Gunawan
Pola Distribusi Spasial Minimarket di Kota-Kota Kecil
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 20 No. 2, Agustus 2009, hlm.78 - 94
Abstrak
Kata kunci: pengecer modern dan tradisional, system permintaan dan penawaran,
perekonomian kota-kota kecil
Abstract
Limited land in large cities causes a shift of modern retail stores (minimarket) to the fringe
areas and small cities. This study observed the development of minimarket in small towns
around the Urban Area of Bandung Raya. Three areas were chosen based on their specific
functions, i.e., administration (Soreang), education and commerce (Tanjungsari), and tourism
(Lembang). In addition to positive impact to the economy of the region, the development of
minimarket has negative impact such as problems in land use, transportation and economic
competition with traditional market. This study aims at identifying the economic impact of
modern retail development in small towns by identifying the supply and demand system of
minimarket in selected cities. The results shows (1) the overlapping service area between
minimarket with traditional market, (2) the proximity of minimarket with traditional market
has affected the business performance of traditional markets, (3) shopping behavior of people
in small towns has shifted from traditional market to minimarket -as a complementer market-
and have not been a threat to the sustainability of traditional markets yet, (4) modern retailers
in the form of convenience stores (toserba) and supermarkets have more opportunity to
become outlets for local products compared with minimarket.
Keywords: modern retail, traditional retail, supply and demand, small towns economic
78
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 20/No.2 Agustus 2009
79
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 20/No.2 Agustus 2009
80
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 20/No.2 Agustus 2009
mempengaruhi keberadaan jumlah, ragam kemudian pada jarak berapa satu ritel baru
outlet ritel dan ragamnya produk yang dijual. berdiri. Sebagai contoh, di Canada, keterkaitan
Namun, dalam perkembangannya ritel juga antar pemukiman ini digambarkan melalui
mempengaruhi pasar. Kegiatan ritel menarik sirkulasi distribusi koran sebagai indikator
selera konsumen, pola perjalanan dan pada jangkuan pelayanan antar satu toko dengan
akhirnya mempengaruhi lokasi toko lain. toko yang lain.
Contohnya banyak peritel di London berlokasi
di tempat-tempat dengan aksessibilitas tinggi, Pada skala struktur ritel, perbedaan ukuran
namun ada juga yang berlokasi di pinggiran pasar ritel dari suatu tempat terhadap tempat
kota yang tadinya berupa lahan tidur dan hal yang lain dipengaruhi oleh variasi ritel dan
ini menciptakan pola perilaku konsumen yang fasilitas pelayanannya. Pusat perbelanjaan
baru. Jalur pejalan dan kendaraan pun tidak yang lebih besar akan menciptakan jumlah
terlepas dari perhatian sebagai salah satu penjualan, jumlah lantai dan variasi toko, serta
tingkah laku pasar yang mempengaruhi jumlah pekerja yang lebih banyak. Namun,
keberadaan toko modern. Penyediaan toko walaupun ukuran ritel berkaitan erat dengan
modern semaksimal mungkin ditempatkan ukuran pasar, kaitan ini bersifat nonlinier
pada lokasi yang dapat mencakup konsumen di karena karakteristik fungsi produksi dan
lokasi yang menjauhi pusat kota. pangsa pasarnya berbeda untuk tiap tingkatan
ritel. Pada tingkatan yang lebih rendah dalam
Secara garis besar, keputusan pemilihan lokasi hirarki ritel, sebuah rumah tangga dapat
ritel terjadi pada dua hal yaitu (Simmons dan memilih antara beberapa pusat perbelanjaan
Jones, 1990): dengan ukuran yang berbeda dalam jarak
1. Mengikuti skala permukiman perjalanan kesehariannya. Hal ini
2. Mengikuti skala struktur ritel menyebabkan pusat perbelanjaan menjadi
lebih terspesialisasi untuk menjual barang-
Pada skala permukiman, ritel berlokasi barang kebutuhan sehari-hari, mingguan dan
mengikuti pasar (konsumen) dimana waktu tertentu. Hirarki ritel yang lebih tinggi
jangkauan pelayanan (baik secara luas maupun (misalnya supermarket) akan melayani pasar
jenis konsumen yang dilayani) dipengaruhi yang lebih besar, namun hirarki yang kecil
oleh ukuran dan struktur permukiman. (misalnya minimarket) akan menyediakan
Kemudian keputusan untuk berlokasi pada barang kebutuhan sehari-hari yang dibutuhkan
salah satu permukiman tidak dipengaruhi oleh oleh penduduk terdekatnya.
harga lahan atau harga sewa lahan yang
berbeda-beda antar kota. Lain halnya dengan 3.1. Teori Central Place (Eppli dan
pemilihan lokasi di dalam kota, harga lahan Benjamin, 1993)
akan menjadi pertimbangan. Selain itu, jarak
dan kemudahan interaksi antar permukiman Teori Central Place dikemukakan pertama kali
yang satu dengan yang lain juga oleh Christaller pada pertengahan tahun 1933
mempengaruhi keputusan peritel. Jarak dan yang memodelkan perilaku ritel secara spasial.
kemudahan interaksi ini menggambarkan Christaller pertama kali mempublikasikan
keterkaitan antar permukiman yang satu studinya yang berkaitan dengan masalah
dengan yang lain yang menunjukkan penentuan jumlah, ukuran dan pola penyebaran
jangkauan pelayanan ritel. Sampai jarak berapa kota-kota. Asumsi-asumsi yang dikemukakan
satu ritel dapat melayani permukiman antara lain:
81
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 20/No.2 Agustus 2009
82
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 20/No.2 Agustus 2009
Teori ini dikembangkan oleh Hotelling yang Penelitian dalam menganalisis persebaran
menggambarkan model pengelompokan pusat perbelanjaan melalui teori central place
kegiatan ritel dalam rangka memaksimalkan pernah dilakukan di Istanbul (Ertekin, 2008).
utilitas konsumen. Menurut Hotelling, dua Pada penelitian tersebut, faktor yang paling
perusahaan yang menjual barang yang mempengaruhi persebaran lokasi pusat
homogen akan beraglomerasi di pusat pasar. perbelanjaan adalah tingkat pendapatan
Secara spesifik, perbedaan sedikit harga pada disbandingkan jumlah penduduk dan
pesaing tidak akan membuat pelanggan beralih aksesibilitas. Hal ini dikarenakan tingkat
karena pelanggan membeli barang di suatu pendapatan merupakan gambaran umum
toko dikarenakan hal-hal yang lebih bersifat kemampuan penduduk untuk berbelanja dan
non harga seperti pelayanan dari si pedagang, variasi pola berbelanja yang terjadi di setiap
kualitas barang dan lain-lain. kelompok pendapatan. Tingkat pendapatan di
wilayah metropolitan Istanbul sangat terlihat
Menurut Webber (1972) dalam Eppli dan perbedaannya dari jenis permukiman
Benjamin (1993), teori Hotelling akan terjadi penduduk. Pusat perbelanjaan yang berlokasi
jika konsumen berada dalam kondisi di permukiman penduduk dengan tingkat
ketidakpastian. Ketika konsumen merasa tidak pendapatan tinggi akan banyak dikunjungi
pasti menemukan barang yang diinginkan di dibandingkan pusat perbelanjaan yang
ritel tertentu, maka cara untuk mengurangi berlokasi di permukiman dengan tingkat
ketidakpastian tersebut adalah berbelanja di pendapatan rendah.
ritel yang beraglomerasi sehingga dapat
mengurangi biaya pencarian dan terjadi 4. Ritel Modern di Indonesia
perbandingan antar toko. Walaupun begitu,
teori Hotelling ini mendapat kritik dari Perkembangan ritel modern di Indonesia
berbagai kalangan. Banyak yang berpendapat dimulai pada tahun 1970-an yang diawali
bahwa pengelompokan perusahaan di pusat dengan adanya keberadaan ritel modern yang
pasar akan menyebabkan ketidakefisienan berbentuk supermarket. Pada periode 1968-
secara sosial dan ekonomi bagi peritel. 1977 hanya ada satu supermarket yang berdiri.
Chamberlin (1933) dalam Eppli dan Benjamin Kemudian setelah tahun 1983, jumlah
(1993), menyebutkan bahwa tiga perusahaan supermarket dan ritel modern (khususnya yang
yang menjual barang homogen dan berbentuk minimarket) meningkat pesat seiring
beraglomerasi di pusat pasar akan saling dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan
tumpang tindih dalam menangkap pelanggan per kapita di Indonesia.
sehingga tidak akan tercapai ekuilibrium. Lalu
Eaton dan Lipsey (1979) dalam Eppli dan Pada negara maju, jenis ritel modern yang
Benjamin (1993), menyebutkan bahwa teori berukuran besar seperti Supermarket dan
83
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 20/No.2 Agustus 2009
Hypermarket umumnya berlokasi di daerah ritel modern yang kemudian mulai muncul dan
pinggiran kota dan jauh dari keramaian dengan mengalami pertumbuhan pesat adalah
tujuan melayani masyarakat pinggiran kota berbentuk pengecer modern atau minimarket.
tanpa harus membebani lahan di pusat kota Perkembangan minimarket ini dimulai pada
(Jones and Simmons, 1990). Di Indonesia tahun 1988. Perusahaan pertama yang masuk
sebagai contohnya yaitu Makro, salah satu ritel ke Indonesia adalah Indofood Group.
modern yang berjenis hypermarket. Makro Kemudian pada tahun 1991, Hero Supermarket
mulai beroperasi pada 1992 dan lokasinya mendirikan Starmart dan pada tahun 1999 Alfa
yang jauh di pinggiran kota. Namun, tidak Group mendirikan Alfa Minimart yang
semua ritel modern yang berukuran besar kemudian berganti nama menjadi Alfamart.
tersebut berlokasi di pinggir kota. Carrefour Menurut Asosiasi Pengelola Pasar Tradisional
yang pada awalnya hadir di pinggiran Kota dalam Harian Kompas (2007), jumlah ritel
Jakarta, namun seiring waktu, terjadi modern telah meningkat pesat, dari 4.977 pada
pergeseran lokasi pendirian menjadi ke pusat tahun 2003 menjadi 7.689 pada tahun 2005.
kota. Dari jumlah tersebut, jenis ritel modern yang
meningkat pesat adalah minimarket yang pada
Fenomena pertumbuhan ritel modern tersebut tahun 2003 jumlahnya 4.038 unit meningkat
tidak mengalami peningkatan secara menerus. menjadi 6.465 unit pada tahun 2005.
Pada tahun 1998, terjadi krisis ekonomi di
Indonesia sehingga perkembangan ritel Munculnya minimarket di kota-kota kecil
modern mengalami penurunan khususnya lazim terjadi sebagai gejala modernisasi.
untuk jumlah supermarket yang menurun Menurut Alan West seperti dikutip Perwira
sebesar 13% (Natawidjadja, 2005). Namun (Perwira dan Imansyah, 1998:1), proses
dalam perkembangannya, pertumbuhan ritel tersebut tidak terlepas dari perubahan
modern ternyata mendatangkan persoalan demografi, spesialisasi dan diversifikasi
tersendiri berupa tersingkirnya usaha kecil ritel profesi, serta struktur sosial ekonomi dan
Indonesia. Perkem-bangan ritel modern perubahan budaya masyarakat. Transformasi
tersebut mempengaruhi ritel tradisional yang pada aspek sosial yang ditandai dengan
ada di Indonesia, terutama dalam hal perubahan struktur ekonomi dan perubahan
peningkatan jumlah pusat ritel pada pusat kota budaya masyarakat berdampak pada tuntutan
yang mulai menggantikan pasar tradisional, terhadap kualitas dan kuantitas fasilitas
yang disebabkan oleh jarak yang berdekatan perbelanjaan. Hal ini menjadi salah satu
antara keduanya, contohnya hypermarket dan potensi investasi yang menjanjikan sehingga
pasar tradisional (Kuncoro, 2008). berkembanglah beragam fasilitas perbelanjaan
Pertumbuhan omset ritel modern pun melebihi modern seperti minimarket ini sebagai jawaban
ritel tradisional, dengan melihat kasus DKI dalam memenuhi kebutuhan tersebut.
Jakarta (Tambunan, 2008).
5. Perkembangan Kebijakan (Produk
Pada gambar 2 terlihat bahwa perkembangan Hukum) Ritel Modern di Indonesia
supermarket dan hypermarket tetap meningkat
namun dalam angkat pertumbuhan yang Dorongan awal munculnya kebijakan yang
menurun (Natawidjadja, 2005). Disamping mengawali masuknya ritel modern di
supermarket kedua ritel besar tersebut, jenis Indonesia adalah diwujudkan dalam bentuk
84
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 20/No.2 Agustus 2009
Gambar 2.
Perkembangan Ritel Modern di Indonesia Periode 1997-2003
Sumber: DRI, 2004; Visidata Riset Indonesia, 2003 dalam Natawidjadja, 2005
85
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 20/No.2 Agustus 2009
Untuk mendukung pelaksanaan Perpres kota-kota kecil di sekitar kota besar khususnya
tersebut disusun Peraturan Menteri yang berbentuk minimarket. Bagian ini akan
Perdagangan Indonesia Nomor 53/M- membahas mengenai karakteristik persebaran
DAG/PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan lokasi minimarket di kota-kota kecil yang
dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat berada di sekitar Kota Bandung. Kota-kota
Perbelanjaan dan Toko Modern. Perbaikan kecil tersebut dipilih berdasarkan perbedaan
yang diajukan dalam peraturan ini salah fungsi kota, antara lain Kawasan Perkotaan
satunya yaitu mengatur jarak antara ritel Soreang sebagai kawasan pemerintahan,
modern (jenis minimarket) dengan ritel Kawasan Perkotaan Tanjungsari sebagai
tradisional, bahwa lokasi pendirian minimarket kawasan perdagangan dan pendidikan, dan
modern jenis minimarket boleh beroperasi Kawasan Perkotaan Lembang sebagai kawasan
pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk pariwisata. Pentingnya melihat perkembangan
harus memperhatikan jaraknya dengan ritel pengecer modern (dalam hal ini minimarket)
tradisional tanpa menyebutkan seberapa jauh secara spasial dalam melihat sejauh mana
jarak tersebut. Lokasi ritel modern yang bentuk usaha ini dapat melayani masyarakat
berdampingan atau terlalu dekat dengan lokasi sekitar dan dampaknya terhadap usaha
pasar tradisional akan menimbulkan persoalan pengecer tradisional.
ketika terjadi persaingan pangsa pasar. Hal
tersebut terjadi karena adanya skala pelayanan Secara umum, persebaran toko pengecer
yang saling tumpang tindih. Persaingan ini modern di 3 kota kecil terpilih (Tanjungsari,
seharusnya dapat meningkatkan kualitas Soreang, dan Lembang) berlokasi di pinggiran
masing-masing jenis ritel, namun pada jalan-jalan utama. Hal ini mengindikasikan
kenyataannya ritel modern semakin menguasai bahwa lokasi pusat-pusat kegiatan tersebut
pasar. Penguasaan pangsa pasar oleh ritel menarik pangsa pasar yang sangat besar yaitu
modern tersebut dapat menyebabkan orang yang datang darimana saja baik
penurunan omset pada warung-warung penduduk maupun dari pengunjung dari luar
sekitarnya yang pada akhirnya tidak kota. Berbeda halnya dengan toko pengecer
melanjutkan usahanya. Salah satu kasus yang tradisional, tidak hanya berlokasi di pinggiran
terjadi di Indonesia yaitu pada salah satu jalan-jalan utama namun juga sudah memasuki
perusahaan minimarket di Indonesia terhadap kawasan permukiman penduduk. Kedekatan
warung-warung kecil di sekitarnya. Kedekatan lokasi toko pengecer tradisional dengan tempat
lokasi minimarket tersebut terhadap warung- tinggal penduduk merupakan salah satu upaya
warung kecil di sekitarnya menyebabkan meminimasi biaya transportasi konsumen.
menurunnya omset warung-warung di
sekitarnya sehingga banyak usaha warung Dari ketiga kota terpilih, jumlah penduduk
tradisional yang tutup. terbesar ada di Kawasan Perkotaan Soreang
khususnya di kawasan perdagangan. Besarnya
6. Perkembangan Spasial Pengecer jumlah penduduk ini juga menyebabkan
Modern dan Tradisional di Kota-Kota jumlah pengecer modern dan tradisional di
Kecil Kawasan Perkotaan Soreang berkembang
pesat. Jika dilihat dari fungsi kotanya,
Seiring dengan meningkatnya jumlah walaupun fungsi utama Kawasan Perkotaan
penduduk perkotaan dan keterbatasan lahan di Soreang sebagai pusat pemerintahan dan
kota besar, kegiatan ritel mulai memasuki pemukiman, namun perkembangan pengecer
86
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 20/No.2 Agustus 2009
87
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 20/No.2 Agustus 2009
Tabel 1
Jumlah Toko Pengecer Tradisional dan Minimarket di Tiga Kota Dibandingkan Dengan Kebutuhan
Jumlah Toko Berdasarkan Standar Jumlah Penduduk
Jumlah
Kebutuhan Jumlah Toko
Kawasan Penduduk Jumlah
Desa Jumlah Toko Pengecer
Penelitian Tahun 2007 Minimarket
menurut standar Tradisional
(jiwa)
Kawasan Perkotaan Tanjungsari
Sayang 1.600 6 58 0
Kawasan
Cikeruh 9.936 40 63 2
Pendidikan
Hegarmanah 2.268 9 71 3
Jumlah 13.804 55 192 5
Kawasan Jatisari 5.630 23 39 1
Perdagangan Tanjungsari 5.591 22 52 1
Margajaya 4.686 19 3 0
Jumlah 15.907 64 94 2
Kawasan Perkotaan Soreang
Karamatmulya 11.183 45 18 0
Kawasan
Pamekaran 18.819 75 74 5
Perdagangan
Soreang 25.948 104 87 0
Jumlah 55.950 224 179 5
Kawasan Sekarwangi 9.010 36 27 1
Permukiman Cingcin 28.846 115 102 3
Jumlah 37.856 151 129 4
Sadu 13.457 54 27 0
Kawasan
Panyirapan 8.972 36 24 0
Lainnya
Parungserab 10.929 44 27 0
Jumlah 33.358 133 78 0
Kawasan Perkotaan Lembang
Lembang 12.974 52 70 3
Jayagiri 17.220 69 51 2
Kayuambon 7.025 28 18 3
Kawasan
Langensari 11.189 45 20 0
Wisata
Cikahuripan 8.538 34 25 0
Gudang kahuripan 11.788 47 36 0
Cibogo 9.683 39 39 0
Jumlah 78.417 314 259 8
Sumber: Hasil Pengolahan Data dari Survei Data Primer pada Minimarket dan toko Pengecer tradisional di Kota
Tanjungsari, Soreang dan Lembang, 2009 dan SNI 1733 mengenai standar Perencanaan Lingkungan
berada pada pusat-pusat kegiatan dan pengecer tradisional berupa toko kelontong
perdagangan di sepanjang jalan utama. /warung sangat besar dan tersebar hampir di
seluruh wilayah Kota Tanjungsari. Sebaliknya,
Jumlah ritel modern di Kawasan Perkotaan minimarket dan pasar swalayan yang termasuk
Tanjungsari adalah 9 buah dan terdiri dari 2 dalam kategori pengecer modern terletak di
toko berupa pasar swalayan yang berada di pusat-pusat kegiatan perdagangan dan jasa.
pusat-pusat kegiatan pendidikan dan pusat
perdagangan serta 7 toko berupa minimarket Perkembangan Kota Tanjungsari yang bersifat
yang tersebar di seluruh pusat kegiatan di kota. ribbon development menjadi salah satu
Toko di Kecamatan Tanjungsari tersebar di penyebab toko kelontong dan minimarket
pusat-pusat kegiatan dan permukiman untuk terkonsentrasi di sepanjang jalan utama yang
menunjang kebutuhan masyarakat selaku menghubungkan Kota Tanjungsari dengan
konsumen di Kota Tanjungsari. Jumlah kota lain di sekitarnya (gambar 3). Kota
88
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 20/No.2 Agustus 2009
A= Kawasan pendidikan
• Jumlah penduduk= 13.804 jiwa
• Jumlah minimarket = 5 buah
• Jumlah toko tradisional = 192 buah
B= Kawasan perdagangan
• Jumlah penduduk= 15.907 jiwa
• Jumlah minimarket = 2 buah
• Jumlah toko tradisional = 94 buah
Kawasan Perkotaan Lembang
Fungsi Kota: Pariwisata
Gambar 3
Sebaran Pengecer Modern dan Tradisional di Tiga Kawasan Perkotaan
Sumber: Septyaningsih, 2009
89
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 20/No.2 Agustus 2009
90
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 20/No.2 Agustus 2009
Bandung yang sejalan dengan pertumbuhan pinggir jalan utama sehingga pengunjung dapat
kota yang berpola ribbon development. Selain berasal dari berbagai kalangan baik penduduk
tingginya intensitas pergerakan di kawasan sekitar maupun orang yang melintas.
pusat kota ini, terdapat juga pasar tradisional
yang berfungsi sebagai pusat kegiatan koleksi, Selain Desa Pamekaran, minimarket juga
distribusi dan pemasaran produk-produk yang berlokasi di Desa Cingcin dan Sekarwangi.
dihasilkan wilayah belakangnya. Desa Cingcin merupakan kawasan
permukiman baru dan menjadi pusat
Berdasarkan tabel 1, persebaran toko permukiman di Kawasan Perkotaan Soreang.
kelontong teralokasi di Desa Cingcin, Soreang Dari Tabel 1, kosentrasi penduduk terbesar di
dan Pamekaran. Namun, untuk persebaran Kota Soreang berada di Desa Cingcin. Jika
minimarket hanya terdapat di desa Pamekaran, dilihat dari persebarannya, minimarket di Desa
Cingcin dan Sekarwangi. Jika melihat dari Cingcin berlokasi di daerah permukiman dan
jumlah penduduknya, Desa Soreang memiliki di pinggir jalan utama yang menuju ke Kota
jumlah penduduk yang besar dan pemusatan Bandung. Oleh karena itu, berdirinya
toko pengecer tradisional yang besar minimarket di Desa Cingcin lebih dikarenakan
dibandingkan Desa Pamekaran, namun tidak alasan demografi, namun lokasi yang strategis
terdapat minimarket di desa tersebut. Hal ini dari desa inipun dimanfaatkan oleh minimarket
dikarenakan Desa Soreang dan Pamekaran yang berlokasi di pinggir jalan utama untuk
sebelumnya adalah satu desa yang kemudian menangkap pangsa pasar dari pengunjung yang
pada tahun 2000-an terjadi pemekaran lewat khususnya dari dan menuju Kota
sehingga Desa Pamekaran terbagi menjadi 2 Bandung. Alasan inipun sama dengan
Desa. Selain itu, Desa Pamekaran merupakan minimarket yang berlokasi di Desa
kawasan pusat kota dan pemerintahan Sekarwangi. Jika dilihat dari jumlah
Kawasan Perkotaan Soreang. Jika dilihat dari penduduknya, pemilihan lokasi minimarket
tahun-tahun berdirinya minimarket sejak tahun tidak didasarkan atas demografi penduduk.
2000-an, terjadinya pemekaran tersebut seiring Jika dilihat dari persebarannya, alasan
dengan munculnya minimarket-minimarket di pemilihan lokasi lebih diprioritaskan untuk
Kawasan Perkotaan Soreang. Penetapan fungsi pengunjung yang lewat khususnya dari dan
Desa Pamekaran sebagai pusat perdagangan menuju Kota Bandung.
dan pemerintahan menimbulkan bangkitan
yang tinggi sebagai pangsa pasar minimarket. Jika dilihat dari persebarannya, toko kelontong
berlokasi di sepanjang jalan utama dan jalan-
Jika dilihat dari persebarannya, minimarket di jalan lokal. Persebaran toko kelontong
kawasan pemerintahan lebih sedikit mengikuti persebaran jumlah penduduk dan
dibandingkan pada kawasan perdagangan. akses jalan utama. Hal ini terlihat dari
Minimarket yang berada di kawasan kebanyakan jumlah toko kelontong berada di
pemerintahan hanya terdapat di dalam kawasan Desa Cingcin, Soreang dan Pamekaran yang
perkantoran Pemerintahan dan berbentuk memiliki jumlah penduduk yang besar.
koperasi. Hal ini diduga minimarket tersebut
diprioritaskan untuk melayani kebutuhan 6.3. Kawasan Perkotaan Lembang
karyawan. Lalu banyaknya minimarket di
kawasan perdagangan memiliki pangsa pasar Lembang terletak 16 km di sebelah Utara Kota
yang lebih besar. Lokasinyapun berada di Bandung dan berpenduduk 78,417 jiwa dengan
91
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 20/No.2 Agustus 2009
laju pertumbuhan 2.73% pertahun. Dilihat dari diketahui bahwa persebaran minimarket
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) teralokasi di Desa Jayagiri, Lembang dan
Kabupaten Bandung Barat dimana kedudukan Kayuambon. Jika dilihat dari jumlah
Kabupaten Bandung Barat dalam Lingkup penduduknya, Desa Jayagiri dan Lembang
Metropolitan Bandung sebagai wilayah yang memiliki konsentrasi penduduk yang tinggi
mendukung pengembangan Kota Inti sehingga persebaran minimarket dimungkinkan
(Bandung-Cimahi) maka Lembang merupakan karena alasan demografis.
Kota Satelit I. Hal ini sejalan dengan RTRWN
dalam RTRW Provinsi Jawa Barat 2003 yang Jika dilihat dari persebarannya, terdapat 3
menetapkan beberapa kota-kota prioritas, yaitu minimarket yang berlokasi di jalan utama
Bandung sebagai pusat pertumbuhan ekonomi; tersebut berada di pusat kota, bahkan ada yang
Padalarang, Cimahi, Lembang, Banjaran, dan posisinya beraglomerasi. Ketiga minimarket
Majalaya, sebagai kota penyangga. Kota-kota tersebut berlokasi di desa Jayagiri dan
tersebut dimaksudkan untuk dapat berperan Lembang. Aglomerasi ini terjadi karena di
sebagai kota-kota pusat pertumbuhan, pusat dekatnya terdapat pasar turis sehingga dapat
penyebaran pelayanan sektor-sektor ekonomi menangkap pangsa pasar dari wisatawan.
serta sekaligus sebagai counter magnet and Kemudian terdapat juga minimarket yang
buffer city atau penyangga untuk berlokasi di jalan lokal yang berlokasi di Desa
mengantisipasi perkembangan kota-kota besar Lembang dan Kayu Ambon. Hal ini
di sekitarnya. dikarenakan lokasi minimarket berdekatan
dengan pasar tradisional penduduk.
Berdasarkan arah pengembangan tersebut dan Keberadaan minimarket tersebut
kedekatan dengan Kota Bandung, kegiatan memanfaatkan potensi pengunjung dari pasar
ekonomi di Lembang cukup berkembang. serta permukiman setempat. Kemudian dari
Salah satunya adalah perdagangan. Hal ini Tabel 1, persebaran minimarket di Desa Kayu
sesuai dengan data struktur Produk Domestik Ambon tidak didasarkan atas jumlah
Regional Bruto (PDRB) Kecamatan Lembang penduduknya, namun didasarkan atas
Tahun 2005 yang menempatkan sektor kedekatannya dengan lokasi-lokasi tertentu
perdagangan, hotel dan restoran (25%) sebagai yaitu pasar tradisional dan kompleks militer.
peringkat kedua setelah sektor industri
pengolahan (28%). Salah satu kegiatan yang Berdasarkan Tabel 1, persebaran toko
berkembang di kota ini adalah ritel modern kelontong terkonsentrasi di Desa Lembang.
yang diwakili oleh minimarket terwaralaba Selain dikarenakan jumlah penduduknya yang
seperti Alfamart, Yomart, dan Indomaret. besar, Desa Lembang merupakan pusat dari
Diduga perkembangan ritel modern ini aktivitas kota meliputi perdagangan maupun
diakibatkan oleh pengaruh kota besar terdekat jasa perbankan. Kemudian dari persebarannya,
yang menyebarkan modernisasi ke kota-kota walaupun terdapat beberapa minimarket yang
kecil di sekitarnya, termasuk Lembang. berlokasi di jalan lokal, namun secara umum
kegiatan perdagangan di daerah permukiman
Persebaran minimarket dan toko kelontong di masih didominasi oleh toko kelontong
Kota Lembang tidak hanya berlokasi di dibandingkan minimarket.
sepanjang jalan utama yaitu Jalan Raya
Lembang, namun juga terdapat di permukiman Jika dibandingkan dengan kebutuhan standar
penduduk. Berdasarkan Tabel 1 dapat jumlah pengecer (minimarket dan toko
92
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 20/No.2 Agustus 2009
kelontong) di Kota Lembang, jumlah pengecer cenderung berada di kawasan yang sesuai
di Kota Lembang mengalami kelebihan, dengan fungsi kotanya kecuali Kota Soreang
sedangkan kekurangan dari standar kebutuhan yang fungsi utama kotanya sebagai
yang paling tinggi terjadi di Desa Langensari. pemerintahan. Hal ini dikarenakan pergerakan
Hal ini diduga disebabkan karena kondisi kegiatan di kawasan pusat kota lebih tinggi
geografis dari Desa Langensari yang berkontur dari kawasan pemerintahannya.
padahal jumlah penduduknya merupakan yang
tertinggi. Akses jalan pada kelurahan ini juga Secara umum, ritel modern yang berkembang
kurang baik dan tidak seluruh jalan utama dari di kawasan perkotaan tersebut berbentuk
kelurahan ini yang dilalui angkutan umum. minimarket yang tersebar di sepanjang jalan
utama. Hal ini sudah sesuai dengan syarat yang
7. Kesimpulan ada dalam Perpres 112/2007 yang menyatakan
bahwa minimarket boleh berlokasi pada setiap
Dalam beberapa tahun terakhir, industri ritel sistem jaringan jalan, termasuk jalan
modern berkembang pesat di Indonesia. lingkungan pada kawasan pelayanan
Pesatnya perkembangan tersebut diduga lingkungan (perumahan) di dalam
berpotensi menimbulkan persoalan yang kota/perkotaan. Namun lokasi minimarket di 3
berkaitan dengan keberlangsungan ritel kawasan perkotaan tersebut ada yang
tradisional. Persoalan ini muncul ketika beraglomerasi di suatu lokasi yang berdekatan
penempatan lokasi ritel modern yang dengan ritel tradisional yang berpotensi
berdekatan dengan ritel tradisional. Kedekatan menimbulkan persaingan antara ritel tersebut.
ini menimbulkan beberapa dampak yang Berdasarkan pola persebaran yang sudah
merugikan ritel tradisional seperti terambilnya ditunjukkan pada tulisan ini, kejelasan
pangsa pasar ritel tradisional oleh ritel modern mengenai aturan jarak menjadi penting. Hal ini
dan menurunnya omset ritel tradisional. Pada diduga dapat memberikan dampak tertentu
dasarnya, persoalan ini telah diakomodasi oleh pada kawasan yang diteliti, khususnya dalam
beberapa kebijakan terkait. Kebijakan yang hal adanya tumpang tindih jangkauan
telah disusun telah mencoba mengakomodasi pelayanan ritel modern dan tradisional, kinerja
berbagai kepentingan baik dari sisi ritel ritel tradisional dan pengaruh ritel modern
modern, pemasok, konsumen maupun terhadap perilaku masyarakat. Sebagai langkah
tradisional. Namun, kebijakan tersebut lanjutan dari tulisan ini, maka dibutuhkan
memerlukan dukungan ketegasan pemerintah suatu penelitian mengenai isu-isu tersebut
(kota/kabupaten) terkait dan peraturan teknis secara lebih mendalam.
lain seperti aturan zonasi, jarak (angka) ritel
modern terhadap tradisional, dan lainnya. Daftar Pustaka
93
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 20/No.2 Agustus 2009
Areas in Istanbul dalam European Planning Peraturan Menteri Perdagangan No.53 tahun 2008
Studies Vol. 16, No. 1, January 2008 Tentang Pedoman Penataan dan Pembianan
Jones, Ken dan Simmons, Jim. 1990. Location Pasar Tradisional, Pusat perbelanjaan, dan
Location Location Analyzing the Retail Toko Modern.
Environment. Canada: Nelson Canada. Septyaningsih, Lina Dwi. 2009. Tumpang Tindih
Kuncoro, Mudradjad. 2008. Strategi Jangkauan Pelayanan Pengecer Modern dan
Pengembangan Pasar Modern dan Pengecer Tradisional di Kota Kecil (Studi
Tradisional. Diakses melalui www.kadin- Kasus: Kawasan Perkotaan Lembang, Kota
indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN- Soreang, dan Tanjungsari). Tugas Akhir. Prodi
107-2998-18072008.pdf, Desember 2008 Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB.
Ma’ruf, Hendri. 2006. Pemasaran Ritel. Jakarta: SMERU Research Institute. 2007. Pasar
Gramedia Tradisional di Era Persaingan Global dalam
Natawidjaja, Ronnie S, 2005. Modern Market Buletin No. 22 Edisi April-juni 2007
Growth and The Changing Map of The Retail Tambunan, Tulus. 2008. Pengkajian Kebijakan
Food Sector in Indonesia dipresentasikan Perdagangan dan Kebijakan Investasi Riil di
th
dalam Pacific Food System Outlook (PFSO) 9 Indonesia: Beberapa Isu Besar dan Arah
Annual Forecasters Meeting di Kunming, Kebijakannya diakses melalui www.kadin-
China. May 10-13, 2005. indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-
Peraturan Presiden no.112 tahun 2007 Tentang 98-3001-21072008.pdf , Desember 2008.
Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Wee, Lyndia dan Ng-Tang, Cynthia. 2005.
Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Managing the Brick-and-Mortar Retail Stores.
Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
94