Anda di halaman 1dari 33

“KAYU REKAYASA ”

Di Susun Oleh :

NAMA : PETRA SUOT


NIM : 19209061
MK : SAINS DAN TEKNOLOGI KAYU
KELAS :A

UNIVERSITAS NEGERI MANADO


FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK SIPIL
2021
Abstrak: Di Indonesia kebutuhan perumahan sangat besar, rumah dengan bahan kayu dapat

menjadi menjadi salah satu solusinya. Luas hutan alam, hutan tanaman industri dan juga hutan

tanaman rakyat di Indonesia jika dikelola dengan baik seharusnya dapat menjadi sumber daya

untuk menyediakan kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan. Kayu yang digunakan menjadi

elemen struktural dapat berupa kayu solid maupun kayu rekayasa (engineered wood). Kayu

rekayasa seperti glulam, cross laminated timber dan lainnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan

kekuatan dan dimensi kayu yang besar. Selain green dan sustainable, kayu mempunyai rasio

kekuatan/massa yang lebih besar daripada material beton dan baja. Teknologi tepat guna dengan

rumah kayu kurang diterapkan di Indonesia dalam upaya pengurangan risiko bencana gempa.

Kurangnya perhatian dari yang berwenang di Indonesia terlihat dari baru terbitnya SNI 7973:2013

Spesifikasi desain untuk konstruksi kayu setelah 52 tahun untuk menggantikan Peraturan

Konstruksi Kayu Indonesia 1961.

Engineered wood atau kayu rekayasa telah sangat maju dan banyak digunakan di negara-negara

seperti Kanada, Australia, New Zealand Amerika Serikat dan banyak negara di Eropa. Bangunan

bertingkat sampai dengan 10 lantai yang banyak digunakan sebagai apartemen dengan

menggunakan kayu rekayasa sudah menjadi hal yang umum di beberapa negara-negara tersebut.

Sistem struktur juga mengalami pergeseran dari rangka dengan balok dan kolom menjadi panel

sistem. Masalah ketahanan terhadap rayap, jamur ataupun ketahanannya terhadap kebakaran telah

banyak diatasi dengan penelitian-penelitian yang ada. Serangkaian penelitian telah dilakukan dan

dipresentasikan secara singkat dalam seminar ini, mulai dari sifat mekanik dan fisik material,

elemen struktur kayu rekayasa, sambungan dan juga analisis dan simulasi dengan berbagai

macam software. Penelitian sifat fisik dan mekanik dilakukan terhadap 25 jenis kayu hardwood

atau kayu berdaun lebar di Indonesia. Dilakukan juga penelitian untuk kuat tumpu baut, glulam

dan cross laminated timber untuk lantai, balok, kolom, dinding geser kayu dan juga sambungan.
Bagaimana dengan prospek bangunan kayu di Indonesia sangat bergantung pada pengetahuan

kita dan kebijakan dari pemerintah disamping akan berkurangnya sumberdaya alam seperti pasir,

kerikil dan material pembuat semen maupun pasir besi dan larangan penambangan yang merusak

lingkungan akan mendorong penggunaan material kayu sebagai material yang sustainable.

1. Pendahuluan

Material kayu: Hutan di Indonesia yang sangat potensial terbagi menjadi hutan alam, hutan

rakyat dan hutan tanaman industri. Sejak perhatian pemerintah dalam bentuk pengawasan

terhadap maraknya penebangan liar pada hutan alam, sumber bahan kayu sebagai bahan

bangunan maupun untuk industri lainnya mulai beralih pada hasil hutan tanaman industri dan

hutan rakyat. Banyaknya kebutuhan kayu dalam dunia konstruksi menyebabkan

dikembangkannya hutan tanaman industri dengan kayu cepat tumbuh seperti kayu akasia,

sengon, albasia, jabon dll. Diharapkan dengan pengelolaan dan kebijakan pemerintah yang baik

kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan dapat terpenuhi pada masa mendatang. Di daerah

dimana kesulitan bahan semen dan baja untuk membuat bangunan dari beton atau baja, bangunan

kayu merupakan solusinya karena dapat menggunakan material lokal seperti kayu.

Material kayu ramah lingkungan (green) dan bersumber dari alam yang tidak pernah habis

(sustainable) kurang dimanfaatkan untuk bahan bangunan. Kayu yang masih muda dalam

pertumbuhannya menyerap dan menyimpan banyak CO2 dan menghasilkan O2. Kayu dalam

prosesnya menjadi bahan bangunan paling rendah konsumsi enerjinya karena hanya

menggunakan enerji dari matahari, Forest Product Laboratory, 2010, Kolb, 2008. Penggunaan

bahan bangunan kayu di berbagai negara sebagai bahan yang ramah lingkungan dan hemat enerji

menyebabkan kemajuan teknologi dalam bidang konstruksi kayu maju dengan sangat pesat.
Kayu mempunyai sifat ortotropik yang sangat berbeda dengan material lainnya, mempunyai 3

buah sumbu, longitudinal, tangensial dan radial seperti Gambar 1. Dibandingkan dengan material

isotropik seperti beton dan baja, material kayu yang merupakan material ortotropik mempunyai 3

buah modulus elastisitas, 3 buah modulus geser dan 6 buah angka poisson. Karena merupakan

material alam dengan 3 sumbu tersebut kuat lentur, kuat tarik (sejajar
dan tegak-lurus serat), kuat tekan (sejajar dan tegak-lurus serat), kuat geser mempunyai

perbedaan kekuatan. Kuat tarik sejajar serat adalah terkuat dan kuat tarik tegaklurus serat

terlemah.

Gambar 1. Sumbu ortotropik kayu

Pada tahun 1977, industri kayu berdaun jarum (softwood) di Amerika Utara dan USDA Forest

Products Laboratory memulai program pengujian untuk mengevaluasi besaran‐besaran kekuatan

kayu dimensi berukuran penuh in‐grade yang dipilah secara visual yang terbuat dari berbagai

species yang secara komersial penting di Amerika Utara. Program pengujian tersebut, yang

dilakukan pada periode 8 tahun, meliputi pengujian destruktif pada lebih dari 70000 potong kayu

dari 33 species atau kelompok species. Standar pengujian menggunakan ASTM - D143. Hasil

penelitian berupa korelasi berat jenis dengan kuat kayu diberikan dalam Wood Handbook, 2010

seperti tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Korelasi berat jenis dengan kuat kayu, Wood Handbook, 2010
Selain kayu gergajian solid juga muncul berbagai macam produk kayu laminasi atau komposit,

mulai dari LVL, PSL, plywood OSB, particleboard dan fiberboard, seperti pada Gambar 2.

Produk–produk ini dapat digunakan baik sebagai elemen struktural maupun non-struktural.

Gambar 2. Produk kayu laminasi dan komposit


Kebutuhan akan perumahan: Kebutuhan akan perumahan di Indonesia bagi rakyat golongan

menengah kebawah masih sangat besar. Pencanangan pembangunan seribu tower rusun/

apartemen belum dapat dipenuhi. Material yang digunakan mayoritas menggunakan beton dan

baja, sangat kontras dengan residential building/housing di luar negeri yang hampir 80%

menggunakan kayu sebagai material bangunan. Sedangkan bangunan apartemen bertingkat dari

kayu sampai dengan 10 lantai juga sudah ada di Negara-negara di Eropa, seperti Inggris dan

Swedia.

Ketahanan bangunan terhadap gempa bumi: Wilayah kepulauan Indonesia termasuk dalam

daerah gempa aktif atau biasa disebut Pacific Ring of Fire. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi

gempa-gempa besar seperti, gempa Aceh (2004), gempa Yogyakarta (2006), gempa Bengkulu

(2007), gempa Tasikmalaya (2009) dan gempa Padang (2009). Gempa-gempa besar tersebut

menghancurkan sangat banyak gedung, fasilitas umum beserta isinya dan juga korban jiwa. Jenis

bangunan yang runtuh mulai dari rumah rakyat biasa tanpa perhitungan teknik (non-engineered

building) maupun bangunan bertingkat yang seharusnya didisain tahan gempa (engineered

building), Wijanto et.al. 2010.

Pelajaran dari kegagalan struktur akibat gempa-gempa yang sudah terjadi menimbulkan

keprihatinan akan lemahnya pengetahuan baik teori, analisis maupun standar akan disain

bangunan yang baik. Pengalaman pada bangunan dengan beton dan baja menunjukkan bahwa

pada umumnya kegagalan tersebut diakibatkan oleh; soft story mechanism, short column effect,

pounding, masa yang berlebihan, kurangnya tulangan longitudinal dan geser, tidak ada tulangan

pada hubungan balok dan kolom serta detailing tulangan seperti syarat jarak sengkang,

bengkokan dan overlap tulangan yang tidak memenuhi syarat. Dapat diindikasikan bahwa

standar–standar yang ada tidak/belum diketahui atau diikuti persyaratannya atau bahkan tidak
memadai. Dari pengalaman yang ada di daerah yang mengalami gempa, bangunan dari kayu

menunjukkan ketahanan yang baik terhadap gempa walaupun merupakan non-engineered

building. Bangunan kayu secara umum lebih tahan terhadap gempa karena massanya yang ringan

sehingga menghasilkan gaya inersia yang kecil akibat gempa dengan rasio kekuatan/massa yang

besar.

Peraturan konstruksi kayu. Pada bangunan kayu keruntuhan pada umumnya akibat sambungan

atau hubungan yang tidak memenuhi standar dan sistem strukturnya tidak tahan gempa.

Peraturan Kayu di Indonesia sangat ketinggalan jaman, sejak tahun 1961 Peraturan Kayu

Indonesia (PKKI 1961) 52 tahun tidak mengalami perubahan. Beberapa draft peraturan kayu

tahun 1980, dan 2002 pernah dibuat sampai dengan terbitnya SNI 7973:2013 Spesifikasi desain

untuk konstruksi kayu. Saat ini peraturan-peraturan di luar negeri menggunakan metode disain

baik Load and Resistance Factor Design (LRFD) maupun Alowable Stress Design (ASD),

Breyer 2008. PKKI 1961 menggunakan cara ASD lama. Pada SNI 7973:2013 yang mengadopsi

NDS 2012, memuat baik LRFD/DFBK dan ASD/DTI dan keduanya dapat digunakan dalam

desain.

Penelitian dan kemajuan teknologi: Penelitian di negara-negara seperti Kanada, Australia,

New Zealand Amerika Serikat dan banyak Negara di Eropa menghasilkan teknologi yang

berkembang dengan pesat. Forest Product Laboratory di Amerika telah 100 tahun lebih

melakukan penelitian kayu, Woodhandbook, 2010. Jenis kayu di luar negeri pada negara-negara

tersebut di atas pada umumnya adalah softwood atu kayu berdaun jarum, sedangkan di daerah

tropis atau Indonesia adalah hardwood atau kayu berdaun lebar. Peraturan Kayu Indonesia yang

baru SNI 7973:2013 sebagian besar mengacu kepada peraturan luar negeri. Sifat-sifat kayu tropis

yang umumnya hardwood dapat berbeda dengan softwood sehingga peraturan dari luar negeri

tidak dapat diadopsi begitu saja. Penelitian mengenai sifat-sifat kayu tropis pada cara-cara atau
teori yang ada dalam SNI 7973:2013 sebagian telah dilakukan. Penyesuaian telah dilakukan pada

kuat acuan untuk kayu berdaun lebar pada SNI 7973:2013. Peralatan dan dana yang besar

dukungan dari industri dan pemerintah di luar negeri menyebabkan perkembangan teknologi

yang cepat dalam penelitian untuk menyiapkan teknologi tepat guna dalam upaya pemenuhan

kebutuhan perumahan dan juga pengurangan risiko bencana khususnya akibat gempa. Bangunan

bertingkat rendah dengan elemen-elemen struktur kayu rekayasa prafabrikasi (contoh pada

Gambar 3) telah menjadi solusi utama untuk bangunan perumahan.

Gambar 3. Contoh kayu rekayasa


Akhir-akhir ini penggunaan kayu laminasi silang (Cross Laminated Timber/ CLT) sebagai

dinding geser maupun lantai untuk bangunan tinggi banyak digunakan. CLT menggunakan

perekat untuk merangkaikan lapisan-lapisan papan atau balok kayu menjadi suatu panel

berukuran besar. Perekat di Indonesia masih termasuk mahal harganya, sehingga penggunaan

paku untuk merekatkan atau melaminasi papan-papan menjadi satu kesatuan lebih murah dan

mudah dilakukan. Dinding geser papan kayu silang laminasi-paku merupakan salah satu

pengembangan dibandingkan CLT yang menggunakan perekat.

2. Sistem Struktur Kayu

Sistim struktur bangunan pada umumnya menggunakan rangka sebagai sistim pendukung lantai.

Rangka umumunya terdiri dari elemen-elemen balok dan kolom, baik dengan kayu solid maupun

glulam, Gambar 4. Pada daerah gempa yang membutuhkan kekakuan dan kekuatan dalam arah

horizontal, elemen dinding geser pada umumnya digunakan. Pada struktur bangunan kayu

elemen-elemen tersebut juga umum digunakan. Perkembangan sistim struktur pada bangunan

kayu karena kebutuhan akan bangunan bertingkat maupun kecepatan konstruksinya mulai

bergeser dari sistim rangka kearah sistim panel. Sistim lantai, dan dinding pendukung lantai saat

ini menggunakan panel CLT (cross laminated timber). Demikian pula dengan atap penutup

bangunan juga menggunakan sistim panel yang sangat berbeda dengan atap rangka batang
konvensional.

Gambar 4. Sistim struktur balok dan kolom dengan kayu glulam, Kolb 2008.

Elemen dinding geser pada awal mulanya lebih banyak menggunakan rangka kayu dengan

lapisan penutup dari gipsum atau plywood. Perkembangan terakhir adalah digunakannya papan

kayu silang laminasi (Cross Laminated Timber / CLT). CLT ini dapat direkayasa sehingga

mempunyai kekuatan dan kekakuan yang mencukupi untuk digunakan pada dinding geser

bangunan bertingkat rendah, sedang maupun tinggi, seperti terlihat pada Gambar 5. Bangunan

bertingkat dari kayu tersebut pada umumnya mempergunakan dinding geser sebagai penahan

beban gravitasi selain penahan beban lateral angin atau gempa.

Gambar 5. Struktur bangunan kayu dengan konstruksi dinding geser untuk apartemen

perumahan di United Kingdom dan Swedia, Sumber: Forintek 2008.


Seperti pada sistim pracetak dan pratekan, konsep tersebut juga telah diterapkan pada bangunan

kayu, seperti pada Gambar 5.

Gambar 5. Balok kayu pratekan (A. Buchanan)

Sistim struktur yang fleksibel untuk mengikuti bentuk arsitektur seperti Gambar 6 juga dapat

dibuat dengan kayu rekayasa seperti balok atau kolom glulam lengkung. Demikian pulan dengan

sistim sambungan mengalami perkembangan dari sambungan konvensional menjadi seperti pada

beberapa contoh di Gambar 8.

Gambar 7. Bentuk fleksibel dari struktur dengan kayu rekayasa


Gambar 8. Contoh macam sambungan

3. Road Map Penelitian dan prospek penggunaan kayu rekayasa di Indonesia

Road Map penelitian dari penulis pada bidang keteknikan kayu dimulai dengan penelitian

material mengenai sifat mekanik dan fisik kayu-kayu di Indonesia, yang sebagian besar adalah

hardwood (kayu berdaun lebar). Penelitian berlanjut pada elemen-elemen struktur, mulai dari

balok, kolom dan pelat. Khususnya mengenai elemen struktur dinding geser kayu mulai kembali

pada tahun 2011. Road map penelitian diperlukan agar tujuan dan arah serta kegunaan penelitian

dapat terwujud. Akhir dari penelitian yang ada untuk jangka beberapa tahun ke depan adalah

bangunan bertingkat rendah dari kayu yang menggunakan data-data penelitian material, elemen-

elemen struktur balok, kolom, pelat lantai dan dinding geser untuk menghasilkan bangunan kayu

bertingkat rendah dengan dinding geser yang tahan gempa. Secara garis besar contoh road map

dapat dilihat pada Gambar 9. Contoh-contoh hasil penelitian dipresentasikan.


Gambar 9. Road map berkelanjutan untuk penelitian material, elemen struktur dan bangunan

dari kayu

Dengan potensi wilayah hutan di Indonesia, pengembangan dan penggunaan kayu rekayasa

untuk menjadi solusi perumahan di Indonesia sangat dimungkinkan. Kebijakan pemerintah,

kerjasama antar universitas, litbang dan industri akan sangat mendukung hal tersebut. Produksi

kayu rekayasa pada umumnya harus dengan fabrikasi dan masal, sehingga secara ekonomis akan

menguntungkan.

4. SNI 7973 2013: Spesifikasi Disain untuk Konstruksi Kayu

Perencanaan struktur kayu harus memenuhi syarat kekuatan, kekakuan dan kestabilan disamping

efisien dari segi ekonomis. SNI 7973:2013 Spesifikasi disain untuk konstruksi kayu telah

mengatur tatacara disain struktur kayu tersebut. LRFD dan ASD yang digunakan dalam NDS

2012 menjadi salah satu acuan untuk SNI 7973:2013. Pertimbangan dan penyesuaian dilakukan

untuk jenis kayu, iklim dan kondisi lingkungan di Indonesia. Penelitian- penelitian juga masih

perlu dilakukan untuk mengisi kekurangan-kekurangan yang ada di dalam peraturan tersebut.

Kuat acuan kayu telah disesuaikan dengan jenis kayu dan kelembaban di Indonesia. Secara

umum perhitungan mekanika tidak mengalami perubahan, tetapi banyak faktor-faktor koreksi

yang berlaku baik untuk DTI maupun DFBK yang digunakan dalam disain, danakan dijelaskan

di bawah ini. Faktor ketahanan, faktor waktu dan faktor konversi format digunakan hanya untuk
DFBK.

Nilai kuat acuan. Walaupun ada dual concept dalam SNI 7973:2013, hanya satu nilai acuan

(DTI) yang dimuat dan dapat dipakai juga pada DFBK dengan faktor konversi format, studi lebih

lanjut masih diperlukan untuk nilai acuan tersebut. Tabel 4.2.1 di bawah ini untuk nilai desain

dan modulus elastisitas lentur acuan berdasarkan pada data-data penelitian di Indonesia dan

Tjondro 2009. Penentuan nilai E dapat dilakukan secara mekanis dengan uji non destruktif.

Tabel 4.2.1 Nilai Desain dan Modulus Elastisitas Lentur Acuan (DTI)

Kode Nilai Desain Acuan Modulus Elastisitas

Mutu (MPa) Acuan (MPa)

Fb Ft/ Fc// Fv Fc E Emi

/ n

E25 26.0 22. 18.0 3.0 6.11 250 125

9 6 00 00

E24 24.4 21. 17.4 2.8 5.74 240 120

5 7 00 00

E23 23.2 20. 16.8 2.7 5.46 230 115

5 3 00 00

E22 22.0 19. 16.2 2.5 5.19 220 110

4 9 00 00

E21 21.3 18. 15.6 2.5 5.00 210 105

8 0 00 00

E20 19.7 17. 15.0 2.3 4.63 200 100

4 1 00 00
E19 18.5 16. 14.5 2.1 4.35 190 950

3 8 00 0

E18 17.3 15. 13.8 2.0 4.07 180 900

3 4 00 0

E17 16.5 14. 13.2 1.9 3.89 170 850

6 4 00 0

E16 15.0 13. 12.6 1.7 3.52 160 800

2 6 00 0

E15 13.8 12. 12.0 1.6 3.24 150 750

2 2 00 0

E14 12.6 11. 11.1 1.4 2.96 140 700

1 8 00 0

E13 11.8 10. 10.4 1.3 2.78 130 650

4 9 00 0

E12 10.6 9.4 9.4 1.2 2.50 120 600

5 00 0

E11 9.1 8.0 8.0 1.0 2.13 110 550

6 00 0

E10 7.9 6.9 6.9 0.9 1.85 100 500

3 00 0

E9 7.1 6.3 6.3 0.8 1.67 900 450

3 0 0

E8 5.5 4.9 4.9 0.6 1.30 800 400


5 0 0

E7 4.3 3.8 3.8 0.5 1.02 700 350

1 0 0

E6 3.1 2.8 2.8 0.3 0.74 600 300

7 0 0

E5 2.0 1.7 1.7 0.2 0.46 500 250

3 0 0
Faktor Durasi Beban, CD (hanya untuk DTI). Kayu mempunyai sifat mampu memikul beban

maksimum jauh lebih besar untuk durasi pembebanan pendek dibandingkan dengan durasi

pembebanan panjang. Nilai desain acuan berlaku untuk durasi beban normal. Durasi beban

normal merepresentasikan beban yang secara penuh menimbulkan tegangan di suatu komponen

struktur hingga mencapai nilai desain izin dengan pemberian beban desain untuk durasi

kumulatif kira-kira sepuluh tahun. Apabila durasi kumulatif beban maksimum penuh tidak

melebihi periode waktu yang ditentukan, maka semua nilai desain acuan kecuali modulus

elastisitas, E, modulus elastisitas untuk stabilitas balok dan kolom, E min, dan tekan tegak lurus

serat, Fc┴, yang didasarkan atas limit deformasi harus dikalikan dengan faktor durasi beban yang

sesuai, untuk memperhitungkan perubahan kekuatan kayu terhadap durasi beban.

Faktor layan basah, CM. Pada saat dimensi kayu digunakan dengan kandungan kelembaban

yang lebih dari 19% untuk perpanjangan periode waktu, maka nilai desain akan dikalikan dengan

Faktor layan basah yang sesuai. Ketika glulam struktural yang digunakan memiliki kadar air

16% atau lebih, model desain harus dikalikan dengan faktor kadar air yang berbeda.

Faktor temperatur, Ct. Nilai desain acuan harus dikalikan dengan faktor temperatur, C t, untuk

komponen struktural yang akan mengalami pengeksposan tetap pada temperatur tinggi sampai

38-65,5oC.

Faktor stabilitas balok, CL. Faktor stabilitas balok, CL, mengoreksi nilai desain lentur acuan

untuk efek tekuk torsi lateral. Tekuk torsi lateral merupakan kondisi limit di mana deformasi

balok meliputi deformasi di bidang, deformasi ke luar bidang, dan puntir. Beban yang

menyebabkan ketidakstabilan disebut beban tekuk torsi lateral elastis dan dipengaruhi oleh

banyak faktor seperti pembebanan dan kondisi tumpuan, penampang komponen struktur, dan

panjang tak tertumpu. Kondisi limit tekuk torsi lateral diatasi dengan menggunakan format
panjang efektif di mana panjang tak tertumpu dikoreksi untuk memperhitungkan kondisi beban

dan tumpuan yang mempengaruhi beban tekuk torsi lateral. Format lain adalah dengan

menggunakan faktor momen ekuivalen untuk memperhitungkan kondisi-kondisi tersebut.

AF&PA Technical Report 14 menguraikan dasar-dasar pendekatan panjang efektif yang saat ini

digunakan dan merangkum pendekatan faktor momen ekuivalen serta memberikan perbandingan

antara kedua pendekatan tersebut.

Faktor bentuk, CF. Apabila tinggi komponen struktur lentur kayu gergajian yang tebalnya 127

mm atau lebih besar melebihi 305 mm dan dipilah secara visual, maka nilai desain lentur acuan,

Fb, di dalam Tabel 4.2.1 harus dikalikan dengan faktor ukuran berikut:

1/ 9
C 
F
305 / d  1,0

Faktor penggunaan permukaan, Cfu. Nilai desain kelenturan disesuaikan dengan faktor ukuran

yang berdasarkan posisi penggunaan edgewise (beban diberikan pada permukaan sempit). Ketika

papan yang digunakan pada posisi flatwise (beban diberikan pada permukaan lebar) nilai disain

kelenturan, Fb, harus dikalikan dengan faktor penggunaan permukaan.

Faktor Torehan, Ci. Nilai desain acuan harus dikalikan dengan faktor torehan, Ci berikut,

apabila kayu dimensi dipotong sejajar serat pada tinggi maksimum 10,16 mm, panjang

maksimum 9,53 mm, dan densitas torehan sampai 11840/m2. Faktor torehan harus ditentukan

dengan pengujian atau dengan perhitungan menggunakan penampang tereduksi untuk pola

torehan yang melebihi batas-batas tersebut.

Faktor Pengulangan, Cr. Nilai desain kelenturan, Fb, untuk papan berdimensi tebal 2” hingga 4”

harus dikalikan dengan faktor pengulangan penampang, Cr = 1,15, ketika penampang digunakan

sebagai sambungan, kuda-kuda, kasau, tiang, papan, geladak, atau penampang serupa yang

bersentuhan atau berjarak tidak lebih dari 24” dari pusat, tidak kurang dari 3 dalam jumlah dan
terhubungkan oleh lantai, atap, atau elemen pendistribusian beban lain yang cukup untuk

menahan beban rencana.

Faktor stabilitas kolom CP. Pada umumnya, panjang efektif kolom adalah jarak antara titik-titik

tumpuan yang mencegah peralihan lateral pada komponen struktur di bidang tekuk. Adalah

praktik biasa di struktur kayu untuk mengasumsikan hampir semua kondisi ujung kolom sebagai

sendi (translasi ditahan, dan bebas berotasi) meskipun dalam banyak hal ada tahanan rotasional

parsial. Apabila kondisi ujung di bidang tekuk sangat berbeda dengan asumsi sendi, koefisien

yang disarankan, Ke, untuk koreksi panjang kolom diberikan di Lampiran G. Sebagaimana

terlihat di SNI 7973 2013 Lampiran G, koefisien yang disarankan lebih besar daripada nilai

teoritis untuk semua kasus di mana tahanan rotasional di satu atau kedua ujung kolom yang

diasumsikan. Asumsi konservatif seperti ini diambil mengingat bahwa penjepitan penuh pada

umumnya tidak ada di dalam praktik.

Faktor Kekakuan Tekuk, CT. Modulus elastisitas acuan untuk stabilitas balok dan kolom, E min,

harus dikalikan dengan faktor kekakuan tekuk, CT, yang ditetapkan.


Faktor Luas Tumpu, Cb. Nilai desain tekan acuan tegak lurus serat, Fc┴, harus dikalikan dengan

faktor luas tumpu, Cb, yang Ketentuan untuk memperbesar nilai desain tekan tegak lurus serat

acuan untuk panjang tumpu didasarkan atas hasil-hasil prosedur tes di ASTM D143 yang

meliputi pembebanan pada tumpu plat baja yang lebarnya 50,8 mm yang bertumpu pada

spesimen dengan lebar 50,8 mm, tinggi 50,8 mm dan panjang 152,4 mm. Riset di USDA Forest

Product Laboratory tentang tegangan limit proporsional yang terkait dengan beban mur dan baut

menunjukkan bahwa semakin kecil luas tumpu atau pelat relatif terhadap panjang spesimen uji,

semakin tinggi tegangan limit proporsionalnya. Riset yang dilakukan di Australia dan

Cekoslovakia mengkonfirmasi sifat dan besar dari efek panjang tumpu. Efek panjang tumpu

ditimbulkan oleh kekuatan tarik sejajar serat dan lentur di serat-serat di tepi pelat tumpu. Karena

adanya efek tepi yang terlokalisasi, maka kontribusi tersebut berkurang dengan membesarnya

panjang area tersebut pada saat dibebani tekan.

Faktor Konversi Format, KF (untuk LRFD saja). Untuk LRFD, nilai desain acuan harus

dikalikan dengan faktor konversi, KF, yang ditetapkan di (Lampiran N.3.1) Faktor konversi

format, KF, tidak berlaku untuk desain yang menggunakan metode ASD. Faktor konversi format

mengkonversi nilai desain acuan (nilai desain tegangan izin yang didasarkan atas durasi beban

normal) ke tahanan acuan LRFD sebagaimana didefinisikan di dalam ASTM D5457. Faktor

konversi format yang ditetapkan, KF, di dalam SNI 7973 2013 Tabel N1 didasarkan atas faktor

serupa yang terdapat di dalam ASTM D5457. Tahanan acuan LRFD adalah nilai desain level

kekuatan untuk kondisi pembebanan jangka pendek. Dengan demikian, faktor konversi meliputi:

1) faktor koreksi untuk mengoreksi nilai desain izin ke nilai desain level kekuatan, 2) faktor

koreksi untuk mengoreksi dari basis 10 tahun ke 10 menit (jangka pendek), dan 3) faktor koreksi

untuk mengoreksi faktor tahanan yang ditetapkan, Ø.


Faktor Ketahanan, Ø (untuk LRFD saja). Untuk LRFD, nilai desain acuan harus dikalikan

dengan faktor tahanan, Ø, yang ditetapkan di dalam Lampiran N.3.2. Faktor tahanan, Ø, tidak

berlaku untuk desain yang menggunakan metode ASD. Faktor tahanan, Ø, yang ditetapkan di

dalam SNI 7973 2013 Tabel N2 didasarkan atas faktor tahanan yang didefinisikan di dalam

ASTM D5457. Faktor tahanan diberikan untuk berbagai sifat kayu dengan hanya satu faktor

untuk setiap ragam tegangan (yaitu lentur, geser, tekan, tarik, dan stabilitas). Pada umumnya,

besar faktor tahanan antara lain merefleksikan variablitas sifat produk kayu. Perbedaan aktual

pada variabilitas produk diperhitungkan di dalam penurunan nilai desain acuan.

Tabel N2 Faktor Ketahanan, ϕ (Hanya DFBK)

Aplikasi Proper Simb

ti ol Nila

F ϕb
0,85
b ϕt
Komponen 0,80
Ft ϕv
struktur 0,75
Fv, Frt, ϕc
0,90
Fs Fc, ϕs
0,85
Fc┴

Emin

Sambungan (semua ϕz 0,65

)
Faktor waktu, λ (untuk LRFD saja). Faktor efek waktu, λ (padanan LRFD untuk faktor durasi

beban, CD, yang ada di ASD) bervariasi terhadap kombinasi beban dan ditujukan untuk

mendapatkan indeks reliabilitas target yang konsisten untuk skenario beban yang

direpresentasikan dengan kombinasi beban yang berlaku. Dengan kekecualian kombinasi beban

mati saja, setiap kombinasi beban dapat dipandang sebagai mennunjuk skenario beban yang

meliputi nilai puncak dari satu atau lebih beban “utama” yang dikombinasi dengan beban

tambahan lain. Faktor efek waktu spesifik untuk berbagai kombinasi beban ASCE 7-10 sangat

bergantung pada besar, durasi, dan variasi beban utama di dalam masing-masing kombinasi.

Sebagai contoh, faktor efek waktu sebesar 0,8 terkait dengan kombinasi beban 1,2D + 1,6(L atap

atau S atau R) + (L atau 0,8W) untuk memperhitungkan durasi dan variasi beban utama di dalam

kombinasi tersebut (beban hidup atap, salju, atau air hujan, atau es). Efek beban tambahan pada

kombinasi beban tertentu atau bahkan perubahan pada faktor beban di dalam kombinasi yang

diketahui dipandang kecil relatif terhadap efek beban utama terhadap respons durasi beban pada

kayu. Dengan demikian, faktor efek waktu spesifik tidak perlu berubah untuk memperhitungkan

perubahan kombinasi beban atau faktor beban terhadap waktu. Lihat Tabel N3. Peraturan

Pembebanan Indonesia yang didasarkan pada ASCE 7-10 masih belum disosialisasikan.
Tabel N3 Faktor Efek Waktu, λ (Hanya DFBK)

Kombinasi Beban2
λ

1,4(D+F) 0,6

1,2(D+F) + 1,6(H) + 0,5(Lr atau R) 0,6

1,2(D+F) + 1,6(L+H) + 0,5(Lr atau R) 0,7 apabila L adalah

gudang

0,8 apabila L adalah

hunian

1,25 apabila L adalah

impak

1,2D + 1,6(Lr atau R) atau (L atau 0,8

0,8W)

1,2D + 1,6W + L + 0,5(Lr atau R) 1,0

1,2D + 1,0E + L 1,0

0,9D + 1,6W + 1,6H 1,0

0,9D + 1,0E + 1,6H 1,0

Sebagai contoh keberlakuan faktor-faktor koreksi untuk kayu gergajian adalah seperti Tabel 4.3.1

sebagai berikut:

Tabel 4.3.1 Keberlakuan faktor-faktor koreksi untuk kayu gergajian


Hanya DTI
DTI dan Hanya DFBK

DFBK

Faktor Luas Tumpu

Faktor Efek Waktu


Faktor Temperatur

Faktor Tusukan
Faktor Ukuran

Faktor Komponen

Faktor Kekakuan
Faktor Stabilitas
Faktor Layan

struktur
Fb’= Fb x CD CM Ct CL CF Cfu Ci Cr - - - 2,54 0,85 

Ft’ = Ft x CD CM Ct - CF - Ci - - - - 2,70 0,80 

Fv’ = Fv x CD CM Ct - - - Ci - - - - 2,88 0,75 

Fc = x - CM Ct - - - Ci - - - Cb 1,67 0,90 -

Fc

Fc ‘ = Fc x CD CM Ct - CF - Ci - CP - - 2,40 0,90 

E’ = E x - CM Ct - - - Ci - - - - - - -

Emin’=Em x - CM Ct - - - Ci - - CT - 1,76 0,85 -

in

Kombinasi pembebanan, ASCE 7-10. LRFD memperhitungkan keamanan pada dua hal (efek

beban dan tahanan) dengan menggunakan faktor beban dan faktor tahanan. Setiap kondisi beban

mempunyai faktor beban yang berbeda yang memperhitungkan derajat uncertainty, sehingga

dimungkinkan untuk mendapatkan reliabilitas seragam. Analisis yang dapat dipilih untuk

mendapatkan efek beban adalah analisis elastis orde kedua, atau analisis elastis orde pertama dan

efek orde keduanya diperhitungkan dengan menggunakan faktor amplifikasi momen.


Contoh kombinasi pembebanan pada ASD :

1. D

2. D+L

3. D + (La atau H)

4. D + 0,75L + 0.75(La atau H)

5. D + (0,6W atau 0,7E)

6. D + 0,75L + 0.75(0,6W) + 0.75(La atau H)

7. D + 0,75L + 0.75(0,7E)

8. 0,6D + 0,6W

9. 0,6D + 0,7E
Dan kombinasi pembebanan pada

LRFD : 1.1,4D

2. 1,2D + 1,6L + 0,5(La atau H)

3. 1,2D + 1,6(La atau H) + (L atau 0,5W)

4. 1,2D + 1,0W + L + 0,5(La atau H)

5. 1,2D + 1,0E + L

6. 0,9D + 1,0W

7. 0,9D + 1,0E

dengan:

D = beban

mati L =

beban hidup

La = beban hidup di

atap H = beban hujan

W = beban

angin E =

beban gempa
Sambungan. Disain sambungan meliputi pasak, cincin belah, timber rivet dsbnya. Sebagai

contoh pada perhitungan kekuatan pasak/baut didasarkan pada teori batas leleh dengan beberapa

ragam kegagalan yang mungkin terjadi. Ragam kegagalan sambungan dengan pasak/baut yang

mungkin terjadi adalah seperti pada Gambar 10.

Gambar 10. Ragam kegagalan pada teori batas leleh untuk sambungan dengan pasak/ baut,

Aghayere 2007.
Dari hasil uji eksperimental dihasilkan persamaan-persamaan untuk menghitung besarnya

kekuatan pasak, merupakan hasil regresi yang dipakai untuk disain. Kuat tumpu pasak/ baut

untuk hardwood berbeda dengan kuat tumpu pasak/ baut pada NDS yang berupa softwood. Pada

SNI 7973:2013 kuat tumpu pasak atau baut telah disesuaikan dengan beberapa penelitian di

Indonesia, Tjondro 2006. Tahanan sambungan yang ditentukan dengan persamaan-persamaan

tersebut menganggap bahwa setiap alat pengencang pada sambungan memikul beban sama besar.

Lihat Tabel 11.3.1A : Persamaan Batas Leleh. Pada sambungan majemuk faktor koreksi aksi

kelompok Cg, digunakan untuk memperhitungkan ketidak seragaman gaya yang bekerja pada

baut, sekrup kunci, cincin belah, pelat geser, dan alat pengencang sejenis.

Perangkat Lunak. Sejalan dengan perkembangan cara-cara analisis, penelitian mengenai

kegempaan dan teknologi komputer, tiga macam cara analisis seperti cara statik ekivalen, modal

analisis dan analisis riwayat waktu dapat digunakan dalam disain bangunan dengan program

komputer seperti: ETABS, SAP dari Computers and Structures Inc., dan RUAUMOKO.

Perangkat lunak dengan metode elemen hingga seperti MIDAS, ADINA dan lainnya sudah

memasukkan sifat ortotropik dari material, model elemen kontak, retak/ fraktur untuk analisis

material maupun elemen struktur. Gambar 11 di bawah adalah contoh anilis baut dengan model

kontak elemen. Secara umum perangkat lunak yang ada saat ini akan sangat menunjang

penelitian secara numerik.


Gambar 11. Model elemen kontak dan kontur tegangan-regangan

Kesimpulan

 SNI 7973:2013 Spesifikasi desain untuk konstruksi kayu masih memerlukan dan

penyempurnaan- penyempurnaan lebih lanjut yang sesuai dengan kondisi di Indonesia,

terutama kuat acuan yang berdasarkan pada penelitian sifat mekanik kayu-kayu Indonesia.

Kondisi umum kelembaban udara di Indonesia sebesar 15% dapat menjadi acuan untuk dasar

penentuan kuat kayu. Penelitian lebih lanjut kuat tumpu pasak/ baut untuk hardwood juga

diperlukan.

 Grading dan legalitas dari produk kayu gergajian atau kayu rekayasa harus diterapkan.

Dengan adanya grading, kuat acuan akan mudah ditentukan dan lebih pasti dalam

perhitungan disain, disamping menjamin kualitas dan melindungi konsumen.

 Sosialisasi SNI 7973:2013 Spesifikasi desain untuk konstruksi kayu perlu dilakukan, seperti

halnya sosialisasi SNI untuk beton, baja dan gempa. Perhitungan dengan dasar DTI maupun

DFBK dengan berbagai adjustment factor perlu disosialisasikan konsepnya, sehingga tidak

menimbulkan kerancuan bagi para praktisi.

 Bagian-bagian disain pada SNI 7973:2013 mengenai glulam, floor I joist, shearwall dan fire

resistance merupakan hal-hal yang baru yang juga harus dikenal oleh para praktisi di

Indonesia untuk menghadapi AEC (Asean Economic Community)

 Penelitian baik secara fisik non-destruktif atau destruktif dan numeric harus melibatkan

pemerintah, universitas, litbang dan industri.


Daftar Pustaka

Aghayere, A. And Vigil, J. 2005. Structural Wood Design. John Wiley & Sons, Inc.

American Forest and Paper Association (AF&PA). 2012. National Design Specification for

Wood Construction and Supplement. ANSI/AF&PA NDS-2005, AF&PA, Washington DC.

American Institute of Timber Construction. 2005. Timber Construction Manual. 5th ed. John Wiley

& Sons, Inc. American Society of Civil Engineers. 2010. Minimum Design Loads for Buildings

and Other Structures. ASCE

Standard, ASCE/SEI 7-10.

American Society for Testing and Materials. (2010). ASTM D143-09: Standard Methods of

Testing Small Clear Specimens of Timber. Annual Book of ASTM Standards volume 04.10

Baltimore, U.S.A.

Breyer, D.E. et al. 2007. Design of Wood Structures - ASD/LRFD, 6th ed. McGraw-Hill.

Forest Products Laboratory. 2010. Wood Handbook: Wood as an Engineering Material. USDA

Forest Service, Madison, Wisconsin.

Kolb, J. 2008. Systems in Timber Engineering. Birkhauser Verlag AG, Basel, Switzerland.

Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan. 1961. Peraturan Konstruksi kayu Indonesia, NI-5

PKKI 1961. Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, Direktorat Jendral

Ciptakarya. Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan.

Standar Nasional Indonesia. SNI 7973:2013 Spesifikasi desain untuk konstruksi kayu. Badan

Standarisasi Nasional. Thelandersson, S., and Larsen, H.J. 2003. Timber Engineering, John

Wiley & Sons Inc.

Tjondro, J.A., Suryoatmono, B. and Imran, I. 2006. Dowel Bearing Strength of Indonesian-wood

Species. The Proceedings of The Tenth East Asia-Pacific Conference on Structural

Engineering and Construction, August 3-5, 2006 Bangkok, Thailand.


Tjondro, J.A. dan Suryoatmono, B. 2009. ”Sifat Mekanik Linier dan Non-linier Kayu

Indonesia”. Laporan Penelitian Hibah Bersaing, 2009.

Wijanto S., Andriono T., and Tjondro, J.A., 2010. A Strategic Way For Promoting Improved

Seismic Resistant Techniques To Indonesian Builders. The 9th U.S. National and 10th

Canadian Conference on Earthquake Engineering, Toronto, Canada, Juli, 25-29, 2010.

Anda mungkin juga menyukai