Anda di halaman 1dari 24

PENGARUH

BISNIS
RETAIL
TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH/NASIONAL DAN
BISNIS
RETAIL
YANG
SIGNIFIKAN
DENGAN
PERTUMBUHAN PASAR RUMAH TANGGA PASAR
KOMODITIF DAN SETOR SWASTA.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Seiring dengan perkembangan jaman, keberadaan pasar tradisional mulai tersaingi


atau bahkan tergeser oleh adanya bisnis eceran modern. Bisnis eceran atau biasa
disebut dengan pedagang eceran semakin terasa keberadaannya dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari. Berbagai macam pusat perbelanjaan eceran bermunculan
dengan bermacam bentuk dan ukuran yang menyebabkan persaingan dalam dunia
ritel semakin ketat. Beberapa contoh bentuk pusat perbelanjaan eceran yang
meramaikan dunia ritel diantaranya adalah minimarket, convenience store,
supermarket dan hipermarket. Persaingan yang ketat di bisnis ritel, juga disebabkan
dengan semakin banyaknya bisnis ritel luar negeri yang memasuki pasar domestik.
Masuknya
bisnis ritel dari luar negeri yang dikelola secara profesional menuntut bisnis ritel
domestik untuk dikelola secara profesional pula agar mampu bersaing dalam
melayani konsumen. Realitas kompetitifnya adalah pusat-pusat perbelanjaan harus
bekerja sekeras mungkin untuk menarik konsumen dari pusat perbelanjaan lain.
Oleh karena itu diperlukan strategi jitu untuk merebut
hati konsumen dengan terus menerus memperhatikan kepuasan dan loyalitas
pelanggannya (Javalgi dalam Bloemer dan Schroder, 2002).
Meningkatnya persaingan dan tuntutan konsumen atas pelayanan yang berkualitas,
mengharuskan pelaku bisnis ritel untuk mengubah kebijakan dan perspektif
terhadap konsumennya (Julita, 2001). Pertanyaan yang harus dijawab oleh
manajemen adalah apakah berorientasi pada peningkatan penjualan dengan
menarik konsumen baru atau berorientasi pada upaya mempertahankan pelanggan
yang telah ada. Hal yang perlu dipahami adalah dengan berorientasi pada
peningkatan penjualan dengan menarik konsumen baru, perusahaan memang
dapat memperoleh omzet yang meningkat dalam sesaat. Namun konsumen baru
tersebut tidak bisa menjanjikan akan terus menggunakan produk perusahaan.

Sehingga hal yang lebih baik dilakukan oleh pelaku bisnis ritel adalah
mempertahankan pelanggan yang telah ada karena mampu memberikan
keuntungan jangka panjang yang lebih besar bagi perusahaan. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara membuat para pelanggan puas dan loyal terhadap
perusahaan. Salah satu strategi agar suatu organisasi mampu bersaing adalah
dengan memberikan layanan yang terbaik serta membangun citra yang baik di
mata konsumen maupun publik, karena layanan dan citra dapat mempengaruhi
proses pembelian suatu produk atau jasa. Oleh karena itu, layanan dan citra
menjadi faktor penting bagi keberhasilan pemasaran suatu organisasi (Hurriyati,
2005:21).
Layanan ritel merupakan salah satu pembentuk kepuasan pelanggan, dimana
peningkatan kinerja layanan ritel dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas
layanan pada aspek fisik, reliabilitas, interaksi personal, pemecahan masalah, dan
kebijakan perusahaan (retail). Kinerja layanan ritel yang sesuai dengan harapan
pelanggan menyebabkan ritel tersebut akan memiliki keunggulan bersaing di mata
konsumen tidak hanya terhadap kepuasan tetapi
juga berdampak pada loyalitas pelanggan (Lu dan Seock, 2008). Lingkungan dalam
toko memiliki peran yang sangat penting untuk menarik konsumen. Lingkungan
toko dengan fasilitas fisiknya beserta dengan suasana dalam toko, penetapan
harga, promosi dan produk yang ditawarkan suatu toko memberikan stimuli-stimuli
yang diterima oleh konsumen tersebut sehingga menimbulkan persepsi terhadap
keseluruhan toko tersebut yang disebut dengan citra took (Bloomer, 2002). Dengan
berbekal citra toko yang positif, penyebaran informasi dari mulut ke mulut dapat
menyebabkan orang yang mendapat informasi tersebut akan tertarik dan dengan
segera mengunjungi toko tersebut. Semakin baik citra toko di mata konsumen maka
semakin besar pula impulsive buying yang dilakukan oleh konsumen dan begitu
juga sebaliknya (Bloemer dan Ruyter 2008). Hal ini juga diperkuat oleh penelitian
lainnya yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara citra toko,
kepuasan dan loyalitas pelanggan (Bloomer,2002).
Pada umumnya para peritel sebenarnya kurang memiliki pengetahuan yang cukup
tentang penghubung antara kepuasan dan loyalitas pelanggan terhadap toko
(Cronin dalam Bloemer dan Schroder, 2002). Kepuasan konsumen yang
menciptakan loyalitas pelanggan merupakan faktor penting dalam kesuksesan
perdagangan ritel dan kemampuan toko untuk bertahan (Omar dalam Semuel,
2006). Fenomena munculnya berbagai perusahaan pengecer di Indonesia dalam
berbagai bentuk toko moderen berlaku juga di Bali. Banyak sekali gerai-gerai ritel
yang ikut meramaikan industri sektor ritel di Bali seperti: Carrefour, Indomaret,
Alfamart, Hypermart, Lotte Mart, Giant, Hero, dan pedagang eceran lokal lainnya.
Hal ini mendorong perusahaan pengecer besar untuk tetap melakukan penelitian
terhadap perilaku para pelanggannya. Hal ini

diperlukan untuk dapat memberi masukan kepada pihak manajemen dalam


menyusun strategi bersaingnya dalam kondisi pasar yang semakin kompetitif.
Pepito Supermarket adalah salah satu perusahaan pengecer di Bali yang sangat
memperhatikan layanan ritel dan citra toko. Citra toko dibangun oleh Pepito
Supermarket dengan menerapkan bauran pemasaran eceran seperti: store location
yang tepat dengan pemilihan lokasi yang strategis di daerah Kuta, product
characteristic dengan memfokuskan pada produk dominan impor, bagian penitipan
barang, staf yang tersebar di sekitar area perbelanjaan yang siap melayani dan
membantu pelanggan, retail communication dengan adanya member card dan
brosur-brosur,in store ambience seperti: alunan musik, adanya kenyamanan
ruangan (AC), retail price consideration dengan mempertimbangkan harga eceran
pesaing dalam menetapkan harga, dan harga khusus pada hari-hari tertentu.
Desain eksterior dibuat menarik dengan adanya etalase yang didesain khusus,
sedangkan desain interior mempunyai keunikan dan kesan etnik, dengan barangbarang tertentu yang dijual dikelompokkan pada tiap rak. Produk yang dijual
dikelompokkan berdasarkan fungsi dan manfaatnya, misalnya rak khusus minuman
beralkohol, aneka bumbu masak, toiletries, dan lain sebagainya.
Visual merchandising seperti terdapat beberapa produk baru yang ditempatkan di
rak atau
Counter tersendiri dengan dilengkapi media point of sale bahkan dapat juga
ditambahi dengan
sales promotion girl (SPG). Sedangkan layanan ritel dilakukan oleh Pepito
Supermarket dengan
memberikan layanan-layanan terbaik kepada para pelanggannya seperti:
lingkungan toko yang bersih, jam operasional toko yang sesuai dengan yang telah
diumumkan, fasilitas parkir yang luas, lay out toko yang memudahkan konsumen
mendapatkan barang yang dibutuhkan, dan layanan yang cepat dalam proses
pembayaran. Pepito Supermarket merupakan supermarket yang memiliki target
pasar dan diferensiasi dari gerai ritel umumnya. Pepito Supermarket memiliki
target pasar yakni lima puluh persen penduduk lokal atau domestik dan lima puluh
persennya lagi adalah wisatawan mancanegara maupun ekspatriat yang tinggal di
Bali. Hal ini dilakukan mengingat lokasi dari Pepito Supermarket itu sendiri, yang
terletak di daerah pariwisata yakni Kuta. Selain itu yang yang membuatnya berbeda
dengan supermarket lainnya adalah produk yang dijual ke para konsumennya yakni
barang-barang yang fresh dengan kualitas tinggi dan produkproduk impor yang
memiliki brand image tinggi serta sulit didapatkan di gerai lainnya. Sehingga tidak
banyak supermarket yang dapat dikatakan sebagai pesaing Pepito Supermarket.
Gerai ritel di Bali yang dapat digolongkan sejenis saat ini dengan Pepito
Supermarket dan merupakan pesaing dari Pepito Supermarket antara lain: Casa
Gourmet, Papaya Fresh Gallery, Dijon, Bali Deli, Lotus, dan Coco Gourmet.

1.2

TUJUAN

Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk membahas lebih rinci pembahasan
bisnis retail serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah/nasional
dan bisnis retail yang signifikan dengan pertumbuhan pasar rumah tangga, pasar
komoditif, dan sector swasta.

BAB II
PEMBAHASAN

Perkembangan bisnis ritel di Indonesia dapat dikatakan cukup pesat akhir-akhir ini,
terutama ritel modern dalam semua variasi jenisnya. Beberapa faktor pendukung
perkembangan
usaha ritel modern
perkembangan usaha

diantaranya

adalah

cukup

terbukanya

peluang

pasar,

manufaktur yang akan memasok produknya ke retailer (peritel), dan upaya


pemerintah untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi dengan cara salah satunya mengembangkan
bisnis ritel. Perkembangan yang dialami bisnis ritel, dalam perjalanannya bukannya
tanpa menimbulkan masalah sama sekali. Banyaknya pemain dalam bisnis ritel
membuat persaingan menjadi sangat ketat. Peritel besar, terutama perusahaan
asing, semakin gencar melakukan ekspansi bisnisnya di Indonesia. Peritel modern
kecil dan peritel tradisional menjadi pihak yang berada dalam kondisi yang tidak
menguntungkan. Pengamatan para pakar dan peneliti bisnis ritel umumnya sampai
pada kesimpulan bahwa kehadiran peritel besar dalam bentuk hipermarket,
supermarket, department store, dan lain-lain, membahayakan kelangsungan hidup
bisnis ritel kecil dan tradisional.
Persaingan dalam bisnis ritel bahkan meluas dengan keterlibatan para pemasok
(supplier). Sebuah peristiwa yang muncul menjadi berita, pemasok meminta
pemerintah segera mengawasi penerapan Permendag No. 53/ 2008 tentang
Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional. Sebab, masih ada pengecer

(peritel) yang mematok potongan harga tetap (fixed rebate) sebesar 8% dari
ketentuan maksimal 1% (Kontan, 16 Januari 2009). Hal ini menggambarkan adanya
titik rentan hubungan peritel dengan pemasok dimana pada tahapan selanjutnya
memicu persaingan antar pemasok.
Para ekonom melihat proses bekerjanya sistem persaingan dengan indikator yang
dikenal dengan Structure-Conduct-Performance (SCP). Dari sisi structure, indikator
system persaingan adalah sebagai berikut: (Martin, 1994 dalam Tulus TH Tambunan
dkk, 2004)

1.Number and Size Distribution of Sellers and Buyers


Dalam pasar persaingan, terdapat banyak penjual dan pembeli yang masing-masing
tidak dapat mempengaruhi harga.
2.Product Differentiation
Produk yang standar tidak pernah ada di dunia nyata. Semakin berbeda barang
tersebut, semakin kecil kemungkinan substitusi dengan barang lain.
3.Entry Condition
Entry Condition menentukan potensi persaingan antara perusahaan yang telah ada
dan perusahaan yang akan masuk ke dalam industri. Di sisi Conduct, indikator yang
digunakan adalah ada tidaknya kerja sama (collusion) dan strategi yang dilakukan
oleh pelaku ekonomi, serta adanya advertising atau Research and Development
(R&D). Yang terakhir, dari sisi Performance, ekonom melihat berjalannya system
persaingan dari profitabilitasnya, dan efisiennya. Tingkat intensitas persaingan
antar perusahaan tergambar dalam struktur pasar tempat perusahaan beroperasi.
Struktur pasar terjadi karena adanya perbedaan jumlah penjual dan tingkat
diferensiasi produk. Dominick Salvatore (1991) memberikan batasan empat macam
struktur pasar sebagai berikut.
a.Pasar Monopoli Murni
Monopoli Murni adalah bentuk organisasi pasar di mana terdapat perusahaan
tunggal yang menjual komoditi yang tidak mempunyai substitusi sempurna.
b.Pasar Oligopoli
Oligopoli adalah organisasi pasar di mana terdapat beberapa penjual suatu
komoditi. Oleh sebab itu, tindakan setiap penjual akan mempengaruhi penjual lain.
c.Pasar Monopolistis

Persaingan Monopolistis mengacu pada organisasi pasar di mana terdapat banyak


perusahaan yang menjual komoditi yang hampir serupa tetapi tidak sama.
Contohnya adalah banyaknya merek rokok yang tersedia.
d.Pasar Persaingan Sempurna
Pasar disebut bersaing sempurna jika (1) terdapat sejumlah besar penjual dan
pembeli komoditi, sedemikian rupa sehingga tindakan dari seorang individu tidak
dapat mempengaruhi harga komoditi tersebut, (2) produk dari seluruh perusahaan
di dalam pasar adalah homogen, (3) terdapat mobilitas sumber daya yang
sempurna, dan (4) konsumen, pemilik produksi dan perusahaan di dalam pasar
mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai harga-harga dan biaya-biaya
yang sekarang dan yang akan datang.
Michael E. Porter (dalam Rahmad Dwi Jatmiko, 2004:44) menjelaskan lima kekuatan
yang membentuk sifat dan derajad persaingan dalam suatu industri, yaitu:
ancaman pendatang
baru, kekuatan tawar pelanggan, kekuatan tawar pemasok, ancaman produk
pengganti, dan ancaman dari pesaing sejenis atau rivalry.
Ancaman Pendatang Baru (Threat of Entry).
Pendatang baru dalam suatu industry biasanya membawa dan menambah
kapasitas baru, keinginan mendapatkan pangsa pasar (market share), dan juga
sumberdaya baru. Berat ringannya ancaman pendatang baru tergantung pada
hambatan masuk dan reaksi dari para pesaing yang telah ada dimana pendatang
baru akan memasuki industri atau pasar tersebut.
Kekuatan Pemasok (Powerful of Suppliers). Pemasok menyediakan dan menawarkan
input yang diperlukan untuk memproduksi barang atau menyediakan jasa oleh
industri atau perusahaan. Organisasi di dalam suatu industri bersaing antara satu
dengan lainnya untuk mendapatkan input seperti tenaga kerja, bahan baku, dan
modal. Apabila pemasok mampu mengendalikan perusahaan dalam hal penyediaan
input, sedangkan industri tidak mempunyai kemampuan untuk mengendallikan
pemasok maka posisi tawar industri menjadi lemah dan sebaliknya posisi tawar
pemasok menjadi kuat.
Kekuatan Pembeli/Pelanggan (Power of Buyers). Pembeli atau pelanggan di sini
terdiri dari pelanggan individual dan pelanggan organisasi. Dalam industri tertentu
mungkin erdapat beberapa perantara pelanggan antara industri dengan pemakai
atau konsumen akhir,
namun juga ada industri atau perusahaan yang menjual secara langsung kepada
konsumen akhir.

Ancaman Produk Pengganti.


Produk pengganti dapat memberikan pilihan bagi
pelanggan/ pembeli dan akan mengurangi keuntungan perusahaan.
Analisis Pesaing.
Analisis pesaing memungkinkan suatu organisasi menilai apakah
organisasi tersebut dapat bersaing dengan sukses di dalam suatu pasar yang
memberikan
peluang-peluang keuntungan. Dalam menilai atau mengidentifikasi kekuatan relatif
pesaing-pesaing, baik pesaing potensial yang akan muncul dan pesaing yang telah
ada, para eksekutif perlu mempertimbangkan beberapa variabel penting, yaitu:
pangsa pasar, keluasan lini produk, efektifitas distribusi, daya kompetitif harga,
efektifitas advertising dan aktivitas promosi lainnya, umur dan lokasi fasilitas
perusahaan, hak paten, kualitas karyawan, kapasitas dan produktivitas, biaya bahan
baku, posisi keuangan, kualitas produk relatif, citra perusahaan dan produk,
kemampuan penelitian dan pengembangan. Setiap variabel dari profil pesaing
kemudian
dibandingkan
dengan
profil
organisasi
itu
sendiri
untuk
mengidentifikasikan bidang-bidang yang secara relatif mempunyai kelemahan atau
kekuatan dibanding pesaing.
Dalam 5 tahun terakhir, Pasar Modern merupakan penggerak utama
perkembanganritel moden di Indonesia. Pada 20042008, omset Pasar Modern
bertumbuh 19,8%, tertinggidibanding format ritel modern yang lain. Omset
Department Store, Specialty Store danformat ritel modern lainnya masing-masing
meningkat hanya 5,2%, 8,1%, dan 10,0% per tahun Peningkatan omset yang cukup
tinggi tersebut membuat Pasar Modern semakinmenguasai pangsa omset Ritel
Modern. Pada 2004, market share. Omset Pasar Modern adalah70,5% dari total
omset Ritel Modern di Indonesia. Pada tahun 2008 telah meningkat menjadi78,7%.
Selain itu, jika dibandingkan terhadap total omset industri ritel di Indonesia
(ritelmodern dan ritel tradisional), pangsa omset Pasar Modern juga mengalami
peningkatan dari18,3% pada 2004, menjadi 24,4% pada 2008. Berdasarkan
jenisnya, Minimarket dan Hypermarket adalah Pasar Modern dengan performance
yang sangat signifikan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini.
Performance Minimarket yang sangat baik terlihat dari laju pertumbuhan
omsetnya.Pada 2004-2008 omset Minimarket meningkat sangat tinggi, rata-rata
38,1% per tahun.Omset Hypermarket juga meningkat cukup tinggi, yakni 21,5% per
tahun. Sementara padaperiode 2004 2008 tersebut, omset Supermarket
meningkat hanya 6,2% per tahun.
Untuk Hypermarket, performance yang sangat baik terlihat dari
kemampuannyamenjadi Pasar Modern dengan pangsa omset terbesar. Pada 2008,

omset Hypermarket adalahRp23,1 triliun atau 41,7% dari total omset seluruh Pasar
Modern di Indonesia, sementaraMinimarket 32,1% dan Supermarket 26,2% (Grafik 2
& Grafik 3). Kemampuan Hypermarketmenjadi Pasar Modern dengan pengumpulan
omset terbesar karena Hypermarket menawarkanpilihan barang yang lebih banyak
dibanding Supermarket dan Mini market, sementara hargayang ditawarkan
Hypermarket relatif sama bahkan pada beberapa barang bisa lebih murahdaripada
Supermarket dan Minimarket. Penguasaan pangsa omset oleh Hypermarket telah
terjadi sejak tahun 2005.Sebelumnya, yakni pada 2004, market share. Omset
terbesar dipegang oleh Supermarket.Penurunan pangsa omset Supermarket yang
terjadi terus menerus bahkan pada tahun 2008,menjadi yang yang terkecil
menunjukkan bahwa format Supermarket tidak terlalu
favourable lagi. Sebab, dalam hal kedekatan lokasi dengan konsumen, Supermarket
kalah bersaing denganMinimarket (yang umumnya berlokasi di perumahan
penduduk), sementara untuk range pilihan barang, Supermarket tersaingi oleh
Hypermarket (yang menawarkan pilihan barang yang jauhlebih banyak). Kinerja
cemerlang Hypermarket juga ditunjukkan melalui pertumbuhan jumlah gerai.Pada
2004-2008 pertumbuhan gerai Hypermarket sangat tinggi, yakni 39,8% per tahun.
GeraiMinimarket juga meningkat cukup tinggi , yakni 16,4% per tahun, sementara
geraiSupermarket meningkat 10,9% per tahun
Jumlah gerai Hypermarket yang bertumbuh sangat tinggi tersebut
menunjukkan bahwaformat Hypermarket yang baru diperkenalkan ke masyarakat di
Indonesia pada awal tahun2000-an disambut baik oleh konsumen di tanah
air.Berdasarkan sebaran geografisnya, gerai-gerai Pasar Modern tersebut
terkonsentrasi diPulau Jawa. Pada 2008, dari sekitar 11.866 gerai Pasar Modern,
sekitar 83% diantaranyaberlokasi di Pulau Jawa (Tabel 4). Propinsi DKI Jakarta, Jawa
Barat dan Jawa Timur senantiasamenjadi daerah dengan jumlah gerai Pasar Modern
terbanyak. Terkonsentrasinya gerai-geraiPasar Modern di Pulau Jawa tidak lepas dari
kondisi dimana konsentrasi penduduk dan pusatperekonomian Indonesia memang
berada di pulau ini.
Dalam periode enam tahun terakhir, dari tahun 20072012, jumlah gerai
ritel modern di Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata 17,57% per tahun.
Pada tahun 2007, jumlah usaha ritel di Indonesia masih sebanyak 10.365 gerai,
kemudian pada tahun 2011 mencapai 18.152 gerai tersebar di hampir seluruh kota
di Indonesia. Pertumbuhan jumlah gerai tersebut tentu saja diikuti dengan
pertumbuhan penjualan. Menurut Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo),
pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia antara 10%15% per tahun. Penjualan ritel
pada tahun 2006 masih sebesar Rp49 triliun, dan melesat hingga mencapai Rp120
triliun pada tahun 2011. Sedangkan pada tahun 2012, pertumbuhan ritel
diperkirakan masih sama, yaitu 10%15%, atau mencapai Rp138 triliun. Jumlah
pendapatan terbesar merupakan kontribusi dari hipermarket, kemudian disusul oleh
minimarket dan supermarket.

Sekalipun mengalami penurunan jumlah toko yang menjual barang-barang


konsumen sebesar 1,3 persen dari tahun lalu, jumlah toko di Indonesia merupakan
terbesar kedua di dunia setelah India. Jumlah toko (tradisional dan modern) di
Indonesia mencapai 2,5 juta toko, jelas Nielsen Executive Director Retail
Measurement Services Teguh Yunanto di Jakarta, Selasa (15/3/2011). Untuk
penyebaran toko, paling banyak di Pulau Jawa dengan 57 persen, dan Sumatera
dengan 22 persen, sisanya 21 persen ada di pulau lain. Namun, Teguh menjelaskan,
ritel lebih tumbuh di pinggiran kota, mengingat lokasi permukiman banyak di
daerah tersebut. Daerah inilah yang menjadi target dari ritel modern jenis
minimarket.
Ritel modern tumbuh 38 persen dengan 18.152 toko di Indonesia, dibandingkan
tahun 2009. Dari jumlah tersebut, sekitar 16.000 toko merupakan minimarket.
Namun format ritel modern lainnya, seperti supermarket justru turun 6 persen,
sedangkan hypermarket tumbuh 23 persen dengan 154 toko.

Pada 2009 satu lagi ritel asing yaitu Grup Lotte dari Korea Selatan masuk ke
Indonesia, dengan mengakuisisi Makro yang sebelumnya dimiliki oleh SHV Holding
dari Belanda senilai US$ 223 juta. Setelah diakuisisi kini Makro berubah menjadi
Lotte Mart. Grup Lotte manjalankan bisnis ritel sejak 1979, mengoperasikan lebih
dari 90 gerai di berbagai negara diantaranya Cina, Rusia, Vietnam, dan India.
Peta persaingan ritel semakin ketat, setelah 40% saham Carrefour yang merupakan
leader hypermarket diakuisisi oleh CT Corporation anak perusahaan Grup Para
dengan nilai sekitar US$ 350 juta pada 2010. Grup Para milik Chairul Tanjung,
seorang pengusaha lokal yang lebih dulu sudah menguasai bisnis televisi,
perbankan, asuransi, pembiayaan dan sebagainya.
Dalam lima tahun terakhir peningkatan omset ritel modern cukup pesat, hal ini juga
didukung oleh pertumbuhan jumlah ritel yang pesat yaitu mencapai 18.152 gerai
pada 2011, dibandingkan 10.365 gerai pada 2007. Menurut Asosiasi Perusahaan
Ritel Indonesia (Aprindo) pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia antara 10-15% per
tahun. Penjualan ritel pada 2006 masih sebesar Rp 49 triliun, namun melesat
hingga mencapai Rp 100 triliun pada 2010. Sedangkan pada 2011 pertumbuhan
ritel diperkirakan masih sama yaitu 10%-15% atau mencapai Rp 110
triliun,menyusul kondisi perekonomian dan daya beli masyarakat yang relatif bagus.
Jumlah pendapatan terbesar merupakan konstribusi dari hypermarket, kemudian
disusul oleh minimarket dan supermarket.
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 230 juta merupakan pasar potensial
bagi bisnis ritel modern. Dalam sepuluh tahun terakhir bisnis ritel modern dengan
format hypermarket, supermarket dan minimarket menjamur, menyusul maraknya
pembangunan mall atau pusat perbelanjaan di kota-kota besar. Peritel besar seperti
hypermarket dan department store menjadi anchor tenant yang dapat menarik

minat pengunjung. Bahkan kini bisnis ritel mulai merambah ke kota-kota kabupaten
terutama jenis supermarket dan minimarket. Saat ini bisnis ritel tumbuh pesat di
pinggiran kota, mengingat lokasi permukiman banyak di daerah tersebut. Dengan
dibukanya pintu masuk bagi para peritel asing sebagaimana Keputusan Presiden
No. 118/2000 yang telah mengeluarkan bisnis ritel dari negative list bagi
Penanaman Modal Asing (PMA), maka sejak itu ritel asing mulai marak masuk ke
Indonesia. Masuknya ritel asing dalam bisnis ini, menunjukkan bisnis ini sangat
menguntungkan. Namun di sisi lain, masuknya hypermarket asing yang semakin
ekspansif memperluas jaringan gerainya, dapat menjadi ancaman bagi peritel lokal.
Peritel asing tidak hanya membuka gerai di Jakarta saja, misalnya Carrefour dalam
lima tahun belakangan sudah merambah ke luar Jakarta termasuk ke Yogyakarta,
Surabaya, Palembang dan Makassar. Namun saat ini di wilayah DKI pemberian izin
minimarket diperketat karena sudah terlalu banyak. Keadaan ini mendorong peritel
lokal yang sudah lebih dulu menguasai pasar, misalnya Matahari Group yang
sebelumnya kuat pada bisnis department store, mengembangkan usahanya
memasuki bisnis hypermarket. Demikian juga Hero yang sebelumnya kuat dalam
bisnis supermarket, akhirnya ikut bersaing dalam bisnis hypermarket. Bahkan Hero
mengubah sejumlah gerai supermarketnya menjadi format hypermarket.
Hingga saat ini, pangsa pasar modern mencapai 30%, sedangkan pasar tradisional
menguasai sekitar 70%. Hal ini menunjukkan peluang bisnis ritel (pasar modern)
cukup menjanjikan, setiap tahun selalu muncul dan berdiri gerai baru ritel di kotakota besar. Saat ini pengusah ritel mulai melebarkan sayap diluar pulau Jawa seperti
Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan Maluku. Sementara itu, peritel besar seperti
Carrefour dan Giant memiliki pasar ritel lebih luas dibandingkan competitor lain,
sebab selain bermain di segmen hypermarket, kedua peritel ini juga bersaing di
segmen supermarket. Dengan membaiknya ekonomi Indonesia ditahun mendatang
diperkirakan akan semakin banyak peritel asing masuk ke Indoneisa, demikian juga
pemain lama menjadi semakin ekspansif menggarap setiap potensi pasar yang ada.
Akibatnya persaingan akan semakin ketat menyebabkan semua pemain berusaha
keras menjalankan berbagai strategi untuk mengalahkan persaingan yang kadang
menjadi tidak fair lagi.

Struktur bisnis pasar modern

Bisnis ritel telah menjadi bisnis global dan Indonesia tidak terhindarkan dari serbuan
ritel asing. Dengan kekuatan yang besar dari segi keuangan, manajemen, maupun
jaringannya ritel modern raksasa masuk ke Indonesia. Maka terjadi perubahan
peta bisnis yang cukup signifikan dalam lima terakhir akibat jatuh bangunnya bisnis
ritel. Serbuan ritel modern di Indonesia bukan kali ini terjadi, setiap dekade muncul
format baru ritel modern yang menggeser ritel tradisional. Ketika diawal tahun

1980an supermarket mewah mulai menyerbu Jakarta, maka pasar tradisionil


seperti pasar Cikini, pasar Santa dan pasar lain yang melayani penduduk menengah
atas di pusat kota Jakarta mulai kehilangan pamor Penyebaran supermarket yang
gencar di awal tahun 1990an mulai mempersempit ruang gerak pasar dan ritel
tradisionil. Pada waktu itu diberbagai kawasan pemukiman di Jabotabek dan kota
besar lainnya di P. Jawa supermarket mulai menjamur. Memasuki pertengahan tahun
1990an supermarket mulai mendapat saingan dari hypermarket dengan munculnya
Makro (sekarang bernama Lotte Mart). Format pasar modern yang ditawarkan oleh
Lotte Mart berbeda dengan supermarket terutama dari luas dan produk yang
ditawarkan,sedangkan dari segi pelayanan format hypermarket sangat berbeda
dengan supermarket karena pada Lotte Mart pelayanan dibuat seminim mungkin
untuk mengejar harga yang murah. Bersamaan dengan itu mulai berkembang
supermarket skala kecil yaitu format minimarket yang mampu bersaing dengan
format supermarket. Kedua format pasar modern ini sama-sama mempunyai
jaringan yang kuat sehingga minimarket dapat menawarkan harga yang bersaing
dengan supermarket dan kenyaman yang sama bahkan minimarket bisa berada
lebih dekat dengan lokasi pelanggannya.
Dari kelompok minimarket ini jaringan Indomaret dan Alfa mulai merajai segmen
pasar dari ritel bisnis ini. Hanya dalam waktu yang relatif singkat jumlah gerai
kedua jaringan minimart ini telah menggurita. Namun serangan yang hebat
terhadap keberadaan supermarket adalah ketika masuknya format baru yaitu
hypermarket yang dikembangkan oleh Carrefour dari Perancis. Dengan skala
gerainya yang jauh lebih besar, demikian juga pilihan item jauh lebih beraneka
ragam, ditambah dengan harga yang relatif lebih murah dari supermarket, maka
posisi supermarket mulai tergeser. Apalagi hypermarket tersebut berada dilokasi
yang sangat strategis dipusat bisnis dan pusat pemukiman kalangan menengah
atas yang menjadi target pasar dari supermarket selama ini. Akibat serangan dari
format ritel seperti hypermarket dan minimarket, maka kelompok Hero yang
sebelumnya merajai bisnis supermarket mulai terdesak dan untuk bisa bertahan
menghadapi persaingan itu, kelompok ini mulai mengembangkan jaringan
hypermarketnya menggandeng jaringan ritel Giant Retail Sdn Bhd dari Malaysia.
Menyadari Jakarta sudah padat ditempati Carrefour maka Giant menempatkan
pijakan awalnya di kota Surabaya dan di Tangerang yang belum dimasuki
hypermarket lainnya. Selain itu kelompok Hero juga membangun jaringan
minimarketnya melalui jaringan ritel Starmart. Tidak semua jaringan supermarket
mampu bertahan. Misalnya jaringan supermarket Tops milik jaringan ritel Aholds
dari Belgia yang banyak beroperasi di daerah Jawa Barat akhirnya diakuisi oleh
kelompok Hero.

Format bisnis

Ritel modern memiliki banyak format yang berkembang sesuai dengan situasi pasar
di dalam negeri maupun sebagai dampak perubahan pasar di dunia. Format ritel
modern ini masih terus berkembang setiap saat masih selalu terjadi perubahan. Di
Indonesia format ritel belum diatur secara baku, atau kadang kala peraturan yang
ada pun tidak mencerminkan keadaan bisnis ritel yang ada. Secara umum format
bisnis ritel yang saat ini berkembang pesat di Indonesia adalah hypermarket,
supermarket, minimarket atau convenience store , departemen store, dan specialty
store. Hypermarket, supermarket, dan minimarket pada dasarnya perkembangan
dari toko kelontong dan pasar tradisionil, sehingga kemudian ritel modern ini sering
diberi istilah pasar modern. Perbedaan untamanya terletak pada luas ruangan,
range produk dan jasa yang ditawarkan. Dalam tulisan ini yang dimaksud ritel
modern dibatasi pada hypermarket, Supermarket dan Minimarket.

Hypermarket
Hipermarket adalah bentuk pasar modern yang sangat besar, dalam segi luas
tempat dan barang-barang yang diperdagangkan. Selain tempatnya yang luas,
hipermarket biasanya memiliki lahan parkir yang luas. Konsep hypermarket ini
pertama kali diperkenalkan oleh carrefour dan kemudian berkembang dalam
berbagai modifikasi. Dalam kategori ini juga dimasukkan toko grosir seperti Makro
yang mempunyai format yang hampir sama dengan hipermarket yang lain namun
target pasarnya bukan untuk perorangan tapi untuk pedagang dan untuk kegiatan
usaha seperti restoran, hotel, atau catering. Juga penjualannya dalam satuan yang
lebih besar.
Hypermarket dapat dikategorikan dengan jumlah kasir per toko yang lebih dari 20
orang dan produk yang dijual sekurangnya 25.000 item temasuk kebutuhan seharihari, alat-alat elektronik dan furnitur. Carrefour menyediakan 50.000 jenis produk di
setiap gerainya, Giant 35.000-50.000 jenis produk. Tetapi Makro hanya
menyediakan sekitar 15.000 jenis produk. Di toko grosir seperti Makro, konsumen
bisa mendapatkan harga lebih murah karena harus membeli barang dalam jumlah
lebih banyak, misalnya untuk pembelian pasta gigi yang harga persatuannya
murah, namun mesti dibeli dalam jumlah minimal satu lusin. Karena itu konsumen
potensial gerai ritel grosiran tersebut adalah pemilik warung, toko kecil, hotel,
restoran maupun pengusaha katering.

Supermarket
Supermarket lebih dulu hadir dibandingkan Hypermarket dan dikenal sebagai
bentuk awal pasar modern. Supermarket berbeda dari pasar traditional diantaranya
karena bersifat swalayan.

Minimarket
Minimarket dikenal juga sebagai convenience store adalah perkembangan dari toko
kelontong yang menawarkan kenyamana dan jasa seperti supermarket tapi dalam
skala yang lebih kecil.

Perkembangan jumlah gerai

Dalam periode lima tahun terakhir dari 2007-2011 jumlah gerai usaha ritel di
Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 17,57% per tahun. Pada 2007
jumlah usaha ritel di Indonesia masih sebesar 10.365 gerai, kemudian pada 2011
diperkirakan akan mencapai 18.152 gerai yang tersebar di hampir seluruh kota-kota
di Indonesia. Jumlah gerai hypermarket dari hanya 99 pada 2007 meningkat
menjadi 154 pada 2010. Sementara hingga akhir 2011 diperkirakan akan
bertambah menjadi 167 gerai. Sedangkan pertumbuhan jumlah supermarket relatif
menurun. Jika pada 2007 tercatat 1.377 gerai maka pada 2010 mengalami
penurunan menjadi sekitar 1.230. Penurunan tersebut disebabkan beberapa
supermarket terpaksa tutup karena kelah bersaing dengan minimarket. Sementara
sebagian gerai supermarket diubah menjadi gerai hypermarket.
Kenaikan jumlah gerai ritel terutama dipicu oleh pertumbuhan gerai minimarket
yang fenomenal. Jika pada 2007 total gerai minimarket hanya 8.889 maka pada
2010 melonjak pesat hingga mencapai sekitar 15.538 buah. Sedangkan pada 2011
diperkirakan akan meningkat menjadi 16.720 gerai. Pertumbuhan bisnis minimarket
ini didominasi oleh pertumbuhan outlet Indomaret dan Alfamart, dengan frekuensi
pertambahan jaringan relatif cepat dan penyebaran yang cukup luas, baik melalui
pola pengelolaan sendiri (reguler) maupun melalui sistem waralaba (franchise).

Terbanyak di Jakarta

Sebagian besar pasar modern baik lokal maupun asing masih terpusat di pulau
Jawa, yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia dan merupakan pusat
bisnis di Indonesia. Pada 2010 perkiraan jumlah gerai pasar modern di Jakarta dan
sekitarnya (Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok) sekitar 38,1% (6.916 gerai), Jawa
Barat 14,08% ( gerai), Jawa Timur 12,12% (2.556 gerai), Jawa Tengah 10,2% (1.852

gerai). Setelah pulau Jawa, wilayah Sumatra menempati urutan kedua terbesar
yaitu sekitar 8,2% (1.488 gerai).

Jakarta sudah jenuh

Jakarta mendominasi jumlah gerai pasar modern untuk seluruh format. Dari total
jumlah hypermarket di Indonesia pada 2010 sebanyak 152 buah, diantaranya
sekitar 44 buah atau 28% ada di Jakarta, supermarket sekitar 21% dan minimarket
sekitar 40% berada di Jakarta. Melihat pertumbuhan ritel yang terus
menggurita, dimana jumlah hypermarket dianggap sudah terlalu banyak. Untuk
membenahi keberadaan hypermarket yang kian marak di Jakarta, pada Juli 2006
Pemprov DKI telah merevisi Peraturan Daerah (Perda) No 2/2002 tentang
perpasaran swasta. Berdasarkan Perda No.2/2002, izin lokasi usaha ritel modern
harus berjarak dari pasar lingkungan yaitu peritel seluas 100 200 m2 harus
berjatak 0,5 km, peritel seluas 1.000 2.000 m2 harus berjarak 1,5 km, peritel
seluas 2.000 4.000 m2 harus berjarak 2 km dan peritel seluas > 4.000 m2 harus
berjarak 2,5 km. Sebagai salah satu alternatif solusi masalah zonasi bagi pelaku
pasar modern skala besar, maka kini hypermatket diharuskan berada dalam mall.
Sebab izin pendirian mall diberikan setelah memenuhi aturan jarak dengan pasar
tradisional.

Sejauh ini, tampaknya izin lokasi ini tidak ditaati oleh sejumlah pemilik
hypermarket. Hal ini karena pengusaha masih menggunakan kekuatan modal,
sehingga dapat mempengaruhi pihak otoritas yang tidak tegas. Contohnya, Plaza
Semanggi dengan Pasar Benhil berjarak kurang dari 2,5 kilometer. Bahkan Surat
Keputusan Gubernur No 44 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perpasaran
Swasta di DKI, dibatalkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena diprotes
pengelola hypermarket. Untuk tahun ini Pemprov DKI hanya akan mengeluarkan izin
usaha ritel seluas > 5.000 m2 jika berada di gedung pusat perbelanjaan/mall.
Pemprov tidak akan memperpanjang izin ritel yang dikelola dalam gedung tersendiri
(stand alone). Namun, rencana Pemprov DKI yang melarang pembukaan toko ritel
besar di gedung sendiri, mendapat penolakan dari beberapa peritel besar seperti
Carrefour dan Giant. Sebagai gambaran, dari beberapa hypermarket yang berada di
Jakarta hanya Makro yang seluruh outletnya menempati gedung sendiri. Sedang
Carrefour hanya memiliki 5 gerai yang stand alone dan Giant 3 gerai saja. Sebagian
besar gerai Carrefour, Giant dan Hypermart lainnya berada di dalam shopping
centre/mall sebagai anchor tenant.

Ritel asing semakin kuat

Kehadiran Carrefour sejak 1998 mengubah peta persaingan bisnis ritel di Indonesia.
Sebelum Carrefour, ritel asing yang masuk ke Indonesia adalah Walmart, Makro, dan
Continent yang akhirnya diambil alih Carrefour. Menyusul kemudian Dairy Farm
International Giant Retail Sdn Bhd dari Malaysia yang menggandeng PT.Hero
Supermarket Tbk mendirikan hypermarket Giant. Sebelumnya Hero Group sangat
berpengalaman dan merajai bisnis supermarket di Indonesia, melalui jaringan Hero
supermarket.
Suksesnya investor asing dengan format ritel hypermart, mendorong peritel lokal
seperti Matahari Group untuk ikut bersaing dalam bisnis hypermarket, dengan
membangun jaringan hypermarketnya yaitu Hypermart. Awalnya Matahari Group
sangat berpengalaman dan dikenal cukup berhasil dengan jaringan department
store Matahari yang memiliki gerai di banyak kota besar di Indonesia.
Pada 2009 Lotte Group dari Korea menyerbu Indonesia dengan langkah strategis
yaitu mengambil alih Makro yang awalnya dimiliki oleh SHV Holding NV asal
Belanda. Untuk akuisisi tersebut Lotte mengeluarkan dana sekitar US$ 223 juta.
Lotte Group dirintis oleh Shin Kyuk Ho pada 1973, kini memilki 45 anak usaha yang
bergerak dalam bidang perhotelan, makanan, distribusi, ritel, kimia, dan jasa
konstruksi. Grup ini merambah bisnis ritel sejak 1979, mengoperasikan lebih dari 90
gerai di berbagai negara, antara lain Cina, Rusia, Vietnam, dan India. Lotte Group
adalah grup bisnis kelima terbesar di Korea Selatan dengan total aset mencapai 31
miliar Euro dan pendapatan bersih sebesar 23 miliar Euro pada 2007. Namun
demikian, dominasi asing mulai berkurang seiring dengan pengambilalihan
Carrefour oleh Grup Para pada akhir 2010. Para Group yang dikenal juga dengan
CT Corporation milik Chairul Tanjung, pengusaha pribumi mengakuisisi 40 persen
saham PT Carrefour Indonesia. Saat ini Trans Ritel menjadi pemegang saham
tunggal terbesar, pemegang saham lainnya adalah Carrefour SA (39%), Carrefour
Nederland BV (9,5 persen), dan Onesia BV (11,5 persen).

PERKEMBANGAN INDUSTRI RITEL


INDONESIA

Menurut Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), bisnis ritel atau usaha
eceran di Indonesia mulai berkembang pada kisaran tahun 1980 an seiring dengan
mulai dikembangkannya perekonomian Indonesia. Hal ini timbul sebagai akibat dari
pertumbuhan yang terjadi pada masyarakat kelas menengah, yang menyebabkan
timbulnya permintaan terhadap supermarket dan department store (convenience

store) di wilayah perkotaan. Trend inilah yang kemudian diperkirakan akan berlanjut
di masa-masa yang akan datang. Hal lain yang mendorong perkembangan bisnis
ritel di Indonesia adalah adanya perubahan gaya hidup masyarakat kelas menengah
ke atas, terutama di kawasan perkotaan yang cenderung lebih memilih berbelanja
di pusat perbelanjaan modern. Perubahan pola belanja yang terjadi pada
masyarakat perkotaan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan berbelanja saja
namun juga sekedar jalan-jalan dan mencari hiburan. Berkembangnya usaha di
industri ritel ini juga diikuti dengan persaingan yang semakin ketat antara sejumlah
peritel baik lokal maupun peritel asing yang marak bermunculan di Indonesia.
Industri ritel di Indonesia saat ini semakin berkembang dengan semakin banyaknya
pembangunan gerai-gerai baru di berbagai tempat. Kegairahan para pengusaha
ritel untuk berlomba-lomba menanamkan investasi dalam pembangunan gerai-gerai
baru tidaklah sulit untuk dipahami. Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas
3% sejak tahun 2000 dan makin terkendalinya laju inflasi, bisa menjadi alasan
mereka bahwa
ekonomi Indonesia bisa menguat kembali di masa mendatang. Ramainya industri
ritel Indonesia ditandai dengan pembukaan gerai-gerai baru yang dilakukan oleh
pengecer asing seperti Makro (Belanda), Carrefour (Perancis), dan Giant (Malaysia,
yang kemudian juga digandeng oleh PT Hero
Supermarket Tbk), yang tersebar di kotakota besar seperti Jakarta, Makassar,
Semarang, Bandung, Yogyakarta, dan lain sebagainya. Penggolongan bisnis ritel di
Indonesia dapat dikategorikan berdasarkan sifatnya, yaitu ritel yang bersifat
tradisional atau konvensional dan yang bersifat modern. Ritel yang bersifat
tradisional adalah sejumlah pengecer atau
pedagang eceran yang berukuran kecil dan sederhana, misalnya toko-toko
kelontong, pengecer atau pedagang eceran yang berada di pinggir jalan, pedagang
eceran yang berada di pasar tradisional, dan lain sebagainya.
Kelompok bisnis ritel ini memiliki modal yang sedikit dengan fasilitas yang
sederhana. Ritel modern adalah sejumlah pedagang eceran atau pengecer
berukuran besar, misalnya dengan jumlah gerai yang cukup banyak dan memiliki
fasilitas toko yang sangat lengkap dan modern. Hasil survey menurut AC Nielsen
lima pengecer terbesar yang termasuk dalam kategori ritel modern di Indonesia
berdasarkan nilai penjualan adalah Matahari, Ramayana, Makro, Carrefour, dan
Hero. Konsep yang ditawarkan peritel modern beragam seperti supermarket
(swalayan), hypermarket, minimarket, departement store, dan lain sebagainya.
Bisnis ritel dapat pula dibagi menjadi tiga kelompok usaha perdagangan eceran
yaitu:
1. Grosir (pedagang besar) atau hypermarket. Kelompok ini umumnya hanya ada di
kota-kota besar dan jumlahnya sedikit. Di Indonesia yang termasuk dalam kelompok
ini adalah:

a. PT Alfa Retailindo dengan nama


gerai Alfa.
b. PT Makro Indonesia dengan
nama gerai Makro.
c. PT Carrefour Indonesia dengan
nama gerai Carrefour.
d. PT Goro Batara Sakti dengan
nama gerai Goro.
e. PT Hero Supermarket dengan
nama gerai Giant.
f. PT Matahari Putra Prima dengan
nama gerai Matahari.
2. Pengecer besar atau menengah dengan
jumlah gerai sekitar 500 gerai.
3. Minimarket modern. Pelaku kelompok ini tidak banyak namun mengalami
perkembangan pesat. Menurut Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri,
Departemen Perdagangan Republik Indonesia (1997), jenis-jenis perdagangan
eceran terdiri dari:
1. Pasar tradisional, adalah tempat transaksi barang atau jasa antara penjual dan
pembeli, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. memperjualbelikan barang/jasa kebutuhan sehari-hari secara eceran
b. melibatkan banyak pedagang eceran berskala kecil
c. Bangunan dan fasilitas pasarnya relatif sederhana
d. Pemilikan dan pengelolaannya umumnya oleh pemerintah daerah
2. Supermarket (swalayan/rumah belanja), adalah pasar modern tempat penjualan
barang-barang eceran yang berskala besar dengan pelayanan yang bersifatself
service. Kepemilikannya bisa dimiliki oleh satu orang atau lebih. Komoditi inti yang
dijual adalah barang-barang rumah tangga, makanan,
minuman, dan lain-lain.

3. Departement Store (Toko Serba Ada), adalah pasar modern tempat


penjualanbarang-barang eceran yang berskala besar. Komoditi inti yang dijual
adalah jenis-jenis fashion, seperti pakaian, sepatu, tas, kosmestik, perhiasan,
dan lain-lain. Pelayanan dibantu oleh pramuniaga dan adapula yang self service.
4. Pasar Grosir, adalah tempat transaksi barang atau jasa antara penjual dan
pembeli secara partai besar, untuk kemudian diperdagangkan kembali.
5. Pasar Grosir tradisional, adalah pasar grosir dengan jumlah pedagang grosir
relatif banyak, seperti Pasar Tanah Abang Jakarta, Pasar Cipulir, Pasar Mangga Dua
Jakarta, dan lain sebagainya.
6. Pasar Grosir Modern, adalah pasar grosir dengan pelayanan yang bersifat self
service, seperti Pasar Grosir Makro, Alfa, dan lain-lain.
7. Pusat perbelanjaan/pusat perdagangan
(mall/plaza/shopping center), adalah suatu arena penjualan berbagai jenis komoditi
yang terletak dalam satu gedung perbelanjaan. Dalam pusat perbelanjaan terdapat
department store, supermarket, dan toko-toko lain dengan berbagai macam produk.
Contohnya: Galeria Mall, Blok M Plaza, dan lain-lain.
8. Toko bebas pajak (duty free shop), adalah tempat melakukan kegiatan usaha
perdagangan barang yang memperdagangkan barang-barang tanpa dikenakan
pajak sehingga dapat dibeli dengan harga yang murah namun tidak semua orang
dapat berbelanja di tempat tersebut. Biasanya pembeli harus menjadi anggota
terlebih dahulu dan diprioritaskan untuk orang asing. Toko ini berbentuk badan
hukum.
9. Pasar percontohan, merupakan suatu tempat berupa pasar fisik yang berada di
daerah yang perekonomiannya relatif terbelakang dan diharapkan dapat
berkembang mandiri serta mampu mendorong berkembangnya potensi ekonomi
daerah sekitarnya, Jenis barang yang diperjualbelikan adalah barang-barang
kebutuhan sehari-hari serta barang-barang hasil produksi pertanian dan kerajinan
masyarakat setempat.
10. Pertokoan, adalah suatu wilayah yang terdapat bangunan toko-toko sepanjang
jalan raya dan ditetapkan olehpemerintah daerah sebagai pertokoan.
11. Pasar induk, adalah pasar tempat transaksi barang atau jasa antara penjual
dengan pembeli dalam partai besar untuk kemudian diperdagangkan kembali ke
pasar-pasar lainnya, seperti Pasar Induk Kramat Jati Jakarta dan Pasar Induk Beras
Cipinang. Tahapan pada evolusi perkembangan
industri ritel sebagai berikut:

1. Era sebelum tahun 1960 an: era perkembangan ritel tradisional yang terdiri atas
pedagangpedagang independen.
2. Tahun 1960 an: Era perkenalan ritel modern dengan format departement store
ditandai dengan dibukanya gerai ritel pertama Sarinah di Jl. MH. Thamrin Jakarta.
3. Tahun 1970-1980 an: Era perkembangan ritel modern dengan format
supermarket dan departement store, ditandai dengan hadirnya peritel modern
sepert Matahari, Hero, dan Ramayana.
4. Tahun 1990 an: Era perkembangan convenient store, yang ditandai dengan
maraknya pertumbuhan minimarket seperti Indomaret. Pertumbuhan high
classdepartement store, dengan masuknya Sogo, Metro, dan lainnya. Pertumbuhan
format cash and carry dengan berdirinya Makro,
diikuti Goro, Alfa.
5. Tahun 2000-2010: Era perkembangan hypermarket dan perkenalan e-retailing.
Era ini
ditandai dengan hadirnya Carrefour dengan format hypermarket dan hadirnya
Lippo-Shop yang memperkenalkan e-retailing di Indonesia berbasis pada pengguna
internet. Konsep ini masih asing
dan sukar diterima oleh kebanyakan masyarakat Indonesia yang masih terbiasa
melakukan perdagangan secara langsung. Selain format tersebut, terdapat pola
pertumbuhan ritel dengan format waralaba. Peritel merupakan distributor paling
akhir karena langsung berhadapan dengan konsumen sebagai pemakai akhir. Peritel
membeli produk dari perusahaan manufaktur atau distributor besar dan
menjualnya kembali kepada konsumen. Peritel bekerjasama erat dengan para
pemasok dan distributor. Beberapa peritel besar dalam industri ritel yang dikenal
luas di Indonesia adalah PT Contimas Utama Indonesia (Carreffour) yang merupakan
bagian dari jajaran eceran raksasa yang
induknya ada di Perancis. Peritel lainnya adalah PT Hero Supermarket Tbk (Hero), PT
Alfa Retailindo (Alfa), PT Matahari Putera Prima (Matahari), PT Ramayana Lestari
Sentosa (Ramayana), PT Makro Indonesia, dan PT Indomarco Primastama
(Indomaret). Selain itu masih banyak lagi terdapat pemain-pemain lainnya berskala
menengah maupun kecil. Matahari yang berdiri sejak tahun 1958 pada tahun 2005
telah memiliki 77 gerai, 43 supermarket, 8 hipermarket, dan 105 Timezone. Pada
tahun 2006 jumlah hypermarket meningkat menjadi 18. Matahari sebagai pemimpin
pasar di ritel terus berubah dengan melakukan inovasiinovasi baru di berbagai unit
bisnisnya, seperti perkembangan produk merek sendiri Value Plus yang ada di
unit bisnis Matahari Supermarket. Matahari juga berhasil membuat terobosan baru
dengan membuka gerai Matahari China, yang merupakan gerai pertama Matahari di
luar Indonesia. Kids2kids yang merupakan Specialty Store Matahari Departement

Store ini gerai pertamanya dibuka di Mal Kelapa Gading Jakarta pada bulan Oktober
2004. Pada tahun 2005 Kids2kids berhasil membuka 4 gerai baru. Private Label MDS
(Matahari Departement Store) yang telah memiliki lebih dari 17 brand semakin
ditingkatkan pengembangannya dalam segi kualitas dan berhasil menggandeng
Intertex untuk mendapatkan standar mutu produk Internasional. Pada tahun 2005
Matahari berhasil mendapatkan penghargaan internasional sebagai Gold-Top
Retail dari Retail Asia Pacific. Matahari telah menerima penghargaan ini selama
dua tahun berturut-turut, dan hal ini merupakan penghargaan bergengsi dari
dunia luar atas keberhasilan bisnis Matahari di tahun 2004 dan 2005. Sampai
Februari 2005, gerai ritel di Indonesia mencapai 2.720 unit yang dioperasikan oleh
62 perusahaan yang berhimpun dalam Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel
Indonesia). Data omzet penjualan menurut Aprindo:

Tabel 1. Omzet Penjualan Ritel


TAHUN

PENJUALAN

2004

Rp 35 Triliun

2005

Rp 45 Triliun

Riset AC Nielsen tahun 2003 menyebutkan total penjualan ritel Indonesia per tahun
di atas Rp 600 Triliun. Di Indonesia tahun 2003 ada 267 departement store, 683
supermarket, 972 mini market, dan 43 hypermarket. Survey AC Nielsen mencatat di
antara beberapa bentuk ritel modern seperti supermarket, minimarket, pusat grosir,
dan hipermarket, pertumbuhan paling cepat dialami
hipermarket dengan data sebagai berikut:

Tabel 2. Data Hypermarket


TAHUN

2003

JUMLAH HYPERMARKET

43 unit

2004

68 unit

2005

83 unit

Pertumbuhan ritel modern di Indonesia tentu saja menguntungkan konsumen


karena semakin banyaknya pilihan belanja, namun di sisi lain pangsa pasar ritel
tradisional terdesak. Adapun
perkembangan jumlah ritel modern sebagai berikut:

Tabel 3.Jumlah Ritel Modern


TAHUN

JUMLAH

2003

5.103 unit

2004

6.804 unit

Berdasarkan data AC Nielsen, kontribusi penjualan pasar tradisional memang terus


merosot. Pada tahun 2002 dominasi penjualan di segmen pasar tradisional
mencapai 75%, maka pada tahun berikutnya turun hanya 70%. Sebaliknya, ritel
modern hypermarket pada tahun 2002 pangsa penjualan 3%, mengalami kenaikan
berturut-turut tahun 2003 menjadi 5% dan tahun 2004 menjadi
7%. Berdasarkan data AC Nielsen Asia Pasifik Retail and Shopper Trend 2005
menyebutkan bahwa di negara-negara Asia Pasifik (kecuali Jepang), pada tahun
19992004 ratio keinginan masyarakat
berbelanja di pasar tradisional dan pasar modern sebagai berikut:

Tabel 4.Rasio Keinginan Masyarakat Berbelanja di Pasar Tradisional dan Pasar


Modern
TAHUN

PASAR
TRADISIONAL

ERN

PASAR
MOD

1999

65%

2000

63%

2001

60%

2002

52%

2003

56%

2004

53%

35%
37%
40%
48%
44%
47%

Data ini menunjukkan bahwa kecenderungan keinginan masyarakat berbelanja di


pasar tradisional menurun, sedangkan keinginan mayarakat berbelanja di pasar
modern meningkat dengan tingkat
penurunan/kenaikan 2% per tahun.

BAB III
KESIMPULAN
3.1

DEFINISI

Dari hasil analisis yang telah dilakukan kesimpulannya dinamika pasar membawa
konsekuensi adanya persaingan antara pelaku industri retail. Persaingan tersebut
terjadi antara retail modern dengan pasar tradisional, antara sesame retail modern,
antara sesama pasar tradisional, dan antara pemasok (supplier). Persaingan yang
paling dirasakan adalah persaingan antara retail modern dan pasar tradisional.
Dimana pasar tradisional merasa makin terpinggirkan dengan kehadiran retail
modern yang mampu menghadirkan kebutuhan konsumen dengan fasilitas yang
lebih baik dan harga yang lebih murah. Persaingan antara retail modern lebih
segmented, yaitu sesuai dengan kelasnya. Tetapi masing-masing mempunyai

strategi persaingan yang unik. Tidak jarang dalam persaingan harga terjadi perang
harga secara terang-terangan. Selain terjadi persaingan harga, juga terdapat
persaingan dalam layanan yang memberikan kemudahan kepada konsumen. Ketika
tingkat taraf hidup masyarakat meningkat, disamping membutuhkan ketersediaan
berbagai macam barang yang lengkap dari kebutuhan primer hingga kebutuhan
tersier, mayarakat juga membutuhkan fasilitas pendukung seperti kenyamanan,
kebebasan, ataupun jaminan harga murah dan kualitas baik. Kenyamanan menjadi
alasan utama untuk beralihnya tempat berbelanja bagi masyarakat dari pasar
tradisional ke pasar modern, meskipun masyarakat tidak mungkin meninggalkan
pasar tradisional 100 persen.
Menurut penuturan konsumen pasar selaku informasi pendukung dalam penelitian
ini berbelanja di pasar itu sangat mudah dan tepat, karena berbagai
keanekaragaman penjual di pasar konsumen dapat sekaligus memenuhi kebutuhankebutuhannya tanpa harus berpindah-pindah ke tempat lain. Hal inilah yang
menjadi posisi pasar tradisional bisa bertahan karena hal ini tidak bisa dijumpai di
retail modern. Bahkan di pasar tradisional antara pedagang dan konsumen
mempunyai rasa kepercayaan yang tinggi sehingga sistem pembayarannya pun
bisa dilakukan dengan berhutang terlebih dahulu. Sistem-sistem yang melekat di
pasar tradisional inilah yang merupakan ciri khas dan menjadi sebuah tradisi yang
unik dari turun temurun. Pada sisi saluran distribusi antara pemasok dan retail di
Indonesia, terdapat perbedaan antara retail modern dan pasar tradisional. Untuk
barang-barang non pabrik seperti sayurmayur, buah-buahan, dan barang yang
dihasilkan industri rumah tangga, distribusi di kedua retail sama, yaitu dari
produsen (petani) langsung. Tetapi untuk barang-barang yang dihasilkan oleh pabrik
besar, pada retail modern dengan pertimbangan economies of scale, distribusi
barang biasanya langsung dari produsen. Sedangkan pada retail tradisional harus
malalui agen atau distributor. Perbedaan sistem distribusi inilah yang menimbulkan
perbedaan harga pada retail modern dan pasar tradisional. Masing-masing retail
modern juga mempunyai keunikan sistem distribusi sendiri-sendiri, seperti pada
model Carefour, model Alfamart dengan Alfa Distribution Centrenya, model
Indomart demgan merchandizing nya, ataupun Hero dengan David Distributon
Indonesia nya.
Di Jakarta bisnis retail modern lebih mendominasi dari bisnis retail tradisional.
Bahkan tidak hanya dijakarta di daerah-daerah lainnyapun seperti Surabaya, blitar,
bogor dan lainnya bisnis retail modern mulain mendomiasi. Jadi dapat disimpulkan
bahwa bisnis retail modern lebih signifikan dari bisnis tradisional. Masyarakat saat
ini lebih mengutamakan berbelanja dengan nyaman dan simple. Namun tidak 100%
masyarakatpun beralih dari pasar-pasar tradisional, ada pula masyarakat yang
masih merasa bahwa berbelanja di pasar tradisional lebih nyaman karena alasan
bisa saling tawar-menawar harga. Semua itu tergantung dari pemikiran dan pilihan
masyarakat itu sendiri, Perkembangan ritel dalam format pasar modern
memberikan alternatif belanja yang menarik bagi konsumen. Selain menawarkan

kenyamanan dan kualitas produk, harga yang mereka berikan juga cukup bersaing.
Hal ini dimungkinkan mengingat besarnya kemampuan modal para peritel modern
tersebut. Peritel modern dapat mempersempit jalur distribusi sehingga mampu
menawarkan harga yang jauh lebih kompetitif kepada konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Internet :
http://www.info.com/national%20retail?cb=11&cmp=2951
http://www.datacon.co.id/Ritel-2011ProfilIndustri.html
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/03/23/bisnis-retail-terhadap-kebijakandan-politik-di-indonesia-100427.html
http://mitrakonsulindo.indonetwork.co.id/885013/managemen-retail-minimarketsupermarket-modern-jaringan-non.htm
http://haluankepri.com/opini-/46301-indonesia-dalam-cengkeramankonsumerisme.html
http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/download/273/221
http://www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/positioning_paper_ritel.pdf
http://abufarros.wordpress.com/2013/04/12/tantangan-dunia-bisnis-retail-2013/

Anda mungkin juga menyukai