Anda di halaman 1dari 8

KILAS BALIK SEJARAH PERTAMBANGAN DAN ENERGI DI INDONESIA

Pada tahun 1602, Belanda membentuk VOC untuk berniaga rempah dan barang
tambang, disusul dengan ilmu kebumian yang mulai mereka kaji sejak tahun 1652.
Pada 1850, Belanda membentuk Dinas Pertambangan (Dienst van het Mijnwezen) di
Batavia. Pada 1924 kantor ini dipindahkan ke Bandung, sebelumnya pada 1922
namanya diubah menjadi Dienst van den Mijnbouw. Pada 1928, Gedung Geologisch
Laboratorium dibangun di Bandung dan sekarang menjadi Museum Geologi.
Selama Perang Dunia II, kantor ini antara lain digunakan untuk pendidikan
kursus asisten geologi. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 1945, kantor
ini diambil alih oleh Republik Indonesia dari pihak Jepang. Pada 1945, nama kantor
diubah menjadi Pusat Jawatan Tambang dan Geologi, dan pengawasan perusahaan
pertambangan diberlakukan. Akibat serangan Belanda, kantor Pusat Jawatan Tambang
dan Geologi berpindah dari Bandung ke Tasikmalaya, kemudian ke Magelang, dan
Tirtomoyo pada Maret 1946. Para pegawai yang masih di Tasikmalaya mengungsi ke
Jawa Tengah pada Desember 1946.
Keterbatasan sarana kerja memaksa penyebaran pegawai ke berbagai tempat,
termasuk Borobudur, Muntilan, Dukun, dan Srumbung di kaki Gunung Merapi. Pada
November 1947, kantor dipindahkan ke beberapa lokasi di Yogyakarta. Dalam kondisi
pengungsian. A.F. Lasut dan R. Soenoe Soemosoesastro membuka sekolah
pertambangan dan geologi untuk pengembangan lembaga ini.
SEJARAH HARI JADI PERTAMBANGAN DAN ENERGI

Dengan pengakuan A.F. Lasut sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada tanggal
tanggal 20 Mei 1969, peristiwa pengambilalihan kantor Chisitsu Chosasho pada 28
September 1945 oleh A.F. Lasut dan kawan-kawan memperkuat arti pentingnya dalam
sektor pertambangan dan energi. Pada tanggal yang sama, 28 September 1945, terjadi
pengambilalihan kantor Jawa Denki Koza (Listrik Jawa) oleh pemuda.
Menteri ESDM mengeluarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral No. 1319 K/73/MEM/2006 tentang Tim Penyusunan Buku Sejarah
Pertambangan dan Energi yang diperbarui dengan Keputusan No. 0147
K/73/MEM/200R pada 14 Februari 2008 berdasarkan peristiwa ini. Tim penyusunan
Buku Sejarah Pertambangan dan Energi menemukan sejumlah tanggal penting yang
tertuang dalam buku tersebut.
Pada gilirannya, dari penyusunan buku tersebut, Hari Jadi Pertambangan dan
Energi (HPE) diambil dalam Rapat Pimpinan (Rapim) DESDM di Badan Geologi
Bandung pada 1 November 2007. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
selanjutnya mengusulkan HPE kepada Presiden melalui surat No.
1349/04/ME~LS/2008 pada 26 Februari 2008.
Dengan Keppres Nomor 22 tahun 2008, tanggal 28 September ditetapkan
sebagai HPE. Keputusan ini didasarkan pada dua pertimbangan utama. Pertama,
peristiwa pengambilalihan Lembaga Chisitsu Chosascho dan penggantian namanya
menjadi Jawatan Tambang dan Geologi pada 28 September 1945 oleh pemuda
pegawai Jawatan Tambang dan Geologi memiliki bobot sejarah yang tinggi dalam
perjuangan nasional untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Kedua, untuk membangkitkan semangat juang, tradisi, dan mempertahankan
nilai-nilai perjuangan para pemuda pegawai Jawatan Tambang dan Geologi yang telah
memberikan kontribusi positif dalam pembelaan Negara dan kemerdekaan Republik
Indonesia, diputuskan untuk menetapkan 28 September sebagai Hari Jadi
Pertambangan dan Energi melalui Keputusan Presiden.
TOKOH-TOKOH PERINTIS

ARIE F. LASUT

Arie Frederik Lasut (1918-1949) lahir di Sulawesi Utara. Meskipun awalnya berminat di
sekolah kedokteran, ia bekerja di Departemen Urusan Ekonomi pada 1938. Ia juga
sempat kuliah di Sekolah Teknik Bandung sebelum mengambil pendidikan berbeasiswa
sebagai asisten geolog di Jawatan Pertambangan Bandung. Saat Perang Dunia II, Arie
pernah mengikuti pelatihan Corps Reserve Officer (CORO) untuk membantu Belanda
melawan Jepang, termasuk di Ciater, Lembang. Ketika Jepang menduduki Indonesia, ia
bekerja di Kogyo Zimusho atau Chishitsu Chosacho (Jawatan Geologi) Bandung,
antara lain bersama dengan R. Soenoe Soemosoesastro.

Pada 28 September 1945, sekelompok pegawai muda, termasuk Lasut, mengambil alih
kantor Chisitsu Chosasho dari pihak Jepang dan mengubahnya menjadi Pusat Jawatan
Tambang dan Geologi. Kemudian ia diangkat menjadi Kepala Jawatan Tambang dan
Geologi Indonesia Pertama. Untuk menghindari agresi Belanda, kantor ini kemudian
pindah ke berbagai tempat. Ketika Belanda kembali, Lasut menolak bekerjasama
dengan mereka. Pada 7 Mei 1949, ia diculik dan ditembak mati oleh pasukan Belanda
di Yogyakarta. Untuk pengabdiannya, A.F. Lasut dianugerahi gelar Pahlawan
Kemerdekaan Nasional pada 20 Mei 1969.

Kinerja di Bidang Kegeologian dan Pertambangan

A.F. Lasut melakukan penyelidikan dan pengelolaan berbagai tambang di berbagai


daerah di Indonesia. Termasuk penyelidikan endapan yarsit di Ciater, Jawa Barat, dan
perusahaan tambang belerang di Telagabodas. Dia juga berkontribusi pada tambang
belerang di Wanaraja, Garut, dan Telagabodas. Tambang batubara di Cisaat,
Sukabumi, dan Ngandang, Rembang, serta daerah sekitar Kali Bendo dan Kali
Watugemuk mendapatkan perhatiannya.

Lasut ikut menyelidiki tambang batu bara di Bayah, Banten, serta daerah Jalen-
Watulimo, Tidungagung, yang dikelola secara openbouw karena adanya lapisan batu
bara tebal. Selain itu, dia juga terlibat dalam upaya penyelidikan dan pengelolaan
tambang minyak di Bongas, Cirebon.

Testimoni

“Sebagai anak laki-laki yang tertua dalam keluarganya, Arie selalu memperhatikan adik-
adiknya, demikian pula saudara-saudara dan famili yang lain. Arie tidak pernah
menyakiti hati saudara-saudaranya, bahkan kalau perlu dia bersedia mengalah pada
saudara-saudaranya itu”
- Ny. Josefin Mewok, isteri dari Lurah Desa Tulap Tondano, umur 48 tahun, masih
famili dari A.F. Lasut (Buku Arie Frederik Lasut karya Drs. Mardanas Safwan,
1976)

“Otaknya sangat cerdas dalam mengikuti pelajaran, sehingga A.F. Lasut tidak begitu
perlu lagi mengulangi pelajarannya di asrama. Terhadap teman-temannya anak-anak
Belanda, A.F. Lasut juga tidak pernah merasa rendah diri”

- Goldfried Willem (Wim Lasut), saudara sepupu dari A.F. Lasut, pensiunan guru,
umur 68 tahun (Buku Arie Frederik Lasut karya Drs. Mardanas Safwan, 1976)

“Di dalam kelasnya A.F. Lasut adalah murid yang paling pintar dan berani walaupun
orangnya kecil pendek”

- Alex J. Lolong, adik sekelas A.F. Lasut di Kweekschool Ambon, pensiunan


pegawai Kantor Sosial Propinsi Sulawesi Utara, umur 59 tahun (Buku Arie
Frederik Lasut karya Drs. Mardanas Safwan, 1976)

“Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) merupakan kelanjutan dari Badan


Penolong Korban Perang (BPKP) yang merupakan wadah perjuangan yang pada
mulanya dipimpin oleh Dr. Sam Ratulangi. A.F. Lasut merupakan salah seorang
anggota KRIS yang aktif dan Ketua KRIS Cabang Bandung”

- Walter Saerang, tokoh terkemuka di Sulawesi Utara, bekas ketua lasykar KRIS,
umur 65 tahun (Buku Arie Frederik Lasut karya Drs. Mardanas Safwan, 1976)

“Sebenamya A.F. Lasut adalah seorang yang kesunyian (eenzaam). Dalam keadaan
seperti itu A.F. Lasut tidak mencari pelarian pada hal-hal yang negatif, tetapi justru ia
bekerja dan bertekun luar biasa. Ia bekerja keras untuk pertambangan kita. (Hij werkt
extra hard). Ia bahkan sudah memikirkan Undang-Undang Pertambangan. Dan selama
pendudukan pasukan Belanda itu, A.F. Lasut tidak tinggal diam. Ia memikirkan depan
pertambangan Indonesia. Ia tetap pada posnya. Memang A.F. Lasut seorang yang
mempunyai devotie (pengabdian) besar terhadap dunia pertambangan”

- R.I. Subroto (Buku Arie Frederik Lasut karya Drs. Mardanas Safwan, 1976)

“Naskah ini (laporan tahunan Pusat Jawatan Tambang dan Geologi untuk tahun-tahun
1945 samp dengan tahun 1947 yang ditulis oleh almarhum saudara A.F. Lasut)
mempunyai nilai dokumentasi yang sungguh tidak kecil artinya, dan dalam bentuknya
yang orisinal dapat membawa kita kembali kepada masa yang masih penuh kesulitan
dan pergolakan perjuangan untuk mendirikan negara RI yang berdaulat. Bersyukurlah
kita menerbitkan naskah ini dalam bentuknya yang asli dan dengan demikian
menghormati dan mengenangkan kembali saudara A.F. Lasut serta jasa-jasanya,
sebagai perintis jalan untuk perkembangan kehidupan geologi di Indonesia.”

- Drs. Sutaryo Sigit, Kepala Direkturat Geologi Departemen Perdatam 1962


“Pak Lasut, cara berjuangnya di Geologi. Dan beliau itu bukan hanya di Geologi. Beliau
itu anggota KNIP”.

- M.M. Poerbo Hadiwidjojo, Geologiwan Senior, murid Arie F. Lasut dan R. Soenoe
Soemosoesastro (Film Dokumenter Sang Perintis, Badan Geologi, 2009)

“Pak Iyan Suprarjan, seorang veteran di Bandung, pernah bercerita bagaimana dia
selalu bekerjasama dengan Pak Arie Lasut. Beliau itu pejuang di lapangan, Pak Arie itu
kerja samanya mensuplai bahan-bahan yang mungkin awalnya dari Geologi untuk
dipakai sebagai bahan untuk membuat bom”.

- Jonny Mandagi, Keponakan A.F. Lasut (Film Dokumenter Sang Perintis, Badan
Geologi, 2009)

“Di Magelang, barangkali untuk memberi saya kesibukan supaya saya ‘ndak terlalu
mikir, dia (A.F. Lasut) minta saya terjemahkan, dia kasih saya beberapa buku,
mengenai geologi. Saya melakukannya, tapi saya ‘ndak ingat lagi buku-buku itu.”

- Nelly Lasut-Mandagi, Adik kandung A.F. Lasut (Film Dokumenter Sang Perintis,
Badan Geologi, 2009)

“Saya masuk Mobiliasasi Pelajar. Pada saat saya pulang, menengok orang tua, pagi-
pagi saya diberitahu oleh Masyarakat sekitarnya bahwa ada mayat korban
penembakan tentara Belanda yang terletak di Jalan Kaliurang (dulu Namanya Terban).
Pada waktu saya melihat jenazah itu, pakai celana putih sama kaos putih lalu ada
granat terletak di sebelahnya. Jadi pada waktu itu saya menyaksikan jenazah yang
kemudian diketahui bahwa itu adalah dari almarhum Pak Lasut adalah setelah saya
lama berkecimpung di Geologi terutama setelah saya diskusi dengan Bapak Mulyono
Purbo-Hadiwidjojo.”

- Budiharto, Geologiwan Senior, Anggota Mobilisasi Pelajar (Film Dokumenter


Sang Perintis, Badan Geologi, 2009)
R. SOENOE SOEMOSOESASTRO

R. Soenoe Soemosoesastro (1913-1956) lahir di Jawa Tengah. Setelah mengikuti


Kursus Asisten Geologi, antara lain Bersama dengan A.F. Lasut, ia bekerja di Dienst
van den Mijnbouw. Demikian pula pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945).
Selama perang kemerdekaan 1945-1949, ia aktif dalam menjaga dan membangun
kantor Pusat Jawatan Tambang dan Geologi meskipun harus berpindah-pindah tempat.
Soenoe juga memegang berbagai jabatan penting dalam organisasi tersebut. Pada
akhir tahun 1949, ia diangkat sebagai pegawai tinggi di Kementerian Kemakmuran
Republik Indonesia Serikat dan mewakili Indonesia dalam sebuah konferensi
internasional. Ketika Kementerian Perekonomian membentuk Jawatan Pertambangan
Republik Indonesia pada tahun 1950, Soenoe menjadi Kepala Jawatan tersebut.

Kinerja di Bidang Kegeologian dan Pertambangan

Sebagai seorang ahli geologi, R.S. Soemosoesastro aktif dalam melakukan penelitian
dan pemetaan geologi di lapangan. Ini dapat dilihat dari laporan-laporannya antara
tahun 1940 hingga 1948, yang mencakup pemetaan geologi di daerah Jampang Kulon
(1940), daerah Jagamukti (1940), daerah Gunung Kendeng (1941). Selain itu, ia juga
melakukan penelitian geologi selama pendudukan Jepang di daerah Tulakan, Pacitan,
dan Malang pada tahun 1944, serta penelitian lempung asam di Gunung Batur pada
tahun 1945. Salah satu laporannya yang diterbitkan adalah “A Contribution to the
Geology of the Eastern Djiwo Hills and the Southern Range in Central Java” (1956).

Testimoni

“Pak Soenoe itu ya ini pertempurannya dalam mendirikan kelembagaan yang


mempersiapkan tenaga untuk berikutnya”.

- M.M. Poerbo Hadiwidjojo, Geologiwan Senior, murid Arie F. Lasut dan R. Soenoe
Soemosoesastro (Film Dokumenter Sang Perintis, Badan Geologi, 2009)

“Ketika di Jakarta, usia saya baru 3-4 tahun gitu sering kali ada barang-barang mewah,
seperti kulkas. Kami anak-anaknya sangat gembira akan memiliki itu, tapi sebelum
kulkas itu masuk rumah, ibu saya selalu menelepon ayah saya dulu di kantornya. Dan
akhirnya kulkas itu dibawa pergi lagi. Itu mungkin, saya sendiri tidak tahu, memberikan
gambaran betapa beliau tidak ingin kedudukannya digoyahkan oleh hal-hal seperti ini.”

- Prihatini Ambaretnani, Anak ketiga R. Soenoe (Film Dokumenter Sang Perintis,


Badan Geologi, 2009)
CHAIRUL SALEH

Chairul Saleh (1916-1967) lahir di Sumatra Barat. Ia bergabung dengan Perhimpoenan


Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI), menjadi ketua PPPI pada 1939, dan aktif
mendukung kemerdekaan Indonesia. Pada 14 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada
sekutu dan pemuda mengadakan rapat di Taman Ismail Marzuki, menyatakan kesiapan
berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Pada 15 Agustus 1945, rapat di Pegangsaan
Timur, Jakarta, dipimpin oleh Chairul dan mereka mendesak Soekarno-Hatta untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan segera. Namun, Soekarno
menolak dan menunda proklamasi hingga keesokan harinya. Oleh karena itu, Chairul
bersama pemuda lainnya menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok untuk
mendesak mereka membacakan proklamasi kemerdekaan.

Kinerja di Bidang Pertambangan

Pada Desember 1956, Chairul kembali dari Jerman dan ditunjuk menjadi Wakil Ketua
Umum Legiun Veteran RI. Setahun berikutnya, ia masuk dalam Kabinet Djuanda
sebagai Menteri Negara Urusan Veteran. Pada tahun 1959, ia menjabat sebagai
Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan di Kabinet Kerja I. Selanjutnya,
dalam Kabinet Kerja II dan Kabinet Kerja III, Chairul menjadi Menteri Perindustrian
Dasar dan Pertambangan. Antara 1960-1966, ia juga menjadi Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara. Dia juga yang menginisiasi gagasan negara
kepulauan dengan batas teritorial 12 mil laut.

Dengan demikian, Chairul Saleh adalah Menteri Perindustrian Dasar dan


Pertambangan yang pertama, sebagai founding father Kementerian ESDM. Sebagai
salah satu bentuk penghargaan, sejak 26 Juni 2019, gedung kantor Sekretariat
Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diberi nama Gedung
Chairul Saleh.

Testimoni

“Ya itu (Batas territorial 12 mil laut yang diberlakukan 13 Desember 1957) salah satu
bagian hukum yang kemudian menjadi bahan pemikiran dia. Kemudian ada keluarga
kami juga yaitu Prof. Kusumaatmadja, beliau juga menghubungi Prof. Kusumaatmadja
pada saat itu untuk urusan Undang-undang ZEE. Beliau waktu itu sebenarnya
mengharapkan 17 mil, tapi hanya bisa terwujudkan hanya 12 mil.”

- Pahlevitz Antaricsa Heirawan Soebiantoro, Keponakan Chairul Saleh (Film


Dokumenter Sejarah Chairul Saleh, Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik
dan Kerja Sama ESDM, 2019)
“Kalau dulu misalnya (pihak) asing mau ambil misalnya satu-sepuluh (persen). Itu
minumumnya kita. Nggak asing mau merebut dua-empat persen gitu. Dipertahankan
sampai detik terakhir. Dia (Chairul Saleh) bertahan sampai detik-detik terakhir. No,
pokoknya sembilan-satu (persen). Boleh yang asing ambil satu, tidak lebih dari satu.
Maksudnya supaya mendunia.”

- Ratu Eva Siryasumirat, Sekretaris Pribadi Chairul Saleh (Film Dokumenter


Sejarah Chairul Saleh, Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja
Sama ESDM, 2019)

“Saya mengenal Pak Chairul Saleh sebagai paman tidak terlalu panjang waktunya. Tapi
yang saya tahu bahwa Bapak ini murah senyum, tidak banyak bicara, dan sama
keponakannya pun bisa dibilang bicara secukupnya saja. Tapi sangat suka mengajak
jalan-jalan, di mana saya punya pengalaman yang cukup intens yaitu sering diajak ke
Istana Cipanas untuk makan dengan gelaran tikar di luar sambil main-main di
pekarangannya.”

- Boy Satrio Dermawan, Keponakan Chairul Saleh (Film Dokumenter Sejarah


Chairul Saleh, Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama
ESDM, 2019)

“Kami keluarga almarhum akan selalu mengenang almarhum sebagai sosok pejuang
yang gigih mempertahankan prinsipnya demi nusa dan bangsa. Almarhum juga adalah
sosok yang rela berkorban demi kemenangan. Namun dibalik itu semua kami juga
merasakan belaian kasih sayang di tengah kesibukan beliau.”
- Artauli RM Panggabean Tobing, perwakilan keluarga besar, saat peresmian
nama Gedung Chairul Saleh, 26 Juni 2019.

Anda mungkin juga menyukai