Anda di halaman 1dari 132

Seminar Skripsi

Hari/Tanggal : Rabu, 7 Juni 2023


Waktu : 10.00 – 11.00 WITA
Tempat : Ruang Seminar Epid Lt. 3
FKM UNHAS

SKRIPSI

EFEKTIVITAS TEMEPHOS DALAM PENGENDALIAN


VEKTOR KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEKKABATA
KABUPATEN POLEWALI MANDAR
TAHUN 2022

RURI KHALLAJ AL-FARABI


K011181008

DEPARTEMEN EPIDEMIOLOGI
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
LEMBAR PERSETUJUAN WAKTU SKRIPSI

ii
LEMBAR PENGESAHAN

iii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

iv
RINGKASAN

Universitas Hasanuddin
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Epidemiologi
Ruri Khallaj Al-Farabi
“Efektivitas Temephos Dalam Pengendalian Vektor Kejadian Demam
Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Pekkabata Tahun 2022”
(xviii + 89 Halaman + 6 Tabel + 7 Gambar + 9 Diagram + 11 Lampiran)
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular
yang disebabkan oleh virus dengue dan disebarkan oleh vektor Aedes Aegypti.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, Kabupaten dengan IR
DBD tertinggi adalah Kabupaten Polewali Mandar. Pada tahun 2021, IR DBD
Provinsi Sulawesi Barat mengalami penurunan kembali dari tahun sebelumnya
menjadi 24 per 100.000 penduduk dan diikuti dengan peningkatan CFR menjadi
1,77. Kabupaten dengan IR tertinggi adalah Kabupaten Polewali Mandar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas temephos dalam
pengendalian vektor kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pekkabata
Kabupaten Polewali Mandar.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode Quasi
Experimental, desain yang digunakan adalah Non-Randomized Control Group
Pretest Posttest Design, yaitu kelompok eksperimental diberi perlakuan
sedangkan kelompok kontrol tidak dan kedua kelompok menggunakan Pretest
dan Posttest. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penampungan
air/container dan seluruh rumah penduduk pada lingkungan Koppe sebanyak 439
rumah dan lingkungan Padaelo sebanyak 336 rumah dengan total populasi ialah
sebanyak 775 rumah sehingga sampelnya adalah 90 rumah yang terbagi sebanyak
45 rumah di masing-masing lingkungan. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah purposive sampling. Data dianalisis menggunakan aplikasi
SPSS secara univariat dan bivariat yaitu uji T tidak berpasangan.
Berdasarkan hasil uji statistik didapati untuk House Index, Container Index
dan Breteau Index mengalami pergerakan grafik yang signifikan, pekan pertama
sampai dengan pekan ketiga kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
mengalami penurunan grafik, berarti setiap pekannya semakin berkurang rumah
dan kontainer yang positif larva Ae. Aegypti. Kemudian diketahui P-value dari
House index, Container Index, dan Breteau Index masing-masing 0,74; 0,45; dan
0,52 yang berarti tidak ada perbedaan House Index, Container Index, dan Breteau
Index antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol selama intervensi.
Pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar
secara umum dan Puskesmas Pekkabata secara khusus untuk aktif melakukan
pelayanan kesehatan guna sebagai upaya memberantas kejadian DBD serta
masyarakat hendaknya memperhatikan pelaksanaan pengendalian DBD secara
fisik, kimia, ataupun biologi
Kata Kunci : Demam Berdarah, Rumah, Kontainer, Breteau
Daftar Pustaka : 59 (1999-2022)

v
SUMMARY
Hasanuddin University
Faculty of Public Health
Epidemiology
Ruri Khallaj Al-Farabi
“The Effectiveness of Temephos in Dengue Hemorrhagic Fever Vector Control
in the Working Area of Pekkabata Health Center 2022”
(xviii + 89 Pages + 6 Tables + 7 Figures + 9 Diagrams + 11 Attachments)
Dengue fever (DHF) is an infectious disease caused by the Aedes
Aegypti vector and disseminated by the dengue virus. Polewali Mandar
District has the highest DHF IR, according to data from the West
Sulawesi Provincial Health Office. The DHF IR in West Sulawesi
Province declined from the previous year to 24 per 100,000 population
in 2021, followed by an increase in CFR to 1.77. Polewali Mandar was
the district with the highest IR. This study aims to control dengue vectors
in the working area of Pekkabata Health Center, Polewali Mandar
Regency through abatement.
The type of research is a quantitative research with Quasi
Experimental method, the design used is the Non-Randomized Control
Group Pretest Posttest Design, namely the experimental group is given
treatment while the control group is not and both groups use Pretest and
Posttest. The population in this study were all air shelters/containers and
all resident's houses in the Koppe neighborhood of 439 houses and the
Padaelo neighborhood of 336 houses with a total population of 775
houses so the sample was 90 houses divided into 45 houses in each
neighborhood. The sampling technique used was purposive sampling.
Data were analyzed using the SPSS application in a univariate and
bivariate way, namely the unpaired T-test.
Based on the results of statistical tests, it was found that for the
House Index, Container Index and Breteau Index there were significant
graphical movements, the first week to the third week of the treatment
group and the control group experienced a decrease in the graphs,
meaning that every week there were fewer and fewer houses and
containers positive for Ae larvae. aegypti. Then it is known that the P-
value of the House index, Container Index, and Breteau Index is 0,74;
0,45; and 0,52 which means there is no difference in the House Index,
Container Index, and Breteau Index between the treatment group and the
control group during the intervention.
The government, in this case the Polewali Mandar District Health
Office in general and the Pekkabata Health Center in particular, are to
actively provide health services in an effort to eradicate DHF incidents
and the public should pay attention to the implementation of physical,
chemical or biological DHF control.
Keywords : Dengue Fever, House, Container, Breteau
Bibliography : 59 (1999-20022)

vi
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Segala puji dan syukur bagi Allah Shubahanahu Wa Ta’ala, karena

berkat rahmat dan ridha-Nya yang senantiasa memberikan kesehatan dan

kemampuan intelektual kepada penulis sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan sesuai dengan yang diharapkan.

Shalawat serta salam tidak lupa dihaturkan kepada Baginda

Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang telah

mengangkat derajat ummat manusia dari lembah kehinaan ke manusia

yang penuh dengan martabat seperti sekarang ini.

Alhamdulillah dengan penuh usaha dan kerja keras serta doa dari

keluarga, kerabat, dan seluruh pihak yang telah berpartisipasi sehingga

skripsi yang berjudul “Efektivitas Temephos Dalam Pengendalian

Vektor Kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja

Puskesmas Pekkabata Kabupaten Polewali Mandar Tahun 2022”

dapat terselesaikan yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Skripsi ini penulis dedikasikan yang paling utama kepada kedua

orang tua tersayang, Ayahanda Baharuddin, S. Ag dan Ibunda Idasari, S.

Ag yang selama ini telah menjadi sumber dukungan utama dan senantiasa

memberi motivasi dalam hidup sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Kasih sayang mereka takkan pernah tergantikan sampai akhir

vii
hayat, semoga dapat membuat ayah dan ibu bangga dengan ini. Tak lupa

pula penulis persembahkan kepada Saudara Kandung penulis, Ade

Annisa Fitriani Rada, Reza Parapawali Al Farisi, Rifqi Maulana Al Faruq

dan Radja Passaleppa Al Faqih yang telah mendukung dan

menyemangati selama pengerjaan skripsi.

Selama proses pengerjaan skripsi ini, begitu banyak bantuan,

dukungan, dan doa serta motivasi yang didapatkan oleh penulis dalam

menghadapi proses penelitian hingga pengerjaan karya ini. Namun,

penulis mampu melewati hambatan serta tantangan tersebut dengan

mudah. Dengan segala kerendahan hati, disampaikan rasa terima kasih

yang tulus oleh penulis terkhusus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc, selaku Rektor Universitas

Hasanuddin.

2. Bapak Prof. Sukri Palutturi, S.KM., M.Sc. PH., Ph.D selaku Dekan Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.

3. Bapak Indra Dwinata, S.KM, MPH selaku Ketua Departemen Epidemiologi

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.

4. Bapak Prof. Dr. drg. A. Arsunan Arsin, M. Kes, CWM selaku pembimbing I

dan Bapak Indra Dwinata, S.KM, MPH selaku pembimbing II yang tak

hentihentinya membimbing dan meluangkan waktu serta pikirannya ditengah

kesibukan demi terselesaikannya skripsi ini.

5. Ibu Andi Selvi Yusnitasari, S.KM, M. Kes selaku penguji dari Departemen

Epidemiologi dan Bapak Muh. Fajaruddin Natsir, S.KM., M.Kes selaku

viii
penguji dari Departemen Kesehatan Lingkungan yang telah memberikan

saran dan kritik serta arahan dalam perbaikan serta penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Ir. Nurhayani, M.Kes, selaku pembimbing akademik yang telah

memberikan nasehat, bimbingan, motivasi, serta dukungan dalam

mengenyam akademik dunia perkuliahan di Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Hasanuddin.

7. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Hasanuddin yang telah mengajarkan segala hal dan pengalaman yang

berharga terkait ilmu kesehatan masyarakat selama mengikuti perkuliahan.

8. Seluruh staf dan pegawai di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Hasanuddin yang telah membantu seluruh pengurusan dalam pelaksanaan

selama kuliah baik secara langsung maupun tidak langsung.

9. Kepada seluruh jajaran Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar yang

tergabung dalam penelitian ini, Dinas Kesehatan Polewali Mandar,

PUSKESMAS Pekkabata, Pegawai Kelurahan Pekkabata serta Kepala

Lingkungan Padaelo dan Kepala Lingkungan Koppe Kelurahan Pekkabata

yang senantiasa mempermudah segala urusan peneliti selama penelitian

berlangsung.

10. Saudara Hijau Hitam FKM UNHAS dari lintas generasi yang telah

memberikan wejangan, masukan dan kritikan selama menjalani proses

sebagai mahasiswa. Terkhusus kepada teman-teman Kabid dan presidium

#HmIBerakhlak (Fadil, Kyrgist, Arham, Sutra, Dyaul, Nura) yang telah ingin

sama-sama membesarkan HMI KOM. FKM UNHAS.

ix
11. Teman-teman VENOM 2018, terkhusus teman-teman EPIDEMIOLOGI 2018

yang telah menemani berproses di FKM Unhas dan membantu proses

perkuliahan penulis.

12. @THE CARNAGE 2018 (Amal, Anas, Andri, Arram, Asral, Chaidir, Elsar,

Fadil, Hujan, Kyrgizt, Mekel, Mifta dan Risqal) yang selalu menjadi saudara

selama menempuh pendidikan S1 di FKM Unhas, yang telah mewarnai

kehidupan kampus setiap harinya. Semoga persahabatan ini akan terus terjalin

selamanya hingga semuanya sukses.

13. Teman-teman Halo-Halo Bandung (Ainun, Alifah, Ana, Billo, Dina, Dini,

Elita, Fiqah, Ica, Kinah, Nia, Niskad, Nura, Risna, Ruroh, Sute, Tasa, Tifa, vii

Uci, Utti, dan Uung) yang selalu mendukung penulis selama menyusun

skripsi ini.

14. Saudari Elita Wijayanti dan Nisa Hanifah yang tentunya juga ikut mengambil

peran dalam proses penyelesaian skripsi ini.

15. Seluruh pihak yang turut serta dalam penyelesaian pendidikan, penelitian dan

penyusunan naskah skripsi ini yang tidak sempat penulis sebutkan satu

persatu. Terima kasih atas seluruh bantuan baik materil maupun non materil

dan doa yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan hingga

sampai ditahap ini.

Penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam

skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapapun

yang membacanya. Akhir kata, segala puji bagi Allah SWT Zat pemilik cinta dan

dan kasih, semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan cintanya kepada kita.

x
Atas perhatiannya diucapkan banyak terima kasih. Akhir kata “Terima Kasih

Telah Menjadi Jibril-Jibril Saya Selama Menjalani Proses sebagai Mahasiswa.”

Polewali Mandar, 09 Mei 2023

Penulis

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN WAKTU SKRIPSI................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................iii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.....................................................iv
RINGKASAN.........................................................................................................v
SUMMARY...........................................................................................................vi
KATA PENGANTAR..........................................................................................vii
DAFTAR ISI........................................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................xiv
DAFTAR TABEL................................................................................................xv
DAFTAR DIAGRAM.........................................................................................xvi
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................xvii
DAFTAR SINGKATAN..................................................................................xviii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................8
C. Tujuan Penelitian..........................................................................................9
D. Manfaat Penelitian........................................................................................9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................11
A. Tinjauan Umum Tentang Demam Berdarah Dengue (DBD).....................11
B. Tinjauan Umum Tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).............24
C. Tinjauan Umum tentang Kepadatan Nyamuk.............................................28
D. Tinjauan Umum Tentang Abatisasi............................................................30
E. Kerangka Teori...........................................................................................35
BAB III KERANGKA KONSEP........................................................................36
A. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian..........................................................36
B. Kerangka Konsep........................................................................................39
C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif.................................................39

xii
D. Hipotesis Penelitian.....................................................................................45
BAB IV METODE PENELITIAN.....................................................................47
A. Jenis Penelitian............................................................................................47
B. Lokasi dan Waktu Penelitian......................................................................48
C. Alur Penelitian............................................................................................48
D. Metode Intervensi.......................................................................................50
E. Populasi dan Sampel...................................................................................51
F. Metode Pengambilan Sampel......................................................................53
G. Pengumpulan Data......................................................................................53
H. Instrumen Penelitian...................................................................................54
I. Pengolahan dan Analisis Data.....................................................................55
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN...............................................................58
A. Gambaran Umum Objek Penelitian............................................................58
B. Hasil Penelitian...........................................................................................59
C. Pembahasan Hasil Penelitian......................................................................73
BAB VI PENUTUP..............................................................................................81
A. Kesimpulan.................................................................................................81
B. Saran............................................................................................................81
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................83
LAMPIRAN..........................................................................................................89

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 : Telur Aedes Aegypti.........................................................................21


Gambar 2.2 : Jentik Aedes Aegypti........................................................................21
Gambar 2.3 : Pupa Aedes Aegypti..........................................................................22
Gambar 2.4 : Nyamuk Dewasa Aedes Aegypti......................................................22
Gambar 2.5 : Kerangka Teori................................................................................35
Gambar 3.1 : Kerangka Konsep.............................................................................39
Gambar 4.1 : Desain penelitian..............................................................................47

xiv
DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Anggota Keluarga Pada Kelompok


Perlakuan dan Kelompok Kontrol.......................................................59
Tabel 5.2 Uji Normalitas.....................................................................................62
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi House Index Antara Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol..............................................................................68
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Container Index Antara Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol Selama Intervensi.................................................70
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Breteau Index Antara Kelompok Perlakuan Dan
Kelompok Kontrol Selama Intervensi.................................................71
Tabel 5.6 Hasil Uji Hipotesis (Mann-Whitney U)..............................................73

xv
DAFTAR DIAGRAM

Diagram 5.1 Distribusi Jumlah Kontainer Kelompok Kontrol dan Perlakuan....60


Diagram 5.2 Distribusi Letak Kontainer Kelompok Perlakuan..........................60
Diagram 5.3 Distribusi Letak Kontainer Kelompok Kontrol..............................61
Diagram 5.4 Distribusi Frekuensi Pengendalian Fisik dan Biologi Kelompok
Perlakuan........................................................................................64
Diagram 5.5 Distribusi Frekuensi Pengendalian Fisik dan Biologi Kelompok
Kontrol............................................................................................66
Diagram 5.6 Distribusi Frekuensi Kontainer Positif...........................................67
Diagram 5.7 Distribusi Frekuensi House Index Antara Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol..........................................................................68
Diagram 5.8 Distribusi Frekuensi Container Index Antara Kelompok Perlakuan
dan Kelompok Kontrol Selama Intervensi.....................................70
Diagram 5.9 Distribusi Frekuensi Breteau Index Antara Kelompok Perlakuan
dan Kelompok Kontrol Selama Intervensi.....................................72

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Informed Consent


Lampiran 2 Kuesioner Penelitian
Lampiran 3 Lembar Observasi
Lampiran 4 Output Analisis Data SPSS
Lampiran 5 Surat Pengambilan Data Awal
Lampiran 6 Surat Izin Penelitian Dari Kampus
Lampiran 7 Surat Izin Penelitian Dari DPMPTSP
Lampiran 8 Surat Izin Penelitian Dari Puskesmas Pekkabata
Lampiran 9 Surat Telah Menyelesaikan Penelitian
Lampiran 10 Dokumentasi Penelitian
Lampiran 11 Riwayat Hidup Peneliti

xvii
DAFTAR SINGKATAN

3M Menguras, Menutup, Mengubur


ABJ Angka Bebas Jentik
Ae. Aegypti Aedes Aegypti
AS Amerika Serikat
BI Breteau Index
BTI Bacillus Thuringiensis Israelensis
CFR Case Fatality Rate
CI Container Index
DBD Demam Berdarah Dengue
DD Demam Dengue
DHF Dengue Haemorrhagic Fever
DINKES Dinas Kesehatan
DKI Daerah Khusus Ibukota
HI House Index
IGR Insect Growth Regulator
IR Incidence Rate
KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia
KEMENKES Kementrian Kesehatan
PSN Pemberantasan Sarang Nyamuk
PUSKESMAS Pusat Kesehatan Masyarakat
RI Republik Indonesia
SPAL Saluran Pembuangan Air Limbah
SSD Sindrom Syok Dengue
TPA Tempat Penampungan Air
WHO World Health Organization

xviii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit

menular yang disebabkan oleh virus dan disebarkan oleh vektor. Virus yang

menyebabkan penyakit ini adalah dengue. Penyakit DBD ini ditemukan

hampir di seluruh belahan dunia terutama di negara-negara tropik dan

subtropik sebagai penyakit endemik (Zatah et al., 2022). Vektor penular

penyakit ini berasal dari jenis nyamuk Aedes aegypti dan aedes albopictus

(Butarbutar, Sumampouw and Pinontoan, 2019). Saat ini lebih dari 100

negara tropis di Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan

Pasifik Barat merupakan wilayah dengan peningkatan jumlah penderita DBD

yang serius (Dewangga et al., 2022).

Kejadian kasus DBD telah tumbuh cukup signifikan di seluruh dunia

dalam beberapa tahun terakhir. Data prevalensi infeksi dari penyakit DBD

diperkirakan mencapai 3,9 milyar orang di 128 negara. Jumlah kasus DBD

yang ditemukan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2016, ditemukan

wabah demam berdarah yang besar di seluruh dunia. Daerah di wilayah

Amerika dilaporkan lebih dari 2,38 juta kasus pada tahun 2016 dan Brazil

menyumbang sedikit kurang dari 1,5 juta kasus dengan 1032 kematian.

Sementara berdasarkan data yang dihimpun di wilayah Pasifik Barat

dilaporkan lebih dari 375.000 kasus, Filipina terdapat 176.411 kasus dan

Malaysia terdapat 100.028 kasus (WHO, 2017).

1
2

Beberapa dekade terakhir ini, insiden DBD menunjukkan peningkatan

yang sangat pesat di seluruh penjuru dunia. Sebanyak dua setengah milyar

atau dua per lima penduduk dunia berisiko terserang DBD. Sebanyak 1,6

milyar (52%) dari penduduk yang berisiko tersebut hidup di wilayah Asia

Tenggara. World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 50 juta

kasus infeksi dengue setiap tahunnya (WHO, 2017). Negara-negara di

wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia DBD masih menjadi masalah

kesehatan utama karena negara-negara tersebut berada di daerah tropis dan

zona khatulistiwa yang merupakan tempat persebaran nyamuk Aedes aegypti

Kasus DBD pertama di Indonesia dilaporkan di Surabaya pada tahun 1968.

Sejak pertama kali ditemukan kasus ini terus menunjukkan peningkatan setiap

tahun (Adnan and Siswani, 2013).

Di Indonesia berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2021,

terdapat 73.518 kasus. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2020 yang

sebesar 108.303 kasus. Sejalan dengan jumlah kasus, kematian karena DBD

pada tahun 2021 juga mengalami penurunan dibandingkan tahun 2020 dari

747 menjadi 705 kematian (Kemenkes RI, 2021).

Incidence Rate (IR) DBD tahun 2021 menurun dibandingkan tahun

2020, yaitu dari 40 menjadi 27 per 100.000 penduduk. Namun, Case Fatality

Rate (CFR) tahun 2020 sebanyak 0,69 meningkat pada tahun 2021 yaitu 0,96.

Sedangkan, Provinsi dengan IR DBD tertinggi tahun 2021 di tempati oleh

Kepulauan Riau sebesar 80,9 per 100.000 penduduk. Provinsi Sulawesi Barat

yang sebelumnya menempati pada urutan 15 dengan angka kesakitan 44,8 per
3

100.000 penduduk tahun 2020, kemudian menempati posisi 17 dari 34

provinsi pada tahun 2021 dengan angka kesakitan 24,3 per 100.000 penduduk

(Kemenkes RI, 2022).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, IR DBD di

Sulawesi Barat tiga tahun terakhir yaitu pada tahun 2019-2021 mengalami

penurunan setiap tahunnya. Pada tahun 2019 IR sebesar 57 per 100.000

Penduduk dengan CFR sebesar 1,01. Kabupaten dengan IR tertinggi adalah

Kabupaten Mamuju. Pada tahun 2020, IR DBD Provinsi Sulawesi Barat

mengalami penurunan menjadi 44 per 100.000 penduduk, diikuti oleh CFR

menjadi 0,5. Kabupaten dengan IR tertinggi adalah Kabupaten Polewali

Mandar. Pada tahun 2021, IR DBD Provinsi Sulawesi Barat mengalami

penurunan kembali dari tahun sebelumnya menjadi 24 per 100.000 penduduk

dan diikuti dengan peningkatan CFR menjadi 1,77. Kabupaten dengan IR

tertinggi adalah Kabupaten Polewali Mandar (Dinas Kesehatan Provinsi

Sulawesi Barat, 2020).

Kabupaten Polewali Mandar merupakan daerah yang setiap tahunnya

pada tahun 2019 - 2021 ditemukan kasus DBD. Pada tahun 2019 kasus DBD

di Kabupaten Polewali Mandar sebesar 226 kasus dengan IR 52,3 per

100.000 penduduk dan CFR sebesar 1,77%, kemudian meningkat pada tahun

2020 menjadi 234 kasus dengan IR 54,08 per 100.000 penduduk dan CFR

sebesar 0,43% (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, 2021). Pada tahun

2021 kasus menurun menjadi 185 kasus dengan IR 42,76 per 100.000
4

penduduk tetapi CFR meningkat sebesar 1,62 % (Dinas Kesehatan Provinsi

Sulawesi Barat, 2022).

Terdapat 20 Puskesmas yang berada pada lingkup Dinas Kesehatan

Kabupaten Polewali Mandar dan dari 20 Puskesmas tersebut, kasus DBD

dalam 3 tahun terakhir. Puskesmas Pekkabata merupakan wilayah yang

menjadi pusat kejadian kasus DBD tertinggi di Kabupaten Polewali Mandar,

dari 2019 dengan kasus berjumlah 85 kasus, tahun 2020 terdapat 26 kasus

dan pada tahun 2021 kembali meningkat dengan 60 kasus. Kasus DBD pada

wilayah kerja Puskesmas Pekkabata dan memiliki kejadian tertinggi berasal

dari Lingkungan Koppe dan diikuti Lingkungan Padaelo yang banyak

ditemukan kasus DBD dalam 3 tahun terakhir (Dinas Kesehatan Kabupaten

Polewali Mandar, 2022).

Untuk menanggulangi dan mencegah mewabahnya bahaya penyakit

DBD diperlukan peran serta dari masyarakat dan kader Kesehatan (Adnan

and Siswani, 2013). Pengendalian penyakit DBD memerlukan perhatian lebih

dalam pelaksanaannya mengingat masih tingginya kasus kesakitan dan

kematian akibat penyakit tersebut di Indonesia. Pengendalian penyakit DBD

dapat dimulai dengan pengendalian vektor penyebab penyakit DBD (Nadifah

dkk., 2017). Pemberantasan nyamuk DBD sebagai upaya pengendalian

penyakit DBD dapat dilakukan dengan pelaksanaan program Pemberantasan

Sarang Nyamuk (PSN) (Rawani, Nazriati and Anita, 2018).

PSN adalah suatu kegiatan masyarakat dan pemerintah yang dilakukan

secara berkesinambungan untuk mencegah penyakit demam berdarah.


5

Pemberantasan sarang nyamuk dilakukan dengan melakukan menguras,

menutup, mendaur ulang (3M) plus. Keberhasilan kegiatan PSN antara lain

populasi nyamuk Aedes aegypti dapat dikendalikan, sehingga penularan DBD

dapat dicegah atau dikurangi. PSN terbagi menjadi tiga, pengendalian secara

fisik seperti perilaku sehari-hari, pengendalian secara biologi seperti

pemeliharaan hewan pemakan jentik dan pengendalian secara kimia seperti

penggunaan insektisida pemberantas larva Aedes Aegypti (Goindin et al.,

2017); (Nisa, Hartono and Sugiharto, 2016).

Insektisida sebagai larvasida umum digunakan untuk memberantas

larva secara kimiawi, salah satu contoh yakni penggunaan abate. Abate

adalah insektisida yang mengandung bahan aktif temephos 1%. Abate berupa

butiran pasir berwarna coklat untuk memberantas jentik nyamuk yang dapat

bertahan selama 8-12 minggu (WHO, 2011a). Program penggunaan abate ini

disebut dengan istilah abatisasi. Abatisasi dilakukan dengan menaburkan

bubuk abate pada tempat perindukan nyamuk Ae. aegypti dengan dosis 1 ppm

atau 10 gram untuk 10 liter air (Indrayani, Yoeyoen and Wahyudi, 2018).

Abate mulai digunakan di Indonesia sejak tahun 1976 dan diaplikasikan

sebagai pemberantasan massal Ae. aegypti. Abate merupakan bahan kimia

golongan organophospat yang memiliki banyak kelebihan, diantaranya tidak

berbahaya bagi manusia, burung, ikan, dan hewan peliharaan lainnya,

mendapat persetujuan dari WHO untuk dimanfaatkan sebagai air minum,

serta abate tidak menimbulkan perubahan bau, rasa dan warna ketika

digunakan (Indrayani, Yoeyoen and Wahyudi, 2018).


6

Penelitian yang dilakukan oleh Kasman, Yeni Riza dan Mia Rosana

dari Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari

Banjarmasin tahun 2019, mereka melakukan uji laboratorium di

Laboratorium Entomologi Balai Litbang Kesehatan Tanah Bumbu dengan

membandingkan ekstrak umbi, daun gadung, air tanpa penambahan apapun,

dan temephos terhadap pengendalian vektor DBD. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa kelompok ekstrak umbi gadung menunjukkan hasil yang

lebih tinggi efektivitasnya dalam mengendalikan jentik nyamuk yaitu

sebesar 45%, kelompok daun gadung memiliki efektivitas yang lebih

rendah yaitu 32%. Sementara kelompok kontrol menunjukkan 100%

kematian untuk kontrol positif (temephos) dan 0% untuk kontrol negatif (air

tanpa penambahan apapun) (Kasman, Riza and Rosana, 2019).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Irsan Syukur dengan sampel yang

lebih luas dalam sebuah wilayah yang diterbitkan tahun 2013 Di Kelurahan

Tamalanrea Indah Kecamatan Tamalanrea Kota Makassar menunjukkan hasil

bahwa Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa dari 114 rumah

yang diperiksa, didapatkan 39 rumah (37,5%) sudah melakukan abatisasi

yang memenuhi syarat baik dosis pemberian maupun frekuensi

pemberiannya. Dari 65 rumah (62,5 %) yang kegiatan abatisasinya tidak

memenuhi syarat ditemukan 40 rumah (61,5 %) yang positif terdapat larva

Aedes aegypti pada tempat penampungan air (TPA).

Berdasarkan data tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan

abatisasi yang dilakukan masyarakat di Kelurahan Tamalanrea Indah


7

belum maksimal karena masih terdapat seperdua dari jumlah rumah yang

ada belum melakukan kegiatan abatisasi yang memenuhi syarat, hal ini

dibuktikan dengan masih banyak masyarakat yang sama sekali tidak

menggunakan bubuk abate dengan berbagai alasan karena tidak ada uang,

tidak menggunakan abate karena belum paham terhadap bubuk tersebut, juga

masih ada warga yang tidak tahu kalau bubuk abate bisa didapatkan secara

gratis atau cuma-cuma dari dinas kesehatan atau puskesmas selain dari

bubuk tersebut dari orang yang menjual abate disetiap rumah, serta

masih ada masyarakat yang menggunakan bubuk abate tidak sesuai dosis dan

frekuensi pemberiannya belum memenuhi syarat atau tidak dilakukan secara

rutin sehingga dapat menimbulkan resistensi pada vektor nyamuk Aedes

aegypti (Syukur, 2013).

Sementara tesis oleh Patar Luhut Panjitan tahun 2015 dengan

melakukan “Evaluasi Beberapa Metode Pengendalian Demam Berdarah

Dengue (DBD) di DKI Jakarta” menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan

yang signifikan program pirypyroxyfen, themopos, dan foging fokus terhadap

penurunan angka kasus DBD, Kematian DBD, IR DBD, dan CFR DBD.

Pirypyroxyfen dan temophos lebih berdampak pada penurunan angka

kejadian DBD dan insiden rate DBD (Panjitan, 2015).

Keterlibatan masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian DBD

penting karena sangat tidak mungkin perkembangan vektor Aedes aegypti

terputus dengan sendirinya jika masyarakat tidak terlibat sama sekali. Peran

serta masyarakat ini dapat berwujud dengan pelaksanaan 3M PLUS di sekitar


8

rumah, dan PSN pada lingkungannya, serta meningkatkan pemberian

penyuluhan tentang seluk-beluk DBD, gerakan pencegahan dan pengendalian

kejadian DBD (Sa’iida, 2017).

Melihat dari data yang telah dipaparkan di atas, permasalahan kesehatan

yang terjadi maka sangat menarik untuk melakukan program pengendalian

vektor penyebab kasus DBD menggunakan salah satu pencegahan yaitu

Abatisasi. Abatisasi dapat mengehentikan proses perkembangbiakan jentik

meminimalisir persebaran kasus DBD, tetapi juga harus tetap memperhatikan

panduan penggunaannya. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik

melakukan penelitian tentang studi intervensi Abatisasi dalam upaya

pengendalian vektor penyebab DBD. Oleh karena itu penulis melakukan

penelitian dengan judul “Efektivitas Temephos Dalam Pengendalian Vektor

Kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Pekkabata

Kabupaten Polewali Mandar Tahun 2022”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka rumusan

masalah pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana gambaran trend kepadatan nyamuk (HI, CI, BI) antara

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol selama intervensi?

2. Apakah terdapat perbedaan House Index antara kelompok perlakuan

dengan kelompok kontrol selama intervensi?

3. Apakah terdapat perbedaan Container Index antara kelompok perlakuan

dengan kelompok kontrol selama intervensi?


9

4. Apakah terdapat perbedaan Breteau Index antara kelompok perlakuan

dengan kelompok kontrol selama intervensi?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

efektivitas temephos dalam pengendalian vektor kejadian Demam

Berdarah Dengue di wilayah kerja Puskesmas Pekkabata Kabupaten

Polewali Mandar.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran trend kepadatan nyamuk (HI, CI, BI)

antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol selama intervensi.

b. Untuk mengetahui perbedaan House Index antara kelompok

perlakuan dengan kelompok kontrol selama intervensi.

c. Untuk mengetahui perbedaan Container Index antara kelompok

perlakuan dengan kelompok kontrol selama intervensi.

d. Untuk mengetahui perbedaan Breteau Index antara kelompok

perlakuan dengan kelompok kontrol selama intervensi.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan

dan wawasan tentang vektor penyakit DBD dan cara pencegahannya

sehingga dapat memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan.


10

2. Manfaat bagi Masyarakat

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat meningkatkan wawasan

dan pengetahuan masyarakat mengenai vektor penyakit DBD dan

pencegahannya supaya masyarakat siap serta sigap dalam mencegah dan

mengatasi penyakit DBD.

3. Manfaat bagi Instansi Pemerintah

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat menjadi masukan bagi

pengelola program pencegahan vektor penyakit DBD di Dinas Kesehatan

Kabupaten Polewali Mandar dalam merencanakan kegiatan pencegahan

dan pengendalian penyakit DBD agar tepat guna.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Demam Berdarah Dengue (DBD)

1. Definisi

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah salah satu penyakit tular

vektor yang saat ini menjadi penyakit endemis diberbagai belahan dunia

dalam beberapa tahun terakhir. Penyakit ini disebabkan oleh virus

dengue yang ditularkan oleh nyamuk betina yang umumnya berasal dari

spesies Aedes aegypti (WHO, 2017).

DBD merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus

dengue. Dengue adalah virus yang menular dari nyamuk Aedes sp,

nyamuk yang paling cepat berkembang di dunia yang telah menyebabkan

hampir 390 juta orang terinfeksi tiap tahunnya. Beberapa jenis nyamuk

menularkan atau menyebarkan virus dengue. DBD atau Dengue

Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan salah satu penyakit yang

disebabkan oleh nyamuk spesies Aedes aegypti dan Aedes albopictus

sebagai vektor primer, serta Aedes polynesiensis, Aedes scutellaris serta

Ae. (finlaya) niveus sebagai vektor sekunder (Kemenkes RI, 2018).

Penyakit DBD masih menjadi salah satu masalah kesehatan

masyarakat di Indonesia dan jumlah penderitanya semakin meningkat

dan penyebarannya semakin luas. Penyakit ini dapat muncul sepanjang

tahun dan menyerang berbagai macam kelompok umur. Penyakit ini

11
berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat

(Kemenkes RI, 2022).

12
13

DBD adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue tipe

1-4, dengan manifestasi klinis demam mendadak 2-7 hari disertai gejala

perdarahan dengan atau tanpa syok, disertai pemeriksaan laboratorium

menunjukkan trombositopenia (trombosit kurang dari 100.000) dan

peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai normal (Masykur,

2022).

2. Etiologi

DBD diketahui disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue

merupakan RNA virus dengan nukleokapsid ikosahedral dan dibungkus

oleh lapisan kapsul lipid. Virus ini termasuk kedalam kelompok

arbovirus B, famili flaviviridae, genus flavivirus. Flavivirus merupakan

virus yang berbentuk sferis, berdiameter 45-60 nm, mempunyai RNA

positif sense yang terselubung, bersifat termolabil, sensitif terhadap

inaktivasi oleh dietil eter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 70oC.

Virus dengue mempunyai 4 serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN

4 (Yasa, 2019).

Manifestasi klinis dengue selain dipengaruhi oleh virus dengue itu

sendiri, terdapat 2 faktor lain yang berperan yaitu faktor host dan vektor

perantara. Virus dengue dikatakan menyerang manusia dan primata yang

lebih rendah. Penelitian di Afrika menyebutkan bahwa monyet dapat

terinfeksi virus ini. Transmisi vertikal dari ibu ke anak telah dilaporkan

kejadiannya di Bangladesh dan Thailand. Vektor utama dengue di


14

Indonesia adalah Aedes aegypti betina, disamping pula Aedes

albopictus betina (Yasa, 2019).

Ciri-ciri nyamuk penyebab penyakit demam berdarah (nyamuk

Aedes aegypti) (Candra, 2010) :

a. Badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih.

b. Hidup di dalam dan di sekitar rumah.

c. Menggigit/menghisap darah pada siang hari.

d. Senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dalam kamar.

e. Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar

rumah bukan di got/comberan.

f. Di dalam rumah: bak mandi, tampayan, vas bunga, tempat minum

burung, dan lain-lain.

Jika seseorang terinfeksi virus dengue digigit oleh nyamuk Aedes

aegypti, maka virus dengue akan masuk bersama darah yang diisap

olehnya. Didalam tubuh nyamuk itu virus dengue akan berkembang biak

dengan cara membelah diri dan menyebar ke seluruh bagian tubuh

nyamuk. Sebagian besar virus akan berada dalam kelenjar air liur

nyamuk. Jika nyamuk tersebut menggigit seseorang maka alat tusuk

nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah, sebelum darah orang itu

diisap maka terlebih dahulu dikeluarkan air liurnya agar darah yang

diisapnya tidak membeku. Bersama dengan air liur inilah virus dengue

tersebut ditularkan kepada orang lain (Candra, 2010).

3. Epidemiologi DBD
15

Kasus infeksi dengue pertama di Indonesia dilaporkan pada tahun

1968 di kota DKI Jakarta dan Surabaya kemudian dilanjutkan dengan

laporan dari Bandung dan Yogyakarta. Sejak saat itu tersangka kasus

dengue dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan. Awalnya, angka

kesakitan dilaporkan hanya di pulau Jawa dengan jumlah kasus yang

terbatas. Pada awal tahun 1980-an, laju angka kesakitan meningkat dari

10000 sampai 30000 per tahun, dan sejak sepuluh tahun terakhir laju

angka kesakitan telah meningkat dari 30000 hingga 60000 kasus per

tahun. Meningkatnya kasus dengue secara bermakna dilaporkan terjadi

pada tahun 1973 dan 1988, dan pada tahun 1998 dan 2004 dilaporkan

berturut-turut 73133 dan 78680 kasus. Kini, infeksi dengue telah

menyebar merata di antara 34 provinsi di Indonesia, dengan latar

belakang interepidemis antara 10000- 25000 kasus setiap tahun (Wowor,

2017).

4. Penularan DBD

Nyamuk Aedes betina biasanya terinfeksi virus dengue pada saat

dia menghisap darah dari seseorang yang sedang dalam fase demam akut

(viraemia) yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam

timbul. Nyamuk menjadi infektif 8-12 hari sesudah mengisap darah

penderita yang sedang viremia (periode inkubasi ekstrinsik) dan tetap

infektif selama hidupnya Setelah melalui periode inkubasi ekstrinsik

tersebut, kelenjar ludah nyamuk bersangkutan akan terinfeksi dan

virusnya akan ditularkan ketika nyamuk tersebut menggigit dan


16

mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan ke tubuh orang lain.

Setelah masa inkubasi di tubuh manusia selama 3 – 14 hari (rata-rata

selama 4-7 hari) timbul gejala awal penyakit secara mendadak, yang

ditandai demam, pusing, myalgia (nyeri otot), hilangnya nafsu makan

dan berbagai tanda atau gejala lainnya (Kementerian Kesehatan RI,

2017).

Viremia biasanya muncul pada saat atau sebelum gejala awal

penyakit tampak dan berlangsung selama kurang lebih lima hari. Saat-

saat tersebut penderita dalam masa sangat infektif untuk vektor nyamuk

yang berperan dalam siklus penularan, jika penderita tidak terlindung

terhadap kemungkinan digigit nyamuk. Hal tersebut merupakan bukti

pola penularan virus secara vertikal dari nyamuk-nyamuk betina yang

terinfeksi ke generasi berikutnya (Kementerian Kesehatan RI, 2017).

5. Gejala Klinis

Manifestasi klinis infeksi dengue sangat bervariasi dan sulit

dibedakan dari penyakit infeksi lain terutama pada fase awal perjalanan

penyakit-nya. Dengan meningkatnya kewaspadaan masyarakat terhadap

infeksi dengue, tidak jarang pasien demam dibawa berobat pada fase

awal penyakit, bahkan pada hari pertama demam. Sisi baik dari

kewaspadaan ini adalah pasien demam berdarah dengue dapat diketahui

dan memperoleh pengobatan pada fase dini, namun di sisi lain pada fase

ini sangat sulit bagi tenaga kesehatan untuk menegakkan diagnosis

demam berdarah dengue. Oleh karena itu diperlukan petunjuk kapan


17

suatu infeksi dengue harus dicurigai, petunjuk ini dapat berupa tanda dan

gejala klinis serta pemeriksaan laboratorium rutin. Tanpa adanya

petunjuk ini di satu sisi akan menyebabkan keterlambatan bahkan

kesalahan dalam menegakkan diagnosis dengan segala akibatnya, dan di

sisi lain menyebabkan pemeriksaan laboratorium berlebih dan bahkan

perawatan yang 13 tidak diperlukan yang akan merugikan baik bagi

pasien maupun dalam peningkatan beban kerja rumah sakit (Kementerian

Kesehatan RI, 2017).

Berdasar petunjuk klinis tersebut dibuat kriteria diagnosis klinis,

yang terdiri atas kriteria diagnosis klinis Demam Dengue (DD), Demam

Berdarah Dengue (DBD), Demam Berdarah Dengue dengan syok

(Sindrom Syok Dengue/SSD), dan Expanded Dengue Syndrome (unusual

manifestation). (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2014).

a. Demam Dengue (DD)

Demam tinggi mendadak (biasanya ≥ 39º) ditambah 2 atau

lebih gejala/tanda penyerta:

1) Nyeri kepala

2) Nyeri belakang bola mata

3) Nyeri otot & tulang - Ruam kulit

4) Manifestasi perdarahan

5) Leukopenia (Lekosit ≤ 5000 /mm³)

6) Trombositopenia (Trombosit < 150.000 /mm³ )

7) Peningkatan hematokrit 5 – 10 %.
18

b. Demam Berdarah Dengue (DBD)

1) Diagnosis DBD dapat ditegakkan bila ditemukan manifestasi

berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2017) :

a) Demam 2–7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus

menerus.

b) Adanya manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti

petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,

hematemesis dan atau melena; maupun berupa uji

Tourniquet positif.

c) Trombositopnia (Trombosit ≤ 100.000/mm³).

d) Adanya kebocoran plasma (plasma leakage) akibat dari

peningkatan permeabilitas vaskular yang ditandai salah satu

atau lebih tanda berikut:

1. Peningkatan hematokrit/hemokonsentrasi ≥ 20% dari

nilai baseline atau penurunan sebesar itu pada fase

konvalesens.

2. Efusi pleura, asites atau hipoproteinemia/

hipoalbuminemia .

2) Karakteristik gejala dan tanda utama DBD sebagai berikut

(Kementerian Kesehatan RI, 2017):

a) Demam
19

1. Demam tinggi yang mendadak, terus menerus,

berlangsung 2-7 hari.

2. Akhir fase demam setelah hari ke-3 saat demam mulai

menurun, hati-hati karena pada fase tersebut dapat

terjadi syok. Demam Hari ke-3 sampai ke-6, adalah

fase kritis terjadinya syok.

b) Tanda-tanda perdarahan

1. Penyebab perdarahan pada pasien DBD ialah

vaskulopati, trombositopenia dan gangguan fungsi

trombosit, serta koagulasi intravaskular yang

menyeluruh. Jenis perdarahan yang terbanyak adalah

perdarahan kulit seperti uji Tourniquet positif (uji

Rumple Leed/ uji bendung), petekie, purpura, ekimosis

dan perdarahan konjungtiva. Petekie dapat muncul pada

hari-hari pertama demam tetapi dapat pula dijumpai

setelah hari ke-3 demam.

2. Petekie sering sulit dibedakan dengan bekas gigitan

nyamuk, untuk membedakannya: lakukan penekanan

pada bintik merah yang dicurigai dengan kaca obyek

atau penggaris plastik transparan, atau dengan

meregangkan kulit. Jika bintik merah menghilang saat

penekanan/ peregangan kulit berarti bukan petekie.

Perdarahan lain yaitu epitaksis, perdarahan gusi,


20

melena dan hematemesis. Pada anak yang belum

pernah mengalami mimisan, maka mimisan merupakan

tanda penting. Kadang-kadang dijumpai pula

perdarahan konjungtiva atau hematuria.

Gejala lain juga penyakit DBD hampir sama dengan demam

dengue, tetapi bedanya adalah setelah beberapa hari terjangkit DBD

maka pasien mulai menjadi tidak tenang, lekas marah dan berkeringat.

Menurut (Arsin, 2013), bentuk klasik dari DBD ditandai dengan :

a. Demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai dengan muka kemerahan.

b. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi,

mual, dan muntah sering ditemukan.

c. Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan dengan farings

hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan

batuk pilek.

d. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan

dibawah tulang iga.

e. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada

bayi.

6. Siklus Hidup Aedes aegypti

Virus Dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan

nyamuk Aedes (Ae). Ae aegypti merupakan vektor epidemi yang paling

utama, namun spesies lain seperti Ae.albopictus, Ae.polynesiensis,

Ae.scutelaris dan Ae. niveus juga dianggap sebagai vektor sekunder.


21

Kecuali Ae.aegypti semuanya mempunyai daerah distribusi geogra fis

sendiri-sendiri yang terbatas. Meskipun mereka merupakan host yang

sangat baik untuk virus dengue, biasanya mereka merupakan vektor

epidemi yang kurang efisien dibanding Ae.aegypti (Kementerian

Kesehatan RI, 2017).

Nyamuk penular dengue ini terdapat hampir di seluruh pelosok

Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000

meter di atas permukaan laut. Pengertian Vektor DBD adalah nyamuk

yang dapat menularkan, memindahkan dan/atau menjadi sumber penular

DBD. Di Indonesia teridentifikasi ada 3 jenis nyamuk yang bisa

menularkan virus dengue yaitu : Aedes aegypti, Aedes albopictus dan

Aedes scutellaris. Sebenarnya yang dikenal sebagai Vektor DBD adalah

nyamuk Aedes betina. Perbedaan morfologi antara nyamuk Aedes

aegypti yang betina dengan yang jantan terletak pada perbedaan

morfologi antenanya, Aedes aegypti jantan memiliki antena berbulu lebat

sedangkan yang betina berbulu agak jarang/ tidak lebat. Seseorang yang

di dalam darahnya mengandung virus Dengue merupakan sumber

penular Demam Berdarah Dengue (DBD). Virus Dengue berada dalam

darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Berikut ini uraian

tentang morfologi, siklus hidup, dan siklus hidup lingkungan hidup,

tempat perkembangbiakan, perilaku, penyebaran, variasi musiman,

ukuran kepadatan dan cara melakukan survei jentik. Morfologi tahapan

Aedes aegypti sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2017):


22

a. Telur

Telur berwarna hitam dengan ukuran ± 0,80 mm, berbentuk

oval yang mengapung satu persatu pada permukaan air yang jernih,

atau menempel pada dinding tempat penampung air. Telur dapat

bertahan sampai ± 6 bulan di tempat kering.

Gambar 2.1 : Telur Aedes Aegypti


b. Jentik (larva)

Ada 4 tingkat (instar) jentik/larva sesuai dengan pertumbuhan

larva tersebut, yaitu:

1) Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm.

2) Instar II : 2,5-3,8 mm.

3) Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II.

4) Instar IV : berukuran paling besar 5 mm.


23

Gambar 2.2 : Jentik Aedes Aegypti


24

c. Pupa

Pupa berbentuk seperti ’koma’. Bentuknya lebih besar namun

lebih ramping dibanding larva (jentik) nya. Pupa Aedes aegypti

berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pupa

nyamuk lain.

Gambar 2.3 : Pupa Aedes Aegypti


d. Nyamuk dewasa

Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan

dengan rata-rata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam

dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki.

Gambar 2.4 : Nyamuk Dewasa Aedes Aegypti


25

Nyamuk Aedes aegypti seperti juga jenis nyamuk lainnya

mengalami metamorfosis sempurna, yaitu: telur – jentik (larva) –

pupa - nyamuk. Stadium telur, jentikdan pupa hidup di dalam air.

Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu

± 2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik/larva biasanya

berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong (Pupa) berlangsung

antara 2–4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa

selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan

(Kementerian Kesehatan RI, 2017).

7. Habitat Perkembangbiakan

Habitat perkembangbiakan Aedes sp. ialah tempat-tempat yang

dapat menampung air di dalam, di luar atau sekitar rumah serta tempat-

tempat umum. Habitat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat

dikelompokkan sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2017):

a. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti:

drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.

b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti:

tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut, bak kontrol

pembuangan air, tempat pembuangan air kulkas/ dispenser, talang air

yang tersumbat, barang-barang bekas (contoh : ban, kaleng, botol,

plastik, dll).
26

c. Tempat penampungan air alamiah seperti: lubang pohon, lubang

batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan

bambu dan tempurung coklat/karet, dll.

B. Tinjauan Umum Tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

Pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD)

adalah kegiatan memberantas telur jentik dan kepompong nyamuk penular

DBD (aedes aegypti) di tempat-tempat perkembangbiakannya (Salawati,

Astuti and Nurdiana, 2010). Pelaksanaan PSN-DBD memerlukan partisipasi

masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan

memerlukan ketekunan, kesabaran dan upaya dalam memberikan pemahaman

dan motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat, bahkan pejabat secara

berkesinambungan (Depkes RI, 2009). Pemberantasan sarang nyamuk (PSN)

dapat dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu kimia, biologi, dan fisika.

Adapun masing-masing uraiannya adalah sebagai berikut (Kementerian

Kesehatan RI, 2017) :

1. Pengendalian secara Fisik/Mekanik

Pengendalian fisik merupakan pilihan utama pengendalian vektor

DBD melalui kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan cara

menguras bak mandi/bak penampungan air, menutup rapat-rapat tempat

penampungan air dan memanfaatkan kembali/mendaur ulang barang

bekas yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan jentik nyamuk

(3M). PSN 3M akan memberikan hasil yang baik apabila dilakukan

secara luas dan serentak, terus menerus dan berkesinambungan.


27

PSN 3M sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya seminggu sekali

sehingga terjadi pemutusan rantai pertumbuhan nyamuk pra dewasa tidak

menjadi dewasa. Yang menjadi sasaran kegiatan PSN 3M adalah semua

tempat potensial perkembangbiakan nyamuk aedes antara lain tempat

penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, tempat

penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non-TPA) dan

tempat penampungan air alamiah. PSN 3M dilakukan dengan cara, antara

lain :

a. Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak

mandi/wc, drum, dan lain-lain seminggu sekali.

b. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/

tempayan, dan lain-lain.

c. Mengubur atau memusnahkan barang bekas (seperti kaleng, ban dan

sebagainya).

PSN 3M diiringi dengan kegiatan Plus lainya, antara lain :

a. Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat

lainnya yang sejenis seminggu sekali.

b. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak.

c. Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain

(dengan tanah, dan lain-lain).

d. Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit

dikuras atau di daerah yang sulit air.


28

e. Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan

air.

f. Memasang kawat kasa.

g. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar.

h. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai.

i. Menggunakan kelambu.

j. Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk.

Cara-cara spesi fik lainnya di masing-masing daerah. Keberhasilan

kegiatan PSN 3M antara lain dapat diukur dengan angka bebas jentik

(ABJ), apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan

DBD dapat dicegah atau dikurangi.

2. Pengendalian Secara Biologi

Pengendalian vector kejadian DBD secara biologi menggunakan

agent biologi, antara lain :

a. Predator/pemangsa jentik (hewan, serangga, parasit) sebagai musuh

alami stadium pra dewasa nyamuk. Jenis predator yang digunakan

adalah ikan pemakan jentik (cupang, tampalo, gabus, guppy, dll),

sedangkan larva Capung (nympha), Toxorrhyncites, Mesocyclops

dapat juga berperan sebagai predator walau bukan sebagai metode

yang lazim untuk pengendalian vektor DBD.

b. Insektisida biologi untuk pengendalian DBD, diantaranya: Insect

Growth Regulator (IGR) dan Bacillus Thuringiensis Israelensis


29

(BTI) ditujukan untuk pengendalian stadium pra dewasa yang

diaplikasikan kedalam habitat perkembangbiakan vektor.

c. IGR mampu menghalangi pertumbuhan nyamuk di masa pra dewasa

dengan cara merintangi/menghambat proses chitin synthesis selama

masa jentik berganti kulit atau mengacaukan proses perubahan pupae

dan nyamuk dewasa. IGRs memiliki tingkat racun yang sangat

rendah terhadap mamalia (nilai LD50 untuk keracunan akut pada

methoprene adalah 34.600 mg/kg).

d. BTI sebagai salah satu pembasmi jentik nyamuk/larvasida yang

ramah lingkungan. BTI terbukti aman bagi manusia bila digunakan

dalam air minum pada dosis normal. Keunggulan BTI adalah

menghancurkan jentik nyamuk tanpa menyerang predator

entomophagus dan spesies lain. Formula BTI cenderung secara cepat

mengendap di dasar wadah, karena itu dianjurkan pemakaian yang

berulang kali.

3. Pengendalian Secara Kimiawi

Pengendalian DBD secara kimia, dapat ditempuh dengan 2 teknik

berikut, yaitu:

a. Pengasapan (fogging), yaitu suatu teknik yang digunakan untuk

mengendalikan DBD dengan menggunakan senyawa kimia

malathion dan fenthion, yang berguna untuk mengurangi penularan

sampai batas waktu tertentu.


30

b. Pemberantasan larva nyamuk dengan zat kimia. Namun, mengingat

tempat perkembangbiakan larva vektor DBD banyak terdapat pada

penampungan air yang airnya digunakan bagi kebutuhan sehari-hari

terutama untuk minum dan masak, maka larvasida (bahan kimia

pemberantas larva) yang digunakan harus mempunyai sifat-sifat

sebagai berikut:

1) Efektif pada dosis rendah.

2) Tidak bersifat racun bagi manusia/mamalia.

3) Tidak menyebabkan perubahan rasa, warna dan bau pada air

yang diperlakukan.

4) Efektivitasnya lama.

Larvasida dengan kriteria seperti tersebut di atas di antaranya

adalah temephos yang lebih dikenal dengan sebutan abate. Larvasida ini

terbukti efektif terhadap larva Aedes aegypti dan daya racunnya rendah

terhadap mamalia.

C. Tinjauan Umum tentang Kepadatan Nyamuk

1. Angka Bebas Jentik

Angka bebas jentik (ABJ) adalah persentase rumah atau bangunan

yang bebas jentik, dihitung dengan cara jumlah rumah yang tidak

ditemukan jentik dibagi dengan jumlah seluruh rumah yang diperiksa

dikali 100%. Yang dimaksud dengan bangunan antara lain perkantoran,

pabrik, rumah susun, dan tempat fasilitas umum yang dihitung


31

berdasarkan satuan ruang bangunan/unit pengelolanya (Kemenkes RI,

2017).

Jumlah rumah atau bangunan negatif jentik


ABJ= ×100 %
Jumlah seluruhrumah diperiksa

Indonesia menggunakan pengukuran ABJ untuk megetahui

kepadatan nyamuk. ABJ digunakan sbagai alat ukur keberhasilan

kegiatan PSN 3M Plus di Indonesia, apabila ABJ lebih atau sama dengan

95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi

(Kemenkes RI, 2022).

2. House Index

House Index (HI) adalah persentase rumah yang positif dengan

larva Ae.aegypti yang dihitung dengan cara jumlah rumah atau bangunan

yang ditemukan jentik dibagi dengan keseluruhan jumlah rumah atau

bangunan yang diperiksa kemudian dikali dengan 100% (Kemenkes RI,

2022). Yang dimaksud dengan bangunan antara lain perkantoran, pabrik,

rumah susun, dan tempat fasilitas umum yang dihitung berdasarkan

satuan ruang bangunan atau unit pengelolanya (Kemenkes RI, 2017).

Jumlah rumahatau bangunan positif jentik


HI = × 100 %
Jumlah seluruhrumah diperiksa

Jika dilihat dari perhitungannya maka bisa disimpulkan bahwa HI

merupakan kebalikan dari ABJ.

3. Container Index

Container Index (CI) adalah persentase container yang positif

terdapat larva atau jentik Ae.aegypti yang dihitung dengan cara jumlah
32

container yang ditemukan jentik dibagi dengan keseluruhan jumlah

container yang diperiksa kemudian dikali dengan 100% (Kemenkes RI,

2022). Yang dimaksud dengan container adalah wadah ataupun tempat

yang berpotensi sebagai tempat perindukan vektor.

Jumlah kontainer positif jentik


CI = ×100 %
Jumlah seluruh kontainer diperiksa
33

4. Breteau Index

Breteau Index (BI) adalah jumlah container yang positif terdapat

larva atau jentik Ae.aegypti yang ditemukan di dalam 100 rumah atau

bangunan yang diperiksa (Kemenkes RI, 2022). Container adalah wadah

ataupun tempat yang berpotensi sebagai tempat perindukan vektor. Yang

dimaksud dengan bangunan antara lain perkantoran, pabrik, rumah susun,

dan tempat fasilitas umum yang dihitung berdasarkan satuan ruang

bangunan atau unit pengelolanya.

Jumlah container positif dari100 rumah


BI=
bangunan yang diperiksa

D. Tinjauan Umum Tentang Abatisasi

Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD)

merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. Masyarakat

berperan penting dalam pemberantasan vektor, vektor DBD adalah nyamuk

yang dapat menularkan, memindahkan dan atau menjadi sumber penularan

DBD. Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan

oleh vektor dengan meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor,

menurunkan kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara vektor

dengan manusia serta memutus rantai penularan vektor. Pengendalian vektor

DBD yang paling efisien dan efektif adalah dengan memutus rantai penularan

melalui pemberantasan Vektor akibat DBD (Sartiwi, Apriyeni and Sari,

2018).

Salah satu PSN melalui metode kimia adalah abatiasi. Penggunaan

abate disebut dengan istilah Abatisasi. Abate merupakan bahan kimia


34

golongan organophospat yang bekerja dengan menghambat enzim

kolinesterase. Penghambatan pada enzim ini akan menyebabkan

tertumpuknya asetilkolin dan terjadi gangguan saraf pada jentik nyamuk

(Ebnudesita, 2020). Abate merupakan pestisida yang digunakan untuk

membunuh serangga pada stadium larva. Selain itu, abate telah digunakan

sebagai larvasida di Indonesia sejak tahun 1976. Abate yang digunakan

biasanya berbentuk butiran pasir (sand granules) yang kemudian ditaburkan

di tempat yang digunakan untuk menampung air dengan dosis yang dipakai 1

ppm atau 1 gram untuk 10 liter air. Bentuk temephos berupa kristalin putih

padat, dengan titk lebur 300C –30.50C, produknya berupa cairan kental

berwarna coklat. Temephos tidak larut dalam air pada suhu 200C (kurang dari

1 ppm) dan dalam heksana, tetapi larut dalam aseton, aseronitril, eter (WHO,

2011b). Penggunaan abate sebagai insektisida bersifat tidak berbahaya serta

aman digunakan pada manusia dan hewan peliharaan. Kelebihan lain dari

abate adalah tidak menimbulkan perubahan bau, warna, dan rasa pada air

ketika digunakan (Ebnudesita, 2020).

Peran abate dalam membunuh larva nyamuk adalah dengan

menghambat enzim cholinesterase, sehingga menimbulkan gangguan pada

aktivitas syaraf karena tertimbunnya acetylcholine pada jaringan. Gerakan

yang dilakukan oleh larva bertujuan untuk memperoleh makanan dan oksigen

untuk mempertahankan hidupnya. Keracunann pada larva diikuti oleh

ketidaktenangan, hipereksitasi, tremor, dan konvulsi, kemudian kelumpuhan

otot (paralisa). Abate sebagai insektisida masih memiliki efektifitas dalam


35

mengendalikan nyamuk Aedes Sp sebagai vektor penyakit DBD dan Culex

Sp sebagai vektor filariasis, hal ini terbukti penelitian yang dapat membunuh

larva (larvasida) dan didukung oleh penelitian terdahulu (Suparyati, 2020).

Cara kerja Insektisida dalam tubuh serangga dikenal istilah mode of

action dan cara masuk atau mode of entry. Mode of action adalah cara

Insektisida memberikan pengaruh melalui titik tangkap (target site) di dalam

tubuh serangga. Titik tangkap pada serangga biasanya berupa enzim atau

protein. Beberapa jenis Insektisida dapat mempengaruhi lebih dari satu titik

tangkap pada. Cara kerja Insektisida yang digunakan dalam pengendalian

vektor terbagi dalam 5 kelompok yaitu:

1. Mempengaruhi sistem saraf,

2. Menghambat produksi energi,

3. Mempengaruhi system endokrin,

4. Menghambat produksi kutikula dan

5. Menghambat keseimbangan air.

Pengetahuan mengenai cara kerja ini bermanfaat bagi para pelaku

pengendalian vektor dalam memilih dan merotasi insektisida yang ada untuk

mendapatkan hasil yang optimal dalam rangka pengelolaan resistensi

(resistance management) (Kemenkes RI, 2012).

1. Metode Abatisasi

Syarat untuk melakukan Abatisasi yaitu hanya pada kontainer yang

menampung air banyak dan jarang atau sulit dibersihkan secara rutin.

Adapun cara melakukan Abatisasi diantaranya :


36

a. Identifikasi kontainer yang akan diberikan bubuk abate.

b. Ukur volume air dari kontainer tersebut.

c. Siapkan dosis sesuai kebutuhan (1 gr/10 liter air).

d. Taburkan bubuk abate ke sekeliling dinding kontainer secara

merata sesuai aturan dosisnya.

2. Efek Samping

Abate Abate tidaklah menimbulkan efek samping yang parah jika

digunakan sesuai dengan aturan pakai dan dosis yang tepat. Namun,

abate bisa menimbulkan efek samping bila seseorang alergi terhadap

Temophos. Efek samping Abate bagi hipersensitivitas adalah reaksi

alergi berupa gatal-gatal, ruam, pusing, mual, muntah, sakit perut, dan

pembengkakan di area wajah. Selain itu, ada juga potensi keracunan jika

bubuk abate ditaburkan secara berlebihan.

3. Uji Klinis Abate

Abate adalah merk dagang dari sebuah bahan kimia yang disebut

sebagai temephos. Temephos termasuk ke dalam golongan

organophophorus (organofosfat). Senyawa ini tidak dapat diserap oleh

tubuh dan akan dikeluarkan melalui keringat ataupun urine. Pada

penelitian yang dilakukan oleh sebuah laboratorium di Amerika Serikat

(AS) tahun 1967, tikus yang diberi makanan dengan campuran abate

setiap hari tidak mengalami gangguan klinis apapun.

Di tahun yang sama, kelompok peneliti yang lain juga melakukan

percobaan terhadap beberapa sukarelawan. Selama beberapa hari, 256


37

mg bubuk abate dicampurkan ke dalam makanan yang mereka konsumsi.

Percobaan ini pun tidak menunjukkan terjadinya gangguan klinis pada

sukarelawan. Percobaan yang lebih „berani‟ dilakukan pada 1968, di AS

juga, dengan mencampurkan abate di bak persediaan air penduduk

sebanyak 1% dari total volume air. Disini pun tidak ditemukan gangguan

klinis akibat konsumsi abate pada penduduk yang dimaksud.


38

E. Kerangka Teori

Gambar 2.5 : Kerangka Teori

Sumber : Modifikasi HL. Blum (1974) dalam Depkes (2010) ; Dirjen P2P

Kemenkes RI (2017)
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian

Menurut para ahli, penyakit menular dapat didefinisikan sebagai sebuah

penyakit yang dapat ditularkan (berpindah dari orang satu ke orang yang lain,

baik secara langsung maupun tidak langsung atau melalui

perantara/penghubung). Penyakit menular ini ditandai dengan adanya agent

atau penyebab penyakit yang hidup dan dapat berpindah serta menyerang host

atau inang (penderita). Dalam dunia medis, pengertian penyakit menular atau

penyakit infeksi adalah sebuah penyakit yang disebabkan oleh sebuah agen

biologi (seperti virus, bakteria atau parasit), dan bukan disebabkan oleh faktor

fisik (seperti luka bakar) atau kimia (seperti keracunan).

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit viral

penting, salah satu nyamuk yang merupakan vektor dari penyakit demam

berdarah dengue adalah aedes aegypti. Nyamuk yang didalam tubuhnya

sudah bervirus lalu memindahkan ke tubuh orang yang sehat setelah

menggigitnya, begitu pula seterusnya (Atikasari and Sulistyorini, 2018).

Virus dengue berukuran 35-45nm, virus ini dapat terus tumbuh dan

berkembang dalam tubuh manusia dan nyamuk (Amira, Hendrawati and

Senjaya, 2019).

Penyakit ini diketahui disebabkan oleh 4 tipe virus dengue, yaitu DEN-

1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang terkait dengan antigenik. Penderita DBD

virus dengue banyak ditularkan pada penduduk daerah perkotaan terutama

39
40

daerah tropis dan sub-tropis oleh nyamuk Aedes aegypti (Linnaeus), ae. albopictus

(Skuse) dan ae. polynesiensis marks (Fadilla, Hadi and Setiyaningsih, 2015).

Angka kejadian DBD yang terus meningkat ditambah dengan siklus

hidup Aedes sebagai vektor DBD yang cepat adalah alasan pentingnya

melakukan tindakan pengendalian vektor. Tindakan tersebut dimaksudkan

untuk menciptakan kondisi yang tidak sesuai bagi perkembangan vektor. Hal

ini dikarenakan vektor berperan sebagai media transmisi penyakit DBD yang

menghantarkan virus dengue ke tubuh manusia sebagai host sehingga

terjadinya penyakit DBD (Priesley, Reza and Rusdji, 2018).

Perkembangbiakan vektor pembawa virus dengue terutama sangat

dipengaruhi oleh perlaku masyarakat yang cenderung abai terhadap

kebersihan dan kesehatan lingkungan. Hal inilah yang menyebabkan nyamuk

aedes aegypti selalu ada dan menjadi rantai penularan virus dengue

(Sulidah, Damayanti and Paridah, 2021). Menurut WHO upaya memberantas

sarang tempat perkembangbiakan nyamuk dan pengendalian vektor penyakit

DBD merupakan upaya utama dan terpenting yang masuk dalam integrated

vektor manajemen. Kesadaran masyarakat untuk aktif berpartisipasi dalam

bentuk pencegahan menjadi ujung tombak keberhasilan pengendalian

penyakit DBD (Debes et al., 2016).

Kejadian DBD dipengaruhi faktor kepadatan vektor yaitu nyamuk

Aedes Terdapat beberapa ukuran dalam menentukan kepadatan vektor seperti

house index, container index dan breteau index (Kemenkes RI, 2017).
41

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan Abatisasi merupakan

salah satu upaya mencegah demam berdarah dengue (DBD) melalui cara

kimia. Abatisasi adalah penaburan insektisida pembasmi jentik pada tempat

penampungan air. Adapun Abatisasi merupakan kegiatan pemberian

insektisida yang ditujukan untuk membunuh stadium larva nyamuk. Hal ini

dimaksudkan untuk menekan kepadatan populasi vektor untuk jangka waktu

yang relatif lama (3 bulan) (Hasibuan, 2020). Berdasarkan pemikiran diatas

maka perlu mengendalikan vektor kejadian DBD yang kemudian dilakukan

dengan kegiatan abatisasi.


42

B. Kerangka Konsep

Gambar 3.1 : Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel Bebas

: Variabel Terikat

: Variabel Perancu

C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Abatisasi

Abatisasi yaitu perlakuan pembagian bubuk abate yang diberikan

pada tempat penampungan air yang berisi air setelah 24 jam yang

berpotensi sebagai tempat perindukan nyamuk Ae. aegypty sesuai dengan


43

dosis yang telah ditetapkan yaitu 1 gr/10 liter air (Sinaga, Martini and

Saraswati, 2016).

Kriteria Objektif :

Kelompok Perlakuan : Diberi bubuk abate.

Kelompok kontrol : Tidak diberi bubuk abate.

2. Kepadatan Vektor DBD

Persentase jumlah bebas jentik vektor penular DBD yang diambil

dari nilai House Index, Container Index dan Breteau Index dari setiap

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

a. House Index

House Index (HI) adalah persentase rumah yang positif dengan

larva ae.aegypti yang dihitung dengan cara jumlah rumah atau

bangunan yang ditemukan jentik dibagi dengan keseluruhan jumlah

rumah atau bangunan yang diperiksa kemudian dikali dengan 100%

(Kemenkes RI, 2017).

Jumlah rumahatau bangunan positif jentik


HI = × 100 %
Jumlah seluruhrumah diperiksa

b. Container Index

Container Index (CI) adalah persentase container yang positif

terdapat larva atau jentik ae.aegypti yang dihitung dengan cara

jumlah container yang ditemukan jentik dibagi dengan keseluruhan

jumlah container yang diperiksa kemudian dikali dengan 100%

(Kemenkes RI, 2017).


44

Jumlah kontainer positif jentik


CI = ×100 %
Jumlah seluruh kontainer diperiksa

c. Breteau Index

Breteau Index (BI) adalah jumlah container yang positif

terdapat larva atau jentik ae.aegypti yang ditemukan di dalam 100

rumah atau bangunan yang diperiksa. Container adalah wadah

ataupun tempat yang berpotensi sebagai tempat perindukan vektor.

Yang dimaksud dengan bangunan antara lain perkantoran, pabrik,

rumah susun, dan tempat fasilitas umum yang dihitung berdasarkan

satuan ruang bangunan atau unit pengelolanya (Kemenkes RI, 2017).

Jumlah container positif dari100 rumah


BI=
bangunan yang diperiksa

Kriteria Objektif kelompok perlakuan dan kelompok kontrol :

Skala Rasio House Index, Container Index dan Breteau Index.

3. Pengendalian Lainnya

a. Pengendalian Secara Fisik

1) 3M (Kementerian Kesehatan RI, 2017):

a. Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air,

seperti bak mandi/wc, drum, dan lain-lain seminggu sekali.

b. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti

gentong air/ tempayan, dan lain-lain.

c. Mengubur atau memusnahkan barang bekas (seperti kaleng,

ban dan sebagainya).


45

Kriteria Objektif :

Kelompok perlakuan dan kelompok kontrol :

Iya : Melakukan perilaku 3M.

Tidak : Tidak melakukan perilaku 3M.

2) Mengganti air vas bunga dan Tempat Air Minum Hewan

Penggantian air pada vas bunga dan tempat minuman

hewan dapat dilakukan dengan membuang air yang lama dengan

menggantinya dengan air yang baru secara rutin minimal

seminggu sekali. Hal tersebut dilakukan agar telur nyamuk yang

terdapat dalam vas bunga atau tempat minum hewan terbuang

bersama air yang lama (Depkes RI & Ditjen PPM & PLP, 1999).

Kriteria objektif :

Kelompok perlakuan dan kelompok kontrol :

Iya : Mengganti air vas bunga dan tempat air minum hewan seminggu

sekali.

Tidak : Tidak Mengganti air vas bunga dan tempat air minum hewan

seminggu sekali.

3) Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak.

Saluran air dan talang air yang tidak lancar/rusak harus

diperbaiki karena dapat menyebabkan air menggenang sehingga

dapat menjadi tempat potensial nyamuk Aedes aegypti

berkembang biak. Nyamuk Aedes aegypti tidak hanya

berkembang biak pada air bersih, air yang terpolusi dapat


46

menjadi tempat perindukan dan perkembangbiakan nyamuk

Aedes aegypti (Kementerian Kesehatan RI, 2017).

Kriteria Objektif :

Kelompok perlakuan dan kelompok kontrol :

Iya : Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak.

Tidak : Tidak memperbaiki saluran dan talang air yang tidak

lancar/rusak.

4) Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon

Nyamuk Aedes aegypti, kadang-kadang ditemukan juga di pelepah

daun, lubang pagar/bambu, dan lubang tiang bendera. Tempat

perindukan nyamuk Aedes aegypti adalah tempat tempat yang

dapat menampung air yang mengandung bahan-bahan organik

yang membusuk dan tempat-tempat yang digunakan oleh

manusia sehari-hari, seperti bak mandi, drum air, kaleng bekas,

ketiak daun, dan lubang - lubang batu (Desniawati, 2014).

Kriteria objektif :

Kelompok perlakuan dan kelompok kontrol :

Iya : Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon.

Tidak : Tidak menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon.

5) Memasang kawat kasa

Pemakaian kawat kasa pada ventilasi rumah adalah salah

satu upaya untuk mencegah penyakit DBD. Pemakaian kawat

kasa pada setiap lubang ventilasi yang ada dalam rumah


47

bertujuan agar nyamuk tidak masuk ke dalam rumah dan

menggigit manusia. Hal ini tentunya akan menjauhkan

terjadinya kontak antara penghuni rumah dengan nyamuk

penular Demam Berdarah Dengue (DBD), sehingga tidak akan

meningkatkan risiko terjadinya penularan DBD yang lebih

tinggi (Tamza, Suhartono and Dharminto, 2013).

Kriteria objektif :

Kelompok perlakuan dan kelompok kontrol :

Iya : Memasang kawat kasa.

Tidak : Tidak memasang kawat kasa.

6) Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar

Tempat hinggap yang disenangi nyamuk Aedes aegypti

adalah benda-benda yang menggantung seperti pakaian,

kelambu atau tumbuh-tumbuhan yang dekat dengan tempat

perkembangbiakannya biasanya tempat yang gelap dan lembab

(Suyasa, Putra and Aryanta, 2008).

Kriteria objektif :

Kelompok perlakuan dan kelompok kontrol :

Iya : Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar.

Tidak : Melakukan kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar.

b. Pengendalian Secara Biologi

1) Memelihara hewan pemakan vektor nyamuk


48

Predator/pemangsa jentik (hewan, serangga, parasit)

sebagai musuh alami stadium pra dewasa nyamuk. Jenis

predator yang digunakan adalah ikan pemakan jentik (cupang,

tampalo, gabus, guppy, dll), sedangkan larva Capung (nympha),

Toxorrhyncites, Mesocyclops dapat juga berperan sebagai

predator walau bukan sebagai metode yang lazim untuk

pengendalian vektor DBD (Kementerian Kesehatan RI, 2017).

Kriteria objektif :

Kelompok perlakuan dan kelompok kontrol :

Iya : Memelihara hewan pemakan vektor nyamuk.

Tidak : Tidak memelihara hewan pemakan vektor nyamuk.

D. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis Null (H0)

Tidak ada perbedaan yang signifikan terkait keberadaan larva aedes

aegypti antara kelompok perlakuan dengan melakukan intervensi berupa

pengendalian kimia (abatesasi), pengendalian fisik, pengendalian biologi

dan pada kelompok kontrol dengan melakukan pengecekan berupa

pengendalian fisik dan pengendalian biologi.

2. Hipotesis Alternatif (Ha)

Ada perbedaan yang signifikan terkait keberadaan larva aedes

aegypti antara kelompok perlakuan dengan melakukan intervensi berupa

pengendalian kimia (abatesasi), pengendalian fisik, pengendalian biologi


49

dan pada kelompok kontrol dengan melakukan pengecekan berupa

pengendalian fisik dan pengendalian biologi.


BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode Quasi

Experimental, dengan desain yang digunakan adalah Non Randomized

Kontrol Group Pretest Posttest Design yaitu kelompok eksperimental diberi

perlakuan sedangkan kelompok kontrol tidak. Pada kedua kelompok diawali

dengan Pretest dan setelah pemberian perlakuan diadakan pengukuran

kembali.

Adapun desain penelitian dapat dilihat sebagi berikut:

Gambar 4.1 : Desain penelitian

Keterangan :

R : Kelompok yang dipilih.

E : Kelompok Perlakuan.

O1 : Pencatatan kepadatan nyamuk sebelum adanya perlakuan dan

50
pengontrolan.

51
52

O2 : Pencatatan kepadatan nyamuk setelah adanya perlakuan dan

pengontrolan.

K : Kelompok Kontrol.

O3: Pencatatan kepadatan nyamuk sebelum adanya pengontrolan.

O4: Pencatatan kepadatan nyamuk setelah adanya pengontrolan.

X : Treatment (Perlakuan).

- : Pengontrolan.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Padaelo dan Lingkungan

Koppe Kelurahan Pekkabata Kecamatan Polewali Kabupaten Polewali

Mandar Provinsi Sulawesi Barat.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada 18 Desember 2022 – 22 Januari

2023. Pemberian abate sekali dalam sepekan pada kelompok perlakuan

dan melakukan pengontrolan sekali dalam sepekan pada kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol.

C. Alur Penelitian

1. Pengurusan izin penelitian :

a. Administrasi dari Departemen Epidemiologi kepada pemerintah

Kabupaten Polewali Mandar Dinas Penanaman Modal dan

Pelayanan Terpadu Satu Pintu.


53

b. Administrasi dari Kabupaten Polewali Mandar Dinas Penanaman

Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu kepada UPTD Puskesmas

Perawatan Pekkabata.

c. Administrasi dari UPTD Puskesmas Perawatan Pekkabata kepada

Kepala Kelurahan Pekkabata.

d. Administrasi dari Kepala Kelurahan Pekkabata kepada Kepala

Lingkungan Padaelo dan Kepala Lingkungan Koppe.

2. Menjelaskan maksud dan tujuan penelitian.

3. Pencarian abate bekerjasama dengan UPTD Puskesmas Perawatan

Pekkabata dan Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar.

4. Pencatatan jentik Ae. Aegypti pada lokasi penelitian kelompok kontrol

dan kelompok perlakuan.

5. Intervensi pemberian dan pendampingan abate pada lokasi penelitian

kelompok perlakuan.

6. Intervensi pengecekan pengendalian fisik dan pengendalian biologi pada

lokasi penelitian kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.

7. Pencatatan kembali jentik Ae. Aegypti pada lokasi penelitian kelompok

kontrol dan kelompok perlakuan.

8. Pengolahan data tentang House Index, Countainer Index, Breteau Index

antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol selama intervensi.

9. Data dianalisis dengan menggunakan SPSS.

10. Kesimpulan.
54

D. Metode Intervensi

1. Pekan Pertama

a. Pemantauan dan pencatatan jentik Ae. Aegypti pada kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol sebelum intervensi.

b. Pengukuran volume pada TPA kelompok perlakuan untuk

menyesuaikan dengan takaran abate.

c. Intervensi pemberian dan pendampingan abate pada selang antara

pekan pertama ke pekan kedua pada kelompok perlakuan dengan

jumlah abate yang diberikan sebanyak 876,5 gram.

d. Pengecekan dan pencatatan pengendalian fisik dan pengendalian

biologi pada lokasi penelitian kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan.

e. Menguras wadah non TPA yang berpotensi perkembangbiakan jentik

Ae. Aegypti pada kelompok perlakuan ataupun kelompok kontrol.

f. Membuang wadah/kontainer yang sudah tidak terpakai pada

kelompok perlakuan ataupun kelompok kontrol.

2. Pekan Kedua - kelima

a. Pemantauan dan pencatatan kembali jentik Ae. Aegypti pada

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol hasil intervensi pekan

sebelumnya.

b. Intervensi pemberian dan pendampingan abate pada selang antara

pekan kedua ke pekan ketiga, pekan ketiga kepekan keempat dan


55

pekan keempat kepekan kelima pada kelompok perlakuan dengan

jumlah abate yang diberikan sebanyak 876,5 gram.

c. Pengecekan dan pencatatan pengendalian fisik dan pengendalian

biologi pada lokasi penelitian kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan.

d. Menguras wadah yang berpotensi perkembangbiakan jentik Ae.

Aegypti pada kelompok perlakuan ataupun kelompok kontrol.

e. Menguras wadah non TPA yang berpotensi perkembangbiakan jentik

Ae. Aegypti pada kelompok perlakuan ataupun kelompok kontrol.

E. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah :

a. Penampungan air/container

Seluruh penampungan air/container pada Lingkungan Padaelo

dan Lingkungan Koppe yang berisi air setelah 24 jam yang

berpotensi sebagai tempat perindukan nyamuk Ae. aegypty.

b. Rumah

Seluruh penduduk pada lingkungan Koppe sebanyak 439

rumah dan Lingkungan Padaelo sebanyak 336 rumah dengan total

populasi ialah sebanyak 775 rumah.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah :

a. Penampungan air/container
56

Seluruh penampungan air/container yang terdapat di 45 rumah

pada Lingkungan Koppe dan 45 rumah pada Lingkungan Padaelo

yang berisi air setelah 24 jam yang berpotensi sebagai tempat

perindukan nyamuk Ae. aegypty.

b. Rumah

Sebanyak 90 rumah terbagi dalam 45 rumah pada Lingkungan

Koppe sebagai kelompok perlakuan dan 45 rumah pada Lingkungan

Padaelo sebagai kelompok kontrol, Kelurahan Pekkabata Kecamatan

Polewali Kabupaten Polewali Mandar.

Penentuan besar sampel dalam penelitian ini menggunakan

rumus slovin (Sangadji and Sopiah, 2010), yaitu sebagai berikut :

N
n= 2
1+ Ne

Keterangan :

n : Besar Sampel

N : Jumlah Populasi

e : Derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan: 10%

(0,1)

Adapun cara penghitungan sampel sebagai berikut :

Diketahui :

N : 775

E : 0,1

Penyelesaian :
57

N
n=
1+ Ne2

775
n=
1+775 ×(0,1)2

775
n=
8,75

n = 90 Rumah

F. Metode Pengambilan Sampel

Metode atau teknik pengambilan sampel yang digunakan pada

penelitian ini pada setiap rumah/bangunan dan pada seluruh penampungan

air/container yang terdapat pada 90 rumah dengan menggunakan purposive

sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu untuk

pemeriksaan vektor kepadatan nyamuk baik pada wilayah perlakuan dan pada

wilayah kontrol (Swarjana, 2012). Kriteria sampel yang diambil dalam

penelitian ini yaitu :

1. Penampungan air/container

Penampungan air/container yang berisi air setelah 24 jam yang

berpotensi sebagai tempat perindukan nyamuk Ae. aegypty.

2. Rumah

a. Rumah yang didalamnya terdapat anggota keluarganya yang terkena

penyakit DBD dalam setahun terakhir (2021 – 2022).

b. Sekeliling rumah antar rumah sesuai dengan jarak terbang

Ae.aegypti yaitu 50 - 100 meter (Khairunisa, Wahyuningsih and

Hapsari, 2017).
58

G. Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer merupakan data yang dikumpulkan langsung oleh

peneliti dari responden dengan pengisian lembar kuesioner dan

pencatatan terkait kegiatan pengendalian yang dilakukan oleh peneliti.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia, Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, Dinas Kesehatan

Kabupaten Polewali Mandar, Puskesmas Pekkabata dan penelusuran

literatur-literatur, jurnal, artikel melalui internet serta buku-buku yang

berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

H. Instrumen Penelitian

1. Lembar Kuesioner

Pada penelitian ini lembar kesioner digunakan untuk menanyakan

karasteristik responden dan variabel bebas berupa abatisasi dan variabel

perancu berupa pengendalian vektor DBD lainnya.

2. Lembar Observasi

Lembar observasi ini merupakan catatan-catatan hasil pengamatan

yang diamati oleh peneliti terkait kepadatan vektor aedes aegepty.

3. Bubuk abate

Pemberian bubuk abate terhadap sampel dalam hal ini yaitu

kelompok perlakuan.

4. Alat Tulis
59

Alat tulis digunakan oleh peneliti untuk membantu dalam

pencatatan yang berlangsung selama proses penelitian.

5. Meteran

Meteran digunakan oleh peneliti untuk mengukur besar dari

penampungan air yang digunakan selama proses penelitian pada

kelompok perlakuan.

6. Kamera

Kamera digunakan untuk dokumentasi kegiatan yang dilakukan

selama proses penelitian berlangsung.

I. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah melalui tahapan

sebagai berikut:

a. Editing

Data yang telah terkumpul kemudian dikoreksi di lapangan

sehingga data dapat langsung dilengkapi dan disempurnakan. Editing

bertujuan untuk memeriksa kelangkapan data seperti identitas

responden, kelengkapan lembar observasi yang dilakukan ditempat

pengambilan data sehingga apabila ditemukan ketidaksesuaian dapat

dilengkapi dengan segera.

b. Coding

Mengklasifikasikan data yang diperoleh dengan cara

memberikan nomor variabel, nama variabel dan kode untuk


60

memudahkan dalam pengolahan data. Semua jawaban atau data

perlu disederhanakan menggunakan simbol-simbol tertentu lalu

diinputkan pada lembar tabel kerja guna mempermudah

membacanya dan pengolahan data.

c. Entry

Data dimasukkan ke dalam komputer sesuai dengan variabel

masing-masing agar dilakukan pengolahan data menggunakan SPSS.

Urutan yang diinput didasarkan pada rekam medik yang telah dipilih

secara acak.

d. Cleaning

Dilakukan pengecekan kembali terhadap data yang telah

masuk dalam SPSS. Apabila ditemukan kesalahan kode,

ketidaklengkapan, dan lain sebagainya, maka dilakukan perbaikan.

e. Scoring

Pada tahap ini peneliti memberi nilai pada data sesuai dengan

skor yang telah ditentukan berdasarkan observasi yang sudah diisi

oleh responden. Hal ini dilakuksan untuk memudahkan proses

identifikasi variabel penelitian dan selanjutnya dilakukan kategori

rata-rata berdasarkan nilai tiap variabel.

2. Analisis Data

a. Analisis Univariat

Analisa ini dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik masing-masing variabel yang akan


61

diteliti. Variabel tersebut mencakup variabel bebas, variabel terikat

dan variabel perancu. Analisis data univariat pada penelitian ini

menggunakan analisis distribusi frekuensi.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui ada atau

tidaknya hubungan antara variabel bebas, variabel perancu dan

variabel terikat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan

antara upaya pencegahan vektor DBD melalui temephos (abatisasi).

Uji yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu uji T tidak

berpasangan dikarenakan pengendalian yang diberikan terhadap

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol juga berbeda.

Uji T tidak berpasangan digunakan melihat perbandingan

antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan masing-

masing intervensi yang diberikan selama penelitian berlangsung.

Uji T tidak berpasangan yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu Mann-Whitney. Selanjutnya, untuk mengetahui hubungan

maka dapat dilihat dari nilai p (p-value) hasil uji statistik dengan

interpretasi sebagai berikut :

1) Jika p-value < 0,05, maka H0 ditolak dan Ha diterima, artinya

ada perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol.
62

2) Jika p-value ˃ 0,05, maka H0 diterima dan Ha ditolak, artinya

tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan

dan kelompok kontrol.


BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Objek Penelitian

1. Profil Puskesmas Pekkabata

Puskesmas Pekkabata merupakan salah satu dari 18 (delapan belas)

Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Dinas Kesehatan Kabupaten

Polewali Mandar yang terletak di Kecamatan Polewali. Berdasarkan

geografis wilayah kerja Puskesmas Pekkabata meliputi batas-batas

wilayah, sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Anreapi, sebelah

timur berbatasan dengan Kecamatan Binuang, sebelah selatan berbatasan

dengan Teluk Mandar dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan

Matakali.

Pelaksanaan fungsi dari Puskesmas Pekkabata membawahi dan

melayani 5 kelurahan dan sebagai wilayah tanggung jawabnya salah

satunya yaitu Kelurahan Pekkabata yang terdiri dari 4 lingkungan yaitu

lingkungan Padaelo, Pekkabata, Koppe dan Kampung Baru.

Organisasi UPTD Puskesmas Pekkabata adalah penyelenggaraan

Layanan di bidang Kesehatan harusnya kokoh dalam arti dapat

memberikan layanan yang maksimal kepada masyarakat. Landasan untuk

melaksanakan program kegiatan tidak terlepas mengacu pada struktur

organisasi UPTD Puskesmas Pekkabata sebagaimana tertuang dalam

peraturan Bupati Kabupaten Polewali Mandar Nomor 17 Tahun 2008

tentang pedoman organisasi perangkat daerah

63
64

B. Hasil Penelitian

1. Karasteristik Sampel

a. Karasteristik Sampel Berdasarkan Anggota Keluarga Kelompok

Perlakuan dan Kelompok Kontrol

Tabel 5.1
Distribusi Responden Berdasarkan Anggota Keluarga Pada
Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
Jumlah Rumah Jumlah Anggota Keluarga
Kelompok
n % n %
Perlakuan 45 50 181 51, 9
Kontrol 45 50 168 48, 1
Total 90 100 349 100
Sumber: Data Primer, 2023

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa jumlah sampel kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol yaitu masing-masing 45 rumah.

Pada tabel tersebut juga menunjukkan jumlah anggota keluarga pada

kelompok perlakuan sebanyak 181 penduduk (51,9 %) dan pada

kelompok kontrol sebanyak 168 penduduk (48,1 %).

b. Karasteristik Sampel Berdasarkan Jumlah Kontainer Pada

Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol

Penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah kontainer yaitu

untuk pekan pertama kelompok perlakuan sebanyak 51 %

kontainer dan untuk pekan pertama kelompok kontrol sebanyak

49 % kontainer kemudian pekan kedua sampai dengan kelima

kontainer yang diperiksa berkurang dikarenakan terdapat

beberapa kontainer yang dibuang sehingga jumlah kontainer pada

kelompok perlakuan sebanyak 52 % kontainer dan pada


65

kelompok kontrol sebanyak 48 % kontainer. Data tersebut tersaji

dalam diagram 5.1.

Diagram 5.1
Distribusi Jumlah Kontainer Kelompok Kontrol dan
Perlakuan
60
51 49 52 52 52 52
50 48 48 48 48

40

30
%

20

10

0
PEKAN I PEKAN II PEKAN III PEKAN IV PEKAN V

KELOMPOK PERLAKUAN KELOMPOK KONTROL

Sumber: Data Primer, 2023

c. Karasteristik Sampel Berdasarkan Letak Kontainer Pada

Kelompok Perlakuan

Diagram 5.2
Distribusi Letak Kontainer Kelompok Perlakuan
60 53 53 53 53
49 51 47 47 47 47
50
40
30
%

20
10
0
PEKAN I PEKAN II PEKAN III PEKAN IV PEKAN V

PEKAN LUAR PEKAN DALAM

Sumber: Data Primer, 2023

Berdasarkan diagram 5.2 menunjukkan bahwa pada

kelompok perlakuan jumlah kontainer yang diperiksa pada pekan


66

pertama sebanyak 49 % kontainer berada di luar dan 51%

kontainer berada di dalam, selanjutnya pada pekan kedua sampai

dengan kelima kontainer yang diperiksa sebanyak 47 % kontainer

berada di luar dan 53 % kontainer berada di dalam.

d. Karasteristik Sampel Berdasarkan Letak Kontainer Pada

Kelompok Kontrol

Diagram 5.3
Distribusi Letak Kontainer Kelompok Kontrol
70
59
60 55 55 55 55
50 45 45 45 45
41
40
%

30
20
10
0
PEKAN I PEKAN II PEKAN III PEKAN IV PEKAN V

LUAR DALAM

Sumber: Data Primer, 2023

Berdasarkan diagram 5.3 menunjukkan bahwa pada

kelompok kontrol jumlah kontainer yang diperiksa pada pekan

pertama sebanyak 59 % berada di luar dan 41 % berada di dalam,

selanjutnya pada pekan kedua sampai dengan kelima kontainer

yang diperiksa sebanyak 55 % berada di luar rumah dan 45 % di

dalam rumah.

2. Uji Normalitas
67

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model

regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki disrtibusi normal.

Uji normalitas juga melihat apakah model regresi yang digunakan sudah

baik. Model regresi yang baik yaitu memiliki distribusi normal atau yang

mendekati normal. Penelitian ini menggunakan analisis statistik Shapiro-

Wilk, jika probabilitas value > 0,05 maka data terdistribusi normal dan

jika probabilitas value < 0,05 maka data terdistribusi tidak normal.

Tabel 5.2
Uji Normalitas
Shapiro-Wilk
Variabel Mean
Statistik Df Sig
Perlakuan 5,3 % 0, 730 5 0,019
House Index
Kontrol 6,2 % 0, 853 5 0,203
Container Perlakuan 2,6 % 0, 766 5 0,041
Index Kontrol 3,7 % 0, 875 5 0,286
Perlakuan 6,6 % 0, 751 5 0,030
Breteau Index
Kontrol 8,8 % 0, 850 5 0,195
Sumber: Data Primer, 2023

Berdasarkan tabel 5.1 menunjukkan bahwa penelitian ini memiliki

6 nilai uji statistik. Uji statistik pada house index kelompok perlakuan

memiliki nilai uji 0,19 yaitu di bawah 0,05 dan pada kelompok kontrol

memiliki nilai uji 0,203 yaitu di atas 0,05, selanjutnya pada container

index kelompok perlakuan memiliki nilai uji 0,041 yaitu di bawah 0,05

dan pada kelompok kontrol memiliki nilai uji 0,286 yaitu di atas 0,05

selanjutnya pada breteau index kelompok perlakuan memiliki nilai uji

0,030 yaitu di bawah 0,05 dan pada kelompok kontrol memiliki nilai uji

0,195 yaitu di atas 0,05.


68

Nilai uji statistik ditemukan bahwa terdapat 3 variabel yang

memiliki nilai uji di atas 0,05 dan 3 variabel dibawah < 0,05 yang berarti

data tersebut terdistribusi tidak normal dikarenakan terdapat data yang

dibawah 0,05.

3. Distribusi Frekuensi Pengendalian Fisik Dan Biologi Pada

Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol

a. Kelompok perlakuan

Pengendalian fisik dan biologi pada penelitian ini, pertanyaan

nomor 1 responden menjawab untuk pekan pertama secara

keseluruhsn responden belum pernah melakukan penvegahan

melalui abate selanjutnya pada pekan kedua sampai dengan pekan

kelima sebanyak 16 responden melakukan pencegahan melalui

abate; pada pertanyaan nomor 2 secara keseluruhan dari pekan

pertama sampai dengan pekan kelima responden selalu melakukan

pengurasan pada tempat penampungan air; pada pertanyaan nomor 3

sebanyak 5 rumah yang memiliki vas bunga yang berisi air; pada

pertanyaan nomor 4 sebanyak 8 rumah yang terdapat air minum

hewan; pada pertanyaan nomor 5 tidak terdapat rumah yang

memiliki saluran/talang air yang rusak; pada pertanyaan nomor 6

sebanyak 1 rumah yang terdapat pohon yang berpotensi menjadi

tempat bersarang nyamuk; pada pertanyaan nomor 7 terdapat 19

rumah yang memasang kawat kasa; kemudian pertanyaan nomor 8

pada pekan ketiga dan keempat paling sedikit ditemukan pakaian


69

menggantung dalam rumah yaitu sebanyak 31 rumah dan paling

banyak ditemukan pada pekan pertama sebanyak 39 rumah dan pada

pertanyaan nomor 9 hanya 3 rumah yang terdapat memelihara ikan

pemakan jentik. Data tersebut tersaji dalam diagram 5.2 berikut.

Diagram 5.4
Distribusi Frekuensi Pengendalian Fisik dan Biologi Kelompok Perlakuan

50 45
39
40 34 32
31
30
Jawaban Iya

19
20 16
10 8
5 3
0 0 1
0
e a n r n a g ik
b at T PA ng wa Ai ho as tun nt
A u e n o t K n J e
ui da as
B H ra P
wa rg
a
an
l al Pa V um a lu a da a e k
e n i in S P K T a
n
M a sa i l ik t M i ki ng ng i a n em
a ur a a a a P
ah em pa er
b ob as ak an
g e ng M e m p -L e m P Ik
c e P T m g t i
n ki e
ba
n M pa il i
k
Pe il i M o r da m
L e
em p Te M
M u tu
en
M
n total = 45

PEKAN I PEKAN II PEKAN III PEKAN IV PEKAN V

Sumber: Data Primer, 2023

b. Kelompok Kontrol

Pengendalian fisik dan biologi pada penelitian ini,, pada

pertanyaan nomor 1 responden secara keseluruhan dari pekan

pertama sampai dengan pekan kelima menjawab tidak yaitu belum

pernah melakukan pencegahan DBD melalui abatesasi; pada

pertanyaan nomor 2 secara keseluruhan dari pekan pertama sampai


70

dengan pekan kelima responden selalu melakukan pengurasan pada

tempat penampungan air; pada pertanyaan nomor 3 sebanyak 2

rumah yang memiliki vas bunga yang berisi air; pada pertanyaan

nomor 4 sebanyak 10 rumah yang terdapat air minum hewan, pada

pertanyaan nomor 5 tidak terdapat rumah yang memiliki

saluran/talang air yang rusak, pada pertanyaan nomor 6 hanya tidak

terdapat pohon yang menjadi tempat bersarang nyamuk, pada

pertanyaan nomor 7 terdapat 23 rumah yang memasang kawat kasa,

kemudian pertanyaan nomor 8 pada pekan ketiga paling sedikit

ditemukan pakaian menggantung dalam rumah yaitu sebanyak 28

rumah dan paling banyak ditemukan pada pekan kedua sebanyak 35

rumah dan pada pertanyaan nomor 9 sebanyak 6 rumah yang

terdapat memeelihara ikan pemakan jentik. Data tersebut tersaji

dalam diagram 5.3 berikut.


71

Diagram 5.5
Distribusi Frekuensi Pengendalian Fisik dan Biologi Kelompok Kontrol
50
45
45
40
35 34
35 33 32
30 28
25 23
20
15
10
Jawaban Iya

10 6
5 2
0 0 0
0
e a n r n a g ik
b at T PA ng wa Ai ho as tun nt
u e n o K n e
iA a sB H
ur
a P at ga
J
a lu Pad a m l da
a w e r ka n
el iV u S a a a
n in P K T
n
M a sa i l ik t M i ki n g n g i a n e m
a ur ba a a a P
ah em pa er ob as ak an
g e ng M e m p -L e m P Ik
e P T m g t i
nc ki e n M pa il i
k
Pe il i M o ba da
L r e m
em up Te M
M ut
en
M

n Total = 45

PEKAN I PEKAN II PEKAN III PEKAN IV PEKAN V

Sumber: Data Primer, 2023


72

4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Hasil Penelitian

a. Distribusi Frekuensi Kontainer Positif

Diagram 5.6
Distribusi Frekuensi Kontainer Positif
120
100 100 100 100 100
100 92

80 72

60
%

40 27
20 8
0 0 0 0 00
0 0
PEKAN I PEKAN II PEKAN III PEKAN IV PEKAN V

KELOMPOK PERLAKUAN LUAR


KELOMPOK PERLAKUAN DALAM
KELOMPOK KONTROL LUAR
KELOMPOK KONTROL DALAM

Sumber: Data Primer, 2023

Diagram 5.4 menunjukkan bahwa pada penelitian ini kontainer

positif banyak ditemukan di luar rumah bukan kontainer yang berada

di dalam rumah. Pekan pertama pada kelompok perlakuan kontainer

positif yang berada di luar rumah sebanyak 73 % dan sebanyak 27 %

yang berada di dalam rumah, kemudian pada pekan pertama

kelompok kontrol kontainer positif yang berada di luar rumah

sebanyak 92 % dan 8 % yang berada di dalam rumah.

Pekan kedua dan keempat pada kelompok perlakuan kontainer

positif yang berada di luar rumah sebanyak 100 % dan 0 yang berada
73

di luar rumah, kemudian pada pekan ketiga dan kelima tidak terdapat

kontaier positif didalam ataupun di luar rumah.

Pekan kedua, keempat dan kelima pada kelompok kontrol

kontainer positif yang berada di luar rumah sebanyak 100 % dan

tidak terdapat kontainer positif di dalam rumah kemudian pada

pekan ketiga tidak terdapat kontainer positif yang berada di luar

ataupun di dalam rumah.

b. Distribusi Frekuensi House Index Antara Kelompok Perlakuan

dan Kelompok Kontrol Selama Intervensi

Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi House Index Antara Kelompok Perlakuan
dan Kelompok Kontrol
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Pekan
n % n %
I 9 20 8 17.78
II 2 4.44 4 8.89
III 0 0 0 0
IV 1 2.22 1 2.22
V 0 0 1 2.22
Sumber: Data Primer, 2023

Diagram 5.7
Distribusi Frekuensi House Index Antara Kelompok Perlakuan
dan Kelompok Kontrol
25
20
2017.78

15
%

10 8.89

4.44
5 2.22 2.22
0
0 0
PEKAN I PEKAN II PEKAN III PEKAN IV PEKAN V

KELOMPOK PERLAKUAN KELOMPOK KONTROL


74

Sumber: Data Primer, 2023


Berdasarkan tabel 5.6 dan diagram 5.1 menunjukkan bahwa

pada pekan pertama sampai dengan pekan kelima kelompok

perlakuan maupun kelompok kontrol mengalami pergerakan grafik

yang siginifikan. Pekan pertama kelompok perlakuan lebih banyak

rumah yang terdapat larva DBD sebanyak 9 rumah (20 %) dan pada

kelompok kontrol rumah positif sebanyak 8 rumah (17,78 %). Pekan

kedua sampai dengan pekan ketiga antara kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol masing-masing mengalami penurunan, pekan

kedua pada kelompok perlakuan sebanyak 2 rumah (4,44 %) dan

pada kelompok kontrol sebanyak 4 rumah (8,89 %).

Pekan ketiga antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol

tidak ditemukan rumah yang positif larva ae. aegypti, selanjutnya

pada pekan keempat kembali lagi terdapat rumah yang positif larva

ae. aegypti pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol masing-

masing terdapat 1 rumah yang positif ae. aegypti, dan untuk pekan

kelima kelompok perlakuan kembali tidak terdapat rumah yang

positif larva ae. aegypti sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 1

rumah (2, 22 %) yang positif larva ae. aegypti.

c. Distribusi Frekuensi Container Index Antara Kelompok

Perlakuan dan Kelompok Kontrol Selama Intervensi


75

Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Container Index Antara Kelompok
Perlakuan dan Kelompok Kontrol Selama Intervensi
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Pekan
n % n %
I 11 9.40 12 10.61
II 3 2.77 5 4.95
III 0 0 0 0
IV 1 0.92 2 1.98
V 0 0 1 0.99
Sumber: Data Primer, 2023

Diagram 5.8
Distribusi Frekuensi Container Index Antara Kelompok
Perlakuan dan Kelompok Kontrol Selama Intervensi
12 10.61
10 9.4

8
6 4.95
%

4 2.77 1.98
2 0.99
0 0.92
0 0
PEKAN I PEKAN II PRKAN III PEKAN IV PEKAN V

KELOMPOK PERLAKUAN KELOMPOK KONTROL


Sumber: Data Primer, 2023

Berdasarkan tabel 5.7 dan diagram 5.2 menunjukkan bahwa

pada pekan pertama sampai dengan pekan kelima kelompok

perlakuan maupun kelompok kontrol mengalami pergerakan grafik

yang siginifikan. Pekan pertama kelompok perlakuan lebih sedikit

kontainer yang terdapat larva DBD sebanyak 11 kontainer (9,40 %)

dan pada kelompok kontrol kontainer positif sebanyak 12 kontainer

(10,61 %). Pekan kedua sampai dengan pekan ketiga antara


76

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol masing-masing

mengalami penurunan, pekan kedua pada kelompok perlakuan

sebanyak 3 kontainer (2,77 %) dan pada kelompok kontrol sebanyak

5 kontainer (4,95 %).

Pekan ketiga antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol

tidak ditemukan kontainer yang positif larva ae. aegypti, selanjutnya

pada pekan keempat kembali lagi terdapat kontainer yang positif

larva ae. aegypti pada kelompok perlakuan sebanyak 1 kontainer (0,

92 %) dan kelompok kontrol terdapat 2 kontainer (1, 98 %) yang

positif ae. aegypti dan untuk pekan kelima kelompok perlakuan

kembali tidak terdapat kontainer yang positif larva ae. aegypti

sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 1 kontainer (0,99 %)

yang positif larva ae. aegypti.

d. Distribusi Frekuensi Breteau Index Antara Kelompok Perlakuan

Dan Kelompok Kontrol Selama Intervensi

Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Breteau Index Antara Kelompok
Perlakuan Dan Kelompok Kontrol Selama Intervensi
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Pekan
n % n %
I 11 24.44 12 26.67
II 3 6.67 5 11.10
III 0 0 0 0
IV 1 2.22 2 4.44
V 0 0 1 2.22
Sumber: Data Primer, 2023
77

Diagram 5.9
Distribusi Frekuensi Breteau Index Antara Kelompok
Perlakuan dan Kelompok Kontrol Selama Intervensi
30 26.67
25 24.44
20
15
%

11.1
10
4.44
5 6.67 2.22
0 2.22
0
0
PEKAN I PEKAN II PRKAN III PEKAN IV PEKAN V

KELOMPOK PERLAKUAN KELOMPOK KONTROL


Sumber: Data Primer, 2023

Berdasarkan tabel 5.8 dan diagram 5.3 menunjukkan bahwa

pada pekan pertama sampai dengan pekan kelima kelompok

perlakuan maupun kelompok kontrol mengalami pergerakan grafik

yang siginifikan. Pekan pertama kelompok perlakuan lebih sedikit

kontainer yang terdapat larva DBD sebanyak 11 kontainer (9,40 %)

dan pada kelompok kontrol kontainer positif sebanyak 12 kontainer

(10,61 %). Pekan kedua sampai dengan pekan ketiga antara

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol masing-masing

mengalami penurunan, pekan kedua pada kelompok perlakuan

sebanyak 3 kontainer (2,80 %) dan pada kelompok kontrol sebanyak

5 kontainer (4,95 %).

Pekan ketiga antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol

tidak ditemukan kontainer yang positif larva ae. aegypti, selanjutnya

pada pekan keempat kembali lagi terdapat kontainer yang positif

larva ae. aegypti pada kelompok perlakuan sebanyak 1 kontainer (0,


78

93 %) dan kelompok kontrol terdapat 2 kontainer (1, 98 %) yang

positif ae. aegypti dan untuk pekan kelima kelompok perlakuan

kembali tidak terdapat kontainer yang positif larva ae. aegypti

sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 1 kontainer (0,99 %)

yang positif larva ae. aegypti.

5. Analisis Bivariat

Tabel 5.6
Hasil Uji Hipotesis (Mann-Whitney U)
P
Media Maksimu Minimu
Variabel Valu
n m m
e
Perlakua 20 0
House 2.2
n 0.74
Index 17.7 0
Kontrol 2.2
Perlakua 9.4 0
Contain 0.9
n 0.45
er Index 10.6 0
Kontrol 1.9
Perlakua 24.4 0
Breteau 2.2
n 0.52
Index 26.6 0
Kontrol 4.4
Sumber: Data Primer, 2023

Tabel 5.9 pada penelitian ini, hasil uji hipotesis menunjukkan

bahwa p value House index, Container Index dan Breteau Index masing

masing 0.74, 0.45 dan 0.52 melebihi 0,05 yang berarti Ho diterima dan

Ha ditolak.

C. Pembahasan Hasil Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan di Kabupaten Polewali Mandar,

Kecamatan Polewali, Kelurahan Pekkabata, Lingkungan Koppe sebagai

kelompok perlakuan dan Lingkungan Padaelo sebagai kelompok kontrol

dengan melakukan pengamatan langsung terkait pengendalian fisik dan


79

pengendalian biologi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol serta

melakukan proses abatesasi pada kelompok perlakuan.

Sebanyak 45 rumah dijadikan sampel pada kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol pekan pertama sampai dengan pekan kelima dan

melakukan pemeriksaan pada setiap tempat perindukan nyamuk aedes berupa

genangan air yang tertampung lebih dari 24 jam dalam suatu wadah yang

disebut kontainer. Kontainer yang diperiksa meliputi TPA dan non TPA yang

berada di dalam maupun di luar ruangan. Kontainer pekan pertama sebanyak

117 kontainer pada kelompok perlakuan dan 113 kontainer pada kelompok

kontrol serta untuk pekan kedua sampai dengan pekan kelima sebanyak 108

kontainer pada kelompok perlakuan dan 101 kontainer pada kelompok

kontrol.

TPA merupakan tempat penampungan air yang bersifat tetap, biasanya

dipakai untuk keperluan rumah tangga atau dalam kehidupan sehari-hari dan

umumnya kondisi airnya tenang, jernih, dan tidak mengalir. Adapun yang

bukan Tempat Penampungan Air (non TPA) adalah wadah yang bisa

menampung air, tetapi bukan untuk keperluan sehari-hari, misalnya tempat

minum hewan peliharaan, barang bekas (ban, botol), vas bunga,

penampungan dispenser dan lain-lain. Adapun kontainer yang dimaksud

adalah bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiak nyamuk Aedes sp

(Arfan, Saleh and Cambodiana, 2019).

Pemeriksaan jentik secara visual dilakukan dengan melihat ada atau

tidaknya larva Aedes pada setiap kontainer yang diperiksa. Alat untuk survei
80

jentik visual adalah lampu, senter, lembar observasi dan alat tulis untuk

mencatat hasil observasi. Sasaran survei adalah tempat-tempat yang

memungkinkan air tergenang, karena merupakan tempat biasa nyamuk Aedes

aegypti berkembang biak. Nyamuk Ae. aegypti betina selalu meletakkan telur

di dinding tempat penampungan air atau barang-barang yang memungkinkan

air tergenang (Lutfiana et al., 2012).

Pemberantasan sarang nyamuk dalam penelitian ini dilakukan dengan

melakukan pemberian temephos pada kelompok perlakuan dan tidak

diberikan pada kelompok kontrol serta melakukan pengendalian fisik dan

pengendalian bilogi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol

dikarenakan peneliti ingin melihat perbedaan larva Ae. aegypti pada

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan intervensi yang berbeda.

1. Kepadatan Nyamuk (House Index, Container Index dan Breteau

Index) Selama Intervensi

Berdasarkan hasil uji statistik didapati untuk House Index,

Container Index dan Breteau Index mengalami pergerakan grafik yang

signifikan, pekan pertama sampai dengan pekan ketiga kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol mengalami penurunan grafik yang

berarti setiap pekannya semakin berkurang rumah dan kontainer yang

positif larva Ae. Aegypti tetapi pekan keempat kembali ditemukan larva

pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dan pekan kelima tak

ditemukan larva pada kelompok perlakuan tetapi ditemukan larva pada

kelompok kontrol.
81

Berdasarkan data dari BMKG stasiun Pos Meteorologi Majene

curah hujan pada Kecamatan Polewali antara pertama dan kedua pada

tanggal 21 Desember 2022 - 27 Desember 2022 antara kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol berada pada 0 – 84 mm/hari yang

dikategorikan sebagai hujan lebat. Curah hujan antara pekan kedua

sampai pekan ketiga pada tanggal 28 Desember 2022 – 3 januari 2023

antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berada pada 0 – 1

mm/hari yang dikategorikan berawan. Curah hujan antara pekan ketiga

sampai dengan pekan keempat pada tanggal 4 Januari 2023 – 10 Januari

2023 antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berada pada 1 –

33.7 dikategorikan sebagai hujan sedang. Curah hujan pada rentan pekan

keempat sampai dengan pekan kelima pada tanggal 11 Januari 2023 – 18

Januari 2023 antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berada

pada 0 – 10.5 dikategorikan sebagai hujan ringan.

Berdasarkan data dari BMKG tersebut dapat kita lihat bahwa curah

hujan pada lokasi penelitian sangat mempengaruhi proses penelitian

dikarenakan kondisi cuaca juga berubah-ubah dalam hal ini curah hujan

(RR) juga berubah-ubah pada setiap pekan bahkan setiap harinya. Larva

yang ditemukan mulai dari pekan pertama sampai pada pekan kelima

juga tidak tetap karena banyaknya kontainer terdapat di luar rumah yang

menjadi tempat bersarangnya larva yang berasal dari air hujan yang

tergenang.
82

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Ade Pryta Simaremare,

Novita Hasiani Simanjuntak, dan Saharnauli J. V. Simorangkir dari

Fakultas Kedokteran, Universitas HKBP Nommensen tahun 2020 terkait

keberadaan larva Ae. Aegypti mengatakan bahwa perubahan cuaca dari

musim kemarau ke musim penghujan juga mempengaruhi keberadaan

jentik nyamuk tersebut oleh karena semakin besarnya kemungkinan

untuk terdapat genangan air hujan di kontainer-kontainer yang tidak

tertutup sebagai tempat persemaian jentik-jentik nyamuk tersebut. Jentik-

jentik tersebut bisa berada pada tempat-tempat yang memungkinkan

terdapatnya genangan air seperti pot bunga, botol minuman bekas, ban

bekas, talang, dan lain-lain (Simaremare, Simanjuntak and Simorangkir,

2020).

Pada kelompok perlakuan tidak semua rumah diberikan abate pada

penampungan airnya, tetapi hanya 16 rumah dari 45 rumah yang

memiliki penampungan air, seperti tandon ataupun bak air yang

diberikan perlakuan yaitu abate. Rumah-rumah yang lain juga memiliki

penampungan air seperti ember ataupun bak mandi tetapi untuk

digunakan sehari-hari yang tentu saja dalam setiap 24 jam mengalami

pengurasan dan Ketika diberikan perlakuan abate tidak berdampak

karena akan dikuras, berbeda dengan 16 rumah tersebut yang

penampungan air tidak dilakukan pengurasan dalam 24 jam.

Larva Ae. Aegypti pada kelompok perlakuan ataupun pada

kelompok kontrol banyak ditemukan pada kontainer yang berada di luar


83

rumah dibandingkan kontainer yang berada di dalam rumah. Hal tersebut

dikarenakan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol selalu

melakukan pengurasan pada kontainer yang berada di dalam rumah tetapi

tidak memperhatikan beberapa kontainer yang berada di luar rumah

terlebih lagi ketika pada musim penghujan tiba berpotensi semakin

banyak kontainer yang berpotensi menjadi tempat air untuk tergenang

sebagai sarang perkembangbiakan nyamuk aedes aegypti.

Pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, kontainer

terbanyak ditemukan pada pekan pertama. Banyak gelas-gelas air bekas

dan tempurung kelapa bekas yang ditemukan kemudian di periksa lalu

dibuang sehingga pada pekan selanjunya kontainer semakin berkurang.

2. Perbedaan House Index, Container Index dan Breteau Index Antara

Kelompok Perlakuan Dengan Kelompok Kontrol Selama Intervensi

Hasil uji bivariat atau uji perbedaan dalam penelitian ini

menggunakan uji T tidak berpasangan yaitu Mann-Whitney ditemukan

bahwa House Index, Container Index dan Breteau Index antara kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol memiliki nilai statistik lebih dari standar

yang berarti hipotesis nol diterima dan hipotesis alternatif ditolak. Artinya

tidak ada perbedaan signifikan keberadaan larva Ae. Aegypti antara

kelompok perlakuan yang melakukan pengendalian kimia (abate),

pengendaluan fisik dan pengendalian biologi dengan kelompok kontrol

yang melakukan pengendalian fisik dan pengendalian biologi.


84

Tidak ada perbedaan yang dimaksud ialah intervensi yang diberikan

pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tidak memiliki perbedaan

yang signifikan dikarenakan keberadaan larva Ae. Aegypti pada kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol pada setiap pekannya sama saja.

Pergerakan grafik tidak berbeda jauh tetapi hanya berbeda pada angkanya

saja tetapi pergerakan grafiknya sama. Hal tersebut dapat terjadi

dikarenakan pemberian abate hanya pada TPA dan larva DBD banyak

ditemukan pada kontainer-kontainer non TPA yang hanya dilakukan

pengendalian fisik dan biologi.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Zuhriyah dkk., (2016) yang mendapatkan bahwa terdapat perbedaan

HI, CI, dan BI pada kontainer di kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan yang menggunakan metode Ovitrap di Kota Malang. Perbedaan

yang dimaksud adalah penurunan jumlah jentik Ae. Aegypti secara

signifikan sehingga penggunaan Ovitrap tersebut efektif dalam

pengendalian jentik. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh

Maridana M., dkk., (2016) menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan

pada kelompok perlakuan dan kontrol di indeks kepadatan larva Ae.

Aegypti (HI,CI,BI) di wilayah Kelurahan Harapan Baru Kota Samarinda.

Ada beberapa faktor yang kemungkinan menyebabkan perbedaan

hasil dari beberapa penelitian, yaitu waktu intervensi, bentuk intervensi

yang diberikan, dan lingkungan penelitian. Perbedaan lama waktu

intervensi yag diberikan akan memengaruhi kepadatan jentik dan


85

efektivitas sebuah metode, semakin sering pemberian abate dan semakin

lama diterapkan maka kemungkinan kontainer yang berisi larva akan

berkurang. Kemudian terkadang disetiap penelitian berbeda metode dalam

memberikan abate yang dilakukan. Hal ini dapat berpengaruh pada

perkembangan larva disetiap kontainer. Lingkungan penelitian juga

mempengaruhi populasi nyamuk Ae. Aegypti karena pada saat

pelaksanaan penelitian, lingkungan dalam kondisi lembab dan curah hujan

yang tinggi. Hal tersebut akan semakin membuat kondisi lingkungan

menjadi optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Ae.

Aegypti.

Faktor lain yang didapatkan dilapangan adalah kebiasaan masyarakat

yang masih kurang berpartisipasi dalam kegiatan pencegahan. Masyarakat

membersihkan kontainer lebih dari 1 minggu yang tidak sesuai dengan

kegiatan PSN (pemberantasan sarang nyamuk) yang telah ditetapkan oleh

Pemerintah. Penggunaan abate yang masih menggunakan cara lama juga

berpengaruh terhadap perkembangbiakan nyamuk Ae. Aegypti (Mardiana

M., Wingki S., & Lisa W. O., 2016).


86

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian yang

berjudul “Efektivitas Temephos dalam Pengendalian Vektor Kejadian

Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Pekkabata Kabupaten

Polewali Mandar Tahun 2022” adalah sebagai berikut:

1. Kepadatan nyamuk House Index, Container Index dan Breteau Index

menurun setiap pekannya baik pada kelompok perlakuan ataupun

kelompok kontrol.

2. Tidak ada perbedaan House Index antara kelompok perlakuan dengan

kelompok kontrol selama intervensi.

3. Tidak ada perbedaan Container Index antara kelompok perlakuan dengan

kelompok kontrol selama intervensi.

4. Tidak ada perbedaan Breteau Index antara kelompok perlakuan dengan

kelompok kontrol selama intervensi.


87

B. Saran

1. Kepada masyarakat hendaknya memperhatikan pelaksanaan PSN DBD

baik pengendalian secara fisik, pengendalian secara kimia ataupun

pengendalian secara biologi.

2. Kepada pihak pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten

Polewali Mandar secara umum dan Puskesmas Pekkabata secara khusus

untuk aktif melakukan pelayanan kesehatan guna sebagai upaya

memberantas kejadian DBD.

3. Kepada peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang sama

agar memperhatikan metode penelitian yang lebih akurat agar

memperoleh hasil penelitian yang lebih maksimal.

4.
DAFTAR PUSTAKA

Adnan, A.B. and Siswani, S. (2013) ‘Hubungan Faktor Penggerakan


Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue Dengan Angka
Bebas Jentik Di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Majalengka, Jawa
Barat’, Jurnal Untuk Masyarakat Sehat (JUKMAS), 3(2), pp. 1–7.
Amira, I., Hendrawati and Senjaya, S. (2019) ‘Perilaku Masyarakat Dalam Upaya
Pencegahan Penyakit Demam Berdarah (DBD) Melalui Metode
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Di Desa Karyalaksana Kecamatan
Ibun Kabupaten Bandung’, Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada:Jurnal
Ilmu Ilmu Keperawatan, Analis Kesehatan dan Farmasi, 19(2), pp. 169–
177.
Arfan, I., Saleh, I. and Cambodiana, M. (2019) ‘Keberadaan Jentik Aedes Sp
Berdasarkan Karakteristik Kontainer Di Daerah Endemis Dan Non
Endemis Demam Berdarah Dengue’, Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan:
Wawasan Kesehata, 5(2).
Arsin, A.A. (2013) Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia.
Makassar: Masagena Press.
Atikasari, E. and Sulistyorini, L. (2018) ‘Pengendalian Vektor Nyamuk Aedes
Aegypti Di Rumah Sakit Kota Surabaya’, The Indonesia Jornal Public
Health, 13(1), pp. 71–82.
Butarbutar, R.N., Sumampouw, O.J. and Pinontoan, O.R. (2019) ‘Trend Kejadian
Demam Berdarah Dengue Di Kota Manado Tahun 2009-2018’, Jurnal
KESMAS, 8(6), pp. 364–370.
Candra, A. (2010) ‘Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan’, Aspirator, 2(2), pp. 110–119.
Debes, M.S. et al. (2016) ‘Dengue Fever in Adults, a Retrospective Study’,
American Journal of Internal Medicine, 4(6), pp. 93–100.
Depkes RI (2009) Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Di Rumah
Tangga. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI & Ditjen PPM & PLP (1999) Demam Berdarah dapat Dicegah
Dengan Pemberantasan Jentik Nyamuknya. Jakarta: Departemen

88
89

Kesehatan
Republik Indonesia.
Desniawati, F. (2014) Pelaksanaan 3M Plus Terhadap Keberadaan Larva Aedes
Aegypti Di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Kota Tangerang Selatan
Bulan Mei-Juni Tahun 2014. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
Dewangga, V.S. et al. (2022) ‘Edukasi Manfaat Lilin Kayu Manis Sebagai Anti
Nyamuk Di Kelurahan Pucang Sawit’, Jurnal Budimas, 04(01), pp. 1–6.
Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar (2022) Kasus Demam Berdarah
dengue tahun 2019 - 2021. Polewali.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat (2020) Kasus Demam Berdarah
Dengue (Dbd) tahun 2019 Menurut Jenis Kelamin, Kecamatan, Dan
Puskesmas. Mamuju.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat (2021) Kasus Demam Berdarah
Dengue (Dbd) tahun 2020 Menurut Jenis Kelamin, Kecamatan, Dan
Puskesmas. Mamuju.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat (2022) Kasus Demam Berdarah
Dengue (DBD) Tahun 2021 Menurut Jenis Kelamin, Kecamatan, Dan
Puskesmas. Mamuju.
Ebnudesita, F.R. (2020) Hubungan Pengetahuan Abatisasi Dengan Praktek
Penggunaan Abate Untuk Pemberantasan Jentik Nyamuk Di Desa Jatisari
Kabupaten Madiun. Universitas Airlangga.
Fadilla, Z., Hadi, U.K. and Setiyaningsih, S. (2015) ‘Bioekologi vektor demam
berdarah dengue (DBD) serta deteksi virus dengue pada Aedes aegypti
(Linnaeus) dan Ae. albopictus (Skuse) (Diptera: Culicidae) di kelurahan
endemik DBD Bantarjati, Kota Bogor’, Jurnal Entomologi Indonesia,
2(1), pp. 31–38.
Goindin, D. et al. (2017) ‘Levels of insecticide resistance to deltamethrin,
malathion, and temephos, and associated mechanisms in Aedes aegypti
mosquitoes from the Guadeloupe and Saint Martin islands (French West
Indies)’, BioMed Central [Preprint].
90

Hasibuan, R. (2020) Komunikasi Petugas Dan Telaah Faktor Lingkungan Dalam


Konteks Penerapan Program Penanggulangan Demam Berdarah Dengue
Di Kota Medan. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (2014) Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana
Infeksi Dengue pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Indrayani, Yoeyoen, A. and Wahyudi, T. (2018) InfoDatin Situasi Demam
Berdarah Dengue 2017. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Kasman, Riza, Y. and Rosana, M. (2019) ‘Efektivitas ekstrak tanaman Gadung
(Dioscorea hispida Dennts) dalam mengendalikan jentik nyamuk’, Journal
Of Health Epidemiology and Communicable Diseases, 5(2), pp. 49–53.
Kemenkes RI (2012) Pedoman Penggunaan Insektisida (Peptisida) dalam
Pengendalian Vektor. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Kemenkes RI (2017) Tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan Dan
Persyaratan Kesehatan Untuk Vektor Dan Binatang Pembawa Penyakit
Serta Pengendaliannya. Indonesia.
Kemenkes RI (2018) Infodatin : Situasi Penyakit DBD di Indonesia Tahun 2017.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI (2021) Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2020. Jakarta.
Kemenkes RI (2022) Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2021. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI (2017) Pedoman Pencegahan dan Pengendalian
Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Khairunisa, U., Wahyuningsih, N.E. and Hapsari (2017) ‘Kepadatan Jentik
Nyamuk Aedes sp. (House Index) sebagai Indikator Surveilans Vektor
Demam Berdarah Denguedi Kota Semarang’, JURNAL KESEHATAN
MASYARAKAT, 5(5), pp. 356–3346.
Lutfiana, M. et al. (2012) ‘Survei Jentik Sebagai Deteksi Dini Penyebaran
Demam Berdarah Dengue (Dbd) Berbasis Masyarakat Dan Berkelanjutan’,
Jurnal Ilmiah Mahasiswa, 2(1).
91

Mardiana, M. dkk. (2016) ‘Pengaruh Penggunaan Ovitrap Terhadap Indeks


Kepadatan Larva Aedes Aegypti (House Index, Container Index, Breteau
Index) Di Wilayah Kelurahan Harapan Baru Kecamatan Loa Janan Ilir
Kota Samarinda’. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Samarinda.
Masykur, F.A. (2022) ‘Hubungan Antara Lama Demam dengan Hasil
Pemeriksaan Profil Darah pada Pasien Demam Berdarah Dengue’, Jurnal
Ilmu Medis Indonesia, 1(2), pp. 53–58.
Nisa, A., Hartono and Sugiharto, E. (2016) ‘Analisis Spasial Dinamika
Lingkungan Pada Kejadian DBD Berbasis GIS di Kecamatan Colomadu
Kabupaten Karanganyar’, Journal of Information Systems for Public
Health, 1(2), pp. 1–6.
Panjitan, P.L. (2015) Evaluasi Beberapa Metode Pengendalian Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Dki Jakarta. Universitas Gajah Mada.
Priesley, F., Reza, M. and Rusdji, S.R. (2018) ‘Angka kejadian DBD yang terus
meningkat ditambah dengan siklus hidup Aedes sebagai vektor DBD yang
cepat adalah alasan pentingnya melakukan tindakan pengendalian vektor.
Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menciptakan kondisi yang tidak
sesuai bagi perkem’, Jurnal Kesehatan Andalas, 7(1), pp. 124–130.
Rawani, A., Nazriati, E. and Anita, S. (2018) ‘Pengaruh Gerakan 3M Plus
Terhadap Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti Di Rw 01
Kepenghuluan Melayu Besar Kecamatan Tanah Putih Tanjung
Melawanan’, Ilmu Lingkungan, 12(1), pp. 1–12.
Sa’iida, F. (2017) ‘Pengaruh Tingkat Sosial Ekonomi Perilaku 3m Plus Dan
Abatisasi Dan Kondisi Sanitasi Lingkungan Terhadap Kejadian Demam
Berdarah Dengue (Dbd) Di Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto’,
Jurnal Pendidikan Geografi, 4(3), pp. 50–60.
Salawati, T., Astuti, R. and Nurdiana, H. (2010) ‘Kejadian Demam Berdarah
Dengue Berdasarkan Faktor Lingkungan dan Praktik Pemberantasan
Sarang Nyamuk’, Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, 6(1), pp. 1–10.
Sangadji, E.M. and Sopiah (2010) Metodologi Penelitian. Yogyakarta: C.V ANDI
OFFSET.
92

Sartiwi, W., Apriyeni, E. and Sari, I.K. (2018) ‘Hubungan Pengetahuan dan Sikap
dengan Perilaku Keluarga tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk Deman
Berdarah Dengue di Korong Sarang Gagak Wilayah Kerja Puskesmas
Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman’, Jurnal Medika Saintika,
9(2), pp. 144–158.
Simaremare, A.P., Simanjuntak, N.H. and Simorangkir, S.J. V. (2020) ‘Hubungan
Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan terhadap DBD denganKeberadaan
Jentik di Lingkungan Rumah Masyarakat Kecamatan Medan Marelan
Tahun 2018’, Jurnal Vektor Penyakit, 14(1), pp. 1–8.
Sinaga, L.S., Martini and Saraswati, L.D. (2016) ‘Status Resistensi Larva Aedes
aegypti (Linnaeus) terhadap Temephos (Studi di Kelurahan Jatiasih
Kecamatan Jatiasih Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat)’, Jurnal Kesehatan
Masyarakat (e-Journal), 4(1), pp. 142–152.
Sulidah, Damayanti, A. and Paridah (2021) ‘Perilaku Pencegahan Demam
Berdarah Dengue Masyarakat Pesisir’, Poltekita: Jurnal Ilmu Kesehatan,
15(1), pp. 63–70.
Suparyati (2020) ‘Uji Daya Bunuh Abate Berdasarkan Dosis dan Waktu Terhadap
Kematian Larva Nyamuk Aedes Sp dan Culex Sp’, Jurnal PENA, 34(2),
pp. 1–9.
Suyasa, I.N.G., Putra, N.A. and Aryanta, I.W.R. (2008) ‘Hubungan Faktor
Lingkungan dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Vektor Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar
Selatan’, Jurnal Ecotrophic, 3(1), pp. 1–6.
Swarjana, I.K. (2012) Metodologi Penelitian kesehatan. Yogyakarta: C.V ANDI
OFFSET.
Syukur, I. (2013) ‘Pemetaan Distribusi Densitas Larva Aedes Aegypti Di
Kelurahan Tamalanrea Indah Kecamatan Tamalanrea Kota Makassar’,
Jurnal MKMI, pp. 1–7.
Tamza, R.B., Suhartono and Dharminto (2013) ‘Hubungan Faktor Lingkungan
dan Perilaku dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Wilayah Kelurahan Perumnas Way Halim Kota Bandar Lampung’, Jurnal
93

Kesehatan Masyarakat, 2(2), pp. 1–10.


WHO (2011a) Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue
and Dengue Haemorrhagic Fever. New Delhi: WHO SEARO.
WHO (2011b) Who specifications and evaluations for public health pesticides:
temephos.
WHO (2017) Dengue and severe Dengue. Available at:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/.
Wowor, R. (2017) ‘Pengaruh Kesehatan Lingkungan terhadap Perubahan
Epidemiologi Demam Berdarah di Indonesia’, Jurnal e-Clinic (eCl, 5(2),
pp. 1–9.
Yasa, P.W.S. (2019) Berbagai Etiologi Penyakit Infeksi pada Traveller‟s
Diseases. Asia Book Registry.
Zatah, I. et al. (2022) Epidemiologi Penyakit Menular. Bandung: CV. Media
Sains Indonesia.
Zuhriyah, L. dkk. (2016) ‘Efektifitas modifikasi ovitrap model kepanjen untuk
menurunkan angka kepadatan larva Aedes aegypti di Malang’, Jurnal
Kedokteran Brawijaya, 28(2), pp. 157-164.
84
LAMPIRAN
Lampiran 1 Informed Consent
FORMULIR PERSETUJUAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Tempat, Tanggal Lahir :
Umur :
Alamat :
No. Hp :
Setelah mendengar/membaca dan mengerti penjelasan yang
diberikan mengenai apa yang dilakukan pada penelitian dengan judul
“Efektivitas Temephos Dalam Pengendalian Vektor Kejadian
Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Pekkabata
Kabupaten Polewali Mandar Tahun 2022”, maka saya bersedia
berpartisipasi dalam penelitian ini. Saya mengerti bahwa pada penelitian
ini maka ada beberapa pertanyaan-pertanyaan yang harus saya jawab, dan
sebagai responden saya akan menjawab pertanyaan yang diajukan dengan
jujur.
Saya menjadi responden bukan karena adanya paksaan dari pihak
lain, tetapi karena keinginan saya sendiri dan tidak ada biaya yang akan
ditanggungkan kepada saya sesuai dengan penjelasan yang sudah
dijelaskan oleh peneliti.
Saya percaya bahwa keamanan dan kerahasiaan data yang diperoleh
dari saya sebagai responden akan terjamin dan saya dengan ini
menyetujui semua informasi dari saya yang dihasilkan pada penelitian ini
dapat dipublikasikan dalam bentuk lisan maupun tulisan dengan tidak
mencantumkan nama. Bila terjadi perbedaan pendapat dikemudian hari,
kami akan menyelesaikannya secara kekeluargaan.
Polewali Mandar,………………202..
Responden

(…………………………….)
Penanggung Jawab Penelitian :
Nama : Ruri Khallaj Al-Farabi

86
Alamat : BTP Blok K No. 89 Kel. Buntusu Kec. tamalanrea
Tlp/HP : 082346249030
Email : rurikhallaj25@gmail.com

87
Lampiran 2 Kuesioner Penelitian
LEMBAR KUESIONER
(Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol)
Pekan :
Nama Kepala Keluarga :
Jumlah Anggota Rumah Tangga :
Alamat :

Pengendalian Fisik dan Biologi


1. Apakah anda pernah melakukan pencegahan vektor DBD melalui Abate?
a. Iya
b. Tidak
2. Apakah apakah anda menguras penampungan air yang berada di rumah
anda?
a. Iya
b. Tidak
3. Apakah terdapat vas bunga yang berisi air?
c. Iya
d. Tidak
4. Apakah anda mengganti air pada vas bunga tersebut?
a. Iya
Berapa kali sepekan :
b. Tidak
5. Apakah terdapat air minum hewan?
a. Iya
b. Tidak
6. Apakah anda mengganti air pada tempat minum hewan tersebut?
a. Iya
Berapa kali sepekan :
b. Tidak

88
7. Apakah anda memperbaiki saluran dan talang air yang tidak
lancar/rusak?
a. Iya
b. Tidak
8. Apakah menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon?
a. Iya
b. Tidak
9. Apakah terdapat kawat kasa pada ventilasi?
a. Iya
b. Tidak
10. Apakah terdapat pakaian yang tergantung?
a. Iya
b. Tidak
11. Apakah terdapat ikan pemakan jentik?
a. Iya
b. Tidak

89
Lampiran 3 Lembar Observasi
LEMBAR OBSERVASI
(Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol)

KeberadaanVektor DBD

Daftar Penampungan Letak Penampungan air/Container


NO Jumlah Jumlah
air/Container Luar Dalam
Positif Negatif Positif Negatif Positif Negatif
(+) (-) (+) (-) (+) (-)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

90
Lampiran 4 Output Analisis Data SPSS
Tabel 1. Uji Distribusi Normal

Tabel Deskriktif Variabel


Tabel 2. House Index

91
Tabel 3. Container Index

92
Tabel 4. Breteau Index

Tabel Uji Bivariat


Tabel 5. Deskriktif Uji Mann-Whitney Test

93
Tabel 6. Hasil Uji Mann-Whitney Test

94
Lampiran 5 Surat Pengambilan Data Awal

95
Lampiran 6 Surat Izin Penelitian Dari Kampus

96
Lampiran 7 Surat Izin Penelitian Dari DPMPTSP

97
L
a
m
p
i
r
a
n

Surat Izin Penelitian Dari Puskesmas Pekkabata

98
Lampiran 9 Surat Telah Menyelesaikan Penelitian

99
Lampiran 10 Dokumentasi Penelitian

100
101
Lampiran 11 Riwayat Hidup Peneliti

102
A. Data Pribadi
1. Nama : Ruri Khallaj Al-Farabi
2. Nim : K011181008
3. Tempat/Tgl Lahir : Polewali, 09 Mei 2000
4. Agama : Islam
5. Jenis Kelamin : Laki-Laki
6. Golongan Darah :A
7. Suku : Mandar
8. Alamat : BTP Blok K No. 89 Kel. Buntusu Kec.
Tamalanrea
Kota Makassar
9. Email : rurikhallaj25@gmail.com
10. No HP : +62 8234 6249 030
11. Motto : Tetap Jadi Jibril-Jibril Saya !!!
B. Riwayat Pendidikan
1. TK Pertiwi Pekkabata (2006 - 2007)
2. SD Negeri 066 Pekkabata (2007 - 2012)
3. SMP PPM Al-Ikhlas Campalagian (2012 - 2015)
4. SMA Negeri 1 Polewali (2015 - 2018)
5. Departemen Epidemiologi FKM UNHAS (2018 - 2023)

C. Riwayat Pengaderan
1. Basic Training HMI Komisariat Kesehatan Masyarakat UNHAS Tahun
2018
2. Intermediate Training HMI Cabang Makassar Timur Tahun 2020
3. BSLT BEM FKM UNHAS Tahun 2018
4. LKTM BEM KEMA FAPERTA UNHAS Tahun 2020
D. Riwayat Organisasi
1. Ketua Umum HMI Komisariat Kesehatan Masyarakat UNHAS Periode
2021 – 2022

103
2. Staff PnPK BEM FKM UNHAS Periode 2021 – 2022
3. Sekretaris Bidang PU HMI Cabang Makassar Timur Periode 2022 –
2023
4. Sekretaris Bidang Pengelolaan Latihan BPL HMI Cabang Makassar
Timur Periode 2022 - 2023

104

Anda mungkin juga menyukai