ISBN : 978-602-1552-35-3
Printed;
Irama Offset,
Jl. Kertamukti, Ciputat, Tangerang
081280481098
Irama2fotocopy@gmail.com
Diterbitkan Oleh:
PKBM “Ngudi Ilmu”
Jl. Kyai Sampir No. 3, Kalirejo, Salaman
Magelang, 56162
Telp. 085714685441
Email; ilmungudi@gmail.com
KATA PENGANTAR
َّ ًالس ْحم
ِالس ِح ُِم َّ هللا ْ
ِ ِبس ِم
ِ
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah
menganugerahkan kesempatan dan kesehatan kepada penulis
sehingga bisa menyelesaikan penulisan buku Kerukunan Umat
Beragama (Studi Kasus Pemahaman Masyarakat Mustika Jaya Bekasi
Terhadap Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006). Buku
ini merupakan hasil penelitian dan karya tulis penulis untuk
menyelesaikan pendidikan Magister di Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dengan mengambil konsentrasi Agama
dan Studi Perdamaian, yakni konsentrasi yang merupakan program
kerjasama antara Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora)
dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulisan buku ini bermula dari bentuk keprihatinan penulis
terhadap maraknya konflik antar umat beragama yang terjadi di
beberapa daerah di Indonesia, salah satu yang dipermasalahkan
adalah aturan pemerintah yang sampai saat ini masih menjadi pro
dan kontra di masyarakat yakni Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan
8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Memelihara Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat, yang merupakan hasil kebijakan Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri untuk mengatur lalu lintas
keberagamaan di masyarakat.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan
kepada para pendidik Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., Prof. Dr. Suwito, MA., dan Dr.
Yusuf Rahman, MA., atas didikan dan arahan serta memotivasi penulis
untuk terus belajar mulai dari awal penulis masuk kuliah hingga
terselesaikannya studi ini. Pembimbing penulis, Prof. Dr. H. M. Atho
Mudzhar, MSPD., yang tak pernah lelah untuk membimbing dan
mengarahkan serta selalu memberikan motivasi kepada penulis.
Dosen-dosen Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Dr. Asep Saepuddin
Jahar, MA., Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM., Prof. Dr. Murodi, MA., Prof.
Dr. Zainun Kamal, MA., dan Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA yang telah
membantu penulis dalam menganalisis teori dan metodologi sehingga
menjadikan penelitian ini lebih baik lagi.
Penelitian ini dapat terlaksana dengan bantuan banyak pihak,
untuk itu penulis berterima kasih kepada Pemerintah Kota Bekasi,
Kepala Badan Kesbangpolinmas Kota Bekasi, Dr. Agus Darma Suwandi,
SH, MM.; Ketua FKUB Kota Bekasi, H. Abdul Manan; Anggota FKUB
Kota Bekasi, H. Moch. Nasrullah, S.Pd.I dan segenap jajaran
Pemerintah Daerah Kecamatan Mustika Jaya Bekasi yang telah
mengizinkan kepada penulis untuk mengadakan penelitian. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada KH. Syafi’i Mufidz, MA dan
Drs. Rudy Pratikno, SH selaku pengurus FKUB Provinsi DKI Jakarta
yang telah memberikan arahan dan argumentasinya kepada penulis
sehingga memperkaya isi bahasan penelitian ini.
Tidak lupa juga kepada orang tua penulis, ayahanda M. Sholeh
HMG dan ibunda Azizah Kilali, juga abang dan kakak yang selalu
mendoakan dan merestui, tidak lelah memotivasi penulis untuk terus
belajar dan menyelesaikan pendidikan ini. Juga kepada suami
tercinta, Ahmad Fikri yang selalu memberikan motivasi kepada
penulis sampai selesainya penulisan buku ini. Semoga amal baik dari
keluarga ini selalu mendapatkan keridaan dan keberkahan dari Allah
SWT.
Penulis berharap buku ini dapat bermanfaat bagi para
pembacanya dan memberikan kontribusi untuk menjadi suatu
referensi dalam memahami keadaan kerukunan antar umat beragama
di Indonesia. Kritik dan saran yang diterima untuk perbaikan buku
ini, penulis ucapkan terima kasih banyak. Akhir kata, penulis
memohon maaf apabila dalam penulisan buku ini masih banyak
kekurangan dan kelemahan.
iv | Rif’atul Hasanah
ABSTRAK
أزبذ هرا البحث أن للدولت إسهاما هبيرة في ضمان الىئام الدًني .إن الدًً
ـامل مً الفىامل التى جثير بفض الصساـاث الدًيُت .ولىً هرا البحث ًؤهد أن مً
ـىامل ـدم الىئام الدًني هى كلت فهم املجخمق في هؽام الخيىمت ـً الىؽام املشترن بين
وشازة الشؤون الدًيُت ووشازة الشؤون الداخلُت زكم 9و 8ـام 6002ـً هخِب ـمل
الىؼائف لسئِس املىعلت وهائبه في الخفاػ ـلى الىئام بين مفخىلي ألادًان وإـماٌ مىخدي
الىئام بين مفخىلي ألادًان وإوشاء املفابد الري ًؤدي إلى الصساؿ بين مفخىلي ألادًان مق
أن جلً البىىد الثالزت لها ازجباط إًجابي ّ
وداٌ في صفُد الىئام بين مفخىلي ألادًان.
هخائج هرا البحث مؤسست ـلى هؽسٍت ـالكُت بين الدًً و الدولت ،و هؽسٍت
املجخمق .بيسبت إلى ـالكت بين الدًً و الدولت فالخيىمت لها دوز للخفؾ حسٍت في الدًً
وـىاًت في إهدشاز وجعىز ول أدًان .وأما بيسبت إلى هؽسٍت املجخمق هما أوشأ JJ.
Hobbes Rousseauو Lockeفالخيىمت أو الدولت لها دوز في جضمين حلىق و
حسٍت املجخمق في الخُاة .إن الدولت بىاسعت PBMزكم 9و 8سىت 6002أزبدذ أن
الخيىمت ـلُه جضمين في الصخُصت و الصالخت الخُاة املجخمق بئزباث هخِب ـمل
الىؼائف لسئِس املىعلت وهائبه في الخفاػ ـلى الىئام بين مفخىلي ألادًان وإـماٌ مىخدي
الىئام بين مفخىلي ألادًان وإوشاء املفابدِ.
وٍخخلف هرا البحث ـً البحىر التى أحساها ز .حشىث أبلبي R.Scott
Applebyفي ) The Ambivalence of the Sacred (2000ومازحازٍذ ٌ.
أهدًسسىنِ Margaret L. Andersonوهىوازد ف .جاًلىزِ Howard F. Taylorفي
) Sociology: Understanding a Diverse Society (2006حُث كاٌ إن الدًً
مً الفىامل التى جؤدي إلى حدور الصساؿ بين مفخىلي ألادًان .وذلً بىاء ـلى أن الدًً
ًلُداهه ،وهما :ـامل جياملي وـامل جفسخي .وكاٌ أزظىز ج.د .أدامى Arthur له دوزان ّ
J.D’ Adamoفي Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah - 1
B. Studi Terdahulu - 11
C. Metodologi Penelitian - 16
BAB VI Penutup
A. Kesimpulan - 137
B. Saran - 139
Bibliografi - 141
Glosari - 153
Indeks - 159
Lampiran
a. Peta Kota Bekasi - 166
b. Daftar Pertanyaan (Angket) - 167
c. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 - 175
d. Tanya Jawab PBM Yang Disempurnakan Tahun 2012 - 189
e. Keputusan Bersama Menteri Agama dan menteri dalam
Negeri No. 01/BER/MDN-MAG/1969 - 210
Biografi Penulis - 213
A. Konsonan
B = ب Z = ز F = ف
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
ِِا Kasrah I I
ِا ḍammah U U
C. Maddah
Tanda Nama Huruf Latin Nama
ــا fatḥaḥ dan alif a dan garis di atas
Ā
ـ ِـي kasrah dan ya i dan garis di atas
Ī
ـ ـى dhammah dan wau u dan garis di atas
Ū
D. Ta’ marbutah ( ) ة
Transliterasi ta’ marbutah ditulis dengan “h” baik dirangkai
dengan kata sesudahnya maupun tidak contoh mar’ah ()مسأة
madrasah ((مدزست
Contoh:
ّ املدًىت
املىىزة : al-Madīnah al-Munawwarah
E. Shaddah
Shaddah/tashdīd di transliterasi ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang bersaddah itu.
Contoh:
ّ
زبـىا : rabbanā ٌِّهص : nazzal
F. Kata Sandang
Kata sandang “ ”الـdilambangkan berdasar huruf yang
mengikutinya, jika diikuti huruf syamsiyah maka ditulis sesuai
huruf yang bersangkutan, dan ditulis “al” jika diikuti dengan huruf
qamariyah. Selanjutnya ٌ اditulis lengkap baik menghadapi al-
Qomariyah contoh kata al-Qamar ( )اللمسmaupun al-Syamsiyah
seperti kata al-Rajulu ()السحل
G. Pengecualian Transliterasi
Adalah kata-kata bahasa arab yang telah lazim digunakan di
dalam bahasa Indonesia dan menjadi bagian dalam bahasa
Indonesia, seperti lafal هللا, al-asmā’ al-ḥusnā dan ibn, kecuali
menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan
pertimbangan konsistensi dalam penulisan.
1
Nasaruddin Umar dalam presentasinya pada acara Roundtable Discussion
yang bertema tentang “Peran Negara dalam Pembangunan Agama”
diselenggarakan oleh Kedeputian Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan
Bappenas pada tanggal 08 Juli 2013 pukul 09.00 WIB, di ruang SG 4-5, Gedung
Bappenas. Diakses dari http://www.bappenas.go.id/print/1401/peran-negara-
dalam-pembangunan-agama-roundtable-discussion/ tanggal 11 Juli 2013.
2
Dalam paradigma negara Islam, agama dan negara menyatu. Wilayah
agama meliputi politik atau negara. Negara merupakan lembaga politik dan
keagamaan sekaligus. Kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan
kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar “kedaulatan
Ilahi”, karena pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan
berada di “tangan Tuhan”. Lihat Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab
Negara Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKis, 2001),
24. Lihat juga Yusuf Qardhawi, Fiqih Negara (Jakarta: Robbani Press, 1997), 29
dan M Hasbi Amirudin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman
(Yogyakarta: UII Press, 2000), 80. Dengan bentuk negara agama ini, agama bisa
mengontrol negara sebanyak atau bahkan lebih dari negara mengontrol agama.
Lebih lanjut lihat Jonathan Fox, A World Survey of Religion and The State (New
York: Cambridge University Press, 2008), 227.
3
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia Kompilasi Aktual
Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), 33.
2 | Rif’atul Hasanah
Berbeda dari prinsip kebebasan beragama yang diterapkan
oleh negara sekuler dan negara agama, kebebasan beragama dalam
negara Pancasila bersifat netral-aktif yang mempunyai arti bahwa
pemerintah bukan hanya menjamin kebebasan beragama dari
semua agama, tetapi juga secara aktif mendorong pertumbuhan
masing-masing agama tanpa terkecuali.4 Dengan berlandaskan
Pancasila, negara membimbing masyarakat ke arah sikap moderat
dalam menghadapi pluralitas keagamaan.
Sejalan dengan ini, Said Agil Husin Al-Munawar menyatakan
bahwa bangsa Indonesia yang berfalsafahkan Pancasila, sila
pertama menunjukkan bahwa kesadaran moral bangsa Indonesia
ditumbuhkan oleh agama. Sila ini bukan saja menjadi dasar rohani
dan dasar moral kehidupan bangsa, melainkan secara implisit juga
mengandung ajaran toleransi beragama, dimana toleransi dipahami
sebagai suatu sikap penerimaan terhadap keyakinan orang lain.
Agama adalah sesuatu yang diyakini dan dipahami manusia.
Keyakinan ini bisa nampak manakala diekspresikan oleh manusia
atau sebagai penerapan konkrit nilai-nilai yang dimiliki manusia.5
Agama memang merupakan wahana yang sangat efektif
untuk memobilisasi massa, namun keefektifan agama sebagai
penyebab suatu konflik tergantung pada kondisi yang dialami
sebuah masyarakat. Agama akan mudah menjadi wahana mobilisasi
guna mencapai tujuan negatif, seperti penyebab konflik, apabila
masyarakat mengalami ketidakberdayaan ekonomi dan politik yang
4
Benyamin F. Intan, “Rumah Ibadat dan Hegemoni Negara”, (Suara
Pembaharuan, 3 Agustus, 2009).
5
Menurut Said Agil Al-Munawar, moral yang ditumbuhkan oleh agama
mempunyai daya kekuatan rohaniah yang tidak pernah absen dalam menuntun dan
mengendalikan penyandangannya agar ia selalu berada dalam garis batas norma-
norma susila, menumbuhkan sifat-sifat mahmudah (terpuji) serta berpikir objektif
yang dimanifestasikan dengan (a) percaya kepada diri sendiri, (b) menyadari
posisi serta tugas yang dipercayakan, (c) mengeliminir sikap egoistis dan
individualistis, (d) memandang jauh ke depan dan berantisipasi, (e)
memperhitungkan latar belakang setiap tindakan, dan (f) menghargai dan
memperhitungkan waktu. Agama selain membina mental yang diperlukan dalam
pembangunan, juga menentukan suksesnya pembangunan karena, pertama:
menumbuhkan niat atau motivasi, kedua: menjelaskan arah dan tujuan
pembangunan. Lihat Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama
(Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), cet. III, 32.
6
Konflik yang murni disebabkan oleh agama adalah Perang Salib, yakni
perang antara bangsa Eropa Barat yang beragama Katholik melawan bangsa Arab
yang beragama Islam. Demikian pula konflik yang terjadi di Irlandia Utara,
merupakan konflik yang muncul antara pemeluk agama Katholik dengan pemeluk
agama Protestan. Dalam dua peristiwa ini, agama telah berubah dari suatu paham
spiritual manusia menjadi paham spiritual dan sekaligus ciri khas atau identitas
yang ekslusif dari sebuah komunitas yang membedakan dengan kelompok atau
komunitas lainnya. Dalam konflik Irlandia Utara, disebutkan juga bahwa salah
satu faktor konflik tersebut adalah politik-keagamaan. Lihat Loekman Soetrisno,
Konflik Sosial, Studi Kasus Indonesia (Yogyakarta: Tajidu Press, 2003), 32-40.
Lihat juga Marzani Anwar, “Akar Historis Konflik Islam-Kristen” dalam
HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius, Volume III, Nomor 9, Januari-
Maret 2004, 14. Bandingkan dengan J. Milburn Thompson, Keadilan dan
Perdamaian: Tanggung Jawab Kristiani Dalam Pembangunan Dunia, terj. Jamilin
Sirait, P. Hutapea, dan Steve Gaspersz (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), 221.
7
D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama (Jakarta: Kanisius, 1983), 151.
4 | Rif’atul Hasanah
agama terseret dalam arus persaingan, pertentangan dan bahkan
permusuhan antara kelompok.8
Selain faktor non-keagamaan tersebut, beberapa faktor yang
dijadikan penyebab disintegrasi umat beragama, yakni faktor
agama yang langsung dapat menimbulkan konflik adalah wilayah
doktrin dari masing-masing agama. Masih dalam faktor agama
namun tidak secara langsung menimbulkan konflik diantaranya (1)
penyiaran agama, (2) bantuan keagamaan dari luar negeri, (3)
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, (4) pengangkatan
anak, (5) pendidikan agama, (6) perayaan hari besar keagamaan, (7)
perawatan dan pemakaman jenazah, (8) penodaan agama, (9)
kegiatan kelompok sempalan, (10) transparansi informasi
keagamaan, dan (11) pendirian rumah ibadat.9
Pada kenyataannya, ketidakharmonisan terkait agama ini,
khususnya banyak terjadi disebabkan masalah pendirian rumah
ibadat yang merupakan persoalan yang serius dan cukup sensitif.
Kehadiran sebuah rumah ibadat sering mengganggu hubungan
antar umat beragama atau bahkan memicu konflik karena
lokasinya berada di tengah komunitas yang kebanyakan menganut
agama lain. Rumah ibadat dalam hal ini tidak hanya dilihat sebagai
tempat untuk melaksanakan ibadat atau kegiatan keagamaan
semata, tetapi juga sebagai simbol keberadaan suatu kelompok
agama. Permasalahannya menjadi rumit jika jumlah rumah ibadat
tersebut dipandang oleh pihak lain tidak berdasarkan keperluan,
melainkan untuk kepentingan penyiaran agama pada komunitas
lain.
Pendirian rumah ibadat suatu kelompok agama minoritas di
tengah kelompok agama mayoritas pun memicu terjadinya konflik
antar agama. Padahal, salah satu yang mempengaruhi kegairahan
para penganut masing-masing agama dalam mengembangkan nilai-
8
Lihat M. Atho Mudzhar, “Kebijakan Negara dan Pemberdayaan Lembaga
dan Pemimpin Agama dalam Rangka Keharmonisan Hubungan Antar Umat
Beragama” dalam Muhaimin AG (editor), Damai di Dunia, Damai Untuk Semua
Perspektif Berbagai Agama (Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan
Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama
dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2004), 14-15. Ismatu Ropi, ”The
Politics of Regulating Religion: State, Civil Society and the Quest for Religious
Freedom in Modern Indonesia”, Thesis The Australian National University,
2012,9.
9
Muhammad M. Basyuni, Kebijakan dan Strategi Kerukunan Umat
Beragama (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departeman Agama RI, 2007), 6.
10
Posisi negara, sebagai komunitas bayangan yang merangkum aneka
kepentingan masyarakat. Negara didirikan atas kontrak semua kelompok dan
elemen masyarakat. Negara dengan sendirinya menjadi tempat kelompok-
kelompok yang bisa melakukan transformasi menuju cita-cita yang diidealkan.
Lihat Bennedict Anderson, Imagined Communities (New York: Verso, 2006),
104.
11
Abdulla>hi A. An-Na’i>m, Islam and The Secular state: Negotiating Future
of Shari’a (Cambridge, Mass: Harvard University Press, 2008). 110. Lihat juga A.
John Simmons, “Political Consent” dalam Christopher W. Morris (editor), The
Social Contract Theorists: Critical Essays on Hobbes, Locke, and Rousseau
(Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, 1999), 131.
12
Jamilin Sirait, “Religious Tolerance and Freedom in Indonesia” in
Indonesia Today Problems and Perspective Politics and Society Five Years into
Reformasi (Jakarta: Konrad Adenauer Stiftung, 2004), 175.
6 | Rif’atul Hasanah
Dalam upaya meningkatkan kerukunan antar umat beragama
yang terkait dengan persoalan rumah ibadat, pada masa lalu
pemerintah sudah berkali-kali mengadakan dialog antar umat dan
menerbitkan sebuah kebijakan yang tertuang dalam Surat
Keputusan Bersama (SKB) No. 1/Ber/MDN-MAG/1969 tentang
Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin
Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah
Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya.13
Sejak semula SKB ini sudah mendapat kritik yang semakin
lama semakin membesar. Pada akhir tahun 2004 atau awal 2005
mencuat kembali pendapat-pendapat dalam masyarakat yang
menganjurkan untuk mencabut atau mempertahankan SKB No.
1/Ber/MDN-MAG/1969.14
Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama dan
Departemen Dalam Negeri, mengundang para wakil dari masing-
masing majelis agama antara lain Konferensi Wali Gereja Indonesia
(KGI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja-Gereja
Indonesia (PGI), Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat (PHDI),
dan Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI) untuk merevisi
SKB tersebut dan setelah melalui proses pembahasan dan dialog
yang relatif intensif, serius dan berulang-ulang selama lebih kurang
enam bulan dalam 11 kali pertemuan, akhirnya berhasil mencapai
13
Lahirnya SKB ini menurut Rumadi tidak muncul secara tiba-tiba. Ada
konteks sosio-religius yang mendorong diterbitkannya SKB ini. SKB tersebut
tidak terlepas dari kontestasi kelompok Islam dan Kristen. Isu kristenisasi saat itu
menjadi momok yang menakutkan di kalangan orang Islam. Ketegangan-
ketegangan sosial akibat tempat ibadah sudah muncul saat itu. Pada tahun 1967,
terjadi kasus penolakan pendirian gereja di Meulaboh, kalangan muslim
berargumentasi bahwa mereka tidak mentolerir pendirian gereja karena di
Meulaboh dihuni oleh mayoritas muslim. Sementara pihak Kristen merasa bahwa
mendirikan gereja merupakan bagian dari kebebasan beragama. Lihat Rumadi,
“Mengawal Pluralisme di Tengah Kegamangan Negara”,(prolog) dalam Ahmad
Suaedy, Politisasi Agama dan Konflik Komunal; Beberapa Isu Penting di
Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 10-11.
14
Lihat Sambutan Menteri Agama Muhammad M. Basyuni pada Sosialisasi
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun
2006/Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat
Tanggal 17 April 2006 dalam Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya (Edisi Tanya
Jawab Yang Disempurnakan), Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2012, 2.
15
Pengkajian SKB No. 1/Ber/MDN-MAG/1969 selesai dan membuahkan
hasil bahwa SKB tersebut relevan dalam menangani konflik pendirian rumah
ibadat. Terbukti dari tahun 1977-2004, rumah ibadat semua agama bertambah
pesat, yakni rumah ibadat umat islam berawal dari 392.044-643.834 (64%), rumah
ibadat umat Kristen bertambah dari 18.977-43.909 (131%), rumah ibadat umat
katolik 4.934-12.473 (153%), dan rumah ibadat umat budha 1.523-7.129 (368%).
Pada tanggal 12 September 2005 dirapatkan lagi agar sesuai dengan UU 32/2004.
Pada bulan Oktober 2005, draft penyempurnaan SKB telah siap yang mengalami
pembahasan dan pengkajian oleh wakil dari masing-masing majelis agama selama
10 kali dan yang terakhir pada tanggal 21 Maret 2006 dihadiri oleh Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri yang pada akhirnya disepakati dan disahkan
pada saat itu juga. Lihat Sambutan Menteri Agama RI pada Sosialisasi Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006
dalam Pedoman Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama yang disusun oleh
Sub Bagian Hukmas dan KUB Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi DKI
Jakarta, 2007, 44.
16
Lihat Sambutan Menteri Dalam Negeri pada Pembukaan Sosialisasi
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8
Tahun 2006 dalam Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya, Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2012, 21.
8 | Rif’atul Hasanah
keberatan-keberatan terhadap ketentuan PBM ini didasarkan pada
alasan bahwa peraturan bersama menteri ini bersifat diskriminatif
dan bertentangan dengan jaminan konstitusi yang tertuang dalam
Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945, ada pula yang mendukung adanya PBM
mengalaskan argumennya pada kepentingan dan ketertiban umum
yang tidak boleh diabaikan dalam pembangunan rumah ibadat.17
Pro-kontra dalam menerima PBM ini masih terus terjadi,
padahal menurut Menteri Agama Suryadharma Ali, tudingan bahwa
PBM hanya menguntungkan kelompok agama tertentu juga tidak
berdasar. Sesuai rapat dengan DPR, 21 September 2010, Menteri
Agama menunjukkan statistik bahwa tren pertumbuhan
pembangunan masjid lebih rendah dibanding pertumbuhan tempat
ibadah agama lain. Salah satu prinsip PBM ini adalah memberikan
kepastian pelayanan secara adil, jelas, dan terukur kepada
pemohon pendirian rumah ibadat. Dengan demikian, kehadiran
PBM ini masih sangat dibutuhkan untuk mengatur umat beragama
dalam menjalankan kehidupan beragama. Bahkan, dalam rapat
dengan Komisi VIII DPR di Gedung DPR, Senayan tanggal 21
September 2010, mencuat gagasan Materi Agama Suryadharma Ali
agar status hukum ditingkatkan menjadi undang-undang.18
Dalam hal ini, ketimpangan pemahaman di kalangan
masyarakat atas peraturan bersama dua menteri yang sudah
dicanangkan itu, entah belum tersosialisasikan dengan baik di
kalangan masyarakat ataupun memang karena ekslusifisme warga
yang tidak bisa ditolerir dalam menanggapi konflik yang terjadi,
termasuk di Kota Bekasi.
Pengambilan lokasi penelitian di Bekasi dilatarbelakangi
karena adanya perselisihan antar umat beragama terkait dengan
pendirian rumah ibadat. Bekasi juga merupakan kota yang
mempunyai populasi heterogen serta memiliki banyak organisasi
keagamaan. Organisasi-organisasi muslim garis keras seperti Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Gerakan Pemuda Islam
17
Viona Wijaya, “Kajian Kritis Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006”, Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran, Agustus 2013 diunduh dari
http://fh.unpad.ac.id/repo/2013/08/kajian-kritis-peraturan-bersama-menteri-
agama-dan-menteri-dalam-negeri-nomor-9-tahun-2006-dan-nomor-8-tahun-2006/
tanggal 23 Maret 2014.
18
Lihat Laporan Utama bertajuk “Kerukunan Umat Beragama Jadi
Rujukan” dalam Majalah Ikhlas Beramal, Nomor 65 Tahun XIII Oktober 2010, 12.
19
Lihat International Crisis Group, Indonesia: “Christianisation” and
Intolerance, Jakarta/Brussels, 24 November 2010, http://www.crisisgroup.org
diunduh tanggal 08/03/2012.
20
International Crisis Group, Indonesia: “Christianisation” and
Intolerance, Jakarta/Brussels, 24 November 2010, http://www.crisisgroup.org
diunduh tanggal 08/03/2012.
10 | Rif’atul Hasanah
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 dengan tingkat kerukunan umat
beragama?
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, muncul beberapa
pertanyaan terkait PBM tersebut yakni apakah ada hubungan
antara tingkat pemahaman masyarakat terhadap PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006 dengan tingkat kerukunan antar umat beragama.
Untuk menjabarkan pertanyaan tersebut, maka dirinci lagi
pertanyaan pokok sebagai berikut: (1) Bagaimana pemahaman
masyarakat Mustika Jaya Bekasi terhadap Peraturan Bersama
Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006? (2) Bagaimana hubungan antara
tingkat pemahaman masyarakat terhadap Peraturan Bersama
Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan tingkat kerukunan antar umat
beragama di kecamatan Mustika Jaya Bekasi?
Ruang lingkup kajian dalam penelitian ini dibatasi pada
pemahaman masyarakat terhadap Peraturan Bersama Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 9 dan 8 Tahun 2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian
Rumah Ibadat dan bagaimana hubungannya terhadap tingkat
kerukunan antar umat beragama. Masyarakat disini terdiri dari dua
karakter responden, karakter pertama yakni mereka yang bekerja
di kelurahan di lingkup kecamatan Mustika Jaya Bekasi, yakni
kelurahan Mustika Jaya, Mustika Sari, Padurenan, dan Cimuning,
sedangkan karakter lain adalah masyarakat biasa yang tinggal di
kecamatan tersebut. Jika analisis antara dua karakter responden
tersebut dipisahkan, boleh jadi analisisnya berbeda. Pemilihan
kecamatan Mustika Jaya atas dasar konflik antara muslim dan
kristiani yang disebabkan proses pendirian gereja HKBP Pondok
Timur Indah (PTI) di Desa Ciketing, kecamatan Mustika Jaya Bekasi
pada tanggal 12 September 2010.
B. Studi Terdahulu
Sejauh pengamatan yang dilakukan penulis, sudah banyak
didapatkan buku/penelitian yang membahas tentang konflik
maupun kerukunan antar umat beragama di Indonesia dan tentang
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan bidang sosial
keagamaan. Diantara karya dan penelitian tersebut adalah:
1. Kerukunan Antar Umat Beragama
Penyebab konflik sosial keagamaan yang menyebabkan
ketegangan dalam hubungan antar umat beragama antara lain
21
Ahmad Sanusi, Agama di Tengah Kemiskinan: Refleksi atas Pandangan
Islam dan Kristen dalam Perspektif Kerjasama Antar Umat Beragama (Jakarta:
Logos, 1999), 88.
22
Wijaya, Agama, Sekte dan Perubahan Sosial (Studi tentang munculnya
sekte-sekte keagamaan pada umat Islam di kelurahan Sungai Buah Palembang)
(Jakarta: FISIP UI, 2001), 162.
23
Ahsanul Khalikin, “Peta Kerukunan Di DKI Jakarta” dalam Achmad
Syahid dan Zainudin Daulay (editor), Riuh di Beranda Satu: Peta Kerukunan
Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian
Kerukunan Hidup Umat Beragama, Departemen Agama RI, 2002), 79.
24
International Crisis Group, Indonesia: “Christianisation” and Intolerance,
Jakarta/Brussel, 24 November 2010 diunduh tanggal 08/03/2012.
12 | Rif’atul Hasanah
2. Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Sosial Keagamaan
Disertasi Alirman Hamzah, membahas antara lain
persamaan dan perbedaan yang mendasar antara kebijakan
pemerintah Orde Baru dan Orde Reformasi dalam bidang
kerukunan antar umat beragama. Pada Orde Baru, kebijakan
pemerintah menggunakan teori akomodasi yang bersifat coersif
dengan pendekatan top down, sehingga banyak kebijakan
pemerintah Orde Baru mendapat resistensi besar dari umat
beragama. Sementara itu, kebijakan orde Reformasi cenderung
menggunakan teori sosiologi yang bersifat kompromistis dengan
pendekatan bottom-up, sehingga banyak kebijakan pemerintah Orde
Reformasi tentang kerukunan dapat diterima oleh umat beragama.
Meskipun begitu, terdapat kesamaan pada latar belakang
pembinaan kerukunan hidup umat beragama di Indonesia masa
Orde Baru dan Reformasi, yakni sama-sama dilatarbelakangi oleh
terjadinya konflik antar umat beragama. Perbedaannya, Orde Baru
disebabkan oleh kasus-kasus penyiaran agama yang meresahkan
umat Islam, pendirian rumah ibadat dan penodaan agama,
sedangkan pada Orde Reformasi disebabkan terjadinya kerusuhan-
kerusuhan antar umat beragama akibat krisis ekonomi,
pertarungan politik, lemahnya legitimasi pemerintahan, dan
lemahnya kemampuan pemerintah memperbaiki ekonomi bangsa.25
Hal yang sama dikemukakan oleh St. Sunardi bahwa
paradigma hubungan antar agama paling menonjol dalam sejarah
Orde Baru dan masih tersisa di sana-sini sampai sekarang adalah
paradigma “pembinaan”, yaitu sebuah bentuk hubungan antar
agama yang dirancang oleh negara (lewat pemerintahan) dan
dijabarkan lewat birokrasi negara dari pusat sampai daerah, yakni
dengan pendekatan top-down.26
Penelitian Anik Farida yang dilakukan di Jawa Barat yang
bertujuan untuk mengukur peran Pemda Jawa Barat dalam
memelihara kerukunan umat beragama ditemukan bahwa
kebijakan pemeliharaan kerukunan beragama di Jabar tertuang
dalam Pergub No. 17 Tahun 2007 tentang FKUB dan Pergub No. 20
25
Alirman Hamzah, “Kerukunan Antar umat Beragama di Indonesia dari
Era Orde Baru Hingga Reformasi (Studi Kebijakan Pemerintah 1966-2007)”
Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, 313.
26
St. Sunardi, “Dilema Kerukunan Umat Beragama di Indonesia: Antara
Pendewasaan Umat dan Penguatan Fungsionaris Umat” dalam HARMONI Jurnal
Multikultural & Multireligius, Volume III, Nomor 9, Januari-Maret 2004, 21.
27
Anik Farida, Peran Pemda Jawa Barat Dalam Memelihara Kerukunan
Umat Beragama (Studi tentang Analisis Kebijakan dan Strategi Pemda dalam
Memelihara Kerukunan Umat Beragama di Jawa Barat) (Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), 57.
28
Penelitian ini dilaksanakan di 13 kota, yakni Banda Aceh, Medan,
Padang, Tanjung Pinang, Semarang, Surabaya, Denpasar, Kupang, Pontianak,
Palangkaraya, Banjarmasin, Kendari dan Ambon. Lihat Kustini, Efektifitas
Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI, 2009, 43.
29
Penelitian ini dilaksanakan di empat propinsi yaitu Sumatera Barat, Nusa
Tenggara Timur, Bali, dan Jawa Barat. Lihat Penelitian Pusat Penelitian dan
Pengembangan Transformasi Konflik Badan Penelitian dan Pengembangan HAM
Kementerian Hukum dan HAM RI tentang “Evaluasi Efektivitas Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006”,
2011, 21-22.
14 | Rif’atul Hasanah
Penelitian yang juga dilakukan oleh Kementerian Hukum
dan HAM RI pada tahun 2011 ditemukan bahwa
eksistensi/kedudukan Surat Keputusan Bersama (SKB) ataupun
PBM perihal penyelesaian konflik antar dan intern agama dilihat
dari segi kebutuhan (utility) sangat dibutuhkan masyarakat, dan
berkedudukan penting dalam sistem hukum di Indonesia, namun
untuk kedudukannya dalam sistem perundang-undangan di
Indonesia masih mengalami pro dan kontra baik secara yuridis
maupun strategis.30
Penelitian terbaru terkait dengan kebijakan pemerintah
dalam bidang keagamaan dilakukan pada tahun 2012 oleh Ismatu
Ropi, yang menyatakan bahwa kebijakan pemerintah tidak terlepas
dari pengaruh sosial dan politik. Kebijakan tersebut dibuat atas
dasar kesepakatan antara pemerintah, partai yang berkuasa, dan
kelompok agama mayoritas. Ada dua alasan dalam hal ini, yang
pertama adalah pejabat pemerintah yang berkuasa sering mencari
dukungan dari kelompok agama mayoritas, namun itu
menimbulkan isu sosial dan agama. Alasan kedua, pemerintah
mencari legitimasi politik dari kelompok agama mayoritas,
sehingga sering mengabaikan hak-hak minoritas dengan lebih
mementingkan kepentingan kelompok mayoritas. Tetapi tidak
semua peraturan tersebut bertentangan dengan kebebasan, di sisi
lain campur tangan pemerintah disini juga berfungsi untuk
mencegah dan meminimalisir konflik dan melindungi hak
minoritas.31
Penelitian-penelitian terdahulu dalam banyak hal cukup
mengulas PBM No. 9 dan 8 tahun 2006, namun demikian ada ruang
yang dapat diisi, sekaligus distingsi penelitian kali ini, yakni objek
penelitian dan variabel penelitian. Penelitian ini berupaya
mengungkapkan secara spesifik pemahaman masyarakat di
kecamatan Mustika Jaya Bekasi terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun
30
Lihat Laporan Hasil Penelitian Hukum yang dilakukan oleh tim dari
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI Tahun
2011 dibawah Pimpinan Suherman Toha tentang “Eksistensi Surat Keputusan
Bersama Dalam Penyelesaian Konflik Antar dan Intern Agama”. Diunduh dari
http://www.bphn.go.id/data/documents/lit-2011-6.pdf tanggal 21 Juli 2013.
31
Asumsi umum oleh mereka penggiat HAM adalah bahwa adanya
kebijakan pemerintah di bidang agama bisa menjadi ancaman untuk kebebasan
beragama itu sendiri. Lebih jelas lihat Ismatu Ropi, ”The Politics of Regulating
Religion: State, Civil Society and the Quest for Religious Freedom in Modern
Indonesia”, 9.
16 | Rif’atul Hasanah
ditarik kesimpulannya.32 Dalam penelitian ini, populasi yang
dimaksud adalah seluruh warga di kecamatan Mustika Jaya, Bekasi
yang terdata pada tahun 2011 berjumlah 124.474 jiwa.33 Penelitian
ini mengambil sampel sebanyak 165 orang, dengan rincian 100
orang mereka yang bekerja sebagai staff di kelurahan, dan 65 orang
berasal dari masyarakat biasa. Teknik pengambilan sampel
masyarakat biasa dengan cara accidental sampling.34 Teknik accidental
sampling adalah teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan,
yaitu siapa saja yang secara kebetulan ketemu dengan peneliti
dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang
kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data. Dalam menemui
responden yang berasal dari masyarakat ini, penulis dibantu oleh
beberapa orang kawan penulis yang berdomisili di kecamatan
Mustika Jaya Bekasi.
Adapun yang 100 orang responden, penulis menjadikan para
pegawai di 4 kelurahan di lingkup kecamatan Mustika Jaya Bekasi
yakni kelurahan Mustika Jaya, kelurahan Mustika Sari, kelurahan
Pedurenan dan kelurahan Cimuning, dimana pada setiap kelurahan
tersebut dikenai masing-masing 25 orang untuk mengisi kuesioner
yang sudah disediakan sebagai alat pengumpul data.
Variabel yang akan digunakan pada penelitian ini dapat
dijabarkan sebagai berikut:
a. Pemahaman tentang PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006
Pemahaman tentang PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 ini
adalah terkait dengan seberapa jauh pemahaman masyarakat
Mustika Jaya Bekasi terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 yang
mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Memelihara Kerukunan
Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat yang dibuktikan
dengan tingkah laku atau interaksi sosial para warga penganut
agama yang berbeda dalam kehidupan harian mereka yang
mencerminkan suatu pemahaman terhadap isi pesan yang
terkandung dalam PBM yang terkait dengan tiga aspek yang
32
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D
(Bandung: Alfabeta, 2008), 80.
33
Data diperoleh dari Profil Monografi Kecamatan Mustika Jaya per-
kelurahan tahun 2011.
34
Kultar Singh, Quantitative Social Research Methods (New Delhi: Sage
Publications India, 2007), 107.
35
Lihat Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah Republik Indonesia, Metode Penelitian Sosial (Terapan dan
Kebijaksanaan) Tahun 2000, 54.
18 | Rif’atul Hasanah
Bekasi. Sedangkan dokumen tentang tingkat kerukunan antar
umat beragama diperoleh dari beberapa hasil penelitian di
wilayah Bekasi.
c. Wawancara Mendalam (dept interview)36 kepada beberapa tokoh
yang berkompeten dalam meningkatkan kerukunan antar
warga. Dalam hal ini, yang menjadi responden (interviewee)
bukan saja tokoh di wilayah Kota Bekasi, namun juga penulis
menjadikan tokoh-tokoh agama di wilayah lain sebagai
responden dengan tujuan untuk mengetahui pendapat atau
perspektif mereka tentang masalah pendirian rumah ibadat
yang sudah banyak terjadi di beberapa daerah. Di wilayah Bekasi,
penulis mewawancarai Anggota FKUB Kota Bekasi, H. Moch.
Nasrullah, S.Pd.I sedangkan tokoh di wilayah lain, penulis
menjadikan pengurus FKUB Jakarta sebagai interviewee, yakni
KH. A. Syafi’i Mufidz, MA dan Drs. Rudy Pratikno, SH.
d. Kuesioner atau Angket dapat dipandang sebagai interview
tertulis dimana sampel/responden dihubungi melalui suatu
daftar pertanyaan. Angket juga merupakan self report (laporan
mengenai diri sendiri) mengenai pengetahuan dan keyakinan
diri sendiri. Tipe angket yang digunakan adalah angket
berstruktur, yakni peneliti mengajukan beberapa pertanyaan
yang bersifat tertutup. Item ini hanya meminta responden untuk
memilih satu jawaban dari sekian jawaban yang sudah tersedia.37
Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
Guttman.38 Skala Guttman ialah skala yang menginginkan tipe
jawaban tegas seperti jawaban benar-salah, ya-tidak, dan
seterusnya. Untuk jawaban positif diberi skor 1 sedangkan untuk
jawaban negatif diberi skor 0. Pada variabel X (pemahaman
masyarakat terhadap PBM) jika responden memilih jawaban Ya,
maka diberi skor 1, sedangkan pilihan jawaban Tidak diberi skor 0.
Sedangkan pada variabel Y (tingkat kerukunan), dibagi menjadi dua
indikator yakni indikator ketidakrukunan dan indikator kerukunan.
Pada indikator ketidakrukunan, jika responden memilih jawaban
Pernah maka diberi skor 0 dan sebaliknya opsi jawaban Tidak
Pernah diberi skor1. Adapun pada indikator kerukunan, jika
36
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, 137.
37
Lihat Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah Republik Indonesia, Metode Penelitian Sosial, 69-70.
38
Djaali dan Pudji Muljono, Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), 28.
Table 1.1
Kisi-kisi Kuesioner Pemahaman Masyarakat Terhadap
PBM No. 9 dan 8 Tahun 200639
Variabel X Sub Variabel Indikator Nomor Jumlah
Pemahaman Peran kepala 1. Kewajiban 1, 2, 3, 4, 5, 6 12 item
Masyarakat daerah dan wakil Bupati/Walikota 7, 8, 9, 10
Terhadap PBM kepala daerah 2. Kewajiban Camat 11, 12
No. 9 dan 8 dalam 3. Kewajiban Lurah/Kepala
Tahun 2006 memelihara Desa
kerukunan umat
beragama
Pemberdayaan 1. Pembentukan FKUB 13, 14, 15 15 item
Forum Kerukunan 2. Tugas FKUB 16, 17, 18, 19, 20
Umat Beragama 3. Keanggotaan FKUB 21
(FKUB) 4. Dewan Penasihat FKUB 22, 23, 24, 25, 26, 27
Pendirian Rumah 1. Persyaratan 28, 29, 30, 31, 32 10 item
Ibadat40 Administratif
2. Persyaratan Teknis 33, 34, 35, 36, 37
1. Syarat Bangunan 6 item
Sementara Gedung 38
Bukan Rumah Ibadat
2. Izin Sementara 39, 40, 41, 42, 43
Pemanfaatan Gedung
Bukan Rumah Ibadat
1. Penyelesaian 3 item
Perselisihan oleh 44
Masyarakat
2. Penyelesaian
Perselisihan oleh 45
Bupati/Walikota
3. Penyelesaian
Perselisihan oleh 46
Pengadilan
39
Indikator yang dipakai dalam penelitian penelitian ini diambil dari
beberapa sub bahasan per Pasal yang diatur dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
40
Dalam bahasan pendirian rumah ibadat disini tidak hanya membahas
syarat-syarat pendirian rumah ibadat saja, tetapi juga membahas izin sementara
pemanfaatan bangunan gedung dan penyelesaian perselisihan.
20 | Rif’atul Hasanah
yang digunakan berjumlah 20 orang. Menurut hasil uji validitas,
dari total 46 item yang akan disebar, terdapat 11 item yang tidak
valid, yakni nomor item 3, 5, 6, 8, 14, 22, 26, 28, 34, 38, dan 40.
Sehingga yang menjadi alat ukur variabel X ini berkurang menjadi
35 item. Ketidakvalidan beberapa item ini karena nilai r hitung ada
di bawah atau lebih kecil dari r table pada taraf signifikansi 5% dan
1%, sedangkan tes reliabilitas mendapatkan hasil alfa 0,92 yang
menunjukkan reliabilitas yang tinggi.
Kisi-kisi kuesioner untuk Variabel Y yakni tentang Tingkat
kerukunan antar umat beragama sebagai berikut:
Table 1.2
Kisi-kisi Kuesioner Tingkat Konflik Antar Umat Beragama41
Variabel Sub
Indikator Nomor Jumlah
Y Variabel
Tingkat Konflik 1. Perselisihan rencana pendirian rumah 1 4 item
konflik pendirian ibadat
antar rumah 2. Penolakan pendirian rumah ibadat 2
umat ibadat 3. Sengketa mengenai izin pendirian rumah 7
beragama ibadat
4. Pengrusakan rumah ibadat 14
Konflik 1. Perselisihan rencana penggunaan 4 4 item
penggunaan sementara bangunan gedung bukan
sementara rumah ibadat menjadi rumah ibadat
bangunan 2. Penolakan penggunaan sementara 9
gedung bangunan gedung bukan rumah ibadat
bukan menjadi rumah ibadat
rumah 3. Penyalahgunaan izin penggunaan 5
ibadat sementara bangunan gedung bukan
rumah ibadat menjadi rumah ibadat
4. Pengrusakan bangunan sementara 12
gedung bukan rumah ibadat yang
dijadikan rumah ibadat
Konflik 1. Perselisihan rencana penyelenggaraan 18 4 item
penyelengg peribadatan umum
araan 2. Penolakan penyelenggaraan peribadatan 15
peribadatan umum
umum 3. Perselisihan izin penyelenggaraan
kebaktian/peribadatan umum 16
4. Gangguan pada saat penyelenggaraan
peribadatan umum 20
41
Indikator yang dipakai dalam penelitian penelitian ini didapat dari
beberapa kasus yang terjadi di Kota Bekasi, yang penulis dapat dari dokumentasi
FKUB Kota Bekasi.
Pada tabel 1.2 dan 1.3 adalah terkait mengenai aspek tingkat
kerukunan antar umat beragama, pada tabel 1.2 lebih kepada
masalah-masalah konflik atau ketidakrukunan, sedangkan table 1.3
mencakup indikator-indikator keadaan rukun. Dalam kuesioner
yang digunakan, penulis meletakkan secara acak kedua aspek
tersebut dalam bingkai variabel Y yakni tingkat kerukunan antar
umat beragama. Hasil yang didapat dari uji validitas dan reliabilitas
yang dikenakan 20 orang sebagai sampel, di dapat 5 item yang tidak
22 | Rif’atul Hasanah
valid yakni item nomor 6, 8, 13, 17, dan 19, sedangkan alfa yang di
dapat sebesar 0,89 yang menunjukkan reliabilitas yang tinggi.
Indeks pemahaman masyarakat terhadap PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006 digunakan rentangan skor sebagai berikut:
Tabel 1.4
Indeks Pemahaman Masyarakat Terhadap
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006
Tabel 1.5
Indeks Tingkat Kerukunan Antar Umat Beragama
42
Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian (Bandung: CV Alfabeta, 2007),
260.
24 | Rif’atul Hasanah
menjamin kebebasan beragama dari semua agama, tetapi juga
secara aktif mendorong pertumbuhan masing-masing agama tanpa
terkecuali dengan menganut teori koordinasi antara agama dan
negara yang mempunyai misi yang sama untuk menyejahterakan
umat beragama di Indonesia. Pada bahasan ini juga dideskripsikan
isi dari Peraturan Bersama Menteri No 9 dan 8 Tahun 2006 yang
menjadi objek kajian dalam penulisan penelitian ini.
Bagian Ketiga, tentang Gambaran Umum Wilayah Mustika
Jaya Bekasi yang diawali dengan potret pluralitas masyarakat
Mustika Jaya Bekasi dengan menampilkan tabel distribusi jumlah
penduduk per-kelurahan dan komposisi jumlah penduduk
masyarakat Mustika Jaya Bekasi berdasarkan agama dan jenis
kelamin, dilanjutkan dengan sarana peribadatan masyarakat
Mustika Jaya Bekasi yang mencakup sarana ibadat umat Islam
berupa masjid dan mushola, bagi umat Kristiani terdapat beberapa
gereja baik berupa bangunan gereja maupun dengan menyewa ruko
setempat yang dijadikan rumah ibadat sementara, sedangkan untuk
umat Hindu dan Budha tidak terdapat sarana peribadatan di
Kecamatan Mustika Jaya Bekasi. Dalam bab ini diakhiri dengan
Kebijakan Pemerintah Daerah Kota Bekasi yang merupakan tindak
lanjut dari PBM No. 9 dan 8 tahun 2006 berupa Peraturan Walikota
Bekasi Nomor: 16 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pemberian Izin
Pendirian Rumah Ibadat di Kota Bekasi dan Keputusan Walikota
Bekasi Nomor: 45/kep. 188-Solinbermas/VI/2008 tentang
Pembentukan Forum dan Dewan Penasehat Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) Kota Bekasi.
Bagian Keempat, memuat jawaban-jawaban dari
perumusan masalah terkait PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan
kerukunan masyarakat Mustika Jaya Bekasi dengan perincian dua
sub bahasan yakni hasil penelitian tentang pemahaman masyarakat
Mustika Jaya Bekasi terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan
kerukunan antar umat beragama masyarakat Mustika Jaya Bekasi.
Bagian Kelima, menampilkan hasil penelitian tentang
analisis pemahaman masyarakat terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006 dan Kerukunan Antar Umat Beragama yang menyajikan data
Variabel X dan Variabel Y beserta sub-sub pembahasan di dalam
variabel tersebut. Dalam bab ini membahas tentang pemahaman
masyarakat terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan kerukunan
antar umat beragama, Pemahaman Masyarakat terhadap Tugas
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan Kerukunan Antar Umat
26 | Rif’atul Hasanah
Bagian KEDUA
KEBIJAKAN NEGARA
DALAM PENDEKATAN
STABILITAS SOSIAL UMAT
BERAGAMA
M
erujuk pada teori kontrak sosial yang dicanangkan oleh
JJ. Rousseau, Hobbes, dan Locke, bahwa negara adalah
suatu bentuk perjanjian atau kontrak sosial oleh warga
negara,1 maka dengan sendirinya negara -yang
dijalankan oleh Pemerintah- adalah suatu institusi yang
pertama-tama berkewajiban menjamin hak dan kebebasan warga
negara dalam memperoleh kehidupan yang layak, seperti
kebebasan menganut suatu agama dan menjalankan peribadatan
sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Dalam membangun
suatu kerukunan antar umat beragama, bukan saja faktor ideologi
dan budaya yang diperlukan, namun faktor aturan sosial yang
mengikat dari Pemerintah juga ikut memberikan kontribusi dalam
mempertahankan kerukunan. Jika posisi dan peraturan yang
dicetuskan oleh pemerintah sesuai dengan kondisi masyarakat,
maka akan tercipta dan terpelihara keadaan yang rukun di dalam
kehidupan sosial keberagamaan masyarakat Indonesia yang plural.
1
A. John Simmons, “Political Consent” dalam Christopher W. Morris
(editor), The Social Contract Theorists: Critical Essays on Hobbes, Locke, and
Rousseau (Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, 1999), 131.
2
Margaret L. Andersen dan Howard F. Taylor, Sociology: Understanding a
Diverse Society (Belmont: Thomson Wadsworth, 2006), 448.
3
Margaret L. Andersen dan Howard F. Taylor, Sociology: Understanding a
Diverse Society, 447.
4
Penggunaan agama sebagai sistem acuan nilai bagi sikap dan tindakan
dapat mengarah kepada peneguhan integrasi masyarakat, khususnya pada
masyarakat yang beragama homogen dan yang memahaminya secara homogen
pula. Namun, konflik atau disintegrasi bisa juga terjadi ketika kelompok tertentu
pada masyarakat tersebut mengembangkan paham atau aliran keagamaan baru
yang cenderung mengembangkan sistem acuan nilai sendiri. Dalam situasi inilah
biasanya muncul ketidakrukunan di kalangan pemeluk suatu agama. Pada
masyarakat heterogen dari segi agama, penggunaan agama sebagai sistem acuan
nilai, dapat mengarah kepada konflik dan disintegrasi sosial, kecuali apabila
masing-masing umat beragama dapat mengembangkan penafsiran keagamaan
yang mempertemukan kesamaan yang terdapat pada masing-masing sistem acuan.
Lihat M. Zainuddin Daulay dalam Kata Sambutan dalam Riuh di Beranda Satu:
Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Bagian Proyek
Peningkatan pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Achmad Syahid dan
Zainudin Daulay (editor), Departemen Agama RI, 2002).
28 | Rif’atul Hasanah
Ditambah lagi masyarakat merupakan tempat tumbuh suburnya
konflik.5
Jika merujuk pada Al-Qur’an, ada beberapa ayat yang bisa
digunakan sebagai argumen bahwa penyebab konflik sesungguhnya
adalah manusia. Dalam surat Ar-Ru>m ayat 41:
5
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2002), 148.
6
Eric Brahm, Religion and Conflict, November 2005, diambil dari
http://www.beyondintractability.org/bi-essay/religion-and-conflict, tanggal 16
April 2012.
7
Afif Muhammad, Agama dan Konflik Sosial: Studi Pengalaman Indonesia
(Bandung: Marja, 2013), 107.
8
Lihat Amir Fadhilah, “Dilema Pluralisme Agama Antara Konflik Sosial
Dan Integrasi Sosial” dalam Ali Nurdin dan Abd. Aziz Hasibuan, Islam dan
Prospek Keberagamaan Di Indonesia (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 94-95.
9
Silfia Hanani, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama (Bandung:
Humaniora, 2011), 81.
30 | Rif’atul Hasanah
peranan, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem
politik dan kekuasaan serta persebaran penduduk.10
Kingsley Davis, yang dikutip Yudha Triguna mengartikan
perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam
struktur dan fungsi masyarakat. Sementara Gilin menyatakan
perubahan sosial adalah variasi dan cara-cara hidup yang telah
diterima disebabkan oleh adanya perubahan geografis, kebudayaan
material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya
difusi. Dalam makna yang sama, Samuel Koening mengatakan
perubahan sosial sebagai modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam
pola-pola kehidupan masyarakat.11
Perubahan sosial yang dimaksud adalah menyangkut
perbedaan-perbedaan yang muncul silih berganti dan dialami oleh
sistem-sistem sosial masyarakat yang mencakup pranata-pranata
sosial; peran-peran; hubungan-hubungan antar manusia yang
terpola dan nilai-nilai.12 Dalam hidup bermasyarakat, manusia
mengalami perubahan-perubahan, baik dikarenakan faktor agama,
lingkungan, pendidikan, dan lainnya. Perubahan tersebut tidak saja
menjadikan kesesuaian antara individu-individu di masyarakat,
namun juga memunculkan konflik sosial.13
10
I Nyoman Astawa, “Peranan Tradisi Bali Terhadap Kerukunan Hidup
Beragama dan Terhadap Ketahanan Wilayah DKI Jakarta” (Jakarta: Tesis
Pascasarjana UI, 2005), 34.
11
Yudha Triguna, “Masyarakat Hindu dan Perubahan Sosial”. Modul III
Penyetaraan Guru-Guru Agama Hindu se-Indonesia, Universitas Terbuka Jakarta,
1992/1993, 24.
12
Abdul Aziz, Esai-Esai Sosiologi Agama (Jakarta: Diva Pustaka, 2006),40.
13
Dalam hal ini, masyarakat ini bisa dilihat dari dua teori sosial, yakni teori
konflik dan teori fungsionalisme struktural. Teori konflik Ralp Dahrendorf ini
dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori
fungsionalisme struktural Talcott Parson. Jika dalam teori fungsionalisme
struktural, masyarakat berada dalam kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam
kondisi keseimbangan, maka menurut teori konflik justru sebaliknya. Masyarakat
senantiasa berada dalam proses perubahan yang terus menerus diantara unsur-
unsurnya. Jika menurut teori fungsionalisme struktural setiap elemen atau setiap
institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas, maka teori konflik melihat
bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Jika
menurut teori fungsionalisme struktural anggota masyarakat terikat secara
informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum, maka teori konflik
menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan
karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang
berkuasa. Teori fungsionalisme struktural ini juga bisa dikategorikan dalam teori
perubahan sosial perspektif equilibrium, yang mengatakan bahwa masyarakat itu
32 | Rif’atul Hasanah
yang mempunyai perbedaan latar belakang tersebut menjadi kian
kompleks, tidak saja proses penyesuaian yang muncul namun juga
ada saja ketidakteraturan atau konflik yang mengakibatkan kearah
perpecahan suatu kelompok.
Suatu konflik yang terjadi pada masyarakat memang tidak
dapat dihindari. Konflik memang dapat membuat kerusakan pada
struktur sosial namun pada saat yang bersamaan konflik dapat
berdampak positif, yakni adanya saling menguatkan identitas
sosial. Perubahan sosial dalam masyarakat tidak saja terjadi karena
adanya penyesuaian nilai-nilai atau keteraturan dalam masyarakat
namun juga terjadi disebabkan karena adanya konflik-konflik
kepentingan yang pada titik tertentu, masyarakat mampu
mencapai sebuah kesepakatan bersama.15
Secara konseptual, konflik diartikan dengan adanya
pertentangan dua hal atau lebih yang secara nyata atau
tersembunyi sebagai akibat ketidaksamaan kebutuhan,
kepentingan, dan kekuasaan. Konflik dalam pengertian ini
diartikan sebagai perwujudan atau manifestasi lebih lanjut dari
adanya kepentingan yang berbeda. Konflik terjadi di setiap lini
kehidupan, mulai dari skala kecil yang bersifat personal, antar
personal sampai konflik sosial antar kelompok.16
Konflik dalam skala besar mengikutsertakan beberapa
kelompok masyarakat, konflik ini juga bisa dikatakan sebagai
tingkah laku kolektif. Biasanya gejala yang termasuk dalam
kategori tingkah laku kolektif ini dapat ditemui pada berbagai
situasi seperti reaksi orang ketika kerjadi bencana alam, kerusuhan
15
Lihat Lewis Coser,The Functions of Social Conflict (New York: Free
Press, 1956) 151-210.
16
Banyak hal yang menyebabkan konflik. Selain karena kepentingan
politik, etnis, politisasi agama, serta kurangnya tingkat toleransi antar individu,
konflik dalam skala kecil juga disebabkan oleh ketidakterpenuhinya kebutuhan
dasar manusia. Teori kebutuhan manusia yang diasung oleh John Burton ini
menyatakan bahwa kebutuhan dasar manusia adalah unsur mutlak dalam
pemenuhan kesejahteraan manusia. Konflik dan kekerasan akan muncul apabila
satu pihak merasa bahwa kelompok lain menghalangi pemenuhan kebutuhannya.
Konflik identitas merupakan kebutuhan yang tidak dapat di negosiasikan karena
identitas merupakan hal yang bersifat mendasar. Lihat David J Dunn, From Power
Politics to Conflict Resolution: The Work of John Burton (London: Palgrave
Macmillan, 2004) diambil dari
http://www.labshop.com.au/dougcocks/BURTONREVIEW, tanggal 22 Juli 2013
dan Lihat John Sheldrake, Management Theory (London: Thomson, 2003), 134.
17
Neil J.Smelser, Theory of Collective Behavior (New York: The Free
Press, 1965), Cet. III, 15-17. Lihat juga Muhammad Mustofa, “Memahami
Kerusuhan Sosial, Suatu Kendala Menuju Masyarakat Madani’,Jurnal
Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. 1 September 2000: 10-19 diunduh dari
http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1231/1136tanggal23Maret
2014.
34 | Rif’atul Hasanah
5. Mobilisasi pemeran serta atau dukungan massa untuk bertindak.
Untuk menggerakkan massa dalam kerusuhan sosial diperlukan
adanya pemimpin yang menggerakkan massa tersebut.
6. Bekerjanya pengendalian sosial, adalah suatu tahapan yang
penting yang sebetulnya dapat dimanfaatkan untuk mencegah
pecahnya suatu kerusuhan sosial.
Konflik dapat dikatakan sebagai salah satu bagian dari
proses sosialisasi atau interaksi sosial. Interaksi disini menjadi
konfliktual manakala mengungkap kontradiksi, gesekan, dan
perebutan.18 Banyak konflik sosial yang terjadi di masyarakat
Indonesia disebabkan beberapa hal, salah satunya adalah agama.
Meskipun agama bukanlah faktor pemicu konflik sebenarnya,
namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa faktor agama ada di
dalamnya. Hal ini karena agama memiliki sensitivitas yang tinggi,
karena menyangkut keyakinan seseorang yang bersifat
transendental. Dengan legitimasi nuansa agama, masyarakat akan
mudah terprovokasi, sehingga masalah non agamapun dapat
memicu konflik antar umat beragama.19
18
Lihat Khamami Zada, A. Fawaid Sjadzili, dkk, Prakarsa Perdamaian
(Jakarta: PP Lakpesdam NU, 2008), 29.
19
Salah satu contoh konflik sosial bernuansa agama di Indonesia yakni
perang sipil yang berlangsung kurang lebih selama empat tahun di Maluku dan
Sulawesi Tengah, antara tahun 1999-2002. Sebab-sebab yang menjadi latar
belakang tindak kekerasan di dua daerah tersebut sangat kompleks, sebagian
penyebabnya adalah kembali kepada sejarah atau bahkan budaya masyarakat
setempat dimana orang Maluku adalah petarung dan mempunyai kebiasaan untuk
berperang antar desa. Meskipun konflik ini merupakan bentuk lain dari kekerasan
anti terhadap kaum minoritas, sebab-sebab lain kemunculannya lebih disebabkan
oleh faktor politik, ekonomi dan komunal, dan yang menyebabkan konflik ini
menjadi semakin parah adalah penyederhanaan konflik menjadi konflik antara
umat Islam dan Kristen. Oleh karena itu, kebencian antar umat beragama
berkembang dan muncul pada momentum yang tepat. Namun demikian, meskipun
konflik ini merupakan konflik antaranggota masyarakat dengan alasan agama,
konflik yang terjadi tidak ada kaitannya dengan ajaran agama, baik Islam ataupun
Kristen. Lihat Franz Magnis-Suseno SJ, “Kerukunan Beragama dalam Keragaman
Agama: Kasus di Indonesia dalam Harmoni Kehidupan Beragama: Problem,
Praktik & Pendidikan, Alef Theria Wasim, dkk (editor) (Yogyakarta: Oasis
Publisher, 2005), 12-13. Lihat juga Ahsanul Khalikin, “Peta Kerukunan Di DKI
Jakarta” dalam Achmad Syahid dan Zainudin Daulay (editor), Riuh di Beranda
Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia(Jakarta: Bagian Proyek
Peningkatan pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Departemen Agama
RI, 2002), 68.
20
R. Scott Appleby, The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence,
and Reconciliation, 31.
21
William H. Swatos, Jr. (editor), Encyclopedia of Religion and Society
(United Kingdom: AltaMira Press, 1998), 113. Di satu sisi, para sosiolog yang
lain juga mengatakan bahwa “agama di samping berfungsi sebagai pemersatu juga
pemecah belah.” Di antara faktor yang mendorong terjadinya konflik antar agama
tersebut adalah perbedaan doktrin ajaran agama. Para sosiolog yang berpendapat
demikian adalah Elbert W. Stewart dan James A. Glynn, yang menunjuk bukti
bahwa terjadinya perselisihan orang-orang Kristen dengan orang-orang Islam di
sekitar Mediterania, serta terjadinya Perang Salib, dimana orang-orang Kristen
menduduki daerah Islam. Demikian pula Lester R. Kurtz, yang mengatakan
kombinasi perbedaan ajaran ditambah faktor lainnya, dapat memicu dengan
mudah konflik agama. Lihat Elbert W. Stewart dan James A. Glynn, Introduction
to Sociology (New York: McGrow Hill Company, 1975), 274. Lihat juga Lester
R. Kurtz, Gods in The Global Village (California: Pine Forge Press, 1995), 212.
36 | Rif’atul Hasanah
3. Kurang saling pengertian dalam menghadapi perbedaan yang
ada, baik intern umat beragama ataupun antar umat beragama.
4. Kecurigaan yang berlebihan terhadap pihak lain, baik intern
umat beragama ataupun antar umat beragama.
5. Kekhawatiran akan terdesak oleh pemeluk agama lain.
6. Kurang adanya komunikasi antar pemimpin masing-masing
umat beragama.
7. Pemahaman yang kurang akan peraturan perundang-
undangan yang dikeluarkan pemerintah.22
Menurut Ghazali, ada tiga faktor yang menjadi akar dan
sumber konflik dalam hubungan kerukunan antar umat beragama.
Faktor pertama adalah problem penafsiran. Persoalan agama yang
sering muncul terletak pada problem dalam penafsiran suatu ajaran
normatif agama dan bukan pada benar tidaknya suatu agama dan
wahyu Tuhan itu sendiri. Dalam hal ini, tidak saja pihak yang
terlibat konflik muncul dari kalangan penganut agama yang
berbeda, melainkan juga dari satu agama namun mempunyai
penafsiran yang berbeda. Faktor kedua adalah klaim kebenaran.
Setiap agama memiliki kebenaran, yakni keyakinan tentang yang
benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu-satunya sumber
kebenaran. Dalam tataran sosiologis, klaim kebenaran berubah
menjadi simbol agama yang dipahami secara subjektif personal oleh
setiap pemeluk agama. Faktor ketiga adalah berlakunya standar
ganda. Masing-masing pemeluk agama mempunyai standar yang
berbeda ketika mereka bergaul dengan sesama kelompoknya
ataupun berbeda kelompok.23
Hal serupa juga dilontarkan oleh Ma’arif Jamu’in, yang
menurutnya variabel utama dalam kekerasan agama adalah klaim
kebenaran, teologi, dan peranan agama. Untuk mengatasi masalah
konflik agama ini, jalan yang dapat ditempuh adalah mereduksi
klaim kebenaran dan menyelenggarakan dialog antar agama.24
Salah satu bentuk dari klaim kebenaran dari setiap agama
adalah ekslusifitas agama yang mengajarkan keistimewaan,
22
Amir Fadhilah, “Dilema Pluralisme Agama Antara Konflik Sosial dan
Integrasi Sosial”, 91.
23
Lihat Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan Dalam
Konteks Perbandingan Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 198-201.
24
Ma’arif Jamu’in, Resolusi Konflik Antar Etnik dan Agama (Yogyakarta:
CISCORE dan TAF, 1998), 83-92.
25
Bentuk dari ekslusifitas agama yang mengajarkan keistimewaan masing-
masing agama terdapat pada doktrin di setiap agama, seperti dalam agama Islam,
ekslusifitas nampak pada doktrin agama yang benar di sisi Allah hanyalah agama
Islam yang terdapat dalam Q.S. Ali-Imron:19, sedangkan dalam agama Katolik
pun mengenal prinsip extra ecclesiam yakni extra ecclesiam nulla salus (tak ada
keselamatan di luar gereja), extra ecclesiam nullus propheta (tak ada Nabi diluar
Gereja), extra ecclesiam nulla gratia (tak ada rahmat diluar Gereja). Paham
serupa juga ada pada penganut Kristen Protestan seperti yang diungkap oleh
Martin Luther dalam karyanya Large Cathecism yang menyatakan bahwa orang-
orang yang berada di luar agama Kristen, baik orang Kafir, Turki, Yahudi maupun
Kristen yang salah (Katolik Roma), meskipun mereka beriman kepada satu Tuhan
yang benar (Muslim), mereka tetap berada dalam murka selamanya. Namun pada
perkembangan selanjutnya extra ecclesiam nulla salusbarudisanggah dalam konsili
Vatikan II 7 Desember 1965, yang menegaskan tentang kebebasan beragama yang
dimiliki manusia. Lihat A. Fajruddin Fatwa “Relasi Agama dalam Konflik Sosial”
dalam Resolusi Konflik Islam Indonesia, Thoha Hamim, dkk (editor) (Jogjakarta:
LKiS Pelangi Aksara, 2007), 55-56. Lihat juga Adnan Aslan, Menyingkap
Kebenaran: Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen Sayyed Hossein
Nasr & John Hick, terj. Munir (Bandung: Alifya, 2004), 252.
26
Budhy Munawar Rahman, “Resolusi Konflik Agama dan Masalah Klaim
Kebenaran” dalam Darai Keseragaman Menuju Keseragaman “Wacana
Multikultural Dalam Media” (Jakarta: LSPP, 1999), 131.
27
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), ix-x.
38 | Rif’atul Hasanah
Selain faktor doktrin keagamaan yang bersifat normatif,
faktor sosial keagamaan juga dapat menjadi penyebab konflik
seperti penyiaran agama, bantuan keagamaan dari luar negeri,
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, pengangkatan
anak, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan,
perawatan dan pemakaman jenazah, penodaan agama, kegiatan
kelompok sempalan, transparansi informasi keagamaan dan
pendirian rumah ibadat.28
Konflik sosial keagamaan ini disebabkan karena setiap
individu memerlukan identitas khusus yang akan memberinya sense
of belonging dan eksistensi sosial, identitas tersebut tidak hanya
bersifat individu namum juga berkembang menjadi identitas
kelompok.29
Dengan adanya indentitas sosial yang berbeda antara suatu
kelompok tertentu dengan kelompok lainnya, maka seringkali
interaksi antar kelompok tersebut mengakibatkan ketidak-
sepahaman yang dapat mengarah kepada konflik sosial. Hal ini
sesuai dengan penelusuran Johan Galtung, dimana ada empat jenis
kebutuhan yang berkaitan dengan perilaku kekerasan, yakni (1)
kebutuhan untuk hidup, (2) kebutuhan atas kesejahteraan, (3)
kebutuhan atas identitas, dan (4) kebutuhan akan kebebasan. Jika
kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka akan
28
Dalam penyebaran ajaran agama, dibagi menjadi dua karakter
penyebaran, yakni agama siar dan agama non siar. Agama siar mewajibkan
pemeluk agama untuk menyebarkan ajaran agama mereka, sedangkan pemeluk
agama non siar tidak wajib menyebarkan agama kepada pihak lain. Dengan hal
ini, muncul nya gejala negatif pendekatan numerik –mayoritas vis-a-vis minoritas-
dalam penyebaran agama. Kesuksesan misi agama dikaitkan dengan tolak ukur
kuantitas pengikut agama berdasarkan statistik angka-angka, padahal seharusnya
kesuksesan misi agama harus diukur dari seberapa besar pengaruh positif
moralitas agama dalam masyarakat. Lihat A. Fajruddin Fatwa “Relasi Agama
dalam Konflik Sosial” dalam Resolusi Konflik Islam Indonesia, 57; Muhammad
M. Basyuni, Esai-Esai Keagamaan (Jakarta: FDK Press, 2008), 11.
29
Identitas sosial ini menjadi bagian dari kesadaran individu sebagai
anggota suatu kelompok sosial, dimana dalam kelompok sosial tersebut tercakup
nilai-nilai dan emosi yang melekat di dalam diri setiap individu sebagai
anggotanya. Lihat Silfia Hanani, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama
(Bandung: Humaniora, 2011), 81.
30
Lebih jelasnya lihat Johan Galtung dengan teorinya yakni Teori
kekerasan pada Johan Galtung, "Violence, Peace, and Peace Research" Journal of
Peace Research, Vol. 6, No. 3 (1969).
31
Lihat Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 2. Diunduh dari
http://www.kontras.org/baru/Deklarasi%20Universal%20HAM.pdf pada tanggal
12 Mei 2012.
40 | Rif’atul Hasanah
Kebebasan beragama juga diatur dalam International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)32 tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik yang telah diratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 2005
yang diatur melalui Pasal 18 ayat (1, 2, 3, dan 4). Pada ayat (1)
dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,
keyakinan dan agama. Hak ini meliputi hak untuk menganut atau
memasuki suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri, serta
kebebasan untuk baik sendirian maupun bersama-sama dengan
orang lain, baik di hadapan umum maupun di tempat pribadi
mewujudkan agama dan kepercayaannya dengan pemujaan,
pentaatan, pengamalan dan pengajaran.” Pada ayat (2): “Tiada
seorangpun boleh dikenakan pemaksaan yang akan mengurangi,
mengganggu kebebasannya untuk menganut atau memasuki suatu
agama atau kepercayaan pilihannya sendiri.” Ayat (3): “Kebebasan
untuk menjalankan agama atau kepercayaan hanya akan dikenakan
pembatasan sebagaimana diatur dengan undang-undang, dan perlu
untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau
kesusilaan umum atau hak asasi dan kebebasan orang lain.” dan
pada ayat (4): “Para negara peserta kovenan ini berjanji untuk
dapat menghormati kebebasan orang tua (dimana dapat
diterapkan) para wali yang sah untuk memastikan bahwa
pendidikan agama dan budi pekerti anak sesuai dengan keyakinan
mereka sendiri.”
Selaras dengan DUHAM dan ICCPR, dalam UUD 1945
kebebasan beragama dijamin sepenuhnya di Indonesia berdasarkan
Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, yakni “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
32
Pada tahun 1951, Majelis Umum PBB dalam sidangnya meminta kepada
Komisi HAM PBB untuk merancang dua Kovenan tentang hak asasi manusia: (1)
Kovenan mengenai hak sipil dan politik; dan (2) Kovenan mengenai hak ekonomi,
sosial dan budaya. Tahun 2005 Indonesia meratifikasi International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Kovenan ini
menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama
serta perlindungan atas hak-hak tersebut. Dengan demikian tidak ada alasan bagi
negara untuk tidak menjamin kebebasan beragama dan memberikan perlindungan
bagi para pemeluknya. Lihat Novie Soegiharti, “Kajian Hegemoni Gramsci
TentangReaksi Sosial Formal Terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
di Indonesia (Studi Kasus SKB Tiga Menteri tentang Pelarangan
Ahmadiyah)”(Tesis Fisip UI, 2009), 13.
33
Hak non derogable dipandang sebagai hak yang paling utama dari hak
asasi manusia. Lihat Novie Soegiharti, “Kajian Hegemoni Gramsci Tentang
Reaksi Sosial Formal Terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di
Indonesia”, 11.
34
Kebebasan beragama dalam Al-Qur’an diatur dalam Q.S. Al-Ma>’idah: 48,
Q.S. Al-An’a>m: 107, dan Q.S. Asy-Syu>ra: 48. Sedangkan Kebebasan menyatakan
pendapat dibahas dalam Q.S. S{ad: 75-83 dan Q.S. Al-A’ra>f: 14-17. Adapun
pembahasan tentang demokrasi di dalam Al-Quran banyak sekali, diantara dibahas
dalam Q.S. Al-Mudatsir: 38, Q.S. An-Najm: 38-41, dan Q.S. Al-Isra: 13-14. Lebih
lanjut lihat Mah}mu>d H}amdi> Zaqzu>q, Al-Tasa>muh} fi> al-H{ad}a>rah al-Isla>miyyah
(Kairo: Majlis al-A’la> li al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, 2004), 1011-1021.
42 | Rif’atul Hasanah
terbatas pada upacara-upacara ibadah saja dan tidak cukup
melaksanakan perintah-perintah Tuhan secara legalistis
menyetujuinya, melainkan hubungan pribadi dengan Tuhan,
penyerahan diri seluruhnya kepadaNya secara rela ikhlas.35
Indonesia tidak menganut paham sekular yang membuat
Negara dan pemerintah sama sekali tidak memperdulikan peri
kehidupan beragama. Tidak pula negara agama, yang memihak
kepada salah satu agama.36 Indonesia merupakan negara Pancasila
yang dalam hal penganutan agama menganut prinsip kebebasan,
termasuk untuk menyiarkan agama itu sendiri. Negara dan
pemerintah tidak menghalangi setiap golongan agama untuk
menyiarkan agama dan menyebarkan agamanya. Hal ini berarti
bahwa perjuangan untuk pemenuhan kebebasan beragama atau
berkeyakinan bagi setiap individu adalah perjuangan dan tanggung
jawab dari setiap pemerintah. Pemerintah memberikan hak berupa
kebebasan untuk memilih dan menjalankan peribadatannya
masing-masing, namun di lain pihak juga setiap individu
masyarakat mempunyai kewajiban untuk menjaga keteraturan atau
kestabilan sosial, yang tidak langsung juga menjaga hak asasi antar
umat yang berbeda agama.
Menurut Azyumardi Azra, puncak dari ‘teologi kerukunan’
Islam Indonesia adalah penerimaan Pancasila sebagai dasar negara
dan ideology nasional. Dalam konteks hubungan antar agama di
Indonesia, Pancasila dapat dikatakan merupakan perwujudan dari
panggilan mengembangkan kalimatun sawa.37
Pada esensinya, kebebasan beragama dan berkeyakinan
mengandung paling sedikit delapan komponen, yaitu: kebebasan
internal, kebebasan eksternal, tidak ada paksaan (non coercion),
tidak diskriminatif (non discrimination), hak orang tua dan wali,
35
AP. Budiyono HD, Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman 2
(Yogyakarta: Kanisius, 1983), 218.
36
Hal serupa juga dikatakan oleh B.J. Boland bahwa Indonesia bukanlah
Negara Islam, juga bukan Negara Sekuler, tetapi Indonesia menjadikan agama itu
merupakan urusan pribadi seseorang. Lihat B.J. Boland, The Struggle of Islam in
Modern Indonesia (Netherland: The Hague Martinus Nijhoff, 1971), 38.
37
Idris Thaha, “Doktrin dan Sejarah: Memperluas Cakrawala Pemikiran”
dalam Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia (Jakarta: Paramadina,
1999), xii.
38
Novie Soegiharti, Kajian Hegemoni Gramsci Tentang Reaksi Sosial
Formal Terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, 13.
39
Nur Khalik Ridwan “Dalih Agama Untuk Kekerasan” dalam Abdul Qadir
Shaleh, “Agama” Kekerasan (Jogjakarta: PRISMASOPHIE Press, 2003), 29.
40
Di Amerika, rumah ibadat (gereja) menjadi sentral kegiatan keagamaan
untuk tetap mempertahankan ajaran agama dan penganutnya dengan mengadakan
berbagai kegiatan keagamaan seperti perkumpulan untuk mendiskusikan dan
mewarisi ajaran agama dengan mengajarkan anak-anak dan masyarakat tentang
44 | Rif’atul Hasanah
dalam penyiaran agamanya seringkali para pemuka agama tidak
memperhatikan aspek peningkatan kerukunan umat beragama.
Dengan demikian, kesan yang timbul adalah rumah ibadat dan
penyiaran agama dapat memicu ketidakharmonisan antar
penganut agama yang berbeda.41
Dengan adanya ketimpangan fungsi sosial rumah ibadat ini,
sudah seharusnya pemerintah atau negara mengatur lalu lintas
kehidupab keberagamaan warganya, yakni sesuai dengan teori
kontrak sosial yang dicanangkan oleh JJ. Rousseau, Hobbes, dan
Locke bahwa negara adalah suatu bentuk perjanjian atau kontrak
tradisi keagamaan ajaran mereka. Rumah ibadat juga diartikan sebagai simbol dari
suatu agama. Ketidaknyamanan pernah juga terjadi diantara jamaat, namun hanya
persoalan administratif saja yakni dalam hal gaji pastur. Lihat Penny Edgell
Becker, Congregation in Conflict Cultural Models of Local Religious Life (UK:
Cambridge University Press, 2004), 55-56 dan 70.
41
Hal ini merupakan hasil dari beberapa penelitian tentang fungsi sosial
rumah ibadat di Indonesia. Penelitian ini dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan
Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI
tahun 2003 yang dilakukan di enam daerah propinsi, yaitu: Sumatera Utara
(Medan), DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bali (Denpasar), Kalimantan Selatan
(Banjarmasin), dan Sulawesi Selatan (Makasar). Temuan dari penelitian adalah
ada dua jenis kegiatan keagamaan yang dilakukan, yakni kegiatan rohani dan
kegiatan yang bersifat duniawi. Lihat Bashori A. Hakim, dalam Pendahuluan,
Bashori A. Hakim dan Moh. Saleh Isre (editor), Fungsi Sosial Rumah Ibadat dari
Berbagai Agama Dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan,
Departemen Agama RI, 2004), 3. Kenyataan di lapangan, banyak kasus kebebasan
beragama yang terjadi dan hampir mengatasnamakan agama sebagai
penyebabnya. Bentuk konflik tersebut dapat berupa pengrusakan, penutupan,
bahkan sampai pada pembakaran rumah ibadat. Data dari The Wahid Institute
menyatakan bahwa sejak Indonesia merdeka sampai pada tahun 1997 ada sekitar
374 gereja di tutup, dibakar dan di rusak. Dari jumlah itu, data terbesar terjadi di
Jawa Timur 104 (27%), Jawa Barat 82 (22%), dan kemudian di Jawa Tengah 47
(13%). Kemudian disusul Sulawesi Tengah, Kalimantan, DKI, dan seterusnya.
Lihat Ahmad Suaedy, dkk, Politisasi Agama dan Konflik Komunal; Beberapa isu
Penting di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 247. Pada tahun 2009
SETARA Institute juga mencatat 200 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama
yang mengandung 291 jenis tindakan. Terdapat 10 wilayah dengan tingkat
pelanggaran tertinggi yaitu Jawa Barat (57 peristiwa), DKI Jakarta (38 peristiwa),
Jawa Timur (23 peristiwa), Banten (10 peristiwa) Nusa Tenggara Barat (9
peristiwa), Sumatera Selatan, Jawa Tengah, dan Bali masing-masing (8
peristiwa), dan berikutnya Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur masing-
masing (7 peristiwa). Lihat SETARA Institute, Tiga Tahun Laporan Kondisi
Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2007-2009 (Jakarta: Setara
Institute, 2009), 3.
42
A. John Simmons, “Political Consent” dalam Christopher W. Morris
(editor), The Social Contract Theorists: Critical Essays on Hobbes, Locke, and
Rousseau (Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, 1999), 131.
43
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran
(Jakarta: UI Press, 1993), 15-16.
44
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan
kerukunan Hidup Umat Beragama (Jakarta: Departemen Agama RI, 1997), 89.
46 | Rif’atul Hasanah
negara akan tercipta apabila ada dua lembaga terpisah secara
mutlak. Dengan begitu diharapkan masing-masing mampu
melaksanakan fungsinya dengan baik dan oleh karena keduanya
terpisah mutlak, maka potensi konflik pun menjadi minimal. Teori
ini biasa dianut oleh negara-negara demokrasi liberal.
Teori yang ketiga adalah teori koordinasi, yang didalamnya
baik subordinasi maupun separasi mutlak ditolak dengan tegas.
Agama dan negara mempunyai fungsi pokoknya masing-masing.
Pada saat yang sama, dibalik perbedaan yang ada, keduanya
sebenarnya mempunyai misi pokok yang sama yakni
menyejahterakan umat manusia. Oleh karena itu, tidak mungkin
bila harus diseparasikan secara mutlak. Dalam stabilitas sosial umat
beragama, Indonesia menganut teori koordinasi dimana
pemerintah tidak memisahkan antara urusan agama dengan negara
atau berada dalam kedudukan yang sejajar. Negara adalah
manifestasi tertinggi dari otoritas yang memiliki kekuasaan untuk
membentuk aturan-aturan dalam mengelola berbagai persoalan
warganya, tidak hanya dalam hubungan politis, melainkan juga
hubungan-hubungan sosiologis.45
Di Indonesia, masalah yang sering dihadapi adalah
jangkauan pemerintah yang terbatas. Pemerintah dari pusat, sering
diibaratkan sebagai kerucut sinar, melemah di wilayah-wilayah tepi
negeri.46 Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia
45
Mengenai hubungan agama dan politik, J. Philip Wogemen yang dikutip
oleh Abdul Qadir Shaleh mengungkapkan bahwa ada tiga pola umum hubungan
politik dan agama, pertama, pola teokrasi dimana agama menguasai negara;
kedua, erastianisme bila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu negara
mengkooptasi agama; dan ketiga hubungan sejajar antara antara agama dan
negara-dalam pemisahan yang unfriendly dan friendly. Pemisahan yang unfriendly
antara agama dan negara merupakan hal yang mustahil, karena kehidupan
keagamaan selalu memiliki dimensi sosial dan dengan demikian bersentuhan
dengan aspek hukum yang menjadi wewenang negara. Wogeman sendiri
menganggap alternative terbaik adalah pemisahan yang friendly dimana hubungan
antar agama dan politik sering diwacanakan sebagai agama sipil (civil religion)
yang berfungsi sebagai perekat solidaritas sosial maupun politik dari masyarakat,
meskipun hal ini juga menyimpan potensi ganda, sebagai perekat maupun
pembelah. Lihat Abdul Qadir Shaleh, “Agama” Kekerasan (Jogjakarta:
Prismasophie Press, 2003), 46-47 dan Khamami Zada, A. Fawaid Sjadzili, dkk,
Prakarsa Perdamaian (Jakarta: PP Lakpesdam NU, 2008), 22-23.
46
Nono Anwar Makarim, “Pemerintahan Yang Lemah dan Konflik” dalam
Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di
Asia Pasifik, Dewi Fortuna Anwar, Helene Bouvier, dkk (editor) (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2004), 375.
47
Achmad Fedyani Saiffudin, “Multikulturalisme Sebagai Solusi Atas
Konflik-Konflik Keagamaan” dalam Islam dan Prospek Keberagaman di Indonesia
(Ciputat: UIN Jakarta Press, 2006), 118-119.
48
Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama (Ciputat:
PT. Ciputat Press, 2005), cet. III, 4.
48 | Rif’atul Hasanah
atas berbagai unsur yang berlainan dan setiap unsur tersebut saling
menguatkan.49
Kerukunan juga diartikan sebagai kehidupan bersama yang
diwarnai oleh suasana baik dan damai. Hidup rukun berarti tidak
bertengkar, melainkan bersatu hati, dan sepakat dalam berfikir dan
bertindak demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Di dalam
kerukunan semua orang bisa hidup bersama tanpa kecurigaan,
dimana tumbuh semangat dan sikap saling menghormati dan
kesediaan untuk bekerja sama demi kepentingan bersama.50
Beberapa hal yang dapat dilakukan demi mewujudkan
kerukunan umat beragama di Indonesia adalah membangun sikap
toleransi beragama, membangun sikap keterbukaan (tepo seliro),
membangun kerja sama antar pemeluk agama, dan membangun
dialog antar umat beragama.51
Istilah Kerukunan Umat Beragama secara formal digunakan
pertama kali ketika penyelenggaraan Musyawarah Antar Umat
Beragama oleh pemerintah pada tanggal 30 Nopember 1967 di
Gedung Dewan Pertimbangan Agung Jakarta. Musyawarah Antar
Umat Beragama ini diselenggarakan dalam rangka pembinaan
kerukunan hidup antar umat beragama.52
49
Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antaragama (Jakarta:
Ciputat Press, 2003), 4.
50
M. Zainuddin Daulay, Mereduksi Eskalasi Konflik Antarumat Beragama
di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen
Agama RI, 2001), 67.
51
Jasmadi, “Membangun Relasi Antar Umat Beragama (Refleksi
Pengalaman Islam di Indonesia)”, Jurnal Bina’ Al-Ummah: Jurnal Ilmu Dakwah
dan Pengembangan Komunitas, Vol. 5, No. 2, Juli 2010, 166-171.
52
K. H. M. Dachlan, pada mulanya mengangkat istilah kerukunan dalam
konteks agama-agama, ketika ia menyampaikan pidato pembukaan pada acara
Musyawarah Antar Agama di Jakarta tanggal 30 Nopember 1967, dan pada
kesempatan itu pula, beliau menegaskan bahwa “adanya kerukunan antara
golongan beragama merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya stabilitas politik
dan ekonomi yang menjadi program Kabinet Ampera”. Ketika pemerintah mulai
mengadakan Musyawarah Antar Umat Beragama ini yang tujuannya adalah
membina kerukunan hidup antar umat beragama, namun yang terjadi adalah
sebaliknya, arena musyawarah telah dijadikan arena untuk berdebat yang
didasarkan atas dalil-dalil agama yang ditafsirkan sedemikian rupa sehingga tidak
menunjang hasrat pemerintah untuk membina kerukunan antar umat beragama.
Lihat Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama RI,
Masalah Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Departemen
Agama RI, 1979, 1. Lihat juga Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama Pilar
Utama Kerukunan Berbangsa: Butir-butir Pemikiran (Jakarta: Gunung Mulia,
50 | Rif’atul Hasanah
kewajiban agamanya. Masing-masing hidup sebagai pemeluk agama
yang baik dalam keadaan rukun dan damai.”55
Pada masa Mukti Ali juga dilaksanakan dialog-dialog antar
umat beragama, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah luar
Jakarta. Dialog-dialog tersebut tidak mendialogkan persoalan-
persoalan aqidah atau dogmatik dari masing-masing agama, tetapi
mendialogkan berbagai persoalan seperti bagaimana supaya
masing-masing agama dapat memberikan motivasi terhadap umat
masing-masing untuk ikut serta dalam pembangunan, serta
membahas bagaimana sebaiknya kode etik hubungan antar umat
beragama.56
Sejarah mencatat bahwa Mukti Ali telah membangun
landasan teoritik kerukunan di Indonesia dengan memajukan
konsep agree in disagreement karena masalah agama adalah hal yang
“khas” dan karenanya, tidak dapat diperjanjikan. Di tangan Mukti
Ali, konsep “Kerukunan Hidup Umat Beragama” yang muncul
pertama dari Mochammad Dachlan menjadi regulasi yang jelas dan
terarah.57
Pada periode Alamsyah Ratuperwiranegara menjabat
menjadi Menteri Agama, dibentuklah Team Penelitian Penerangan
Agama, Dakwah dan Kerukunan Antar Umat Beragama dengan SK
No. 33 tahun 1978 tertanggal 31 Mei 1978, yang mempunyai
beberapa program kerja, diantaranya untuk tingkat Nasional,
hendaknya pemerintah dapat membentuk Sekretariat Kerjasama
Antar Umat Beragama sebagai wadah penampung aspirasi dari
umat beragama yang tersalur melalui MUI, DGI, MAWI, PHD, dan
MABI. Sekretariat tersebut berada langsung di bawah tanggung
jawab Menteri Agama, dengan pelaksana seorang Staf Ahli Menteri
Agama yang secara khusus bertugas untuk itu.58
Dalam perkembangannya, Alamsyah Ratuperwiranegara
memperkenalkan gagasan Tri Kerukunan, yaitu kerukunan intern
55
A. Mukti Ali, Agama dan Pembangunan Indonesia VI (Jakarta: Biro
Hukum dan Humas Departemen Agama, 1975), 70.
56
Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama RI,
Masalah Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia, 2.
57
Lihat Sudjangi, Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama: 50 Tahun
Kemerdekaan Republik Indonesia (Jakarta: Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup
Umat Beragama, 1995/1996), 1.
58
Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama RI,
Masalah Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia, 6.
59
Gagasan Tri Kerukunan itu, khususnya kerukunan antar umat beragama
dengan pemerintah dirasakan kurang begitu pas, karena dianggap seolah-olah
selama ini ada ketidakrukunan antara umat beragama dengan pemerintah, namun
gagasan itu telah makin memperkuat daya cengkeram ide kerukunan dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan sejak Repelita Pertama, pemerintah
telah menetapkan suatu proyek di lingkungan Departemen Agama yang disebut
Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama. Selain itu, terminology rukun
dan kerukunan menjadi istilah baku dalam dokumen-dokumen formal kenegaraan
seperti GBHN, Repelita serta Keputusan-keputusan Menteri Agama. Lihat
Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa:
Butir-butir Pemikiran, x.
60
Lihat M. Atho Mudzhar, “Kebijakan Negara dan Pemberdayaan Lembaga
dan Pemimpin Agama dalam Rangka Keharmonisan Hubungan Antar Umat
Beragama”, 18.
52 | Rif’atul Hasanah
Dalam Negeri dan Menteri Agama untuk bertindak mengumpulkan
tokoh-tokoh agama untuk membicarakan penyelesaian beberapa
kasus yang marak terjadi saat itu, yang kemudian menghasilkan
kesepakatan berupa kebijakan. PBM ini juga berdasarkan adanya
kebutuhan pengaturan yang mendesak akan hal-hal yang belum
diatur dalam perundang-undangan yang lebih tinggi,61 hal ini
menjadikan PBM adalah suatu kebijakan pemerintah yang bersifat
bottom up demi terwujudnya keselarasan dan kerukunan hidup
antar umat beragama di Indonesia.
Beberapa langkah kongkrit terkait pemeliharaan kehidupan
kerukunan umat beragama telah diupayakan oleh Suryadharma Ali,
yakni: pertama, pembentukan dan peningkatan efektifitas FKUB
yang sampai saat ini telah terbentuk di 33 provinsi di seluruh
Indonesia, dan telah terbentuk di 421 kabupaten/kota diseluruh
Indonesia. Kedua, pengembangan sikap dan perilaku keberagamaan
yang inklusif dan toleran. Ketiga, peningkatan dialog dan kerjasama
intern dan antar umat beragama, dan pemerintah. Keempat,
peningkatan koordinasi antar instansi/lembaga pemerintah dalam
upaya penanganan konflik terkait isu-isu keagamaan. Kelima,
peningkatan peran Indonesia dalam dialog lintas agama di dunia
internasional, dan keenam, penguatan peraturan perundang-
undangan terkait kehidupan keagamaan.62
Peran pemerintah disini sudahlah tepat untuk mewujudkan
kenyamanan hidup warganya baik berupa kebebasan beragama dan
beribadat juga kerukunan intra umat beragama, antar umat
beragama dan umat beragama dengan Pemerintah. Dijelaskan oleh
Alirman Hamzah dalam Disertasinya bahwa kebebasan beragama
dan menjalankan ibadah, jika tidak dibatasi oleh kewajiban
menghormati kebebasan hak asasi manusia orang lain, sering
menyebabkan penyiaran agama tidak toleransi.63 Dengan hal ini,
61
Viona Wijaya, “Kajian Kritis Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006”, Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran, Agustus 2013 diunduh dari
http://fh.unpad.ac.id/repo/2013/08/kajian-kritis-peraturan-bersama-menteri-
agama-dan-menteri-dalam-negeri-nomor-9-tahun-2006-dan-nomor-8-tahun-2006/
tanggal 23 Maret 2014.
62
Hal ini disampaikan Menteri Agama Suryadharma Ali saat Rapat Kerja
dengan Komisi VIII DPR RI, Rabu, (9/2/2011) di Jakarta. Diunduh dari
http://pkub.kemenag.go.id diunduh tanggal 09 Februari 2013.
63
Alirman Hamzah, “Kerukunan Antarumat Beragama di Indonesia dari
Era Orde Baru Hingga Reformasi (Studi Kebijakan Pemerintah 1966-2007)”, 314.
64
Lihat Julie Chernov Hwang, Umat Bergerak Mobilisasi Damai Kaum
Islamis di Indonesia, Malaysia, dan Turki, Samsudin Berlian (terj.) (Jakarta:
Freedom Institute, 2011), 1.
65
Lihat Melissa Crouch, “Regulation On Places Of Worship In Indonesia:
Upholding The Right To Freedom Of Religion For Religious Minorities?”
Singapore Journal of Legal Studies[2007], 1-21, 20.
54 | Rif’atul Hasanah
Undang-Undang ini telah berhasil menjaga kerukunan umat
beragama dan mengurangi atau bahkan mencegah pernyataan
penistaan terhadap Tuhan YME dan pernyataan kebencian
antar umat beragama di depan publik.
4. Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 1 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur
Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran
Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah Agama oleh Pemeluk-
Pemeluknya.
5. Instruksi Menteri Agama Nomor 8 Tahun 1975, tanggal 27
September 1979, tentang Pembinaan, Bimbingan, dan
Pengawasan Terhadap Organisasi dan Aliran dalam Islam Yang
Bertentangan dengan Ajaran Islam.
6. Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1978, tanggal 11 April
1978 tentang Kebijakan mengenai Aliran-Aliran Kepercayaan.
7. Keputusan Menteri Agama Nomor 70 Tahun 1978, tanggal 1
Agustus 1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga
Keagamaan di Indonesia.
8. Keputusan Menteri Agama Nomor 77 Tahun 1978, tanggal 15
Agustus 1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga
Keagamaan di Indonesia.
9. Instruksi Menteri Agama Nomor 14 Tahun 1978, tanggal 31
Agustus 1978 tentang Tindak Lanjut Instruksi Menteri Agama
Nomor 4 Tahun 1978 tanggal 11 April 1978 tentang
Kebijaksanaan Mengenai Aliran-Aliran Kepercayaan.
10. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 1 Tahun 1979 tanggal 2 Januari 1979 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri
Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
11. Surat Edaran Menteri Agama Nomor MA/432//1981 tanggal 2
September 1981 tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari-
Hari Besar Keagamaan.
12. Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Menengah Nasional 2004-2009 Bab 31 yang
menetapkan Arah dan Kebijakan dan Program-Program Pokok
Pembangunan di bidang Agama.
13. Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2006 tentang Visi
dan Misi Departemen Agama.
14. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
66
Muhammad M. Basyuni, Esai-Esai Keagamaan, 16-18.
67
Ahsanul Khalikin, “Analisis Kebijakan Walikota DepokTentang
Pencabutan IMB Rumah Ibadat dan Gedung Serbaguna Pangkalan Jati, Gandul
Limo Kota Depok Tahun 2009” dalam Dinamika Kehidupan Keagamaan di Era
Reformasi, Haidlor Ahmad (ed.) (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang
kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI, 2010), 346-347.
68
Lihat Sambutan Menteri Agama Muhammad M. Basyuni pada Sosialisasi
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun
2006/Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat
56 | Rif’atul Hasanah
Hal yang menjadi sebab permasalahan disempurnakannya
SKB tersebut karena hanya terdiri atas 6 pasal, sangat singkat dan
bersifat umum, sehingga dapat menyebabkan multitafsir. Sampai
dengan tahun 2004 dari 33 propinsi yang ada di Indonesia hanya
beberapa provinsi saja yang telah menjabarkan SKB itu ke dalam
aturan yang lebih rinci dan jelas.69 Ditemukan juga bahwa tidak
adanya standar pelayanan terukur sehingga beberapa permohonan
pendirian rumah ibadat mungkin tidak diresponi beberapa bulan
bahkan beberapa tahun, akibatnya timbul perasaan di kalangan
sebagian pemohon bahwa harapan mereka untuk beribadat tidak
dilayani.
Setelah dikaji ulang dan diadakan beberapa kali rapat
bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, Jaksa
Agung, Kapolri, Menteri Hukum dan HAM, dan sejumlah pejabat
lainnya untuk membahas penyempurnaan SKB tersebut, maka pada
tanggal 21 Maret 2006 telah ditandatangani Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah ibadat.70
Peraturan Bersama Menteri (PBM) ini juga salah satu bentuk
hukum yang merupakan pelaksanaan Undang-Undang 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, yakni pada Pasal 22 huruf a UU
32 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa “dalam menyelenggarakan
otonomi, daerah mempunyai kewajiban melindungi masyarakat,
Tanggal 17 April 2006 dalam Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya (Edisi Tanya
Jawab Yang Disempurnakan), Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2012, 2.
69
Dari 33 propinsi di Indonesia, hanya beberapa saja yang telah
menjabarkan SKB itu ke dalam aturan yang jelas, yaitu DKI Jakarta (1979 dan
2002) dengan membentuk Tim Khusus yang meresponi setiap permohonan
pendirian rumah ibadat, Propinsi Riau (1981) dan Bengkulu (1993) yang
mempersyaratkan minimal calon jemaah 40 KK, Sulawesi Tenggara yang
mempersyaratkan 50 KK, dan propinsi Bali (2003) antara lain mempersyaratkan
calon jemaah 100 KK. Propinsi lainnya belum menjabarkan SKB tersebut
sehingga tata cara dan persyaratan pendirian rumah ibadat dirasakan tidak jelas di
berbagai daerah. Lihat Muhammad M. Basyuni, Esai-Esai Keagamaan, 20.
70
Lihat Sambutan Menteri Agama RI pada Sosialisasi Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 dalam
Pedoman Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama yang disusun oleh Sub
Bagian Hukmas dan KUB Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi DKI
Jakarta, 2007, 44.
71
Selain Pasal 22 huruf a UU 32 Tahun 2004, PBM juga sesuai dengan
Pasal 27 ayat (1) huruf c dan Pasal 26 ayat (1) huruf b UU 32 Tahun 2004. Lebih
jelasnya lihat Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
72
Lihat Laporan Utama bertajuk “Kerukunan Umat Beragama Jadi
Rujukan” dalam Majalah Ikhlas Beramal, Nomor 65 Tahun XIII Oktober 2010,
12-13.
58 | Rif’atul Hasanah
Pasal 8 sampai dengan Pasal 12 PBM dibahas Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Mulai dari pembentukan,73
keanggotaan,74 dan tugas FKUB dijelaskan secara rinci dalam Pasal
ini. Dalam pemberdayaan FKUB, dibentuk juga Dewan Penasihat
FKUB yang juga membantu Kepala Daerah dalam merumuskan
kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama dan
memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan Pemerintah Daerah.75
Pasal 13 sampai Pasal 17 PBM dibahas tentang Pendirian
Rumah Ibadat. Pengajuan permohonan pendirian rumah ibadat
diatur agar diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat.76
Persyaratan teknis dan administratif dalam prosedur pendirian
rumah ibadat dijelaskan secara mendetil dalam beberapa Pasal ini.
Dalam prosedur pendiriannya juga disyaratkan rekomendasi dari
beberapa pihak terkait.
Pasal 18 sampai Pasal 20 PBM dijelaskan tentang izin
sementara pemanfaatan bangunan gedung. Pemanfaatan bangunan
gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus
mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari
bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan layak fungsi yang
mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan
gedung dan persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama
serta ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Dalam Pasal 21 dan 22 dijelaskan tentang penyelesaian
perselisihan akibat pendirian rumah ibadat. Dalam hal ini,
penyelesaian dilakukan secara musyawarah oleh masyarakat
setempat, namun jika tidak tercapai, maka dapat diselesaikan oleh
bupati/walikota dibantu kepala kantor departemen agama
73
Pembentukan FKUB dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota dan
dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. FKUB ini pun
bersifat konsultatif. Lihat Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006.
74
Keanggotaan FKUB terdiri dari atas pemuka-pemuka agama setempat.
Jumlah anggota FKUB provinsi paling banyak 21 orang dan jumlah anggota
FKUB kabupaten/kota paling banyak 17 orang. Lihat Pasal 10 ayat (1), dan (2)
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
75
Lihat Pasal 11 ayat (1), (2), (3), dan (4) PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
76
Panitia pembangunan rumah ibadat adalah panitia yang dibentuk oleh
umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat. Lihat Buku Tanya
Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
dan 8 Tahun 2006, 5. Lihat juga Pasal 1 tentang ketentuan umum PBM No. 9 dan
8 Tahun 2006.
60 | Rif’atul Hasanah
BAGIAN KETIGA
GAMBARAN UMUM WILAYAH
MUSTIKA JAYA BEKASI
1
Lihat lampiran Peta Kota Bekasi.
Table 3.1
Pembagian Wilayah Administratif Kecamatan Mustika Jaya
No. Kelurahan Luas Wilayah (M2) Jml. RW Jml. RT
1. Mustika Jaya 930.474 30 196
2. Mustikasari 512.750 10 72
3. Padurenan 678.350 22 142
4. Cimuning 500.393 22 142
Jumlah 2.621.967 84 559
Sumber: Profil Monografi Kecamatan Mustika Jaya per-kelurahan tahun 2011
2
Kelurahan Mustika Jaya bersebelahan dengan Desa Lambang Sari,
wilayah Kabupaten Bekasi, tempat komplek Perumahan Elite Kota Legenda
berada. Di komplek Kota Legenda yang berjajar di sepanjang Jalan Raya Lambang
Sari - Mustika Jaya, beberapa perumahan yang termasuk kelompok Kota Legenda,
adalah komplek Dukuh Zamrud, Dukuh Bima, dan komplek Grand Wisata.
3
Kelurahan Mustikasari terdapat banyak wilayah perumahan yaitu Perum.
Mayang pratama, Perum. Alamanda, dan lainnya.
4
Kelurahan Padurenan adalah salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan
Mustika Jaya Kota Bekasi, yang terbentuk dalam Peraturan Daerah Nomor 03
tahun 2005tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota Bekasi, Nomor 04
Tahun 2004 tentang Pembentukan Wilayah Administratif Kecamatan dan
Kelurahan Kota Bekasi. Pada awalnya Kelurahan Padurenan bermula dari Desa
Sukapura yang saat itu masuk ke dalam wilayah kecamatan Setu Kabupaten
Bekasi (berdiri tahun 1956). Desa Sukapura terdiri dari beberapa kemandoran,
yakni kemandoran Padurenan, Cibitung, Cimuning dan Kemandoran
Pabuaran. Pada tahun 1975, Desa Sukapura dimekarkan, menjadi Desa Padurenan
dan Desa Cimuning. Saat itulah nama Desa Sukapura berubah menjadi Desa
Padurenan, yang diambil dari kemandoran yang terluas.
5
Kelurahan Cimuning terbentuk pada tanggal 01 Oktober 1998 sesuai
dengan Rencana Umum dan Tata Ruang (RUTR) Kota Bekasi. Kelurahan
Cimuning merupakan wilayah pengembangan pemukiman, jasa dan perdagangan.
Data ini bersumber dari Laporan Tahunan Kelurahan Cimuning Tahun 2010.
62 | Rif’atul Hasanah
Adapun jumlah penduduk Kecamatan Mustika Jaya
sebanyak 124.474 jiwa, terdiri dari 63.033 orang laki-laki dan 61.441
orang perempuan, dengan rincian per-kelurahan sebagai berikut:
Tabel 3.2
Distribusi Jumlah Penduduk per-Kelurahan
Kecamatan Mustika Jaya
Jumlah
No. Kelurahan Jumlah
Laki-Laki Perempuan
1. Mustika Jaya 22.935 22.589 45.524
2. Mustikasari 11.682 11.081 22.763
3. Padurenan 17.399 16.840 34.239
4. Cimuning 11.017 10.931 21.948
Jumlah 63.033 61.441 124.474
Sumber: Profil Monografi Kecamatan Mustika Jaya per-kelurahan tahun 2011
Tabel 3.3
Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
Kecamatan Mustika Jaya
Agama
No. Kelurahan Jumlah
Islam Kristen Katholik Hindu Budha Kepercayaan
1. Mustika Jaya 41.373 2.400 1.363 114 272 2 45.524
2. Mustika Sari 21.078 989 397 77 30 192 22.763
3. Padurenan 32.452 923 549 159 156 - 34.239
4. Cimuning 21.323 308 232 37 48 - 21.948
Jumlah 116.226 4.620 2.541 387 506 194 124.474
Sumber: Profil Monografi Kecamatan Mustika Jaya per-kelurahan tahun 2011
Di Bekasi, diakui memang ada beberapa warga yang menganut
aliran kepercayaan, tetapi juga tetap menjalankan perintah syariat
Islam seperti shalat dan lainnya.6 Menurut data kelurahan Mustika
6
Wawancara dengan H. Moch. Nasrullah, anggota FKUB Kota Bekasi di
kantor FKUB Kota Bekasi pada tanggal 26 Maret 2014.
64 | Rif’atul Hasanah
anggota jamaat gereja atau HKBP tersebut sudah tercantum dan
tertulis di buku anggota, lengkap dengan silsilah keluarga dan
status kebaptisan.8
8
Wawancara dengan Rudy Pratikno di Kantor FKUB DKI Jakarta
Gedung Persada Sasana Karya, pada tanggal 26 November 2013.
9
Data ini diambil dari http://bekasikota.go.id/readotherskpd/156/143/visi-
dan-misi-kecamatan-mustikajaya diunduh pada tanggal 12 Juni 2013.
10
Keputusan Walikota Bekasi Nomor: 450/Kep. 372-
Kesbangpolinmas/VIII/2011 ini merupakan pembaharuan dari Keputusan
Walikota Bekasi Nomor: 450/kep. 188-Solinbermas/VI/2008 Tentang
Pembentukan Forum dan Dewan Penasehat kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Kota Bekasi. Dalam pembahasan kedua Keputusan Walikota Bekasi ini masih
sama-sama membahas tugas pembentukan FKUB dan Dewan Penasehat FKUB
tingkat kota, tugas pokok mereka, dan acuan pelaksanaan kegiatan mereka yang
sama-sama berpedoman pada PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Lihat Buku Pedoman
Kerukunan Hidup Umat Beragama yang dikeluarkan oleh FKUB Kota Bekasi
Tahun 2012, 57-64.
11
Lihat Peraturan Walikota Bekasi Nomor 16 Tahun 2006 tentang Tata
Cara Pemberian Izin Pendirian Rumah Ibadat Di Kota Bekasi dalam Pedoman
Kerukunan Hidup Umat Beragama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Kota Bekasi, 2009, 23-35.
12
Pada Pasal 13 sampai Pasal 17 dibahas tentang Pendirian Rumah Ibadat,
Pasal 18 sampai Pasal 20 diatur tentang Izin Sementara Pemanfaatan Bangunan
Gedung, sedangkan aturan tentang Penyelesaian Perselisihan ada pada Pasal 21
dan Pasal 22. Lihat PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
66 | Rif’atul Hasanah
b. Keterangan status kepemilikan tanah yang telah dikuasai
panitia/yayasan berbadan hukum;
c. Gambar rencana bangunan dan perhitungan rencana biaya;
d. Siteplan dari pengembang, untuk pendirian rumah ibadat di
lingkungan komplek perumahan;
e. Daftar jamaah pengguna rumah ibadat yang berdomisili di
wilayah setempat dibuktikan dengan rekaman Kartu Tanda
Penduduk paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang
disahkan oleh pejabat setempat;
f. Pernyataan tidak keberatan dari masyarakat lingkungan
setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang diketahui oleh
RT dan RW dan disahkan oleh Lurah dengan melampirkan
bukti rekaman Kartu Tanda Penduduk (KTP);
g. Surat Pengantar dari Lurah yang diketahui oleh Camat;
h. Advis Planning dari Kepala Bappeda untuk pendirian rumah
ibadat di atas tanah fasos/fasum di lingkungan komplek
perumahan;
i. Surat Pertimbangan Kepala Dinas Solinbermas;
j. Rekomendasi Kakan Depag; dan
k. Rekomendasi FKUB.
68 | Rif’atul Hasanah
rumah ibadat diajukan. Hal yang sama diperinci lagi dalam
Peraturan Walikota Bekasi Nomor 16 Tahun 2006 yakni pada pasal
6. Pada pasal 6 ayat (1) diatur bahwa “pemberian izin atau
penolakan Walikota, diproses paling lambat 90 (sembilan puluh)
hari sejak permohonan diterima secara lengkap. Dalam pasal 6 ayat
(2) dinyatakan bahwa izin Walikota berlaku selama 6 (enam) bulan
sejak dikeluarkannya dan dapat diperpanjang sebanyak 1 (satu) kali
untuk jangka waktu yang sama setelah diteliti oleh
instansi/lembaga terkait, dan pada ayat (3) ditetapkan bahwa “izin
Walikota merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh
IMB.”
Secara ringkas, alur proses pelayanan izin pendirian rumah
ibadat yang tercantum dalam Peraturan Walikota Bekasi nomor: 16
Tahun 2006 dapat dilihat pada gambar bagan berikut13:
Gambar 3.1
Alur Proses Pelayanan Izin Pendirian Rumah Ibadat
(Peraturan Walikota Bekasi Nomor: 16 Tahun 2006)
13
Lihat Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, 2009, 36.
70 | Rif’atul Hasanah
Gambar 3.2
Alur Proses Pelayanan Izin Sementara Rumah Ibadat
(Peraturan Walikota Bekasi Nomor: 16 Tahun 2006)
PANITIA Berkas
lengkap ke
Kabag
KESOS
14
Banyak kasus bermunculan di Kota Bekasi, diantaranya kasus: rumah
tempat tinggal yang dijadikan tempat kebaktian di Blok I, Dukuh Zamrud, Kota
Legenda, Kelurahan Cimuning, Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi. Kasusnya
menjadi ramai pada akhir Agustus 2004; Kasus lain juga terjadi seperti Rencana
pembangunan Gereja Bethel Indonesia di lingkungan RW. 01 Kelurahan Bojong
Rawa Lumbu, Kecamatan Rawa Lumbu Bekasi; kasus lain juga terjadi yakni
kasus rumah tempat tinggal di Jl. Pisang nomor 13-A dan 13-B, RW. 05,
Kompleks Perumahan Seroja, Bekasi Utara, yang dialihkan fungsinya menjadi
gereja oleh Gereja Kristen Pasundan dan Gereja Katolik Yohanes Pemandi. Kasus
ini menjadi ramai dibicarakan lantaran keberatan warga sekitar terhadap
keberadaan gereja tidak pernah ditanggapi dengan baik sejak 1995 dan memuncak
pada pertengahan April 2006. Untuk lebih jelasnya lihat Buku Rumah Ibadat Di
Kota Bekasi yang diterbitkan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Kota Bekasi tahun 2009, 139-140.
15
Lihat Buku Rumah Ibadat Di Kota Bekasi yang diterbitkan oleh Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi tahun 2009, 141.
72 | Rif’atul Hasanah
keanggotaan dan kepengurusan FKUB Kota Bekasi dengan merujuk
PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.16
Pembahasan tentang Pemberdayaan Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB) beserta pelaksanaan kegiatannya, diatur
dalam Keputusan Walikota Bekasi Nomor: 450/Kep. 372-
kesbangpolinmas/VIII/2011 tentang Pembentukan Forum dan
Dewan Penasehat Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi.
Keputusan ini berpedoman pada PBM No 9 dan 8 tahun 2006 Pasal 9
ayat (2), bahwa FKUB kabupaten/kota mempunyai tugas sebagai
berikut:
a. Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;
b. Menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat;
c. Menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam
bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota;
d. Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan
kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; dan;
e. Memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian
rumah ibadat.
16
Pertemuan-pertemuan ini berlangsung beberapa kali di Asrama Haji
Bekasi, di Kantor Dinas Sosial, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat
(Solinbermas) Kota Bekasi, dan di Aula Departemen Agama Kota Bekasi. Lihat
Buku Rumah Ibadat Di Kota Bekasi yang diterbitkan oleh Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi Tahun 2009, 140-141.
17
Lihat Buku Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama yang
dikeluarkan oleh FKUB Kota Bekasi Tahun 2012, 57-64.
18
Keanggotaan FKUB Kota Bekasi sesuai PBM No. 9 dan 8 tahun 2006,
berjumlah 17 orang dari 6 (enam) unsur agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, dan Konghucu). Sesuai data yang dihimpun Kantor Departemen Agama
Kota Bekasi pada Juni 2006, Kota Bekasi berpenduduk 1.845.005 jiwa, terdiri dari
Umat Islam 1.597.178 jiwa, Kristen 97.599 jiwa, Katolik 77.968 jiwa, Budha
40.807 jiwa, Hindu 30.562 jiwa, Konghucu dll 891 jiwa. Dengan demikian,
berdasarkan ketentuan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, bab III Pasal 10, maka
komposisi kepengurusan FKUB Kota Bekasi terdiri dari: perwakilan Umat Islam
12 orang, kemudian Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu masing-
masing diwakili satu orang. Lihat Buku Pedoman Kerukunan Hidup Umat
Beragama yang dikeluarkan oleh FKUB Kota Bekasi Tahun 2012, 65-66 dan
Buku Rumah Ibadat di Kota Bekasi yang diterbitkan oleh Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi Tahun 2009, 141.
74 | Rif’atul Hasanah
Susunan Dewan Penasehat Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) Kota Bekasi menurut Keputusan Walikota Bekasi Nomor:
450/Kep. 372-Kesbangpolinmas/VIII/2011 tanggal 4 Agustus 2011
sebagai berikut19:
19
Lihat Buku Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama yang
dikeluarkan oleh FKUB Kota Bekasi Tahun 2012, 67.
78 | Rif’atul Hasanah
Jemaah Ansharut Tauhid (JAT), organisasi Majlis Taklim dan Taman
Pendidikan Al-Qur’an (TPA).1
Untuk keterlibatan responden dalam organisasi
kemasyarakatan lainnya, seperti Karang Taruna, PKK, dan lainnya,
sebagian besar mereka juga tidak aktif dalam keorganisasian
tersebut, hanya berjumlah 73 orang yang aktif di dalamnya, 92
orang lainnya tidak aktif. Dari 73 orang itu, 32 orang sebagai
anggota biasa, 17 orang terlibat sebagai anggota pengurus, dan
lainnya hanya simpatisan.
Dalam pengukuran tingkat pemahaman masyarakat
terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam
Memelihara Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, peneliti
membuat 35 item pertanyaan dengan opsi jawaban paham dan
tidak paham. Responden yang menjawab paham diberi nilai 1,
sedangkan opsi jawaban tidak paham diberi nilai 0.
Adapun 35 item pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Apakah anda memahami bahwa pemeliharaan kerukunan umat
beragama menjadi tanggung jawab bersama umat beragama,
pemerintah daerah dan pemerintah?
2. Apakah anda memahami bahwa tugas dan kewajiban
bupati/walikota diantaranya memelihara ketentraman dan
ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya
kerukunan umat beragama di kabupaten/kota?
3. Apakah anda memahami bahwa tugas dan kewajiban
bupati/walikota diantaranya menumbuhkembangkan
keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, saling
percaya diantara umat beragama?
4. Apakah anda memahami bahwa tugas dan kewajiban
bupati/walikota dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama
di kabupaten/kota dibantu oleh kepala kantor wilayah
departemen agama kabupaten/kota?
5. Apakah anda memahami bahwa tugas dan kewajiban camat
diantaranya memelihara ketentraman dan ketertiban
1
International Crisis Group, Indonesia: “Christianisation” and Intolerance,
Jakarta/Brussels, 24 November 2010, http://www.crisisgroup.org diunduh tanggal
08/03/2012.
80 | Rif’atul Hasanah
17. Apakah anda memahami bahwa tugas Dewan Penasihat FKUB
diantaranya membantu kepala daerah dalam merumuskan
kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama?
18. Apakah anda memahami bahwa tugas Dewan Penasihat FKUB
diantaranya memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan
pemerintah daerah dan hubungan antar sesama instansi
pemerintah di daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama?
19. Apakah anda memahami bahwa Ketua Dewan Penasihat FKUB
tingkat kabupaten/kota dijabat oleh Wakil Walikota?
20. Apakah anda memahami bahwa Sekretaris Dewan Penasihat
FKUB tingkat kabupaten/kota dijabat oleh Kepala badan
kesatuan bangsa dan politik kabupaten/kota?
21. Apakah anda memahami bahwa jika dalam komposisi jumlah
penduduk di batas wilayah kelurahan/desa tidak terpenuhi,
maka pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan
batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi?
22. Apakah anda memahami bahwa salah satu persyaratan
pendirian rumah ibadat harus mematuhi persyaratan
administratif seperti adanya surat keterangan kepemilikan
tanah dan persyaratan teknis bangunan gedung seperti
terpenuhinya syarat tata bangunan gedung?
23. Apakah anda memahami bahwa persyaratan pendirian rumah
ibadat dari segi kerukunan umat beragama adalah adanya paling
sedikit terdiri dari 90 orang dewasa calon pengguna yang
disahkan oleh pejabat setempat?
24.Apakah anda memahami bahwa sebuah rumah ibadat yang akan
dibangun, harus juga memiliki dukungan dari 60 orang warga
sekitar yang disahkan oleh lurah/kepala desa?
25. Apakah anda memahami bahwa pendirian rumah ibadat harus
mendapatkan rekomendasi tertulis dari FKUB dan kepala kantor
departemen agama kabupaten/kota?
26. Apakah anda memahami bahwa rekomendasi FKUB tentang
pendirian rumah ibadat merupakan hasil musyawarah dan
mufakat dalam rapat FKUB yang dituangkan dalam bentuk
tertulis?
27. Apakah anda memahami bahwa yang mengajukan permohonan
pendirian rumah ibadat adalah panitia pembangunan rumah
ibadat kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah
ibadat?
2
Sebelum menentukan panjang kelas interval, dihitung dahulu jumlah kelas
interval. Dalam hal ini jumlah kelas intervalnya adalah 5 (lima), sedangkan rumus
menentukan panjang interval adalah (data terbesar - data terkecil) dibagi dengan
jumlah kelas interval (5), yaitu: 35 – 0 = 35/5 = 7. Lihat Sugiyono, Metode
Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009), 172.
82 | Rif’atul Hasanah
ada beberapa kategori pemahaman yang dapat dilihat dalam tabel
berikut:
Tabel 4.3
Indeks Pemahaman Masyarakat Tentang
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006
No. Indeks Tingkat Pemahaman Prosentase
1. 29 – 35 Sangat Tinggi 32%
2. 22 – 28 Tinggi 15%
3. 15 – 21 Sedang 28%
4. 8 – 14 Rendah 14%
5. 0–7 Sangat Rendah 11%
Jumlah 100%
3
Melihat dampak dari Deklarasi Kerukunan yang sangat baik, maka
Walikota Bekasi Dr. Rahmat Effendi, ingin Deklarasi tersebut diturunkan di
tingkat Kecamatan. Pada tahun 2012 sudah 12 kecamatan di Kota Bekasi
melangsungkan acara Deklarasi Kerukunan tersebut. Setelah itu, mengingat
dampak kerukunan sangat penting maka dilanjutkan bukan kegiatan Deklarasi,
tapi berupa sosialisasi di tingkat Kelurahan, yakni sosialisasi semua peraturan
perundangan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama, baik terkait
dengan PBM No. 9 dan 8 tahun 2006 maupun Peraturan Walikota Bekasi No. 16
Tahun 2006. Hal ini dipaparkan oleh Abdul Manan selaku Ketua FKUB Kota
Bekasi pada Sosialisasi FKUB Tingkat Kelurahan Tahun 2012 di Kelurahan
Padurenan Kecamatan Mustika Jaya, tanggal 11 September 2012 di Kelurahan
Padurenan RW 20 Blok N, Kecamatan Mustika Jaya yang dihadiri oleh seluruh
tokoh agama masyarakat, baik dari tokoh Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha,
dan Konghucu.
Grafik 4.1
Indeks Pemahaman Masyarakat Tentang PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006 per sub variabel
100%
90%
78%
80%
70%
60%
50% 46% Tinggi
42%
Sedang
40% 35%
32%
Rendah
30% 23%
22%
18%
20%
10% 4%
0%
Tugas Kepala Pemberdayaan Pendirian Rumah
Daerah FKUB Ibadat
84 | Rif’atul Hasanah
antar umat beragama, hal ini terlihat dari pencapaian kriteria
tinggi yang mencapai 78%, sedangkan pada sub bahasan
pemberdayaan FKUB kriteria tinggi diperoleh 46% dan lebih rendah
lagi pada sub bahasan pendirian rumah ibadat yakni perolehan
kriteria tinggi hanya sebesar 35%. Pada sub bahasan pendirian
rumah ibadat, responden lebih menunjukkan pemahaman yang
rendah terhadap isi dari pertanyaan kuesioner yang sebenarnya
merupakan isi dari pasal-pasal PBM No. 9 dan 8 tahun 2006.
Pemahaman yang lebih tinggi pada sub bahasan tugas
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam memelihara
kerukunan umat beragama bisa disebabkan karena bahasan yang
agak mudah dipahami, sedangkan pemahaman terkait
pemberdayaan FKUB dan tata cara pendirian rumah ibadat
dibutuhkan sosialisasi khusus dari pemerintah. Kebanyakan
responden belum memahami seluk beluk FKUB dan segala hal yang
terkait dengan kinerja FKUB. Demikian juga pembahasan tentang
pendirian rumah ibadat.
Sejalan dengan ini, ketika penulis menganalisis khusus
responden yang berasal dari masyarakat biasa, mereka lebih
memahami bahasan tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
dalam memelihara kerukunan umat beragama dibanding
pembahasan lainnya. Terkait dengan persyaratan pendirian rumah
ibadat dan tentang izin sementara pemanfaatan bangunan untuk
dijadikan rumah ibadat juga tidak begitu dimengerti. Hal ini bisa
menjadi penyebab munculnya ketidakrukunan antar umat
beragama.
Terkait sosialisasi tentang PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 ini,
di wilayah Kecamatan Mustika Jaya Bekasi, telah dilakukan di
kelurahan Padurenan pada tanggal 11 September 2012, tanggal 13
September 2012 di kelurahan Mustika Jaya, kelurahan Mustika Sari
tanggal 18 September 2012, dan tanggal 24 Oktober 2012 di
kelurahan Cimuning. Sosialisasi ini merupakan bentuk tindak lanjut
dari kegiatan Deklarasi Kerukunan yang sebelumnya telah diadakan
di wilayah atau kecamatan Mustika Jaya tersebut. 4 Penjelasan
tentang pemahaman masyarakat terhadap sub bahasan PBM No. 9
dan 8 Tahun 2006 secara rinci, ada pada penjelasan berikut ini:
4
Wawancara dengan Pak Nanang, Kabag Kesos Kecamatan Mustika Jaya
Bekasi di Kantor Kesos Kecamatan Mustika Jaya Bekasi, 27 Agustus 2012.
5
Lihat PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
6
Dalam hal ini, unsur masyarakat ditempatkan di urutan nomor pertama
yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan kerukunan umat beragama. Hal
itu mengandung bahwa masyarakat memegang peranan penting dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama. Lihat Buku Tanya Jawab PBM No. 9
dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala daerah/Wakil
Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan
Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat yang diterbitkan
oleh Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, Cetakan I, 2007, 7.
86 | Rif’atul Hasanah
pemeliharaan kerukunan umat beragama, menumbuhkembangkan
keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling
percaya di antara umat beragama, dan membina dan
mengoordinasikan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil
walikota dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di bidang
ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan
beragama.7
Pada tingkat kabupaten/kota, pemeliharaan kerukunan umat
beragama ini menjadi tanggung jawab bupati/walikota beserta
jajaran aparat yang membantunya.8 Tugas dan kewajiban
bupati/walikota dalam hal ini juga sama dengan gubernur, hanya
saja ditambah satu point lagi yakni menerbitkan IMB rumah ibadat.
Pelaksanaan tugas pemeliharaan kerukunan umat beragama oleh
bupati/walikota dapat didelegasikan kepada wakil bupati/wakil
walikota, yaitu menyangkut tugas mengoordinasikan kegiatan
instansi vertikal di kabupaten/kota, dan mengoordinasikan camat,
lurah, dan kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam
kehidupan beragama.9
Bupati/walikota juga dapat melimpahkan sebagian tugasnya
kepada camat yakni pada tugas dan kewajiban memfasilitasi
terwujudnya kerukunan umat beragama, dan dalam
menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling
menghomati, dan saling percaya di antara umat beragama di
tingkat kecamatan, juga membina dan mengoordinasikan lurah dan
kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di
bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan
keagamaan.10 Di tingkat kelurahan, bupati/walikota juga dapat
7
Lihat Pasal 5 ayat 1 dan 2 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Pelaksanaan
tugas pemeliharaan kerukunan umat beragama oleh gubernur dapat didelegasikan
kepada wakil gubernur, yaitu yang menyangkut tugas mengoordinasikan kegiatan
instansi vertikal di provinsi, mengoordinasikan bupati/wakil bupati dan
walikota/wakil walikota dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di bidang
ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama dan tugas
menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati,
dan saling percaya di antara umat beragama. Lihat Buku Tanya Jawab PBM No. 9
dan 8 Tahun 2006, 10.
8
Lihat Pasal 3 dan 4 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
9
Lihat Pasal 6 ayat (1), (2), dan (3) PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
10
Lihat Pasal 7 ayat (1) PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
Tabel 4.4
Indeks Pemahaman Masyarakat Mustika Jaya Bekasi Tentang
Tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam
Memelihara Kerukunan Umat Beragama
Tingkat
No. Indeks Prosentase
Pemahaman
1. 6–8 Tinggi 78%
2. 3–5 Sedang 18%
3. 0–2 Rendah 4%
Jumlah 100%
88 | Rif’atul Hasanah
diatur dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan perolehan nilai
pemahaman masyarakat terhadap bahasan tersebut dapat dilihat
pada grafik berikut ini:
Grafik 4.2
Pemahaman Masyarakat terhadap Tugas Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah dalam Memelihara Kerukunan Umat
Beragama
Kewajiban
Bupati/Walikota
88% 83%
Kewajiban Camat
85% Kewajiban
Lurah/Kades
12
\Lihat Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama, Pemberdayaan FKUB, dan Pendirian Rumah Ibadat yang dikeluarkan
oleh Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI Tahun 2008, hal. 5.
13
Ahsanul Khalikin, “Peran Forum Kerukunan Umat Beragama dalam
Pelaksanaan PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006 di Jakarta Pusat” dalam Jurnal
Multikultural & Multireligius Vol. IX No. 33, 2010.
14
Wawancara dengan Ketua FKUB DKI Jakarta A. Syafi’i Mufidz di
Kantor FKUB DKI Jakarta, tanggal 14 November 2013.
15
Wawancara dengan Pak. H. Moch. Nasrullah, anggota FKUB Kota
Bekasi di kantor FKUB Kota Bekasi pada tanggal 26 Maret 2014.
16
Lihat Pasal 8 PBM. Sampai bulan Juni 2007, FKUB sudah ada di 21
provinsi, 110 kabupaten dan 29 kota. Lihat Soefyanto, Pendirian Rumah Ibadat
dan Catatan Perkembangan Pembahasannya (Jakarta: Universitas Islam Jakarta,
2009), 26.
90 | Rif’atul Hasanah
mempunyai satu tambahan tugas lagi yaitu memberikan
rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.17
FKUB juga mempunyai peran strategis dalam upaya
mencegah terjadinya konflik yakni sebagai fasilitator dan juga
mitra kerja Pemerintah Daerah dalam memelihara kerukunan dan
menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan sosial
keagamaan masyarakat.18 FKUB Kota Bekasi sendiri sudah
mengadakan kegiatan-kegiatan dialog antar agama dengan
mengundang tokoh-tokoh agama dan masyarakat dan ketika
program kegiatan Deklarasi Kerukunan yang diadakan Pemerintah
Kota Bekasi, FKUB dan Kementerian Agama menjadi
narasumbernya.19
Dalam menjalankan tugas dan program kerjanya, FKUB
mendapat kucuran dana APBD yang cukup untuk mendanai
operasional kegiatan atau semacam honor, namun dana tersebut
terbatas.20
Terkait struktur keanggotaan FKUB, pada Pasal 10 PBM
dinyatakan bahwa keanggotaan FKUB terdiri atas pemuka-pemuka
17
Di dalam buku Soefyanto, yang berjudul Pendirian Rumah Ibadat dan
Catatan Perkembangan Pembahasannya, ada dua tambahan tugas lagi bagi FKUB
yakni Program pemberdayaan masyarakat, ekonomi, pendidikan, hukum, politik,
budaya; dan membantu mencari penyelesaian perselisihan masyarakat terkait
pendirian rumah ibadat dengan jalan musyawarah mufakat. Lihat Soefyanto,
Pendirian Rumah Ibadat dan Catatan Perkembangan Pembahasannya, 22-23.
Bandingkan dengan isi Pasal 8 dan Pasal 9 ayat (1) dan (2) PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006 dalam Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, 14.
18
Ramadhanita Mustika Sari, “Jaring Pengaman Pencegahan Konflik:
Kasus Masyarakat Oku Timur”, Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, 85.
19
Hal ini dipaparkan oleh Abdul Manan selaku Ketua FKUB Kota Bekasi
pada Sosialisasi FKUB Tingkat Kelurahan Tahun 2012 di Kelurahan Padurenan
Kecamatan Mustika Jaya, tanggal 11 September 2012 di Kelurahan Padurenan
RW 20 Blok N, Kecamatan Mustika Jaya.
20
Untuk melaksanakan dan mewujudkan program kerja FKUB, ada
pelaku dan pendukung. Sebagai pelaku adalah anggota FKUB itu sendiri,
sedangkan faktor pendukungnya adalah dana dan orang atau instansi lain yang
terkait. FKUB pernah mengadakan kegiatan dan mendapatkan sponsor baik dari
Kementerian Agama dan Kesbangpol. Terkadang juga Instansi-instansi tersebut
yang mengadakan kegiatan dan memanggil FKUB untuk menjadi pembicaranya.
Wawancara dengan Rudy Pratikno di Kantor FKUB DKI Jakarta Gedung Persada
Sasana Karya, pada tanggal 26 November 2013.
21
Pemuka agama disini yaitu tokoh komunitas umat beragama baik yang
memimpin ormas keagamaan maupun yang tidak memimpin ormas keagamaan
yang diakui dan atau dihormati oleh masyarakat setempat sebagai panutan. Lihat
Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, 17.
22
Komposisi keanggotaan FKUB provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan
berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan
minimal 1 (satu) orang dari setiap agama yang ada di provinsi dan
kabupaten/kota. FKUB dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil
ketua, 1 (satu) orang sekretaris, 1 (satu) orang wakil sekretaris, yang dipilih secara
musyawarah oleh anggota. Lihat Pasal 10 ayat (3) dan (4) PBM No. 9 dan 8 tahun
2006.
23
Pasal 11 ayat (2) PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
92 | Rif’atul Hasanah
c. Sekretaris : Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik kabupaten/Kota
d. Anggota : Pimpinan Instansi Terkait.
Adapun pola hubungan FKUB dengan Dewan Penasehat
FKUB adalah dua struktur organisasi yang terpisah namun
mempunyai hubungan kemitraan, ketentuan lebih lanjut mengenai
FKUB dan Dewan Penasehat FKUB provinsi dan kabupaten/kota
diatur dengan Peraturan Gubernur. 24 FKUB dan Dewan Penasehat
FKUB ini dibentuk paling lambat satu tahun sejak Peraturan
Bersama No. 9 dan 8 Tahun 2006 ini ditetapkan. Apabila di provinsi
dan kabupaten/kota sudah terbentuk FKUB atau forum sejenis,
maka disesuaikan paling lambat 1 (satu) tahun sejak PBM
ditetapkan.25
Berbeda dengan pemahaman masyarakat terhadap tugas
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam memelihara
kerukunan antar umat beragama, pemahaman masyarakat Mustika
Jaya Bekasi terhadap pemberdayaan FKUB bisa dikatakan bahwa
responden belum sepenuhnya memahami sub bahasan FKUB ini,
dikarenakan prosentase pada kategori tinggi kurang dari 50%,
sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.5
Indeks Pemahaman Masyarakat Mustika Jaya Bekasi
Tentang Pemberdayaan FKUB
Tingkat
No. Indeks Prosentase
Pemahaman
1. 9 – 12 Tinggi 46%
2. 5–8 Sedang 32%
3. 0–4 Rendah 22%
Jumlah 100%
24
Yang diatur oleh Peraturan Gubernur mengenai FKUB dan Dewan
Penasehat FKUB baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota antara lain
adalah (a) pengukuhan/pelantikan anggota FKUB dan Dewan Penasehat FKUB;
(b) masa kerja FKUB dan Dewan Penasehat FKUB; (c) penggantian antar waktu
FKUB dan Dewan Penasehat FKUB bila berhalangan tetap, pindah alamat, dan
sebab-sebab lain karena tidak mampu melaksanakan tugasnya; (d) tata
administrasi umum dan keuangan FKUB dan Dewan Penasehat FKUB; dan (e)
prinsip dasar tata kelola FKUB yang selanjutnya diatur dalam anggaran rumah
tangga FKUB. Lihat Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, 22-23.
25
Lihat Pasal 27 ayat (1) dan (2) PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
Grafik 4.3
Pemahaman Masyarakat Terhadap Pemberdayaan FKUB
Pembentukan FKUB
Keanggotaan FKUB
49%
54%
Dewan Penasehat
FKUB
94 | Rif’atul Hasanah
adalah faktor kesibukan anggota Dewan Penasihat FKUB yang tidak
dapat dipungkiri.26
Hal yang sama diutarakan oleh anggota FKUB Kota Bekasi, H.
Moch. Nasrullah, bahwa untuk mengatur agenda rapat dengan
FKUB, Dewan Penasehat FKUB Bekasi mempunyai tim pelaksana,
yang salah satunya bertugas menghadiri rapat-rapat dengan FKUB
untuk membicarakan kondisi kerukunan umat beragama di Bekasi,
juga untuk monitoring dan evaluasi FKUB Kota Bekasi.27
Penelitian tentang FKUB telah banyak dilakukan di beberapa
daerah. Di daerah Pontianak, hasil penelitian tentang FKUB
menunjukkan bahwa penegakkan pekerjaan FKUB
(provinsi/bupati) yang diatur dalam PBM belum tuntas
dilaksanakan. Khusus pada penerbitan rekomendasi pembangunan
rumah ibadat, tidak satu rekomendasipun telah diterbitkan oleh
FKUB Pontianak sejauh ini. Fasilitas dan dana yang dialokasikan
untuk FKUB ditingkat provinsi dan Bupati juga belum tersedia.28
Begitu juga yang terjadi pada FKUB Provinsi DKI Jakarta.
Dalam melaksanakan tugasnya, FKUB Provinsi DKI Jakarta masih
menemui beberapa kendala antara lain tingginya potensi konflik
terkait heterogenitas pemeluk agama, belum memadainya sarana
dan prasarana FKUB serta PBM belum dipahami secara seragam
oleh seluruh komponen masyarakat maupun pemerintah.29
Penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan
HAM pada tahun 2011, tentang “Evaluasi Efektivitas Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8
Tahun 2006” di empat propinsi yaitu Sumatera Barat, Nusa
26
Wawancara dengan A. Syafi’i Mufidz di Kantor FKUB DKI Jakarta
Gedung Persada Sasana Karya, pada tanggal 14 November 2013.
27
Wawancara dengan H. Moch. Nasrullah, anggota FKUB Kota Bekasi di
kantor FKUB Kota Bekasi pada tanggal 26 Maret 2014.
28
Ibnu Hasan Muchtar, “Peran Forum Kerukunan Umat Beragama di
Kalimantan Barat” dalam HARMONI Jurnal Multikultural dan Multireligius,
volume IX, No. 33, Januari - Maret 2010, 147. Menurut A. Syafi’i Mufidz, kinerja
FKUB DKI Jakarta sudah baik, dikarenakan FKUB DKI Jakarta sudah
meminimalisir terjadinya konflik antarumat beragama dengan diadakannya dialog
antar umat beragama dan selalu koordinasi dengan FKUB daerah Jakarta jika
terdengar ada sebab atau masalah yang akan mengganggu kerukunan di daerah
Jakarta. Wawancara dengan A. Syafi’i Mufidzdi Kantor FKUB DKI Jakarta
Gedung Persada Sasana Karya, pada tanggal 14 November 2013.
29
Kustini, “Optimalisasi Peran FKUB DKI Jakarta Menuju Kehidupan
yang Harmoni” dalam HARMONI Jurnal Multikultural dan Multireligius, Volume
IX, No. 33, Januari - Maret 2010.
30
Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Transformasi Konflik
Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI
Tahun 2011 tentang Evaluasi Efektivitas Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.
31
Sjuhada Abduh dan Ibnu Hasan Muchtar, “Peranan FKUB dalam
Pelaksanaan Pasal 8, 9, dan 10 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 di Provinsi
Kalimantan Barat” dalam Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama dalam
Pelaksanaan Pasal 8, 9, dan 10 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Kementerian Agama RI, 2010, 179.
96 | Rif’atul Hasanah
3. Pemahaman Masyarakat Terhadap Pendirian Rumah Ibadat
Aturan tentang pendirian rumah ibadat dalam PBM No. 9
dan 8 Tahun 2006 ini ada pada Pasal 13 sampai Pasal 17. Pada Pasal
13 dinyatakan bahwa dasar utama pendirian rumah ibadat adalah
didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh
berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat
beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa. Pendirian
rumah ibadat ini tetap harus menjaga kerukunan umat beragama,
tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, serta
mematuhi peraturan perundang-perundangan.32
Pada pasal 14 ayat (1) PBM ditegaskan bahwa ”pendirian
rumah ibadat harus mematuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis bangunan gedung.”33 Pada ayat (2) dinyatakan
bahwa ”selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan
khusus meliputi:
a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah
ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan
oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3); 34
32
Pengertian keperluan nyata dan sungguh-sungguh inilah yang sering
dimanipulasi atau disalahtafsirkan, atau menjadi sebab terjadinya perbedaan
penafsiran antar kelompok-kelompok agama. lebih lanjut lihat M. Atho Mudzhar,
Merayakan Kebhinekaan Membangun Kerukunan (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2013), 133.
33
Persyaratan administratif adalah seperti surat panitia pembangunan
rumah ibadat, susunan pengurus/panitia pembangunan rumah ibadat, dan surat
keterangan kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan
Nasional/Kantor Pertanahan Setempat: diproses sesuai dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Adapun persyaratan teknis
bangunan gedung adalah seperti rencana gambar bangunan, rencana anggaran
biaya pembangunan, dan keterangan rencana kota sama seperti persyaratan tata
bangunan gedung. Kedua tata persyaratan tersebut telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Lihat Buku Tanya
Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
dan 8 Tahun 2006, 26.
34
Pasal 13 ayat (1) menyatakan bahwa “Pendirian rumah ibadat didasarkan
pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah
penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah
kelurahan/desa.” Ayat (2) “Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak
mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan
perundang-undangan.” Pada ayat (3) berbunyi “Dalam hal keperluan nyata bagi
pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagimana dimaksud ayat
(1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas
wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi. Lihat PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006.
35
Rekomendasi FKUB ini pun merupakan hasil musyawarah dan mufakat
dalam rapat FKUB dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Lihat Pasal 15 PBM
No. 9 dan 8 Tahun 2006.
36
Lihat Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, 26.
98 | Rif’atul Hasanah
sehingga masyarakat mulai menunjukkan aksi unjuk rasa mendesak
Pemkot Bekasi untuk segera menyelesaikan konflik.37
Di pertengahan September, diadakan Rapat Koordinasi
Gubernur, Wagub & Sekda Prop. Jabar, serta beberapa aparat
pemerintahan terkait menghasilkan alternatif solusi tempat
kebaktian jamaat HKBP Mustika Jaya, yakni: Lokasi pembangunan
gereja HKBP-PTI diberikan dua solusi: (1) Lahan fasos/fasum PT
Timah di RT 02/ RW 02, Kelurahan Mustika Sari, Kecamatan
Mustika Jaya seluas 2.500 m2 yang sudah diserahkan kepada
Pemkot Bekasi. (2) Lahan kosong milik Yayasan Strada seluas 1.984
m2 di RT 02/RW 04, Kelurahan Mustika Sari, Kecamatan Mustika
Jaya yang dijual/di tawar sesuai harga pasar. Sebelumnya yakni dari
tahun 1990, jamaat HKBP PTI ini selalu melaksanakan kebaktian di
rumah Jl. Puyuh Raya nomor 14 rt. 001/015 kelurahan Mustika Jaya,
kecamatan Mustika Jaya, kota Bekasi. Kegiatan berlangsung secara
rutin setiap hari Ahad, namun pada tahun 2007 mulailah potensi
konflik ini sudah terlihat.38
Pada tanggal 12 September 2010, terjadi konflik antar jamaat
HKBP PTI yang ingin beribadah di Kampung Ciketing Asem,
Kelurahan Mustika Jaya. Mereka berkumpul di rumah Jl. Puyuh
Raya lalu berangkat secara konvoi dengan berjalan kaki menuju
lahan kosong di Ciketing Asem untuk melakukan kebaktian. Di
tengah jalan, konvoi jamaat HKBP yang berjumlah lebih dari 200
orang berpapasan dengan beberapa orang bersepeda motor,
sehingga terjadi keributan dan baku hantam. Hal ini
mengakibatkan beberapa orang pengendara motor mengalami
cidera dan seorang jamaat roboh terkena pisau (Pdt Asia Lumban
Toruan) dan seorang luka terkena pukulan (Pdt Luspida
Simanjuntak), sedangkan para pengendara motor lari
menyelamatkan diri.
Dari keterangan FKUB Kota Bekasi sebenarnya sudah
beberapa kali diperingatkan kepada jamaat HKBP PTI untuk tidak
mengadakan kebaktian lagi di rumah tersebut, namun tidak
didengarkan. Setelah insiden ini terjadi, diadakan beberapa rapat
yang dilakukan baik oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah
untuk membahas insiden tersebut dan memfasilitasi pelaksanaan
37
Data ini didapat dari Data Kronologis Kasus Gereja HKBP Pondok
Timur Indah, Mustika Jaya Kota Bekasi yang diberikan oleh FKUB Kota Bekasi.
38
Data ini didapat dari Data Kronologis Kasus Gereja HKBP Pondok
Timur Indah, Mustika Jaya Kota Bekasi yang diberikan oleh FKUB Kota Bekasi.
39
Wawancara dengan H. Moch. Nasrullah, anggota FKUB Kota Bekasi di
kantor FKUB Kota Bekasi pada tanggal 26 Maret 2014.
40
Lihat Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, 28.
41
Lihat Pasal 19 dan 20 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
42
Yang dimaksud perselisihan disini adalah perselisihan antara pihak
panitia pendiri atau pengguna atau calon pengguna rumah ibadat dengan pihak
masyarakat setempat, dengan pemerintah daerah, dengan kantor departemen
agama kabupaten/kota atau dengan FKUB setempat dalam hal yang berkaitan
dengan izin dan persyaratan pendirian rumah ibadat, ataupun penggunaan
bangunan gedung bukan rumah ibadat yang akan atau telah dipergunakan sebagai
rumah ibadat. Lihat Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, 32-34.
43
Lihat Pasal 21 dan Pasal 22 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
Tabel 4.6
Indeks Pemahaman Masyarakat Mustika Jaya Bekasi
Tentang Pendirian Rumah Ibadat
No. Indeks Tingkat Pemahaman Prosentase
1. 11 – 15 Tinggi 35%
2. 6 – 10 Sedang 23%
3. 0–5 Rendah 42%
Jumlah 100%
44
Wawancara dengan A. Syafi’i Mufidz di Kantor FKUB DKI Jakarta
Gedung Persada Sasana Karya, pada tanggal 14 November 2013.
Persyaratan Pendirian
Rumah Ibadat
46
Data didapat dari Kronologis Kasus Gereja HKBP Pondok Timur
Indah, Mustika Jaya Kota Bekasi yang diberikan oleh FKUB Kota Bekasi.
Penyalahgunaan tempat tinggal menjadi rumah ibadat ini dikatakan juga oleh
Deden Taufikurrahman selaku Perwakilan Kementerian Agama Bekasi yang
menjadi narasumber pada Sosialisasi FKUB Tingkat Kelurahan Tahun 2012 di
Kelurahan Padurenan Kecamatan Mustika Jaya, tanggal 11 September2012 di
Kelurahan Padurenan RW 20 Blok N, Kecamatan Mustika Jaya Bekasi bahwa ada
260 rumah dan ruko yang dijadikan tempat ibadat, dan sekarang sedang dalam
proses pencarian solusi agar tidak mengganggu umat yang lainnya.
47
Keputusan Walikota Bekasi Nomor: 450/Kep. 372-
Kesbangpolinmas/VIII/2011 ini merupakan pembaharuan dari Keputusan
Walikota Bekasi Nomor: 450/kep. 188-Solinbermas/VI/2008 Tentang
Pembentukan Forum dan Dewan Penasehat kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Kota Bekasi. Dalam pembahasan kedua Keputusan Walikota Bekasi ini masih
sama-sama membahas tugas pembentukan FKUB dan Dewan Penasehat FKUB
tingkat kota, tugas pokok mereka, dan acuan pelaksanaan kegiatan mereka yang
sama-sama berpedoman pada PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Lihat Buku Pedoman
Kerukunan Hidup Umat Beragama yang dikeluarkan oleh FKUB Kota Bekasi
Tahun 2012, 57-64.
48
Contoh tindakan yang termasuk dalam aksi damai adalah aksi protes
(aksi menolak suatu pandangan atau kebijakan menyangkut isu yang
diperselisihkan), aksi dukungan (aksi mendukung suatu pandangan atau kebijakan
menyangkut isu yang diperselisihkan), maupun aksi mediasi (tindakan yang
dilakukan dalam rangka mendukung upaya penyelesaian konflik yang tengah
terjadi), sedangkan aksi kekerasan adalah setiap tindakan fisik yang dilakukan
dalam rangka menanggapi isu-isu keagamaan yang menjadi sumber pertikaian,
yang melibatkan dampak kekerasan baik terhadap orang (berupa kematian, luka,
hilang atau mengungsi) maupun harta benda (berupa kerugian, kerusakan maupun
kehilangan). Lihat Laporan Penelitian Pola-pola Konflik Keagamaan di Indonesia
(1990-2008) yang dilakukan oleh Ihsan Ali Fauzi, Rudy Harisyah Alam, dan
Samsu Rizal Panggabean, Kerjasama antara Yayasan Wakaf Paranadina (YWP),
Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada (MPRK-
UGM), dan The Asia Foundation (TAF), Jakarta Februari 2009, 8.
Tabel 4.8
Nama Provinsi Menurut Intensitas Insiden Aksi Damai Hasil
Penelitian YWP
Tingkat Aksi Damai
Rendah (1-4) Sedang (5-24) Tinggi (25>)
NAD, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Utara, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Kepulauan Riau, Sumatera Banten, DI Yogyakarta, Bali, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Selatan, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah
Bengkulu, Jambi, Nusa Kalimantan Selatan,
Tenggara Timur, Kalimantan Kalimantan Tengah,
Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Papua Tenggara, Maluku
Tabel 4.9
Nama Provinsi Menurut Intensitas Insiden Aksi Kekerasan Hasil
Penelitian YWP
Tingkat Aksi Kekerasan
Rendah (1-4) Sedang (5-24) Tinggi (25>)
NAD, DI Yogyakarta, Sumatera Utara, Riau, Sulawesi Tengah, Jawa
Kalimantan Selatan, Banten, Jawa tengah, Bali, Barat, DKI Jakarta, Maluku,
Kalimantan Timur, Sulawesi Nusa Tenggara Barat, Nusa dan Jawa Timur
Utara, Sulawesi Tenggara Tenggara Timur, Sulawesi
Selatan, Maluku Utara
Jika merujuk kepada tabel diatas, Jawa Barat adalah provinsi
yang mempunyai tingkat aksi damai yang tinggi, sejajar dengan
aksi kekerasannya, dan kecamatan Mustika Jaya Bekasi merupakan
salah satu dari beberapa daerah di Provinsi Jawa Barat. Dengan
49
Lebih lanjutnya lihat Laporan Penelitian Ihsan Ali Fauzi, Rudy
Harisyah Alam, dan Samsu Rizal Panggabean, Pola-Pola Konflik Keagamaan , 19.
Grafik 4.5
Tingkat Kerukunan Antar Umat Beragama di Kecamatan Mustika
Jaya Per Sub Variabel
100% 60% 82%
68% 65%
56%
47%
0%
Toleransi
Komunikasi
Kepedulian Sosial
sementara…
Konflik pendirian
penggunaan
rumah ibadat
penyelenggaraan
peribadatan…
Konflik
Konflik
50
Selain faktor-faktor tersebut, ada juga faktor yang menjadi penghambat
pemeliharaan kerukunan umat beragama seperti penilaian ketidakadilan dalam
pelayanan pendidikan agama dan kehidupan beragama, ketidakpahaman tentang
simbol agama lain, penggunaan ungkapan/identitas kelompok lain, kehadiran
aliran sempalan yang ekslusif, faktor menurunnya kepatuhan terhadap kearifan
lokal, konversi agama, dan lainnya. Sedangkan faktor yang menjadi pendukung
Grafik 4.6
Penelitian Setara Institut tentang Keberadaan Rumah Ibadat Umat
Lain di Sekitar Lingkungan Umat Yang Berbeda Agama
Jakarta Pusat
Jakarta Timur
Jakarta Utara Tidak tahu/Tidak
Jakarta Selatan menjawab
Jakarta Barat Tidak dapat menerima
Bekasi
Dapat menerima
Bogor
Depok
Tangerang
0 20 40 60 80
52
Lihat International Crisis Group, Indonesia: “Christianisation” and
Intolerance, Jakarta/Brussels, 24 November 2010, http://www.crisisgroup.org
diunduh tanggal 08/03/2012.
1
Analisis korelasi adalah sekumpulan teknik statistika yang dipergunakan
untuk mengukur keeratan hubungan (korelasi) antar dua variabel. Koefisien
korelasi dinotasikan dengan sebutan r Pearson atau korelasi product moment
Pearson. Koefisien korelasi memiliki nilai -1 sampai dengan +1. Nilai antara -1
sampai 0 menunjukkan korelasi negatif, sedangkan nilai 0 sampai 1 menunjukkan
korelasi positif. Dalam penelitian ini hasil analisis korelasi Pearson mempunyai
nilai 0,350, hal ini menunjukkan bahwa nilai tersebut berada pada rentangan 0,20-
0,40 yang berarti mempunyai korelasi yang rendah. Lihat Jonathan Sarwono,
Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006),
150.
Tabel 5.1
Korelasi antara pemahaman masyarakat Mustika Jaya Bekasi
terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan tingkat kerukunan antar
umat beragama
Model R R Square
1 .350a .122
a. Predictors: (Constant), VarX
b. Dependent Variable: VarY
2
Jika dianalisis khusus masyarakat biasa yang berjumlah 65 orang, hasil
korelasi menunjukkan nilai 0,074, yang berarti korelasi antar dua variabel tersebut
berada pada posisi sangat rendah, bahkan hampir tidak ada hubungan. Sangat
rendahnya korelasi ini bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya karena
responden yang diuji hanya berjumlah 65 orang.
3
Nilai 12% yakni hasil prosentase dari 0,122 ((0,350)2x100%=12%),
merupakan nilai koefisien determinasi yang berguna untuk menafsirkan korelasi
Perason (r), yakni dengan menguadratkan nilai r tersebut. Lebih lanjut lihat
Sofyan Yamin dan Heri Kurniawan, SPSS Complete Teknik Analisis Statistik
Terlengkap dengan Software SPSS (Jakarta: Salemba Infotek, 2009), 87-93.
4
Wawancara dengan Rudy Pratikno di Kantor FKUB DKI Jakarta
Gedung Persada Sasana Karya, pada tanggal 26 November 2013.
5
Hal ini dipaparkan oleh Deden Taufikurrahman selaku Perwakilan
Kementerian Agama Bekasi yang menjadi narasumber pada Sosialisasi FKUB
Tingkat Kelurahan Tahun 2012 di Kelurahan Padurenan Kecamatan Mustika Jaya,
tanggal 11 September 2012 di Kelurahan Padurenan RW 20 Blok N, Kecamatan
Mustika Jaya Bekasi.
6
Wawancara dengan A. Syafi’i Mufidz di Kantor FKUB DKI Jakarta
Gedung Persada Sasana Karya, pada tanggal 14 November 2013.
7
Insiden di Bekasi menjadi contoh kasus ketegangan agama yang sedang
terjadi. Menurut International Crisis Group, organisasi-organisasi muslim garis
keras seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Gerakan Pemuda
Islam (GPI) yang dua-duanya punya unsur anti-Kristen, sudah lama aktif di
Bekasi. Disana juga ada Front Pembela Islam (FPI) dan juga beragam koalisi anti-
pemurtadan. Bekasi juga menjadi salah satu basis komunitas salafi jihadi seperti
Jemaah Ansharut Tauhid (JAT) yang dideklarasikan Abu Bakar Ba’asyir di
asrama haji Bekasi pada tahun 2008. Di pihak Kristen, beberapa organisasi
penginjil yang berkomitmen untuk mengkristenkan Muslim juga ada di Bekasi,
beberapa didanai dari luar negeri, yang lain murni lokal. Yayasan Mahanaim,
salah satu organisasi neo-Pentakosta yang paling bonafide serta aktif, sangat
dibenci kaum muslim garis keras karena program-programnya menjadikan orang-
orang muslim yang miskin sebagai objek pemurtadan. Sebelumnya, Yayasan Kaki
Dian Emas, yang dijalankan oleh pendeta yang tadinya muslim, menggunakan
kaligrafi Arab pada sampul-sampul publikasinya, seolah-olah isinya mengenai
Islam, dan mempunyai program untuk mewajibkan setiap siswa sekolahnya
mengkristenkan sepuluh orang sebagai syarat kelulusan. Lihat International Crisis
Group, Indonesia: “Christianisation” and Intolerance, Jakarta/Brussels, 24
November 2010, http://www.crisisgroup.org diunduh tanggal 08/03/2012.
8
Isu komunal disini yakni isu-isu yang melibatkan perseteruan
antarkomunitas agama seperti konflik Muslim-Kristen, maupun perseteruan antar
kelompok agama dengan kelompok masyarakat lainnya yang tidak selalu bisa
diidentifikasi berasal dari kelompok agama tertentu. Lihat Ihsan Ali Fauzi, Rudy
Harisyah Alam, dan Samsu Rizal Panggabean, Laporan Penelitian Pola-Pola
Konflik Keagamaan (Jakarta: tp., 2009), 9.
9
Yang dimaksud dengan isi moral disini adalah isu-isu di seputar
perjudian, minuman keras (miras), narkoba, perbuatan asusila, prostitusi,
pornografi/pornoaksi yang melibatkan kelompok keagamaan dan/atau dibingkai
oleh para aktor yang terlibat dalam slogan atau ekspresi keagamaan. Lihat Ihsan
Ali Fauzi, Rudy Harisyah Alam, dan Samsu Rizal Panggabean, Laporan
Penelitian Pola-Pola Konflik Keagamaan, 9.
10
Isu-isu ini melibatkan sikap anti terjadap kebijakan pemerintah Barat
atau pemerintah asing lainnya dan sikap kontra ideologi/kebudayaan Barat atau
asing lainnya. Lihat Ihsan Ali Fauzi, Rudy Harisyah Alam, dan Samsu Rizal
Panggabean, Laporan Penelitian Pola-Pola Konflik Keagamaan, 10.
11
Isu sektarian yang dimaksud disini adalah isu-isu yang melibatkan
perseteruan terkait interpretasi atau pemahaman ajaran dalam suatu komunitas
agama maupun status kepemimpinan dalam suatu kelompok keagamaan. Lihat
Ihsan Ali Fauzi, Rudy Harisyah Alam, dan Samsu Rizal Panggabean, Laporan
Penelitian Pola-Pola Konflik Keagamaan, 9.
12
Isu terorisme adalah isu yang terkait dengan aksi-aksi serangan teror
dengan sasaran kelompok keagamaan tertentu, maupun serangan teror yang
ditujukan terhadap warga asing maupun hak milik pemerintah asing. Lihat Ihsan
Ali Fauzi, Rudy Harisyah Alam, dan Samsu Rizal Panggabean, Laporan
Penelitian Pola-Pola Konflik Keagamaan, 9.
13
Isu lainnya yang dimaksud disini adalah meliputi isu subkultur
keagamaan mistis seperti santet, tenung, dan sebagainya yang tidak termasuk
dalam isu komunal, isu moral, isu sectarian, isu terorisme, dan isu politik-
keagamaan. Lihat Ihsan Ali Fauzi, Rudy Harisyah Alam, dan Samsu Rizal
Panggabean, Laporan Penelitian Pola-Pola Konflik Keagamaan, 10.
n=832
350
300
250
Jumlah Kasus
200
323
150 39%
100 155 139
19% 99 17%
50 64 53
12%
8% 6%
0
Kategori isu
14
Penelitian ini dilakukan atas kerjasama Yayasan Wakaf Paramadina
(YWP), Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada
(MPRK-UGM), dengan The Asia Foundation (TAF) dengan menggunakan sumber
primer dua media nasional yakni Kompas dan Antara . Lihat Ihsan Ali Fauzi,
Rudy Harisyah Alam, dan Samsu Rizal Panggabean, Laporan Penelitian Pola-
Pola Konflik Keagamaan, 23.
16
Lihat Kevin Downing, Sui-Wah Chan, Woo-Kyung Downing, Theresa
Kwong, Tsz-Fung Lam, “Measuring Gender Differences In Cognitive
Functioning”, Multicultural Education & Technology, Vol. 2 No. 1, 2008, 4-18.
17
Lihat Alice H. Eagly dan Valerie J. Steffen, Gender and Aggressive
Behavior: A Meta-Analytic Review of the Social Psychological Literature, Purdue
University, Psychological Bulletin, 1986, Vol. 100, No. 3, 309.
18
Christian G. Mesquida dan Neil l. Wiener, Male Age Composition and
Severity of Conflict dalam Politics and The Life Sciences (York University,
Canada, Beech Tree Publishing, 1999), 18 (2), 181-189.
19
Pernyataan ini didapat dari hasil penelitian yang menghasilkan nilai rata-
rata pemahaman masyarakat terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, rentang usia
antara 31-40 tahun memiliki rata-rata 54,32, sedangkan usia 41-50 tahun 50,16
dan usia antara 21-30 tahun 36,48. Adapun variabel tentang tingkat kerukunan
antar umat beragama, usia antara 21-30 tahun memiliki potensi lebih tinggi
dibanding responden lain. Potensi tingkat kerukunan responden yang berusia
antara 21-30 tahun sebesar 56,25, sedangkan responden yang berusia 31-40 tahun
sebesar 48,52 dan responden yang berusia antara 41-50 tahun sebesar 45,62.
20
Perolehan nilai rata-rata responden yang bertitel Sarjana sebesar 53,26,
sedangkan nilai responden yang berpendidikan Diploma 47,68 dan SMA sebesar
42,13. Hasil ini diperoleh dari perhitungan SPSS yang peneliti gunakan.
21
Walter J. Kamba, The Role of Higher Education in Society: Quality and
Pertinence, News Papers on Higher Education, Meeting Documents, UNESCO-
Non Governmental Organizations 2nd Collective Consultation on Higher
Education, Paris, 8-11 April 1991, 26.
22
Hasil analisis tingkat kerukunan responden yang berpendidikan SMA
senilai 58,13, sedangkan Diploma senilai 48,13 dan Sarjana senilai 48,15.
23
Ibnu Syamsi, “Potensi Konflik Sosial Masyarakat di Kelurahan
Condongcatur Yogyakarta” dalam Forum Kajian Fondasi Pendidikan (FOKSiP)
Universitas Negeri Yogyakarta, Fondasia Majalah Ilmiah Fondasi Pendidikan,
Vol. 1 No. 9/Th. VIII, Maret 2009, 35.
24
Penelitian empiris yang dilakukan oleh Kalbers dan Cenker (2007)
terhadap 334 akuntan yang bekerja di beberapa kota metropolitan di Amerika
Serikat menunjukkan bahwa pengalaman kerja (masa kerja) berpengaruh positif
dan signifikan terhadap komitmen organisasional. Demikian pula penelitian yang
dilakukan oleh Joiner dan Bakalis (2006) terhadap 72 orang guru dari delapan
akademi di Austria menunjukkan bahwa masa kerja atau pengalaman kerja
berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional. LihatRina
Friska Bintang Siahaan,“Pengaruh Karakteristik Individu dan Kepuasan Kerja
Terhadap Komitmen Organisasi Pada PT. Angkasa Pura II Bandar Udara Polonia
Medan”, Tesis Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2010, 17.
25
Hal ini diperoleh dari hasil penelitian dimana nilai rata-rata responden
yang berpenghasilan antara Rp 2.100.000,- - Rp 3.000.000,- sebesar 56,28 dan
nilai rata-rata responden yang berpenghasilan antara Rp 1.100.000,- - Rp
2.000.000,- sebesar 52,19, sedangkan nilai rata-rata responden yang
berpenghasilan antara Rp 500.000,- - Rp 1.000.000,- sebesar 48,62.
26
Untuk variabel tingkat kerukunan, responden yang berpenghasilan rendah
mempunyai nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan responden yang
berpenghasilan tinggi. Nilai responden yang berpenghasilan antara Rp 500.000,- -
Rp 1.000.000,- sebesar 52,68 dan nilai responden yang berpenghasilan antara Rp
1.100.000,- - Rp 2.000.000,- sebesar 48,52, adapun nilai rata-rata responden yang
berpenghasilan antara Rp 2.100.000,- - Rp 3.000.000,- sebesar 48,06.
27
Hal ini juga dikatakan oleh A. Syafi’i Mufidz dan Rudy Pratikno ketika
ditemui di Kantor kediamannya FKUB DKI Jakarta Gedung Persada Sasana
Karya tanggal 26 November 2013. Beliau mengatakan bahwa ketika ada
sekelompok orang yang sedang berdemo dalam kasus penolakan rumah ibadat
atau sejenisnya, maka yang berorasi tersebut diajak dialog dan setelah itu ia
mendapatkan uang. Hal ini terjadi karena adanya tumpang tindih antara agama
28
Hasil ini didapat dengan melihat nilai rata-rata juga menggunakan Chi-
Square yang bertujuan untuk menguji hubungan atau pengaruh dua buah variabel
nominal dan mengukur kuatnya hubungan antara variabel yang satu dengan
variabel nominal lainnya. Dengan perhitungan Chi-Square, pada tingkat
pemahaman masyarakat terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, faktor keaktifan
responden dalam ormas keagamaan memperoleh nilai 0,015. Pada tingkat
kerukunan antar umat beragama, faktor jenis kelamin 0,032 dan keaktifan ormas
keagamaan mempunyai hasil sebesar 0,038. Dengan demikian, jenis kelamin dan
Pemahaman
Tingkat kerukunan
masyarakat
antar umat
terhadap tugas
beragama
Kepala Daerah
Pemahaman Pearson Correlation 1 .478**
masyarakat terhadap Sig. (2-tailed) .000
tugas Kepala Daerah N 100 165
Pearson Correlation .478** 1
Tingkat kerukunan
Sig. (2-tailed) .000
antar umat beragama
N 165 100
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
30
Lihat Anik Farida, Peran Pemda Jawa Barat Dalam Memelihara
Kerukunan Umat Beragama,, 59.
31
Dari beberapa daerah yang sudah memiliki peraturan gubernur ternyata
masih belum sesuai dengan PBM dan belum tersosialisasi dengan baik. Lihat
Kustini, Efektifitas Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Nomor 9 dan 8 Tahun
2006, Puslitbang Kehidupan Keagamaan RI, 2009, 43.
32
Pada pertemuan berkala Forum Komunikasi Kelitbangan
Kementerian/Lembaga dengan tema “Mencari Solusi Konflik Sosial dalam
Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Sosial” yang diselenggarakan
Puslitbangkesos paling tidak 3 Kementerian yaitu Kementerian Sosial,
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
mempunyai kebijakan dan program penanganan konflik sosial. Kementerian
Dalam Negeri mencatat dari Januari-November 2012 telah terjadi 104 peristiwa
konflik dengan 8 pemicu utama konflik yaitu: Bentrokan antar warga 33,6%, Isu
keamanan 25%, konflik Ormas 12,5%, sengketa lahan 12,5%, Isu SARA
9,6%, ekses konflik politik 2,9%, konflik pada institusi pendidikan 2,8% dan
kesenjangan sosial 0,9%. Maka dari itu, optimalisasi peran pemerintah daerah
pada level paling bawah harus ditekankan. http://www.kemsos.go.id di unduh
tanggal 09 Februari 2013.
Tabel 5.5
Korelasi antara pemahaman masyarakat terhadap pemberdayaan
FKUB dengan tingkat kerukunan antar umat beragama
33
Lihat Ibnu Hasan Muchtar, “Peran Forum Kerukunan Umat Beragama di
Kalimantan Barat” dalam HARMONI Jurnal Multikultural dan Multireligius,
volume IX, nomor 33, Januari - Maret 2010, 147. Lihat juga Kustini,
“Optimalisasi Peran FKUB DKI Jakarta Menuju Kehidupan Yang Harmoni”
dalam Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. IX No. 33. Ahsanul Khalikin,
Peran Forum Kerukunan Umat Beragama dalam Pelaksanaan PBM Nomor 9 & 8
Tahun 2006 di Jakarta Pusat dalam Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. IX
No. 33, 2010. Bandingkan dengan Saifudin Asrori, “Studi Sosiologis Forum
Konsultasi dan Komunikasi Umat Beragama (FKKUB) Provinsi DKI Jakarta”,
Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007.
34
Adapun analisis terhadap 65 responden yang berasal dari masyarakat
biasa, tidak menunjukkan adanya korelasi antara pemberdayaan FKUB dengan
kerukunan antar umat beragama, karena nilai yang diperoleh sebesar -0,025.
35
Wawancara dengan Pak. H. Moch. Nasrullah, anggota FKUB Kota
Bekasi di kantor FKUB Kota Bekasi pada tanggal 26 Maret 2014.
36
Wawancara dengan Pak. H. Moch. Nasrullah, anggota FKUB Kota
Bekasi di kantor FKUB Kota Bekasi pada tanggal 26 Maret 2014.
37
Dua jenis kegiatan tersebut merupakan hasil dari penelitian yang
mengangkat masalah tentang “bagaimana kegiatan-kegiatan keagamaan yang
dilakukan oleh para pengelola rumah ibadat memberikan kontribusi bagi
peningkatan kerukunan umat beragama?”. Hal ini sudah dijelaskan di Bab II
penelitian ini. Untuk lebih jelasnya lihat Bashori A. Hakim, dalam Pendahuluan,
Bashori A. Hakim dan Moh. Saleh Isre (editor), Fungsi Sosial Rumah Ibadat Dari
Berbagai Agama Dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Proyek
Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang
Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen
Agama RI, 2004), 3.
Tabel 5.6
Korelasi antara pemahaman masyarakat terhadap pendirian rumah
ibadat dengan tingkat kerukunan antar umat beragama
Pemahaman Tingkat
masyarakat terhadap Kerukunan
pendirian rumah Antarumat
ibadat Beragama
Pemahaman Pearson Correlation 1 .356**
masyarakat terhadap Sig. (2-tailed) .000
pendirian rumah ibadat
N 165 165
Tingkat Kerukunan Pearson Correlation .356** 1
Antarumat Beragama Sig. (2-tailed) .000
N 165 165
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
40
Wawancara dengan Ketua FKUB DKI JakartaA. Syafi’i Mufidz, di
Kantor FKUB DKI Jakarta, tanggal 14 November 2013. Lihat juga M. Atho
Mudzhar, Merayakan Kebhinekaan Membangun Kerukunan (Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), 133.
41
Abdul Kader Tayob, “The Role and Identity of Religious Authorities in
The Nation State, Egypt, Indonesia, and South Africa Compared”, Azyumardi
Azra, Kees Van Dijk, and Nico J.G. Kaptein (editors), Varieties of Religious
Authority: Changes and Challenges in 20th Century Indonesian Islam (Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 2010), 73.
42
Wawancara dengan Rudy Pratiknodi Kantor FKUB DKI Jakarta
Gedung Persada Sasana Karya, pada tanggal 26 November 2013.
A. Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa negara, yakni
Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri berperan
penting dalam mengatur lalu lintas keberagamaan para umat
beragama. Negara berprinsip netral-aktif untuk menjamin
kebebasan beragama dari semua agama dan secara aktif mendorong
pertumbuhan masing-masing agama tanpa terkecuali. Salah satu
upaya yang dilakukan pemerintah yakni dengan dikeluarkannya
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9
dan 8 Tahun 2006.
Temuan penelitian ini dapat dilihat dari teori koordinasi
antara agama dan negara, dan teori kontrak sosial. Jika dilihat dari
teori koordinasi antara agama dan negara yang bersifat netral-aktif,
pemerintah bukan hanya menjamin kebebasan beragama tetapi
juga secara aktif mendorong pertumbuhan masing-masing agama
tanpa terkecuali. Jika dilihat dari teori kontrak sosial yang
dicanangkan oleh JJ. Rousseau, Hobbes, dan Locke, negara adalah
suatu institusi yang pertama-tama berkewajiban menjamin hak dan
kebebasan warga negara dalam memperoleh kehidupan yang layak.
Dengan PBM No. 9 dan 8 tahun 2006, pemerintah berupaya
menjamin kenyamanan hidup sosial warganya dengan mengatur
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama,
Pemberdayaan FKUB, dan Pendirian Rumah Ibadat.
B. Saran
Penelitian ini baru dapat mengungkap pemahaman
masyarakat Mustika Jaya Bekasi terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006 dan mengaitkannya dengan tingkat kerukunan antar umat
beragama. Penelitian ini masih dirasakan kurang dan
membutuhkan serangkaian penelitian dengan cakupan yang lebih
luas dan mendalam seperti; minimnya pengetahuan masyarakat
tentang aturan-aturan pemerintah yang mengatur kerukunan umat
beragama karena kurangnya sosialisasi, banyaknya faktor penyebab
konflik antar umat beragama, rentannya faktor agama yang selalu
dijadikan alat legitimasi ketika terjadi konflik, rendahnya kontrol
sosial dari aparat keamanan dan beberapa fakta yang terjadi di
lapangan.
Setelah dilaksanakannya penelitian ini, penulis memberikan
beberapa saran yaitu: pertama, kepada masyarakat hendaknya tidak
terprovokasi oleh isu-isu keagamaan yang akan mengakibatkan
ketidakrukunan antar umat beragama. Kedua, kepada para pemuka
agama untuk tidak hanya menyiarkan dan mengajarkan aspek
aqidah semata kepada jamaatnya namun juga memperhatikan
aspek peningkatan kerukunan umat beragama. Ketiga, kepada
pemerintah pusat dan daerah untuk menggiatkan lagi sosialisasi
PBM No. 9 dan 8 tahun 2006 untuk masyarakat bawah yang belum
I. SUMBER PRIMER
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Sosialisasi PBM &
Tanya Jawabnya (Edisi Tanya Jawab Yang Disempurnakan).
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2012.
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI. Tanya Jawab
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI, 2008.
Fadhilah, Amir. “Dilema Pluralisme Agama Antara Konflik Sosial
dan Integrasi Sosial” dalam Ali Nurdin dan Abd. Aziz
Hasibuan, Islam dan Prospek Keberagamaan Di Indonesia. Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2006.
FKUB Kota Bekasi, Identifikasi Masalah Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) Kota Bekasi. Bekasi: FKUB Kota Bekasi, tidak
diterbitkan.
FKUB Kota Bekasi. Kronologis Kasus Gereja HKBP Pondok Timur Indah,
Mustika Jaya Kota Bekasi. Bekasi: FKUB Kota Bekasi, tidak
diterbitkan.
FKUB Kota Bekasi. Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama. Bekasi:
FKUB Kota Bekasi, 2012.
FKUB Kota Bekasi. Rumah Ibadat Di Kota Bekasi. Bekasi: FKUB Kota
Bekasi, 2009.
Kustini.Efektifitas Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Nomor 9 dan 8
Tahun 2006. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian
Agama RI, 2009.
C. Internet
Brahm, Eric. Religion and Conflict, November 2005, diambil dari
http://www.beyondintractability.org/bi-essay/religion-and-
conflict, tanggal 16 April 2012.
Dunn, David J. From Power Politics to Conflict Resolution: The Work of
John Burton (London: Palgrave Macmillan, 2004) diambil dari
http://www.labshop.com.au/dougcocks/BURTONREVIEW,
tanggal 22 Juli 2013.
http://bekasikota.go.id/readotherskpd/156/143/visi-dan-
misikecamatan -mustikajaya diunduh pada tanggal 12 Juni
2013.
http://www.kemsos.go.id di unduh tanggal 09 Februari 2013.
http://www.kontras.org/baru/Deklarasi%20Universal%20HAM.pdf
pada tanggal 12 Mei 2012.
Final Report of the Truth and Reconciliation Commisions of Liberia
Vol. 3: Appendices, Title IV: "The Conflict, Religion and
Tradition", “The Role of Religious and Traditional Institutions
during Conflict and Peacebuilding” Online Jornal of Religion,
Conflict, and Peace Volume 5. Issue 1, Fall 2011,
http://www.religionconflictpeace.org/volume-5-issue-1-fall-
2011/role-religious-and-traditional-institutions-during-
conflict-and (diakses pada 17 Juni 2013).
1. Pengantar:
Kepada Yth.
Bapak/Ibu Warga Kec. Mustika Jaya Bekasi
Di Tempat
Assalamu’alaikum W.W.
Dengan hormat, kami beritahukan bahwa kami, Mahasiswa
Kajian Agama dan Studi Perdamaian, Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, bermaksud menyelenggarakan
penelitian tentang sosialisasi dan pelaksanaan Peraturan Bersama
Menteri No 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Memelihara Kerukunan
Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama,
dan Pendirian Rumah Ibadat.
Kami ingin mengetahui pemahaman bapak/ibu secara
pribadi mengenai aturan tersebut dan kami juga ingin mengetahui
persepsi bapak/ibu mengenai kerukunan umat beragama secara
umum di wilayah ini. Untuk itu kami memohon bapak/ibu berkenan
menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini, sesuai pemahaman
dan pendapat bapak/ibu.
Perlu kami sampaikan bahwa nama bapak/ibu akan kami
rahasiakan dan tidak akan muncul, baik dalam analisa maupun
laporan penelitian ini. Nama bapak/ibu hanya akan ada dalam
lembar jawaban ini untuk arsip. Jika bapak/ibu berkeberatan
mencantumkan nama, kamipun memakluminya. Perlu kami
tegaskan juga bahwa pendapat bapak/ibu adalah sangat penting bagi
penelitian ini. Terima kasih atas kerjasama bapak/ibu. Semoga Allah
SWT membalas kebaikan budi bapak/ibu.
2. Petunjuk Pengisian
a. Sebelum menjawab, baca dengan teliti pertanyaan. Apabila ada
yang tidak jelas, tanyakan kepada petugas pengumpul data.
b. Berilah tanda lingkaran pada jawaban yang paling tepat bagi
bapak/ibu.
1. Kelurahan : ……………………………………….
2. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki
2. Perempuan
3. Usia : 1. Antara 21-30 tahun
2. Antara 31-40 tahun
3. Antara 41-50 tahun
4. Antara 51-60 tahun
5. Antara 61-70 tahun
4. Agama : ……………………………………..…
5. Tingkat Pendidikan : 1. SD/MI
2. SMP/MTs
3. SMA/MA
- Program Diploma
4. D1
5. D2
6. D3
- Perguruan Tinggi
7. S1
8. S2
9. S3
6. Pekerjaan : 1. Tidak Bekerja
2. Wiraswasta
3. Pegawai Negeri
4. Pegawai Swasta
5. Lain-Lain, tuliskan
……………………..
7. Pendapatan/penghasilan per bulan :
1. Rp 500.000,- - Rp 1.000.000,-
2. Rp 1.100.000,- - Rp 2.000.000,-
3. Rp 2.100.000,- - Rp 3.000.000,-
4. Rp 3.100.000,- - Rp 4.000.000,-
5. Rp 4.100.000,- - Rp 5.000.000,-
6. Lebih dari Rp 5.000.000,-
8. Apakah anda aktif dalam organisasi keagamaan?
1. Ya 2. Tidak
9. Jika anda aktif dalam organisasi keagamaan, apa jabatan anda?
1. Anggota biasa
2. Anggota pengurus
3. Simpatisan
MASALAH-MASALAH KERUKUNAN
16. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi
perselisihan rencana pendirian rumah ibadat?
1. Pernah 2. Tidak Pernah
17. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi
penolakan pendirian rumah ibadat?
1. Pernah 2. Tidak Pernah
18. Apakah anda bersedia untuk mengikuti rapat warga
bersama orang yang berbeda agama dengan anda?
1. Ya 2. Tidak
19. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi
perselisihan rencana penggunaan bangunan gedung bukan
rumah ibadat menjadi rumah ibadat?
1. Pernah 2. Tidak Pernah
20. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi
penyalahgunaan izin penggunaan sementara bangunan
gedung bukan rumah ibadat menjadi rumah ibadat?
1. Pernah 2. Tidak Pernah
21. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi
sengketa mengenai izin pendirian rumah ibadat?
1. Pernah 2. Tidak Pernah
` TERIMA KASIH `
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN
MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN
PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/WAKIL
KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA,
PEMBERDAYAAN FORUM KERUKUNAN UMAT
BERAGAMA DAN PENDIRIAN RUMAH IBADAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bersama ini yang dimaksud
dengan :
1. Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan
sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam
pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun
1945.
2. Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya
bersama umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan,
BAB II
TUGAS KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Pasal 2
Pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung
jawab bersama umat beragama, pemerintahan daerah dan
Pemerintah.
Pasal 3
(1) Pemeliharaan kerukunan umat beragama di provinsi menjadi
tugas dan kewajiban gubernur.
(2) Pelaksanaan tugas dan kewajiban gubernur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh kepala kantor wilayah
departemen agama provinsi.
Pasal 4
(1) Pemeliharaan kerukunan umat beragama di kabupaten/kota
menjadi tugas dan kewajiban bupati/walikota.
(2) Pelaksanaan tugas dan kewajiban bupati/walikota
Pasal 5
(1) Tugas dan kewajiban gubernur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 meliputi :
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat
termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama di provinsi;
b. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di provinsi
dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama;
c. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati, dan saling percaya di antara umat
beragama; dan
d. membina dan mengoordinasikan bupati/wakil bupati
dan walikota/wakil walikota dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan
ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, dan huruf d dapat didelegasikan kepada
wakil gubernur.
Pasal 6
(1) Tugas dan kewajiban bupati/walikota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 meliputi :
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat
termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama di kabupaten/kota;
b. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di
kabupaten/kota dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama;
c. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati, dan saling percaya di antara umat
beragama;
d. membina dan mengoordinasikan camat, lurah, atau
kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban
masyarakat dalam kehidupan beragama;
e. menerbitkan IMB rumah ibadat.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, huruf c, dan huruf d dapat didelegasikan kepada wakil
bupati/wakil walikota.
(3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan huruf c di wilayah kecamatan dilimpahkan kepada
camat dan di wilayah kelurahan/desa dilimpahkan kepada
lurah/kepala desa melalui camat.
BAB III
FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Pasal 8
(1) FKUB dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Pembentukan FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah
daerah.
(3) FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki hubungan
yang bersifat konsultatif.
Pasal 9
(1) FKUB provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
mempunyai tugas:
a. melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh
masyarakat;
b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi
masyarakat;
c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat
dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan
gubernur; dan
d. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan
kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat.
Pasal 11
(1) Dalam memberdayakan FKUB, dibentuk Dewan Penasihat
FKUB di provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Dewan Penasihat FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas :
a. membantu kepala daerah dalam merumuskan
kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama; dan
b. memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan pemerintah
daerah dan hubungan antar sesama instansi pemerintah
di daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
(3) Keanggotaan Dewan Penasehat FKUB provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh gubernur dengan
susunan keanggotaan:
a. Ketua : wakil gubernur;
b. Wakil Ketua : kepala kantor wilayah departemen
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai FKUB dan Dewan Penasihat
FKUB provinsi dan kabupaten/kota diatur dengan Peraturan
Gubernur.
BAB IV
PENDIRIAN RUMAH IBADAT
Pasal 13
(1) Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata
dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah
penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan
di wilayah kelurahan/desa.
(2) Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama,
tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum,
serta mematuhi peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di
wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak
terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk
digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/ kota atau
provinsi.
Pasal 14
(1) Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan
khusus meliputi :
a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah
ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang
disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat
Pasal 15
Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2) huruf d merupakan hasil musyawarah dan mufakat
dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis.
Pasal 16
(1) Permohonan pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 diajukan oleh panitia pembangunan rumah
ibadat kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah
ibadat.
(2) Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90
(sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah
ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 17
Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi
bangunan gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang
dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah.
BAB V
IZIN SEMENTARA PEMANFAATAN BANGUNAN GEDUNG
Pasal 18
(1) Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai
rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan
pemberian izin sementara dari bupati/walikota dengan
memenuhi persyaratan :
a. laik fungsi; dan
b. pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman
dan ketertiban masyarakat.
(2) Persyaratan laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a mengacu pada peraturan perundang-undangan
tentang bangunan gedung.
Pasal 19
(1) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan
bangunan -gedung bukan rumah ibadat oleh bupati/walikota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) diterbitkan
setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor
departemen agama kabupaten/kota dan FKUB
kabupaten/kota.
(2) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan
bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 20
(1) Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dapat
dilimpahkan kepada camat.
(2) Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor
departemen agama kabupaten/kota dan FKUB
kabupaten/kota.
BAB VI
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 21
(1) Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara
musyawarah oleh masyarakat setempat.
(2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh
bupati/walikota dibantu kepala kantor departemen agama
kabupaten/kota melalui musyawarah yang dilakukan secara
adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan
pendapat atau saran FKUB kabupaten/kota.
(3) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak, dicapai, penyelesaian perselisihan
dilakukan melalui Pengadilan setempat.
BAB VII
PENGAWASAN DAN PELAPORAN
Pasal 23
(1) Gubernur dibantu kepala kantor wilayah departemen agama
provinsi melakukan pengawasan terhadap bupati/walikota
serta instansi terkait di daerah atas pelaksanaan
pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan
forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah
ibadat.
(2) Bupati/walikota dibantu kepala kantor departemen agama
kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap camat dan
lurah/kepala desa serta instansi terkait di daerah atas
pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama,
pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan
pendirian rumah ibadat.
Pasal 24
(1) Gubernur melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan
umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat
beragama, dan pengaturan pendirian rumah ibadat di
provinsi kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama
dengan tembusan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan
Keamanan, dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
(2) Bupati/walikota melaporkan pelaksanaan pemeliharaan
kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum
kerukunan umat beragama, dan pengaturan pendirian rumah
ibadat di kabupaten/kota kepada gubernur dengan tembusan
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
disampaikan setiap 6 (enam) bulan pada bulan Januari dan
Juli, atau sewaktu-waktu jika dipandang perlu.
BAB VIII
BELANJA
Pasal 25
Belanja pembinaan dan pengawasan terhadap pemeliharaan
kerukunan umat beragama serta pemberdayaan FKUB secara
nasional didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
(1) FKUB dan Dewan Penasehat FKUB di provinsi dan
kabupaten/kota dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak
Peraturan Bersama ini ditetapkan.
(2) FKUB atau forum sejenis yang sudah dibentuk di provinsi dan
kabupaten/kota disesuaikan paling lambat 1(satu) tahun sejak
Peraturan Bersama ini ditetapkan.
Pasal 28
(1) Izin bangunan gedung untuk rumah ibadat yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebelum berlakunya
Peraturan Bersama ini dinyatakan sah dan tetap berlaku.
(2) Renovasi bangunan gedung rumah ibadat yang telah
mempunyai IMB untuk rumah ibadat, diproses sesuai
dengan ketentuan IMB sepanjang tidak terjadi pemindahan
lokasi.
(3) Dalam hal bangunan gedung rumah ibadat yang telah
digunakan secara permanen dan/atau merniliki nilai sejarah
yang belum memiliki IMB untuk rumah ibadat sebelum
berlakunya Peraturan Bersama ini, bupati/walikota membantu
memfasilitasi penerbitan IMB untuk rumah ibadat dimaksud.
Pasal 29
Peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh
pemerintahan daerah wajib disesuaikan dengan Peraturan
Bersama ini paling lambat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun.
Pasal 30
Pada saat berlakunya Peraturan Bersama ini, ketentuan yang
mengatur pendirian rumah ibadat dalam Keputusan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor
01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur
Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran
Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-
Pemeluknya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 31
Peraturan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 2006
BAB I
KETENTUAN UMUM
BAB II
TUGAS KEPALA DAERAH DALAM
PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
BAB III
FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (FKUB)
BAB IV
PENDIRIAN RUMAH IBADAT
BAB V
IZIN SEMENTARA PEMANFAATAN
BANGUNAN GEDUNG
BAB VI
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
64. Apa yang dimaksud dengan perselisihan akibat
pendirian dan penggunaan rumah ibadat?
Yang dimaksud perselisihan akibat pendirian rumah ibadat ialah
perselisihan antara pihak panitia pendiri atau pengguna atau calon
pengguna rumah ibadat dengan pihak masyarakat setempat,
dengan pemerintah daerah, dengan kantor kementerian agama
kabupaten/kota atau dengan FKUB setempat dalam hal yang
berkaitan dengan izin dan persyaratan pendirian rumah ibadat,
ataupun penggunaan bangunan gedung bukan rumah ibadat yang
akan atau telah dipergunakan sebagai rumah ibadat. Perselisihan
juga dapat terjadi antar sesama pengguna rumah ibadat dank
arena ketidakpastian pelayanan pemerintah daerah.
65. Apa yang menyebabkan terjadinya perselisihan
tersebut?
Tindakan yang mengganggu ketenteraman dan ketertiban
masyarakat sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
BAB VII
TENTANG PENGAWASAN DAN PELAPORAN
BAB VIII
BELANJA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN TERHADAP
PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA SERTA
PEMBERDAYAAN FKUB
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
TENTANG
Pasal 1
Kepala Daerah memberikan kesempatan kepada setiap usaha
penyebaran agama dan pelaksanaan ibadat oleh pemeluk-
pemeluknya, sepanjang kegiatan tersebut tidak bertentangan
dengan hukum yang berlaku dan tidak menganggu ketertiban
umum.
Pasal 2
(1) Kepala Daerah membimbing dan mengawasi agar pelaksanaan
penyebaran agama dan ibadat oleh pemeluk-pemeluknya
tersebut:
a. tidak menimbulkan perpecahan diantara umat beragama;
b. tidak disertai dengan intimidasi, bujukan, paksaan atau
ancaman dalam segala bentuknya;
c. tidak melanggar hukum serta keamanan dan ketertiban
umum.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya tersebut pada ayat (1) pasal ini,
Kepala Daerah dibantu dan menggunakan alat Kepala
Perwakilan Departemen Agama setempat.
Pasal 3
(1) Kepala Perwakilan Departemen Agama memberikan
bimbingan, pengarahan dan pengawasan terhadap mereka
yang memberikan penerangan/penyuluhan/ceramah
agama/khotbah-khotbah dirumah-rumah ibadat, yang sifatnya
menuju kepada persatuan antara semua golongan masyarakat
dan saling pengertian antara pemeluk-pemeluk agama yang
berbeda-beda.
(2) Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat berusaha agar
penerangan agama yang diberikan oleh siapa pun tidak bersifat
menyerang atau menjelekkan agama lain.
Pasal 4
(1) Setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapatkan ijin dari
Kepala Daerah atau pejabat pemerintahan dibawahnya yang
dikuasakan untuk itu.
Pasal 5
(1) Jika timbul perselisihan atau pertentangan antara pemeluk-
pemeluk agama yang disebabkan karena kegiatan
penyebaran/penerangan/penyuluhan/ceramah/khotbah agama
atau pendirian rumah ibadat, maka Kepala Daerah segera
mengadakan penyelesaian yang adil dan tidak memihak.
(2) Dalam hal perselisihan/pertentangan tersebut menimbulkan
tindakan pidana, maka penyelesaiannya harus diserahkan
kepada alat-alat penegak hukum yang berwenang dan
diselesaikan berdasarkan hukum.
(3) Masalah-masalah keagamaan lainnya yang timbul dan
diselesaikan oleh Kepala Perwakilan Departemen Agama
segera dilaporkannya kepada Kepala Daerah setempat.
Pasal 6
Keputusan bersama ini mulai berlaku pada hari ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 13 september 1969
P
Juni 1987. Jenjang pendidikan formal penulis dimulai
dari tahun 1993 sampai 1999 di SDN 01 Sudimara
Timur Ciledug Tangerang. Setamat Sekolah Dasar, ia
melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren
Darunnajah Ulujami Jakarta Selatan. Di Pondok
tersebut, ia menghabiskan waktu untuk belajar bahasa Arab dan
Inggris juga menguatkan pelajaran agama. Semasa tinggal di Pondok
Pesantren, ia aktif di kegiatan kepramukaan dan pernah menjadi
salah satu utusan untuk menjadi peserta Australian Jambore di
Adelaide, Australia pada tahun 2004. Ia melanjutkan jenjang
pendidikan tingginya di Universitas Islam Negeri Jakarta dengan
Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) pada tahun 2005 sampai 2009.
Penulis pernah ikut aktif dalam keorganisasian Badan Eksekutif
Mahasiswa Jurusan (BEMJ) PAI selaku anggota di Bagian Penelitian
dan Pengembangan Jurusan.
Pada saat menyelesaikan skripsi, ia sudah mulai bekerja
sebagai guru di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 09 Pesanggrahan
Jakarta Selatan. Setelah resmi menyandang gelar S.Pd.I, ia mengajar di
Madrasah Tsanawiyah (MTs) Nurul Falah Jakarta Selatan sampai
sekarang. Selain mengajar, ia juga aktif di Lembaga Pengembangan
Sumber Daya Pendidikan (LPSDP) menjabat sebagai Kepala Bagian
Pengembangan Organisasi dan Anggota. Di sela-sela berorganisasi dan
mengajar, ia masih terus belajar di lembaga pendidikan non-formal
yaitu di Lembaga Bahasa Ilmu Al-Qur’an (LBIQ) dan Sibernatika
Jakarta. Pada tahun 2010, anak bungsu dari empat bersaudara ini
meneruskan pendidikannya ke jenjang Strata II dan tetap di Kampus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Konsentrasi Agama dan Studi
Perdamaian.