas dan tegas untuk menyelesaikan persoalan guru honor.

Sejauh ini telah ada kebijakan untuk menyelesaikan guru honor K2, yakni mereka yang telah

bekerja sebagai guru honor sebelum 2006, untuk mendapatkan kesempatan mengikuti seleksi men-

jadi pegawai negeri sipil. Sebagian dari mereka lolos seleksi dan telah diangkat atau dalam status

menunggu pengangkatan sebagai pegawai negeri. Akan tetapi masih ada sekitar 400.000 guru K2

yang tidak lolos. Sementara sekolah terus merekrut guru honor tanpa terkendali sementara ada pen-

umpukan guru di sekolah-sekolah tertentu, khususnya di perkotaan.

Semestinya mereka yang tidak lolos ditetapkan menjadi tenaga tidak tetap. Akan tetapi kare-

na ketidakjelasan kebijakan, guru-guru honorer yang belum memperoleh kejelasan status ini menga-

dakan aksi unjuk rasa di Jakarta dan dijanjikan untuk diangkat menjadi PNS secara bertahap.

Menurut Ade Manadin, jumlah guru honor terus bertambah sampai hari ini. Ini tejadi karena

ada gap antara jumlah guru PNS yang ada dengan kebutuhan di sekolah bersangkutan sehingga se-

kolah merekrut guru sendiri. Di banyak sekolah, justru guru-guru honor ini yang mengajar di depan

kelas. Sehari-hari murid ketemu guru honor. Jadi jangan ada pembicaraan tentang mutu. Gimana mau

memikikran orang lain kalau perutnya saja lapar?

Penyelesaian secara politis seperti ini tidak menyelesaikan akar persoalan. Pengangkatan guru

20 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


honor secara membabi buta selain menimbulkan rasa ketidakadilan juga akan menimbulkan persoalan

kualitas. Tidak bisa dipungkiri, tidak semua guru honor K2 memenuhi kualifikasi untuk menjadi guru

pns. Karena itu proses seleksi harus tetap dijalankan akan tetapi perangkat dan mekanisme seleksinya

perlu disesuaikan sehingga hanya guru-guru yang memenuhi kualifikasi yang diangkat menjadi PNS.

Sedangkan guru-guru yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai guru PNS diangkat menjadi guru tidak

tetap sesuai ketentuan dalam ASN. Guru-guru yang diangkat menjadi pegawai tidak tetap mendapa-

tkan upah di atas upah minimum regional dan mendapatkan hak untuk mengikuti proses sertifikasi.

Untuk mencegah jumlah guru honor yang terus bertambah pertama perlu ada kebijakan un-

tuk menghentikan secara total rekrutmen guru honorer di tingkat sekolah. Guru-guru honorer yang

telah ada harus diregistrasi di tingkat kota/kabupaten/provinsi. Sekolah hanya boleh melaporkan

kekurangan gurunya ke walikota dinas, walikota merekrut guru dengan melibatkan tim dari sekolah

bersangkutan yang diambil dari guru-guru dari sekolah lain yang terdaftar. Mereka di angkat menjadi

pegawai tidak tetap yang diangkat oleh bupati/walikota.

Guru-guru honorer yang ada secara bertahap mengikuti seleksi untuk menjadi guru tidak

tetap yang diangkat oleh bupati/walikota. Yang tidak lolos seleksi diberi waktu hingga jangka waktu

tertentu untuk mengikuti pendidikan secara mandiri atau dibiayai oleh pemeintah di lembaga-lemba-

ga yang terakreditasi serta mengikuti tes hingga lolos. Apabila pada jangka waktu tertentu tidak lolos

mereka diberhentikan sebagai guru.

Pengembangan Karir Guru


Pengembangan berkelanjutan sepanjang masa jabatan dalam wawasan, pengetahuan bidang studi,

dan keterampilan mengajar merupakan tuntutan yang melekat dalam profesi guru. Sertifikasi profesi

hanya merupakan awal bagi seorang guru untuk mengembangkan diri sebagai pengajar profesional.

Sepanjang masa karirnya, seorang guru dituntut untuk terus mengembangkan kompetensinya den-

gan terus mengembangkan pengetahuan baik berkaitan bidang studi yang diajarkan maupun issu-is-

su kekinian, serta menjalankan tugasnya berlandaskan etika profesi, berkomitmen dan menjalankan

tugasnya dengan tanggung jawab. Untuk mendukung pengembangan profesionalnya, kesempatan

perlu diberikan seluas-luasnya untuk mengembangkan kapasitas profesional dan kepemimpinannya

melalui berbagai kegiatan workshop, mentoring, training, dan pertemuan-pertemuan dengan kelom-

pok seprofesi.

Profesi Guru di Simpang Jalan 21


Di sini dituntut tidak saja kemampuan belajar dan komitmen personal tetapi juga lingkungan

kerja yang mendukung, dan sistem pengembangan karir untuk memastikan setiap guru untuk belajar

sepanjang masa pengabdiannya sebagai guru. Guru jatinya adalah pengajar dan pembelajar. Program

pendidikan persiapan guru dan rekrutmen yang lemah merupakan tantangan besar yang harus di-

hadapi dalam pengembangan guru. Sementara peningkatan jenjang akademik yang dipersyaratkan

untuk menjadi guru belum menjamin kualitas guru, masih ada sekitar seperempat dari jumlah total

guru di Indonesia belum memperoleh gelar kesarjanaan.

Mochtar Buchori dalam sebuah artikelnya (Kompas: 2010) mengemukakan tentang perlun-

ya mengubah pemaknaan profesionalitas guru karena perkembangan pengetahuan yang pesat. Bila

definisi kuno profesionalitas meliputi dua hal, penguasaan materi dan kepiawaian belajar harus beru-

bah menjadi kecintaan belajar (love to learning) dan kegemaran berbagi pengetahuan (love for shar-

ing knowledge). Dalam kaitan ini, Buchori mengemukakan pentingnya guru menguasai kemampuan

belajar (learning capability), khususnya melalui membaca buku. Di sinilah persoalan yang besar yang

menjadi penghalang kemajuan guru-guru kita: minimnya akses, minat, dan kemampuan baca.

Kata Mochtar Buchori mengutip ucapan seorang professor Inggris pada 1954:

If you learn from a teacher who still reads, it is like drinking fresh water from a foun-
tain. But if you learn from a teacher who no longer reads, it is like drinking polluted
water from a stagnant pool. Belajar dari guru yang terus membaca, rasanya seperti
minum air segar. Namun, belajar dari guru yang tak lagi membaca, seperti minum air
comberan.

Sekolah yang menjadi tempat bekerja seorang guru semestinya merupakan tempat utama di

mana seorang guru belajar. Akan tetapi lemahnya program induksi, ketiadaan mekanisme mentoring,

lemahnya keterlibatan dan ketidakmampuan kepala sekolah dalam memberikan umpan balik guru

dalam mengajar, tidak adanya kebiasaan guru untuk berbagi pengetahuan dan mendiskusikan buku

di sekolah-sekolah merupakan kenyataan yang dihadapi di sekolah-sekolah kita, bahkan yang berada

di kota-kota besar. Guru-guru yang kami temui di lapangan mengkonfirmasi keadaan ini.

Berbagai upaya dan infrastruktur pengembangan guru telah dilakukan oleh pemerintah dalam

beberapa dasa warsa terakhir. Pada tahun 1990-an pemerintah menyelenggarakan program pengem-

bangan guru dalam proyek Primary Education Quality Improvement Project (PEQIP) yang dilakukan

dengan menggunakan jaringan guru SD untuk memberikan pelatihan-pelatihan pada masa jabatan

22 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


maupun dukungan-dukungan profesional lainnya. Program sejenis juga diciptakan untuk meningkat-

kan kemampuan guru-guru sains dengan mama Science Education Quality Improvement Project (SE-

QIP). Proyek SEQIP yang berlangsung pada 1994 – 2005 melatih tidak kurang 66.000 guru dan 35.000

kepala sekolah dan pengawas dengan menelan dana lebih dari 30 juta Euro.

Berbagai program peningkatan mutu guru telah dilakukan dengan dukungan dana dari nega-

ra-negara donor, seperti Australia, Jepang, ataupun Bank Dunia. Pada 2008-2014, Bank Dunia bersa-

ma pemerintah Belanda menyelenggarakan program peningkatan mutu pendidikan melalui reforma-

si manajemen dan peningkatan mutu guru, BERMUTU. Selain itu dengan dukungan Bank Dunia dan

pemerintah Australia menyelenggarakan program Education System Improvement and Sector Wide

Approach (SISWA) yang bertujuan antara lain untuk memberikan akses kepada sekolah atau kabupat-

en/kota terhadap program-program dan pengetahuan dalam rangka penyebarluasan praktik-praktik

terbaik. Pemerintah Jepang melalui JICA memberikan dukungan penguatan pelatihan guru bidang

matematika dan sains untuk guru-guru sekolah menengah dalam program bernama SISTEMS.

Di samping itu pemerintah juga telah mengembangkan infrastruktur bagi guru-guru untuk

mengembangkan diri melalui pertemuan-pertemuan dengan kelompok seprofesi juga telah dibentuk

dan dikembangkan. Pada tahun 1990-an, Kementerian Pendidikan membentuk jaringan Kelompok

Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di seluruh Indonesia. Sesuai pan-

duan yang dikeluarkan oleh Direkorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Pendidikan

tentang Standar Pengembangan KKG dan MGP (2008), kedua forum ini dibentuk dengan tujuan untuk

memperluas pengetahuan dan keerampilan guru, berbagi pengalaman dan saling memberikan ump-

an balik, dan mengubah budaya kerja guru. Melalui forum ini juga diharapkan terjadi kolaborasi an-

tara kelompok-kelompok guru dan berbagai institusi, termasuk universitas, untuk mengembangkan

pendidikan yang kondusif, efektif, dan menyenangkan.

Akan tetapi dalam praktiknya KKG dan MGMP tidak bisa berperan optimal dalam pengemban-

gan guru. Menurut keterangan para guru, KKG dan MGMP sebagian besar hanya tinggal wadahnya

saja dan tidak banyak berkontribusi banyak dalam peningkatan kualitas guru. Beberapa KKG memang

di Kota Bandung, misalnya, bisa berjalan karena ada orang-orang yang cukup kreatif didalamnya dan

mereka berinisiatif mengundang pengajar dari perguruan tinggi tanpa harus mengeluarkan dana. Da-

lam banyak kasus KKG dan MGMP justru menjadi semacam forum arisan, penyalur penjualan lembar

kerja siswa (LKS) dan soal-soal ulangan umum bersama yang semakin mengurangi otoritas guru da-

Profesi Guru di Simpang Jalan 23


lam melakukan evaluasi pembelajaran. Sejumlah riset juga mengungkapkan ketidakefektifan KKG dan

MGMP. Bahkan dokumen resmi yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan

Tenaga Pendidikan mengungkapkan penilaian yang sama. Menurut dokumen ini, setidaknya ada em-

pat faktor yang menyebabkan rendahnya kinerja KKG/MGMP, yakni terlalu menekankan proses tetapi

kurang memperhatikan hasil, kurangnya kemandirian dan ketergantungan pada birokrasi, kurangnya

akuntabilitas, dan tidak adanya petunjuk kegiatan yang jelas (Direktorat Profesi Pendidik: 2008).

Seorang guru di Garut, Jawa Barat, mengemukakan:

Yang saya rasakan di KKG saya, bila ada guru yang berkualitas, para pejabat di keca-
matan justru merasa kepentingannya terusik. Dalam urusan pembuatan soal Ujian
Akhir Semester atau Kenaikan Kelas, misalnya, menurut juklak-juknis harusnya dibuat
oleh sekolah. Kenyataanya sekolah tidak membuat soal tetapi malah disuruh membeli
dari pengawas yang ada di UPTD. Saat dilihat, soal-soal yang ada hanya copy paste
dari soal-soal yang sudah ada.

Pada masa-masa awal bekerja seorang guru yang menjadi masa pencarian identitas seorang

guru seharusnya menjadi masa di mana seorang guru menunjukkan antusiasime dalam mengajar dan

belajar. Masa-masa menjelang pensiun merupakan masa-masa di mana orang mulai surut dari peker-

jaannya. Dick Rickter Dkk menggabungkan model pengembangan karir guru yang dibuat Huberman

yang ditandai dengan lima tahap perkembangan guru (survival dan penemuan, stabilitasi, eksper-

imentasi/aktivisme dan penilaian ulang, ketenangan dan konservatisme, dan menarik diri) dengan

data empiris survai sekolah dan stafnya di Amerika Serikat (US Schools and Staffing Survey – SASS)
1999-2000 (Richter: 2011).

Gambaran ini sangat berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Guru dan Dosen, batas usia

pensiun seorang guru adalah 60 tahun. Akan tetapi keterbatasan kesempatan guru untuk mengem-

bangkan diri serta tidak berkembangnya sekolah sebagai komunitas belajar bagi guru menyebabkan

semangat dan antusiasme guru dalam bekerja cepat padam. Masa menunggu untuk diangkat men-

jadi pegawai tetap baik sebagai guru tetap yayasan maupun PNS menyebabkan lulusan terbaik dari

sekolah guru tidak berminat berkarir menjadi guru atau mengundurkan diri beberapa saat setelah

mengajar di sekolah.

24 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


Model Pengembangan Karir Guru

Masa Kerja Periode Karakteristik Aktivitas Pengembangan

0 – 3 tahun Survival dan Kelelahan Program induksi formal


Penemuan dan informal

Kewalahan
Sering berpartisipasi
dalam kelompok guru
dalam mentoring atau
Pergulatan dengan observasi oleh rekan
persoalan disiplin sekerja
murid

Banyak mengikuti kofer-


Masa coba-coba ensi dan workshop

Pencapaian dan pen- Mulai berpartisipasi


emuan dalam kelompok guru

Melanjutkan pelati-
han-pelatihan formal
4-6 tahun Stabilisasi Semakin mapan dalam Mengembangkan lebih
profesinya lanjut dan memperbaiki
keterampilan mengajar

7-18 tahun Eksperimentasi Bereksperimen den-


dan Aktivisme gan bahan-bahan dan
strategi pengajaran
yang baru

Terlibat dalam tang-


gung jawab profe-
sional tambahan atau
promosi jabatan
Penilaian ulang Ragu-ragu dan ber-
dan keragu-ra- pikir untuk mening-
guan galkan pekerjaan
19-30 tahun Ketenangan Keterlibatan dan am- Sangat berpengalaman
bisi karir menurun

Sangat tertarik mening-


Penerimaan diri katkan pengetahuan dan
keterampilan
Konservatisme Skeptis terhadap
inovasi

Kritis terhadap kebi-


jakan

Profesi Guru di Simpang Jalan 25


>30 tahun Akhir karir Komitmen dan ambisi Partisipasi yang rendah
karir menurun dalam pelatihan

Memusatkan per-
hatian pada tujuan
personal

Dalam riset yang dilakukan Richter ditemukan indikasi bahwa guru-guru tua cenderung

menurun keterlibatannya dalam pelatihan-pelatihan pada masa jabatan (Richter: 2011). Oleh karena

itu ia menganjurkan perlunya usaha-usaha untuk meningkatkan partisipasi guru-guru tua dan mem-

promosikan pembelajaran guru sepanjang hayat. Ia juga menyarankan agar pengambil kebijakan me-

wajibkan guru untuk mengikuti jumlah jam minimum pelatihan dalam masa tertentu, mendesain

pelatihan-pelatihan dalam topik-topik yang tidak didapatkan di universitas, dan memberikan kesem-

patan bagi guru-guru untuk berbagi dan saling belajar.

Pengembangan guru harus dikaitkan dengan sistem jenjang karir guru yang memungkinkan

setiap guru memilih jalur pengembangan karir yang berbeda. Secara formal, pemerintah telah mem-

buat jalur fungsional guru. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 38 Tahun

2010 tentang Penyesuaian Jabatan Fungsional Guru, jenjang jabatan guru bergerak dari guru perta-

ma, guru muda, guru madya, hingga mencapai guru utama. Birokrasi yang rumit dan kecilnya insentif

untuk kenaikan jenjang jabatan membuat promosi jabatan guru tidak menarik. Akibatnya jenjang

karir guru terkesan sangat sempit dan terbatas pada jalur struktural. Kepala sekolah atau jabatan di

birokrasi pendidikan seolah-olah merupakan satu-satunya jalur peningkatan karir seorang guru.

Kata seorang guru di Bandung:

Jenjang karir guru sangat terbas. Setelah jadi wali kelas, jadi wakil kepala sekolah,
kepala sekolah, kemudian jadi pengawas, setelah itu pensiun. Banyak teman-teman
guru berkualitas tetapi jenjang karir guru terbatas. Semestinya sebelum naik jenjang
harus melalui ujian kompetensi dan diklat. Ini tidak dilakukan sehingga guru banyak
disoroti, kok banyak guru yang kemampuannya begitu-begitu saja, tidak ada pening-
katan.

Dalam FGD yang dihadiri guru, pakar, dan unsur birokrasi pendidikan diusulkan agar karir guru

sebaiknya dikembangkan dalam dua jalur. Jalur pertama adalah jalur struktural. Selain itu jalur yang

nonstruktural di mana guru diberi kesempatan untuk meningkatkan kompetensi keguruannya sesuai

bidang studi masing-masing. Guru-guru yang memiliki kualitas pembelajaran diberi tanggung jawab

untuk mendampingi guru-guru lain di sekolahnya. Ini dikembangkan pada tingkat rayon, kabupaten/

26 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


kota, hingga pada level nasional sebagai guru master. Selain itu perlu pula dikembangkan guru-guru

yang menguasai bidang-bidang studi khusus, seperti di bidang evaluasi, kurikulum, dan lain-lain.

Kenaikan pangkat dan jenjang jabatan tidak semata-mata dikaitkan dengan kinerja tetapi ter-

kait pula dengan peningkatan kompetensi seorang guru. Oleh karena itu perlu diformulasikan kom-

petensi apa saja yang perlu dicapai pada tiap jenjang jabatan. Perlu dikembangkan sistem penilaian

(assesment) yang bersifat online dan terbuka sekaligus dan tidak birokratis yang memungkinkan seti-

ap guru yang telah memenuhi persyaratan kenaikan jabatan secara otomatis dipromosikan ke jabatan

yang lebih tinggi.

Untuk menjamin seorang guru terus mengembangkan diri perlu ditetapkan jumlah minimum

pelatihan yang harus diikuti seorang guru tiap tahun yang diakumulasi sebagai syarat kenaikan jenjang

jabatan. Pelatihan-pelatihan guru disediakan oleh pemerintah, perguruan tinggi, maupun penyeleng-

gara pelatihan nonpemerintah baik yang disediakan oleh organisasi-organisasi guru, asosiasi-asosiasi

guru maupun organisasi swasta lainnya yang terakreditasi. Guru dapat mengikuti pelatihan-pelati-

han yang dibiayai oleh pemerintah atau nonpemerintah, maupun pelatihan-pelatihan yang dibiayai

secara mandiri. Pelatihan-pelatihan guru perlu dikembangkan, baik dalam bentuk tatap muka atau

online, atau penggabungan keduanya.

Ketentuan yang mewajibkan guru untuk membuat karya tulis, sebagai contoh, gagal mening-

katkan kompetensi guru karena kebijakan ini dilakukan sepotong-potong dan tidak disertai dengan

tersedianya pelatihan-pelatihan yang dilakukan secara profesional untuk itu. Akibatnya banyak guru

melakukan jalan pintas, sebagaimana dikemukakan Deny, seorang guru di Pandeglang:

Guru sekarang dituntut menghasilkan karya tulis untuk naik pangkat dan golongan.
Guru-guru sepuh dan senior, jangankan menulis, pegang laptop pun gak paham. Aki-
batnya ini jadi objek oknum-oknum yang membuatkan karya tulis. Ada beberapa
teman saya tertipu sudah setor uang untuk naik pangkat dengan janji karya tulis dib-
uatkan tetapi belum naik pangkat juga.

Secara umum para guru mengeluhkan beban mengajar 24 jam seminggu yang dirasakan ter-

lalu banyak dan tidak melihat realitas yang terjadi di lapangan. Tugas seorang guru tidak hanya men-

gajar di depan kelas tetapi juga melakukan perencanaan belajar, evaluasi, dan mengembangkan pen-

getahuan dan keterampilan mengajar secara berkelanjutan. Keluhan beban mengajar itu tidak saja

dalam jumlahnya tetapi juga karena guru harus mencari sendiri tempat mengajar untuk menutupi

Profesi Guru di Simpang Jalan 27


kekurangan jam mengajar yang hanya diakui bila sesuai dengan bidang studi secara linear. Akibat yang

terjadi di lapangan guru-guru sibuk “ngamen” ke sekolah-sekolah lain, bahkan dalam jarak berjauhan,

demi terpenuhinya tuntutan jumlah jam mengajar. Jumlah jam mengajar guru di depan kelas perlu

dikurangi menjadi 18-20 jam seminggu, diterapkan lebih fleksibel dengan melihat situasi kekurangan

atau kelebihan guru di sekolah dan situasi tiap daerah. Aktivitas lain termasuk pendampingan siswa

dan jumlah jam yang dialokasikan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan, pertemuan-pertemuan un-

tuk pengembangan diri dengan rekan seprofesi baik di tingkat sekolah, KKG-MGMP, maupun asosia-

si-asosiasi profesi dan organisasi guru.

Kekisruhan urusan beban mengajar guru ini digambarkan Asep, seorang guru di Bandung:

Begitu ada kabar guru SMA dan SMK akan ditarik ke proinsi, banyak guru SMP pindah
ke SMA dengan harapan tunjangan guru yang diterima guru provinsi lebih besar dar-
ipada tunjangan yang diterima oleh pemerintah kota. Akibat perpindahan ini banyak
SMP kekurangan guru agama dan guru BP. Di sekolahnya, ada 22 orang guru PNS yang
mengalami pensiun, baru diangkat empat orang. Itupun tidak linear karena salah satu
yang diangkat dari jurusan pertanian dan belum memiliki Akta IV. Setelah diatu-atur
ia mengajar IPA. Setelah penambahan ruang kelas, semua guru dapat memenuhi tun-
tutan 24 jam mengajar sampai menarik guru-guru dari sekolah lain untk menutup
kekurangan jumlah mengajar tanpa mendapatkan honor dari sekolah.

Kata Ade Manadin, kepala UPTD Pendidikan di Kecamatan Pakenjeng, Garut, Jawa Barat:

Beban guru mengajar 24 jam seminggu tidak didasarkan pada pemetaan guru yang jelas dan
hanya melihat sampel di Jakarta saja. Sementara distribusi guru tidak sesuai kebutuhan, guru
harus memenuhi kewajiban 24 jam mengajar. Mata pelajaran yang diampu guru tidak fleksi-
bel, sehingga ketika kurikulum berubah, jam mengajarnya kurang. Kalau tidak memenuhi,
tunjangan sertifikasi dicabut. Akibatnya di lapangan banyak terjadi pembohongan. Guru ha-
rus ngamen dan mencari sekolah sendiri. Ini kan nggak bener.

Terlepas dari segala kritik dan kekurangannya, Uji Kompetensi Guru (UKG) yang telah dan se-

dang dilakukan Kementerian Pendidikan dapat menjadi titik awal untuk pemetaaan posisi kompeten-

si guru saat ini dan menjadi dasar untuk mendesaian program-program pengembangan guru yang

bersifat darurat dalam rangka mengejar standar kualitas minimum (benchmark) kompetensi seorang

guru yang gagal dicapai dalam program sertifikasi guru. Terkait dengan itu substansi dan mekanisme

pengujian perlu diperbaiki alat ujian ini dan mencakup penilaian kualititatif kemampuan guru men-

gajar di depan kelas. Kelulusan uji kompetensi untuk standar kualitas minimum ini merupakan pra-

syarat bagi guru untuk kenaikan pangkat dan jejang jabatan menjadi guru muda. Untuk rekrutmen

28 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


baru, standar minimum ini harus dipenuhi untuk mendapatkan sertifikat mengajar. Guru peneliti ha-

rus dicapai pada tingkat guru madya yang mensyaratkan seorang guru dapat melakukan penelitian

dan mendeseminasikan hasil penelitiannya. Guru utama adalah guru yang mencapai kematangan

dan memiliki kompetensi kepemimpinan pedagogis. Pelatihan-pelatihan disediakan untuk mencapai

kompetensi itu.

No Golongan Jenjang Jenjang


Kepang- Jabatan
katan
1 III/a Penata Guru Per-
Muda tama
2 III/b Penata
Muda I

3 III/c Penata Guru Muda

4 III/d Penata I

5 IV/a Pembina Guru


Madya
6 IV/b Pembina
I
7 IV/c Pembina
Utama
Muda
8 IV/d Pembina Guru Uta-
Utama ma
Madya

9 IV/e Pembina Guru Uta-


Utama ma

Dalam FGD yang dilakukan di Bandung terungkap bahwa tidak ada tindak lanjut dari hasil UKG

yang dilakukan beberapa tahun lalu. Kata seorang guru:

Seharusnya kalau nilai saya sekian, kelemahannya di mana, lalu mendapatkan treat-
ment apa. Program diklat sekarang materinya itu lagi itu lagi. Diklat yang ada selama
ini juga dilakukan sepotong-sepotong, tidak berkelanjutan. Seharusnya setelah diklat,
ada pemantauan tindak lanjutnya.

Untuk memastikan kinerja dan guru mengembangkan diri secara berkelanjutan Perlu adanya

monitoring dan penegakan aturan secara akuntabel dengan menerapkan mekanisme promosi dan

demosi yang bebas dari kepentingan politik. Guru-guru yang berprestasi dan berkinerja baik diper-

lancar promosinya. Guru-guru yang berkinerja buruk diingatkan dan diberi sanki. Namun demikian,

pengembangan karir dalam sistem pengelolaan guru itu harus menghindarkan munculnya rezim kon-

trol yang membuat guru merasa terus diawasi dan dibayang-bayangi sanksi sehingga justru membuat

Profesi Guru di Simpang Jalan 29


suasana kerja yang tidak nyaman.

Ginanjar Hambali, Koordinator Forum Guru Banten mengatakan:


Dalam manajemen guru perlu dibuat suasana yang nyaman dan tidak membuat guru
merasa tertekan, terancam, atau diawasi. Selama ini ada ketakutan guru bila disuper-
visi oleh kepala sekolah atau pengawas. Oleh karena itu perlu dicari metode untuk
membuat guru merasa nyaman dan tidak tertekan saat disupervisi.

Untuk mempercepat reformasi tata kelola guru di Indonesia, pada masa jabatan di atas 20

tahun, kepada guru-guru yang kinerjanya buruk dan berkompetensi rendah ditawarkan atau diminta

pensiun dini. Ini akan memberikan kesempatan yang luas bagi pemerintah untuk mempercepat pem-

baruan sumber daya guru di Indonesia dengan guru-guru muda terpilih yang memiliki kompetensi

dan komitmen tinggi dalam mengembangkan profesionalismenya sebagai seorang guru.

Ketimpangan dan Redistribusi Guru


Distribusi guru yang tidak merata merupakan persoalan serius yang hingga kini belum ter-

pecahkan. Di banyak sekolah, khususnya di daerah pedesaan dan wilayah pinggiran lainnya, terdapat

kekurangan guru dalam jumlah signifikan. Di lain pihak di banyak sekolah di perkotaan, jumlah guru

berlebih. Ketimpangan dalam distribusi terjadi antar sekolah, antar wilayah kabupaten, dan juga an-

tar provinsi. Ketimpangan distribusi guru terjadi juga antara berbagai jenjang pendidikan dan bidang

studi. Kekurangan guru di tingkat sekolah dan respon pemerintah pusat dan daerah yang cenderung

lamban dalam mengisi kekosongan ini mendorong sekolah merekrut guru honorer dengan mengab-
aikan kualifikasi yang telah ditetapkan.

Secara nasional jumlah guru telah mencukupi. Rasio guru dan murid secara nasional juga telah

memadai, bahkan jauh lebih kecil di banding standar internasional. Di Malaysia rasio guru dan murid

1:20, Jepang 1:32, Korea Selatan 1:30. Di Indonesia, rasio guru dan murid secara nasional berkisar

antara 1:18 dan 1:15. Oleh karena itu untuk menjawab masalah kekurangan guru yang dialami di

berbagai tempat seharusnya tidak dilakukan dengan menambah jumlah guru tetapi dengan meredis-

tribusi guru yang sudah ada.

Di Kabupaten Garut, Jawa Barat sebagai contoh, distribusi guru di kota dan di desa sangat

jomplang. Sementara di kota jumlah guru PNS menumpuk, di wilayah pinggiran dan pedesaan jumlah

guru PNS sangat kurang. Di wilayah pedesaan, proporsi antara guru PNS dan honorer imbang, bah-

30 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


kan di beberapa sekolah jumlah guru honor jauh lebih besar. Di Kecamatan Pakenjeng, misalnya, dari

sejumlah 426 guru SD di wilayahnya hanya terdapat 167 guru PNS. Sejumlah 215 di antaranya guru

honor yang dipekerjakan di 41 SD Negeri.

Sebagai upaya penyikapan pesebaran guru yang tidak merata, Pemerintah mengeluarkan

Peraturan bersama 5 Menteri. Dalam peraturan itu disebutkan kewajiban pemerintah daerah dan

pemerintah pusat melakukan penataan dan pemerataan guru. Nyatanya, berdasarkan riset yang tel-

ah dilakukan oleh ICW tentang evaluasi Peraturan Bersama 5 Menteri menyebutkan bahwa sangat

jarang Pemerintah daerah yang mengimplementasikan PPG. Mengingat saat ini telah ada UU No. 23

Tahun 2014 tentang Pemerintah daerah, yang didalamnya mengatur kewenangan Pemerintah pusat

dan Pemerintah daerah dalam melakukan penataan dan pemerataan guru sesuai dengan semangat

desentralisasi, berjenjang. Adalah Pemerintah pusat berwenang memindahkan guru antar provinsi,

pemerintah provinsi berwenang memindahkan guru antar kabupaten/kota dalam provinsi yang sama

dan pemerintah kabupaten/kota berwenang memindahkan guru antar satuan pendidikan dalam ka-

bupaten /kota yang sama. Sehingga keluarnya Peraturan Bersama 5 Menteri menjadi timpang dan

kurang begitu diperhatikan. Selain itu, secara legalitas hukum Perber 5 Menteri cenderung lemah

apabila dibandingkan dengan Undang Undang No 23 Tahun 2014.

Dalam Peraturan Bersama 5 Menteri ini juga telah diatur sanksi yang akan dikenakan apabi-

la Pemerintah daerah tidak mengimplementasikan penataan dan pemerataan guru. Sanksi tersebut

diantaranya ialah sanksi penghentian sebagian maupun seluruh bagian finansial fungsi pendidikan

oleh Pemerintah Pusat sampai dengan sanksi tidak mendapatkan formasi guru PNS bagi pemerintah

daerah.

Implementasi penataan dan pemerataan guru cenderung gagal karena hingga habis masa ber-

lakunya Desember 2013, peraturan ini belum mampu menjawab masalah pesebaran guru yang tidak

merata. Berdasarkan riset ICW, beberapa penyebab kegagalan penataan dan pemerataan guru ter-

kait dengan kebijakan Dana Alokasi Khusus (DAU). Ketika menjawab kebutuhan guru di daerah maka

Pemerintah pusat akan menghitung jumlah DAU bagi Pemerintah daerah tersebut. Logikanya, sema-

kin banyak jumlah guru PNS maka akan semakin banyak jumlah DAU-nya. Dengan demikian rekrut-

men tenaga honorer di sekolah-sekolah gemar dilakukan oleh Pemerintah daerah dengan harapan,

banyaknya tenaga honorer menjadi salah satu pertimbangan Pemerintah pusat untuk mengangkat

menjadi guru PNS sehingga berdampak terhadap perolehan DAU. Selain itu, alasan DAU juga menjadi

Profesi Guru di Simpang Jalan 31


penghambat dilakukannya mutasi antar kabupaten/kota atau provinsi karena seringkali guru yang

sudah dimutasi masih menerima gaji dan tunjangan dari daerah asalnya.

Hal lain yang menyebabkan gagalnya implementasi penataan dan pemerataaan guru adalah

hambatan individual dan keluarga guru. Berdasarkan hasil Teacher Report Cards Kabupaten Buton

2014 menyebutkan alasan guru PNS di sekolah yang kelebihan jumlah guru tidak mau dipindah ke

sekolah yang kekurangan Jumlah Guru adalah 38,1% karena jauh dari keluarga, 4,8% karena tidak

ada fasilitas yang memadai, 42,9% karena sudah nyaman disekolah yang sekarang dan 34,3% karena

sudah dekat dengan pensiun.

Menurut Suparman – guru sebuah SMA di Jakarta mengatakan, pemerataan guru harus

dilakukan dalam jangka panjang. Kegagalan SKB 5 Menteri, kata Suparman, penyelesaiannya masih

tambal sulam. Seolah-olah, kata Suparman, dengan mengirimkan guru ke daerah yang kekurangan

guru semua persoalan selesai.

Ade Manadin, Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Pakenjeng mengemukakan, redistribusi

guru harus dilakukan dengan bijaksana dan dengan memperhatikan kepentingan guru dengan mem-

perhatikan masa kerja dan kepangkatannya. Tidak ada manfaatnya guru-guru yang sudah mau pen-

siun tiba-tiba dipindahkan ke sekolah lain. Di daerah pedesaan, perpindahan guru dalam satu keca-

matan pun bisa sangat menyulitkan bagi guru. Apabila guru yang dipaksa pindah jauh dari rumah

tempat ia tinggal, kata Ade Manadin, biasanya tingkat kehadirannya di sekolah akan rendah. Menurut

dia, redistribusi yang baik harus disertai imbalan (reward), bukan sebagai bentuk hukuman.

Kata Ade Munadin:

Prinsipnya dekatkan guru dengan rumah tempat tinggalnya. Kalau tidak perlu jangan
melakukan mutasi atau rotasi. Kalaupun harus dimutasi, sesuaikan dengan jejang karir
dia. Untuk apa guru yang mau pensiun dimutasi? Saat ini rotasi dan mutasi jadi kebu-
tuhan politik, bukan untuk kebutuhan akademik. Semua itu tidak akan terjadi kalau
dilakukan berdasarkan analisis dan laporan yang benar, ada tim penilai kabupaten, ke-
camatan, sampai sekolah. Lagi-lagi ini soal kejujuran. Mutasi atau rotasi yang dilakukan
sebagai hukuman tidak akan membuat pendidikan lebih baik

32 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


Politisasi Guru: Desentralisasi atau Resentralisasi
Politisasi Guru
Sebagian besar negara maju menempatkan pendidikan dan guru didalamnya sebagai kunci

keberhasilan untuk mewujudkan kesejahteraan. Cerita tentang Amerika, Jepang, Rusia yang mampu

bangkit dari keterpurukan dan berhasil dominan dalam kancah global bermula dari komitmen untuk

memajukan pendidikan. Negara-negara tersebut menempatkan guru dalam posisi istimewa. Mereka

memperoleh kesejahteraan yang layak, mendapat akses untuk mengembangkan kompetensi, hingga

memiliki otoritas yang besar dalam proses belajar mengajar. Guru benar-benar diposisikan sebagai

pahlawan dan tentu saja tanpa diberi embel-embel tanpa tanda jasa.

Sedangkan di Indonesia, perjalanan cerita guru justru muram. Sempat dimuliakan pada era

penjajahan Belanda, guru justru lebih banyak dijadikan sebagai korban politik kekuasaan. Posisi mer-

eka yang strategis, memiliki pengaruh pada peserta didik dan masyarakat, dimanfaatkan untuk men-

yokong kekuasaan.

Pada era Orde Baru, guru dijinakkan melalui penunggalan organisasi. Guru dilarang berpolitik

dan ditempatkan di satu wadah, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang sebenarnya memiliki

relasi yang erat dengan Golongan Karya (Golkar). Pemerintahan orde baru menempatkan guru se-

bagai petugas politik dalam rangka menanamkan ideologi pemerintah kepada peserta didik.

Begitu pula pada era reformasi. Politisasi guru marak menjelang pemilihan umum (pemilihan

presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota legislatif, dan pemilihan kepala daerah dan wakil

kepala daerah). Mereka diberi iming-iming kenaikan pangkat atau tunjangan, di mobilisir untuk ikut

kampanye, bahkan dijadikan sebagai tim pemenangan. Di lain pihak tokoh-tokoh organisasi atau

kelompok-kelompok guru sering melibatkan diri menjadi tim sukses kandidat sebagai batu loncatan

untuk memperoleh jabatan politik atau birokrasi.

Kondisi lebih parah terjadi di daerah. Status dan jabatan guru tidak diukur dari sisi kapasitas,

integritas, dan kualitas dalam menjalankan tugas. Faktor loyalitas seperti bersedia melayani kepala

daerah dan kepala dinas seringkali dijadikan sebagai pertimbangan utama untuk peningkatan karir

dan kesejahteraan. Termasuk terlibat dalam politik praktis memenangkan petahana dalam pemilihan

kepala daerah.

Profesi Guru di Simpang Jalan 33


Mughni Hasan Laksana, seorang guru dari Kabupaten Pandeglang, mengemukakan:

“Kalau di kampung-kampung guru-guru seringkali dijadikan sebagai penyelenggara


pemilihan seperti panitia pemungutan suara atau pengawas pemilihan. Banyak yang sengaja di-
tempatkan sebagai panitia oleh tim sukses atau petahana dengan tujuan memenangkan petaha-
na.”

Akibat politisasi ini, telah menjadi pola umum setiap kali pergantian kepala daerah terjadi

akan disusul dengan pergantian Kepala Dinas Pendidikan beserta pejabat bawahan, dan mutasi guru

besar-besaran. Politisasi ini tidak berhenti di situ. Rekrutmen, promosi, kesejahteraan guru, dan se-

bagainya menjadi ajang politisi baik terkait dengan tujuan kekuasaan, uang, atau suka dan tidak suka.

No Modus Politisasi Guru


1 Memperbanyak pertemuan guru dengan petahana/tim sukses
2 Menjadikan acara guru sebagai ajang sosialisasi petahana
3 Dana BOS untuk membuat spanduk sosialisasi petahana
4 Briefing dan ancaman agar memilih petahana
5 Kapitalisasi program-program pendidikan sebagai bantuan petahana
6 Sosialisasi petahana kepada pemilih pemula (murid SMA atau sederajat)
7 Kandidat menjanjikan promosi jabatan apabila kandidat terpilih
8 Mobilisasi dukungan melalui kepala SKPD Pendidikan

Desentralisasi atau Resentralisasi


Sentralisasi kebijakan dituding sebagai biang keladi keterpurukan pendidikan nasional. Kon-

trol ketat pemerintah pusat telah mengekang kreativitas guru dan peserta didik. Sekaligus mendorong

seragamisasi dan mengabaikan keberagaman di Indonesia. Institusi pendidikan dan guru menjadi

aparat ideologi rezim orde baru yang tengah berkuasa.

Itu sebabnya ketika rezim orde baru runtuh, usulan untuk mendesentralisasi pendidikan mun-

cul sebagai agenda penting. Sistem tersebut dianggap cocok dengan kondisi Indonesia yang beragam.

Selain itu, desentralisasi akan membuat guru memiliki ruang yang lebih luas untuk mengembangkan

kreativitas.

Melalui UU 22/1999 pemerintah menyerahkan sebagian besar kewenangannya termasuk

pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah khususnya pada tingkat kabupaten/kota. Tidak

hanya itu, pada tahun 2002, sekolah pun mendapat limpahan kewenangan yang luar biasa melalui

program manajemen berbasis sekolah (MBS).

34 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


Walau kewenangan dalam penyelenggaraan pendidikan didesentralisasi tetapi pemerintah

pusat masih memiliki otoritas dalam banyak kebijakan termasuk manajemen pengelolaan guru. Be-

berapa keputusan penting seperti rekrutmen, distribusi, peningkatan kapasitas, pemberian gaji dan

tunjangan, serta monitoring dan evaluasi tetap melalui kementrian pendidikan.

Pada sisi lain, pemerintah kabupaten/kota pun diberi otoritas yang serupa. Mereka bisa

merekrut dan mengangkat guru sebelum akhirnya Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan

Reformasi Birokrasi mengambilalih proses seleksi pegawai negeri. Tapi setidaknya pemerintah daerah

tetap memiliki kewenangan dalam mengusulkan formasi kebutuhan calon pegawai. Dalam kebijakan

mutasi, peningkatan mutu, kesejahteraan, dan evaluasi, pemerintah daerah memiliki otoritas yang

lebih besar.

Desentralisasi dalam manajemen pengelolaan guru masih berbau sentralisasi sehingga terjadi

dualisme kebijakan yang menyebabkan munculnya kekacauan. Berbagai masalah dalam rekrutmen,

mutasi, distribusi, peningkatan mutu, kesejahteraan, serta evaluasi merupakan buah dari masalah

tersebut.

No Kebijakan Aturan Kenyataan

(UU Guru dan PP Guru)


1 Pengangkatan 1. Departemen melakukan koordinasi perencanaan ke- 1. Usulan formasi daerah
butuhan Guru secara nasional dalam rangka pengang- dianggap kurang diakomodir
katan dan penempatan Guru sehingga daerah melakukan
rekrutmen guru sendiri.
2. Perencanaan kebutuhan Guru secara nasional Umumnya tanpa didasari
dilakukan dengan mempertimbangkan pemerataan standar yang jelas
Guru antar satuan pendidikan yang diselenggarakan
Pemerintah Daerah dan/atau Masyarakat, antarka- 2. Rekrutmen oleh pemerintah
bupaten atau antarkota, dan antarprovinsi, termasuk daerah sering didasarkan
kebutuhan Guru di Daerah Khusus. pada pertimbangan politis
3. Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan 3. Sekolah bisa melakukan
pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dila- rekrutmen yang disesuaikan
kukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan
dengan standar kualifikasi
pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian
masing-masing sekolah
kerja atau kesepakatan kerja bersama.
4. Rekrutmen oleh sekolah
umumnya tidak disertai
perjanjian kerja
2 Kompetensi 1. Kompetensi guru meliputi ; 1. guru-guru yang diangkat se-
kolah tidak didasarkan pada
a. kompetensi pedagogik pertimbangan kompetensi,
tapi kekerabatan
b. kompetensi kepribadian

c. kompetensi sosial

d. kompetensi profesional yang diperoleh melalui


pendidikan profesi.

Profesi Guru di Simpang Jalan 35


3 Hak/Kese- Guru berhak: 1. Pemerintah daerah dan se-
jahteraan guru kolah umumnya mengandal-
memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup kan pemerintah pusat
minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; mendapa-
tkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas 2. Untuk sekolah, alokasi gaji
dan prestasi kerja; memperoleh perlindungan dalam guru honor diambil dari
melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; dana BOS
memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kom-
petensi; memperoleh dan memanfaatkan sarana dan 3. Penghasilan guru honor/
prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tidak tetap umumnya
tugas keprofesionalan; memiliki kebebasan dalam dibawah UMR
memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan,
penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai 4. Tidak ada perlindungan kerja
dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan bagi guru honor/tidak tetap
perundang-undangan; memperoleh rasa aman dan jami-
nan keselamatan dalam melaksanakan tugas; memiliki
kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan
kebijakan pendidikan; memperoleh kesempatan untuk
mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik
dan kompetensi; dan/atau memperoleh pelatihan dan
pengembangan profesi dalam bidangnya.
4 Penempatan 1. Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerin- 1. Politisasi mutasi guru oleh
dan peminda- tah daerah dapat dipindahtugaskan antarprovinsi, pemerintah daerah teruta-
han antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan maupun ma menjelang dan setelah
antarsatuan pendidikan karena alasan kebutuhan pilkada
satuan pendidikan dan/atau promosi.
2. Untuk guru honorer di
2. Pemindahan Guru yang diangkat oleh Pemerintah institusi pendidikan yang
atau Pemerintah Daerah dilakukan berdasarkan diselenggarakan masyarakat
kebutuhan Guru di tingkat nasional maupun di tingkat biasanya dilakukan karena
daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perun- faktor suka atau tidak suka
dang-undangan.

3. Pemindahan Guru yang diangkat oleh penyelenggara


pendidikan atau satuan pendidikan yang didirikan
Masyarakat baik atas permintaan sendiri maupun
kepentingan penyelenggara pendidikan, dilakukan
berdasarkan Perjanjian Kerja atau Kesepakatan Kerja
Bersama.
5 Pengemban- 1. Guru memiliki kesempatan untuk mengembangkan 1. Pengembangan/peningkatan
gan dan pen- dan meningkatkan Kualifikasi Akademik dan kom- kualitas mengandalkan pro-
ingkatan kual- petensinya, serta untuk memperoleh pelatihan dan gram dari pemerintah pusat.
itas akademik, pengembangan profesi dalam bidangnya. Alasan utamanya berkaitan
kompetensi, dengan anggaran, namun
dan keprofe- 2. Guru yang sudah memenuhi kualifikasi S-1 atau D-IV banyak pula yang tidak
sionalan dapat melakukan pengembangan dan peningkatan faham terkait peningkatan
Kualifikasi Akademik lebih tinggi dari yang ditentukan kualitas guru.

3. Pengembangan dan peningkatan kompetensi bagi 2. Pelatihan/pengembangan


Guru yang sudah memiliki Sertifikat Pendidik dilaku- kapasitas yang bisa dise-
kan dalam rangka menjaga agar kompetensi kepro- diakan pemerintah pusat
fesiannya tetap sesuai dengan perkembangan ilmu terbatas
pengetahuan, teknologi, seni dan budaya dan/atau
olah raga. 3. Sekolah biasanya akan
mengikutsertakan guru PNS
4. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menye- sebagai peserta, sedangkan
diakan anggaran untuk pengembangan dan peningka- guru honor tidak dipriori-
tan Kualifikasi Akademik dan kompetensi taskan

5. Pengembangan dan peningkatan kompetensi Guru


dilakukan melalui sistem pembinaan dan pengemban-
gan keprofesian Guru berkelanjutan yang dikaitkan
dengan perolehan angka kredit jabatan fungsional.

36 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


6 Pembinaan 1. Pembinaan dan pengembangan guru meliputi pembi- 1. Politisasi pembinaan oleh
naan dan pengembangan profesi dan karier. pemerintah daerah/dinas
untuk kepentingan pemili-
2. Pembinaan dan pengembangan profesi guru meliputi han maupun membungkam
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kom- guru-guru kritis.
petensi sosial, dan kompetensi profesional.
2. Pendidikan yang diseleng-
3. Pembinaan dan pengembangan profesi guru dilaku- garakan umumnya tidak
kan melalui jabatan fungsional. memiliki program pembi-
naan untuk guru
4. Pembinaan dan pengembangan karier guru meliputi
penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.

5. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina


dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kom-
petensi guru pada satuan pendidikan yang diseleng-
garakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/
atau masyarakat.
7 Pemberhen- 1. Guru dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatan 1. Guru di institusi pendi-
tian sebagai guru karena: meninggal dunia; mencapai dikan yang diselenggarakan
batas usia pensiun; atas permintaan sendiri; sakit masyarakat tidak memiliki
jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat melak- perjanjian kerja sehingga
sanakan tugas secara terus-menerus selama 12 (dua bisa dengan mudah diber-
belas) bulan; atau hentikan oleh pemilik

2. Berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja


bersama antara guru dan penyelenggara pendidikan

3. Guru dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari


jabatan sebagai guru karena: melanggar sumpah dan
janji jabatan; melanggar perjanjian kerja atau kesepa-
katan kerja bersama; atau

4. Melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas sela-


ma 1 (satu) bulan atau lebih secara terus-menerus

Dalam rekrutmen, walau seleksi calon guru pegawai negeri sipil diambil alih pemerintah pusat,

tapi pemerintah daerah dan sekolah masih bisa menarik guru honorer. Daerah-daerah yang usulan

formasi pegawainya ditolak pemerintah pusat akan mengangkat honorer atau sukarelawan dengan

alasan menutup kekurangan guru. Lebih kacau lagi dalam urusan mutasi. Masalahnya, pertimbangan

untuk melakukan mutasi kerap tidak didasarkan kriteria yang jelas, tapi lebih mengutamakan aspek

politis. Bahkan tidak sedikit kepala daerah yang menggunakan kewenangan dalam mutasi untuk me-

mobilisasi dukungan guru dalam pemilihan umum.

Rizky, seorang guru di Banten mengemukakan,

Bagi kami lebih baik guru diurus di tingkat provinsi daripada kabupaten. Secara politis, guru
akan lebih sulit diganggu. Sekarang ini posisi guru sangat lemah. Kalau tidak mendukung petahana
terancam dimutasi.

Masalah lebih parah juga terjadi dalam mekanisme peningkatan kualitas guru. Pemerintah

daerah cenderung tidak menggunakan kewenangannya. Mereka hanya mengandalkan program-pro-

Profesi Guru di Simpang Jalan 37


gram dari pusat. Tapi pada sisi lain, pemerintah pusat memiliki banyak keterbatasan baik dari sisi

sumber daya maupun sumber dana.

Tumpang tindih kewenangan membuat upaya pemerataan penyebaran dan peningkatan kom-

petensi menjadi terganggu. Oleh karena itu, harus ada kejelasan mengenai pengelola guru. Pemer-

intah akan konsisten menjalankan kebijakan desentralisasi dengan memberikan otoritas sepenuhnya

kepada pemerintah daerah atau menarik kembali (re-setralisasi) pengelolaan guru. Pilihan lain seper-

ti pengelolaan bersama yang diawali oleh pembagian kewenangan yang lebih jelas antara pemerintah

pusat dan daerah juga bisa dijadikan sebagai solusi.

Masalah lain dalam manajemen guru adalah dualisme penyelenggara. Sekolah-sekolah keag-

amaan seperti madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, maupun aliyah dikelola oleh kementrian agama se-

cara terpusat. Mulai dari mekanisme rekrutmen hingga pengawasan menjadi wewenang kementrian

agama. Sentralisasi manajemen membuat proses rekrutmen, distribusi, maupun pemberian tunjun-

gan kesejahteraan lebih terkontrol. Selain itu, guru-guru sekolah keagamaan lebih bebas dari inter-

vensi politik kepala daerah maupun kepala dinas karena mereka di bawah pemerintah pusat. Akan

tetapi dualisme sistem penyelenggaraan pendidikan dan pengelola guru merugikan upaya mencapai

tujuan pendidikan nasional. Begitu pula dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan keag-

amaan, seolah-seolah ada perbedaan antara pelajaran umum dan agama. Dari sisi guru, terjadi per-

lakuan yang berbeda antara guru agama dengan guru di sekolah umum.

Guru-guru yang bernaung di bawah Departemen Agama yang kami temui di lapangan cend-

erung menginginkan agar pengelolaan guru disatukan di bawah satu atap Departemen Pendidikan

Nasional.

Hapidz. seorang guru madrasah di Bantenmengatakan:

Saya sepakat pengelolaan guru disatuatapkan. Harus ada kebijakan yang benar-benar bisa
menyatukan guru, tidak ada lagi kecemburan antara guru yang bernaung di bawah Kementerian
Agama dan Kemendikbud. Untuk guru, diatur saja oleh Kemendikbud. Untuk urusan agamanya bisa
tetap diatur oleh Kementerian Agama

Kesimpulan dan Rekomendasi


Peningkatan kesejahteraan guru melalui kebijakan pemberian tunjangan sertifikasi merupa-

38 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


kan sebuah langkah maju dalam pembaruan tata kelola dan pengembangan guru. Akan tetapi kebi-

jakan ini belum menyentuh sebagian besar guru. Hampir setengah dari jumlah total guru kita, yakni

guru-guru honor dan guru-guru tetap ataupun tidak tetap di sekolah-sekolah swasta masih diupah

jauh di bawah kelayakan. Besarnya proporsi guru yang diupah tidak layak ini, antara 20 sampai 30

persen di sekolah negeri, akan menjadi penghambat utama peningkatan mutu pendidikan secara

keseluruhan.

Penghargaan dan pemberian kompensasi yang tinggi merupakan satu hal yang sangat penting

dalam pengembangan guru akan tetapi tidak berarti apabila tidak diikuti dengan upaya-upaya lain-

nya. Berbagai upaya perbaikan dalam pengembangan guru, baik yang dilakukan melalui peningka-

tan kesejahteraan guru melalui pemberian tunjangan profesi, peningkatan kualifikasi akademik guru,

sertifikasi, uji kompetensi, dan berbagai program pelatihan, maupun pembentukan lelompok-kelom-

pok kerjan sejauh in belum meninggalkan jejak signifikan dalam perbaikan mutu guru. Salah satu

sumber utama kegagalan ini adalah karena upaya-upaya ini lebih dominan merupakan inisiatif dan

desaian dari atas serta kurang melibatkan dan mendengarkan suara guru dan aspek-aspek kultural

dalam soal ini.

Perlu segera disusun sebuah rencana kerja yang komprehensif untuk memperbaiki kualitas

guru dalam jangka menengah dan panjang – melampaui siklus politik lima tahunan -- dari hulu, dim-

ulai dari memperbaiki masukan (intake) sekolah-sekolah guru, memperketat seleksi guru-guru baru,

program induksi yang kuat sampai rencana kerja pengembangan guru yang berkelanjutan yang dikait-

kan dengan program pengembangan karir dan meritokrasi.

Diperlukan adanya peraturan setingkat Peraturan Pemerintah, sebagai payung hukum seka-

ligus berfungsi untuk mengintegrasikan kebijakan dan regulasi terkait tata kelola dan pengembangan

guru baik secara horisontal – antar departemen dan lembaga negara di tingkat Pusat – dan secara

vertikal antara Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, hingga sekolah.

Sejumlah kebijakan yang diperlukan dalam rangka memperbaiki tata kelola dan pengemban-

gan guru:

1. Memperkuat Input Guru:

· Memperbaiki (intake) masukan lembaga-lembaga pendidikan guru dengan mendorong

anak-anak muda yang terbaik masuk ke sekolah guru, termasuk dengan memberikan bea-

Profesi Guru di Simpang Jalan 39


siswa ikatan dinas bagi luluan SLTA yang memiliki kemampuan akademik tinggi dan bermi-

nat menjadi guru dari keluarga kurang mampu.

· Program-program studi keguruan diselenggarakan untuk mendidik calon guru. Input seko-

lah guru adalah mereka yang ingin menjadi guru. Terkait dengan ini perlu ada kontrol kual-

itas yang ketat terhadap penyelenggaraan lembaga-lembaga pendidikan guru. Rekrutmen

program-program studi keguruan dilakukan dengan sistem kuota sesuai prediksi kebutuhan

guru yang ditetapkan oleh pemerintah atau otoritas yang ditunjuk untuk itu. Sekolah-se-

kolah guru harus bisa menjamin lulusannya menguasai kompetensi dasar untuk direkrut

menjadi guru, termasuk penguasaan literasi dan kemampuan belajar secara berkelanjutan.

· Progam-program studi keguruan perlu dibuat lebih fleksibel, dengan studi major dan mi-

nor, yang memungkinkan lulusan untuk mengajar lebih fleksibel satu rumpun bidang studi.

· Secara selektif pemerintah perlu menunjuk sejumlah universitas non LPTK yang unggul

kompetensinya pada bidang-bidang studi tertentu, seperti matematika, sains, dan ilmu so-

sial untuk menyelenggarakan program-program studi pendidikan baik setingkat sarjana I

atau master.

· Program induksi perlu diinstitusionalisasikan dengan melakukan pendampingan dan pela-

tihan-pelatihan kepada guru baru. Pengangkatan seorang guru sebagai pegawai tetap atau

PNS dilakukan setelah yang bersangkutan dinyatakan lolos mengikuti program induksi.

2. Masalah Honor, Guru Swasta, dan Disribusi Guru

· Pemerintah harus segera membuat rencana jangka menengah untuk menyelesaikan per-

soalan kronis guru honor. Perlu ada larangan yang tegas melarang sekolah merekrut guru.

Rekrutmen guru tidak tetap di sekolah negeri dilakukan oleh pemerintah daerah.

· Guru-guru honor K2 di sekolah negeri secara bertahap diangkat sebagai pegawai tidak

tetap yang diangkat oleh kepala daerah. Guru-guru honor K2 yang memenuhi syarat diang-

kat sebagai PNS. Guru-guru tidak tetap yang belum memenuhi standar kompetensi wajib

untuk mengikuti pelatihan-pelatihan dan pendampingan pengembangan kompetensinya

dengan dukungan pemerintah.

40 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


· Dilakukan seleksi ulang secara ketat terhadap guru-guru honor di luar K2. Guru-guru honor

yang layak diangkat secara bertahap sebagai guru tidak tetap atau guru PNS. Guru-guru ti-

dak tetap diberi kesempatan dalam jangka waktu tertentu untuk meningkatkan kompeten-

sinya dengan dukungan pembiayaan dari pemerintah. Apabila dalam batas waktu tertentu

guru-guru tersebut belum mencapai standar yang ditentukan dan tidak lolos seleksi, segera

diberhentikan dengan kompensasi yang pantas.

· Distribusi guru dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan tidak merugikan kepentingan guru.

Mutasi guru dilakukan dengan memperhitungkan masa kerja, golongan jabatan guru, dan

sesuai kepentingan promosi dengan memprioritaskan guru-guru muda dan guru-guru hon-

orer yang diangkat sebagai pegawai tidak tetap atau PNS.

· Sekolah-sekolah swasta wajib mengikuti standar kompetensi calon-calon guru yang direkrut

sebagai guru tetap atau tidak tetap. Sekolah yang diselenggarakan pemerintah wajib mem-

berikan upah kepada guru sesuai ketentuan ketenagakerjaan yang berlaku. Terkait dengan

ini perlu dilakukan restrukturisasi sekolah-sekolah swasta. Sekolah-sekolah swasta yang se-

cara finansial tidak mampu diwajibkan melakukan merger dan/atau apabila dibutuhkan

keberadaanya oleh masyarakat bisa diadopsi oleh pemerintah menjadi sekolah negeri.

3. Jenjang Karir dan Pengembangan Guru pada Masa Jabatan

· Perlu ditinjau kembali kewajiban minimal guru mengajar 24 jam seminggu dengan menye-

suaikan situasi di lapangan. Aktivitas guru dalam pedampingan murid, kegiatan ekstra kuri-

kuler, kegiatan guru dalam pelatihan atau pengembangan diri yang dilakukan di tingkat

sekolah, lokal, atau nasional serta kegiatan dalam komunitas guru, asosiasi profesi, dan

organisasi guru yang terkait dengan pengembangan profesional guru bisa diperhitungkan

sebagai jam mengajar berdasarkan kesepakatan dengan otoritas yang berwenang.

· Guru diwajibkan mengikuti pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah

atau pihak-pihak lain yang sah, atas biaya pemerintah atau pihak ketiga, maupun dibiayai

secara mandiri dalam jumlah jam minimal setiap tahun. Jumlah jam pelatihan itu dapat

diakumulasi sebagai syarat kenaikan jenjang jabatan.

Profesi Guru di Simpang Jalan 41


· Pada tiap jenjang jabatan ditetapkan kualifikasi dan kompetensi seorang guru serta je-

nis-jenis pelatihan yang relevan. Kenaikan jenjang jabatan dilakukan melalui pengujian,

baik secara tertulis maupun lisan.

· Kenaikan jenjang jabatan guru perlu disertai dengan pemberian kompensasi yang menarik.

· Perlu disederhanakan mekanisme penilaian kinerja dan pengurusan kenaikan guru dengan

mengembangkan kenaikan jabatan secara otomatis, penilaian oleh diri sendiri (self assess-

ment) berbasis online sesuai prinsip-prinsip akuntablitas.

· Perlu dikembangkan jalur karir guru, khususnya jalur karir non-struktural. Pada jalur

non-struktural guru diangkat untuk menduduki jabatan sebagai guru pendamping pada

tingkat sekolah, rayon, kabupaten/kota, hingga guru master pada tingkat nasioal.

4. Politisasi dan Desentralisasi dalam Tatakelola Guru

· Harus ditetapkan pilihan kebijakan pemerintah dalam pengelola guru. Pilihannya mem-

perkuat kebijakan desentralisasi dengan cara memastikan agar pemerintah daerah serius

memperkuat dari sisi kompetensi maupun kesejahteraan. Kementrian Pendidikan dan Ke-

budayaan menyediakan panduan yang lebih jelas mengenai mekanisme peningkatan kom-

petensi, monitoring, dan evaluasi guru.

· Pilihan lain adalah re-sentralisasi. Semua kebijakan terkait guru di semua tingkatan diserah-

kan kembali kepada pemerintah pusat

· Pilihan ketiga adalah memperkuat pembagian tugas antara pemerintah pusat, provinsi,

dan kabupaten/kota. Kebijakan terkait rekrutmen, peningkatan kapasitas dan kompetensi

diserahkan kepada pemerintah pusat. Sedangkan distribusi, mutasi, monitoring, dan eval-

uasi diserahkan kepada pemerintah daerah. Untuk kesejahteraan tanggungjawab bersama

pemerintah dan pemerintah daerah.

42 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru


Referensi
Bjork, Christopher. (2013). “Decentralisation in Education, Instutitional Culture and Teacher Autono-
my in Indonesia”. Journal Review of Education, Vol 50, Edisi 3-4.
Chang, Mae Chu Dkk. (2014). Reformasi Guru di Indonesia: Peran Politik dan Bukti dalam Pembua-
tan Kebijakan: Ringkasan Eksekutif. Jakarta: The World Bank.
Direktorat Profesi Pendidik, Direktorat Jenderal Pengembangan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependi-
dikan, Depdiknas. 2008. Standar Pengembangan Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru
Mata Pelajaran (MGMP).
Jaquith, A, A., Mindic, D, et.al. (2010). “Teacher Professional Learning in The United States: Case
Studies of State Policies and Strategies”. Oxford, OH: Learning Forward.
Lyn, W. Paine & John R. Schwile. 2010. “Teacher Induction in International Context”. Dalam Wang Jian,
Odell, Sandra J, dan Clift, Renee T. Past, Present, and Future Research on Teacher Induction. Mary-
land: Littlefield Publishers, Inc.
MochtarBuchori. (2010). “Guru Profesional dan Plagiarisme”. Kompas, 22 Februari, h. 7.
Nielsen, H Dean. (2006). “Reforms to Teacher Education in Indonesia: Does More Mean Better?”. Asia
Pacific Education.
Ostinelli, Giorgio. (2009). “Teacher Education in Italy, German, England, Sweden, and Findland”. Euro-
pean Journal of Education Vol 44, Edisi 2. Juni 2009.
Richter, Dick Dkk. (2011). “Professional Development Across the Teaching Career: Teacher’s Uptake of
Formal and Informal Learning Oppurtunities”. Teaching and Teacher Education. Januari 2011.
Sanders, L William and Rivers, C June. (1996). Cummulative and Residual Effects of Teachers o Future
Academic Achievement. Tenesee: University of Tenessee.
Sharon Feiman-Nemser. 2010. “Multiple Learnings of New Teachers Induction”. Dalam Wang Jian,
Odell, Sandra J, dan Clift, Renee T. Past, Present, and Future Research on Teacher Induction. Mary-
land: Littlefield Publishers, Inc.

Profesi Guru di Simpang Jalan 43


44 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru
Profesi Guru di Simpang Jalan 45
46 Kajian ICW Tentang Tata Kelola Guru

Anda mungkin juga menyukai