Anda di halaman 1dari 5

Kondisi Pasar tradisional di perkotaan

Kondisi ritel modern di beberapa kota di Indonesia Supermarket di Indonesia semuanya milik swasta dan izinnya dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag). Pemda umumnya tidak berwewenang untuk menolak izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, meskipun beberapa pemda mensyaratkan agar supermarket mengajukan izin lokal. Sebagai contoh, Pemda Depok mensyaratkan agar supermarket memiliki Izin Usaha Pasar Modern (IUPM), yang dikeluarkan oleh Deperindag dan Izin Prinsip Pembangunan Pasar Modern (IP3M), yang dikeluarkan oleh Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Depok. Selain izin yang dikeluarkan secara terpusat, supermarket biasanya harus mendapatkan izin local lainnya yang diperlukan oleh setiap usaha pribadi, seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Gangguan (HO). Keadaan ini mirip dengan yang terjadi di Bandung, meskipun Pemda Bandung telah menyiapkan rancangan peraturan tentang usaha ritel Supermarket pertama di Indonesia dibuka pada 1970-an, dan jumlahnya meningkat dengan pesat antara 1977 dan 1992dengan rata-rata pertumbuhan 85% setiap tahunnya. Hipermarket muncul pertama kali pada 1998, dengan pembukaan pusat belanja Carrefour dan Continent (yang kemudian diambil alih oleh Carrefour) di Jakarta. Dari 1998 hingga 2003, hipermarket bertumbuh rata-rata 27% per tahun, dari 8 menjadi 49 toko. Kendati tidak mudah memastikan jumlah supermarket dan hypermarket di seluruh Indonesia, sejak 2003, sekitar 200 supermarket dan hipermarket merupakan milik dari 10 pemilik ritel terbesar (PricewaterhouseCoopers 2004). Pertumbuhan supermarket dalam hal pangsa pasar juga mengesankan. Laporan World Bank (2007) menunjukkan bahwa pada 1999 pasar modern hanya meliputi 11% dari total pangsa pasar bahan pangan. Menjelang 2004, jumlah tersebut meningkat tiga kali lipat menjadi 30%. Terkait dengan tingkat penjualan, studi tersebut menemukan bahwa jumlah penjualan di supermarket bertumbuh rata-rata 15%, sementara penjualan di ritel tradisional menurun 2% per tahun.

PricewaterhouseCoopers (2004) memperkirakan bahwa penjualan di supermarket akan meningkat 50% antara 2004 dan 2007, dengan penjualan di hipermarket yang meningkat 70% pada periode yang sama. Menurut laporan AC Nielsen Asia Pacific Retail and Shopper Trend 2005, kecenderungan public untuk berbelanja di pasar-pasar tradisional telah mengalami

penurunan rata-rata 2% per tahun. Meski pertumbuhan jumlah supermarket di Indonesia terbilang pesat, penduduk yang tinggal di luar Jakarta dan beberapa kota kecil lainnya di Jawa relatif belum tersentuh86% hipermarket berada di Jawa.
modern.Di Bandung, department store pertama dibuka pada 1977 dan dikuti supermarket

pertama pada 1979. Ledakan jumlah supermarket di kota ini bermula pada 2002. Semua terletak di pusat kota, sering kali saling berdekatan akibat ketatnya persaingan. Sementara itu, persaingan demikian telah memaksa beberapa supermarket untuk gulung tikarterutama supermarket yang memiliki jaringan lokal seperti Merlin dan Riapembangunan supermarket baru kian bertambah. Sejak 2006, Bandung menjadi tuan rumah bagi 65 supermarket, 6 hipermarket, dan 3 pusat grosir modern, ditambah minimarket yang tak terhitung. Hanya berselang seminggu setelah kunjungan lapangan, sebuah supermarket dibuka di wilayah yang berjarak 200 meter dari Pasar Banjaran, salah satu yang menjadi pasar control.

PRO KONTRA RITEL MODERN Pengaruh datangnya pasar modern terhadap pasar tradisional sangat kuat sehingga selalu terjadi pro-kontra antara para pelaku bisnis retail modern. Tidak bisa dipungkiri bahwa ketika masuknya pasar modern dalam suatu wilayah atau kota diharapkan akan mampu bisa menyerap banyak tenaga kerja dalam hal ini adalah pemuda dan remaja yang baru lulus sekolah tingkat atas yaitu SMA atau yang setara. Di dalam berbagai penelitian singkat di berbagai daerah industri menunjukkan bahwa penggangguran memerlukan penanganan segera . Dalam hal ini diharapkan bahwa masuknya pasar modern adalah dapat mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak akan tetapi di dalam bisnis-bisnis retail bahwa manajemen lebih mementingkan tenaga kerja angkatan baru yakni adalah para remaja yang baru lulus Sekolah Menengah Atas atau SMA yang setara. Pada awalnya pusat perbelanjaan atau pasar modern ini berasal dari pasar-pasar tradisional yang semakin berkembang. Ada kalanya gedung yang digunakan sebagai pusat perbelanjaan ini dibangun di atas pasar-pasar tradisional . Hal ini menimbulkan fenomena lain yaitu semakin tersisihnya pedagang-pedagang yang berada di pasar tradisional.

Hal ini juga menyangkut individu bagi calon customer/pembeli itu sendiri akan kemanakah mereka dalam membeli kebutuhan sehari-hari. Akankah mereka membelanjakan uang mereka ke

pasar modern ataukah pasar tradisional? Pada prinsip-prinsip dasar yang dipakai setiap masyarakat untuk memutuskan bagaimana cara terbaik untuk membelanjakannya, termasuk gabungan antara kebutuhan publik dan pribadi, seharusnya berjalan dengan baik asalkan keputusan tersebut hanya atau terutama mempengaruhi anggota-anggota masyarakat yang berlaku. Namun diharapkan masuknya pasar modern atau yang sejenisnya tidak mengganggu pasar tradisional yang sudah dulu berdiri sejak belum masuknya pasar modern. Pertarungan antara pasar tradisional dan pasar modern selalu menarik perhatian pembuat kebijakan. Seperti dua orang yang bertengkar, kita pun ingin memisahkannya. Kita pikir, kalau masing-masing berada dalam zonanya, itu akan lebih sehat. Namun, kadang kita melupakan esensi dari kehidupan itu sendiri, bahwa perbedaan dapat saling melengkapi; bahwa konsumen kita berevolusi, dan rakyat yang menjadi obyek kebijakan bukan cuma pedagang, tetapi juga konsumen. Konsumen Indonesia adalah pembelanja multimode yang hari ini belanja di warung, besok di minimarket, dan akhir bulan ke hipermarket. Kondisi itu membuat kebijakan persaingan yang salah justru dapat mematikan persaingan itu sendiri.Drama persaingan peritel tradisional melawan peritel modern dapat dilihat pada angka-angka berikut ini. Menurut Asosiasi Pengelola Pasar Tradisional, dewasa ini terdapat 13.400 pasar tradisional di seluruh Indonesia dengan 12,6 juta pedagang kecil. Di sisi lain, walaupun jumlahnya kecil, ritel modern telah meningkat pesat, dari 4.977 (2003) menjadi 7.689 (2005). Dari jumlah itu, pelaku terbesar bukanlah hipermarket, melainkan supermarket, sebanyak 1.141 unit. Sedangkan jumlah outlet hipermarket baru mencapai 83 buah. Namun, karena pengunjungnya padat dan letaknya strategis, hipermarket selalu menjadi sasaran pembatasan. Padahal, keramaian berbelanja di hipermarket bukan hanya mematikan usaha tradisional, tetapi juga mematikan supermarket. Sementara itu, tekanan persaingan terbesar peritel tradisional adalah minimarket (convenience store) yang pada tahun 2003 jumlahnya baru 4.038 unit, tetapi pada tahun 2005 telah menjadi 6.465 unit. Hubungan di antara kedua pelaku usaha yang berbeda DNA-nya ini sebenarnya tidak bersifat dikotomi. Sudah sejak lama para pengembang gedung-gedung pertokoan memanfaatkan kehadiran ritel modern untuk memajukan ritel-ritel tradisional. PD Pasar Jaya, misalnya, pernah sengaja menempatkan Matahari Department Store di lantai atas untuk menarik lalu lintas pembeli. Lalu lintas itu menguntungkan pedagang tradisional yang menempati tiga lantai di bawahnya. Namun, waktu berlalu, segala sesuatu berubah. Struktur penghasilan berubah, jumlah wanita yang memasuki

dunia kerja terus meningkat, waktu yang dimiliki konsumen semakin terbatas, teknologi konsumen (transportasi, alat pembayaran, kemasan, dan alat-alat pendingin), dan sebagainya. Dengan demikian, tuntutan dan pola belanjanya berubah. Sampailah drama itu memisahkan keduanya. Yang satu melaju cepat, yang satu lagi terbelenggu. Supermarket berevolusi menjadi hipermarket, minimarket (lebih dekat pemukiman) dan specialty store. Sementara itu, pasar tradisional semakin terpuruk. Bangunannya tidak diperbarui, teknologi tidak diperkenalkan, premannya semakin banyak, sanitasinya buruk, lorong-lorongnya gelap dan becek. Yang lebih menarik lagi, ternyata pengelolanya bukan orang-orang bisnis.

Pro Kontra Ritel modern Dalam kasus ini , pro maupun kontra bukan menjadi pilihan tetapi jika kedua industry ritel modern ataupun tradisional berjalan dengan sejalan , dalam arti keduanya tidak saling merugikan.Namun nyatanya banyak penelitian yang menunjukan bahwa dengan menjamurnya ritel modern merugikan para pelaku ritel tradisional padahal sebagaimana kita ketahui bahwa pasar tradisional adalah pilar ekonomi pedesaan . Oleh karena itu menurut saya harus di buat beberapa kebijakan .Pertama, pemda dan pengelola pasar tradisional swasta seyogianya mengubah cara pandang agar tidak melihat pasar tradisional sebagai sumber pendapatan semata. Mereka harus secara nyata berinvestasi pada perbaikan pasar tradisional dan menetapkan standar layanan minimum. Ini tentu juga berimplikasi pada penunjukkan orang-orang yang tepat sebagai pengelola dan memberikan kewenangan yang cukup untuk mengambil keputusan sehingga mereka tidak bertindak sekadar sebagai pengumpul retribusi semata. Juga penting untuk meningkatkan kinerja pengelola pasar apakah melalui pelatihan atau evaluasi berkala. Lebih lanjut, pengelola pasar harus secara konsisten melakukan koordinasi dengan para pedagang untuk mencapai pengelolaan pasar yang lebih baik. Usaha bersama (dalam bentuk perjanjian

kerja) antara pemda dan sektor swasta juga dapat menjadi solusi terbaik untuk meningkatkan daya saing pasar tradisional, seperti yang terjadi di Pasar Bumi Serpong Damai, Tangerang. Kedua, pemda seharusnya mengorganisasikan para PKL, baik dengan menyediakan kios di dalam pasar atau dengan menegakkan aturan yang melarang mereka membangun lapaknya di sekitar pasar. Hal yang juga amat penting adalah bahwa para PKL tidak diperkenankan untuk berjualan di pintu masuk pasar sehingga menghalangi akses ke dalam pasar. Rekomendasi ketiga berkelindan dengan para pedagang sendiri. Kebanyakan pedagang tidak memiliki pilihan kecuali harus membayar tunai kepada para pemasok dan menggunakan modal sendiri untuk kegiatan bisnisnya. Di satu sisi, hal ini menjadi hambatan bagi ekspansi usaha, namun di sisi lain, ini berarti bahwa para pedagang harus menerima semua risiko yang berhubungan dengan usahanya. Mengingat tidak lazimnya penyediaan jaminan bagi sebuah usaha, maka para pedagang menjadi kelompok yang rentan terhadap setiap guncangan kecil sekalipun. Karena itu, upaya mengkaji jenis asuransi yang cocok bagi para pedagang menjadi penting artinya dan membantu mereka bila membutuhkan modal tambahan untuk pendanaan perluasan usahanya. Terakhir, kondisi yang tersingkap mengarah pada perlunya kebijakan yang menyeluruh mengenai pasar modern, termasuk peraturan untuk isu-isu seperti hak dan tanggung jawab pengelola pasar dan pemda, serta sanksi kepada mereka yang melanggar peraturan. Meskipun beberapa daerah menganggap perlu untuk memiliki peraturan yang terpisah, perbaikan pada peraturan yang ada seharusnya sudah cukup. Hal yang lebih penting adalah menjamin bahwa semua pemangku kepentingan memahami peraturan tersebut dan semua tingkat pemerintahan hendaknya bertindak berdasarkan aturan. Demi menjamin persaingan yang sehat antara pedagang pasar tradisional dan peritel modern, pemda dan pemerintah pusat perlu memiliki mekanisme kontrol dan pemantauan untuk menjaga agar arena persaingan tetap adil.

Anda mungkin juga menyukai