Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

LATAR BELAKANG PENGARANG MUSIK TRADISIONAL


YANG BERNAMA DAENG SUTIGNA
Memenuhi Tugas Mata Pelajaran SENI BUDAYA
Yang dibina Oleh : Bpk. ABD. RAHEM, S.Pd.

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4 :

KELAS X.IPS 1

1. MATSAINI
2. MATYAKIN
3. MAMANG KURNIAWAN
4. AGUS SUPRIYADI
5. SALEMUDDEN
6. BAHRUL FAUZI

UPT. DINAS PENDIDIKAN ARJASA


SMA NEGERI 1 ARJASA
Jl. Raya Bujutan
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat dan rahmat,serta penyertaan-Nya,sehingga makalah “MAKALAH
LATAR BELAKANG PENGARANG MUSIK TRADISIONAL YANG
BERNAMA DAENG SUTIGNA” ini dapat kami selesaikan.
    
Dalam penulisan makalah ini kami berusaha menyajikan bahan dan
bahasa  yang sederhana,singkat serta mudah dicerna isinya oleh para
pembaca.kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna serta masih
terdapat kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan makalah ini.Maka kami
berharap adanya masukan dari berbagai pihak untuk perbaikan dimasa yang akan
mendatang.
    
Akhir kata,semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan
dipergunakan dengan layak sebagaimana mestinya.

Arjasa, 19 Februari 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar......................................................................................................1

Bab I Pendahuluan.................................................................................................4

1.1 Latar Belakang.............................................................................................4

1.2 Tujuan...........................................................................................................4

Bab Ii Pengenalan Angklung................................................................................6

2.1 Pengertian...................................................................................................10

2.2 Sejarah Perkembangan..............................................................................12

2.3 Jenis-Jenis Angklung.................................................................................13

Bab Iii Fungsi Dan Cara Membuat....................Error! Bookmark not defined.

3.I Fungsi Dalam Tradisi.................................Error! Bookmark not defined.

Bab Iv Penutup.....................................................................................................19

4.1 Kesimpulan.................................................................................................19

4.2 Saran............................................................................................................19

Daftar Pustaka......................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari
bambu khusus, yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938.
Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian lokal
atau tradisional. Namun karena bunyi-bunyian yang ditimbulkannya sangat merdu
dan juga memiliki kandungan lokal dan internasional seperti bunyi yang
bertangga nada duremi fa so la si du dan daminatilada, maka angklung pun cepat
berkembang, tidak saja dipertunjukan lokal tapi juga dipertunjukan regional,
nasional dan internasional. Bahkan konon khabarnya pertunjukan angklung
pernah digelar dihadapan Para pemimpin Negara pada Konferensi Asia Afika di
Gedung Merdeka Bandung tahun 1955.
Jumlah pemain angklung bisa dimainkan oleh sampai 50 orang, bahkan
sampai 100 orang dan dapat dipadukan dengan alat musik lainnya seperti; piano,
organ, gitar, drum, dan lain-lain. Selain sebagai alat kesenian, angklung juga bisa
digunakan sebagai suvenir atau buah tangan setelah dihiasi berbagai asesoris
lainnya.
Sepeninggal Daeng Sutigna kreasi kesenian angklung diteruskan oleh
Mang Ujo dan Erwin Anwar. Bahkan Mang Ujo telah membuat pusat pembuatan
dan pengembangan kreasi kesenian angklung yang disebut ‘Saung angklung
Mang Ujo” yang berlokasi di Padasuka Cicaheum Bandung. Salah satu program
yang ia lakukan khususnya untuk mempertahankan kesenian angklung adalah
memperkenalkan angklung kepada para siswa sekolah, mulai TK, sampai dengan
tingkat SLTA dan bahkan telah menjadi salah satu kurikulum pada pada mata
pelajaran lokal.

1.2 TUJUAN            

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya ini :

x        Untuk menambah wawasan tentang kebudayaan nasional


x        Untuk lebih mengenal alat musik  angklung sebagai warisan kebudayaan

x        Untuk ikut melestarikan budaya bangsa


BAB II
PENGENALAN ANGKLUNG

BIOGRAFI DAENG SOETIGNA


a. Masa Kanak-kanak

Pak Daeng Soetigna Lahir di Garut pada tanggal 13 Mei 1908. Karena kedua
orang tuanya termasuk bangsawan Sunda, Pak Daeng beruntung dapat menikmati
pendidikan zaman Belanda yang saat itu masih sangat terbatas bagi pribumi.
Sekolah yang sempat dia enyam adalah:[1]

 HIS Garut (tahun 1915 - 1921), sebagai murid angkatan kedua (2).
 Sekolah Raja (Kweekschool) Bandung (tahun 1922). Tahun 1923
Kweekscholl diubah namanya menjadi HIK (Hollands Islandsche
Kweekschool). Daeng akhirnya lulus tahun 1928.

Setelah lulus HIK, Daeng langsung menjadi guru. Pada umur 45 tahun, Pak
Daeng mengikuti beberapa pendidikan lanjut:

 Tahun 1954, Pak Daeng ikut kursus B-1 (setara D-3), dan berhasil lulus
ujian akhir. Namun Pak Daeng tidak mendapat ijazah Diploma, karena
menurut panitia dia tidak berhak.
 Tahun 1955, dikirim bersekolah di Teacher's College Australia sebagai
salah satu kontingen dalam program Colombo Plan.

b. Keluarga

Pak Daeng Soetigna menikah dua kali:

1. Istri pertama adalah Ugih Supadmi (menikah tahun 1930, bercerai


tahun ...), dan dikaruniai tiga orang anak yaitu: Aam Amalia, Tedja
Komala dan Emma
2. Istri kedua adalah Masjoeti (menikah tahun 1938), mendapat empat orang
anak: Iwan Suwargana, Erna Ganarsih, Itin Gantinah, dan Utut Gartini.
c. Karier

Setelah tamat dari HIK, Pak Daeng Soetigna menjadi guru.

1. Tahun 1928, menjadi guru di Schakelschool Cianjur


2. Tahun 1931 , menjadi guru HIS di Kuningan
3. Tahun 1942, seiring kedatangan Jepang, HIS diubah menjadi SR (Sekolah
Rakyat), dan Pak Daeng diangkat menjadi kepala sekolah
4. Tahun 1945, setelah proklamasi berdirilah SMP Kuningan I di mana
sebagian gurunya diambil dari SR, termasuk Pak Daeng.
5. Tahun 1948, Pak Daeng pindah ke Bandung dan menjadi kepala sekolah
SD, dan diperbantukan pada Jawatan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.
6. Tahun 1950, menjadi penilik sekolah dan diperbantukan pada kursus-
kursus di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
7. Tahun 1956, sepulang dari Australia Pak Daeng diangkat menjadi
konsultan pengajaran seni suara di SGA 2 Bandung, SGA Kristen Jakarta,
SGA 1 Jogjakarta, SGA Balige dan SGA Ambon.
8. Tahun 1957, menjabat sebagai Kepala Jawatan Kebudayaan Jawa Barat.
9. Tahun 1960, diangkat sebagai Kepala Konservatori Karawitan, Bandung.
10. Tahun 1964, Pak Daeng pensiun dari pengabdiannya sebagai pegawai
negeri sipil.

d. Masa Tua

Pak Daeng pensiun sebagai pegawai negari sipil pada tahun 1964 (saat
berumur 56 tahun). Dengan bebasnya dia dari tugas rutin sebagai pegawai
pemerintah, maka Pak Daeng aktif mengembangkan angklung. Dia melatih di
berbagai kelompok angklung seperti SD Soka, SD Santo Yusup, dan SD Priangan.
Demikian pula perkumpulan ibu-ibu Militer maupun suster di gereja RS
Borromeus. Atas jasa-jasanya, pada masa tuanya inilah Pak Daeng mulai
memperoleh berbagai penghargaan, termasuk SATYA LENCANA
KEBUDAYAAN dari Presiden RI.
Setelah pengabdiannya yang panjang dalam mengangkat musik angklung dari
kelas pengemis ke kelas konser, Pak Daeng Soetigna wafat pada tanggal 8 April
1984, dan dikebumikan di Cikutra, Bandung.

e. Karya

Karya terbesar Pak Daeng Soetigna adalah memodifikasi Angklung yang tadinya
bernada pentatonis menjadi diatonis. Angklung ini kemudian diberi nama
kehormatan sebagai Angklung Padaeng. Selain itu, Pak Daeng juga seorang
komposer yang telah menulis puluhan aransemen lagu angklung.

f. Guru

Dalam menciptakan angklung Padaeng, Daeng Soetigna berguru kepada:[1]

 Pengemis tua (tidak tercatat namanya) yang memainkan lagu "Cis kacang
Buncis" dengan angklung tradisionil. Pak Daeng kemudian membeli
peralatan angklung tersebut, dan mendapat inspirasi untuk memakai
angklung sebagai alat mengajar seni musik, menggantikan alat seperti
mandolin dan biola yang saat itu sangat mahal.
 Pak Djaja adalah seorang empu pembuat angklung yang saat itu sudah
sepuh. Pak Djaja dengan senang hati menerima ide Pak Daeng untuk
membuat angklung diatonis, dan menurunkan pengalaman puluhan
tahunnya, sehingga angklung dengan tangga nada diatonis itu berhasil
terwujud.
 Pak Wangsa adalah petani yang memberi tahu bahwa bambu akan awet
jika di potong pada saat uir-uir berbunyi. Itu adalah tanda musim kemarau
sudah mulai dan bambu berada pada keadaan kering.
 Pak Setiamihardja adalah sobat pak Daeng sewaktu masih di Kuningan.
Setelah pak Setiamihardja juga pindah di Bandung, dialah tangan kanan
Pak Daeng dalam membuat angklung, karena sangat terampil dan apik
mengerjakan angklungnya. Tidak heran, karena Pak Setia adalah seorang
guru kerajinan tangan.
g. Penghargaan

Penghargaan yang diberikan kepada Pak Daeng di antaranya:

1. Piagam Penghargaan, atas Jasanya Dalam Bidang KesenianKhususnya dan


Kebudayaan Pada Umumnya, dari Gubernur Jawa Barat Brigjed Mashudi,
28 Februari 1968.[1]
2. Piagam Penghargaan, dalam rangka mendorong pertumbuhan, pemekaran
dan pengembangan keseniang angklung di ibukota, dari Gubernur DKI
Jakarta, Ali Sadikin, 10 September 1968.[1]
3. Tanda Kehormatan Satya Lencana Kebudayaan, dari Presiden Republik
Indonesia, Jend. Soeharto, 15 Oktober 1968.[1]
4. Piagam Penghargaan, atas jasa dalam pembinaan dan pengembangan seni
daerah, khususnya seni Angklung, dari Gubernur Jawa Barat H.A.
Kunaefi, 17 Agustus 1979.[1]

Setelah meninggal, Pak Daeng masih terus menerima penghargaan, di antaranya:

1. Piagam Penghargaan, sebagai perintis Pembangunan Pariwisata Jawa


Barat, dari Gubernur Jawa Barat, R. Nuriana, 18 Februari 1994.[1]
2. Piagam Penghargaan, seniman angklung yang telah berkreasi dan berkarya
mengharumkan nama Jawa Barat di tingkat Nasional, dari Gubernur Jawa
Barat, Danny Setiawan, 21 Juli 2005.[1]
3. Piagam Penghargaan dan Metronome Award 2006, sebagai pengembang
musik tradisional Angklung, dari Pusat Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta
Lagu, dan Penata Musik Rekaman Indonesia, 21 Juli 2005.[1]
4. Penghargaan Nasional Hak Kekayaan Intelektual 2013, Pencipta
Angklung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Republik Indonesia, Amir
Syamsudin, 26 April 2013.
2.1 PENGERTIAN

Angklung merupakan sebuah alat musik tradisional terkenal yang dibuat dari
bambu dan merupakan alat musik asli Jawa Barat, Indonesia. Dulunya, angklung
memegang bagian penting dari aktivitas upacara tertentu, khususnya pada musim
panen. Suara angklung dipercaya akan mengundang perhatian Dewi Sri (Nyi Sri
Pohaci) yang akan membawa kesuburan terhadap tanaman padi para petani dan
akan memberikan kebahagian serta kesejahteraan bagi umat manusia.

Angklung juga diartikan sebagai  alat musik multitonal (bernada ganda) yang


secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau
Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat daribambu, dibunyikan dengan cara
digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga
menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam
setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai
musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.

Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi


Manusia dariUNESCO sejak November 2010.

Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk
primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di
Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan
bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.

Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan


Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu,
seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris
dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini
melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohacisebagai lambang Dewi
Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai
sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual
mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor,
adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau.
Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan
untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.

Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu
hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan
dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu
dari ukuran kecil hingga besar.

Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai


penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa
semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya
pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung,
pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di
mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan


pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas
sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal
sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun
dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang
berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang
sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-
iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan
sebagainya.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa,


lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari
Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan
musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.

Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan


teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai
mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai
komunitas. 
2.2 SEJARAH PERKEMBANGAN

Angklung adalah mitologi dari Bahasa Bali, yaitu Ang yang berarti angka (berupa


not) dan klung yang berarti rusak. Jadi, jika digabungkan angklung berarti angka
yang rusak. Dalam sejarah perkembangan musik Angklung, bentuknya yang
sekarang merupakan adaptasi bentuk alat musik dari Filipina. Perkembangan
musik angklung pada mulanya yaitu berasal dari bambu wulung (wulung awi)
yang dimainkan dengan cara dipukul-pukul. Permainan bambu tersebut bermula
untuk menghormati binatang totem dan untuk menghormati dan menghargai
pemberian hasil panen padi yang banyak dan baik dari Dewi Sri yang dipercaya
sebagai dewi yang memberikan kesejahteraan.
Sejak kapan angklung muncul dan berkembang, merupakan pertanyaan yang saya
tidak dapat menjawabnya dengan pasti. Menurut perkiraan Dr. Groneman,
sebelum berkembangnya pengaruh Hindu di Indonesia Angklung sudah
merupakan alat musik yang digemari penduduk (Dr. J. Groneman. “De Gamelan
to Jogjakarta, Letterkundige Vehadelingen der Koninkl, Akademi, jilid XIX, hal.
4).

Sebagai alat musik pra Hindu, Angklung tidak digambarkan pada candi
Borobudur dan Prambanan, sebagaimana halnya alat musik bambu lainnya yang
sudah  berkembang sebelum zaman zaman Hindu di Indonesia, misalnya alat
musik bambu berdawai.

Dalam literature kuno pun saya tidak atau belum menemukannya, Kekawin
Arjunawiwaha yang diperkirakan ditulis sekitar tahun 1040 hanya menyebut-
nyebut Sundari (semacam erofon yang di Jawa Barat dikenal dengan sebutan
Sondari, di Bali Sundaren). Calung yang dewasa ini terdapat di Jawa Barat dan
Jawa Tengah, disebut-sebut dalam Inskripsi Buwahan yang diperkirakan dibuat
sekitar tahun 1181.

Guntang alat musik bambu berdawai yang penyebarannya meliputi Asia Tenggara


sampai Madagaskar, dan sampai sekarang di Bali tetap disebut Guntang, terdapat
dalam Kekawin Kidung Sunda yang diperkirakan ditulis tidak lama setelah tahun
1357. Alat yang di Priangan disebut Pancurendang, di Jawa Tengah
disebut Bluntak, dan di Bali disebut Taluktak, disebut-sebut dalam kekawin
Bharata Yuda.Tongtong atau kentongan bambu disebut-sebut dalam Sudhamala
dengan Kulkul, dalam Samarandana disebut Titiran, dan dalam Bharata Yudha
disebut Kukulan. Baru dalam tulisa-tulisan kemudian seperti dalam serat
Cebolang, Angklung disebut-sebut, yaitu waktu melukiskan saat Mas Cebolang
mempertunjuknan keahliannya menyanyi dan bermain musik didepan Bepati
Dhaha Kediri

Dalam perkembangannya musik angklung perlahan mulai berubah dan


beradaptasi dengan perkembangan jamannya. Mulai dari jaman dimana manusia
memanfaatkan bambu sebagai alat utama mereka untuk bertahan hidup, masuknya
budaya China, penyiaran agama Islam, masuknya budaya barat ke Indonesia,
sampai pada jaman modern ini.
Pada masa modern ini, perkembangan musik angklung mulai berubah. Itu
berawal dari Daeng Sutisna yang berhasil mengubah tangga
ada petatonis menjadi diatonis (do,re,mi,fa,sol,la,si,do) pada tahun 1983. Dan
perkembangan itu pun terjadi, misalnya pada KTT Asia Afrika di Bandung, Jawa
Barat. Musik Angklung modern dimainkan untuk acara resmi dalam Indonesia
Ultimate Diversity tersebut, yaitu dalam lagu Indonesia Raya dan beberapa lagu
daerah yang terkenal seperti Rasa Sayange, Ayo Mama, Burung Kakak Tua dan
Potong Bebek Angsa .

 2.3 JENIS-JENIS ANGKLUNG

1. Angklung Kanekes

Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka Badui) digunakan


terutama karena hubungannya dengan upacara padi, bukan semata-mata untuk
hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka
menanam padi di huma (ladang). Angklung ditabuh ketika orang Kanekes
menanam padi; ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di
Kajeroan (Tangtu, Badui Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di
Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, angklung masih bisa ditampilkan di luar
ritus padi dan tetap memunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga
masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya
padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh
dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya.
Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang
disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan)
angklung setelah dipakai.

Dalam sajian hiburan, angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak
hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil
menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: “Lutung Kasarung”, “Yandu
Bibi”, “Yandu Sala”, “Ceuk Arileu”, “Oray-orayan”, “Dengdang”, “Yari
Gandang”, “Oyong-oyong Bangkong”, “Badan Kula”, “Kokoloyoran”, “Ayun-
ayunan”, “Pileuleuyan”, “Gandrung Manggu”, “Rujak Gadung”, “Mulung
Muncang”, “Giler”, “Ngaranggeong”, “Aceukna”, “Marengo”, “Salak Sadapur”,
“Rangda Ngendong”, “Celementre”, “Keupat Reundang”, “Papacangan”, dan
“Culadi Dengdang”.

Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran
kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara
itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah
baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda
dengan masyarakat Badui Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai
aturan pamali (pantangan, tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan
duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.

Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar


adalah: indung, ringkung, dongdong,gunjing, engklok, indung leutik, torolok,
dan roel. Roel yang terdiri dari dua buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-
nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan
instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran
mereka memakai bedug sebanyak tiga buah. Di Kajeroan, kampung Cikeusik,
hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, Kampung
Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu,
Badui Jero). Kajeroan terdiri dari tiga kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan
Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang
punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-
syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59),
dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan
di tiga kampung tersebut.

2. Angklung Dogdog Lojor


Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan
atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun
(berbatasan dengan Sukabumi, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan
dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga
digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali,
setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren
Taundi pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat
kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk
gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena
mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara
tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton
Pajajaran dalam baresan pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan
ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi,
serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini
berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-
an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk
memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya.

Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah dua buah dogdog
lojor dan empat buah angklung besar. Keempat buah angklung ini memunyai
nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking,
dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya
berjumlah enam orang. Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya: “Bale Agung”,
“Samping Hideung”, “Oleng-oleng Papanganten”, “Si Tunggul Kawung”,
“Adulilang”, dan “Adu-aduan”. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog
dan angklung cenderung tetap.

3. Angklung Gubrag

Angklung gubrag terdapat di Kampung Cipining, Kecamatan Cigudeg, Bogor.


Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi
dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi),
dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung). Dalam mitosnya angklung
gubrag mulai ada ketika suatu masa Kampung Cipining mengalami musim
paceklik.

4.AngklungBadeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan
angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding,
Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk
kepentingan dakwah Islam. Diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak
lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual
penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak
Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau ke-17. Pada masa itu
penduduk Sanding, Arpaen, dan Nursaen belajar agama Islam ke Kerajaan
Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama
Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan
kesenian badeng.

Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu dua angklung roel, satu
angklung kecer, empat angklung indung dan angklung bapa, dua angklung anak,
dua buah dogdog, dua buah terbang atau gembyung, serta satu kecrek. Teksnya
menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam
perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat
nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam
pertunjukannya selain disajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti
mengiris tubuh dengan senjata tajam. Lagu-lagu badeng: “Lailahaileloh”, “Ya’ti”,
“Kasreng”, “Yautike”, “Lilimbungan”, dan “Solaloh”.

5.Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di
Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara
pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis
digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya
pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau
kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi
ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi
pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun
(leuit, lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan
tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi
pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan
demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-
acarangunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.

Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di
kalangan rakyat, yaitu “cis kacang buncis nyengcle …”. Teks tersebut terdapat
dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.

Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis: dua angklung indung, dua
angklung ambrug, satu angklung panempas, dua angklung pancer, satu angklung
enclok, tiga buah dogdog (satu talingtit, satu panembal, dan satu badublag).
Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan
goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras
madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: “Badud”, “Buncis”,
“Renggong”, “Senggot”, “Jalantir”, “Jangjalik”, “Ela-ela”, “Mega Beureum”.
Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan,
dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus
untuk menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (angklung) di atas, adalah
beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yakni: angklung buncis
(Priangan/Bandung), angklung badud (Priangan Timur/Ciamis), angklung bungko
(Indramayu), angklung gubrag (Bogor), angklung ciusul (Banten), angklung dog
dog lojor (Sukabumi), angklung badeng (Malangbong, Garut), dan angklung
padaeng yang identik dengan angklung nasional dengan tangga nada diatonis,
yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari
pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro
atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya
menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu
lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan
dimainkan secara orkestra besar.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN

Angklung merupakan sebuah alat musik tradisional terkenal yang dibuat dari
bambu dan merupakan alat musik asli Jawa Barat, Indonesia. Dulunya, angklung
memegang bagian penting dari aktivitas upacara tertentu, khususnya pada musim
panen. Suara angklung dipercaya akan mengundang perhatian Dewi Sri (Nyi Sri
Pohaci) yang akan membawa kesuburan terhadap tanaman padi para petani dan
akan memberikan kebahagian serta kesejahteraan bagi umat manusia.
Jadi, berbanggalah kita sebagai orang Indonesia yang memiliki maha karya yang
dibuat bukan dari jiplakan melainkan, dari perjuangan nenek moyang kita dalam
berkesenian dan menciptakan suatu kesenian tersebut. Apalagi, sekarang angklung
merupakan alat musik yang universal dikalangan negara-negara se- Asia
Tenggara, Asia Timur bahkan Amerika Serikat. Jadi, kita musti tahu diri, dan
wajib berterima kasih pada pendahulu angklung dengan cara melestarikan musik
tersebut dalam kehidupan kita sekarang ini, jangan sampai nenek moyang kita
menangis melihat buah karyanya diambil orang lain secara ilegal dan dilipakan
secara mentah oleh anak cucunya sendiri. Jangan sampai angklung kalah dengan
alat-alat musik modern, alat band dan lain-lain.

4.2 SARAN

Karena keterbatasan  informasi dan pengetahuan tentang Sejarah Angklung,


ditambah lagi dengan kurangnya pemahaman tentang pembuatan karya tulis,
mengakibatkan terdapat sedikit kesulitan dalam pembuatan karya tulis ini. Tetapi
karena keterbatasan itulah saya termotivasi untuk menjadi lebih baik.

Maka dari itu saya berharap agar dapat lebih memahami tentang pembuatan karya
tulis, dan diharapkan juga agar sering diadakan pembuatan karya tulis begitupun
waktu yang dibutuhkan agar lebih di perpanjang lagi sehingga dapat dihasilkan
karya tulis yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
  http://id.wikipedia.org/wiki/Angklung

http://www.angklung-udjo.co.id/id

http://www.anneahira.com/sejarah-alat-musik-angklung,.htm

http://angklungisindonesia.com/pengetahuan/membuat-angklung/

Anda mungkin juga menyukai