BISNIS
RETAIL
TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH/NASIONAL DAN
BISNIS
RETAIL
YANG
SIGNIFIKAN
DENGAN
PERTUMBUHAN PASAR RUMAH TANGGA PASAR
KOMODITIF DAN SETOR SWASTA.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Sehingga hal yang lebih baik dilakukan oleh pelaku bisnis ritel adalah
mempertahankan pelanggan yang telah ada karena mampu memberikan
keuntungan jangka panjang yang lebih besar bagi perusahaan. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara membuat para pelanggan puas dan loyal terhadap
perusahaan. Salah satu strategi agar suatu organisasi mampu bersaing adalah
dengan memberikan layanan yang terbaik serta membangun citra yang baik di
mata konsumen maupun publik, karena layanan dan citra dapat mempengaruhi
proses pembelian suatu produk atau jasa. Oleh karena itu, layanan dan citra
menjadi faktor penting bagi keberhasilan pemasaran suatu organisasi (Hurriyati,
2005:21).
Layanan ritel merupakan salah satu pembentuk kepuasan pelanggan, dimana
peningkatan kinerja layanan ritel dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas
layanan pada aspek fisik, reliabilitas, interaksi personal, pemecahan masalah, dan
kebijakan perusahaan (retail). Kinerja layanan ritel yang sesuai dengan harapan
pelanggan menyebabkan ritel tersebut akan memiliki keunggulan bersaing di mata
konsumen tidak hanya terhadap kepuasan tetapi
juga berdampak pada loyalitas pelanggan (Lu dan Seock, 2008). Lingkungan dalam
toko memiliki peran yang sangat penting untuk menarik konsumen. Lingkungan
toko dengan fasilitas fisiknya beserta dengan suasana dalam toko, penetapan
harga, promosi dan produk yang ditawarkan suatu toko memberikan stimuli-stimuli
yang diterima oleh konsumen tersebut sehingga menimbulkan persepsi terhadap
keseluruhan toko tersebut yang disebut dengan citra took (Bloomer, 2002). Dengan
berbekal citra toko yang positif, penyebaran informasi dari mulut ke mulut dapat
menyebabkan orang yang mendapat informasi tersebut akan tertarik dan dengan
segera mengunjungi toko tersebut. Semakin baik citra toko di mata konsumen maka
semakin besar pula impulsive buying yang dilakukan oleh konsumen dan begitu
juga sebaliknya (Bloemer dan Ruyter 2008). Hal ini juga diperkuat oleh penelitian
lainnya yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara citra toko,
kepuasan dan loyalitas pelanggan (Bloomer,2002).
Pada umumnya para peritel sebenarnya kurang memiliki pengetahuan yang cukup
tentang penghubung antara kepuasan dan loyalitas pelanggan terhadap toko
(Cronin dalam Bloemer dan Schroder, 2002). Kepuasan konsumen yang
menciptakan loyalitas pelanggan merupakan faktor penting dalam kesuksesan
perdagangan ritel dan kemampuan toko untuk bertahan (Omar dalam Semuel,
2006). Fenomena munculnya berbagai perusahaan pengecer di Indonesia dalam
berbagai bentuk toko moderen berlaku juga di Bali. Banyak sekali gerai-gerai ritel
yang ikut meramaikan industri sektor ritel di Bali seperti: Carrefour, Indomaret,
Alfamart, Hypermart, Lotte Mart, Giant, Hero, dan pedagang eceran lokal lainnya.
Hal ini mendorong perusahaan pengecer besar untuk tetap melakukan penelitian
terhadap perilaku para pelanggannya. Hal ini
1.2
TUJUAN
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk membahas lebih rinci pembahasan
bisnis retail serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah/nasional
dan bisnis retail yang signifikan dengan pertumbuhan pasar rumah tangga, pasar
komoditif, dan sector swasta.
BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan bisnis ritel di Indonesia dapat dikatakan cukup pesat akhir-akhir ini,
terutama ritel modern dalam semua variasi jenisnya. Beberapa faktor pendukung
perkembangan
usaha ritel modern
perkembangan usaha
diantaranya
adalah
cukup
terbukanya
peluang
pasar,
(peritel) yang mematok potongan harga tetap (fixed rebate) sebesar 8% dari
ketentuan maksimal 1% (Kontan, 16 Januari 2009). Hal ini menggambarkan adanya
titik rentan hubungan peritel dengan pemasok dimana pada tahapan selanjutnya
memicu persaingan antar pemasok.
Para ekonom melihat proses bekerjanya sistem persaingan dengan indikator yang
dikenal dengan Structure-Conduct-Performance (SCP). Dari sisi structure, indikator
system persaingan adalah sebagai berikut: (Martin, 1994 dalam Tulus TH Tambunan
dkk, 2004)
omset Hypermarket adalahRp23,1 triliun atau 41,7% dari total omset seluruh Pasar
Modern di Indonesia, sementaraMinimarket 32,1% dan Supermarket 26,2% (Grafik 2
& Grafik 3). Kemampuan Hypermarketmenjadi Pasar Modern dengan pengumpulan
omset terbesar karena Hypermarket menawarkanpilihan barang yang lebih banyak
dibanding Supermarket dan Mini market, sementara hargayang ditawarkan
Hypermarket relatif sama bahkan pada beberapa barang bisa lebih murahdaripada
Supermarket dan Minimarket. Penguasaan pangsa omset oleh Hypermarket telah
terjadi sejak tahun 2005.Sebelumnya, yakni pada 2004, market share. Omset
terbesar dipegang oleh Supermarket.Penurunan pangsa omset Supermarket yang
terjadi terus menerus bahkan pada tahun 2008,menjadi yang yang terkecil
menunjukkan bahwa format Supermarket tidak terlalu
favourable lagi. Sebab, dalam hal kedekatan lokasi dengan konsumen, Supermarket
kalah bersaing denganMinimarket (yang umumnya berlokasi di perumahan
penduduk), sementara untuk range pilihan barang, Supermarket tersaingi oleh
Hypermarket (yang menawarkan pilihan barang yang jauhlebih banyak). Kinerja
cemerlang Hypermarket juga ditunjukkan melalui pertumbuhan jumlah gerai.Pada
2004-2008 pertumbuhan gerai Hypermarket sangat tinggi, yakni 39,8% per tahun.
GeraiMinimarket juga meningkat cukup tinggi , yakni 16,4% per tahun, sementara
geraiSupermarket meningkat 10,9% per tahun
Jumlah gerai Hypermarket yang bertumbuh sangat tinggi tersebut
menunjukkan bahwaformat Hypermarket yang baru diperkenalkan ke masyarakat di
Indonesia pada awal tahun2000-an disambut baik oleh konsumen di tanah
air.Berdasarkan sebaran geografisnya, gerai-gerai Pasar Modern tersebut
terkonsentrasi diPulau Jawa. Pada 2008, dari sekitar 11.866 gerai Pasar Modern,
sekitar 83% diantaranyaberlokasi di Pulau Jawa (Tabel 4). Propinsi DKI Jakarta, Jawa
Barat dan Jawa Timur senantiasamenjadi daerah dengan jumlah gerai Pasar Modern
terbanyak. Terkonsentrasinya gerai-geraiPasar Modern di Pulau Jawa tidak lepas dari
kondisi dimana konsentrasi penduduk dan pusatperekonomian Indonesia memang
berada di pulau ini.
Dalam periode enam tahun terakhir, dari tahun 20072012, jumlah gerai
ritel modern di Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata 17,57% per tahun.
Pada tahun 2007, jumlah usaha ritel di Indonesia masih sebanyak 10.365 gerai,
kemudian pada tahun 2011 mencapai 18.152 gerai tersebar di hampir seluruh kota
di Indonesia. Pertumbuhan jumlah gerai tersebut tentu saja diikuti dengan
pertumbuhan penjualan. Menurut Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo),
pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia antara 10%15% per tahun. Penjualan ritel
pada tahun 2006 masih sebesar Rp49 triliun, dan melesat hingga mencapai Rp120
triliun pada tahun 2011. Sedangkan pada tahun 2012, pertumbuhan ritel
diperkirakan masih sama, yaitu 10%15%, atau mencapai Rp138 triliun. Jumlah
pendapatan terbesar merupakan kontribusi dari hipermarket, kemudian disusul oleh
minimarket dan supermarket.
Pada 2009 satu lagi ritel asing yaitu Grup Lotte dari Korea Selatan masuk ke
Indonesia, dengan mengakuisisi Makro yang sebelumnya dimiliki oleh SHV Holding
dari Belanda senilai US$ 223 juta. Setelah diakuisisi kini Makro berubah menjadi
Lotte Mart. Grup Lotte manjalankan bisnis ritel sejak 1979, mengoperasikan lebih
dari 90 gerai di berbagai negara diantaranya Cina, Rusia, Vietnam, dan India.
Peta persaingan ritel semakin ketat, setelah 40% saham Carrefour yang merupakan
leader hypermarket diakuisisi oleh CT Corporation anak perusahaan Grup Para
dengan nilai sekitar US$ 350 juta pada 2010. Grup Para milik Chairul Tanjung,
seorang pengusaha lokal yang lebih dulu sudah menguasai bisnis televisi,
perbankan, asuransi, pembiayaan dan sebagainya.
Dalam lima tahun terakhir peningkatan omset ritel modern cukup pesat, hal ini juga
didukung oleh pertumbuhan jumlah ritel yang pesat yaitu mencapai 18.152 gerai
pada 2011, dibandingkan 10.365 gerai pada 2007. Menurut Asosiasi Perusahaan
Ritel Indonesia (Aprindo) pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia antara 10-15% per
tahun. Penjualan ritel pada 2006 masih sebesar Rp 49 triliun, namun melesat
hingga mencapai Rp 100 triliun pada 2010. Sedangkan pada 2011 pertumbuhan
ritel diperkirakan masih sama yaitu 10%-15% atau mencapai Rp 110
triliun,menyusul kondisi perekonomian dan daya beli masyarakat yang relatif bagus.
Jumlah pendapatan terbesar merupakan konstribusi dari hypermarket, kemudian
disusul oleh minimarket dan supermarket.
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 230 juta merupakan pasar potensial
bagi bisnis ritel modern. Dalam sepuluh tahun terakhir bisnis ritel modern dengan
format hypermarket, supermarket dan minimarket menjamur, menyusul maraknya
pembangunan mall atau pusat perbelanjaan di kota-kota besar. Peritel besar seperti
hypermarket dan department store menjadi anchor tenant yang dapat menarik
minat pengunjung. Bahkan kini bisnis ritel mulai merambah ke kota-kota kabupaten
terutama jenis supermarket dan minimarket. Saat ini bisnis ritel tumbuh pesat di
pinggiran kota, mengingat lokasi permukiman banyak di daerah tersebut. Dengan
dibukanya pintu masuk bagi para peritel asing sebagaimana Keputusan Presiden
No. 118/2000 yang telah mengeluarkan bisnis ritel dari negative list bagi
Penanaman Modal Asing (PMA), maka sejak itu ritel asing mulai marak masuk ke
Indonesia. Masuknya ritel asing dalam bisnis ini, menunjukkan bisnis ini sangat
menguntungkan. Namun di sisi lain, masuknya hypermarket asing yang semakin
ekspansif memperluas jaringan gerainya, dapat menjadi ancaman bagi peritel lokal.
Peritel asing tidak hanya membuka gerai di Jakarta saja, misalnya Carrefour dalam
lima tahun belakangan sudah merambah ke luar Jakarta termasuk ke Yogyakarta,
Surabaya, Palembang dan Makassar. Namun saat ini di wilayah DKI pemberian izin
minimarket diperketat karena sudah terlalu banyak. Keadaan ini mendorong peritel
lokal yang sudah lebih dulu menguasai pasar, misalnya Matahari Group yang
sebelumnya kuat pada bisnis department store, mengembangkan usahanya
memasuki bisnis hypermarket. Demikian juga Hero yang sebelumnya kuat dalam
bisnis supermarket, akhirnya ikut bersaing dalam bisnis hypermarket. Bahkan Hero
mengubah sejumlah gerai supermarketnya menjadi format hypermarket.
Hingga saat ini, pangsa pasar modern mencapai 30%, sedangkan pasar tradisional
menguasai sekitar 70%. Hal ini menunjukkan peluang bisnis ritel (pasar modern)
cukup menjanjikan, setiap tahun selalu muncul dan berdiri gerai baru ritel di kotakota besar. Saat ini pengusah ritel mulai melebarkan sayap diluar pulau Jawa seperti
Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan Maluku. Sementara itu, peritel besar seperti
Carrefour dan Giant memiliki pasar ritel lebih luas dibandingkan competitor lain,
sebab selain bermain di segmen hypermarket, kedua peritel ini juga bersaing di
segmen supermarket. Dengan membaiknya ekonomi Indonesia ditahun mendatang
diperkirakan akan semakin banyak peritel asing masuk ke Indoneisa, demikian juga
pemain lama menjadi semakin ekspansif menggarap setiap potensi pasar yang ada.
Akibatnya persaingan akan semakin ketat menyebabkan semua pemain berusaha
keras menjalankan berbagai strategi untuk mengalahkan persaingan yang kadang
menjadi tidak fair lagi.
Bisnis ritel telah menjadi bisnis global dan Indonesia tidak terhindarkan dari serbuan
ritel asing. Dengan kekuatan yang besar dari segi keuangan, manajemen, maupun
jaringannya ritel modern raksasa masuk ke Indonesia. Maka terjadi perubahan
peta bisnis yang cukup signifikan dalam lima terakhir akibat jatuh bangunnya bisnis
ritel. Serbuan ritel modern di Indonesia bukan kali ini terjadi, setiap dekade muncul
format baru ritel modern yang menggeser ritel tradisional. Ketika diawal tahun
Format bisnis
Ritel modern memiliki banyak format yang berkembang sesuai dengan situasi pasar
di dalam negeri maupun sebagai dampak perubahan pasar di dunia. Format ritel
modern ini masih terus berkembang setiap saat masih selalu terjadi perubahan. Di
Indonesia format ritel belum diatur secara baku, atau kadang kala peraturan yang
ada pun tidak mencerminkan keadaan bisnis ritel yang ada. Secara umum format
bisnis ritel yang saat ini berkembang pesat di Indonesia adalah hypermarket,
supermarket, minimarket atau convenience store , departemen store, dan specialty
store. Hypermarket, supermarket, dan minimarket pada dasarnya perkembangan
dari toko kelontong dan pasar tradisionil, sehingga kemudian ritel modern ini sering
diberi istilah pasar modern. Perbedaan untamanya terletak pada luas ruangan,
range produk dan jasa yang ditawarkan. Dalam tulisan ini yang dimaksud ritel
modern dibatasi pada hypermarket, Supermarket dan Minimarket.
Hypermarket
Hipermarket adalah bentuk pasar modern yang sangat besar, dalam segi luas
tempat dan barang-barang yang diperdagangkan. Selain tempatnya yang luas,
hipermarket biasanya memiliki lahan parkir yang luas. Konsep hypermarket ini
pertama kali diperkenalkan oleh carrefour dan kemudian berkembang dalam
berbagai modifikasi. Dalam kategori ini juga dimasukkan toko grosir seperti Makro
yang mempunyai format yang hampir sama dengan hipermarket yang lain namun
target pasarnya bukan untuk perorangan tapi untuk pedagang dan untuk kegiatan
usaha seperti restoran, hotel, atau catering. Juga penjualannya dalam satuan yang
lebih besar.
Hypermarket dapat dikategorikan dengan jumlah kasir per toko yang lebih dari 20
orang dan produk yang dijual sekurangnya 25.000 item temasuk kebutuhan seharihari, alat-alat elektronik dan furnitur. Carrefour menyediakan 50.000 jenis produk di
setiap gerainya, Giant 35.000-50.000 jenis produk. Tetapi Makro hanya
menyediakan sekitar 15.000 jenis produk. Di toko grosir seperti Makro, konsumen
bisa mendapatkan harga lebih murah karena harus membeli barang dalam jumlah
lebih banyak, misalnya untuk pembelian pasta gigi yang harga persatuannya
murah, namun mesti dibeli dalam jumlah minimal satu lusin. Karena itu konsumen
potensial gerai ritel grosiran tersebut adalah pemilik warung, toko kecil, hotel,
restoran maupun pengusaha katering.
Supermarket
Supermarket lebih dulu hadir dibandingkan Hypermarket dan dikenal sebagai
bentuk awal pasar modern. Supermarket berbeda dari pasar traditional diantaranya
karena bersifat swalayan.
Minimarket
Minimarket dikenal juga sebagai convenience store adalah perkembangan dari toko
kelontong yang menawarkan kenyamana dan jasa seperti supermarket tapi dalam
skala yang lebih kecil.
Dalam periode lima tahun terakhir dari 2007-2011 jumlah gerai usaha ritel di
Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 17,57% per tahun. Pada 2007
jumlah usaha ritel di Indonesia masih sebesar 10.365 gerai, kemudian pada 2011
diperkirakan akan mencapai 18.152 gerai yang tersebar di hampir seluruh kota-kota
di Indonesia. Jumlah gerai hypermarket dari hanya 99 pada 2007 meningkat
menjadi 154 pada 2010. Sementara hingga akhir 2011 diperkirakan akan
bertambah menjadi 167 gerai. Sedangkan pertumbuhan jumlah supermarket relatif
menurun. Jika pada 2007 tercatat 1.377 gerai maka pada 2010 mengalami
penurunan menjadi sekitar 1.230. Penurunan tersebut disebabkan beberapa
supermarket terpaksa tutup karena kelah bersaing dengan minimarket. Sementara
sebagian gerai supermarket diubah menjadi gerai hypermarket.
Kenaikan jumlah gerai ritel terutama dipicu oleh pertumbuhan gerai minimarket
yang fenomenal. Jika pada 2007 total gerai minimarket hanya 8.889 maka pada
2010 melonjak pesat hingga mencapai sekitar 15.538 buah. Sedangkan pada 2011
diperkirakan akan meningkat menjadi 16.720 gerai. Pertumbuhan bisnis minimarket
ini didominasi oleh pertumbuhan outlet Indomaret dan Alfamart, dengan frekuensi
pertambahan jaringan relatif cepat dan penyebaran yang cukup luas, baik melalui
pola pengelolaan sendiri (reguler) maupun melalui sistem waralaba (franchise).
Terbanyak di Jakarta
Sebagian besar pasar modern baik lokal maupun asing masih terpusat di pulau
Jawa, yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia dan merupakan pusat
bisnis di Indonesia. Pada 2010 perkiraan jumlah gerai pasar modern di Jakarta dan
sekitarnya (Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok) sekitar 38,1% (6.916 gerai), Jawa
Barat 14,08% ( gerai), Jawa Timur 12,12% (2.556 gerai), Jawa Tengah 10,2% (1.852
gerai). Setelah pulau Jawa, wilayah Sumatra menempati urutan kedua terbesar
yaitu sekitar 8,2% (1.488 gerai).
Jakarta mendominasi jumlah gerai pasar modern untuk seluruh format. Dari total
jumlah hypermarket di Indonesia pada 2010 sebanyak 152 buah, diantaranya
sekitar 44 buah atau 28% ada di Jakarta, supermarket sekitar 21% dan minimarket
sekitar 40% berada di Jakarta. Melihat pertumbuhan ritel yang terus
menggurita, dimana jumlah hypermarket dianggap sudah terlalu banyak. Untuk
membenahi keberadaan hypermarket yang kian marak di Jakarta, pada Juli 2006
Pemprov DKI telah merevisi Peraturan Daerah (Perda) No 2/2002 tentang
perpasaran swasta. Berdasarkan Perda No.2/2002, izin lokasi usaha ritel modern
harus berjarak dari pasar lingkungan yaitu peritel seluas 100 200 m2 harus
berjatak 0,5 km, peritel seluas 1.000 2.000 m2 harus berjarak 1,5 km, peritel
seluas 2.000 4.000 m2 harus berjarak 2 km dan peritel seluas > 4.000 m2 harus
berjarak 2,5 km. Sebagai salah satu alternatif solusi masalah zonasi bagi pelaku
pasar modern skala besar, maka kini hypermatket diharuskan berada dalam mall.
Sebab izin pendirian mall diberikan setelah memenuhi aturan jarak dengan pasar
tradisional.
Sejauh ini, tampaknya izin lokasi ini tidak ditaati oleh sejumlah pemilik
hypermarket. Hal ini karena pengusaha masih menggunakan kekuatan modal,
sehingga dapat mempengaruhi pihak otoritas yang tidak tegas. Contohnya, Plaza
Semanggi dengan Pasar Benhil berjarak kurang dari 2,5 kilometer. Bahkan Surat
Keputusan Gubernur No 44 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perpasaran
Swasta di DKI, dibatalkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena diprotes
pengelola hypermarket. Untuk tahun ini Pemprov DKI hanya akan mengeluarkan izin
usaha ritel seluas > 5.000 m2 jika berada di gedung pusat perbelanjaan/mall.
Pemprov tidak akan memperpanjang izin ritel yang dikelola dalam gedung tersendiri
(stand alone). Namun, rencana Pemprov DKI yang melarang pembukaan toko ritel
besar di gedung sendiri, mendapat penolakan dari beberapa peritel besar seperti
Carrefour dan Giant. Sebagai gambaran, dari beberapa hypermarket yang berada di
Jakarta hanya Makro yang seluruh outletnya menempati gedung sendiri. Sedang
Carrefour hanya memiliki 5 gerai yang stand alone dan Giant 3 gerai saja. Sebagian
besar gerai Carrefour, Giant dan Hypermart lainnya berada di dalam shopping
centre/mall sebagai anchor tenant.
Kehadiran Carrefour sejak 1998 mengubah peta persaingan bisnis ritel di Indonesia.
Sebelum Carrefour, ritel asing yang masuk ke Indonesia adalah Walmart, Makro, dan
Continent yang akhirnya diambil alih Carrefour. Menyusul kemudian Dairy Farm
International Giant Retail Sdn Bhd dari Malaysia yang menggandeng PT.Hero
Supermarket Tbk mendirikan hypermarket Giant. Sebelumnya Hero Group sangat
berpengalaman dan merajai bisnis supermarket di Indonesia, melalui jaringan Hero
supermarket.
Suksesnya investor asing dengan format ritel hypermart, mendorong peritel lokal
seperti Matahari Group untuk ikut bersaing dalam bisnis hypermarket, dengan
membangun jaringan hypermarketnya yaitu Hypermart. Awalnya Matahari Group
sangat berpengalaman dan dikenal cukup berhasil dengan jaringan department
store Matahari yang memiliki gerai di banyak kota besar di Indonesia.
Pada 2009 Lotte Group dari Korea menyerbu Indonesia dengan langkah strategis
yaitu mengambil alih Makro yang awalnya dimiliki oleh SHV Holding NV asal
Belanda. Untuk akuisisi tersebut Lotte mengeluarkan dana sekitar US$ 223 juta.
Lotte Group dirintis oleh Shin Kyuk Ho pada 1973, kini memilki 45 anak usaha yang
bergerak dalam bidang perhotelan, makanan, distribusi, ritel, kimia, dan jasa
konstruksi. Grup ini merambah bisnis ritel sejak 1979, mengoperasikan lebih dari 90
gerai di berbagai negara, antara lain Cina, Rusia, Vietnam, dan India. Lotte Group
adalah grup bisnis kelima terbesar di Korea Selatan dengan total aset mencapai 31
miliar Euro dan pendapatan bersih sebesar 23 miliar Euro pada 2007. Namun
demikian, dominasi asing mulai berkurang seiring dengan pengambilalihan
Carrefour oleh Grup Para pada akhir 2010. Para Group yang dikenal juga dengan
CT Corporation milik Chairul Tanjung, pengusaha pribumi mengakuisisi 40 persen
saham PT Carrefour Indonesia. Saat ini Trans Ritel menjadi pemegang saham
tunggal terbesar, pemegang saham lainnya adalah Carrefour SA (39%), Carrefour
Nederland BV (9,5 persen), dan Onesia BV (11,5 persen).
Menurut Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), bisnis ritel atau usaha
eceran di Indonesia mulai berkembang pada kisaran tahun 1980 an seiring dengan
mulai dikembangkannya perekonomian Indonesia. Hal ini timbul sebagai akibat dari
pertumbuhan yang terjadi pada masyarakat kelas menengah, yang menyebabkan
timbulnya permintaan terhadap supermarket dan department store (convenience
store) di wilayah perkotaan. Trend inilah yang kemudian diperkirakan akan berlanjut
di masa-masa yang akan datang. Hal lain yang mendorong perkembangan bisnis
ritel di Indonesia adalah adanya perubahan gaya hidup masyarakat kelas menengah
ke atas, terutama di kawasan perkotaan yang cenderung lebih memilih berbelanja
di pusat perbelanjaan modern. Perubahan pola belanja yang terjadi pada
masyarakat perkotaan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan berbelanja saja
namun juga sekedar jalan-jalan dan mencari hiburan. Berkembangnya usaha di
industri ritel ini juga diikuti dengan persaingan yang semakin ketat antara sejumlah
peritel baik lokal maupun peritel asing yang marak bermunculan di Indonesia.
Industri ritel di Indonesia saat ini semakin berkembang dengan semakin banyaknya
pembangunan gerai-gerai baru di berbagai tempat. Kegairahan para pengusaha
ritel untuk berlomba-lomba menanamkan investasi dalam pembangunan gerai-gerai
baru tidaklah sulit untuk dipahami. Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas
3% sejak tahun 2000 dan makin terkendalinya laju inflasi, bisa menjadi alasan
mereka bahwa
ekonomi Indonesia bisa menguat kembali di masa mendatang. Ramainya industri
ritel Indonesia ditandai dengan pembukaan gerai-gerai baru yang dilakukan oleh
pengecer asing seperti Makro (Belanda), Carrefour (Perancis), dan Giant (Malaysia,
yang kemudian juga digandeng oleh PT Hero
Supermarket Tbk), yang tersebar di kotakota besar seperti Jakarta, Makassar,
Semarang, Bandung, Yogyakarta, dan lain sebagainya. Penggolongan bisnis ritel di
Indonesia dapat dikategorikan berdasarkan sifatnya, yaitu ritel yang bersifat
tradisional atau konvensional dan yang bersifat modern. Ritel yang bersifat
tradisional adalah sejumlah pengecer atau
pedagang eceran yang berukuran kecil dan sederhana, misalnya toko-toko
kelontong, pengecer atau pedagang eceran yang berada di pinggir jalan, pedagang
eceran yang berada di pasar tradisional, dan lain sebagainya.
Kelompok bisnis ritel ini memiliki modal yang sedikit dengan fasilitas yang
sederhana. Ritel modern adalah sejumlah pedagang eceran atau pengecer
berukuran besar, misalnya dengan jumlah gerai yang cukup banyak dan memiliki
fasilitas toko yang sangat lengkap dan modern. Hasil survey menurut AC Nielsen
lima pengecer terbesar yang termasuk dalam kategori ritel modern di Indonesia
berdasarkan nilai penjualan adalah Matahari, Ramayana, Makro, Carrefour, dan
Hero. Konsep yang ditawarkan peritel modern beragam seperti supermarket
(swalayan), hypermarket, minimarket, departement store, dan lain sebagainya.
Bisnis ritel dapat pula dibagi menjadi tiga kelompok usaha perdagangan eceran
yaitu:
1. Grosir (pedagang besar) atau hypermarket. Kelompok ini umumnya hanya ada di
kota-kota besar dan jumlahnya sedikit. Di Indonesia yang termasuk dalam kelompok
ini adalah:
1. Era sebelum tahun 1960 an: era perkembangan ritel tradisional yang terdiri atas
pedagangpedagang independen.
2. Tahun 1960 an: Era perkenalan ritel modern dengan format departement store
ditandai dengan dibukanya gerai ritel pertama Sarinah di Jl. MH. Thamrin Jakarta.
3. Tahun 1970-1980 an: Era perkembangan ritel modern dengan format
supermarket dan departement store, ditandai dengan hadirnya peritel modern
sepert Matahari, Hero, dan Ramayana.
4. Tahun 1990 an: Era perkembangan convenient store, yang ditandai dengan
maraknya pertumbuhan minimarket seperti Indomaret. Pertumbuhan high
classdepartement store, dengan masuknya Sogo, Metro, dan lainnya. Pertumbuhan
format cash and carry dengan berdirinya Makro,
diikuti Goro, Alfa.
5. Tahun 2000-2010: Era perkembangan hypermarket dan perkenalan e-retailing.
Era ini
ditandai dengan hadirnya Carrefour dengan format hypermarket dan hadirnya
Lippo-Shop yang memperkenalkan e-retailing di Indonesia berbasis pada pengguna
internet. Konsep ini masih asing
dan sukar diterima oleh kebanyakan masyarakat Indonesia yang masih terbiasa
melakukan perdagangan secara langsung. Selain format tersebut, terdapat pola
pertumbuhan ritel dengan format waralaba. Peritel merupakan distributor paling
akhir karena langsung berhadapan dengan konsumen sebagai pemakai akhir. Peritel
membeli produk dari perusahaan manufaktur atau distributor besar dan
menjualnya kembali kepada konsumen. Peritel bekerjasama erat dengan para
pemasok dan distributor. Beberapa peritel besar dalam industri ritel yang dikenal
luas di Indonesia adalah PT Contimas Utama Indonesia (Carreffour) yang merupakan
bagian dari jajaran eceran raksasa yang
induknya ada di Perancis. Peritel lainnya adalah PT Hero Supermarket Tbk (Hero), PT
Alfa Retailindo (Alfa), PT Matahari Putera Prima (Matahari), PT Ramayana Lestari
Sentosa (Ramayana), PT Makro Indonesia, dan PT Indomarco Primastama
(Indomaret). Selain itu masih banyak lagi terdapat pemain-pemain lainnya berskala
menengah maupun kecil. Matahari yang berdiri sejak tahun 1958 pada tahun 2005
telah memiliki 77 gerai, 43 supermarket, 8 hipermarket, dan 105 Timezone. Pada
tahun 2006 jumlah hypermarket meningkat menjadi 18. Matahari sebagai pemimpin
pasar di ritel terus berubah dengan melakukan inovasiinovasi baru di berbagai unit
bisnisnya, seperti perkembangan produk merek sendiri Value Plus yang ada di
unit bisnis Matahari Supermarket. Matahari juga berhasil membuat terobosan baru
dengan membuka gerai Matahari China, yang merupakan gerai pertama Matahari di
luar Indonesia. Kids2kids yang merupakan Specialty Store Matahari Departement
Store ini gerai pertamanya dibuka di Mal Kelapa Gading Jakarta pada bulan Oktober
2004. Pada tahun 2005 Kids2kids berhasil membuka 4 gerai baru. Private Label MDS
(Matahari Departement Store) yang telah memiliki lebih dari 17 brand semakin
ditingkatkan pengembangannya dalam segi kualitas dan berhasil menggandeng
Intertex untuk mendapatkan standar mutu produk Internasional. Pada tahun 2005
Matahari berhasil mendapatkan penghargaan internasional sebagai Gold-Top
Retail dari Retail Asia Pacific. Matahari telah menerima penghargaan ini selama
dua tahun berturut-turut, dan hal ini merupakan penghargaan bergengsi dari
dunia luar atas keberhasilan bisnis Matahari di tahun 2004 dan 2005. Sampai
Februari 2005, gerai ritel di Indonesia mencapai 2.720 unit yang dioperasikan oleh
62 perusahaan yang berhimpun dalam Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel
Indonesia). Data omzet penjualan menurut Aprindo:
PENJUALAN
2004
Rp 35 Triliun
2005
Rp 45 Triliun
Riset AC Nielsen tahun 2003 menyebutkan total penjualan ritel Indonesia per tahun
di atas Rp 600 Triliun. Di Indonesia tahun 2003 ada 267 departement store, 683
supermarket, 972 mini market, dan 43 hypermarket. Survey AC Nielsen mencatat di
antara beberapa bentuk ritel modern seperti supermarket, minimarket, pusat grosir,
dan hipermarket, pertumbuhan paling cepat dialami
hipermarket dengan data sebagai berikut:
2003
JUMLAH HYPERMARKET
43 unit
2004
68 unit
2005
83 unit
JUMLAH
2003
5.103 unit
2004
6.804 unit
PASAR
TRADISIONAL
ERN
PASAR
MOD
1999
65%
2000
63%
2001
60%
2002
52%
2003
56%
2004
53%
35%
37%
40%
48%
44%
47%
BAB III
KESIMPULAN
3.1
DEFINISI
Dari hasil analisis yang telah dilakukan kesimpulannya dinamika pasar membawa
konsekuensi adanya persaingan antara pelaku industri retail. Persaingan tersebut
terjadi antara retail modern dengan pasar tradisional, antara sesame retail modern,
antara sesama pasar tradisional, dan antara pemasok (supplier). Persaingan yang
paling dirasakan adalah persaingan antara retail modern dan pasar tradisional.
Dimana pasar tradisional merasa makin terpinggirkan dengan kehadiran retail
modern yang mampu menghadirkan kebutuhan konsumen dengan fasilitas yang
lebih baik dan harga yang lebih murah. Persaingan antara retail modern lebih
segmented, yaitu sesuai dengan kelasnya. Tetapi masing-masing mempunyai
strategi persaingan yang unik. Tidak jarang dalam persaingan harga terjadi perang
harga secara terang-terangan. Selain terjadi persaingan harga, juga terdapat
persaingan dalam layanan yang memberikan kemudahan kepada konsumen. Ketika
tingkat taraf hidup masyarakat meningkat, disamping membutuhkan ketersediaan
berbagai macam barang yang lengkap dari kebutuhan primer hingga kebutuhan
tersier, mayarakat juga membutuhkan fasilitas pendukung seperti kenyamanan,
kebebasan, ataupun jaminan harga murah dan kualitas baik. Kenyamanan menjadi
alasan utama untuk beralihnya tempat berbelanja bagi masyarakat dari pasar
tradisional ke pasar modern, meskipun masyarakat tidak mungkin meninggalkan
pasar tradisional 100 persen.
Menurut penuturan konsumen pasar selaku informasi pendukung dalam penelitian
ini berbelanja di pasar itu sangat mudah dan tepat, karena berbagai
keanekaragaman penjual di pasar konsumen dapat sekaligus memenuhi kebutuhankebutuhannya tanpa harus berpindah-pindah ke tempat lain. Hal inilah yang
menjadi posisi pasar tradisional bisa bertahan karena hal ini tidak bisa dijumpai di
retail modern. Bahkan di pasar tradisional antara pedagang dan konsumen
mempunyai rasa kepercayaan yang tinggi sehingga sistem pembayarannya pun
bisa dilakukan dengan berhutang terlebih dahulu. Sistem-sistem yang melekat di
pasar tradisional inilah yang merupakan ciri khas dan menjadi sebuah tradisi yang
unik dari turun temurun. Pada sisi saluran distribusi antara pemasok dan retail di
Indonesia, terdapat perbedaan antara retail modern dan pasar tradisional. Untuk
barang-barang non pabrik seperti sayurmayur, buah-buahan, dan barang yang
dihasilkan industri rumah tangga, distribusi di kedua retail sama, yaitu dari
produsen (petani) langsung. Tetapi untuk barang-barang yang dihasilkan oleh pabrik
besar, pada retail modern dengan pertimbangan economies of scale, distribusi
barang biasanya langsung dari produsen. Sedangkan pada retail tradisional harus
malalui agen atau distributor. Perbedaan sistem distribusi inilah yang menimbulkan
perbedaan harga pada retail modern dan pasar tradisional. Masing-masing retail
modern juga mempunyai keunikan sistem distribusi sendiri-sendiri, seperti pada
model Carefour, model Alfamart dengan Alfa Distribution Centrenya, model
Indomart demgan merchandizing nya, ataupun Hero dengan David Distributon
Indonesia nya.
Di Jakarta bisnis retail modern lebih mendominasi dari bisnis retail tradisional.
Bahkan tidak hanya dijakarta di daerah-daerah lainnyapun seperti Surabaya, blitar,
bogor dan lainnya bisnis retail modern mulain mendomiasi. Jadi dapat disimpulkan
bahwa bisnis retail modern lebih signifikan dari bisnis tradisional. Masyarakat saat
ini lebih mengutamakan berbelanja dengan nyaman dan simple. Namun tidak 100%
masyarakatpun beralih dari pasar-pasar tradisional, ada pula masyarakat yang
masih merasa bahwa berbelanja di pasar tradisional lebih nyaman karena alasan
bisa saling tawar-menawar harga. Semua itu tergantung dari pemikiran dan pilihan
masyarakat itu sendiri, Perkembangan ritel dalam format pasar modern
memberikan alternatif belanja yang menarik bagi konsumen. Selain menawarkan
kenyamanan dan kualitas produk, harga yang mereka berikan juga cukup bersaing.
Hal ini dimungkinkan mengingat besarnya kemampuan modal para peritel modern
tersebut. Peritel modern dapat mempersempit jalur distribusi sehingga mampu
menawarkan harga yang jauh lebih kompetitif kepada konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Internet :
http://www.info.com/national%20retail?cb=11&cmp=2951
http://www.datacon.co.id/Ritel-2011ProfilIndustri.html
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/03/23/bisnis-retail-terhadap-kebijakandan-politik-di-indonesia-100427.html
http://mitrakonsulindo.indonetwork.co.id/885013/managemen-retail-minimarketsupermarket-modern-jaringan-non.htm
http://haluankepri.com/opini-/46301-indonesia-dalam-cengkeramankonsumerisme.html
http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/download/273/221
http://www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/positioning_paper_ritel.pdf
http://abufarros.wordpress.com/2013/04/12/tantangan-dunia-bisnis-retail-2013/