Konsep Ketuhanan Menurut Beberapa Filsuf
Konsep Ketuhanan Menurut Beberapa Filsuf
Agustinus (354-430)
Menurunya Tuhan adalah pengada yang mutlak. Dia adalah abadi, tidak
berubah. Dia berada diluar pemahaman manusia, karena dia lebih besar dari
sesuatu yang diketahui manusia. Penegtahuan yang dimiliki manusia dalam
kaitannya dengan Tuhan adalah terbatas dan diperoleh melalui analogi dari suatu
yang dialami manusia.
Tuhan itu berpribadi, berpikir dan berkehendak. Dia menciptakan dunia dan
menegendalikan sesuai dengan rencana Ilahi-Nya yang telah ditetapkan. Tuhan
menciptakan dunia dari ketiadaan
Descartes (1596-1630 M)
Untuk mengenal adanya Tuhan, Descartes melalui jalan berfikir; Pertama:
waktu saya merasa bahwa diri saya berada di dalam kekurangan, pada waktu itu
diri saya merasa, tentu ada zat yang tidak kekurangan (sempurna). Kedua, saya
tidak menjadikan diri saya dengan diri say sendiri. Sebab jika saya menjadikan diri
saya sendiri, tentulah saya dapat memberikan segala sifat kesempurnaan kepada
diri saya itu. Ketiga, pada diri saya ada suatu perasaan terhadap adanya suatu zat
yang sempurna . jadi Tuhan pasti ada-Nya dengan jelas sekali.
Adapun perkataan “Tuhan” menurut Descartes adalah ketuhanan yang
tidak mempunyai kesudahan, yang azaly, yang tiada awal dan tiada akhir, yang
abadi, kekal, berdiri sendiri, yang mengetahui segala sesuatu dan yang merasa
atas tiap-tiap sesuatu.
Thomas Aquino
Thomas Aquino dilahirkan dekat kota Aquino ada tahun 1225, sebab itu ia
disebut juga Thomas Aquino. Walaupun Thomas pada mulanya seolah-olah
mendasarkan filsafat kepada agama, namun masalah Tuhan tidak bisa diterima
begitu saja. Adanya Tuhan dibuktikan dengan menggunakan metode yang
dirasakan dalam seluruh sistemnya, yaitu melalui pengalaman indera menjadi
pegangan akal dalam renungannya.
1) Melalui gerak dan perubahan didunia ini, segala sesuatu yang ada diatas dunia ini
adalah tidak tetap, melainkan berubah dan bergerak.
2) Gerak dan perubahan ini tidak mungkin dari dirinya sendiri. Jika sekiranya gerak
dan perubahan itu dari sendiri, maka segala sesuatu yang didunia ini sempurna.
Jadi jelaslah bahwa segala-galanya digerakan. Maka dari itu gerak itu menurut
penggerak pertama, yang sendirinya tidak digerakan, yang tetap abadi dan
sempurna, inilah yang disebut Tuhan.
3) Segala sesuatu yang kita kenal dengan indera itu adanya selalu disebabkan. Maka
dari itu haruslah ada sebab yang pertama, yang tidak disebabkan, tetapi menjadi
sebab segalanya. Dan inilah ang disebut Tuhan.
5) Dunia ini ada kesempurnaan yang bertingkat-tingkat. Terdapat hal-hal yang ada
begitu saja, terdapat pula yang adanya itu hidup, dan ada hidup berasa serta
berakal budi. Dalam kesempurnaan-kesempurnaan itu semuanya terbatas. Maka
haruslah ada yang mengandung keseluruhan kesempurnaan, yang maha
sempurna dan itu adalah Tuhan.
6) Segala sesuatu yang ada didunia ini amat teratur dan terarahkan kepada tujuan
masing-masing dengan cermat. Maka hasruslah di terima pengatur yang
sendirinya berbudi yang sempurna dan kekuasaan yang tak terhingga. Inilah yang
disebut Tuhan.
Dalam «On the Ground of Our Faith in a Divine World Knowledge» ada ide tentang
Tuhan sebagai suatu absolut yang bukan kepribadian, bukan kesadaran
diri, kekurangan arti sebagai pencipta dunia. Ia menganjurkan kepercayaan akan
Tuhan sebagai kepastian original yang langsung-segera yang diakarkan pada
perasaan. Fichte dengan apa yang diajukan Masa Pencerahan sebagai dominasi
pengertian. Lagipula, menurut Hegel realisasi subjektivitas diri tidak mengabaikan
keabsolutannya dan juga tidak dapat mencapai pengetahuan akan yang absolut
dengan akal budi.
Lagipula, pada Fichte dualisme Allah yang tidak terbatas dan manusia yang
terbatas tidak diatasi dan kesatuan pun tidak dicapai. Padahal, jika
ketdkterbatasan dilawankan keterbatasan, yang satu adalah seterbatas yang
lain. Hegel mengerti ateisme modern sebagai «postatheistic» dan baginya tidak
mungkin mundur ke belakang ke Era Pencerahan yang melancarkan kritik atas
agama atas nama rasio sebagai suatu keharusan yang mengakhiri iman yang tua
dan naif. Hegel mengakui bahwa pengertian memiliki hak atas refleksi kritis
sejauh ia tidak dibuat menjadi sesuatu yang absolut.
Menurutnya pengakuan satu sisi saja, yaitu atas yang subjektif, yang
menghasilkan penyatuan yang terbatas dan tak terbatas hanya membawa pada
suatu kesatuan subjektif murni. Karena itu, perhatian Hegel adalah pada filsafat
yang absolut. Jika subjektivitas manusia dibuat absolut, ia dapat larut lenyap ke
dalam nihilisme, pada jurang tak berdasar dari ketiadaan di mana di dalamnya
semua yang mengada terserap. Karena itu, dituntut tidak hanya sesuatu yang
subjektif, tapi suatu kesatuan real antara yang terbatas dan tidak terbatas yang
harus dicapai.
Ini menunjuk pada kesatuan dalam Tuhan sendiri atau dalam yang absolut, di
mana kesatuan dalam yang absolut ilahi ini dicapai dengan pengangkatan
panteistis terbatas dari yang terbatas dan tidak terbatas. Dalam «Common Sense»
ia menegaskan Tuhan yang absolut di tempat pertama atau pada puncak
filsafat, satusatunya dasar dari segala sesuatu, prinsip satu-satunya dari yang
mengada. Ini dimungkinkan sesudah Tuhan ditaruh berdampingan dengan yang
terbatas sebagai suatu postulat yang mulai dari suatu keterbatasan
absolut. «Fenomenologi Roh» berkenaan dengan sejarah subjek di mana subjek
terus menerus dikoreksi oleh objek partikular dan objek partikular oleh subjek Ini
merupakan suatu proses mental yang berjalan terus dalam kontradiksi-kontradiksi
yang berbeda secara konstan pada bentuk-bentuk kesadaran dan akhirnya
bentuk-bentuk dunia.
Ini merupakan langkah dari jiwa menuju kesadaran akan yang absolut yang sudah
ada secara rahasia dan yang hanya bisa ditafsir secara filosofis dan
historis. Langkah dari jiwa ini juga jalan dari manifestasi roh yang absolut dalam
berbagai bentuknya dalam sejarah dunia. «Fenomenologi Roh» ini adalah bahwa
pengetahuan absolut dan pengetahuan manusiawi dari awal mulanya adalah tidak
terpisah, tetapi berkaitan dalam suatu kesatuan yang masih tak terjelaskan. Di sini
kesadaran manusia menjadi sadar akan yang absolut dan yang absolut menjadi
sadar akan dirinya dalam kesadaran manusia.
Suatu sejarah harus ada dari pengalaman, dan ini mulai dari subjek manusia
sebagai subjek yang mengalami dunia . Akan tetapi, rekonsiliasi sejati mungkin
hanya jika rekonsiliasi dicapai antara yang terbatas dan tidak terbatas, dunia dan
Tuhan. Ini merupakan suatu dialektika yang hidup. Padanya segala sesuatu yang
individual dimengerti sebagai momen dari evolusi dialektikal dari roh absolut ilahi
sendiri.
Roh absolut menghadirkan suatu kesatuan antara subjek dan objek, pengada dan
pikiran, yang real dan ideal.
Tuhan dan dunia menjadi mungkin. Tuhan tidak hanya dilihat dalam terang «yang
terbatas» , tetapi juga dalam terang «Roh Absolut» yang dimengerti secara
dialektikal, di mana Tuhan dilihat sebagai Dia yang melalui sejarah dan
menyatakan diri dalam sejarah. Karena itu, sebagaimana ditunjukkan Hegel dalam
«Phenomenology of Spirit» orang seharusnya dibawa keluar dari sudut pandang
natural berupa «pengertian umum» yang sering salah menuju sudut pandang
ilmiah yang otentik. Di sini orang bangkit dari kesan indrawi yang langsung
segera melalui semua bentuk kesadaran menuju roh yang mengetahui dirinya
sendiri.
Karena itu, bagi Hegel kebenaran yang dipandang sebagai absolut harus terus-
menerus dibuang. Akan tetapi, dalam dibuangnya ini, ia harus pada saat yang
sama dipandang kembali sebagai «momen relatif» dan diangkat hingga pada
kesatuan yang lebih tinggi. Di sini agama dimengerti sebagai penyataan diri roh
yang tak terbatas dalam roh yang terbatas dan sekaligus penyerapan kontemplatif
roh yang terbatas ke dalam roh yang tak terbatas. Ada dialektika dalam Tuhan
Allah sendri.
Di sini paradigma dualistis tradisional diatasi dengan cara modern bahwa tidak
hanya dualisme eksternal antara surga dan bumi yang direlativisasi oleh ilmu
pengetahuan alam, tetapi juga dualisme antara Tuhan dan manusia, di mana di
sini keilahian mencakup segala sesuatu tanpa menyingkirkan distingsi. Di sini
dualisme dilenyapkan dalam Tuhan sendiri. Tuhan sendiri. Hegel lebih suka
menyebut Tuhan sebagai roh.
Tuhan. Baginya sejarah dunia merupakan suatu rangkaian dialektikal dari tahap-
tahap naik turun di mana tiap tahap memiliki prinsip spesifik terbatasnya dalam
roh dari setiap bangsa. Hegel menelusuri ribuan tahun usaha roh dengan kerjanya
yang sungguh-sungguh. Ia menunjukkan betapa besar usaha yang dibuang oleh
pikiran untuk mengenal dirinya sendiri.
Semua pemikiran Hegel bertujuan menjadi pemikiran historis yang juga menjadi
pemikiran religius. Tuhan dan manusia dilihat sebagai sementara dan
historis. Tuhan-nya Hegel bukan roh di atas bintang-bintang dan bekerja dari
luar, melainkan pikiran yang meresapi semua pikiran dalam subjektif
Hermeneutika adalah seni memahami (find art) pada makna wacana, dan
seni menghindari salah pemahaman. Maka jika diasumsikan seluruh realitas
didunia ini adalah hermeneutika (ditafsir) maka semua sisi bahasa dapat
diformulasikan, artinya pemahaman umum dapat di susun teorinya.
Dengan demikian seni memahami adalah gerakan mental pada dua aspek:
(a) secara literasi atau gramatis, da secara psikologis pada mental pengarang.
Seni memahami adalah rekonstruksi kembali interprestasi (hermeneutika)
gramatis, dan interprestasi (hermeneutika) psikologis. Ekspresi kembali melalui
apa yang dikenal sebagai Partisipasi, Empati, Transposisi, Reafeksi, Recognisi,
Imitasi, Repetisi, Reproduksi, Rekonstruksi. Dengan cara ini maka kesulitan
interprestasi teks, atau pembicaraan memungkinkan diatasi atau dijembatani.
St. Agustinus sampai saat ini masih sering dijumpai, karena mneurut teori
tersebut dijelaskan bahwa tuhan itu pengada yang mutlak. Dia abadi, tidak
berubah. Dia berada diluar pemahaman manusia, karena dia lebih besar dari
sesuatu yang diketahui manusia.
Ia menciptakan dunia dan menegendalikan sesuai dengan rencana Ilahi-Nya yang
telah ditetapkan.