RISET dan PENGAJARAN – Studi Kasus di Jurusan Teknik Sipil UPH ABSTRAK
Kayu dikenal sejak lama oleh masyarakat sebagai
bahan material konstruksi. Seiring meningkatnya pemahaman pentingnya kelestarian lingkungan hidup, khususnya menghadapi ancaman pemanasan global, kayu diyakini sebagai bahan material konstruksi yang rendah kadar emisi CO2 -nya. Bahkan pada proses fotosintesis, kayu mengubah CO2 menjadi oksigen. Faktanya, banyak ditemui bangunan rumah kayu di negara-negara maju (Amerika, Kanada dan Jepang). Situasi di Indonesia berbeda, bangunan rumah kayu tidak populer, dianggap bangunan sementara atau non- permanen. Untuk mengatasinya dan agar bangsa ini tidak tertinggal dari negara maju, maka revitalisasi kayu sebagai bahan material konstruksi sudah saatnya, dan itu perlu dilakukan semua pihak. Bagi perguruan tinggi, itu dapat ditempuh melalui peningkatan kuantitas dan kualitas riset serta pengajaran terkait kayu, misal memberdayakan uji eksperimental pada kayu. Pendahuluan Seiring perjalanan waktu ternyata terjadi banyak perubahan. Hasil pengamatan pada kota-kota besar di Indonesia, saat ini jarang sekali dijumpai bangunan baru berukuran besar yang mempergunakan material kayu sebagai elemen struktur utama. Bangunan seperti itu umumnya berupa bangunan publik, seperti yang dahulu pernah digunakan pada konstruksi rangka atap bangunan lama Pasar Gede, di kota Solo, yang terbuat dari konstruksi kayu memakai balokbalok berukuran besar. Sayang sekali bangunan yang dimaksud sudah musnah terbakar. Saat ini sebagai gantinya dibangun bangunan baru dengan konstruksi atap dari rangka baja (tidak memakai kayu lagi). Kalaupun ada bangunan lain yang memakai konstruksi kayu, umumnya bangunan semi- permanen yang relatif kecil ukurannya. Popularitas kayu sebagai bahan konstruksi semakin turun. Hal itu berdampak di dunia pendidikan tinggi, khususnya bidang rekayasa. Padahal di sisi lain, negara-negara maju seperti Amerika, Kanada, Jepang atau Norway, pemakaian konstruksi kayu populer, dijumpai di mana-mana, bahkan tidak terbatas pada bangunan rumah tinggal, tetapi juga bangunan infrastruktur kelas berat seperti jembatan kayu sungai Rena, Norway. Jembatan terdiri dari 6 bentang, dengan bentang terpanjang 45 m, keseluruhan panjang jembatan 158 m. Jembatan direncanakan tidak sekedar untuk jembatan pejalan kaki, atau lalulintas ringan, tetapi direncanakan juga terhadap iring-iringan kendaraan militer yang berat kendaraannya saja mencapai 109 ton KAYU DAN FAKTOR LINGKUNGAN SERTA ENERGI Jika kayu dikaitkan dengan faktor “keberlanjutan lingkungan dan ketersediaan energi”, maka cerita menjadi lain. Jika hal itu tidak diperhatikan mulai dari sekarang, maka itu semua dapat menjadi pemicu terjadinya krisis bagi negara. Dari sisi ini diketahui bahwa pemilihan material konstruksi dapat dikaitkan dengan faktor pemicu kerusakan lingkungan dan krisis enerji. Untuk memahami perlu tahu dulu tentang “pemanasan global” atau “efek rumah kaca”. Aktivitas manusia sejak terjadinya revolusi industri (1760-1830) telah meningkatkan jumlah kandungan gas-rumahkaca atmosfer, yaitu CO2, metana, ozon troposfer, CFC dan asam nitrat. Konsentrasi CO2 dan metana meningkat sebesar 36% dan 148% masing-masing sejak 1750. Tingkat ini jauh lebih tinggi dari kondisi apapun selama 800.000 tahun terakhir, periode yang datanya dapat diandalkan telah diekstraksi dari inti es. Bukti geologi secara langsung menunjukkan bahwa nilai- nilai CO2 yang lebih tinggi dari itu, terakhir sekitar 20 juta tahun lalu. Jika faktor yang berorientasi pada ramah lingkungan dipakai untuk tolok ukur mengevaluasi material bahan konstruksi, tidak sekedar tolok ukur yang biasanya, seperti kekuatan, keawetan dan faktor ekonomis, maka kayu akan menonjol dibanding material lainnya. Usaha membudidayakan tanaman kayu secara berkesinambungan merupakan sumber daya alam yang terbarukan. Untuk mewujudkannya itu hanya perlu ketersediaan lahan, sinar matahari dan curah hujan. Dua syarat yang terakhir itu jelas melimpah di negeri ini. Jika demikian, kayu hanya perlu sedikit energi untuk menghasilkannya dibanding memproduksi bahan bangunan yang lain (beton atau baja). Menurut John Kissock (2012), produksi baja perlu ± 24 kali energi untuk menghasilkan produk kayu, sedangkan beton menghasilkan sekitar 140 kg CO2 per meter kubiknya. Jika dilakukan penanaman pohon bahkan dapat menghasilkan oksigen untuk bernafas, hampir 75% dari 1 ton oksigen dihasilkan pertumbuhan kayu setiap meter kubiknya. Suatu kondisi dimana tidak ada bahan material lain yang dapat menyamai. Saat tumbuhpun, pohon juga menyerap gas beracun CO2. Itu berarti kayu merupakan bahan material konstruksi yang bebas emisi gas karbon dan sangat ramah lingkungan. REVITALISASI KAYU SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI Agar konstruksi kayu dapat kembali populer, diperlukan revitalisasi khusus kayu sebagai bahan material konstruksi. Usaha itu memerlukan keterlibatan semua pihak, mulai dari unsur pemerintahan maupun swasta terkait, tidak lupa juga tentunya dari unsur perguruan tinggi.