Anda di halaman 1dari 21

DIFFERENTATION

AND PRODUCT LIFE


CYCLE

Dibuat oleh kelas


MA22-C11
02 Life cycle assesment of
bambo products; review and
harmonization
PUBLISHED NOVEMBER
2023
THE JURNAL MADE BY

0 JINLU GAN 0 MEILING


CHAN
1 2
0 CHUNPING
DAI
0 KATHERINE
SEMPLE
3 4
ABSTRAK
Bambu dianggap sebagai solusi yang menjanjikan untuk mitigasi perubahan iklim karena kemampuan
penyerapan karbon dan aplikasinya yang serbaguna. Penilaian siklus hidup (LCA) telah digunakan
untuk mengevaluasi kinerja lingkungan dari berbagai produk bambu. Studi ini membandingkan nilai
Potensi Pemanasan Global (GWP) produk bambu dengan bahan acuan yang sesuai (misalnya baja,
beton, plastik) melalui tinjauan literatur komprehensif dari studi LCA yang relevan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa produk bambu sering kali menyebabkan nilai GWP lebih rendah. Dalam
beberapa kasus lain, kami juga mengamati variabilitas yang signifikan dalam hasil perbandingan
karena beragamnya asumsi mengenai budidaya bambu, pengolahan, pembuatan produk, pasokan
energi, dan pilihan basis data LCA yang diadopsi oleh studi yang ditinjau.
ABSTRAK

Kami menganalisis asumsi pemodelan utama untuk setiap tahap siklus hidup produk bambu dan
menetapkan kumpulan data inventaris yang selaras untuk mengurangi ketidakpastian dalam
pemodelan bambu olahan (sebagai bahan baku untuk pembuatan berbagai produk selanjutnya).
Berdasarkan kumpulan data yang telah diselaraskan, kami melakukan LCA cradle-to-gate dan
menyimpulkan bahwa kontributor utama terhadap hasil GWP secara keseluruhan adalah konsumsi
listrik (dan intensitas karbon yang terkait dengan pembangkitan energi) selama pengolahan bambu.
Kami juga menyimpulkan bahwa penelitian di masa depan diperlukan untuk meningkatkan
transparansi, konsistensi, dan kelengkapan studi LCA mengenai produk bambu.
Graphical abstract
INTRODUCTION
Meningkatnya populasi manusia dan aktivitas industri telah memberikan kontribusi signifikan
terhadap tantangan perubahan iklim yang mendesak, dengan dampak serius terhadap ekosistem,
kesehatan manusia, dan pembangunan sosio-ekonomi (Field et al., 2014). Sangat penting untuk
menempatkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi pada landasan yang berkelanjutan dengan
meningkatkan keberlanjutan siklus hidup produk manufaktur, mulai dari ekstraksi bahan mentah
hingga manufaktur, dan hingga pengolahan akhir masa pakainya. Salah satu strategi utamanya adalah
mengalihkan pilihan material ke pilihan yang terbarukan dan berintensitas karbon rendah. Bambu
adalah salah satu material tersebut, mengingat tingkat regenerasinya yang cepat, kapasitas penyerapan
karbon, dan aplikasinya yang serbaguna (Manandhar dkk., 2019).
INTRODUCTION
B Bambu adalah salah satu tanaman dengan pertumbuhan tercepat di bumi (Liese dan Köhl,
2015) dengan kemampuan penyerapan karbon yang sangat baik (Luo et al., 2010). Bambu
memiliki beragam kegunaan termasuk bahan struktural, produk rumah tangga, produk kertas
dan kemasan, furnitur, dan pipa komposit berbasis bio (Hossain dkk., 2015; Chen dkk., 2021;
Semple dkk., 2022; Sharma dkk. ., 2015). Kemampuan sekuestrasi karbon yang tinggi dan
aplikasi yang serbaguna menjadikan bambu sebagai alternatif potensial terhadap bahan berbasis
fosil untuk menghasilkan banyak produk penting bagi masyarakat kita.
Hampir 70 % karbon di hutan bambu terkandung dalam komponen
rimpang bawah tanah yang tetap hidup sebagai penyimpan karbon
jangka panjang, meskipun siklus pemanenan berulang (Düking et
al., 2011). Misalnya saja, hutan bambu Moso yang tumbuh cepat di
Tiongkok diperkirakan menyerap 5,1 t/ha karbon setiap tahunnya,
33 % lebih tinggi dari perkiraan nilai hutan hujan pegunungan
tropis dan 41 % lebih banyak dibandingkan dengan hutan bambu
berumur 5 tahun. Cunninghamia lanceolata (Yuen et al., 2017).
Penelitian lain melaporkan penyerapan karbon sebesar 6,0–7,6 t/ha
per tahun pada bambu Moso yang dipanen, yaitu 3,7 kali lebih
tinggi dibandingkan Pinus taeda (Xu et al. , 2018). Menurut Zhang
dkk. (Zhang et al., 2014), Bambu Moso, yang dipanen secara
bergilir dua tahun, menyerap 6,7 t/ha karbon per tahun, lebih tinggi
dibandingkan cemara Cina (3,49 t/ha/tahun). Perkiraan lain untuk
rata-rata simpanan karbon di hutan bambu Moso berkisar antara
105 t/ha hingga 180 t/ha, jauh lebih tinggi dibandingkan nilai rata-
rata (39 t/ha) tipe hutan Tiongkok lainnya (Isagi dkk., 1993).
Negara penghasil bambu terkemuka di dunia, Tiongkok, telah meningkatkan hutan bambu yang
dikelolanya dari 2 juta ha pada tahun 1950 menjadi lebih dari 6,73 juta ha pada tahun 2010,
untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan yang jumlahnya dan beragam yang terus
bertambah (China Bamboo Industry Plans di Tingkat Nasional dan Provinsi, 2018;FAT dan Xu,
2014). Spesies bambu produktif di lokasi yang diberi pupuk dan dikelola dengan baik dapat
menghasilkan >30 t/ha batang kering setiap tahunnya, meskipun tingginya hasil ini sangat
bergantung pada spesies, praktik pengelolaan, dan lokasi (Durai dan Long, 2019). Pemilihan
lokasi yang tepat, persiapan dan pemeliharaan, pemupukan, dan pemanenan teratur diperlukan
untuk mempertahankan hasil tahunan yang tinggi (Durai dan Long, 2019).
Tiongkok saat ini merupakan eksportir produk bambu terbesar, hampir 10 kali lebih banyak
dibandingkan pesaing terdekatnya, Indonesia, dengan sebagian besar bahan dan produk diekspor
ke Jepang, Amerika Serikat, dan UE (Organisasi Bambu dan Rotan Internasional (INBAR),
2019). Pasar global untuk produk bambu telah berkembang pesat dan melampaui ekspektasi awal
selama 30 tahun terakhir. Pada tahun 2019, pasar global untuk produk bambu diperkirakan
mencapai USD 72,1 miliar (Grandview Market Research, 2021). Perkiraan ini kemungkinan
besar konservatif, karena pemanfaatan dan penghitungan bambu di sebagian besar negara masih
relatif kurang dilaporkan.
Spesies bambu yang digunakan untuk memproduksi produk bangunan (mulai dari
konstruksi tiang dan split hingga berbagai macam panel dan balok komposit yang dibentuk
kembali) disebut ‘bambu kayu raksasa’. Spesies industri utama termasuk Moso
(Phyllostachys pubescens) di Cina, Guadua (Guadua angustifolia) di Amerika Latin, dan
Asper (Dendrocalamus asper) di Asia Tenggara. Sebagian besar spesies kayu bambu
memiliki batang berongga dengan diameter hingga 20 cm, dan merupakan contoh yang baik
dari material komposit bergradasi fungsional berkinerja tinggi, dengan rasio kekuatan
terhadap berat dan keuletan lentur yang sangat tinggi (Amada dan Untao, 2001; Nogata dan
Takahashi, 1995; Chen dkk., 2020).
Sebuah penelitian melaporkan batang bambu Moso dewasa memiliki rasio kekuatan terhadap
berat 2,5–3 kali lipat dibandingkan dengan baja (Ogunbiyi dkk., 2015). Jaringan bambu secara
struktural berbeda dari kayu. Semua jaringan konduktif dan pendukung bersifat aksial, yaitu tidak
ada sinar seperti kayu. Kumpulan serat padat dan panjang dengan kekuatan tarik sangat tinggi
terbungkus dalam matriks sekitarnya dengan kepadatan lebih rendah, jaringan parenkim penyerap
goncangan. Serat padat dan searah ini memberikan penguatan mekanis utama pada batang bambu,
dengan kekuatan dan keuletan yang jauh lebih tinggi ditemukan di sepanjang arah serat
dibandingkan melintasinya (Javadian et al., 2019). Kehadiran reinf internal
METHODOLOGY
Metodologi
Pencarian literatur dilakukan dengan
menggunakan kata kunci “penilaian siklus
hidup”, “LCA”, “jejak karbon”, dan
“bambu”. Pencarian dilakukan menggunakan
Google Scholar dan Web of Science. Artikel
yang diidentifikasi dengan kata kunci
tersebut dalam judul atau abstrak dipilih.
Penyaringan lebih lanjut dilakukan secara
manual dengan meninjau judul, abstrak, dan
makalah lengkap untuk mempertahankan
artikel yang berisi hasil numerik GWP untuk
produk bambu. Hasilnya, 42 studi dipilih
untuk dianalisis lebih lanjut untuk
diekstraksi
RESULT/ HASIL
Hasil

Karena bambu paling umum digunakan sebagai alternatif


pengganti kayu, sebagian besar artikel yang diulas dalam
penelitian ini memilih produk kayu sebagai produk patokan,
termasuk panel komposit kayu, serta kayu olahan kayu keras
dan kayu lunak. Produk acuannya juga mencakup produk
berbahan bakar mineral dan fosil, seperti beton, plastik, dan
logam. Daftar lengkap produk patokan ditampilkan dalam
materi tambahan. Hasil LCA dikelompokkan menjadi dua
kategori utama: konstruksi, bahan bakar
Faktor yang mempengaruhi nilai gwp

Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai GWP


Meskipun kami mengamati rasio penurunan GWP yang negatif di semua kategori, ada beberapa
kasus di mana produk bambu memiliki dampak perubahan iklim yang lebih tinggi. Dua faktor
utama yang menyebabkan pengamatan terakhir ini: asumsi pemodelan yang berbeda dan masukan
energi yang tinggi selama pembuatan produk bambu tertentu. Misalnya, Archila dkk. (Archila et al.,
2018) tidak memasukkan penyerapan karbon pada pertumbuhan bambu dari analisis mereka,
sehingga menghasilkan GWP yang lebih tinggi dibandingkan dengan masing-masing bambu.
Conclusion/kesimpulan
Kami melakukan tinjauan komprehensif terhadap studi LCA untuk
kategori produk bambu pada umumnya. Analisis terperinci mengenai
asumsi model pada tahapan siklus hidup produk bambu yang berbeda
juga dilakukan, yang menggambarkan rentang nilai variabel untuk
beberapa parameter model utama (misalnya, penggunaan pupuk dan
konsumsi energi). Kami juga mengusulkan rekomendasi untuk penelitian
masa depan guna meningkatkan transparansi, konsistensi, dan
kelengkapan studi LCA mengenai produk bambu.
References
E.O. Agyekum et al . X. Cai et al .

F.C. Chang et al
D.S. Akoto et al.

S.H. Bonilla et al M. Chen et al


THANKS!

CREDITS: This presentation template was created by


Slidesgo, including icons by Flaticon, infographics &
images by Freepik

Anda mungkin juga menyukai