Anda di halaman 1dari 9

KACA INSULASI YANG DAPAT MENGURANGI

PENGGUNAAN ENERGI LISTRIK BERLEBIH SEBAGAI


UPAYA MENGHINDARI PEMANASAN GLOBAL

Anggota :
Meisyarah Khalisa 2021091001
Zara Nabila Ratu 2021091029
Theresia Woi Doa 2021091031
M. Kevin Ariaputra 2021091032

Dosen Pengampu

Ir. Galih Wulandari Subagyo, S.T., M.T.

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNOLOGI DAN DESAIN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA
2022
BAB I

PENDAHULUAN

Pemanasan global merupakan salah satu gejala terjadinya perubahan iklim. Pada dasarnya,
perubahan iklim secara garis besar dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas manusia yang berlebihan.
Sehingga membuat iklim di seluruh dunia berubah menjadi iklim ekstrem. Aktivitas-aktivitas manusia
tersebut secara dominan lebih banyak memproduksi karbon dioksida (CO2). Padahal, karbon dioksida
secara tidak langsung merupakan musuh dari lapisan ozon yang melindungi bumi dari berbagai benda
angkasa. Pemanasan global disebabkan oleh polusi udara oleh gas rumah kaca (GRK). Gas ini
mencegah sinar matahari yang masuk ke bumi terpantul dari permukaan, meningkatkan suhu
permukaan. Gas ini mencegah sinar matahari memasuki atmosfer, menyebabkan suhu permukaan
meningkat (Putri, 2021).

Terkadang kita tidak sadar apabila kita menggunakan alat energi secara berlebihan, dapat
menambah permasalahan khususnya untuk pemanasan global. Banyak kegiatan manusia saat ini yang
menggunakan energi listrik berlebihan. Contohnya seperti menggunakan banyak cahaya penerangan
di waktu siang hari, karena minimnya penerangan di ruang tersebut. Efisiensi penggunaan energi juga
dapat dilakukan dengan mencabut saklar dan kabel alat-alat elektronik seusai dipakai, jangan
membiarkan kabel tetap tertancap pada stop kontak. Maka dari itu, untuk mengurangi penyebab
pemanasan global, bijaklah dalam menggunakan alat-alat elektronik agar mengurangi pemakaian
energi listrik yang berlebihan.

Indonesia merupakan negara berkembang yang mengembangkan infrastruktur-infrastruktur


untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, karena infrastruktur itu sendiri merupakan layanan utama
negara yang mendukung kegiatan ekonomi untuk memungkinkannya. Terjadi melalui penyediaan
transportasi dan fasilitas pendukung lainnya (Suriani & Keusuma, 2015). Salah satu komponen utama
sebagian besar infrastruktur adalah beton, yang terbuat dari semen sebagai pengikat. Ini tidak baik
untuk lingkungan karena semen merupakan bahan yang menyumbang 6 persen pemanasan global dan
merupakan sumber polusi industri terbesar ketiga.

Produksi semen menghasilkan banyak karbon dioksida dan membutuhkan banyak energi.
Dimulai dengan batu kapur dan tanah liat yang dihancurkan yang dipanaskan dengan bahan lain
dalam tungku hingga lebih dari 1400 derajat Celcius. Bahan bakar yang digunakan dalam proses
pemanasan ini berasal dari fosil memancarkan karbon dioksida. Setelah semua bahan menjadi klinker
dan dingin, barulah digiling sehingga menjadi bola-bola bahan menjadi bubuk yang terbagi halus,
yang kita kenal sebagai semen. Proses dekomposisi termal dalam produksi semen menyebabkan emisi
CO2 hingga 66% ketika karbon yang tersisa di batu kapur bergabung dengan oksigen di udara.
Gaurav Sant, Profesor Teknik Sipil dan Lingkungan di University of California, Los Angeles
(UCLA), mengatakan
pengurangan kandungan karbon dalam proses produksi semen sangat sulit karena emisi karbon
dioksida dihasilkan dan merupakan bagian dari proses kimia itu sendiri (Arfianty, 2018).

Sejauh ini, belum ada peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur bangunan hijau
di Indonesia. Oleh karena itu, pelaksanaan konstruksi ekologis bangunan baru tidak memerlukan
persyaratan khusus terkait pelaksanaan konstruksi dan keamanan bahan yang digunakan.
Meningkatnya jumlah bangunan di negara berkembang ini memiliki dampak yang berlangsung
terhadap lingkungan. Menurut sebuah studi oleh Badan Energi Internasional (IEA), bangunan
menyumbang hingga 32 persen dari total konsumsi energi dunia (IEA, 2012).Menurut Kibert (2005),
bangunan hijau mengacu pada kualitas dan sifat energi. Struktur aktual yang dibuat sesuai dengan
prinsip dan metode konstruksi berkelanjutan. Bangunan hijau dapat didefinisikan sebagai perencanaan
tata ruang yang sehat dan hemat sumber daya berdasarkan prinsip-prinsip dasar ekologi.

Antara tahun 2000 sampai 2030 penggunaan energi di seluruh dunia khususnya pada
bangunan tinggi terus meningkat sampai menempuh angka 70%. Sektor bangunan secara perlahan
namun konstan memiliki kontribusi terbesar dalam menyumbang emisi karbon di alam sehingga
memperparah pemanasan global yang semakin memburuk akhir-akhir ini (GBCI, 2012). Hal ini
dibuktikan oleh Energy Efficiency and Conservation Clearing House Indonesia (EECCH) tahun 2012
bahwa bangunan menghasilkan 50% total pengeluaran energi di Indonesia dan bertanggung jawab
bagi 30% emisi gas rumah kaca. Dengan begitu, penerapan konsep green building dapat menjadi
solusi dalam masalah emisi karbon dioksida (CO2) dunia karena konsep tersebut merupakan
bangunan ramah lingkungan yang mampu menahan laju pemanasan global dengan membenahi iklim
mikro, salah satunya dengan beralih dari penggunaan beton ke kaca insulasi. Bukan hanya di dunia,
Indonesia pun sangat perlu melakukan upaya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca sebagai
pencegahan pemanasan global.

Dalam menerapkan green building, aspek material sangat dipertimbangkan karena seperti
yang dinyatakan oleh Spiegel & Meadows (2012), bahwa menggunakan bahan bangunan hijau dapat
membantu mengalihkan kualitas udara dalam ruangan (IAQ), memenuhi permintaan konsumen, dan
dapat memenuhi persyaratan peraturan tertentu. kepedulian mengenai bangunan yang sehat dan site
yang sehat meningkat seiring dengan pemahaman yang berkembang mengenai potensi bahaya
kesehatan yang berhubungan dengan bahan-bahan tertentu. Produk bangunan hijau, terutama yang
dibuat dari bahan tidak beracun, alami, dan organik, dapat mengurangi kontaminan IAQ dan keluhan
yang menyertainya maupun klaimnya. Permintaan konsumen untuk bangunan yang sehat dan struktur
hemat energi juga mendorong produsen dan desainer untuk mengeksplorasi pilihan untuk produk
hijau. Pemenuhan dengan permintaan konsumen adalah bisnis yang baik. Oleh karena itu, penggunaan
kaca insulasi dalam rangka menggantikan penggunaan beton adalah pilihan material yang tepat untuk
mendukung green building ini.
BAB II

SKENARIO GAGASAN

1.1 Gagasan
1. Tema : Pencegahan pemanasan global dengan mengurangi CO2 pada dunia konstruksi
2. Judul : “Kaca Insulasi Yang Dapat Mengurangi Penggunaan Energi Listrik Berlebih
Sebagai Upaya Menghindari Pemanasan Global”
3. Premis : Kaca Insulasi merupakan kaca yang dibentuk dari dua lembar kaca atau lebih
yang terpisah oleh suatu rongga metal yang diisi campuran udara dan zat pengering
lalu disekat dengan rapat oleh penyekat organik yang kedap udara, sehingga
menghasilkan reduksi suara dari luar, serta reduksi panas dari luar kaca dan
merupakan suatu unit penghemat energi.

1.2 Sinopsis Panjang


Banyak upaya telah dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, terutama CO2,
namun ada salah satu sumber CO2 terbesar yang tidak kita ketahui. Ini produksi semen. Proses
pembuatan semen membutuhkan bahan bakar fosil dalam jumlah besar untuk melepaskan
karbon. Proses pirolisis dalam produksi semen juga melepaskan hingga 66% CO2 ketika
karbon yang terperangkap dalam batu kapur bergabung dengan oksigen atmosfer. Oleh karena
itu, semen merupakan sumber emisi CO2 terbesar ketiga di antara sumber pencemar industri.
Hal ini menjadi perhatian utama mengingat material bangunan utamanya adalah beton dan
membutuhkan semen untuk mengikat material penyusun beton. Padahal, saat ini Indonesia
sedang banyak membangun infrastruktur. Tentunya pembangunan di negara kita terus
meningkat setiap tahunnya. Peningkatan aktivitas konstruksi ini sebanding dengan peningkatan
emisi CO2.

Ide kami adalah membuat Kaca Insulasi sebagai penerapan green building. Karena Kaca
Insulasi memiliki sifat insulasi termal alami yang mengatur suhu dalam ruangan dan membantu
dalam konservasi energi. Kaca ini dapat mengurangi jumlah panas yang masuk dan keluar dari
ruang tamu dan berhasil menghemat energi setiap musim sepanjang tahun. Selanjutnya, lapisan
Low-E juga dapat diterapkan pada panel kaca untuk menambah tingkat konservasi energi.
Tujuan pelapisan ini agar dapat menghalangi radiasi inframerah dari matahari yang masuk
sehingga dapat menjaga rumah tetap sejuk di musim panas. Kaca insulasi kontemporer dapat
mengurangi kehilangan energi hingga 50%.
Selain itu Kaca Insulasi juga dapat menurunkan jejak karbon bermanfaat bagi lingkungan dan
membantu dalam pengembangan lingkungan yang ramah lingkungan. Penggunaan peralatan
elektronik yang lebih sedikit berkontribusi pada pengurangan jejak karbon secara keseluruhan.
Kaca insulasi mengatur suhu ruang interior baik di musim panas dan musim dingin dan
menghasilkan minimalisasi penggunaan AC dan pemanas. Isolasi termal menghilangkan beban
peralatan tersebut dan membuatnya mudah untuk mencapai suhu nyaman yang diinginkan
tanpa penggunaan daya dan energi yang berlebihan.

1.3 Rancangan Treatment


Semen merupakan suatu material buatan manusia dengan posisi kedua terbanyak yang paling
banyak digunakan, karena semen itu sendiri merupakan bahan utama dalam pembuatan beton
dan juga semen ini memiliki jejak karbon yang sangat besar sehingga semen merupakan
sumber dari emisi karbon dioksida (CO2) dunia yang di mana sekitar 8%.

Hal tersebut terjadi karena selama 2 abad lalu tidak adanya perubahan dalam proses
pembuatan semen yang di mana semen tersebut dihasilkan dari pabrik yang tidak ramah
lingkungan. Proses pembuatan semen yang belum dapat dirubah dimulai dari bahan utamanya
yaitu batu kapur yang dihancurkan kemudian dicampur dengan bahan mentah lainnya yang di
masukkan ke dalam tungku silinder yang besar, berputar, dipanaskan hingga lebih dari 1.400
derajat Celcius, Ketika bergerak ke arah panas api di ujung bawah tungku terdapat beberapa
komponen dipanaskan dengan cara dibakar dengan gas, sementara elemen yang tersisa bersatu
untuk menghasilkan bola abu-abu yang dikenal sebagai klinker. Kemudian bahan tersebut yang
membentuk gumpalan material didinginkan dan di tumbuk menjadi bubuk halus.

Dalam proses pembuatan inilah yang menghasilkan emisi karbon seperti dari bahan bakar
yang digunakan yaitu fosil yang di mana dibakar untuk memanaskan tungku ke suhu tinggi
yang diperlukan untuk memecah material, sehingga memancarkan gas karbon dalam proses.
Selanjutnya yang menyebabkan sebanyak 66% dari emisi karbon yang terkait dengan semen
timbul dari reaksi dalam proses dekomposisi termal, karena karbon yang terperangkap dalam
batu kapur bergabung dengan oksigen di udara untuk menciptakan karbon dioksida sebagai
produk sampingan.

Green bulding menjadi sangat berpengaruh terhadap dampak kondisi dan perubahan
lingkungan. Banyak pertimbangan yang harus diperhatikan dalam membangun green building,
yaitu dengan mengatur efisiensi listrik, air, pengelolaan sampah, kesehatan, serta kenyamanan.
Dengan adanya green building juga dapat memberikan solusi terhadap masalah-masalah CO2
yang semakin meningkat dan dapat mengurangi GRK dalam 10 tahun ke depan.
Pembangunan proyek infrastruktur yang begitu besar akan semakin banyak juga jumlah
pemakaian yang berpengaruh pada peningkatan emisi karbon CO2. Menurut data Asosiasi
Semen Indonesia (ASI) jumlah konsumsi atau pemakaian semen dalam negeri meningkat 4%
pada September 2021 dan yang paling signifikan terjadinya peningkatan konsumsi semen
adalah Pulau Kalimanan yang meningkat sebesar 14% dengan konsumsi 429 ribu ton
semen/tahun. Pada tahun 2021 Indonesia adalah penghasil semen nomor 6 terbanyak di dunia
dan terdapat 203.403 perusahaan konstruksi di Indonesia. Dengan banyaknya jumlah semen
yang dihasilkan dan jumlah konstruksi, hal ini juga dapat menyebabkan meningkatnya emisi
CO2 ke udara.

Oleh karena itu, green building dapat menjadi solusi dari masalah ini. Kami menerapkan
konsep green building dalam pemakaian material konstruksi yaitu Kaca Insulasi. Karena Kaca
Insulasi ini berpotensi untuk menjadi salah satu cara untuk mengurangi emisi CO2 di dunia.
Tidak seperti bangunan yang dari beton pada umunya, Kaca Insulasi membutuhkan energi
listrik yang lebih kecil karena meminimalisirkan penggunaan lampu pada siang hari karena
Kaca membantu sekali dalam masalah penerangan. Disinilah keunggulan Kaca Insulasi,
mengurangi penggunaan aliran listrik sehingga dapat mengurangi emisi CO2.

1.4 Rancangan Naskah Skenario


Scene#1: jajaran-jajaran beton yang sudah selesai (pengambilan cuplikan fungsi dari semen
untuk konstruksi).

Scene#2: tukang pemasang Kaca Insulasi (pengambilan cuplikan proses pemasangan Kaca
Insulasi).
BAB II

TAHAPAN PELAKSANA

Naskah Tempat dan Waktu Kamera Audio Deskripsi

1 Tempat terjadinya lokasi Eye level Voice over Cuplikan orang yang sedang
konstruksi. Siang hari view berada di area konstruksi green
building. Kamera akan focus pada
penggunaan kaca yang dipasang.
2 Tempat terjadinya lokasi Eye level Voice over Cuplikan kegunaan semen dalam
konstruksi (fokus pada view konstruksi yang berlebihan.
maraknya penggunaan
semen)
3 Green building, siang hari Bird eye Voice over Cuplikan penggunaan semen
view untuk green building.
4 Pemasangan kaca insulasi Eye level Voice over Cuplikan orang yang memasang
view kaca insulasi pada green building.
BAB IV

RAB DAN SCHEDULE

4.1 Anggaran Biaya

No Jenis Pembayaran Sumber Dana Besaran Dana


1 Kaca insulasi / m2 Perguruan Tinggi Rp 350.000
2 Biaya lain-lain Perguruan Tinggi Rp 100.000
Jumlah Rp 0

Perguruan Tinggi Rp 450.000


Rekap Sumber Dana
Total Rp 450.000

4.2 Jadwal Kegiatan


Bulan
NO Jenis Kegiatan Penanggung Jawab
1 2 3
Tahap Persiapan
a. Penyempurnaan naskah Theresia
b. Persiapan alat dan bahan Kevin
1
yang dibutuhkan
c. Menyiapkan tempat Zara
d. Mencari Tukang Kevin
Tahap Pelaksanaan
a. Proses pemasangan kaca Meisyarah
insulasi
b. Pengambilan video Theresia
c. Perekaman Suara Zara
2.
d. Editing video Zara
e. Checking video Meisyarah
f. Evaluasi perbandingan Theresia
antara penggunaan semen
dengan kaca insulasi
Tahap Penyusunan Laporan3
3
a. Pembuatan Laporan Kevin
DAFTAR PUSTAKA

Putri, N. H. (2021). Mengenal Gas Rumah Kaca dan Dampaknya untuk Kesehatan.
https://www.sehatq.com/artikel/mengenal-gas-rumah-kaca-dan-dampaknya-untuk- kesehatan

Shin, G. J., Rhee, K. Y., & Park, S. J. (2016). Improvement of CO2 Capture by Graphite Oxide
in Presence of Polyethylenimine. International Journal of Hydrogen Energy, 41(32), 14351–
14359. https://doi.org/10.1016/j.ijhydene.2016.05.162

Suriani, S., & Keusuma, C. N. (2015). Pengaruh Pembangunan Infrastruktur Dasar Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia. Ecosains: Jurnal Ilmiah Ekonomi Dan Pembangunan,
4(1), 1. https://doi.org/10.24036/ecosains.10962757.00

Tiwari, D., Goel, C., Bhunia, H., & Bajpai, P. K. (2017). Dynamic CO2 Capture by Carbon
Adsorbents: Kinetics, Isotherm and Thermodynamic Studies. Separation and Purification
Technology, 181, 107–122. https://doi.org/10.1016/j.seppur.2017.03.014

rahmawati, F. (2015). Pengaruh Konsep Green Building Terhadap Investasi Pada Bangunan
Tinggi di Surabaya. https://repository.its.ac.id/75022/1/3213208015-Master_Thesis.pdf.

bennaradicta, Z. R. (2017). Evaluasi Prinsip Sustainability Pada Hasil Rancangan Kostel


Gejayaa.https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/6133/02_KAJIAN%20TEO
RI.pdf?sequence=3&isAllowed=y

Gunawan. B, Budihardjo, Juwana. J. S, Priatman. J, Sujatmiko. W, Sulistiyanto. T. (2012).


Buku Pedoman Energi Efisiensi Untuk Desain Bangunan Gedung Di Indonesia.
https://simebtke.esdm.go.id/sinergi/assets/content/20210705195958_EEG1INFOR_WEB.pdf

Anda mungkin juga menyukai