KELAS X.IPS 1
1. MATSAINI
2. MATYAKIN
3. MAMANG KURNIAWAN
4. AGUS SUPRIYADI
5. SALEMUDDEN
6. BAHRUL FAUZI
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat dan rahmat,serta penyertaan-Nya,sehingga makalah “MAKALAH
LATAR BELAKANG PENGARANG MUSIK TRADISIONAL YANG
BERNAMA DAENG SUTIGNA” ini dapat kami selesaikan.
Dalam penulisan makalah ini kami berusaha menyajikan bahan dan
bahasa yang sederhana,singkat serta mudah dicerna isinya oleh para
pembaca.kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna serta masih
terdapat kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan makalah ini.Maka kami
berharap adanya masukan dari berbagai pihak untuk perbaikan dimasa yang akan
mendatang.
Akhir kata,semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan
dipergunakan dengan layak sebagaimana mestinya.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar......................................................................................................1
Bab I Pendahuluan.................................................................................................4
1.2 Tujuan...........................................................................................................4
2.1 Pengertian...................................................................................................10
Bab Iv Penutup.....................................................................................................19
4.1 Kesimpulan.................................................................................................19
4.2 Saran............................................................................................................19
Daftar Pustaka......................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari
bambu khusus, yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938.
Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian lokal
atau tradisional. Namun karena bunyi-bunyian yang ditimbulkannya sangat merdu
dan juga memiliki kandungan lokal dan internasional seperti bunyi yang
bertangga nada duremi fa so la si du dan daminatilada, maka angklung pun cepat
berkembang, tidak saja dipertunjukan lokal tapi juga dipertunjukan regional,
nasional dan internasional. Bahkan konon khabarnya pertunjukan angklung
pernah digelar dihadapan Para pemimpin Negara pada Konferensi Asia Afika di
Gedung Merdeka Bandung tahun 1955.
Jumlah pemain angklung bisa dimainkan oleh sampai 50 orang, bahkan
sampai 100 orang dan dapat dipadukan dengan alat musik lainnya seperti; piano,
organ, gitar, drum, dan lain-lain. Selain sebagai alat kesenian, angklung juga bisa
digunakan sebagai suvenir atau buah tangan setelah dihiasi berbagai asesoris
lainnya.
Sepeninggal Daeng Sutigna kreasi kesenian angklung diteruskan oleh
Mang Ujo dan Erwin Anwar. Bahkan Mang Ujo telah membuat pusat pembuatan
dan pengembangan kreasi kesenian angklung yang disebut ‘Saung angklung
Mang Ujo” yang berlokasi di Padasuka Cicaheum Bandung. Salah satu program
yang ia lakukan khususnya untuk mempertahankan kesenian angklung adalah
memperkenalkan angklung kepada para siswa sekolah, mulai TK, sampai dengan
tingkat SLTA dan bahkan telah menjadi salah satu kurikulum pada pada mata
pelajaran lokal.
Pak Daeng Soetigna Lahir di Garut pada tanggal 13 Mei 1908. Karena kedua
orang tuanya termasuk bangsawan Sunda, Pak Daeng beruntung dapat menikmati
pendidikan zaman Belanda yang saat itu masih sangat terbatas bagi pribumi.
Sekolah yang sempat dia enyam adalah:[1]
HIS Garut (tahun 1915 - 1921), sebagai murid angkatan kedua (2).
Sekolah Raja (Kweekschool) Bandung (tahun 1922). Tahun 1923
Kweekscholl diubah namanya menjadi HIK (Hollands Islandsche
Kweekschool). Daeng akhirnya lulus tahun 1928.
Setelah lulus HIK, Daeng langsung menjadi guru. Pada umur 45 tahun, Pak
Daeng mengikuti beberapa pendidikan lanjut:
Tahun 1954, Pak Daeng ikut kursus B-1 (setara D-3), dan berhasil lulus
ujian akhir. Namun Pak Daeng tidak mendapat ijazah Diploma, karena
menurut panitia dia tidak berhak.
Tahun 1955, dikirim bersekolah di Teacher's College Australia sebagai
salah satu kontingen dalam program Colombo Plan.
b. Keluarga
d. Masa Tua
Pak Daeng pensiun sebagai pegawai negari sipil pada tahun 1964 (saat
berumur 56 tahun). Dengan bebasnya dia dari tugas rutin sebagai pegawai
pemerintah, maka Pak Daeng aktif mengembangkan angklung. Dia melatih di
berbagai kelompok angklung seperti SD Soka, SD Santo Yusup, dan SD Priangan.
Demikian pula perkumpulan ibu-ibu Militer maupun suster di gereja RS
Borromeus. Atas jasa-jasanya, pada masa tuanya inilah Pak Daeng mulai
memperoleh berbagai penghargaan, termasuk SATYA LENCANA
KEBUDAYAAN dari Presiden RI.
Setelah pengabdiannya yang panjang dalam mengangkat musik angklung dari
kelas pengemis ke kelas konser, Pak Daeng Soetigna wafat pada tanggal 8 April
1984, dan dikebumikan di Cikutra, Bandung.
e. Karya
Karya terbesar Pak Daeng Soetigna adalah memodifikasi Angklung yang tadinya
bernada pentatonis menjadi diatonis. Angklung ini kemudian diberi nama
kehormatan sebagai Angklung Padaeng. Selain itu, Pak Daeng juga seorang
komposer yang telah menulis puluhan aransemen lagu angklung.
f. Guru
Pengemis tua (tidak tercatat namanya) yang memainkan lagu "Cis kacang
Buncis" dengan angklung tradisionil. Pak Daeng kemudian membeli
peralatan angklung tersebut, dan mendapat inspirasi untuk memakai
angklung sebagai alat mengajar seni musik, menggantikan alat seperti
mandolin dan biola yang saat itu sangat mahal.
Pak Djaja adalah seorang empu pembuat angklung yang saat itu sudah
sepuh. Pak Djaja dengan senang hati menerima ide Pak Daeng untuk
membuat angklung diatonis, dan menurunkan pengalaman puluhan
tahunnya, sehingga angklung dengan tangga nada diatonis itu berhasil
terwujud.
Pak Wangsa adalah petani yang memberi tahu bahwa bambu akan awet
jika di potong pada saat uir-uir berbunyi. Itu adalah tanda musim kemarau
sudah mulai dan bambu berada pada keadaan kering.
Pak Setiamihardja adalah sobat pak Daeng sewaktu masih di Kuningan.
Setelah pak Setiamihardja juga pindah di Bandung, dialah tangan kanan
Pak Daeng dalam membuat angklung, karena sangat terampil dan apik
mengerjakan angklungnya. Tidak heran, karena Pak Setia adalah seorang
guru kerajinan tangan.
g. Penghargaan
Angklung merupakan sebuah alat musik tradisional terkenal yang dibuat dari
bambu dan merupakan alat musik asli Jawa Barat, Indonesia. Dulunya, angklung
memegang bagian penting dari aktivitas upacara tertentu, khususnya pada musim
panen. Suara angklung dipercaya akan mengundang perhatian Dewi Sri (Nyi Sri
Pohaci) yang akan membawa kesuburan terhadap tanaman padi para petani dan
akan memberikan kebahagian serta kesejahteraan bagi umat manusia.
Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk
primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di
Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan
bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu
hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan
dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu
dari ukuran kecil hingga besar.
Sebagai alat musik pra Hindu, Angklung tidak digambarkan pada candi
Borobudur dan Prambanan, sebagaimana halnya alat musik bambu lainnya yang
sudah berkembang sebelum zaman zaman Hindu di Indonesia, misalnya alat
musik bambu berdawai.
Dalam literature kuno pun saya tidak atau belum menemukannya, Kekawin
Arjunawiwaha yang diperkirakan ditulis sekitar tahun 1040 hanya menyebut-
nyebut Sundari (semacam erofon yang di Jawa Barat dikenal dengan sebutan
Sondari, di Bali Sundaren). Calung yang dewasa ini terdapat di Jawa Barat dan
Jawa Tengah, disebut-sebut dalam Inskripsi Buwahan yang diperkirakan dibuat
sekitar tahun 1181.
1. Angklung Kanekes
Dalam sajian hiburan, angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak
hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil
menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: “Lutung Kasarung”, “Yandu
Bibi”, “Yandu Sala”, “Ceuk Arileu”, “Oray-orayan”, “Dengdang”, “Yari
Gandang”, “Oyong-oyong Bangkong”, “Badan Kula”, “Kokoloyoran”, “Ayun-
ayunan”, “Pileuleuyan”, “Gandrung Manggu”, “Rujak Gadung”, “Mulung
Muncang”, “Giler”, “Ngaranggeong”, “Aceukna”, “Marengo”, “Salak Sadapur”,
“Rangda Ngendong”, “Celementre”, “Keupat Reundang”, “Papacangan”, dan
“Culadi Dengdang”.
Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran
kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara
itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah
baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda
dengan masyarakat Badui Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai
aturan pamali (pantangan, tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan
duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah dua buah dogdog
lojor dan empat buah angklung besar. Keempat buah angklung ini memunyai
nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking,
dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya
berjumlah enam orang. Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya: “Bale Agung”,
“Samping Hideung”, “Oleng-oleng Papanganten”, “Si Tunggul Kawung”,
“Adulilang”, dan “Adu-aduan”. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog
dan angklung cenderung tetap.
3. Angklung Gubrag
4.AngklungBadeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan
angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding,
Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk
kepentingan dakwah Islam. Diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak
lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual
penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak
Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau ke-17. Pada masa itu
penduduk Sanding, Arpaen, dan Nursaen belajar agama Islam ke Kerajaan
Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama
Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan
kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu dua angklung roel, satu
angklung kecer, empat angklung indung dan angklung bapa, dua angklung anak,
dua buah dogdog, dua buah terbang atau gembyung, serta satu kecrek. Teksnya
menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam
perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat
nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam
pertunjukannya selain disajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti
mengiris tubuh dengan senjata tajam. Lagu-lagu badeng: “Lailahaileloh”, “Ya’ti”,
“Kasreng”, “Yautike”, “Lilimbungan”, dan “Solaloh”.
5.Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di
Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara
pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis
digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya
pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau
kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi
ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi
pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun
(leuit, lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan
tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi
pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan
demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-
acarangunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di
kalangan rakyat, yaitu “cis kacang buncis nyengcle …”. Teks tersebut terdapat
dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis: dua angklung indung, dua
angklung ambrug, satu angklung panempas, dua angklung pancer, satu angklung
enclok, tiga buah dogdog (satu talingtit, satu panembal, dan satu badublag).
Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan
goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras
madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: “Badud”, “Buncis”,
“Renggong”, “Senggot”, “Jalantir”, “Jangjalik”, “Ela-ela”, “Mega Beureum”.
Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan,
dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus
untuk menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (angklung) di atas, adalah
beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yakni: angklung buncis
(Priangan/Bandung), angklung badud (Priangan Timur/Ciamis), angklung bungko
(Indramayu), angklung gubrag (Bogor), angklung ciusul (Banten), angklung dog
dog lojor (Sukabumi), angklung badeng (Malangbong, Garut), dan angklung
padaeng yang identik dengan angklung nasional dengan tangga nada diatonis,
yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari
pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro
atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya
menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu
lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan
dimainkan secara orkestra besar.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Angklung merupakan sebuah alat musik tradisional terkenal yang dibuat dari
bambu dan merupakan alat musik asli Jawa Barat, Indonesia. Dulunya, angklung
memegang bagian penting dari aktivitas upacara tertentu, khususnya pada musim
panen. Suara angklung dipercaya akan mengundang perhatian Dewi Sri (Nyi Sri
Pohaci) yang akan membawa kesuburan terhadap tanaman padi para petani dan
akan memberikan kebahagian serta kesejahteraan bagi umat manusia.
Jadi, berbanggalah kita sebagai orang Indonesia yang memiliki maha karya yang
dibuat bukan dari jiplakan melainkan, dari perjuangan nenek moyang kita dalam
berkesenian dan menciptakan suatu kesenian tersebut. Apalagi, sekarang angklung
merupakan alat musik yang universal dikalangan negara-negara se- Asia
Tenggara, Asia Timur bahkan Amerika Serikat. Jadi, kita musti tahu diri, dan
wajib berterima kasih pada pendahulu angklung dengan cara melestarikan musik
tersebut dalam kehidupan kita sekarang ini, jangan sampai nenek moyang kita
menangis melihat buah karyanya diambil orang lain secara ilegal dan dilipakan
secara mentah oleh anak cucunya sendiri. Jangan sampai angklung kalah dengan
alat-alat musik modern, alat band dan lain-lain.
4.2 SARAN
Maka dari itu saya berharap agar dapat lebih memahami tentang pembuatan karya
tulis, dan diharapkan juga agar sering diadakan pembuatan karya tulis begitupun
waktu yang dibutuhkan agar lebih di perpanjang lagi sehingga dapat dihasilkan
karya tulis yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Angklung
http://www.angklung-udjo.co.id/id
http://www.anneahira.com/sejarah-alat-musik-angklung,.htm
http://angklungisindonesia.com/pengetahuan/membuat-angklung/