Pengantar
Guru merupakan faktor penentu keberhasilan pendidikan. Pengalaman menunjukkan, sistem pendi-
dikan yang paling berhasil di dunia selalu berkorelasi positif dengan penghargaan yang tinggi terha-
dap profesi guru dan keseriusan dalam pengembangan guru. Para pengajar yang tidak saja memiliki
repertoar luas, menguasai pengetahuan pedagogis dan bidang studi yang diajarkan, mampu melaku-
kan observasi kelas dan menangani murid berdasarkan keuningan per individu, menguasai teknik
dan metode mengajar tetapi juga sekaligus mengikuti perkembangan pengetahuan, guru yang kritis,
reflektif, serta menguasai seni berbicara dan komunikasi interpersonal yang baik sangat merupakan
Berbagai upaya telah dilakukan. Akan tetapi, setelah 70 tahun Indonesia merdeka, kita be-
lum berhasil mengangkat harkat-martabat guru menjadi profesi yang berharga tinggi dan menjadi
impian. Guru-guru yang berepertoar luas, guru-guru yang dicintai oleh murid-murid, masih langka di
sekolah-sekolah kita. Tidak sedikit usaha telah dijalankan dan dana dianggarkan pemerintah, terma-
suk reformasi pengembangan guru yang menyeluruh yang dimulai sejak akhir 1980-an. Sayangnya,
semua daya upaya itu hampir tidak meninggalkan jejak bagi kemajuan kualitas guru dan pengajaran
di sekolah-sekolah kita.
Harus diakui bahwa pemerintah telah berupaya serius untuk membenahi persoalan tersebut.
Salah satunya dilakukan dengan menaikkan kesejahteraan guru yang dilakukan dengan memberikan
tunjangan sertifikasi guru sebesar satu kali gaji selama lama hampir satu dasa warsa terakhir. Gaji
guru yang rendah merupakan batu sandungan bagi upaya-upaya pengembangan guru dan perbaikan
kualitas pendidikan. Namun demikian sementara sebagian guru telah memperoleh kenaikan peng-
pun tidak tetap di sekolah-sekolah swasta – masih mendapatkan upah tidak atau sangat tidak layak.
Cakupan dan dimensi masalah yang kita hadapi dalam tata kelola dan pengembangan guru
sungguh luar biasa, yang mempersulit kita untuk berbenah. Jumlah guru yang kita miliki saat ini telah
mencapai jumlah 3.220.345 orang, kurang dari separonya atau sejumlah 1.467.633 berstatus pega-
wai negeri sipil (PNS). Sisanya, sejumlah 1.752.712 guru memiliki status beragam dengan sebutan
guru tidak tetap, guru bantu sekolah, guru honor sekolah dan lain-lainnya. Hanya sejumlah kecil di
antaranya, yakni guru non PNS yang telah tersertifikasi dan guru-guru di sekolah-sekolah swasta pa-
pan atas, yang telah mendapatkan upah layak. Di sisi lain berdasarkan data Kementerian Pendidikan
2012-2013, masih ada sejumlah 888.753 guru yang belum memiliki gelar sarjana. Hasil uji kompetensi
guru (UKG), terlepas dari sejumlah kritik menyangkut perangkat penguji maupun penyelenggaraanya,
mengindikasikan bahwa kompetensi guru-guru kita rata-rata rendah. Data dari Kementerian Pendi-
dikan menyebutkan, dari 1.611.251 guru yang mengikuti ujian kompetensi, hampir 65 persen di an-
Pendidikan yang mengabaikan mutu akan sia-sia. Perbaikan mutu pendidikan akan selalu dih-
adapkan pada kegagalan tanpa upaya perbaikan fundamental dalam tata kelola dan pengembangan
guru. Sejumah studi mengonfirmasi korelasi positif antara guru yang berkualitas dengan prestasi mu-
rid-muridnya. Sanders dan Rivers (1996) dalam penelitiannya “Cummulative and Residual Effect on
Future Academic Achiement” menemukan bahwa murid yang selama tiga tahun diajar oleh 20 persen
terbaik dapat menghasilkan kemajuan dua tahun lebih baik daripada murid yang diajar oleh guru di
20 persen terbawah. Studi itu juga menunjukan bahwa murid-murid yang prestasinya kurang mer-
upakan kelompok yang paling mendapatkan manfaat dengan meningkatnya efektivitas guru, semen-
tara 20 persen guru terbaik peningkatan pencapaian yang sangat baik untuk semua kelompok murid.
ma oleh faktor individual dan ketersediaan sistem pendukung bagi pengembangan guru yang dikait-
kan dengan jenjang karir dan renumerasi. Sebaik apapun kesejahteraan dan sistem penunjang untuk
pengembangan guru disediakan, tetap diperlukan komitmen personal dari setiap guru untuk menuju
puncak keahlian profesionalnya. Di lain pihak, ketiadaan kompetensi dan prestasi guru menjadi se-
buah gejala umum, hal itu menjadi petunjuk yang kuat bahwa sistem yang tidak berjalan dengan baik.
Dean H. Nielsen dalam sebuah tulisannya menyoroti kegagalan usaha besar-besaran yang
dikan guru yang diawali pada 1990-an, seperti peningkatan pendidikan calon guru SD ke tingkat per-
guruan tinggi, sertifikasi pada lebih 1 juta guru, mengorganisasikan guru dalam kelompok-kelompok
kerja untuk memberikan dukungan profesional dan pendidikan pada masa kerja di tingkat lokal, serta
Menurut Nielsen, semua upaya itu menjadi sia-sia karena lingkungan birokrasi dalam negara
birokrasi otoriatarian, di antaranya budaya teknokratik dalam birokrasi yang lebih menekankan pada
pertumbuhan yang cepat berdasarkan ukuran-ukuran kuantitatif. Akibatnya, kata Nielsen, pencapa-
ian tujuan yang bersifat kuantitatif itu diasumsikan akan mengantarkan perubahan kualitatif akan
Catatan yang menarik diberikan pula oleh anthropolog pendidikan Christopher Bjork yang
selama beberapa tahun melakukan riset tentang guru di Indonesia. Bjork menyoroti kegagalan refor-
masi guru di Indonesia berakar pada budaya pengajaran dalam sistem birokrasi otoritarian yang lebih
menekankan pada kepatuhan daripada sebagai agen perubahan di kelas (Bjork, Christopher: 2013).
Memberikan sekolah lebih banyak uang atau memperbaiki kualitas pelatihan guru, kata Bjork, tidak
akan menghasilkan reformasi fundamental kualitas pengajaran dan pembelajaran, yakni budaya pen-
gajaran. Sebelum perubahan bermakna dapat terjadi, kata Bjork, kultur mengajar harus dibentuk
ulang agar sesuai dengan ideal yang mendasari visi tentang sistem pendidikan.
Untuk tidak mengulang kegagalan di masa lalu, upaya menata ulang pendidikan dan pengem-
bangan profesi guru perlu dilakukan dengan bersungguh-sungguh mendengarkan suara dan kepent-
ingan guru, bukan upaya perubahan yang ditentukan sepihak dari atas ke bawah, menempatkan guru
sebagai objek dalam projek-projek pengujian dan pelatihan, serta menciptakan sistem tata kelola
yang membuat guru dalam suasana was-was dan takut diawasi. Sebagai awal dari upaya itu, maka
kajian ini disusun pertama-tama dengan melibatkan dan mendengarkan suara guru.
Kajian ini disusun berdasarkan wawancara mendalam dan diskusi-diskusi terfokus yang mel-
ibatkan guru-guru di lapangan, aktivis organisasi guru, pejabat pemerintahan di bidang pendidikan
di Pusat dan daerah, serta para ahli pendidikan yang dilakukan di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Hasil wawancara dan diskusi kemudian diolah dengan dipadukan dengan riset kepustakaan dan pen-
elusuran data yang relevan. Laporan ini akan dibagi dalam empat bagian, yakni Rekrutmen dan Pen-
didikan Calon Guru, Status dan Kesejahteraan Guru, Kepangkatan dan Pengembangan Karir Guru,
Rekomendasi.
kuantitatif dapat dipenuhi, adalah meningkatkan kualitas pendidikan. Ini berarti perlu ada strategi
besar untuk membangun sistem rekrutmen dan pendidikan persiapan menjadi guru, pengemban-
gan karir dan pendidikan berkelanjutan bagi guru, dan kesejahteraan guru. Di negara-negara yang
pendidikannya berada pada peringkat teratas, kualitas pengajaran dijamin melalui pendidikan calon
guru yang berkualitas tinggi, penggajian yang kompetitif, pendampingan untuk guru-guru pemula,
kesempatan yang luas untuk belajar selama berkarir, dan keterlibatan guru dalam pengembangan
kurikulum, penilaian dan pengambilan keputusan dalam dunia pendidikan (Darling-Hammond, Linda
Dkk: 2010). Oleh karena itu sangat krusial untuk mendapatkan orang-orang yang tepat untuk bekerja
menjadi guru dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkembang sebagi para pengajar
yang efektif.
Sistem rekrutmen dan pendidikan guru semestinya didesain untuk melahirkan guru-guru yang
tidak hanya memiliki repertoar yang luas dalam kelas tetapi guru mampu bersikap menghadapi kom-
pleksitas dunia pendidikan dan menjadi aktor-aktor perubahan baik di unit terkecil sekolah maupun
di lingkungan pendidikan di tingkat lokal, nasional. Di sinilah perlunya otoritas dan akuntabilitas guru
Pembenahan rekrutmen dan penataan ulang pendidikan calon guru merupakan hal yang
mendesak dilakukan sejak hilir. Pertama-tama hal itu mesti dijalankan memperbaiki kualitas calon
mahasiswa yang akan masuk ke sekolah guru. Di sejumlah negara yang berhasil membangun sistem
pendidikan yang baik, hanya anak-anak yang memiliki kemampuan akademik terbaik yang masuk
Di Indonesia yang terjadi justru kebalikannya. Meski belum ada studi yang mendalam yang
mengungkap profil anak-anak muda yang masuk sekolah guru dan akhirnya memutuskan profesi guru
sebagai pilihan hidup mereka namun secara umum diketahui bahwa pilihan masuk ke sekolah guru
merupakan pilihan kedua, ketiga, atau bahkan pilihan terakhir lulusan SLTA yang ingin melanjutkan ke
ta, Bandung, Yogyakarta, dan Makassar pada 2015 menunjukkan, program-program studi kependi-
dikan masih berada jauh di bawah program-program studi favorit, seperti di universitas negeri yang
Penyebab utama kurangnya minat lulusan SLTA terbaik masuk ke sekolah guru karena persep-
si gaji guru yang rendah dan kemerosotan status sosial guru di tengah masyarakat. Sejumlah guru
yang kami temui mengakui bahwa kenaikan gaji guru akibat kebijakan pemberian tunjangan sertifi-
kasi meningkatkan animo sebagian anak-anak muda untuk masuk sekolah guru, khususnya di daerah
dan kota-kota kecil. Akan tetapi kebijakan itu belum mampu mengangkat guru menjadi profesi yang
prestisius di kalangan anak-anak muda maupun masyarakat pada umumnya. Di kalangan anak-anak
dari kelas menengah, guru bukanlah profesi yang menjanjikan dan dilirik menjadi pilihan hidup kare-
na kurangnya ruang untuk kebebebasan, kreasi, tempat kerja yang buruk, serta keterbatasan aktual-
isasi dalam profesi dan merupakan citra pekerjaan guru yang syarat dengan kepatuhan.
Kompleksitas persoalan guru yang kita hadapi tidak bisa dilepaskan dari perjalanan pendi-
dikan kita di masa lampau. Massalisasi pendidikan yang dilakukan pada awal pemerintahan Orde Baru
dengan melakukan ekspansi besar-besaran berhasil meningkatkan secara fantastis Angka Partisipasi
Kasar (APK) di tingkat SD dari sekitar 41 persen menjadi di atas 100 persen. Keberhasilan itu diikuti
dengan pencanangan program wajib belajar sembilan tahun pada 1994. Peningkatan secara dramatis
jumlah murid itu melampuai kapasitas sekolah guru untuk melahirkan calon guru yang berkualitas.
pemerintah melakukan langkah drastis dengan menghapuskan Sekolah Pendidikan Guru setingkat
SLTA dan membuka program Pendidikan Guru SD setingkat Diploma Dua. Persyaratan akademik un-
tuk guru ditingkatkan lagi menjadi setingkat Sarjana sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 14
tahun 2005 tentang guru dan dosen. Tuntutan itu membuat guru berlomba-lomba mengejar gelar
kesarjanaan, termasuk perguruan tinggi swasta yang membuka program studi kependidikan melalui
kelas-kelas jauh dengan menggunakan ruko atau dengan meminjam ruang kelas di SD swasta ataupun
negeri. Ijazah kesarjanaan tidak memperbaiki kualifikasi guru secara substansial, sementara jumlah
tahun ini.
Pada tahun 1999 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 93 tahun 1999 ten-
tang perubahan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan menjadi universitas, seluruh IKIP lenyap dari
dunia perguruan tinggi Indonesia. IKIP Jakarta, misalnya menjadi Universitas Negeri Jakarta. Dengan
lenyapnya IKIP dan berdasarkan UU Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
untuk menjadi guru syaratnya bergelar sarjana atau diploma empat bidang apa saja yang kemudian
mengikuti pendidikan profesi guru. Dengan demikian bisa dikatakan model pendidikan guru di Indo-
nesia tidak hanya satu tetapi dua, yaitu : model bersambungan, bersambung (consecutive model),
dan model serempak, simultan (concurrent model). Dan ini bisa dikatakan telah terjadi perubahan
karena, paling tidak sejak adanya pendidikan guru untuk pendidikan dasar dan pendidikan menen-
gah, yaitu sejak dekade 50, pendidikan guru hanya satu model, yaitu model simultan.
Bagaimana dengan negara-negara Eropa, misalnya, Finlandia, Jerman, Inggris dan Perancis?
Jerman pada dasarnya pendidikan guru menjalankan model simultan. Sedangkan Inggris melak-
sanakan model bersambungan (consecutive model) khususnya untuk pendidikan menengah. Swedia
dan Finlandia dikenal dengan menggunakan model simultan dan Perancis menjalankan model ber-
Berdasarkan data yang kami peroleh, jumlah sekolah yang mendidik calon guru yang sela-
ma ini dikenal dengan sebutan Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) mencapai 415 institusi,
terdiri atas 347 institusi swasta dan 68 institusi negeri negeri, dengan jumlah mahasiswa yang mem-
bengkak sekitar 1 juta orang. Dari jumlah itu, 12 LPTK eks IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan)
menghasilkan kurang lebih 100.000 sarjana pendidikan setiap tahun. Belum ada data pasti berapa
jumlah lulusan LPTK lainnya, tetapi diperkirakan mencapai sekitar 300.000 pertahun. Jumlah ini be-
gitu fantastis bila dibandingkan kebutuhan guru pertahun, yakni sekitar 30.000 orang dengan asumsi
tiap tahun 2,5 hingga 3 persen guru memasuki masa pensiun. Kualitas calon guru yang dihasilkan
LPTK negeri masih bermasalah, apalagi mereka yang dihasilkan LPTK ruko atau kelas jauh yang saat
Di Pandeglang yang terletak di ujung timur Provinsi Banten, misalnya, memiliki tidak kurang
Banyak LPTK membuka program studi yang justru sudah kelebihan jumlah gurunya.
Seharusnya LPTK hanya membuka program studi sesuai dengan kebutuhan guru di
lapangan. Jadi akan terjadi sinkronisasi antara lulusan LPTK dengan kebutuhan guru.
Saya agak prihatin dengan LPTK. Seharusnya LPTK melahirkan seorang guru tetapi
yang terjadi hanya menghasilkan tukang-tukang mengajar saja.
Inflasi lulusan sekolah guru, kualifikasi lulusan yang rendah selain berimplikasi luas bagi
rekrutmen maupun kegagalan program pengembangan kualitas guru melalui peningkatan kualifikasi
akademik. Laporan Bank Dunia (Chang, Mae Chu: 2014) memberikan konfirmasi bahwa guru-guru
dengan gelar sarjana di Indonesia tidak menunjukkan tingkat pengetahuan tentang materi pelajaran
yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang tidak bergelar sarjana. Laporan tersebut juga
mengemukakan bahwa tidak secara otomatis guru yang meningkat kualifikasi akademisnya berkaitan
Perlu ada keberanian dan kesungguhan bagi pemerintah untuk menata ulang dan mengon-
trol secara ketat keberadaan LPTK. Lembaga-lembaga pendidikan keguruan yang tidak mampu meng-
hasilkan lulusan yang layak menjadi guru harus diawasi dan ditutup bila dalam jangka waktu tertentu
tidak mampu memperbaiki kinerjanya secara signifikan. Sekolah-sekolah guru harus bisa menjamin
semua lulusannya mencapai kemampuan literasi dan numerasi yang disyarakatkan sebagai seorang
guru, serta menguasai pengetahuan dalam bidang studi yang diajarkan selain pengetahuan dan ket-
erampilan pedagogis yang diperlukan. Pemerintah perlu menerapkan lisensi dalam rekrutmen ma-
hasiswa program studi kependidikan berdasarkan sistem kuota sesuai prediksi kebutuhan guru ke
depan. Program-program studi yang ditawarkan mesti cukup luas dan fleksibel, dengan pilihan bidang
studi mayor dan minor, sehingga pada saat menjadi guru ia bisa lebih fleksibel dalam bidang studi
yang diajarkan. Kelulusan dalam penguasaan bidang studi mesti didasarkan pada prinsip ketuntasan
sehingga tidak ada lagi lulusan dengan tingkat pengetahuan bidang studinya berada di bawah standar.
gram-program studi kependidikan dan keguruan di tingkat Strata 2. Program ini mesti benar-benar
didesain untuk melahirkan guru-guru yang memiliki keahlian dalam bidang studi yang diajarkan dan
dapat menjadi kader-kader untuk perubahan. Hanya perguruan tinggi yang memiliki reputasi prima
dan program studi berakreditasi A yang diperbolehkan menyelenggarakan program studi kependi-
Untuk mempercepat lahirnya guru-guru berkualitas, perlu dibuka kesempatan secara selektif
bagi universitas-universitas terbaik non LPTK untuk membuka pendidikan guru bidang-bidang studi
tertentu, seperti sains, matematika. Prinsip ketuntasan bidang studi yang akan menjadi tanggung
jawab mengajar ini akan memudahkan usaha-usaha menjaga dan meningkatkan mutu guru di ma-
sa-masa mendatang dan memungkinkan fokus pendidikan guru pada sepanjang masa berkarir ter-
rekrutmen seorang guru. Dalam Undang Undang ini hanya mengatur tentang persyaratan yang harus
dipenuhi dan pengangkatan seorang guru. Seorang yang berhak diangkat menjadi guru adalah mer-
eka yang telah bergelar sarjana dan telah memiliki sertifikat sebagai seorang pendidik. Sedangkan
institusi yang berhak mengangkat guru adalah satuan pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun swasta. Di tingkat swasta yang relatif tidak berimplikasi langsung pada beban an-
ggaran negara, pemerintah cukup memastikan agar perguruan swasta dalam melakukan rekrutmen
dan penangkatan guru mengikuti ketentuan UU Guru dan Dosen serta ketentuan ketenagakerjaan
yang berlaku.
Mekanisme rekrutmen guru di sekolah negeri perlu segera ditata ulang. UU Guru dan Dosen
selain menyebutkan pengangkatan guru negeri dilakukan oleh satuan pendidikan yang diselengga-
rakan pemerintah, dalam pasal lain disebutkan bahwa pengangkatan guru pada satuan pendidikan
yang diselengarakan oleh pemerintah diatur sesuai peraturan perundang-undangan (pasal 25). Di
pasal-pasal lain disebutkan tentang guru yang diangkat oleh pemerintah (pusat) atau pemerintah
daerah (pasal 26 dan pasal 28). Akan tetapi apabila mengacu pada UU 5 tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara disebutkan tentang dua kategori aparatur negara, yakni PNS dan pegawai tidak tetap
pegawai tidak tetap diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Di tingkat daerah, Pejabat Pem-
bina Kepegawaian adalah gubernur di tingkat provinsi dan bupati di tingkat kabupaten atau kota.
Akan tetapi dalam praktiknya kepala sekolah yang tidak memiliki kewenangan mengangkat pegawai
sebagaimana ketentuan dalam UU ASN melakukan rekrutmen dan penangkatan guru yang dikenal
Mekanisme rekrutmen guru sekolah pemerintah saat ini tidak berbeda jauh dari rekrutmen
calon pegawai negeri lainnya, yang lebih condong pada bobot kepegawaian dari pada profesional-
isme guru. Di lain pihak birokrasi yang panjang dalam proses rekrutmen guru PNS, perencanaan kebu-
tuhan tenaga guru yang tidak sinkron dengan kebutuhan riil di tingkat sekolah, mengakibatkan seko-
lah-sekolah negeri melakukan rekrutmen sendiri guru-guru dengan status honorer tanpa aturan dan
standar yang jelas. Dua proses ini bila dibiarkan berjalan terus akan menjadi penghalang peningkatan
mutu guru dan akan menjadi bom waktu di masa mendatang. Pemerintah harus segera menghenti-
Sejumlah guru yang kami temui di lapangan sepakat agar rekrutmen guru diperketat. Rekrut-
men guru pemerintah sebaiknya bukan dari mereka yang baru lulus dari perguruan tinggi. Rekrutmen
guru pegawai negeri sebaiknya dibedakan dengan rekrutmen calon PNS biasa dan harus teruji mam-
pu mengajar di kelas. Untuk itu perlu ada persyaratan calon guru untuk mengikuti program praktik
mengajar dan lolos dari proses evaluasi sebelum diangkat menjadi guru.
Prasyarat akademik untuk menjadi guru, sebagaimana disebutkan dalam UU Guru dan Dosen,
adalah sarjana atau diploma IV tanpa ada ketentuan bahwa mereka harus berasal dari Lembaga Pen-
didikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Dengan demikian tidak ada perbedaan perlakukan antara lu-
lusan perguruan tinggi LPTK atau non LPTK untuk menjadi guru. Pemerintah perlu segera mengatur
pendidikan profesi guru baik yang menempel atau terpisah dari institusi LPTK dengan beban kredit
dan masa studi yang diperlakukan sama. Program pendidikan profesi ini mesti diselenggarakan den-
gan kontrol yang ketat untuk menjamin selama masa ini para calon guru dibekali dengan pengala-
man melakukan pengamatan dan analisis kelas serta pengalaman mengajar dengan mentoring dari
guru-guru yang memiliki pengalaman mengajar yang baik berkolaborasi dengan para pengajar dari
Guru pemula di Indonesia tidak atau belum menjadi perhatian di sekolah-sekolah. Ini terlihat
belum adanya program induksi di sekolah-sekolah, padahal program induksi antara lain merupakan
fase belajar mengajar, atau tempat proses beradaptasi atau transformasi, dan sebagai program (Sha-
ron Feiman-Nemser: 2010). Dalam pengertian yang terakhir induksi memiliki tujuan, kurikulum dan
kegiatan. Dengan demikian dalam pelaksanaan program induksi guru pemula memiliki dua pekerjaan,
yakni mengajar dan belajar mengajar dalam konteks yang khas, artinya belajar mengajar dari pengala-
man yang sangat khusus (Sharon Feiman-Nemser: 2010). Dalam konteks ini program induksi menjadi
sangat penting dilakukan di sekolah-sekolah. Program induksi misalnya di AS untuk membantu guru
pemula menemukan gaya atau pendekatan mengajarnya, dan di Selandia Baru, Swiss, Inggris dan
Singapura lebih dari sekedar membantu guru pemula dalam menghadapi persoalan psikologis, yaitu
memperhatikan pengembangan profesional dan ketrampilan para guru pemula agar menjadi guru
lebih kompeten (Lyn, W. Paine & John R. Schwile: 2010) . Sedangkan di Swiss, dalam program induksi,
guru pemula diminta menuliskan tidak saja refleksi mengenai pengajaran yang dilakukan tetapi juga
pengembangan dirinya sebagai pribadi (Lyn, W. Paine & John R. Schwile: 2010). Dengan demikian
fungsi program induksi, tidak saja melihat apa yang dilakukan guru pemula di sekolah tempat dia
bekerja, tetapi juga berkaitan dengan pendidikan guru (preservice teacher preparation) dan pengem-
bangan guru .
Proses seleksi yang ketat dan sistem pra-jabatan dengan program induksi yang kuat pen-
berkualitas di masa depan. Sistem pengangkatan guru kita belum menyediakan perangkat ini. Bila
sertifikasi merupakan pernyataan bahwa seorang guru dinyatakan memiliki kompetensi mengajar,
program induksi merupakan sebuah proses peralihan ke tempat kerja yang dilakukan pada masa per-
cobaan. Dalam proses ini dalam menjalankan pekerjaannya, seorang guru dibimbing oleh mentor
dan dievaluasi terus-menerus sebelum akhirnya dinyatakan layak untuk menjadi seorang guru. Pada
tahun-tahun awal mengajar, mentoring dan penguatan-penguatan perlu dilakukan secara intensif
untuk mempercepat guru memperoleh keahlian profesionalnya. Apa yang sekarang terjadi, guru-gu-
ru baru yang masih memiliki motivasi belajar dan semangat bekerja tinggi segera dihadapkan pada
lingkungan kerja di sekolah yang kurang menantang sehingga dengan cepat semangat mereka pudar.
Kesulitan yang dihadapi untuk menciptakan sistem induksi yang kuat adalah kelangkaan kepala seko-
jahteraan guru di Indonesia setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian tunjangan pro-
fesi sebesar satu kali gaji pokok bagi guru yang lolos sertifikasi. Peningkatan kesejahteraan guru ini
merupakan langkah yang penting untuk meningkatkan peningkatan mutu pendidikan, meski seju-
mah studi termasuk yang dilakukan oleh Bank Dunia belum menunjukkan tanda-tanda ke arah itu.
Bagaimanapun guru yang sejahtera dan profesi guru yang dihormati merupakan sebuah keniscayaan
yang selama puluhan tahun diabaikan oleh pemerintah akibat kebijakan pendidikan yang lebih me-
nitikberatkan pada aspek kuantitas. Akan tetapi kebijakan pemberian tunjangan profesi guru secara
keseluruhan belum mampu mengangkat harkat martabat guru di Indonesia karena begitu massifnya
keberadaaan guru non Pegawai Negeri Sipil (PNS) baik di sekolah-sekolah pemerintah maupun swas-
ta. Di lapangan sebutan status guru pun beragam: guru PNS, guru honor sekolah, guru honor daerah,
Keragaman status guru itu dalam kenyataanya disertai dengan ketimpangan penghasilan guru.
Ada ketimpangan penghasilan berdasarkan status maupun daerah tempat ia bekarja. Guru-guru neg-
eri yang bekerja di daerah-daerah dengan PAD tinggi, seperti Jakarta, cenderung memperoleh gaji
yang lebih tinggi ketimbang di daerah-daerah lain. Guru PNS bersertifikat di Jakarta, misalnya, selain
mendapatkan satu kali gaji pokok, satu kali tunjangan profesi, juga mendapatkan tunjangan kinerja
dari daerah yang besarannya antara Rp 5.480.625 (IIIA) hingga Rp 6.521.250 (IVc-IVe). Akan tetapi
guru honor disekolah negeri dibayar jauh di bawah UMR dan tidak berhak mendapatkan tunjangan
kinerja daerah. Guru honor dibayar berdasarkan jam kerja mengajar dengan perhitungan jam menga-
jar pada minggu pertama. Banyak di antarnya guru honor di daerah yang mengajar bertahun-tahun
Taufan, guru SD Andir Kidul di Bandung mengungkapkan, bila untuk guru-guru PNS yang su-
dah memperoleh tunjangan sertifikasi, bisa dikatakan cukup. Akan tetapi untuk guru honor di swasta
ataupun di negeri masih sangat memprihatinkan. Bila ia mengajar 24 jam perminggu dengan honor
perjam Rp 20.000, ia hanya mendapatkan Rp 500.000 perbulan. Penghasilan itu bahkan masih di
bawah upah pembantu rumah tangga. Padahal ia sarjana dan beban mengajarnya juga 24 jam, tidak
ada bedanya dengan guru PNS. Guru-guru honor di sekolah negeri tidak bisa mendapatkan sertifikasi
Berdasarkan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dibedakan antara guru yang diangkat
oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah dan guru
yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Guru yang diangkat
oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah mendapat-
kan gaji dari pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan. Sedangkan guru yang diangkat oleh
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja
atau kesepakatan kerja bersama. Guru-guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselengga-
rakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah atau sekolah negeri digaji oleh sesuai ketentuan pe-
rundang-undangan yang berlaku. Mengacu pada UU 43/1999 tentang Perubahan Atas UU no 8/1974
tentang Pokok-pokok Kepegawaian, ada guru pegawai negeri sipil (PNS) dan ada guru tidak tetap
atau yang selama ini sering disebut sebagai guru honorer. Akan tetapi baik UU 43/1999 maupun UU
5/2014 tentang Aparatur Sipil Negera tidak menjelaskan secara rinci tentang hak dan kewajiban guru
dengan status pegawai tidak tetap ini. UU ASN hanya menyebutkan tentang keberadaan pegawai ti-
tetap di sekolah-sekolah negeri ini. Meskipun selalu dinyatakan bahwa secara nasional jumlah guru di
Indonesia mencukupi dan rasio antara guru dan murid termasuk ideal akan tetapi di lapangan, banyak
sekolah negeri yang mengalami kekurangan guru akibat distribusi guru yang tidak merata. Kekuran-
gan ini diatasi oleh sekolah bersangkutan dengan merekrut guru-guru sendiri, baik dengan surat per-
janjian kerja ataupun tanpa surat perjanjian kerja. Padahal menurut ketentuan perundang-undangan,
kepala sekolah bukan merupakan pejabat pembina kepegawaian. Di tingkat daerah, pejabat pembina
kepegawaian adalah bupati/wali kota untuk atau gubernur. Kepala Sekolah dalam merekrut guru ti-
dak tetap semata-mata hanya mengacu pada kebutuhan jangka pendek, berdasarkan suka atau tidak
suka, tidak didasarkan pada proses rekrutmen yang standar. Praktik pengangkatan guru tidak tetap
oleh sekolah ini seolah-olah dilegalkan dengan adanya ketentuan Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
yang mengizinkan sekolah untuk mengalokasikan 15 persen dana BOS untuk membayar gaji guru.
Karena guru tidak tetap di sekolah negeri ini tidak didasarkan pada perjanjian kerja yang ditandatan-
gani oleh pejabat yang berwenang, dalam hal ini bupati atau gubernur, maka guru-guru honorer di
Akibat rekrutmen guru tidak tetap di sekolah negeri yang tidak standar, guru-guru tersebut
hanya diupah seadanya. Tidak ada standar upah bagi guru-guru tidak tetap di sekolah negeri ini.
Beberapa sekolah negeri favorit bisa menggaji guru honorer di atas RP 1 juta tetapi sebagian besar
di bawah Rp 500.000, bahkan ada yang hanya Rp 200.000 hingga Rop 300.000 perbulan. Mereka
bersedia menerima upah jauh di bawah upah untuk hidup layak atau upah minimum regional (UMR)
karena mereka berharap, sesuai dengan pengalaman sebelumnya, suatu saat mereka akan diangkat
Guru-guru honorer di sekolah negeri ini sesuai ketentuan pemberian tunjangan sertifikasi ha-
nya boleh mengikuti sertifikasi apabila memiliki perjanjian kontrak kerja yang ditandatangani oleh
bupati atau walikota. Sementara bupati atau walikota sebagai pejabat berwenang untuk mengangkat
guru pegawai tidak tetap karena ketakutan para guru akan menagih upah atau gaji dari pemerin-
tah daerah maka pejabat pembina kepegawaian tidak melakukan perjanjian kontrak. Akibat ketida-
kjelasan ini para guru honor di sekolah-sekolah negeri hanya diupah berdasarkan kebijakan sekolah
yang jumlahnya jauh dari kepantasan. Sebagian guru honorer di sekolah-sekolah negeri menyiasati
ketentuan ini dengan merangkap mengajar di sekolah-sekolah swasta semata-mata dengan tujuan
mendapatkan surat kontrak kerja dari yayasan penyelenggara pendidikan sebagai syarat untuk mem-
Agar mendapatkan tunjangan sertifikasi Euis, merangkap sebagai guru honor di SMK Negeri
dan sekolah swasta di Jakarta. Ia mengajar 40 jam seminggu, dengan total pendapatan di bawah Rp 2
juta, jauh di bawah UMP Jakarta yang telah mencapai Rp 3,1 juta. Euis mengaku telah lolos ujian sert-
ifikasi pada 2012 tetapi sampai sekarang masih menggantung karena SK impassing-nya belum keluar.
Euis jauh dari guru-guru PNS di Jakarta yang bisa mencapai belasan juta rupiah karena mendapatkan
tiga komponen gaji berupa 1 kali gaji pokok, 1 kali tunjangan profesi, dan tunjangan dari daerah yang
Kata Euis:
Saya mengajar di sekolah yang tidak jauh dari Istana Negara tetapi mengalami mas-
alah yang sama seperti guru-guru honor di daerah terpencil.
Di sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat atau sekolah swasta, tidak ada stan-
dar upah dan ketentuan yang secara tegas yang mengatur tentang hal ini. Ketidakjelasan ini membuat
yayasan pendidikan swasta leluasa memberikan gaji kepada guru-guru yang dipekerjakannya jauh
di bawah ketentuan upah minimum regional. Hanya di sejumlah kecil sekolah swasta yang melayani
pendidikan untuk masyarakat menengah atas yang mampu dan bersedia menggaji guru-gurunya se-
cara layak. Persoalannya, banyak sekolah swasta yang melayani kelompok masyarakat bawah yang ti-
dak dijangkau oleh pelayanan sekolah-sekolah negeri sehingga sumbangan dari masyarakat jauh dari
memadai untuk menutup gaji guru dan biaya operasional mereka. Sementara di yayasan pendidikan
yang besar dan mampu, tidak ada ketentuan yang mengharuskan mereka memberikan upah yang
Berdasarkan wawancara dan FGD yang dilakukan ICW di sejumlah daerah, para guru swasta ini
ada yang memiliki status sebagai guru honorer maupun guru tetap yayasan. Sejumlah yayasan pen-
didikan swasta yang cukup mapan memberikan gaji pokok dan renumerasi lainnya kepada guru-gu-
ru tetap. Akan tetapi sebagian besar guru swasta mendapatkan upah berdasarkan hitungan perjam
mengajar, dengan besaran bervariasi minimal Rp 12.500 per jam mengajar (antara empat sampai lima
kali di depan kelas setiap bulan). Dengan demikian apabila seorang guru mengajar lima jam pelajaran
perhari atau 30 jam pelajaran. Dengan upah sebesar Rp 12.500 perjam, ia akan memperoleh upah Rp
Upah guru honor dihitung perjam. Ada yang Rp 10.000 perjam, Rp 12.000, atau Rp
15.000 perjam mengajar. Honor dibayarkan kadang-kadang enam bulan sekali. Itupun
yang cair hanya dua bulan. Honor saya sebulan total Rp 140.000 karena ada jabatan
di bidang kurikulum dan kesiswaan. Kalau honor mengajarnya hanya Rp 40.000 perbu-
lan. Seluruh honor mengajar saya lebih dari 40 jam dari prasekolah, SD, SMK, sampai
sekolah tinggi masih jauh dari UMP Tasik yang sudah mencapai Rp 1.400.000 perbu-
lan.
Guru-guru honorer di sekolah swasta ada yang mengajar dengan perjanjian kerja tetapi ada
yang tidak. Tidak ada upah ketentuan upah standar yang diberikan oleh yayasan pendidikan swasta.
Di banyak sekolah swasta, guru-guru honor yang telah memenuhi persyarakatan mengikuti setifikasi
merasa cukup puas setelah mendapatkan surat kontrak kerja meskipun tidak mendapatkan gaji pokok
bahkan honor dari yayasan. Berbekal dari surat kontrak kerja itu mereka mengikuti sertifikasi dan bila
lolos mereka akan mendapatkan tunjangan profesi dari pemerintah sebesar satu kali gaji pokok ses-
uai ketentuan penyetaraan jabatan dan pangkat guru non PNS (inpassing). Sedangkan bagi guru non
PNS yang belum memiliki keputusan inpassing memperleh tunjangan profesi dari pemerintah sebesar
Rp 1.500.000,00. Guru-guru swasta yang telah memperoleh tunjangan sertifikasi ini kadang-kadang
pendirian sekolah. Banyak yayasan bukannya memberikan dukungan anggaran ke sekolah tetapi
malah sebaliknya. Bila sekolah mendapatkan dana BOS atau rehab, yayasan harus mendapatkan seki-
an. Itulah jahatnya yayasan. Rata-rata begitu karena mereka merasa berjasa, sekolah di bawah naun-
gan yayasan.
Berdasarkan praktik seperti ini, tunjangan profesi untuk guru non-PNS di sekolah-sekolah
swasta tidak mampu mengangkat kesejahteraan mereka. Di kota-kota kecil dan pedesaan, penghasi-
lan guru honor yang telah mendapatkan tunjangan sertifikasi hanya berada sedikit di atas atau upah
minimum regional. Di kota-kota besar, upah mereka masih berada di bawah upah minimum regional.
Praktik pengupahan guru honorer berdasarkan hitungan jam mengajar, kecuali bagi mereka
yang hanya mengajar di depan kelas beberapa jam mengajar saja (di bawah 7-10 jam mengajar), san-
gat tidak manusiawi dan merusak sistem kepegawaian atau ketenagakerjaan. Oleh karena itu harus
ada ketentuan yang jelas untuk mengatur keberadaan guru tidak tetap atau guru honorer di sekolah
ka. Tunjangan profesi harus dikembalikan pada proporsi semestinya, yakni sebagai tunjangan bukan
sebagai pengganti gaji pokok. Kebijakan ini tentu mesti dikaitkan dengan regulasi dan penataan ulang
sekolah swasta. Kecuali bagi sekolah khusus yang diselenggarakan oleh komunitas dengan tujuan dan
karakter yang khusus, harus diberlakukan ketentuan yang tegas tentang kewajiban penyelenggara
Sejauh ini tidak ada data yang valid tentang berapa jumlah guru honor di Indonesia. Menurut
Ketua Umum PGRI Sulistiyo jumlah guru yang berada di bawah Kemdikbud mencapai 2.925.676 dan
guru di bawah Kementerian Agama sebanyak 762.222. Sedangkan, jumlah guru honorer mencapai
sekitar 1,4 juta. Menurut data Kemendikbud 2013, di tingkat SD saja terdapat sejumlah 1.441.171
orang guru, sejumlah 489.459 di antaranya adalah guru honor. Berdasarkan studi (Bank Dunia), setiap
sekolah negeri terdapat sekitar 30 persen guru honor, suatu jumlah yang signifikan untuk mempen-
Belum ada kebijakan yang jelas dan tegas untuk menyelesaikan persoalan guru honor.
Sejauh ini telah ada kebijakan untuk menyelesaikan guru honor K2, yakni mereka yang telah
bekerja sebagai guru honor sebelum 2006, untuk mendapatkan kesempatan mengikuti seleksi men-
jadi pegawai negeri sipil. Sebagian dari mereka lolos seleksi dan telah diangkat atau dalam status
menunggu pengangkatan sebagai pegawai negeri. Akan tetapi masih ada sekitar 400.000 guru K2
yang tidak lolos. Sementara sekolah terus merekrut guru honor tanpa terkendali sementara ada pen-
Semestinya mereka yang tidak lolos ditetapkan menjadi tenaga tidak tetap. Akan tetapi kare-
na ketidakjelasan kebijakan, guru-guru honorer yang belum memperoleh kejelasan status ini menga-
dakan aksi unjuk rasa di Jakarta dan dijanjikan untuk diangkat menjadi PNS secara bertahap.
Menurut Ade Manadin, jumlah guru honor terus bertambah sampai hari ini. Ini tejadi karena
ada gap antara jumlah guru PNS yang ada dengan kebutuhan di sekolah bersangkutan sehingga se-
kolah merekrut guru sendiri. Di banyak sekolah, justru guru-guru honor ini yang mengajar di depan
kelas. Sehari-hari murid ketemu guru honor. Jadi jangan ada pembicaraan tentang mutu. Gimana mau
Penyelesaian secara politis seperti ini tidak menyelesaikan akar persoalan. Pengangkatan guru
kualitas. Tidak bisa dipungkiri, tidak semua guru honor K2 memenuhi kualifikasi untuk menjadi guru
pns. Karena itu proses seleksi harus tetap dijalankan akan tetapi perangkat dan mekanisme seleksinya
perlu disesuaikan sehingga hanya guru-guru yang memenuhi kualifikasi yang diangkat menjadi PNS.
Sedangkan guru-guru yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai guru PNS diangkat menjadi guru tidak
tetap sesuai ketentuan dalam ASN. Guru-guru yang diangkat menjadi pegawai tidak tetap mendapa-
tkan upah di atas upah minimum regional dan mendapatkan hak untuk mengikuti proses sertifikasi.
Untuk mencegah jumlah guru honor yang terus bertambah pertama perlu ada kebijakan un-
tuk menghentikan secara total rekrutmen guru honorer di tingkat sekolah. Guru-guru honorer yang
telah ada harus diregistrasi di tingkat kota/kabupaten/provinsi. Sekolah hanya boleh melaporkan
kekurangan gurunya ke walikota dinas, walikota merekrut guru dengan melibatkan tim dari sekolah
bersangkutan yang diambil dari guru-guru dari sekolah lain yang terdaftar. Mereka di angkat menjadi
Guru-guru honorer yang ada secara bertahap mengikuti seleksi untuk menjadi guru tidak
tetap yang diangkat oleh bupati/walikota. Yang tidak lolos seleksi diberi waktu hingga jangka waktu
tertentu untuk mengikuti pendidikan secara mandiri atau dibiayai oleh pemeintah di lembaga-lemba-
ga yang terakreditasi serta mengikuti tes hingga lolos. Apabila pada jangka waktu tertentu tidak lolos
dan keterampilan mengajar merupakan tuntutan yang melekat dalam profesi guru. Sertifikasi profesi
hanya merupakan awal bagi seorang guru untuk mengembangkan diri sebagai pengajar profesional.
Sepanjang masa karirnya, seorang guru dituntut untuk terus mengembangkan kompetensinya den-
gan terus mengembangkan pengetahuan baik berkaitan bidang studi yang diajarkan maupun issu-is-
su kekinian, serta menjalankan tugasnya berlandaskan etika profesi, berkomitmen dan menjalankan
melalui berbagai kegiatan workshop, mentoring, training, dan pertemuan-pertemuan dengan kelom-
pok seprofesi.
kerja yang mendukung, dan sistem pengembangan karir untuk memastikan setiap guru untuk belajar
sepanjang masa pengabdiannya sebagai guru. Guru jatinya adalah pengajar dan pembelajar. Program
pendidikan persiapan guru dan rekrutmen yang lemah merupakan tantangan besar yang harus di-
hadapi dalam pengembangan guru. Sementara peningkatan jenjang akademik yang dipersyaratkan
untuk menjadi guru belum menjamin kualitas guru, masih ada sekitar seperempat dari jumlah total
Mochtar Buchori dalam sebuah artikelnya (Kompas: 2010) mengemukakan tentang perlun-
ya mengubah pemaknaan profesionalitas guru karena perkembangan pengetahuan yang pesat. Bila
definisi kuno profesionalitas meliputi dua hal, penguasaan materi dan kepiawaian belajar harus beru-
bah menjadi kecintaan belajar (love to learning) dan kegemaran berbagi pengetahuan (love for shar-
ing knowledge). Dalam kaitan ini, Buchori mengemukakan pentingnya guru menguasai kemampuan
belajar (learning capability), khususnya melalui membaca buku. Di sinilah persoalan yang besar yang
menjadi penghalang kemajuan guru-guru kita: minimnya akses, minat, dan kemampuan baca.
Kata Mochtar Buchori mengutip ucapan seorang professor Inggris pada 1954:
If you learn from a teacher who still reads, it is like drinking fresh water from a foun-
tain. But if you learn from a teacher who no longer reads, it is like drinking polluted
water from a stagnant pool. Belajar dari guru yang terus membaca, rasanya seperti
minum air segar. Namun, belajar dari guru yang tak lagi membaca, seperti minum air
comberan.
Sekolah yang menjadi tempat bekerja seorang guru semestinya merupakan tempat utama di
mana seorang guru belajar. Akan tetapi lemahnya program induksi, ketiadaan mekanisme mentoring,
lemahnya keterlibatan dan ketidakmampuan kepala sekolah dalam memberikan umpan balik guru
dalam mengajar, tidak adanya kebiasaan guru untuk berbagi pengetahuan dan mendiskusikan buku
di sekolah-sekolah merupakan kenyataan yang dihadapi di sekolah-sekolah kita, bahkan yang berada
di kota-kota besar. Guru-guru yang kami temui di lapangan mengkonfirmasi keadaan ini.
Berbagai upaya dan infrastruktur pengembangan guru telah dilakukan oleh pemerintah dalam
beberapa dasa warsa terakhir. Pada tahun 1990-an pemerintah menyelenggarakan program pengem-
bangan guru dalam proyek Primary Education Quality Improvement Project (PEQIP) yang dilakukan
dengan menggunakan jaringan guru SD untuk memberikan pelatihan-pelatihan pada masa jabatan
kan kemampuan guru-guru sains dengan mama Science Education Quality Improvement Project (SE-
QIP). Proyek SEQIP yang berlangsung pada 1994 – 2005 melatih tidak kurang 66.000 guru dan 35.000
kepala sekolah dan pengawas dengan menelan dana lebih dari 30 juta Euro.
Berbagai program peningkatan mutu guru telah dilakukan dengan dukungan dana dari nega-
ra-negara donor, seperti Australia, Jepang, ataupun Bank Dunia. Pada 2008-2014, Bank Dunia bersa-
si manajemen dan peningkatan mutu guru, BERMUTU. Selain itu dengan dukungan Bank Dunia dan
pemerintah Australia menyelenggarakan program Education System Improvement and Sector Wide
Approach (SISWA) yang bertujuan antara lain untuk memberikan akses kepada sekolah atau kabupat-
terbaik. Pemerintah Jepang melalui JICA memberikan dukungan penguatan pelatihan guru bidang
matematika dan sains untuk guru-guru sekolah menengah dalam program bernama SISTEMS.
Di samping itu pemerintah juga telah mengembangkan infrastruktur bagi guru-guru untuk
mengembangkan diri melalui pertemuan-pertemuan dengan kelompok seprofesi juga telah dibentuk
dan dikembangkan. Pada tahun 1990-an, Kementerian Pendidikan membentuk jaringan Kelompok
Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di seluruh Indonesia. Sesuai pan-
duan yang dikeluarkan oleh Direkorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Pendidikan
tentang Standar Pengembangan KKG dan MGP (2008), kedua forum ini dibentuk dengan tujuan untuk
memperluas pengetahuan dan keerampilan guru, berbagi pengalaman dan saling memberikan ump-
an balik, dan mengubah budaya kerja guru. Melalui forum ini juga diharapkan terjadi kolaborasi an-
tara kelompok-kelompok guru dan berbagai institusi, termasuk universitas, untuk mengembangkan
Akan tetapi dalam praktiknya KKG dan MGMP tidak bisa berperan optimal dalam pengemban-
gan guru. Menurut keterangan para guru, KKG dan MGMP sebagian besar hanya tinggal wadahnya
saja dan tidak banyak berkontribusi banyak dalam peningkatan kualitas guru. Beberapa KKG memang
di Kota Bandung, misalnya, bisa berjalan karena ada orang-orang yang cukup kreatif didalamnya dan
mereka berinisiatif mengundang pengajar dari perguruan tinggi tanpa harus mengeluarkan dana. Da-
lam banyak kasus KKG dan MGMP justru menjadi semacam forum arisan, penyalur penjualan lembar
kerja siswa (LKS) dan soal-soal ulangan umum bersama yang semakin mengurangi otoritas guru da-
MGMP. Bahkan dokumen resmi yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan
Tenaga Pendidikan mengungkapkan penilaian yang sama. Menurut dokumen ini, setidaknya ada em-
pat faktor yang menyebabkan rendahnya kinerja KKG/MGMP, yakni terlalu menekankan proses tetapi
kurang memperhatikan hasil, kurangnya kemandirian dan ketergantungan pada birokrasi, kurangnya
akuntabilitas, dan tidak adanya petunjuk kegiatan yang jelas (Direktorat Profesi Pendidik: 2008).
Yang saya rasakan di KKG saya, bila ada guru yang berkualitas, para pejabat di keca-
matan justru merasa kepentingannya terusik. Dalam urusan pembuatan soal Ujian
Akhir Semester atau Kenaikan Kelas, misalnya, menurut juklak-juknis harusnya dibuat
oleh sekolah. Kenyataanya sekolah tidak membuat soal tetapi malah disuruh membeli
dari pengawas yang ada di UPTD. Saat dilihat, soal-soal yang ada hanya copy paste
dari soal-soal yang sudah ada.
Pada masa-masa awal bekerja seorang guru yang menjadi masa pencarian identitas seorang
guru seharusnya menjadi masa di mana seorang guru menunjukkan antusiasime dalam mengajar dan
belajar. Masa-masa menjelang pensiun merupakan masa-masa di mana orang mulai surut dari peker-
jaannya. Dick Rickter Dkk menggabungkan model pengembangan karir guru yang dibuat Huberman
yang ditandai dengan lima tahap perkembangan guru (survival dan penemuan, stabilitasi, eksper-
imentasi/aktivisme dan penilaian ulang, ketenangan dan konservatisme, dan menarik diri) dengan
data empiris survai sekolah dan stafnya di Amerika Serikat (US Schools and Staffing Survey – SASS)
1999-2000 (Richter: 2011).
Gambaran ini sangat berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Guru dan Dosen, batas usia
pensiun seorang guru adalah 60 tahun. Akan tetapi keterbatasan kesempatan guru untuk mengem-
bangkan diri serta tidak berkembangnya sekolah sebagai komunitas belajar bagi guru menyebabkan
semangat dan antusiasme guru dalam bekerja cepat padam. Masa menunggu untuk diangkat men-
jadi pegawai tetap baik sebagai guru tetap yayasan maupun PNS menyebabkan lulusan terbaik dari
sekolah guru tidak berminat berkarir menjadi guru atau mengundurkan diri beberapa saat setelah
mengajar di sekolah.
Kewalahan
Sering berpartisipasi
dalam kelompok guru
dalam mentoring atau
Pergulatan dengan observasi oleh rekan
persoalan disiplin sekerja
murid
Melanjutkan pelati-
han-pelatihan formal
4-6 tahun Stabilisasi Semakin mapan dalam Mengembangkan lebih
profesinya lanjut dan memperbaiki
keterampilan mengajar
Memusatkan per-
hatian pada tujuan
personal
Dalam riset yang dilakukan Richter ditemukan indikasi bahwa guru-guru tua cenderung
menurun keterlibatannya dalam pelatihan-pelatihan pada masa jabatan (Richter: 2011). Oleh karena
itu ia menganjurkan perlunya usaha-usaha untuk meningkatkan partisipasi guru-guru tua dan mem-
promosikan pembelajaran guru sepanjang hayat. Ia juga menyarankan agar pengambil kebijakan me-
wajibkan guru untuk mengikuti jumlah jam minimum pelatihan dalam masa tertentu, mendesain
pelatihan-pelatihan dalam topik-topik yang tidak didapatkan di universitas, dan memberikan kesem-
Pengembangan guru harus dikaitkan dengan sistem jenjang karir guru yang memungkinkan
setiap guru memilih jalur pengembangan karir yang berbeda. Secara formal, pemerintah telah mem-
buat jalur fungsional guru. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 38 Tahun
2010 tentang Penyesuaian Jabatan Fungsional Guru, jenjang jabatan guru bergerak dari guru perta-
ma, guru muda, guru madya, hingga mencapai guru utama. Birokrasi yang rumit dan kecilnya insentif
untuk kenaikan jenjang jabatan membuat promosi jabatan guru tidak menarik. Akibatnya jenjang
karir guru terkesan sangat sempit dan terbatas pada jalur struktural. Kepala sekolah atau jabatan di
birokrasi pendidikan seolah-olah merupakan satu-satunya jalur peningkatan karir seorang guru.
Jenjang karir guru sangat terbas. Setelah jadi wali kelas, jadi wakil kepala sekolah,
kepala sekolah, kemudian jadi pengawas, setelah itu pensiun. Banyak teman-teman
guru berkualitas tetapi jenjang karir guru terbatas. Semestinya sebelum naik jenjang
harus melalui ujian kompetensi dan diklat. Ini tidak dilakukan sehingga guru banyak
disoroti, kok banyak guru yang kemampuannya begitu-begitu saja, tidak ada pening-
katan.
Dalam FGD yang dihadiri guru, pakar, dan unsur birokrasi pendidikan diusulkan agar karir guru
sebaiknya dikembangkan dalam dua jalur. Jalur pertama adalah jalur struktural. Selain itu jalur yang
nonstruktural di mana guru diberi kesempatan untuk meningkatkan kompetensi keguruannya sesuai
bidang studi masing-masing. Guru-guru yang memiliki kualitas pembelajaran diberi tanggung jawab
untuk mendampingi guru-guru lain di sekolahnya. Ini dikembangkan pada tingkat rayon, kabupaten/
yang menguasai bidang-bidang studi khusus, seperti di bidang evaluasi, kurikulum, dan lain-lain.
Kenaikan pangkat dan jenjang jabatan tidak semata-mata dikaitkan dengan kinerja tetapi ter-
kait pula dengan peningkatan kompetensi seorang guru. Oleh karena itu perlu diformulasikan kom-
petensi apa saja yang perlu dicapai pada tiap jenjang jabatan. Perlu dikembangkan sistem penilaian
(assesment) yang bersifat online dan terbuka sekaligus dan tidak birokratis yang memungkinkan seti-
ap guru yang telah memenuhi persyaratan kenaikan jabatan secara otomatis dipromosikan ke jabatan
Untuk menjamin seorang guru terus mengembangkan diri perlu ditetapkan jumlah minimum
pelatihan yang harus diikuti seorang guru tiap tahun yang diakumulasi sebagai syarat kenaikan jenjang
jabatan. Pelatihan-pelatihan guru disediakan oleh pemerintah, perguruan tinggi, maupun penyeleng-
gara pelatihan nonpemerintah baik yang disediakan oleh organisasi-organisasi guru, asosiasi-asosiasi
guru maupun organisasi swasta lainnya yang terakreditasi. Guru dapat mengikuti pelatihan-pelati-
han yang dibiayai oleh pemerintah atau nonpemerintah, maupun pelatihan-pelatihan yang dibiayai
secara mandiri. Pelatihan-pelatihan guru perlu dikembangkan, baik dalam bentuk tatap muka atau
Ketentuan yang mewajibkan guru untuk membuat karya tulis, sebagai contoh, gagal mening-
katkan kompetensi guru karena kebijakan ini dilakukan sepotong-potong dan tidak disertai dengan
tersedianya pelatihan-pelatihan yang dilakukan secara profesional untuk itu. Akibatnya banyak guru
Guru sekarang dituntut menghasilkan karya tulis untuk naik pangkat dan golongan.
Guru-guru sepuh dan senior, jangankan menulis, pegang laptop pun gak paham. Aki-
batnya ini jadi objek oknum-oknum yang membuatkan karya tulis. Ada beberapa
teman saya tertipu sudah setor uang untuk naik pangkat dengan janji karya tulis dib-
uatkan tetapi belum naik pangkat juga.
Secara umum para guru mengeluhkan beban mengajar 24 jam seminggu yang dirasakan ter-
lalu banyak dan tidak melihat realitas yang terjadi di lapangan. Tugas seorang guru tidak hanya men-
gajar di depan kelas tetapi juga melakukan perencanaan belajar, evaluasi, dan mengembangkan pen-
getahuan dan keterampilan mengajar secara berkelanjutan. Keluhan beban mengajar itu tidak saja
dalam jumlahnya tetapi juga karena guru harus mencari sendiri tempat mengajar untuk menutupi
terjadi di lapangan guru-guru sibuk “ngamen” ke sekolah-sekolah lain, bahkan dalam jarak berjauhan,
demi terpenuhinya tuntutan jumlah jam mengajar. Jumlah jam mengajar guru di depan kelas perlu
dikurangi menjadi 18-20 jam seminggu, diterapkan lebih fleksibel dengan melihat situasi kekurangan
atau kelebihan guru di sekolah dan situasi tiap daerah. Aktivitas lain termasuk pendampingan siswa
dan jumlah jam yang dialokasikan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan, pertemuan-pertemuan un-
tuk pengembangan diri dengan rekan seprofesi baik di tingkat sekolah, KKG-MGMP, maupun asosia-
Kekisruhan urusan beban mengajar guru ini digambarkan Asep, seorang guru di Bandung:
Begitu ada kabar guru SMA dan SMK akan ditarik ke proinsi, banyak guru SMP pindah
ke SMA dengan harapan tunjangan guru yang diterima guru provinsi lebih besar dar-
ipada tunjangan yang diterima oleh pemerintah kota. Akibat perpindahan ini banyak
SMP kekurangan guru agama dan guru BP. Di sekolahnya, ada 22 orang guru PNS yang
mengalami pensiun, baru diangkat empat orang. Itupun tidak linear karena salah satu
yang diangkat dari jurusan pertanian dan belum memiliki Akta IV. Setelah diatu-atur
ia mengajar IPA. Setelah penambahan ruang kelas, semua guru dapat memenuhi tun-
tutan 24 jam mengajar sampai menarik guru-guru dari sekolah lain untk menutup
kekurangan jumlah mengajar tanpa mendapatkan honor dari sekolah.
Kata Ade Manadin, kepala UPTD Pendidikan di Kecamatan Pakenjeng, Garut, Jawa Barat:
Beban guru mengajar 24 jam seminggu tidak didasarkan pada pemetaan guru yang jelas dan
hanya melihat sampel di Jakarta saja. Sementara distribusi guru tidak sesuai kebutuhan, guru
harus memenuhi kewajiban 24 jam mengajar. Mata pelajaran yang diampu guru tidak fleksi-
bel, sehingga ketika kurikulum berubah, jam mengajarnya kurang. Kalau tidak memenuhi,
tunjangan sertifikasi dicabut. Akibatnya di lapangan banyak terjadi pembohongan. Guru ha-
rus ngamen dan mencari sekolah sendiri. Ini kan nggak bener.
Terlepas dari segala kritik dan kekurangannya, Uji Kompetensi Guru (UKG) yang telah dan se-
dang dilakukan Kementerian Pendidikan dapat menjadi titik awal untuk pemetaaan posisi kompeten-
si guru saat ini dan menjadi dasar untuk mendesaian program-program pengembangan guru yang
bersifat darurat dalam rangka mengejar standar kualitas minimum (benchmark) kompetensi seorang
guru yang gagal dicapai dalam program sertifikasi guru. Terkait dengan itu substansi dan mekanisme
pengujian perlu diperbaiki alat ujian ini dan mencakup penilaian kualititatif kemampuan guru men-
gajar di depan kelas. Kelulusan uji kompetensi untuk standar kualitas minimum ini merupakan pra-
syarat bagi guru untuk kenaikan pangkat dan jejang jabatan menjadi guru muda. Untuk rekrutmen
rus dicapai pada tingkat guru madya yang mensyaratkan seorang guru dapat melakukan penelitian
dan mendeseminasikan hasil penelitiannya. Guru utama adalah guru yang mencapai kematangan
kompetensi itu.
4 III/d Penata I
Dalam FGD yang dilakukan di Bandung terungkap bahwa tidak ada tindak lanjut dari hasil UKG
Seharusnya kalau nilai saya sekian, kelemahannya di mana, lalu mendapatkan treat-
ment apa. Program diklat sekarang materinya itu lagi itu lagi. Diklat yang ada selama
ini juga dilakukan sepotong-sepotong, tidak berkelanjutan. Seharusnya setelah diklat,
ada pemantauan tindak lanjutnya.
Untuk memastikan kinerja dan guru mengembangkan diri secara berkelanjutan Perlu adanya
monitoring dan penegakan aturan secara akuntabel dengan menerapkan mekanisme promosi dan
demosi yang bebas dari kepentingan politik. Guru-guru yang berprestasi dan berkinerja baik diper-
lancar promosinya. Guru-guru yang berkinerja buruk diingatkan dan diberi sanki. Namun demikian,
pengembangan karir dalam sistem pengelolaan guru itu harus menghindarkan munculnya rezim kon-
trol yang membuat guru merasa terus diawasi dan dibayang-bayangi sanksi sehingga justru membuat
Untuk mempercepat reformasi tata kelola guru di Indonesia, pada masa jabatan di atas 20
tahun, kepada guru-guru yang kinerjanya buruk dan berkompetensi rendah ditawarkan atau diminta
pensiun dini. Ini akan memberikan kesempatan yang luas bagi pemerintah untuk mempercepat pem-
baruan sumber daya guru di Indonesia dengan guru-guru muda terpilih yang memiliki kompetensi
pecahkan. Di banyak sekolah, khususnya di daerah pedesaan dan wilayah pinggiran lainnya, terdapat
kekurangan guru dalam jumlah signifikan. Di lain pihak di banyak sekolah di perkotaan, jumlah guru
berlebih. Ketimpangan dalam distribusi terjadi antar sekolah, antar wilayah kabupaten, dan juga an-
tar provinsi. Ketimpangan distribusi guru terjadi juga antara berbagai jenjang pendidikan dan bidang
studi. Kekurangan guru di tingkat sekolah dan respon pemerintah pusat dan daerah yang cenderung
lamban dalam mengisi kekosongan ini mendorong sekolah merekrut guru honorer dengan mengab-
aikan kualifikasi yang telah ditetapkan.
Secara nasional jumlah guru telah mencukupi. Rasio guru dan murid secara nasional juga telah
memadai, bahkan jauh lebih kecil di banding standar internasional. Di Malaysia rasio guru dan murid
1:20, Jepang 1:32, Korea Selatan 1:30. Di Indonesia, rasio guru dan murid secara nasional berkisar
antara 1:18 dan 1:15. Oleh karena itu untuk menjawab masalah kekurangan guru yang dialami di
berbagai tempat seharusnya tidak dilakukan dengan menambah jumlah guru tetapi dengan meredis-
Di Kabupaten Garut, Jawa Barat sebagai contoh, distribusi guru di kota dan di desa sangat
jomplang. Sementara di kota jumlah guru PNS menumpuk, di wilayah pinggiran dan pedesaan jumlah
guru PNS sangat kurang. Di wilayah pedesaan, proporsi antara guru PNS dan honorer imbang, bah-
sejumlah 426 guru SD di wilayahnya hanya terdapat 167 guru PNS. Sejumlah 215 di antaranya guru
Sebagai upaya penyikapan pesebaran guru yang tidak merata, Pemerintah mengeluarkan
Peraturan bersama 5 Menteri. Dalam peraturan itu disebutkan kewajiban pemerintah daerah dan
pemerintah pusat melakukan penataan dan pemerataan guru. Nyatanya, berdasarkan riset yang tel-
ah dilakukan oleh ICW tentang evaluasi Peraturan Bersama 5 Menteri menyebutkan bahwa sangat
jarang Pemerintah daerah yang mengimplementasikan PPG. Mengingat saat ini telah ada UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah daerah, yang didalamnya mengatur kewenangan Pemerintah pusat
dan Pemerintah daerah dalam melakukan penataan dan pemerataan guru sesuai dengan semangat
desentralisasi, berjenjang. Adalah Pemerintah pusat berwenang memindahkan guru antar provinsi,
pemerintah provinsi berwenang memindahkan guru antar kabupaten/kota dalam provinsi yang sama
dan pemerintah kabupaten/kota berwenang memindahkan guru antar satuan pendidikan dalam ka-
bupaten /kota yang sama. Sehingga keluarnya Peraturan Bersama 5 Menteri menjadi timpang dan
kurang begitu diperhatikan. Selain itu, secara legalitas hukum Perber 5 Menteri cenderung lemah
Dalam Peraturan Bersama 5 Menteri ini juga telah diatur sanksi yang akan dikenakan apabi-
la Pemerintah daerah tidak mengimplementasikan penataan dan pemerataan guru. Sanksi tersebut
diantaranya ialah sanksi penghentian sebagian maupun seluruh bagian finansial fungsi pendidikan
oleh Pemerintah Pusat sampai dengan sanksi tidak mendapatkan formasi guru PNS bagi pemerintah
daerah.
Implementasi penataan dan pemerataan guru cenderung gagal karena hingga habis masa ber-
lakunya Desember 2013, peraturan ini belum mampu menjawab masalah pesebaran guru yang tidak
merata. Berdasarkan riset ICW, beberapa penyebab kegagalan penataan dan pemerataan guru ter-
kait dengan kebijakan Dana Alokasi Khusus (DAU). Ketika menjawab kebutuhan guru di daerah maka
Pemerintah pusat akan menghitung jumlah DAU bagi Pemerintah daerah tersebut. Logikanya, sema-
kin banyak jumlah guru PNS maka akan semakin banyak jumlah DAU-nya. Dengan demikian rekrut-
men tenaga honorer di sekolah-sekolah gemar dilakukan oleh Pemerintah daerah dengan harapan,
banyaknya tenaga honorer menjadi salah satu pertimbangan Pemerintah pusat untuk mengangkat
menjadi guru PNS sehingga berdampak terhadap perolehan DAU. Selain itu, alasan DAU juga menjadi
sudah dimutasi masih menerima gaji dan tunjangan dari daerah asalnya.
Hal lain yang menyebabkan gagalnya implementasi penataan dan pemerataaan guru adalah
hambatan individual dan keluarga guru. Berdasarkan hasil Teacher Report Cards Kabupaten Buton
2014 menyebutkan alasan guru PNS di sekolah yang kelebihan jumlah guru tidak mau dipindah ke
sekolah yang kekurangan Jumlah Guru adalah 38,1% karena jauh dari keluarga, 4,8% karena tidak
ada fasilitas yang memadai, 42,9% karena sudah nyaman disekolah yang sekarang dan 34,3% karena
Menurut Suparman – guru sebuah SMA di Jakarta mengatakan, pemerataan guru harus
dilakukan dalam jangka panjang. Kegagalan SKB 5 Menteri, kata Suparman, penyelesaiannya masih
tambal sulam. Seolah-olah, kata Suparman, dengan mengirimkan guru ke daerah yang kekurangan
guru harus dilakukan dengan bijaksana dan dengan memperhatikan kepentingan guru dengan mem-
perhatikan masa kerja dan kepangkatannya. Tidak ada manfaatnya guru-guru yang sudah mau pen-
siun tiba-tiba dipindahkan ke sekolah lain. Di daerah pedesaan, perpindahan guru dalam satu keca-
matan pun bisa sangat menyulitkan bagi guru. Apabila guru yang dipaksa pindah jauh dari rumah
tempat ia tinggal, kata Ade Manadin, biasanya tingkat kehadirannya di sekolah akan rendah. Menurut
dia, redistribusi yang baik harus disertai imbalan (reward), bukan sebagai bentuk hukuman.
Prinsipnya dekatkan guru dengan rumah tempat tinggalnya. Kalau tidak perlu jangan
melakukan mutasi atau rotasi. Kalaupun harus dimutasi, sesuaikan dengan jejang karir
dia. Untuk apa guru yang mau pensiun dimutasi? Saat ini rotasi dan mutasi jadi kebu-
tuhan politik, bukan untuk kebutuhan akademik. Semua itu tidak akan terjadi kalau
dilakukan berdasarkan analisis dan laporan yang benar, ada tim penilai kabupaten, ke-
camatan, sampai sekolah. Lagi-lagi ini soal kejujuran. Mutasi atau rotasi yang dilakukan
sebagai hukuman tidak akan membuat pendidikan lebih baik
keberhasilan untuk mewujudkan kesejahteraan. Cerita tentang Amerika, Jepang, Rusia yang mampu
bangkit dari keterpurukan dan berhasil dominan dalam kancah global bermula dari komitmen untuk
memajukan pendidikan. Negara-negara tersebut menempatkan guru dalam posisi istimewa. Mereka
memperoleh kesejahteraan yang layak, mendapat akses untuk mengembangkan kompetensi, hingga
memiliki otoritas yang besar dalam proses belajar mengajar. Guru benar-benar diposisikan sebagai
pahlawan dan tentu saja tanpa diberi embel-embel tanpa tanda jasa.
Sedangkan di Indonesia, perjalanan cerita guru justru muram. Sempat dimuliakan pada era
penjajahan Belanda, guru justru lebih banyak dijadikan sebagai korban politik kekuasaan. Posisi mer-
eka yang strategis, memiliki pengaruh pada peserta didik dan masyarakat, dimanfaatkan untuk men-
yokong kekuasaan.
Pada era Orde Baru, guru dijinakkan melalui penunggalan organisasi. Guru dilarang berpolitik
dan ditempatkan di satu wadah, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang sebenarnya memiliki
relasi yang erat dengan Golongan Karya (Golkar). Pemerintahan orde baru menempatkan guru se-
bagai petugas politik dalam rangka menanamkan ideologi pemerintah kepada peserta didik.
Begitu pula pada era reformasi. Politisasi guru marak menjelang pemilihan umum (pemilihan
presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota legislatif, dan pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah). Mereka diberi iming-iming kenaikan pangkat atau tunjangan, di mobilisir untuk ikut
kampanye, bahkan dijadikan sebagai tim pemenangan. Di lain pihak tokoh-tokoh organisasi atau
kelompok-kelompok guru sering melibatkan diri menjadi tim sukses kandidat sebagai batu loncatan
Kondisi lebih parah terjadi di daerah. Status dan jabatan guru tidak diukur dari sisi kapasitas,
integritas, dan kualitas dalam menjalankan tugas. Faktor loyalitas seperti bersedia melayani kepala
daerah dan kepala dinas seringkali dijadikan sebagai pertimbangan utama untuk peningkatan karir
dan kesejahteraan. Termasuk terlibat dalam politik praktis memenangkan petahana dalam pemilihan
kepala daerah.
Akibat politisasi ini, telah menjadi pola umum setiap kali pergantian kepala daerah terjadi
akan disusul dengan pergantian Kepala Dinas Pendidikan beserta pejabat bawahan, dan mutasi guru
besar-besaran. Politisasi ini tidak berhenti di situ. Rekrutmen, promosi, kesejahteraan guru, dan se-
bagainya menjadi ajang politisi baik terkait dengan tujuan kekuasaan, uang, atau suka dan tidak suka.
trol ketat pemerintah pusat telah mengekang kreativitas guru dan peserta didik. Sekaligus mendorong
seragamisasi dan mengabaikan keberagaman di Indonesia. Institusi pendidikan dan guru menjadi
Itu sebabnya ketika rezim orde baru runtuh, usulan untuk mendesentralisasi pendidikan mun-
cul sebagai agenda penting. Sistem tersebut dianggap cocok dengan kondisi Indonesia yang beragam.
Selain itu, desentralisasi akan membuat guru memiliki ruang yang lebih luas untuk mengembangkan
kreativitas.
pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah khususnya pada tingkat kabupaten/kota. Tidak
hanya itu, pada tahun 2002, sekolah pun mendapat limpahan kewenangan yang luar biasa melalui
pusat masih memiliki otoritas dalam banyak kebijakan termasuk manajemen pengelolaan guru. Be-
berapa keputusan penting seperti rekrutmen, distribusi, peningkatan kapasitas, pemberian gaji dan
Pada sisi lain, pemerintah kabupaten/kota pun diberi otoritas yang serupa. Mereka bisa
merekrut dan mengangkat guru sebelum akhirnya Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi mengambilalih proses seleksi pegawai negeri. Tapi setidaknya pemerintah daerah
tetap memiliki kewenangan dalam mengusulkan formasi kebutuhan calon pegawai. Dalam kebijakan
mutasi, peningkatan mutu, kesejahteraan, dan evaluasi, pemerintah daerah memiliki otoritas yang
lebih besar.
Desentralisasi dalam manajemen pengelolaan guru masih berbau sentralisasi sehingga terjadi
dualisme kebijakan yang menyebabkan munculnya kekacauan. Berbagai masalah dalam rekrutmen,
mutasi, distribusi, peningkatan mutu, kesejahteraan, serta evaluasi merupakan buah dari masalah
tersebut.
c. kompetensi sosial
Dalam rekrutmen, walau seleksi calon guru pegawai negeri sipil diambil alih pemerintah pusat,
tapi pemerintah daerah dan sekolah masih bisa menarik guru honorer. Daerah-daerah yang usulan
formasi pegawainya ditolak pemerintah pusat akan mengangkat honorer atau sukarelawan dengan
alasan menutup kekurangan guru. Lebih kacau lagi dalam urusan mutasi. Masalahnya, pertimbangan
untuk melakukan mutasi kerap tidak didasarkan kriteria yang jelas, tapi lebih mengutamakan aspek
politis. Bahkan tidak sedikit kepala daerah yang menggunakan kewenangan dalam mutasi untuk me-
Bagi kami lebih baik guru diurus di tingkat provinsi daripada kabupaten. Secara politis, guru
akan lebih sulit diganggu. Sekarang ini posisi guru sangat lemah. Kalau tidak mendukung petahana
terancam dimutasi.
Masalah lebih parah juga terjadi dalam mekanisme peningkatan kualitas guru. Pemerintah
Tumpang tindih kewenangan membuat upaya pemerataan penyebaran dan peningkatan kom-
petensi menjadi terganggu. Oleh karena itu, harus ada kejelasan mengenai pengelola guru. Pemer-
intah akan konsisten menjalankan kebijakan desentralisasi dengan memberikan otoritas sepenuhnya
kepada pemerintah daerah atau menarik kembali (re-setralisasi) pengelolaan guru. Pilihan lain seper-
ti pengelolaan bersama yang diawali oleh pembagian kewenangan yang lebih jelas antara pemerintah
Masalah lain dalam manajemen guru adalah dualisme penyelenggara. Sekolah-sekolah keag-
amaan seperti madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, maupun aliyah dikelola oleh kementrian agama se-
cara terpusat. Mulai dari mekanisme rekrutmen hingga pengawasan menjadi wewenang kementrian
agama. Sentralisasi manajemen membuat proses rekrutmen, distribusi, maupun pemberian tunjun-
gan kesejahteraan lebih terkontrol. Selain itu, guru-guru sekolah keagamaan lebih bebas dari inter-
vensi politik kepala daerah maupun kepala dinas karena mereka di bawah pemerintah pusat. Akan
tetapi dualisme sistem penyelenggaraan pendidikan dan pengelola guru merugikan upaya mencapai
tujuan pendidikan nasional. Begitu pula dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan keag-
amaan, seolah-seolah ada perbedaan antara pelajaran umum dan agama. Dari sisi guru, terjadi per-
lakuan yang berbeda antara guru agama dengan guru di sekolah umum.
Guru-guru yang bernaung di bawah Departemen Agama yang kami temui di lapangan cend-
erung menginginkan agar pengelolaan guru disatukan di bawah satu atap Departemen Pendidikan
Nasional.
Saya sepakat pengelolaan guru disatuatapkan. Harus ada kebijakan yang benar-benar bisa
menyatukan guru, tidak ada lagi kecemburan antara guru yang bernaung di bawah Kementerian
Agama dan Kemendikbud. Untuk guru, diatur saja oleh Kemendikbud. Untuk urusan agamanya bisa
tetap diatur oleh Kementerian Agama
jakan ini belum menyentuh sebagian besar guru. Hampir setengah dari jumlah total guru kita, yakni
guru-guru honor dan guru-guru tetap ataupun tidak tetap di sekolah-sekolah swasta masih diupah
jauh di bawah kelayakan. Besarnya proporsi guru yang diupah tidak layak ini, antara 20 sampai 30
persen di sekolah negeri, akan menjadi penghambat utama peningkatan mutu pendidikan secara
keseluruhan.
Penghargaan dan pemberian kompensasi yang tinggi merupakan satu hal yang sangat penting
dalam pengembangan guru akan tetapi tidak berarti apabila tidak diikuti dengan upaya-upaya lain-
nya. Berbagai upaya perbaikan dalam pengembangan guru, baik yang dilakukan melalui peningka-
tan kesejahteraan guru melalui pemberian tunjangan profesi, peningkatan kualifikasi akademik guru,
sertifikasi, uji kompetensi, dan berbagai program pelatihan, maupun pembentukan lelompok-kelom-
pok kerjan sejauh in belum meninggalkan jejak signifikan dalam perbaikan mutu guru. Salah satu
sumber utama kegagalan ini adalah karena upaya-upaya ini lebih dominan merupakan inisiatif dan
desaian dari atas serta kurang melibatkan dan mendengarkan suara guru dan aspek-aspek kultural
Perlu segera disusun sebuah rencana kerja yang komprehensif untuk memperbaiki kualitas
guru dalam jangka menengah dan panjang – melampaui siklus politik lima tahunan -- dari hulu, dim-
ulai dari memperbaiki masukan (intake) sekolah-sekolah guru, memperketat seleksi guru-guru baru,
program induksi yang kuat sampai rencana kerja pengembangan guru yang berkelanjutan yang dikait-
Diperlukan adanya peraturan setingkat Peraturan Pemerintah, sebagai payung hukum seka-
ligus berfungsi untuk mengintegrasikan kebijakan dan regulasi terkait tata kelola dan pengembangan
guru baik secara horisontal – antar departemen dan lembaga negara di tingkat Pusat – dan secara
Sejumlah kebijakan yang diperlukan dalam rangka memperbaiki tata kelola dan pengemban-
gan guru:
anak-anak muda yang terbaik masuk ke sekolah guru, termasuk dengan memberikan bea-
· Program-program studi keguruan diselenggarakan untuk mendidik calon guru. Input seko-
lah guru adalah mereka yang ingin menjadi guru. Terkait dengan ini perlu ada kontrol kual-
program-program studi keguruan dilakukan dengan sistem kuota sesuai prediksi kebutuhan
guru yang ditetapkan oleh pemerintah atau otoritas yang ditunjuk untuk itu. Sekolah-se-
kolah guru harus bisa menjamin lulusannya menguasai kompetensi dasar untuk direkrut
menjadi guru, termasuk penguasaan literasi dan kemampuan belajar secara berkelanjutan.
· Progam-program studi keguruan perlu dibuat lebih fleksibel, dengan studi major dan mi-
nor, yang memungkinkan lulusan untuk mengajar lebih fleksibel satu rumpun bidang studi.
· Secara selektif pemerintah perlu menunjuk sejumlah universitas non LPTK yang unggul
kompetensinya pada bidang-bidang studi tertentu, seperti matematika, sains, dan ilmu so-
atau master.
tihan-pelatihan kepada guru baru. Pengangkatan seorang guru sebagai pegawai tetap atau
PNS dilakukan setelah yang bersangkutan dinyatakan lolos mengikuti program induksi.
· Pemerintah harus segera membuat rencana jangka menengah untuk menyelesaikan per-
soalan kronis guru honor. Perlu ada larangan yang tegas melarang sekolah merekrut guru.
Rekrutmen guru tidak tetap di sekolah negeri dilakukan oleh pemerintah daerah.
· Guru-guru honor K2 di sekolah negeri secara bertahap diangkat sebagai pegawai tidak
tetap yang diangkat oleh kepala daerah. Guru-guru honor K2 yang memenuhi syarat diang-
kat sebagai PNS. Guru-guru tidak tetap yang belum memenuhi standar kompetensi wajib
yang layak diangkat secara bertahap sebagai guru tidak tetap atau guru PNS. Guru-guru ti-
dak tetap diberi kesempatan dalam jangka waktu tertentu untuk meningkatkan kompeten-
sinya dengan dukungan pembiayaan dari pemerintah. Apabila dalam batas waktu tertentu
guru-guru tersebut belum mencapai standar yang ditentukan dan tidak lolos seleksi, segera
· Distribusi guru dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan tidak merugikan kepentingan guru.
Mutasi guru dilakukan dengan memperhitungkan masa kerja, golongan jabatan guru, dan
sesuai kepentingan promosi dengan memprioritaskan guru-guru muda dan guru-guru hon-
· Sekolah-sekolah swasta wajib mengikuti standar kompetensi calon-calon guru yang direkrut
sebagai guru tetap atau tidak tetap. Sekolah yang diselenggarakan pemerintah wajib mem-
berikan upah kepada guru sesuai ketentuan ketenagakerjaan yang berlaku. Terkait dengan
ini perlu dilakukan restrukturisasi sekolah-sekolah swasta. Sekolah-sekolah swasta yang se-
cara finansial tidak mampu diwajibkan melakukan merger dan/atau apabila dibutuhkan
keberadaanya oleh masyarakat bisa diadopsi oleh pemerintah menjadi sekolah negeri.
· Perlu ditinjau kembali kewajiban minimal guru mengajar 24 jam seminggu dengan menye-
suaikan situasi di lapangan. Aktivitas guru dalam pedampingan murid, kegiatan ekstra kuri-
kuler, kegiatan guru dalam pelatihan atau pengembangan diri yang dilakukan di tingkat
sekolah, lokal, atau nasional serta kegiatan dalam komunitas guru, asosiasi profesi, dan
organisasi guru yang terkait dengan pengembangan profesional guru bisa diperhitungkan
atau pihak-pihak lain yang sah, atas biaya pemerintah atau pihak ketiga, maupun dibiayai
secara mandiri dalam jumlah jam minimal setiap tahun. Jumlah jam pelatihan itu dapat
nis-jenis pelatihan yang relevan. Kenaikan jenjang jabatan dilakukan melalui pengujian,
· Kenaikan jenjang jabatan guru perlu disertai dengan pemberian kompensasi yang menarik.
· Perlu disederhanakan mekanisme penilaian kinerja dan pengurusan kenaikan guru dengan
mengembangkan kenaikan jabatan secara otomatis, penilaian oleh diri sendiri (self assess-
· Perlu dikembangkan jalur karir guru, khususnya jalur karir non-struktural. Pada jalur
non-struktural guru diangkat untuk menduduki jabatan sebagai guru pendamping pada
tingkat sekolah, rayon, kabupaten/kota, hingga guru master pada tingkat nasioal.
· Harus ditetapkan pilihan kebijakan pemerintah dalam pengelola guru. Pilihannya mem-
perkuat kebijakan desentralisasi dengan cara memastikan agar pemerintah daerah serius
memperkuat dari sisi kompetensi maupun kesejahteraan. Kementrian Pendidikan dan Ke-
budayaan menyediakan panduan yang lebih jelas mengenai mekanisme peningkatan kom-
· Pilihan lain adalah re-sentralisasi. Semua kebijakan terkait guru di semua tingkatan diserah-
· Pilihan ketiga adalah memperkuat pembagian tugas antara pemerintah pusat, provinsi,
diserahkan kepada pemerintah pusat. Sedangkan distribusi, mutasi, monitoring, dan eval-