Anda di halaman 1dari 5

Hara, Mourin, dan Tokyo

Liburan semester akhirnya datang. Itulah yang dinanti-nantikan oleh Mourin.


Gadis remaja yang sekarang duduk di kampus semester empat dengan sifatnya yang
masih manja. Mourin dan kedua sahabatnya, yaitu Chaca dan Rengga memutuskan
untuk pergi ke Tokyo bersama. Berlibur di tempat bibi Mourin yang memiliki kedai
kopi di sana.

“Mah, Pah, Mourin minta izin buat pergi ke rumah Bibi Lucia di Tokyo dengan
Chaca dan Rengga, boleh tidak?” rayu Mourin kepada orang tuanya.

“Ya, boleh. Asalkan kamu bisa jaga diri baik-baik di sana. Papah dan Mamah
juga akan menyusul kamu jika liburan kerja,” balas papah yang awalnya ragu untuk
memberi izin.

Mourin sangat bahagia setelah mendapat izin dari papah dan mamahmya. Ia
langsung membereskan barang-barang yang harus dibawanya ke Tokyo minggu
depan.

Mereka bertiga bertemu di bandara untuk berangkat bersama. Sesampainya di


Tokyo, mereka mencari alamat Bibi Lucia yang sudah dikirimkan lewat pesan dari
papah Mourin.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lelah, akhirnya mereka sampai di


rumah Bibi Lucia, “Hai, Bibi Lucia. Bagaimana keadaan bibi dan paman?” tanya
Mourin.

“Paman dan bibi baik-baik saja. Ini teman Mourin ya?” balas bibi.

“Iya, Bi. Saya Chaca dan ini Rengga,” ucap Chaca.

Keesokan harinya, Mourin, Chaca, dan Rengga membantu Bibi Lucia di kedai
kopi miliknya.

Datanglah seorang pemuda dengan tas ransel di punggungnya dan kamera yang
dikalungkan pada lehernya. Mourin merasa tidak asing dengan pemuda itu. Dia
merasa seperti pernah bertemu dengan pemuda itusebelumnya tapi entah dimana.
“Kopi susu satu,” ucap pemuda itu pada Mourin.

Mourin pun membuat kopi pesanan pemuda itu lalu memberikannya. Dengan
sifat teledornya, Mourin tak sengaja menjatuhkan kopinya di atas meja. Kopi itu
tumpah membasahi baju pemuda aneh itu.

“Gomen’nasai,” ucap Mourin dengan rasa bersalah.

“Hati-hati dong kalau melihat. Jadi basah ini bajuku!” ucap pemuda itu dengan
bahasa Indonesia.

Tanpa berlama-lama, pemuda itu pergi begitu saja meninggalkan kedai tanpa
membayar. Mourin meminta maaf kepada bibi, karenanya pelanggan bibi tidak jadi
minum di kedai ini.

“Tidak apa-apa, Mourin,” balas bibi dengan tenang supaya Mourin tidak panik.

Membuat kopi, melayani pelanggan, dan bantu-bantu bibi di kedai. Begitulah


keseharian Mourin, Chaca, dan Rengga di Tokyo selama seminggu. Di hari Minggu,
mereka memutuskan untuk tidak membantu bibi di kedai karena mereka akan pergi
berlibur ke taman bunga di Osaka.

Saat mereka sedang bermain sambil menikmati indahnya bunga-bunga


bermekaran di sana, terlihat sosok pemuda yang sama dengan pemuda yang datang ke
kedai Bibi Lucia minggu lalu.

“Ya, pemuda aneh itu lagi. Aku harus meminta maaf padanya atas kejadian
waktu itu,” batinnya.

Mourin pun menemui pemuda itu dan meninggalkan Chaca dan Rengga.

“Kon’nichiwa. Maaf mengganggu,” sapa Mourin.

“Kamu, yang di kedai kopi waktu itu, kan?” tanya pemuda.

“Saya minta maaf atas kejadian waktu itu, saya tidak sengaja,” maaf Mourin
padanya.
“Iya, tidak apa-apa, ” balas pemuda itu.

Setelah itu Mourin pergi meninggalkan pemuda itu menuju Chaca dan Rengga
yang sedari tadi menunggu sembari menikmati matahari merangkak bersembunyi
meninggalkan sorenya. Mereka bergegas pulang ke rumah bibi karena keadaan yang
sudah semakin gelap.

Saat Mourin menyebrang, ia terserempet oleh motor yang melaju kencang.


Karena keadaan yang sudah gelap, Chaca dan Rengga panik lalu mencari bantuan.
Diangkatlah Mourin menuju mobil dan dibawanya ke rumah sakit terdekat.

Keadaan Mourin yang cukup parah membuatnya terbaring lemas di atas


ranjang.

“Mourin, bangun! Bangun! Jangan bikin kita panik dong,” ucap Chaca di
samping ranjang tempat Mourin berbaring.

Chaca dan Rengga berterima kasih kepada pemuda yang sudah menolong
Mourin. Lalu pemuda itu berkata, “Kalian pulang saja, beri kabar pada Bibi Lucia atas
kondisi Mourin saat ini. Kalian tenang saja, saya akan menunggu Mourin di sini
sampai kalian datang kembali,” ucap pemuda itu.”

Karena Chaca dan Rengga mengenali pemuda itu, mereka akhirnya


memutuskan pulang untuk memberi kabar pada bibi dan paman.

Saat mentari mulai menyinari ruangan itu, Mourin pun bangun. Ditatapnya
seluruh isi ruangan dari pojok ke pojok. Ia bingung kenapa bisa ada di sini. Mourin
melihat pemuda itu sedang tertidur di atas sofa kamar di mana ia terbaring lemah
dirawat.

Mourin tidak peduli akan pemuda itu. Ia meratapi keadaannya saat ini. Kakinya
yang sulit di gerakkan membuatnya putus asa dalam menghadapi hidup baru lagi.
Mourin hanya terdiam sambil menangis di balik selimut.

“Mourin, kamu kenapa? Saya Hara, maaf jika kamu kaget saya ada di sini,”
ucap pemuda itu dari bangunnya.
“Kenapa aku bisa seperti ini, Hara? Kakiku sulit digerakkan. Kenapa?” ucap
Mourin sambil menangis.

“Mourin, kamu harus sabar. Kamu harus bersyukur karena masih banyak orang
lain yang sedang ada pada ujung hidupnya. Kamu harus semangat dan aku yakin kamu
pasti bisa berjalan lagi,” sahut Hara yang berusaha meyakinkan Mourin.

“Kenapa kamu begitu peduli denganku, Hara? Sebenarnya kamu siapa?” tanya
Mourin.

“Suatu saat nanti kamu akan tahu, Mourin,” balas Hara.

Setiap hari Hara menjaga Mourin di rumah sakit sembari menunggu Bibi Lucia
dan teman Mourin selesai mengurusi kedai kopinya. Hara selalu memberi semangat
hidup untuk Mourin.

“Mourin, perjalanan hidupmu belum berakhir sampai sini saja. Kamu harus
semangat dalam menhadapi hidup di hari esok. Yakinlah, yakin untuk hidup, untuk
orang tuamu, untuk teman-temanmu, untuk orang yang kamu sayangi, dan untuk
dirimu sendiri,” ucap Hara di setiap bangunnya Mourin.

Selalu kalimat itu-itu saja yang Hara ucapkan pada Mourin hingga ia
menghafalnya. Namun, saat hari kelima Mourin di rawat, ia tak melihat Hara di
sampingnya. Ia malah melihat Bibi Lucia dan temanya. Padahal hari itu Mourin akan
pulang dari rumah sakit karena sudah diperbolehkan oleh dokter.

Saat Mourin keluar dari kamarnya. Ia melihat seorang ibu yang sedang
menangis sambil menatap ruangan di samping Mourin dirawat. Mourin pun mendekat
dan melihatnya. Seketika tubuh Mourin lemas seperti orang yang sudah tidak punya
semangat hidup. Ternyata apa yang dilihatnya membuat Mourin meneteskan air mata.

“Kamu siapa? Kenapa menangis? Apakah kamu kenal anak saya, Hara?” tanya
ibu itu pada Mourin.

“Iya tante, saya kenal dengan Hara. Hara kenapa, Tante? Dia sakit? Kenapa
tante menangis?” balas Mourin dengan wajah panik yang sudah berlapis air mata.
“Nak, apa kamu Mourin?” tanya ibu Hara.

“Iya tante, saya Mourin,” balasnya.

“Mourin sayang, maafkan tante. Tante tidak bisa menjaga Hara dengan baik.
Selama ini Hara mengidap Glioblastoma, penyakit kanker stadium empat. Ia
diperkirakan bertahan hidup tidak lama lagi. Dan disisa hidupnya ini, ia bertemu
dengan kamu. Hara cerita semua tentang Mourin. Setelah ini tante minta Mourin ikut
tante ke rumah Hara, ya?” ajak ibu Hara.

Selama perjalanan menuju rumah Hara, Mourin hanya bisa terdiam menangis
sembari memikirkan Hara yang di semasa hidupnya sangat berarti baginya. Hanya
Hara lah yang bisa meyakinkan hati Mourin untuk sadar akan arti kehidupan. Mourin
selalu mengingat perkataan Hara yang diucapkan setiap pagi di kamar tempat Mourin
dirawat . Kini Mourin mengerti apa yang dimaksud perkataan Hara. Ternyata orang
yang sedang ada pada ujung hidupnya adalah Hara.

Setelah Mourin sampai di rumah Hara, ia masuk ke kamar Hara. Tangis


Mourin pun semakin membara. Melihat foto-fotonya ditempel di dinding kamar Hara.
Bahkan foto masa kecil Mourin dan Hara saat sedang makan es krim di Festival
Musim Panas Tokyo dahulu. Tak di sangka selama ini, ternyata benar apa yang
Mourin pernah katakan. Ia merasa tidak asing dengan Hara. Karena ternyata Hara
adalah teman masa kecilnya di Tokyo.

Anda mungkin juga menyukai