Anda di halaman 1dari 30

PRAKTIK ETIKA DAN INTEGRASI ESQ DALAM KAP

Tugas Mata Kuliah

Etika Bisnis dan Profesi

Oleh :

Dennis Setya Puspitasari (210810301036)

Nugrahaini Mahardikawati (210810301069)

Syafiq Rifqi Robiansyah (210810301071)

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS JEMBER

2022/2023
Surat Pernyataan Integritas Penyusunan Resume

Yang membuat pernyataan di bawah ini :


1. Dennis Setya Puspitasari / 210810301036
2. Nugrahaini Mahardikawati / 210810301069
3. Syafiq Rifqi Robiansyah / 210810301071

Dengan ini kami menyatakan bahwa :


1. Kami mengerjakan sendiri dan tidak bertindak curang dalam penyusunan resume
ini yang berguna untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Bisnis dan Profesi.
2. Apabila kami terbukti melanggar Surat Pernyataan yang telah kami tanda tangani,
maka kami bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan yang
telah dibuat oleh Ibu Septarina Prita Dania S.

Demikianlah Surat Pernyataan ini kami buat dengan sebenar-benarnya, untuk dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya, dan kepada yang berkepentingan untuk
menjadikan maklum.

Jember, 16 November 2022


Ketua Kelompok,

Nugrahaini Mahardikawati
210810301069

2
PENDAHULUAN

Pengetahuan atas etika dapat menjadi dasar membuka kesadaran diri akuntan
untuk berperilaku etis, kesadaran untuk berperilaku etis tidak serta merta timbul begitu
saja, melainkan melalui keseluruhan proses dalam akumulasi pengalaman hidup
akuntan sebagai manusia. Dari keberadaan dan keadaan diri seorang pimpinan pada
skala organisasi yang relatif kecil merupakan kunci yang menentukan
keberlangsungan praktik di organisasi tersebut. Namun demikian didapati pula bahwa
keberadaan diri individu tidak dapat dilepaskan dari konteks-konteks sosial yang
melingkupinya. Akuntan sebagai individu yang berkehendak mempunyai seperangkat
pengetahuan dari akumulasi pengalaman hidupnya. Pengetahuan etika harus telah
menjadi satu dalam keseluruhan hidup akuntan, dalam konteks profesionalisme,
pengetahuan etika ini menjadi bagian yang tidak bisa ditawar oleh akuntan. Ini
dikarenakan profesionalisme masyarakat unsur etika (dalam diskusi lain dikenal
sebutan integritas atau karakter), selain keharusan untuk dimilikinya unsur keahlian
(skill) dan pengetahuan (knowledge).

Dalam profesi akuntan kita mengenal banyak organisasi profesi akuntan baik di
tingkat nasional yaitu IAl maupun internasional seperti IFAC. Kode etik yang dibuat
oleh IAI di Indonesia mengacu pada kode etik Internasional. Hal inilah yang menjadi
awal permasalahan muncul. Beberapa hal yang diatur dalam kode etik tentu tidak
sesuai dengan budaya yang ada di Indonesia sehingga terkadang membuat akuntan
hanya mengedepankan individualistis dan materialistik semata. Pada kesempatan kali
ini penulis akan membahas tentang praktik etika dan integrasi ESQ dalam KAP.
Pembahasan kali ini menekankan pada contoh kasus Madia dan KAP yang dimilikinya
yaitu KAP Drs. Madia Subakti, mengenai praktik etika dan integrasi ESQ dalam KAP
cukup menarik untuk disimak dan dicermati. Madia dan KAPnya mengajarkan banyak
hal bagi para akuntan dan KAP lainnya. Madia dapat mengubah model kerja KAPnya
tak hanya berlandaskan materiil saja melainkan juga memberi bantuan kepada
kliennya. Hal ini tentu merupakan langkah Madia yang dapat menjadi cerminan bagi
akuntan yang lain. Budaya yang sosial di Indonesia tentu harus menjadi pertimbangan
KAP dalam bersikap di samping memang tetap perlu mengedepankan beberapa
prinsip akuntan atau auditor yang lain. Jika hal ini dapat dijalankan secara beriringan
tentu KAP dan kliennya dapat merasakan manfaat yang sama. Topik ini menarik untuk
dibahas karena kita dapat mengetahui bagaimana praktik etika dan integrasi ESQ
dalam KAP.

3
PEMBAHASAN

Kesadaran Etis Individu di Antara Keagungan dan Keangkuhan Profesionalisme

Giddens (20003:11) menyatakan bahwa tindakan merupakan suatu proses


yang berkesinambungan, suatu aliran, dimana monitoring reflektif yang dipertahankan
individu itu merupakan dasar bagi pengendalian tubuh yang biasanya diteruskan oleh
para aktor dalam kehidupan kesehariannya. Kemudian, Giddens (20003:6) juga
menyatakan bahwa monitoring reflektif merupakan ciri yang terus menerus dari
tindakan manusia sehari-hari dan melibatkan perilaku tidak hanya individu namun juga
perilaku dari orang lain. Pemikiran individu akan dapat menentukan suatu bentuk
tindakan yang akan diambil oleh masing-masing individu tersebut, dalam bentuk
pergulatan pemikiran itulah adanya monitoring reflektif yang kemudian akan
berlangsung. Adanya sebuah dinamika yang berkembang karena kesadaran individu
atas fenomena etika dalam praktik kehidupan sosial dan profesional yang bersumber
dari pengalaman dirinya maupun pengalam dari orang lain yang direkamnya dan
diterapkan dalam kehidupan pribadi.

Seorang pemimpin adalah pemilik, sekaligus aktor utama dalam menentukan


kelangsungan hidup dari sebuah Kantor Akuntan Publik (KAP). Bagi sebagian orang,
adanya sosok Madia yaitu partner pimpinan dari KAP Drs. Madia Subakti yang
merupakan sosok cukup kontroversi. Dimana adanya sikap Madia dalam berbagai hal
memiliki implikasi atau dampak pada cara menangani sebuah pekerjaan profesional
yang dilakukan dan dikembangkan di kantornya selama ini. Hal tersebut menimbulkan
persepsi “suara sumbang” di kalangan akuntan yang mencapai puncaknya pada saat
Madia dan KAPnya mendapatkan sanksi dari IAI dan Departemen Keuangan. Madia
dianggap sebagai sosok yang kontroversial di KAP “Drs. Madia Subakti”, sehingga
dalam posisinya tentu saja menjadi sorotan atas kinerja KAP tidak bisa dilepaskan dari
sosok kepribadiannya yaitu positif ataukah negatif. Madia adalah sosok yang dikenal
keras dan dalam beberapa hal dianggap sebagai kepribadian yang tidak konsisten.
Dengan demikian, orang menilai Madia yang sesuai dengan persepsi bahwa sebagai
sosok yang kontroversial, kemudian menganggap bahwa yang melekat pada diri Madia
hanyalah stereotype negatif atas dirinya sebagai akademisi dan profesional akuntan.
Pencitraan tersebut berlangsung sampai dengan kurun waktu yang seolah tidak
terbatas, dimana Madia sebenarnya juga telah mentransformasikan dirinya untuk
menjadi sosok yang moderat sebagai manusia biasa.

4
Madia dikenal sebagai sosok manusia yang mempunyai tabiat dan sejarah
terkesan keras seolah mengekspresikan latar dirinya sebagai anak yang terlahir dari
keluarga biasa dalam kultur petani yang sebagian dari kehidupannya pernah dijalani di
sawah, dia merasakan dan mewarisi terpaan dari kerasnya hidup sebagai anak dari
petani di pedesaan. Hal tersebut merupakan sejarah dari kehidupannya sebagai
manusia, dimana dengan adanya sejarah tersebut tidak berlangsung dalam linearitas.
Proses kehidupan dari Madia dapat digambarkan sebagaimana ungkapan dari Marx
yang menyatakan bahwa “Manusia benar-benar berubah sepanjang sejarah, dia
mengembangkan dirinya, dia mentransformasikan dirinya, dia adalah produk sejarah”.
Dari adanya pengalaman tersebut maka proses transformasi dari Madia yaitu sosok
manusia yang mau sepenuhnya baik dan sepenuhnya tidak jahat. Demikian juga yang
terjadi pada diri Madia dalam menjalani kehidupannya, khususnya sebagai pimpinan
KAP. Pada saat ini Madia menjalani proses sejarah kehidupan menuju kesadaran
pribadi yang baik, bijak, dan utama.

Seorang akuntan sebagai individu yang berkehendak mempunyai seperangkat


pengetahuan dari akumulasi pengalaman hidupnya. Pengetahuan etika harus menjadi
satu dalam keseluruhan hidup akuntan, dalam konteks profesionalisme, pengetahuan
etika ini menjadi bagian yang tidak bisa ditawar oleh akuntan. Hal ini dikarenakan
profesionalisme masyarakat terhadap unsur etika (dalam diskusi lain dikenal sebutan
integritas atau karakter), selain keharusan untuk dimilikinya unsur keahlian (skill) dan
pengetahuan (knowledge). Pengetahuan atas etika dapat menjadi dasar membuka
kesadaran diri akuntan untuk berperilaku etis, kesadaran untuk berperilaku etis tidak
serta merta timbul begitu saja, melainkan melalui keseluruhan proses dalam akumulasi
pengalaman hidup akuntan sebagai manusia. Madia adalah sosok yang mau belajar
dari pengalaman, baik pengalaman diri pribadinya maupun pengalaman orang lain.
Proses belajar yang demikian yang kemudian akan memperkaya wawasan dirinya, dan
selanjutnya akan berkembang menjadi falsafah hidup dan kehidupannya. Pengetahuan
akan nilai-nilai kehidupan yang didapatkannya melalui interaksi dengan berbagai
kolega bisnis dan kolega dosennya, serta hasil bacaannya atas beberapa buku
berbasiskan falsafah kehidupan, mengantarkannya pada pemahaman yang demikian.
Bagi diri madia, sekolah tidak sekedar mendapatkan ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan minat studinya, tetapi lebih dari itu adalah pencerahan diri. Sebuah
pemahaman yang dapat merefleksikan kesadaran baru dalam kehidupannya,
kesadaran untuk menerima suatu proses kehidupan yang lebih bermakna dan bernilai
bagi dirinya.

5
Adanya pencapaian kekayaan materiil yang antara lain disimbolkan dengan
kepemilikan uang yang berlimpah, telah menjadi arus utama dalam mengukur
penerimaan dan keseriusan dalam melaksanakan suatu pekerjaan profesional. Profesi
akuntan yang lingkup pekerjaannya banyak berkaitan dengan masalah keuangan
sangat rentan terseret pada arus ini. Dalam diri akuntan, semenjak mereka kuliah
selalu diperkenalkan dan bergumul dengan 'uang' dalam dimensi ekonomis. Mereka
mendapati dalam proses perkuliahan itu bahwa pada akhirnya segalanya harus ternilai
dengan uang. Secara implisit Drs. Soemardjo menginginkan akuntan bekerja dengan
menempatkan integritas profesional di atas penghargaan materiil yang akan
diterimannya. Sesepuh dari akuntan Indonesia ini berpesan demikian, menurutnya:
"Uang bukanlah sesuatu yang harus dinomor satukan, karena terkadang dengan
mengutamakan uang manusia akan meninggalkan kemanusiaannya, dia dapat
mengubah manusia menjadi lain (Media Akuntansi, 2001). Tidak selayaknya jika
seseorang (akuntan profesional) hanya bekerja dan memenuhi kualitas pekerjaannya
sekedar bermotif imbalan uang sebagaimana yang disepakati dalam kontrak
penugasan.

Koehn (2000;31) menyatakan bahwa dengan internalisasi pemahaman terkait


uang bukanlah ukuran keberhasilan pekerjaan, dapat menjadi motivasi bagi kaum
profesional, dan kemudian selalu menjadi ciri untuk menentukan profesionalismenya.
Kesadaran diskursif, dimana dapat berarti mampu menempatkan sesuatu ke dalam
kata-kata (Giddens,2003:53). merupakan potensi positif yang layak dimiliki oleh
seorang individu untuk dapat bertindak sebagai aktor kehidupan. Kesadaran diskursif
dapat mengantarkan seseorang untuk mampu melakukan refleksi atas kehidupan yang
dijalaninya, sehingga dapat menentukan pilihan yang terbaik bagi kehidupannya. Dan
bagi seorang pimpinan, bekal kesadaran diskursif ini tentunya dapat membantu
menumbuhkan keteladanan di organisasi yang dia pimpin agar mampu berjalan lebih
efektif.

Madia juga menyatakan bahwa baginya memperhatikan sisi sosial kehidupan


tidak menutup kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan dalam bisnis, setidaknya
untuk jangka panjang. Kelak keuntungan bisnis juga akan didapatkan karena adanya
rasa yang terjalin pada diri klien yang merasa terbantu tersebut. Pada kenyataannya
kondisi yang seperti itu memang berdampak pada masih banyaknya klien yang dalam
jangka waktu tertentu selalu memanfaatkan jasa KAP tersebut, baik untuk audit
maupun non audit. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan pengusaha kecil

6
menengah di Indonesia belum dapat menyusun laporan keuangan sebagaimana yang
telah dipersyaratkan dalam standar akuntansi keuangan. Seringkali laporan keuangan
yang disajikannya belum layak untuk diaudit. Menurut pandangan Louis Brandels, yang
dikutip Koehn (2000:31). berpendapat bahwa pekerjaan itu dikerjakan sebagian besar
untuk orang lain (klien), bukan untuk kepentingan diri sendiri (para profesional).
Demikian halnya dalam standar auditing (SPAP 2001: 110.2 kalimat 17-19) disebutkan
bahwa “Auditor independen dapat memberikan saran tentang bentuk dan isi laporan
keuangan atau membuat draft laporan keuangan seluruhnya atau sebagian,
berdasarkan informasi dan manajemen dalam pelaksanaan audit”.

Adanya argumentasi tentang kondisi klien pernah diungkapkan oleh Andi yaitu
salah satu seorang staf yang tidak berlatar belakang akuntansi dan banyak menangani
studi kelayakan dan perpajakan. Ketika dia membantu terkait auditing, seringkali dia
menemukan adanya pembukuan yang tidak baik. Penunjukan pada buku kerja tersebut
dimaksudkan untuk menggambarkan betapa sebenarnya di sebuah perusahaan (kecil)
yang diauditnya hanya terdapat catatan keuangan yang ala kadarnya. Dengan kondisi
seadanya ini mereka minta diauditkan karena perusahaan kecil ini butuh dana untuk
pengajuan kredit ke sebuah bank. Tetapi, dengan hal tersebut tidak ditolak karena KAP
memutuskan untuk melakukan penyusunan laporan keuangan terlebih dahulu baru
kemudian dilaksanakan audit. Bagaimanapun menurut Andi, kondisi tersebut
sebenarnya bukanlah kondisi yang ideal yang terjadi dalam praktik profesional.
Walaupun pada akhirnya yang melakukan penyusunan laporan keuangan dan auditing
orang yang berbeda, namun konflik kepentingan tetaplah berpotensi muncul.
Sementara itu bagi Wawan, pertimbangan suatu tindakan dalam menerima penugasan
profesional yang terpenting adalah terpenuhinya aspek legal. Hal ini penting bagi
Wawan supaya resiko audit yang didapat kantornya di masa lalu tidak terulang lagi di
masa mendatang. Dalam kerangka yang demikian, dia menyebutkan bahwa
pengelolaan KAP membutuhkan suatu konsistensi dalam sikap. Dia tidak mengabaikan
upaya yang dikembangkan untuk membantu klien, tapi batasan legal harus tetap
diperhatikan. Dengan latar belakang perpajakannya, pandangan Wawan yang
demikian dapat dipahami. Bagaimanapun, dalam banyak hal terkait resiko dalam
manajemen pajak terletak pada kemampuan wajib pajak dalam memahami peraturan
yang terkait dengan perpajakan. Disini aspek legalitas menjadi garis dasarnya.

Kemudian, menelusuri lebih jauh atas pergumulan masalah yang pernah


dihadapi para staf penugasan mereka juga berani mengambil keputusan yang

7
beresiko, itu yang dibuktikan oleh Yasa ketika melaksanakan sebuah penugasan
auditing di sebuah perusahaan di Bali untuk kepentingan pertanggungjawaban
manajemen. Oleh karena itu, dia mempertimbangkan banyak faktor dalam standar
auditing yang tidak bisa dipenuhi oleh perusahaan, maka laporan keuangan yang
diauditnya diberikan opini disclaimer. Suatu kondisi yang kemudian berakibat tidak
dipenuhinya biaya yang harus dibayarkan oleh klien karena kejengkelan dari manajer
atas ketidaktersediaan untuk diajak bekerja sama merekayasa laporan keuangan.
Yasa dalam kasus seperti ini tidak berpikir pada kepentingan dirinya yang
kemungkinan tidak mendapatkan bagian biaya yang seharusnya didapatkan, tetapi dia
berpikiran jangka panjang. Yang terjadi pada staf profesional, mereka tidak selalu
memposisikan diri pada aktor tak berdaya pada sembarang situasi. Sebagai manusia
yang memiliki kesadaran, secara diskursif mereka mampu membedakan yang dapat
dilakukan dan yang tidak dapat dilakukan. Walaupun keputusan yang mereka ambil
tetap pada batasan di bawah kontrol pimpinan KAPnya, namun mereka menyerap
substansi membantu klien dalam menjalankan suatu penugasan. Standar (akuntansi
atau auditing) bagi mereka bukanlah harga mati yang tidak dapat ditawar ketika
diimplementasikan pada keadaan tertentu. terlebih pada kenyataannya tidak terdapat
standar yang berbeda untuk skala usaha yang berbeda. Sehingga etika merupakan hal
yang sangat penting bagi akuntan dalam melakukan segala aktivitasnya.

Jejak Etika dalam Praktik Organisasi

Teori strukturasi menyebutkan bahwa individu memiliki peran yang sama


penting dengan peran organisasi sendiri. Setiap organisasi tentu memiliki tatanan
tertentu sehingga mampu mencirikan adanya struktur legitimasi, dominasi dan
signifikansi. Priyono (2002) struktur organisasi juga mencangkup pemberdayaan
organisasi. Menurut Stoner (1989) organisasi merupakan suatu pola hubungan yang
dimana pengarahan atasan mengejar tujuan bersama. secara umum organisasi adalah
tempat atau wadah bagi orang-orang untuk berkumpul, bekerja sama secara rasional
dan sistematis, terencana, terpimpin, dan terkendali untuk mencapai tujuan organisasi.
Interaksi yang terjadi dalam organisasi yakni antar individu yang menerapkan etika.
Suatu praktik etika yang meliputi interaksi antara individu-individu akuntan dengan
struktur di organisasi KAP terjadi pada pola-pola yang beragam. Hal ini pun juga terjadi
dalam KAP “Drs. Madia Subakti”. Penelusuran terhadap praktik organisasi ini berguna
untuk melacak sejarah dimensi struktur dalam strukturasi praktik etika.

Informalitas Manajemen Organisasi Profesional

8
Keberadaan instrument organisasi dianggap sangat penting. Standar
Profesional Akuntan Publik (SPAP) di Indonesia tahun 2001 telah secara tegas
mengatur beberapa aspek yang menyangkut sumber daya manusia dan
pengelolaannya di KAP dalam “Standar Pengendalian Mutu (SPM)” khususnya SPM
seksi 100 paragraf 03 yaitu membahas mengenai SPM KAP yang mencangkup
struktur organisasi, kebijakan dan prosedur yang ditetapkan KAP untuk memberikan
keyakinan memadai tentang kesesuaian perikatan profesional dengan SPAP. Sistem
pengendalian mutu harus komprehensif dan harus dirancang selaras dengan struktur
organisasi, kebijakan dan sifat praktik KAP.

Instrumen organisasi ini dimaksudkan untuk menjaga kualitas organisasi. KAP


sebagai organisasi harus memperhatikan kualitas jasa yang diberikan. Menurut Goetsh
dan Davis (1997) menyatakan bahwa dalam menjaga kualitas organisasi maka sebuah
KAP harus memberikan perhatian khusus terhadap kepastian atas pengelolaan
organisasi. Dalam praktik organisasi KAP seorang pimpinan tidak lebih sekedar
menjalankan “pseudo” manajemen dan tidak tergantung terhadap keberadaan
instrumen manajemen organisasi. Berbagai situasi semacam ini memang bersifat
kontekstual, tergantung karakter dan kondisi masing-masing organisasi. Hal ini pun
memang tidak ditabukan oleh SPM (seksi 100) paragraf 06, disebutkan:

“Sifat dan lingkup kebijakan dan prosedur pengendalian mutu yang ditetapkan
oleh KAP tergantung pada berbagai faktor, antara lain ukuran KAP, tingkat otonomi
yang diberikan kepada stafnya dan kantor-kantor cabangnya, sifatnya praktik,
organisasi kantornya, dan pertimbangan biaya manfaat.”

Implikasinya adalah di setiap bentuk organisasi maka akan memiliki perangkat


organisasi yang berbeda pula. Perbedaan tersebut dapat berupa pada ukuran KAP itu
sendiri. Fleksibilitas keorganisasian dalam rangka mencapai tingkat keekonomian
operasi organisasi menjadi salah satu pertimbangan. Dalam praktiknya, etika yang
telah diatur dalam SPPM (seksi 100 paragraf 03) kerangka sistem pengendalian mutu
KAP telah disebutkan bahwa organisasi KAP harus memperhatikan keberadaan
struktur organisasi, kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan KAP untuk
memberikan keyakinan memadai tentang kesesuaian perikatan profesional dengan
SPAP. Menurut Goetsch dan Davis (1997), menyatakan keberadaan struktur
organisasi dapat menentukan kerentanan permainan politik dalam organisasi. Praktik
politik di dalam sebuah organisasi tentunya tidak dipungkiri jika terjadi hal yang jelek.
Apabila politik dapat dikelola dengan baik maka, dapat berakibat positif. Namun, jika

9
dibiarkan begitu saja tanpa adanya pengawasan maka politik dapat berkembang dan
berakibat negatif bagi organisasi secara keseluruhan. Sehingga, keberadaan struktur
organisasi secara etis digunakan sebagai bentuk pencegahan terjadinya permainan
politik.

KAP “Drs. Madia Subakti” tidak memiliki struktur formal sehingga


mengakibatkan sejumlah peran dalam organisasi tersebut cenderung tidak jelas,
ketidakpastian, tidak tegas, kerancuan dll. Hal ini berujung terhadap perkembangan
KAP yang melambat. Dengan adanya struktur organisasi dapat memberikan kerangka
aktivitas bagi para anggotanya. Struktur organisasi dan uraian pekerjaan merupakan
means dalam mencegah terjadinya dilema etis bagi anggota KAP. Sehingga menurut
White dan Lam (2000) menyebutkan dalam melakukan pengembangan etika maka
harus memperhatikan aturan atau kebijakan/prosedur dalam organisasi.

Beberapa kejadian dalam KAP terdapat praktik yang seharusnya perlu


diperhatikan karena seringkali bertentangan dengan prinsip etika KAP. Salah satu
kejadiannya adalah proses rekrutmen. Sering kali dijumpai dalam proses ini terjadi
praktik nepotisme bahkan perekrutan tanpa seleksi. Implikasinya dalam hal ini, proses
rekrutmen dalam KAP sering kali tidak dilakukan secara sehat. Kejadian lainnya adalah
ketika staf dapat bekerja di berbagai bidang di KAP. Selanjutnya, mengenai tidak
tersedianya informasi kebijakan formal yang berkaitan dengan jenjang jabatan dan
penggajian staf. Bahkan, yang lebih bahaya adalah ketika ketiadaan dasar formal atas
status pekerjaan. Berbagai kejadian tersebut mengakibatkan sejumlah pihak seperti
staff merasa kurang puas, memicu munculnya prasangka yang berujung terhadap
konflik. Dalam model pengelolaan organisasi seperti cost of control mensyaratkan
kepada seluruh staff untuk saling percaya dan saling berhubungan antara satu dengan
lainnya.

Penanaman Nilai Etika secara Informal

Dalam penanaman nilai-nilai yang sesuai dengan kompetensi adalah


menggunakan dua jalur yaitu formal dan informal. penggunaan jalur formal dilakukan
dengan mengeluarkan kebijakan, peraturan dan etika organisasi yang memperkuat
nilai tersebut. sedangkan informal berupa penanaman nilai budaya melalui informasi
serta pemanfaatan pertolongan pemimpin informal yang ada didalam organisasi untuk
menyampaikan nilai tersebut. KAP “Drs. Madia Subakti” masih belum memiliki
ketentuan formal yang dibangun untuk mengembangkan iklim organisasi yang lebih

10
kondusif khususnya berkaitan dengan isu etika. Upaya yang dilakukan oleh KAP ini
masih bersifat informal dan berkembang menjadi sebuah konvensi. Artinya dalam KAP
ini tidak memiliki dokumentatif deskripsi kerja antar staf, status kepegawaian staf,
maupun pedoman-pedoman organisasi lainnya (pedoman etika organisasi).
Implikasinya segala kegiatan yang terjadi di organisasi dilakukan mengikuti putaran
waktu tanpa pedoman resmi. Jadi, apabila terdapat masalah, maka akan diselesaikan
oleh pimpinan dalam KAP tersebut. Namun, dibalik itu semua, P Madia memiliki
kemampuan sebagai motivator yang andal sehingga minimal kondisi KAP tersebut
lebih kondusif.

Karena KAP ini tidak memiliki pedoman formal, maka dimensi etika pun
dilaksanakan secara profesional. KAP “Drs. Madia Subakti” tidak mengadakan
sosialisasi atas etika profesi di kalangan staf. Hal ini menyebabkan munculnya
beberapa persoalan etika. Namun, seringkali persoalan yang terjadi hanyalah
persoalan pribadi masing-masing staf. Oleh karena itu, pengembangan, batasan,
aturan diserahkan sepenuhnya terhadap individu staf tersebut. Padahal menurut
Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik, rekan pimpinan KAP bertanggungjawab
atas ditaatinya aturan etika oleh anggota KAP. Perlu diketahui bahwa, kunci
pengembangan dan pengelolaan organisasi yang berskala kecil bergantung terhadap
pimpinan dalam organisasi tersebut. Hal ini juga telah disebutkan dalam Aturan Etika
Kompartemen Akuntan Publik bagian Ketetapan yang menyebutkan bahwa “Rekan
Pimpinan KAP bertanggung jawab atas ditaatinya aturan etika oleh anggota KAP”.
Implikasi lainnya ketika segala aturan tidak diatur secara formal maka mekanisme tidak
dilakukan secara sistematis. Ketika dalam sebuah organisasi terdapat pandangan
mengenai masalah etika merupakan masalah individual, maka penebaran nilai di KAP
dilakukan dengan menggunakan pendekatan individual dan bersifat informal.

Madia selaku pimpinan dalam KAP ini telah mampu menanamkan nilai etika
kepada anggota lainnya. Misal, ucapan/pernyataan peringatan kepada seluruh staf
untuk tidak merendahkan kualitas KAP lainnya di hadapan klien. Realitasnya, seluruh
anggota KAP telah mematuhi ucapan Madia. Sehingga, dalam KAP ini meskipun tidak
memiliki pedoman etika secara resmi, etika masih dapat ditanamkan dan mampu
diterapkan. Setiap manusia memiliki hak atas kebebasan. Kebebasan dalam konteks
ini adalah berkaitan dengan upaya pembebasan diri atau komunitas dari suatu
lingkungan atau keterbelengguan. Oleh karena itu, salah satu prinsip dalam etika
bisnis adalah prinsip otonomi. Prinsip otonomi berkaitan dengan kewenangan secara

11
bebas untuk mengambil ataupun memilih tindakan. Keraf dan Imam (1991)
menyebutkan bahwa kebebasan akan selalu diikuti keharusan untuk bertanggung
jawab. Sehingga, dengan begitu seseorang akan berperilaku sesuai etika. Disisi lain,
menurut Dirsmith, dkk (1997) menguraikan temuan beberapa peneliti yang
menyebutkan pengaturan atau kontrol yang terstruktur kepada profesional individual
justru dapat menyebabkan profesional-bureaucratic conflict dan mengakibatkan
perilaku disfungsional. Di dalam organisasi KAP skala kecil pemimpin juga harus
mampu mengarahkan kepada anggotanya agar senantiasa memiliki rasa tanggung
jawab atas keberlangsungan KAP. Pemberian kebebasan kepada anggota diharapkan
mampu meningkatkan loyalitas staf terhadap KAP. Hasil akhir (pendapatan) seorang
staf akan dipengaruhi oleh kinerjanya. Oleh karena itu, seorang staf akan bekerja
sebaik mungkin untuk mendapatkan yang terbaik. Selain itu, atas kinerja yang baik
sesekali Madia selaku pimpinan KAP memberikan bonus kepada anggotanya. Hal ini
berkaitan dengan penerapan prinsip etika bisnis yang adil terhadap seluruh pihak baik
adil terhadap rekan kerja maupun kliennya.

Di dalam KAP ini pimpinan memberikan kesempatan untuk berkembang secara


mandiri. Namun, dalam proses ini pihak pimpinan KAP tidak terlepas untuk
memberikan penghargaan kepada keberadaan staf yang memiliki potensinya sehingga
staf akan merasa tertantang untuk memberikan yang terbaik. Pada proses ini
persemaian loyalitas akan terus tumbuh dan berkembang sebagaimana sesuai prinsip
etika. Kebebasan yang diberikan KAP Madia terhadap staf juga tidak luput dari
tindakan disfungsi dari beberapa staf. Kondisi ini terjadi ketika staf pernah
memanfaatkan kebebasan yang diberikan untuk kepentingan diri sendiri. Staf tersebut
menyelesaikannya sendiri sehingga tidak ada pemasukan ke kantor. Atas hal tersebut,
Madia mengambil tindakan tegas yakni antara mengeluarkan atau memintanya untuk
mengundurkan diri. Hal ini juga menunjukkan bahwa Madia selaku pimpinan dalam
KAP ini memiliki sikap yang baik kepada stafnya tanpa mementingkan salah satu pihak
saja.

Pengenaan Sanksi Menjadi Hikmah Untuk Meningkatkan Nilai Etika Bisnis

Pada tahun 1997, KAP “Drs. Madia Subakti” pernah mendapatkan sanksi etis
dari IAI dan sanksi praktik dari Departemen Keuangan. Diduga KAP ini pernah
dianggap menyalahi aspek hukum. Pasalnya, menurut Madia terdapat seorang oknum
yang mempermainkan hal ini sehingga mengakibatkan KAP ini mendapatkan sanksi
tersebut. Dugaan ini karena terdapat sejumlah kejanggalan seperti beredarnya surat

12
sanksi dari IAI di PTN tempat dimana Madia mengajar. Hal ini, bukanlah sebuah
kebetulan tapi Madia yakin terdapat salah satu pihak yang mencoba untuk
menjatuhkan nama Madia di hadapan publik. Disisi lain sebelum hal ini terjadi, kedua
pimpinan KAP ini telah melakukan kehati-hatian atas penerimaan projek. Dampak
positif atas kejadian ini adalah di kedepankannya prinsip kehati-hatian dalam
menerima pekerjaan. Selain itu, menjadi seorang pimpinan puncak diperlukan bantuan
dalam melakukan pengambilan keputusan. Selain itu, atas kondisi ini pihak KAP
merasa bersyukur karena beberapa rekan akuntannya juga memberikan empati
kepadanya. Sehingga, hal ini menunjukkan bahwa loyalitas dalam KAP ini sangat
tinggi.

Hipokrisi Akuntan di Zaman Edan

Menurut Giddens (2003) mengemukakan hakikat interaksi sosial bisa ditelaah


dalam kaitannya dengan local-lokal yang berbeda yang dikoordinasikan oleh beberapa
aktivitas harian individu. Dalam hal ini lokal itu tidak hanya tempat tetapi juga latar
interaksi. Dalam pemahaman strukturatif, tindakan individu tidaklah terjadi sekehendak
individu yang bersangkutan, tetapi merupakan hasil persinggungan dengan konteks
yang mengitarinya. Dalam Fromm (2002) menjelaskan pemikiran marx terkait dengan
konsep manusia yaitu “bukan hanya lingkungan yang membuat manusia, tetapi
manusia juga membuat lingkungan”. Tindakan yang diambil oleh individu terjadi karena
adanya interaksi dengan masyarakatnya. Individu sendiri merujuk pada pengertian
agensi dan masyarakat merujuk pada pengertian struktur sosial.

Struktur sosial terbangun secara dinamis, selain karena kehendak individu di


dalamnya juga sesuai dengan konteks situasi lingkungan yang lebih besar yang
mengitarinya. Sama seperti praktik etika dalam profesi akuntan yang diwarnai oleh
dinamika yang berkembang dalam situasi lingkungan yang dinamis. Struktur sosial
juga dapat dipahami secara bertingkat dalam konteks organisasi dan konteks
masyarakat dalam pengertian yang lebih luas. Tidak cukup memahami praktik etika
dalam konteks hubungan individu dengan organisasi tempatnya bekerja dikarenakan
tindakan individu dan tindakan organisasinya dipengaruhi oleh konteks lingkungan
sosial yang melingkupinya. Menurut Giddens (2003) menyebutkan seluruh masyarakat
merupakan sistem sosial dan sekaligus terdiri dari persinggungan sistem sosial ganda.
Selain itu, sistem sosial merupakan hubungan yang direproduksi antara actor atau
kolektivitas yang diorganisasikan sebagai praktik sosial regular. Di dalam skala makro
sosial dapat dicermati bahwa praktik sosial yang berlangsung dewasa ini

13
menggambarkan kerusakan moral dalam segala dimensinya. Jika dilihat di Indonesia
kerusakan moral dapat ditemukan pada meluasnya skala korupsi di berbagai bidang
kehidupan. Sebuah kondisi yang membawa Indonesia menjadi negara dengan
peringkat kelima negara paling korup di antara 146 negara. Demikian halnya menjadi
suatu budaya di kalangan pelaku bisnis, seperti bangkrutnya Enron dan ruginya
perusahaan lainnya di Amerika Serikat menunjukkan lemahnya moralitas di kalangan
profesional, bahkan akuntan dalam kasus tersebut selalu disebut sebagai aktor utama
terjadinya berbagai skandal. Akibat skandal tersebut, Amerika Serikat menerbitkan
undang-undang yang mengatur praktik auditing oleh akuntan public dan praktik
akuntabilitas yang harus dilakukan oleh perusahaan yang dinamakan dengan
“Sarbanes & Oxley Act of 2002” Kondisi makro yang seperti itu menunjukkan
karakteristik “edan” dari suatu zaman, di mana moralitas telah diletakkan dibalik jubah
dan mahkota kehormatan duniawi.

Tuntutan untuk menjaga kelangsungan keberadaan KAP serta tanggung jawab


untuk menghidupi staf dan karyawan di KAP menjadi argumentasi yang
dipermaklumkan oleh sebagian kalangan untuk larut dalam situasi “edan”. Situasi
seperti itu dapat muncul dengan berbagai sebab seperti ketatnya persaingan antar
KAP. Pengaruh pihak eksternal dalam praktik di suatu organisasi tidak dapat dihindari
begitu saja, tidak terkecuali dalam praktik profesional suatu KAP. Bagi KAP pihak
eksternal sangat berpengaruh terhadap keberadaannya. Kondisi keterpengaruhan dari
eksternal dapat diperhatikan dari pemaparan tentang hubungan antara KAP dengan
IAI dan Kementerian Keuangan. Pengaruh pihak eksternal lainnya datang dari praktik
KAP atau konsultan bisnis sejenis. Dalam praktiknya KAP dihadapkan pada kenyataan
bahwa ternyata KAP lain tidak mempunyai preferensi yang sama dalam penerapan
standar etika atau standar pekerjaan profesional lainnya. Dalam hal independensi,
akuntan dalam memberikan jasa profesionalnya kepada klien harus menjaga sikap
mental yang independen dalam fakta (in fact) maupun independen dalam penampilan
(in appearance). Dalam praktiknya, hubungan dengan klien atas pengertian atas dan
proses auditing sangatlah beragam, sehingga kondisi ini dapat mempengaruhi praktik
yang dikembangkan oleh staf profesional atau KAP itu sendiri. Klien dengan kondisi
laporan keuangan seadanya mengharapkan opini terbaik dari akuntan (wajar tanpa
pengecualian).

Dari sudut pandang klien, karena yang membayar akuntan (auditor) adalah
perusahaannya untuk membantu mereka. Adapun suatu kondisi asimetris atas

14
kepentingan untuk diaudit dengan ketiakpahaman posisi akuntan sebagai auditor.
Dalam kondisi yang lain, godaan dari klien ketika mereka mengharapkan dapat terus
diaudit oleh KAP yang sama karena kepraktisan. Selain itu, tekanan dari pihak
perbankan ataupun petugas pajak juga mendorong klien untuk melakukan make-up
laporan keuangan, namun dorongan ini tidak hanya datang dari klien saja. Kalaupun
pemeriksaan telah dilakukan sesuai dengan standar dan menghasilkan laporan
keuangan yang sesuai dengan standar akuntansi yang ada, tak jarang pihak
perbankan ternyata menghindari angka lain atas dasar argumentasinya yang dimuat
oleh kepentingan oknum petugas bank tersebut terkait dengan kesanggupannya pada
pencairan kredit kepada klien. Sementara petugas pajak cenderung apriori dengan
hasil audit maupun laporan keuangan hasil konsultasi dengan KAP. Namun, ada
kalanya pihak perusahaan tidak mau memperpanjang masalah dengan memberikan
sebanyak yang dimau petugas pajak tersebut. Uraian di atas menjelaskan bagaimana
praktik profesional akuntan (dalam konteks individu dan organisasi) tidak dapat
dilepaskan dari konteks sosial (makro sosial) yang melingkupinya. Menurut
Ronggowarsito dalam serat Kalatidha yang disunting dan diterjemahkan oleh Norma
(1998) mengemukakan: “Hidup di zaman edan gelap jiwa bingung pikiran. Turut hati
tak tahan, jika tidak turut batin merana dan penasaran tertindas dan kelaparan. Tapi
janji Tuhan sudah pasti, seuntung apapun orang yang lupa daratan lebih selamat
orang yang menjaga kesadaran.”

Nukilan dari pernyataan di atas menggambarkan tentang suatu masa dimana


keadaan sosial (dimensi struktur) mempengaruhi kesejatian diri kebanyakan manusia
(dimensi individu), serta sekaligus dalam pernyataan ini ditegaskan betapa pentingnya
peran diri manusia (dimensi individu) dalam menyikapi keadaan sosial yang
melingkupinya (dimensi struktur). Sementara itu pada saat yang sama, para penjaga
moral tidak mampu menahan gempuran syahwat duniawi. Mereka larut dengan
masyarakat biasa dalam menikmati keindahan dunia. Agama sekedar formalitas
sehingga tidak ada lagi spirit di dalamnya. Pemikiran futuristik ini memberikan
gambaran betapa kerusakan sudah terjadi dengan parahnya oleh karena telah
menyeret para panutan dan simbol kebajikan serta penentu yaitu agamawan dan
wanita. Memperhatikan kondisi yang ada, betapa tidak mudahnya akuntan untuk
menempatkan diri sebagai profesional yang bersih dari berbagai perilaku menyimpang.
Dalam konteks yang demikian, sekaligus dapat ditunjukkan adanya struktur dominasi
yang bersifat makro-sosial, yaitu kondisi sosial masyarakat itu sendiri. Tetapi jika
diidentifikasi dalam konteks yang lebih sederhana pihak eksternal diluar KAP

15
mendorong dihasilkannya praktik (tidak) etis tertentu, baik yang dilakukan oleh akuntan
sebagai individu maupun oleh KAP sebagai organisasi. Struktur dominasi atau struktur
penguasaan membuat adanya penguasaan atas kepentingan ekonomis dari proses
kerja profesional akuntan dan menjadi dominasi psikologis bagi profesional akuntan
karena tidak mendapatkan klien dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup
KAP.

Sehingga akuntan dipaksa untuk dapat menerima dan menyelesaikan


penugasan dengan kompromi moral tertentu. Mendapatkan klien atau tidak menjadi
idiom dengan konotasi negatif yang menandai bentuk struktur signifikasi atas praktik
sosial akuntan dan KAP. Struktur signifikasi atau struktur pendanaan menyangkut
skema simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana. Dalam kondisi sosial yang
seperti ini berbagai aturan hukum dan normal moral (kode etik profesi) menjadi tidak
berfungsi untuk menjaga kewibawaan profesi. Sehingga beberapa pengaturan tentang
praktik KAP pun akan disiasati bersama. Dengan demikian berangkat dari kepentingan
masing-masing pihak-pihak yang berkepentingan mempengaruhi preferensi praktik
etika profesional akuntan. Dorongan atas nilai materialistic telah tertanam kepada
hampir semua lapisan masyarakat. Dalam iklim kehidupan modern, hal seperti ini
menjadi dorongan karena orientasi hanya kepada pencapaian kepuasan secara fisik
saja. Menurut Giddens (2001) alam modern (modernitas) merupakan buah dari
kekuatan transformative dari kapitalisme. Dalam pengertian ini aturan modernitas
merupakan kapitalisasi sistem ekonomi dan institusi lainnya. Keuntungan adalah
puncak pencapaian usaha manusia, sehingga proses bagaimana memperoleh
keuntungan itu dicapai bukanlah persoalan yang perlu diperhatikan.

Kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi mempunyai beragam keunikan,


menurut Karl Marx dalam Suseno (2003) kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang
mengakui satu hukum yaitu tawar menawar di pasar, kapitalisme adalah sistem
ekonomi bebas dari pembatasan dan yang menentukan adalah keuntungan maksimal.
Seseorang memproduksi atau membeli suatu barang atau jasa bukan untuk
memakainya tetapi untuk menjual kembali dengan keuntungan setinggi mungkin.
Dalam hal ini keuntungan menjadi hal yang utama. Borjuasi (kelompok masyarakat
yang mendukung kapitalisme) dalam analisis Marx menempatkan kepentingan egoistik
yaitu kepentingan untuk memperoleh keuntungan sendiri. Hal ini berkaitan dengan
masalah kepemilikan pribadi dimana argumen utilitarisme dorongan untuk memperoleh
keuntungan merupakan insentif bagi individu untuk bekerja keras.

16
Perhatian berlebih pada nilai-nilai materialistic dan kepentingan individu pemilik
modal dalam kapitalisme mendorong terjadinya pola usaha dan pola kehidupan yang
destruktif. Menjadi ironis karena penciptaan berbagai teknologi untuk menunjang
kemajuan dan kesejahteraan hidup manusia justru menyebabkan kerusakan pada
berbagai segi kehidupan itu sendiri. Sementara itu dalam konteks internal dilakukannya
proses produksi di suatu perusahaan, kehidupan pelaku produksi juga tidak menjadi
perhatian yang semestinya dari pemilik perusahaan. bahkan diri pekerja yang turut
menghasilkan suatu produk ternyata tidak dapat menikmati produk tersebut karena
jauhnya kesenjangan antara imbalan yang didapatkan dengan harga produk tersebut.
Eksploitasi atas yang lain terjadi dengan sistematis melalui berbagai bentuk
propaganda. Inilah yang terjadi dalam kehidupan dewasa ini, tidak terkecuali dalam
kehidupan profesional. Balutan kapitalisme ini telah mencengkeram kuat nadi para
profesional sehingga merasa berhutang budi untuk melestarikannya dalam kehidupan
profesionalnya. Bidang akuntansi sendiri merupakan bidang yang sangat dekat dan
tidak dapat dipisahkan dari bidang ekonomi dan bisnis. Akuntansi sebagai unsur
penting dalam bangunan komunitas ekonomi dan bisnis.

Dalam sudut pandang bidang studi pengertian akuntansi sebagai seperangkat


pengetahuan yang mempelajari perekayasaan penyediaan jasa berupa informasi
keuangan kuantitatif suatu unit organisasi dan cara pelaporan informasi tersebut
kepada pihak yang berkepentingan untuk dijadikan dasar dalam pengambilan
keputusan ekonomi. Tujuan dari pelaporan keuangan bukanlah akhir dari akuntansi
tetapi untuk memberikan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan
ekonomi dan bisnis. Penjelasan di atas menunjukkan secara spesifik melingkupinya
bidang akuntansi oleh bidang ekonomi dan bisnis. Dengan demikian ketika paradigma
ekonomi dan bisnis adalah kapitalisme maka akuntansi pun berkembang dalam
paradigma kapitalistik. Dengan nuansa kapitalisme ini menjadi wajar jika akhirnya
orientasi dan perhatian dalam akuntansi adalah bersifat materialistis. Jika dipahami
lebih dalam akuntansi merupakan profesi yang telah tercengkeram oleh hegemoni
kapitalisme. Keberadaan profesi akuntansi (spesifik auditor) ditentukan oleh adanya
hubungan antara principal dan agen. Konstruksi hubungan agensi ini adalah konflik
berkepentingan di antara kedua pihak atas kepemilikan dan pengelolaan harta
perusahaan. akuntan berada di tengahnya untuk meredam terjadinya konflik diantara
keduanya.

17
Berakar untuk dapat memperoleh posisi di tengah kemudian etika profesi
akuntan muncul dan terus dikembangkan. Kemunculan etika profesi akuntan melalui
proses yang panjang dengan banyak sebab dimana bersifat kontekstual dengan
suasana yang berkembang dalam hubungan agensi dan berbagai dampaknya kepada
pemberian jasa profesional oleh akuntan. Sementara itu jika dicermati lebih mendalam
yang terjadi di Indonesia, pasar modal bukanlah instrumen terpenting dalam
mendukung keberlangsungan perekonomian negara atau masyarakat. Demikian
halnya pasar modal bukanlah satu-satunya media yang penting bagi profesi akuntan
untuk melakukan perannya sebagai seorang profesional berbeda dengan Amerika
Serikat yang menjadikan pasar modal sebagai media profesi akuntan untuk melakukan
perannya sebagai profesional. Jikalau menjadikan pasar modal sebagai acuan
pengembangan standar profesional dapat menjadikan keuntungan hanya pada para
pemodal besar, dan disitulah distorsi kapitalisme yang berakar dari filosofi kerja keras
untuk ibadah terjadi. Dampak selanjutnya adalah malpraktik bisnis yang terjadi dalam
skala luas, akibatnya kerusakan moral melingkupi berbagai segi kehidupan

Sintesa Kontekstual Suatu Praktik Etika

Suatu konsepsi dalam strukturasi adalah keberadaan struktur yang tidak selalu
membatasi (constraining). tetapi juga memberdayakan atau memungkinkan (enabling)
agen untuk mengkreasi proses kehidupannya. Konsepsinya adalah bahwa agensi
merujuk pada keadaan agen. Dalam hal ini agen tersebut harus mampu memberikan
sederet kekuasaan kausal, termasuk mempengaruhi kekuasaan-kekuasaan yang
disebarkan oleh orang lain. Struktur dalam kerangka strukturasi dimaksudkan sebagai
aturan dan sumber daya atau sederet hubungan transformasi yang diorganisasikan
sebagai sistem sosial. Aturan dan sumber daya ini secara rekursif diimplementasikan
dalam reproduksi sosial, dimana karakteristik sistem sosial terlambang dengan
memiliki sifat-sifat struktural. Sistem sosial merupakan hubungan yang diorganisasikan
sebagai praktik sosial reguler. Untuk itu maka menganalisis struktur sosial berarti
menganalisis mode-mode tempat diproduksi dan direproduksinya sistem-sistem dalam
interaksi yang didasarkan pada aktivitas utama aktor di tempat tertentu yang
menggunakan aturan-aturan sumberdaya dalam konteks tindakan yang beraneka
ragam.

Terkait dengan memahami pola etika yang berlangsung di KAP Drs. Madia
Subakti dapat dihubungkan dengan pernyataan milik Polanyi (2001:77) dimana
menyatakan bahwa tindakan manusia melibatkan tanggung jawab yang memunculkan

18
pertanyaan tentang motif. Terdapat beberapa bentuk implisit dari institusionalisasi
etika, diantaranya adalah reward system, sistem evaluasi kinerja, sistem promosi,
budaya organisasi, kepemimpinan etis, dukungan dari manajemen puncak, dan
saluran komunikasi yang terbuka. Proses yang berlangsung secara informal ini dapat
mengalirkan bentuk kerja sama yang saling mengisi atas kekurangan yang lain.
Terlepas dari ketiadaan pernyataan eksplisit yang terkait dengan aspek transendensi
manusia, pencermatan dimensi kecerdasan dan spiritual atas sosok Madia sebagai
king maker. Madia adalah seorang minoritas yang berkiprah di tengah masyarakat
yang mayoritas beragama islam, tapi eksis dalam interaksi sehari harinya Madia
adalah sosok yang inklusif.

Berkaitan dengan sikap esoterisnya dalam beragama dewasa ini, maka Madia
mengindikasikan kecenderungan atas berkembangnya kecerdasan emosional dan
spiritual dalam dirinya. Ini merupakan sebuah potensi yang positif untuk menciptakan
suasana kondusif dalam menumbuhkan iklim yang lebih etis di KAP Drs. Madia
Subakti. Hal tersebut masih pada ranah kecerdasan emosional. Namun demikian
pernyataan penuh makna yang dilontarkan oleh Madia dan beberapa tindakan yang
telah dilakukannya dapat mengindikasikan kecenderungan berkembangnya
kecerdasan spiritual tersebut. Sikap diri yang menunjukkan berkembangnya empati
sebagaimana dimiliki Madia dan kemudian dikolaborasikan pada stafnya untuk dibawa
dalam melaksanakan pekerjaan profesional merupakan potensi yang sangat kuat
untuk melangsungkan iklim etis organisasi. Empati adalah sebuah human faculty yang
berakar mendalam.

Empati memberi trigger pada domain etika menentukan apakah seseorang


merasakan bahwa dirinya sedang menghadapi situasi etis. Sikap ini seminimal apapun
telah terinternalisasi di KAP Drs. Madia Subakti dengan kemauan untuk membantu
klien tertentu agar berdaya dalam menghadapi pihak lain. Dengan orientasi jangka
panjangnya, Madia sebagai agen organisasi KAP menanamkan pula tentang makna
menjalin hubungan jangka panjang dengan klien. Secara implisit tindakan empatik ini
dikembangkan untuk mendudukkan posisi klien sebagai subyek, bukan hanya sekedar
objek dalam suatu proses pelaksanaan pekerjaan profesional. Sementara itu modal
penstrukturan etika di KAP Drs. Madia Subakti berlangsung dalam bentuk yang tidak
persis dengan yang digambarkan oleh Giddens (2003). Struktur signifikasi yang
berkembang adalah dalam bentuk kebijakan pimpinan, Munculnya idiom "membantu
klien" merupakan hasil dari proses produksi dari interaksi yang co presence dalam

19
organisasi ini sebagai produk organisasi, idiom signifikasi ini kemudian menjadi
mindset di kalangan staf.

Daya agensi individu dan organisasi KAP Drs. Madia Subakti atas struktur
sosial yang melingkupinya, untuk beberapa hal seperti misalnya dalam memberikan
opini di luar opini wajar (tanpa atau dengan pengecualian) atas struktur sosial yang
melingkupinya. Madia dan KAP lebih lemah, terlebih dalam daerah dimana orang
berusaha dengan jalan pintas untuk segera dapat menikmati kekayaan, daya pengaruh
lingkungan lebih kuat dibandingkan. dengan daya agensi individu maupun organisasi
KAP untuk mempengaruhi lingkungannya dalam batas tertentu. Individu dan KAP Drs.
Madia Subakti telah turut memberdayakan kliennya dalam menghadapi suatu tekanan
dari lingkungan sosial yang tidak baik dengan meyakinkan klien akan posisi yang tepat
dalam menghadapi penyimpangan perilaku profesional petugas pajak, tentu saja KAP
Drs. Madia Subakti melalui stafnya telah turut mengembangkan sikap yang lebih baik
bagi aparatur Pemerintah untuk tidak terus larut dalam pengaruh zaman. Daya agensi
yang demikian muncul dan mungkin berkembang karena kepemilikan atas
pengetahuan perpajakan yang memadai pada diri statistik. Kepemilikan pengetahuan
ini merupakan representasi dari terdapatnya struktur dominasi atas sumber daya
pengetahuan di bidang perpajakan dan akuntansi. Penolakan KAP Madia untuk
memberikan opini wajar kepada klien yang memang berdasarkan pertimbangan tidak
layak untuk diberikan opini tersebut.

Walaupun berakibat kerugian ekonomis bagi diri individu dan KAP, tindakan ini
akan dapat memberikan sumbangan bagi perbaikan situasi lingkungan sosial yang
rusak. Dalam batas tertentu, individu dan KKP tetap mempunyai peran agensi yang
dapat dimainkan dalam proses interaktif dengan lingkungan sosial yang mengitarinya.
Proses mencermati mudah bagi penstrukturan etika dalam konteks seperti ini, dengan
mendalami fenomena diri Madia dan operasionalisasi KAP, ternyata masih terdapat
pengakuan atas struktur dominasi dari lembaga pengatur profesi. Kedua lembaga
pengatur ini lebih bersifat kekuasaan politis dibandingkan ekonomis. Kedua lembaga
tersebut mempunyai daya untuk memaksakan suatu tindakan kepada Madia dan KAP
nya dengan mengacu pada kode etik IAI dan peraturan perundang-undangan.
Peraturan profesi dan perundang-undangan ini adalah sebuah struktur legitimasi di
mana Madia dan KAP nya telah merasakan adanya daya legitimasi ini, di mana
kemudian mereka mendapatkan sanksi etis dan administrative. Sanksi ini tidak
sekedar merupakan pembatasan atas praktik tertentu yang harus dijalankan oleh

20
Madia dan KAP nya. Sanksi ini sekaligus berarti memberdayakan media dan KAP nya
untuk memiliki sensitivitas etika yang lebih baik dalam menjalankan tugas profesional.
Penyikapan positif Madia dan staf KAP atas sanksi yang diterimanya nya menunjukkan
arah pemberdayaan diri menjadi lebih baik di masa yang akan datang, Pada sisi
dimensi realitas lainnya, kondisi sebagaimana terdeskripsikan di atas secara dinamis
selalu bersinggungan dengan kenyataan dalam praktik etika pada lingkungan sosial
yang lebih luas. Mencermati situasi seperti ini, Madia berkeyakinan bahwa pada
akhirnya secara alamiah akan terjadi reaksi klien mana yang beritikad untuk berbisnis
secara baik dan mana yang tidak. Dia masih menaruh harapan bahwa dengan upaya
yang dilakukan untuk mengembangkan praktik secara baik pada akhirnya dia
mendapatkan klien yang baik pula ke depannya.

ESQ Sebagai Kearifan Lokal dalam Praksis Etika

Menurut Will dan Ariel Durant (2000) menyebutkan bahwa tidak ada contoh
berarti dalam sejarah sebelum kita, suatu masyarakat yang benar-benar berhasil
mempertahankan kehidupan moral tanpa bantuan agama. Moralitas yang baik
merupakan salah satu kunci untuk mencapai keberhasilan dalam bidang bisnis.
Tegaknya sebuah profesi akuntan jika beberapa unsur telah baik. Unsur dalam profesi
akuntan mencangkup kedalaman dan keluasan pengetahuan, mantapnya keahlian
yang dimiliki, serta karakter diri yang kuat berdasarkan etika. Tindakan Madia selaku
pimpinan KAP dalam kasus yang sudah dijelaskan sebelumnya, Madia memiliki
kerelaan untuk memberikan bantuan kepada klien dalam penugasan profesionalnya,
sehingga klien dapat keluar dari kesulitannya.

Hal ini dapat menggambarkan jika dalam tindakan tersebut terdapat suatu
kekuatan emosional dan spiritual di diri Madia. Dewasa ini pengembangan akuntansi
dan profesionalisme akuntan berlangsung seperti kapitalistik. Hal ini dikarenakan,
informasi akuntan yang dihasilkan oleh akuntan diorientasikan untuk pemenuhan
kepentingan pemain pasar di system yang liberalistic dan kapitalistik. Perkembangan
akuntansi di Indonesia menunggu perubahan di AS. Sayangnya, masalah praktik etika
tidak selalu sama dengan negara lain. Budaya di AS cenderung mengarah
individualisme, berbeda dengan di Indonesia yakni lebih kepada dimensi kolektivisme.
Perbedaan ini membukti bahwa esensi kemungkinan pengaruh dimensi budaya lokal
yang adiluhung dalam perumusan kerangka nilai bagi profesi tidak boleh disepelekan
dan harus lebih difokuskan. Mengutip pendapat Ayn Rand (2003) yang menyebutkan

21
bahwa monopoli penilaian moral atas suatu fenomena social seringkali mengacu
kepada pihak yang mendominasi wacana.

Secara implisit menunjukkan bahwa menggambarkan bahwa dunia terjebak


dalam wacana dan praksis etika yang dikembangkan masyarakat Barat. Selain itu,
dewasa ini seringkali etika ditempatkan hanya sekedar sebagai simbol
profesionalisme. Oleh sebab itu, berdasarkan kondisi sekarang ini, diperlukan kehati-
hatian dalam memahami etika dan standar profesional lainnya, Kode Etik IAI,
khususnya tentang Prinsip Etika Profesi dan Aturan Etika KAP, dirumuskan dengan
hampir secara total mengambil gagasan mendasar dari The AICPA Code of
Professional Conduct. Sehingga, implikasinya bahwa perumusan Kode Etik IAI ini tidak
melalui proses hearing secara memadai. Ketika perumusan kode ini sejumlah pihak
melakukan pengusulan untuk mencantumkan kata Tuhan sebagai bentuk tanggung
jawab transendental akuntan dalam melaksanakan tugasnya. Namun, pada Komisi C
di kongres IAI tahun 1998 melakukan penghilangan kata Tuhan. Hal ini menunjukkan
bahwa pihak IAI belum sepenuhnya menyadari pentingnya unsur Tuhan dalam
menjalankan setiap tugas. Tindakan Madia dan stafnya di KAP secara “de jure” dalam
idiom “membantu klien” dinilai tegas telah menyalahi independensi akuntan karena
berpengaruh terhadap pemberian opini.

Selain itu, menurut IAI (1998) menyebutkan bahwa tindakan yang telah mereka
lakukan juga bertentangan dengan prinsip etika “objektivitas” karena hubungan yang
memungkinkan prasangka, bias atau pengaruh lainnya. Namun, berdasarkan
pandangan budaya Indonesia, tindakan kolektivisme seperti halnya membantu klien
merupakan salah satu tindakan yang dibenarkan karena merupakan tujuan utama
(Hofstede,1991). Dengan demikian, “membantu klien (yang lemah)” merupakan refleksi
dimensi budaya feminin dan etika sosial Jawa, Salah satu ahli juga mencoba
mengkritisi mengenai isu independensi. Kerangka independensi yang dikembang
selama ini terlalu simplistic dan secara fundamental bias budaya. Adanya pengaruh
budaya AS yang cenderung maskulin berpengaruh terhadap cara pandang mengenai
hubungan antara akuntan dengan klien. Cara pandangan menjadi bersifat separatis
yang mengarah terhadap sifat individualis. Menurut landasan tersebut, seorang
akuntan harus dapat memisahkan antara hubungan hirarki atau kontraktual. Disisi lain,
kondisi di Indonesia, kepentingan audit tidak selamanya harus terkait secara masif
dengan masalah hubungan keagenan seperti di teori agensi.

22
Standar pengendalian mutu telah secara jelas menyebutkan berbagai aspek
dalam pengelolaan KAP harus ada secara formal dan jelas. Namun, di KAP Drs. Madia
Subakti berbagai pola informal dan konvensional telah berlangsung belasan tahun
semenjak KAP ini berdiri. Berdasarkan fenomena ini dapat dikategorikan secara “de
jure” bukan merupakan sesuatu yang tepat dipandang dari kacamata profesional,
dimana standar pengendalian mutu lebih menggambarkan suasana budaya dengan
segala dimensi yang ada. Sehingga, pada ujungnya masalah fenomena KAP ini
menjadi salah satu penyebab munculnya perbedaan pandangan.

ESQ dalam Manajemen KAP

Seringkali praktik-praktik etika dalam dimensi lokal dianggap sebagai praktik


yang menyalahi profesionalisme. Pemaknaan etika yang dikembalikan kepada setiap
individu yang telah ditanamkan oleh Madia di KAPnya mengisyaratkan bahwa kode
etik dapat dipahami dorongan internal akan ditentukan oleh keadaan dan kapasitas diri
masing-masing individu tersebut. Fenomena ini dapat dikaitkan dengan dimensi
emosional dan spiritualitas seperti pemikiran Kohlberg tentang perkembangan moral.
Kohlberg memetakkan perkembangan moral pada :

a. Pre-conventional (orientasi pada aturan dan label-label budaya yang


berkonsekuensi pada suatu yang bersifat fisik dan hedonistik)
b. Conventional (orientasi pada pemeliharaan tatanan sosial sebagai manifestasi dari
pemenuhan ekspektasi kelompok, bangsa, dkk)
c. Post-conventional (orientasi pada pengakuan dan penghormatan keberadaan lain)

Pada tahap post-conventional, pengakuan mampu menggerakkan kesadaran


moral yang menghadirkan dimensi spiritual dari independensi dan interdependensi
sosial. Pada tahapan ini sangat mengarah terhadap ESQ. Diskusi yang telah dilakukan
oleh Madia merupakan bentuk pada tahap terakhir ini. Dimana diskusi yang dilakukan
bertujuan untuk mempertajam pemahaman yang dimiliki dimensi individu dan tidak
bermaksud untuk mengingkari strukturisasi suatu praktik etika. Namun, karena
pemikiran sudah terpengaruh adanya paham kapitalis maka memunculkan pandangan
yang berbeda. Dewasa ini seluruh praktik akuntan cenderung mengabaikan nilai
spiritualitas dan emosional sehingga cenderung memikirkan kekayaan materiil saja.

Ketika profesional akuntan menganggap kekayaan materiil sebagai parameter


keberhasilan, justru akan memberikan definisi lain dari keberhasilan sebagai seorang
akuntan profesional. Orientasi pencapaian kekayaan materiil oleh kebanyakan

23
profesional ini didorong oleh rasionalitas ekonomis semata, dimana seolah-olah hidup
dan kehidupan ini hanya dapat dipuaskan dan dipenuhi dengan sesuatu yang bernilai
materiil. Rasionalitas ini telah mengabaikan dimensi lain dari hidup dan kehidupan.
Dalam praksis lain dalam kehidupan, dimana aktivitas profesional dapat merasa
berhasil ketika dapat membantu orang lain (klien) untuk keluar dari kesulitannya.
Dalam pandangan ini penerimaan suatu pekerjaan tidaklah didasarkan pada fee yang
diterimanya. Menurut Koehn (2000) kaum profesional adalah orang yang melayani
klien dan klien adalah orang yang dibantu oleh kaum profesional. Sehingga sebuah
profesi dijalankan dengan tujuan bukanlah untuk meningkatkan laba.

Prinsip nilai yang dikembangkan oleh Madia yang mana membantu klien dan
melaksanakan pekerjaan yang memerlukan keahlian profesional dengan tidak semata-
mata untuk pencapaian keuntungan yang bersifat materi. Dalam alam modern ini
lazimnya seorang profesional bekerja keras atas dasar iming-iming jumlah uang yang
akan diterimanya. Jika terdapat pertimbangan lain yang dominan di luar kelaziman
tersebut maka dapat disebut suatu anomaly. Karakter modernisasi selalu
mengutamakan sesuatu yang bersifat nyata dan riil yang menunjukkan bahwa
profesionalisme dalam kehidupan modern sangat paralel dengan tingkatan
preconventional dari teori tahap pengembangan moral.

Kehidupan merupakan proses dari serangkaian peristiwa yang dialami oleh


seseorang sebuah proses melahirkan kesadaran untuk menjalani kehidupan dengan
mengutamakan sesuatu yang tidak hanya sekedar bersifat materi dan sebuah
kehidupan yang dapat memberikan kemanfaatan kepada yang lain merupakan
transformative yang berkelangsungan dalam kehidupan. Sebagai Individu yang dalam
konteks pemahaman strukturasi dapat disebut sebagai agen atau actor social yang
berdaya. Uang adalah sesuatu yang sangat penting, namun uang bukanlah segalanya.
Juga membantu yang lain keluar dari kesulitannya adalah suatu keutamaan dalam
kehidupan pribadi dan kehidupan profesionalnya. Demikian pula membantu yang lain
tidak berarti harus mengorbankan kepentingan diri dan kepentingan KAP secara apriori
sehingga dapat menghancurkan keberadaan keduanya.

Mencermati lebih lanjut atas fenomena Madia, pada dirinya telah berkembang
suatu kekuatan emosional dan spiritual dalam melangsungkan kehidupan pribadi dan
profesionalnya. Ciri suatu kekuatan emosional (kecerdasan emosional) antara lain
adalah mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan,
mengatur suasana hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana

24
hati, serta berempati dan berdoa. Kepemilikan uang yang berlimpah sebagai simbol
menuju pencapaian kesenangan duniawi tidaklah menjadi hal yang utama bagi Madia.
Membantu klien juga merupakan manifestasi dari empati yang tumbuh pada diri Madia.
Dengan ini dia mengembangkan pola di KAPnya untuk tidak kaku hanya berdasarkan
nilai rupiah tertentu dalam menerima suatu penugasan pekerjaan. Inilah merupakan
sikap hidup yang dilandasi oleh berkembangnya kecerdasan emosional (emotional
question) dimana ditunjukkan dengan tindakan empati dengan merasakan dan
memahami kondisi orang lain. Dengan mengembangkan sikap hidup Madia justru akan
merasakan bahwa dirinya dapat menemukan hakikat dirinya sebagai manusia. Ketika
hal tersebut berlangsung secara otomatis dimensi SQ (spiritual question) telah
dikembangkan oleh Madia.

Kecerdasan spiritual (SQ) kecerdasan jiwa. yang berarti kecerdasan yang


dapat membantu kita menyembuhkan dan membangun diri kita secara utuh. Banyak
sekali di antara kita yang saat ini menjalani hidup yang penuh luka dan berantakan. SQ
adalah kesadaran yang dengannya kita tidak hanya mengakui nilai-nilai yang ada,
tetapi kita juga secara kreatif menemukan nilai-nilai baru. SQ tidak bergantung pada
budaya maupun nilai. Ia tidak mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan
kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri. Sepanjang sejarah manusia, setiap
budaya yang dikenal memiliki seperangkat nilai meskipun nilai-nilai yang spesifik
berbeda dari satu budaya dengan budaya lain. Kerangka makna yang terdapat pada
Madia adalah dia merasa berhasil jika dapat membantu orang lain termasuk kliennya
keluar dari kesulitannya. Selain itu, Madia juga akan membantu perusahaan kecil untuk
menyusun laporan keuangan dan sekaligus kemudian melaksanakan audit. Walaupun
terdapat pertentangan dari stafnya terkait dengan fee yang hanya merupakan jasa
audit saja, Madia tetap berpegang teguh pada keyakinannya. Dalam kerangka
pengertian konvensional atas profesionalisme, yang dilakukan oleh Madia dapat
dianggap menyimpang, namun wacana dan praksis Madia justru menguatkan
terdapatnya potensi berkembangnya SQ. sebuah konvensi tidak selalu berarti positif, di
mana konvensi dapat membelenggu potensi yang mungkin berkembang pada diri
seseorang atau masyarakat dan disitulah kecerdasan untuk memilih tindakan yang
bermakna diperlukan walaupun bertentangan dengan konvensi.

Dalam menyikapi ketatnya persaingan KAP untuk mendapatkan klien Madia


mengutamakan sikap positif untuk tidak terlalu terlarut dalam cara yang
mengesampingkan nilai. Madia secara sadar berusaha untuk memaknai langkah yang

25
harus ditempuhnya. Menurut Giddens (2003) kesadaran mengacu pada monitoring
refleksi perilaku agen-agen manusia, kebanyakan dalam pengertian apa yang telah
disebutnya sebagai kesadaran praksis. Uang dan simbol materialisme lainnya dewasa
ini telah diagungkan oleh sebagian besar masyarakat kelas atas, kelas menengah,
maupun kelas bawah serta pada masyarakat profesional maupun masyarakat
nonprofesional. Hal ini merupakan fenomena yang umum berlangsung di masyarakat,
sehingga dapat disebut dengan perilaku yang menggambarkan “zaman edan”. Suatu
kehidupan yang hanya diilhami oleh visi materialistic dan nilai hedonistic, tetapi jauh
dari visi sebagai manusia seutuhnya dan kering atas nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam kerangka proses yang ingin belajar dari kesalahan membuat Madia
dapat dikatakan sebagai sosok yang mau belajar untuk menjadikan hikmah sebagai
sosok yang mau belajar dari kejadian masa lalu. Keadaan dirinya sekarang tentu juga
karena adanya pembelajaran dari sanksi yang telah dijatuhkan kepadanya dan
KAPnya oleh otoritas profesi akuntan yaitu IAI dan Kementerian Keuangan. Untuk itu,
Madia cenderung lebih berhati-hati dan selalu berpikir panjang. Demikian halnya dari
upayanya untuk menghindari pekerjaan berisiko dalam konsultasi perpajakan sehingga
jika sampai pada tahap negosiasi dia meminta supaya diselesaikan sendiri oleh
kliennya. Dimensi spiritual yang ada pada diri Madia yaitu adanya kemampuan untuk
menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, serta kemampuan untuk menghadapi
dan melampaui rasa sakit.

Sesuatu yang dilakukan oleh Madia merupakan perwujudan dari idealisme


praksis kehidupan yang disampaikan oleh Plato. Menurut Plato yang paling berharga
bagi manusia adalah keutamaan dan bukan kekayaan duniawi. Menurut Plato dalam
Bertens (1997) “orang yang dihantui nafsu untuk memperoleh uang dengan cara yang
tidak benar dan tidak terasa jijik karena perolehan itu, akan mendapatkan jiwanya tidak
diperindah dengan harta itu. Semua emas di atas bumi dan semua emas di bawahnya
tidak dapat mengimbangi kekurangan keutamaan”. Ada sesuatu hal yang unik dalam
perjalanan KAP Madia, yaitu kecenderungan untuk mengelola organisasi secara
informal (termasuk dalam diseminasi etika). Padahal dalam ketentuan standar
pengendalian mutu KAP yang mengharuskan untuk mengelola organisasi KAP secara
formal berbasiskan prosedur-prosedur baku dan dokumentatif. Keunikan tersebut
bukanlah sesuatu yang harus dianggap negatif karena berdasarkan perspektif ESQ,
Madia mempunyai pandangan dan tindakan yang tidak terlalu berdasarkan pada suatu
konvensi, sikap diri yang fleksibel, terdapatnya kecenderungan untuk menjaga kualitas

26
hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, serta kecenderungan diri Madia untuk
melihat keterkaitan antara berbagai hal atau berpandangan holistic. Hal ini berbeda
dengan pandangan besar umumnya yang mana dalam mengelola organisasi bersifat
formal sangat penting.

Rasionalitas telah merampas sifat intuitif dan imajinatif yang didorong oleh daya
emosional dan spiritual seseorang dengan menempatkan ego di atas keberadaan
keseluruhan dimensi diri manusia. Ego merupakan lapisan diri yang berkaitan dengan
jalur dan program saraf seri dalam otak yaitu sistem saraf yang bertanggung jawab
pada pemikiran logis dan rasional serta pemikiran sadar, berorientasi pada tujuan atau
pemikiran strategis. Tentunya hal ini berbeda dengan humanisme barat yang
menekankan pada egoism diri yang memutuskan diri manusia dengan makna dan
perspektif yang lebih luas. Egoism sendiri menjadi penyebab kesulitan dan penderitaan
bagi manusia karena manusia terjebak pada pencapaian kebahagiaan semu yaitu
kebahagiaan yang dilandasi oleh cinta diri yang berlebihan. Menghubungkan
fenomena ini dengan ESQ secara neurologis merupakan manifestasi dari bekerjanya
belahan otak kanan manusia. Sedangkan pembenaran suatu tindakan banyak
didasarkan pada potensi yang digerakkan oleh belahan otak kiri manusia (IQ). Cara
pandang dan cara tindak yang linearitas dapat menghilangkan kreativitas seseorang
dimana seolah menghadapi sesuatu yang memang sudah ada. Di sinilah distorsi
kebenaran dapat terjadi karena IQ tidak menggerakkan seseorang untuk menjadi
kreatif, mengembangkan kapasitas emosi, bernuansa spiritual, dan menguatkan
hubungan sosial.

Dalam praksis modern bisnis adalah bisnis, sehingga diharuskan untuk


mengikuti prinsip bisnis yang membawa situasi yang mana tidak ada ruang untuk
menghadirkan dimensi kehidupan lainnya dan mengakibatkan situasi yang kaku dan
mendorong seseorang bekerja selalu dalam tekanan (stres). Tetapi dengan hadirnya
situasi informal dalam pengelolaan organisasi bisnis, berbagai nilai kehidupan masih
dapat dipraktikkan. Nilai-nilai tersebut yaitu cinta, penghargaan, sikap memberi maaf,
pengasuhan, rasa hormat, dukungan, pemahaman, simpati, sikap memberi,
komunikasi, sikap peduli, kepercayaan dan kejujuran. Walaupun sulit untuk
mengidentifikasinya, namun dapat merasakan adanya kebutuhan atas nilai-nilai ini.
Kesulitan mengidentifikasi nilai ini dikarenakan tidak memungkinkan untuk
mendiskusikan persoalan nilai ini karena secara mekanis terpaku pada pola
penyesuaian persoalan bisnis. Pada saat ini diperlukannya penerapan pola

27
pengelolaan organisasi yang informal di mana pola ini suatu elaborasi nilai-nilai
kehidupan dapat berlangsung sedemikian rupa. Dalam suatu aktivitas bisnis masih
tetap melekat suatu nilai kehidupan yang hakiki, sebagaimana kehidupan dalam suatu
keluarga.

28
KESIMPULAN

Setiap KAP dan Akuntan diharuskan untuk selalu memiliki dan menerapkan
etika akuntan. Praktik etika yang terjadi dalam KAP di Indonesia terbagi menjadi 2,
yakni praktik secara informal dan formal. Informal merupakan kondisi dimana etika
yang diterapkan dan ditanamkan dalam organisasi tersebut tidak dirumuskan,
diterapkan, disusun secara resmi di dalam sebuah dokumen, adanya perjanjian terikat,
dan lain sebagainya. Sedangkan, praktik formal merupakan kondisi dimana etika
diterapkan dan ditanamkan di dalam organisasi secara resmi, tertulis dalam dokumen,
pekerjaan terikat dengan perjanjian yang telah disepakati, dan berbagai bentuk
lainnya. Salah satu penerapan atau penanaman etika secara informal dapat
digambarkan oleh KAP “Drs. Madia S”. Tindakan Madia selaku pemimpin KAP yang
memberikan motivasi melalui ucapan atau pernyataan mampu mempengaruhi tindakan
staf anggotanya untuk bekerja sesuai dengan etika yang berlaku dalam organisasi
tersebut. Selain itu, Madia juga rela membantu kliennya.

Tindakan yang telah dilakukan oleh Madia ini dipandang melalui dua sisi.
Pertama, menurut IAI tindakan yang telah dilakukan oleh Madia seperti halnya
membantu klien merupakan tindakan yang melanggar prinsip etika yang berlaku.
Kedua, pandangan ini berdasarkan budaya yang ada di Indonesia yakni saling
membantu sesama agar orang lain bahagia merupakan hal yang diperbolehkan. Madia
melakukan tindakan yang mengandung nilai spiritual dan emosional. Dimana, dia telah
menunjukkan sebagai hamba-Nya telah menjalankan tugas dengan penuh tanggung
jawab dan bertujuan untuk membantu sesama hamba-Nya. Sisi emosional terlihat
ketika Madia memiliki rasa rela atau rasa empati untuk membantu menyelesaikan
beban kliennya. Sehingga implikasinya dalam hal ini sebuah nilai SQ dan EQ menjadi
sebuah hal penting dalam menjalankan etika dalam KAP. Karena, sesuai pendapat
yang dikemukakan oleh Will (2000) bahwa tidak ada masyarakat yang benar-benar
berhasil tanpa bantuan agama. Sehingga, nilai ketuhanan sangat perlu dijunjung dalam
pelaksanaan etika di sebuah organisasi atau di lingkungan lainnya.

29
DAFTAR PUSTAKA

Ludigdo, Unti. 2007. Paradoks Etika Akuntan. Penerbit: Pustaka Pelajar.


Yogyakarta.

Guna Eka, Christina. 2012. Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan


Spiritual Auditor Terhadap Kinerja Auditor Pada Kantor Akuntan Publik Di Surabaya:
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Akuntansi . Vol. 1 No. 4.

Mahyuddin, Puspita Puji Rahayu dkk. 2021. Teori Organisasi. Penerbit:


Yayasan Kita Menulis. Medan.

Danah Zohar. 2000. Kecerdasan Spiritual. Penerbit: PT Mizan Pustaka.


Bandung.

Thoha Nuriana, Hutapea parulian. 2008. Kompetensi Plus. Penerbit: PT


Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

30

Anda mungkin juga menyukai