Anda di halaman 1dari 18

PERBEDAAN TEORI

JEAN PIAGET DAN IVAN PAVLOV

Disusun Oleh:
Angga Adi Saputra (6020210092)
Balqis Nashita (6020210095)
Cindy Febriani Thalia (6020210107)
Farah Libraty Syahnaz (6020210133)
Radisty Sabila Noveira (6020210129)
Siti Yulita Nurhalizah (6020210102)
Muhamad (6020210100)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2022
1. Jean Piaget
a. Biografi & Sejarah
Jean Piaget lahir pada tanggal 9 Agustus 1896 di Neuchatel, Swiss. Di masa mudanya,
Piaget sangat tertarik dengan alam dan sangat menyukai pelajaran biologi di sekolah. Pada saat
berusia 10 tahun, ia sudah menerbitkan hasil tulisannya yang pertama tentang burung pipit albino
dalam majalah ilmu pengetahuan alam. Ia juga membantu direktur museum ilmu pengetahuan
alam di Neuchatel dengan membuat klasifikasi koleksi zoology di museum tersebut. Pada waktu
itu, ia mulai belajar tentang moluska dan kembali membuat tulisan tentang moluska. Karena
hasil tulisannya yang bagus, pada saat berusia 15 tahun (dalam tulisan lain 10 tahun), ia
ditawarkan untuk menjadi kurator koleksi moluska museum ilmu pengetahuan alam di Geneva.
Namun, tawaran tersebut tidak diterima mengingat usianya yang masih terlalu muda dan harus
menyelesaikan sekolahnya lebih dahulu.
Dalam perkembangannya, Piaget banyak dipengaruhi oleh Samuel Cornut, yang
merupakan seorang ahli dari Swiss dan telah banyak mengamati Piaget dengan segudang
kompetensinya. Cornut memperkenalkan Piaget pada bidang ilmu filsafat, yang akhirnya pun
memperluas pandangan dan minat Piaget terhadap salah satu bidang filsafat, yaitu filsafat
pengetahuan, atau yang biasa disebut dengan istilah epistemologi. Piaget berkonsentrasi pada
dua bidang tersebut, yakni biologi dan filsafat pengetahuan (epistemologi). Piaget tertarik untuk
menjawab persoalan epistemologi seperti: Apa itu pengetahuan dan bagaimana pengetahuan itu
diperoleh? Ia merasa bahwa jawaban tidak dapat diperoleh hanya dari filsafat, tetapi juga harus
dengan ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1916, Piaget menyelesaikan pendidikan sarjana dalam bidang biologi di
Universitas Neuchatel. Dua tahun kemudian (pada usia 21 tahun), ia menyelesaikan disertasi
tentang moluska dan memperoleh gelar doktor filsafat. Setelah menyelesaikan studi formal,
Piaget memutuskan untuk mendalami psikologi. la meninggalkan Neuchatel dan pergi ke Zurich
untuk bekerja di laboratorium psikologi dan di klinik psikiatri Bleuler dan mempelajari
psikoanalisa dari gagasan Freud, Jung, dan beberapa psikolog yang lain dan berhasil menerbitkan
karangan tentang hubungan antara psikoanalisa dan psikologi anak. Pada tahun 1919, ia
meninggalkan Zuriah dan pergi ke Paris untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas
Sorbonne dan mempelajari psikologi klinis, logika, serta epistemologi. Pendalamannya tentang
filsafat kembali meyakinkannya bahwa pendekatan konseptual yang memuat nilai-nilai dari
filsafat perlu dilengkapi dengan pendekatan ilmu pengetahuan yang faktual. Dalam keilmuannya,
biologi lebih menggunakan pendekatan-pendekatan yang operasional (sesuai dengan kenyataan
yang ada), sedangkan pendekatan pada filsafat lebih pada konseptual (nilai-nilai). Kedua ilmu
tersebut terkesan sangat berbeda, namun Piaget hendak menghubungkan dan menyelaraskan
keduanya (suatu filsafat yang eksperimental-istilah yang digunakan penulis) untuk menjawab
pertanyaannya tentang pengetahuan.

b. Teori dan Perkembangannya


Piaget mengidentifikasi dirinya sebagai ahli epistemologi genetik. Dalam makalahnya
Genetic Epistemology, Piaget menjelaskan, "Apa yang diusulkan oleh epistemologi genetik
adalah menemukan akar dari berbagai varietas pengetahuan, sejak bentuk dasarnya, mengikuti ke
tingkat berikutnya, termasuk juga pengetahuan ilmiah".
Pada tahun 1920 , Piaget bekerja sama dengan Dr. Theophile Simon di laboratorium
Binet dalam rangka mengembangkan tes penalaran, yang pada akhirnya akan menunjukkan
adanya perbedaan intelegensi pada masing-masing partisipan. Dalam prosesnya, ia menangkap
beberapa hal yang menurutnya menarik untuk dipahami lebih jauh. Pada masing-masing rentang
usia tertentu, ia menemukan bahwa anak-anak dengan usia yang sama (dalam satu rentang
tertentu) cenderung melakukan kesalahan dengan cara yang sama. Hal ini lebih tertarik pada
anak - anak yang jawabannya salah daripada yang jawabannya benar, karena menurutnya
kesalahan tersebutlah yang justru mengungkapkan perbedaan penting antara pemikiran atau
fungsi kognitif pada anak-anak dan orang dewasa. Dari sini, ia mengembangkan asumsinya
sendiri tentang kecerdasan anak-anak:
● Perbedaan kecerdasan antara anak-anak dengan orang dewasa lebih signifikan secara
kualitas daripada kuantitas. Lebih jelasnya, perbedaan tersebut bukanlah hasil dari usia
yang lebih tua atau waktu hidup yang lebih lama, melainkan karena adanya perbedaan
pada cara individu mempersepsikan pengalamannya.
● Anak-anak secara aktif membangun pengetahuan mereka tentang dunia. Mereka bukan
makhluk pasif yang menunggu orang lain yang lebih dewasa untuk mengisi kepala
mereka dengan pengetahuan. Pendekatan yang sebelumnya dilakukan untuk
mempelajari intelegensi dirasa terlalu kaku, sehingga Piaget pun menerapkan metode
yang tidak terlalu terstruktur pada anak-anak sehingga prosesnya lebih mudah
dijalankan oleh anak-anak dan prosess penggalian informasinya pun dapat dilakukan
dengan lebih leluasa dan mendalam.
● Cara terbaik untuk memahami penalaran anak-anak adalah dengan melihat sesuatu dari
sudut pandang mereka. Piaget berpikir bahwa pemikiran logika abstrak mungkin
relevan untuk memahami pemikiran anak
Piaget menyarankan agar anak-anak mengurutkan pengetahuan yang mereka peroleh
melalui pengalaman dan interaksi mereka ke dalam kelompok yang dikenal sebagai skema.
Ketika informasi baru diperoleh, dapat diasimilasi ke dalam skema yang ada atau diakomodasi
melalui merevisi skema yang ada atau membuat kategori informasi yang sama sekali baru.
Piaget terkenal karena penelitiannya tentang perkembangan kognitif anak-anak. Piaget
mempelajari perkembangan intelektual ketiga anaknya sendiri dan menciptakan teori yang
menggambarkan tahapan yang dilalui anak-anak dalam perkembangan kecerdasan dan proses
berpikir formal. Teori Piaget mengidentifikasi empat tahap:
● Tahap Sensorimotor. Tahap pertama perkembangan berlangsung sejak lahir sampai
kira-kira usia dua tahun. Pada titik perkembangan ini, anak-anak mengenal dunia
terutama melalui indera dan gerakan mereka.
● Tahap Pra-Operasional. Tahap kedua perkembangan berlangsung dari usia dua hingga
tujuh tahun dan ditandai dengan perkembangan bahasa dan munculnya permainan
simbolik.
● Tahap Operasional Konkret. Tahap ketiga perkembangan kognitif berlangsung dari usia
tujuh hingga kira-kira usia 11 tahun. Pada titik ini, pemikiran logis muncul, tetapi
anak-anak masih berjuang dengan pemikiran abstrak dan teoritis.
● Tahap Operasional Formal. Pada tahap keempat dan terakhir dari perkembangan kognitif,
yang berlangsung dari usia 12 tahun hingga dewasa, anak-anak menjadi jauh lebih mahir
dalam pemikiran abstrak dan penalaran deduktif.

c. Faktor yang Mempengaruhi Teori


Piaget dalam teori perkembangan kognitifnya mengidentifikasi 4 faktor yang sangat
berpengaruh, yaitu: (1) kematangan biologis; (2) aktivitas fisik; (3) pengalaman-pengalaman
sosial; dan (4) penyeimbangan (ekuilibrasi). Kesemua faktor ini saling berinteraksi dan
mempengaruhi perkembangan kognitif dengan mengubah proses-proses berpikir.
Kematangan biologis adalah salah satu faktor yang terpenting dalam perkembangan
kognitif. Kematangan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang memahami dunia di
sekitarnya. Proses pematangan biologis ini dikendalikan oleh gen. Setiap gen akan menunjukkan
aksinya secara perlahan-lahan dan tampak sebagai sesuatu yang telah terprogram secara genetis.
Ini diwarisi dari orang tua anak yang bersangkutan. Apa yang dilakukan oleh guru dan orang tua
mempunyai hanya sedikit dampak pada aspek pematangan biologis ini. Hal yang dapat
dilakukan untuk membantu proses pematangan biologis berjalan sebagaimana seharusnya adalah
dengan memberikan nutrisi yang cukup sehingga anak-anak dapat tumbuh dengan sehat dan
selanjutnya perkembangan kognitif dari faktor pematangan biologis ini juga akan berlangsung
dengan normal.
Aktivitas fisik adalah faktor berikutnya. Aktivitas fisik berpengaruh penting pada
perkembangan kognitif anak-anak. Ketika anak-anak melakukan berbagai gerakan fisik dan
beraktivitas secara bervariasi, secara tidak langsung mereka akan meningkatkan koordinasi
tubuhnya. Saat itu pula mereka akan belajar memahami dan menemukan prinsip-prinsip
keseimbangan. Hal ini dilakukan dengan bereksperimen (secara sederhana tentunya) sambil
mereka bermain-main dengan aktivitas fisiknya tersebut. Ketika anak-anak melakukan aktivitas
fisik dan sekaligus berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, mereka akan bereksplorasi,
mereka akan menguji coba, mereka akan mengamati, dan selanjutnya akan mengorganisasikan
informasi yang mereka peroleh itu. Hal ini akan membuat proses-proses berpikir mereka
berjalan. Perkembangan kognitif, dengan demikian menurut Piaget juga sangat dipengaruhi oleh
faktor aktivitas fisik tubuh ini.
Kemudian, ketika seseorang berinteraksi dengan orang-orang yang berada di lingkungan
sekitarnya, menurut Piaget, kemampuan kognitif orang itu akan meningkat bersamaan dengan
terjadinya transmisi sosial, atau secara lebih gamblang dapat disebut sebagai “belajar dari orang
lain”. Tanpa adanya transmisi sosial, maka setiap orang harus menemukan kembali atau
menciptakan kembali semua pengetahuan. Dan ini tentu sangat tidak efektif. Oleh karena itu
peranan faktor pengalaman-pengalaman sosial saat berinteraksi dengan orang-orang lain sangat
penting bagi perkembangan kognitif. Kita belajar dengan banyak dan cepat dari pengetahuan
yang disediakan oleh budaya dan masyarakat kita. Setiap orang dalam suatu komunitas dapat
saling belajar satu sama lain berdasarkan tingkat perkembangan kognitifnya. Demikian kata
Piaget.
Faktor keempat menurut Piaget yang sangat berpengaruh pada perkembangan kognitif
disebut sebagai ekuilibrasi (penyeimbangan). Penyeimbangan terjadi ketika seseorang secara
terus-menerus harus memproses informasi baru yang didapatnya lalu mengeceknya dengan
informasi atau pengetahuan yang telah dimilikinya sebelumnya. Ketika suatu informasi baru
berbeda dengan informasi lama, maka orang tersebut harus menyeimbangkannya untuk
menentukan manakah informasi yang tepat Dengan demikian struktur pengetahuan (kognitif)
seseorang terus-menerus dapat diubah dan disesuaikan dengan informasi baru yang
diperolehnya.

d. Dampak atau Implikasi Teori


Teori Piaget memiliki dampak besar pada teori dan praktik pendidikan. Ini telah
membantu menciptakan pandangan di mana fokus perhatian adalah pada gagasan pendidikan
yang sesuai dengan perkembangan. Hal ini mengacu pada lingkungan pendidikan, kurikulum,
materi dan pengajaran yang konsisten dengan kemampuan fisik dan kognitif siswa serta
kebutuhan sosial dan emosional mereka. Ada empat implikasi pengajaran utama yang diambil
dari teori Piaget (Slavin, 2005):
1. Fokus pada proses berpikir anak, bukan hanya produknya. Alih-alih hanya memeriksa
jawaban yang benar, guru harus menekankan pemahaman siswa dan proses yang mereka
gunakan untuk mendapatkan jawaban.
2. Pengakuan peran penting dari inisiatif sendiri, keterlibatan aktif anak-anak dalam
kegiatan belajar. Di kelas Piaget, anak-anak didorong untuk menemukan diri mereka
sendiri melalui interaksi spontan dengan lingkungan, daripada presentasi pengetahuan
yang sudah jadi.
3. Penekanan pada praktik membuat anak-anak menjadi dewasa dalam pemikiran mereka.
Hal ini mengacu pada apa yang disebut Piaget sebagai "pertanyaan Amerika" yaitu
"Bagaimana kita dapat mempercepat perkembangan?". Keyakinannya adalah bahwa
mencoba mempercepat dan mempercepat proses anak-anak melalui tahapan bisa lebih
buruk daripada tidak mengajar sama sekali.
4. Penerimaan perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan. Teori Piaget
menegaskan bahwa anak-anak melewati semua tahap perkembangan yang sama, namun
mereka melakukannya pada tingkat yang berbeda. Oleh karena itu, guru harus melakukan
upaya khusus untuk mengatur kegiatan kelas untuk individu dan kelompok anak daripada
untuk seluruh kelompok kelas.
Implikasi pendidikan dari teori Piaget adalah adaptasi instruksi ke tingkat perkembangan
pelajar. Adalah penting bahwa isi pengajaran harus konsisten dengan tingkat perkembangan
pelajar. Peran utama guru adalah memfasilitasi pembelajaran dengan memberikan berbagai
pengalaman kepada siswa. Berdasarkan hal tersebut, metode belajar "Discovery Learning"
menjadi cara yang paling baik dalam memberikan kesempatan kepada siswa untuk bereksplorasi
dan bereksperimen, sembari jugal mendorong para siswa untuk mengadopsi pemahaman baru
yang lebih komprehensif. Selain itu, adanya pembelajaran yang dilakukan bersama-sama antar
pelajar dari tingkat kognitif yang berbeda juga diyakini dapat membantu mendorong siswa yang
kurang matang untuk maju ke pemahaman materi yang lebih tinggi. Salah satu implikasi masa
depan untuk instruksi siswa adalah penggunaan pengalaman langsung untuk membantu siswa
belajar (Wood, 2008).

e. Implementasi Teori dalam Bidang Pendidikan


● Pendidik atau guru menerima seluruh ide anak dan juga mempersiapkan pilihan-pilihan yang
dapat dipertimbangkan oleh anak. Tetapi guru harus dapat mengarahkan sesuai dengan apa
yang seharusnya, jadi guru harus selalu secara tidak langsung memberikan ide nya tetapi
tidak memaksakan kehendaknya. Dengan demikian anak akan menyadari bagaimana anak
tersebut bisa mendapatkan idenya tersebut. untuk menilai sumber ide-idenya akan
memberikan kesempatan kepada mereka untuk menilai proses pemecahan masalah. Hal ini
juga perlu dilakukan di dalam kelas. Sebagai contoh, apabila kelas telah menyelesaikan suatu
masalah, sebaiknya guru menanyakan kembali kepada siswa tentang cara mendapatkan
jawaban tersebut.
● Dengan demikian guru lebih membantu anak dalam proses perkembangan intelektualnya.
Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa proses pembelajaran di kelas menurut Piaget harus
meletakkan anak sebagai faktor yang utama.
● Guru sangat berperan dalam pembelajaran dimana guru harus sangat aktif dalam proses
pembelajaran dimana guru-guru yang ada disini saya haruskan untuk memberikan pelajaran
dengan cara yang menarik baik itu dengan menghadirkan media pembelajaran, mengajak
siswa belajar di luar ruangan meski hanya dilakukan beberapa kali dalam satu semester, dan
juga siswa diajak bermain sambil belajar yang dimana permainannya berupa kuis yang dapat
menambah wawasan siswa terkait dengan pelajaran yang diajarkan.
● Guru mendengarkan, memperhatikan, dan memberi pertanyaan kepada anak untuk
membantu mereka ke arah pemahaman yang lebih baik. Pertanyaan berguna untuk
merangsang penalaran anak.
2. Ivan Pavlov
a. Biografi & Sejarah
Pada tanggal 14 September 1849, lahir seorang bayi yang kelak akan menjadi ilmuwan
besar, ia adalah Ivan Petrovich Pavlov. Pavlov lahir dari seorang ibu bernama Varvara Ivanovna.
Ayah dari Pavlov bernama Petr Dmitrievich Pavlov. Pavlov adalah anak pertama dari Varvara
dan Petr. Pavlov sedari kecil sudah tertarik pada aktivitas berkebun. Ayahnya pernah mendorong
Pavlov untuk memiliki minat pada buku, musik, dan seni. Akan tetapi, ia menolak semua
dorongan yang diberikan oleh ayahnya dan memilih untuk lebih sering berkebun.
Pada saat berusia delapan tahun, Pavlov mulai mempelajari Russian alphabet dan
dasar-dasar aritmatika. Akan tetapi, Pavlov tidak terlalu suka dalam mempelajari dua hal
tersebut, karena ia memiliki cita-cita untuk menjadi tukang kebun dan merasa tidak memerlukan
dua pelajaran tersebut untuk mewujudkan cita-citanya.
Teman-teman Pavlov mengidentifikasikan Pavlov sebagai orang yang passionate, keras
kepala, dan mudah peka. Pavlov juga merupakan orang yang suka berdebat dan tertawa, bahkan
ia pernah meneteskan air mata karena tertawa yang terlalu terbahak-bahak. Secara fisik, Pavlov
memiliki badan yang kurus, berambut ikal, dan matanya berwarna abu-abu.
Dari sisi akademik, Pavlov memiliki background pendidikan dalam bidang faal dan
kedokteran. Ia memulai kehidupan akademisinya dengan masuk ke dalam bidang faal hewan dan
melanjutkan mengambil disiplin ilmu kedokteran di Universitas St. Petersburg. Pavlov berhasil
mendapatkan gelar Ph.D pada tahun 1883 Pavlov juga sempat mencicipi belajar di Leipzig dan
Breslau.
Pavlov memang tidak memiliki background pendidikan di bidang psikologi, tetapi
beberapa hasil penemuannya memberikan banyak sekali pengaruh terhadap bidang psikologi.
American Psychological Association (APA) menyebutkan bahwa Pavlov adalah orang yang
paling berpengaruh dalam perkembangan psikologi modern, sejajar dengan Freud.
Ada beberapa hasil temuan dari Pavlov yang memberikan dampak sangat besar terhadap
ilmu psikologi. Salah satu penemuan dari Pavlov yang terkenal adalah mengenai refleks. Pavlov
menemukan bahwa aktivitas psikis pada manusia tidak lain adalah hasil dari rangkaian refleks
belaka. Penemuan ini menjadi teori dasar dari pendekatan behaviorisme. Penemuan lainnya yang
juga memberikan efek yang besar adalah classical conditioning.
b. Teori dan Perkembangannya
Teori dari Ivan Pavlov yang paling fenomenal dan masih diajarkan pada bidang ilmu
psikologi adalah teori classical conditioning. Classical conditioning pertama kali dikenalkan
oleh Pavlov pada tahun 1927 (McSweeney & Murphy, 2014). Sampai saat ini, teori fenomenal
tersebut masih dianggap relevan dan menjadi bagian dari pendekatan behaviorisme.
Pavlov mulai menemukan teori classical conditioning ketika sedang melakukan
eksperimen yang berhubungan dengan sistem pencernaan. Pada saat itu, Pavlov dan beberapa
mahasiswanya mencoba membuat teknik operasi yang berhubungan dengan sistem pencernaan.
Pavlov mencoba membentuk teknik operasi ini dengan melakukan eksperimen pada anjing. Dari
eksperimen ini, Pavlov dan beberapa mahasiswanya menemukan beberapa hal penting (Lavond
& Steinmetz, 2003).
Pavlov menemukan bahwa ketika mulut anjing diisi dengan makanan atau asam, sekresi
pencernaan pada anjing akan meningkat. Pavlov juga menemukan bahwa anjing akan
mengeluarkan air liur ketika melihat makanan atau penjaga yang membawa makanan. Pavlov
menamakan air luar yang keluar pada anjing sebagai "psychic secretions".
Dari beberapa temuan dan catatan yang Pavlov buat ketika melakukan eksperimen pada
anjing, Pavlov mulai mengembangkan teori classical conditioning. Pavlov menyebut bahwa ada
empat elemen penting pada classical conditioning, yaitu unconditioned stimulus (UCS),
unconditioned response (UCR), conditioned stimulus (CS), dan conditioned response (CR)
(Lavond & Steinmetz, 2003).
Makanan dan asam yang berikan kepada anjing disebut dengan unconditioned stimulus
(UCS). Unconditioned response (UCR) adalah respon yang diberikan oleh anjing terhadap UCS.
Dalam eksperimen di atas, naiknya sekresi pencernaan dan keluarnya air liur pada anjing dapat
disebut sebagai unconditioned response (UCR). Sementara itu, conditioned stimulus (CS) adalah
stimulus yang bersifat netral yang jika diberikan pada anjing, anjing tidak memberikan respon
apa-apa. Salah satu contoh populer dari CS adalah bel. Pada awalnya, anjing tidak akan
merespon apa-apa ketika diberikan bel. Akan tetapi, ketika bel disandingkan dengan makanan
(yang merupakan UCS), anjing akan mengeluarkan air liurnya (yang disebut UCR). Semakin
lama bel disandingkan dengan makanan, anjing akan mulai mempersepsikan bahwa ketika bel
berbunyi, maka makanan akan datang dan ia akan mengeluarkan air liurnya. Sehingga, ketika
nantinya bel berbunyi tanpa disandingkan dengan makanan, anjing akan tetap mengeluarkan air
liurnya. Hal ini disebut dengan conditioned response (CR).

c. Faktor yang Mempengaruhi Teori


Pada teori classical conditioning ada satu faktor yang harus diperhatikan dengan baik
agar teori ini dapat diterapkan secara maksimal. Faktor ini dapat dikatakan sebagai faktor yang
dapat menentukan berhasil tidaknya pengaplikasian dari teori classical conditioning. Faktor
tersebut adalah pemberian stimulus atau disebut dengan unconditioned stimulus (UCS).
Stimulus yang diberikan haruslah sesuai dengan tujuan dari respon yang ingin dihasilkan.
Misalnya, kita ingin memunculkan respon senang orang tua. Untuk memunculkan respon
tersebut, kita harus mencari tahu terlebih dahulu apa yang dapat menstimulus orang tua kita
untuk merasakan senang, apakah dibelikan makanan? Dibelikan baju baru? Diberikan uang?
Atau yang lainnya?.
Intinya, untuk memunculkan respon yang kita inginkan, kita harus mencari tahu dahulu
apa yang dapat mendorong munculnya respon tersebut. Untuk itu, kita perlu melakukan
observasi yang mendetail mengenai subjek yang akan kita berikan pengkondisian. Jika stimulus
yang diberikan tidak tepat, maka respon yang diberikan oleh subjek tidak akan sesuai dengan
yang kita inginkan. Maka dari itu, stimulus yang diberikan memegang peranan penting yang
dapat menentukan sukses tidaknya pengkondisian ini.

d. Dampak atau Implikasi Teori


Dampak yang dihasilkan dari teori classical conditioning sangatlah luas. Dampak dari
teori ini biasanya lebih banyak dirasakan dalam bidang pendidikan dan pembelajaran. Bahkan,
teori ini sudah banyak diajarkan pada tingkat strata satu Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Hal ini dapat dikatakan wajar karena teori ini dapat membantu para guru untuk memunculkan
respon yang sesuai dengan apa yang diinginkan.
Salah satu penerapan teori classical conditioning di bidang pendidikan adalah bel
sekolah. Sebelum kita masuk sekolah, ketika kita mendengar bel rumah berbunyi, respon kita
biasanya memanggil orang tua atau orang rumah lainnya untuk membukakan pintu. Akan tetapi,
ketika kita masuk sekolah lalu mendengar bel, respon yang keluar dari diri kita adalah berjalan
masuk kelas dan bersiap-siap untuk memulai pelajaran atau jika bel tersebut pertanda jam
istirahat, kita akan langsung pergi ke kantin. Respon kita ketika mendengar bel di rumah dan di
sekolah sangatlah beda.
Bel di sekolah merupakan salah satu contoh dari adanya penerapan teori classical
conditioning. Respon yang kita berikan saat mendengar bel di sekolah bukanlah hal yang datang
tiba-tiba. Respon tersebut muncul karena pihak dari sekolah selalu menyandingkan bel sekolah
dengan pertanda istirahat atau masuk kelas. Sehingga setiap kali kita mendengar bel, kita akan
mengetahui bahwa itu adalah tanda untuk masuk atau istirahat (Nurhidayati, 2012).

e. Implementasi Teori dalam Bidang Pendidikan


Implementasi dari teori classical conditioning dari Ivan Pavlov pada dunia pendidikan
mungkin kita tidak terlalu sadari. Berbeda dengan implementasi dari teori operant conditioning
yang dikembangkan oleh B. F. Skinner. Ketika seorang siswa maupun mahasiswa mendapatkan
reward karena berhasil mengerjakan suatu tugas, kita akan langsung mengetahui bahwa sang
pemberi reward sedang menerapkan teori operant conditioning khas Skinner.
Akan tetapi, jika kita ingat kembali ke masa-masa dimana kita menjalani proses belajar,
baik tingkat perkuliahan, SMA, maupun SMP, ada kemungkinan kita akan menemukan minimal
satu pengajar yang menerapkan teori ini. Kita mencoba mengingat kembali masa-masa SMA dan
mencari tahu metode pengajaran yang dilakukan oleh guru kami. Kami menemukan bahwa
terdapat satu guru yang menerapkan teori Pavlov ini. Guru tersebut adalah guru matematika
saya.
Kami mencoba menganalisis tujuan dari guru matematika saya menggunakan teori
classical conditioning dan menemukan bahwa tujuan diterapkannya teori tersebut adalah untuk
meng-counter persepsi kita terhadap mata pelajaran matematika. Pada saat itu, teman-teman
kelas saya tidak terlalu excited karena menganggap mata kuliah matematika tidak asik dan hanya
membuat pusing.
Untuk mengubah persepsi itu, guru saya coba menyandingkan pelajaran matematika ini
dengan pemberian makanan. Setiap siswa yang berhasil menjawab sepuluh soal yang diberikan,
akan mendapatkan makanan dari guru matematika tersebut. Biasanya, makanan yang diberikan
adalah makanan yang dibuat oleh beliau sendiri, seperti nasi goreng, mie goreng, dan lainnya.
Cara yang dilakukan oleh guru matematika saya pun dapat dinilai berhasil karena kami semakin
bersemangat ketika menjumpai mata pelajaran matematika. Berikut adalah rincian detail
mengenai proses classical conditioning yang dilakukan oleh guru matematika saya:
- Before Conditioning
Pelajaran matematika → Malas
Ditraktir makan → Senang dan semangat

- During Conditioning
Pelajaran matematika + ditraktir makan → senang dan semangat

- After Conditioning
Pelajaran matematika → senang dan semangat

3. Perbandingan antara Kedua Teori


Perbedaan yang paling fundamental dari teori Ivan Pavlov dan Jean Piaget terletak pada
aliran/pendekatan dari keduanya, yang berarti asumsi dasar dari masing-masing teori terhadap
bagaimana manusia berfungsi pun sangat berbeda. Pavlov mendasarkan teorinya pada
pendekatan behaviorisme, dimana ia meyakini bahwa kepribadian (serangkaian perilaku yang
dapat terlihat dan suatu kebiasaan) merupakan akumulasi dari proses belajar individu dalam
merespon suatu stimulus. Dalam aliran behaviorisme, suatu hal dapat dikatakan kepribadian jika
hal tersebut dapat diobservasi dan diamati (Schultz & Schultz, 2016).
Jean Piaget bukanlah seorang yang berada pada aliran behaviorisme, melainkan seorang
constructivist, yang berarti Piaget lebih meyakini bahwa manusia secara bebas dan subjektif
mempersepsi pengetahuan dan menciptakan makna dari pengalamannya sendiri. Dalam teori
perkembangan kognitifnya, ia menjelaskan bahwa pengetahuan itu sendiri selalu berubah-ubah,
yang tidak berubah adalah proses atau mekanisme yang setiap manusia lalui dalam menghasilkan
pengetahuan. Piaget menganggap bahwa proses yang dilakukan dalam rangka menghasilkan
pengetahuan (proses kognitif) ini lah yang pada akhirnya membentuk kepribadian seseorang.
Perbandingan yang lebih konkrit antara teori yang dikemukaan oleh Ivan Pavlov dengan
teori yang dikemukakan oleh Jean Piaget dijelaskan dalam tabel berikut:
No. Perbandingan Ivan Pavlov Jean Piaget
Classical Conditioning Cognitive Development

1. Asumsi Dasar Seorang behavioris, Seorang constructivist,


mengasumsikan manusia mengasumsikan bahwa
sebagai organisme yang pada manusia secara aktif
dasarnya flaccid atau sangat membangun dan
mudah dibentuk oleh mengkonstruksi
lingkungannya. pemahamannya terhadap
lingkungan dengan adanya
dorongan/ motivasi/
kebutuhan yang memang
secara fundamental
terdapat pada tiap individu
(bahkan saat usia infant).

2. Pandangannya Memandang proses belajar Memandang proses belajar


terhadap Proses sebagai sebuah interaksi sebagai sebuah proses
belajar yang melibatkan adanya perubahan persepsi dari
stimulus & respon, atau adanya pertemuan antara
umumnya disebut pengalaman yang lama
conditioning. (yang sudah tersimpan
dalam diri individu berupa
memori) dengan
pengalaman yang baru.

3. Skema Proses Unconditioned stimulus (UCS) Skema - Asimilasi -


Pembelajarannya - unconditioned response Disequilibrium -
(UCR), conditioned stimulus Akomodasi - Ekuilibrium
(CS) - conditioned response
(CR)
4. Hasil atau Output Menganggap bahwa output Hasil dari proses belajar
dari suatu proses belajar tidak harus selalu diikuti
adalah adanya perubahan dengan adanya perubahan
perilaku pada individu perilaku.
(perubahannya observable &
terukur).

5. Faktor-faktor yang Prosesnya bergantung pada Prosesnya bergantung pada


Mempengaruhi beberapa faktor sbb: kematangan biologis,
karakteristik pengajar & aktivitas fisik,
muridnya, kuantitas pengalaman-pengalaman
pembelajaran/ pengulangan sosial, dan penyeimbangan
proses belajarnya, tujuan (ekuilibrasi).
atau motivasi dilakukannya
suatu pembelajaran, media
pembelajaran, dan
fasilitasnya.

6. Keberlangsungan Tidak meng-propose adanya Meyakini bahwa


Prosesnya dalam stages atau tahapan yang perkembangan kognitif pada
Rentang Kehidupan pasti pada proses belajar, setiap manusia pada
namun prosesnya tetap dasarnya melalui
melibatkan aspek kognitif mekanisme/ tahapan yang
(sebagai perangkat bawaan) sama (sensory motor -
dan perilaku (sebagai output operational formal), terlepas
dan sekaligus indikator dari dari adanya faktor-faktor
berhasil atau tidaknya suatu tertentu yang dapat
pembelajaran). mempengaruhi
subjektivitasnya persepsi
setiap orang dalam
memahami suatu
pengalaman.
Daftar Pustaka

Anidar, J. (2017). Teori belajar menurut aliran kognitif serta implikasinya dalam pembelajaran.
Jurnal Al-Taujih: Bingkai Bimbingan dan Konseling Islami, 3(2), 8-16.

Cherry, Kendra. (2022, February 16). Jean Piaget Biography (1896-1980). Verywell Mind.
https://www.verywellmind.com/jean-piaget-biography-1896-1980-2795549

Dafrizal, J. (2015). Teori Belajar Behaviorisme dan Implikasinya dalam Praktek Pendidikan.
https://www.researchgate.net/publication/289193100_TEORI_BELAJAR_BEHAVIORIS
ME_DAN_IMPLIKASINYA_DALAM_PRAKTEK_PENDIDIKAN

Ekawati, M. (2019). Teori belajar menurut aliran psikologi kognitif serta implikasinya dalam
proses belajar dan pembelajaran. E-TECH: jurnal ilmiah teknologi pendidikan, 7(2), 1-12.

Ibda, Fatimah. (2015). Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget. Intelektualita, 3 (1).
https://media.neliti.com/media/publications/242904-perkembangan-kognitif-teori-jean-piag
et-48e0bd89.pdf

Joubish, M. F., & Khurram, M. A. (2011). Cognitive development in Jean Piaget’s work and its
implications for teachers. World Applied Sciences Journal, 12(8), 1260-1265.

Lavond, D. G., & Steinmetz, J. E. (2003). Handbook of Classical Conditioning. Springer

McSweeney, F. K., & Murphy, E. S. (2014). The Wiley Blackwell Handbook of Operant and
Classical Conditioning. Wiley

Nurhidayati, T. (2012). Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical


Conditioning) dalam Pendidikan. Jurnal Falasifa, 3 (01).
https://jurnalfalasifa.files.wordpress.com/2012/11/2-titin-nurhidayati-implementasi-teori-b
elajar-ivan-petrovich-pavlov-classical-conditioning-dalam-pendidikan.pdf

Paul Suparno, Perkembangan Kognitif Jean Piaget, Yogyakarta: Kanisius, Cet I, 2006, hal.11

Powell, Symbaluk, dan Honey (2009). Introduction to learning and behavior (3rd ed.). Boston,
MA: Cengage Learning.
Sarwono, S. W. (2008). Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi. Bulan
Bintang

Schultz, D. P., & Schultz, S. E. (2016). Theories of Personality (11th Ed.). Wadsworth

Anda mungkin juga menyukai