Anda di halaman 1dari 10

CH 5

PERKEMBANGAN BISNIS RITEL

Bisnis Ritel secara umum adalah kegiatan usaha menjual aneka barang atau jasa untuk

konsumsi langsung atau tidak langsung. Dalam mata rantai perdagangan, bisnis ritel merupakan

bagian terakhir dari proses distribusi suatu barang atau jasa dan bersentuhan langsung dengan

konsumen. Secara umum peritel tidak membuat barang dan tidak menjual ke pengecer lain.

Akan tetapi dalam praktik bisnis ritel modern saat ini tidak tertutup kemungkinan, banyak

pengecer kecil membeli barang di gerai peritel besar, mengingat perbedaan harga yang muncul

pada waktu-waktu promosi tertentu yang dilakukan oleh peritel besar. Bisnis Ritel di Indonesia

secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu, ritel modern dan ritel tradisional. Ritel

modern sebenarnya merupakan pengembangan dari ritel tradisional, yang pada praktiknya

mengaplikasikan konsep yang modern, pemanfaatan teknologi, dan mengakomodasi

perkembangan gaya hidup di masyarakat (konsumen).

Jika kita menilik sejarah ritel modern di indonesia sebenarnya sudah di mulai dari tahun

1960-an. Pada saat itu sudah muncul department Store yang pertama yaitu SARINAH. Dalam

kurun waktu lebih dari 15 tahun kemudian, bisnis ritel di Indonesia bisa dikatakan berkembang

dalam level yang sangat rendah sekali. Hal ini bisa dikaitkan dengan kebijakan ekonomi

Soeharto di awal masa pemerintahan orde baru, yang lebih banyak membangun investasi di

bidang eksploitasi hasil alam (tambang & kayu), dibandingkan sektor usaha ritel barang dan jasa

di masyarakat.
Awal tahun 1990-an merupakan titik awal perkembangan bisnis ritel di indonesia.

Ditandai dengan mulai beroperasinya salah satu perusahaan ritel besar dari Jepang yaitu

“SOGO”. Selanjutnya dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 99/1998, yang

menghapuskan larangan investor dari luar untuk masuk ke dalam bisnis ritel di indonesia,

perkembangannya menjadi semakin pesat.

Modern market digambarkan secara sederhana sebagai suatu tempat menjual barang-

barang makanan atau non makanan, barang jadi atau bahan olahan, kebutuhan harian atau

lainnya yang menggunakan format self service dan menjalankan sistem swalayan yaitu

konsumen membayar di kasir yang telah disediakan. Sehingga saat ini banyak orang cukup

familiar dengan istilah “Pasar Swalayan”

Berdasarkan definisi yang tertuang dalam Keputusan Presiden RI No. 112/Th. 2007, dikatakan

bahwa Format Pasar Swalayan dikategorikan sbb:

1. Minimarket :

– Produk dijual : kebutuhan rumahtangga, makanan dan termasuk kebutuhan harian.

– Jumlah produk : < 5000 item

– Luas gerai : maks. 400m2

– Area Parkir : terbatas

– Potensi penjualan : maks. 200 juta

2. Supermarket:

– Produk dijual : kebutuhan rumahtangga, makanan dan termasuk kebutuhan harian.

– Jumlah produk : 5000-25000 item


– Luas gerai : 400-5000m2

– Area Parkir : sedang (memadai)

– Potensi penjualan : 200 juta- 10 milliar

3. Hypermarket:

– Produk dijual : kebutuhan rumahtangga, makanan dan termasuk kebutuhan harian, textile,

fashion, furniture, dll.

– Jumlah produk : >25000 item

– Luas gerai : > 5000 m2

– Area Parkir : sangat besar

– Potensi penjualan : > 10 milliar

Dalam 6 tahun terakhir, perkembangan ketiga format modern market di atas sangatlah

tinggi. konsepnya yang modern, adanya sentuhan teknologi dan mampu memenuhi

perkembangan gaya hidup konsumen telah memberikan nilai lebih dibandingkan dengan market

tradisional. Selain itu atmosfer belanja yang lebih bersih dan nyaman, semakin menarik

konsumen dan dapat menciptakan budaya baru dalam berbelanja.

Banyak perbedaan yang dihadirkan bisnis ritel tradisional maupun bisnis ritel modern.

Sehingga kini di kabupaten atau kota bahkan desa di Indonesia, “bisnis ritel” terlebih bisnis ritel

modern mulai banyak dilirik kalangan pengusaha, sebab memiliki pengaruh positif terhadap

jumlah lapangan pekerjaan dan keuntungannya yang menjanjikan.Dalam 6 tahun terakhir,

perkembangan ketiga format modern market di atas sangatlah tinggi. konsepnya yang modern,

adanya sentuhan teknologi dan mampu memenuhi perkembangan gaya hidup konsumen telah
memberikan nilai lebih dibandingkan dengan market tradisional. Selain itu atmosfer belanja yang

lebih bersih dan nyaman, semakin menarik konsumen dan dapat menciptakan budaya baru dalam

berbelanja.

Munculnya konsep ritel baru seperti hipermarket, supermarket, dan minimarket, yang

termasuk ke dalam jenis ritel modern (pasar modern) merupakan peluang pasar baru yang dinilai

cukup potensial oleh para pebisnis ritel, namun dilain sisi dapat mengancam keberadaan pasar

tradisional yang belum dapat bersaing dengan pasar modern terutama dalam hal manajemen

usaha dan permodalan. Dari waktu ke waktu jumlah pasar modern cenderung mengalami

pertumbuhan positif sedangkan pasar tradisional cenderung mengalami pertumbuhan negatif

“bisnis retail” seperti mini market, super market, hypermarket dan sebagainya adalah bagian dari

modernisasi dari pasar tradisional yang memungkinkan orang dapat berbelanja dengan fasilitas

dan kenyaman serta pelayanan yang baik, selain itu harga dari setiap produk yang cukup

terjangkau.

Pergeseran gaya berbelanja masyarakat ke platform dagang elektronik disinyalir turut

memengaruhi penjualan fast moving consumer goods (FMCG) di ritel modern. Direktur Jenderal

Perdagangan Dalam Negeri Tjahya Widayanti mengatakan, tren tersebut membuat pertumbuhan

penjualan ritel modern tidak akan tumbuh mencapai  10% pada tahun ini. Kondisi tersebut,

lanjutnya, diperkuat oleh data Bank Indonesia, bahwa transaksi di platform dagang-elektronik

Indonesia sepanjang 2018 mencapai Rp77,766 triliun. Angka tersebut meroket 151%

dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai Rp30,942 triliun. “Namun, secara umum

perkembangan usaha ritel modern di Indonesia, yang dilihat dari besaran konsumsi produk
FMCG, selama April 2018—April 2019 masih tumbuh positif sebesar 1,8% dengan

pertumbuhan ritel modern 6,6%,” katanya.

Kendati demikian, dia meyakini bisnis ritel modern akan tetap mencatatkan pertumbuhan

di Indonesia. Tjahya meminta agar para peritel modern,  terus mengembangkan

strategi omnichannel untuk menggenjot penjualan.  Berdasarkan data yang dimilikinya, 95% dari

anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) telah bertransformasi dan

mengembangkan penjualan secara daring. “Ekspansi gerai ritel modern juga akan terus berlanjut.

Namun, mungkin peritel tidak lagi membutuhkan gerai ritel yang luas, cukup gerai yang sedang

atau kecil tetapi dilengkapi dengan fasilitas penjualan secara online untuk memuaskan

pelanggan,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Aprindo Roy N. Mandey meyakini pertumbuhan bisnis ritel

modern masih sesuai harapan dan akan menembus 10% pada tahun ini.  Ekspansi bisnis tersebut,

lanjutnya masih akan terus mengalami laju yang kuat.  “Tahun ini pertumbuhan ritel modern

kami yakini masih akan mencapai 10% meskipun pada semester I/2019 pencapaian dari sisi

transaksi di bawah ekspektasi. Pada saat Lebaran contohnya, total pertumbuhan penjualan di

anggota kami hanya 25%, di bawah target 35% yang kami canangkan,” ujarnya.

Namun demikian, dia meyakini, kinerja penjualan ritel modern pada semester II/2019

dapat mengompensasi pertumbuhan pada Lebaran yang berada di bawah target. Terlebih,

lanjutnya, pada sisa tahun ini terdapat momentum pesta diskon Indonesia Great Sale (IGS) serta

Natal dan Tahun Baru. Direktur Utama PT Mega Perintis Tbk. (Manzone) FX Afat Adinata

Nursalim mengakui, penjualan segmen fesyen pada semester I/2019 di bawah ekspektasi,
terutama pada saat Lebaran. Menurutnya, hal itu terjadi karena hari libur Lebaran yang lebih

pendek dibandingkan dengan tahun lalu. Di sisi lain, penurunan penjualan juga disebabkan oleh

memanasnya kondisi politik Indonesia. “Namun, kami optimistis dapat mencapai target

pertumbuhan penjualan 15% tahun ini. Kami yakin, kinerja semester II/2019 akan menutup

kinerja yang di bawah ekspektasi pada paruh pertama tahun ini,” jelasnya.

Vice President Corporate Communication Transmart Satria Hamid mengatakan,

sepanjang tahun ini bisnis ritel modern Indonesia tengah mengalami tekanan yang besar. Namun,

dia menyebutkan, bisnis perusahaan tidak akan terlalu terpengaruh. “Kami masih terus

mengalami pertumbuhan penjualan yang meyakinkan dan sesuai target. Kami bahkan masih akan

terus berekspansi tahun ini, salah satunya dengan membuka dua gerai baru di Semarang dan

Pangkal Pinang,” jelasnya. Meskipun begitu, perlu diwaspadai karena adanya pergeseran gaya

belanja masyarakat yang lebih memilih menggunakan platform penjualan elektronik  ( E-

commerce ). Hal ini bisa berakibat pada turunnya pertumbuhan bisnis ritel modern khususnya

pada bidang Fast Moving Consumer Goods (FMCG).

Meneropong Prospek Bisnis Ritel Modern pada 2020

Pertumbuhan industri ritel modern sampai tahun depan diproyeksi kembali melempem

lantaran masih harus menghadapi sejumlah hambatan, salah satunya adalah ancaman perang

dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) yang tak kunjung usai.

Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia

(Aprindo) periode 2015—2019 Tutum Rahanta mengatakan apabila perang dagang antara AS

dan China masih terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan produk-produk China akan makin
membanjiri Indonesia pada 2020. Terlebih, saat ini produk-produk tersebut dapat dengan mudah

dipasarkan melalui platform dagang-eleltronik atau e-commerce yang belum diatur sepenuhnya

oleh pemerintah.

Adapun, untuk target pertumbuhan industri ritel modern pada 2020, menurut Tutum

kemungkinan tak jauh berbeda dari pencapaian tahun ini yang kemungkinan hanya bertengger di

kisaran 7%—9% atau meleset dari target awal sebesar 10%. “Kami tinggal menunggu saja

bagaimana hasil pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan Perdana Menteri China Xi

Jinping. Jika tidak segera direalisasikan dan tidak menghasilkan kesepakatan baru siap-siap saja

banjir barang impor dari China yang harganya jelas murah. Selain itu, perubahan perilaku

konsumen ini masih menjadi persoalan juga di beberapa segmen ritel modern,” katanya belum

lama ini.

Lebih lanjut, Tutum menjelaskan untuk menghadapi perubahan perilaku konsumen

peritel modern sebenarnya sudah melakukan sejumlah strategi. Selain menggabungkan platform

daring (online) dan (offiline) lewat omnichannel, sejumlah peritel modern mulai melakukan

transformasi gerai mereka untuk menghadirkan pengalaman berbelanja yang berbeda, salah

satunya dengan menambah fasilitas permainan dan kuliner. “Contohnya Transmart yang

mengubah format supermarket  dengan tambahan wahanan permainan, itu agar orang terus

berdatangan. Tetapi, tidak menutup kemungkinan juga bagi mereka untuk mengubah format jika

transformasi belum menunjukkan dampak positif dalam hitungan waktu 1-2 tahun,” ungkapnya.

Kemudian Tutum menampik bahwa pertumbuhan seluruh segmen ritel modern yang ada

di Tanah Air melempem. Dia menyebut segmen toko kelontong atau minimarket  masih moncer
dan mencatatkan pertumbuhan sebesar 12% sepanjang Januari—September 2019 lantaran

menjual produk kebutuhan sehari-hari dan dekat dengan masyarakat. “Minimarket ini yang

masih bagus, karena dekat dengan masyarakat dan tren saat ini masyarakat berbelanja tidak

sekaligus dan menyimpannya dalam jumlah banyak. Mereka memilih untuk membeli sesuai

dalam jumlah yang lebih sedikit dan dapat dengan mudah membelinya lagi di minimarket,”

paparnya.

Sementara itu, Ketua Umum DPP Aprindo periode 2019—2023 Roy Nicholas Mandey

Roy tak menampik bahwa pertumbuhan industri ritel modern saat ini masih belum sesuai

harapan. Akan tetapi, dirinya optimistis pertumbuhan tersebut akan terus berlanjut dan mencapai

target yang ditetapkan sebelumnya. Roy menyebut pertumbuhan industri ritel modern di Tanah

Air yang saat ini berada di kisaran 7%—9% masih belum ideal. Menurutnya, pertumbuhan yang

ideal bagi industri ritel modern adalah pertumbuhan yang mencapai 300%—400% dari

pertumbuhan ekonomi nasional yang saat ini berada di angka 5,02% Namun yang jelas,

pertumbuhan industri ritel modern di Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan dengan

pertumbuhan industri serupa di negara lain yang negatif alias minus. Hal tersebut terlihat dari

kontribusi industri ritel modern terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang

mencapai 10,41% dengan nilai Rp1.544 triliun dan tingkat pertumbuhan konsumsi selama 5

tahun terakhir berada di angka 5%—7%.

Consumer Behaviour Expert dan Executive Director Retail Service Nielsen Indonesia

Yongky Susilo mengatakan pertumbuhan industri ritel modern sangat bergantung pada kondisi

perekonomian nasional.  Adapun untuk saat ini, dia menyebut pertumbuhan industri tersebut

masih belum menggembirakan lantaran adanya penurunan daya beli masyarakat kelas menengah
ke bawah dan masyarakat kelas menengah ke atas yang masih mengerem konsumsinya. “Kelas

menengah atas bukan daya beli turun, tetapi [tidak ada] kemauan membeli.

[Karena] confidence  mereka turun akibat polemic pemilu yang tak kunjung usai, ketakutan

dikejar-kejar pajak yang berlebihan, keberhasilan usaha atau demand di pasar Indonesia semakin

turun, ditambah lagi gaung resesi global 2020,” katanya kepada Bisnis.com belum lama ini.

Adapun, sebagai langkah mengatasi hal tersebut, menurut Yongky pemerintah harus

memberikan kepastian terkait dengan kemudahan berusaha di Tanah Air secepatnya untuk

mendorong konsumsi dalam negeri dan bentuk proteksi terhadap ancaman resesi global. Selain

itu, pemerintah juga dinilai perlu memberikan perhatian lebih kepada usaha mikro, kecil, dan

menengah (UMKM). “Karena UMKM Indonesia jauh dan terproteksi dari resesi global.

[Kemudian] untuk kemudahan berusaha perlu ada terobosan perizinan. Izin harus sesedikit

mungkin dan hilangkan yang tidak perlu. [Proses] perizinan harus cepat memakai key

performance index (KPI), dan dibuatkan izin satu pintu saja,” paparnya.

Direktur Bina Usaha dan Pelaku Distribusi Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam

Negeri Kementerian Perdagangan I Gusti Ketut Astawa berharap industri ritel modern bisa terus

tumbuh didukung oleh relaksasi ketentuan mengenai wilayah yang selama ini diatur dalam

Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional,

Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. “Draft revisi [Perpres No. 112/2017 tentang Penataan dan

Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern] sudah di Sekretariat

Negara (Setneg). Kami masih menunggu [dan] belum bisa memastikan kapan penyelesaiannya,”

katanya kepada Bisnis, Jumat (15/11). Ketut tak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai

revisi tersebut. Namun yang jelas, sebelumnya diketahui bahwa pemerintah akan merelaksasi
syarat pendirian ritel modern yang selama ini harus mengacu kepada aturan rencana detail tata

ruang (RDTR) di tiap daerah, menjadi hanya berpatokan pada aturan rencana tata ruang wilayah

(RTRW). “Prinsipnya begini, [mengacu] pada RTDR atau zonasi [yang] menjadi kewenangan

masing-masing pemerintah kabupaten atau kota,” ujarnya.

Ekspansi yang dilakukan oleh peritel modern di Tanah Air seringkali terganjal oleh oleh

terbatasnya jumlah daerah yang memiliki ketentuan RDTR. Pasalnya, saat ini baru terdapat 41

kabupaten atau kota di sejumlah provinsi yang memiliki RDTR, sementara untuk RTRW, sudah

ada 472 kabupaten atau kota di 34 provinsi yang telah memilikinya.

Anda mungkin juga menyukai