Di Susun Oleh :
menjadi menjadi salah satu solusinya. Luas hutan alam, hutan tanaman industri dan juga hutan
tanaman rakyat di Indonesia jika dikelola dengan baik seharusnya dapat menjadi sumber daya
untuk menyediakan kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan. Kayu yang digunakan menjadi
elemen struktural dapat berupa kayu solid maupun kayu rekayasa (engineered wood). Kayu
rekayasa seperti glulam, cross laminated timber dan lainnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan
kekuatan dan dimensi kayu yang besar. Selain green dan sustainable, kayu mempunyai rasio
kekuatan/massa yang lebih besar daripada material beton dan baja. Teknologi tepat guna dengan
rumah kayu kurang diterapkan di Indonesia dalam upaya pengurangan risiko bencana gempa.
Kurangnya perhatian dari yang berwenang di Indonesia terlihat dari baru terbitnya SNI 7973:2013
Spesifikasi desain untuk konstruksi kayu setelah 52 tahun untuk menggantikan Peraturan
Engineered wood atau kayu rekayasa telah sangat maju dan banyak digunakan di negara-negara
seperti Kanada, Australia, New Zealand Amerika Serikat dan banyak negara di Eropa. Bangunan
bertingkat sampai dengan 10 lantai yang banyak digunakan sebagai apartemen dengan
menggunakan kayu rekayasa sudah menjadi hal yang umum di beberapa negara-negara tersebut.
Sistem struktur juga mengalami pergeseran dari rangka dengan balok dan kolom menjadi panel
sistem. Masalah ketahanan terhadap rayap, jamur ataupun ketahanannya terhadap kebakaran telah
banyak diatasi dengan penelitian-penelitian yang ada. Serangkaian penelitian telah dilakukan dan
dipresentasikan secara singkat dalam seminar ini, mulai dari sifat mekanik dan fisik material,
elemen struktur kayu rekayasa, sambungan dan juga analisis dan simulasi dengan berbagai
macam software. Penelitian sifat fisik dan mekanik dilakukan terhadap 25 jenis kayu hardwood
atau kayu berdaun lebar di Indonesia. Dilakukan juga penelitian untuk kuat tumpu baut, glulam
dan cross laminated timber untuk lantai, balok, kolom, dinding geser kayu dan juga sambungan.
Bagaimana dengan prospek bangunan kayu di Indonesia sangat bergantung pada pengetahuan
kita dan kebijakan dari pemerintah disamping akan berkurangnya sumberdaya alam seperti pasir,
kerikil dan material pembuat semen maupun pasir besi dan larangan penambangan yang merusak
lingkungan akan mendorong penggunaan material kayu sebagai material yang sustainable.
1. Pendahuluan
Material kayu: Hutan di Indonesia yang sangat potensial terbagi menjadi hutan alam, hutan
rakyat dan hutan tanaman industri. Sejak perhatian pemerintah dalam bentuk pengawasan
terhadap maraknya penebangan liar pada hutan alam, sumber bahan kayu sebagai bahan
bangunan maupun untuk industri lainnya mulai beralih pada hasil hutan tanaman industri dan
dikembangkannya hutan tanaman industri dengan kayu cepat tumbuh seperti kayu akasia,
sengon, albasia, jabon dll. Diharapkan dengan pengelolaan dan kebijakan pemerintah yang baik
kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan dapat terpenuhi pada masa mendatang. Di daerah
dimana kesulitan bahan semen dan baja untuk membuat bangunan dari beton atau baja, bangunan
kayu merupakan solusinya karena dapat menggunakan material lokal seperti kayu.
Material kayu ramah lingkungan (green) dan bersumber dari alam yang tidak pernah habis
(sustainable) kurang dimanfaatkan untuk bahan bangunan. Kayu yang masih muda dalam
pertumbuhannya menyerap dan menyimpan banyak CO2 dan menghasilkan O2. Kayu dalam
prosesnya menjadi bahan bangunan paling rendah konsumsi enerjinya karena hanya
menggunakan enerji dari matahari, Forest Product Laboratory, 2010, Kolb, 2008. Penggunaan
bahan bangunan kayu di berbagai negara sebagai bahan yang ramah lingkungan dan hemat enerji
menyebabkan kemajuan teknologi dalam bidang konstruksi kayu maju dengan sangat pesat.
Kayu mempunyai sifat ortotropik yang sangat berbeda dengan material lainnya, mempunyai 3
buah sumbu, longitudinal, tangensial dan radial seperti Gambar 1. Dibandingkan dengan material
isotropik seperti beton dan baja, material kayu yang merupakan material ortotropik mempunyai 3
buah modulus elastisitas, 3 buah modulus geser dan 6 buah angka poisson. Karena merupakan
material alam dengan 3 sumbu tersebut kuat lentur, kuat tarik (sejajar
dan tegak-lurus serat), kuat tekan (sejajar dan tegak-lurus serat), kuat geser mempunyai
perbedaan kekuatan. Kuat tarik sejajar serat adalah terkuat dan kuat tarik tegaklurus serat
terlemah.
Pada tahun 1977, industri kayu berdaun jarum (softwood) di Amerika Utara dan USDA Forest
kayu dimensi berukuran penuh in‐grade yang dipilah secara visual yang terbuat dari berbagai
species yang secara komersial penting di Amerika Utara. Program pengujian tersebut, yang
dilakukan pada periode 8 tahun, meliputi pengujian destruktif pada lebih dari 70000 potong kayu
dari 33 species atau kelompok species. Standar pengujian menggunakan ASTM - D143. Hasil
penelitian berupa korelasi berat jenis dengan kuat kayu diberikan dalam Wood Handbook, 2010
Tabel 1. Korelasi berat jenis dengan kuat kayu, Wood Handbook, 2010
Selain kayu gergajian solid juga muncul berbagai macam produk kayu laminasi atau komposit,
mulai dari LVL, PSL, plywood OSB, particleboard dan fiberboard, seperti pada Gambar 2.
Produk–produk ini dapat digunakan baik sebagai elemen struktural maupun non-struktural.
menengah kebawah masih sangat besar. Pencanangan pembangunan seribu tower rusun/
apartemen belum dapat dipenuhi. Material yang digunakan mayoritas menggunakan beton dan
baja, sangat kontras dengan residential building/housing di luar negeri yang hampir 80%
menggunakan kayu sebagai material bangunan. Sedangkan bangunan apartemen bertingkat dari
kayu sampai dengan 10 lantai juga sudah ada di Negara-negara di Eropa, seperti Inggris dan
Swedia.
Ketahanan bangunan terhadap gempa bumi: Wilayah kepulauan Indonesia termasuk dalam
daerah gempa aktif atau biasa disebut Pacific Ring of Fire. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi
gempa-gempa besar seperti, gempa Aceh (2004), gempa Yogyakarta (2006), gempa Bengkulu
(2007), gempa Tasikmalaya (2009) dan gempa Padang (2009). Gempa-gempa besar tersebut
menghancurkan sangat banyak gedung, fasilitas umum beserta isinya dan juga korban jiwa. Jenis
bangunan yang runtuh mulai dari rumah rakyat biasa tanpa perhitungan teknik (non-engineered
building) maupun bangunan bertingkat yang seharusnya didisain tahan gempa (engineered
Pelajaran dari kegagalan struktur akibat gempa-gempa yang sudah terjadi menimbulkan
keprihatinan akan lemahnya pengetahuan baik teori, analisis maupun standar akan disain
bangunan yang baik. Pengalaman pada bangunan dengan beton dan baja menunjukkan bahwa
pada umumnya kegagalan tersebut diakibatkan oleh; soft story mechanism, short column effect,
pounding, masa yang berlebihan, kurangnya tulangan longitudinal dan geser, tidak ada tulangan
pada hubungan balok dan kolom serta detailing tulangan seperti syarat jarak sengkang,
bengkokan dan overlap tulangan yang tidak memenuhi syarat. Dapat diindikasikan bahwa
standar–standar yang ada tidak/belum diketahui atau diikuti persyaratannya atau bahkan tidak
memadai. Dari pengalaman yang ada di daerah yang mengalami gempa, bangunan dari kayu
building. Bangunan kayu secara umum lebih tahan terhadap gempa karena massanya yang ringan
sehingga menghasilkan gaya inersia yang kecil akibat gempa dengan rasio kekuatan/massa yang
besar.
Peraturan konstruksi kayu. Pada bangunan kayu keruntuhan pada umumnya akibat sambungan
atau hubungan yang tidak memenuhi standar dan sistem strukturnya tidak tahan gempa.
Peraturan Kayu di Indonesia sangat ketinggalan jaman, sejak tahun 1961 Peraturan Kayu
Indonesia (PKKI 1961) 52 tahun tidak mengalami perubahan. Beberapa draft peraturan kayu
tahun 1980, dan 2002 pernah dibuat sampai dengan terbitnya SNI 7973:2013 Spesifikasi desain
untuk konstruksi kayu. Saat ini peraturan-peraturan di luar negeri menggunakan metode disain
baik Load and Resistance Factor Design (LRFD) maupun Alowable Stress Design (ASD),
Breyer 2008. PKKI 1961 menggunakan cara ASD lama. Pada SNI 7973:2013 yang mengadopsi
NDS 2012, memuat baik LRFD/DFBK dan ASD/DTI dan keduanya dapat digunakan dalam
desain.
New Zealand Amerika Serikat dan banyak Negara di Eropa menghasilkan teknologi yang
berkembang dengan pesat. Forest Product Laboratory di Amerika telah 100 tahun lebih
melakukan penelitian kayu, Woodhandbook, 2010. Jenis kayu di luar negeri pada negara-negara
tersebut di atas pada umumnya adalah softwood atu kayu berdaun jarum, sedangkan di daerah
tropis atau Indonesia adalah hardwood atau kayu berdaun lebar. Peraturan Kayu Indonesia yang
baru SNI 7973:2013 sebagian besar mengacu kepada peraturan luar negeri. Sifat-sifat kayu tropis
yang umumnya hardwood dapat berbeda dengan softwood sehingga peraturan dari luar negeri
tidak dapat diadopsi begitu saja. Penelitian mengenai sifat-sifat kayu tropis pada cara-cara atau
teori yang ada dalam SNI 7973:2013 sebagian telah dilakukan. Penyesuaian telah dilakukan pada
kuat acuan untuk kayu berdaun lebar pada SNI 7973:2013. Peralatan dan dana yang besar
dukungan dari industri dan pemerintah di luar negeri menyebabkan perkembangan teknologi
yang cepat dalam penelitian untuk menyiapkan teknologi tepat guna dalam upaya pemenuhan
kebutuhan perumahan dan juga pengurangan risiko bencana khususnya akibat gempa. Bangunan
bertingkat rendah dengan elemen-elemen struktur kayu rekayasa prafabrikasi (contoh pada
dinding geser maupun lantai untuk bangunan tinggi banyak digunakan. CLT menggunakan
perekat untuk merangkaikan lapisan-lapisan papan atau balok kayu menjadi suatu panel
berukuran besar. Perekat di Indonesia masih termasuk mahal harganya, sehingga penggunaan
paku untuk merekatkan atau melaminasi papan-papan menjadi satu kesatuan lebih murah dan
mudah dilakukan. Dinding geser papan kayu silang laminasi-paku merupakan salah satu
Sistim struktur bangunan pada umumnya menggunakan rangka sebagai sistim pendukung lantai.
Rangka umumunya terdiri dari elemen-elemen balok dan kolom, baik dengan kayu solid maupun
glulam, Gambar 4. Pada daerah gempa yang membutuhkan kekakuan dan kekuatan dalam arah
horizontal, elemen dinding geser pada umumnya digunakan. Pada struktur bangunan kayu
elemen-elemen tersebut juga umum digunakan. Perkembangan sistim struktur pada bangunan
kayu karena kebutuhan akan bangunan bertingkat maupun kecepatan konstruksinya mulai
bergeser dari sistim rangka kearah sistim panel. Sistim lantai, dan dinding pendukung lantai saat
ini menggunakan panel CLT (cross laminated timber). Demikian pula dengan atap penutup
bangunan juga menggunakan sistim panel yang sangat berbeda dengan atap rangka batang
konvensional.
Gambar 4. Sistim struktur balok dan kolom dengan kayu glulam, Kolb 2008.
Elemen dinding geser pada awal mulanya lebih banyak menggunakan rangka kayu dengan
lapisan penutup dari gipsum atau plywood. Perkembangan terakhir adalah digunakannya papan
kayu silang laminasi (Cross Laminated Timber / CLT). CLT ini dapat direkayasa sehingga
mempunyai kekuatan dan kekakuan yang mencukupi untuk digunakan pada dinding geser
bangunan bertingkat rendah, sedang maupun tinggi, seperti terlihat pada Gambar 5. Bangunan
bertingkat dari kayu tersebut pada umumnya mempergunakan dinding geser sebagai penahan
Gambar 5. Struktur bangunan kayu dengan konstruksi dinding geser untuk apartemen
Sistim struktur yang fleksibel untuk mengikuti bentuk arsitektur seperti Gambar 6 juga dapat
dibuat dengan kayu rekayasa seperti balok atau kolom glulam lengkung. Demikian pulan dengan
sistim sambungan mengalami perkembangan dari sambungan konvensional menjadi seperti pada
Road Map penelitian dari penulis pada bidang keteknikan kayu dimulai dengan penelitian
material mengenai sifat mekanik dan fisik kayu-kayu di Indonesia, yang sebagian besar adalah
hardwood (kayu berdaun lebar). Penelitian berlanjut pada elemen-elemen struktur, mulai dari
balok, kolom dan pelat. Khususnya mengenai elemen struktur dinding geser kayu mulai kembali
pada tahun 2011. Road map penelitian diperlukan agar tujuan dan arah serta kegunaan penelitian
dapat terwujud. Akhir dari penelitian yang ada untuk jangka beberapa tahun ke depan adalah
bangunan bertingkat rendah dari kayu yang menggunakan data-data penelitian material, elemen-
elemen struktur balok, kolom, pelat lantai dan dinding geser untuk menghasilkan bangunan kayu
bertingkat rendah dengan dinding geser yang tahan gempa. Secara garis besar contoh road map
dari kayu
Dengan potensi wilayah hutan di Indonesia, pengembangan dan penggunaan kayu rekayasa
kerjasama antar universitas, litbang dan industri akan sangat mendukung hal tersebut. Produksi
kayu rekayasa pada umumnya harus dengan fabrikasi dan masal, sehingga secara ekonomis akan
menguntungkan.
Perencanaan struktur kayu harus memenuhi syarat kekuatan, kekakuan dan kestabilan disamping
efisien dari segi ekonomis. SNI 7973:2013 Spesifikasi disain untuk konstruksi kayu telah
mengatur tatacara disain struktur kayu tersebut. LRFD dan ASD yang digunakan dalam NDS
2012 menjadi salah satu acuan untuk SNI 7973:2013. Pertimbangan dan penyesuaian dilakukan
untuk jenis kayu, iklim dan kondisi lingkungan di Indonesia. Penelitian- penelitian juga masih
perlu dilakukan untuk mengisi kekurangan-kekurangan yang ada di dalam peraturan tersebut.
Kuat acuan kayu telah disesuaikan dengan jenis kayu dan kelembaban di Indonesia. Secara
umum perhitungan mekanika tidak mengalami perubahan, tetapi banyak faktor-faktor koreksi
yang berlaku baik untuk DTI maupun DFBK yang digunakan dalam disain, danakan dijelaskan
di bawah ini. Faktor ketahanan, faktor waktu dan faktor konversi format digunakan hanya untuk
DFBK.
Nilai kuat acuan. Walaupun ada dual concept dalam SNI 7973:2013, hanya satu nilai acuan
(DTI) yang dimuat dan dapat dipakai juga pada DFBK dengan faktor konversi format, studi lebih
lanjut masih diperlukan untuk nilai acuan tersebut. Tabel 4.2.1 di bawah ini untuk nilai desain
dan modulus elastisitas lentur acuan berdasarkan pada data-data penelitian di Indonesia dan
Tjondro 2009. Penentuan nilai E dapat dilakukan secara mekanis dengan uji non destruktif.
Tabel 4.2.1 Nilai Desain dan Modulus Elastisitas Lentur Acuan (DTI)
/ n
9 6 00 00
5 7 00 00
5 3 00 00
4 9 00 00
8 0 00 00
4 1 00 00
E19 18.5 16. 14.5 2.1 4.35 190 950
3 8 00 0
3 4 00 0
6 4 00 0
2 6 00 0
2 2 00 0
1 8 00 0
4 9 00 0
5 00 0
6 00 0
3 00 0
3 0 0
1 0 0
7 0 0
3 0 0
Faktor Durasi Beban, CD (hanya untuk DTI). Kayu mempunyai sifat mampu memikul beban
maksimum jauh lebih besar untuk durasi pembebanan pendek dibandingkan dengan durasi
pembebanan panjang. Nilai desain acuan berlaku untuk durasi beban normal. Durasi beban
normal merepresentasikan beban yang secara penuh menimbulkan tegangan di suatu komponen
struktur hingga mencapai nilai desain izin dengan pemberian beban desain untuk durasi
kumulatif kira-kira sepuluh tahun. Apabila durasi kumulatif beban maksimum penuh tidak
melebihi periode waktu yang ditentukan, maka semua nilai desain acuan kecuali modulus
elastisitas, E, modulus elastisitas untuk stabilitas balok dan kolom, E min, dan tekan tegak lurus
serat, Fc┴, yang didasarkan atas limit deformasi harus dikalikan dengan faktor durasi beban yang
Faktor layan basah, CM. Pada saat dimensi kayu digunakan dengan kandungan kelembaban
yang lebih dari 19% untuk perpanjangan periode waktu, maka nilai desain akan dikalikan dengan
Faktor layan basah yang sesuai. Ketika glulam struktural yang digunakan memiliki kadar air
16% atau lebih, model desain harus dikalikan dengan faktor kadar air yang berbeda.
Faktor temperatur, Ct. Nilai desain acuan harus dikalikan dengan faktor temperatur, C t, untuk
komponen struktural yang akan mengalami pengeksposan tetap pada temperatur tinggi sampai
38-65,5oC.
Faktor stabilitas balok, CL. Faktor stabilitas balok, CL, mengoreksi nilai desain lentur acuan
untuk efek tekuk torsi lateral. Tekuk torsi lateral merupakan kondisi limit di mana deformasi
balok meliputi deformasi di bidang, deformasi ke luar bidang, dan puntir. Beban yang
menyebabkan ketidakstabilan disebut beban tekuk torsi lateral elastis dan dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti pembebanan dan kondisi tumpuan, penampang komponen struktur, dan
panjang tak tertumpu. Kondisi limit tekuk torsi lateral diatasi dengan menggunakan format
panjang efektif di mana panjang tak tertumpu dikoreksi untuk memperhitungkan kondisi beban
dan tumpuan yang mempengaruhi beban tekuk torsi lateral. Format lain adalah dengan
AF&PA Technical Report 14 menguraikan dasar-dasar pendekatan panjang efektif yang saat ini
digunakan dan merangkum pendekatan faktor momen ekuivalen serta memberikan perbandingan
Faktor bentuk, CF. Apabila tinggi komponen struktur lentur kayu gergajian yang tebalnya 127
mm atau lebih besar melebihi 305 mm dan dipilah secara visual, maka nilai desain lentur acuan,
Fb, di dalam Tabel 4.2.1 harus dikalikan dengan faktor ukuran berikut:
1/ 9
C
F
305 / d 1,0
Faktor penggunaan permukaan, Cfu. Nilai desain kelenturan disesuaikan dengan faktor ukuran
yang berdasarkan posisi penggunaan edgewise (beban diberikan pada permukaan sempit). Ketika
papan yang digunakan pada posisi flatwise (beban diberikan pada permukaan lebar) nilai disain
Faktor Torehan, Ci. Nilai desain acuan harus dikalikan dengan faktor torehan, Ci berikut,
apabila kayu dimensi dipotong sejajar serat pada tinggi maksimum 10,16 mm, panjang
maksimum 9,53 mm, dan densitas torehan sampai 11840/m2. Faktor torehan harus ditentukan
dengan pengujian atau dengan perhitungan menggunakan penampang tereduksi untuk pola
Faktor Pengulangan, Cr. Nilai desain kelenturan, Fb, untuk papan berdimensi tebal 2” hingga 4”
harus dikalikan dengan faktor pengulangan penampang, Cr = 1,15, ketika penampang digunakan
sebagai sambungan, kuda-kuda, kasau, tiang, papan, geladak, atau penampang serupa yang
bersentuhan atau berjarak tidak lebih dari 24” dari pusat, tidak kurang dari 3 dalam jumlah dan
terhubungkan oleh lantai, atap, atau elemen pendistribusian beban lain yang cukup untuk
Faktor stabilitas kolom CP. Pada umumnya, panjang efektif kolom adalah jarak antara titik-titik
tumpuan yang mencegah peralihan lateral pada komponen struktur di bidang tekuk. Adalah
praktik biasa di struktur kayu untuk mengasumsikan hampir semua kondisi ujung kolom sebagai
sendi (translasi ditahan, dan bebas berotasi) meskipun dalam banyak hal ada tahanan rotasional
parsial. Apabila kondisi ujung di bidang tekuk sangat berbeda dengan asumsi sendi, koefisien
yang disarankan, Ke, untuk koreksi panjang kolom diberikan di Lampiran G. Sebagaimana
terlihat di SNI 7973 2013 Lampiran G, koefisien yang disarankan lebih besar daripada nilai
teoritis untuk semua kasus di mana tahanan rotasional di satu atau kedua ujung kolom yang
diasumsikan. Asumsi konservatif seperti ini diambil mengingat bahwa penjepitan penuh pada
Faktor Kekakuan Tekuk, CT. Modulus elastisitas acuan untuk stabilitas balok dan kolom, E min,
faktor luas tumpu, Cb, yang Ketentuan untuk memperbesar nilai desain tekan tegak lurus serat
acuan untuk panjang tumpu didasarkan atas hasil-hasil prosedur tes di ASTM D143 yang
meliputi pembebanan pada tumpu plat baja yang lebarnya 50,8 mm yang bertumpu pada
spesimen dengan lebar 50,8 mm, tinggi 50,8 mm dan panjang 152,4 mm. Riset di USDA Forest
Product Laboratory tentang tegangan limit proporsional yang terkait dengan beban mur dan baut
menunjukkan bahwa semakin kecil luas tumpu atau pelat relatif terhadap panjang spesimen uji,
semakin tinggi tegangan limit proporsionalnya. Riset yang dilakukan di Australia dan
Cekoslovakia mengkonfirmasi sifat dan besar dari efek panjang tumpu. Efek panjang tumpu
ditimbulkan oleh kekuatan tarik sejajar serat dan lentur di serat-serat di tepi pelat tumpu. Karena
adanya efek tepi yang terlokalisasi, maka kontribusi tersebut berkurang dengan membesarnya
Faktor Konversi Format, KF (untuk LRFD saja). Untuk LRFD, nilai desain acuan harus
dikalikan dengan faktor konversi, KF, yang ditetapkan di (Lampiran N.3.1) Faktor konversi
format, KF, tidak berlaku untuk desain yang menggunakan metode ASD. Faktor konversi format
mengkonversi nilai desain acuan (nilai desain tegangan izin yang didasarkan atas durasi beban
normal) ke tahanan acuan LRFD sebagaimana didefinisikan di dalam ASTM D5457. Faktor
konversi format yang ditetapkan, KF, di dalam SNI 7973 2013 Tabel N1 didasarkan atas faktor
serupa yang terdapat di dalam ASTM D5457. Tahanan acuan LRFD adalah nilai desain level
kekuatan untuk kondisi pembebanan jangka pendek. Dengan demikian, faktor konversi meliputi:
1) faktor koreksi untuk mengoreksi nilai desain izin ke nilai desain level kekuatan, 2) faktor
koreksi untuk mengoreksi dari basis 10 tahun ke 10 menit (jangka pendek), dan 3) faktor koreksi
dengan faktor tahanan, Ø, yang ditetapkan di dalam Lampiran N.3.2. Faktor tahanan, Ø, tidak
berlaku untuk desain yang menggunakan metode ASD. Faktor tahanan, Ø, yang ditetapkan di
dalam SNI 7973 2013 Tabel N2 didasarkan atas faktor tahanan yang didefinisikan di dalam
ASTM D5457. Faktor tahanan diberikan untuk berbagai sifat kayu dengan hanya satu faktor
untuk setiap ragam tegangan (yaitu lentur, geser, tekan, tarik, dan stabilitas). Pada umumnya,
besar faktor tahanan antara lain merefleksikan variablitas sifat produk kayu. Perbedaan aktual
ti ol Nila
F ϕb
0,85
b ϕt
Komponen 0,80
Ft ϕv
struktur 0,75
Fv, Frt, ϕc
0,90
Fs Fc, ϕs
0,85
Fc┴
Emin
)
Faktor waktu, λ (untuk LRFD saja). Faktor efek waktu, λ (padanan LRFD untuk faktor durasi
beban, CD, yang ada di ASD) bervariasi terhadap kombinasi beban dan ditujukan untuk
mendapatkan indeks reliabilitas target yang konsisten untuk skenario beban yang
direpresentasikan dengan kombinasi beban yang berlaku. Dengan kekecualian kombinasi beban
mati saja, setiap kombinasi beban dapat dipandang sebagai mennunjuk skenario beban yang
meliputi nilai puncak dari satu atau lebih beban “utama” yang dikombinasi dengan beban
tambahan lain. Faktor efek waktu spesifik untuk berbagai kombinasi beban ASCE 7-10 sangat
bergantung pada besar, durasi, dan variasi beban utama di dalam masing-masing kombinasi.
Sebagai contoh, faktor efek waktu sebesar 0,8 terkait dengan kombinasi beban 1,2D + 1,6(L atap
atau S atau R) + (L atau 0,8W) untuk memperhitungkan durasi dan variasi beban utama di dalam
kombinasi tersebut (beban hidup atap, salju, atau air hujan, atau es). Efek beban tambahan pada
kombinasi beban tertentu atau bahkan perubahan pada faktor beban di dalam kombinasi yang
diketahui dipandang kecil relatif terhadap efek beban utama terhadap respons durasi beban pada
kayu. Dengan demikian, faktor efek waktu spesifik tidak perlu berubah untuk memperhitungkan
perubahan kombinasi beban atau faktor beban terhadap waktu. Lihat Tabel N3. Peraturan
Pembebanan Indonesia yang didasarkan pada ASCE 7-10 masih belum disosialisasikan.
Tabel N3 Faktor Efek Waktu, λ (Hanya DFBK)
Kombinasi Beban2
λ
1,4(D+F) 0,6
gudang
hunian
impak
0,8W)
Sebagai contoh keberlakuan faktor-faktor koreksi untuk kayu gergajian adalah seperti Tabel 4.3.1
sebagai berikut:
DFBK
Faktor Tusukan
Faktor Ukuran
Faktor Komponen
Faktor Kekakuan
Faktor Stabilitas
Faktor Layan
struktur
Fb’= Fb x CD CM Ct CL CF Cfu Ci Cr - - - 2,54 0,85
Fc
Fc ‘ = Fc x CD CM Ct - CF - Ci - CP - - 2,40 0,90
E’ = E x - CM Ct - - - Ci - - - - - - -
in
Kombinasi pembebanan, ASCE 7-10. LRFD memperhitungkan keamanan pada dua hal (efek
beban dan tahanan) dengan menggunakan faktor beban dan faktor tahanan. Setiap kondisi beban
mempunyai faktor beban yang berbeda yang memperhitungkan derajat uncertainty, sehingga
dimungkinkan untuk mendapatkan reliabilitas seragam. Analisis yang dapat dipilih untuk
mendapatkan efek beban adalah analisis elastis orde kedua, atau analisis elastis orde pertama dan
1. D
2. D+L
3. D + (La atau H)
7. D + 0,75L + 0.75(0,7E)
8. 0,6D + 0,6W
9. 0,6D + 0,7E
Dan kombinasi pembebanan pada
LRFD : 1.1,4D
5. 1,2D + 1,0E + L
6. 0,9D + 1,0W
7. 0,9D + 1,0E
dengan:
D = beban
mati L =
beban hidup
La = beban hidup di
W = beban
angin E =
beban gempa
Sambungan. Disain sambungan meliputi pasak, cincin belah, timber rivet dsbnya. Sebagai
contoh pada perhitungan kekuatan pasak/baut didasarkan pada teori batas leleh dengan beberapa
ragam kegagalan yang mungkin terjadi. Ragam kegagalan sambungan dengan pasak/baut yang
Gambar 10. Ragam kegagalan pada teori batas leleh untuk sambungan dengan pasak/ baut,
Aghayere 2007.
Dari hasil uji eksperimental dihasilkan persamaan-persamaan untuk menghitung besarnya
kekuatan pasak, merupakan hasil regresi yang dipakai untuk disain. Kuat tumpu pasak/ baut
untuk hardwood berbeda dengan kuat tumpu pasak/ baut pada NDS yang berupa softwood. Pada
SNI 7973:2013 kuat tumpu pasak atau baut telah disesuaikan dengan beberapa penelitian di
tersebut menganggap bahwa setiap alat pengencang pada sambungan memikul beban sama besar.
Lihat Tabel 11.3.1A : Persamaan Batas Leleh. Pada sambungan majemuk faktor koreksi aksi
kelompok Cg, digunakan untuk memperhitungkan ketidak seragaman gaya yang bekerja pada
baut, sekrup kunci, cincin belah, pelat geser, dan alat pengencang sejenis.
kegempaan dan teknologi komputer, tiga macam cara analisis seperti cara statik ekivalen, modal
analisis dan analisis riwayat waktu dapat digunakan dalam disain bangunan dengan program
komputer seperti: ETABS, SAP dari Computers and Structures Inc., dan RUAUMOKO.
Perangkat lunak dengan metode elemen hingga seperti MIDAS, ADINA dan lainnya sudah
memasukkan sifat ortotropik dari material, model elemen kontak, retak/ fraktur untuk analisis
material maupun elemen struktur. Gambar 11 di bawah adalah contoh anilis baut dengan model
kontak elemen. Secara umum perangkat lunak yang ada saat ini akan sangat menunjang
Kesimpulan
SNI 7973:2013 Spesifikasi desain untuk konstruksi kayu masih memerlukan dan
terutama kuat acuan yang berdasarkan pada penelitian sifat mekanik kayu-kayu Indonesia.
Kondisi umum kelembaban udara di Indonesia sebesar 15% dapat menjadi acuan untuk dasar
penentuan kuat kayu. Penelitian lebih lanjut kuat tumpu pasak/ baut untuk hardwood juga
diperlukan.
Grading dan legalitas dari produk kayu gergajian atau kayu rekayasa harus diterapkan.
Dengan adanya grading, kuat acuan akan mudah ditentukan dan lebih pasti dalam
Sosialisasi SNI 7973:2013 Spesifikasi desain untuk konstruksi kayu perlu dilakukan, seperti
halnya sosialisasi SNI untuk beton, baja dan gempa. Perhitungan dengan dasar DTI maupun
DFBK dengan berbagai adjustment factor perlu disosialisasikan konsepnya, sehingga tidak
Bagian-bagian disain pada SNI 7973:2013 mengenai glulam, floor I joist, shearwall dan fire
resistance merupakan hal-hal yang baru yang juga harus dikenal oleh para praktisi di
Penelitian baik secara fisik non-destruktif atau destruktif dan numeric harus melibatkan
Aghayere, A. And Vigil, J. 2005. Structural Wood Design. John Wiley & Sons, Inc.
American Forest and Paper Association (AF&PA). 2012. National Design Specification for
American Institute of Timber Construction. 2005. Timber Construction Manual. 5th ed. John Wiley
& Sons, Inc. American Society of Civil Engineers. 2010. Minimum Design Loads for Buildings
American Society for Testing and Materials. (2010). ASTM D143-09: Standard Methods of
Testing Small Clear Specimens of Timber. Annual Book of ASTM Standards volume 04.10
Baltimore, U.S.A.
Breyer, D.E. et al. 2007. Design of Wood Structures - ASD/LRFD, 6th ed. McGraw-Hill.
Forest Products Laboratory. 2010. Wood Handbook: Wood as an Engineering Material. USDA
Kolb, J. 2008. Systems in Timber Engineering. Birkhauser Verlag AG, Basel, Switzerland.
Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan. 1961. Peraturan Konstruksi kayu Indonesia, NI-5
PKKI 1961. Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, Direktorat Jendral
Standar Nasional Indonesia. SNI 7973:2013 Spesifikasi desain untuk konstruksi kayu. Badan
Standarisasi Nasional. Thelandersson, S., and Larsen, H.J. 2003. Timber Engineering, John
Tjondro, J.A., Suryoatmono, B. and Imran, I. 2006. Dowel Bearing Strength of Indonesian-wood
Wijanto S., Andriono T., and Tjondro, J.A., 2010. A Strategic Way For Promoting Improved
Seismic Resistant Techniques To Indonesian Builders. The 9th U.S. National and 10th