BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konservasi energi merupakan salah satu usaha yang dilakukan untuk
mengurangi emisi CO2 sebesar 50-80%. Program konservasi energi telah dilakukan di
berbagai negara untuk mengurangi peningkatan suhu bumi hingga 20C sampai tahun
2050. Di Indonesia, konservasi energi dilakukan untuk menyelesaikan masalah krisis
cadangan energi fosil. Saat ini, beberapa bidang termasuk arsitektur menjadi salah
satu yang bertanggung jawab terhadap program tersebut. Usaha penghematan energi
berfokus pada arsitektur dikarenakan bangunan arsitektur menghasilkan tambahan
produksi gas karbindioksida (Lechner, 2009) yang dapat menyebabkan terjadinya
pemanasan global dengan penggunaan energi lebih besar daripada aktivitas manusia.
Arsitektur dengan penerapan konservasi energi merupakan sebuah konsep
mempertahankan sumber daya alam untuk menciptakan sustainable architecture
(arsitektur berkelanjutan). Sustainable architecture dapat diaplikasikan melalui
efisiensi energi, efisiensi pemanfaatan lahan, efisiensi penggunaan material,
penerapan teknologi dan material serta manajemen limbah (Lady, 2018). Salah satu
pengonsumsi energi terbesar adalah bangunan yakni menyerap 30 – 40% total energi
dunia (Kerr, 2008). Konsep desain berkelanjutan dengan meminimalisir konsumsi
energi dan meminimalkan penggunaan sumbar energi listrik, dapat diintegrasikan
dengan konsep penggunaan sumber cahaya alami secara optimal untuk penerangan
bangunan.
Penggunaan penerangan alami pada bangunan yang dimanfaatkan secara
dinamis merupakan isu konservasi energi yang banyak dibahas. Pencahayaan alami
termasuk teknologi fleksibel yang memperhatikan beban panas, kesilauan, variasi dari
ketercukupan cahaya dan penetrasi cahaya matahari kedalam bangunan (Ander, 1995).
Penerapan pencahayaan alami dapat mendukung kegiatan yang dilakukan di
dalamnya lebih sehat memberikan lingkungan visual (background dan foreground)
dan color rendering yang lebih baik. (Suwantoro, 2006). Pencahayaan alami sangat
berpengaruh terhadap aktivitas manusia. Kualitas pencahayaan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan ruang dapat mengakibatkan kegiatan yang ada tidak dapat berjalan
dengan baik. Menurut Lechner, N (2001), cahaya alami yang masuk ke dalam
ruangan melalui jendela berasal dari sinar matahari langsung, langit cerah awan atau
pantulan permukaan bawah dan bangunan sekitarnya. Cahaya tersebut bervariasi
tidak hanya dari jumlah dan panas, tetapi juga pada kualitas lainnya, seperti warna,
penyebaran dan penghematan energi.Untuk penerangan ruang didalam rumah tinggal
menurut standart SNI, tingkat pencahayaan disesuaikan dengan fungsi ruang, teras
dan garasi tingkat pencahayaan masing-masing 60 lux, ruang tamu, ruang makan,
ruang kerja dan kamar tidur 120-150 lux sedangkan kamar mandi dan dapur masing-
masing 250 lux. Standard ini ditetapkan guna untuk mendukung fungsi ruang dan
mengukur kecukupan cahaya dalam ruang (SNI -03-6575-2001).
Konsep low carbon dikembangkan dalam situasi baru di mana iklim global
memanas dan krisis energi menjadi semakin meningkat, perkembangan emisi karbon
dioksida merupakan masalah yang harus diperhatikan oleh semua lapisan masyarakat
(K. Lee, 2015). Aspek utama dalam konsep desain low carbon adalah untuk
mengontrol emisi karbon dioksida (Kung Jen, 2014). Oleh karena itu, prioritas utama
dari konsep ini adalah penghematan energi. Low carbon Architecture telah
didefinisikan sebagai arsitektur berkelanjutan dengan pembangunan berkelanjutan
ekonomi, masyarakat, lingkungan dan arsitektur itu sendiri secara bersamaan.
(Weihong, 2010). Low carbon Architecture merupakan konsep bangunan yang
disebut dengan Zero Energy Building (ZEB) yang memenuhi kualifikasi bahan dan
elemen bangunan, termasuk instalasi pembangkit energi seperti panel surya dan
turbin angin, memiliki kandungan energi sebagai pengurangan emisi CO2. (Sassi,
2006). Energi dikonsumsi oleh pengguna bangunan, bukan bangunannya maka dari
itu perlu solusi dalam penggunaan panas minimum, cahaya dan kebutuhan vital
lainnya untuk penghematan energi. (Baziye, 2018). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Bing Xia dan Xin Li (2019) menyebutkan bahwa pencahayaan alami
telah mengurangi emisi karbon tertinggi dibandingkan dengan aspek lain di area
gedung bertingkat sebesar 11,6%. Saat ini, Low Carbon Architecture telah banyak
diterapkan di beberapa bangunan salah satunya apartemen. Penerapan konsep ini
tidak lepas dari peran arsitek dalam merancang konsep pencahayaan alami ke dalam
ruangan melalui bukaan pada selubung bangunan.
Apartemen merupakan hunian yang ditata secara horizontal dan vertikal,
supaya tersedia tempat tinggal yang berdiri sendiri dan terdiri dari bangunan
bertingkat rendah atau bertingkat tinggi, dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang
sesuai dengan standart (Neufert,1980). Bangunan tempat tinggal bertingkat tinggi
seperti apartemen memiliki rasio luas lantai yang besar, berdekatan antar satu unit
dan ukuran bangunan sangat besar sehingga transmisi cahaya dari bangunan
perumahan bertingkat tinggi relatif buruk. Disisi lain rancangan yang tidak sesuai
akan membentuk area bayangan yang lebih besar yang dapat mempengaruhi
kenyamanan penghuni (Chen, 2021). Dalam perancangan tempat tinggal bertingkat,
desainer masa lalu lebih mengutamakan struktur eksternal dan memanfaatkan fungsi
pekerjaan konstruksi akan tetapi mengabaikan penerapan konsep desain low carbon
(Singh, 2016). Dalam desain bangunan apartemen yang menerapkan konsep low
carbon diantaranya memanfaatkan pencahayaan alami dengan baik (Sigurdsson,
2019). Jumlah cahaya matahari pada bangunan hunian bertingkat memiliki dampak
lebih besar terhadap kenyamanan hidup. Oleh karena itu, hunian bertingkat tinggi
yang menghadap ke selatan, jendela harus dirancang sebesar mungkin untuk
mengurangi panas, memperpanjang waktu sinar matahari, dan meningkatkan
kenyamanan hidup (Chen, 2021). Selain itu, sinar matahari juga dapat meningkatkan
penyerapan kalsium, yang secara langsung mempengaruhi aktivitas kehidupan
manusia, dan juga sangat penting untuk kesehatan dan penghematan energi.
Kondisi iklim di Surabaya memiliki kondisi iklim tropis secara umum,
dimana kondisi langit lebih banyak dalam keadaan tertutup awan bahkan sampai
100% (CIE standard Overcast sky). Apabila kondisi langit tertutup awan tipis, langit
bisa menjadi sangat ekstrem terangnya (Lady, 2018). Perancangan pencahayaan
dalam bangunan merupakan aspek penting antara lain, memilih bukaan bangunan
yang memungkinkan jumlah cahaya yang cukup, dengan memperhitungkan siklus
matahari, menambahkan peralatan pelindung yang tepat dan dapat diatur, seperti
kerai atau tirai, untuk memungkinkan penghuni bangunan untuk mengontrol cahaya
matahari yang masuk ke dalam bangunan. (Arista & Dwita, 2020; Dora et al., 2011;
Setiawan, 2013). Desain apartemen di Surabaya perlu memperhatikan kondisi iklim
setempat. Tingginya sudut matahari dan lamanya waktu penyinaran sepanjang hari
memberikan potensi besar pengaplikasian pencahayaan alami pada bangunan di
Surabaya. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa cahaya alami pada
bangunan yang paling dalam, menjadi sangat buruk ketika ruang diberi sekat, serta
bukaan hanya terdapat pada satu sisi bangunan. (Mortensen, 2011). Disisi lain,
dengan adanya bukaan selubung bangunan apartemen di Surabaya yang dirancang
maksimal meningkatkan transfer energi panas yang berlebih ke dalam ruangan.
Apabila ditinjau kembali hubungan antara penerapan pencahayaan alami
bangunan apartemen dengan konsep Low Carbon Architecture muncul sebuah
fenomena yang alamiah. Ketika cahaya matahari masuk ke dalam bangunan melalui
bukaan selubung bangunan, transfer energi panas akan masuk ke dalam ruangan
akibatnya carbon footprint akan bertambah sehingga dapat meningkatkan emisi gas
karbon dioksida. Disi lain, adanya bukaan selubung bangunan apartemen yang hanya
berada pada satu sisi bangunan membuat sumber pencahayaan alami mulai pagi
sampai sore terpusat pada satu titik saja padahal kebutuhan pencahayaan didalam
bangunan apartemen berdasarkan pembagian ruang sangat bervariasi. Oleh sebab itu,
tingkat energi panas yang masuk ke dalam ruang apartemen melalui cahaya matahari
dan kesesuaian bukaan pada selubung bangunan apartemen di Surabaya perlu ditinjau
ulang berdasarkan standar pecahayaan ruangan dan konsep Low Carbon Architecture.
Dengan adanya masalah tersebut, peneliti perlu mengetahui pengaruh
konfigurasi bukaan pada selubung bangunan terhadap kinerja pencahayaan alami dan
perlu mengetahui apakah energi panas yang dihasilkan berdasarkan konfigurasi
bukaan pada selubung bangunan apartemen tersebut sudah sesuai dengan konsep Low
Carbon Architecture.
1.5 Hipotesis
BAB 2
THEORITICAL FRAMEWORK
2.1 Isu yang diangkat
Low Carbon Architecture dengan konsep Zero Energy Building (ZEB)
yang ditinjau dari radiasi pencahayaan alami.
Kategori konfigurasi bukaan pada selubung bangunan apartemen di
Surabaya.
Konsekuensi kinerja pencahayaan alami ruangan berdasarkan konfigurasi
bukaan pada selubung bangunan apartemen.
BAB 3
LITERATURE REVIEW
3.1 Pencahayaan Alami
Pengertian pencahayaan alami menurut Ander (1995), merupakan teknologi
dinamis yang mempertimbangkan beban panas, kesilauan, variasi dari ketersediaan
cahaya dan peneterasi cahaya matahari dalam bangunan, selain itu pencahayaan
alami juga dapat diartikan sebagai pemanfaatan cahaya yang berasal dari benda
penerang alam seperti matahari, bulan dan bintang, sebagai penerang ruangan.
Karena berasal dari alam, cahaya alami bersifat tidak menentu, tergantung pada iklim,
musim, dan cuaca. Guzowski (1999) menyatakan bahwa pencahayaan alami
berhubungan dengan kesehatan manusia, sehingga pecahayaan alami dapat
digunakan sebagai terapi untxuk manusia. Senada dengan Guzowski, dalam
penelitian yang dilakukan oleh Suwantoro (2006), menyatakan pemakaian
pencahayaan alami dapat menyebabkan kegiatan yang dilakukan didalamnya lebih
sehat karena kualitas pencahayaan alami lebih baik, memberikan lingkungan visual
dan colour rendering yang lebih bagus.
Menurut SNI 03-6197-2000 tentang pencahayaan, terdapat kriteria standard
penggunaan pencahayaan alami maupun buatan di berbagai ruang. Tabel 1
menunjukkan bahwa tingkat pencahayaan rata-rata di lembaga pendidikan sebesar
250 lux, dan temperatur warna yang disarankan yaitu cool white 3300 K-5300 K serta
Daylight sebesar >5300 K. Pada tabel 2 menunjukkan daya listrik maksimum untuk
pencahayaan di ruang pendidikan adalah 25 W/m2.
Tabel 1: Tingkat Pencahayaan Rata-rata Tabel 2: Daya Listrik Maksimum Untuk
Pencahayaan Dan warna yang direkomendasikan Sumber: SNI 03-6197-2000
Sumber: SNI 03-6197-2000
BAB 4
METHODOLOGICAL DESIGN
4.1 Strategi: Experimental Research
Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan sebab – akibat dari variasi
konfigurasi bukaan pada selubung bangunan terhadap kinerja pencahayaan alami
serta distribusi energi panas pada apartemen berdasarkan konsep Low Carbon
Architecture. Untuk itu, strategi yang digunakan pada penelitian ini adalah
Eksperimental Research dengan taktik simulasi
4.2 Taktik: Simulasi
Taktik yang digunakan dalam penelitian ini dengan simulasi melalui software
komputer dengan membuat modelling apartemen terdiri dari beberapa
konfigurasi bukaan pada selubung bangunan yang akan dikalkulasi dengan
kondisi real sehingga muncul data pengukuran yang mendekati.
1. Variabel bebas :
Bukaan dengan parameter: Luas
bukaan, susunan bukaan dan
ketinggian bukaan terhapad lantai
2. Variabel terikat :
a. Absolute iluminan
b. Distribusi iluminan dalam ruang
c. Nilai daylight factor (DF) dari
cahaya alami
d. Radiasi energi cahaya matahari
3. Variabel kontrol :
a. Orientasi bangunan
b. Warna
c. Material
Jenis data dan teknik pengumpulan data dirinci sebagai berikut:
REFERENCES
Ander, Gregg D ,(1995), Daylighting Performance and Design, John Wiley & Sons,
Inc, Canada.
Mangunwijaya, Y.B. 1994. Pengantar Fisika Bangunan. Jakarta: Djambatan.
Lechner, Nobert, (2009), Heating, Cooling, Lighting, Sustainable Design Methods for
Architects, Prestel, New York.
Marlina, Endy (2008), Panduan Perancangan Bangunan Komersial, Yogyakarta:
ANDI
Linda N. Groat and David Wang, Architectural Reseatch Method, Second Edition.
Dewi Larasati, S.T.,M.T.,Ph.D.(2018), Buku Ajar Arsitektur Hijau, Bandung:
Arsitektur ITB
B. Singh, T.K. Marks, M. Jones, et al.,(2016), A multi-stream bidirectional recurrent
neural network for fine-grained action detection, in: Proceedings of the IEEE
Computer Society Conference on Computer Vision and Pattern Recognition,
1961–1970
Maria Lady Hendrik (2017), Pengaruh Layout Terhadap Kinerja Pencahayaan
Alami pada Apaertemen Berkonsep Open Building di Surabaya, Jurusan
Arsitektur FTSP, Tesis ITS Surabaya
Eka Susant (2015, Pengaruh Bukaan pada Selubung Bangunan Terhadap Kinerja
Pencahayaan Alami Pada Rumah betang di Kalimantan Tengah, Jurusan
Arsitektur FTSP, Tesis ITS Surabaya
Wirawan, Ratna Mulianigsih (2007), Bukaan yang Efektif untuk Penerangan Alami
pada Rumah Tinggal di Daerah Tropis Lembab, Jurusan Arsitektur FTSP,
Tesis ITS Surabaya
Baziye Balku (2018), Low Carbon Architectural Design, Gazi University Journal of
Science
Weihong Li, Sustainable design for low carbon architecture (2010), Procedia
Environmental Sciences 5 (2011) 173–177, 2010
Badan Standarisasi Nasional (BSN) “Konservasi energi pada sistem pencahayaan”
Standarisasi Nasional Indonesia SNI 03-6197-2000
Annie S. Ditta, Carla M. Strickland-Hughes, Cecilia Cheung, Rachel Wu (2008).
“Exposure to information increases “
Nima Hafezparast Moadab, Thomas Olsson, Géza Fischl, Myriam Aries (2021),
“Smart versus conventional lighting in apartments - Electric lighting energy
consumption simulation for three different households”, Energy & Buildings
244 111009
Indra Yuda Wardiana, Agus Heru Purnomo, Kahar Sunoko (2019)
PENERAPAN PRINSIP ARSITEKTUR BERKELANJUTAN UNTUK
MENSEJAHTERAKAN PENGHUNI PADA RUMAH SUSUN PONDOK
BORO DI SURAKARTA, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jurnal
SENTHONG
Dewi parliana, dwi kurnia fasari, lupita a hernawan, iman Taufiq (2020),
“Konfigurasi Massa Bangunan Rusun Dengan Pencahayaan Alami dan
Sirkulasi Udara Pada Rusun Cingised Bandung”, Jurusan Teknik Arsitektur
Itenas | No.1 | Vol. 4
Arjmandi H, dkk (2010). “Application of Transparency to Increase Day-Lighting
Level of Interior Spaces of Dwellings in Tehran - A Lesson from the Past”.
Department of Architecture, Universiti Kebangsaan Malaysia Universiti
Kebangsaan Malaysia, 43600 UKM, Bangi, Selangor, MALAYSIA.
Dora & Nilasari (2011). Pemanfaatan pencahayaan alami pada rumah tinggal tipe
townhouse di Surabaya.
Kerr, Thor. 2008. The Green Future of Buildings. Futurarc Magazine, 3rd quarter,
volume 10. Jakarta: PT BCI Asia Construction Information Pte Ltd.
Kung-Jen, Tu. (2014). “Open Building Solutions for Sustainable Renovation of
Existing Apartment Buildings in Taiwan”. National Taiwan University of
Science and Technolgoy, Taipei, Taiwan
M. Rohrbach et al, (2016). Recognizing fine-grained and composite activities using
hand-centric features and script data, Int. J. Comput. Vis. 119 (3) 346–373.
K. Lee, D. Ognibene, H.J. Chang, et al, (2015) STARE: spatiooral attention
relocation for multiple structured activities detection, IEEE Trans. Image
Process. 24 (12) 5916–5927.
G.A. Sigurdsson, G. Varol, X. Wang, et al., (2016) Charades and charades-ego
datasets, Www, 249–253. http://allenai.org/plato/charades/. Diakses
pada 5 Maret 2022.
Chen, Qian, (2022.). Application of low-carbon design concept of network energy
consumption based on SDN architecture in high-rise residential building
design, Alexandria Engineering Journal 61, 3303–3312