Anda di halaman 1dari 15

Praktik Etika dan Integrasi ESQ dalam KAP

Tugas Mata Kuliah


Etika Bisnis dan Profesi

Oleh:
1. M. Hokidatus Sya’roni 190810301071
2. Rofid Adi Satrio 190810301104
3. Putri Rahmalia 190810301086

Program Studi S1 Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Jember
2020
PENDAHULUAN

Etika menjadi hal yang tak bisa dilepaskan dalam profesi yang ada dalam
keseharian. Kode etik dan peraturan etika lainnya dibentuk semata-mata agar terjadi
keteraturan sehingga tidak ada penyelewengan atau fraud yang dilakukan oleh profesi
tersebut. Dalam profesi akuntan kita mengenal banyak organisasi profesi akuntan baik di
tingkat nasional yaitu IAI maupun internasional seperti IFAC. Kode etik yang dibuat oleh
IAI di Indonesia mengacu pada kode etik Internasional. Hal inilah yang menjadi awal
permasalahan muncul. Beberapa hal yang diatur dalam kode etik tentu tidak sesuai
dengan budaya yang ada di Indonesia sehingga terkadang membuat akuntan hanya
mengedepankan individualistis dan materialistik semata. Pada kesempatan kali ini penulis
akan membahas tentang praktik etika dan integrasi ESQ dalam KAP. Penulis akan
menguraikan mengenai sintesa kontekstual suatu praktik etika dan ESQ sebagai kearifan
lokal dalam praksis etika. Pembahasan kali ini menekankan pada contoh kasus Madia dan
KAP yang dimilikinya yaitu KAP Drs. Madia Subakti.
Pembahasan mengenai praktik etika dan integrasi ESQ dalam KAP cukup menarik
untuk disimak dan dicermati. Madia dan KAPnya mengajarkan banyak hal bagi para
akuntan dan KAP lainnya. Madia dapat merubah model kerja KAPnya tak hanya
berlandaskan materiil saja melainkan juga memberi bantuan kepada kliennya. Hal ini tentu
merupakan langkah Madia yang dapat menjadi cerminan bagi akuntan yang lain. Budaya
yang sosial di Indonesia tentu harus menjadi pertimbangan KAP dalam bersikap
disamping memang tetap perlu mengedepankan beberapa prinsip akuntan atau auditor
yang lain. Jika hal ini dapat dijalankan secara beriringan tentu KAP dan kliennya dapat
merasakan benefit yang sama.

1
PEMBAHASAN

A. Sintesa Kontekstual Suatu Praktik Etika


Konsepsi strukutrasi berawal dari sulitnya pertemuan antara cara pandang
strukturan dengan individu / antara obyektif dan subyektif. Namun untuk menuju
pemahaman realitas sosial atas praktik etika, bagaimanapun tidak bisa dilakukan apabila
mengabaikan aspek struktural masyarakat maupun aspek individu dari diri manusia.
Peneliti dengan langkah “dualistik”nya bermaksud mempermudah penggambaran atas
realita sosial dalam praktik etika di organisasi. Sementara itu gagasan dasar dilakukannya
penelitian ini berdasarkan konsepsi strukutrasi dalam konteks organisasional.
Suatu konsepsi dalam strukturasi adalah keberadaan struktur yang tidak selalu
membatasi (constraining), tetapi juga memberdayakan atau memungkinkan (enabling)
agen untuk mengkreasi proses kehidupannya. Konsepsinya adalah bahwa agensi merujuk
pada keadaan agen. Dalam hal ini agen tersebut harus mampu memberikan sederet
kekuasan kausal, termasuk mempengaruhi kekuasaan-kekuasaan yang disebarkan oleh
orang lain. Struktur dalam kerangka struktuasi dimaksudkan sebagai aturan dan sumber
daya atau sederet hubungan transformasi yang diorganisasikan sebagai sistem sosial.
Aturan dan sumber daya ini secara rekursif diimplementtasikan dalam reproduksi
sosial, dimana karakteristik sistem sosial terlambang dengan memiliki sifat-sifat struktural.
Sisitem sosial merupakan hubungan yang diorganisasikan sebagai praktik sosial reguler.
Untuk itu maka menganalisis struktur sosial berarti menganalisis mode-mode tempat
diprosduksi dan direproduksinya sistem-sistem dalam interaksi yang didasarkan pada
aktifitas utama aktor di tempat tertentu yang menggunakan aturan-aturan sumberdaya
dalam konteks tindakan yang beraneka ragam
1) Individu dan Organisasi Dalam Konteks Interaksi
Memahami pola etika yang berlangsung di KAP “Drs. Madia Subakti” dapat
dihubungkan denga pertanyaan milik Polanyi (2001:77) dimana tindakan manusia
melibatkan tanggungjawab yang memunculkan pertanyaan tentang motif. Terdapat
beberapa bentuk implisit dari institusionalisasi etika, diantaranya adalah reward system,
sistem evaluasi kerja, sistem promosi, budaya organisasi, kepemimpinan etis, dukungan
dari manajemen puncak, dan saluran komunikasi yang terbuka. Proses yang berlangsung
secara informal ini dapat mengalirkan bentuk kerja sama yang saling mengisi atas
kekurangan yang lain.

2
Terlepas dari ketiadaan pernyataan eksplisit yang terkait dengan aspek transendensi
manusia, pencermatan dimensi kecerdasan dan spiritual atas sosok madia sebagai king
maker. Madia adalah seorang minoritas yang berkiprah ditengah masyarakat yang
mayoritas beragama islam, tapi eksis dalam interaksi sehari harinya madia adalah suatu
sosok yang inklusif. Hal ini juga ditunjukkan dalam pluralitas staf profesional dan karyawan
yang bekerja di KAP nya.
Terlepas dari sikap esoterisnya dalam beragama dewasa ini, Madia
mengindikasikan kecenderungan atas berkembangnya kecerdasan emosional dan
spiritual dalam dirinya. Ini merupakan sebuah potensi yang positif untuk menciptakan
suasana kondusif dalam menumbuhkan iklim yang lebih etis di KAP Drs. Madia Subakti.
Hal tersebut masih pada ranah kecerdasan emosional. Namun demikian pernyataan
pernyataan penuh makna yang dilontarkan oleh Madia dan beberapa tindakan yang telah
dilakukannya dapat mengindikasikan kecenderungan berkembangnya kecerdasan spiritual
tersebut. Sikap diri yang menunjukkan berkembangnya empati sebagaimana dimiliki
Madia dan kemudian dielaborasikan pada stafnya untuk dibawa dalam melaksanakan
pekerjaan profesional merupakan potensi yang sangat kuat untuk melangsungkan iklim
etis di organisasi. Empati adalah sebuah human faculty yang berakar mendalam. Empati
memberi trigger pada domain etika menentukan apakah seseorang merasakan bahwa
dirinya sedang mengahadapi situasi etis. Sikap ini seminimal apapun telah terinternalisasi
di KAP Drs. Madia Subakti dengan kemauan untuk memebantu klien tertentu agar
berdaya dalam menghadapi pihak lain. Semangat membantu ini juga dibawa oleh stafnya
ketika memberikan jasa profesional lainnya
Dengan orientasi jangka panjangnya, Madia sebagai agen organisasi KAP menanamkan
pula tentang makna menjalin hubungan jangka panjang dengan klien. Secara implisit
tindakan empatik ini dikembangkan unutk mendudukkan posisi klien sebagai subyek,
bukan hanya sekedar obyek dalam suatu proses dalam pelaksanaan pekerjaan
profesional.
Sementara itu moda penstrukturan etika di KAP Drs. Madia Subakti berlangsung
dalam bentuk yangh tidak persis dengan yang digambarkan Giddens (2003). Struktur
signifikasi yang berkembang adalah dalam bentuk kebijakan pimpinan. Munculnya idiom
“membantu klien” merupakan hasil dari proses produksi dari interaksi yang co presence
dalam organisasi ini sebagai produk organisasi, idiom signifikasi ini kemudian menjadi
mindset di kalangan staf.

3
2) Individu dan oprganisasi dalam setting lingkungan sosial
Bagaimana daya agensi individu dan organisasi KAP Drs. Madia Subakti atas
struktur sosial yang melingkupinya.  Walaupun untuk beberapa hal seperti misalnya dalam
memberikan opini di luar opini wajar ( tanpa atau dengan pengecualian ) atas struktur
sosial yang melingkupinya. Madya dan KAP lebih lemah, lebih-lebih dalam daerah dimana
orang berusaha dengan jalan pintas untuk segera dapat menikmati kekayaan. Situasi
yang dapat diindikasikan sebagai zaman edan, dimana siapa pun yang berusaha jika tidak
turun edan maka mereka tidak akan keduman.
Dari uraian di atas ternyata daya pengaruh lingkungan lebih kuat dibandingkan
dengan daya agensi individu maupun organisasi KAP untuk mempengaruhi lingkungannya
dalam batas tertentu. Individu dan KAP “Drs. Madia  Subakti” telah turut memberdayakan
kliennya dalam menghadapi suatu tekanan dari lingkungan sosial yang edan dengan
meyakinkan klien akan posisi yang tepat dalam menghadapi penyimpangan perilaku
profesional petugas pajak, tentu saja KAP  “Drs. Madia  Subakti”  melalui stafnya telah
turut mengembangkan sikap yang lebih baik bagi aparatur Pemerintah untuk tidak terus
larut dalam keedanan zaman
Daya agensi yang demikian muncul dan mungkin berkembang karena kepemilikan
atas pengetahuan perpajakan yang memadai pada diri statistik. Kepemilikan pengetahuan
ini merupakan representasi dari terdapatnya struktur dominasi atas sumber daya
pengetahuan di bidang perpajakan dan akuntansi. Titik dengan dominasi ini, KAP mampu
mendorong klien dan memotong kesempurnaan petugas pajak.   Bagaimanapun peran
seperti ini hanyalah ibarat menanamkan sepasang benih ikan yang langka di lautan yang
terhampar sedemikian luasnya tetapi sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk turut
merekonstruksi situasi sosial yang sudah edan ini, yang dilakukan oleh kap “Drs. Madia 
Subakti” Bukanlah  ke sia-siaan belaka.
Demikian halnya dengan penolakan KAP Madia untuk memberikan opini wajar
kepada klien yang memang berdasarkan pertimbangan tidak layak untuk di berikan opini
tersebut. Walaupun kemudian berakibat kerugian ekonomis bagi diri individu dan KAP,
tindakan ini akan dapat memberikan sumbangan bagi perbaikan situasi lingkungan sosial
yang rusak. Dalam batas tertentu, individu dan KKP tetap mempunyai peran agensi yang
dapat dimainkan dalam proses interaktif dengan lingkungan sosial yang mengitarinya
Proses mencermati mudah penstrukturan etika dalam konteks seperti ini, dengan
mendalami  fenomena diri Madia dan operasionalisasi KAP,  ternyata masih terdapat

4
pengakuan atas struktur dominasi dari lembaga pengatur profesi. Kedua lembaga
pengatur ini lebih bersifat kekuasaan politis dibandingkan ekonomis. Kedua lembaga
tersebut mempunyai daya untuk memaksakan suatu tindakan kepada Madia dan KAPnya
dengan mengacu pada kode etik IAI dan peraturan perundang-undangan Peraturan
profesi dan perundang-undangan ini adalah sebuah struktur legitimasi di mana madia dan
kap nya telah merasakan adanya daya  legitimasi  ini, di mana kemudian mereka
mendapatkan sanksi etis dan administratif
Sanksi ini tidak sekadar merupakan pembatasan atas praktik tertentu yang harus
dijalankan oleh Madia dan KAPnya.  Sanksi ini sekaligus berarti memberdayakan media
dan KAPnya untuk memiliki sensitifitas etika yang lebih baik dalam menjalankan tugas
professional. Penyikapan positif Madia dan staf KAP atas sanksi yang diterimanya nya
menunjukkan arah pemberdayaan diri menjadi lebih baik di masa yang akan datang
Pada sisi dimensi realitas lainnya, kondisi sebagaimana terdeskripsikan di atas
secara dinamis selalu bersinggungan dengan kenyataan dalam praktik etika pada
lingkungan sosial yang lebih luas. Mencermati situasi seperti ini Madia  berkeyakinan
bahwa pada akhirnya secara alamiah akan terjadi reaksi klien mana yang beritikad untuk
berbisnis secara baik  dan mana yang tidak. Dia masih menaruh harapan bahwa dengan
upayanya untuk mengembangkan praktek secara baik pada akhirnya dia mendapatkan
klien yang baik pula.

B. ESQ Sebagai Kearifan Lokal dalam Praksis Etika


Etika dalam profesi akuntan di Indonesia belum menjjadi arus utama baik dalam segi
tatanan wacana maupun praksis. Etika memang bersifat inner dari segi pengukuran
kuantitatif tidak mudah sehingga pengembangan etika bersifat jangka panjang dan
bergantung dengan beberapa faktor. Dapat diibartakna pengembangan etika sebagai
sebuah investasi dimana keuntungannya tidak dapat dinikmati segera dalam jangka
pendek. Pada bab ini lebih berfokus pada fenomena pengutamaan sesuatu yang bersifat
di luar pandangan materialisme dalam kehidupan profesional, pengelolaan KAP yang
cenderung yang mengkreasi sutau basis nilai yang pencapaian kekayaan dan
keuntungan berupa materi bukanlah yang utama dalam pekerjaan profesional.
Dewasa ini pengembangan akuntansi dan profesionalisme akunta berlangsung
dalam suasana yang kapitalistik. Informasi yang dihasilkan akuntan diorientasikan untuk
memenuhi kepentingan para pemainan pasar dalam sistem yang liberalistik dan

5
kapitalistik. Walaupun apa yang terjadi pada akuntan di Indonesia dan Ameika Serikat
tidak selalu sama namun dalam hal pengembangan akuntan Indonesia selalu berpatokan
pada pengembangan akuntan Amerika Serikat, sehingga bukan suatu kebetulan jika
wacana dan praksis akuntan Indonesia di warnai dengan wacana dan praksis yang terjadi
di Ameika Serikat.
Namun mengingat perbedaan budaya dan kompleksitas juga menimbulkan
persoalan dimana budaya di Amerika Serikat lebih menekankan dimensi individualisme,
namun terdapat kelebihan nilai-nilai yang dirumuskan dengan memperhatikan nilai bagi
profesi. Kebanyakan filsuf menerima saja keberadaan etika sebagai sesuatu terberi,
sesuatu historis dan tidak menaruh perhatian untuk menemukan penyebab validasi
objektifnya. Monopoli terhadap moral menjadi fenomena sosial yang mendominasi pihak
wacana, dimana kalangan ini menetapkan masyarakat sebagai sumber standar dan
kriteria etika yang mengakibatkan terjebaknya masyarakat dalam wacana dan praktis etika
yang dikembangkan masyarakat Barat dimana yang baik di masyarakat Barat pasti baik
bagi masyarakat lainnya, sehingga profesi akuntan Indonesia dengan serta merta
mengadopsinya. Etika ditempatkan hanya sekedar simbol formal profesionalisme dimana
etika tidak dapat menjadi ruh bagi pengembangan profesionalisme.
Misalnya pemberian jasa yang dilakukan para profesional mengacu pada pengertian
masyarakat Barat yang kapitalistik, dimana profesional ditempatkan pada pemenuhan
ambisi para kapitalistik. Maka dari itu profesionalisme mengacu pada sifat materialistik
dimana setting pelaksanaannya akan dikaitkan dengan nilai rupiah yang mungkin akan
ditetapkan dengan ini dianggap sebagai anomali.
Pengembangan profesionalisme akuntan harus diperlukan kehati-hatian dalam
memahami etika dan standar profesi lainnya sehingga tidak terjebak dalam arus wacana
global yang dominan. Dalam praksis etika yang diekplorasi setting di KAP “Drs. Madia
Subakti” dimana adanya pengingkaran terhadap profesi akuntan dan standar profesional
akuntan Indonesia khususnya profesi akuntan publik. Yang mengakibakan pengingkaran
terhadap eksistensi etika profesi yang telah mengingkari lokalitas sosial dan budaya
dimana etika itu harus dipraktekan. Dalam Kode Etik IAI tentang Prinsip Etika Profesi dan
Aturan Etika KAP yang berpedoman dari The AICPA Code of Professional Conduct yang
tidak terdapat adanya perspektif sosiologis dan antropologis masyarakat Indonesia,
khususnya tidak ada proses hearing secara memadai.

6
Dewasa ini masyarakat Indonesia cenderung tidak menempatkakn hakekat
kebertuhanan. Pada sidang Komisi C di Kongres IAI tahun 1998 rumusan hasil sidang
menghapus kata Tuhan dimana bagaimanapun pembahasan atas sesuatu yang sangat
penting dan substansial bagi keberadaan profesi harus dilakukan secara cermat dan hati-
hati sehingga tidak menghasilkan ironis yang tidak hanya mengekor dari ketentuan yang
sudah ada tanpa adanya pengkritisan dari masyarakat akuntansi Indonesia.
Dalam konteks aturan etika KAP yang diwacanakan dan dipraksiskan oleh Madia
secara “de jure” dalam idiom “membantu klien” yang tentunya menyalahi “independensi”
akuntan dikarenakan dengan membantu klien dalam penyusunan laporan keuangan yang
kemudian diiauditnya jelas akan berdampak adanya pemberian opini. Penyusunan laporan
keuangan dengan tidak adanya penyataan formal dari KAP atas pemberian jasa tentu saja
bertentangan dengan independensi dalam penampilan (in apprearance) maupun
independensi dalam fakta (in fact) serta juga bertentangan dengan prinsip etika
“obyektifitas” yang berisi “hubungan-hubungan yang memungkinkan prasangka, bias atau
pengaruh lainnya untuk melanggar obyektifitas harus dihindari” (IAI, 1998: 304).
Idiom “ membatu klien” dapat bermakna ganda, dalam bahasa bisnis ini berarti
strategi untuk menarik klien agar mau menerima penawaran dari KAP, dan dengan
demikian mendapatkan rejeki untuk mengempulkan asap dapur KAP serta dapat berarti
juga sebagai ekspresi kepedulian Madia dan staf profesional atas nasib perusahaan kecil
jika benar-benar dibantu untuk memenuhi persyaratan bank. Dengan “membantu klien”
dapat membantu harmoni dalam kehidupan bisnis klien dan juga kehidupan KAP.
Sementara itu dalam feminisme, simpati kepada yang lemah menjadi hal penting dalam
masyarakat disamping dominannya nilai-nilai untuk selalu memperhatikan yang lain
(Hofstede, 1991: 96).
“Membantu klien” bagi Madia untuk merefleksikan dimensi budaya feminin dan etika
sosial Jawa. Wacana dan praksis yang berkembang di KAP selaras dengan nilai-nilai yang
terdapat pada etikas sosial Jawa yang berbeda dengan apa yang ada di Amerika Serikat
dan negara Barat lainnya dimana dimensi budayanya adalah individualis dan maskulin.
Dalam dimensi ini yang terpenting adalah keberadaan diri individu (Hofstede, 1991: 73),
serta tidak perlu memperhatikan yang lain karena yang penting adalah uang dan ukuran
keberhasilan adalah yang bersifat material (Hofstede, 1991: 96). Pada akhirnya auditing
yang pada hakikatnya nya sebagai profesi tidak lebih sebagai sebuah bisnis (Power,
2003).

7
Reiter (1997) megkritis lebih lanjut sebagai isu wacana utama dalam penegakan
etika akuntan, kerangka independensi yang dikembangkan sekarang terlalu simplitik dan
secara fundamental bias. Dengan adanya perbadaan budaya di Amerika Serikat dan
negara Barat dapat mempengaruhi cara pandang terhadap hubungan antara profesional
akuntan dengan kliennya, dengan cara pandang menilai manusia secara individualis,
mengedepankan rasionalitas ekonomi, otonomi individu, pemenuhan kepentingan diri dan
isolasi. Ethics of right menjadi landasan berlangsungnya independesi akuntan, dimana
individu harus terpisah dengan kliennya, hubungannya bersifat hirarkis atau kontraktual,
menekankan pentingnya otonomi dan self-sufficient, serta pada akhirnya independesi
menjadi kekuatan.
Dimensi budaya yang feminin semestinya membuat kerangka independesi yang
dikembangkan juga harus merujuk pada cara pandang yang bersifat connected. Cara
pandang ini ditandai dengan orientasi nilai-nilai manusia sebagai makhluk bermasyarakat,
mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, keterhubungan dengan yang lain, mutualitas,
dan interaksi (Reiter, 1997), sehingga menjadi landasan berlangsungnya independensi
akuntan. Dengan demikian akuntan merupakan individu yang interdependen dengan
keberadaan kliennya, hubungannya mengedepankan perhatian dan respon, menekankan
pentingnya hubungan interdependensi dan interpersonal sefta akhirnya kepedulian
menjadi kekuatan.
Standar pengendalian mutu telah secara jelas menyebutkan berbagai aspek yang
harus ada secara formal dan jelas dalam pengelolaan KAP tetapi yang terjadi malah
adanya pola informal dan “konvensional” di KAP “Drs. Madia Subakti”, kejadian ini secara
“de jure” bukan sesuatu yang tepat dipandang dari kacamata organisasi profesional
dimana standar pengedalian mutu lebih mengambarkan suasana budaya “hidup dalam
tatanan kerja” dengan segala dimensi, tetapi dimensi budaya Indonesia adalah feminin
(Hofsted, 1991: 96) dimana suasana budayanya adalah “kerja dalam tatanan hidup”
Kompleksitas masalah yang dihadapi akuntan di Indonesia tentu berbeda dengan
yang melingkupi masyarakat lainnya. Tatanan hukum dan politik yang ada di Ameika
Serikat dan negara Barat lainnya sudah sedemikian mapan dibandingkan di Indonesia.
Tidak jauh beda dengan yang berkaitan skala dan kapasitas perusahaan yang ditangani
oleh akuntan di negara-negara lain tersebut mungkin juga berbada dengan yang ditangani
akuntan Indonesia. Keunikan pandangan dan tindakan juga terjadi pada organisasi KAP
“Drs. Madia Subakti”, mereka beranggapan bahwa masalah etika merupakan masalah

8
individu dimana penyikapannya dan pemaknaannya atas masalah etika tersebut kembali
ke individu masing-masing. Diakui oleh Madia kode etik akuntan ada, namun
penafsirannya tergantung individu-individu sendiri. Dimana kode etik dianggap sebagai
sesuatu yang abstrak, fenomena tersebut berkaitan dengan keadaan dan kapasitas diri
masing-masing individu akuntan. Kode etik dipahami sebagai dorongan yang bersifat
eksternal bagi individu dan doronagan internal ditentukan oleh keadaan dan kapasitas diri
masing-masing individu tersebut.
Kohlberg beranggapan tingkat perkembangan moral dapat diletakkan pada titik awal
diskusi yang berkaitan dengan persoalan keberadaan dimensi emosionalitas dan
spiritualitas dalam suatu praksis profesional, dimana perkembangan moral terdapat tiga
tingkatan yaitu pre-conventional, conventional, dan post-convevtional. Seorang akuntan
dalam menjalankan pekerjaan profesionalnya tentu dapat dipetakan berdasarkan
kerangka teori perkembangan moral diatas. Ketika seorang akuntan tidak meletakkan
kepentingan diri dan kelompoknya serta dimensi emosional dan spiritual setelah menjadi
bagian dari pelaksanaan pekerjaan profesionalnya maka dia telah menjalankan tahap
terakhir dari teori ini. Bagaimanapun tahap terakhir dari pemikiran Kohlberg ini sangat
bernuansa ESC. Dengan mendiskusikan ini dapat mempertajam pemahaman pada
dimensi internal individu dalam menghadapi superioritas struktur sosial yang melingkupi
keberadaan individu tersebut.
Belajar pada diri Madia ketika para profesional akuntan lainnya dalam menjalankan
pekerjaan profesional masih menganggap kekayaan materi sebagai parameter
keberhasilan, dia justru berusaha memberikan definisi lain dari keberhasilan sebagai
seorang akuntan. Seseorang yang orientasi pencapaian material oleh kebanyakan
profesional ini didorong oleh rasionalitas ekonomi semata di mana seolah-olah hidup dan
kehidupan ini hanya dapat dipuaskan dan dipenuhi dengan sesuatu yang bernilai material
rasionalitas demikian telah mengabaikan dimensi lain dari hidup dan kehidupan di mana
sesuatu yang lebih bernilai dan bermakna menjadi hal yang sangat penting untuk dicapai
jika rasionalitas ini sangat mendominasi dan mendorong suatu aktivitas maka kehidupan
seseorang menjadi sangat kering dengan nilai-nilai dan makna. Madia juga
mengembangkan praktis lain dalam kehidupannya yaitu dimana ia merasa berhasil
apabila dapat membantu orang lain keluar dari kesulitan nya. Dengan pandang ini,
penerimaan suatu pekerjaan tidak semata didasarkan pada fee yang diterimanya. Bahkan
kerangka empowering diri klien ini menjadi salah satu motivasi yang mendasari

9
karakteristik profesional yang ingin dikembangkan terus oleh Madia dan KAP yang
dikelolanya. Perspektif seperti itu selaras dengan konstruksi nilai profesionalisme yang
pada dasarnya adalah memberikan layanan pada klien. Koen (2000:20) menyebutkan
bahwa kaum profesional adalah orang yang melayani klien dan klien adalah orang yang
dibantu oleh kaum profesional. Dengan ini sebab profesi dijalankan secara berbeda
dengan jenis pekerjaan lainnya di mana tujuan dilakukannya pekerjaan oleh seorang
profesional bukanlah untuk meningkatkan laba (Mathew & Parera, 1993: 278).
Prinsip nilai yang dikembangkan oleh Madia, di mana membantu klien dalam
melaksanakan suatu pekerjaan yang memerlukan keahlian profesional dengan tidak
semata-mata mendasarkan pada pencapaian keuntungan yang bersifat materi, namun
refleksi dari tingkat kemampuan tahapan perkembangan moral Madia. Bagaimanapun
pemahaman etika yang demikian merupakan sesuatu yang tidak lazim dalam alam
modern ini karena lazimnya seorang profesional bekerja atas dasar iming-iming jumlah
uang yang akan diterima, dengan ini maka penerimaan dan pelaksanaan suatu
penugasan profesional sangat ditentukan oleh besarnya jumlah uang yang ditawarkan
oleh klien. Jika terdapat pertimbangan lain yang dominan di luar kelaziman ini, maka hal
demikian merupakan suatu anomali. Di alam modernisme seperti sekarang ini,
keberhasilan dalam hidup selalu diukur atau dinilai dengan pencapaian yang bersifat
materiil. Seolah kepuasan manusia hanya dapat dipenuhi oleh sesuatu yang bersifat
materiIl, maka kepantasan atas penghargaan kinerja profesional haruslah selalu
berdasarkan nilai materi atau uang itu. Disinilah kemudian kehidupan modern selalu
menonjol secara penampilan yang materialistik dan secara fisik baik. Karakter modernitas
selalu mengutamakan sesuatu yang bersifat nyata dan riil. Hal demikian menunjukkan
bahwa kontruksi profesionalisme dalam kehidupan modern sangat paralel dengan tingkat
pre-conventional dari teori tahapan pengembangan moral.
Sebuah proses yang melahirkan kesadaran untuk menjalankan kehidupan dengan
pengutamaan sesuatu yang tidak sekedar bersifat materi dan sebuah kehidupan yang
dapat memberikan kemanfaatan kepada yang lain merupakan proses transformatif yang
berkelangsungan dengan kehidupan Madia. Sebab rasa yang dipenuhi oleh dinamika
interaksi diri dengan lingkungan sosial. Berhubungan dengan ini, yang bersifat mendasar
adalah penemuan Madia atas makna uang yang dalam konteks pemahaman struktur isi ini
dapat disebut sebagai agen ataupun aktor sosial yang berdaya .Apa yang dipahami oleh
media tentang kedua hal tersebut telah melampaui pemahaman kebanyakan para

10
profesional akuntan. Uang adalah sesuatu yang sangat penting tapi uang bukanlah
segalanya pun demikian membantu yang lain keluar dari kesulitan adalah sesuatu utama
dalam kehidupan pribadi dan kehidupan profesionalnya konteks pemahaman seperti ini
tentu tidak langsung secara fatalistik. Oleh karena itu bagaimanapun media dan KAP-nya
masih membutuhkan dana untuk menghidupkan diri, keluarga, serta staf dan KAP-nya.
Demikian pula membantu yang lain tidak berarti harus mengorbankan kepentingan diri dan
kepentingan masyarakat prioritas sehingga dapat menghasilkan keberadaan keduanya.
Keberadaan Madia dan KAP tidak dimaksudkan sebagai pekerjaan sosial dengan yayasan
sosial yang seharusnya murni memberikan layanan sosial tetapi konteksnya makna dalam
hubungan sosial dari keberadaan keduanya tampak mengemuka.
Fenomena yang terjadi pada Madia, merupakan perkembangan suatu kekuatan
emosional dan spiritual dalam melangsungkan kehidupan pribadi dan personalnya.
walaupun tidak dalam bentuk yang sangat sempurna setidaknya berbagai wacana dan
praksis yang diupayakan dan refleksi dalam kehidupan sehariannya ini mengindikasikan
hal yang realistis. Merujuk pada pernyataan Golaman (1996: 46) ciri suatu kekuatan
emosional antara lain adalah mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan
kesenangan, mengatur suasana hati, serta berempati dan berdoa. Kepemilikan uang yang
melimpah sebagai simbol menunjukkan pencapaian kesenangan duniawi tidaklah menjadi
hal utama bagi Madia. Dalam konteks seperti ini dia telah mengendalikan dorongan
hatinya untuk tidak berlebihan dalam memupuk kekayaan dan memburu ketenaran. Justru
dengan kelebihannya sebagai seorang profesional di harus mengalokasikan keahliannya
dengan memberikan empati kepada pihak lain. Membantu klien bagaimanapun
merupakan manifestasi dari empati yang tumbuh dari Madia. Dengan ini dia
mengembangkan pola KAP nya untuk tidak Kaku hanya berdasarkan nilai rupiah tertentu
dalam menerima sesuatu penugasan pekerjaan. Demikian pula suatu petugas yang diberi
penugasan, dalam bergerak tidak semata-mata hanya karena menentukan standar
profesional yang ada tidak laku terima.
Ini adalah sikap hidup yang dilandasi oleh perkembangan kecerdasan emosional
atau EQ di mana Madia menunjukkan tindakan empatik dan merasakan serta memahami
kondisi orang lain. Dengan ini dia ingin memberikan kontribusi kepada yang lain
sepanjang dia dapat melakukannya. Dengan mengembangkan sikap hidup seperti di atas,
Madia justru akan merasakan bahwa dia dapat menemukan hakikat dirinya sebagai
manusia. Ketika ini berlangsung maka dimensi SQ telah dikembangkan Madia. Penemuan

11
Madia bahwa didalam dirinya terdapat rasa tanggungjawab untuk berbuat tertentu untuk
membantu orang lain. Lebih dari itu kerangka membantu orang lain tidaklah didasarkan
oleh pentingnya untuk mendapatkan imbalan materi semata, tetapi lebih dari itu hubungan
yang lebih panjang dalam jalinan silaturahmi untuk mendapatkan kebahagiaan menjadi
dasar pertimbangannya. Hubungan seperti ini tidak dapat dibatasi oleh besarnya jumlah
uang yang harus diterima, di sinilah makna kehidupan yang muncul ketika seseorang
menentukan pilihan.
Sumber kebahagiaan sejati adalah kecerdasan spiritual. Bahagia yang sejati
dimaksud bukankah rasa kegembiraan atau rasa senang. Kita bisa makan enak kenyang
dan kemudian merasa senang, namun ini bukan rasa bahagia. Kita bisa bermain
bersenda-gurau dan kemudian merasa gembira ini juga bukan bahagia. Sebaliknya kita
bisa menolong orang lain, sakit badan, kehilangan uang namun kemudian muncul rasa
bahagia inilah bahagia yang sesungguhnya, bahagia karena merasa memiliki makna. Jadi
berbagai hal yang seperti karir, uang, benda-benda kesayangan, keunggulan bersaing
kekuasaan dan semua wujud peralihan kepemilikan di dunia ini tidak dapat memberikan
kebahagiaan kecuali diiringi dengan kecerdasan spiritual yang tinggi. Kecerdasan spiritual
atau SQ merujuk pada uraian Zohar dan Marshall (2001:8) merupakan kecerdasan dasar
jiwa yang berkaitan dengan penemuan makna atau nilai-nilai kehidupan, di mana
dengannya suatu cara dapat diikuti serta mendorong manusia untuk berjuang dan juga
memberikan suatu tujuan. Mendalami fenomena Madia ditemui bahwa ketika yang lainnya
dalam menjalankan pekerjaan profesional menganggap kekayaan materiil sebagai
parameter keberhasilan. Madia justru berusaha memberikan makna lain dari keberhasilan
sebagai seorang akuntan profesional. Kerangka makna yang terdapat pada dirinya adalah
bahwa dia merasa berhasil apabila dapat membantu orang lain keluar dari kesulitan.
Etika bukanlah sekedar masalah rasionalitas atau IQ, tetapi lebih dari itu dalam
masalah yang menyangkut dimensi emosional dan spiritual diri manusia atau ESQ.
Dimensi-dimensi ini tidak dipisahkan dalam pengembangan etika profesi. Kedua dimensi
ini perlu dipelihara secara profesional dan tidak terpisah begitu saja, karena sebagaimana
dikatakan oleh Martin (2003: 115): “Perhatikanlah sikap dan perilaku EQ yang tidak
dilandasi kehidupan spiritual. Dalam berbagai situasi, saya bisa belajar bermuka manis
dan tersenyum penuh keramahan dan kesopanannya. Saya bisa saja bertindak seakan-
akan baik hati, penuh keinginan untuk menolong. Tetapi ujian yang sesungguhnya bagi
saya adalah dibalik senyum serta kebaikan saya tersebut apakah saya memiliki motivasi

12
serta dasar nurani yang bersih? Sampai disini kita melihat bahwa EQ sebenarnya
bersinggungan dengan SQ tanpa EQ berkembang menjadi kekuatan jahat serta penuh
kepura-puraan sebab dibalik semua sikap dan perbuatan baik yang ditunjukkan, terdapat
alasan-alasan yang egosentris.”
Bagaimanapun dalam cengkraman modernisme masih terdapat sesuatu yang
menggembirakan pada diri Madia, dimana dia masih menyisakan kesadaran untuk dapat
menjalani hidupnya sebagai seorang profesional yang dilandasi oleh nilai-nilai moral
kehidupan sosial yang berbasis budaya lokal yang hakiki. Ini memang tidak mudah
dijalani, bahkan tantangan telah banyak dihadapinya. Upaya Madia yang demikian
setidaknya menggambarkan upaya pernyataan dari Hartojo Wignjowijoto dalam media
akuntansi (1999), yang berisi harapan terhadap pembenahan secara fundamental atas
keberadaan profesi di bidang akuntansi.
Tatanan dasar merupakan hal mutlak yang harus dijadikan pegangan setiap orang
yang menentukan pilihannya pada suatu jenis profesi termasuk juga profesi akuntan.
Tatanan dasar aturan baku yang berlaku secara umum antara lain berkaitan dengan visi,
nyali, dan hati nurani. Setiap orang yang memilih profesi tertentu harus memiliki visi
terlepas dari etika yang sudah ditetapkan. Guna mewujudkan visi itu diperlukan nyali atau
keberanian. Termasuk keberanian dalam menanggung resiko sepahit apapun. Pada
akhirnya yang terakhir adalah hati nurani jika sudah berbicara masalah benar atau salah
maka kita serahkan kepada Tuhan.

13
KESIMPULAN

Pembahasan mengenai praktik etika dan integrasi ESQ dalam KAP dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Kode etik akuntan yang ada banyak yang mengacu pada kode etik yang
diciptakan di Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. Hal ini tentu tidak sesuai
dengan beberapa budaya yang ada di Indonesia sehingga menyebabkan adanya
beberapa konflik dan kekurangan, yaitu tingginya tingkat individualistik para
akuntan dan fokus pada hal yang berbau matearilistik saja
2. Etika dan kondisi lingkungan sosial yang ada di lingkungan kerja merupakan
pertemuan antara sikap individu dan budaya yang sudah ada sebelumnya.
3. Kecerdasan emosional dan spiritual yang dimiliki membantu Madia mendobrak
keadaan mayoritas KAP lainnya dengan memiliki prinsip membantu sesama
tidak hanya fokus hal materialistik semata.

DAFTAR PUSTAKA

Ludigdo, Unti. 2007. Paradoks Etika Akuntan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

14

Anda mungkin juga menyukai