Anda di halaman 1dari 99

Barenti Pasrah

Antologi Puisi Kemanusiaan


Pekerja Migran Indonesia dan
Pekerja Rumah Tangga
BARENTI PASRAH
Antologi Puisi Kemanusiaan
Pekerja Migran Indonesia dan Pekerja Rumah Tangga

© JPIT 2021

Jaringan Perempuan Indonesia Timur


Jalan W.J Lalamentik, RT 29 / RW 06
Kelurahan Oebufu, Kecamatan Oebobo
Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur
perkumpulanjpit@gmail.com
https://perkumpulanjpit.blogspot.com
https://www.facebook.com/jepit.jepit.p

Desain isi:
Tim Kreatif Alinea Baru

Foto ilustrasi cover: Armando Soriano


Desain warna ilustrasi cover: Remon Happy Nara Kaha

ISBN 978-602-6260-55-0

printed by: pertjetakan djogdjakarta


www.bikinbukubagus.com
Buku ini didedikasikan kepada:
Segenap Pekerja Migran Indonesia
dan Pekerja Rumah Tangga
KATA PENGANTAR

Syukur tak terhingga kami panjatkan kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas pertolongan-Nya
sehingga Buku Barenti Pasrah, Antologi Puisi Kemanusiaan Pekerja Migran Indonesia dan Pekerja
Rumah Tangga bisa ada di tangan pembaca sekalian. Antologi puisi ini lahir dari berbagai
kegelisahan tentang kondisi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan Pekerja Rumah Tangga (PRT) baik di
luar negeri maupun dalam negeri. Cerita-cerita dari para PMI dan PRT tentang bagaimana mereka
mengalami kekerasan seksual, fisik, verbal, psikis, dan bekerja overtime dengan upah rendah
menunjukkan bahwa mereka sangat rentan. Pemenuhan hak-hak pekerja terutama perempuan
seperti upah layak, dan perlindungan belum sungguh-sungguh dilakukan oleh negara. Misalnya,
perjuangan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang
sudah mangkrak selama hampir 17 di DPR. Padahal, baik PMI maupun PRT adalah para penonggak
ekomomi negara. Oleh karena itu, negara perlu bertanggung jawab.

Indonesia saat ini menempati urutan kedua terbesar di Asia Tenggara sebagai negara pengirim
pekerja migran terbanyak setelah Myanmar. Menurut laporan World Bank pada tahun 2015, Indonesia
mengirim 18% tenaga kerja di ASEAN. Tahun 2017, Wold Bank kembali merilis sebuah laporan
“Pekerja Global Indonesia: Antara Peluang dan Risiko” yang menyebutkan bahwa lebih dari sembilan
juta PMI bekerja di luar negeri. Malaysia sebagai negara tujuan utama dengan komposisi PMI
sebanyak 55%. Jenis pekerjaan PMI terbanyak adalah PRT sebanyak 32%. Selain data ini, World Bank
juga melaporkan bahwa ada sekitar 4,3 juta PMI non-prosedural yang bekerja di luar negeri. Di
Indonesia sendiri, jumlah PRT mencapai 4,2 juta dan rata-rata adalah perempuan. Data ini didasarkan
pada hasil survei yang dilakukan oleh tim Organisasi Buruh Internasional dan Universitas Indonesia
pada tahun 2015. Khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT), tenaga kerja usia produktif direkrut dan
dikirim sebagai PRT maupun PMI baik masih di dalam dan luar wilayah Indonesia. Pada tahun 2015
NTT ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja sebagai daerah darurat perdagangan orang berdasarkan
laporan Bareskrim Polri. Hal ini sejalan dengan kasus-kasus kekerasan bahkan kematian yang dialami
oleh para tenaga kerja asal NTT. Berdasarkan data Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT),
terhitung sejak Januari 2013 hingga Desember 2020, jumlah tenaga kerja asal NTT yang meninggal
sebanyak 480 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 445 orang meninggal dunia di Malaysia.

Keprihatinan akan hal-hal tersebut di atas mendorong JPIT pada pertengahan tahun 2020
membuka ruang bagi korban/penyintas, anggota keluarganya, serta masyarakat sipil untuk
menyuarakan berbagai ketidakadilan dan penindasan yang dialami oleh para PMI dan PRT melalui
puisi. Ternyata undangan ini mendapatkan respon yang cukup besar dari masyarakat luas. Sampai
pada akhir batas waktu pengiriman puisi, kami menerima 238 puisi yang terdiri dari 143 puisi bertema
PMI, dan 95 bertemakan PRT. Puisi-puisi tersebut diseleksi dengan metode blind review oleh dua
orang penyeleksi yaitu Pankratia Mete Seda untuk puisi bertemakan PMI dan Aura Asmaradana untuk
puisi bertemakan PRT. Sebanyak 50 puisi terpilih dipublikasikan melalui buku antologi puisi ini.
Dalam antologi puisi ini, para penulis dengan cerdas menuangkan bait-bait puisi yang
menggambarkan ungkapan hati, perjuangan, dan harapan kita bersama untuk mengakhiri segala
bentuk kekerasan dan eksploitasi terhadap PMI dan PRT. Ketika membaca puisi-puisi ini, kita seakan
dibuat masuk ke dalam dunia yang membawa para PMI dan PRTseolah-olah menyerah dan pasrah
terhadap kepahitan hidup. Namun, pada saat yang sama, kita juga akan menemukan bahwa ada
harapan bagi sebuah perubahan yang lebih baik jika kita semua menolak untuk berputus asa dan
terus membangun gerak bersama. Oleh karena itulah buku ini diberi judul Barenti (Berhenti) Pasrah,
sebuah seruan untuk menyemangati perjuangan bersama para PMI dan PRT.

Selaras dengan tujuan awal kami maka buku ini secara khusus kami dedikasikan untuk para
korban/penyintas dan keluarganya sebagai ruang agar kisah pengalaman penindasan, kekerasan dan
ketidakadilan yang mereka alami dapat didengar. Suara-suara ini diharapkan akan menggugah hati
serta membangun kesadaran seluruh masyarakat yang menggunakan jasa para pekerja baik itu PMI
dan PRT serta menggugat para pengambil kebijakan untuk lebih serius memikirkan dan
menghasilkan tata aturan perlindungan.

Buku ini dapat sampai di tangan pembaca berkat kerja keras berbagai pihak yang harus kami
apresiasi. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua penulis puisi yang telah
menyumbangkan karya mereka. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dua penyeleksi karya
puisi yang telah bersedia membaca ratusan puisi yang masuk dan memberikan penilaian secara
objektif. Sebelum buku ini diterbitkan, kami juga telah meminta sejumlah teman untuk membaca dan
memberikan tanggapan. Beberapa sahabat juga membantu kami dengan memberikan endorsement
dan juga menyumbangkan karya ilustrasi yang makin memperkuat pesan yang ingin disampaikan
dalam buku ini. Untuk kebaikan hati dan masukan-masukan yang berharga kami sampaikan terima
kasih. Dalam mengerjakan pengumpulan dan penerbitan buku ini, kami didukung oleh sahabat-
sahabat kami di Kerk in Actie, yaitu Badan Misi Gereja Protestan di Belanda (PKN) yang membantu
kami dengan biaya pengerjaan dan penerbitan. Tanpa dukungan dan kebaikan hati ini, upaya ini pasti
masih merupakan cita-cita. Untuk itu terima kasih yang tulus kami sampaikan.

Harapan kami, semoga Buku Antologi Puisi Kemanusiaan ini mampu menembus ke setiap
relung hati para pembacanya. Dengan demikian, semua orang dapat memahami dan turut
berpartisipasi dalam usaha menegakkan keadilan bagi para korban/penyintas dan semua orang yang
sedang berjuang untuk menyuarakan ketidakadilan yang sedang dialami. Kami menyadari bahwa
dalam penulisan ini juga terdapat kekurangan, oleh karena itu kami menerima usul dan saran dari
pembaca sekalian. Sekian dan terima kasih.

Kupang, Mei 2021


Panitia Buku Antologi Puisi
daftar isi

UCAPAN TERIMA KASIH 4

KATA PENGANTAR 5

BAGIAN I PUISI PERDAGANGAN MANUSIA 13

Mereka Lupa Pada Generasi


Adriana Ngailu 15

Senja Terakhir
Afrinda Anastasia Agusti 16

Komite Agung Kemanusiaan


Anastasia Kinanti Putri 17

Sarinem
Batler Fernando Situmorang 18

Perempuan di Sumur Yakob


Beni Wego 20

Nona dan Tuan


Chanty Tri Lestari 21

Telanjang
Christian Kali 23

Langkahku
Dortia Abanat 25

Pulang: Adelina Sau


Dunstan M. Obe 26

Kalimat Tanya yang Paling Menyakitkan untuk Ibu


Eka Putri Esterina Rassi 28

Ziarah Kita Bukan GULAG Bukan ROMUSA


Fajar Santoadi 30

Vulnerata
Giovani A. L. Arum 32

Adelina yang Fana


Giovani A. L. Arum 33

Di Pasar Ria
Ida Bagus Uttarayana Rake Sandjaja 34

Kisah Gadis Barang


Indah Harwati 36
Nilai Manusia Setengah Rupiah
Luciano Soares 38

Pejuang dari Tiongkok, Menanam Padi dari Darah


Joshua I. W. Simanungkalit 40

Balada Rusmini yang Tak Bisa Kembali


Lindung Ratwiawan 42

Sang Senorita
Maria Anita Dapa Roka 44

Perdagangan Manusia
Marteda Babu 45

Wajah-Wajah Lugu yang Menelan Cerita Duka Lara


Meidi Chandra 46

Di Bumi Flobamorata
Mery Kolimon 48

Beta Bukan Dagangan


Nadia Manuputty 50

Mini, Sari, dan lain-lain


Naufal Waliyyuddin Hakim 52

Kargo El Tari Kupang, NTT


Paoina Bara Pa 54

Tak Semua
Padel M. Rallie Rivaldy 56

Pasar Malam
Rama Kurnia Santosa 57

Tolong, Beri Daku Perlindungan


Sonya Herita W. Isu 58

Stanza Sedu
Tiara Ragat 60

Titian Langkah
Yulia Endang 61

BAGIAN II PUISI PEKERJA RUMAH TANGGA 63

Pekerja Bertangan Seribu


Adriana Keraf 65

Pekerja Rumah Tangga


Aidelina Fitriani 66
Mimpi yang Terenggut
Yani Asbanu 67

Beri Judul?
Angelo Cefreeco Dirpa Syukur 68

Elegi Roti Basi


Annisa Citra Kasih Ayu Savitri 70

Berapa Jam Hari Ini?


Cici Ndiwa 72

Bilur yang Memberi Hidup


David James Imanul Mage 73

Punggung Merenta
Dormauli Justina 74

Kurus Kering Tubuh Bibi


Faizal Ramadhan Susanto 76

Ibu Tidak Lagi di Dapur


Hyan Godho 78

Sang Jongos
Henry Eldalience Medah 80

Harum Santan Pandan


Jauharul Habibi 81

Demi Malaikatku
Lina Triwahyuni 82

Cakar Gagak
Mustika 83

Untuk Sebuah Kehidupan


Maya Helena Nitbani 84

Disayat Belati
Nadiah Hamidah 86

Mau Sampai Kapan


Nova Lianur Fitriani 87

Kaka Nona Kami


Novianti Harlenci B 88

Di Sebuah Rumah
Quidora Soera 90

Rintihan yang Bertuan


Restu Hidayat 91

TKW
Reynaldo Agung Saputra 92
Mimpi Hidup Layak Tak Pernah Sampai
Rosalia Kailo 93

Surti, Nenek Rumah Tangga Sebatang Kara


Reza Fahlevi 94

Panggil Kami Pekerja


Agustin, Juandini, Lia, Mega, Yuli 96

Hanaf
Yuliana M. Benu 97

Ingatan Tentang Kakak


Zerlinda Christine Aldira Sanam 98

BIOGRAFI PENULIS 99
Bagian I
Puisi Pekerja Migran Indonesia
Mereka Lupa Pada Generasi
Adriana Ngailu

Daging rahimnya telah hilang

Mengoyak pelukan yang tak lagi hangat dan tenang

Sepi-sepi mencabik setiap ruang

Memaksa ingatan untuk dikenang

Koran-koran laku saat kargo bandara ramai

Pun demikian dengan peti-peti

Ah, dunia seperti selalu menertawai

Seakan mengejek setiap suara yang bersorai

Bukan tentang dengki yang membara

Bukan tentang sunyi yang bergelora

Bukan tentang kehilangan yang tak bersuara

Tapi tentang penerus yang melara

Inangnya adalah korban

Pun turunannya juga merasakan

Perkara bukan saja tentang migran

Bukan saja tentang perdagangan

Bukan saja tentang merdekanya sebuah kebebasan

Tapi tentang merawat napas, mimpi, dan perjuangan

Dari para keluarga yang ditinggalkan

Mereka lupa pada generasi


Senja Terakhir
Afrinda Anastasia Agusti

Malam gelap yang penuh harap

Dalam sampan kecil tak beratap

Terombang-ambing di tengah lautan

Tanpa tahu arah tujuan

Tuan,

Ke mana lagi kukau bawa pergi

Yang kau beri hanya sebuah janji

Kekayaan diri bila kukembali

Demi menyambung hidup sanak famili

Tuan,

Apa ini tempat tujuan kita?

Kulihat mereka, tak ada yang utuh raganya

Tertidur pulas tanpa bola mata

Tergantung bagai tirai dengan tulang rusuk terbuka

Usus memburai, hanya itu yang tersisa

Akankah kuikut berbaring bersama mereka?

Tuan,

Izinkanku lepas senyum di ujung senja

Melambai dengan masa di batas cakrawala

Agar kubisa menitip pesan pada udara

Tuk berbisik pada mereka yang di sana

Setelah ini kalian kan hidup bahagia


Komite Agung Kemanusiaan
Anastasia Kinanti Putri

Kala itu

Jalan pikiran tak lagi berkawan

Berpeluh memikul asa

Menjemput binasa di depan mata

Hilang sudah harapan tentang masa depan

Berkelebat bayang-bayang nan menakutkan

Mencabik budi atas nama nurani

Demi solusi yang diburu dengan gigih berani

Hingga sang ksatria penanggung derita datang memberi nyawa

Membius para manusia dengan berlimpah harta

Namun, realita hanya umpan bagi para penguasa nafsu belaka

Menciptakan bingkai bangkai hidup yang kini tampak menjijikkan

Ternyata semua ini bukanlah mimpi

Ribuan harga diri di bumi ini kerap dianggap tak berarti

Sudah, jangan mudah percaya pada sang ksatria

Asal masih hidup, energi pun masih cukup

Arungi rezeki yang berlabel legal

Supaya kau tak perlu terjerat pasal

Dan singkirkanlah segala rupa cemas

Sebab kolega dan keluarga siap bersuara keras

Menjadi komite agung kemanusiaan yang tegas

Untuk memusnahkan serba-serbi perangkap keji

Agar tak ada lagi transaksi jual beli diri


Sarinem
Batler Fernando Situmorang

Dia mengikuti temannya

Dengan mimpi bisa mengubah nasib

Untuk suatu pekerjaan baru

Yang akan digeluti Sarinem nantinya

Semangat mematuhi

Setiap saran dari temannya

Meski tidak tahu untuk jadi apa

Atau tidak tahu harus seperti apa

Dia menyerahkan harapannya

Pada temannya yang dia kenal di luar sana

Sarinem pun menjadi bagian dari rencana temannya itu

Banyak diterima Sarinem

Dalam satu pertunjukan akbar

Ketika kerumunan berteriak

Dan meminta lebih banyak

Semua ketegangan

Dialami Sarinem malang itu

Dari stres tak berujung

Menjadi tugas yang melelahkan

Mimpi terbang dan melonjak

Harapan disambar petir yang nyasar

Jatuh ke jantung harapan Sarinem

Sarinem mengalami semua rasa sakit dengan air mata diam

Harapannya tidak tergerak selama bertahun-tahun

Tidak ada yang bisa sebanding dengan usahanya yang tak terbatas

Suatu pagi matahari bersinar

Mata tidak pernah terbuka


Dan tidak ada kata perpisahan yang menyedihkan

Dan di malam itu

Temannya telah menemukan Sarinem lain

Untuk mengulangi pertunjukan


Perempuan di Sumur Yakob*
Beni Wego

Ia datang
Dituntun dahaga dari rumah
Ke sumur leluhurnya yang telah berpulang
Dan terus mengalir dalam kanal-kanal bumi

Ia datang
Dituntun rindu dari rumah
Merembesi kota dan padang yang dahaga
Mencari leluhur dalam sunyi

Ia datang
Diterangi cahaya leluhur
Menapak jejak sang Guru di kedalaman
Sumur jiwa, yang senantiasa membatin semesta

Ia datang
Dituntun sang Guru.
Ya, Air Kehidupan
Meresapi semesta, dan membasuhnya dengan darah-Nya sendiri
Yang merampung setiap perjalanan

Dari waktu ke waktu


Dari pulau ke pulau, dari rumah ke rumah
Dan yang paling sejati: dari hati ke hati
Yang senantiasa cahya, sekalipun

Di jalan dan lorong perdagangan anak manusia


Di bandar-bandar judi kaum berpundi
Yang menolak datang, dan menimba dari leluhur
Kecuali perempuan di sumur Jakob

Lake Charles, USA, 31 Juli 2020


Terinspirasi dari Injil Yohanes 4:4-42
Nona dan Tuan
Chanty Tri Lestari

Paginya nona telah datang

Ditambah sinar kuning keemasan

Diajaklah nona ke kota

Dikira nona nasib diri kan mujur

Nyatanya diri dikasih tuan

Tuk jadi pelayan nafsu para bajingan

2020
Telanjang
Christian Kali

Sebab pergi menjelma petaka


Tiada cinta bermegah
Lihat tubuh itu, manusia!

Terbujur kaku
Luka membekas nurani
Air mata lunas membayar kepulangan

Telanjang tubuh dan martabat manusia


Diri berharga semata uang

Betapa sukar menghitung angin bekerja


Menerbangkan kesedihan ke tanah leluhur
1
Disambut kecut mekar bunga Sepe
Di hadapan kehidupan, siapa berhak merumuskan kematian?

Manusia memang tidak tahu malu!


Merebut rezeki dengan cara kerja ular
Telanjangi kemanusiaan manusia

Terbukalah matamu melihat


Kenakan pakaian kemuliaan dan kehormatan

Atambua, 2020

1
Flamboyan
Pelancong
Dhani Lahire Awan

Telah sampai tapak kaki kami, di negeri-negeri tetangga,


Malaysia, Brunei, Singapura. Tujuan wisata orang-orang kaya, menghabiskan berlembar-lembar rupiah
yang tak mereka belanjakan di negeri sendiri. Sementara tapak kaki kami kusam, retak dan pecah.
Berharap akan kembali lembab dan basah meski karena luka dan nanah.

Telah habis keringat kami, di negeri-negeri yang jauh dari mimpi. Taiwan, Jepang, Timur Tengah, yang
membuat kami terengah. Karena kami adalah budak negeri, yang dijual saudara sendiri.

Telah tertambat organ tubuh kami, di negeri-negeri Eropa,


penjunjung hak asasi. Tanpa izin, tanpa kompromi. Berpindah pada tubuh-tubuh yang mampu
membeli. Sementara tubuh kami tak berharga lagi.

5.000 lebih korban dari 2016 sampai 2020


menjadi prestasi sindikat perdagangan, mafia di negeri sendiri, penyalur kerja tak resmi, dan rumah
pelampiasan birahi.
Mereka tetap mengangkang, di tengah gentingnya hari dunia anti perdagangan orang.

Kami, hanyalah perempuan-perempuan miskin, yang tetap ingin anak-anak kami melahap buku,
bersepatu, dan minum susu. Kami tak mendaftar untuk dieksploitasi, dicabuli, kerja rodi, mutilasi

Kami adalah korban perizinan bodong, bukan pelancong.

Semarang, Juli 2020


Langkahku
Dortia Abanat

Langkah itu tiba-tiba saja berhenti

Berbagai arah membuatku tegak berdiri

Tak tahu ke mana harus pergi

Merasa semua tujuan itu terhilang

Haruskah aku berhenti melangkah?

Walaupun aku cacat

Namun, aku tak mungkin menyerah

Sekalipun sekitarku membenciku

Aku tak lelah untuk berusaha

Walaupun orang katakan sia-sia

Bagiku semuanya harus bisa

Dengan kekuatanku yang tersisa


Pulang: Adelina Sau
Dunstan M. Obe

2
Ini tubuh penuh luka siapa punya?

Kehilangan memadamkan kegembiraan di sekelilingku.


Lebat hujan mengguyur lorong tenggorokanku-segala kesedihan menyerahkan dirinya pada kepergian.
Sejarah melebat di mata orang-orang yang menaruh curiga dan menghapus pertanyaan yang lama
kita kuliti dengan kesabaran. Sementara kepastian bersembunyi di antara kenyataan dan kerapuhan
kita
menerimanya.

Langit membebat lukamu dengan biru yang cemas memelihara ingatan pahit. Jarum bersingkut
mencari kemarau yang melubangi dadamu, menjahit semesta yang kauciptakan dengan telapakmu
sendiri. Telapakmu kota yang enggan menentukan jalan menuju masa depan, menghentikan orang-
orang di persimpangan-
persimpangan waktu, menunda perjalanan yang retak termakan pertanyaan-pertanyaan tentang
bahagia.

Maut menjilati jiwamu yang pasrah menemui ajal.


Menjemputmu dengan rumit bahasa pemakaman rumit.
Menggenggam tanganmu yang karat terpaku nelangsa. Namun, kau telah menemukan cara paling
rumit menjadi martir. Fasih berjalan menyusuri takdir dengan langkah kecewa. Sebab tak ada yang
bertahan pada kesedihanmu, meski kepulangan selalu
menyatukan kesepian kita bersama.

Kaulah perempuan berahim duka. Menyelamatkan


perpisahan-perpisahan yang tak terhitung jumlahnya. Di atas
bibirmu terbentang jalan pulang dan sekelumit masa lalu.
Matamu belenggu jarak. Menyeret kenangan menuju cuaca diriku. Barangkali peti punya jawaban
sederhana. Menyimpan sayatan-sayatan yang berdesakan mencari surga. Kau masih rumah. Kaki
bagi waktu. Memayungi luka yang menghujani kota ini.

Kupang, 2020

2
Salah satu penggalan puisi Chairil Anwar
Kalimat Tanya yang
Paling Menyakitkan untuk Ibu
Eka Putri Esterina Rassi

Oh lihat ibu pertiwi

Tiap hari bersusah hati

Menyambut pulang banyak peti mati

Yang diterbangkan dengan hati-hati

Putra-putri yang telah mati

Putra-putri yang dulu sedia pergi

Berangkat demi sepiring nasi

Berjuang demi mendapat gaji

Bagaimana ini, Ibu?

Yang kami punya hanya seribu-dua ribu

Yang tersisa hanya gelas-gelas berdebu

Madu, dan tungku-tungku berabu

Bagaimana ini, Ibu?

Malam-malam tangis kami beradu

Berlutut untuk anak kami yang mengadu

Hari-harinya diburu serdadu

Ibu, hati kami dibalut duka lara

Seluas laut yang dilempari jala

Sebanyak angka jarak yang memisahkan mata

Sekuat pertahanan batas-batas negara

Kelak jika berarti selamanya

Saat-saat kala hari baik tiba

Singsingkan baju kami sedia,

Hingga anak tak harus mati sia-sia

Pun tinggallah, hiduplah dari perut ibu yang bahagia


Kupang, 21 Juli 2020
Ziarah Kita Bukan GULAG Bukan ROMUSA
Fajar Santoadi

Sejak dulu kita paham

Bekal ziarah kita bertahun-tahun ini kemiskinan

Tapi negara alpa menyiasat dari mana kemiskinan ini tumbuh dan bagaimana ia menjalar

Pura-pura tak paham mengapa ia seolah kutuk tak kunjung


sembuh

Pahlawan devisa yang kauwartakan padaku di koran-koran itu

Kukembalikan padamu

Ambillah, simpan di bawah kursimu

Aku malu

Anggap saja aku Tagore yang dulu mengantar pulang gelar satria kepada ratu

Sebagai protes atas murahnya harga jelata kala itu

Jelatalah takdirku

Biarlah kita sama melata

Setiap kali kutilik lagi jalan kita ini

Ia belum pernah menjelma perayaan

Bertahun-tahun kita bertafakur

Menyambut panen

Dia yang lazimnya datang setiap musim

Tapi paceklik lebih tekun mengintai seperti pencuri

Apa sebenarnya buah-buah ziarah kita ini?

Dengan hati-hati dan rasa payah ini

Kupungut sedikit-sedikit cerita dari sana-sini

Yang kuharap manisnya

Kadangkala kusangkal perihnya

Di sela-sela peti mati yang pulang bertubi-tubi

Kuhibur hatiku, bahwa rantau kita ini bukan GULAG di VOLKUTA

Atau ROMUSA di tanah kita dulu


Atau kerja paksa di BOVEN DIGUL atau PULAU BURU

Jalan kita ini mengasah iman yang pasrah

Di rumah-rumah yang kita tak punya kuncinya

Di telepon genggam kita yang dirampas

Dalam rindu yang kita simpan bertahun-tahun

Di barak-barak yang terjepit di kaki bangunan belum selesai

Di pabrik-pabrik yang terus mengaum

Di kebun-kebun yang tersembunyi dari keramaian

Dalam persembunyian kita di hutan-hutan

Di depot imigrasi dan seragam warna oranye

Dalam tubuh kita yang begitu cepat renta

Ziarah kita hampir niscaya berakhir tanpa pensiun

Petaling Jaya, 7.6.2020

Vulnerata
Giovani A. L. Arum

Tubuhmu ranting

Rapuh

Yang dipatahkan

Tangan

Dingin pengkhianatan

SoE, 2020
3
Adelina yang Fana
Giovani A. L. Arum

4
Uis Neno menjemput jiwamu
5
Uis Pah memeluk jasadmu
Telah kauserahkan tubuhmu dalam amanat sirih

Yang layu terkulai diremuk geligi kekerasan

Merah sirih adalah darah martirmu

Merah sirih adalah luka-cintamu

Gugus luka telah memahkotai peta tubuhmu

Konon, tubuh itu tersusun dari doa-doa leluhur

Yang diberkati dengan air baptis dan santan kelapa

Tokoh Kitab Suci yang pernah dipapah Abraham,

Menemani tidur dinginmu

Bersama seekor anjing yang menikmati

Bunga-bunga luka yang memekarkan nanah

Di sekujur tubuh via dolorosamu

Telah kauserahkan suara hati dan imanmu

Pada duka-cinta yang menjerat tubuhmu

Yang fana dan terlunta

Percayalah, Adelinaku yang malang

Luka-lukamu akan memekarkan tulah


Penfui, 2020

3
Adelina Sau adalah korban perdagangan manusia asal Timor-NTT yang mengalami kekerasan dan meninggal di
Malaysia, 11 Februari 2018( https://www.kompas.com/global/read/2020/09/22/222307570/majikan-penyiksa-tki-
adelina-sau-dibebaskan-indonesia-akan-mencari?page=all). Majikannya, S. Ambika, divonis bebas dengan sistem
peradilan yang janggal.
4
Uis Neno dari Uab Meto (bahasa lokal orang Timor), artinya Tuhan di langit.
5
Uis Pah dari Uab Meto, artinya Tuhan di bumi.
Di Pasar Ria
Ida Bagus Uttarayana Rake Sandjaja

Pada sebuah minggu raya

Aku dan bunda pergi ke pasar ria

“Ramai sekali bunda,” kataku riang

Berdesak kami, lalu lalang di antara kandang

Lenguh mengeluh peluh, kutanya bunda itu apa

Sambil menutup mataku bunda berkata, “Itu manusia”


Menari Bersama Lontar
Imbran Batelemba Bonde

Tuhan dan semesta bersepakat menghadirkanmu

Mendekap sembilan bulan dalam kandungan ibu

Dalam rahim kau bertumbuh bersama tarian cinta dan rindu

Sebelum nanti bumi dan manusia menjadi kawanmu

Di tempat kau berpijak, kau menari dengan lontar

Berlari bersama kuda di padang hijau indah nan sunyi

Tetumbuhan dari tanahmu nan suci tak membuat engkau lapar

Pemilik rahim mencintaimu bukan hanya sekadar bunyi

Musim berlalu banyak hal yang berubah tak dinyana

Dahulu kau adalah “beta” tapi sekarang kau menjadi dia

Hakmu dirampas mereka, “beta” tinggal jauh terpencil

Terjual dalam gerakan keserakahan orang yang berjiwa kerdil

Nyong dan nona kamu tetap “beta”

Kau lahir dalam kesakralan semesta dan pencipta

Si jiwa kecil tak berhak menjualmu di seberang lautan jauh di sana

Lontar, kuda, jagung, kain tenun menunggumu menari bersama

Tanahmu cukup untuk menuntunmu hingga tua!


Kisah Gadis Barang
Indah Harwati

Sungguhlah manis kidung pemangsa

Menarik hati yang tengah gundah tak tentu arah

Panca indra enggan pula kerja sama

Hanya tunduk mengikuti langkah

Ibu, Ayah, jangan terlalu tinggi menggantungkan harap kalian

Kami takut tangan ini tak sampai

Gadis kebanggaan kalian sudah jadi barang

Dipegang, dicengkeram, dan dipajang setengah telanjang

Banyak anak tapi entah siapa ayahnya

Kalah mulia dari seekor angsa

Bernapas pun terasa hina

Hingga dedaunan yang gugur ikut memalingkan wajah mereka

Salah siapa ini, ya Tuhan

Apakah kami yang terlalu gila harta?

Apakah mereka kaum biadab! Yang tak kenal rasa kemanusiaan

Atau ini yang disebut-sebut neraka dunia?

Kami tenggelam dalam ribuan pertanyaan

Kami mati langkah dalam perantauan

Terpenjara di balik bangunan berlampu remang

Tersiksa di bawah gelas-gelas minuman

Mungkin suatu saat akan ada jalan keluar

Walaupun kenyataannya takkan bisa

Setidaknya hati ini sedikit tenang lewat khayalan

Ya, khayalan
Nilai Manusia Setengah Rupiah
Luciano Soares

Sirih pinang dan cinta beramplop di bawah meja

Nilai manusia setengah rupiah

Di tanah yang begitu berlimpah

Ada marmer, ada cendana, dan ada cengkeh

Namun, itu semua bukan untuk kami

Nasib kami terombang ambing arus Pukuafu,

Warna-warni penderitaan bak Danau Kelimutu

Terkocar-kacir bagai kuda Sandel Wood

Di padang safana, tubuh disiksa majikan

Nahkodaku hobi berdusta, janji hanya narasi

Yang tak seindah kolam susu

Moratorium dan patahkan kaki nyatanya lidah tak bertulang

Sering berkicau, namun lupa introspeksi diri

Di tanahku ini semua bisa menjadi pembeli dan penjual

Dari tokoh agama, pemerintah, maupun kami sendiri

Ini terjadi terus-menerus dengan nyata

Dari nahkoda yang dulu sampai sekarang

Nahkoda kami menggagas lagi


6
Provinsi kelor, sophia , dan pariwisata

Tapi itu bukan untuk kami

Dan kami tergusur dan tersingkir

Kata-kata kami telah habis

Untuk bertanya sebab nasib kami

Bukan kata-kata tapi nyawa dari anak negeri

Yang mencari hidup bukan mati di negeri orang

6
Sophia adalah penamaan (label) oleh pemerintah lokal terhadap minuman tradisional khas NTT yang biasanya disebut
sopi.
Pejuang dari Tiongkok,
Menanam Padi dari Darah
Joshua I.W. Simanungkalit

Kisah Katei bermigrasi ke negeri Tiongkok sangat memilukan. Ia dibunuh pekan lalu karena
mengambil sepiring nasi tanpa izin atasan. Katanya malam itu bukan jatahnya untuk makan.

Ia tidak berhak makan, raganya tidak berhak menerimanya, jiwa nya sudah terombang-ambing
ribuan kilometer dari rumahnya.

Sementara itu, istrinya masih menanam padi di sawah. Anehnya, tanah di sana selalu berwarna
merah darah. Seperti amarah istri nya yang setiap hari mengutuki diri dan anak-anaknya karena tak
pernah melarang Katei untuk pergi melancong.

Anak-anaknya saat ini terluka. Kehilangan suka yang setahun lamanya. Bahkan mungkin tahun-tahun
depan akan penuh duka, ayahnya wafat di Laut China Selatan. Jasadnya mungkin telah termakan hiu
atau menjadi tempat hidup karang-karang. Ia memikirkan padi-padi hasil panen bersama ibunya,
warnanya merah padahal bukan beras merah.

Di kemelut awan dan ombak yang besar, mata Katei masih sayup-sayup melihat kapal menjauh.
Matanya menangis. Bercampur darah dan air. Tangannya meraih kapal itu dari kejauhan, tampak
teman-temannya menangisinya, bertempur kembali dengan tindasan-tindasan dan pelanggaran hak
asasi manusia. Matanya menangis lagi, merindukan istri, anak-anak, dan impiannya
7
menjadi TKI , pahlawan devisa negara.

Saat ini, mataku juga merah melihat hasil panen yang aneh, sawah yang aneh, dan berita Katei yang
aneh. Bagaimana bisa manusia berhati iblis?

Saat ini, padi yang mereka tanam adalah buah pengorbanan Katei. Nasi yang aku makan tidak lagi
sama. Ada cerita penindasan besar yang harus diselesaikan. Bukan lagi hal yang remeh, lelucon tak
masuk akal. Selama kau masih makan nasi, darah akan terus
mengaliri setiap jumput yang kaulahap. Ia tak akan berubah
8
sampai HAM benar-benar ditegakkan.

7
Tenaga Kerja Indonesia.
8
Hak Asasi Manusia.
Balada Rusmini yang Tak Bisa Kembali
Lindung Ratwiawan

Rusmini hanya tanda bisa bagi siapa waktu telah tercuri

Ruang tersisa tak lebih penjara

Serangga yang menggelepar pada jaring laba-laba

Langit biru yang tergambar semula kian jauh tergenggam

Warna kelabu menyemai sedu harap tak sempat terucap

Pada telaga mata tergenang pedih

Rusmini hanya tanda bagi yang tak berdaya

Kemiskinan selalu pisau yang menajam cemas

Pada ujungnya menggaris mimpi yang bertepi entah

Pasti derita tak hanya igauan dari perut yang lapar

Pada perihnya selalu menggambar masa depan

Selalu saja ada yang menggambar

Warna-warna pelangi dengan kata-kata mewangi melati

Di negeri seberang semua mudah dicari

Di negeri seberang asa kan memekar mawar

Dan ternyata semua hanya cerita.

Hanya kelam terus membayang

Merebut keriangan yang tertinggal

Pada kembang-kembang mayang

Di sini Rusmini kehilangan keluguannya

Di sini Rusmini kecurian senyum ranumnya

Di sini Rusmini tak terhargai kemanusiaannya

Rusmini yang terluka sungguh tak berharga

Ada tangan-tangan tak berjiwa mempermainkan mimpinya

Rusmini ingin kembali pada cerita semula

Tembang sederhana yang mengalun di tepi senja


Dibawa angin yang selalu

Menyapanya bersama purnama

Selembar harap ini sampai entah kan menemu tepi

Melabuh semua getir dan letih yang mendera raga

Atau Rusmini hanya serupa piring dan gelas

Selalu rawan untuk pecah dan berkeping: apakah hanya diam jawabnya?

Malang, 30 Juli 2020


Sang Senorita
Maria Anita Dapa Roka

Perempuan bergaun merah


Menari dalam resah
Sesekali bibir mendesah
Mengecup madu dan racun lewat pori-pori yang telah basah
Antara gerah atau gelisah
Entahlah

Entah kapan dan bagaimana


Entah digiring atau menggiring
Berdiri melepas kemben di dada
Merayu dengan jiwa terguncang
Menahan nikmat dan dosa

Merayu di sudut ruang


Memungut koin, menahan canggung
Memohon dalam haru biru
Berharap kehabisan waktu

Ya, dia

Sang senorita
Perempuan penari berirama jeritan bayangan menganga
Bayangan gadis kecil bermahkotakan ilalang savana
Berkaki telanjang
Berlenggak-lenggok dengan latar mentari di atas karang
Bersenandung menimang senja di tepi tanjung
Memanggil jiwanya pulang
Perdagangan Manusia
Marteda Babu

Dalam diam dan kebisuan kau dibawa pergi

Dalam gejolak jiwa yang tersakiti kau dianiaya

Kau diperlakukan laksana barang hampa yang tak berharga

Andaikan Sang Tuhan dapat dijangkau seperti manusia

Tentu akan kuadukan derita yang kaualami

Wahai, kau yang terluka dan tersakiti!

Wahai, kau yang dinista dan disiksa!

Berserulah kepada Tuhanmu dan Tuhanku

Aku pun ingin merangkai sebait kata kepada-Nya

Dan akan kusampaikan kepada Sang Tuhan tentang deritamu!

Kepada angin yang berembus aku berteriak

Kepada matahari yang menyengat aku berseru

Kepada bumi tempat berpijak aku berharap

Kepada Langit junjunganku aku bertanya!

Di manakah hukum alam kepada si pembuat keji yang tak berhati?

Ah! Kini kau telah dibawa pergi entah ke mana!

Jejakmu pun seolah hilang ditelan semesta

Ada yang menangisi kepergianmu, hai sobat

Namun, ada yang tertawa seolah tiada salah

Karena kantongnya telah terisi dengan hargamu!

Mungkin aku tak bisa menjangkaumu

Mungkin aku tak bisa menatap dan memelukmu

Dan mungkin aku tak bisa memberikan senyum yang kaudambakan

Namun, aku akan berdoa kepada Sang Tuhan

Agar Ia memelukmu dalam Kasih-Nya yang tak berujung


SoE, 21 Juni 2020
Wajah-wajah Lugu
yang Menelan Cerita Duka Lara
Meidi Chandra

Nun jauh dari desa

Wajah-wajah lugu datang ke kota

Dijanjikan kerja dan hidup bahagia

Bergelimang mimpi kelak cita jadi nyata

Tapi kelam tak sadar dibawanya serta

Dalam usia belia, jalan hitam siap memangsa

Di kota nasib baik tak jua tiba

Janji-janji lenyap di udara

Bersama semu mimpi dirampas paksa

Ditelan buas keras hidup penuh duka

Tak terbayangkan usia belia berujung nestapa

Di sosial media mereka dijaja

Kecantikan, kemolekan, keluguan ada di sana

Di beranda telanjang semua mata

Bebas menatap menunjuk pilih siapa

Lalu terbangkan puluhan juta

Berakhir di ruang syahwat penuh dosa

Tubuh-tubuh

Mengguncang langit ketujuh

Korban-korban terus bertambah dan terjatuh

Dalam lubang sengap penuh perangkap

Menjerat mereka yang datang membawa harap

Masa depan gemilang berbalut ratap

Nun jauh dari ingar berita

Wajah-wajah lugu itu menelan cerita

Segala duka lara


Anak manusia

Tangerang, 30 Juli 2020


9
Di Bumi Flobamorata
Mery Kolimon

Di bumi Flobamorata

Dari kampung di gunung dan pantai

Imajinasi anak negeri sepanjang galah

Mimpi tak terurai

Ditindih beratnya beban hidup

Di bumi Flobamorata

Gambar diri tak tumbuh utuh

Mimpi masa kecil

Seakan pemanis bibir semata

Menghilang di suramnya horizon masa depan

Di pulau-pulau Flobamorata

Kisah perbudakan seperti lazim

Para penjahat menjarah hidup kaum papa

Orang miskin ditipu dan dijual

Dikirim ke negeri-negeri jauh

Sering kembali membawa uang

Tak jarang pulang dalam keranda tanpa nyawa

Di negeri Flobamorata

Kami satukan tekad

Mengangkat suara melawan kejahatan

Tak boleh lagi manusia diperbudak

Orang bukan barang yang dijual

Pembangunan mestinya pembebasan

Membuka belenggu yang melilit hidup manusia

Di bumi Flobamorata

9
Flobamorata artinya Flores, Sumba, Timor, Alor, Rote, dan Lembata. Nama-nama pulau di NTT.
Mari satukan visi

Anak-anak boleh bermimpi apa saja

Didukung untuk bertumbuh

Meraih cita

Menjadi manusia utuh

Awal Agustus 2020

Lika-liku Perdagangan Orang

Metusalak Selan

Oh ... tertipu karena janji manis

Saya merasa banyak perempuan yang direkrut

Tanpa sepengetahuan orang tua dan keluarga

Keluar tanpa membawa pakaian

Hanya memakai sepasang pakaian di tubuh

Awal bujukan tanpa berpikir

Berujung bukan legal tapi ilegal

Itulah ... yang manis jangan cepat ditelan

Tapi berpikirlah yang matang-matang

Maka bahasa yang manis akan berujung pahit

Peraturan diatur tahun demi tahun

Hanya dilepas saja semanis aturan

Tapi tidak pernah aturan itu sesuai keadilan

Ohh ... ya ... banyak korban adalah orang kecil


10
Sehingga yang susah bukan PT atau perekrut

Yang senang dan kaya adalah PT

Setiap tahun banyak korban yang berdatangan

Sampai keadilan tidak sesuai hukum

Sayanglah karena masyarakat tidak punya uang

Sama saja masyarakat jadi barang komoditi


10
Perseroan Terbatas. Dalam puisi ini PT menunjuk pada agen-agen perekrutan calon pekerja yang akan dikirimkan
ke luar negeri untuk bekerja.
Beta Bukan Dagangan
Nadia Manuputty

Hari gerimis, awan gelap

Beta meringis di tempat pengap

Bau tikus, sesak dan basah

Beta terkurung tanpa daya hanya pasrah

Beta di sini, di tempat ini

Terkurung dalam jeruji tak bisa bicara

Bukan karena salah apalagi dosa

Bau tikus, sesak dan basah

Menunggu tangan datang menjemput, dalam jeruji tanpa daya

Pipi tirus, tubuh kurus lemah tak berdaya

Oh, malangnya nasib siapa yang menggugat

Tanah terampas, hutan tergusur

Bangku sekolah, seolah jauh untuk direngkuh

Rumah kami tergadaikan oleh tengkulak-tengkulak keparat

Mereka datang tanpa diundang, karena kami tak punya pilihan

Mereka pergi tanpa diusir karena kami tak lagi berdaya

Bau tikus, sesak dan basah

Beta menunggu giliran tiba, tak ada makanan hanya ampas nasi

Gelap dan pengap memeluk erat, tak rela melepas beta beranjak

Jeruji tempat menggauli malam, rindu hati pada kampung halaman

Nasib oh nasib, tega dirimu mencampakkan diriku

Demi ringgit aku bertarung, meski kini aku terpasung

Menunggu palu menjatuhkan vonis

Ah, apa salah dan dosaku, berilah kami sedikit ruang

Berilah kami sepenggal harap, untuk hidup yang lebih layak

Jangan memberi tawaran apalagi angka

Karena beta bukan barang dagangan


Mini, Sari, dan lain-lain
Naufal Waliyyuddin Hakim

Mini, kau mengubah hidup

Berkatmu

Kutahu kepalaku dan kepala orang-orang

Salah tentangmu

Kau yang:

Pelacur

Sampah kota

Tabu

Dan boleh dilecehkan karena seorang amoral

Mini, orang-orang harus mengenal dirimu!

Gara-gara malam ini tak sengaja berteduh di warung kopi

Kau cerita tentang dirimu padaku

Aku jadi salah satu yang beruntung karena mengenalmu!

Kau baru 19 tahun

Sudah di kota ini sejak 2014

Pada awalnya kau terpenjara dua pilihan

Dibuat orangtuamu sendiri:

Dinikahi orang kaya untuk jadi istri muda?

Atau

Bekerja ke kota menjadi pegawai restoran?

Tak ada pilihan sekolah atau mengejar cita-cita

Hanya dua pilihan itu

Pegawai restoran

Tentu yang dipilih Mini

Tanpa tahu bahwa pegawai restoran ialah sinonim dari prostitusi ilegal

Mini ditipu

Mini tak bisa melawan


Mini jadi pelacur

Maaf! Bukan pelacur

Mini adalah perempuan yang dilacurkan

“Pedila” Itu sudah

Mini punya sahabat sesama pedila

Sari namanya

Mereka tiba bersama di kota ini

Sama-sama korban dari orangtua

yang memenjarakan mereka pada pilihan neraka

Bedanya Sari tak semuda Mini

Sari janda anak satu dan hari ini ialah ulang tahunnya yang ke-25

“Saya ini dan yang lain bukan tak ingin berhenti, Mas. Sudah sedari awal. Kami dijual keluarga.
Dipaksa jadi pelacur.
Terjerat lintah darat. Dipalak pamong praja. Mesti distigma orang pula. Kami di lingkaran setan ini,
Mas.”

Sari, orang-orang juga harus mengenal dirimu!

Mini dan Sari

Kisahmu mengubah hidup

Akan kukabarkan pada orang-orang

Bahwa kalian itu ada

Kalian manusia

Kalian korban

Bukan sampah

Mini, Sari, dan lain-lain

Suatu saat hari itu akan datang

Hari di mana kalian akan lebih berharga dari hari ini

Hari di mana kalian punya pilihan tak terbatas, sebagai manusia

Pasti!

2020
Kargo El Tari Kupang, NTT
Paoina Bara Pa

Tempat barang dan jenazah berdampingan dalam kereta dorong

Tempat kemanusiaan NTT terpapar kehinaan

Tempat PMI menuju rumah dari pertarungan hidup

Bertemu antara harapan dan fakta kematian

Ibu dan bayi meregang nyawa dalam tindisan perbudakan

Suami menyambut istri

Istri menyambut suami

Anak-anak menyambut mama

Anak menyambut papa

Anak menyambut mama papa

Tempat relawan bertemu dan mengasah kepedulian

Tempat menemukan jalur kejahatan terorganisir

Nama dipalsukan

Usia diubah

Tubuh, terjahit

Alasan ditemukan

Bertemu agen dan keluarga

Kargo, pintu kembali ke rumah dan kampung

Ruang syukur jasad yang dicinta kembali

Tempat: bulu kudukku merinding oleh aura kehilangan mereka

Mengasah spirit mencium aroma kebiadaban-menjual manusia

Siap menyambut: tengah malam, siang

Tubuh dilatih dengan roh kesediaan ... sebab ini kerelaan

Kargo, tempat mobil jenazah meraung-raung

Dengarlah, arahkan matamu para devisan kembali menutup mata

Di sana ada derita dan duka ...

Penghinaan, kekerasan, tanpa perlindungan di ranah domestik


Kargo ruang kerja kemanusiaan bagi para pemimpin

Ruang suci dari kekudusan Ilahi terjelma hingga tampak

Apakah engkau menoleh-Nya, memeluk realitas itu

Diri-Nya dan dirimu menjumpa di atas tubuh-tubuh kering

Oleh luka, sayatan, kelaparan, stigma, derita dan maut

Kargo lambang bukit tengkorak menjulang tinggi di atas langit Timor

Perdagangan orang sebuah kejahatan kemanusiaan otentik

Aroma kematian mereka ...

Menyebar ke sudut-sudut kamar, kampung, kantor, negara

Kosmis menatap ngeri ... kematian-kematian, jenazah-jenazah

Lasiana, 23 Juni 2018

Tak Semua
Padel M. Rallie Rivaldy

Tak semua yang duduk terbang hendak liburan

Kursi depan bilang karena anak-anak butuh sekolah

Yang belakang lanjut menyahut:


11
“Jagung bose sudah diganti beras!”;

Dan kursi sampingku bilang:


“Anjing Kintamani juga butuh dikasih makan”

Dari atas, yang duduk di kursi-kursi


lihat kapal barang membelah lautan
serupa pasir kemiri digaris kayu batang

Dari bawah, yang tidur dalam peti-peti


tidak bisa lihat pesawat menembus

Awan-awan putih serupa busa pinggir sungai


berbau logam disambar hajat

Tak semua yang terbaring dalam peti kemas barang pesanan

11
Jagung bose adalah salah pangan lokal di NTT yang diolah dari jagung pipil yang ditumbuk lalu dibuang kulit arinya.
Makanan tradisional ini biasanya dimasak dengan campuran kacang-kacangan dan juga sayuran.
Bagian terdepan memang beras dari Thailand
untuk ketahanan pangan

Yang di tengah memang barang canggih


bikinan anak-anak Bangladesh

Tapi, di paling belakang ada yang selalu ingin pulang


ke tanah kelahiran

2020
Pasar Malam
Rama Kurnia Santosa

Di pelipir dekat lampu merah

Berdiri sebuah tugu yang megah

Orang-orang mengantri dengan menjinjing bulan merah

Bulan-bulan yang ditukar oleh pedagang yang merebah.

Bulan yang merah terang

Ditukar dengan uang dan ranjang

Terlihat mata bulan yang linang

Melarungkan nyeri dari malam hingga siang

Orang-orang tergopoh berlarian

Mengejar bulan dan dibawanya ke hunian

Bulan dipaksa tidur sebelum fajar dan burung camar berdatangan

Bulan semakin merah dan darah semakin bertetesan

Di kota kami

Bulan tidak lebih dari nasi

Di sini kami bebas memakannya setiap hari

Membuangnya jika sudah basi

Bulan menangis setiap waktu

Jika bulan tidak ikut dalam saku

Bulan tidak bisa makan dan membeli susu

Bulan hampir mati setiap ia dipukul hingga biru

Di kota ini

Bulan dipaksa berdiri setiap hari

Hingga bulan menjadi merah karena nyeri sendi

Bulan, mati di sini

Bandung, Juli 2020

Terinspirasi dari perdagangan perempuan di Kota Bandung


Tolong, Beri Daku Perlindungan
Sonya Herita W. Isu

Pada siapa ku harus pinta?

Aku kembali pada kebisuan

Tekurung, berselimut kesedihan

Tentang betapa kejam sebuah kehidupan

Kenaifanlah yang memerihkan hati

Di jalanan, digaungkan seonggok iming-iming

Siapa tak mau? Berumah mewah, perut diisi kenyang?

Mata para laknat liar, lidahnya berselonjor menelusuri dada awam,

memangsa serakusnya

Kenikmatan telanjur menarik hati,


hingga dijual pun bukan perkara sulit

Hingga tiba di peraduan

Sukma meledak-ledak meronta diam-diam,


kala diperlakukan bak binatang

Hati siapa bak iblis itu? Derita memuncak

Mati seakan bingkisan yang tak kuasa ditolak

Adakah yang lebih terkoyak daripada sebuah nurani?

Ketika jiwa mesti sepilunya meringkuk-ringkuk

Meraba-raba setiap amarah yang bergejolak

Adalah isak tangis yang menjerit di sudut desa-desa,


dari mulut-mulut tua

Menangisi sebuah kepergian

Ulah siapa kalau bukan laknat?

Dari bandara ke bandara

Dari pelabuhan ke pelabuhan

Dari kota ke kota menjadi saksi bisu

Peti-peti mati rapi berjejer

Mereka pulang
Sebuah kematian dibayar tuntas, tanpa ikhlas

Kini, tinggallah aku menyibak-nyibak tanya di kepala

Mengorek-ngorek isi jawab di pembuangan sebuah waktu

Tentang apakah untuk mati saja,


harus ditipu dan dijual oleh para laknat?

Tentang apakah mata negeri kita terlalu kering


untuk sekadar menangisi isi peti mati?

Tentang mereka, kepada siapakah surat minta tolong hendak tiba?

Aku berkelana bersama sang angin,


menghirup kebutaan negeriku dengan teliti, busuk

Di sini kau lebih mudah menemukan gudang cacian

Daripada sebuah ruang tempat mengadu


tentang mereka yang dijualbelikan

Di sini suara minta tolong seakan haram,


tak ada artinya,
dibungkam

Persetan dengan kebijakan.


Stanza Sedu
Tiara Ragat

Melirik matamu adalah mengucapkan pulang pada kalut

Anggur kering di bawah selangkangan dan


pering di mercusuar dirimu

Tubuhmu yang pulang,


sebongkah diam yang gagal menuntaskan akrab

Tulang-tulang yang tertinggal antara dendam dan pasrah

“Di mana jantungnya, Bu?” kataku sambil membungkus dirimu

Ibu bilang dimakan jaruman berdasi yang saling menerkam

Dihunus pedang oleh gerangan muslihat

Ditembus kawanan yang tak habis pundi

Aku melempar tanya karena terperangkap sedu

Dan kejanggalan-kejanggalan yang masih abu

Bibir tipismu yang habis disebat

Kulit cantikmu merat

Tungkai kakimu yang terjerat

Deburan ombak dan desiran angin


hanyalah teman pulang seperjalanan

Jangan lupa ucapkan selamat tinggal

Pada manusia durjana dan stanza perjuangan yang ditinggal

Biarlah mereka menjadi loba di alam celaka, kawan

Kupang, 2020
Titian Langkah
Yulia Endang

Kutapaki hidup di negeri sejuta mimpi


Mengadu nasib demi sesuap nasi
Separuh umurku telah pun kulewati
Dengan angan dan mimpi yang membumbung tinggi

Beranjak sebelum bagaskara menampakkan sinarnya

Aku menguatkan tekad untuk terus melangkah

Walau titian jalan ini penuh anca dan mala


Namun, aku tiada daya untuk berputar arah

Dalam hati kusembunyikan pilu dan rindu

Kubiarkan ianya melebur dengan peluh

yang membasuh setiap titik keluh

Aku yang berada di bawah telunjukmu

Demi yang tercinta

Mulutku sering kubiarkan membisu

Sebak sesekali datang mengeluh

Namun, apalah dayaku?


Hanya bertemankan renjana yang menghadang segala keluh

Wahai yang jauh di seberang sana


Rindu dan cinta kutitipkan pada pawana

Doa yang kupinta


Untuk pulangku ke negeri tercinta
Bagian II
Puisi Pekerja Rumah Tangga

Pekerja Bertangan Seribu


Adriana Keraf

Kerjanya adalah menjadi rumah

Bagi sang tuan meskipun bukan puan

Membuka pintu kala fajar lalu menutupnya saat senja

Hingga ia lupa arti mentari

Ia menggadaikan kedua tangannya

Sepanjang waktu untuk membeli hidup

Mewujudkan impian terindah miliknya

Agar dapat dekat dengan jiwa dunia

Ia bercinta dengan kerjanya hingga lupa hari-hari

Dengan cara paling intim dan rahasia

Kedua tangannya menjelma seribu

Menanak, menginang, membasuh, hingga mengatup

Tak peduli sakit berpeluh bagi sang tuan

Ia menyekanya dengan cinta

Demi mekar senyum miliknya

Saat purnama tiba

Walaupun dipandang hina

Ia pekerja terhebat sepanjang waktu

Membangun rumah seakan ia pemiliknya

Dengan aneka hasil karya

Ia menabur kelembutan dan kebaikan


Dari sinis dan amarah sang tuan

Dengan hidangan lezat dan kenyamanan

Demi upah diterima dunia


Ledalero, 07 Juli 2020
Pekerja Rumah Tangga
Aidelina Fitriani

Beragam anca kulalui

Lautan gundah kuseberangi

Seperti insan tak berharga lagi

Seperti zaman kiwari

Hai, Indonesia Timur

Keadilan telah luntur

Perempuan menjadi budak

Si keji terbahak-bahak

Peluh kesah saban hari

Menanti janji yang pasti

Adorasi beribu kali

Apa mereka sudah tuli?

Masygul membancang lara

Retisalya berbekas nestapa

Rimpuh daksa

Penat atma

Tertatih mendaki keadilan

Andam karam kesejahteraan

Ugem pendirian

Wekel menggapai kemakmuran

Pada puisi ini kutuliskan

Kan kuterbangkan ke istana

Andaikan diambil presiden

Pasti timur tak lagi ada insiden


Tulungagung, 31 Juli 2020
Mimpi yang Terenggut
Yani Asbanu

Datang dengan mengatasnamakan keluarga

Memberi janji yang membuat siapa pun tergiur

Yah ... kami tertipu, termasuk saya

Meninggalkan kampung halaman dan berpindah ke kota

Ada mimpi yang saya genggam, Sekolah

Dan berharap itu akan terwujud di kota

Saya terlena

Dibutakan dengan janji manis

Diberi kesan yang baik saat berjumpa

Benar-benar mereka menerima saya di kota

Tapi hanya tenaga, bukan mimpi itu

Waktu kian berjalan

Mimpi yang saya genggam perlahan terlepas

Tenaga dikuras

Apa yang saya bisa lakukan?

Hanya air mata dan mulut yang membisu

Mencoba menerima dengan senyuman

Lalu bagaimana dengan keluarga di kampung halaman?

Mereka tak tahu

Pada akhirnya mimpi itu benar-benar hilang

Hanya berharap kepada Pencipta

Untuk melakukan semua ini

Apalagi yang dicari?

Mimpi itu sudah hilang

Ikhlas
Beri Judul?
Angelo Cefreeco Dirpa Syukur

Adalah orang-orang terbuang

Tertutup kantuk dan tangis pilu

Menanggung harap tanpa adanya cinta

“sampai kapan?” tanyamu, raguku

(menutur doa dalam tangis)

Hanya sebatas pilu penuh samar-samar

Yang penuh dengan ragu

Hanyalah sebatas senandungan kelam

Kaulah syairnya, dan aku melodi penutur duka

Dan dia, adalah penonton dengan riuh rendah

Hanya dipenuhi oleh aksara bisu dan kelam

Yang tahu hanyalah waktu

Dalam fana, dalam rintih setiap detik, terus

Merona hitam

Adalah sebuah janji

Dalam hening

Menyulam remuk di ujung mesra

Tertutup hasrat akan suka yang tak kunjung reda

Semoga nantinya, peluh keluh ini segera tandas

Tandas pada secangkir doa yang runyam

Namun, hancur ditelan malam

Kalau boleh tahu juga

Apakah ada perasaan yang runyam?

Yang tandas pada duka

Bungkam pada duka

“Tuan, engkau tak akan pernah paham artinya


menjalani waktu tanpa adanya cinta?”

Lantas untuk apa?

Sekarang tak ada waktu untuk berpaling

Menangis adalah pilihan

Ini hanya soal aku, kau, dan segala tobatmu

Setelah kesunyian yang menggelisahkan ini

Sejenak aku akan menampakkan diri

Dari ceruk lembah

Akan terdengar bumbungan doa dalam diam

Pada akhir keluh, yang ada hanyalah duka

Tertata rapi lalu menjadi kenangan berdebu

Hanyalah angin, yang tak pernah menampakkan diri

Oleh karena malu akan ketelanjangannya

“Untuk apa kita berjuang?” tanyamu

Tanyakan pada pertiwi

Yang tahu tentang Arti kehilangan


Elegi Roti Basi
Annisa Citra Kasih Ayu Savitri

Setiap hari

Jam berdetak mengikuti rotasi

Pukul empat dini hari

Ia terjaga dari mimpi

Langkahnya gontai

Matanya sayup

Menahan lelah dan kantuk

Namun, ia harus bergegas

Ia tak ingin suara genderang membuncahkan telinga

Kala mentari bersinar menampakkan habuk di sudut jendela

Dan setiap pagi piring-piring tertata rapih berisi lauk yang ia masak

Ironi, perutnya masih merasa lapar

Meski semua lauk telah habis

Oh ternyata ...

Ia hanya menghidangkan

Tanpa memakan

Melihat tanpa merasa

Perutnya terus berdendang

Seirama denting piring yang ia cuci

Di meja setumpuk roti isi sayuran tersedia

Oh tunggu ...

Itu bukanlah roti isi sayur, melainkan roti berlumut berbau tengik

Miris, peluh dan lelahnya tak terbayar dengan pantas

Hari ini roti basi menjadi peredam atas lapar yang menjalar

Esok, ia berharap

Waktu kan menukar nasibnya


Berapa Jam Hari Ini?
Cici Ndiwa

Mungkin doa, puisi

Dan petuah begitu terbatas

Mewakili dan mencatat langkahmu

Mungkin juga ingatan

Tak cukup kuat

Menjaga niatmu

Angin dari kampungmu begitu jujur

Menerbangkan semua angan-anganmu

Menjangkau ibukota

Lalu pada suatu hari

Debu di bilah bambu gubukmu menebal

Menutupi debu pertama yang ditiup angin

Dan menempel di sana dari jejak langkahmu

Sementara selembar foto di dompetmu

Bertambah usang

Semakin sering engkau lihat

Semakin bertambah jarak engkau dengan keengganan

Berapa jam lagi hari ini?

Biar lekas engkau pulang

Membersihkan diri

Dan menelepon ke kampung dengan tenang

Membicarakan dengan ibu

Perihal jam kerjamu yang terlalu banyak di kota

Membandingkan dengan berapa banyak waktu

Yang diperlukan ibu untuk memelihara kebun kita


Bilur yang Memberi Hidup
David James Imanul Mage

Dari desa datang ke kota

Mengadu nasib dan asa

Tiba dengan ketidaktahuan

Pulang penuh tanda kekerasan

Banting tulang

Melayani sang tuan di suatu saat

Terima makian

Dan pelampiasan di saat lain

Kadang tubuh

Jadi tempat setrika

Ketika meja setrika rusak

Akibat menghantam tangan dan kaki

Hak asasi

Tidak mereka rasakan

Dalam benak sang tuan

Hak asasi mereka tak dihiraukan

Demi anak di kampung mereka bekerja

Walau terpenjara oleh ketidakmanusiawian

Terkungkung perasaan tak berdaya

Oleh bilur-bilurnya mereka tercukupi

Kupang, 06 Juni 2020


Punggung Merenta
Dormauli Justina

Aku kesulitan menutupi kegembiraan tentang hari ini

Merayakan kebebasan jiwaku hingga getar tubuh menarikan gempita

Banjiri sekujur diri atas tiap jengkal mimpi kanak-kanak

Aku suka putih, katanya warna tercantik menurut standar

Tak cukup sesukat mewarnai wajahku


butirannya terbang sesuka hati

Hingga atas tanah yang terjejak di tiap langkah


tanpa pilihan atau alasan

Sejujurnya aku tak pandai berhitung

Hingga lupa berapa banyak tetesan darah dan air mata mewarnai

Sejak perjumpaan sebelum dan dalam ikatan

Maka aku menolak mengisi formulir


yang mempertanyakan jati diri

Karena aku adalah aku, kamu, dia, kalian, mereka, dan kita:
istri, suami, ibu dan ayah

Adakah tercipta satu saja untukku?


Jikalau tiada, maka keberadaanku pun tiada

Menggeliatku saat sapamu merasuki tubuh

Memungut tiap berkas sinar yang menerobos tanpa jeda

Untuk sesaat aku termangu antara lelap dan terjaga

Masihkah aku perlu berdoa walau kekuatan ini selalu menopang

Aku tak ingin menunggu seumur hidup lalu kematian menjemput di ujung lelah

Beri waktu bagi luka tuk berkisah tentang tubuh yang dirasa meradang

Saat jemari meraba dan otak menangkap kejanggalan:


barisan rusuk yang tak genap

Bebani punggung dengan tanggung jawab tak berbatas


hingga renta

Yogyakarta, 18 Juli 2020


Kurus Kering Tubuh Bibi
Faizal Ramadhan Susanto

Pukul 05.00

Rumah di tepi sungai memadamkan pendar cahaya lampunya

Teras menampung segala surya memancarkan tiap harap dan mimpi manusia

Bibi mengais beras di dapur senyum demi tuan dan puan tetap makan

Menanak nasi dan air matanya bersatu dalam bayangan

Pukul 09.00

Taman dan rumput hijau rebah dalam telapak kaki bibi

Inangnya rengkuh tersapu lidi

Keringatnya deras berserakan

Mengingat suaminya roboh ke pangkuan Tuhan

Di jemarinya ada kisah-kisah rindu yang piatu

Ditinggal secara sengaja di kepala mereka

Pukul 12.00

Bibi menyapih baju tuan dan puan

Mewangikan seluruh ruang yang terendam kenangan

Disapunya tiap sudut kamar berisi miniatur kota

Dibersihkannya tiap helai tirai yang bersarang di pintu-pintunya

Pukul 18.00

Bhagaskara bersemayam di dada senja yang menua

Sedang bibi masih merapal mantra di tengah langkahnya meniti jalan pulang

Mulutnya terus saja mengucap doa-doa

Dilangitkannya harapan demi putra-putrinya tetap bahagia

Pukul 21.00

Putra dan putrinya merengkuh senyum melihat bibi pulang

Tangan kasar bekas cucian melukis tawa di kening dan pipi mereka

Mata sayu bibi yang lelah seharian

Terbayar lunas membuka portal temu yang tertahan


Pukul 23.00

Seluruh rumah ingatan di jantung bibi menampung anak-anak bahagia

Menjadi tempat tidur, tempat makan, tempat bersembahyang

Dan tempat segala letih serta gelisah

Bibi memejamkan mata menyulam mimpi demi esok hari

Ditabungnya semua luka dalam pejam

Disimpannya semua perih dalam lelap

Ditutupinya semua bilur dalam nyenyak

Bibi pergi, bermimpi menemui semesta dalam gelapnya

Banyumas, 26 Juli 2020


Ibu Tidak Lagi di Dapur
Hyan Godho

Ada yang tidak beres dengan rumah

Sejak hari-hari ini

Ibu tidak lagi di dapur

(Perempuan itu di dapur, seharusnya

Mereka itu tungku: suar-suar api yang menghidupkan!

Dapur tanpa perempuan, nihil. Api jadi gigil.


Tungku senyap, hidup jadi gelap)

Sedang banyak wanita suka dandan, lihat dapur pun enggan.


Perempuan macam apa itu!

(Budaya kami keras!

Pagi-pagi sekali, perempuan harus ada di dapur: mencium api)

Ibu Kartini, kita sorak-sorai di bulan April,


kemudian di Desember, selamat hari ibu, hanya sebatas itu saja. Ujung-ujungnya, di koran minggu,
seorang kakek menyetubuhi cucunya sendiri!

(Saudari-saudari saya, yang sekolah rendah.


Pergi merana di halaman tetangga

Pulang rumah tinggal rangka!

Sedang yang sekolah tinggi-tinggi. Pulang kampung, nyasar di dapur)

Perempuan hari ini mau buat apa?

Tapi hari-hari ini

Ibu saya tidak lagi di dapur

(Padahal ibu saya, kalau masak enak sekali.


Sekali makan, maunya tambah lagi

Ibu saya sekolah tidak tinggi-tinggi

Era sekarang sudah cantik, ibu saya masih antik:


12
tidak mengenal medsos )

Tapi, ibu saya tidak lagi di dapur

(Pagi-pagi sekali, dengan tas kecil, ia tenteng di lengannya.


Orang banyak sudah menunggunya di kios)
12
Media sosial.
Ya bu, pak, mau belanja apa? Silakan!

Di sini tidak menjual harga diri.

(Ibu saya tidak sekolah tinggi-tinggi

Cita-citanya sampai)

Hari ini, ia bisa makan kenyang!

Boawae, 2020

Sang Jongos
Henry Eldalience Medah

Anila berhembus melewati daksa yang rimpuh

Duduk bersandar pada daun pintu

Sembari menikmati ina dengan secangkir rindu

Lalu, aksa terpejam dan atma terbuai sarayu

Lamunan mengiringnya pada kampung halaman

Rumah alang dengan hamparan sabana seperti taman

Bale-bale bambu dengan tikar anyaman

Menjadi tempat pulang yang paling nyaman

Sekejap daksa tersentak

Terusik aksa yang anggara dan suara yang risak

Kedamaiannya pun hirap oleh kata-kata hardik

Menyisihkan mala tiada matrik

Cercaan dan makian menorehkan retisalya

Luka lebam dan goresan seolah bertamasya

Setiap bekas luka dan codet punya kisahnya

Semua itu menjadi mahakarya sang adidaya

Ia pun kembali dalam realita

Hanyut dalam tuntutan paksa tanpa kata

Kisah hidup yang terdayuh dan rudita


Yang ketika selesai hanya tinggal cerita
Harum Santan Pandan
Jauharul Habibi

Kau tahu, harum santan pandan labu di kuali itu

Adalah ramuan seorang kesepian

Dari perpisahan demi secercah perubahan

Di tanah galang, anak-sanak selalu ia panjatkan

Telah lewat puluhan purnama

Perjalanan adalah perjalanan melawan kerinduan

Tentang pergi dan pulang yang jarak menghalang

Juga tuan abdi selalu mengunci pergi

“Aku tak betah, inginku pulang!” (rintihan tiap malam)

Mereka bos minyak terkemuka, hidup bermewah-mewah

Hingga nafsunya bertindak semena-mena

Malam lalu, berita menuduh aku membunuh

Persoalan mempertahankan harga diri; disekap,


dikoyak selangkangan

“Bagaimana aku tak berontak!”

Kini ia telah pulang

Dengan tangis mengerami kedatangan

Sebab raga telah kaku, atmanya telah tiada

(Kini), tak ada lagi harum santan pandan labu kala itu

Yang ternikmati lagi, di tanah galang ini

Surabaya, Juli 2020


Demi Malaikatku
Lina Triwahyuni

Dengan senyuman kau berjalan

Membeli harapan di tengah kerumunan

Kau tersenyum pada dirimu sendiri, wajahmu yang tetap ayu

Dengan ketulusan membantu meringankan

Doa-doa sepertiga malam tak hentinya mengalir melalui bibirmu

Jemari keriput dan berbau bawang menengadah

Mengharap kekuatan hidup yang semakin menguji

Debu kehidupan kian pekat menyesakkan dada

Mengaburkan pandangan

Sesekali ketakutan sebab aku perempuan yang sendirian

Yang berusaha berdiri di kaki sendiri

Demi malaikat pemberian Tuhan yang selalu kausyukuri

Kau bersinar mengalahkan mentari pagi

Menyelesaikan tugasmu sebagai seorang wanita

Menyalurkan keringat pada malaikatmu

Menjaga mimpinya tetap ranum

Besok akan ada uang

Setelah keringatnya ditukar dengan pekerjaan

Semoga Tuan tetap setia mempercayai saya

Menjaga pakaian Tuan dan Puan tetap rapi

Dan juga dapurnya selalu berasap

Demi malaikat tercinta

Dan mimpinya yang semakin hijau terhampar di halaman rumah

Rokan Hulu, 12 Juli 2020


Cakar Gagak
Mustika

Langit tak lagi cerah

Meski awan berarak hijau

Tapi, mengapa tiba-tiba gerimis?

Aku tak tahu, atau mungkin engkau yang mengerti?

Sutina, aku kaget dan tak menyangka

Jika sekarang wajah dan tubuhmu penuh luka-luka

Padahal, engkau hanya pembantu rumah tangga

Kudengar kabar, jika engkau sering disiksa majikanmu

Sutina, mungkin ini garis nasibmu atau takdir


yang tak bisa dihindari?

Sutina, aku bertanya seperti ini bukan maksud mendiktemu


13
Tapi, aku ingin agar para DPR atau Wakil Rakyat
yang duduk di kursi jabatannya

Segera membuat Undang Undang Perlindungan terhadap


Pembantu Rumah Tangga

Sutina, semoga undang-undang tersebut segera terwujud!

Makassar, 30 Juli 2020

13
Dewan Perwakilan Rakyat.
Untuk Sebuah Kehidupan
Maya Helena Nitbani

Bersama desir angin, kutitipkan salam kepadamu

Bersama teriknya mentari siang,


biarlah gelora hati ini menyapamu

Melalui derai hujan,


biarlah peluh dan air mata ini sampai kepadamu

Mengungkapkan kalbu yang terbelenggu


dalam sebuah semangat juang kehidupan

Aku bahkan dijuluki si mesin uang

Di bawah sebuah kontrol kuasa,


aku bekerja tak kenal lelah tak kenal waktu

Aku mengarahkan seluruh hidupku untuk sebuah harapan

Mendambakan hidup laksana sulur-sulur tanaman di tepi aliran air

Harapan membawaku jauh berkelana,


ke tempat di mana sumber kehidupan itu membual

Namun harapan itu memudar bak sinar mentari


yang bersembunyi di balik dedaunan

Nyatanya aku dipandang sebelah mata,


ditindas bahkan dikurangi hak-haknya

Tertimbun di balik stigma bahwa aku bukanlah pekerja formal yang pantas dimanusiakan

Ingin hati melawan, tetapi ke manakah suara hati ini dapat berlabuh?

Bahkan hukum yang seharusnya melindungiku


masih bersembunyi dalam bayang waktu

Bak bayang malam,


aku segera dilupakan ketika senja merambak hari

Tahukah kau,
aku telah menjadi seperti akar yang lisut dan layu

Tetap bekerja tanpa terlihat,


aku diam dalam kesunyian ketidakadilan

Tanpa kausadari,

tiada aku, kau akan kewalahan dalam peperangan waktu

Tanpa aku, isi rumahmu laksana serpihan kaca


yang berhamburan kian kemari
Tanpa kausadari,
keberadaanku adalah untuk menopang sebuah kehidupan

Berilah telinga kepada teriakanku, wahai kamu yang mendengar

Jangan biarkan aku pulang bermandikan darah, berhiaskan lebam apalagi diantar kematian

Berilah secercah harapan yang berbalutkan keadilan kepadaku

Lindungilah aku dari kejamnya dunia

Dalam sebuah payung hukum yang menyejukkan jiwa

Kupang, 10 Juli 2020

Disayat Belati
Nadiah Hamidah

Kulihat kau menjelma menjadi intuisi berbaris di surat kabar pagi ini. Kupersila kau memaparkan
sesuatu yang telah lama kaurendam dalam cucian tuan. Dengan seksama semesta meng acuhkan.
Kau semakin bungah, pelbagai nasib kaububuhkan.

“Dirumahkan!”

Perihal pulang yang tak lagi kaugadang-gadang, pesan singkat tuan berubah menjadi pisau belati
yang baru saja kaucuci.
Tanpa uluk salam, kau ditikam dalam-dalam. Tenggelam dalam bayang lilitan utang. Seketika, jerit
tangis mencuat di tengah bengis, bersama luruh peluh yang belum utuh.

Pegal badan tak terbayarkan

Sesak dada dililit cicilan

Kulon Progo, 16 Juli 2020


Mau Sampai Kapan
Nova Lianur Fitriani

Mau sampai kapan

Banting tulang siang malam

Mengurus rumah orang

Dengan pundak kiri kanan

Menanggung beban pekerjaan

Mau sampai kapan

Di mata ekonomi sosial

Harga diri tak dipertimbangkan

Didiskriminasi keadaan

Digaji ala kadar

Mau sampai kapan

Tak berbayar

Tak diperhitungkan

Hanya disepelekan

Seenaknya diberhentikan

Mau sampai kapan

Bertuan ringan tangan

Memaksa lapang dada

Tak sesuap nasi belaka

Demi anak dan keluarga

Mau sampai kapan

Menggigit jari mencengkeram

Hanya bertuah sebagian orang

Murah hatinya sang tuan

Dihargai dan dipedulikan


Kaka Nona Kami
Novianti Harlenci B

Kabut tipis Fautmetan turun

Kepada pucuk akasia ia bersapa

Selimut merah membalutmu mengisi kumbang-kumbang air melimpah

Ketika kakimu menyentuh tanah, seketika kebun merajak, makanan tersedia

Lelas langkah kami bertemu guru-guru

Sebelum mentari tua bersua, kami sudah kenyang

Kebun kami bernama hijau

Ransum kambing babi melimpah

Jagung kering jadi plafon tungku

Dingin Juni adalah panas Oktober bagimu

Pengusaha ibukota penuh iming

Saudagar-saudagar kemiri membelismu dengan masa depan kami

Kepuasan hidup kami tertukarkan dalam tempat sirih pinang

Coba kaurenda beribu kilo di sana


14
Kebun kini mamar belukar

Tungku bara merah kini hanya abu

Akasia tidak lagi berjumpa air

Kenangan padamu kini hanyalah

Beling gelas di alis

Seiring hentakan penguasa-penguasa

Ketenanganmu tertimbun berton-ton caci-maki

Selayaknya engkau melayani raja

Masa depan kami tidaklah setara umpatan dan bercak-bercak luka tubuhmu

Pada mamar belukar ini mungkin sebenarnya

Bukan pada memarmu

14
Mamar artinya lahan yang luas. Di NTT, mamar biasanya dimanfaatkan untuk menanam jenis tanaman komoditas
seperti kelapa. Umumnya, masyarakat menyebut mamar kelapa.
Masa depan kami tersembunyi, tersimpan

Di sini, kita bersama


Di Sebuah Rumah
Quidora Soera

Ibuku senang berada di masa depan ketika


aku selalu bertanya di masa lalu

Kepada sebuah pohon di halaman belakang rumah kami,


ia selalu berdoa.

Suaranya pasrah terdengar seperti tobat.

Dari kepala ibuku,


orang-orang asing keluar masuk sebelum amin dipersilakan.

Napas yang berderak akhirnya patah ketika sungai mengalir dari kelopak matanya membasahi taman
itu. Sebelum hanyut.

Ibuku berkata. Perempuan melesapkan segala perkara untuk terakhir kali ke dalam hatinya ketika
menemukan sebilah takdir tertancap di dada.

Selalu begitu. Bahkan air mata hanya dibendung, kala berjuta sakit menggores, dan berlaksa via
dolorosa dijejali. Tanpa disesali.

Suatu kali, dalam sebuah rumah. Ibu memberiku nama hawa. Sebab, akulah yang menjadi ibu semua
yang hidup.

Kepada sebuah pohon di halaman belakang rumah kami

Ibu mengucapkan amin kepada kata

Sebelum menjelma tubuh

Lasiana, Juli 2020


Rintihan yang Bertuan
Restu Hidayat

Mata lebam yang terus berdebam

Tubuh kurus yang semakin tak terus

Pikiran gamang yang selalu menerawang

Menerawang mereka-mereka yang tersayang

Mengais rezeki di bawah kaki-kaki

Kaki-kaki yang dengan tegap berdiri

Berdiri berkuasa menginjak harga diri

Hanya untuk sesuap nasi

Tuanku yang dipertuankan

Berikanlah aku belas kasihan

Tuanku yang dipertuankan

Berikanlah aku kesejahteraan

Kesetiaanku tak perlu kauragukan

Meskipun belasan kali aku dilecehkan

Meskipun ribuan kali aku dihinakan

Kau selalu menjadi tempatku bertuan

Tuanku yang dipertuankan

Cukup perlakukan aku sebagai manusia

Manusia yang selalu mendamba akan cinta

Cobalah memanusiakan manusia

Tolong!

Bekasi, 30 Juli 2020


15
TKW
Reynaldo Agung Saputra

Kau ibu tanpa iba

Lemah meleleh bersama lelah

Cerita yang begitu panjang

Tidak membuat kau pincang

Tulang kaubanting

Untuk dua bintang

Entah, kau memang dari habitat yang hebat

Atau kau hanya mencoba tegar melompati pagar

Kau layaknya

Besi yang tidak pernah basi

Kayu yang tidak pernah layu

Laut yang tidak pernah surut

Pulanglah

Bintangmu rindu masuk dalam palung

Saat tanggalnya bintangmu ingin tinggal

Mereka tidak ingin lagi rasa tunggal

Mereka ingin peluk yang sejuk

Jakarta, 7 Juli 2020

15
Tenaga Kerja Wanita.
Mimpi Hidup Layak Tak Pernah Sampai
Rosalia Kailo

Aku terlahir dalam keterlemparan

Memgadu nasib di tanah rantau

Terkurung dalam ruang dan waktu

Setiap hari memasang target

Keringat darah menetes bercucuran

Aroma tubuh tidak lagi tercium

Pekerjaan semakin berat

Tubuh lelah memikul banyak kerja

Hari demi hari terlewati duka

Mimpi hidup layak tak pernah sampai

Upah bulanan tak terbayar lunas

Semua hanya menopang keseharian

Ingin pulang dikenal ragu

Tahan luka disiksa derita

Bukan karena tidak berlaku taat

Tetapi bertahan demi melampaui uang

Kini diam mengancam jiwa

Rasa derita terus menyiksa

Tidak ada lagi harga yang tersisa

Balutan luka terus mengangah

Sikap hormat hukum wajib

Kesuksesan masih berwujud mimpi

Mimpi yang terus menjadi mimpi

Berharap akan menjadi kenyataan


Surti, Nenek Rumah Tangga Sebatang Kara
Reza Fahlevi

Surti sebutannya oleh tetangga di desa

Perempuan renta tak tergilas peradaban

Bukan karena ia berpendidikan

Ia hanya perempuan hebat berkeluh kesah dalam kehidupan

Begini Hikayatnya

Menghirup asap di dapur adalah takdirnya

Walau zat kimia ia hirup demi nasi, tomat, dan sambal terasi

Lalu makan dengan riang bersama anak cucu di ruang itu

Begitulah nasibnya, menjadi koki kehidupan

Melepas lapar dan tawa sanak saudara

Ia hanya perempuan yang berasal dari era lama

Angkat kayu bakar dari reranting kopi tua

Meniup arang melalui bambu hingga nasi bernanak

Menggendong cucu yang telah hilang bapak ibunya

Menyirami tanaman yang dibina mendiang kekasihnya

Begitulah Surti dengan kesederhanaannya

Jika bulan mulai tegang di atas malam

Berlinangan rembulan diterpa kunang-kunang

Ia terbangun dan sedikit menyesal tentang rezeki kehidupan

Mengapa Tuhan pilih tema manusia tentang kebersamaan

Suaminya yang tiada, anaknya yang entah ke mana

Hidup sebatang kara dengan cucu yang tiada memahaminya

Rupanya kemiskinan diri telah memisahkan kebahagiaan dari rangka badan

Ia tertidur malam itu dengan linangan air mata

Hingga fajar menjelma, rembulan terbenam oleh surya

Ia bangun dengan sesak dada

Bukan sakit tua, hanya lelah tak habis masalah datang dan tiba
Ia kerahkan tenaga untuk menjemur pakaian cucu dari anaknya yang gila

Dengan umpatan kesedihan membenci diri

“Aku gagal, aku makhluk yang gagal”

Bagaimana nanti hari penghakiman bermunculan

Setelah sejak belia kurawat, kudamba, dan kubina

Besarnya ia entah ke mana, hanya sisakan cucu yang


kehilangan arah

Surti berkata

Jika memakaikan pakaianmu bukanlah jasa

Lalu memberikanmu santapan petang bukanlah kasih sayang

Akhirnya bila mendidikmu bukanlah cinta aku dan kekasihku dulu

Lalu, aku ibu seperti apa?

Panggil Kami Pekerja


Agustin, Juandini, Lia, Mega, Yuli

Kami bukan babu, pembantu, ataupun jongos

Sebutan-sebutan yang seringkali disematkan orang-orang


16
Hanya tagal kami bekerja pakai serbet, kemoceng, dan kain pel

Lalu seenaknya kamu panggil dengan sebutan tak manusiawi

Berlaku kasar, bahkan merendahkan martabat kami

Kami adalah perempuan pekerja yang mandiri

Bekerja dan berjuang demi menghidupi keluarga

Agar keluar dari lingkaran kesulitan hidup

Ini tak kalah hebatnya dari kamu yang bekerja di balik laptop

“Kita dengan kita jadi,” sama-sama manusia

Bagi kami setiap hari adalah perjuangan

Sabar adalah kata magis yang terus terucap

16
Kata tagal dalam bahasa Kupang artinya karena.
Melawan kekerasan, stigma, dan diskriminasi

Adalah bagian dari memperjuangkan nilai kehidupan

Teman, mari berjuang bersama kami

Kupang, November 2020


17
Tim peneliti Proyek Mnen Hai Hanaf

17
Mnen Hai Hanaf diambil dari Uab Meto, artinya dengar suara kami.
18
Hanaf
Yuliana M. Benu

Perempuan itu bersimpuh di batas waktu

Menenun setiap pecahan kata yang berserakan

Sambil tersenyum, ia menyematkan doa

Lalu dengan lembut ia memberinya nama hanaf

Hanaf bukanlah sekadar kata-kata biasa


Karena di setiap tutur, perempuan itu bersumpah

Membawa setiap kata tak terucap pada altar semesta

Mengaduh dalam diam tentang hidup yang tak adil

Namun, sebuah perjumpaan sakral siang itu

Menyadarkan perempuan itu, membuka matanya

Menggugah nuraninya, “Kaumnya tertindas”

Menyuarakan ketidakadilan adalah tekadnya

Hanaf adalah simbol perlawanan


Dalam setiap tatap ...

“Perempuan bukanlah objek kekerasan seksual”

Dalam setiap kata ...

“Perempuan bukanlah kelas pekerja yang disapa babu”

Dalam setiap gerak ...

“Perempuan tak pantas disekap di ruang domestik”

Dalam setiap Langkah ...

“Perempuan setara dengan laki-laki”

Mari berjuang Bersama ...

Hampir pagi, Kupang, Februari 2021

18
Kata Hanaf diambil dari Uab Meto yang artinya suara.
Ingatan Tentang Kakak
Zerlinda Christine Aldira Sanam

Anak tunggal tidak bersaudari

Bermain sendiri menghadap lemari

Ibu bapak mencari nasi

Tersisa Kak Nin beserta televisi

“Dik, makanmu sudah siap”

“Tlah bersih kamarmu, segeralah lelap”

Tempat tidurnya di dekat pohon jambu

Makannya setelah aku

10 tahun berlalu Kak Nin pergi

Membawa sakit ke kota dingin

Masih ingatkah denganku, tanyaku lirih

Dibalas sepi di mata Kak Nin

Kak, makanmu giatlah

Tidur dan mimpilah yang indah

Mari kita ambil foto berwarna

Ingatlah aku si anak gembira

Kupang, 2020
Biografi Penulis

Adriana Keraf, adalah penggagum sastra yang tak pandai bersastra. Namun, ketika diam melanda
dunianya, ia mengabadikan adanya dalam kata. Sekarang ia adalah mahasiswa semester akhir di
Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero dan aktif memperjuangkan isu perempuan.

Adriana R.D.W. Ngailu, akrab disapa Ajeng. Penulis yang lahir di Kupang, 16 April 1999 ini memiliki
minat menggambar, fotografi, film, bermain biola dan menulis cerpen. Kini menetap di Kupang dan
aktif bergiat di Komunitas Film Kupang. Baginya, puisi dan waktu untuk menyendiri adalah dua hal
yang tak bisa dihindari ketika otak, jiwa, dan raga membutuhkan jeda.

Afrinda Anastasia Agusti, anak pertama dari empat bersaudara adalah seorang penulis yang lahir di
Demak, 17 Mei 2001. Saat ini, penulis sedang menempuh pendidikan di Universitas Negeri Semarang
jurusan Pendidikan Tata Busana, semester tiga. Selain menggambar, hobi penulis adalah membaca
karya sastra dan menulis puisi.

Agustin Selbard Zacharias, lahir di Sabu, 20 Agustus 1993. Ia tamat dari Fakultas Teologi Universitas
Kristen Artha Wacana Kupang (UKAW), dan aktif di JPIT sejak tahun 2017. Di tahun 2019, penulis
pernah sebagai fasilitator dalam Penelitian Humanity, kerjasama JPIT dan Asia Justice And Rights
(AJAR) di 2019 tentang perdagangan orang bermodus pekerja migran di NTT. Pada tahun 2020,
penulis juga menjadi fasilitator yang terlibat dalam penelitian Mnen Hai Hanaf mengenai kondisi PRT
di Kota Kupang.

Aidelina Fitriani, lahir pada 24 Oktober 2006 di Kota Tulungagung, Jawa Timur. Kini ia menempuh
pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 03 Kalidawir. Anak sulung dari dua
bersaudara ini memiliki ketertarikan pada dunia sastra. Berkali-kali gagal dalam mengikuti
perlombaan, tak menyurutkan niat untuk berpuisi. Baginya puisi adalah saran menyampaikan sesuatu
melalui tulisan. Seiring berjalannya waktu, puluhan puisinya sudah berhasil dibukukan dalam bentuk
antologi dan tersedia di berbagai perpustakaan. Sekarang ia sedang menggarap buku yang sudah
dikerjakan sejak dua tahun lalu berjudul Jatuh, Bangun, Terbang, dan Lukiskan Siapa Dirimu
Sebenarnya.

Alwi Kolin, salah satu anggota Timore Art Graffiti (TAG) yang paling humoris. Pria kelahiran 18
September 1995 ini sudah menyukai film-film kartun sejak tahun 2000, sehingga karakter-karakter
kartun pun tervisualisasi dalam karya-karyanya di masa kini.
Anastasia Kinanti Putri, lahir di Purworejo, 3 Juni 2001. Saat ini masih duduk di bangku semester
empat Jurusan Informatika Universitas Sanata Dharma. Menulis dan menggambar adalah hobinya.
Karya-karyanya dimuat melalui akun Instagram @kinarts.official atau @kinantiyaa.

Angelo Cefreeco Dirpa Syukur, lahir di Ruteng, Manggarai, 1 Juni 2003. Karya-karya awal Cef,
begitulah ia disapa, dipublikasikan saat berusia 17 tahun di beberapa media online, misalnya
Lomes.com dan SwaraNtt.com. Saat ini, Cef tengah melanjutkan pendidikannya di Lembaga
Pendidikan Calon Imam SMAS Seminari Pius XII Kisol.

Annisa Citra Kasih Ayu Savitri, memiliki hobi menulis sejak kecil, dan merupakan pengagum karya-
karya puisi sang kakak yang telah memperkenalkannya dengan dunia literasi saat di bangku kelas
tiga SMP. Beberapa tahun terakhir semenjak bergabung dengan Komunitas Serantau, ia mulai
menulis puisi bertemakan pekerja migran.

Apris Nggonggoek, laki-laki kelahiran 19 April 2002, yang lebih suka dipanggil AP. AP saat ini bergiat
di Komunitas TAG. Salah satu tujuan ia melukis ialah ingin menciptakan kedamaian melalui karya
seni.

Armando Soriano, seorang guru muda yang senang memainkan suling bambu. Ia memang menekuni
seni melukis sejak kecil. Karakter gambarnya berupa animasi berwarna hitam putih, dilengkapi teks
seperlunya. Mando, sapaan akrabnya, juga tergabung bersama Komunitas TAG dan Komunitas Kapur
Sirih Kupang.

Batler F. Situmorang, lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada 3 Desember 1979. Penulis
menamatkan pendidikannya di Universitas Katolik ST. THOMAS Medan pada tahun 2007. Penulis
sudah menikah dan saat ini menetap di Kota Batam.
Beni Wego, lahir di Eban, Pulau Timor. Penulis adalah misionaris pada Serikat Sabda Allah (SVD). Ia
menerbitkan Canvas (Green Legacy Publishing Company, USA 2017), Kanvas (Penerbit Ledalero,
Indonesia, 2020). Ia bekerja di Saint Bernard Medical Center and Benedictine Community Jonesboro,
AR-Amerika Serikat.

Chanty Tri Lestari, seorang siswi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di kecamatan Cilongok,
Kabupaten (Kab.) Banyumas, Jawa Tengah.

Christian Kali, adalah alumnus Fakultas Filsafat Unwira Kupang (2017). Lahir di Atambua pada
tangggal 6 Agustus 1993. Saat ini sedang melanjutkan studi teologi pada Seminari Tinggi St. Mikhael
Penfui Kupang dan sedang menyusun tesis berkenaan dengan Migran Perantau.
Cici Ndiwa, menetap di Ruteng, Manggarai dan bekerja di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Karya,
Ruteng. Telah menerbitkan antologi puisi berjudul Penyair bukan Kami (WR, 2018).

Dany Heryati Asbanu, lahir di Boentuka, pada tanggal 11 Februari 1996. Pernah menimba ilmu di
bangku Sekolah Dasar (SD) Naikoten 1. Kesibukan penulis saat ini hanya befokus pada pekerjaannya
sebagai seorang PRT.

David James Imanuel Mage, akrab disapa Jems, lahir dan menghabiskan masa SD di Kota Kupang.
Pria kelahiran 20 Juli 1991 ini kemudian melanjutkan pendidikan menengahnya di Jakarta. Pada
tahun 2009, ia kembali ke Kupang dan melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Kesehatan
Masyarakat (FKM) Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang. Semasa kuliah ia aktif berorganisasi
dan sempat menjabat sebagai Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat di Badan Eksekutif Mahasiswa
FKM Undana. Pada tahun 2020, ia menjadi salah satu tim pengarsipan pada Pameran Arsip Publik
Merekam Kota yang diselenggarakan oleh SkolMus.

Dhani Lahire Awan, sering terjerumus saat membeli buku, karena lebih tertarik desain sampulnya
daripada isinya. Beberapa puisi dimuat dalam antologi bersama: Kepada Buku-buku Yang Terbakar
(2015), Pesan Damai di Hari Jumat (2017), Progo 4, Temanggung dalam Puisi (2017), Merawat
Kebhinekaan (2017), Jendela Pekalongan (2017), Buitenzorg: Bogor dalam Puisi (2017), Jejak Air
Mata: dari Sittwe ke Kuala Langsa (2017), Menjemput Rindu di Taman Maluku (2018), Senyuman
Lembah Ijen (2018), Tambak Gugat (2018), Tabuh Tak Tabu: International Gamelan Festival (2018),
Progo 6 (2020), Gambang Semarang (2020), Komposisi Ingatan: Membaca Pandemi (2020), dan
Percakapan Hari Libur (2020).

Dormauli Justina, biasa disapa DJ lahir di Palembang, 12 Agustus 1979. Saat ini tercatat sebagai
Dosen Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dpk pada Universitas Sumatera Selatan dan sedang menempuh
studi lanjut di Yogyakarta.

Dortia Abanat, penulis kelahiran 16 Desember 1988 ini merupakan salah satu penyintas perdagangan
orang di Pekanbaru, Riau. Penulis saat ini tinggal bersama keluarganya di Desa Enolanan, Kecamatan
Amabi Oefeto Timur, Kab. Kupang. Sehari-hari penulis berjualan pulsa dan memelihara ternak. Penulis
juga sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh JPIT.

Dunstan M. Obe, lahir di Dili, 19 Mei 1988. Saat ini penulis bergiat sebagai penyair di Dusun
Flobamora.
Eka Putri Esterina Rassi, lahir di Baun, Amarasi Barat, 23 Juni 1997. Tertarik pada dunia kepenulisan
sejak masa remaja.Tulisan pertama yang dibuatnya adalah karangan cerita anak-anak. Seiring waktu,
menulis sajak, puisi dan resensi film menjadi kegemarannya. Ia menamatkan pendidikan pada
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga dengan gelar Sarjana Ilmu Komunikasi, peminatan
Jurnalistik. Selama berkuliah, aktif dalam organisasi mahasiswa, kelompok proyek sosial untuk
korban bencana alam dan menjadi jurnalis pada majalah terbitan mahasiswa. Kini aktif menulis cerita
fiksi dan puisi pada salah satu aplikasi cerita daring.

Faizal Ramadhan Susanto, adalah seorang mahasiswa di Politeknik Negeri Cilacap jurusan Teknik
Elektronika. Penulis kelahiran Kab. Banyumas 20 tahun silam pernah tergabung dalam beberapa
proyek antologi puisi.

Fajar Santoadi, lahir di Wonosobo, 6 Februari 1976. Ia adalah lulusan Bimbingan dan Konseling
Universitas Sanata Darma dan Universiti Putra Malaysia. Ia pernah mengajar di Universitas Sanata
Dharma (2004-2009). Sejak tahun 2013 bekerja sebagai konselor di Tenaganita, sebuah lembaga
swadaya masyarakat di Malaysia yang bekerja untuk perlindungan migran dan pengungsi. Ia juga
penikmat puisi, musik, dan seni rupa. Ia menulis puisi berbahasa Indonesia dan Inggris dan bermusik
untuk menghibur diri. Beberapa puisi lamanya dimuat di antologi puisi Ojo Dumeh, dan Si Pekok yang
dicetak untuk kalangan sendiri oleh Padepokan Kosakata sekitar tahun 2007-2008. Beberapa puisinya
terkini ada di www.tembi.net dan menjadi bagian dari antologi puisi Mata Air Hujan di Bulan Purnama
(2020). Koleksi puisi berbahasa Inggris-nya bisa dinikmati di https://allpoetry.com/Fajar_Santoadi.
Kadang-kadang kalau ada ide musik yang berbunyi diparkir di https://soundcloud.com/fajar-santoadi.

Henry Eldalience Medah, lahir di Waikabubak, 29 Oktober 1992. Ia menyelesaikan pendidikan dasar
hingga menengah atas di Waikabubak, Sumba Barat lalu melanjutkan studinya di Fakultas Teologi
UKAW Kupang pada tahun 2011. Setelah menamakan studinya ia kembali melayani Jemaat Gereja
Kristen Sumba.

Hyan Godho, lahir di Boawae, Flores, NTT, 17 Agustus 1998. Penulis puisi dan cerpen ini adalah
mahasiswa STFK Ledalero. Karya-karyanya biasa dimuat di Lokatuhg.Blogspot.com. Saat ini ia
bergiat aktif di kelompok minat Teater Tanya Ritapiret. Ia adalah. Sekarang tinggal di Ritapiret,
Maumere, NTT.

Giovanni A.L. Arum, adalah calon imam Diosesan Keuskupan Agung Kupang. Kini terlibat sebagai
anggota dalam Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Ia pernah diundang sebagai penulis emerging
dalam festival sastra MIWF 2019. Buku puisi perdananya berjudul: Pelajaran dari Orang Samaria
(2019).
Ida Bagus Uttarayana Rake Sandjaja, biasa dipanggil Uta. Lahir di Singaraja, 24 Maret 1996. dan
menghabiskan masa kecilnya di Madiun. Sekarang berdomisili di Bandung. Bersama beberapa kawan
mendirikan Teater Titik Universitas Telkom pada tahun 2014. Sekarang aktif di Teater Samana,
sebuah kelompok teater independen yang diprakarsai pada tahun 2019. Aktif menulis puisi-puisi yang
dapat dilihat pada akun Instagram @uttaidabagus atau di penakota.id/penulis/Utangatta. Puisinya
yang berjudul Pada Malam yang Tinggal Separuh terpilih dan dimuat dalam Buku Antologi Narasi
Baru, Festival Literasi Tangerang Selatan 2018.

Imbran Batelemba Bonde, lahir di Desa Singkona, 18 November 1992. Ia menamatkan studi Strata
satu Teologi konsentrasi Pembangunan Masyarakat Desa di STAK Terpadu PESAT Salatiga.
Sekarang menjadi pengasuh dan pendiri Pondok Baca Rodo Daya di Desa Singkona, Kab. Poso,
Sulawesi Tengah.

Indah Harwati, lahir di Palembang, 19 Februari 2003, adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari
keluarga yang sangat sederhana. Sang ayah sudah berpulang ke pangkuan-Nya, sehingga ibunya
terpaksa berjuang sendiri mencari nafkah sebagai kepala keluarga. Sejak SMP, ia sudah aktif
mengikuti lomba membaca dan menulis puisi. Saat Sekolah Menengah Atas (SMA) pun daya tariknya
terhadap puisi makin kuat. Berbagai lomba puisi aktif diikutinya. Ketika menginjak kelas XII SMA, ia
mengikuti lomba menulis dan membaca puisi antar sekolah tingkat Kota Ogan Ilir, dan puisinya yang
berjudul Jeritan Alam keluar sebagai juara dua. Indah bergabung dengan organisasi Paskibra dan
menjabat sebagai wakil koordinator puteri. Dia juga ikut tergabung dalam tim empat pilar di
sekolahnya. Saat ini ia telah menuntaskan pendidikannya di bangku SMA sekaligus bekerja sebagai
chef di salah satu restoran di Palembang.

Januarius F. Baowolo, biasanya lebih akrab disapa Ivan. Selain bergelut di TAG, Ivan juga adalah
seorang mahasiswa jurusan Arsitektur Undana. Sehari-hari Ivan suka menggambar dengan karakter
lebih banyak manusia, keadaan, dan matahari. Gaya menggambarnya lebih pada teknik sketch
drawing dengan pensil, drawing pen, dan marker pada media kertas seperti hvs, kertas sketsa, kalkir
dan lain sebagainya. Selain itu, cat akrilik biasanya digunakan sebagai pengisi latar.

Jauharul Habibi, (ranggas.jati) mahasiswa filsafat, esais, dan penggiat sastra.

Joshua Ivan Winaldy Simanungkalit, penulis kelahiran 11 Maret 1996 ini adalah seorang PNS di
Kementerian Keuangan. Penulis aktif pada bidang literasi baik berupa karya ilmiah seperti karya tulis
ilmiah, esai, artikel, maupun karya sastra fiksi dan non fiksi seperti cerita pendek, puisi, dan
sebagainya. Kesibukan penulis saat ini lebih berfokus pada literasi di bidang keuangan dan
perpajakan serta memperkaya pengetahuan dan pengalaman di berbagai genre sastra. Karya
terbaru penulis yaitu puisi berjudul Ingin Hidup Seperti Apa yang dimuat dalam buku antologi puisi
Kementerian Keuangan bertajuk Lima Simpul Satu Cinta.
Juandini Amelia Lapaan, penulis kelahiran 24 Juli 1993 ini adalah seorang pegiat isu kemanusiaan
khususnya masalah perdagangan manusia di NTT. Sejak bergabung di JPIT pada tahun 2017,
kesibukan penulis saat ini berfokus pada penelitian lapangan mengenai masalah perdagangan
manusia dan realita pekerja rumah tangga di wilayah Kota Kupang, NTT. Selain itu, penulis juga
sedang menulis tulisan narasi terkait dengan pekerja rumah tangga.

Lina Triwahyuni, lahir 19 Agustus 1999 di Desa Pasir Jaya, Pasir Pengaraian, Rokan Hulu, Riau. Ia
adalah seorang mahasiswi Keperawatan Universitas Riau yang kini menempuh semester enam.
Gadis 21 tahun ini memiliki hobi membaca dan menulis. Ia kerap menghabiskan waktu dan
menyisihkan waktunya untuk menulis, karena baginya menulis bukanlah sekedar hobi melainkan
suatu kebiasaan penting yang perlu dikerjakan setiap hari.

Lindung Ratwiawan, lahir tanggal 30 Januari dan menyenangi dunia tulis-menulis sejak masih SMA.
Dari kegemaran menulis ini pernah menjadi wartawan kampus Koran Komunikasi IKIP Negeri Malang
(kini UM), akhirnya dipercaya juga menjadi Editor Penerbit Dioma, Malang. Sejak 1990 sampai
sekarang aktif sebagai guru bahasa Indonesia di SMPK Kolese Santo Yusup 1 Malang. Beberapa
karya mandiri adalah: Kidung Sebuah Hati (novel, 1991, Yogyakarta: Penerbit Kanius); Musim Masih
Berbunga (novel, 1991, Yogyakarta: Penerbit Kanius); Sihir Mata Kucing (Kumpulan Cerpen,
September 2020, Surakarta: Gerakan Menulis Buku Indonesia); Nokturno Senja (Kumpulan Puisi,
September 2020, Surakarta: Gerakan Menulis Buku Indonesia). Buku-buku yang terbit bersama
kontributor yang lain pada Tahun 2020 adalah: Seperjuta Milimeter dari Corona (Kumpulan Pentigraf,
Kampung Pentigraf Indonesia, April 2020); Jas Hujan Bilik (Kumpulan Puisi, Penerbit Thesastra, Juni
2020); Jarak Tanpa Tepi (Kumpulan Pentigraf, Penerbit The Sastra, Juni 2020); Hari-Hari Hura-Hara
(Kitab Puisi Tiga Bait, Teras Putiba Indonesia, Juni 2020); Semua tentang Wanita (Kumpulan
Pentigraf, Elunar Publisher, Juli 2020); Takziah Bulan Tujuh (Kitab PuisiTiga Bait, Teras Putiba
Indonesia, Agustus 2020); Mengabadikan Bisik Waktu (Bersama Yulius Nugroho Putro, Penerbit
Pelangi, Agustus 2020); Taruntum (Kitab CeritaTiga Kalimat, Desa Tatika Indonesia, Oktober 2020);
Setelah Sapardi Pergi: Sehimpun Puisi Tribute to Sapardi Djoko Damono (Oktober 2020).

Luciano N. Soares, penulis yang biasa disapa Luis ini lahir di Tokoluli, Ermera, Timor Leste, 10
Oktober 1989. Penulis adalah anak ke empat dari 12 bersaudara. Pada tahun 2017, penulis
menyelesaikan pendidikannya di Stikom Uyelindo Kupang dan saat ini menetap di Kelurahan Kayu
Putih, Kupang, NTT.

Maria Anita Dapa Roka, biasanya disapa Anita, lahir di Wanno Mangeda, Sumba, NTT pada 29
Oktober 1994. Menyelesaikan pendidikan terakhir sebagai Diploma III Keperawatan, dan saat ini
bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta di Sumba. Saat ini berdomisili di Sumba.
Marteda Babu, dengan nama pena Eda Sally adalah seorang penyanyi dan penulis lagu rohani. Eda
telah menciptakan 352 buah lagu rohani dan menulis tiga novel di portal online dengan judul:
Perjalanan Panjang Wanita Tangguh, Cinta Pria Metropolitan, dan Sang Mafia Jatuh Cinta. Saat ini
bekerja sebagai Guru PNS tetap pada TK Negeri Boking, kab TTS, NTT.

Maya Heleni Nitbani, atau yang akrab disapa Maya, lahir di Kapan, 13 Maret 1997. Ia adalah anak
bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang petani, sedangkan ibunya seorang pensiunan guru.
Kecintaannya terhadap seni dan sastra sudah muncul semenjak ia duduk di bangku SMA. Ia
mengembangkan hobi menulis melalui blog pribadinya dan melatih kemampuan menulis dengan ikut
serta dalam berbagai lomba menulis.

Meidi Chandra adalah alumni Fakultas Ekonomi UIN Jakarta 2009. Meidi menimba ilmu kepenulisan
di IMM Cabang Ciputat 2006-2007. Selain menulis ia juga memiliki kegemaran bermain futsal dan
membaca buku-buku sastra. Karya-karya puisinya pernah dimuat dalam buku antologi tunggal dan
antologi bersama penulis lainnya serta majalah dan laman web online. Saat ini berdomisili di
Tangerang.

Mery Kolimon, lahir di SoE, Timor Tengah Selatan, NTT, pada 2 Juni 1972. Tahun 2008, Mery
menyelesaikan studi S-3nya di The Protestant Theological University Kampen, dengan disertasi yang
berjudul: A Theology of Empowerment. Reflections from A West Timorese Perspective, (Berlin: Lit
Verlag, 2008). Sejak tahun yang sama Mery kembali mengabdi di almamaternya di Timor dengan
mengasuh mata kuliah Misiologi, Teologi Kontekstual, dan Teologi Agama-Agama. Mery menikah
dengan Ir. Yustus Maro dan dikarunia tiga putera-puteri: Rulien, Meriana, dan Alberd. Mery pernah
menjadi Direktur Program Pascasarjana UKAW Kupang. Selain itu dia pernah menjadi Koordinator
Jaringan Perempuan Indonesia Timur untuk Studi Perempuan Agama dan Budaya (JPIT). Sejak
Oktober 2015, Mery terpilih sebagai Ketua Majelis Sinode GMIT periode 2015-2019, dan kini untuk
periode kedua, 2020-2023 Pada bulan Maret 2018, Pdt. Mery menerima Penghargaan Sylvia-Michel
Prize dari Persekutuan Gereja-Gereja di Swiss dalam kerja sama dengan Dewan Gereja Reformasi
Sedunia (WCRC).

Metusalak Selan, kelahiran 13 Maret 1969 ini adalah ayah kandung dari almarhumah Yufrinda Selan,
PMI yang meninggal di Malaysia. Sehari-hari ia bertani dan berjualan (bambu dan bebek). Ia dan
keluarganya tinggal di Desa Tupan, Kec. Batu Putih, Kab. TTS, NTT.

Mustika, lahir di Sidrap, 21 Agustus 1998. Tercatat sebagai mahasiswa S1 Manajemen Perbankan di
IBK NITRO Makassar. Ia telah menghasilkan 3 buah buku dengan judul Suara Aksara, Jejak Rasa Dari
Hati, dan Catatan Kaki Tuli. Saat ini, ia berdomisili di Sudiang, Kecamatan Biringkanaya, Kota
Makassar, Prov. Sulawesi Selatan.

Nadiah Hamidah, lahir di Kulon Progo DIY. Ia sudah tertarik dengan dunia tulis menulis sejak duduk di
sekolah dasar. Ia juga menyukai street photography dan membaca. Kini ia menempuh pendidikan di
salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.
Nadia Manuputty, lahir di Ambon, 6 Desember 1981, sebelum menjadi seorang pendeta dan melayani
di Gereja Protestan Maluku, Ambon, ia aktif dalam banyak organisasi. Ia setia menjadi pendamping
anak-anak jalanan dan anak korban kekerasan seksual selama bertahun-tahun. Ia juga pernah
mendapat beasiswa studi singkat di Tanzania. Prestasi lainnya adalah pernah dua kali menjadi runner
up I Puteri Maluku dan Puteri Favorit. Berkebun, fotografi dan olahraga menjadi hobi yang sulit
ditinggalkannya.

Naufal Waliyyudin Hakim, adalah seorang mahasiswa Strata Satu Teater, Fakultas Seni Pertunjukan,
ISBI Bandung.

Nova Lianur Fitriani, lahir di Bojonegoro, 28 November 2002. Sejak kecil ia suka menulis dan
membaca puisi. Saat duduk di bangku kelas 4 SD aku pernah mengikuti perlombaan baca puisi dan
saat SMA dan pernah mengikuti perlombaan musikalisasi puisi. Saat ini, ia aktif menulis dan
membaca puisi.

Novianti Harlenci B, lahir di Kupang, 8 November 1982 adalah seorang Magister Ilmu Ekonomi. Saat
ini bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Badan Pusat Statistik (BPS Prov. NTT), bidang
kerja: Pengolah dan Analis Data Sosial Kependudukan. Hobinya adalah menulis cerpen, puisi, dan
blogger. Saat ini tinggal di Bakunase II-Kota Kupang.

Padel Muhamad Rallie Rivaldy, lahir di Bogor pada Mei 1994. Ia menerima gelar master dari
Universitas Indonesia pada tahun 2019. Salah satu buku terbitannya berjudul Menyoal Rumahdan
Identitas (Pustaka Kaji, 2019). Saat ini, penulis tinggal di Bogor-Depok sembari menulis dan meneliti
secara independen.

Paoina Bara Pa, biasanya disapa Ina, lahir di Ligu, Sabu pada 16 Februari 1964. Paoina, seorang
pendeta di GMIT yang lantang menyuarakan keadilan bagi perempuan korban kekerasan dan juga
perdagangan manusia di NTT. Saat ini, ia melayani di GMIT sebagai ketua Unit Pembantu Pelayanan
Tanggap Bencana Alam dan Kemanusiaan (UPP TBAK) dan juga sebagai ketua JPIT. Paoina menikah
dengan Cornelis Hendrikus Talenalain Ngefak dan dikarunia tiga orang anak.

Petrus Tobi Tukan biasa disapa Obby. Kegemarannya untuk melukis sudah ia lakukan sejak duduk di
bangku sekolah dasar. ”Cobalah menghayal pasti lu bisa gambar,” demikian kata-kata yang menjadi
inspirasinya dalam menggambar. Salah satu karyanya berjudul “Karya Terhalang Rupiah”
diikutsertakan dalam pameran Taste-Timoty, Basoeki Abdullah Bersama Seniman Kota Kupang pada
Agustus 2019. Setiap karya Obby selalu dibubuhi dengan kata IMAGINE sebagai penanda
identitasnya.

Quidora Soera, lahir di Kupang, 20 Maret 1997. Telah menyelesaikan pendidikan di Undana, Kupang
sejak 2019 lalu, kemudian memutuskan jadi pengangguran yang suka berkebun dan jalan-jalan. Kini
bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Beberapa puisinya pernah dimuat di Victory News,
Jurnal Sastra Santarang, dan Jurnal Sastra Filokalia.

Rama Kurnia Santosa, lahir di Bogor, 7 Februari 2000. Ia gemar membaca sejak kelas empat SD,
seperti membaca buku-buku karya W. S. Rendra. Saat kelas tiga SMP ia mulai menulis dan tulisannya
dimuat di koran. Beberapa kali, ia menjuarai lomba-lomba puisi. Puisi-puisi yang ia tulis kebanyakan
bertemakan perjuangan dan pergerakan. Buku-buku karyanya yang telah diterbitkan adalah Kita
Tanpa Jeda (2019), Satu Detik Untuk Mencintaimu (2020), Sebelum Tersampaikan (2020), Empat
Detik Sebelum Tidur (2020), dan Hari Raya Sepi (2020). Hingga kini masih sering bercerita dan
berkarya. Beberapa ceritanya bisa didengarkan di Podcast Arah Pulang. Saat ini penulis sedang
menempuh pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra,
aktif di organisasi mahasiswa seperti BEM REMA UPI, BEM KEMA FPBS, dan BEM HIMA
PENSATRADA.

Reza Fahlevi, dapat dihubungi melalui surel rezafahlevicibro@gmail.com.

Restu Hidayat, lahir di Bekasi, 23 April 2000. Saat ini ia adalah mahasiswa aktif tingkat tiga.
Termotivasi dari beberapa penulis, tulisannya sederhana tapi mendunia, bisa dibaca khalayak ramai,
saya ingin seperti mereka. Alamat surel restuh420@gmail.com dan akit Instagram @dayat_tu23.

Reynaldo Agung Saputra, lahir di Jakarta, 24 Juni 1996. Informasi tentangnya dapat diikuti melalui
instagram @reynalagsa dan email reynalsaputra272@gmail.com

Rosalia Kailo, lahir di Sumba Barat, 24 Agustus 1994 ini adalah alumni Undana Kupang, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi Negara. Semasa kuliah ia terlibat dalam organisasi
kampus dan luar kampus. Setelah menyelesaikan kuliah, ia sempat mengajar selama satu tahun di
SMA Iceya Ndaha Sumba Barat Daya, dan saat ini menjadi relawan di JPIT dan sekaligus pendamping
Program Keluarga Harapan (PKH) di Kelurahan Oesapa Barat, Kec. Kelapa Lima, Kota Kupang.

Sonya Herita Welmince Isu, lahir 09 November 1996 adalah seorang calon vikaris (pendeta) di
Jemaat GMIT Besnam, TTS. Selain pelayanan di jemaat, ia juga sering terlibat dalam pemyelesaian
masalah-masalah ketidakadilan terhadap perempuan dan anak. Seperti ikut dalam musyawarah
pengambilan keputusan secara adat terhadap kekerasan seksual yang terjadi di wilayah pelayanan.
Penulis terus berharap agar kita dapat menjadi pembawa damai di tengah-tengah kehidupan yang
sangat keras saat ini.
Tia Ragat, adalah anggota Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Mahasiswa semester V, Ilmu
Komunikasi di Universitas Katolik Widya Mandira, Kota Kupang, NTT. Menyukai musik klasik, anjing,
dan videografi.

Yulia Endang, lahir di Ciamis, Jawa Barat. Saat ini bekerja sebagai pekerja migran di Singapura. Selain
menulis puisi, ia juga menyukai fotografi. Ia pernah dianugrahi juara 2 lomba Puisi Pekerja Migran
Singapura pada tahun 2019.

Yunita Megawati Kusa, biasanya disapa Mega, lahir di Alor, 20 Mei 1993. Ia menghabiskan masa
kanak-kanak hingga remaja di pulau Alor. Lalu menikmati masa mudanya di Kota Kupang sambil
melanjutkan pendidikan Strata Satu di Fakultas Teologi UKAW Kupang dan tamat pada 2017. Setelah
tamat, ia menjadi relawan aktif di JPIT dan bekerja sebagai Calon Vikaris GMIT, serta Penyuluh Non-
PNS Kementrian Agama Prov. NTT yang ditempatkan di Radio Republik Indonesia Kupang.

Yuliana Magdalena Benu, lahir di SoE pada 10 Juli 1993. Setelah menamatkan studi di Fakultas
Teologi UKAW Kupang, ia bergabung di JPIT sebagai relawan yang bekerja untuk isu perdagangan
orang. Saat ini, ia bekerja masih di lembaga yang sama sebagai Kepala Unit Penelitan dan
Pengembangan. Salah satu penelitian yang sedang dikerjakannya adalah Pekerja Rumah Tangga di
Kota Kupang. Beberapa tulisan dan puisinya pernah dipublikasikan di buku Gereja Melawan Human
Trafficking (Gereja Kristen Pasundan), Menolak Diam (BPK Gunung Mulia) dan Yayasan Bhinneka
Nusantara. Dalam kesehariannya, ia adalah seorang pecinta musik, penulis puisi, dan lagu.

Zerlinda Christine Aldira Sanam, lahir di Australia, 29 Desember 1995. Lulus dari Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2018 dan sekarang tinggal di Kota Kupang, NTT
sambil menyelesaikan studi Magister Profesi Psikologi Klinis di Universitas Gadjah Mada. Aktif
menulis setelah bergabung dalam writing camp yang diprakarsai oleh beberapa sahabat dekatnya
tahun 2020. Pada tahun yang sama, salah satu karyanya dipublikasikan dalam buku antologi puisi
berjudul Retisalya.
Panitia Antologi Puisi Kemanusiaan

Asaria Lauwing Bara Etji


Doek

Juandini Lapaan

Martha Bire Rosalia Kailo

Soraya Manu

Sri Wahyuni Yuliana Benu

Anda mungkin juga menyukai