Diskusi Publik mendorong Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang
Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum
A. Latar Belakang
Perempuan dan kelompok rentan lainnya seringkali mendapatkan tidakan diskriminatif dan
stigma dalam mengakses hukum di pengadilan sehingga jauh dari rasa keadilan. Tidak jarang
di beberapa kasus bahkan mereka juga mengalami reviktimisasi di ruang-ruang pengadilan.
Ruang pengadilan belum mampu menciptakan ruang pengadilan yang inklusif bagi kelompok
rentan.
Dalam kasus kekerasan seksual dan KDRT misalnya. Seringkali hakim dan/atau Jaksa
Penuntut Umum memposisikan perempuan menjadi pemicu utama terjadinya kekerasan dan
melakukan victim blaming di dalam proses-proses pemeriksaan di pengadilan. Victim blaming
yang dilakukan seperti anak korban kekerasan seksual dianggap melakukan hubungan seksual
karena suka sama suka, bahkan seringkali Aparat Penegak Hukum (APH) meminta orang tua
untuk menikahkan saja anak perempuan dengan terdakwa walaupun masih dibawah umur
untuk menjaga nama baik orangtua. Selain itu, juga kerap ditemui tindakan victim blaming
dengan menyatakan korbanlah yang membuat dirinya diperkosa karena pakaian yang
digunakan. Untuk korban KDRT, seringkali mengalami blaming dengan cara menyatakan
bahwa perempuan yang banyak tuntutan, tidak patuh, dan segala penghakiman patriarkis
lainnya. Berdasarkan catatan LBH Padang, terdapat berbagai kasus yang mengindikasikan
ketidakberpihakan Majelis Hakim terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Misalnya, pada tahun 2022 Pengadilan Negeri Padang membebaskan 3 (tiga) kasus
kekerasan seksual yang korbannya adalah anak dan 1 (satu) kasus diantaranya menimpa anak
disabilitas. Di Pengadilan Negeri Semarang, pada 2020 hakim menyampaikan menyalahkan
seorang perempuan yang menjadi saksi saat anaknya, seorang difabel, menjadi terdakwa.
Pernyataannya yang berusaha menjelaskan pembatasan akses keadilan yang dialami oleh
anaknya serta keterangan lainnya sama sekali tidak dipertimbangkan oleh hakim. Selain itu,
mejelis hakim juga pernah menghadirkan korban kekerasan seksual di tengah persidangan
dimana pelaku juga berada di ruang yang sama. Permasalahan juga terjadi di pengadilan
agama, dimana hakim mengusir saksi perempuan karena alasan pakaian yang digunakan
sehingga merugikan perempuan dari proses pembuktian di pengadilan, melontarkan
pernyataan yang tidak sensitif terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Ruang-ruang pengadilan tidak hanya diisi oleh Majelis Hakim namun juga ada penegak
hukum lainnya seperti Jaksa Penuntut Umum dan Advokat. Namun posisi hakim menjadi
sentral dan utama dalam memastikan ruang persidangan yang inklusif dan ramah terhadap
kelompok rentan. Jika kondisi pengadilan tidak kondusif dan dipenuhi oleh stigma, blaming,
reviktimisasi dan diskriminasi yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Advokat, maka
dapat dikondisikan oleh hakim, terutama hakim ketua. Hakim ketua dan hakim anggota juga
dapat saling mengkoreksi sikap berupa stigma, blaming, reviktimisasi dan diskriminasi yang
terjadi diruang-ruang pengadilan. Sehingga perspektif mesti dikuasai dan dipahami oleh
hakim-hakim yang akan menyidangkan perkara. Sehingga ruang pengadilan tidak menjadi
ruang penghakiman atas orientasi gender, kondisi disabilitas seseorang dan memastikan
kesetaraan dalam proses-prosesnya hukum.
Dalam upaya untuk mendorong implementasi Perma Nomor 2 Tahun 2017, LBH Padang
menginisiasi pertemuan berbagai macam pihak dalam kegiatan Diskusi Publik. Sebelum
diskusi public ini, LBH Padang telah melalakukan berbagai upaya mulai dari menginisiasi
FGD bersama kelompok rentan. Melalui FGD itu kami melakukan pemetaan terkain tantangan
dan hambatan kelompok rentan dalam akses peradilan. LBH Padang juga sudah melakukan
Audiensi dan lobby Pokja Perempuan di Mahkamah Agung dan Ketua Pengadilan Tinggi
Negeri dan Ketua Pengadilan Agama Kota Padang. Audiensi ini mendiskusikan tantangan dan
hambatan kelompok rentan dalam akses hukum di pengadilan. Dalam audiensi dan lobby ini
akan dipetakan sejauh mana Pengadilan Tinggi Semarang dan Padang mengetahui dan
implementasi terkait Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Untuk lebih memperluas
pengetahuan terkait Perma 2 Nomor 2 Tahun 2017 ini, sekaligus untuk mempercepat
implementasinya, LBH juga mengadakan Workshop kepada para hakim di pengadilan negeri
dan pengadilan agama di Padang. Dengan melibatkan Pengadilan Tinggi Padang dan Pokja
Perempuan di Mahkamah Agung.
Mendorong pemenuhan keadilan bagi Perempuan dan kelompok rentan melalui perm aini
diperlukan keseriusan dan komitmen banyak pihak. Komitmen APH terutama hakim juga
harus didukung oleh komitmen bersama dari pihak masyarakat. Diskusi public ini akan dihadiri
oleh pihak pengadilan, Pemerintah Daerah, jurnalis dan media massa, kelompok pendamping,
CSO, mahasiswa, dan kelompok rentan. Forum ini dijadikan sebagai momentum untuk
meminta komitmen pengadilan di hadapan publik dalam melakukan implementasi Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan dengan Hukum.
B. Output
1. Terbangunnya komitmen dengan Pengadilan di Kota Semarang dan Kota Padang terkait
implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum;
2. Mendorong parisipasi masyarkat luas untuk mengawal dan mewujudkan peradilan yang
inklusif
C. Pelaksanaan
Diskusi Publik mendorong Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017
tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum
D. Penyelenggara
Kegiatan Diskusi Publik mendorong Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun
2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum ini
diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang yang didukung oleh TIFA
Foundation. LBH Padang menunjuk 3 (tiga) orang anggotanya sebagai penanggung jawab
dari kegiatan ini, berikut rincian penyelenggara;
Nama Sebagai
E. Daftar Peserta
G. Penutup
Demikian kerangka acuan ini disusun sebagai pegangan bersama.