Anda di halaman 1dari 6

MATA KULIAH MODERNISASI RITEL PRODUK PERTANIAN

TUGAS KELOMPOK
24 Maret 2016
Tugas 3 : Impact of Supermarkets on Traditional Markets and Retailers in
Indonesia's Urban Centers

Disusun Oleh :
KELOMPOK 1
1. Muhammad Esa Pertiby Kaban 150610140001
2. Reza Siti Umaroh 150610140018
3. Fitri Hidayah Laila Pohan 150610140064

KEMENTERIAN RISTEK DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
SUMEDANG
2016
Impact of Supermarkets on Traditional Markets and Retailers in Indonesia's
Urban Centers
Di Indonesia, supermarket lokal telah ada sejak 1970-an, meskipun masih
terkonsentrasi di kota-kota besar. Supermarket bermerek asing mulai masuk ke
Indonesia pada akhir 1990-an semenjak kebijakan investasi asing langsung dalam sektor
usaha ritel dibuka pada 1998. Meningkatnya persaingan telah mendorong kemunculan
supermarket di kota-kota kecil dalam rangka mencari pelanggan baru dan terjadi
perang harga. Akibatnya, bila supermarket Indonesia hanya melayani masyarakat kelas
menengah-atas pada era 1980-an sampai awal 1990-an (CPIS 1994), penjamuran
supermarket hingga ke kota-kota kecil dan adanya praktik pemangsaan melalui strategi
pemangkasan harga memungkinkan konsumen kelas menengah-bawah untuk
mengakses supermarket (Suryadarma, 2007).
Kehadiran peritel modern pada awalnya tidak mengancam pasar tradisonal.
Kehadiran para peritel modern yang menyasar konsumen dari kalangan menengah
keatas, saat itu lebih menjadi alternatif dari pasar tradisional yang identik dengan
kondisi pasar yang kumuh, dengan tampilan dan kualitas yang buruk, serta harga jual
rendah dan sistem tawar menawar konvensional. Namun sekarang ini kondisinya telah
banyak berubah. Supermarket dan Hypermarket tumbuh bak cendawan di musim hujan.
Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi dari berbagai perubahan di masyarakat.
Sebagai konsumen, masyarakat menuntut hal yang berbeda di dalam aktifitas
berbelanja. Kondisi ini masih ditambah semakin meningkatnya pengetahuan,
pendapatan, dan jumlah keluarga berpendapatan ganda (suami istri bekerja) dengan
waktu berbelanja yang terbatas.Konsumen menuntut peritel untuk memberikan nilai
lebih dari setiap sen uang yang dibelanjakan.Peritel harus mampu mengakomodasi
tuntutan tersebut jika tak ingin ditinggalkan para pelanggannya (Ekapribadi, 2007).
Pernyataan Esther dan Didik (2003) memang tidak bisa dipungkiri bahwa
keberadaan pasar modern dewasa ini sudah menjadi tuntutan dan konsekuensi dari gaya
hidup modern yang berkembang di masyarakat kita. Tidak hanya di kota metropolitan
saja tetapi sudah merambah sampai kota kecil di tanah air. Sangat mudah menjumpai
minimarket, supermarket bahkan hypermarket di sekitar tempat tinggal kita. Tempat-
tempat tersebut menjanjikan tempat belanja yang nyaman dengan harga yang tidak
kalah menariknya. Namun dibalik kesenangan tersebut ternyata telah membuat para
peritel kelas menengah dan kelas bawah mengeluh. Dampak keberadaan pasar modern
terhadap pedagang pasar tradisional mungkin tidak secara jelas, sebab ada juga

1
beberapa penyebab lain turunnya kinerja usaha pasar tradisional. Misalnya karena
Pedagang Kaki Lima (PKL), keadaan pasar yang kurang nyaman, turunnya daya beli
masyarakat akibat krisis, dan penyebab lainnya.
Pasar Tradisional
Pengertian
Pasar tradisonal adalah pasar yang dikelola secara sederhana dengan bentuk fisik
tradisional yang menerapkan system transaksi tawar menawar secara langsung dimana
fungsi utamanya adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat baik di desa, kecamatan,
dan lainnya (Sinaga,2008).
Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah. Daerah,
Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, termasuk
kerjasama swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/
dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan
usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui
tawar-menawar (Pepres RI No. 112, 2007).
Harga di pasar tradisional ini mempunyai sifat yang tidak pasti, oleh karena itu
bisa dilakukan tawar menawar. Bila dilihat dari tingkat kenyamanan, pasar tradisional
selama ini cenderung kumuh dengan lokasi yang tidak tertata rapi. Pembeli di Pasar
tradisional (biasanya kaum ibu) mempunyai perilaku yang senang bertransaksi dengan
berkomunikasi /berdialog dalam hal penetapan harga, mencari kualitas barang,
memesan barang yang diinginkan, dan perkembangan harga-harga lainnya.
Barang yang dijual dipasar tradisional umumnya barang-barang lokal dan
ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas, barang yang dijual di pasar tradisional dapat
terjadi tanpa melalui penyortiran yang kurang ketat. Dari segi kuantitas, jumlah barang
yang disediakan tidak terlalu banyak sehingga apabila ada barang yang dicari tidak
ditemukan di satu kios tertentu, maka dapat dicari ke kios lain. Rantai distribusi pada
pasar tradisional terdiri dari produsen, distributor, sub distributor, pengecer, konsumen.

Persaingan Kedua Ritel Secara Makro


Persaingan dalam industri ritel dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu persaingan
antara ritel modern dan tradisional, persaingan antar sesama ritel modern, persaingan

2
antar sesama ritel tradisional, dan persaingan antar supplier. Diantara keempat jenis
persaingan tersebut, persaingan antara ritel tradisional dan ritel modern paling banyak
mengundang perhatian, karena menempatkan satu pihak (ritel tradisional) dalam posisi
yang lemah.Sehingga hal ini memaksa semua pihak yang terkait (pelaku ritel, asosiasi,
pemerintah, pakar bisnis ritel) berperan aktif bersama-sama menyelesaikan ekses
persaingan tersebut.Salah satu indikator ketimpangan kekuatan antara ritel tradisional
dan ritel modern dapat dilihat dari segi pertumbuhan kedua jenis ritel tersebut.
Foppi mencatat, di seluruh Indonesia terjadi penyusutan jumlah pasar tradisional
sebesar 8% per tahun.Pertumbuhan pasar modern justru sangat tinggi.Pertumbuhan
hypermarket bahkan mencapai 70%.Strategi persaingan ritel tradisional dengan
ritelmodern dapat dilakukan melalui penerapan modern strategi pengembangan menang-
menang, yaitu saling menguntungkan atau saling bersinergi.
Ketidakjelasan regulasi mengenai industri ritel, terutama menyangkut jarak
lokasi ritel, atau pelanggaran aparat pemerintah yang memberikan izin usaha ritel walau
melanggar aturan, menambah berat upaya melindungi ritel tradisional. Tak hanya itu
beberapa kalangan pun melihat, keberadaan ritel modern telah menggeser keberadaan
ritel tradisional.Ritel tradisional merupakan ritel sederhana dengan tempat yang tidak
terlalu luas, barang yang djual terbatas jenisnya. Sistem manajemen yang sederhana
memungkinkan adanya proses tawar menawar harga. Berbeda dengan ritel modern.
Regulasi pemerintah mengenai bisnis ritel berada dalam arus pemikiran seperti
pada umumnya karena cenderung menggunakan pendekatan yang membatasi bisnis ritel
hanya pada in-store retailing.Termasuk dalam memberikan batasan mengenai ritel
tradisional dan ritel modern.
Mendasarkan dari Perpes No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan
Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, memberikan batasan pasal 1
sebagai berikut:
Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah,
pemda, swasta, BUMN, dan BUMD termasuk kerjasama dengan rakyat kecil (swasta)
dengan tempat usaha berupa warung, took, kios, los, dan tenda yang dimiliki atau
dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan
usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual barang dagangan melalui tawar
menawar.

3
Toko modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai
jenis barang secara eceran yang berbentuk minimarket, supermarket, department store,
hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan.
Persaingan antara ritel tradisional dan ritel moden terjadi antara jenis ritel dalam
ukuran yang kurang lebih sama; minimarket dengan toko dan kios di sekitarnya; pasar
tradisional dengan supermarket atau hypermarket. Ketiga jenis ritel modern;
minimarket, supermarket, dan hypermarket, mempunyai karakteristik yang sama dalam
model penjualan yaitu dilakukan secara eceran langsung pada konsumen akhir dengan
cara swalayan, artinya pembeli mengambil sendiri barang dari rak-rak dagangan dan
membayar di kasir. Kesamaan lain, barang yang diperdagangkan adalah berbagai
macam kebutuhan rumah tangga termasuk kebutuhan sehari-hari.
Di Indonesia pangsa pasar dan kinerja usaha pasar tradisional menurun,
sementara pada saat yang sama pasar modern mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Kontribusi pasar tradisional sekitar 69,9% pada tahun 2004, menurun dari tahun
sebelumnya (2003) sekitar 73,7%. Kondisi sebaliknya terjadi pada Supermarket dan
Hypermarket, kontribusi mereka kian hari kian besar. Pada tahun 2003 kontribusi pasar
modern sebesar 26,3 % mengalami kenaikan pada tahun berikutnya, 2004 menjadi
30,1% (Anonimous, 2007).
Tabel Kontribusi pasar tradisional dan pasar modern dalam memenuhi kebutuhan pasar
Tahun Pasar Tradisional (%) Pasar Modern (%) Permintaan
Pasar
2000 78,1 21,9 100
2001 75,2 24,8 100
2002 74,8 25,2 100
2003 73,7 26,3 100
2004 69,9 30,1 100
Sumber: Penelitian Lembaga AC.Nielsen (2007)
Menurunnya kinerja pasar tradisional selain disebabkan oleh adanya pasar
modern, penurunannya justru lebih disebabkan oleh lemahnya daya saing para peritel
tradisional (Harmanto, 2007). Kondisi pasar tradisional pada umumnya
memprihatinkan. Banyak pasar tradisional yang tidak terawat sehingga dengan berbagai
kelebihan yang ditawarkan oleh pasar modern kini pasar tradisional terancam oleh
keberadaan pasar modern. Ekapribadi (2007) menambahkan bahwa mengenai
kelemahan yang dimiliki pasar tradisional. Kelemahan tersebut telah menjadi karakter

4
dasar yang sangat sulit diubah. Faktor desain dan tampilan pasar, atmosfir, tata ruang,
tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi pengeluaran, jam operasional pasar
yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual merupakan kelemahan terbesar
pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern.
Faktor lain yang juga menjadi penyebab kurang berkembangnya pasar
tradisional adalah minimnya daya dukung karakteristik pedagang tradisional, yakni
strategi perencanaan yang kurang baik, terbatasnya akses permodalan yang disebabkan
jaminan (collateral) yang tidak mencukupi, tidak adanya skala ekonomi (economies of
scale), tidak ada jalinan kerja sama dengan pemasok besar, buruknya manajemen
pengadaan, dan ketidakmampuan untuk menyesuaikan dengan keinginan konsumen
(Wiboonpongse dan Sriboonchitta 2006). Hal ini diperkuat dengan temuan penelitian
yang dilakukan oleh Paesoro (2007) menunjukkan bahwa penyebab utama kalah
bersaingnya pasar tradisional dengan supermarket adalah lemahnya manajemen dan
buruknya infrastruktur pasar tradisional, bukan semata-mata karena keberadaan
supermarket.Supermarket sebenarnya mengambil keuntungan dari kondisi buruk yang
ada di pasar tradisional.

Anda mungkin juga menyukai