Anda di halaman 1dari 21

19

BAB 2
ELEMEN ELEMEN BUDAYA ORGANISASI

Elemen-elemen budaya organisasi menunjukkan tingkatan dari unsur-


unsur budaya dimana fenomena budaya bisa diamati. Meskipun ada kesamaan
pandangan dari para ahli bahwa budaya organisasi terdiri dari elemen yang
bisa diamati secara kasat mata dan ada yang tidak kelihatan namun terdapat
perbedaan mengenai elemen terdalam dari budaya organisasi.
Hofstede (2001:123) menyatakan bahwa elemen paling dalam dari
budaya organisasi adalah nilai-nilai (values) sedangkan Schein (2004:25)
menyatakan bahwa elemen paling mendasar dari budaya organisasi adalah
asumsi-asumsi dasar (basic asumptions). Sebaliknya Hatch justru
menggambarkan budaya organisasi sebagai suatu proses dinamis dimana unsur-
unsurnya saling mempengaruhi.
Pemahaman terhadap elemen-elemen budaya tersebut menjadi
sangat penting karena seperti dikatakan Reichers and Schneider tujuan
mempelajari budaya organisasi berbeda dengan tujuan mempelajari budaya
dalam perspektif antropologi. Dalam bidang studi antropologi, para
antropolog mempelajari budaya sebuah masyarakat semata-mata dalam
rangka untuk mengetahui budaya masyarakat tersebut tidak lebih dari
itu. Bagi para antropolog apa tindakan selanjutnya setelah memahami
budaya tersebut tidaklah terlalu penting.
Dalam bidang studi organisasi, tujuan mempelajari budaya
organisasi sebagian mengikuti pola para antropolog n amun sebagiannya
lagi bukan sekedar ingin tahu seperti apa budaya sebuah organisasi juga
bukan sekedar ingin tahu apakah budaya organisasi tersebut cukup kuat
atau sebaliknya atau seberapa banyak terbentuk sub-sub budaya sehingga
terjadi keragaman budaya di dalam sebuah organisasi. Lebih dari itu, tujuan
memahami budaya organisasi adalah agar para manajer, praktisi bisnis atau
siapapun yang terlibat di dalam o r ga ni s as i bi s a m e m a n aj em eni
bud a ya de n gan b ai k , m e r en c an ak a n, mengendalikan dan bahkan jika
20

dianggap perlu merubah budaya tersebut dengan harapan organisasi


bisa mencapai tujuannya lebih baik.
Istilah memanajemeni budaya bisa diartikan bahwa budaya
organisasi hanyalah salah satu dari beberapa komponen organisasi yang
secara bersama-sama harus dikelola agar organisasi tersebut bisa berfungsi
sebagaimana yang diharapkan. Harus diakui bahwa dalam literatur budaya
organisasi masih terjadi perdebatan antara mereka yang menganut
paham bahwa budaya organisasi bisa di-manage dan mereka yang
meyakini bahwa budaya organisasi tidak bisa di-manage. Bagi mereka yang
menganut paham pertama, sebelum bisa me-manage buda ya organis asi
t ent un ya harus t erl ebi h dahul u m em aham i el em en-elemennya.

2.1. Elemen Budaya Organisasi Secara Umum


Secara sederhana ada yang menyebut bahwa budaya organisasi
terdiri dari dua elemen. Yang lain menyebutkan bahwa budaya
organisasi terdiri dari tiga elemen dan bahkan ada yang menyebut lima
elemen. Terlepas dari adanya ketidaksepakatan terhadap seberapa
banyak elemen budaya organisasi, secara umum dapat disimpulkan
bahwa elemen budaya organisasi terdiri dari dua elemen pokok yaitu
elemen yang bersifat idealistik dan elemen yang bersifat behavioral.
Dikatakan idealistik karena elemen ini menjadi ideologi organisasi
yang tidak mudah berubah walaupun di sisi lain organisasi secara
natural harus selalu berubah dan beradaptasi dengan lingkungannya.
Elemen ini juga bersifat terselubung (eksklusive), tidak tampak ke
permukaan (hidden) dan hanya orang-orang tertentu saja (biasanya
elit organisasi) yang tahu apa sesungguhnya ideologi mereka dan
mengapa organisasi tersebut didirikan.
Disadari atau tidak sesungguhnya setiap organisasi pasti memiliki
ideologi. Hanya saja tidak setiap organisasi mau menyatakan ideologi
tersebut secara terbuka. Bagi organisasi yang baru berdiri dan masih relatif
kecil dimana seorang pemilik biasanya menjadi penguasa tunggal dan
21

sekaligus juga merangkap menjadi manajer dan pegawai, elemen yang


idealistik ini umumnya tidak tertulis.Sebaliknya elemen tersebut
melekat pada diri pemilik dalam bentuk doktrin, falsafah hidup atau
nilai-nilai individual para pendiri atau pemilik organisasi. Bagi organisasi
semacam ini, doktrin, falsafah hidup atau nilai-nilai individual tersebut
menjadi pedoman untuk menentukan arah tujuan dan menjalankan
kehidupan sehari-hari organisasi.
Itulah sebabnya, bagi organisasi yang masih kecil, figur seorang
pendiri atau pemilik organisasi sangat sentral dan menentukan. Hidup
matinya organisasi dan keberhasilan organisasi di masa datang bergantung
pada karakter, inisiatif dan semangat para pemiliknya.Para karyawan
sepertinya hanya sekedar menjadi pengikut yang menjalankan aktivitas
sesuai dengan jalan pikiran pemilik organisasi.
Berbeda dengan organisasi yang relatif masih kecil, bagi organisasi
yang sudah cukup lama berdiri dan sudah cukup besar, para pendiri
organisasi biasanya tidak lagi terlibat secara langsung dalam
kegiatan sehari-hari organisasi.Namun bukan berarti ketidak-terlibatan
para pendiri bisa secara otomatis menyebabkan organisasi kehilangan
ideologinya. Ideologi organisasi berupa doktrin, falsafah dan nilai -nilai
organisasi -yang dibangun jauh s ebel um nya ol eh para pendi ri dalam
bat as -bat as t ert entu akan t et ap dipertahankan generasi penerus, bai k
generasi penerus tersebut adalah keturunan langsung para
pendiri/pemilik atau manajer profesional yang diberi kepercavaan untuk
mengelola organisasi. Bahkan karena organisasi yang telah lama berdiri
umumnya telah memiliki perangkat-perangkat formal organisasi maka
elemen yang idealistik ini biasanya dinyatakan secara formal dalam bentuk
pernvataan visi atau mini organisasi. Tujuannya tidak lain agar
ideologi organisasi tetap lestari. Memang tidak ada jaminan kalau generasi
penerus akans epenuhnya mempertahankan ideologi lama. Tidak jarang
generasi penerus memodifikasi atau paling tidak menginterpretasi ulang
ideologi lama dengan bahasa yang lebih cocok dengan situasi lingkungan
22

berjalan.Meski demikian "ruh" ideologi lama biasanya masih tetap


dipertahankan.
Dalam terminologi masyarakat Cina, Yin menggambarkan karakter
seorang wanita yang memiliki sifat-sifat: lembut, mengayomi, pasif,
tenang, lemah dan lebih berorientasi ke dalam. Sedangkan Yang
sebaliknya, menggambarkan karakter seorang laki-laki yang memiliki
sifat-sifat: keras, kompetitif, aktif, agresif, kuat dan lebih berorientasi ke
luar. Dalam kaitannya dengan budaya organisasi, Yin menggambarkan
elemen organisasi yang bersifat idealistik yang tidak mudah berubah.
Collins and Porras menyebutnya sebagai ideologi inti organisasi yang
terdiri dari dua komponen yaitu nilai-nilai inti (core values) dan tujuan inti
(core purpose) organisasi. Dalam bahasa Collins dan Porras, nilai-nilai inti
(core values) adalah company's essential tenets keyakinan dasar atau
doktrin perusahaan yang menjadi pedoman bagi seluruh orang yang
terlibat dalam kehidupan perusahaan. Bahkan orang luar sekalipun
diharapkan menghormati doktrin tersebut.
Stanley Davis dalam bahasa yang agak berbeda menyebut elemen
yang idealistik ini sebagai "guiding belief, keyakinan yang menjadi
penuntun kehidupan sehari-hari sebuah organisasi dan Hofstede
menyebutnya sebagai nilai-nilai organisasi (organizational values).
Sementara itu Schein dan Rousseau mengatakan bahwa elemen yang
idealistik tidak hanya terdiri dari nilai-nilai organisasi tetapi masih ada
komponen yang lebih esensial yakni asumsi dasar (basic assumption)
yang bersifat taken for granted (diterima apa adanya) dan unconscious
(dilakukan di luar kesadaran). Oleh karenanya asumsi dasar tidak pernah
dipersoalkan atau diperdebatkan keabsahannya.
Bisa dikatakan bahwa asumsi dasar ini merupakan "postulate" bagi
sebuah organisasi sehingga ketika seorang atau beberapa orang anggota
organisasi melakukan suatu aktivitas dan kemudian ditanya mengapa cara
melakukannya demikian belum tentu mereka bisa memberikan jawaban secara
pasti karena apa yang mereka lakukan seakan-akan sudah di luar kesadarannya.
23

Itulah sebabnya Schein dan Rousseau menganggap bahwa akar dari budaya
organisasi bukan terletak pada nilai-nilai organisasi tetapi pada asumsi
dasarnya.
Hal senada namun dengan bahasa berbeda diungkapkan oleh
Bath Consulting Group. Diwakili oleh salah seorang konsultannya Peter
Hawkins, Bath Consulting Group dengan merujuk dan mengembangkan konsep
budaya organisasi yang dibangun oleh Edgar Schein mengatakan bahwa
komponen budaya organisasi yang ideal terdiri dari tiga unsur yakni:
mindset, emotional ground dan motivational roots. Mindset yang identik
dengan nilai-nilai organisasi adalah organizational "world view" yakni
cara pandang organisasi terhadap lingkungan yang menentukan apa yang
dianggap benar dan apa yang dianggap keliru. Cara pandang ini pada
akhirnya mempengaruhi "ways of thinking" orangorang yang bekerja pada
organisasi tersebut dan sekaligus membatasi perilaku mereka.
Menurut Bath Consulting Group, organizational world view berakar
pada dua landasan yaitu; emotional ground dan motivational roots.
Emotional ground diartikan sebagai alam bawah sadar yang berkaitan
dengan emosi dan kebutuhan organisasi (unconscious emotional states
and needs). Alam bawah sadar ini menjadi landasan bagi organisasi
dalam mempersepsi setiap kejadian. Sedangkan motivational roots adalah
akar yang menghubungkan tujuan dan motivasi masing-masing individu di
dalam organisasi dengan organisasi secara keseluruhan.
Meski masing-masing teoritisi organisasi mempunyai pendapat
yang berbeda tentang komponen idealistik budaya organisasi, mereka pada
dasarnya sepakat bahwa elemen yang bersifat idealistik ini merupakan ruhnya
organisasi (the soul of the organization) karena karakteristik sebuah
organisasi sangat bergantung pada elemen ini.Itulah sebabnya elemen ini
sering disebut pula sebagai inti dari budaya organisasi (core of culture) dan
karena ini pulalah budaya organisasi sering juga disebut sebagai ruhnya
organisasi.
24

Elemen yang bersifat behavioral adalah elemen yang kasat mata, muncul
ke permukaan dalam bentuk perilaku sehari-hari para anggotanya dan
bentukbentuk lain seperti desain dan arsitektur organisasi. Bagi orang luar
organisasi, elemen ini sering dianggap sebagai representasi dari budaya
sebuah organisasi sebab elemen ini mudah diamati, dipahami dan
diinterpretasikan meski interpretasinya kadang-kadang tidak sama dengan
interpretasi orang-orang yang terlibat langsung dalam organisasi. Itu
sebabnya ketika orang luar organisasi mencoba mengidentifikasi dan
memahami budaya sebuah organisasi, cara yang paling mudah yang bisa
mereka lakukan adalah dengan mengamati bagaimana para anggota
organisasi berperilaku dan kebiasaan-kebiasaan lain yang mereka
lakukan. Davis menyebutnya sebagai daily belief praktik sehari-hari
sebuah organisasi.
Dalam bahasa Hofstede, kebiasaan tersebut muncul dalam bentuk
praktik-praktik manajemen apakah sebuah organisasi lebih
berorientasi pada proses atau hasil; lebih peduli pada kepentingan
karyawan atau pekerjaan; lebih parochial atau profesional; lebih terbuka
atau tertutup dan lebih pragmatik atau normatif. Sedangkan Collins and
Porras, menyebutnya sebagai orientasi organisasi ke depan (envision
future) atau Yang dalam terminologi masyarakat Cina.
Sementara itu dua sumber terakhir (Schein dan Rousseau)
mengatakan bahwa kebiasaan sehari -hari muncul dalam bentuk artefak
termasuk di dalamnya adalah perilaku para anggota organisasi. Artefak
bisa berupa bentuk/arsitektur bangunan, logo atau jargon, cara
berkomunikasi, cara berpakaian, atau cara bertindak yang bisa dipahami
oleh orang luar organisasi.
Keterkaitan antara Elemen Idealistik dan Behavioral
Secara umum bisa dikatakan bahwa kedua elemen budaya
organisasi tersebut (elemen yang idealistik dan behavioral) bukan elemen
yang terpisah satu sama lain, sama seperti halnya Yin dan Yang. Seperti
dikatakan oleh Jocano keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak
25

terpisahkan sebab keterkaitan kedua elemen itulah yang membentuk


budaya. Hanya saja elemen kedua (yang bersifat behavioral) lebih rentan
terhadap perubahan dibanding elemen pertama. Penyebabnya tidak lain karena
elemen kedua bersinggungan langsung dengan lingkungan eksternal
organisasi sehingga ketika budaya sebuah organisasi terpaksa harus
berubah, misalnya karena desakan lingkungan, maka biasanya yang
pertama kah berubah adalah elemen kedua sedangkan elemen pertama
jarang mengalami perubahan disamping karena menjadi falsafah
hidup organisasi juga karena letaknya yang terselubung. Gambaran
tentang tingkat sensitivitas masing-masing elemen budaya organisasi
terhadap kemungkinan terjadinya perubahan diberikan oleh Rousseau.
Rousseau menggambarkan elemen budaya organisasi layaknya sebuah
bawang. Sebagaimana kita ketahui bawang mempunyai kulit yang berlapis-lapis.
Kulit paling luar sangat mudah mengelupas, semakin ke dalam semakin tidak
mudah mengelupas dan isinya hampir tidak pernah mengelupas. Dalam hal
budaya organisasi, kulit luar sebuah bawang menggambarkan elemen budaya
yang bersifat behavioral yang mudah berubah. Semakin dalam dengan arsiran
semakin menebal (semakin hitam) menggambarkan kulit bawang yang tidak
mudah mengelupas. Sedangkan lingkaran di tengah dengan warna
hitam menggambarkan inti budaya (core of culture) yang hampir tidak
mengalami perubahan. Hal ini bisa diartikan bahwa artefak sebagai komponen
bud a ya p a l i n g l u ar m e rup a ka n ko m po ne n ya n g pa l i n g m ud ah
be ru b ah sedangkan asumsi dasar merupakan komponen yang paling
tidak mudah berubah.
Meski kulit luarnya mudah mengelupas sedangkan isinya tidak
mudah berubah, keduanya merupakan komponen yang saling terkait.
Keterkaitan antara elemen yang idealistik dan elemen yang behavioral ini
digambarkan oleh Schein. Schein menegaskan bahwa asumsi dasar
merupakan elemen budaya organisasi yang diterima apa adanya oleh
para anggota organisasi, tidak kasat mata dan bersifat preconscious.
Selanjutnya, nilai-nilai organisasi akan mempengaruhi artefak dan
26

kreasi manusia dalam lingkungan internal organisasi. Demikian


sebaliknya artefak dan kreasi manusia juga akan mempengaruhi
nilai-nilai organisasi yang secara tidak langsung akan mempengaruhi
asumsi dasarnya.

2.2. Lapisan Budaya Organisasi menurut Hofstede


Hofstede et al. (1991: 223) menggambarkan elemen budaya organisasi
dengan nilai-nilai sebagai bagian paling dalam atau core of culture.
Nilai-nilai juga merupakan bagian yang paling stabil dari budaya organisasi
yang tidak lepas dari budaya masyarakat yang ada. Hal ini disebabkan
karena nilai-nilai yang dianut seseorang merupakan sesuatu yang dipelajari
secara tidak sadar dari lingkungannya.

Gambar 2.1
LAPISAN-LAPISAN BUDAYA ORGANISASI
Sumber : Hofstede et al. (1991:11)

Para ahli psikologi perkembangan menyatakan bahwa pada usia 10 tahun


kebanyakan anak-anak telah memiliki sistem nilai tersebut. Nilai-nilai tersebut
tidak bisa diamati dan juga tidak bisa didiskusikan. Hanya dapat diamati dari
praktik-praktik yang dilakukan dalam menghadapi berbagai situasi dan keadaan.
27

Ritual, pahlawan dan sirnbol-simbol dikelompokkan.oleh Hofstede (1991:


223) dalam istilah praktik-praktik.
Simbol-simbol merupakan kata-kata, bahasa tubuh, gambar dan obyek
yang membawa makna-makna yang hanya dapat dipahami oleh orang dari suatu
budaya tertentu. Simbol-simbol merupakan hal yang berada paling luar dan
dapat dengan mudah diganti. Pahlawan-pahlawan adalah orang-orang baik masih
hidup maupun sudah meninggal, tokoh nyata maupun tokoh rekaan yang
memiliki karakteristik-karakteristik yang dinilai tinggi dalam suatu budaya
sebagai model untuk berperilaku. Bahkan tokoh Batman, Asterix adalah
merupakan pahlawan. Ritual-ritual merupakan kegiatan-kegiatan bersama
yang secara teknis tidak ada hubungannya dengan upaya mencapai tujuan yang
diinginkan tetapi dalam suatu budaya merupakan sesuatu yang sangat penting
untuk menjaga seorang individu sebagai anggota dari budaya. Cara bertegur sapa,
memberikan penghormatan kepada orang lain, upaya-upaya yang berkaitan
dengan keagamaan merupakan contoh dari ritual tersebut.

2.3. Elemen Budaya Organisasi Menurut Rosseau


Rosseau.dalam Sobirin (2007:157) menggambarkan elemen budaya
organisasi sebagaimana bawang yang berlapis-lapis terdiri dari elemen yang tidak
terlihat dan elemen yang terlihat atau dapat diamati oleh orang dari luar
organisasi. Bagian yang bisa diamati adalah artefak dan pola-pola perilaku.
Bagian yang tidak bisa dilihat adalah norma-norma perilaku, nilai-nilai dan
asumsi-asumsi dasar.
28

Gambar 2.2.
B AGI AN-B AGI AN B UDAYA O RGANIS AS I
YANG TERLIHAT DAN TIDAK TERLIHAT
Sumber : Rousseau dalam Sobirin (2007:157)

Rousseau dalam Sobirin (2007:157) menggambarkan elemen


budaya organisasi layaknya sebuah bawang, yang memiliki kulit berlapis-lapis
sebagaimana Gambar 2.2.K ulit paling luar sangat mudah mengelupas, semakin ke
dalam semakin tidak mudah mengelupas dan isinya hampir tidak pernah
mengelupas. Bagian terluar dari budaya organisasi yang bersifat behavioral dan
mudah berubah. Simbol-simbol organisasi merupakan komponen budaya
organisasi yang terluar dan paling mudah berubah, sedangkan values atau nilai-
nilai merupakan komponen yang paling tidak mudah berubah. Masing-masing
elemen budaya organisasi tersebut memiliki saling keterkaitan.
Simbol-simbol adalah kata-kata, bahasa tubuh, gambar atau obyek
yang membawa makna khusus dimana hanya dikenal oleh orang-orang yang
menganut budaya tertentu.Kata-kata dalam bahasa khusus atau jargon-jargon
juga termasuk dalam kategori simbol, demikian pula halnya cars berpakaian,
penataan rambut. Logo perusahaan, atau kadang benders jugs merupakan
simbol. Pahlawan merupakan seseorang, baik masih hidup maupun sudah
meninggal, baik nyata, maupun khayalan, yang memiliki karakteristik yang
dijunjung tinggi dalam suatu budaya.Figur pahlawan juga merupakan contoh
atau teladan dalam berperilaku.
29

2.4. Elemen Budaya Organisasi Menurut Hatch


Hatch (1997:362) menyatakan bahwa model budaya organisasi
dinamis dibangun berdasarkan teori budaya organisasi dari Schein, bahwa
budaya organsiasi terdiri dari asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai dan artefak. Model
dinamis tidak hanya berfokus pada elemen-elemen dari asumsi-asumsi, nilai-nilai
dan artefak, namun proses-proses yang menghubungkan antar elemen tersebut.
Proses-proses ini dalam Schein digambarkan sebagai anak panah dua arah yang
menghubungkan antar elemen budaya. organisasi.

Gambar 2.3.
THE CULTURAL DYNAMICS MODEL
Sumber : Hatch (1997:363)

Hatch (1997:362) menyatakan bahwa model dinamis budaya organisasi


menjelaskan bagaimana proses artefak dan simbol-simbol diciptakan dalam
konteks nilai-nilai dan asumsi-asumsi organisasi. Hal ini juga menjelaskan
bagaimana nilai-nilai dan asumsi-asumsi dijaga dengan menggunakan dan
menginterpretasi artefak dan simbol-simbol. Dengan kata lain, terjadi proses
saling mempengaruhi artefaks, nila-inilai, simbol-simbol dan asumsi-asumsi
sehingga apabila terjadi perubahan di salah satunya akan mempengaruhi yang lain
meskipun bisa saja tidak.
Pada tahap proses penciptaan artefaks, asumsi-asumsi dan nilai-nilai
menciptakan ekspektasi tentang dunia yang menghasilkan gambaran dan visi
untuk mengarahkan kegiatan. Proses ini disebut dengan manifestasi. Ketika
budaya mempengaruhi kegiatan dengan cara mewujudkannya dalam gambaran
30

dan nilai-nilai, maka pengaruh budaya akan menghasilkan kegiatan dan


menghasilkan artefak berupa obyek fisik, kegiatan-kegiatan, pernyataan-
pernyataan verbal dan juga tulisan atau teks. Penciptaan artefak tersebut mengacu
pada proses realisasi karena proses tersebut berdasarkan pada asumsi-asumsi dan
nilai-nilai.
Model dinamis selanjutnya adalah proses manifestasi dan realisasi dimana
diciptakan artefak, menggambarkan apa yang terjadi ketika artefak menjadi
bagian dari bahan dari symbol-simbol organisasi untuk memberikan makna bagi
penciptaan kegiatan. Dalam hal ini, para anggota organisasi memilih beberapa
artefak (tetapi tidak semua) dari sejumlah artefak yang ada dan menggunakan
artefak terpilih tersebut sebagai simbolisasi makna untuk mereka gunakan
dalam berkomunikasi satu sama lain. Proses-proses dimana simbol disusun dari
artefak yang ada disebut simbolisasi. Sebagai contoh, peresmian gedung baru
yang megah mungkin digunakan untuk oleh para pimpinan untuk
mengkomunikasikan image atau gambaran sebagai organisasi yang bonafide.
Interpretasi dilakukan pada simbol-simbol tertentu kemudian
mempengaruhi apa yang dipercayai dan diasumsikan oleh para anggota organisasi
tentang organisasi mereka. Namun demikian, proses interpretasi berjalan
secara dua arah yakni menggunakan asumsi-asumsi untuk menentukan
makna dari symbol-simbol tetapi juga menggunakan simbol-simbol untuk
menjaga dan menantang asumsi-asumsi. Asumsi-asumsi akan terjaga bila
interpretasi mendukung apa yang diharapkan, tetapi interpretasi kadang-kadang
bertentangan dengan ekspektasi atau harapan para anggota organisasi.

2.5. Elemen Budaya Organisasi Menurut Schein


Elemen budaya organisasi dapat dibagi menjadi elemen yang terlihat
dan elemen yang tidak terlihat. Schein (2004:26) menggambarkan elemen-elemen
budaya yang saling berkaitan antara elemen yang terlihat dan tidak terlihat.
Elemen budaya yang paling dalam dan tidak terlihat adalah asumsi -
asumsi dasar atau basic assumptions. Keberadaan elemen ini seperti
dilukiskan dengan garis vertikal ke arah atas secara akan mempengaruhi
31

nilai-nilai organisasi. Nilai-nilai organisasi selanjutnya akan


mempengaruhi artefak dan kreasi manusia dalam lingkungan organisasi.
Panah dari atas yang turun ke bawah menunjukkan bahwa artefak dan kreasi
manusia juga mempengaruhi nilai-nilai organisasi yang secara tidak langsung
akan mempengaruhi asumsi-asumsi dasar.
Artefak Kasat mata, tetapi seringkali orang
Dalam bentuk cerita-cerita, mitos,
luar tidak memahami arti
humor, ritual, upacara-upacara,
pahlawan dan simbol-simbol sesungguhnya

Kepercayaan, nilal-nilai dan sikap

Asumsi-asumst dasar (basic


assumptions) merupakan hal-hal yang
berkaitan dengan lingkungan, realitas, Level budaya yang
manusia, alam, aktivitas manusia dan paling dalam
hubungan antar manusia.

Gambar 2.4
E L E ME N -E L E ME N DA N I NT E R A KS I A NT AR E L E ME N
BUDAYA ORGANISASI
Sumber : Schein (2004:26)

2.5.1. Artefak
Brown (1998:12) menyatakan artefak merupakan elemen budaya yang
kasat mata yang mudah diobservasi oleh seseorang atau sekelompok orang baik
orang dalam maupun orang luar organisasi. Bisa dikatakan bahwa artefak
merupakan pintu masuk bagi orang luar untuk memahami budaya sebuah
organisasi.Di antara elemen budaya yang ada, maka artefak merupakan elemen
budaya yang bersinggungan langsung dengan lingkungan eksternal. Bagi orang
luar, jika ingin memahami budaya suatu organisasi yang pertama-tama mereka
lakukan adalah memahami artefaknya.
Secara umum, menurut Brown (1998:12) artefak dapat dikelompokkan
sebagai artefak fisik dan artefak sosial dalam organisasi. Artefak budaya
organisasi adalah penyusunan obyek fisik, pola-pola perilaku dan ekspresi
32

linguistik abstrak seperti cerita-cerita dan humor-humor. Obyek-obyek


material misalnya bentuk laporan tahunan, produk-produk yang dihasilkan oleh
organisasi juga brosur-brosur. Susunan fisik yang ada dalam organisasi adalah
bagaimana penggunaan ruang dan penataannya apakah setiap orang berada di
ruang tertutup atau ruangan dipakai bersama tanpa penutup dan bagaimana pilihan
furnitur yang digunakan dalam organisasi, bentuk bangunan dan penyusunan
ruang antar departemen.
Teknologi adalah perangkat-perangkat teknologi yang digunakan dalam
organisasi yang bersangkutan, misalnya komputer, telepon, mesin faks, mesin
fotokopi dan lain-lain. Logo dan pernyataan misi suatu organisasi seringkali dapat
digunakan untuk melihat ke dalam suatu budaya organisasi. Hal ini dikemukakan
oleh Hampden-Turner and Trompenaar (1993:35) yang menganalisis logo dari
Apple, Honda, Volvo dan Tandem Computers. Logo Honda adalah ekspresi dari
huruf H dalam bentuk jembatan tori yang berdiri sebagai pintu masuk kejayaan
(sherines) bangsa Jepang dimana digambarkan menyatukan bumi dan langit.
Volvo menggunakan simbol tangan yang saling bertaut suatu ekspresi dari
penghargaan pada hubungan kerjasama.
Suatu pernyataan misi menjelaskan visi organisasi dalam jangka
panjang yakni terkait tentang ingin menjadi apa dan ingin melayani siapa.
Pernyataan misi seringkali merupakan referensi bagi makna organisasi, tujuan
bisnis yang utama, kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai kunci dari organisasi,
definisi tentang siapa, stakeholder utama dan prinsip-prinsip etika yang
menjadi panduan dari code of conduct. Pernyataan misi organisasi
merupakan sumber informasi awal mengenai budaya. Namur kadang terdapat
kesenjangan antara pernyataan misi dengan realitas dalam praktik-praktik yang
dijalankan oleh organisasi.
Arsitektur dan identitas perusahaan; Organisasi modem sangat
memperhatikan tampilan fisik mereka. Beberapa perusahaan mengeluarkan biaya
yang cukup besar untuk gedung yang indah, penataan lay-out kantornya,
pembuatan taman dan seragam kerja. Biaya yang besar tersebut karena disertai
dengan jasa, konsultan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Bentuk bangunan,
33

penataan ruang dan seragam para pegawai bisa mengkomunikasikan pesan


tentang kesan kepada para pelanggan perusahaan atau organisasi.
Bahasa; Brown (1998:16) menyatakan bahwa bahasa yang kita gunakan
bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga mencerminkan cara pandang kita
terhadap dunia dimana kita hidup. Untuk bisa bekerja dalam satu organisasi maka
orang-orang harus mengembangkan saling kesepahaman melalui penggunaan
bahasa dan kategori-kategori konseptual. Mereka akan menggunakan istilah-
istilah dengan pemahaman yang sama untuk menghindari kesalahpahaman
dan menjalin keakraban dalam bekerja. Dikatakan oleh Schein (2004:54)
bahwa istilah-istilah, pelayanan prima, kualitas yang baik dan kesempumaan yang
biasa digunakan dalam kerangka strategi dan menentukan tujuan organisasi bisa
saja memiliki makna yang berbeda pada budaya-budaya organisasi yang berbeda.
Metafora; metafora merupakan kata atau frasa yang diaplikasikan pada
suatu obyek atau kegiatan dimana tidak merupakan arti secara literal. Metafora
bisa menjadi alat yang powerful dalam penyampaian ide dan menjadi istilah yang
digunakan secara umum dalam beberapa organisasi. Beberapa metafora yang
banyak digunakan adalah mengibaratkan organisasi sebagai permainan catur,
sebagai kesatuan militer atau sebagai pusat keagamaan. Dalam organisasi yang
dominan mengibaratkannya sebagai permainan catur, maka kalau ada petugas dari
kantor pusat melakukan peninjauan ke kantor cabang maka akan dijululuki
sebagai ksatria putih sedangkan para pegawai pelaksana dikatakan sebagai pion.
Dalam organisasi yang mengibaratkannya sebagai kegiatan keagamaan, bila ada
pemimpin yang memberikan penjelasan dikatakan sedang berkotbah.
Cerita-cerita; Cerita-cerita dalam organisasi dikemukakan oleh Martin et
al. dalam Brown (1998:18) sebagai kisah naratif yang berfokus pada suatu
kejadian atau rangkaian kejadian yang biasanya diambil dari sejarah organisasi.
Cerita telah lama dikenal sebagai bagian integral dari kehidupan organisasi.
Orang-orang suka menyampaikan cerita-cerita tersebut bukan hanya karena
untuk kesukaan semata, tetapi dengan tujuan untuk mempengaruhi pemahaman
orang lain tentang situasi dan kejadian-kejadian untuk menggambarkan
pengetahuan mereka tentang organisasi dan bagaimana mekanisme kerja
34

organisasi juga menunjukkan bahwa mereka merupakan anggota tim yang loyal
kepada organisasi.
Mempelajari cerita organisasi harus waspada bahwa cerita yang sama
mungkin saja disampaikan secara berbeda oleh orang yang berbeda. Cerita
dalam organisasi merupakan indikator dari nilai-nilai dan kepercayaan, aturan-
aturan dan prosedur-prosedur formal dan informal. Konsekuensi apabila
melanggar aturan atau tidak patuh kepada aturan yang ada serta status dan struktur
kekuasaan dalam suatu organisasi.
Mitos-mitos; Menurut Brown (1998:19-21) mitos-mitos biasanya
tersebar dalam organisasi dalam bentuk naratif dan seringkali tidak bisa
dipisahkan dari cerita-cerita kecuali bahwa mereka menggambarkannya sangat
baik. Sementara mitos sering terbentuk dalam cerita, mitos organisasi juga bisa
berwujud sebagai kepercayaan-kepercayaan individu tentang bagaimana
segala sesuatu di dunia ini berjalan. Mitos merupakan kepercayaan-kepercayaan
tanpa pembenaran, seringkali terbalut dalam cerita dan dimana mempengaruhi
bagaimana pelaku-pelaku organisasi memahami dan menanggapi situasi sosial
mereka.
Boje dalam Brown (1998:19) menyatakan terdapat empat tipe dasar dari
mitos organisasi, dimana masing-masing memiliki pertimbangan yang berbeda :
1) Mitos yang menciptakan, menjaga dan membenarkan kejadian masa lalu,
masa sekarang atau kegiatan masa depan dan konsekuensi-
konsekuensinya.
2) Mitos yang menjaga dan mengikuti kepentingan-kepentingan politik
dan sistem nilai.
3) Mitos yang membantu menjelaskan dan menciptakan hubungan sebab
akibat di bawah kondisi pengetahuan yang tidak lengkap.
4) Mitos yang merasionalkan kegiatan-kegiatan yang kompleks dan turbulens
dan kejadian-kejadian untuk membiarkan kegiatan yang bisa diprediksi.
Upacara-upacara, kebiasaan-kebiasaan dan ritual; Upacara-upacara
seringkali merupakan kegiatan yang sangat diingat oleh para karyawan.
Upacara-upacara bisa dipandang sebagai perayaan-perayaan dari budaya
35

organisasi atau kegiatan bersama dari penghargaan budaya yang mengingatkan


dan mendorong nilai-nilai budaya. Misalnya, pemberian gelar bagi para karyawan
penjualan untuk beberapa kategori tertentu yang dirayakan secara meriah.
Pesannya jelas, bahwa tujuan organisasi adalah menjual dan setiap orang dalam
organisasi memiliki kemampuan untuk berhasil dalam pekerjaannya. Ritual
didefinisikan sebagai seperangkat kegiatan yang dielaborasi, dramatis, terencana
dan dikonsolidasikan dalam berbagai bentuk ekspresi budaya yang dijalankan
melalui interaksi sosial, biasanya untuk kepentingan audiens. Beberapa
contohnya adalah ritual pada transisi status dan peranan sosial yang tujuannya
adalah untuk menyatukan orang-orang menjalin kebersamaan,
mengkomunikasikan keanggotaan organisasi dan merupakan kekuatan untuk
melatih mereka. Dalam ritual akan menyebarkan pemahaman tentang bagaimana
organisasi bekerja, perilaku-perilaku apa yang diterima dan bagaimana me-
mananage perubahan.
Norma perilaku; Norma-norma merupakan aturan-aturan untuk
perilaku yang dianggap sesuai atau tidak sesuai untuk merespon kondisi
lingkungan tertentu. Mereka tumbuh sesuai dengan berjalannya waktu
sebagai hasil tawar menawar individual satu sama lain dalam upaya mereka
untuk mencapai konsensus tentang bagaimana menghadapi masalah-masalah
spesifik organisasi. Norma-norma sangat penting bagi organisasi karena mengatur
perilaku karyawan sehari-hari. Norma-norma berfungsi sebagai penyedia
koherensi dan struktur untuk kehidupan budaya organisasi sehingga memfasilitasi
perilaku yang dapat diprediksi dan pola perilaku yang stabil.
Simbol-simbol; menurut Brown (1998:22-23) simbol adalah kata-kata,
obyek, keadaan, kegiatan atau karaktenstik dan orang yang menggambarkan
sesuatu yang berbeda atau lebih luas dari hal tersebut dan dimana memiliki makna
bagi seorang individu atau kelompok. Contoh tipikal misalnya kata-kata dari
eksekufif senior sebagai simbol komitmen mereka kepada produk atau kebijakan
tertentu, logo perusahaan yang menyimbulkan perusahaan tersebut, pegawai
lembur yang diharapkan sebagai simbol loyalitas mereka kepada organisasi.
Beberapa ahli menurut Brown (1998:22) menyatakan simbol sebagai bagian
36

dari budaya organisasi, namun sebenarnya simbol merupakan kategori yang


sangat luas termasuk cerita, mitos dan ritual.
Apapun aspek, kejadian dan proses yang terjadi dalam organisasi terbuka
untuk diintrepretasikan sebagai suatu simbol. Terdadapat tiga kelompok
simbol dalam budaya organisasi, yakni verbal, kegiatan dan benda. Simbol juga
memiliki tiga fungsi dalam organisasi yakni penggambaran (description), sebagai
kontrol energi dan pemeliharaan sistem.
Pahlawan (Heroes); Pahlawan merupakan personifikasi dari nilai-nilai
dalam organisasi dan melambangkan kekuatan organisasi. Pahlawan
adalah seorang motivator ulung, orang-orang yang diandalkan pada saat
organisasi menghadapi masa-masa sulit, mereka memiliki gaya dan karakter yang
kuat. Mereka melakukan hal-hal yang ingin dilakukan pula oleh orang lain, namun
orang lain takut mencoba. Pahlawan adalah figur simbolis yang perbuatannya
tidak biasa, namun sebenarnya bukanlah hal yang telalu aneh. Mereka
menunjukkan bahwa ide untuk sebuah keberhasilan akan selalu tetap berada
dalam jangkauan kapasitas manusia.
Sebagian pahlawan memang dilahirkan, tetapi jumlahnya sangat
sedikit. Pahlawan dalam dunia bisnis lebih bersifat situasional, yaitu orang-orang
biasa yang kemudian dianggap sebagai pahlawan oleh rekan kerja mereka karena
beberapa aspek dari perilakunya.Perusahaan dengan budaya yang kuat
mengmbil manfaat dari fenomena ini, misalnya dengan memberi penghargaan
sebagai karyawan teladan. Pahlawan memperkuat nilai-nilai budaya dasar
perusahaan dengan cara pertama, menjadikan keberhasilan sebagai hal yang dapat
dicapai dan manusiawi. Kedua, berperan sebagai teladan dan ketiga berlaku
sebagai simbol perusahaan kepada dunia luar. Pahlawan juga berperan sebagai
pemelihara keistimewaan perusahaan dan menetapkan standar dan memotivasi
karyawan.

2.5.2 Nilai-nilai, Kepercayaan dan Sikap


Schein (2004:28-29) menyatakan bahwa nilai-nilai memberikan
pemahaman mengenai tujuan bersama bagi seluruh karyawan serta
37

panduan bagi perilaku keseharian mereka. Nilai-nilai organisasi ini dapat


memiliki lingkup yang umum atau fokus yang sempit. Dapat pula mendorong
imajinasi, memberitahu orang-orang bagaimana bekerja secara bersama-sama
atau menjadi pendorong. Organisasi memperoleh kekuatan dari nilai-nilai
bersama. Jika karyawan mengetahui apa yang menjadi pendirian perusahaan,
standar yang mereka pertahankan, maka sangat mungkin mereka akan
membuat keputusan-keputusan yang mendukung standar-standar tersebut.
Mereka akan termotivasi karena kehidupan dalam organisasi mampu memberikan
makna bagi kehidupan mereka.
Nilai-nilai organisasi dipengaruhi oleh nilai-nilai masyarakat karena
organisasi sering disebut sebagai sub-sistem dari sistem sosial yang lebih besar.
Pengaruh ini kemungkinan bisa menimbulkan konflik karena bisa saja nilai-nilai
organisasi tidak kompatibel dengan nilai-nilai masyarakat.Penyebabnya
karena faktor utama pembentuk nilai organisasi adalah nilai-nilai individu
pendiri organisasi.
Schein (2004:54) menyatakan bahwa kepercayaan-kepercayaan pemimpin
organisasi dapat menjadi kepercayaan-kepercayaan kolektif dengan
berjalannya waktu melalui medium nilai-nilai. Ketika menghadapi masalah,
seorang pemimpin organisasi akan menawarkan penyelesaian, misalnya dengan
meningkatkan produktivitas karena suatu kepercayaan bahwa peningkatan
produktivitas berarti peningkatan keuntungan. Para anggota organisasi akan
mendengarkan pandangan ini bukan sebagai pernyataan kepercayaan tetapi
sebagai suatu nilai-nilai dari pemimpin bahwa seseorang harus meningkatkan
produktivitas jika seseorang mengalami masalah. Jika solusi ini berhasil,
maka kelompok secara perlahan menerima nilai sebagai gambaran yang akurat
tentang bagaimana segala sesuatu di dunia ini bekerja. Sebagai nilai yang diterima
begitu saja dan dipandang sebagai nilai yang benar dan sahih, maka validasi sosial
akan mengubahnya menjadi kepercayaan yang jarang dipertanyakan
kebenarannya. Ketika kepercayaan-kepercayaan telah diterima maka status ini
akan menjadi suatu asumsi dasar.
38

Sikap-sikap menghubungkan antara kepercayaan-kepercayaan dan nilai-


nilai dengan perasaan suatu sikap bisa dipikirkan dari pembelajaran predisposisi
untuk merespon terhadap hal-hal yang disukai dan tidak disukai pada
sesuatu atau ide tertentu. Jadi sikap melibatkan evaluasi berdasarkan perasaan-
perasaan, misalnya saja seorang manajer senior mungkin percaya bahwa
siklus kualitas cenderung memerlukan komitmen dari para pegawai sehingga
akan meningkatkan produktivitas dan kualitas. Jika orang ini kemudian
mengevaluasi komitmen, produktivitas dan kualitas secara positif, maka bisa
dikatakan bahwa dia memiliki sikap yang positif terhadap siklus kualitas.

2.5.3. Asumsi - Asumsi Dasar


Asumsi dasar merupakan solusi yang mau tidak mau harus diterima untuk
mengidentifikasikan masalah yang timbul. Berdasarkan Schein (2004:138)
terdapat lima dimensi yang perlu diperhatikan tentang asumsi-asumsi dasar
dalam konteks budaya organisasi.
The Nature of Reality and Truth; ada banyak cara untuk
memandang kebenaran dan mencapai sebuah keputusan dalam organisasi.
Dalam beberapa organisasi, kepercayaan diputuskan sebagai dogma multi yang
didasarkan pada tradisi atau kebijaksanaan yang ditunjukkan oleh oleh para
pemimpin yang terpercaya dalam organisasi. Organisasi lainnya menganggap
untuk memutuskan sesuatu diperlukan proses yang emosional dengan
melibatkan peraturan-peraturan dan prosedur yang remit. Organisasi lainnya
beranggapan bahwa bila sesuatu berhasil, maka itulah kebenaran. Pandangan
mana yang benar amat tergantung dari pilihan budaya dalam organisasi.
The Nature of Time adalah asumsi bersama yang mendefinisikan konsep
dasar dari waktu dalam kelompok, bagaimana waktu diukur, ada berapa macam
waktu dan pentingnya waktu dalam suatu budaya tertentu.
The Nature of Space adalah pandangan tentang pengaruh lingkungan bagi
organisasi. Beberapa organisasi merasa mampu untuk mengubah
lingkungan, sementara lainnya menyatakan bahwa mereka harus harmonis
dengan lingkungannya.
39

The Nature of Human Nature merupakan asumsi bersama tentang


bagaimana, sifat dasar manusia, apakah sifat manusia itu pada dasarnya baik, jahat,
ataukah netral. Apakah manusia itu pada dasarnya adalah perfeksionis.
The Nature of Human Activity adalah asumsi bersama tentang apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia. Misalnya orang barat cenderung menganggap
bahwa seharusnya seseorang harus bersikap proaktif sedangkan pada orang
timur harus menyelaraskan diri dan menjaga hubungan baik yang sudah
terbina dengan orang lain.
The Nature of Human Relationship adalah asumsi bersama tentang
bagaimana seharusnya anggota organisasi berinteraksi satu sama lain.
Misalnya, sebuah organisasi menganggap bahwa kerja individu lebih baik
daripada kerja tim, hal ini akan tercermin dalam cara kerja anggota
organisasi yang merupakan representasi langsung dari budaya yang dianut oleh
organisasi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai