Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH ETIKA BISNIS & PROFESI

PRAKTIK ETIKA DAN INTEGRASI ESQ DALAM KAP

Disusun Oleh :

Gabrielle Happy P.I (200810301042)

Zainatul Qodriyati (200810301129)

Farizal Wahyu Firdaus (180810301076)

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS JEMBER

2021

i
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmat dan karunianya yang diberikan, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas
Mata Kuliah Etika Bisnis dan Profesi. Adapun judul dari makalah ini yaitu “PRAKTIK
ETIKA DAN INTEGRASI ESQ DALAM KAP “.

Dengan adanya makalah ini, diharapkan bisa menambah pengetahuan kita


tentang bagaimana cara yang tepat untuk bisa meningkatkan proses pengambilan
keputusan yang baik dan benar. Besar harapan penulis agar makalah ini dapat
memberikan kontribusi yang positif dan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan
kita. Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Untuk itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca, agar
dalam penyusunan makalah berikutnya bisa lebih baik lagi.

Jember, 10 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 1

1.3 Tujuan 1

BAB II PEMBAHASAN 2

2.1 Sintesa Kontekstual Suatu Praktik Etika 2

2.2 ESQ Sebagai Kearifan Lokal dalam Praktik Etika 6

BAB III PENUTUP 17

3.1 Kesimpulan 17

DAFTAR PUSTAKA 21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Etika menjadi hal yang tak bisa dilepaskan dalam profesi yang ada dalam
keseharian. Kode etik dan peraturan etika lainnya dibentuk semata-mata agar terjadi
keterarutan sehingga tidak ada penyelewengan atau fraud yang dilakukan oleh profesi
tersebut. Dalam profesi akuntan kita mengenal banyak organisasi profesi akuntan baik
di tingkat nasional yaitu IAI di Indonesia mengacu pada kode etik tradisional. Hal inilah
yang menjadi awal permasalahan muncul. Beberapa hal yang diatur dalam kode etik
tentu tidak sesuai dengan budaya yang ada di Indonesia sehingga terkadang membuat
akuntan hanya mengedepankan individualitas dan materialistik semata. Pada
kesempatan kali ini penulis akan membahas tentang sintesa kontekstual suatu praktik
etika dan integrasi ESQ dalam KAP. Penulis akan menguraikan mengenai sintesa
kontekstual suatu praktik etika dan ESQ sebagai kearifan lokal dalam praktik etika.
Pembahasan kali ini menekankan pada kasus Madia dan KAP yang dimilikinya yaitu
KAP Dr. Madia Subakti.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sintesa kontekstual suatu praktik etika ?


2. Mengapa ESQ dalam KAP sebagai kearifan lokal dalam praktik etika ?
3. Apa saja ragam dari sintesa kontekstual suatu praktik etika ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui bagaimana sintesa kontekstual suatu praktik etika


2. Untuk mengetahui mengapa ESQ dalam KAP sebagai kearifan lokal dalam
praktik etika.
3. Untuk mengetahui ragam apa saja yang ada dalam sintesa kontekstual suatu
praktik etika

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sintesa Kontekstual Suatu Praktik Etika


Konsepsi srukturasi berawal dari sulitnya pertemuan antara cara pandang
strukturan dengan individu atau antara obyektif dan subyektif. Naun untuk menuju
pemahaman realistis social atas praktik etika, bagaimanapun tidak bisa dilakukan
apabila mengabaikan aspek structural masyarakat maupun aspek individu dari diri
manusia. Peneliti dengan langkah “dualistik”nya bermaksud mempermudah
penggambaran atas realistis social dalam praksis etika di organisasi. Sementara itu
gagasan dasar dilakukannya penelitian ini berdasarkan konsepsi strukturasi dalam
konteks organisasi.
Suatu konsepsi dalam strukturasi adalah keberadaan struktur yang tidak selalu
membatasi (constraining), tetapi juga memberdayakan atau memungkinkan (enabling)
agen untuk mengkreasi proses kehidupannya. Konsepsinya adalah bahwa agensi
merujuk pada keadaan agen. Dalam hal ini agen tersebut harus mampu memberikan
sederet kekuasan kausal, termasuk mempengaruhi kekuasaan-kekuasaan yang
disebarkan oleh orang lain. Struktur dalam kerangka strukturasi dimaksudkan sebagai
aturan dan sumber daya atau sederet hubungan transformasi yang diorganisasikan
sebagai system sosial.
Aturan dan sumber day aini secara rekursif diimplementasikan dalam
reproduksi sosial, dimana karakteristk system sosial terlambang dengan memiliki sifat-
sifat struktural. Sistem sosial merupakan hubungan yang diorganisasikan sebagai
praktik sosial regular. Untuk itu, menganalisis struktur sosial berarti menganalisis
mode-mode tempat diproduksi dan direproduksinya sistem-sistem dalam interaksi yang
didasarkan pada aktivitas utama aktor ditempat tertentu yang menggunakan aturan-
aturan sumber daya dalam konteks tindakan yang beraneka ragam.

1) Individu dan Organisasi dalam Konteks Interaksi


Memahami pola etika yang berlangsung di KAP “Drs. Madia Subakti” dapat
dihubungkan dengan pertanyaan milik Polanyi (2001:77) dimana tindakan manusia
melibatkan tanggung jawab yang memunculkan pertanyaan tentang motif. Terdapat
beberapa bentuk implisit dari institusionalisasi etika, diantaranya adalah reward
system, sistem evaluasi kerja, sistem promosi, budaya organisasi, kepemimpinan etis,
dukungan dan manejemen puncak, dan saluran komunikasi yang terbuka. Proses yang

2
berlangsung secara informal ini dapat mengalirkan bentuk kerja sama yang saling
mengisi atas kekurangan yang lain.
Terlepas dari ketiadaan pernyataan eksplisit yang terkait dengan aspek
transendeni menusia, pencermatan dimensi kecerdasan dan spiritual atas sosok madia
sebgai king maker. Madia adalah seorang minoritas yang berkiprah ditengah
masyarakat yang mayoritas beragama islaam, tapi eksis dalam interaksi sehari-hari
Madia adalah suatu sosok yang inklusif. Hal ini juga ditunjukkan dalam pluralitas staf
professional dan karyawan yang bekerja di KAP nya.
Terlepas dari sikap esoterisnya dalam beragama dewasa ini, Madia
mengindikasikan kecenderungan atas berkembangnya kecerdasan emosional dan
spiritual dalam dirinya. Ini merupakan sebuah potensi yang positif untuk menciptakan
suasana kondusif dalam menumbuhkan iklim yang lebih etis di KAP Drs. Madia
Subakti. Hal tersebut masih pada ranah kecerdasan emosional. Namun demikian,
pernyataan-pernyataan penuh makna yang dilontarkan oleh Madia dan beberapa
tindakan yang telah dilakukannya dapat mengindikasikan kecenderungan
berkembangnya kecerdasan spiritual tersebut. Sikap diri yang menunjukkan
berkembangnya empati sebagaimana dimiliki Madia dan kemudian dielaborasikan
pada stafnya untuk dibawa dalam melaksanakan pekerjaan professional merupakan
potensi yang sangat kuat untuk melangsungkan iklim etis di organisasi. Empati adalah
sebuah human faculty yang berakar mendalam. Empati memberi trigger pada domain
etika menentukan apakah seseorang merasakan bahwa dirinya sedang menghadapi
situasi etis. Sikap ini seminimal apapun telah terinternalisai di KAP Drs. Madia Subakti
dengan kemauan untuk membantu klien tertentu agar berdaya dalam menghadapi
pihak lain. Semangat membantu ini juga dibawa oleh stafnya ketika memberika jasa
professional lainnya.
Dengan orientasi jangka panjangnya, Madia sebagai agen organisasi KAP
menanamkan pula tentang makna menjalin hubungan jangka Panjang dengan klien.
Secara implisit tindakan empatik ini dikembangkan untuk mendudukkan klien sebagai
subyek, bukan hanya sekedar obyek dalam suatu proses dalam pelaksanaan
pekerjaan professional.

2) Individu dan Organisasi dalam Setting Lingkungan Sosial


Bagaimana daya agensi individu dan organisasi KAP Drs. Madia Subakti atas
struktur sosial yang melingkupinya. Walaupun untuk beberapa hal seperti misalnya
dalam memberikan opini di luar opini wajar (tanpa atau dengan pengecualian) atas

3
struktur sosial yang melingkupinya. Madia dan KAP lebih lemah, lebih-lebih dalam
daerah dimana orang berusaha dengan jalan pintas untuk segera dapat menikmati
kekayaan.
Dari uraian diatas, ternyata daya pengaruh lingkungan lebih kuat dibandingkan
dengan daya agensi individu maupun organisasi KAP untuk mempengaruhi
lingkungannya dalam batas tertentu. Individu dan KAP Drs. Madia Subakti telah turut
memberdayakan kliennya dalam menghadapi suatu tekanan dari lingkungan sosial
yang kurang baik dengan meyakinkan klien akan posisi yang tepat dalam menghadapi
penyimpangan perilaku professional petugas pajak, tentu saja KAP Drs. Madia Subakti
melalui stafnya telahh turut mengembangkan sikap yang lebih baik bagi aparatur
Pemerintah untuk tidak terus larut dalam keadaan zaman.
Daya agensi yang demikian muncul dan mungkin berkembang karena
kepemilikan atas pengetahuan perpajakan yang memadai pada diri statistik.
Kepimilikan pengetahuan ini merupakan representasi dari terdapatnya struktur
dominasi atas sumber daya pengetahuan di bidang perpajakan dan akuntansi, titik
dengan dominasi ini, KAP mampu mendorong klien dan memotong kesempurnaan
petugas pajak. Bagaimanapun peran seperti ini hanyalah ibarat menanamkan
sepasang benih ikan yang langka di lautan yang terhampar sedemikian luasnya tetapi
sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk turut merekonstruksi situasi sosial yang
sudah tidak baik ini, yang dilakukan oleh KAP “Drs. Madia Subakti” bukanlah ke sia-
siaan belaka.
Demikian halnya dengan penolakan KAP Madia untuk memberikan opini wajar
kepada klien yang memang berdasarkan pertimbangan tidak layak untuk diberikan
opini tersebut. Walaupun kemudian berakibat kerugian ekonomis bagi diri individu dan
KAP, tindakan ini akan dapat memberikan sumbangan bagi perbaikan situasi
lingkungan sosial yang rusak. Dalam batas tertentu, individu dan KKP tetap
mempunyai peran agensi yang dapat dimainkan dalam proses interaktif dengan
lingkungan sosial yang mengitarinya. Proses mencermati mudah penstrukturan etika
dalam konteks seperti ini, dengan mendalami fenomena diri Madia dan
operasionalisasi KAP, ternyata masih terdapat pengakuan atas struktur dominasi dari
Lembaga pengatur profesi. Kedua lembaga pengatur ini lebih bersifat kekuasaan politis
dibandingkan ekonomis. Kedua lembaga tersebut mempunyai daya untuk
memaksakan suatu tindakan kepada Madia dan KAPnya dengan mengacu pada kode
etik IAI dan peraturan perundang-undangan. Peraturan profesi dan perundang-
undangan ini adalah sebuah struktur legitimasi dimana Madia dan KAP nya telah

4
merasakan adanya daya legitimasi ini, dimana kemudian mereka mendapatkan sanksi
etis dan administratif.
Sanksi ini tidak sekedar merupakan pembatasan atas praktik tertentu yang
harus dijalankan oleh Madia dan KAP-nya. Sanksi ini sekaligus berarti
memberdayakan Madia dan KAP-nya untuk memiliki sensitivitas etika yang lebih baik
dalam menjalankan tugas professional. Penyikapan positif Madia dan staf KAP atas
sanksi yang diterimanya menunjukkan arah pemberdayaan diri menjadi lebih baik di
masa yang akan datang. Pada sisi dimensi realitas lainnya, kondisi sebagaimana
terdeskripsikan diatas secar dinamis selalu bersinggungan dengan kenyataan dalam
praktik etika pada lingkungan sosial yang lebih luas. Mencermati situasi seperti ini
Madia berkeyakinan bahwa pada akhirnya secara ilmiah akan terjadi reaksi klien mana
yang beritikan untuk berbisnis secara baik dan mana yang tidak. Dia masih menaruh
harapan bahwa dengan upayanya untuk mengembangkan praktik secara baik akhirnya
dia mendapatkan klien yang baik pula.

3) Ringkasan

Madia memainkan peran penting sebagai aktor utama dalam KAP "Drs. Madia
Subakti". Beliau memegang kekuasaan ekonomi sekaligus politik dalam organisasi.
Dengan ini dia dapat menentukan berbagai arah dalam pengelolaan KAP serta
mengkreasi suatu situasi praktik profesional yang lebih etis di KAP-nya. Infusi enka
yang dilakukannya secara informal mendorong staf profesional di KAP-nya untuk
mempunyai kesadaran etika yang memadai. Walaupun tidak dalam situasi yang
sempurna, upaya Beliau dapat menumbuhkan kesadaran diri yang kuat kepada para
staf untuk selalu berupaya mengedepankan etika dalam praktik profeslonal. Namun
dilakukan oleh Madia dan staf profesionalnya tidaklah sebatas dalam kerangka etika
profesi akuntan semata. Madia mengembangkan kesadaran etis yang lain untuk turut
membartu keberdayaan klien dalam menghadapi situasi sulitnya.

Bentuk interaksi antara individu dan organisasi KAP dengan lingkungan


sosialnya berlangsung dalam berbagai dimensi praktik profesional. Dalam batas peran
marginalnya, individu dan KAP berupaya untuk mengembangkan bentuk interaksi yang
timbal balik. Dalam situasi ini, individu dan KAP tidak menempatkan diri pada posisi
yang selalu tidak berdaya atas tekanan dari pihak eksternalnya (lingkungan sosialnya).
Dengan ini, dalam batas yang minimal sekalipun, dia juga mempunyai peran dalam
merekonstruksi suatu praktik profesional yang lebih baik. Walaupun pada

5
kenyataannya, lingkungan sosial mempunyai daya tekan yang kuat atas
keberlangsungan suatu praktik etika.

Konteks struktur yang membatasi dan memberdayakan dalam kasus ini sangat
tergantung pada dimensi ternal individu agen. Ketika kolaborasi dimensi internal
individu agen kuat, yang juga meliputi aspek spiritualitas, maka praktik etika akan
berlangsung secara positif dan lebih bermakna. Dalam batasan yang dimilikinya Madia
sebagai agen tidak selamanya marginal dalam tekanan struktur sosialnya.
Berkembangnya kesadaran untuk tidak selalu berorientasi materi menempatkan idiom
"membantu klien" sebagai keutamaan dan pendekatannya yang informal dan
pengelolaan KAP sehingga berdampak atas kebebasan berkreasi bagi staf KAP-nya
adalah reproduksi nilai yang tidak begitu saja muncul. Proses ini, bagaimanapun, telah
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang.

Keadaan dan keberadaan suatu struktur sosial juga dipengaruhi dan


mempengaruhi keadaan dan keberadaan struktur sosial lainnya. Demikian halnya
keadaan dan keberadaan agen secara timbal balik juga saling mempengaruhi keadaan
dan keberadaan struktur sosialnya.

B. ESQ Sebagai Kearifan Lokal dalam Praksis Etika

Etika dalam profesi akuntan di Indonesia belum menjadi arus utama baik dalam segi
tatanan wacana maupun praksis. Etika memang bersifat inners dari segi pengukuran
kuantitatif tidak mudah sehingga pengembangan etika bersifat jangka panjang dan
bergantung pada beberapa factor. Dapat diibaratkan pengembangan etika sebagai
sebuah investasi dimana keuntungannya tidak dapat dinikmati segara dalam jangka
pendek. Pada bab ini lebih berfokus pada fenomena pengutamaan sesuatu yang
bersifat di luar pandangan materialism dalam kehidupan professional, pengelolaan
KAP yang cenderung mengkreasi suatu basis nilai yang pencapaian kejayaan dan
keuntungan berupa materi bukanlah yang utama dalam pekerjaan professional.

1) Kearifan Lokal dalam Arus Globalisasi


Dewasa ini pengembangan akuntansi dan profesionalisme akunta berlangsung
dalam suasana yang kapitalistik. Informasi yang dihasilkan akuntan diorientasikan
untuk memenuhi kepentingan para pemainan pasar dalam sistem yang liberalistik dan

6
kapitalistik. Walaupun apa yang terjadi pada akuntan di Indonesia dan Ameika Serikat
tidak selalu sama namun dalam hal pengembangan akuntan Indonesia selalu
berpatokan pada pengembangan akuntan Amerika Serikat, sehingga bukan suatu
kebetulan jika wacana dan praksis akuntan Indonesia di warnai dengan wacana dan
praksis yang terjadi di Ameika Serikat.
Namun mengingat perbedaan budaya dan kompleksitas juga menimbulkan
persoalan dimana budaya di Amerika Serikar lebih menekankan dimensi
individualisme, namun terdapat kelebihan nilai-nilai yang dirumuskan dengan
memperhatikan nilai bagi profesi. Kebanyakan filsuf menerima saja keberadaan etika
sebagai sesuatu terberi, sesuatu historis dan tidak menaruh perhatian untuk
menemukan penyebab validasi objektifnya. Monopoli terhadap moral menjadi
fenomena sosial yang mendominasi pihak wacana, dimana kalangan ini menetapkan
masyarakat sebagai sumber standar dan kriteria etika. Yang mengakibatkan
terjebaknya masyarakat dalam wacana dan praktis etika yang dikembangkan
masyarakat Barat dimana yang baik di masyarakat Barat pasti baik bagi masyarakat
lainnya, sehingga profesi akuntan Indonesia dengan serta merta mengadopsinya.
Misalnya pemberian jasa yang dilakukan para profesional mengacu pada
pengertian masyarakat Barat yang kapitalistik, dimana profesional ditempatkan pada
pemenuhan ambisi para kapitalistik. Maka dari itu profesionalisme mengacu pada sifat
materialistik dimana setting pelaksanaannya akan dikaitkan dengan nilai rupiah yang
mungkin akan ditetapkan dengan ini dianggap sebagai anomali.
Pengembangan profesionalisme akuntan harus diperlukan secara hati-hati dalam
memahami etika dan standar profesi lainnya sehingga tidak terjebak dalam arus
wacana global yang dominan. Dalam praksis etika yang diekplorasi setting di KAP
“Drs. Madia Subakti” dimana adanya pengingkaran terhadap profesi akuntan dan
standar profesional akuntan Indonesia khususnya profesi akuntan publik. Yang
mengakibakan pengingkaran terhadap eksistensi etika profesi yang telah mengingkari
lokalitas sosial dan budaya dimana etika itu harus dipraktekan. Dalam Kode Etik IAI
tentang Prinsip Etika Profesi dan Aturan Etika KAP yang berpedoman dari The AICPA
Code of Professional Conduct yang tidak terdapat adanya perspektif sosiologis dan
antropologis masyarakat Indonesia, khususnya tidak ada proses hearing secara
memadai.
Dewasa ini masyarakat Indonesia cenderung tidak menempatkan hakekat
kebertuhanan. Pada sidang Komisi C di Kongres IAI tahun 1998 rumusan hasil sidang
menghapus kata Tuhan dimana bagaimanapun pembahasan atas sesuatu yang

7
sangat penting dan substansial bagi keberadaan profesi harus dilakukan secara
cermat dan hati-hati sehingga tidak menghasilkan ironis yang tidak hanya mengekor
dari ketentuan yang sudah ada tanpa adanya pengkritisan dari masyarakat akuntansi
Indonesia.
Dalam konteks aturan etika KAP yang diwacanakan dan dipraksiskan oleh Madia
secara “de jure” dalam idiom “membantu klien” yang tentunya menyalahi
“independensi” akuntan dikarenakan dengan membantu klien dalam penyusunan
laporan keuangan yang kemudian diiauditnya jelas akan berdampak adanya
pemberian opini. Penyusunan laporan keuangan dengan tidak adanya penyataan
formal dari KAP atas pemberian jasa tentu saja bertentangan dengan independensi
dalam penampilan (in apprearance) maupun independensi dalam fakta (in fact) serta
juga bertentangan dengan prinsip etika “obyektifitas” yang berisi “hubungan-hubungan
yang memungkinkan prasangka, bias atau pengaruh lainnya untuk melanggar
obyektifitas harus dihindari” (IAI, 1998: 304).
Idiom “membatu klien” dapat bermakna ganda, dalam bahasa bisnis ini berarti
strategi untuk menarik klien agar mau menerima penawaran dari KAP, dan dengan
demikian mendapatkan rejeki untuk mengempulkan asap daour KAP serta dapat
berarti juga sebagai ekspresi kepedulian Madia dan staf profesional atas nasib
perusahaan kecil jika benar-benar dibantu untuk memenuhi pesyaratan bank. Dengan
“membantu klien” dapat membantu harmoni dalam kehidupan bisnis klien dan juga
kehidupan KAP. Sementara itu dalam feminisme, simpati kepada yang lemah menjadi
hal penting dalam masyarakat disamping dominannya nilai-nilai untuk selalu
memperhatikan yang lain (Hofstede, 1991: 96).
“membantu klien” bagi Madina untuk merefleksikan dimensi budaya feminin dan
etika sosial Jawa ini. Wacana dan praksis yang berkembang di KAP selaras dengan
nilainilai yang terdapat pada etikas sosial Jawa yang berbeda dengan di Amerika
Serikat dan negara Barat lainnya dimana dimensi budayanya adalah individualis dan
maskulin. Dalam dimensi dimensi ini yang terpenting adalah keberadaan diri individu
(Hofstede, 1991: 73), serta tidak perlu memperhatikan yang lain karena yang penting
adalah uang dan ukuran keberhasilan adalah yang bersifat material (Hofstede, 1991:
96), pada akhirnya auditing yang pada hakikatnya nya sebagai profesi tidak lebih
sebagai sebuah Bisnis (Power, 2003).
Reiter (1997) megkritis lebih lanjut sebagai isu wacana utama dalam penegakan
etika akuntan, kerangka independensi yang dikembangkan sekarang terlalu simplitik
dan secara fundamental bias. Dengan adanya perbadaan budaya di Amerika Serikat

8
dan negara Barat dapat mempengaruhi cara pandang terhadap hubungan antara
profesional akuntan dengan kliennya, dengan cara pandang menilai manusia secara
individualis, mengedepankan rasionalitas ekonomi, otonomi individu, pemenuhan
kepentingan diri dan isolasi. Ethics of right menjadi landasan berlangsungnya
independesi akuntan, dimana individu harus terpisah dengan kliennya, hubungannya
bersifat hirarkis atau kontraktual, menekankan pentingnya otonomi dan self-sufficient,
serta akhirnya independesi menjadi kekuatan.
Dimensi budaya yang feminin semestinya kerangka independesi yang
dikembangkan juga merujk pada cara pandang yang bersifat conneted, cara pandang
ini ditandai dengan orientasi nilai-nilai manusia sebagai makhluk bermasyarakat,
mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, keterhubungan dengan yang lain, mutualitas,
dan interaksi (Reiter, 1997), sehingga menjadi landasan berlangsungnya independensi
akuntan. Dengan demikian akuntan merupakan individu yang interdependen dengan
keberadaan kliennya, hubungannya mengedepankan perhatian dan respon,
menekankan pentingnya hubungan interdependensi dan interpersonal sefta akhirnya
kepedulian menjadimkekuatan.
Standar pengendalian mutu telah secara jelas menyebutkan berbagai aspek yang
harus ada secara formal dan jelas dalam pengelolaan KAP tetapi yang terjadi malah
adanya pola informal dan “konvensional” di KAP “Drs. Madia Subakti”, kejadian ini
secara “de jure” bukan sesuatu yang tepat dipandang dari kacamata organisasi
profesional dimana standar pengedalian mutu lebih mengambarkan suasana budaya
“hidup dalam tatan kerja” dengan segala dimensi, tetapi dimensi budaya Indonesia
adalah feminin (Hofsted, 1991: 96) dimana suasana budayanya adalah “kerja dalam
tatanan hidup”.
Kompleksitas masalah yang dihadapi akuntan di Indonesia tentu berbeda dengan
yang melingkupi masyarakat lainnya. Tatanan hukum dan politik yang ada di Ameika
Serikat dan negara Barat lainnya sudah sedemikian mapan dibandingkan di Indonesia
tidak jauh beda dengan yang berkaitan skala dan kapasitas perusahaan yang ditangani
oleh akuntan di negara-negara lain tersebut mungkin juga berbada dengan yang
ditangani akuntan Indonesia.

2) Manifestasi kehadiran ESQ dalam manajemen KAP


Keunikan pandangan dan tindakan juga terjadi pada organisasi KAP “Drs.
Madia Subakti” beranggapan bahwa masalah etika merupakan masalah individu
dimana penyikapannya dan pemaknaannya atas masalah etika tersebut kembali ke

9
individu masing-masing. Diakui oleh Madia kode etik akuntan ada, namun
penafsirannya tergantung individu-individu sendiri. Dimana kode etik dianggap sebagai
sesuatu yang abstrak, fenomena tersebut berkaitan dengan keadaan dan kapasitas diri
masing-masing individu akuntan. Kode etik dipahami sebagai dorongan yang bersifat
eksternal bagi individu dan doronagan internal ditentukan oleh keadaan dan kapasitas
diri masingmasing individu tersebut.
Kohlberg beranggapan tingakta perkembangan moral dapat diletakkan pada titik
awal diskusi yang berkaitan dengan persoalan keberadaan dimensi emosionalitas dan
spiritualitas dalam suatu praksis profesional, dimana perkembangan moral terdapat
tiga tingkatan yaitu pre-conventional, conventional, dan post-convevtional. Seorang
akuntan dalam menjalankan pekerjaan profesionalnya tentu dapat dipetakan
berdasarkan kerangka teori perkembangan moral diatas. Ketika seorang akuntan tidak
meletakkan kepentingan diri dan kelompoknya serta dimensi emosional dan spiritual
setelah menjadi bagian dari pelaksanaan pekerjaan profesionalnya maka dia telah
menjalankan Tahap terakhir dari teori ini, bagaimanapun Tahap terakhir dari pemikiran
Kohlberg ini sangat bernuansa ESC. Dengan mendiskusikan ini dapat mempertajam
pemahamn pada dimensi internal individu dalam menghadapi superioritas struktur
sosial yang melingkupi keberadaan individu tersebut.

Dewasa ini, orientasi pencapaian kekayaan materiil oleh kebanyakan


profesioanl didorong oleh rasionalitas ekonomis semata, dimana seolah-olah hidup dan
kehidupan ini hanya dapat dipuaskan dan dipenuhi dengan sesuatu yang berniali
materiil. Jika rasionalitas ini terus digunakan, maka rasionalitas ini telah menjadikan
kita mengabaikan dimensi lain dari hidup dan kehidupan, dimana sesuatu yang lebih
bernilai dan bermakna menjadi hal yang sangat penting untuk dicapai.

Madia mengembangkan praksis lain dalam menjalankan aktivitas


profesionalnya, yakni dengan menerapkan keyakinan pada diri mereka bahwa mereka
akan merasa berhasil apabila dapat membantu orang lain (klien) keluar dari
kesulitannya. Maka dari itu, karena keyakinan ini, maka mereka telah bekerja dengan
tidak hanya menerapkan pekerjaan berdasarkan fee yang diterima saja. Keyakinan ini
telah membuktikan bahwa Madia telah menerapkan motivasi yang didasarkan pada
karakteristik profesioanl yang terus dikembangkan oleh Madia dan KAP yang
dikelolanya. Hal ini didasarkan pada pernyataan dari Koehn yang menyebutkan bahwa
Kaum profesional adalah orang yang melayani klien. Klien adalah orang yang dibantu
oleh kaum professional. Sedangkan tujuan untuk melakukan pekerjaan yang dilakukan

10
oleh seorang professional adalah untuk meningkatkan laba. (Mathews & Perera, 1993:
278).

Prinsip nilai yang dikembangkan oleh Madia, merupakan refleksi dari tingkatan
maupun tahapan perkembangan moral dari Madia. Hal ini dikarenakan bagaimanapun
dewasa ini, pemahaman etika yang demikian (yang diterapkan Madia), merupakan
sesuatu yang tidak lazim bagi seorang professional. Karena dewasa ini, banyak
seorang professional yang bekerja didasarkan pad aiming-iming jumlah uang yang
akan diterima. Jika terdapat pertimbangan lain yang dominan diluar kelaziman, maka
hal ini dianggap merupakan suatu kejadian yang anomaly. Didalam modernism seperti
sekarang, keberhasilan dalam hidup selalu diukur atau dinilai dengan pencapaian yang
bersifat materiil. Seolah kepuasan manusia hanya dapat dipenuhi oleh sesuatu yang
bersifat materiil, maka kepantasan atas penghargaan kinerja professional haruslah
selalu berdasarkan nilai materi itu. Disinilah kemudian kehidupan modern selalu
menonjolkan corak penampilan yang materialistic dan secara fisik baik. Karakter
modernitas selalu mengutamakan sesuatu yang bersifat nyata dan riil. Hal demikian ini
yang menunjukkan bahwa konstruksi profesionalisme dalam kehidupan modern sangat
parallel dengan tingkatan pre-conventional dari teori tahapan pengembangan moral.

Kehidupan merupakan proses dari serangkaian peristiwa yang dialami oleh


seseorang. Demikian pula dengan kehidupan seorang individu untuk mencapai suatu
kesadaran diri untuk melakukan berbagai keutamaan. Sebuah proses yang melahirkan
kesadaran untuk menjalani kehidupan dengan pengutamaan sesuatu yang tidak
sekedar bersifat materi dan sebuah kehidupan yang dapat memberikan kemanfaatan
kepada yang lain, yang merupakan proses transformative yang berkelangsungan
dalam kehidupan Madia. Sebuah proses yang dipenuhi oleh dinamika interaksi diri
dengan lingkungan sosialnya. Berhubungan dengan ini, yang bersifat mendasar adalah
penemuan Madia atas makna uang, dan pelaksanaan pekerjaan professional. Sebagai
individu yang dalam konteks pemahaman stukturasi ini, dapat disebut sebagai agen
ataupun actor sosial yang berdaya, dan apa yang dipahami oleh Madia tentang kedua
hal tersebut, telah melampaui pemahaman kebanyakan para professional akuntan.
Uang adalah sesuatu yang sangat penting, tapi uang bukanlah segalanya.

Konteks pemahaman seperti ini tidak berlangsung secara fatalistic, oleh karena
itu, bagaimanapun Madia dan KAP-nya masih membutuhkan dana untuk menghidupi
diri, keluarga, serta staf dan KAP-nya. Demikian pula membantu yang lain tidak berarti
harus mengorbankan kepentingan diri dan kepentingan KAP secara apriori sehingga

11
dapat menghancurkan keberadaan keduanya. Keberadaan Madia dan KAP tidak
dimaksudkan sebagai pekerja sosial dan yayasan sosial yang seharusnya murni
memberikan layanan sosial, tetpai konteks makna dalam hubungan sosial dari
keberadaan keduanya tampak mengemuka.

Mencermati lebih lanjut atas fenomena Madia, pada dirinya telah berkembang
suatu kekuatan emosional dan spiritual dalam melangsungkan kehidupan pribadi dan
profesionalnya. Hal ini berdasarkan pada pernyataan Goleman (1996: 45), yakni ciri
suatu kekuatan emosional (kecerdasan emosional) adalah mengendalikan dorongan
hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, serta berempati
dan berdoa. Kepemilikan uang yang melimpah sebagai symbol menuju pencapaian
kesenangan duniawi tidaklah menjadi hal yang utama bagi Madia. Dalam konteks ini,
telah berarti bahwa Madia telah mengendalikan dorongan hatinya untuk tidak
berlebihan dalam memupuk kekayaan dan memburu kesenangan. Justru dengan
kelebihan yang dimiliki sebagai seorang yang profesional, Madia juga masih
memberikan empati kepada phak lain, yakni membantu klien, bagaimanapun keadaan
kliennya. Dengan ini, Madia telah mengembangkan pola di KAP-nya untuk tidak kaku
hanya berdasarkan nilai rupiah tertentu dalam menerima suatu penugasan pekerjaan.
Selain itu, penugasan pekerjaan tidak mesti ditolak hanya karena menurut standar
professional yang ada, yang tidak layak untuk diterima.

Ini adalah sikap hidup yang dilandasi oleh berkembangnya kecerdasan


emosional (EQ) dimana Madia menunjukkan tindakan empatik, dengan merasakan dan
memahami kondisi orang lain. Dengan ini Madia ingin memberikan kontribusi kepada
yang lain, sepanjang dia bisa melakukan pekerjaannya. Menelusuri jejak kehidupan
Madia, telah menunjukkan bahwa sikap hidup yang dikembangkan Madia juga didasari
atas upaya pencapaian makna dalam hidup. Dengan sikap tersebut, madia akan
merasakan bahwa dia dapat menemukan hakikat dirinya sebagai manusia. Ketika ini
berlangsung, maka dimensi SQ juga telah dikembangkan oleh Madia. Hubungan yang
lebih panjang dalam jalinan silaturrahmi untuk mendapatkan kebahagiaan menjadi
dasar pertimbangannya. Hubungan seperti ini tidaklah dapat dibatasi oleh besarnya
jumlah uang harus diterimanya. Disinilah makna kehidupan muncul ketika seseorang
menentukan pilihan (Rakhmat, 2001: xxiv). Selaras dengan ini, Ummah dkk. (2003: 43)
mengungkapkan: “Dapat dikatakan bahwa sumber kebahagiaan sejati adalah
kecerdasan spiritual. Bahagia yang dimaksud bukanlah rasa gembira atau rasa
senang. Namun, ini bukan rasa bahagia. Kita bisa bermain dan bersenda gurau, dan

12
kemudian merasa ge,bira. Ini juga bukan bahagia. Sebalikya, kita bisa menolong orang
lain, yang sakit badan atau kehilangan uang, kemudian muncul rasa bahagia. Maka
inilah yang disebut dengan bahagia yang sesungguhnya, bahagia karena merasa
memiliki makna. Jadi, berbagai hal didunia tidak dapat memberikan kebahagiaan,
kecuali diiringi dengan kecerdasan spiritual yang tinggi. kecerdasan untuk memberi
makna. Tanpa makna, berarti taka da bahagia.”

Kecerdasan spiritual (SQ) merujuk pada uraian Zohar dan Marshall (2001: 8),
merupakan kecerdasan jiwa yang berkaitan dengan penemuan makna atau nilai-nilai
kehidupan, dimana dengannya suatu cara dapat diikuti serta mendorong manusia
untuk berjuang dan juga memberi suatu tujuan. Mendalami fenomena Madia, ditemui
bahwa ketika yang lain dalam menjalani pekerjaan professional masih menganggap
kekayaan materiil sebagai parameter keberhasilan, Madia justru berusaha memberikan
makna lain dari keberhasilan sebagai seorang akuntan professional. Kerangka makna
yang terdapat pada dirinya adalah bahwa dia merasa berhasil apabila dapat membantu
orang lain (termasuk klien) keluar dari kesulitannya. Untuk perusahaan kecil yang tidak
mempunyai catatan akuntansi yang memadai, sementara perusahaan membutuhkan
akses pendanaan ke bank dan pihak bank mensyaratkan adanya laporan keuangan
auditan, maka Madia menegaskan kepada stafnya untuk membantunya dengan
memberikan bimbingan pada perusahaan tersebut dalam menyusun laporan keuangan
dan sekaligus bimbingan untuk melakukan audit. Fee yang diterima hanya untuk audit
saja. Hal ini merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk memberikan arti positif
kepada pihak lain.

Dari fenomena Madia, bisa disimpulkan bahwa Madia dalam mengembangkan


potensi SQ-nya, Madia berani melawan konvensi para professional. Madia berani
melakukan hal yang berbeda dalam memaknai objektifitas dan independensi sebagai
akuntan dalam praktik profesionalnya, dimana dengan membantu klien, terdapat
potensi konflik kepentingan. Tentunya dalam kerangka pengertian konvensional atas
profeionalisme, hal demikian dapat dianggap menyimpang. Namun, jika dihubungkan
dengan pernyataan Zohar & Marshall (2001: 14), wacana dan praksis yang dilakukan
Madia justru menguatkan terdapatnya potensi berkembangnya SQ. dalam hal ini Madia
telah mengembangkan suatu kondisi “menjadi apa yang disebut oleh para psikolog
sebagai “bidang mandiri”- yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi”.
Sebuah konvensi tidak selalu berarti positif, dimana konvensi dapat membelenggu
potensi yang mungkin berkembang pada diri seseorang atau masyarakat. Disinilah

13
kecerdasan untuk memilah suatu tindakan yang bermakna diperlukan, sekalipun itu
bertentangan dengan konvensi yang ada.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Giddens (2003: 53), bahwa kesadaran


mengacu pada monitoring refleksif perilaku agen-agen, kebanyakan dalam pengertian
apa yang telah disebutnya sebagai sebagai kesadaran praktis. Dengan ini perspektif
SQ “kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai” dapat dijelaskan. Dalam
perspektif Madia, uang adalah hal penting, tetapi uang bukanlah segala-galanya. Untuk
mendapatkannya diperlukan cara yang baik. Pemahaman ini berangkat dari bacaan
Madia atas fenomena sosial disekitarnya, dan kondisi para professional pada
umumnya. Dewasa ini, uang telah sedemikian rupa diagungkan oleh sebagian besar
masyarakat dan professional, sehingga demi uang kehormatan diri dapat dihancurkan.
Pembobolan bank, manipulasi proyek, manipulasi APBN/APBD, dan komersialisasi
pendidikan merupakan contoh atas fenomena pengagungan uang dikalangan
masyarakat atas dan menengah. Pembabatan hutan dan kebiciran dana parkir
hanyalah contoh pengagungan uang yang dilakukan oleh kalangan masyarakat atas,
menengah maupun bawah. Judi togel dan mencari pesugihan merupakan
pengagungan uang yang banyak terjadi pada masyarakat bawah. Sementara
pengagungan uang oleh kalangan professional dapat berupa penjualan opini audit, jual
beli perkara hukum, menghasilkan suatu rekomendasi penelitian hanya berdasarkan
pesanan pemberi dana, maupun memberikan saran/nasehat yang asalkan bapak/ibu
senang. Ini adalah fenomena yang “umum” berlangsung di masyarakat, sehingga
dapat disebut sebagai perilaku yang menggambarkan “zaman edan”.

Dalam kerangka proses ini, Madia dapat dikatakan sebagai sosok yang mau
belajar untuk menjadikan hikmah kepahitan dimasa lalu. Dia mau belajar dari kejadian
masa lalu. Dia mau belajar dari kejadian masa lampau, dimana dia dan KAP-nya
pernah mendapatkan sanksi dari otoritas profesi akuntansi. IAI maupun departemen
keuangan merupakan dua sosok lembaga yang berpengaruh pada kinerja akuntan
public maupun KAP. Keadaan Madia sekarang tentunya juga dikarenakan adanya
pembelajaran dari sanksi yang telah dijatuhkan sebelumnya. Dalam diri Madia sudah
menandakan bahwa dia mengalami proses yang seperti disebutkan pleh Zohar &
Marshal (2001: 14), pada dirinya terdapat kemampuan untuk menghadapi dan
memanfaatkan penderitaan, serta kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa
sakit. Inilah dimensi spiritualitas yang terdapat pada diri Madia. Yang dilakukan oleh
Madia merupakan perwujudan idealisasi praksis kehidupan yang disampaikan oleh

14
Plato. Plato berujar bahwa paling berharga bagi manusia adalah keutamaan dan bukan
kekayaan duniawi. Bagaimanapun, pengalaman masa lampau merupakan sesuatu
yang positif untuk kemudian memperbaiki situasi dimasa mendatang.

Keunikan lain dari Madia adalah praktik yang dilakukan dalam KAP ini, yakni
tentang kecenderungannya untuk mengelola organisasi secara informal. Kondisi ini
tentunya juga tidak selaras dengan ketentuan dalam standar pengendalian mutu KAP
yang “mengharuskan” untuk mengelola organisasi KAP secara formal berbasis
prosedur baku dan dokumentatif. Fleksibilitas kerja KAP ini menjadikan suatu hal ini
penting untuk diperhatikan, terutama jika memperhitungkan aspek ekonomis dari
manajemen organisasi. Namun demikian, terlepas dari aspek ekonomis ini, suatu
pendekatan pengelolaan organisasi professional didunia modern yang cenderung
informal ini, tetaplah unik. Keunikan ini tentu bukanlah suatu yang harus dianggap
negative dan kemudian harus dinistakan begitu saja. Dalam perspektif ESQ, Madia
mempunyai pandangan dan tindakan yang tidak selalu berdasarkan pada suatu
konvensi, sikap diri yang fleksibe, terdapatnya kecenderungan untuk menjaga kualitas
hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, serta kecenderungan diri Madia untuk
melihat keterkaitannya antara berbagai hal (berpandangan “holistik”).

Rasionalitas telah merampas sesuatu yang bersifat intuitif dan imajinatif yang
keberadaannya didorong oleh daya emosional dan spiritual seseorang. Dengan
menempatkan ego diatas keberadaan keseluruhan dimensi diri manusia, maka yang
terjadi kemudian adalah bagaimana mencapai sesuatu dalam kehidupan itu yang baik
secara fisik. Ego merupakan lapisan dini yang berkaitan dengan jalur dan program
saraf seri dalam otak, yaitu sistem saraf yang bertanggung jawab atas pemikiran logis
dan rasional serta pemikiran sadar, berorientasi tujuan atau pemikiran strategis.
Karena kerangka inilah humanism barat berkembang, dimana humanism ini terlalu
menekankan pada egoism diri. Karena egoism manusia terjebak pada pencapaian
kebahagian semu. Kebahagiaan yang dilandasi oleh cinta diri yang berlebihan.
Disinilah kemudian keserakahan menjadi jalan untuk mencapai “kebahagiaan” itu.

Jika fenomena ini dihubungkan dengan ESQ, maka secara neurologis ini
merupakan manifestasi dari bekerjanya belahan otak kanan seorang manusia. Selama
ini orientasi pembenaran suatu tindakan banyak didasarkan pada potensi yang
digerakkan oleh belahan otak kiri diri manusia (IQ). Potensi ini adalah sesuatu yang
bersifat rasional dan analitis. Dengan ini maka cara pandang dan cara tindak
seseorang adalah linear. Linearitas ini menjadikan seseorang statis, tidak berkembang

15
dengan baik, dan tidak menghasilkan sesuatu yang baru (Pasiak, 2002: 116-120).
Cara pandang dan cara tindak seperti ini pada akhirnya dapat menghilangkan
kreatifitas diri seseorang, dimana dia seolah hanya menghadapi sesuatu yang
memang sudah ada. dan yang sudah ada itu dianggap sebagai suatu kebenaran.
Padahal suatu praktik kehidupan tidak begitu saja dapat dibakukan dalam suatu pola
yang standar. Dengan pola yang informal ini, tampak Madia memberikan ruang
kebebasan yang lebih luas kepada para staf professional untuk menjadi lebih kreatif.

Dalam praksis modern, bisnis adalah bisnis. Dengan kerangka ini bekerja harus
selalu mengikuti prinsip-prinsip bisnis. Hal ini membawa situasi yang kaku dan
mendorong seseorang yang bekerja selalu dalam tekanan (stress). Tetapi dengan
masih hadirnya nuansa informal dalam pengelolaan organisasi bisnis, berbagai nilai
kehidupan yang hakiki sebagaimana yang harus tumbuh dalam kehidupan sebuah
keluarga masih mungkin untuk dipraktikkan. Dengan pola kerja dengan nuansa
informal, bisa menciptakan suatu elaborasi nilai-nilai kehidupan yang dapat
berlangsung sedemikian rupa. Dengan ini pula, maka keberlangsungan sebuah
aktifitas bisnis tidak selamanya harus dimaknai sebagai sekedar proses bisnis. Dalam
KAP “Drs. Madia Subakti” nuansa dengan sifat kekeluargaan masih terasa. Secara
simbolik, ini dapat dicermati dari kehadiran seorang pelayan kantor, yang dipanggil
dengan sebutan “Embok”, yang berpenampilan apa adanya sebagaimana yang sering
ditemui dalam kahidupan sebuah keluarga.

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pembahasan mengenai praktik etika dan integrasi ESQ dalam KAP dapat
disimpulkan sebagai berikut:

1. Kode etik akuntan yang ada banyak yang mengacu pada kode etik yang
diciptakan di Amerika Serikat dan negara barat lainnya. Hal ini tentu tidak
sesuai dengan beberapa budaya yang ada di Indonesia sehingga
menyebabkan adanya beberapa konflik dan kekurangan, yaitu tingginya tingkat
individualistik para akuntan dan fokus pada hal yang berbau materialistik saja
2. Etika dan kondisi lingkungan sosial yang ada di lingkungan kerja merupakan
pertemuan antara sikap individu dan budaya yang sudah ada sebelumnya
3. Kecerdasan emosional dan spiritual yang dimiliki membantu Madia mendobrak
keadaan mayoritas KAP lainnya dengan memiliki prinsip membaantu sesama
tidak hanya fokus hal materialistik semata

17
DAFTAR PUSTAKA

Ludigdo, Unti. 2007. Paradoks Etika Akuntan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

18

Anda mungkin juga menyukai