Anda di halaman 1dari 231

RIF’ATUL HASANAH

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA


(Studi Kasus Pemahaman Masyarakat Mustika Jaya Bekasi
Terhadap
Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006)
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
(Studi Kasus Pemahaman Masyarakat Mustika Jaya Bekasi
Terhadap
Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006)

Rif’atul Hasanah, --cet 1. Magelang: PKBM Ngudi Ilmu, 2014.

16 X 24 cm; xviii, 214 hlm.

Bibliografi : hlm. 141.


Glossarium : hlm. 153.
Indeks ; hlm. 159.

ISBN : 978-602-1552-35-3

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


All Right reserved

Editor: Maskur Rosyid


Perancang Sampul: Wahyu Wibowo

Cetakan I, Juli 2014

Printed;
Irama Offset,
Jl. Kertamukti, Ciputat, Tangerang
081280481098
Irama2fotocopy@gmail.com

Diterbitkan Oleh:
PKBM “Ngudi Ilmu”
Jl. Kyai Sampir No. 3, Kalirejo, Salaman
Magelang, 56162
Telp. 085714685441
Email; ilmungudi@gmail.com
KATA PENGANTAR

َّ ً‫الس ْحم‬
ِ‫الس ِح ُِم‬ َّ ‫هللا‬ ْ
ِ ‫ِبس ِم‬
ِ
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah
menganugerahkan kesempatan dan kesehatan kepada penulis
sehingga bisa menyelesaikan penulisan buku Kerukunan Umat
Beragama (Studi Kasus Pemahaman Masyarakat Mustika Jaya Bekasi
Terhadap Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006). Buku
ini merupakan hasil penelitian dan karya tulis penulis untuk
menyelesaikan pendidikan Magister di Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dengan mengambil konsentrasi Agama
dan Studi Perdamaian, yakni konsentrasi yang merupakan program
kerjasama antara Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora)
dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulisan buku ini bermula dari bentuk keprihatinan penulis
terhadap maraknya konflik antar umat beragama yang terjadi di
beberapa daerah di Indonesia, salah satu yang dipermasalahkan
adalah aturan pemerintah yang sampai saat ini masih menjadi pro
dan kontra di masyarakat yakni Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan
8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Memelihara Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat, yang merupakan hasil kebijakan Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri untuk mengatur lalu lintas
keberagamaan di masyarakat.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan
kepada para pendidik Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., Prof. Dr. Suwito, MA., dan Dr.
Yusuf Rahman, MA., atas didikan dan arahan serta memotivasi penulis
untuk terus belajar mulai dari awal penulis masuk kuliah hingga
terselesaikannya studi ini. Pembimbing penulis, Prof. Dr. H. M. Atho
Mudzhar, MSPD., yang tak pernah lelah untuk membimbing dan
mengarahkan serta selalu memberikan motivasi kepada penulis.
Dosen-dosen Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Dr. Asep Saepuddin
Jahar, MA., Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM., Prof. Dr. Murodi, MA., Prof.
Dr. Zainun Kamal, MA., dan Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA yang telah
membantu penulis dalam menganalisis teori dan metodologi sehingga
menjadikan penelitian ini lebih baik lagi.
Penelitian ini dapat terlaksana dengan bantuan banyak pihak,
untuk itu penulis berterima kasih kepada Pemerintah Kota Bekasi,
Kepala Badan Kesbangpolinmas Kota Bekasi, Dr. Agus Darma Suwandi,
SH, MM.; Ketua FKUB Kota Bekasi, H. Abdul Manan; Anggota FKUB
Kota Bekasi, H. Moch. Nasrullah, S.Pd.I dan segenap jajaran
Pemerintah Daerah Kecamatan Mustika Jaya Bekasi yang telah
mengizinkan kepada penulis untuk mengadakan penelitian. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada KH. Syafi’i Mufidz, MA dan
Drs. Rudy Pratikno, SH selaku pengurus FKUB Provinsi DKI Jakarta
yang telah memberikan arahan dan argumentasinya kepada penulis
sehingga memperkaya isi bahasan penelitian ini.
Tidak lupa juga kepada orang tua penulis, ayahanda M. Sholeh
HMG dan ibunda Azizah Kilali, juga abang dan kakak yang selalu
mendoakan dan merestui, tidak lelah memotivasi penulis untuk terus
belajar dan menyelesaikan pendidikan ini. Juga kepada suami
tercinta, Ahmad Fikri yang selalu memberikan motivasi kepada
penulis sampai selesainya penulisan buku ini. Semoga amal baik dari
keluarga ini selalu mendapatkan keridaan dan keberkahan dari Allah
SWT.
Penulis berharap buku ini dapat bermanfaat bagi para
pembacanya dan memberikan kontribusi untuk menjadi suatu
referensi dalam memahami keadaan kerukunan antar umat beragama
di Indonesia. Kritik dan saran yang diterima untuk perbaikan buku
ini, penulis ucapkan terima kasih banyak. Akhir kata, penulis
memohon maaf apabila dalam penulisan buku ini masih banyak
kekurangan dan kelemahan.

iv | Rif’atul Hasanah
ABSTRAK

Penelitian ini membuktikan bahwasanya negara yang


dijalankan oleh Pemerintah – dalam hal ini Kementerian Agama dan
Kementerian Dalam Negeri-, mempunyai andil besar dalam menjamin
kerukunan umat beragama. Beberapa konflik antar umat beragama
yang terjadi, melibatkan sekelompok orang yang berbeda agama dan
salah satu penyebabnya adalah faktor perbedaan ajaran agama. Dalam
penelitian ini, salah satu faktor penyebab ketidakrukunan antar umat
beragama adalah rendahnya pemahaman masyarakat terhadap
kebijakan pemerintah yakni Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB,
dan Pendirian Rumah Ibadat, dapat menyebabkan terjadinya konflik
antar umat beragama, padahal ketiga bahasan tersebut mempunyai
korelasi positif dan signifikan terhadap tingkat kerukunan antar umat
beragama.
Temuan penelitian ini dapat dilihat dari teori koordinasi
antara agama dan negara, dan teori kontrak sosial. Jika dilihat dari
teori koordinasi antara agama dan negara yang bersifat netral-aktif,
pemerintah bukan hanya menjamin kebebasan beragama tetapi juga
secara aktif mendorong pertumbuhan masing-masing agama tanpa
terkecuali. Jika dilihat dari teori kontrak sosial yang dicanangkan oleh
JJ. Rousseau, Hobbes, dan Locke, negara adalah suatu institusi yang
pertama-tama berkewajiban menjamin hak dan kebebasan warga
negara dalam memperoleh kehidupan yang layak. Dengan PBM No. 9
dan 8 tahun 2006, pemerintah berupaya menjamin kenyamanan hidup
sosial warganya dengan mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam memelihara
kerukunan umat beragama, Pemberdayaan FKUB, dan Pendirian
Rumah Ibadat.
Penelitian ini berbeda dengan beberapa tokoh seperti R. Scott
Appleby dalam The Ambivalence of the Sacred (2000), Margaret L.
Anderson dan Howard F. Taylor dalam Sociology: Understanding a
Diverse Society (2006), dinyatakan bahwa agama bisa menjadi faktor
penyebab konflik antar umat beragama karena dua peran yang
mengikatnya, yakni sebagai faktor integrasi dan faktor disintegrasi.
Arthur J. D’ Adamo dalam Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman (2001), dikatakan bahwa pemahaman akan agamanya sendiri
dapat menjadi faktor penyebab konflik antar umat beragama.
Penelitian ini mendukung pernyataan Amir Fadhilah dalam
Dilema Pluralisme Agama Antara Konflik Sosial dan Integrasi Sosial (2006),
bahwa beberapa faktor yang dapat mendorong timbulnya konflik
sosial keagamaan, salah satunya adalah pemahaman yang kurang
akan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah,
yakni Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Penelitian ini juga memperkuat penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Kustini (2009) yang mengkaji
tentang Efektifitas Sosialisasi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Penelitian
Kustini ini mendapatkan hasil analisis regresi bahwa manfaat
sosialisasi PBM berpengaruh secara sangat nyata terhadap kerukunan
umat beragama sebesar 17,4 %.
Sumber penelitian ini adalah warga Bekasi yang menetap di
lingkungan Kecamatan Mustika Jaya. Sampel yang digunakan adalah
165 orang responden. Metode yang digunakan peneliti adalah metode
kuantitatif-kualitatif dengan analisis korelasi Pearson. Teknik
pengumpulan data yang digunakan berupa observasi, dokumentasi,
wawancara dan kuesioner. Kuesioner menjadi sumber utama
pengumpulan data yang berisikan beberapa pertanyaan dengan
menggunakan skala Guttman, dengan terlebih dahulu dilakukan uji
validitas dan reliabilitas.
Dengan menggunakan analisis korelasional Pearson,
ditemukan bahwa tingkat pemahaman terhadap PBM No. 9 dan 8
tahun 2006 dan tingkat kerukunan antar umat beragama memiliki
korelasi yang signifikan. Koefisien korelasi menunjukkan angka 0,350
artinya korelasi antara pemahaman masyarakat terhadap PBM No. 9
dan 8 Tahun 2006 bersifat linier atau berbanding lurus dengan tingkat
kerukunan. Dengan menggunakan koefisien determinasi, diketahui
bahwa kontribusi pemahaman masyarakat terhadap PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006 berpengaruh positif terhadap kerukunan umat beragama
sebesar 12%.
vi | Rif’atul Hasanah
ABSTRACT

This research shown that nation has a great influence of


keeping the peace between religious groups. Some conflicts among
religious groups are caused by the differences of religious rituals. In
this research, it is proven that one of the cause is the
incomprehensible of society towards the law of religion differences
from the Religious Affairs Minister and Internal Affairs Minister, that
is Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
(PBM) No. 9 and 8 year 2006 concerning duties of Mayor and Vice
Mayor in keeping the peace among religious groups, the
establishment of FKUB, and the founding of religious places, where
those three duties were supposed to have positive and significant
correlation towards the different religious groups.
The findings of this research are able to be seen from the
coordination theories between religion and nation, and social
contract theory. From the view of the first theory, the government is
not only guarantee the freedom of practicing religion but also
actively supports the growth of each and every religion without any
exception. In social contract theory proposed by JJ. Rousseau, Hobbes,
and Locke, it is stated that the government is the institution with duty
to guarantee the rights and freedom of its citizen in obtaining
affordable life. With PBM No. 9 and 8 year 2006, government
guarantees the affordable life of its citizen by managing the rule of
duties of Mayor and Vice Mayor in keeping the peace among religious
groups, establishment of FKUB, and the founding of religious places.
This research is different from certain experts such asR. Scott
Appleby inThe Ambivalence of the Sacred (2000), Margaret L. Anderson
and Howard F. Taylor in Sociology: Understanding a Diverse Society
(2006), it is said that religion can be one factor causing conflict

Kerukunan Umat Beragama … | vii


between religious groups because of its two roles, integrated and
disintegrated factors. Arthur J.D’ Adamo in Islam Pluralis: Wacana
Kesetaraan Kaum Beriman (2001), suggested that the understanding of
their own religion can cause the conflict among religious groups.
This research supports the statement from Amir Fadhilah in
Dilema Pluralisme Agama Antara Konflik Sosial dan Integrasi Sosial (2006),
whom said that one of the causing factors of the conflict is the
incomprehensible of society towards the law of religion differences
from the Religious Affairs Minister and Internal Affairs Minister, that
is Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
(PBM) No. 9 and 8 year 2006. This research also supports previous
research done by Kustini (2009) whom studied about Efektifitas
Sosialisasi PBM Number 9 and 8 Year 2006. The research from Kustini used
the regression analysis method which result stated that PBM has
great influence towards the relationship among religious groups in
17,4%.
The source of this research is the residents of Mustika Jaya
Bekasi. The sample used are 100 respondents. The method applied in
this research is quantitative-qualitative method by using Pearson
correlation analysis. Data collection is gained through observation,
documentation, interview, and questionnaire. The questionnaire
which is the main source contains some questions using Guttman
scale, with validity and reliability test.
By using Pearson correlation analysis, it is found that the
comprehensible level towards PBM No. 9 and 8 year 2006 and the
peace among religious groups have significant correlation. The
coefficient of correlation shows number 0,350, meaning that
correlation between society understanding towards PBM no 9 and 8
year 2006 is linear with the peace level. By using coefficient of
determination, it is known that the contribution of society
understanding toward PBM No 9 and 8 year 2006 has positive
influence toward the peace among religious groups in 12%.

viii | Rif’atul Hasanah


‫ملخص البحث‬

‫أزبذ هرا البحث أن للدولت إسهاما هبيرة في ضمان الىئام الدًني‪ .‬إن الدًً‬
‫ـامل مً الفىامل التى جثير بفض الصساـاث الدًيُت‪ .‬ولىً هرا البحث ًؤهد أن مً‬
‫ـىامل ـدم الىئام الدًني هى كلت فهم املجخمق في هؽام الخيىمت ـً الىؽام املشترن بين‬
‫وشازة الشؤون الدًيُت ووشازة الشؤون الداخلُت زكم ‪ 9‬و ‪ 8‬ـام ‪ 6002‬ـً هخِب ـمل‬
‫الىؼائف لسئِس املىعلت وهائبه في الخفاػ ـلى الىئام بين مفخىلي ألادًان وإـماٌ مىخدي‬
‫الىئام بين مفخىلي ألادًان وإوشاء املفابد الري ًؤدي إلى الصساؿ بين مفخىلي ألادًان مق‬
‫أن جلً البىىد الثالزت لها ازجباط إًجابي ّ‬
‫وداٌ في صفُد الىئام بين مفخىلي ألادًان‪.‬‬
‫هخائج هرا البحث مؤسست ـلى هؽسٍت ـالكُت بين الدًً و الدولت‪ ،‬و هؽسٍت‬
‫املجخمق‪ .‬بيسبت إلى ـالكت بين الدًً و الدولت فالخيىمت لها دوز للخفؾ حسٍت في الدًً‬
‫وـىاًت في إهدشاز وجعىز ول أدًان‪ .‬وأما بيسبت إلى هؽسٍت املجخمق هما أوشأ ‪JJ.‬‬
‫‪ Hobbes Rousseau‬و ‪ Locke‬فالخيىمت أو الدولت لها دوز في جضمين حلىق و‬
‫حسٍت املجخمق في الخُاة ‪ .‬إن الدولت بىاسعت ‪ PBM‬زكم ‪ 9‬و ‪ 8‬سىت ‪ 6002‬أزبدذ أن‬
‫الخيىمت ـلُه جضمين في الصخُصت و الصالخت الخُاة املجخمق بئزباث هخِب ـمل‬
‫الىؼائف لسئِس املىعلت وهائبه في الخفاػ ـلى الىئام بين مفخىلي ألادًان وإـماٌ مىخدي‬
‫الىئام بين مفخىلي ألادًان وإوشاء املفابد‪ِ.‬‬
‫وٍخخلف هرا البحث ـً البحىر التى أحساها ز‪ .‬حشىث أبلبي ‪R.Scott‬‬
‫‪ Appleby‬في )‪ The Ambivalence of the Sacred (2000‬ومازحازٍذ ٌ‪.‬‬
‫أهدًسسىنِ ‪ Margaret L. Anderson‬وهىوازد ف‪ .‬جاًلىزِ ‪ Howard F. Taylor‬في‬
‫)‪ Sociology: Understanding a Diverse Society (2006‬حُث كاٌ إن الدًً‬
‫مً الفىامل التى جؤدي إلى حدور الصساؿ بين مفخىلي ألادًان‪ .‬وذلً بىاء ـلى أن الدًً‬
‫ًلُداهه‪ ،‬وهما‪ :‬ـامل جياملي وـامل جفسخي‪ .‬وكاٌ أزظىز ج‪.‬د‪ .‬أدامى ‪Arthur‬‬ ‫له دوزان ّ‬
‫‪J.D’ Adamo‬في ‪Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman‬‬

‫‪Kerukunan Umat Beragama … | ix‬‬


‫)‪ (2001‬إن فهم شخص في دًىه ًمىىه أن ًيىن ـامال مً الفىامل التى جؤدي إلى‬
‫الصساؿ بين مفخىلي ألادًان‪ِ.‬‬
‫وٍؤٍد هرا البحث ما ذهب إلُه أمير فضُلت ‪ Amir Fadhilah‬في ‪Dilema‬‬
‫)‪Pluralisme Agama antara Konflik Sosial dan Integrasi Sosial (2006‬‬
‫حُث كاٌ إن مً الفىامل التى حسبب حدور الصساؿ الاحخماعي الدًني هى كلت الفهم في‬
‫هؽام الدسخىز الري أصدزجه الخيىمت‪ ،‬وهى الىؽام املشترن بين وشازة الشؤون الدًيُت‬
‫والشؤون الداخلُت زكم ‪ 9‬و ‪ 8‬ـام ‪ .6002‬وأضف إلى ذلً‪ ،‬أن هرا البحث ًؤٍد البحث‬
‫الري أحسجه وىسدُني ‪ 6009 Kustini‬والري ًدىاوٌ ففالُت حفمُم هؽام الىشائس‬
‫املشترن زكم ‪ 9‬و ‪ 8‬ـام ‪ .6002‬حصلذ وىسدُني ـلى هدُجت الخحلُل التراحعي وهي إن‬
‫مً فىائد حفمُم هؽام الىشائس املشترن دوزه الىاضح في الىئام بين مفخىلي ألادًان بيسبت‬
‫‪4 71‬‬
‫‪Mustika Jaya‬‬ ‫ومصدز هرا البحث هى مجخمق مىسدُيا حاًا باواس ي‬
‫والفُىت املسخخدمت هي ‪ 700‬مسخجُب‪ .‬واملىهج الري ٌفخمد ـلُه الباحث في‬ ‫ّ‬ ‫‪Bekasi‬‬
‫إلازباث أن فهم املجخمق في هؽام الىشائس املشترن له ازجباط إًجابي بالىئام بين مفخىلي‬
‫ّ‬
‫والىمي‪ .‬وٍلىم البحث ـلى جحلُل ازجباط بيرسىنِ‬ ‫ألادًان هى مفخمد ـلى املىهجين املىخبي‬
‫‪Pearson‬‬
‫وحفخمد ظسٍلت حمق البُاهاث ـلى املالحؽت والخىزُم وامللابلت والاسخعالؿ‪.‬‬
‫ـدة ألاسئلت مسخفمال هؽسٍت‬ ‫وأصبح الاسخعالؿ مصد ا زئِسا في حمق بُاهاث جحخىي ـلى ّ‬
‫ز‬
‫غىجمان ‪ .Guttman‬وأحسي اخخباز مسبم في صخت البُاهاث ودكتها‪ِ.‬‬
‫وباسخفماٌ جحلُل الازجباط لبيرسىنِ ‪ٌ Pearson‬سخيبغ أن ملسخىي الفهم في‬
‫هؽام الىشائس املشترن زكم ‪ 9‬و ‪ 8‬ـام ‪ 6002‬وملسخىي الىئام بين مفخىلي ألادًان ازجباظا‬
‫ّ ّ‬
‫دالا‪ .‬ودلذ مفامل الازجباط ـلى حجم ‪ 0,350‬وَفنى بهرا الدجم أن ازجباط فهم املجخمق‬
‫في هؽام الىشائس املشترن زكم ‪ 9‬و ‪ 8‬ـام ‪ً 6002‬خىاشي مق مسخىي الىئام‪ .‬وَفسف مً‬
‫مفامل الخحدًد أن إسهام فهم املجخمق في هؽام الىشائس املشترن زكم ‪ 9‬و ‪ 8‬ـام ‪6002‬‬
‫له أزس إًجابي ـلى الىئام بين مفخىلي ألادًان‪ ،‬وذلً بيسبت ‪12 %‬‬

‫‪x | Rif’atul Hasanah‬‬


DAFTAR ISI

Kata Pengantar - iii


Abstrak - v
Daftar Isi - xi
Daftar Singkatan - xiii
Pedoman Transliterasi - xvi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah - 1
B. Studi Terdahulu - 11
C. Metodologi Penelitian - 16

BAB II KEBIJAKAN NEGARA DALAM PENDEKATAN


STABILITAS SOSIAL UMAT BERAGAMA
A. Agama dan Perubahan Sosial - 28
B. Interaksi dan Konflik Sosial Keagamaan - 32
C. Kebijakan Negara dalam Kebebasan Beragama - 40
D. Peran Pemerintah dalam Kerukunan Umat Beragama – 46

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH MUSTIKA JAYA BEKASI


A. Potret Pluralitas Masyarakat Mustika Jaya Bekasi - 61
B. Sarana Peribadatan Masyarakat Mustika Jaya Bekasi - 64
C. Kebijakan Pemerintah Daerah Kota Bekasi - 65

BAB IV PERATURAN BERSAMA MENTERI NOMOR 9 DAN 8


TAHUN 2006 DAN KERUKUNAN MASYARAKAT
MUSTIKA JAYA BEKASI
A. Pemahaman Masyarakat Mustika Jaya Bekasi terhadap
PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 - 77
B. Kerukunan Umat Beragama Masyarakat Mustika Jaya
Bekasi – 104
BAB V ANALISIS PEMAHAMAN MASYARAKAT TERHADAP PBM
NOMOR 9 DAN 8 TAHUN 2006 DAN KERUKUNAN
ANTAR UMAT BERAGAMA
A. Pemahaman Masyarakat Terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006 dan Kerukunan Antar Umat Beragama - 113
B. Pemahaman Masyarakat Terhadap Tugas Kepala Daerah/
Wakil Kepala Daerah dan Kerukunan Antar Umat
Beragama - 127
C. Pemahaman Masyarakat Terhadap Pemberdayaan FKUB
dan Kerukunan Antar Umat Beragama - 129
D. Pemahaman Masyarakat Terhadap Pendirian Rumah
Ibadat dan Kerukunan Antar Umat Beragama - 132

BAB VI Penutup
A. Kesimpulan - 137
B. Saran - 139

Bibliografi - 141
Glosari - 153
Indeks - 159
Lampiran
a. Peta Kota Bekasi - 166
b. Daftar Pertanyaan (Angket) - 167
c. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 - 175
d. Tanya Jawab PBM Yang Disempurnakan Tahun 2012 - 189
e. Keputusan Bersama Menteri Agama dan menteri dalam
Negeri No. 01/BER/MDN-MAG/1969 - 210
Biografi Penulis - 213

xii | Rif’atul Hasanah


DAFTAR SINGKATAN

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah


APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Bappeda : Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
Bappenas : Badan Perencanaan dan Pembangunan
Nasional
DDII : Dewan Dakwah Islam Indonesia
Depsos : Departemen Sosial
DGI : Dewan Gereja Indonesia
Diklat : Pendidikan dan Pelatihan
DKI : Daerah Khusus Ibukota
DUHAM : Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Fasos : Fasilitas Sosial
Fasum : Fasilitas Umum
FKKUB : Forum Komunikasi dan Konsultasi Umat
Beragama
FKUB : Forum Kerukunan Umat Beragama
FOKSiP : Forum Kajian Fondasi Pendidikan
FPI : Front Pembela Islam
GPI : Gerakan Pemuda Islam
HAM : Hak Asasi Manusia
HKBP : Huria Kristen Batak Protestan
ICCPR : International Covenant on Civil and Political
Rights
IMB : Izin Mendirikan Bangunan
JAT : Jemaah Ansharut Tauhid
JIB : Jong Islamitten Bond
Kabag : Kepala Bagian
Kades : Kepala Desa
Kandepag : Kantor Departemen Agama
Kesbangpolinmas : Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan
Masyarakat
Kesos : Kesejahteraan Sosial
KGI : Konferensi Wali Gereja Indonesia
Kodim : Komando Distrik Militer
Litbang : Penelitian dan Pengembangan
MABI : Majelis Agung Agama Buddha Indonesia
MAWI : Majelis Agung Wali Gereja Indonesia
MPRK : Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik
MUI : Majelis Ulama Indonesia
NAD : Nanggroe Aceh Darussalam
Ormas : Organisasi Masyarakat
PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa
PBM : Peraturan Bersama Menteri
Pemda : Pemerintah Daerah
Pemkot : Pemerintah Kota
Pergub : Peraturan Gubernur
PGI : Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia
PHDI : Parisada Hindu Dharma Indonesia
PKK : Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga
PNS : Pegawai Negeri Sipil
Polres : Polisi Resort
PTI : Pondok Timur Indah
Puslitbang : Pusat Penelitian dan Pengembangan
RI : Republik Indonesia
RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah
RT : Rukun Tetangga
Ruko : Rumah Toko
RUTR : Rencana Umum dan Tata Ruang
RW : Rukun Warga
S.Ip : Sarjana Ilmu Pemerintahan
SARA : Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan
Sekda : Sekretaris Daerah
SK : Surat Keputusan
SKB : Surat Keputusan Bersama
Solinbermas : Sosial Perlindungan dan Pemberdayaan
Masyarakat
SPSS : Statistical Product and Service Solutions
TAF : The Asia Foundation
Tarkim : Tata Ruang dan Permukiman
TPA : Taman Pendidikan Al-Qur’an
UGM : Universitas Gadjah Mada
xiv | Rif’atul Hasanah
UNESCO : United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization
UU : Undang-Undang
UUD : Undang-Undang Dasar
Wagub : Wakil Gubernur
Walubi : Perwakilan Umat Buddha Indonesia
WMAUB : Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama
YWP : Yayasan Wakaf Paramadina

Kerukunan Umat Beragama … | xv


PEDOMAN TRANSLITERASI
ARAB-LATIN

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian


ini adalah sebagai berikut.

A. Konsonan
B = ‫ب‬ Z = ‫ز‬ F = ‫ف‬

T = ‫ت‬ S = ‫س‬ Q = ‫ق‬

Th = ‫ث‬ Sh = ‫ش‬ K = ‫ك‬

J = ‫ج‬ Ṣ = ‫ص‬ L = ‫ل‬

Ḥ = ‫ح‬ Ḍ = ‫ض‬ M = ‫م‬

Kh = ‫خ‬ Ṭ = ‫ط‬ N = ‫ن‬

D = ‫د‬ Ẓ = ‫ظ‬ H = ‫ه‬

Dh = ‫ذ‬ ‘ = ‫ع‬ W = ‫و‬

R = ‫ر‬ Gh = ‫غ‬ Y = ‫ي‬

B. Vokal
1. Vokal Tunggal

Tanda Nama Huruf Latin Nama


‫ِا‬ fatḥaḥ A A

‫ِِا‬ Kasrah I I

ِ‫ا‬ ḍammah U U

xvi | Rif’atul Hasanah


2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan Huruf Nama
‫ ي‬... fatḥaḥ dan ya Ay a dan y

‫ و‬... fatḥaḥ dan wau Aw a dan w


Contoh:
‫حسين‬ : Ḥusayn ٌِ ‫ح ْى‬ : ḥawl

C. Maddah
Tanda Nama Huruf Latin Nama
‫ــا‬ fatḥaḥ dan alif a dan garis di atas
Ā
‫ـ ِـي‬ kasrah dan ya i dan garis di atas
Ī
‫ـ ـى‬ dhammah dan wau u dan garis di atas
Ū

D. Ta’ marbutah ( ‫) ة‬
Transliterasi ta’ marbutah ditulis dengan “h” baik dirangkai
dengan kata sesudahnya maupun tidak contoh mar’ah (‫)مسأة‬

madrasah (‫(مدزست‬
Contoh:
ّ ‫املدًىت‬
‫املىىزة‬ : al-Madīnah al-Munawwarah

E. Shaddah
Shaddah/tashdīd di transliterasi ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang bersaddah itu.
Contoh:
ّ
‫زبـىا‬ : rabbanā ٌِ‫ّهص‬ : nazzal

F. Kata Sandang
Kata sandang “‫ ”الـ‬dilambangkan berdasar huruf yang
mengikutinya, jika diikuti huruf syamsiyah maka ditulis sesuai
huruf yang bersangkutan, dan ditulis “al” jika diikuti dengan huruf
qamariyah. Selanjutnya ٌ‫ ا‬ditulis lengkap baik menghadapi al-
Qomariyah contoh kata al-Qamar (‫ )اللمس‬maupun al-Syamsiyah
seperti kata al-Rajulu (‫)السحل‬

Kerukunan Umat Beragama … | xvii


Contoh:
‫الشمس‬ : al-Shams ‫الللم‬ : al-Qalam

G. Pengecualian Transliterasi
Adalah kata-kata bahasa arab yang telah lazim digunakan di
dalam bahasa Indonesia dan menjadi bagian dalam bahasa
Indonesia, seperti lafal ‫هللا‬, al-asmā’ al-ḥusnā dan ibn, kecuali
menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan
pertimbangan konsistensi dalam penulisan.

xviii | Rif’atul Hasanah


Bagian pertama
pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah


Negara merupakan suatu wadah yang mempunyai otoritas
tertinggi untuk mengatur wilayah beserta isinya dan berkewajiban
untuk memberikan perlindungan dan memfasilitasi setiap proses
dan aktifitas keberagamaan. Menurut Wakil Menteri Agama,
Nasaruddin Umar, mengatakan bahwa negara memiliki fungsi
terhadap agama untuk memfasilitasi umat beragama dalam
menjalankan agamanya dengan baik dan ikut mengupayakan
terwujudnya trilogi kerukunan yakni internal umat beragama,
antar umat beragama, dan antar umat beragama dengan
pemerintah.1

1
Nasaruddin Umar dalam presentasinya pada acara Roundtable Discussion
yang bertema tentang “Peran Negara dalam Pembangunan Agama”
diselenggarakan oleh Kedeputian Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan
Bappenas pada tanggal 08 Juli 2013 pukul 09.00 WIB, di ruang SG 4-5, Gedung
Bappenas. Diakses dari http://www.bappenas.go.id/print/1401/peran-negara-
dalam-pembangunan-agama-roundtable-discussion/ tanggal 11 Juli 2013.

Kerukunan Umat Beragama … | 1


Merujuk kepada dasar negara, Indonesia bukanlah negara
sekuler, bukan pula negara agama atau negara Islam 2, melainkan
negara Pancasila. Dalam hal penganutan agama, Indonesia
menganut prinsip kebebasan, termasuk untuk menyiarkan agama
itu sendiri. Negara dan pemerintah tidak menghalangi setiap
golongan agama untuk menyiarkan agama dan menyebarkan
agamanya.
Dalam hal kebebasan beragama, negara sekuler berprinsip
netral-pasif, artinya pemerintah secara netral menjamin kebebasan
beragama dari semua agama tanpa terkecuali, namun di sisi lain,
pemerintah tidak mendorong perkembangannya atau bersikap
pasif. Di dalam negara yang menganut sekularisme sebagai suatu
dasar filsafat, ajaran agama tidak mendapatkan tempat untuk
dipertimbangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Kebijakan-kebijakan publik dapat diambil tanpa
mempertimbangkan perasaan keagamaan masyarakat. Negara
bersikap netral terhadap masalah-masalah keagamaan dan tidak
ikut campur karena hal itu dianggap sebagai masalah pribadi dan
umat agama yang bersangkutan.3
Pada negara agama, terjadi hal sebaliknya, negara
memegang prinsip sektarian-aktif yang bermakna bahwa hanya
agama tertentu mendapat perlakuan istimewa pemerintah. Kepada
agama yang bersangkutan, pemerintah bukan hanya menjamin hak
kebebasan beragamanya, tapi juga secara aktif mendorong
pertumbuhannya.

2
Dalam paradigma negara Islam, agama dan negara menyatu. Wilayah
agama meliputi politik atau negara. Negara merupakan lembaga politik dan
keagamaan sekaligus. Kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan
kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar “kedaulatan
Ilahi”, karena pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan
berada di “tangan Tuhan”. Lihat Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab
Negara Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKis, 2001),
24. Lihat juga Yusuf Qardhawi, Fiqih Negara (Jakarta: Robbani Press, 1997), 29
dan M Hasbi Amirudin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman
(Yogyakarta: UII Press, 2000), 80. Dengan bentuk negara agama ini, agama bisa
mengontrol negara sebanyak atau bahkan lebih dari negara mengontrol agama.
Lebih lanjut lihat Jonathan Fox, A World Survey of Religion and The State (New
York: Cambridge University Press, 2008), 227.
3
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia Kompilasi Aktual
Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), 33.

2 | Rif’atul Hasanah
Berbeda dari prinsip kebebasan beragama yang diterapkan
oleh negara sekuler dan negara agama, kebebasan beragama dalam
negara Pancasila bersifat netral-aktif yang mempunyai arti bahwa
pemerintah bukan hanya menjamin kebebasan beragama dari
semua agama, tetapi juga secara aktif mendorong pertumbuhan
masing-masing agama tanpa terkecuali.4 Dengan berlandaskan
Pancasila, negara membimbing masyarakat ke arah sikap moderat
dalam menghadapi pluralitas keagamaan.
Sejalan dengan ini, Said Agil Husin Al-Munawar menyatakan
bahwa bangsa Indonesia yang berfalsafahkan Pancasila, sila
pertama menunjukkan bahwa kesadaran moral bangsa Indonesia
ditumbuhkan oleh agama. Sila ini bukan saja menjadi dasar rohani
dan dasar moral kehidupan bangsa, melainkan secara implisit juga
mengandung ajaran toleransi beragama, dimana toleransi dipahami
sebagai suatu sikap penerimaan terhadap keyakinan orang lain.
Agama adalah sesuatu yang diyakini dan dipahami manusia.
Keyakinan ini bisa nampak manakala diekspresikan oleh manusia
atau sebagai penerapan konkrit nilai-nilai yang dimiliki manusia.5
Agama memang merupakan wahana yang sangat efektif
untuk memobilisasi massa, namun keefektifan agama sebagai
penyebab suatu konflik tergantung pada kondisi yang dialami
sebuah masyarakat. Agama akan mudah menjadi wahana mobilisasi
guna mencapai tujuan negatif, seperti penyebab konflik, apabila
masyarakat mengalami ketidakberdayaan ekonomi dan politik yang

4
Benyamin F. Intan, “Rumah Ibadat dan Hegemoni Negara”, (Suara
Pembaharuan, 3 Agustus, 2009).
5
Menurut Said Agil Al-Munawar, moral yang ditumbuhkan oleh agama
mempunyai daya kekuatan rohaniah yang tidak pernah absen dalam menuntun dan
mengendalikan penyandangannya agar ia selalu berada dalam garis batas norma-
norma susila, menumbuhkan sifat-sifat mahmudah (terpuji) serta berpikir objektif
yang dimanifestasikan dengan (a) percaya kepada diri sendiri, (b) menyadari
posisi serta tugas yang dipercayakan, (c) mengeliminir sikap egoistis dan
individualistis, (d) memandang jauh ke depan dan berantisipasi, (e)
memperhitungkan latar belakang setiap tindakan, dan (f) menghargai dan
memperhitungkan waktu. Agama selain membina mental yang diperlukan dalam
pembangunan, juga menentukan suksesnya pembangunan karena, pertama:
menumbuhkan niat atau motivasi, kedua: menjelaskan arah dan tujuan
pembangunan. Lihat Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama
(Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), cet. III, 32.

Kerukunan Umat Beragama … | 3


tinggi. Sebaliknya, agama akan sulit dijadikan penyebab konflik
apabila keberdayaan ekonomi dan politik masyarakat tinggi.6
Agama bukanlah semata-mata akar konflik yang terjadi.
Menurut Hendropuspito, bahwa penyebab konflik sosial yang
bersumber dari agama adalah perbedaan tingkat kebudayaan dan
karena adanya masalah mayoritas dan minoritas pemeluk agama.7
Hal ini diperkuat dengan hasil pengkajian yang dilakukan
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, yang menyatakan
bahwa terjadinya konflik pada mulanya bukan karena faktor agama
itu sendiri, melainkan oleh berbagai sebab yang saling terkait.
Agama biasanya dibawa serta sebagai faktor legitimasi atau untuk
menutupi konflik yang sesungguhnya. Adapun faktor lain diluar
agama tersebut adalah (1) krisis di berbagai bidang yang terjadi
beberapa tahun yang lalu, pada akhirnya selain menciptakan
hilangnya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap aparat
pemerintahan (birokrasi dan militer) yang selama bertahun-tahun
terlanjur memperlihatkan sikap yang kurang mendapat simpati
sebagian masyarakat, juga memunculkan sikap saling curiga yang
tinggi antar berbagai kelompok masyarakat, (2) akibat arus
globalisasi informasi, berkembang pula paham keagamaan yang
semakin menciptakan ekslusifitas dan sensitifitas kepentingan
kelompok, (3) kesenjangan sosial, ekonomi, dan politik.
Kesenjangan dalam berbagai bidang ini mempermudah pengikut

6
Konflik yang murni disebabkan oleh agama adalah Perang Salib, yakni
perang antara bangsa Eropa Barat yang beragama Katholik melawan bangsa Arab
yang beragama Islam. Demikian pula konflik yang terjadi di Irlandia Utara,
merupakan konflik yang muncul antara pemeluk agama Katholik dengan pemeluk
agama Protestan. Dalam dua peristiwa ini, agama telah berubah dari suatu paham
spiritual manusia menjadi paham spiritual dan sekaligus ciri khas atau identitas
yang ekslusif dari sebuah komunitas yang membedakan dengan kelompok atau
komunitas lainnya. Dalam konflik Irlandia Utara, disebutkan juga bahwa salah
satu faktor konflik tersebut adalah politik-keagamaan. Lihat Loekman Soetrisno,
Konflik Sosial, Studi Kasus Indonesia (Yogyakarta: Tajidu Press, 2003), 32-40.
Lihat juga Marzani Anwar, “Akar Historis Konflik Islam-Kristen” dalam
HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius, Volume III, Nomor 9, Januari-
Maret 2004, 14. Bandingkan dengan J. Milburn Thompson, Keadilan dan
Perdamaian: Tanggung Jawab Kristiani Dalam Pembangunan Dunia, terj. Jamilin
Sirait, P. Hutapea, dan Steve Gaspersz (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), 221.
7
D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama (Jakarta: Kanisius, 1983), 151.

4 | Rif’atul Hasanah
agama terseret dalam arus persaingan, pertentangan dan bahkan
permusuhan antara kelompok.8
Selain faktor non-keagamaan tersebut, beberapa faktor yang
dijadikan penyebab disintegrasi umat beragama, yakni faktor
agama yang langsung dapat menimbulkan konflik adalah wilayah
doktrin dari masing-masing agama. Masih dalam faktor agama
namun tidak secara langsung menimbulkan konflik diantaranya (1)
penyiaran agama, (2) bantuan keagamaan dari luar negeri, (3)
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, (4) pengangkatan
anak, (5) pendidikan agama, (6) perayaan hari besar keagamaan, (7)
perawatan dan pemakaman jenazah, (8) penodaan agama, (9)
kegiatan kelompok sempalan, (10) transparansi informasi
keagamaan, dan (11) pendirian rumah ibadat.9
Pada kenyataannya, ketidakharmonisan terkait agama ini,
khususnya banyak terjadi disebabkan masalah pendirian rumah
ibadat yang merupakan persoalan yang serius dan cukup sensitif.
Kehadiran sebuah rumah ibadat sering mengganggu hubungan
antar umat beragama atau bahkan memicu konflik karena
lokasinya berada di tengah komunitas yang kebanyakan menganut
agama lain. Rumah ibadat dalam hal ini tidak hanya dilihat sebagai
tempat untuk melaksanakan ibadat atau kegiatan keagamaan
semata, tetapi juga sebagai simbol keberadaan suatu kelompok
agama. Permasalahannya menjadi rumit jika jumlah rumah ibadat
tersebut dipandang oleh pihak lain tidak berdasarkan keperluan,
melainkan untuk kepentingan penyiaran agama pada komunitas
lain.
Pendirian rumah ibadat suatu kelompok agama minoritas di
tengah kelompok agama mayoritas pun memicu terjadinya konflik
antar agama. Padahal, salah satu yang mempengaruhi kegairahan
para penganut masing-masing agama dalam mengembangkan nilai-

8
Lihat M. Atho Mudzhar, “Kebijakan Negara dan Pemberdayaan Lembaga
dan Pemimpin Agama dalam Rangka Keharmonisan Hubungan Antar Umat
Beragama” dalam Muhaimin AG (editor), Damai di Dunia, Damai Untuk Semua
Perspektif Berbagai Agama (Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan
Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama
dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2004), 14-15. Ismatu Ropi, ”The
Politics of Regulating Religion: State, Civil Society and the Quest for Religious
Freedom in Modern Indonesia”, Thesis The Australian National University,
2012,9.
9
Muhammad M. Basyuni, Kebijakan dan Strategi Kerukunan Umat
Beragama (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departeman Agama RI, 2007), 6.

Kerukunan Umat Beragama … | 5


nilai luhur ajarannya, dilihat dari rumah ibadat. Rumah ibadat yang
baik, tidak hanya difungsikan sebagai fasilitas beribadah kepada
Tuhannya, juga sebagai tempat pembinaan kehidupan berbangsa
dan bernegara, dan sebagai sarana pusat pendidikan nonformal
bagi para jamaatnya yang mendukung pembangunan masyarakat
dan tanah airnya. Dengan kata lain, disamping meningkatkan
kesadaran beragama juga meningkatkan kesadaran sosial umat
beragama.
Dalam hal ini, Pemerintah mempunyai peran untuk
menangani konflik antar warganya, karena salah satu tenaga
penggerak perubahan peradaban umat manusia adalah kekuasaan
atau social power.10 Disamping itu, dalam teori kontrak sosial, negara
-yang dijalankan oleh sistem pemerintahan- adalah sebuah bentuk
dari perjanjian antara yang diperintah dan yang memerintah.
Karena itu, disini adalah tanggung jawab dan hak dari kedua belah
pihak. Adapun yang menjadi tanggung jawab dari pihak yang
memerintah adalah menjaga kepentingan dari pihak yang
diperintah yang diterjemahkan sebagai hak-hak alamiah atau
HAM.11
Dalam masalah tingkat kerukunan antar umat beragama dan
hubungannya dengan Pemerintah, Hans Kung mengatakan: ”that
there is no peace among nations without peace among religions, and no
peace among religions without dialogue among religions” yang berarti
bahwa tidak ada perdamaian di antara bangsa-bangsa tanpa
kedamaian di antara agama-agama, dan tidak ada perdamaian di
antara agama-agama tanpa dialog antar agama.12

10
Posisi negara, sebagai komunitas bayangan yang merangkum aneka
kepentingan masyarakat. Negara didirikan atas kontrak semua kelompok dan
elemen masyarakat. Negara dengan sendirinya menjadi tempat kelompok-
kelompok yang bisa melakukan transformasi menuju cita-cita yang diidealkan.
Lihat Bennedict Anderson, Imagined Communities (New York: Verso, 2006),
104.
11
Abdulla>hi A. An-Na’i>m, Islam and The Secular state: Negotiating Future
of Shari’a (Cambridge, Mass: Harvard University Press, 2008). 110. Lihat juga A.
John Simmons, “Political Consent” dalam Christopher W. Morris (editor), The
Social Contract Theorists: Critical Essays on Hobbes, Locke, and Rousseau
(Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, 1999), 131.
12
Jamilin Sirait, “Religious Tolerance and Freedom in Indonesia” in
Indonesia Today Problems and Perspective Politics and Society Five Years into
Reformasi (Jakarta: Konrad Adenauer Stiftung, 2004), 175.

6 | Rif’atul Hasanah
Dalam upaya meningkatkan kerukunan antar umat beragama
yang terkait dengan persoalan rumah ibadat, pada masa lalu
pemerintah sudah berkali-kali mengadakan dialog antar umat dan
menerbitkan sebuah kebijakan yang tertuang dalam Surat
Keputusan Bersama (SKB) No. 1/Ber/MDN-MAG/1969 tentang
Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin
Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah
Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya.13
Sejak semula SKB ini sudah mendapat kritik yang semakin
lama semakin membesar. Pada akhir tahun 2004 atau awal 2005
mencuat kembali pendapat-pendapat dalam masyarakat yang
menganjurkan untuk mencabut atau mempertahankan SKB No.
1/Ber/MDN-MAG/1969.14
Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama dan
Departemen Dalam Negeri, mengundang para wakil dari masing-
masing majelis agama antara lain Konferensi Wali Gereja Indonesia
(KGI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja-Gereja
Indonesia (PGI), Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat (PHDI),
dan Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI) untuk merevisi
SKB tersebut dan setelah melalui proses pembahasan dan dialog
yang relatif intensif, serius dan berulang-ulang selama lebih kurang
enam bulan dalam 11 kali pertemuan, akhirnya berhasil mencapai

13
Lahirnya SKB ini menurut Rumadi tidak muncul secara tiba-tiba. Ada
konteks sosio-religius yang mendorong diterbitkannya SKB ini. SKB tersebut
tidak terlepas dari kontestasi kelompok Islam dan Kristen. Isu kristenisasi saat itu
menjadi momok yang menakutkan di kalangan orang Islam. Ketegangan-
ketegangan sosial akibat tempat ibadah sudah muncul saat itu. Pada tahun 1967,
terjadi kasus penolakan pendirian gereja di Meulaboh, kalangan muslim
berargumentasi bahwa mereka tidak mentolerir pendirian gereja karena di
Meulaboh dihuni oleh mayoritas muslim. Sementara pihak Kristen merasa bahwa
mendirikan gereja merupakan bagian dari kebebasan beragama. Lihat Rumadi,
“Mengawal Pluralisme di Tengah Kegamangan Negara”,(prolog) dalam Ahmad
Suaedy, Politisasi Agama dan Konflik Komunal; Beberapa Isu Penting di
Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 10-11.
14
Lihat Sambutan Menteri Agama Muhammad M. Basyuni pada Sosialisasi
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun
2006/Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat
Tanggal 17 April 2006 dalam Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya (Edisi Tanya
Jawab Yang Disempurnakan), Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2012, 2.

Kerukunan Umat Beragama … | 7


kesepakatan yang kemudian pada tanggal 21 Maret 2006 telah
dikeluarkan kebijakan berkaitan dengan pemeliharaan kerukunan
umat beragama melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 tahun
2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian
Rumah Ibadat.15
Peraturan kedua Menteri diatas selanjutnya dijelaskan
dengan Peraturan Bersama Menteri yang disingkat PBM. Nomor 9
adalah peraturan pada Menteri Agama dan Nomor 8 adalah
peraturan pada Menteri Dalam Negeri. PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006
ini bukan saja merupakan upaya penyempurnaan SKB No.
1/Ber/MDN-MAG/1969, namun juga sebagai bentuk hukum yang
merupakan pelaksanaan Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.16
Upaya tindak lanjut dari Peraturan Bersama Menteri (PBM)
ini, pemerintah daerah terus melakukan sosialisasi terhadap
pelaksanaan peraturan bersama tersebut agar terdapat kesamaan
persepsi antara masyarakat dengan pemerintah bahwa menjaga
kerukunan beragama merupakan tanggung jawab bersama umat
beragama dan pemerintah. Namun demikian, masih terdapat

15
Pengkajian SKB No. 1/Ber/MDN-MAG/1969 selesai dan membuahkan
hasil bahwa SKB tersebut relevan dalam menangani konflik pendirian rumah
ibadat. Terbukti dari tahun 1977-2004, rumah ibadat semua agama bertambah
pesat, yakni rumah ibadat umat islam berawal dari 392.044-643.834 (64%), rumah
ibadat umat Kristen bertambah dari 18.977-43.909 (131%), rumah ibadat umat
katolik 4.934-12.473 (153%), dan rumah ibadat umat budha 1.523-7.129 (368%).
Pada tanggal 12 September 2005 dirapatkan lagi agar sesuai dengan UU 32/2004.
Pada bulan Oktober 2005, draft penyempurnaan SKB telah siap yang mengalami
pembahasan dan pengkajian oleh wakil dari masing-masing majelis agama selama
10 kali dan yang terakhir pada tanggal 21 Maret 2006 dihadiri oleh Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri yang pada akhirnya disepakati dan disahkan
pada saat itu juga. Lihat Sambutan Menteri Agama RI pada Sosialisasi Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006
dalam Pedoman Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama yang disusun oleh
Sub Bagian Hukmas dan KUB Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi DKI
Jakarta, 2007, 44.
16
Lihat Sambutan Menteri Dalam Negeri pada Pembukaan Sosialisasi
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8
Tahun 2006 dalam Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya, Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2012, 21.

8 | Rif’atul Hasanah
keberatan-keberatan terhadap ketentuan PBM ini didasarkan pada
alasan bahwa peraturan bersama menteri ini bersifat diskriminatif
dan bertentangan dengan jaminan konstitusi yang tertuang dalam
Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945, ada pula yang mendukung adanya PBM
mengalaskan argumennya pada kepentingan dan ketertiban umum
yang tidak boleh diabaikan dalam pembangunan rumah ibadat.17
Pro-kontra dalam menerima PBM ini masih terus terjadi,
padahal menurut Menteri Agama Suryadharma Ali, tudingan bahwa
PBM hanya menguntungkan kelompok agama tertentu juga tidak
berdasar. Sesuai rapat dengan DPR, 21 September 2010, Menteri
Agama menunjukkan statistik bahwa tren pertumbuhan
pembangunan masjid lebih rendah dibanding pertumbuhan tempat
ibadah agama lain. Salah satu prinsip PBM ini adalah memberikan
kepastian pelayanan secara adil, jelas, dan terukur kepada
pemohon pendirian rumah ibadat. Dengan demikian, kehadiran
PBM ini masih sangat dibutuhkan untuk mengatur umat beragama
dalam menjalankan kehidupan beragama. Bahkan, dalam rapat
dengan Komisi VIII DPR di Gedung DPR, Senayan tanggal 21
September 2010, mencuat gagasan Materi Agama Suryadharma Ali
agar status hukum ditingkatkan menjadi undang-undang.18
Dalam hal ini, ketimpangan pemahaman di kalangan
masyarakat atas peraturan bersama dua menteri yang sudah
dicanangkan itu, entah belum tersosialisasikan dengan baik di
kalangan masyarakat ataupun memang karena ekslusifisme warga
yang tidak bisa ditolerir dalam menanggapi konflik yang terjadi,
termasuk di Kota Bekasi.
Pengambilan lokasi penelitian di Bekasi dilatarbelakangi
karena adanya perselisihan antar umat beragama terkait dengan
pendirian rumah ibadat. Bekasi juga merupakan kota yang
mempunyai populasi heterogen serta memiliki banyak organisasi
keagamaan. Organisasi-organisasi muslim garis keras seperti Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Gerakan Pemuda Islam

17
Viona Wijaya, “Kajian Kritis Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006”, Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran, Agustus 2013 diunduh dari
http://fh.unpad.ac.id/repo/2013/08/kajian-kritis-peraturan-bersama-menteri-
agama-dan-menteri-dalam-negeri-nomor-9-tahun-2006-dan-nomor-8-tahun-2006/
tanggal 23 Maret 2014.
18
Lihat Laporan Utama bertajuk “Kerukunan Umat Beragama Jadi
Rujukan” dalam Majalah Ikhlas Beramal, Nomor 65 Tahun XIII Oktober 2010, 12.

Kerukunan Umat Beragama … | 9


(GPI) yang dua-duanya punya unsur anti-Kristen, sudah lama aktif
di Bekasi. Disana juga terdapat Front Pembela Islam (FPI) dan juga
beragam koalisi anti-pemurtadan. Bekasi juga menjadi salah satu
basis komunitas salafi jihadi seperti Jemaah Ansharut Tauhid (JAT)
yang dideklarasikan Abu Bakar Ba’asyir di asrama haji Bekasi pada
tahun 2008.19
Di pihak Kristen, beberapa organisasi penginjil yang
berkomitmen untuk menyebarkan Kristen juga ada di Kota Bekasi.
Yayasan Mahanaim, salah satu organisasi neo-Pentakosta yang
paling bonafide serta aktif, sangat dibenci kaum muslim garis keras
karena program-programnya menjadikan orang-orang muslim
yang miskin sebagai objek pemurtadan. Sebelumnya, Yayasan Kaki
Dian Emas, yang dijalankan oleh pendeta yang tadinya muslim,
menggunakan kaligrafi Arab pada sampul-sampul publikasinya,
seolah-olah isinya mengenai Islam, dan mempunyai program untuk
mewajibkan setiap siswa sekolahnya meng-kristenkan sepuluh
orang sebagai syarat kelulusan.20
Dengan latar belakang diatas, penelitian ini layak untuk
dilakukan terkait dengan bagaimana pemahaman masyarakat Kota
Bekasi terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan bagaimana
hubungannya dengan tingkat kerukunan antar umat beragama di
masyarakat tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, ada sejumlah masalah yang dapat
diidentifikasi, yaitu: (1) Apa saja upaya pemerintah kota Bekasi
dalam meningkatkan kerukunan antar umat beragama? (2) Apa saja
tindakan pemerintah kota Bekasi dalam resolusi konflik antar umat
beragama? (3) Bagaimana pemberdayaan FKUB kota Bekasi dalam
penanganan konflik antar umat beragama? (4) Bagaimana proses
sosialisasi Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006 di
kota Bekasi? (5) Bagaimana pemahaman masyarakat kota Bekasi
terhadap Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006? (6)
Bagaimana tingkat kerukunan umat beragama di Bekasi? (7)
Apakah terdapat hubungan antara tingkat pemahaman terhadap

19
Lihat International Crisis Group, Indonesia: “Christianisation” and
Intolerance, Jakarta/Brussels, 24 November 2010, http://www.crisisgroup.org
diunduh tanggal 08/03/2012.
20
International Crisis Group, Indonesia: “Christianisation” and
Intolerance, Jakarta/Brussels, 24 November 2010, http://www.crisisgroup.org
diunduh tanggal 08/03/2012.

10 | Rif’atul Hasanah
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 dengan tingkat kerukunan umat
beragama?
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, muncul beberapa
pertanyaan terkait PBM tersebut yakni apakah ada hubungan
antara tingkat pemahaman masyarakat terhadap PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006 dengan tingkat kerukunan antar umat beragama.
Untuk menjabarkan pertanyaan tersebut, maka dirinci lagi
pertanyaan pokok sebagai berikut: (1) Bagaimana pemahaman
masyarakat Mustika Jaya Bekasi terhadap Peraturan Bersama
Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006? (2) Bagaimana hubungan antara
tingkat pemahaman masyarakat terhadap Peraturan Bersama
Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan tingkat kerukunan antar umat
beragama di kecamatan Mustika Jaya Bekasi?
Ruang lingkup kajian dalam penelitian ini dibatasi pada
pemahaman masyarakat terhadap Peraturan Bersama Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 9 dan 8 Tahun 2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian
Rumah Ibadat dan bagaimana hubungannya terhadap tingkat
kerukunan antar umat beragama. Masyarakat disini terdiri dari dua
karakter responden, karakter pertama yakni mereka yang bekerja
di kelurahan di lingkup kecamatan Mustika Jaya Bekasi, yakni
kelurahan Mustika Jaya, Mustika Sari, Padurenan, dan Cimuning,
sedangkan karakter lain adalah masyarakat biasa yang tinggal di
kecamatan tersebut. Jika analisis antara dua karakter responden
tersebut dipisahkan, boleh jadi analisisnya berbeda. Pemilihan
kecamatan Mustika Jaya atas dasar konflik antara muslim dan
kristiani yang disebabkan proses pendirian gereja HKBP Pondok
Timur Indah (PTI) di Desa Ciketing, kecamatan Mustika Jaya Bekasi
pada tanggal 12 September 2010.
B. Studi Terdahulu
Sejauh pengamatan yang dilakukan penulis, sudah banyak
didapatkan buku/penelitian yang membahas tentang konflik
maupun kerukunan antar umat beragama di Indonesia dan tentang
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan bidang sosial
keagamaan. Diantara karya dan penelitian tersebut adalah:
1. Kerukunan Antar Umat Beragama
Penyebab konflik sosial keagamaan yang menyebabkan
ketegangan dalam hubungan antar umat beragama antara lain

Kerukunan Umat Beragama … | 11


adalah sifat missi dari masing-masing agama; kurangnya
pengetahuan akan agamanya sendiri dan agama pihak lain; kurang
mampunya umat yang mendapat kelebihan dan fasilitas untuk
menahan diri yang dapat diartikan meremehkan pihak lain;
kecurigaan masing-masing akan keikhlasan yang lain; perbedaan
mencolok tentang status sosial, ekonomi, sosial politik antar
mereka, dan kurang adanya komunikasi yang sehat antara
pemimpin masing-masing umat.21
Penelitian Wijaya yang dilakukan di Kelurahan Sungai Buah
Palembang, menghasilkan bahwa perbedaan ajaran diantara sekte-
sekte yang ada di Indonesia dapat menimbulkan ketegangan dan
mempunyai potensi konflik. Hal ini dapat terjadi karena warisan
kultural yang memberi peluang bagi ketegangan dan dikotomi
antara modernisasi dan tradisional.22
Penelitian Ahsanul Khalikin, tentang Peta Kerukunan di DKI
Jakarta, ditemukan hasil bahwa beberapa kasus yang muncul di
berbagai daerah, termasuk di DKI Jakarta, antara lain disebabkan
oleh pendirian rumah ibadat dan penyiaran agama. Oleh karena itu
Pemerintah mengeluarkan serangkaian peraturan untuk dijadikan
acuan oleh semua pihak dalam menanggulangi kasus-kasus
tersebut, yang menyangkut hal pendirian rumah ibadat, penyiaran
agama, masalah intern agama, dan penodaan terhadap agama.23
Penelitian yang dilakukan oleh The International Crisis Group
yang meneliti tentang konflik pengrusakan rumah ibadat HKBP
Ciketing Bekasi ditemukan bahwa beberapa penyebab konflik
tersebut adalah terdapatnya proses “kristenisasi” atau upaya
pembaptisan masal yang meresahkan warga muslim dan
penghinaan terhadap Islam.24

21
Ahmad Sanusi, Agama di Tengah Kemiskinan: Refleksi atas Pandangan
Islam dan Kristen dalam Perspektif Kerjasama Antar Umat Beragama (Jakarta:
Logos, 1999), 88.
22
Wijaya, Agama, Sekte dan Perubahan Sosial (Studi tentang munculnya
sekte-sekte keagamaan pada umat Islam di kelurahan Sungai Buah Palembang)
(Jakarta: FISIP UI, 2001), 162.
23
Ahsanul Khalikin, “Peta Kerukunan Di DKI Jakarta” dalam Achmad
Syahid dan Zainudin Daulay (editor), Riuh di Beranda Satu: Peta Kerukunan
Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian
Kerukunan Hidup Umat Beragama, Departemen Agama RI, 2002), 79.
24
International Crisis Group, Indonesia: “Christianisation” and Intolerance,
Jakarta/Brussel, 24 November 2010 diunduh tanggal 08/03/2012.

12 | Rif’atul Hasanah
2. Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Sosial Keagamaan
Disertasi Alirman Hamzah, membahas antara lain
persamaan dan perbedaan yang mendasar antara kebijakan
pemerintah Orde Baru dan Orde Reformasi dalam bidang
kerukunan antar umat beragama. Pada Orde Baru, kebijakan
pemerintah menggunakan teori akomodasi yang bersifat coersif
dengan pendekatan top down, sehingga banyak kebijakan
pemerintah Orde Baru mendapat resistensi besar dari umat
beragama. Sementara itu, kebijakan orde Reformasi cenderung
menggunakan teori sosiologi yang bersifat kompromistis dengan
pendekatan bottom-up, sehingga banyak kebijakan pemerintah Orde
Reformasi tentang kerukunan dapat diterima oleh umat beragama.
Meskipun begitu, terdapat kesamaan pada latar belakang
pembinaan kerukunan hidup umat beragama di Indonesia masa
Orde Baru dan Reformasi, yakni sama-sama dilatarbelakangi oleh
terjadinya konflik antar umat beragama. Perbedaannya, Orde Baru
disebabkan oleh kasus-kasus penyiaran agama yang meresahkan
umat Islam, pendirian rumah ibadat dan penodaan agama,
sedangkan pada Orde Reformasi disebabkan terjadinya kerusuhan-
kerusuhan antar umat beragama akibat krisis ekonomi,
pertarungan politik, lemahnya legitimasi pemerintahan, dan
lemahnya kemampuan pemerintah memperbaiki ekonomi bangsa.25
Hal yang sama dikemukakan oleh St. Sunardi bahwa
paradigma hubungan antar agama paling menonjol dalam sejarah
Orde Baru dan masih tersisa di sana-sini sampai sekarang adalah
paradigma “pembinaan”, yaitu sebuah bentuk hubungan antar
agama yang dirancang oleh negara (lewat pemerintahan) dan
dijabarkan lewat birokrasi negara dari pusat sampai daerah, yakni
dengan pendekatan top-down.26
Penelitian Anik Farida yang dilakukan di Jawa Barat yang
bertujuan untuk mengukur peran Pemda Jawa Barat dalam
memelihara kerukunan umat beragama ditemukan bahwa
kebijakan pemeliharaan kerukunan beragama di Jabar tertuang
dalam Pergub No. 17 Tahun 2007 tentang FKUB dan Pergub No. 20

25
Alirman Hamzah, “Kerukunan Antar umat Beragama di Indonesia dari
Era Orde Baru Hingga Reformasi (Studi Kebijakan Pemerintah 1966-2007)”
Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, 313.
26
St. Sunardi, “Dilema Kerukunan Umat Beragama di Indonesia: Antara
Pendewasaan Umat dan Penguatan Fungsionaris Umat” dalam HARMONI Jurnal
Multikultural & Multireligius, Volume III, Nomor 9, Januari-Maret 2004, 21.

Kerukunan Umat Beragama … | 13


tahun 2008 tentang Perubahan Pergub No. 17 Tahun 2007, dengan
berlandaskan pada RJPMD Jabar 2006-2010 dan PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006. Namun, belum ada peraturan pelaksana Pergub diatas
yang sifatnya lebih teknis.27
Penelitian Kustini yang mengkaji tentang efektifitas
sosialisasi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Penelitian ini
mendapatkan hasil analisis regresi bahwa manfaat sosialisasi PBM
berpengaruh secara sangat nyata terhadap kerukunan umat
beragama sebesar 17,4%. Persentase pengaruh tersebut meskipun
masih relatif kecil tetapi menunjukkan bahwa diseminasi informasi
tentang PBM, keberadaan peraturan terkait PBM (Pergub), peran
Pemda dan Majelis Agama dalam kerukunan umat beragama, serta
FKUB yang dinamis dapat memberi kontribusi positif dalam
menciptakan kondisi kerukunan umat beragama. Meskipun
demikian, keberadaan Peraturan Gubernur terkait PBM di beberapa
daerah sangat kurang. Hal ini menunjukkan bahwa respon
pemerintah daerah terhadap keberadaan PBM perlu ditingkatkan.28
Penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan
HAM RI pada tahun 2011 menghasilkan bahwasanya PBM Nomor 9
dan 8 Tahun 2006 belum cukup efektif karena beberapa hal,
diantaranya masih terjadi konflik antar umat beragama, belum
seriusnya pemerintah daerah dalam memelihara kerukunan antar
umat beragama, dan belum berdayanya FKUB sebagai wadah tokoh-
tokoh agama untuk mengelola perbedaan dan memfasilitasi
pendirian rumah ibadat, penyebab lain yakni masih ditemukannya
perbedaan tafsir terhadap isi/materi PBM tersebut. 29

27
Anik Farida, Peran Pemda Jawa Barat Dalam Memelihara Kerukunan
Umat Beragama (Studi tentang Analisis Kebijakan dan Strategi Pemda dalam
Memelihara Kerukunan Umat Beragama di Jawa Barat) (Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), 57.
28
Penelitian ini dilaksanakan di 13 kota, yakni Banda Aceh, Medan,
Padang, Tanjung Pinang, Semarang, Surabaya, Denpasar, Kupang, Pontianak,
Palangkaraya, Banjarmasin, Kendari dan Ambon. Lihat Kustini, Efektifitas
Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI, 2009, 43.
29
Penelitian ini dilaksanakan di empat propinsi yaitu Sumatera Barat, Nusa
Tenggara Timur, Bali, dan Jawa Barat. Lihat Penelitian Pusat Penelitian dan
Pengembangan Transformasi Konflik Badan Penelitian dan Pengembangan HAM
Kementerian Hukum dan HAM RI tentang “Evaluasi Efektivitas Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006”,
2011, 21-22.

14 | Rif’atul Hasanah
Penelitian yang juga dilakukan oleh Kementerian Hukum
dan HAM RI pada tahun 2011 ditemukan bahwa
eksistensi/kedudukan Surat Keputusan Bersama (SKB) ataupun
PBM perihal penyelesaian konflik antar dan intern agama dilihat
dari segi kebutuhan (utility) sangat dibutuhkan masyarakat, dan
berkedudukan penting dalam sistem hukum di Indonesia, namun
untuk kedudukannya dalam sistem perundang-undangan di
Indonesia masih mengalami pro dan kontra baik secara yuridis
maupun strategis.30
Penelitian terbaru terkait dengan kebijakan pemerintah
dalam bidang keagamaan dilakukan pada tahun 2012 oleh Ismatu
Ropi, yang menyatakan bahwa kebijakan pemerintah tidak terlepas
dari pengaruh sosial dan politik. Kebijakan tersebut dibuat atas
dasar kesepakatan antara pemerintah, partai yang berkuasa, dan
kelompok agama mayoritas. Ada dua alasan dalam hal ini, yang
pertama adalah pejabat pemerintah yang berkuasa sering mencari
dukungan dari kelompok agama mayoritas, namun itu
menimbulkan isu sosial dan agama. Alasan kedua, pemerintah
mencari legitimasi politik dari kelompok agama mayoritas,
sehingga sering mengabaikan hak-hak minoritas dengan lebih
mementingkan kepentingan kelompok mayoritas. Tetapi tidak
semua peraturan tersebut bertentangan dengan kebebasan, di sisi
lain campur tangan pemerintah disini juga berfungsi untuk
mencegah dan meminimalisir konflik dan melindungi hak
minoritas.31
Penelitian-penelitian terdahulu dalam banyak hal cukup
mengulas PBM No. 9 dan 8 tahun 2006, namun demikian ada ruang
yang dapat diisi, sekaligus distingsi penelitian kali ini, yakni objek
penelitian dan variabel penelitian. Penelitian ini berupaya
mengungkapkan secara spesifik pemahaman masyarakat di
kecamatan Mustika Jaya Bekasi terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun
30
Lihat Laporan Hasil Penelitian Hukum yang dilakukan oleh tim dari
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI Tahun
2011 dibawah Pimpinan Suherman Toha tentang “Eksistensi Surat Keputusan
Bersama Dalam Penyelesaian Konflik Antar dan Intern Agama”. Diunduh dari
http://www.bphn.go.id/data/documents/lit-2011-6.pdf tanggal 21 Juli 2013.
31
Asumsi umum oleh mereka penggiat HAM adalah bahwa adanya
kebijakan pemerintah di bidang agama bisa menjadi ancaman untuk kebebasan
beragama itu sendiri. Lebih jelas lihat Ismatu Ropi, ”The Politics of Regulating
Religion: State, Civil Society and the Quest for Religious Freedom in Modern
Indonesia”, 9.

Kerukunan Umat Beragama … | 15


2006 dan menganalisis hubungannya terhadap kerukunan umat
beragama. Dengan demikian diharapkan tulisan ini bisa melengkapi
hasil penelitian-penelitian sebelumnya.
Penelitian ini diarahkan untuk tujuan sebagai berikut: (1)
Untuk menganalisis pemahaman masyarakat Mustika Jaya Bekasi
terhadap Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006, (2)
Untuk menganalisis hubungan antara tingkat pemahaman
masyarakat terhadap Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8
Tahun 2006 dan tingkat kerukunan antar umat beragama di
kecamatan Mustika Jaya Bekasi.
Diharapkan dari hasil penelitian ini bermanfaat untuk: (1)
Sebagai kontribusi ilmiah dalam wacana peningkatan kerukunan
antar umat beragama, (2) Sebagai partisipasi memperkaya
khazanah kepustakaan dalam pemeliharaan kerukunan antar umat
beragama, (3) Sebagai petunjuk dalam menyusun langkah-langkah
pencegahan dan penyelesaian konflik antar umat beragama di
beberapa daerah, (4) Sebagai masukan kepada organisasi-organisasi
sosial keagamaan khususnya FKUB dan Pemerintah Kota Bekasi
umumnya untuk bersama-sama memberikan kontribusi pada
kerukunan umat beragama.
C. Metodologi Penelitian
Penelitian ini meneliti tentang pemahaman masyarakat
terhadap PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 di Kecamatan Mustika
Jaya Bekasi dan menganalisis hubungan antara pemahaman
masyarakat terhadap kebijakan tersebut dengan tingkat kerukunan
antar umat beragama dengan menggunakan analisis korelasi dan
regresi. Dengan demikian pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif-kualitatif.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
dua macam, yaitu: (a) Sumber primer (primary sources) penelitian ini
adalah Masyarakat Mustika Jaya, (b) Sumber sekunder (secondary
sources) penelitian ini adalah literatur dan beberapa hasil penelitian
terkait dengan tingkat kerukunan di wilayah Mustika Jaya Bekasi.
Ditambah oleh hasil wawancara oleh beberapa tokoh agama.
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek
atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian

16 | Rif’atul Hasanah
ditarik kesimpulannya.32 Dalam penelitian ini, populasi yang
dimaksud adalah seluruh warga di kecamatan Mustika Jaya, Bekasi
yang terdata pada tahun 2011 berjumlah 124.474 jiwa.33 Penelitian
ini mengambil sampel sebanyak 165 orang, dengan rincian 100
orang mereka yang bekerja sebagai staff di kelurahan, dan 65 orang
berasal dari masyarakat biasa. Teknik pengambilan sampel
masyarakat biasa dengan cara accidental sampling.34 Teknik accidental
sampling adalah teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan,
yaitu siapa saja yang secara kebetulan ketemu dengan peneliti
dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang
kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data. Dalam menemui
responden yang berasal dari masyarakat ini, penulis dibantu oleh
beberapa orang kawan penulis yang berdomisili di kecamatan
Mustika Jaya Bekasi.
Adapun yang 100 orang responden, penulis menjadikan para
pegawai di 4 kelurahan di lingkup kecamatan Mustika Jaya Bekasi
yakni kelurahan Mustika Jaya, kelurahan Mustika Sari, kelurahan
Pedurenan dan kelurahan Cimuning, dimana pada setiap kelurahan
tersebut dikenai masing-masing 25 orang untuk mengisi kuesioner
yang sudah disediakan sebagai alat pengumpul data.
Variabel yang akan digunakan pada penelitian ini dapat
dijabarkan sebagai berikut:
a. Pemahaman tentang PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006
Pemahaman tentang PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 ini
adalah terkait dengan seberapa jauh pemahaman masyarakat
Mustika Jaya Bekasi terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 yang
mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Memelihara Kerukunan
Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat yang dibuktikan
dengan tingkah laku atau interaksi sosial para warga penganut
agama yang berbeda dalam kehidupan harian mereka yang
mencerminkan suatu pemahaman terhadap isi pesan yang
terkandung dalam PBM yang terkait dengan tiga aspek yang

32
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D
(Bandung: Alfabeta, 2008), 80.
33
Data diperoleh dari Profil Monografi Kecamatan Mustika Jaya per-
kelurahan tahun 2011.
34
Kultar Singh, Quantitative Social Research Methods (New Delhi: Sage
Publications India, 2007), 107.

Kerukunan Umat Beragama … | 17


dibahas dalam kebijakan tersebut seperti peran dan kewajiban
kepala daerah dan wakil kepala daerah, pemberdayaan FKUB,
dan tentang tata cara pendirian rumah ibadat.
b. Tingkat Kerukunan Antar Umat Beragama
Tingkat kerukunan yang dimaksud disini adalah mencakup
masalah-masalah kerukunan baik dari faktor yang
menyebabkan ketidakharmonisan maupun faktor kerukunan
antar umat beragama dalam kegiatan-kegiatan khusus maupun
kehidupan sehari-hari. Tingkat kerukunan ini merupakan
variabel terikat (dependent variable) yang dipengaruhi oleh
variabel bebas (independent variable) yaitu pemahaman
masyarakat terhadap PBM No. 9 dan 8 tahun 2006.
c. Masyarakat Mustika Jaya Bekasi
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan Masyarakat
Mustika Jaya Bekasi adalah masyarakat yang tinggal di
kecamatan Mustika Jaya Bekasi, baik merupakan warga asli
ataupun pendatang dan baik yang merupakan masyarakat
biasa maupun mereka yang berprofesi sebagai pegawai
kelurahan di lingkup kecamatan Mustika Jaya Bekasi.
Teknik pengumpulan data adalah cara dan teknik penulis
untuk mengumpulkan keterangan atau data yang terdapat di
lapangan atau objek penelitian. Sesuai dengan pendekatan
penelitian yang digunakan yakni pendekatan kualitatif dan
kuantitatif, maka untuk mendapatkan data dalam penelitian ini,
teknik pengumpulan data yang dipakai penulis adalah sebagai
berikut:
a. Observasi adalah metode pengumpulan data yang dilakukan
secara sistematis dan sengaja melalui pengamatan dan
pencatatan terhadap gejala objek yang diselidiki/diteliti.35
Adapun objek penelitian dalam kasus ini adalah masyarakat
kecamatan Mustika Jaya, Bekasi.
b. Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan beberapa dokumen yang berkaitan dengan kebijakan
pemerintah Kota Bekasi dan data sarana sosial rumah ibadat
yang diperoleh dari FKUB Kota Bekasi, dokumen kondisi wilayah
didapat dari setiap kelurahan dan kecamatan Mustika Jaya

35
Lihat Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah Republik Indonesia, Metode Penelitian Sosial (Terapan dan
Kebijaksanaan) Tahun 2000, 54.

18 | Rif’atul Hasanah
Bekasi. Sedangkan dokumen tentang tingkat kerukunan antar
umat beragama diperoleh dari beberapa hasil penelitian di
wilayah Bekasi.
c. Wawancara Mendalam (dept interview)36 kepada beberapa tokoh
yang berkompeten dalam meningkatkan kerukunan antar
warga. Dalam hal ini, yang menjadi responden (interviewee)
bukan saja tokoh di wilayah Kota Bekasi, namun juga penulis
menjadikan tokoh-tokoh agama di wilayah lain sebagai
responden dengan tujuan untuk mengetahui pendapat atau
perspektif mereka tentang masalah pendirian rumah ibadat
yang sudah banyak terjadi di beberapa daerah. Di wilayah Bekasi,
penulis mewawancarai Anggota FKUB Kota Bekasi, H. Moch.
Nasrullah, S.Pd.I sedangkan tokoh di wilayah lain, penulis
menjadikan pengurus FKUB Jakarta sebagai interviewee, yakni
KH. A. Syafi’i Mufidz, MA dan Drs. Rudy Pratikno, SH.
d. Kuesioner atau Angket dapat dipandang sebagai interview
tertulis dimana sampel/responden dihubungi melalui suatu
daftar pertanyaan. Angket juga merupakan self report (laporan
mengenai diri sendiri) mengenai pengetahuan dan keyakinan
diri sendiri. Tipe angket yang digunakan adalah angket
berstruktur, yakni peneliti mengajukan beberapa pertanyaan
yang bersifat tertutup. Item ini hanya meminta responden untuk
memilih satu jawaban dari sekian jawaban yang sudah tersedia.37
Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
Guttman.38 Skala Guttman ialah skala yang menginginkan tipe
jawaban tegas seperti jawaban benar-salah, ya-tidak, dan
seterusnya. Untuk jawaban positif diberi skor 1 sedangkan untuk
jawaban negatif diberi skor 0. Pada variabel X (pemahaman
masyarakat terhadap PBM) jika responden memilih jawaban Ya,
maka diberi skor 1, sedangkan pilihan jawaban Tidak diberi skor 0.
Sedangkan pada variabel Y (tingkat kerukunan), dibagi menjadi dua
indikator yakni indikator ketidakrukunan dan indikator kerukunan.
Pada indikator ketidakrukunan, jika responden memilih jawaban
Pernah maka diberi skor 0 dan sebaliknya opsi jawaban Tidak
Pernah diberi skor1. Adapun pada indikator kerukunan, jika

36
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, 137.
37
Lihat Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah Republik Indonesia, Metode Penelitian Sosial, 69-70.
38
Djaali dan Pudji Muljono, Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), 28.

Kerukunan Umat Beragama … | 19


responden memilih Ya maka diberi skor 1 dan sebaliknya opsi
jawaban Tidak diberi skor 0.

Table 1.1
Kisi-kisi Kuesioner Pemahaman Masyarakat Terhadap
PBM No. 9 dan 8 Tahun 200639
Variabel X Sub Variabel Indikator Nomor Jumlah
Pemahaman Peran kepala 1. Kewajiban 1, 2, 3, 4, 5, 6 12 item
Masyarakat daerah dan wakil Bupati/Walikota 7, 8, 9, 10
Terhadap PBM kepala daerah 2. Kewajiban Camat 11, 12
No. 9 dan 8 dalam 3. Kewajiban Lurah/Kepala
Tahun 2006 memelihara Desa
kerukunan umat
beragama
Pemberdayaan 1. Pembentukan FKUB 13, 14, 15 15 item
Forum Kerukunan 2. Tugas FKUB 16, 17, 18, 19, 20
Umat Beragama 3. Keanggotaan FKUB 21
(FKUB) 4. Dewan Penasihat FKUB 22, 23, 24, 25, 26, 27
Pendirian Rumah 1. Persyaratan 28, 29, 30, 31, 32 10 item
Ibadat40 Administratif
2. Persyaratan Teknis 33, 34, 35, 36, 37
1. Syarat Bangunan 6 item
Sementara Gedung 38
Bukan Rumah Ibadat
2. Izin Sementara 39, 40, 41, 42, 43
Pemanfaatan Gedung
Bukan Rumah Ibadat
1. Penyelesaian 3 item
Perselisihan oleh 44
Masyarakat
2. Penyelesaian
Perselisihan oleh 45
Bupati/Walikota
3. Penyelesaian
Perselisihan oleh 46
Pengadilan

Setelah pembuatan kisi-kisi, kuesioner yang akan


disebarkan diuji dahulu dengan uji validitas dan reliabilitas. Sampel

39
Indikator yang dipakai dalam penelitian penelitian ini diambil dari
beberapa sub bahasan per Pasal yang diatur dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
40
Dalam bahasan pendirian rumah ibadat disini tidak hanya membahas
syarat-syarat pendirian rumah ibadat saja, tetapi juga membahas izin sementara
pemanfaatan bangunan gedung dan penyelesaian perselisihan.

20 | Rif’atul Hasanah
yang digunakan berjumlah 20 orang. Menurut hasil uji validitas,
dari total 46 item yang akan disebar, terdapat 11 item yang tidak
valid, yakni nomor item 3, 5, 6, 8, 14, 22, 26, 28, 34, 38, dan 40.
Sehingga yang menjadi alat ukur variabel X ini berkurang menjadi
35 item. Ketidakvalidan beberapa item ini karena nilai r hitung ada
di bawah atau lebih kecil dari r table pada taraf signifikansi 5% dan
1%, sedangkan tes reliabilitas mendapatkan hasil alfa 0,92 yang
menunjukkan reliabilitas yang tinggi.
Kisi-kisi kuesioner untuk Variabel Y yakni tentang Tingkat
kerukunan antar umat beragama sebagai berikut:

Table 1.2
Kisi-kisi Kuesioner Tingkat Konflik Antar Umat Beragama41
Variabel Sub
Indikator Nomor Jumlah
Y Variabel
Tingkat Konflik 1. Perselisihan rencana pendirian rumah 1 4 item
konflik pendirian ibadat
antar rumah 2. Penolakan pendirian rumah ibadat 2
umat ibadat 3. Sengketa mengenai izin pendirian rumah 7
beragama ibadat
4. Pengrusakan rumah ibadat 14
Konflik 1. Perselisihan rencana penggunaan 4 4 item
penggunaan sementara bangunan gedung bukan
sementara rumah ibadat menjadi rumah ibadat
bangunan 2. Penolakan penggunaan sementara 9
gedung bangunan gedung bukan rumah ibadat
bukan menjadi rumah ibadat
rumah 3. Penyalahgunaan izin penggunaan 5
ibadat sementara bangunan gedung bukan
rumah ibadat menjadi rumah ibadat
4. Pengrusakan bangunan sementara 12
gedung bukan rumah ibadat yang
dijadikan rumah ibadat
Konflik 1. Perselisihan rencana penyelenggaraan 18 4 item
penyelengg peribadatan umum
araan 2. Penolakan penyelenggaraan peribadatan 15
peribadatan umum
umum 3. Perselisihan izin penyelenggaraan
kebaktian/peribadatan umum 16
4. Gangguan pada saat penyelenggaraan
peribadatan umum 20

41
Indikator yang dipakai dalam penelitian penelitian ini didapat dari
beberapa kasus yang terjadi di Kota Bekasi, yang penulis dapat dari dokumentasi
FKUB Kota Bekasi.

Kerukunan Umat Beragama … | 21


Table 1.3
Kisi-kisi Kuesioner Tingkat Kerukunan Antar Umat Beragama

Variabel Sub Juml


Indikator Nomor
Y Variabel ah
Tingkat Komunikasi 1. Bersedia mengikuti rapat
Kerukunan warga bersama orang yang 3 1 item
Antar berbeda agama
Umat Kepedulian 1. Bersedia ikut
Beragama Sosial mengamankan tempat 11 2 item
peribadatan orang yang
berbeda agama saat
mereka merayakan Hari
Besar Agamanya
2. Bersedia memberikan
bantuan kepada mereka
yang terkena bencana 19
alam meskipun kepada
orang yang berbeda agama
Partisipasi 1. Bersedia bekerja bakti
bersama tetangga yang 6 2 item
berbeda agama
2. Bersedia bergabung dalam
acara Peringatan Hari 8
Besar Nasional bersama
orang yang berbeda agama
Toleransi 1. Bersedia menjadi
pengurus organisasi 10 3 item
kemasyarakatan bersama
orang yang berbeda agama
2. Bersedia bertetangga
dengan warga yang 13
berbeda agama
3. Bersedia memilih
Pimpinan Daerah 17
(RT/RW/Lurah) yang
berlainan agama

Pada tabel 1.2 dan 1.3 adalah terkait mengenai aspek tingkat
kerukunan antar umat beragama, pada tabel 1.2 lebih kepada
masalah-masalah konflik atau ketidakrukunan, sedangkan table 1.3
mencakup indikator-indikator keadaan rukun. Dalam kuesioner
yang digunakan, penulis meletakkan secara acak kedua aspek
tersebut dalam bingkai variabel Y yakni tingkat kerukunan antar
umat beragama. Hasil yang didapat dari uji validitas dan reliabilitas
yang dikenakan 20 orang sebagai sampel, di dapat 5 item yang tidak

22 | Rif’atul Hasanah
valid yakni item nomor 6, 8, 13, 17, dan 19, sedangkan alfa yang di
dapat sebesar 0,89 yang menunjukkan reliabilitas yang tinggi.
Indeks pemahaman masyarakat terhadap PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006 digunakan rentangan skor sebagai berikut:

Tabel 1.4
Indeks Pemahaman Masyarakat Terhadap
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006

No. Skor Kriteria Nilai


1. 29 - 35 Sangat Tinggi
2. 22 - 28 Tinggi
3. 15 - 21 Sedang
4. 8 - 14 Rendah
5. 0–7 Sangat Rendah

Indeks tingkat kerukunan antar umat beragama juga


digunakan rentangan skor sebagai berikut:

Tabel 1.5
Indeks Tingkat Kerukunan Antar Umat Beragama

No. Skor Kriteria Nilai


1. 13 – 15 Sangat Tinggi
2. 10 – 12 Tinggi
3. 7–9 Sedang
4. 4–6 Rendah
5. 0–3 Sangat Rendah

Untuk memenuhi tujuan penelitian ini yakni mengetahui


hubungan tingkat pemahaman masyarakat terhadap PBM No. 9 dan
8 tahun 2006 dengan tingkat kerukunan antar umat beragama,
digunakan teknik analisis korelasi yaitu analisis yang digunakan
untuk mencari arah dan kuatnya hubungan antara dua variabel 42
yakni tingkat pemahaman masyarakat dengan tingkat kerukunan
antar umat beragama. Teknik korelasi yang digunakan adalah
dengan menggunakan rumus korelasi Pearson.

42
Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian (Bandung: CV Alfabeta, 2007),
260.

Kerukunan Umat Beragama … | 23


Selain menggunakan teknik korelasi, penelitian ini juga
menggunakan teknik regresi yang bertujuan untuk mencari berapa
besar sumbangan variabel X (pemahaman masyarakat terhadap
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006) terhadap variabel Y (tingkat
kerukunan antar umat beragama).
Sebagaimana sebuah penelitian, penelitian ini terdiri dari
beberapa bagian sebagai berikut. Bagian Pertama adalah
Pendahuluan. Dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang
masalah, permasalahan, yang terdiri dari identifikasi masalah,
perumusan masalah dan pembatasan masalah, dilanjutkan dengan
studi terdahulu terkait dengan kerukunan antar umat beragama
dan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial keagamaan,
dilanjutkan dengan tujuan penelitian, manfaat/signifikansi
penelitian, metodologi penelitian yang mencakup sumber data
berupa data primer dan sekunder, populasi dan sampel penelitian
yakni masyarakat Mustika Jaya Bekasi, operasionalisasi variabel,
teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara,
dokumentasi, dan penyebaran kuesioner, sedangkan teknik analisa
data yakni menggunakan teknik korelasi Pearson dan teknik
regresi, dan ditutup dengan Sistematika Pembahasan.
Bagian Kedua, pembahasan tentang Kebijakan Negara
Dalam Pendekatan Stabilitas Sosial Umat Beragama. Bab ini
mendeskripsikan tentang upaya pemerintah dalam mengatur lalu
lintas sosial kehidupan umat beragama yang dijabarkan dengan sub
bab yakni peran dan fungsi agama yang mempunyai pengaruh
terhadap perubahan sosial; interaksi dan konflik sosial keagamaan
dimana interaksi sosial bangsa yang pluralis ini tidak terlepas dari
populasi heterogen yang berisikan keragaman budaya, ras, agama
dan lainnya yang membentuk seseorang mempunyai identitas diri
dan menjadikannya sebagai anggota dari suatu kelompok homogen
sehingga beridentitas sosial, dimana keragaman disini menjadi
salah satu penyebab konflik antar individu; kebijakan Negara dalam
kebebasan beragama yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945
menjadi pijakan dasar masyarakat untuk mendapatkan haknya
untuk menentukan pilihan sendiri dalam beragama dengan tetap
menyeimbangkan keteraturan dalam berkehidupan kebangsaan
dengan umat lainnya; pembahasan terakhir terkait peran
pemerintah dalam kerukunan antar umat beragama yang berpijak
pada landasan negara yang bersifat netral-aktif dalam kehidupan
keberagamaan, dimana negara atau pemerintah bukan hanya

24 | Rif’atul Hasanah
menjamin kebebasan beragama dari semua agama, tetapi juga
secara aktif mendorong pertumbuhan masing-masing agama tanpa
terkecuali dengan menganut teori koordinasi antara agama dan
negara yang mempunyai misi yang sama untuk menyejahterakan
umat beragama di Indonesia. Pada bahasan ini juga dideskripsikan
isi dari Peraturan Bersama Menteri No 9 dan 8 Tahun 2006 yang
menjadi objek kajian dalam penulisan penelitian ini.
Bagian Ketiga, tentang Gambaran Umum Wilayah Mustika
Jaya Bekasi yang diawali dengan potret pluralitas masyarakat
Mustika Jaya Bekasi dengan menampilkan tabel distribusi jumlah
penduduk per-kelurahan dan komposisi jumlah penduduk
masyarakat Mustika Jaya Bekasi berdasarkan agama dan jenis
kelamin, dilanjutkan dengan sarana peribadatan masyarakat
Mustika Jaya Bekasi yang mencakup sarana ibadat umat Islam
berupa masjid dan mushola, bagi umat Kristiani terdapat beberapa
gereja baik berupa bangunan gereja maupun dengan menyewa ruko
setempat yang dijadikan rumah ibadat sementara, sedangkan untuk
umat Hindu dan Budha tidak terdapat sarana peribadatan di
Kecamatan Mustika Jaya Bekasi. Dalam bab ini diakhiri dengan
Kebijakan Pemerintah Daerah Kota Bekasi yang merupakan tindak
lanjut dari PBM No. 9 dan 8 tahun 2006 berupa Peraturan Walikota
Bekasi Nomor: 16 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pemberian Izin
Pendirian Rumah Ibadat di Kota Bekasi dan Keputusan Walikota
Bekasi Nomor: 45/kep. 188-Solinbermas/VI/2008 tentang
Pembentukan Forum dan Dewan Penasehat Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) Kota Bekasi.
Bagian Keempat, memuat jawaban-jawaban dari
perumusan masalah terkait PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan
kerukunan masyarakat Mustika Jaya Bekasi dengan perincian dua
sub bahasan yakni hasil penelitian tentang pemahaman masyarakat
Mustika Jaya Bekasi terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan
kerukunan antar umat beragama masyarakat Mustika Jaya Bekasi.
Bagian Kelima, menampilkan hasil penelitian tentang
analisis pemahaman masyarakat terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006 dan Kerukunan Antar Umat Beragama yang menyajikan data
Variabel X dan Variabel Y beserta sub-sub pembahasan di dalam
variabel tersebut. Dalam bab ini membahas tentang pemahaman
masyarakat terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan kerukunan
antar umat beragama, Pemahaman Masyarakat terhadap Tugas
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan Kerukunan Antar Umat

Kerukunan Umat Beragama … | 25


Beragama, Pemahaman Masyarakat terhadap Pemberdayaan FKUB
dan Kerukunan Antar Umat Beragama, serta Pemahaman
Masyarakat terhadap Pendirian Rumah Ibadat dan Kerukunan
Antar Umat Beragama.
Bab Keenam, merupakan Penutup berupa Kesimpulan dan
Saran. Bab ini menyimpulkan seluruh pembahasan yang menjadi
permasalahan penelitian dan saran-saran penulis kepada para
penyusun kebijakan baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
daerah lainnya terkait Kerukunan Antar umat Beragama.

26 | Rif’atul Hasanah
Bagian KEDUA
KEBIJAKAN NEGARA
DALAM PENDEKATAN
STABILITAS SOSIAL UMAT
BERAGAMA

M
erujuk pada teori kontrak sosial yang dicanangkan oleh
JJ. Rousseau, Hobbes, dan Locke, bahwa negara adalah
suatu bentuk perjanjian atau kontrak sosial oleh warga
negara,1 maka dengan sendirinya negara -yang
dijalankan oleh Pemerintah- adalah suatu institusi yang
pertama-tama berkewajiban menjamin hak dan kebebasan warga
negara dalam memperoleh kehidupan yang layak, seperti
kebebasan menganut suatu agama dan menjalankan peribadatan
sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Dalam membangun
suatu kerukunan antar umat beragama, bukan saja faktor ideologi
dan budaya yang diperlukan, namun faktor aturan sosial yang
mengikat dari Pemerintah juga ikut memberikan kontribusi dalam
mempertahankan kerukunan. Jika posisi dan peraturan yang
dicetuskan oleh pemerintah sesuai dengan kondisi masyarakat,
maka akan tercipta dan terpelihara keadaan yang rukun di dalam
kehidupan sosial keberagamaan masyarakat Indonesia yang plural.

1
A. John Simmons, “Political Consent” dalam Christopher W. Morris
(editor), The Social Contract Theorists: Critical Essays on Hobbes, Locke, and
Rousseau (Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, 1999), 131.

Kerukunan Umat Beragama … | 27


A. Agama dan Perubahan Sosial
Para Sosiolog mendefinisikan bahwa agama merupakan suatu
sistem yang terdiri dari simbol, kepercayaan, nilai, dan praktik
dimana para penganutnya menginterpretasikan apa yang mereka
rasakan sebagai suatu kesakralan dan agama dianggap dapat
menjawab suatu pertanyaan-pertanyaan yang paling berarti.2
Menurut Margaret L. Anderson, agama jika dihubungkan
dengan masyarakat tidak lepas dari dua peran yang mengikatnya,
yakni sebagai faktor integrasi dan faktor disintegrasi.3 Sebagai
faktor integrasi, agama dipandang sebagai nilai yang diwahyukan
oleh Tuhan untuk kehidupan manusia. Ia diyakini sebagai jalan
keselamatan. Agama memiliki dimensi vertikal (ritual) dan dimensi
horizontal (sosial) yang tidak sekedar mengajarkan keyakinan
eskatologis yang berorientasi kepentingan akhirat semata, akan
tetapi mengajarkan juga substansi kehidupan yang normatif di
dunia.
Di sisi lain agama sebagai faktor disintegrasi berlaku bila ada
penafsiran agama yang salah.4 Dalam hal ini, tidak bisa disalahkan
suatu ajaran agama, karena pada dasarnya agama adalah sesuatu
yang suci. Mungkin manusialah sebagai pemeluknya, baik secara
individu maupun kolektif yang menyelewengkan maknanya.

2
Margaret L. Andersen dan Howard F. Taylor, Sociology: Understanding a
Diverse Society (Belmont: Thomson Wadsworth, 2006), 448.
3
Margaret L. Andersen dan Howard F. Taylor, Sociology: Understanding a
Diverse Society, 447.
4
Penggunaan agama sebagai sistem acuan nilai bagi sikap dan tindakan
dapat mengarah kepada peneguhan integrasi masyarakat, khususnya pada
masyarakat yang beragama homogen dan yang memahaminya secara homogen
pula. Namun, konflik atau disintegrasi bisa juga terjadi ketika kelompok tertentu
pada masyarakat tersebut mengembangkan paham atau aliran keagamaan baru
yang cenderung mengembangkan sistem acuan nilai sendiri. Dalam situasi inilah
biasanya muncul ketidakrukunan di kalangan pemeluk suatu agama. Pada
masyarakat heterogen dari segi agama, penggunaan agama sebagai sistem acuan
nilai, dapat mengarah kepada konflik dan disintegrasi sosial, kecuali apabila
masing-masing umat beragama dapat mengembangkan penafsiran keagamaan
yang mempertemukan kesamaan yang terdapat pada masing-masing sistem acuan.
Lihat M. Zainuddin Daulay dalam Kata Sambutan dalam Riuh di Beranda Satu:
Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Bagian Proyek
Peningkatan pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Achmad Syahid dan
Zainudin Daulay (editor), Departemen Agama RI, 2002).

28 | Rif’atul Hasanah
Ditambah lagi masyarakat merupakan tempat tumbuh suburnya
konflik.5
Jika merujuk pada Al-Qur’an, ada beberapa ayat yang bisa
digunakan sebagai argumen bahwa penyebab konflik sesungguhnya
adalah manusia. Dalam surat Ar-Ru>m ayat 41:
          

    


Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian
dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar”.
(Q.S. Ar-Ru>m: 41).
Menurut Eric Brahm, agama adalah suatu yang penting,
karena merupakan pusat dari identitas banyak orang. Setiap
ancaman terhadap keyakinan seseorang adalah ancaman bagi
kelompok mereka, namun agama sering sekali menjadi masalah
yang diperdebatkan. Hubungan antara agama dengan konflik,
dalam kenyataannya, sesuatu yang kompleks.6 Dalam konteks lokal,
kita dapat menyaksikan konflik dan pertentangan yang
mengatasnamakan agama yang terjadi di Ambon, Poso, dan pada
masyarakat Dayak.
Dalam salah satu statemen yang dikeluarkan Kementerian
Agama tahun 1951 (saat itu Menteri Agama dijabat oleh K.H.A.
Wahid Hasjim), antara lain, dikemukakan bahwa agama adalah
salah satu soal dan faktor yang sangat penting dan meresap dalam
kehidupan bangsa Indonesia dalam abad-abad dan masa ke masa.
Dalam pertumbuhannya yang sehat, ia dapat membangun,
mendamaikan, dan menyatukan, dapat menjadi benteng
pertahanan moral dan jadi motor revolusi di masa yang lalu.
Sebaliknya, dalam pertumbuhannya yang tidak sehat, ia dapat
memecah belah, menyebarkan benih kebencian dan kekacauan di

5
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2002), 148.
6
Eric Brahm, Religion and Conflict, November 2005, diambil dari
http://www.beyondintractability.org/bi-essay/religion-and-conflict, tanggal 16
April 2012.

Kerukunan Umat Beragama … | 29


kalangan umat, bisa menjerumuskan kemerdekaan bangsa ke arah
kehancuran.7
Sejalan dengan ini, menurut Arif Budiman, sebagaimana
yang dikutip oleh Amir Fadhilah, agama dapat dilihat dalam dua
kategori. Pertama, agama sebagai keimanan (doktrin), dimana
orang percaya terhadap kehidupan kekal di kemudian hari, lalu
orang mengabdikan dirinya untuk kepercayaannya tersebut. Kedua,
agama sebagai yang mempengaruhi perilaku manusia, yang identik
dengan kebudayaan. Secara sederhana, Arif Budiman melihat
agama sebagai suatu sistem kepercayaan yang mengikat dan
mempengaruhi manusia. Hal ini sejalan dengan Durkheim yang
melihat agama tidak lain sebagai proyeksi masyarakat sendiri
dalam kesadaran manusia. Selama masyarakat masih berlangsung,
agama pun akan tetap lestari.8
Berkaitan dengan agama dan masyarakat, yang tidak lepas
dari struktur sosial, kita akan sering menemui adanya
penggolongan orang menurut negara, ras, kelas sosial, pekerjaan,
jenis kelamin, etnis, agama, dan sebagainya. Pengklasifikasian itu
merupakan bukti nyata adanya bentuk struktur sosial yang
mengarah pada pengkhasan di dalam kehidupan sebuah
masyarakat. Kondisi ini dapat memperkuat interaksi dan hubungan
sosial antar kelompok.9
Selo Soemardjan menyatakan bahwa perubahan sosial
sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan
di dalam suatu masyarakat, yang memengaruhi sistem sosialnya,
termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat. Sejalan dengan pendapat
tersebut, Parsudi Suparlan juga menyatakan bahwa perubahan
sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan pola-pola
hubungan sosial, yang antara lain mencakup sistem status dan

7
Afif Muhammad, Agama dan Konflik Sosial: Studi Pengalaman Indonesia
(Bandung: Marja, 2013), 107.
8
Lihat Amir Fadhilah, “Dilema Pluralisme Agama Antara Konflik Sosial
Dan Integrasi Sosial” dalam Ali Nurdin dan Abd. Aziz Hasibuan, Islam dan
Prospek Keberagamaan Di Indonesia (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 94-95.
9
Silfia Hanani, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama (Bandung:
Humaniora, 2011), 81.

30 | Rif’atul Hasanah
peranan, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem
politik dan kekuasaan serta persebaran penduduk.10
Kingsley Davis, yang dikutip Yudha Triguna mengartikan
perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam
struktur dan fungsi masyarakat. Sementara Gilin menyatakan
perubahan sosial adalah variasi dan cara-cara hidup yang telah
diterima disebabkan oleh adanya perubahan geografis, kebudayaan
material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya
difusi. Dalam makna yang sama, Samuel Koening mengatakan
perubahan sosial sebagai modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam
pola-pola kehidupan masyarakat.11
Perubahan sosial yang dimaksud adalah menyangkut
perbedaan-perbedaan yang muncul silih berganti dan dialami oleh
sistem-sistem sosial masyarakat yang mencakup pranata-pranata
sosial; peran-peran; hubungan-hubungan antar manusia yang
terpola dan nilai-nilai.12 Dalam hidup bermasyarakat, manusia
mengalami perubahan-perubahan, baik dikarenakan faktor agama,
lingkungan, pendidikan, dan lainnya. Perubahan tersebut tidak saja
menjadikan kesesuaian antara individu-individu di masyarakat,
namun juga memunculkan konflik sosial.13
10
I Nyoman Astawa, “Peranan Tradisi Bali Terhadap Kerukunan Hidup
Beragama dan Terhadap Ketahanan Wilayah DKI Jakarta” (Jakarta: Tesis
Pascasarjana UI, 2005), 34.
11
Yudha Triguna, “Masyarakat Hindu dan Perubahan Sosial”. Modul III
Penyetaraan Guru-Guru Agama Hindu se-Indonesia, Universitas Terbuka Jakarta,
1992/1993, 24.
12
Abdul Aziz, Esai-Esai Sosiologi Agama (Jakarta: Diva Pustaka, 2006),40.
13
Dalam hal ini, masyarakat ini bisa dilihat dari dua teori sosial, yakni teori
konflik dan teori fungsionalisme struktural. Teori konflik Ralp Dahrendorf ini
dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori
fungsionalisme struktural Talcott Parson. Jika dalam teori fungsionalisme
struktural, masyarakat berada dalam kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam
kondisi keseimbangan, maka menurut teori konflik justru sebaliknya. Masyarakat
senantiasa berada dalam proses perubahan yang terus menerus diantara unsur-
unsurnya. Jika menurut teori fungsionalisme struktural setiap elemen atau setiap
institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas, maka teori konflik melihat
bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Jika
menurut teori fungsionalisme struktural anggota masyarakat terikat secara
informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum, maka teori konflik
menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan
karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang
berkuasa. Teori fungsionalisme struktural ini juga bisa dikategorikan dalam teori
perubahan sosial perspektif equilibrium, yang mengatakan bahwa masyarakat itu

Kerukunan Umat Beragama … | 31


Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat merupakan
hal yang tidak bisa terlepas dari keterikatannya dengan adanya
agama, dengan demikian agama adalah faktor penting dalam
perubahan sosial. Hal ini dikarenakan adanya proses internalisasi
ajaran-ajaran agama ke dalam diri individu sehingga menjadi sikap
keberagamaan dalam kehidupan sosial. Efek yang amat dalam dari
agama pada masyarakat dan perilaku manusia, mudah diamati
dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya, acara pernikahan
yang berbau unsur agama, program di berbagai media yang meliput
tentang acara keagamaan, dan lainnya.
Dalam hal agama dan perubahan sosial, seperti terminologi
Scott Appleby yakni semua agama mempunyai dua potensi yang
biasa disebut ambivalensi kesakralan yang dianggap sebagai
sumber konflik dan inspirasi kedamaian.14 Disposisi agama pada
satu sisi dapat menjadi penentang perubahan dan pada sisi lain
dapat menjadi pendorong adanya perubahan sosial yang dapat
berakibat atau berdampak positif ataupun negatif.

B. Interaksi dan Konflik Sosial Keagamaan


Dalam fitrahnya, manusia tidak bisa hidup sendiri, lazimnya
manusia hidup dalam kelompok, baik kelompok kecil seperti suku-
suku maupun kelompok besar yakni berada dalam suatu negara.
Dalam proses perjalanan hidupnya, manusia adalah makhluk sosial
yang membutuhkan orang lain. Manusia atau individu berinteraksi
dengan individu lainnya dalam kehidupan sosial. Bagi masyarakat
Indonesia yang pluralis, berpenduduk majemuk dari segi etnis,
bahasa, suku, dan agamanya, proses interaksi antar masyarakat

bertahan keberlangsungannya karena terjadinya consensus-konsensus antara


bagian-bagian yang ada di dalamnya. Lihat Amir Fadhilah, “Dilema Pluralisme
Agama Antara Konflik Sosial dan Integrasi Sosial”, 87. Lihat juga M. Atho
Mudzhar, Menjaga Aswaja dan Kerukunan Umat (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2012), 95.
14
R. Scott Appleby, The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence,
and Reconciliation (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2000), 31. Hal yang
sama dikemukakan oleh Truth and Reconciliation Commission of Liberia dalam
Final Report of the Truth and Reconciliation Commisions of Liberia Vol. 3:
Appendices, Title IV: "The Conflict, Religion and Tradition", “The Role of
Religious and Traditional Institutions during Conflict and Peacebuilding” Online
Jornal of Religion, Conflict, and Peace Volume 5. Issue 1, Fall 2011,
http://www.religionconflictpeace.org/volume-5-issue-1-fall-2011/role-religious-
and-traditional-institutions-during-conflict-and (diakses pada 17 Juni 2013).

32 | Rif’atul Hasanah
yang mempunyai perbedaan latar belakang tersebut menjadi kian
kompleks, tidak saja proses penyesuaian yang muncul namun juga
ada saja ketidakteraturan atau konflik yang mengakibatkan kearah
perpecahan suatu kelompok.
Suatu konflik yang terjadi pada masyarakat memang tidak
dapat dihindari. Konflik memang dapat membuat kerusakan pada
struktur sosial namun pada saat yang bersamaan konflik dapat
berdampak positif, yakni adanya saling menguatkan identitas
sosial. Perubahan sosial dalam masyarakat tidak saja terjadi karena
adanya penyesuaian nilai-nilai atau keteraturan dalam masyarakat
namun juga terjadi disebabkan karena adanya konflik-konflik
kepentingan yang pada titik tertentu, masyarakat mampu
mencapai sebuah kesepakatan bersama.15
Secara konseptual, konflik diartikan dengan adanya
pertentangan dua hal atau lebih yang secara nyata atau
tersembunyi sebagai akibat ketidaksamaan kebutuhan,
kepentingan, dan kekuasaan. Konflik dalam pengertian ini
diartikan sebagai perwujudan atau manifestasi lebih lanjut dari
adanya kepentingan yang berbeda. Konflik terjadi di setiap lini
kehidupan, mulai dari skala kecil yang bersifat personal, antar
personal sampai konflik sosial antar kelompok.16
Konflik dalam skala besar mengikutsertakan beberapa
kelompok masyarakat, konflik ini juga bisa dikatakan sebagai
tingkah laku kolektif. Biasanya gejala yang termasuk dalam
kategori tingkah laku kolektif ini dapat ditemui pada berbagai
situasi seperti reaksi orang ketika kerjadi bencana alam, kerusuhan

15
Lihat Lewis Coser,The Functions of Social Conflict (New York: Free
Press, 1956) 151-210.
16
Banyak hal yang menyebabkan konflik. Selain karena kepentingan
politik, etnis, politisasi agama, serta kurangnya tingkat toleransi antar individu,
konflik dalam skala kecil juga disebabkan oleh ketidakterpenuhinya kebutuhan
dasar manusia. Teori kebutuhan manusia yang diasung oleh John Burton ini
menyatakan bahwa kebutuhan dasar manusia adalah unsur mutlak dalam
pemenuhan kesejahteraan manusia. Konflik dan kekerasan akan muncul apabila
satu pihak merasa bahwa kelompok lain menghalangi pemenuhan kebutuhannya.
Konflik identitas merupakan kebutuhan yang tidak dapat di negosiasikan karena
identitas merupakan hal yang bersifat mendasar. Lihat David J Dunn, From Power
Politics to Conflict Resolution: The Work of John Burton (London: Palgrave
Macmillan, 2004) diambil dari
http://www.labshop.com.au/dougcocks/BURTONREVIEW, tanggal 22 Juli 2013
dan Lihat John Sheldrake, Management Theory (London: Thomson, 2003), 134.

Kerukunan Umat Beragama … | 33


sosial, gerakan sosial yang radikal yang dijalankan secara damai,
kepanikan, sampai dengan revolusi. Individu-individu yang terlibat
dalam suatu kerusuhan sosial pada mulanya merupakan para
individu yang tunduk hukum, tidak menyukai kekerasan dan sadar
akan konsekuensi dikenai sanksi hukum bila melakukan tindak
kekerasan, namun dalam situasi problematis ketika individu-
individu tersebut terlibat dalam suatu tingkah laku kolektif seperti
kerusuhan sosial, secara tiba-tiba saja mereka melakukan tindakan
yang sehari-hari mereka cela dan mereka hindari.
Menurut Neil J. Smelser, ada 6 (enam) faktor penentu bagi
munculnya tingkah laku kolektif, yaitu17:
1. Pendorong struktural, yaitu suatu kondisi struktural masyarakat
yang mempunyai potensi bagi timbulnya tingkah laku kolektif.
Semakin heterogen suatu masyarakat, semakin kondusif
heterogenitas masyarakat tersebut bagi munculnya kerusuhan
sosial.
2. Ketegangan struktural, yaitu suatu kondisi ketegangan yang
diakibatkan oleh kenyataan struktur masyarakat seperti
ketidakpastian, penindasan, konflik, kesenjangan. Kondisi
ketegangan tersebut merupakan kondisi yang potensial bagi
tumbuhnya kerusuhan sosial.
3. Pertumbuhan dan penyebarluasan kepercayaan umum, yaitu
suatu proses ketika ketegangan struktural menjadi bermakna
bagi para calon pelaku tindakan kolektif. Ketika suatu kelompok
masyarakat merasakan diperlakukan secara tidak adil dalam
berbagai aspek, atau ketika suatu kelompok masyarakat
mengalami ketidakserasian atau konflik dengan kelompok lain,
mereka akan mencoba sumber-sumber yang dianggap sebagai
pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya kondisi
ketegangan tersebut.
4. Faktor pencetus, merupakan faktor situasional yang menegaskan
pendorong struktural, ketegangan struktural dan kepercayaan
umum tentang sumber ketegangan yang memicu timbulnya
tingkah laku kolektif.

17
Neil J.Smelser, Theory of Collective Behavior (New York: The Free
Press, 1965), Cet. III, 15-17. Lihat juga Muhammad Mustofa, “Memahami
Kerusuhan Sosial, Suatu Kendala Menuju Masyarakat Madani’,Jurnal
Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. 1 September 2000: 10-19 diunduh dari
http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1231/1136tanggal23Maret
2014.

34 | Rif’atul Hasanah
5. Mobilisasi pemeran serta atau dukungan massa untuk bertindak.
Untuk menggerakkan massa dalam kerusuhan sosial diperlukan
adanya pemimpin yang menggerakkan massa tersebut.
6. Bekerjanya pengendalian sosial, adalah suatu tahapan yang
penting yang sebetulnya dapat dimanfaatkan untuk mencegah
pecahnya suatu kerusuhan sosial.
Konflik dapat dikatakan sebagai salah satu bagian dari
proses sosialisasi atau interaksi sosial. Interaksi disini menjadi
konfliktual manakala mengungkap kontradiksi, gesekan, dan
perebutan.18 Banyak konflik sosial yang terjadi di masyarakat
Indonesia disebabkan beberapa hal, salah satunya adalah agama.
Meskipun agama bukanlah faktor pemicu konflik sebenarnya,
namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa faktor agama ada di
dalamnya. Hal ini karena agama memiliki sensitivitas yang tinggi,
karena menyangkut keyakinan seseorang yang bersifat
transendental. Dengan legitimasi nuansa agama, masyarakat akan
mudah terprovokasi, sehingga masalah non agamapun dapat
memicu konflik antar umat beragama.19

18
Lihat Khamami Zada, A. Fawaid Sjadzili, dkk, Prakarsa Perdamaian
(Jakarta: PP Lakpesdam NU, 2008), 29.
19
Salah satu contoh konflik sosial bernuansa agama di Indonesia yakni
perang sipil yang berlangsung kurang lebih selama empat tahun di Maluku dan
Sulawesi Tengah, antara tahun 1999-2002. Sebab-sebab yang menjadi latar
belakang tindak kekerasan di dua daerah tersebut sangat kompleks, sebagian
penyebabnya adalah kembali kepada sejarah atau bahkan budaya masyarakat
setempat dimana orang Maluku adalah petarung dan mempunyai kebiasaan untuk
berperang antar desa. Meskipun konflik ini merupakan bentuk lain dari kekerasan
anti terhadap kaum minoritas, sebab-sebab lain kemunculannya lebih disebabkan
oleh faktor politik, ekonomi dan komunal, dan yang menyebabkan konflik ini
menjadi semakin parah adalah penyederhanaan konflik menjadi konflik antara
umat Islam dan Kristen. Oleh karena itu, kebencian antar umat beragama
berkembang dan muncul pada momentum yang tepat. Namun demikian, meskipun
konflik ini merupakan konflik antaranggota masyarakat dengan alasan agama,
konflik yang terjadi tidak ada kaitannya dengan ajaran agama, baik Islam ataupun
Kristen. Lihat Franz Magnis-Suseno SJ, “Kerukunan Beragama dalam Keragaman
Agama: Kasus di Indonesia dalam Harmoni Kehidupan Beragama: Problem,
Praktik & Pendidikan, Alef Theria Wasim, dkk (editor) (Yogyakarta: Oasis
Publisher, 2005), 12-13. Lihat juga Ahsanul Khalikin, “Peta Kerukunan Di DKI
Jakarta” dalam Achmad Syahid dan Zainudin Daulay (editor), Riuh di Beranda
Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia(Jakarta: Bagian Proyek
Peningkatan pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Departemen Agama
RI, 2002), 68.

Kerukunan Umat Beragama … | 35


Seringkali konflik yang terjadi dibungkus dengan “jubah”
agama, sementara agama juga mempunyai ajaran yang berharga
yakni mengajarkan perdamaian. Agama selalu saja mempunyai
tantangan dari para penganutnya, padahal agama mengajarkan
setidaknya para penganutnya tersebut mempunyai rasa iba, empati,
saling memaafkan, selalu rukun dan saling menyesuaikan dalam
setiap suasana dengan penganut agama lainnya.20
Dengan adanya ambivalensi kesakralan atau dua fungsi
agama tersebut, para sosiolog agama termasuk di antaranya Elbert
W. Stewart dan James A. Glynn, cenderung menekankan
pentingnya nilai-nilai bersama sebagai dasar stabilitas sosial dan
organisasi. Mereka melihat konflik merupakan suatu bentuk
penyimpangan. Para sosiolog agama melihat agama adalah sistem
budaya yang dapat membawa orang bersama-sama dalam satu
tujuan umum yang hendak dicapainya. Agama dapat memberikan
kontribusi untuk keseluruhan kesejahteraan dan ketertiban
masyarakat21 meskipun tetap saja gesekan-gesekan bernuansa
agama itupun tidak bisa terhindarkan.
Menurut Amir Fadhilah, terdapat beberapa faktor yang
dapat mendorong timbulnya konflik sosial keagamaan, yaitu:
1. Sifat dari masing-masing agama yang mendorong atau
mendukung adanya tugas dakwah atau misi penyebaran
ajarannya.
2. Kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan
agamanya dan toleransi antar umat beragama dalam
kehidupan bermasyarakat.

20
R. Scott Appleby, The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence,
and Reconciliation, 31.
21
William H. Swatos, Jr. (editor), Encyclopedia of Religion and Society
(United Kingdom: AltaMira Press, 1998), 113. Di satu sisi, para sosiolog yang
lain juga mengatakan bahwa “agama di samping berfungsi sebagai pemersatu juga
pemecah belah.” Di antara faktor yang mendorong terjadinya konflik antar agama
tersebut adalah perbedaan doktrin ajaran agama. Para sosiolog yang berpendapat
demikian adalah Elbert W. Stewart dan James A. Glynn, yang menunjuk bukti
bahwa terjadinya perselisihan orang-orang Kristen dengan orang-orang Islam di
sekitar Mediterania, serta terjadinya Perang Salib, dimana orang-orang Kristen
menduduki daerah Islam. Demikian pula Lester R. Kurtz, yang mengatakan
kombinasi perbedaan ajaran ditambah faktor lainnya, dapat memicu dengan
mudah konflik agama. Lihat Elbert W. Stewart dan James A. Glynn, Introduction
to Sociology (New York: McGrow Hill Company, 1975), 274. Lihat juga Lester
R. Kurtz, Gods in The Global Village (California: Pine Forge Press, 1995), 212.

36 | Rif’atul Hasanah
3. Kurang saling pengertian dalam menghadapi perbedaan yang
ada, baik intern umat beragama ataupun antar umat beragama.
4. Kecurigaan yang berlebihan terhadap pihak lain, baik intern
umat beragama ataupun antar umat beragama.
5. Kekhawatiran akan terdesak oleh pemeluk agama lain.
6. Kurang adanya komunikasi antar pemimpin masing-masing
umat beragama.
7. Pemahaman yang kurang akan peraturan perundang-
undangan yang dikeluarkan pemerintah.22
Menurut Ghazali, ada tiga faktor yang menjadi akar dan
sumber konflik dalam hubungan kerukunan antar umat beragama.
Faktor pertama adalah problem penafsiran. Persoalan agama yang
sering muncul terletak pada problem dalam penafsiran suatu ajaran
normatif agama dan bukan pada benar tidaknya suatu agama dan
wahyu Tuhan itu sendiri. Dalam hal ini, tidak saja pihak yang
terlibat konflik muncul dari kalangan penganut agama yang
berbeda, melainkan juga dari satu agama namun mempunyai
penafsiran yang berbeda. Faktor kedua adalah klaim kebenaran.
Setiap agama memiliki kebenaran, yakni keyakinan tentang yang
benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu-satunya sumber
kebenaran. Dalam tataran sosiologis, klaim kebenaran berubah
menjadi simbol agama yang dipahami secara subjektif personal oleh
setiap pemeluk agama. Faktor ketiga adalah berlakunya standar
ganda. Masing-masing pemeluk agama mempunyai standar yang
berbeda ketika mereka bergaul dengan sesama kelompoknya
ataupun berbeda kelompok.23
Hal serupa juga dilontarkan oleh Ma’arif Jamu’in, yang
menurutnya variabel utama dalam kekerasan agama adalah klaim
kebenaran, teologi, dan peranan agama. Untuk mengatasi masalah
konflik agama ini, jalan yang dapat ditempuh adalah mereduksi
klaim kebenaran dan menyelenggarakan dialog antar agama.24
Salah satu bentuk dari klaim kebenaran dari setiap agama
adalah ekslusifitas agama yang mengajarkan keistimewaan,

22
Amir Fadhilah, “Dilema Pluralisme Agama Antara Konflik Sosial dan
Integrasi Sosial”, 91.
23
Lihat Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan Dalam
Konteks Perbandingan Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 198-201.
24
Ma’arif Jamu’in, Resolusi Konflik Antar Etnik dan Agama (Yogyakarta:
CISCORE dan TAF, 1998), 83-92.

Kerukunan Umat Beragama … | 37


keunggulan dan semangat dominasi satu agama atas agama lain,
dan semangat ini dimiliki oleh seluruh pemeluk agama.25 Menurut
Hugh Goddard, akar pertentangan antar agama adalah karena
agama menetapkan standar ganda (double standars) dalam menilai
dirinya dengan agama lain. Agama akan menilai dirinya dengan
standar ideal normatif, sedangkan terhadap agama lain, ia akan
memakai standar yang lebih bersifat realistis dan historis. Standar
ganda ini memunculkan prasangka-prasangka teologis yang
kemudian memperkeruh hubungan antar umat beragama.26
Di sisi lain, Arthur J.D’ Adamo mengungkapkan bahwa akar
konflik antar umat beragama berasal dari religions way of knowing.
Cara pandang pemeluk agama ini berangkat pada keyakinan bahwa
agama yang dianutnya: 1) bersifat konsisten dan berisi kebenaran-
kebenaran yang tanpa kesalahan sama sekali, 2) bersifat lengkap
dan final karenanya tidak diperlukan kebenaran dari agama lain, 3)
kebenaran agamanya sendiri dianggap satu-satunya jalan
keselamatan, pencerahan dan pembebasan, serta 4) seluruh
kebenaran diyakini original dari Tuhan, tidak ada konstruksi
manusia di dalamnya.27

25
Bentuk dari ekslusifitas agama yang mengajarkan keistimewaan masing-
masing agama terdapat pada doktrin di setiap agama, seperti dalam agama Islam,
ekslusifitas nampak pada doktrin agama yang benar di sisi Allah hanyalah agama
Islam yang terdapat dalam Q.S. Ali-Imron:19, sedangkan dalam agama Katolik
pun mengenal prinsip extra ecclesiam yakni extra ecclesiam nulla salus (tak ada
keselamatan di luar gereja), extra ecclesiam nullus propheta (tak ada Nabi diluar
Gereja), extra ecclesiam nulla gratia (tak ada rahmat diluar Gereja). Paham
serupa juga ada pada penganut Kristen Protestan seperti yang diungkap oleh
Martin Luther dalam karyanya Large Cathecism yang menyatakan bahwa orang-
orang yang berada di luar agama Kristen, baik orang Kafir, Turki, Yahudi maupun
Kristen yang salah (Katolik Roma), meskipun mereka beriman kepada satu Tuhan
yang benar (Muslim), mereka tetap berada dalam murka selamanya. Namun pada
perkembangan selanjutnya extra ecclesiam nulla salusbarudisanggah dalam konsili
Vatikan II 7 Desember 1965, yang menegaskan tentang kebebasan beragama yang
dimiliki manusia. Lihat A. Fajruddin Fatwa “Relasi Agama dalam Konflik Sosial”
dalam Resolusi Konflik Islam Indonesia, Thoha Hamim, dkk (editor) (Jogjakarta:
LKiS Pelangi Aksara, 2007), 55-56. Lihat juga Adnan Aslan, Menyingkap
Kebenaran: Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen Sayyed Hossein
Nasr & John Hick, terj. Munir (Bandung: Alifya, 2004), 252.
26
Budhy Munawar Rahman, “Resolusi Konflik Agama dan Masalah Klaim
Kebenaran” dalam Darai Keseragaman Menuju Keseragaman “Wacana
Multikultural Dalam Media” (Jakarta: LSPP, 1999), 131.
27
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), ix-x.

38 | Rif’atul Hasanah
Selain faktor doktrin keagamaan yang bersifat normatif,
faktor sosial keagamaan juga dapat menjadi penyebab konflik
seperti penyiaran agama, bantuan keagamaan dari luar negeri,
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, pengangkatan
anak, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan,
perawatan dan pemakaman jenazah, penodaan agama, kegiatan
kelompok sempalan, transparansi informasi keagamaan dan
pendirian rumah ibadat.28
Konflik sosial keagamaan ini disebabkan karena setiap
individu memerlukan identitas khusus yang akan memberinya sense
of belonging dan eksistensi sosial, identitas tersebut tidak hanya
bersifat individu namum juga berkembang menjadi identitas
kelompok.29
Dengan adanya indentitas sosial yang berbeda antara suatu
kelompok tertentu dengan kelompok lainnya, maka seringkali
interaksi antar kelompok tersebut mengakibatkan ketidak-
sepahaman yang dapat mengarah kepada konflik sosial. Hal ini
sesuai dengan penelusuran Johan Galtung, dimana ada empat jenis
kebutuhan yang berkaitan dengan perilaku kekerasan, yakni (1)
kebutuhan untuk hidup, (2) kebutuhan atas kesejahteraan, (3)
kebutuhan atas identitas, dan (4) kebutuhan akan kebebasan. Jika
kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka akan

28
Dalam penyebaran ajaran agama, dibagi menjadi dua karakter
penyebaran, yakni agama siar dan agama non siar. Agama siar mewajibkan
pemeluk agama untuk menyebarkan ajaran agama mereka, sedangkan pemeluk
agama non siar tidak wajib menyebarkan agama kepada pihak lain. Dengan hal
ini, muncul nya gejala negatif pendekatan numerik –mayoritas vis-a-vis minoritas-
dalam penyebaran agama. Kesuksesan misi agama dikaitkan dengan tolak ukur
kuantitas pengikut agama berdasarkan statistik angka-angka, padahal seharusnya
kesuksesan misi agama harus diukur dari seberapa besar pengaruh positif
moralitas agama dalam masyarakat. Lihat A. Fajruddin Fatwa “Relasi Agama
dalam Konflik Sosial” dalam Resolusi Konflik Islam Indonesia, 57; Muhammad
M. Basyuni, Esai-Esai Keagamaan (Jakarta: FDK Press, 2008), 11.
29
Identitas sosial ini menjadi bagian dari kesadaran individu sebagai
anggota suatu kelompok sosial, dimana dalam kelompok sosial tersebut tercakup
nilai-nilai dan emosi yang melekat di dalam diri setiap individu sebagai
anggotanya. Lihat Silfia Hanani, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama
(Bandung: Humaniora, 2011), 81.

Kerukunan Umat Beragama … | 39


berdampak munculnya kekerasan, baik kekerasan langsung,
kekerasan struktural, maupun kekerasan kultural.30
Dalam hal ini contoh interaksi suatu kelompok minoritas
dengan kelompok mayoritas yang mempunyai perbedaan identitas
agama dapat dilihat dari interaksi kaum kristiani yang berada
dalam wilayah kaum mayoritas muslim atau sebaliknya. Terkadang
ada saja ketidakharmonisan dalam menjalankan masing-masing
peribadatan seperti kasus di wilayah Mustika Jaya Bekasi. Berawal
dari perselisihan kasus pendirian rumah ibadat HKBP Pondok
Timur Indah (PTI) yang akan didirikan di tengah pemukiman
mayoritas muslim, masyarakat kristiani yang beridentitas
minoritas pada daerah tersebut merasa sulit untuk mendirikan
rumah peribadatan yang sejatinya untuk kepentingan peribadatan
jamaat dengan Tuhannya.

C. Kebijakan Negara Dalam Kebebasan Beragama


Kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang
mendapatkan perhatian serius dari dunia internasional. Dalam
Pasal 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dinyatakan
secara jelas bahwa: “Setiap orang berhak atas semua hak dan
kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam deklarasi ini
dengan tidak ada pengecualian apapun, seperti pembedaan ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan
lain, asal usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik,
kelahiran ataupun kedudukan lain.”31
Dalam Pasal 18 DUHAM juga secara tegas disebutkan bahwa
“setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan
agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau
kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau
kepercayaan dengan cara mengerjakannya, melakukannya,
beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, dimuka umum maupun sendiri.”

30
Lebih jelasnya lihat Johan Galtung dengan teorinya yakni Teori
kekerasan pada Johan Galtung, "Violence, Peace, and Peace Research" Journal of
Peace Research, Vol. 6, No. 3 (1969).
31
Lihat Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 2. Diunduh dari
http://www.kontras.org/baru/Deklarasi%20Universal%20HAM.pdf pada tanggal
12 Mei 2012.

40 | Rif’atul Hasanah
Kebebasan beragama juga diatur dalam International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)32 tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik yang telah diratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 2005
yang diatur melalui Pasal 18 ayat (1, 2, 3, dan 4). Pada ayat (1)
dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,
keyakinan dan agama. Hak ini meliputi hak untuk menganut atau
memasuki suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri, serta
kebebasan untuk baik sendirian maupun bersama-sama dengan
orang lain, baik di hadapan umum maupun di tempat pribadi
mewujudkan agama dan kepercayaannya dengan pemujaan,
pentaatan, pengamalan dan pengajaran.” Pada ayat (2): “Tiada
seorangpun boleh dikenakan pemaksaan yang akan mengurangi,
mengganggu kebebasannya untuk menganut atau memasuki suatu
agama atau kepercayaan pilihannya sendiri.” Ayat (3): “Kebebasan
untuk menjalankan agama atau kepercayaan hanya akan dikenakan
pembatasan sebagaimana diatur dengan undang-undang, dan perlu
untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau
kesusilaan umum atau hak asasi dan kebebasan orang lain.” dan
pada ayat (4): “Para negara peserta kovenan ini berjanji untuk
dapat menghormati kebebasan orang tua (dimana dapat
diterapkan) para wali yang sah untuk memastikan bahwa
pendidikan agama dan budi pekerti anak sesuai dengan keyakinan
mereka sendiri.”
Selaras dengan DUHAM dan ICCPR, dalam UUD 1945
kebebasan beragama dijamin sepenuhnya di Indonesia berdasarkan
Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, yakni “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

32
Pada tahun 1951, Majelis Umum PBB dalam sidangnya meminta kepada
Komisi HAM PBB untuk merancang dua Kovenan tentang hak asasi manusia: (1)
Kovenan mengenai hak sipil dan politik; dan (2) Kovenan mengenai hak ekonomi,
sosial dan budaya. Tahun 2005 Indonesia meratifikasi International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Kovenan ini
menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama
serta perlindungan atas hak-hak tersebut. Dengan demikian tidak ada alasan bagi
negara untuk tidak menjamin kebebasan beragama dan memberikan perlindungan
bagi para pemeluknya. Lihat Novie Soegiharti, “Kajian Hegemoni Gramsci
TentangReaksi Sosial Formal Terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
di Indonesia (Studi Kasus SKB Tiga Menteri tentang Pelarangan
Ahmadiyah)”(Tesis Fisip UI, 2009), 13.

Kerukunan Umat Beragama … | 41


Dalam konteks DUHAM, kebebasan agama digolongkan sebagai
kategori hak asasi dasar manusia, bersifat mutlak dan berada dalam
“forum internum” yang merupakan wujud dari inner freedom
(freedom to be). Hak ini tergolong sebagai hak yang non derogable33
yang berarti hak yang secara spesifik dinyatakan di dalam
perjanjian hak asasi manusia sebagai hak yang tidak bisa
ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam situasi dan
kondisi apapun, termasuk dalam keadaan bahaya seperti perang
sipil atau invansi militer. Adapun kebebasan dalam kaitannya
dengan umat yang lain, seperti tindakan berdakwah atau
menyebarkan agama atau keyakinan dan mendirikan tempat
ibadah digolongkan ke dalam kebebasan bertindak (freedom to act).
Kebebasan beragama dalam bentuk ini diperbolehkan untuk
dibatasi dan bersifat bisa diatur atau ditangguhkan
pelaksanaannya.
Hal ini juga diutarakan oleh Mah}mu>d H}amdi> Zaqzu>q, yakni
ada beberapa hak sesama muslim yang terkandung dalam Al-
Qur’an, yakni kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, dan
demokrasi. 34
Kebebasan beragama berarti bahwa setiap orang bebas
memilih, mengganti dan mengamalkan agamanya sesuai dengan
keyakinannya (suara hati), asalkan ia tidak mengganggu hak orang
lain. Menganut agama tertentu tidak perlu dipertanggungjawabkan
kepada seseorang manusia, masyarakat atau pemerintah,
melainkan kepada Allah Yang Maha Tahu. Kebebasan ini
berdasarkan pada dua alasan pokok, yang saling berhubungan.
Pertama, manusia sebagai pribadi yang dikaruniai akal budi dan
kehendak bebas, sehingga mempunyai tanggung jawab pribadi,
yang tak dapat diambil oleh siapapun. Kedua, sifat iman yang sejati
bukanlah sekedar sikap menerima beberapa ajaran, tidak pula

33
Hak non derogable dipandang sebagai hak yang paling utama dari hak
asasi manusia. Lihat Novie Soegiharti, “Kajian Hegemoni Gramsci Tentang
Reaksi Sosial Formal Terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di
Indonesia”, 11.
34
Kebebasan beragama dalam Al-Qur’an diatur dalam Q.S. Al-Ma>’idah: 48,
Q.S. Al-An’a>m: 107, dan Q.S. Asy-Syu>ra: 48. Sedangkan Kebebasan menyatakan
pendapat dibahas dalam Q.S. S{ad: 75-83 dan Q.S. Al-A’ra>f: 14-17. Adapun
pembahasan tentang demokrasi di dalam Al-Quran banyak sekali, diantara dibahas
dalam Q.S. Al-Mudatsir: 38, Q.S. An-Najm: 38-41, dan Q.S. Al-Isra: 13-14. Lebih
lanjut lihat Mah}mu>d H}amdi> Zaqzu>q, Al-Tasa>muh} fi> al-H{ad}a>rah al-Isla>miyyah
(Kairo: Majlis al-A’la> li al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, 2004), 1011-1021.

42 | Rif’atul Hasanah
terbatas pada upacara-upacara ibadah saja dan tidak cukup
melaksanakan perintah-perintah Tuhan secara legalistis
menyetujuinya, melainkan hubungan pribadi dengan Tuhan,
penyerahan diri seluruhnya kepadaNya secara rela ikhlas.35
Indonesia tidak menganut paham sekular yang membuat
Negara dan pemerintah sama sekali tidak memperdulikan peri
kehidupan beragama. Tidak pula negara agama, yang memihak
kepada salah satu agama.36 Indonesia merupakan negara Pancasila
yang dalam hal penganutan agama menganut prinsip kebebasan,
termasuk untuk menyiarkan agama itu sendiri. Negara dan
pemerintah tidak menghalangi setiap golongan agama untuk
menyiarkan agama dan menyebarkan agamanya. Hal ini berarti
bahwa perjuangan untuk pemenuhan kebebasan beragama atau
berkeyakinan bagi setiap individu adalah perjuangan dan tanggung
jawab dari setiap pemerintah. Pemerintah memberikan hak berupa
kebebasan untuk memilih dan menjalankan peribadatannya
masing-masing, namun di lain pihak juga setiap individu
masyarakat mempunyai kewajiban untuk menjaga keteraturan atau
kestabilan sosial, yang tidak langsung juga menjaga hak asasi antar
umat yang berbeda agama.
Menurut Azyumardi Azra, puncak dari ‘teologi kerukunan’
Islam Indonesia adalah penerimaan Pancasila sebagai dasar negara
dan ideology nasional. Dalam konteks hubungan antar agama di
Indonesia, Pancasila dapat dikatakan merupakan perwujudan dari
panggilan mengembangkan kalimatun sawa.37
Pada esensinya, kebebasan beragama dan berkeyakinan
mengandung paling sedikit delapan komponen, yaitu: kebebasan
internal, kebebasan eksternal, tidak ada paksaan (non coercion),
tidak diskriminatif (non discrimination), hak orang tua dan wali,

35
AP. Budiyono HD, Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman 2
(Yogyakarta: Kanisius, 1983), 218.
36
Hal serupa juga dikatakan oleh B.J. Boland bahwa Indonesia bukanlah
Negara Islam, juga bukan Negara Sekuler, tetapi Indonesia menjadikan agama itu
merupakan urusan pribadi seseorang. Lihat B.J. Boland, The Struggle of Islam in
Modern Indonesia (Netherland: The Hague Martinus Nijhoff, 1971), 38.
37
Idris Thaha, “Doktrin dan Sejarah: Memperluas Cakrawala Pemikiran”
dalam Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia (Jakarta: Paramadina,
1999), xii.

Kerukunan Umat Beragama … | 43


kebebasan lembaga dan status legal, pembatasan yang dibolehkan
bagi kebebasan eksternal, dan non derogability.38
Dengan adanya delapan komponen kebebasan beragama
tersebut, seseorang memiliki sepenuhnya kebebasan memilih suatu
agama, tidak ada paksaan untuk menganut suatu agama dan bebas
menjalankan peribadatan sesuai dengan masing-masing ajaran
agama. Hak para jamaat pun dijamin dan dilindungi oleh Negara
baik sebagai anggota umat suatu agama maupun sebagai anggota
organisasi keagamaan, namun ketimpangan terjadi dalam
pelaksanaannya, karena adanya kesalahan dalam mengelola
pluralitas bangsa. Adanya diskriminasi antara mayoritas dan
minoritas berdasarkan komposisi jumlah pemeluk agama banyak
dirasakan, dan seringkali menjadi pemantik konflik yang serius.
Hal ini juga disebabkan ketika eksistensi diri diukur dengan
simbol-simbol agama; kesalehan diukur dengan simbol-simbol teks
suci; membunuh adalah perang dengan kejahatan; dan seterusnya.39
Kebebasan beragama hanya sebatas dalam keyakinan sang
penganut agama, sedangkan dalam hal tempat peribadatan dirasa
kurang adanya kebebasan untuk mendirikan tempat suci tersebut,
padahal rumah peribadatan juga sebagai salah satu dari eksistensi
bahwa dalam suatu wilayah tersebut terdapat suatu kelompok yang
membutuhkan fasilitas peribadatan tertentu. Fenomena
pengrusakan dan penolakan izin pendirian rumah ibadat banyak
terjadi di Negara ini.
Idealnya rumah ibadat difungsikan sebagai sentral kegiatan
keagamaan dan tempat strategis untuk peningkatan kerukunan
umat beragama. Rumah ibadat juga berperan penting dalam
peningkatan pendidikan keagamaan untuk anak-anak dan
masyarakat, kegiatan yang biasa diadakan antara lain adalah
perkumpulan, pengajian, dan diskusi untuk mempelajari kitab suci
yang mereka anut, dengan demikian rumah ibadat merupakan
suatu tempat yang menjadi pusat aktivitas para jamaatnya,40 namun

38
Novie Soegiharti, Kajian Hegemoni Gramsci Tentang Reaksi Sosial
Formal Terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, 13.
39
Nur Khalik Ridwan “Dalih Agama Untuk Kekerasan” dalam Abdul Qadir
Shaleh, “Agama” Kekerasan (Jogjakarta: PRISMASOPHIE Press, 2003), 29.
40
Di Amerika, rumah ibadat (gereja) menjadi sentral kegiatan keagamaan
untuk tetap mempertahankan ajaran agama dan penganutnya dengan mengadakan
berbagai kegiatan keagamaan seperti perkumpulan untuk mendiskusikan dan
mewarisi ajaran agama dengan mengajarkan anak-anak dan masyarakat tentang

44 | Rif’atul Hasanah
dalam penyiaran agamanya seringkali para pemuka agama tidak
memperhatikan aspek peningkatan kerukunan umat beragama.
Dengan demikian, kesan yang timbul adalah rumah ibadat dan
penyiaran agama dapat memicu ketidakharmonisan antar
penganut agama yang berbeda.41
Dengan adanya ketimpangan fungsi sosial rumah ibadat ini,
sudah seharusnya pemerintah atau negara mengatur lalu lintas
kehidupab keberagamaan warganya, yakni sesuai dengan teori
kontrak sosial yang dicanangkan oleh JJ. Rousseau, Hobbes, dan
Locke bahwa negara adalah suatu bentuk perjanjian atau kontrak

tradisi keagamaan ajaran mereka. Rumah ibadat juga diartikan sebagai simbol dari
suatu agama. Ketidaknyamanan pernah juga terjadi diantara jamaat, namun hanya
persoalan administratif saja yakni dalam hal gaji pastur. Lihat Penny Edgell
Becker, Congregation in Conflict Cultural Models of Local Religious Life (UK:
Cambridge University Press, 2004), 55-56 dan 70.
41
Hal ini merupakan hasil dari beberapa penelitian tentang fungsi sosial
rumah ibadat di Indonesia. Penelitian ini dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan
Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI
tahun 2003 yang dilakukan di enam daerah propinsi, yaitu: Sumatera Utara
(Medan), DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bali (Denpasar), Kalimantan Selatan
(Banjarmasin), dan Sulawesi Selatan (Makasar). Temuan dari penelitian adalah
ada dua jenis kegiatan keagamaan yang dilakukan, yakni kegiatan rohani dan
kegiatan yang bersifat duniawi. Lihat Bashori A. Hakim, dalam Pendahuluan,
Bashori A. Hakim dan Moh. Saleh Isre (editor), Fungsi Sosial Rumah Ibadat dari
Berbagai Agama Dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan,
Departemen Agama RI, 2004), 3. Kenyataan di lapangan, banyak kasus kebebasan
beragama yang terjadi dan hampir mengatasnamakan agama sebagai
penyebabnya. Bentuk konflik tersebut dapat berupa pengrusakan, penutupan,
bahkan sampai pada pembakaran rumah ibadat. Data dari The Wahid Institute
menyatakan bahwa sejak Indonesia merdeka sampai pada tahun 1997 ada sekitar
374 gereja di tutup, dibakar dan di rusak. Dari jumlah itu, data terbesar terjadi di
Jawa Timur 104 (27%), Jawa Barat 82 (22%), dan kemudian di Jawa Tengah 47
(13%). Kemudian disusul Sulawesi Tengah, Kalimantan, DKI, dan seterusnya.
Lihat Ahmad Suaedy, dkk, Politisasi Agama dan Konflik Komunal; Beberapa isu
Penting di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 247. Pada tahun 2009
SETARA Institute juga mencatat 200 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama
yang mengandung 291 jenis tindakan. Terdapat 10 wilayah dengan tingkat
pelanggaran tertinggi yaitu Jawa Barat (57 peristiwa), DKI Jakarta (38 peristiwa),
Jawa Timur (23 peristiwa), Banten (10 peristiwa) Nusa Tenggara Barat (9
peristiwa), Sumatera Selatan, Jawa Tengah, dan Bali masing-masing (8
peristiwa), dan berikutnya Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur masing-
masing (7 peristiwa). Lihat SETARA Institute, Tiga Tahun Laporan Kondisi
Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2007-2009 (Jakarta: Setara
Institute, 2009), 3.

Kerukunan Umat Beragama … | 45


sosial oleh warga negara.42 Oleh karena itu pemerintah wajib
melindungi hak para warga untuk bebas menjalankan perintah
agama yang dianutnya.
Dalam kaitan dengan hubungan antar umat beragama,
sudah dicontohkan pada zaman Rasulullah yakni apa yang diatur
dalam Piagam Madinah, yaitu ada dua landasan bagi kehidupan
bernegara. Pertama, semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari
banyak suku, tetap merupakan satu komunitas; Kedua, hubungan
antara sesama anggota komunitas Islam dan antara anggota
komunitas Islam dengan anggota komunitas-komunitas lain
didasarkan atas prinsip-prinsip: (a) bertetangga baik; (b) saling
membantu dalam menghadapi musuh bersama; (c) membela
mereka yang teraniaya; (d) saling menasehati; dan (e) menghormati
kebebasan beragama.43
Dengan substansi piagam tersebut dapat dikemukakan
bahwa hubungan antarumat beragama sudah diatur dalam
kehidupan Nabi Muhammad di Madinah sehingga sangat relevan
dengan konteks Indonesia dan dapat diaplikasikan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada zaman sekarang.

D. Peran Pemerintah Dalam Kerukunan Umat Beragama


Di sepanjang sejarah telah berkembang berbagai teori
tentang agama dan negara. Pada garis besarnya ada tiga teori
utama, yakni teori subordinasi, teori separasi dan teori koordinasi.44
Teori subordinasi meyakini bahwa kerukunan antara agama dan
negara akan tercapai maksimal apabila yang satu disubordinasikan
kepada yang lain. Dengan itu maka muncullah teori subordinasi
agama oleh negara atau yang biasa dikenal agama negara (state
religion) dan yang lain adalah teori subordinasi negara oleh agama
seperti yang lazim terjadi di negara-negara totaliter-religius atau
negara agama (religious state).
Lain halnya dengan teori subordinasi, teori separasi
menyatakan bahwa hubungan yang rukun antara agama dan

42
A. John Simmons, “Political Consent” dalam Christopher W. Morris
(editor), The Social Contract Theorists: Critical Essays on Hobbes, Locke, and
Rousseau (Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, 1999), 131.
43
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran
(Jakarta: UI Press, 1993), 15-16.
44
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan
kerukunan Hidup Umat Beragama (Jakarta: Departemen Agama RI, 1997), 89.

46 | Rif’atul Hasanah
negara akan tercipta apabila ada dua lembaga terpisah secara
mutlak. Dengan begitu diharapkan masing-masing mampu
melaksanakan fungsinya dengan baik dan oleh karena keduanya
terpisah mutlak, maka potensi konflik pun menjadi minimal. Teori
ini biasa dianut oleh negara-negara demokrasi liberal.
Teori yang ketiga adalah teori koordinasi, yang didalamnya
baik subordinasi maupun separasi mutlak ditolak dengan tegas.
Agama dan negara mempunyai fungsi pokoknya masing-masing.
Pada saat yang sama, dibalik perbedaan yang ada, keduanya
sebenarnya mempunyai misi pokok yang sama yakni
menyejahterakan umat manusia. Oleh karena itu, tidak mungkin
bila harus diseparasikan secara mutlak. Dalam stabilitas sosial umat
beragama, Indonesia menganut teori koordinasi dimana
pemerintah tidak memisahkan antara urusan agama dengan negara
atau berada dalam kedudukan yang sejajar. Negara adalah
manifestasi tertinggi dari otoritas yang memiliki kekuasaan untuk
membentuk aturan-aturan dalam mengelola berbagai persoalan
warganya, tidak hanya dalam hubungan politis, melainkan juga
hubungan-hubungan sosiologis.45
Di Indonesia, masalah yang sering dihadapi adalah
jangkauan pemerintah yang terbatas. Pemerintah dari pusat, sering
diibaratkan sebagai kerucut sinar, melemah di wilayah-wilayah tepi
negeri.46 Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia

45
Mengenai hubungan agama dan politik, J. Philip Wogemen yang dikutip
oleh Abdul Qadir Shaleh mengungkapkan bahwa ada tiga pola umum hubungan
politik dan agama, pertama, pola teokrasi dimana agama menguasai negara;
kedua, erastianisme bila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu negara
mengkooptasi agama; dan ketiga hubungan sejajar antara antara agama dan
negara-dalam pemisahan yang unfriendly dan friendly. Pemisahan yang unfriendly
antara agama dan negara merupakan hal yang mustahil, karena kehidupan
keagamaan selalu memiliki dimensi sosial dan dengan demikian bersentuhan
dengan aspek hukum yang menjadi wewenang negara. Wogeman sendiri
menganggap alternative terbaik adalah pemisahan yang friendly dimana hubungan
antar agama dan politik sering diwacanakan sebagai agama sipil (civil religion)
yang berfungsi sebagai perekat solidaritas sosial maupun politik dari masyarakat,
meskipun hal ini juga menyimpan potensi ganda, sebagai perekat maupun
pembelah. Lihat Abdul Qadir Shaleh, “Agama” Kekerasan (Jogjakarta:
Prismasophie Press, 2003), 46-47 dan Khamami Zada, A. Fawaid Sjadzili, dkk,
Prakarsa Perdamaian (Jakarta: PP Lakpesdam NU, 2008), 22-23.
46
Nono Anwar Makarim, “Pemerintahan Yang Lemah dan Konflik” dalam
Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di

Kerukunan Umat Beragama … | 47


mempunyai ribuan pulau besar dan kecil, berbagai permasalahan
dan potensi konflik yang ada di beberapa daerah terkadang tidak
dan lambat ditangani. Pemerintah yang lemah beserta konflik sosial
keagamaan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
lingkungan Indonesia.
Dengan berlandaskan Pancasila yang menganut prinsip
netral aktif, dalam memelihara kerukunan umat beragama,
pemerintah telah menyusun dan mengesahkan beberapa kebijakan
demi pembangunan nasional yang terdiri dari dua dimensi.
Pertama, dimensi intra umat beragama, yakni tujuan kebijakan
keagamaan untuk mencapai terpeliharanya kesatuan dan persatuan
umat beragama di Indonesia. Dalam dimensi ini, agama diyakini
oleh negara sebagai unsur yang sangat penting dan menentukan
kestabilan negara. Salah satu konsep penting dalam konteks ini
adalah yang disebut dialog antar umat beragama yang dalam
kenyataan sebenarnya adalah dialog antara tokoh agama dari
beberapa agama saja. Kedua, dimensi ekstra-umat beragama,
bahwasanya kebijakan keagamaan itu bertujuan meningkatkan
taraf kehidupan seluruh rakyat Indonesia, terlepas dari agama apa
pun yang mereka anut.47
Peran negara, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh
pemerintah pusat, dalam usahanya membina kerukunan hidup
beragama sudah banyak dilakukan semenjak zaman Orde Baru. Arti
kerukunan itu sendiri adalah satu kesatuan yang terdiri dari
berbagai unsur yang berlainan dan setiap unsur tersebut saling
menguatkan. Kesatuan yang tidak dapat terwujud jika ada diantara
unsur tersebut yang tidak berfungsi.48
Secara etimologis kata kerukunan berasal dari bahasa Arab,
yaitu ruknun yang berarti tiang, dasar, sila. Jamak dari ruknun ialah
arka>n yang berarti bangunan sederhana yang terdiri atas berbagai
unsur. Jadi, kerukunan itu merupakan suatu kesatuan yang terdiri

Asia Pasifik, Dewi Fortuna Anwar, Helene Bouvier, dkk (editor) (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2004), 375.
47
Achmad Fedyani Saiffudin, “Multikulturalisme Sebagai Solusi Atas
Konflik-Konflik Keagamaan” dalam Islam dan Prospek Keberagaman di Indonesia
(Ciputat: UIN Jakarta Press, 2006), 118-119.
48
Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama (Ciputat:
PT. Ciputat Press, 2005), cet. III, 4.

48 | Rif’atul Hasanah
atas berbagai unsur yang berlainan dan setiap unsur tersebut saling
menguatkan.49
Kerukunan juga diartikan sebagai kehidupan bersama yang
diwarnai oleh suasana baik dan damai. Hidup rukun berarti tidak
bertengkar, melainkan bersatu hati, dan sepakat dalam berfikir dan
bertindak demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Di dalam
kerukunan semua orang bisa hidup bersama tanpa kecurigaan,
dimana tumbuh semangat dan sikap saling menghormati dan
kesediaan untuk bekerja sama demi kepentingan bersama.50
Beberapa hal yang dapat dilakukan demi mewujudkan
kerukunan umat beragama di Indonesia adalah membangun sikap
toleransi beragama, membangun sikap keterbukaan (tepo seliro),
membangun kerja sama antar pemeluk agama, dan membangun
dialog antar umat beragama.51
Istilah Kerukunan Umat Beragama secara formal digunakan
pertama kali ketika penyelenggaraan Musyawarah Antar Umat
Beragama oleh pemerintah pada tanggal 30 Nopember 1967 di
Gedung Dewan Pertimbangan Agung Jakarta. Musyawarah Antar
Umat Beragama ini diselenggarakan dalam rangka pembinaan
kerukunan hidup antar umat beragama.52
49
Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antaragama (Jakarta:
Ciputat Press, 2003), 4.
50
M. Zainuddin Daulay, Mereduksi Eskalasi Konflik Antarumat Beragama
di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen
Agama RI, 2001), 67.
51
Jasmadi, “Membangun Relasi Antar Umat Beragama (Refleksi
Pengalaman Islam di Indonesia)”, Jurnal Bina’ Al-Ummah: Jurnal Ilmu Dakwah
dan Pengembangan Komunitas, Vol. 5, No. 2, Juli 2010, 166-171.
52
K. H. M. Dachlan, pada mulanya mengangkat istilah kerukunan dalam
konteks agama-agama, ketika ia menyampaikan pidato pembukaan pada acara
Musyawarah Antar Agama di Jakarta tanggal 30 Nopember 1967, dan pada
kesempatan itu pula, beliau menegaskan bahwa “adanya kerukunan antara
golongan beragama merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya stabilitas politik
dan ekonomi yang menjadi program Kabinet Ampera”. Ketika pemerintah mulai
mengadakan Musyawarah Antar Umat Beragama ini yang tujuannya adalah
membina kerukunan hidup antar umat beragama, namun yang terjadi adalah
sebaliknya, arena musyawarah telah dijadikan arena untuk berdebat yang
didasarkan atas dalil-dalil agama yang ditafsirkan sedemikian rupa sehingga tidak
menunjang hasrat pemerintah untuk membina kerukunan antar umat beragama.
Lihat Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama RI,
Masalah Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Departemen
Agama RI, 1979, 1. Lihat juga Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama Pilar
Utama Kerukunan Berbangsa: Butir-butir Pemikiran (Jakarta: Gunung Mulia,

Kerukunan Umat Beragama … | 49


Hasil kegiatan musyawarah tersebut antara lain terbentuk
Badan Kontak Antar Umat Beragama di Tingkat Pusat yang
diwujudkan setelah diadakan serangkaian pertemuan oleh Majelis-
Majelis Agama dan pejabat Departemen Agama. Badan Kontak itu
disebut dengan nama Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama
(WMAUB) yang dikukuhkan pada tanggal 30 Juni 1980 melalui SK
Menteri Agama No. 35 Tahun 1980. WMAUB ini bertujuan untuk
membicarakan tanggung jawab bersama dan kerjasama diantara
para warga negara yang saling berbeda agama, namun karena
pembentukan lembaga ini hanya pada tingkat pusat, maka
pendekatannya cenderung berorientasi kepada aspek kelembagaan
di tingkat atas dan bersifat top down.53
Pada masa Menteri Agama Mochammad Dahlan, yakni pada
masa Orde Baru, kebijakan dalam bidang pembinaan kerukunan
antar umat beragama cenderung menggunakan teori akomodasi
yang bersifat coersif. Pada masa itu pemerintah mempunyai otoritas
yang sangat kuat dan pemimpin agama berada pada posisi lemah
sehingga kelompok-kelompok agama menerima kebijakan
kerukunan (seperti SKB No. 1/Ber/MDN-MAG/1969) dengan
pendekatan top-down itu, secara terpaksa.54
Pada periode Menteri Agama Mukti Ali 1971-1978,
“kerukunan hidup beragama adalah suatu kondisi sosial dimana
semua golongan agama bisa hidup bersama-sama tanpa
mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan

2006), x. Menurut pendapat lain, pemakaian kata “kerukunan beragama” dalam


kehidupan politik Indonesia bukanlah mulai muncul dari teks pidato tersebut,
melainkan telah muncul sekitar 50 tahun sebelumnya. Dalam sejarah politik
Indonesia, kata “kerukunan hidup beragama” dan “toleransi” terhadap non muslim
telah pernah dimunculkan Jong Islamitten Bond (JIB), sebagai upaya mengatasi
berbagai perpecahan di kalangan bangsa Indonesia menyusul didirikannya
organisasi JIB yang dipelopori Syamsurizal dengan dukungan Agus Salim. Lihat
Tarmizi Taher, Aspiring for the Middle Path: Religious Harmony in Indonesia
(Jakarta: Censis, Centre for the Studi of Islam and Society, 1997), 37.
53
Lihat M. Atho Mudzhar, “Kebijakan Negara dan Pemberdayaan Lembaga
dan Pemimpin Agama dalam Rangka Keharmonisan Hubungan Antar Umat
Beragama” dalam Muhaimin AG (editor), Damai di Dunia Damai Untuk Semua
Perspektif Berbagai Agama (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), 16
54
Alirman Hamzah, “Kerukunan Antarumat Beragama di Indonesia dari
Era Orde Baru Hingga Reformasi (Studi Kebijakan Pemerintah 1966-2007)”
Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008, 34.

50 | Rif’atul Hasanah
kewajiban agamanya. Masing-masing hidup sebagai pemeluk agama
yang baik dalam keadaan rukun dan damai.”55
Pada masa Mukti Ali juga dilaksanakan dialog-dialog antar
umat beragama, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah luar
Jakarta. Dialog-dialog tersebut tidak mendialogkan persoalan-
persoalan aqidah atau dogmatik dari masing-masing agama, tetapi
mendialogkan berbagai persoalan seperti bagaimana supaya
masing-masing agama dapat memberikan motivasi terhadap umat
masing-masing untuk ikut serta dalam pembangunan, serta
membahas bagaimana sebaiknya kode etik hubungan antar umat
beragama.56
Sejarah mencatat bahwa Mukti Ali telah membangun
landasan teoritik kerukunan di Indonesia dengan memajukan
konsep agree in disagreement karena masalah agama adalah hal yang
“khas” dan karenanya, tidak dapat diperjanjikan. Di tangan Mukti
Ali, konsep “Kerukunan Hidup Umat Beragama” yang muncul
pertama dari Mochammad Dachlan menjadi regulasi yang jelas dan
terarah.57
Pada periode Alamsyah Ratuperwiranegara menjabat
menjadi Menteri Agama, dibentuklah Team Penelitian Penerangan
Agama, Dakwah dan Kerukunan Antar Umat Beragama dengan SK
No. 33 tahun 1978 tertanggal 31 Mei 1978, yang mempunyai
beberapa program kerja, diantaranya untuk tingkat Nasional,
hendaknya pemerintah dapat membentuk Sekretariat Kerjasama
Antar Umat Beragama sebagai wadah penampung aspirasi dari
umat beragama yang tersalur melalui MUI, DGI, MAWI, PHD, dan
MABI. Sekretariat tersebut berada langsung di bawah tanggung
jawab Menteri Agama, dengan pelaksana seorang Staf Ahli Menteri
Agama yang secara khusus bertugas untuk itu.58
Dalam perkembangannya, Alamsyah Ratuperwiranegara
memperkenalkan gagasan Tri Kerukunan, yaitu kerukunan intern

55
A. Mukti Ali, Agama dan Pembangunan Indonesia VI (Jakarta: Biro
Hukum dan Humas Departemen Agama, 1975), 70.
56
Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama RI,
Masalah Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia, 2.
57
Lihat Sudjangi, Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama: 50 Tahun
Kemerdekaan Republik Indonesia (Jakarta: Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup
Umat Beragama, 1995/1996), 1.
58
Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama RI,
Masalah Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia, 6.

Kerukunan Umat Beragama … | 51


umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan
antar umat beragama dengan Pemerintah.59 Antara agama dan
Pancasila jangan dipertentangkan dan jangan dicampuradukkan.
Semua warga negara Indonesia harus berPancasila dan sebagian
besar warga negara Indonesia beragama. Agama adalah pedoman
hidup dari Tuhan untuk manusia, sedangkan Pancasila adalah
untuk pedoman hidup selaku warga negara.
Selanjutnya pada masa Menteri Agama Munawir Sadzali
sampai Menteri Malik Fajar, disamping meneruskan kebijakan
trilogy kerukunan, ditempuh kebijakan yang disebut dengan
kerukunan dinamis yang bertujuan untuk membangun kerjasama
sosial yang lebih luas diantara umat beragama. Pada
pelaksanaannya, ketika kebijakan ini mulai berkembang, muncul
beberapa pertikaian dan kerusuhan yang menyeret beberapa
kalangan umat beragama di beberapa tempat. Seiring berjalannya
waktu, pada masa Menteri Agama Tolchah Hasan dan Said Agil
Husin Al-Munawar lebih diarahkan pada perwujudan rasa
kemanusiaan dengan kebijakan “pengembangan wawasan
multikultural” serta pendekatan yang bersifat bottom up.60
Pada kebijakan Menteri Agama Suryadharma Ali yang saat
ini masih menjabat meneruskan kebijakan yang telah dicanangkan
oleh Menteri Agama sebelumnya, Maftuh Basyuni lewat PBM No. 9
dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan
Pendirian Rumah Ibadat. Dilihat dari proses pembentukan PBM ini,
ada inisiatif pejabat administrasi negara, dalam hal ini Menteri

59
Gagasan Tri Kerukunan itu, khususnya kerukunan antar umat beragama
dengan pemerintah dirasakan kurang begitu pas, karena dianggap seolah-olah
selama ini ada ketidakrukunan antara umat beragama dengan pemerintah, namun
gagasan itu telah makin memperkuat daya cengkeram ide kerukunan dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan sejak Repelita Pertama, pemerintah
telah menetapkan suatu proyek di lingkungan Departemen Agama yang disebut
Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama. Selain itu, terminology rukun
dan kerukunan menjadi istilah baku dalam dokumen-dokumen formal kenegaraan
seperti GBHN, Repelita serta Keputusan-keputusan Menteri Agama. Lihat
Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa:
Butir-butir Pemikiran, x.
60
Lihat M. Atho Mudzhar, “Kebijakan Negara dan Pemberdayaan Lembaga
dan Pemimpin Agama dalam Rangka Keharmonisan Hubungan Antar Umat
Beragama”, 18.

52 | Rif’atul Hasanah
Dalam Negeri dan Menteri Agama untuk bertindak mengumpulkan
tokoh-tokoh agama untuk membicarakan penyelesaian beberapa
kasus yang marak terjadi saat itu, yang kemudian menghasilkan
kesepakatan berupa kebijakan. PBM ini juga berdasarkan adanya
kebutuhan pengaturan yang mendesak akan hal-hal yang belum
diatur dalam perundang-undangan yang lebih tinggi,61 hal ini
menjadikan PBM adalah suatu kebijakan pemerintah yang bersifat
bottom up demi terwujudnya keselarasan dan kerukunan hidup
antar umat beragama di Indonesia.
Beberapa langkah kongkrit terkait pemeliharaan kehidupan
kerukunan umat beragama telah diupayakan oleh Suryadharma Ali,
yakni: pertama, pembentukan dan peningkatan efektifitas FKUB
yang sampai saat ini telah terbentuk di 33 provinsi di seluruh
Indonesia, dan telah terbentuk di 421 kabupaten/kota diseluruh
Indonesia. Kedua, pengembangan sikap dan perilaku keberagamaan
yang inklusif dan toleran. Ketiga, peningkatan dialog dan kerjasama
intern dan antar umat beragama, dan pemerintah. Keempat,
peningkatan koordinasi antar instansi/lembaga pemerintah dalam
upaya penanganan konflik terkait isu-isu keagamaan. Kelima,
peningkatan peran Indonesia dalam dialog lintas agama di dunia
internasional, dan keenam, penguatan peraturan perundang-
undangan terkait kehidupan keagamaan.62
Peran pemerintah disini sudahlah tepat untuk mewujudkan
kenyamanan hidup warganya baik berupa kebebasan beragama dan
beribadat juga kerukunan intra umat beragama, antar umat
beragama dan umat beragama dengan Pemerintah. Dijelaskan oleh
Alirman Hamzah dalam Disertasinya bahwa kebebasan beragama
dan menjalankan ibadah, jika tidak dibatasi oleh kewajiban
menghormati kebebasan hak asasi manusia orang lain, sering
menyebabkan penyiaran agama tidak toleransi.63 Dengan hal ini,

61
Viona Wijaya, “Kajian Kritis Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006”, Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran, Agustus 2013 diunduh dari
http://fh.unpad.ac.id/repo/2013/08/kajian-kritis-peraturan-bersama-menteri-
agama-dan-menteri-dalam-negeri-nomor-9-tahun-2006-dan-nomor-8-tahun-2006/
tanggal 23 Maret 2014.
62
Hal ini disampaikan Menteri Agama Suryadharma Ali saat Rapat Kerja
dengan Komisi VIII DPR RI, Rabu, (9/2/2011) di Jakarta. Diunduh dari
http://pkub.kemenag.go.id diunduh tanggal 09 Februari 2013.
63
Alirman Hamzah, “Kerukunan Antarumat Beragama di Indonesia dari
Era Orde Baru Hingga Reformasi (Studi Kebijakan Pemerintah 1966-2007)”, 314.

Kerukunan Umat Beragama … | 53


negara mempunyai peranan yang penting dalam mengatur
kehidupan sosial masyarakatnya.64 Negara juga harus lebih proaktif
dalam membela kelompok minoritas dan kelompok yang berada
dalam keadaan terancam karena paksaan dari kelompok lain yang
tidak sepaham dengan mereka.65
Diantara peraturan perundang-undangan yang telah
disusun oleh Pemerintah dalam mengatur jalannya kehidupan
beragama di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat (2), yang berbunyi:
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Undang-Undang Dasar 1945 BAB XA Hak Asasi Manusia Pasal
28E ayat (1) berbunyi “setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.” Sedangkan 28E ayat (2) berbunyi “Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”Tetapi
kebebasan ini tetap dibatasi oleh Pasal 28J ayat (1) UUD 1945
diatur bahwa “Setiap orang wajib menghormati hak asasi orang
lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.” Selanjutnya dalam ayat (2) diatur bahwa “dalam
menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.”
3. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tanggal 27 Januari 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan
Agama, beserta Penjelasannya, yo. UU No. 5 Tahun 1969.

64
Lihat Julie Chernov Hwang, Umat Bergerak Mobilisasi Damai Kaum
Islamis di Indonesia, Malaysia, dan Turki, Samsudin Berlian (terj.) (Jakarta:
Freedom Institute, 2011), 1.
65
Lihat Melissa Crouch, “Regulation On Places Of Worship In Indonesia:
Upholding The Right To Freedom Of Religion For Religious Minorities?”
Singapore Journal of Legal Studies[2007], 1-21, 20.

54 | Rif’atul Hasanah
Undang-Undang ini telah berhasil menjaga kerukunan umat
beragama dan mengurangi atau bahkan mencegah pernyataan
penistaan terhadap Tuhan YME dan pernyataan kebencian
antar umat beragama di depan publik.
4. Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 1 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur
Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran
Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah Agama oleh Pemeluk-
Pemeluknya.
5. Instruksi Menteri Agama Nomor 8 Tahun 1975, tanggal 27
September 1979, tentang Pembinaan, Bimbingan, dan
Pengawasan Terhadap Organisasi dan Aliran dalam Islam Yang
Bertentangan dengan Ajaran Islam.
6. Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1978, tanggal 11 April
1978 tentang Kebijakan mengenai Aliran-Aliran Kepercayaan.
7. Keputusan Menteri Agama Nomor 70 Tahun 1978, tanggal 1
Agustus 1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga
Keagamaan di Indonesia.
8. Keputusan Menteri Agama Nomor 77 Tahun 1978, tanggal 15
Agustus 1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga
Keagamaan di Indonesia.
9. Instruksi Menteri Agama Nomor 14 Tahun 1978, tanggal 31
Agustus 1978 tentang Tindak Lanjut Instruksi Menteri Agama
Nomor 4 Tahun 1978 tanggal 11 April 1978 tentang
Kebijaksanaan Mengenai Aliran-Aliran Kepercayaan.
10. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 1 Tahun 1979 tanggal 2 Januari 1979 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri
Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
11. Surat Edaran Menteri Agama Nomor MA/432//1981 tanggal 2
September 1981 tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari-
Hari Besar Keagamaan.
12. Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Menengah Nasional 2004-2009 Bab 31 yang
menetapkan Arah dan Kebijakan dan Program-Program Pokok
Pembangunan di bidang Agama.
13. Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2006 tentang Visi
dan Misi Departemen Agama.
14. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas

Kerukunan Umat Beragama … | 55


Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum kerukunan Umat Beragama,
dan Pendirian Rumah ibadat.66
Kebijakan yang terakhir (baca: PBM) sama sekali tidak
mengurangi kebebasan beragama yang terkandung dalam Pasal 29
UUD 1945. Prinsip yang dianut dalam Peraturan Bersama ini ialah
bahwa pendirian sebuah rumah ibadat harus memenuhi peraturan
perundang-undangan yang ada, kemudian dalam waktu yang sama
harus tetap menjaga kerukunan umat beragama dan menjaga
ketentraman serta ketertiban masyarakat. Hal ini merupakan
prinsip dan tujuan PBM. Tentu saja PBM ini dari segi yuridis formal
tidaklah sekuat Undang-Undang, karena setiap peraturan memang
pada dasarnya lebih rendah dari pada peraturan perundangan yang
ada diatasnya, tetapi kehadiran PBM tidaklah dilarang dalam sistem
peraturan perundangan di Indonesia.67
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 diatas merupakan penyempurnaan
dari Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 1 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur
Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran
Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah Agama oleh Pemeluk-
Pemeluknya. Hal ini disebabkan karena sekitar akhir tahun 2004
atau awal 2005 mencuat kembali beberapa pendapat dari
masyarakat yang menganjurkan untuk mencabut atau
mempertahankan SKB No. 1/Ber/MDN-MAG/1969 tersebut. Setelah
diadakan pengkajian pada tanggal 31 Maret 2005, didapatkan hasil
bahwa SKB tersebut ternyata tidak menghalangi berdirinya rumah-
rumah ibadat baru, memperlakukan sama kepada semua kelompok
agama, tidak mendiskriminasikan sesuatu kelompok agama.68

66
Muhammad M. Basyuni, Esai-Esai Keagamaan, 16-18.
67
Ahsanul Khalikin, “Analisis Kebijakan Walikota DepokTentang
Pencabutan IMB Rumah Ibadat dan Gedung Serbaguna Pangkalan Jati, Gandul
Limo Kota Depok Tahun 2009” dalam Dinamika Kehidupan Keagamaan di Era
Reformasi, Haidlor Ahmad (ed.) (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang
kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI, 2010), 346-347.
68
Lihat Sambutan Menteri Agama Muhammad M. Basyuni pada Sosialisasi
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun
2006/Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat

56 | Rif’atul Hasanah
Hal yang menjadi sebab permasalahan disempurnakannya
SKB tersebut karena hanya terdiri atas 6 pasal, sangat singkat dan
bersifat umum, sehingga dapat menyebabkan multitafsir. Sampai
dengan tahun 2004 dari 33 propinsi yang ada di Indonesia hanya
beberapa provinsi saja yang telah menjabarkan SKB itu ke dalam
aturan yang lebih rinci dan jelas.69 Ditemukan juga bahwa tidak
adanya standar pelayanan terukur sehingga beberapa permohonan
pendirian rumah ibadat mungkin tidak diresponi beberapa bulan
bahkan beberapa tahun, akibatnya timbul perasaan di kalangan
sebagian pemohon bahwa harapan mereka untuk beribadat tidak
dilayani.
Setelah dikaji ulang dan diadakan beberapa kali rapat
bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, Jaksa
Agung, Kapolri, Menteri Hukum dan HAM, dan sejumlah pejabat
lainnya untuk membahas penyempurnaan SKB tersebut, maka pada
tanggal 21 Maret 2006 telah ditandatangani Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah ibadat.70
Peraturan Bersama Menteri (PBM) ini juga salah satu bentuk
hukum yang merupakan pelaksanaan Undang-Undang 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, yakni pada Pasal 22 huruf a UU
32 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa “dalam menyelenggarakan
otonomi, daerah mempunyai kewajiban melindungi masyarakat,

Tanggal 17 April 2006 dalam Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya (Edisi Tanya
Jawab Yang Disempurnakan), Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2012, 2.
69
Dari 33 propinsi di Indonesia, hanya beberapa saja yang telah
menjabarkan SKB itu ke dalam aturan yang jelas, yaitu DKI Jakarta (1979 dan
2002) dengan membentuk Tim Khusus yang meresponi setiap permohonan
pendirian rumah ibadat, Propinsi Riau (1981) dan Bengkulu (1993) yang
mempersyaratkan minimal calon jemaah 40 KK, Sulawesi Tenggara yang
mempersyaratkan 50 KK, dan propinsi Bali (2003) antara lain mempersyaratkan
calon jemaah 100 KK. Propinsi lainnya belum menjabarkan SKB tersebut
sehingga tata cara dan persyaratan pendirian rumah ibadat dirasakan tidak jelas di
berbagai daerah. Lihat Muhammad M. Basyuni, Esai-Esai Keagamaan, 20.
70
Lihat Sambutan Menteri Agama RI pada Sosialisasi Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 dalam
Pedoman Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama yang disusun oleh Sub
Bagian Hukmas dan KUB Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi DKI
Jakarta, 2007, 44.

Kerukunan Umat Beragama … | 57


menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.71
Ada enam prinsip yang dianut dalam PBM No. 9 dan 8 tahun
2006 ini. Pertama, meskipun PBM ditandatangani oleh Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri, tetapi pada hakikatnya
merupakan kesepakatan majelis-majelis agama tingkat pusat, yaitu
perwakilan dari MUI, PGI, KWI, PHDI, dan WALUBI. Kedua, PBM
tidak melanggar kebebasan beragama yang dijamin UUD 1945,
karena yang diatur dalam PBM ini hanyalah pengadministrasian
untuk mengetahui siapa yang hendak menggunakan suatu rumah
ibadah yang hendak dibangun. Ketiga, PBM tidak menimbulkan
multitafsir, sehingga dapat dipahami secara utuh tanpa
memerlukan peraturan tambahan. Keempat, PBM mengedepankan
prinsip pembangunan kerukunan secara bersama-sama oleh umat
beragama dan pemerintah. Kelima, PBM memberikan kepastian
pelayanan secara adil, jelas, dan terukur kepada pemohon
pendirian rumah ibadat. Keenam, PBM memegang prinsip tentang
pentingnya memelihara kerukunan umat beragama, serta
memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. 72
PBM ini terdiri dari 31 Pasal, mulai dari pengaturan Tugas
Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Forum Kerukunan Umat Beragama, Pendirian Rumah Ibadat, Izin
Sementara Pemanfaatan Bangunan Gedung, sampai dengan
Penyelesaian Perselisihan.
Pasal 2 sampai dengan Pasal 7 PBM itu diatur tentang Tugas
Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama.
Kepala Daerah disini adalah Bupati di tingkat Kabupaten dan
Walikota ditingkat Kota, yang dalam pelaksanaan tugasnya dibantu
oleh Wakil Kepala Daerah dan Kepala Kantor Departemen Agama
beserta Pemerintah Daerah, yakni Camat, Lurah/Kepala Desa.

71
Selain Pasal 22 huruf a UU 32 Tahun 2004, PBM juga sesuai dengan
Pasal 27 ayat (1) huruf c dan Pasal 26 ayat (1) huruf b UU 32 Tahun 2004. Lebih
jelasnya lihat Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
72
Lihat Laporan Utama bertajuk “Kerukunan Umat Beragama Jadi
Rujukan” dalam Majalah Ikhlas Beramal, Nomor 65 Tahun XIII Oktober 2010,
12-13.

58 | Rif’atul Hasanah
Pasal 8 sampai dengan Pasal 12 PBM dibahas Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Mulai dari pembentukan,73
keanggotaan,74 dan tugas FKUB dijelaskan secara rinci dalam Pasal
ini. Dalam pemberdayaan FKUB, dibentuk juga Dewan Penasihat
FKUB yang juga membantu Kepala Daerah dalam merumuskan
kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama dan
memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan Pemerintah Daerah.75
Pasal 13 sampai Pasal 17 PBM dibahas tentang Pendirian
Rumah Ibadat. Pengajuan permohonan pendirian rumah ibadat
diatur agar diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat.76
Persyaratan teknis dan administratif dalam prosedur pendirian
rumah ibadat dijelaskan secara mendetil dalam beberapa Pasal ini.
Dalam prosedur pendiriannya juga disyaratkan rekomendasi dari
beberapa pihak terkait.
Pasal 18 sampai Pasal 20 PBM dijelaskan tentang izin
sementara pemanfaatan bangunan gedung. Pemanfaatan bangunan
gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus
mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari
bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan layak fungsi yang
mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan
gedung dan persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama
serta ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Dalam Pasal 21 dan 22 dijelaskan tentang penyelesaian
perselisihan akibat pendirian rumah ibadat. Dalam hal ini,
penyelesaian dilakukan secara musyawarah oleh masyarakat
setempat, namun jika tidak tercapai, maka dapat diselesaikan oleh
bupati/walikota dibantu kepala kantor departemen agama

73
Pembentukan FKUB dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota dan
dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. FKUB ini pun
bersifat konsultatif. Lihat Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006.
74
Keanggotaan FKUB terdiri dari atas pemuka-pemuka agama setempat.
Jumlah anggota FKUB provinsi paling banyak 21 orang dan jumlah anggota
FKUB kabupaten/kota paling banyak 17 orang. Lihat Pasal 10 ayat (1), dan (2)
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
75
Lihat Pasal 11 ayat (1), (2), (3), dan (4) PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
76
Panitia pembangunan rumah ibadat adalah panitia yang dibentuk oleh
umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat. Lihat Buku Tanya
Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
dan 8 Tahun 2006, 5. Lihat juga Pasal 1 tentang ketentuan umum PBM No. 9 dan
8 Tahun 2006.

Kerukunan Umat Beragama … | 59


kabupaten/kota melalui musyawarah dengan mempertimbangkan
pendapat atau saran FKUB kabupaten/kota. Jika dengan dua cara
musyawarah tersebut tidak berhasil, maka penyelesaian
perselisihan dilakukan melalui Pengadilan setempat.
Pasal 23 dan 24 diatur tentang pengawasan dan pelaporan.
Dalam hal ini lebih kepada tugas seorang Gubernur dan
Bupati/Walikota untuk melakukan pengawasan terhadap aparatur
pemerintah daerah di bawahnya dalam pelaksanaan pemeliharaan
kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB, dan pendirian
rumah ibadat.
Pasal 25 dan 26 diatur tentang belanja, yakni bahwa belanja
pembinaan dan pengawasan terhadap pemeliharaan kerukunan
umat beragama serta pemberdayaan FKUB secara nasional didanai
dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Dalam pembelanjaan provinsi didanai oleh dana APBD
Provinsi, sedangkan di tingkat kota, didanai atas beban APBD
kabupaten/kota.
Pasal 27 sampai 29, dijelaskan tentang ketentuan peralihan,
dimana terkait dengan pembentukan FKUB dan Dewan Penasihat
FKUB yang dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak PBM ini
ditetapkan. Untuk bangunan gedung yang sudah digunakan secara
permanen dan/atau memiliki nilai sejarah yang belum memiliki
IMB untuk rumah ibadat sebelum berlakunya PBM ini, maka
bupati/walikota akan membantu memfasilitasi penerbitan IMB
untuk rumah ibadat dimaksud.
Dalam bagian terakhir PBM ini, yakni Pasal 30 dan 31
tentang ketentuan penutup, diatur bahwa pada saat berlakunya
PBM ini, ketentuan yang mengatur pendirian rumah ibadat dalam
Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01
Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan
dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan
Pengembangan dan Ibadah Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

60 | Rif’atul Hasanah
BAGIAN KETIGA
GAMBARAN UMUM WILAYAH
MUSTIKA JAYA BEKASI

A. Potret Pluralitas Masyarakat Mustika Jaya Bekasi


Kota Bekasi merupakan bagian dari wilayah metropolitan
Jabodetabek, dari waktu ke waktu mengalami perkembangan
ekonomi dan jasa yang sangat pesat. Secara geografis kota Bekasi
terletak dibagian utara Jawa Barat 106oc 48’28” – 107oc 27’29” Bujur
Timur dan 6oc 10’6” – 6oc 30’6” Lintang Selatan, kondisi Topografi
relatif dasar (kemiringan lahan bervariasi rata-rata 0 - 3%) dan
merupakan daerah beriklim panas dengan suhu berkisar antara
28oc-32oc, kelembaban 80% - 90%, yang dipengaruhi oleh angin
Musim Barat dan Musim Timur.
Di kota Bekasi terdapat empat kecamatan yang berbatasan
langsung dengan Kabupaten Bekasi, yaitu Kecamatan Bekasi Utara,
Kecamatan Bekasi Timur, Kecamatan Bantar Gebang, dan
Kecamatan Mustika Jaya. Selain dengan Kabupaten Bekasi di
sebelah timur dan sebelah utara, Kecamatan Mustika Jaya juga
berbatasan di sebelah selatan dengan Kecamatan Bantar Gebang,
dan sebelah barat dengan Kecamatan Rawa Lumbu.1
Kecamatan Mustika Jaya merupakan bagian dari Kota
Bekasi yang terletak diwilayah timur kota Bekasi yang berperan
juga sebagai penyangga Ibukota Jakarta yang dalam
perkembangannya telah menunjukan kemajuan diberbagai bidang
sesuai dengan peran dan fungsinya.

1
Lihat lampiran Peta Kota Bekasi.

Kerukunan Umat Beragama … | 61


Kecamatan Mustika Jaya merupakan salah satu dari 12 (dua
belas) kecamatan dalam wilayah administrasi Pemerintah Kota
Bekasi dengan luas wilayah 2.621.967 M2. Secara administratif,
Kecamatan Mustika Jaya terdiri dari empat kelurahan, yaitu (1)
Kelurahan Mustika Jaya,2 (2) Kelurahan Mustika Sari,3 (3) Kelurahan
Padurenan4, dan (4) Kelurahan Cimuning.5
Pembagian wilayah administratif Kecamatan Mustika Jaya
Bekasi dapat dilihat pada tabel berikut:

Table 3.1
Pembagian Wilayah Administratif Kecamatan Mustika Jaya
No. Kelurahan Luas Wilayah (M2) Jml. RW Jml. RT
1. Mustika Jaya 930.474 30 196
2. Mustikasari 512.750 10 72
3. Padurenan 678.350 22 142
4. Cimuning 500.393 22 142
Jumlah 2.621.967 84 559
Sumber: Profil Monografi Kecamatan Mustika Jaya per-kelurahan tahun 2011

2
Kelurahan Mustika Jaya bersebelahan dengan Desa Lambang Sari,
wilayah Kabupaten Bekasi, tempat komplek Perumahan Elite Kota Legenda
berada. Di komplek Kota Legenda yang berjajar di sepanjang Jalan Raya Lambang
Sari - Mustika Jaya, beberapa perumahan yang termasuk kelompok Kota Legenda,
adalah komplek Dukuh Zamrud, Dukuh Bima, dan komplek Grand Wisata.
3
Kelurahan Mustikasari terdapat banyak wilayah perumahan yaitu Perum.
Mayang pratama, Perum. Alamanda, dan lainnya.
4
Kelurahan Padurenan adalah salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan
Mustika Jaya Kota Bekasi, yang terbentuk dalam Peraturan Daerah Nomor 03
tahun 2005tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota Bekasi, Nomor 04
Tahun 2004 tentang Pembentukan Wilayah Administratif Kecamatan dan
Kelurahan Kota Bekasi. Pada awalnya Kelurahan Padurenan bermula dari Desa
Sukapura yang saat itu masuk ke dalam wilayah kecamatan Setu Kabupaten
Bekasi (berdiri tahun 1956). Desa Sukapura terdiri dari beberapa kemandoran,
yakni kemandoran Padurenan, Cibitung, Cimuning dan Kemandoran
Pabuaran. Pada tahun 1975, Desa Sukapura dimekarkan, menjadi Desa Padurenan
dan Desa Cimuning. Saat itulah nama Desa Sukapura berubah menjadi Desa
Padurenan, yang diambil dari kemandoran yang terluas.
5
Kelurahan Cimuning terbentuk pada tanggal 01 Oktober 1998 sesuai
dengan Rencana Umum dan Tata Ruang (RUTR) Kota Bekasi. Kelurahan
Cimuning merupakan wilayah pengembangan pemukiman, jasa dan perdagangan.
Data ini bersumber dari Laporan Tahunan Kelurahan Cimuning Tahun 2010.

62 | Rif’atul Hasanah
Adapun jumlah penduduk Kecamatan Mustika Jaya
sebanyak 124.474 jiwa, terdiri dari 63.033 orang laki-laki dan 61.441
orang perempuan, dengan rincian per-kelurahan sebagai berikut:
Tabel 3.2
Distribusi Jumlah Penduduk per-Kelurahan
Kecamatan Mustika Jaya
Jumlah
No. Kelurahan Jumlah
Laki-Laki Perempuan
1. Mustika Jaya 22.935 22.589 45.524
2. Mustikasari 11.682 11.081 22.763
3. Padurenan 17.399 16.840 34.239
4. Cimuning 11.017 10.931 21.948
Jumlah 63.033 61.441 124.474
Sumber: Profil Monografi Kecamatan Mustika Jaya per-kelurahan tahun 2011

Komposisi jumlah penduduk berdasarkan agama di


Kecamatan Mustika Jaya mayoritas beragama Islam, diikuti oleh
jumlah pemeluk Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu. Di Kecamatan
Mustika Jaya terdapat juga jamaat yang menganut aliran
kepercayaan. Untuk lebih jelasnya komposisi jumlah penganut
agama itu dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.3
Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
Kecamatan Mustika Jaya
Agama
No. Kelurahan Jumlah
Islam Kristen Katholik Hindu Budha Kepercayaan
1. Mustika Jaya 41.373 2.400 1.363 114 272 2 45.524
2. Mustika Sari 21.078 989 397 77 30 192 22.763
3. Padurenan 32.452 923 549 159 156 - 34.239
4. Cimuning 21.323 308 232 37 48 - 21.948
Jumlah 116.226 4.620 2.541 387 506 194 124.474
Sumber: Profil Monografi Kecamatan Mustika Jaya per-kelurahan tahun 2011
Di Bekasi, diakui memang ada beberapa warga yang menganut
aliran kepercayaan, tetapi juga tetap menjalankan perintah syariat
Islam seperti shalat dan lainnya.6 Menurut data kelurahan Mustika

6
Wawancara dengan H. Moch. Nasrullah, anggota FKUB Kota Bekasi di
kantor FKUB Kota Bekasi pada tanggal 26 Maret 2014.

Kerukunan Umat Beragama … | 63


Jaya tahun 2011, ada 2 orang warga yang menganut aliran
kepercayaan kepada Tuhan YME, sedangkan aliran kepercayaan
lainnya lebih banyak ditemui di kelurahan Mustika Sari. Hasil data
yang didapat dari beberapa kelurahan di Kecamatan Mustika Jaya
Bekasi tahun 2010 dan 2011, tidak ada yang mencantumkan agama
Konghucu di kolom agama data mereka.

B. Sarana Peribadatan Masyarakat Mustika Jaya Bekasi


Sarana peribadatan yang terdapat di kecamatan Mustika
Jaya dapat dilihat pada tabel berikut:
Table 3.4
Data Sarana Sosial/Peribadatan
Kecamatan Mustika Jaya
No
Kelurahan Masjid Mushola Vihara Gereja Pura
.
1. Mustika Jaya 35 49 - 4 -
2. MustikaSari 20 29 - - -
3. Padurenan 19 45 - 5 -
4. Cimuning 19 17 - 1 -
Jumlah 93 140 - 10 -
Sumber: Laporan Tahunan Kecamatan Mustika Jaya 2011
Dari tabel diatas, terlihat bahwa sarana peribadatan paling
banyak ditemui adalah sarana peribadatan umat muslim, yang
terdiri dari masjid dan mushola, sedangkan untuk umat agama
Kristen ada 10 buah gereja dan tidak terdapat pura dan vihara. Hal
ini juga dikarenakan wilayah Mustika Jaya Bekasi mayoritas
berpenduduk Muslim.
Jika melihat jumlah keseluruhan umat Kristiani yang
berjumlah 4.620 orang (Tabel 3.3), sudah seharusnya mereka
mempunyai rumah peribadatan yang tidak sedikit, namun tidak
terjadi pada kenyataannya. Hal ini dikarenakan pada umat Kristiani
terdapat banyak denominasi gereja dan tidak bisa sembarang
jamaat untuk melakukan kebaktian di gereja lain.7 Kebaktian
dilakukan di gereja masing-masing sesuai dengan denominasinya,
hal ini juga disesuaikan dengan tempat tinggal jamaat. Nama-nama
7
Ada bermacam-macam kelompok gereja yang disebut denominasi, yaitu
Baptis, Metodis, Luteran, Katolik dan banyak sekali yang lain. Ada ikatan antara
gereja-gereja itu karena berbagai sebab. Sebagian dipersatukan karena ajaran atau
kepercayaan yang sama, ada juga yang bersatu karena cara kerja, dan yang lain
sebab tata kebaktian mereka bersamaan. Lihat Hanna Saragih, Pedoman Bagi
Orang Kristen Baru (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), 88.

64 | Rif’atul Hasanah
anggota jamaat gereja atau HKBP tersebut sudah tercantum dan
tertulis di buku anggota, lengkap dengan silsilah keluarga dan
status kebaptisan.8

C. Kebijakan Pemerintah Daerah Kota Bekasi


Dalam upaya mewujudkan ketentraman dan kenyamanan
hidup di tengah masyarakat pluralism, dan untuk mewujudkan
harapan dan aspirasi stakeholders serta melaksanakan tugas pokok
dan fungsinya maka pernyataan Visi Kecamatan Mustika Jaya
adalah: “Kecamatan Mustika Jaya menuju Masyarakat Cerdas dan
Permukiman Sehat Bernuansa Ihsan". Dengan berlandaskan visi
tersebut, pemerintah daerah kecamatan Mustika Jaya merumuskan
misi sebagai berikut:
1. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam bidang
Pendidikan, Kesehatan dan Ketertiban
2. Meningkatkan kinerja aparatur dan kapasitas organisasi
untuk mencapai tujuan organisasi
3. Meningkatkan pengembangan kehidupan ekonomi warga
yang berorientasi wirausaha9
Pada kebijakan di bidang keagamaan, Pemerintah Daerah Kota
Bekasi (baca: Walikota Bekasi) merumuskan beberapa peraturan
terkait dengan aturan yang diatur dalam PBM, yakni berupa
Peraturan Walikota Bekasi Nomor: 16 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pemberian Izin Pendirian Rumah Ibadat di Kota Bekasi dan
Keputusan Walikota Bekasi Nomor: 450/Kep. 372-
Kesbangpolinmas/VIII/2011 tentang Pembentukan Forum dan
Dewan Penasehat Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi.10

8
Wawancara dengan Rudy Pratikno di Kantor FKUB DKI Jakarta
Gedung Persada Sasana Karya, pada tanggal 26 November 2013.
9
Data ini diambil dari http://bekasikota.go.id/readotherskpd/156/143/visi-
dan-misi-kecamatan-mustikajaya diunduh pada tanggal 12 Juni 2013.
10
Keputusan Walikota Bekasi Nomor: 450/Kep. 372-
Kesbangpolinmas/VIII/2011 ini merupakan pembaharuan dari Keputusan
Walikota Bekasi Nomor: 450/kep. 188-Solinbermas/VI/2008 Tentang
Pembentukan Forum dan Dewan Penasehat kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Kota Bekasi. Dalam pembahasan kedua Keputusan Walikota Bekasi ini masih
sama-sama membahas tugas pembentukan FKUB dan Dewan Penasehat FKUB
tingkat kota, tugas pokok mereka, dan acuan pelaksanaan kegiatan mereka yang
sama-sama berpedoman pada PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Lihat Buku Pedoman
Kerukunan Hidup Umat Beragama yang dikeluarkan oleh FKUB Kota Bekasi
Tahun 2012, 57-64.

Kerukunan Umat Beragama … | 65


Peraturan Walikota Bekasi Nomor: 16 Tahun 2006 terdiri
dari 14 Pasal yang membahas tentang Tata Cara Pemberian Izin
Pendirian Rumah Ibadat Di Kota Bekasi, mulai dari pembahasan
pendirian rumah ibadat, tata cara penyelesaian persetujuan, izin
sementara pemanfaatan bangunan gedung, kewajiban panitia
pembangunan rumah ibadat, pengendalian dan pengawasan yang
dilakukan oleh pejabat daerah setempat, serta ketentuan umum
lainnya.11
Pasal 2 dalam Peraturan Walikota tersebut dibahas tentang
pendirian rumah ibadat yang terdiri dari 3 ayat, yakni:
(1) Warga masyarakat yang akan membangun rumah ibadat harus
mendapatkan izin Walikota;
(2) Izin Walikota, sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan
melalui sebuah panitia;
(3) Untuk melaksanakan pembangunan rumah ibadat yang telah
mendapat izin Walikota, panitia harus memperoleh IMB dari
perangkat daerah yang berwenang mengeluarkan rekomendasi
dimaksud.
Pembahasan tentang pendirian rumah ibadat dalam PBM
No. 9 dan 8 tahun 2006, sudah diatur dengan seksama, mulai dari
tata cara permohonan perizinan, izin pemanfaatan bangunan
gedung, sampai pada penyelesaian perselisihan bilamana terjadi,
yakni pada Pasal 13 sampai Pasal 22.12
Pembahasan lain dalam Peraturan Walikota Bekasi No. 16
Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyelesaian Persetujuan, yakni pada
Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa “Panitia mengajukan
permohonan izin mendirikan rumah ibadat, dilengkapi syarat-
syarat administrasi kepada walikota melalui Kabag Kesos; dan ayat
(2) “Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal
ini terdiri dari:
a. Susunan Panitia yang terdiri dari warga masyarakat setempat
di daerah;

11
Lihat Peraturan Walikota Bekasi Nomor 16 Tahun 2006 tentang Tata
Cara Pemberian Izin Pendirian Rumah Ibadat Di Kota Bekasi dalam Pedoman
Kerukunan Hidup Umat Beragama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Kota Bekasi, 2009, 23-35.
12
Pada Pasal 13 sampai Pasal 17 dibahas tentang Pendirian Rumah Ibadat,
Pasal 18 sampai Pasal 20 diatur tentang Izin Sementara Pemanfaatan Bangunan
Gedung, sedangkan aturan tentang Penyelesaian Perselisihan ada pada Pasal 21
dan Pasal 22. Lihat PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.

66 | Rif’atul Hasanah
b. Keterangan status kepemilikan tanah yang telah dikuasai
panitia/yayasan berbadan hukum;
c. Gambar rencana bangunan dan perhitungan rencana biaya;
d. Siteplan dari pengembang, untuk pendirian rumah ibadat di
lingkungan komplek perumahan;
e. Daftar jamaah pengguna rumah ibadat yang berdomisili di
wilayah setempat dibuktikan dengan rekaman Kartu Tanda
Penduduk paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang
disahkan oleh pejabat setempat;
f. Pernyataan tidak keberatan dari masyarakat lingkungan
setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang diketahui oleh
RT dan RW dan disahkan oleh Lurah dengan melampirkan
bukti rekaman Kartu Tanda Penduduk (KTP);
g. Surat Pengantar dari Lurah yang diketahui oleh Camat;
h. Advis Planning dari Kepala Bappeda untuk pendirian rumah
ibadat di atas tanah fasos/fasum di lingkungan komplek
perumahan;
i. Surat Pertimbangan Kepala Dinas Solinbermas;
j. Rekomendasi Kakan Depag; dan
k. Rekomendasi FKUB.

Pasal 3 ayat (3) “Kabag Kesos sebagaimana dimaksud ayat (1)


pasal ini menerima dan meneliti kelengkapan berkas permohonan
sesuai yang ditetapkan pada ayat (2) pasal ini kemudian
memberikan tanda terima berkas permohonan lengkap atau
mengembalikan berkas permohonan kepada panitia untuk
permohonan yang persyaratan administrasinya tidak atau belum
lengkap.
Pasal 3 ayat (4) dalam Peraturan Walikota Nomor 16 tahun
2006 mengatur “Untuk mendapatkan persyaratan administrasi
sebagaimana dimaksud ayat (2) pasal ini, panitia mengajukan
permohonan kepada instansi/lembaga yang mengeluarkan
persyaratan tersebut dengan mempertimbangkan kebutuhan nyata
dan sungguh-sungguh warga masyarakat, untuk tetap terciptanya
ketentraman, keamanan dan ketertiban umum.” Pada ayat (5)
dijelaskan “masa berlakunya surat-surat dan rekomendasi paling
lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang sebanyak 1 (satu) kali,
untuk jangka waktu 6 (enam) bulan berikutnya.”

Kerukunan Umat Beragama … | 67


Masih dalam Bab Tata Cara Penyelesaian Persetujuan, pasal
4 dalam Peraturan Walikota Bekasi Nomor 16 Tahun 2006 ini
terdapat 4 (empat) ayat, yakni:
(1) Kabag Kesos sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini
selanjutnya memproses permohonan izin pendirian rumah
ibadat dengan melakukan koordinasi dengan instansi/lembaga
terkait, melakukan peninjauan lokasi yang dituangkan dalam
Berita Acara;
(2) Instansi/Lembaga terkait sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal
ini adalah sebuah Tim yang ditetapkan oleh Walikota;
(3) Hasil koordinasi sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini
apabila memenuhi persyaratan meliputi pemenuhan
kebutuhan nyata, teknis perencanaan kota, pertimbangan
keamanan dan lingkungan, maka Kabag Kesos menyampaikan
pertimbangan disertai Berita Acara kepada Walikota untuk
mendapatkan izin atau menolak disertai alasan penolakan;
(4) Izin atau penolakan Walikota disampaikan kepada panitia dan
tembusannya disampaikan kepada instansi/lembaga terkait.
Peraturan Walikota Bekasi ini juga mengatur tentang
mekanisme pendirian rumah ibadat yang berdiri diatas tanah
fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos). Hal ini tercantum
pada Pasal 5 ayat (1) Khusus untuk permohonan persetujuan
pendirian rumah ibadat yang menggunakan tanah sarana sosial
atau tanah di bawah penguasaan Pemerintah Daerah, maka luas
tanah yang diizinkan akan diperhitungkan berdasarkan jumlah
jamaah; (2) Jumlah jamaah kurang dari 90 (sembilan puluh) orang,
permohonannya ditolak; dan (3) dasar perhitungan sebagaimana
dimaksud ayat (1) pasal ini, sebagai berikut:
a. Untuk jumlah jamaah sebanyak 90 s/d 150 orang, paling banyak
seluas 200 m2;
b. Untuk jumlah jamaah sebanyak 151 s/d 200 orang, paling banyak
seluas 500 m2;
c. Untuk jumlah jamaah sebanyak 201 s/d 300 orang, paling banyak
seluas 1.500 m2;
d. Untuk jumlah jamaah lebih dari 300 orang, paling banyak seluas
4.000 m2.
Pada pasal 16 ayat (2) PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006
dijelaskan bahwa Bupati/Walikota memberikan keputusan paling
lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian

68 | Rif’atul Hasanah
rumah ibadat diajukan. Hal yang sama diperinci lagi dalam
Peraturan Walikota Bekasi Nomor 16 Tahun 2006 yakni pada pasal
6. Pada pasal 6 ayat (1) diatur bahwa “pemberian izin atau
penolakan Walikota, diproses paling lambat 90 (sembilan puluh)
hari sejak permohonan diterima secara lengkap. Dalam pasal 6 ayat
(2) dinyatakan bahwa izin Walikota berlaku selama 6 (enam) bulan
sejak dikeluarkannya dan dapat diperpanjang sebanyak 1 (satu) kali
untuk jangka waktu yang sama setelah diteliti oleh
instansi/lembaga terkait, dan pada ayat (3) ditetapkan bahwa “izin
Walikota merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh
IMB.”
Secara ringkas, alur proses pelayanan izin pendirian rumah
ibadat yang tercantum dalam Peraturan Walikota Bekasi nomor: 16
Tahun 2006 dapat dilihat pada gambar bagan berikut13:

Gambar 3.1
Alur Proses Pelayanan Izin Pendirian Rumah Ibadat
(Peraturan Walikota Bekasi Nomor: 16 Tahun 2006)

13
Lihat Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, 2009, 36.

Kerukunan Umat Beragama … | 69


Dalam hal perizinan bangunan gedung bukan rumah ibadat
yang dijadikan rumah ibadat sementara juga diatur pada Peraturan
Walikota Bekasi No 16 Tahun 2006. Peraturan Walikota ini
merupakan penjabaran dari isi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Pasal 18
ayat (3) yang mengatur tentang persyaratan pemeliharaan
kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban
masyarakat. Untuk melengkapinya, dalam Peraturan Walikota
Bekasi ditambahkan dua poin dalam Pasal 8 ayat (3) yakni izin
pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah
ibadat sementara juga harus ada pernyataan tidak keberatan dari
masyarakat lingkungan setempat paling sedikit 60 (enam puluh)
orang yang diketahui RT dan RW dan disahkan oleh Lurah dengan
melampirkan bukti rekaman Kartu Tanda Penduduk dan terakhir
juga ada pelaporan tertulis kepada Dinas Solinbermas.
Dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Walikota Bekasi ini pun
dijabarkan bahwa Panitia yang telah mendapatkan izin Walikota
berkewajiban:
a. Melengkapi perizinan pembangunan lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berakhir
masa berlakunya;
b. Untuk pendirian rumah ibadat di atas tanah fasilitas sosial atau
tanah di bawah penguasaan Pemerintah Daerah, harus dibuat
perjanjian penggunaan lahan dalam bentuk surat perjanjian
sewa menyewa lahan fasilitas sosial dengan ketentuan, apabila
Pemerintah Daerah akan menggunakan lahan tersebut, maka
persetujuan dapat dicabut atau dibatalkan tanpa mendapat ganti
rugi;
c. Terhadap tanah fasilitas sosial, Pemerintah Daerah mempunyai
kewenangan mengatur peruntukan lahan berdasarkan
kepentingan pemerintah sesuai kebutuhan warga masyarakat.

Berikut digambarkan alur proses perizinan sementara


gedung rumah ibadat menurut Peraturan Walikota Bekasi Nomor:
16 Tahun 2006:

70 | Rif’atul Hasanah
Gambar 3.2
Alur Proses Pelayanan Izin Sementara Rumah Ibadat
(Peraturan Walikota Bekasi Nomor: 16 Tahun 2006)

Diizinkan untuk jangka waktu maksimal 2 tahun


WALIKOTA

PANITIA Berkas
lengkap ke
Kabag
KESOS

Izin tertulis Dukungan Rekomend Melaporkan Koordinator,


dari pemilik warga asi tertulis tertulis kepada: Peninjau Lokasi,
bangunan lingkungan dari Lurah 1. FKUB Pembahasan
minimal 60 2. DEPAG bersama
diketahui
orang instansi/lembaga
Camat 3. Dinas terkait ditinjau
diketahui Solinbermas dari aspek
RT/RW kelayakan
Tim instalasi/lembaga terkait terdiri: bangunan sebagai
bahan
1. Dinas Solinbermas
pertimbangan
2. Dinas Tarkim dalam memberikan
3. Bagian Kesos waktu berlakunya
4. Bagian Hukum izin sementara
5. Polres Metro Bekasi yang dituangkan
6. DEPAG dalam berita acara
7. Kelurahan
8. FKUB

Dalam bagan diatas, persyaratan antara izin pendirian


rumah ibadat dengan izin sementara rumah ibadat tidak begitu
berbeda karena syarat utamanya adalah data calon jamaat yang
jelas dan dukungan dari warga sekitar minimal 60 orang, juga
pemberian izin dari instansi terkait. Perbedaan kecil antara kedua
perizinan tersebut adalah pada izin sementara bangunan rumah
ibadat, ada izin tertulis dari pemilik bangunan dan instansi terkait
serta bangunan tersebut dalam keadaan layak fungsi dan
memenuhi peraturan perundang-undangan tentang bangunan
gedung.
Untuk menyalurkan aspirasi masyarakat, FKUB Kota Bekasi
dibentuk beberapa saat setelah diterbitkannya PBM Nomor 9 dan 8

Kerukunan Umat Beragama … | 71


tahun 2006 tanggal 21 Maret 2006. Pembentukan FKUB Kota Bekasi
ini beriringan dengan suasana yang tidak kondusif akibat
timbulnya reaksi masyarakat yang disebabkan oleh banyaknya
pendirian tempat ibadat serta pengalihan fungsi rumah tempat
tinggal dan rumah toko (ruko) menjadi tempat kebaktian dan
gereja di beberapa tempat yang tidak mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku.14
Dalam suasana rawan konflik seperti itu, Majelis Ulama
Indonesia Kota Bekasi –yang didalamnya berhimpun berbagai
ormas dan tokoh-tokoh Islam- banyak menerima pengaduan dari
masyarakat. MUI mencoba menjembatani dengan pihak aparat
terkait. Beberapa kasus berhasil diatasi melalui musyawarah yang
diikat dalam kesepakatan bersama dan ditandatangani oleh tokoh-
tokoh yang mewakili lembaga-lembaga keagamaan di Kota Bekasi.
Namun kesepakatan itu berulang lagi dilanggar, sehingga
penyalahgunaan rumah tempat tinggal dan ruko menjadi rumah
ibadat tidak kunjung berhenti.15
Dengan disahkannya PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 ini,
Pemda Kota Bekasi melalui dinas-dinas terkait memfasilitasi
pertemuan-pertemuan para pimpinan/tokoh ormas-ormas agama.
Dalam salah satu pertemuan yang berlangsung pada hari Kamis,
tanggal 1 Juni 2006 di Aula Kantor Departemen Agama Kota Bekasi,
para pimpinan/tokoh ormas-ormas agama di Kota Bekasi
menyepakati dibentuknya Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) Kota Bekasi. Pada kesempatan itu dibentuk juga susunan

14
Banyak kasus bermunculan di Kota Bekasi, diantaranya kasus: rumah
tempat tinggal yang dijadikan tempat kebaktian di Blok I, Dukuh Zamrud, Kota
Legenda, Kelurahan Cimuning, Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi. Kasusnya
menjadi ramai pada akhir Agustus 2004; Kasus lain juga terjadi seperti Rencana
pembangunan Gereja Bethel Indonesia di lingkungan RW. 01 Kelurahan Bojong
Rawa Lumbu, Kecamatan Rawa Lumbu Bekasi; kasus lain juga terjadi yakni
kasus rumah tempat tinggal di Jl. Pisang nomor 13-A dan 13-B, RW. 05,
Kompleks Perumahan Seroja, Bekasi Utara, yang dialihkan fungsinya menjadi
gereja oleh Gereja Kristen Pasundan dan Gereja Katolik Yohanes Pemandi. Kasus
ini menjadi ramai dibicarakan lantaran keberatan warga sekitar terhadap
keberadaan gereja tidak pernah ditanggapi dengan baik sejak 1995 dan memuncak
pada pertengahan April 2006. Untuk lebih jelasnya lihat Buku Rumah Ibadat Di
Kota Bekasi yang diterbitkan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Kota Bekasi tahun 2009, 139-140.
15
Lihat Buku Rumah Ibadat Di Kota Bekasi yang diterbitkan oleh Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi tahun 2009, 141.

72 | Rif’atul Hasanah
keanggotaan dan kepengurusan FKUB Kota Bekasi dengan merujuk
PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.16
Pembahasan tentang Pemberdayaan Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB) beserta pelaksanaan kegiatannya, diatur
dalam Keputusan Walikota Bekasi Nomor: 450/Kep. 372-
kesbangpolinmas/VIII/2011 tentang Pembentukan Forum dan
Dewan Penasehat Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi.
Keputusan ini berpedoman pada PBM No 9 dan 8 tahun 2006 Pasal 9
ayat (2), bahwa FKUB kabupaten/kota mempunyai tugas sebagai
berikut:
a. Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;
b. Menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat;
c. Menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam
bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota;
d. Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan
kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; dan;
e. Memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian
rumah ibadat.

Adapun tugas Dewan Penasehat FKUB yang juga diatur


dalam Pasal 11 PBM No 9 dan 8 tahun 2006 yakni:
a. Membantu kepala daerah dalam merumuskan kebijakan
pemeliharaan kerukunan umat beragama; dan
b. Memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan pemerintah daerah
dan hubungan antar sesama instansi pemerintah di daerah
dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.

Pada Keputusan Walikota Bekasi Nomor: 450/Kep. 372-


Kesbangpolinmas/VIII/2011 ini juga membahas masalah masa
bhakti pengurus FKUB yakni 5 (lima) tahun dan mengganti susunan
kepengurusan FKUB Kota Bekasi.17

16
Pertemuan-pertemuan ini berlangsung beberapa kali di Asrama Haji
Bekasi, di Kantor Dinas Sosial, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat
(Solinbermas) Kota Bekasi, dan di Aula Departemen Agama Kota Bekasi. Lihat
Buku Rumah Ibadat Di Kota Bekasi yang diterbitkan oleh Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi Tahun 2009, 140-141.
17
Lihat Buku Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama yang
dikeluarkan oleh FKUB Kota Bekasi Tahun 2012, 57-64.

Kerukunan Umat Beragama … | 73


Susunan pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) Kota Bekasi menurut Keputusan Walikota Bekasi Nomor:
450/Kep. 372-Kesbangpolinmas/VIII/2011 tanggal 4 Agustus 2011
sebagai berikut18:

I. Ketua : H. Abdul Manan (Islam)


II. Wakil Ketua I : DR. K.H. Zamakhsyari Abdul Madjid. MA
(Islam)
III. Wakil Ketua II : Drs. K.H. Soekandar Ghozali (Islam)
IV. Sekretaris : H. Hasnul Kholid Pasaribu, SE, MM
(Islam)
V. Wakil Sekretaris : H. E. Priyasuganda (Islam)
VI. Anggota : 1. H. Badruzzaman Busyairi (Islam)
2. H. Burhanuddin, Lc, M.Sc, MM (Islam)
3. H. Moch. Nasrulloh, S.Pd.I (Islam)
4. Ust. Aang Setiawan (Islam)
5. Drs. H. M. Nuh Mahmud, M. Pd (Islam)
6. H.Abu Deedat Shihabuddin M.Hum
(Islam)
7. Ust. Sanwani, S.Ag (Islam)
8. Dkn. Joskusport Silalahi, SH (Kristen)
9. Edi Tartiono (Katholik)
10. Nengah Darmawan, SH (Hindu)
11. Ir. Agus Susanto (Budha)
12. Suhendar SN (Kong Hu Cu)

18
Keanggotaan FKUB Kota Bekasi sesuai PBM No. 9 dan 8 tahun 2006,
berjumlah 17 orang dari 6 (enam) unsur agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, dan Konghucu). Sesuai data yang dihimpun Kantor Departemen Agama
Kota Bekasi pada Juni 2006, Kota Bekasi berpenduduk 1.845.005 jiwa, terdiri dari
Umat Islam 1.597.178 jiwa, Kristen 97.599 jiwa, Katolik 77.968 jiwa, Budha
40.807 jiwa, Hindu 30.562 jiwa, Konghucu dll 891 jiwa. Dengan demikian,
berdasarkan ketentuan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, bab III Pasal 10, maka
komposisi kepengurusan FKUB Kota Bekasi terdiri dari: perwakilan Umat Islam
12 orang, kemudian Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu masing-
masing diwakili satu orang. Lihat Buku Pedoman Kerukunan Hidup Umat
Beragama yang dikeluarkan oleh FKUB Kota Bekasi Tahun 2012, 65-66 dan
Buku Rumah Ibadat di Kota Bekasi yang diterbitkan oleh Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi Tahun 2009, 141.

74 | Rif’atul Hasanah
Susunan Dewan Penasehat Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) Kota Bekasi menurut Keputusan Walikota Bekasi Nomor:
450/Kep. 372-Kesbangpolinmas/VIII/2011 tanggal 4 Agustus 2011
sebagai berikut19:

I. Ketua : Plt. Walikota


II. Wakil Ketua : Kepala Kantor Kementerian Agama Kota
Bekasi
III. Sekretaris : Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan
Perlindungan Masyarakat
IV. Anggota : 1. Komandan KODIM 0507/Bekasi
2. Kepala Polresta Bekasi Kota
3. Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi
4. Ketua Pengadilan Negeri Bekasi
5. Kepala Bagian Bina Kesejahteraan Sosial
Sekretariat Daerah

19
Lihat Buku Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama yang
dikeluarkan oleh FKUB Kota Bekasi Tahun 2012, 67.

Kerukunan Umat Beragama … | 75


76 | Rif’atul Hasanah
BAB KEEMPAT
PERATURAN BERSAMA MENTERI
NOMOR 9 DAN 8 TAHUN 2006
DAN KERUKUNAN MASYARAKAT
MUSTIKA JAYA BEKASI

A. Pemahaman Masyarakat Mustika Jaya Bekasi Terhadap PBM


Nomor 9 dan 8 Tahun 2006

PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 ini merupakan suatu bentuk


hasil kebijakan dari proses realisasi prinsip yang dianut oleh
Indonesia, yakni mengkoordinasikan antara posisi negara dan
agama. Negara yang dalam hal ini dijalankan oleh pemerintah
mengatur lalu lintas keberagamaan antar warganya dengan tujuan
menjamin kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan
kepercayaannya juga memelihara kerukunan antar umat beragama.
Sebelum penulis menganalisa tentang tingkat pemahaman
masyarakat Mustika Jaya Kota Bekasi terhadap PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006, terlebih dahulu penulis akan menyajikan data jumlah
dan variasi responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini, sampel yang dijadikan responden
adalah masyarakat Mustika Jaya Kota Bekasi sebanyak 165 orang.
100 orang berasal dari pegawai kelurahan sedangkan 65 orang
lainnya merupakan masyarakat di Kecamatan Mustika Jaya Bekasi.
Dari hasil penelitian yang didapat, dari 165 orang responden
tersebut, ada 67 orang laki-laki dan 98 orang perempuan, dengan
rincian usia sebagai berikut:

Kerukunan Umat Beragama … | 77


Tabel 4.1
Deskripsi responden berdasarkan usia
No. Usia Jumlah
1. Antara 21 – 30 tahun 41 orang
2. Antara 31 – 40 tahun 62 orang
3. Antara 41 – 50 tahun 37 orang
4. Antara 51 – 60 tahun 25 orang
Total 165 orang

Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar responden


berada pada usia antara 31-40 tahun, dan minoritas responden
berusia antara 51-60 tahun. Untuk tingkat pendidikan responden
dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 4.2
Deskripsi responden berdasarkan pendidikan
No. Tingkat Pendidikan Jumlah
1. SMA 36 orang
2. Diploma 47 orang
3. Sarjana 74 orang
4. Magister 8 orang
Total 165 orang

Dari data diatas, terlihat bahwa responden mayoritas sudah


mengenyam pendidikan tinggi. Dari mayoritas responden yang
berpendidikan Sarjana ini, diantaranya sudah diangkat menjadi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yaitu sebanyak 82 orang, sedangkan
yang lainnya berstatus pegawai swasta, dan beberapa diantaranya
menjadi wiraswasta. Dengan perbedaan status seperti ini, maka
berbeda pula tingkat pendapatan. Responden yang berstatus PNS,
rata-rata berpenghasilan sekitar Rp. 2.100.000–Rp. 3.000.000,
sedangkan untuk mereka yang berstatus pegawai swasta dan
wiraswasta berpendapatan antara Rp. 1.100.000–Rp. 2.000.000,- dan
ada juga yang hanya Rp. 500.000-Rp. 1.000.000,- per bulannya.
Adapun tingkat keaktifan dalam ormas keagamaan, dari 165
orang responden, mayoritas tidak mengikuti ormas, hanya 76 orang
saja yang aktif. Mereka yang aktif terbagi menjadi anggota biasa
sebanyak 38 orang, menjabat anggota pengurus 12 orang, dan
simpatisan 26 orang. Beberapa ormas keagamaan yang ada di
wilayah kota Bekasi adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
(DDII), Gerakan Pemuda Islam (GPI), Front Pembela Islam (FPI),

78 | Rif’atul Hasanah
Jemaah Ansharut Tauhid (JAT), organisasi Majlis Taklim dan Taman
Pendidikan Al-Qur’an (TPA).1
Untuk keterlibatan responden dalam organisasi
kemasyarakatan lainnya, seperti Karang Taruna, PKK, dan lainnya,
sebagian besar mereka juga tidak aktif dalam keorganisasian
tersebut, hanya berjumlah 73 orang yang aktif di dalamnya, 92
orang lainnya tidak aktif. Dari 73 orang itu, 32 orang sebagai
anggota biasa, 17 orang terlibat sebagai anggota pengurus, dan
lainnya hanya simpatisan.
Dalam pengukuran tingkat pemahaman masyarakat
terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam
Memelihara Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, peneliti
membuat 35 item pertanyaan dengan opsi jawaban paham dan
tidak paham. Responden yang menjawab paham diberi nilai 1,
sedangkan opsi jawaban tidak paham diberi nilai 0.
Adapun 35 item pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Apakah anda memahami bahwa pemeliharaan kerukunan umat
beragama menjadi tanggung jawab bersama umat beragama,
pemerintah daerah dan pemerintah?
2. Apakah anda memahami bahwa tugas dan kewajiban
bupati/walikota diantaranya memelihara ketentraman dan
ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya
kerukunan umat beragama di kabupaten/kota?
3. Apakah anda memahami bahwa tugas dan kewajiban
bupati/walikota diantaranya menumbuhkembangkan
keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, saling
percaya diantara umat beragama?
4. Apakah anda memahami bahwa tugas dan kewajiban
bupati/walikota dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama
di kabupaten/kota dibantu oleh kepala kantor wilayah
departemen agama kabupaten/kota?
5. Apakah anda memahami bahwa tugas dan kewajiban camat
diantaranya memelihara ketentraman dan ketertiban

1
International Crisis Group, Indonesia: “Christianisation” and Intolerance,
Jakarta/Brussels, 24 November 2010, http://www.crisisgroup.org diunduh tanggal
08/03/2012.

Kerukunan Umat Beragama … | 79


masyarakatnya termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan
umat beragama di wilayah kecamatan?
6. Apakah anda memahami bahwa tugas dan kewajiban camat
diantaranya membina dan mengkoordinasikan lurah dan kepala
desa dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di bidang
ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan
keagamaan?
7. Apakah anda memahami bahwa tugas dan kewajiban
lurah/kepala desa diantaranya memelihara ketentraman dan
ketertiban masyarakatnya termasuk memfasilitasi terwujudnya
kerukunan umat beragama di wilayah kelurahan/desa?
8. Apakah anda memahami bahwa tugas dan kewajiban
lurah/kepala desa diantaranya menumbuhkembangkan
keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, saling
percaya diantara umat beragama?
9. Apakah anda memahami bahwa FKUB dibentuk di provinsi dan
kabupaten/kota?
10. Apakah anda memahami bahwa antara FKUB provinsi dengan
FKUB kabupaten/kota mempunyai hubungan yang bersifat
konsultatif?
11. Apakah anda memahami bahwa tugas FKUB diantaranya
melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh
masyarakat?
12. Apakah anda memahami bahwa tugas FKUB diantaranya
menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi
masyarakat?
13. Apakah anda memahami bahwa tugas FKUB diantaranya
menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam
bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota?
14.Apakah anda memahami bahwa tugas FKUB diantaranya
melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan
kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat?
15. Apakah anda memahami bahwa tugas FKUB diantaranya
memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan rumah
ibadat?
16. Apakah anda memahami bahwa keanggotaan FKUB terdiri atas
pemuka-pemuka agama setempat?

80 | Rif’atul Hasanah
17. Apakah anda memahami bahwa tugas Dewan Penasihat FKUB
diantaranya membantu kepala daerah dalam merumuskan
kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama?
18. Apakah anda memahami bahwa tugas Dewan Penasihat FKUB
diantaranya memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan
pemerintah daerah dan hubungan antar sesama instansi
pemerintah di daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama?
19. Apakah anda memahami bahwa Ketua Dewan Penasihat FKUB
tingkat kabupaten/kota dijabat oleh Wakil Walikota?
20. Apakah anda memahami bahwa Sekretaris Dewan Penasihat
FKUB tingkat kabupaten/kota dijabat oleh Kepala badan
kesatuan bangsa dan politik kabupaten/kota?
21. Apakah anda memahami bahwa jika dalam komposisi jumlah
penduduk di batas wilayah kelurahan/desa tidak terpenuhi,
maka pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan
batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi?
22. Apakah anda memahami bahwa salah satu persyaratan
pendirian rumah ibadat harus mematuhi persyaratan
administratif seperti adanya surat keterangan kepemilikan
tanah dan persyaratan teknis bangunan gedung seperti
terpenuhinya syarat tata bangunan gedung?
23. Apakah anda memahami bahwa persyaratan pendirian rumah
ibadat dari segi kerukunan umat beragama adalah adanya paling
sedikit terdiri dari 90 orang dewasa calon pengguna yang
disahkan oleh pejabat setempat?
24.Apakah anda memahami bahwa sebuah rumah ibadat yang akan
dibangun, harus juga memiliki dukungan dari 60 orang warga
sekitar yang disahkan oleh lurah/kepala desa?
25. Apakah anda memahami bahwa pendirian rumah ibadat harus
mendapatkan rekomendasi tertulis dari FKUB dan kepala kantor
departemen agama kabupaten/kota?
26. Apakah anda memahami bahwa rekomendasi FKUB tentang
pendirian rumah ibadat merupakan hasil musyawarah dan
mufakat dalam rapat FKUB yang dituangkan dalam bentuk
tertulis?
27. Apakah anda memahami bahwa yang mengajukan permohonan
pendirian rumah ibadat adalah panitia pembangunan rumah
ibadat kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah
ibadat?

Kerukunan Umat Beragama … | 81


28. Apakah anda memahami bahwa jangka waktu bupati/walikota
untuk memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh)
hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan?
29. Apakah anda memahami bahwa bangunan gedung bukan rumah
ibadat yang akan difungsikan sebagai rumah ibadat sementara
harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara
dari bupati/walikota?
30. Apakah anda memahami bahwa izin sementara pemanfaatan
bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat
juga harus mengajukan laporan tertulis kepada FKUB
kabupaten/kota dan kepala daerah Kandepag kabupaten/kota?
31. Apakah anda memahami bahwa surat keterangan pemberian izin
sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat
dari bupati/walikota berlaku paling lama 2 (dua) tahun?
32. Apakah anda memahami bahwa penerbitan surat keterangan
izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah
ibadat sebagai rumah ibadat dapat dilimpahkan kepada camat
setelah mempertimbangkan pendapat tertulis Kepala Kandepag
dan FKUB kabupaten/kota setempat?
33. Apakah anda memahami bahwa perselisihan akibat pendirian
rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat
setempat?
34.Apakah anda memahami jika cara musyawarah oleh masyarakat
setempat tidak dapat dicapai, maka penyelesaian perselisihan
dilakukan oleh bupati/walikota dibantu Kepala Kandepag
kabupaten/kota melalui musyawarah dengan
mempertimbangkan saran FKUB kabupaten/kota?
35. Apakah anda memahami apabila dengan dua cara diatas tidak
dapat dicapai, maka penyelesaian perselisihan dilakukan
melalui Pengadilan setempat?
Dari jawaban responden yang terkumpul, diperoleh skor
pemahaman dengan mean sebesar 25.83, standar deviasi 9.983,
dengan nilai maksimum 35 dan nilai minimum 0. Adapun
pengkategorian tingkat pemahaman, ditentukan dengan
menentukan panjang kelas interval.2 Dari perolehan nilai tersebut,

2
Sebelum menentukan panjang kelas interval, dihitung dahulu jumlah kelas
interval. Dalam hal ini jumlah kelas intervalnya adalah 5 (lima), sedangkan rumus
menentukan panjang interval adalah (data terbesar - data terkecil) dibagi dengan
jumlah kelas interval (5), yaitu: 35 – 0 = 35/5 = 7. Lihat Sugiyono, Metode
Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009), 172.

82 | Rif’atul Hasanah
ada beberapa kategori pemahaman yang dapat dilihat dalam tabel
berikut:
Tabel 4.3
Indeks Pemahaman Masyarakat Tentang
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006
No. Indeks Tingkat Pemahaman Prosentase
1. 29 – 35 Sangat Tinggi 32%
2. 22 – 28 Tinggi 15%
3. 15 – 21 Sedang 28%
4. 8 – 14 Rendah 14%
5. 0–7 Sangat Rendah 11%
Jumlah 100%

Dari tabel diatas, responden menunjukkan mempunyai


pemahaman yang sangat tinggi sebanyak 32%, sedangkan di urutan
kedua, responden berpemahaman sedang sebanyak 28%.
Responden yang berpemahaman rendah dan sangat rendah berada
pada posisi yang paling bawah. Dengan hasil seperti ini, dapat
dikatakan bahwa pemahaman responden terhadap PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006 mayoritas berada pada pemahaman sangat tinggi dan
sedang. Pemahaman yang sangat tinggi karena sebelumnya sudah
diadakan Deklarasi Kerukunan di Kecamatan Mustika Jaya Bekasi.3
Namun jika dilihat dari prosentase tingkat pemahaman sangat
tinggi ini pun, masih di bawah 50%, bisa dikatakan bahwa tidak ada
setengah dari jumlah responden, yang memahami bahkan
menguasai materi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.

3
Melihat dampak dari Deklarasi Kerukunan yang sangat baik, maka
Walikota Bekasi Dr. Rahmat Effendi, ingin Deklarasi tersebut diturunkan di
tingkat Kecamatan. Pada tahun 2012 sudah 12 kecamatan di Kota Bekasi
melangsungkan acara Deklarasi Kerukunan tersebut. Setelah itu, mengingat
dampak kerukunan sangat penting maka dilanjutkan bukan kegiatan Deklarasi,
tapi berupa sosialisasi di tingkat Kelurahan, yakni sosialisasi semua peraturan
perundangan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama, baik terkait
dengan PBM No. 9 dan 8 tahun 2006 maupun Peraturan Walikota Bekasi No. 16
Tahun 2006. Hal ini dipaparkan oleh Abdul Manan selaku Ketua FKUB Kota
Bekasi pada Sosialisasi FKUB Tingkat Kelurahan Tahun 2012 di Kelurahan
Padurenan Kecamatan Mustika Jaya, tanggal 11 September 2012 di Kelurahan
Padurenan RW 20 Blok N, Kecamatan Mustika Jaya yang dihadiri oleh seluruh
tokoh agama masyarakat, baik dari tokoh Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha,
dan Konghucu.

Kerukunan Umat Beragama … | 83


Adapun jika menganalisis responden yang berasal dari
masyarakat saja yang berjumlah 65 orang, hasilnya pun tidak begitu
jauh berbeda dengan indeks dalam tabel diatas. Beberapa
masyarakat berada dalam pemahaman tinggi, namun juga tidak
sampai mencapai 50%. Hal ini bisa disebabkan karena PBM No. 9
dan 8 Tahun 2006 belum tersosialisasikan dengan baik ke seluruh
lapisan masyarakat.
Dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, terdapat 3 sub bahasan
atau sub variabel yang dijadikan objek penelitian ini, yakni
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan
Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah ibadat.
Pada sub-sub variabel tersebut, ternyata masyarakat lebih condong
mengerti sub bahasan pertama dibanding sub bahasan lainnya. Hal
ini bisa dilihat pada grafik berikut:

Grafik 4.1
Indeks Pemahaman Masyarakat Tentang PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006 per sub variabel
100%
90%
78%
80%
70%
60%
50% 46% Tinggi
42%
Sedang
40% 35%
32%
Rendah
30% 23%
22%
18%
20%
10% 4%
0%
Tugas Kepala Pemberdayaan Pendirian Rumah
Daerah FKUB Ibadat

Pada grafik diatas, terlihat bahwa masyarakat mempunyai


pemahaman yang lebih tinggi pada sub bahasan tugas Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam memelihara kerukunan

84 | Rif’atul Hasanah
antar umat beragama, hal ini terlihat dari pencapaian kriteria
tinggi yang mencapai 78%, sedangkan pada sub bahasan
pemberdayaan FKUB kriteria tinggi diperoleh 46% dan lebih rendah
lagi pada sub bahasan pendirian rumah ibadat yakni perolehan
kriteria tinggi hanya sebesar 35%. Pada sub bahasan pendirian
rumah ibadat, responden lebih menunjukkan pemahaman yang
rendah terhadap isi dari pertanyaan kuesioner yang sebenarnya
merupakan isi dari pasal-pasal PBM No. 9 dan 8 tahun 2006.
Pemahaman yang lebih tinggi pada sub bahasan tugas
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam memelihara
kerukunan umat beragama bisa disebabkan karena bahasan yang
agak mudah dipahami, sedangkan pemahaman terkait
pemberdayaan FKUB dan tata cara pendirian rumah ibadat
dibutuhkan sosialisasi khusus dari pemerintah. Kebanyakan
responden belum memahami seluk beluk FKUB dan segala hal yang
terkait dengan kinerja FKUB. Demikian juga pembahasan tentang
pendirian rumah ibadat.
Sejalan dengan ini, ketika penulis menganalisis khusus
responden yang berasal dari masyarakat biasa, mereka lebih
memahami bahasan tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
dalam memelihara kerukunan umat beragama dibanding
pembahasan lainnya. Terkait dengan persyaratan pendirian rumah
ibadat dan tentang izin sementara pemanfaatan bangunan untuk
dijadikan rumah ibadat juga tidak begitu dimengerti. Hal ini bisa
menjadi penyebab munculnya ketidakrukunan antar umat
beragama.
Terkait sosialisasi tentang PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 ini,
di wilayah Kecamatan Mustika Jaya Bekasi, telah dilakukan di
kelurahan Padurenan pada tanggal 11 September 2012, tanggal 13
September 2012 di kelurahan Mustika Jaya, kelurahan Mustika Sari
tanggal 18 September 2012, dan tanggal 24 Oktober 2012 di
kelurahan Cimuning. Sosialisasi ini merupakan bentuk tindak lanjut
dari kegiatan Deklarasi Kerukunan yang sebelumnya telah diadakan
di wilayah atau kecamatan Mustika Jaya tersebut. 4 Penjelasan
tentang pemahaman masyarakat terhadap sub bahasan PBM No. 9
dan 8 Tahun 2006 secara rinci, ada pada penjelasan berikut ini:

4
Wawancara dengan Pak Nanang, Kabag Kesos Kecamatan Mustika Jaya
Bekasi di Kantor Kesos Kecamatan Mustika Jaya Bekasi, 27 Agustus 2012.

Kerukunan Umat Beragama … | 85


1. Pemahaman Masyarakat Terhadap Tugas Pemerintah Daerah
dan Wakil Kepala Daerah dalam Memelihara Kerukunan Umat
Beragama
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 merupakan salah satu bentuk
hukum dari pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Itulah sebabnya mengapa PBM ini berjudul
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
Dalam PBM ini, pada bahasan Tugas Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama terdapat 5 pasal, mulai
dari tugas dan kewajiban gubernur dan wakil gubernur, tugas dan
kewajiban bupati/walikota, tugas dan kewajiban camat, dan tugas
dan kewajiban lurah/kepala desa dalam memelihara kerukunan
umat beragama.5
Pada pasal 2 PBM No. 9 dan 8 tahun 2006 ini dinyatakan
bahwa “Pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi
tanggung jawab bersama umat beragama, pemerintahan daerah,
dan Pemerintah.”6 Pemerintah daerah dalam hal ini merupakan
pemerintah daerah Kota Bekasi pada umumnya dan Pemerintah
daerah kecamatan Mustika Jaya pada khususnya mempunyai
beberapa tugas pokok dan fungsi dalam memelihara stabilitas
keamanan dan kerukunan warganya. Di wilayah provinsi,
pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tugas dan
kewajiban gubernur, karena kerukunan umat beragama merupakan
bagian penting dari kerukunan nasional. Dalam pelaksanaannya,
tugas dan kewajiban tersebut dibantu oleh wakil gubernur dan
aparat terkait, serta kepala kantor wilayah departemen agama
provinsi.
Tugas dan kewajiban gubernur meliputi: memelihara
ketentraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi
terwujudnya kerukunan umat beragama di provinsi,
mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di provinsi dalam

5
Lihat PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
6
Dalam hal ini, unsur masyarakat ditempatkan di urutan nomor pertama
yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan kerukunan umat beragama. Hal
itu mengandung bahwa masyarakat memegang peranan penting dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama. Lihat Buku Tanya Jawab PBM No. 9
dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala daerah/Wakil
Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan
Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat yang diterbitkan
oleh Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, Cetakan I, 2007, 7.

86 | Rif’atul Hasanah
pemeliharaan kerukunan umat beragama, menumbuhkembangkan
keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling
percaya di antara umat beragama, dan membina dan
mengoordinasikan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil
walikota dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di bidang
ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan
beragama.7
Pada tingkat kabupaten/kota, pemeliharaan kerukunan umat
beragama ini menjadi tanggung jawab bupati/walikota beserta
jajaran aparat yang membantunya.8 Tugas dan kewajiban
bupati/walikota dalam hal ini juga sama dengan gubernur, hanya
saja ditambah satu point lagi yakni menerbitkan IMB rumah ibadat.
Pelaksanaan tugas pemeliharaan kerukunan umat beragama oleh
bupati/walikota dapat didelegasikan kepada wakil bupati/wakil
walikota, yaitu menyangkut tugas mengoordinasikan kegiatan
instansi vertikal di kabupaten/kota, dan mengoordinasikan camat,
lurah, dan kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam
kehidupan beragama.9
Bupati/walikota juga dapat melimpahkan sebagian tugasnya
kepada camat yakni pada tugas dan kewajiban memfasilitasi
terwujudnya kerukunan umat beragama, dan dalam
menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling
menghomati, dan saling percaya di antara umat beragama di
tingkat kecamatan, juga membina dan mengoordinasikan lurah dan
kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di
bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan
keagamaan.10 Di tingkat kelurahan, bupati/walikota juga dapat

7
Lihat Pasal 5 ayat 1 dan 2 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Pelaksanaan
tugas pemeliharaan kerukunan umat beragama oleh gubernur dapat didelegasikan
kepada wakil gubernur, yaitu yang menyangkut tugas mengoordinasikan kegiatan
instansi vertikal di provinsi, mengoordinasikan bupati/wakil bupati dan
walikota/wakil walikota dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di bidang
ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama dan tugas
menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati,
dan saling percaya di antara umat beragama. Lihat Buku Tanya Jawab PBM No. 9
dan 8 Tahun 2006, 10.
8
Lihat Pasal 3 dan 4 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
9
Lihat Pasal 6 ayat (1), (2), dan (3) PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
10
Lihat Pasal 7 ayat (1) PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.

Kerukunan Umat Beragama … | 87


mendelegasikan tugas dan kewajibannya dalam pemeliharaan
kerukunan umat beragama kepada lurah/kepala desa. 11
Dari hasil pengolahan data perhitungan kuesioner yang
disebar oleh peneliti, ditemukan bahwa mayoritas responden
mempunyai pemahaman yang tinggi terhadap tugas pemerintah
daerah dan wakil kepala daerah dalam memelihara kerukunan
umat beragama. Hal ini diperoleh dari data indeks seperti terlihat
pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.4
Indeks Pemahaman Masyarakat Mustika Jaya Bekasi Tentang
Tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam
Memelihara Kerukunan Umat Beragama

Tingkat
No. Indeks Prosentase
Pemahaman
1. 6–8 Tinggi 78%
2. 3–5 Sedang 18%
3. 0–2 Rendah 4%
Jumlah 100%

Pada tabel diatas, data menunjukkan bahwa mayoritas


masyarakat Mustika Jaya Bekasi mempunyai pemahaman terhadap
Tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Memelihara
Kerukunan Umat Beragama yang tinggi. Dari 165 orang responden,
sebanyak 78% menunjukkan pemahaman mereka tinggi,
pemahaman sedang ada di posisi kedua dan hanya 4% (baca: 4
orang) yang tidak memahami tugas Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama.
Pada sub variabel Tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama ini ada 8
(delapan) item pertanyaan yang harus dijawab oleh responden. Dari
hasil data yang didapatkan sebanyak 4 item pertanyaan, hampir
90% dijawab ”Paham” oleh responden, dan prosentase pertanyaan
lainnya tidak ada yang dibawah 50%. Hal ini menunjukkan bahwa
responden paham akan fungsi dan tugas Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama.
Adapun sub bahasan variabel tugas Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama yang
11
Lihat Pasal 7 ayat (2) PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.

88 | Rif’atul Hasanah
diatur dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan perolehan nilai
pemahaman masyarakat terhadap bahasan tersebut dapat dilihat
pada grafik berikut ini:

Grafik 4.2
Pemahaman Masyarakat terhadap Tugas Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah dalam Memelihara Kerukunan Umat
Beragama

Kewajiban
Bupati/Walikota
88% 83%
Kewajiban Camat

85% Kewajiban
Lurah/Kades

Dari grafik diatas, diketahui bahwasanya pemahaman


masyarakat terhadap kewajiban Camat dan Lurah/Kades lebih
tinggi dibandingkan kewajiban Bupati/Walikota. Pemahaman yang
lebih tinggi pada kewajiban Camat dan Lurah/Kades dikarenakan
juga masyarakat sudah memahami tugas-tugas kepala daerah yang
menjabat di daerah setempat.

2. Pemahaman Masyarakat Terhadap Pemberdayaan Forum


Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) adalah forum yang
dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam
rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat
beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.12

12
\Lihat Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama, Pemberdayaan FKUB, dan Pendirian Rumah Ibadat yang dikeluarkan
oleh Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI Tahun 2008, hal. 5.

Kerukunan Umat Beragama … | 89


FKUB adalah suatu bentuk penyempurnaan forum yang sudah
ada yakni Forum Komunikasi dan Konsultasi Umat Beragama
(FKKUB) pada tahun 2000. Pemerintah mengesahkan Peraturan
Bersama Menteri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 sebagai
penyempurnaan dari Surat Keputusan Bersama No. 1 Tahun 1969,
yang isinya antara lain mengatur tentang Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) yang pada hakekatnya memiliki tugas dan fungsi
yang sama dengan FKKUB bahkan ada tambahan tugas yakni
memberikan rekomendasi izin pendirian rumah ibadat.13Adanya
FKUB juga sebagai bentuk perubahan paradigma terkait dengan
kebijakan kerukunan umat beragama.14
Di Kota Bekasi, FKUB juga dibentuk sebulan setelah PBM No. 9
dan 8 Tahun 2006 disahkan. Dikatakan oleh H. Moch. Nasrullah,
FKUB Kota Bekasi sejak sebelum ada PBM sudah terbentuk, namun
baru berupa perkumpulan beberapa tokoh masyarakat dan tokoh
agama di Kota Bekasi yang diutus oleh organisasinya masing-
masing.15
FKUB ada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. FKUB juga
dapat dibentuk di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa untuk
kepentingan dinamisasi kerukunan, tetapi tidak memiliki tugas
formal sebagaimana FKUB tingkat provinsi, kabupaten/kota. 16
FKUB Provinsi mempunyai beberapa tugas yakni melakukan
dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, menampung
aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan
aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk
rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur, dan melakukan
sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang
keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan
pemberdayaan masyarakat. Adapun FKUB kabupaten/kota

13
Ahsanul Khalikin, “Peran Forum Kerukunan Umat Beragama dalam
Pelaksanaan PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006 di Jakarta Pusat” dalam Jurnal
Multikultural & Multireligius Vol. IX No. 33, 2010.
14
Wawancara dengan Ketua FKUB DKI Jakarta A. Syafi’i Mufidz di
Kantor FKUB DKI Jakarta, tanggal 14 November 2013.
15
Wawancara dengan Pak. H. Moch. Nasrullah, anggota FKUB Kota
Bekasi di kantor FKUB Kota Bekasi pada tanggal 26 Maret 2014.
16
Lihat Pasal 8 PBM. Sampai bulan Juni 2007, FKUB sudah ada di 21
provinsi, 110 kabupaten dan 29 kota. Lihat Soefyanto, Pendirian Rumah Ibadat
dan Catatan Perkembangan Pembahasannya (Jakarta: Universitas Islam Jakarta,
2009), 26.

90 | Rif’atul Hasanah
mempunyai satu tambahan tugas lagi yaitu memberikan
rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.17
FKUB juga mempunyai peran strategis dalam upaya
mencegah terjadinya konflik yakni sebagai fasilitator dan juga
mitra kerja Pemerintah Daerah dalam memelihara kerukunan dan
menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan sosial
keagamaan masyarakat.18 FKUB Kota Bekasi sendiri sudah
mengadakan kegiatan-kegiatan dialog antar agama dengan
mengundang tokoh-tokoh agama dan masyarakat dan ketika
program kegiatan Deklarasi Kerukunan yang diadakan Pemerintah
Kota Bekasi, FKUB dan Kementerian Agama menjadi
narasumbernya.19
Dalam menjalankan tugas dan program kerjanya, FKUB
mendapat kucuran dana APBD yang cukup untuk mendanai
operasional kegiatan atau semacam honor, namun dana tersebut
terbatas.20
Terkait struktur keanggotaan FKUB, pada Pasal 10 PBM
dinyatakan bahwa keanggotaan FKUB terdiri atas pemuka-pemuka

17
Di dalam buku Soefyanto, yang berjudul Pendirian Rumah Ibadat dan
Catatan Perkembangan Pembahasannya, ada dua tambahan tugas lagi bagi FKUB
yakni Program pemberdayaan masyarakat, ekonomi, pendidikan, hukum, politik,
budaya; dan membantu mencari penyelesaian perselisihan masyarakat terkait
pendirian rumah ibadat dengan jalan musyawarah mufakat. Lihat Soefyanto,
Pendirian Rumah Ibadat dan Catatan Perkembangan Pembahasannya, 22-23.
Bandingkan dengan isi Pasal 8 dan Pasal 9 ayat (1) dan (2) PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006 dalam Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, 14.
18
Ramadhanita Mustika Sari, “Jaring Pengaman Pencegahan Konflik:
Kasus Masyarakat Oku Timur”, Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, 85.
19
Hal ini dipaparkan oleh Abdul Manan selaku Ketua FKUB Kota Bekasi
pada Sosialisasi FKUB Tingkat Kelurahan Tahun 2012 di Kelurahan Padurenan
Kecamatan Mustika Jaya, tanggal 11 September 2012 di Kelurahan Padurenan
RW 20 Blok N, Kecamatan Mustika Jaya.
20
Untuk melaksanakan dan mewujudkan program kerja FKUB, ada
pelaku dan pendukung. Sebagai pelaku adalah anggota FKUB itu sendiri,
sedangkan faktor pendukungnya adalah dana dan orang atau instansi lain yang
terkait. FKUB pernah mengadakan kegiatan dan mendapatkan sponsor baik dari
Kementerian Agama dan Kesbangpol. Terkadang juga Instansi-instansi tersebut
yang mengadakan kegiatan dan memanggil FKUB untuk menjadi pembicaranya.
Wawancara dengan Rudy Pratikno di Kantor FKUB DKI Jakarta Gedung Persada
Sasana Karya, pada tanggal 26 November 2013.

Kerukunan Umat Beragama … | 91


agama21 dan jumlah anggota FKUB provinsi paling banyak 21 orang
dan jumlah anggota FKUB kabupaten/kota paling banyak 17
orang.22 Kemudian untuk memberdayakan FKUB ini, dibentuklah
Dewan Penasihat FKUB di provinsi dan kabupaten/kota yang
mempunyai tugas sebagai berikut:
a. Membantu kepala daerah dalam merumuskan kebijakan
pemeliharaan kerukunan umat beragama; dan
b. Memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan pemerintah
daerah dan hubungan antar sesama instansi pemerintah di
daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.23

Pada pasal 11 ayat (3) diatur tentang keanggotaan Dewan


Penasihat FKUB di tingkat Provinsi yang beranggotakan para
pejabat di lingkungan pemerintah daerah yang ditetapkan oleh
gubernur dengan susunan keanggotaan sebagai berikut:
a. Ketua : Wakil Gubernur;
b. Wakil Ketua : Kepala Kantor Wilayah Departemen
Agama Provinsi
c. Sekretaris : Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik Provinsi
d. Anggota : Pimpinan Instansi Terkait
Pada pasal 11 ayat (4) PBM menyatakan bahwa keanggotaan
Dewan Penasihat FKUB kabupaten/kota ditetapkan oleh
bupati/walikota dengan susunan keanggotaan:
a. Ketua : Wakil Bupati/Wakil Walikota
b. Wakil Ketua : Kepala Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota

21
Pemuka agama disini yaitu tokoh komunitas umat beragama baik yang
memimpin ormas keagamaan maupun yang tidak memimpin ormas keagamaan
yang diakui dan atau dihormati oleh masyarakat setempat sebagai panutan. Lihat
Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, 17.
22
Komposisi keanggotaan FKUB provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan
berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan
minimal 1 (satu) orang dari setiap agama yang ada di provinsi dan
kabupaten/kota. FKUB dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil
ketua, 1 (satu) orang sekretaris, 1 (satu) orang wakil sekretaris, yang dipilih secara
musyawarah oleh anggota. Lihat Pasal 10 ayat (3) dan (4) PBM No. 9 dan 8 tahun
2006.
23
Pasal 11 ayat (2) PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.

92 | Rif’atul Hasanah
c. Sekretaris : Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik kabupaten/Kota
d. Anggota : Pimpinan Instansi Terkait.
Adapun pola hubungan FKUB dengan Dewan Penasehat
FKUB adalah dua struktur organisasi yang terpisah namun
mempunyai hubungan kemitraan, ketentuan lebih lanjut mengenai
FKUB dan Dewan Penasehat FKUB provinsi dan kabupaten/kota
diatur dengan Peraturan Gubernur. 24 FKUB dan Dewan Penasehat
FKUB ini dibentuk paling lambat satu tahun sejak Peraturan
Bersama No. 9 dan 8 Tahun 2006 ini ditetapkan. Apabila di provinsi
dan kabupaten/kota sudah terbentuk FKUB atau forum sejenis,
maka disesuaikan paling lambat 1 (satu) tahun sejak PBM
ditetapkan.25
Berbeda dengan pemahaman masyarakat terhadap tugas
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam memelihara
kerukunan antar umat beragama, pemahaman masyarakat Mustika
Jaya Bekasi terhadap pemberdayaan FKUB bisa dikatakan bahwa
responden belum sepenuhnya memahami sub bahasan FKUB ini,
dikarenakan prosentase pada kategori tinggi kurang dari 50%,
sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.5
Indeks Pemahaman Masyarakat Mustika Jaya Bekasi
Tentang Pemberdayaan FKUB
Tingkat
No. Indeks Prosentase
Pemahaman
1. 9 – 12 Tinggi 46%
2. 5–8 Sedang 32%
3. 0–4 Rendah 22%
Jumlah 100%

24
Yang diatur oleh Peraturan Gubernur mengenai FKUB dan Dewan
Penasehat FKUB baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota antara lain
adalah (a) pengukuhan/pelantikan anggota FKUB dan Dewan Penasehat FKUB;
(b) masa kerja FKUB dan Dewan Penasehat FKUB; (c) penggantian antar waktu
FKUB dan Dewan Penasehat FKUB bila berhalangan tetap, pindah alamat, dan
sebab-sebab lain karena tidak mampu melaksanakan tugasnya; (d) tata
administrasi umum dan keuangan FKUB dan Dewan Penasehat FKUB; dan (e)
prinsip dasar tata kelola FKUB yang selanjutnya diatur dalam anggaran rumah
tangga FKUB. Lihat Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, 22-23.
25
Lihat Pasal 27 ayat (1) dan (2) PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.

Kerukunan Umat Beragama … | 93


Pada sub variabel pemberdayaan FKUB ini ada 12 (dua belas)
item pertanyaan yang harus dijawab oleh responden yang terdiri
dari bahasan tentang FKUB dan Dewan Penasihat FKUB. Dari hasil
data yang didapatkan, beberapa responden memahami pertanyaan
yang terkait dengan pembentukan FKUB, tugas FKUB, dan
keanggotaan FKUB, sedangkan untuk bahasan Dewan Penasihat
FKUB, mayoritas responden kurang memahaminya. Hal ini dapat
dilihat pada grafik berikut:

Grafik 4.3
Pemahaman Masyarakat Terhadap Pemberdayaan FKUB

Pembentukan FKUB

47% 52% Tugas FKUB

Keanggotaan FKUB
49%
54%
Dewan Penasehat
FKUB

Dari grafik diatas, terlihat bahwa pembahasan FKUB ini


kurang dipahami oleh masyarakat, apalagi pemahaman terendah
ada pada Dewan Penasehat FKUB. Masyarakat tidak begitu
memahami bahasan Dewan Penasehat FKUB dikarenakan Dewan
Penasehat ini tidak langsung berhubungan dengan masyarakat,
sehingga masyarakat tidak begitu mengenali posisi dan tugas
jabatan tersebut. Hubungan antara FKUB dengan Dewan Penasihat
FKUB adalah bersifat konsultatif. Program kerja pertemuan antara
FKUB dengan Dewan Penasihat FKUB diagendakan untuk
membicarakan masalah-masalah internal dan eksternal FKUB,
seperti masalah anggaran juga masalah-masalah kerukunan,
laporan dan evaluasi FKUB, namun kendala yang sering dihadapi

94 | Rif’atul Hasanah
adalah faktor kesibukan anggota Dewan Penasihat FKUB yang tidak
dapat dipungkiri.26
Hal yang sama diutarakan oleh anggota FKUB Kota Bekasi, H.
Moch. Nasrullah, bahwa untuk mengatur agenda rapat dengan
FKUB, Dewan Penasehat FKUB Bekasi mempunyai tim pelaksana,
yang salah satunya bertugas menghadiri rapat-rapat dengan FKUB
untuk membicarakan kondisi kerukunan umat beragama di Bekasi,
juga untuk monitoring dan evaluasi FKUB Kota Bekasi.27
Penelitian tentang FKUB telah banyak dilakukan di beberapa
daerah. Di daerah Pontianak, hasil penelitian tentang FKUB
menunjukkan bahwa penegakkan pekerjaan FKUB
(provinsi/bupati) yang diatur dalam PBM belum tuntas
dilaksanakan. Khusus pada penerbitan rekomendasi pembangunan
rumah ibadat, tidak satu rekomendasipun telah diterbitkan oleh
FKUB Pontianak sejauh ini. Fasilitas dan dana yang dialokasikan
untuk FKUB ditingkat provinsi dan Bupati juga belum tersedia.28
Begitu juga yang terjadi pada FKUB Provinsi DKI Jakarta.
Dalam melaksanakan tugasnya, FKUB Provinsi DKI Jakarta masih
menemui beberapa kendala antara lain tingginya potensi konflik
terkait heterogenitas pemeluk agama, belum memadainya sarana
dan prasarana FKUB serta PBM belum dipahami secara seragam
oleh seluruh komponen masyarakat maupun pemerintah.29
Penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan
HAM pada tahun 2011, tentang “Evaluasi Efektivitas Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8
Tahun 2006” di empat propinsi yaitu Sumatera Barat, Nusa
26
Wawancara dengan A. Syafi’i Mufidz di Kantor FKUB DKI Jakarta
Gedung Persada Sasana Karya, pada tanggal 14 November 2013.
27
Wawancara dengan H. Moch. Nasrullah, anggota FKUB Kota Bekasi di
kantor FKUB Kota Bekasi pada tanggal 26 Maret 2014.
28
Ibnu Hasan Muchtar, “Peran Forum Kerukunan Umat Beragama di
Kalimantan Barat” dalam HARMONI Jurnal Multikultural dan Multireligius,
volume IX, No. 33, Januari - Maret 2010, 147. Menurut A. Syafi’i Mufidz, kinerja
FKUB DKI Jakarta sudah baik, dikarenakan FKUB DKI Jakarta sudah
meminimalisir terjadinya konflik antarumat beragama dengan diadakannya dialog
antar umat beragama dan selalu koordinasi dengan FKUB daerah Jakarta jika
terdengar ada sebab atau masalah yang akan mengganggu kerukunan di daerah
Jakarta. Wawancara dengan A. Syafi’i Mufidzdi Kantor FKUB DKI Jakarta
Gedung Persada Sasana Karya, pada tanggal 14 November 2013.
29
Kustini, “Optimalisasi Peran FKUB DKI Jakarta Menuju Kehidupan
yang Harmoni” dalam HARMONI Jurnal Multikultural dan Multireligius, Volume
IX, No. 33, Januari - Maret 2010.

Kerukunan Umat Beragama … | 95


Tenggara Timur, Bali, dan Jawa Barat menemukan bahwasanya
peraturan tersebut belum cukup efektif karena beberapa hal,
diantaranya masih terjadi konflik antar umat beragama, belum
seriusnya pemerintah daerah dalam memelihara kerukunan antar
umat beragama, dan belum berdayanya FKUB sebagai wadah tokoh-
tokoh agama untuk mengelola perbedaan dan memfasilitasi
pendirian rumah ibadat. Adapun penyebab lain yakni masih
ditemukannya perbedaan tafsir terhadap isi/materi PBM tersebut. 30
Dari beberapa penelitian yang diadakan untuk mengkaji sub
bahasan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, selama kebijakan tersebut
berlaku didapatkan temuan hasil bahwa sampai dengan bulan Maret
tahun 2009 terdapat 3 (tiga) kelompok bagian keberadaan FKUB di
seluruh wilayah Indonesia sejak terbitnya PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006. Ketiga kelompok tersebut adalah: kelompok pertama, FKUB
telah berjalan dengan baik dan mendapat dukungan anggaran atau
fasilitas dari pemerintah daerah seperti Kalimantan Tengah,
Sumatera Utara, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur, dan
Sulawesi Tengah. Kelompok kedua, kinerja FKUB telah berjalan
tetapi kurang memperoleh dukungan/fasilitas dari pemerintah
daerah seperti DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Jawa Barat, dan
Banten. Adapun kelompok ketiga tergolong FKUB kurang berjalan
dan kurang memperoleh dukungan/fasilitas dari pemerintah
daerah yakni seperti di daerah Sulawesi Barat, Papua, Bengkulu,
dan NAD.31
Bekasi termasuk dalam wilayah Jawa Barat, jika dilihat dari
hasil penelitian diatas, FKUB Bekasi masuk dalam tipe kedua, yakni
kinerja FKUB telah berjalan baik tetapi kurang memperoleh
dukungan/fasilitas dari pemerintah daerah, hal ini karena dana
yang disalurkan ke FKUB berasal dari APBD yang sebagian besar
digunakan untuk membiayai operasional kegiatan.

30
Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Transformasi Konflik
Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI
Tahun 2011 tentang Evaluasi Efektivitas Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.
31
Sjuhada Abduh dan Ibnu Hasan Muchtar, “Peranan FKUB dalam
Pelaksanaan Pasal 8, 9, dan 10 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 di Provinsi
Kalimantan Barat” dalam Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama dalam
Pelaksanaan Pasal 8, 9, dan 10 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Kementerian Agama RI, 2010, 179.

96 | Rif’atul Hasanah
3. Pemahaman Masyarakat Terhadap Pendirian Rumah Ibadat
Aturan tentang pendirian rumah ibadat dalam PBM No. 9
dan 8 Tahun 2006 ini ada pada Pasal 13 sampai Pasal 17. Pada Pasal
13 dinyatakan bahwa dasar utama pendirian rumah ibadat adalah
didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh
berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat
beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa. Pendirian
rumah ibadat ini tetap harus menjaga kerukunan umat beragama,
tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, serta
mematuhi peraturan perundang-perundangan.32
Pada pasal 14 ayat (1) PBM ditegaskan bahwa ”pendirian
rumah ibadat harus mematuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis bangunan gedung.”33 Pada ayat (2) dinyatakan
bahwa ”selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan
khusus meliputi:
a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah
ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan
oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3); 34

32
Pengertian keperluan nyata dan sungguh-sungguh inilah yang sering
dimanipulasi atau disalahtafsirkan, atau menjadi sebab terjadinya perbedaan
penafsiran antar kelompok-kelompok agama. lebih lanjut lihat M. Atho Mudzhar,
Merayakan Kebhinekaan Membangun Kerukunan (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2013), 133.
33
Persyaratan administratif adalah seperti surat panitia pembangunan
rumah ibadat, susunan pengurus/panitia pembangunan rumah ibadat, dan surat
keterangan kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan
Nasional/Kantor Pertanahan Setempat: diproses sesuai dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Adapun persyaratan teknis
bangunan gedung adalah seperti rencana gambar bangunan, rencana anggaran
biaya pembangunan, dan keterangan rencana kota sama seperti persyaratan tata
bangunan gedung. Kedua tata persyaratan tersebut telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Lihat Buku Tanya
Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
dan 8 Tahun 2006, 26.
34
Pasal 13 ayat (1) menyatakan bahwa “Pendirian rumah ibadat didasarkan
pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah
penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah
kelurahan/desa.” Ayat (2) “Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak
mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan

Kerukunan Umat Beragama … | 97


b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam
puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
c. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama
kabupaten/kota; dan
d. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.35
Pada ayat (3) pasal 14 PBM No. 9 dan 8 tahun 2006, dinyatakan
bahwa ”dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi,
pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi
pembangunan rumah ibadat.” Hal ini berlaku untuk semua provinsi
kecuali DKI Jakarta, karena di DKI Jakarta IMB diterbitkan oleh
Gubernur maka rekomendasi-rekomendasi yang diperlukan
tersebut disesuaikan pada tingkat provinsi.36
Berpijak pada pasal 14 ayat 3 ini, Pemerintah Daerah Kota
Bekasi sudah menyediakan lokasi baru untuk dijadikan sarana
peribadatan jamaat HKBP PTI Bekasi. Ada beberapa lokasi yang
ditawarkan oleh Pemerintah Kota Bekasi. Mulai dari akhir Februari
2010, Pemkot Bekasi menyediakan lahan untuk jamaat HKBP
beribadat yaitu Ruko Nirwana, kelurahan Pengasinan, Rawa Lumbu
atau ke Ruko Graha, kelurahan Mustika Jaya namun kedua tempat
ini ditolak oleh HKBP PTI. Pada awal Maret 2010 pun Pemkot Bekasi
menawarkan tiga lokasi alternatif kepada jamaat HKBP-PTI yaitu
sebidang tanah: (1) di kampung Ciketing, kel. Rawa Mulya, Kec.
Mustika Jaya, (2) di kampung Babakan kel. Mustika Sari, kec.
Mustika Jaya, (3) di kampung Cimuning, kel. Cimuning, kec. Mustika
Jaya. Kesepakatan lainnya sambil menunggu lokasi alternatif yang
akan dipilih HKBP-PTI, Pemkot Bekasi menyiapkan tempat
sementara di gedung Panghudi Luhur, Kompleks Depsos di wilayah
Margahayu, Bekasi Timur. Namun pada kenyataannya, jamaat
HKBP-PTI tidak beribadat di gedung Panghudi Luhur, Depsos,

perundang-undangan.” Pada ayat (3) berbunyi “Dalam hal keperluan nyata bagi
pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagimana dimaksud ayat
(1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas
wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi. Lihat PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006.
35
Rekomendasi FKUB ini pun merupakan hasil musyawarah dan mufakat
dalam rapat FKUB dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Lihat Pasal 15 PBM
No. 9 dan 8 Tahun 2006.
36
Lihat Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, 26.

98 | Rif’atul Hasanah
sehingga masyarakat mulai menunjukkan aksi unjuk rasa mendesak
Pemkot Bekasi untuk segera menyelesaikan konflik.37
Di pertengahan September, diadakan Rapat Koordinasi
Gubernur, Wagub & Sekda Prop. Jabar, serta beberapa aparat
pemerintahan terkait menghasilkan alternatif solusi tempat
kebaktian jamaat HKBP Mustika Jaya, yakni: Lokasi pembangunan
gereja HKBP-PTI diberikan dua solusi: (1) Lahan fasos/fasum PT
Timah di RT 02/ RW 02, Kelurahan Mustika Sari, Kecamatan
Mustika Jaya seluas 2.500 m2 yang sudah diserahkan kepada
Pemkot Bekasi. (2) Lahan kosong milik Yayasan Strada seluas 1.984
m2 di RT 02/RW 04, Kelurahan Mustika Sari, Kecamatan Mustika
Jaya yang dijual/di tawar sesuai harga pasar. Sebelumnya yakni dari
tahun 1990, jamaat HKBP PTI ini selalu melaksanakan kebaktian di
rumah Jl. Puyuh Raya nomor 14 rt. 001/015 kelurahan Mustika Jaya,
kecamatan Mustika Jaya, kota Bekasi. Kegiatan berlangsung secara
rutin setiap hari Ahad, namun pada tahun 2007 mulailah potensi
konflik ini sudah terlihat.38
Pada tanggal 12 September 2010, terjadi konflik antar jamaat
HKBP PTI yang ingin beribadah di Kampung Ciketing Asem,
Kelurahan Mustika Jaya. Mereka berkumpul di rumah Jl. Puyuh
Raya lalu berangkat secara konvoi dengan berjalan kaki menuju
lahan kosong di Ciketing Asem untuk melakukan kebaktian. Di
tengah jalan, konvoi jamaat HKBP yang berjumlah lebih dari 200
orang berpapasan dengan beberapa orang bersepeda motor,
sehingga terjadi keributan dan baku hantam. Hal ini
mengakibatkan beberapa orang pengendara motor mengalami
cidera dan seorang jamaat roboh terkena pisau (Pdt Asia Lumban
Toruan) dan seorang luka terkena pukulan (Pdt Luspida
Simanjuntak), sedangkan para pengendara motor lari
menyelamatkan diri.
Dari keterangan FKUB Kota Bekasi sebenarnya sudah
beberapa kali diperingatkan kepada jamaat HKBP PTI untuk tidak
mengadakan kebaktian lagi di rumah tersebut, namun tidak
didengarkan. Setelah insiden ini terjadi, diadakan beberapa rapat
yang dilakukan baik oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah
untuk membahas insiden tersebut dan memfasilitasi pelaksanaan
37
Data ini didapat dari Data Kronologis Kasus Gereja HKBP Pondok
Timur Indah, Mustika Jaya Kota Bekasi yang diberikan oleh FKUB Kota Bekasi.
38
Data ini didapat dari Data Kronologis Kasus Gereja HKBP Pondok
Timur Indah, Mustika Jaya Kota Bekasi yang diberikan oleh FKUB Kota Bekasi.

Kerukunan Umat Beragama … | 99


kebaktian sementara jamaat HKBP PTI di Gedung eks OPP di Jl.
Chairil Anwar, Kota Bekasi. Tahun 2014 ini, pengalokasian
sementara sudah berjalan selama 2 tahun dan sudah diperpanjang.
Pihak Pemerintah setempat dan jamaat HKBP PTI sudah mencari
lokasi lagi untuk dijadikan tempat ibadat mereka.39
Mengenai permohonan IMB rumah ibadat, jangka waktu
Bupati/walikota/Gubernur DKI Jakarta memberikan keputusan
terhadap permohonan IMB ini, paling lambat 90 hari sejak
permohonan pendirian rumah ibadat diajukan, dan penghitungan
waktu 90 (sembilan puluh) hari dimulai pada saat panitia
pembangunan menyerahkan syarat-syarat yang lengkap kepada
pemerintah kabupaten/kota/Gubernur DKI Jakarta. 40 Pada pasal 17
PBM dinyatakan bahwa bagi bangunan gedung rumah ibadat yang
telah memiliki IMB namun dipindahkan karena perubahan rencana
tata ruang wilayah, maka pemerintah daerah akan memfasilitasi
penyediaan lokasi baru.
Bangunan gedung bukan rumah ibadat boleh digunakan
sebagai rumah ibadat sementara oleh kelompok umat beragama di
suatu wilayah setelah memperoleh Izin Sementara Pemanfaatan
Gedung dari Bupati/Walikota/Gubernur DKI Jakarta. Untuk
mendapatkan izin tersebut, panitia harus memenuhi syarat-syarat
yang telah ditentukan seperti laik fungsi yang mengacu pada
peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung dan
tetap menjaga dan memelihara ketentraman dan kerukunan antar
umat beragama dengan memenuhi persyaratan seperti izin tertulis
pemilik bangunan, rekomendasi tertulis lurah/kepala desa,
pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota, dan pelaporan
tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.
Surat keterangan izin sementara rumah ibadat ini pun diterbitkan
oleh bupati/walikota/gubernur setelah mempertimbangkan
pendapat tertulis kepala kantor Departemen Agama dan FKUB
kabupaten/kota, dan bisa juga dilimpahkan kepada camat. Surat
izin sementara ini hanya berlaku paling lama 2 (dua) tahun. 41

39
Wawancara dengan H. Moch. Nasrullah, anggota FKUB Kota Bekasi di
kantor FKUB Kota Bekasi pada tanggal 26 Maret 2014.
40
Lihat Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, 28.
41
Lihat Pasal 19 dan 20 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.

100 | Rif’atul Hasanah


Jika dalam proses pendirian rumah ibadat terdapat
perselisihan,42 dapat diselesaikan dengan cara musyawarah oleh
masyarakat setempat. Jika penyelesaian tidak dicapai maka
penyelesaian dilakukan oleh bupati/walikota dibantu kepala kantor
departemen agama kabupaten/kota melalui musyawarah yang
dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan
mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB kabupaten/kota.
Apabila kedua cara tersebut tidak mencapai hasil, maka
penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan setempat.
Adapun tugas gubernur dalam hal ini adalah bertanggung jawab
melaksanakan pembinaan seperti monitoring, pengarahan, dan
pengawasan terhadap bupati/walikota serta instansi terkait di
daerahnya dalam menyelesaikan perselisihan pendirian dan
penggunaan rumah ibadat agar berlaku secara adil dan tidak
memihak.43
Tata cara pendirian rumah ibadat ini, ada beberapa tahapan
yang cukup kompleks dihadapi, baik dari awal proses pendirian
rumah ibadat maupun tata cara perizinan dan perpanjangan izin
serta proses mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah
ibadat. Alur proses pendirian rumah ibadat sampai mendapatkan
rekomendasi dari Walikota sebagai dasar keluarnya IMB
membutuhkan waktu yang tidak singkat. Dikatakan tidak singkat
disini karena melalui proses kelengkapan berkas dan perizinan
beberapa instansi terkait, seperti yang sudah digambarkan pada
bab III, gambar 3.2. Untuk mengeluarkan rekomendasi oleh FKUB
pun melalui proses, ada tim khusus yang menangani permintaan
rekomendasi pendirian rumah ibadat. Setelah surat dan
persyaratan -yang berbentuk portofolio- dari panitia pembangunan
rumah ibadat sampai pada FKUB, maka tim tersebut meneliti
kelengkapan portofolio tersebut. Jika sudah lengkap, maka panitia
tersebut diminta memaparkan dan menunjukkan bahwa mereka

42
Yang dimaksud perselisihan disini adalah perselisihan antara pihak
panitia pendiri atau pengguna atau calon pengguna rumah ibadat dengan pihak
masyarakat setempat, dengan pemerintah daerah, dengan kantor departemen
agama kabupaten/kota atau dengan FKUB setempat dalam hal yang berkaitan
dengan izin dan persyaratan pendirian rumah ibadat, ataupun penggunaan
bangunan gedung bukan rumah ibadat yang akan atau telah dipergunakan sebagai
rumah ibadat. Lihat Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, 32-34.
43
Lihat Pasal 21 dan Pasal 22 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.

Kerukunan Umat Beragama … | 101


benar-benar membutuhkan rumah ibadat. Setelah paparan, tim
dari FKUB akan turun untuk mengecek wilayah dan meminta
jaminan kepada aparat daerah setempat agar tidak akan ada
masalah ketika pembangunan rumah ibadat berlangsung.44
Pada pokok permasalahan pendirian rumah ibadat ini, ada
15 (lima belas) item pertanyaan yang ditanyakan, diantaranya
terkait pendirian rumah ibadat, izin sementara pemanfaatan
bangunan gedung, dan masalah penyelesaian perselisihan yang
dihadapi masyarakat ketika proses pendirian rumah ibadat. Hasil
dari analisis data terkait sub bahasan pendirian rumah ibadat ini,
menunjukkan bahwa responden mempunyai pemahaman yang
belum begitu tinggi. Lebih lanjut lihat tabel berikut:

Tabel 4.6
Indeks Pemahaman Masyarakat Mustika Jaya Bekasi
Tentang Pendirian Rumah Ibadat
No. Indeks Tingkat Pemahaman Prosentase
1. 11 – 15 Tinggi 35%
2. 6 – 10 Sedang 23%
3. 0–5 Rendah 42%
Jumlah 100%

Tabel diatas menunjukkan bahwa lebih banyak responden


berpemahaman rendah terhadap bahasan tata cara pendirian
rumah ibadat. Dari tabel diatas ada juga responden mempunyai
pemahaman tinggi terhadap bahasan pendirian rumah ibadat,
meskipun demikian, bisa juga dikatakan bahwa responden belum
sepenuhnya memahami sub bahasan pendirian rumah ibadat ini,
dikarenakan prosentase pada kategori tinggi hanya dicapai sebesar
35%, lebih rendah dibandingkan kategori tinggi pada tingkat
pemahaman tentang FKUB yakni sebesar 46% yang telah diuraikan
sebelumnya.
Pada grafik berikut akan digambarkan prosentase
pemahaman masyarakat tentang pendirian rumah ibadat yang
mempunyai tiga indikator yakni pemahaman masyarakat akan
persyaratan pendirian rumah ibadat, izin sementara bangunan
gedung bukan rumah ibadat, serta penyelesaian perselisihan.

44
Wawancara dengan A. Syafi’i Mufidz di Kantor FKUB DKI Jakarta
Gedung Persada Sasana Karya, pada tanggal 14 November 2013.

102 | Rif’atul Hasanah


Grafik 4.4
Pemahaman Masyarakat Terhadap Sub Bahasan
Pendirian Rumah Ibadat

Persyaratan Pendirian
Rumah Ibadat

50% 45% Izin sementara


bangunan gedung
bukan rumah ibadat
47% Penyelesaian
perselisihan

Berdasarkan hasil yang didapat penulis, digambarkan bahwa


masyarakat lebih memahami tata cara penyelesaian jika terjadi
perselisihan baik diantara umat tertentu maupun antara umat
dengan pemerintah. Pemahaman akan persyaratan pendirian
rumah ibadat masih lebih tinggi dibandingkan pemahaman akan
izin sementara bangunan gedung bukan rumah ibadat. Hal ini juga
disebabkan karena kurangnya sosialisasi Pemerintah tentang tata
cara pendirian rumah ibadat dan izin penggunaan bangunan
gedung bukan rumah ibadat yang dijadikan rumah ibadat
sementara, oleh karena itu masyarakat masih kurang memahami
mekanisme alur pendirian rumah ibadat yang berdampak menjadi
ketidakrukunan antar umat beragama.
Beberapa hal yang berkaitan dengan lingkup permasalahan
pendirian rumah ibadat di Kota Bekasi semenjak PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006 disahkan, adalah terkait dengan penyalahgunaan
rumah tinggal menjadi rumah ibadat, penolakan masyarakat
terhadap kebaktian, penolakan masyarakat terhadap rumah ibadat
yang telah berdiri. Dari data surat-menyurat yang masuk ke FKUB
Kota Bekasi, sebagian besar merupakan permohonan rekomendasi
dari panitia pembangunan rumah ibadat, ada juga surat dari warga
yang melaporkan penggunaan rumah menjadi tempat ibadat.45
45
Data penulis dapatkan dari Data FKUB Kota Bekasi tentang
Identifikasi Masalah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi.
Data masalah ini masih sekitar antara tahun 2006-2007. Dari data FKUB Kota
Bekasi pun, penulis mendapatkan data kronologis konflik antar umat beragama
yang terjadi di Kecamatan Mustika Jaya Bekasi, tepatnya di Desa Ciketing pada
tanggal 12 September 2010.

Kerukunan Umat Beragama … | 103


Konflik antar umat beragama yang terjadi di Mustika Jaya
Bekasi pun berawal dari penyalahgunaan rumah tempat tinggal
yang dijadikan rumah ibadat oleh pihak Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah (PTI) yakni tepatnya di
Kampung Ciketing Kelurahan Mustika Jaya Kecamatan Mustika
Jaya.46
Penyalahgunaan rumah tempat tinggal ini berujung pada
konflik serius, bahkan sudah termasuk kasus hukum pidana karena
adanya penusukan pendeta, yang mengakibatkan aktor dari
kericuhan tersebut harus menerima resikonya yakni harus
mendekam dalam penjara.

B. Kerukunan Umat Beragama Masyarakat Mustika Jaya Bekasi


Untuk mengukur tingkat kerukunan masyarakat Mustika
Jaya Bekasi, peneliti membuat 15 (lima belas) item pertanyaan
dengan dua sub variabel, yakni variabel kerukunan dan variabel
ketidakrukunan. Skala yang digunakan memakai Skala Guttman.
Pada variabel kerukunan, opsi jawaban yang digunakan adalah Ya
dan Tidak. Pada opsi jawaban Ya diberi nilai 1, dan opsi jawaban
Tidak diberi nilai 0. Pada sub variabel ketidakrukunan, peneliti
menggunakan opsi jawaban Pernah dan Tidak Pernah. Dikatakan
Pernah jika indikasi ketidakrukunan yang terdapat pada
pertanyaan dirasakan responden memang pernah terjadi di sekitar
tempat tinggalnya, begitu juga sebaliknya, dikatakan Tidak Pernah
jika indikasi ketidakrukunan tidak pernah dirasakan oleh
responden di sekitar tempat tinggalnya. Adapun opsi jawaban
Pernah diberi nilai 0 dan opsi jawaban Tidak Pernah senilai 1.
Sub variabel kerukunan dalam penelitian ini adalah
komunikasi, kepedulian sosial, partisipasi, dan toleransi, sedangkan
sub variabel ketidakrukunan adalah terkait masalah konflik
pendirian rumah ibadat, konflik penggunaan sementara bangunan

46
Data didapat dari Kronologis Kasus Gereja HKBP Pondok Timur
Indah, Mustika Jaya Kota Bekasi yang diberikan oleh FKUB Kota Bekasi.
Penyalahgunaan tempat tinggal menjadi rumah ibadat ini dikatakan juga oleh
Deden Taufikurrahman selaku Perwakilan Kementerian Agama Bekasi yang
menjadi narasumber pada Sosialisasi FKUB Tingkat Kelurahan Tahun 2012 di
Kelurahan Padurenan Kecamatan Mustika Jaya, tanggal 11 September2012 di
Kelurahan Padurenan RW 20 Blok N, Kecamatan Mustika Jaya Bekasi bahwa ada
260 rumah dan ruko yang dijadikan tempat ibadat, dan sekarang sedang dalam
proses pencarian solusi agar tidak mengganggu umat yang lainnya.

104 | Rif’atul Hasanah


gedung bukan rumah ibadat, dan konflik penyelenggaraan
peribadatan umum yakni terkait perselisihan izin pendirian
bangunan rumah ibadat, penolakan penggunaan sementara
bangunan gedung bukan rumah ibadat menjadi rumah ibadat,
perselisihan izin penyelenggaraan kebaktian/peribadatan umum,
dan gangguan pada saat penyelenggaraan peribadatan umum.
Lima belas item pertanyaan terkait tingkat kerukunan antar
umat beragama tersebut adalah:
1. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi perselisihan
rencana pendirian rumah ibadat?
2. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi penolakan
pendirian rumah ibadat?
3. Apakah anda bersedia untuk mengikuti rapat warga bersama
orang yang berbeda agama dengan anda?
4. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi perselisihan
rencana penggunaan bangunan gedung bukan rumah ibadat
menjadi rumah ibadat?
5. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi
penyalahgunaan izin penggunaan sementara bangunan gedung
bukan rumah ibadat menjadi rumah ibadat?
6. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi sengketa
mengenai izin pendirian rumah ibadat?
7. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi penolakan
penggunaan bangunan gedung bukan rumah ibadat menjadi
rumah ibadat?
8. Apakah anda bersedia menjadi pengurus organisasi
kemasyarakatan (ormas) bersama-sama orang yang berbeda
agama dengan anda?
9. Apakah anda bersedia untuk ikut mengamankan tempat
peribadatan orang yang berbeda agama dengan anda ketika
mereka merayakan hari besar agamanya?
10. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi perusakan
bangunan sementara gedung bukan rumah ibadat yang dijadikan
rumah ibadat?
11. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi perusakan
rumah ibadat?
12. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi penolakan
penyelenggaraan kebaktian/peribadatan umum?
13. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi perselisihan
izin penyelenggaraan kebaktian/peribadatan umum?

Kerukunan Umat Beragama … | 105


14.Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi perselisihan
rencana penyelenggaraan kebaktian/peribadatan umum?
15. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi gangguan
pada saat penyelenggaraan kebaktian/peribadatan umum?
Dari hasil pengolahan data, diperoleh skor tingkat
kerukunan dengan mean sebesar 8.44 dengan standar deviasi 4.774,
dengan hasil data maksimum 15 dan minimum 0. Dari perolehan
hasil data tersebut, ada beberapa kategori tingkat kerukunan antar
umat beragama Kecamatan Mustika Jaya Bekasi yang tergambarkan
dalam indeks tingkat kerukunan di bawah ini:
Tabel 4.7
Indeks Tingkat Kerukunan Antar Umat Beragama
Kecamatan Mustika Jaya Bekasi
No. Indeks Tingkat Kerukunan Prosentase
1. 13 – 15 Sangat Tinggi 36%
2. 10 – 12 Tinggi 16%
3. 7–9 Sedang 7%
4. 4–6 Rendah 16%
5. 0–3 Sangat Rendah 25%
Jumlah 100%

Dari tabel diatas, dapat diartikan bahwa tingkat kerukunan


antar umat beragama masyarakat Kecamatan Mustika Jaya Bekasi
berada pada potensi yang sangat tinggi dan juga sebagian lain
menunjukkan pada potensi yang sangat rendah. Jika dianalisis
hanya masyarakat biasa saja, yang dalam hal ini berjumlah 65
orang, tingkat kerukunanpun memperoleh hasil yang tidak jauh
berbeda. Keadaan masyarakat berada dalam posisi rukun, hanya
saja terkadang ada faktor-faktor pemicu yang menjadikan mereka
tidak nyaman hidup bertetangga dengan umat lain. Oleh karena
itu, dibutuhkan perhatian dan pengamanan dari pemerintah agar
dapat mencegah terjadinya ketidakrukunan yang tidak diinginkan.
Untuk mewujudkan kerukunan ini, Pemerintah Kota Bekasi bekerja
sama dengan Kementerian Agama, FKUB dan aparat keamanan
mengadakan kegiatan Deklarasi Kerukunan di setiap daerah Kota
Bekasi, dan melanjutkannya dengan program sosialisasi FKUB dan
PBM No. 9 dan 8 tahun 2006.
Sejalan dengan ini, Pemerintah Kota Bekasi -yang dalam hal
ini Walikota Bekasi- merumuskan beberapa peraturan terkait
dengan aturan yang diatur dalam PBM, yakni berupa Peraturan

106 | Rif’atul Hasanah


Walikota Bekasi Nomor: 16 Tahun 2006 Tentang Tata Cara
Pemberian Izin Pendirian Rumah Ibadat Di Kota Bekasi dan
Keputusan Walikota Bekasi Nomor: 450/Kep. 372-
Kesbangpolinmas/VIII/2011 tentang Pembentukan Forum dan
Dewan Penasehat Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi.47
Jika dilihat dari beberapa kasus yang terjadi di Kota Bekasi,
pola kasusnya tidak jauh dari permasalahan pendirian rumah
ibadat terkait dengan penyalahgunaan rumah tinggal menjadi
rumah ibadat, penolakan masyarakat terhadap kebaktian,
penolakan masyarakat terhadap rumah ibadat yang telah berdiri.
Tindakan masyarakat akan penolakan dan tegoran atas
penyalahgunaan yang dilakukan pihak lain adalah suatu bentuk
konflik dalam aksi damai. Dalam hal ini, aksi damai adalah setiap
tindakan yang dilakukan tanpa kekerasan dalam rangka
menanggapi isu-isu keagamaan yang menjadi sumber pertikaian di
masyarakat.48
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Yayasan Wakaf Paramadina (YWP) tahun 2009 tentang pola-pola
konflik keagamaan di Indonesia antara tahun 1990-2008,

47
Keputusan Walikota Bekasi Nomor: 450/Kep. 372-
Kesbangpolinmas/VIII/2011 ini merupakan pembaharuan dari Keputusan
Walikota Bekasi Nomor: 450/kep. 188-Solinbermas/VI/2008 Tentang
Pembentukan Forum dan Dewan Penasehat kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Kota Bekasi. Dalam pembahasan kedua Keputusan Walikota Bekasi ini masih
sama-sama membahas tugas pembentukan FKUB dan Dewan Penasehat FKUB
tingkat kota, tugas pokok mereka, dan acuan pelaksanaan kegiatan mereka yang
sama-sama berpedoman pada PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Lihat Buku Pedoman
Kerukunan Hidup Umat Beragama yang dikeluarkan oleh FKUB Kota Bekasi
Tahun 2012, 57-64.
48
Contoh tindakan yang termasuk dalam aksi damai adalah aksi protes
(aksi menolak suatu pandangan atau kebijakan menyangkut isu yang
diperselisihkan), aksi dukungan (aksi mendukung suatu pandangan atau kebijakan
menyangkut isu yang diperselisihkan), maupun aksi mediasi (tindakan yang
dilakukan dalam rangka mendukung upaya penyelesaian konflik yang tengah
terjadi), sedangkan aksi kekerasan adalah setiap tindakan fisik yang dilakukan
dalam rangka menanggapi isu-isu keagamaan yang menjadi sumber pertikaian,
yang melibatkan dampak kekerasan baik terhadap orang (berupa kematian, luka,
hilang atau mengungsi) maupun harta benda (berupa kerugian, kerusakan maupun
kehilangan). Lihat Laporan Penelitian Pola-pola Konflik Keagamaan di Indonesia
(1990-2008) yang dilakukan oleh Ihsan Ali Fauzi, Rudy Harisyah Alam, dan
Samsu Rizal Panggabean, Kerjasama antara Yayasan Wakaf Paranadina (YWP),
Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada (MPRK-
UGM), dan The Asia Foundation (TAF), Jakarta Februari 2009, 8.

Kerukunan Umat Beragama … | 107


menyatakan hasil sebanyak 832 insiden konflik keagamaan yang
terjadi di Indonesia dalam rentang periode Januari 1990 hingga
Agustus 2008, sekitar duapertiga dari keseluruhan insiden
mengambil bentuk aksi damai, sedangkan sepertiga lainnya
terwujud dalam bentuk aksi kekerasan. Jika dikelompokkan dengan
tingkat intensitas insiden, yaitu rendah (1-4 insiden), sedang (5-24
insiden), dan tinggi (25 insiden ke atas)49, maka diperoleh gambaran
sebagai berikut:

Tabel 4.8
Nama Provinsi Menurut Intensitas Insiden Aksi Damai Hasil
Penelitian YWP
Tingkat Aksi Damai
Rendah (1-4) Sedang (5-24) Tinggi (25>)
NAD, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Utara, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Kepulauan Riau, Sumatera Banten, DI Yogyakarta, Bali, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Selatan, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah
Bengkulu, Jambi, Nusa Kalimantan Selatan,
Tenggara Timur, Kalimantan Kalimantan Tengah,
Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Papua Tenggara, Maluku

Pada tabel berikut juga akan digambarkan intensitas insiden aksi


kekerasan di beberapa Provinsi.

Tabel 4.9
Nama Provinsi Menurut Intensitas Insiden Aksi Kekerasan Hasil
Penelitian YWP
Tingkat Aksi Kekerasan
Rendah (1-4) Sedang (5-24) Tinggi (25>)
NAD, DI Yogyakarta, Sumatera Utara, Riau, Sulawesi Tengah, Jawa
Kalimantan Selatan, Banten, Jawa tengah, Bali, Barat, DKI Jakarta, Maluku,
Kalimantan Timur, Sulawesi Nusa Tenggara Barat, Nusa dan Jawa Timur
Utara, Sulawesi Tenggara Tenggara Timur, Sulawesi
Selatan, Maluku Utara
Jika merujuk kepada tabel diatas, Jawa Barat adalah provinsi
yang mempunyai tingkat aksi damai yang tinggi, sejajar dengan
aksi kekerasannya, dan kecamatan Mustika Jaya Bekasi merupakan
salah satu dari beberapa daerah di Provinsi Jawa Barat. Dengan

49
Lebih lanjutnya lihat Laporan Penelitian Ihsan Ali Fauzi, Rudy
Harisyah Alam, dan Samsu Rizal Panggabean, Pola-Pola Konflik Keagamaan , 19.

108 | Rif’atul Hasanah


demikian, penelitian YWP ini memperkuat hasil penelitian penulis
seperti yang tercantum pada tabel 4.7 bahwa kecamatan Mustika
Jaya Bekasi memiliki intensitas kerukunan antar umat beragama
yang tinggi pula.
Tingkat kerukunan antar umat beragama disini meliputi
faktor kerukunan dan ketidakrukunan antar umat beragama.
Adapun faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada grafik berikut:

Grafik 4.5
Tingkat Kerukunan Antar Umat Beragama di Kecamatan Mustika
Jaya Per Sub Variabel
100% 60% 82%
68% 65%
56%
47%
0%
Toleransi

Komunikasi

Kepedulian Sosial

sementara…
Konflik pendirian

penggunaan
rumah ibadat

penyelenggaraan
peribadatan…
Konflik

Konflik

Dari grafik diatas diketahui bahwa faktor-faktor


ketidakrukunan dijelaskan oleh faktor konflik pendirian rumah
ibadat, konflik penggunaan sementara bangunan gedung rumah
ibadat, dan konflik penyelenggaraan peribadatan umum. Faktor
penyebab ketidakrukunan antar umat beragama yang paling tinggi
adalah pada konflik pendirian rumah ibadat, yakni sebesar 65%.
Pada faktor kerukunan antar umat beragama, ada 3 (tiga) hal yang
dijadikan indikator pada penelitian ini yakni toleransi, kepedulian
sosial, dan komunikasi antar umat beragama, hasil yang paling
tinggi dinyatakan pada komunikasi antar umat beragama yakni
sebesar 82%.50

50
Selain faktor-faktor tersebut, ada juga faktor yang menjadi penghambat
pemeliharaan kerukunan umat beragama seperti penilaian ketidakadilan dalam
pelayanan pendidikan agama dan kehidupan beragama, ketidakpahaman tentang
simbol agama lain, penggunaan ungkapan/identitas kelompok lain, kehadiran
aliran sempalan yang ekslusif, faktor menurunnya kepatuhan terhadap kearifan
lokal, konversi agama, dan lainnya. Sedangkan faktor yang menjadi pendukung

Kerukunan Umat Beragama … | 109


Pada faktor kerukunan, hasil yang paling rendah diperoleh
pada tingkat toleransi antar umat beragama yakni 60%, hal ini
diperkuat oleh penelitian lain yang juga meneliti tentang toleransi
antar umat beragama, yang difokuskan pada pandangan
masyarakat terhadap keberadaan rumah ibadat umat lain di sekitar
wilayah rumah mereka.51 Lihat grafik di bawah ini:

Grafik 4.6
Penelitian Setara Institut tentang Keberadaan Rumah Ibadat Umat
Lain di Sekitar Lingkungan Umat Yang Berbeda Agama

Jakarta Pusat
Jakarta Timur
Jakarta Utara Tidak tahu/Tidak
Jakarta Selatan menjawab
Jakarta Barat Tidak dapat menerima
Bekasi
Dapat menerima
Bogor
Depok
Tangerang

0 20 40 60 80

Sumber: Hasil penelitian Setara Institute Tahun 2012

pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah dukungan pemerintah daerah yang


kuat untuk memelihara kerukunan, faktor kekayaan kearifan lokal dan faktor
adanya rasa kebersamaan, persaudaraan, persatuan, toleransi, dan perdamaian
yang kuat di kalangan warga masyarakat, dan masih ada beberapa faktor yang
menjadi penguatnya. Faktor-faktor ini didapat dari hasil dialog/diskusi
pengembangan Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah
dari tahun 2002-2008 di beberapa Provinsi. Lebih rinci lihat di M. Atho Mudzhar,
Merayakan Kebhinekaan Membangun Kerukunan, 145-146. Belum dipahaminya
isi PBM terkait pendirian rumah ibadat juga menjadi salah satu faktor
penghambat pemeliharaan kerukunan umat beragama yang dibicarakan dalam
dialog/diskusi Pemuka Agama ini.
51
Penelitian ini dilakukan oleh Setara Institute di Jabodetabek, terhadap
1200 responden. Lihat Opa Jappy, Berteman Beda Agama, Bisa; Tempat Ibadah
Agama Lain di Lingkunganku, Tak Bisa ditulis pada 21 Juni 2012. Diunduh dari
http://sosbud.kompasiana.com/2012/06/21/berteman-beda-agama-bisa-tempat-
ibadah-agama-lain-di-lingkungan-ku-tak-bisa-471397.html tanggal 21 Juni 2013.

110 | Rif’atul Hasanah


Dari grafik diatas, dijelaskan bahwa pada wilayah
berdasarkan domisili responden (yang di survey Setara Institute),
terlihat bahwa penolakan atau keberatan terhadap adanya rumah
ibadat agama lain banyak terjadi di Bekasi, Jakarta Pusat, Depok,
Tangerang, dan Bogor. Sementara itu, mereka yang cenderung
dapat menerima fenomena tersebut terdapat lebih banyak di
Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara dan Jakarta Selatan.
Hasil penelitian Setara Institute diatas menyatakan bahwa
di daerah Bekasi, dari 100 orang responden, 74 orang tidak dapat
menerima keberadaan rumah ibadat agama lain di lingkungannya,
24 orang dapat menerima, dan 2 orang tidak tahu/tidak menjawab.
Jika dibandingkan dengan daerah lain yang dijadikan daerah objek
penelitian, Kota Bekasi menunjukkan daerah paling banyak
responden yang menolak keberadaan rumah ibadat umat lain di
sekitar rumah tempat tinggalnya. Dengan hasil tersebut, dapat
dikatakan bahwa tingkat toleransi warga Kota Bekasi lebih rendah
diantara kota lainnya.
Di samping itu, penelitian lain yang dilakukan oleh pihak
asing terkait dengan konflik antar agama yang terjadi di Kota
Bekasi yakni oleh International Crisis Group menyatakan bahwa
sejumlah sengketa sejak tahun 2008 mengenai pembangunan
gereja, tuduhan adanya upaya baptis masal serta penghinaan
terhadap Islam telah memicu terjadinya beberapa kasus kekerasan
di daerah Bekasi.52
Dengan beberapa hasil penelitian pendukung diatas,
ketidakrukunan antar umat beragama dapat terjadi baik dengan
aksi damai maupun aksi kekerasan. Pada penelitian ini, meneliti
kasus konflik antar umat beragama yang terjadi di Kecamatan
Mustika Jaya yang berawal dari penolakan warga atas
penyalahgunaan rumah tinggal menjadi rumah ibadat. Berawal dari
aksi damai (baca: penolakan rumah tinggal menjadi rumah ibadat)
tersebut berubah menjadi aksi kekerasan, karena pada kasus ini ada
beberapa warga yang menjadi korban kekerasan yang dilakukan
oleh sekelompok orang yang berbeda agama dengan para korban.
Dilihat dari hasil penelitian diatas (Grafik 4.5) yang
menggambarkan kerukunan antar umat beragama di Kecamatan

52
Lihat International Crisis Group, Indonesia: “Christianisation” and
Intolerance, Jakarta/Brussels, 24 November 2010, http://www.crisisgroup.org
diunduh tanggal 08/03/2012.

Kerukunan Umat Beragama … | 111


Mustika Jaya Bekasi, faktor toleransi memperoleh nilai terendah
jika dibandingkan dengan komunikasi dan kepedulian sosial, hal ini
menjadikan salah satu indikator bahwa di daerah tersebut toleransi
antar umat beragama warga disana rendah dan kurang sehingga
mengakibatkan munculnya konflik-konflik antar umat beragama.
Rendahnya toleransi masyarakat Mustika Jaya Bekasi ini
juga terlihat pada konflik yang melibatkan sekelompok jamaat HBP
PTI Bekasi dengan beberapa orang muslim tanggal 12 September
2010 silam, sebenarnya jamaat HKBP PTI sudah memiliki lahan
sendiri untuk digunakan kebaktian, yakni lahan kosong di
Kampung Ciketing Asem, namun masyarakat sekitar tidak berkenan
jika lahan tersebut digunakan untuk peribadatan kaum HKBP. Jika
merujuk Pasal 14 Ayat 2a, yang mengharuskan pemenuhan jumlah
jamaat sebanyak 90 orang untuk membangun sebuah rumah ibadat,
sudah seharusnya jamaat HKBP PTI bisa menggunakan lahan
Ciketing Asem tersebut untuk melaksanakan kebaktian, karena
jumlah jamaat HKBP PTI sudah mencapai 200 orang. Meskipun
demikian, hal ini tidak memenuhi Pasal 14 ayat 2b, yakni dukungan
masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan
lurah/kepala desa, hal ini juga tidak memenuhi Pasal 18 Ayat 1b
yakni tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama serta
ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Dilihat dari teori perilaku kolektif Neil J. Smelser, konflik
pada kasus pendirian rumah ibadat HKBP Pondok Timur Indah (PTI)
Ciketing Bekasi ini dipengaruhi beberapa faktor seperti situasi
sosial yang memungkinkan timbulnya kerusuhan atau kekerasan
akibat struktur sosial tertentu, dalam hal ini posisi warga Muslim di
daerah tersebut sudah merasa terganggu kenyamanannya dengan
keberlangsungan peribadatan umat HKBP PTI yang berkali-kali
sudah diberi teguran, sedangkan di pihak jamaat HKBP PTI juga
merasa tidak diberi kebebasan untuk melaksanakan peribadatan
sesuai ajaran agamanya. Dalam kasus ini juga dipengaruhi oleh
berkembangnya prasangka negatif yang meluas akibat dari
peristiwa tertentu yang menjadi sumber permasalahan dan adanya
mobilisasi massa untuk beraksi.

112 | Rif’atul Hasanah


BAB KELIMA
ANALISIS
PEMAHAMAN MASYARAKAT TERHADAP
PBM NOMOR 9 DAN 8 TAHUN 2006
DAN KERUKUNAN ANTAR UMAT
BERAGAMA
A. Pemahaman Masyarakat Terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006 dan Kerukunan Antar Umat Beragama
Pemahaman masyarakat terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006 yang berisi tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Memelihara Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat dan hubungannya dengan tingkat
kerukunan antar umat beragama mempunyai hubungan yang bisa
dikatakan tinggi dan signifikan.
Analisis dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis
terhadap masyarakat Mustika Jaya Bekasi memperoleh hasil
besarnya hubungan antara pemahaman masyarakat terhadap PBM
No 9 dan 8 Tahun 2006 dan tingkat kerukunan antar umat
beragama sebesar 0,350 seperti yang tertulis pada kolom R
(koefisien korelasi secara simultan) berikut.1 Dengan nilai koefisien
korelasi tersebut menunjukan adanya korelasi positif dan signifikan
antara pemahaman masyarakat Mustika Jaya Bekasi terhadap PBM

1
Analisis korelasi adalah sekumpulan teknik statistika yang dipergunakan
untuk mengukur keeratan hubungan (korelasi) antar dua variabel. Koefisien
korelasi dinotasikan dengan sebutan r Pearson atau korelasi product moment
Pearson. Koefisien korelasi memiliki nilai -1 sampai dengan +1. Nilai antara -1
sampai 0 menunjukkan korelasi negatif, sedangkan nilai 0 sampai 1 menunjukkan
korelasi positif. Dalam penelitian ini hasil analisis korelasi Pearson mempunyai
nilai 0,350, hal ini menunjukkan bahwa nilai tersebut berada pada rentangan 0,20-
0,40 yang berarti mempunyai korelasi yang rendah. Lihat Jonathan Sarwono,
Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006),
150.

Kerukunan Umat Beragama … | 113


No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan tingkat kerukunan antar umat
beragama mereka. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel berikut:

Tabel 5.1
Korelasi antara pemahaman masyarakat Mustika Jaya Bekasi
terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan tingkat kerukunan antar
umat beragama

Model R R Square
1 .350a .122
a. Predictors: (Constant), VarX
b. Dependent Variable: VarY

Dari tabel diatas terlihat bahwa faktor pemahaman


masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang ada dalam PBM
No. 9 dan 8 Tahun 2006, berpengaruh positif dan signifikan dengan
tingkat kerukunan umat beragama, sehingga sosialisasi peraturan
ini sudah seharusnya dilakukan sampai kepada tingkatan
masyarakat bawah agar mereka paham ketentuan dan prosedur
tentang pendirian rumah ibadat, pemberdayaan FKUB, dan tugas
pemerintah dalam memelihara kerukunan dan keamanan
masyarakat yang pluralistik.2
Dari tabel diatas pula diperoleh nilai koefisien determinasi
sebesar 12%.3 Nilai koefisien determinasi dapat dilihat pada kolom
R Square yakni sebesar 0,122. Nilai ini menunjukkan bahwa
sumbangan yang diberikan oleh variabel pemahaman masyarakat
Mustika Jaya Bekasi terhadap PBM No. 9 dan 8 tahun 2006 secara
bersama terhadap tingkat kerukunan antar umat beragama sebesar
12%. Dengan kata lain 88% masalah kerukunan di kecamatan
Mustika Jaya Bekasi dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Nilai

2
Jika dianalisis khusus masyarakat biasa yang berjumlah 65 orang, hasil
korelasi menunjukkan nilai 0,074, yang berarti korelasi antar dua variabel tersebut
berada pada posisi sangat rendah, bahkan hampir tidak ada hubungan. Sangat
rendahnya korelasi ini bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya karena
responden yang diuji hanya berjumlah 65 orang.
3
Nilai 12% yakni hasil prosentase dari 0,122 ((0,350)2x100%=12%),
merupakan nilai koefisien determinasi yang berguna untuk menafsirkan korelasi
Perason (r), yakni dengan menguadratkan nilai r tersebut. Lebih lanjut lihat
Sofyan Yamin dan Heri Kurniawan, SPSS Complete Teknik Analisis Statistik
Terlengkap dengan Software SPSS (Jakarta: Salemba Infotek, 2009), 87-93.

114 | Rif’atul Hasanah


12% ini juga mendukung dan mendekati penelitian Kustini tentang
Efektifitas sosialisasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 yang
menyimpulkan bahwa manfaat sosialisasi PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006 berpengaruh secara sangat nyata terhadap kerukunan antar
umat beragama sebesar 17,4%.
PBM No. 9 dan 8 tahun 2006 memang belum sempurna
tetapi peraturan bersama ini minimal lebih baik dari peraturan
sebelumnya yaitu SKB No. 1 tahun 1969. Secara yuridis PBM ini
lebih baik karena materi-materi dalam PBM bisa diukur dan
aturannya lebih jelas, sedangkan dalam SKB aturan tersebut masih
relatif sekali.4 Selain isinya masih relatif, SKB juga dirasa
memberatkan bagi sebagian umat beragama, karena mensyaratkan
suatu kelompok umat beragama yang ingin mendirikan rumah
ibadat harus ada umatnya mencapai 100 KK dan pendukungnya 75
KK.5
Karena dirasa memberatkan, maka Pemerintah mengkaji
ulang aturan tersebut. Pemerintah mencoba mengatur lalu lintas
hidup keberagamaan lewat PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Hal ini
memang ada pengaruhnya terhadap kerukunan namun dirasa
belum efektif. Kalau seandainya sudah efektif, tidak ada kasus lagi
seperti di Ciketing, Philadelphia, dan kasus gereja Yasmin.6
Dengan demikian negara (baca: Pemerintah) ikut
berpengaruh dalam stabilitas hidup umat beragama, Pemerintah
berupaya untuk mencegah timbulnya ketidakselarasan dalam
kehidupan sosial dan memelihara kerukunan umat beragama.
Pemerintah meng-koordinasikan antara agama dengan negara,
menjamin kebebasan masyarakat untuk menganut suatu agama dan
beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing
tanpa membedakan ajaran, suku, dan etnis, juga mengakui dan
memperjuangkan aspirasi masyarakat dengan dibentuknya Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

4
Wawancara dengan Rudy Pratikno di Kantor FKUB DKI Jakarta
Gedung Persada Sasana Karya, pada tanggal 26 November 2013.
5
Hal ini dipaparkan oleh Deden Taufikurrahman selaku Perwakilan
Kementerian Agama Bekasi yang menjadi narasumber pada Sosialisasi FKUB
Tingkat Kelurahan Tahun 2012 di Kelurahan Padurenan Kecamatan Mustika Jaya,
tanggal 11 September 2012 di Kelurahan Padurenan RW 20 Blok N, Kecamatan
Mustika Jaya Bekasi.
6
Wawancara dengan A. Syafi’i Mufidz di Kantor FKUB DKI Jakarta
Gedung Persada Sasana Karya, pada tanggal 14 November 2013.

Kerukunan Umat Beragama … | 115


Kebijakan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 ini juga sebagai
tindak perwujudan dari UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2 dimana
kebebasan beragama dijamin sepenuhnya di Indonesia dan UU No.
12 Tahun 2005 yang merupakan ratifikasi dari International Covenant
on Civil and Political Rights (ICCPR). Pada UU No. 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik) ini,
melalui Pasal 18 Ayat 3 dinyatakan bahwa “Kebebasan untuk
menjalankan agama atau kepercayaan hanya akan dikenakan
pembatasan sebagaimana diatur dengan undang-undang, dan perlu
untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau
kesusilaan umum atau hak asasi dan kebebasan orang lain.” Dengan
demikian PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 sudah sesuai dengan hukum
atau UU yang berlaku, namun PBM ini dirasa belum efektif karena
masih ada perselisihan antar umat beragama yang terjadi di
Indonesia.7
Jika dilihat dari segi konflik antar umat beragama, dalam
sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Wakaf Paramadina
(YWP) tentang pola-pola konflik keagamaan di Indonesia tahun
1990-2008 menemukan temuan penelitian bahwa sebagian besar
konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia melibatkan isu

7
Insiden di Bekasi menjadi contoh kasus ketegangan agama yang sedang
terjadi. Menurut International Crisis Group, organisasi-organisasi muslim garis
keras seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Gerakan Pemuda
Islam (GPI) yang dua-duanya punya unsur anti-Kristen, sudah lama aktif di
Bekasi. Disana juga ada Front Pembela Islam (FPI) dan juga beragam koalisi anti-
pemurtadan. Bekasi juga menjadi salah satu basis komunitas salafi jihadi seperti
Jemaah Ansharut Tauhid (JAT) yang dideklarasikan Abu Bakar Ba’asyir di
asrama haji Bekasi pada tahun 2008. Di pihak Kristen, beberapa organisasi
penginjil yang berkomitmen untuk mengkristenkan Muslim juga ada di Bekasi,
beberapa didanai dari luar negeri, yang lain murni lokal. Yayasan Mahanaim,
salah satu organisasi neo-Pentakosta yang paling bonafide serta aktif, sangat
dibenci kaum muslim garis keras karena program-programnya menjadikan orang-
orang muslim yang miskin sebagai objek pemurtadan. Sebelumnya, Yayasan Kaki
Dian Emas, yang dijalankan oleh pendeta yang tadinya muslim, menggunakan
kaligrafi Arab pada sampul-sampul publikasinya, seolah-olah isinya mengenai
Islam, dan mempunyai program untuk mewajibkan setiap siswa sekolahnya
mengkristenkan sepuluh orang sebagai syarat kelulusan. Lihat International Crisis
Group, Indonesia: “Christianisation” and Intolerance, Jakarta/Brussels, 24
November 2010, http://www.crisisgroup.org diunduh tanggal 08/03/2012.

116 | Rif’atul Hasanah


komunal8 (39%), disusul berturut-turut oleh isu moral9 (19%), isu
politik-keagamaan10 (17%), isu sektarian11 (12%), isu terorisme12 (8%)
dan isu lainnya13 (6%). Hal ini tampak dalam grafik dibawah ini:

8
Isu komunal disini yakni isu-isu yang melibatkan perseteruan
antarkomunitas agama seperti konflik Muslim-Kristen, maupun perseteruan antar
kelompok agama dengan kelompok masyarakat lainnya yang tidak selalu bisa
diidentifikasi berasal dari kelompok agama tertentu. Lihat Ihsan Ali Fauzi, Rudy
Harisyah Alam, dan Samsu Rizal Panggabean, Laporan Penelitian Pola-Pola
Konflik Keagamaan (Jakarta: tp., 2009), 9.
9
Yang dimaksud dengan isi moral disini adalah isu-isu di seputar
perjudian, minuman keras (miras), narkoba, perbuatan asusila, prostitusi,
pornografi/pornoaksi yang melibatkan kelompok keagamaan dan/atau dibingkai
oleh para aktor yang terlibat dalam slogan atau ekspresi keagamaan. Lihat Ihsan
Ali Fauzi, Rudy Harisyah Alam, dan Samsu Rizal Panggabean, Laporan
Penelitian Pola-Pola Konflik Keagamaan, 9.
10
Isu-isu ini melibatkan sikap anti terjadap kebijakan pemerintah Barat
atau pemerintah asing lainnya dan sikap kontra ideologi/kebudayaan Barat atau
asing lainnya. Lihat Ihsan Ali Fauzi, Rudy Harisyah Alam, dan Samsu Rizal
Panggabean, Laporan Penelitian Pola-Pola Konflik Keagamaan, 10.
11
Isu sektarian yang dimaksud disini adalah isu-isu yang melibatkan
perseteruan terkait interpretasi atau pemahaman ajaran dalam suatu komunitas
agama maupun status kepemimpinan dalam suatu kelompok keagamaan. Lihat
Ihsan Ali Fauzi, Rudy Harisyah Alam, dan Samsu Rizal Panggabean, Laporan
Penelitian Pola-Pola Konflik Keagamaan, 9.
12
Isu terorisme adalah isu yang terkait dengan aksi-aksi serangan teror
dengan sasaran kelompok keagamaan tertentu, maupun serangan teror yang
ditujukan terhadap warga asing maupun hak milik pemerintah asing. Lihat Ihsan
Ali Fauzi, Rudy Harisyah Alam, dan Samsu Rizal Panggabean, Laporan
Penelitian Pola-Pola Konflik Keagamaan, 9.
13
Isu lainnya yang dimaksud disini adalah meliputi isu subkultur
keagamaan mistis seperti santet, tenung, dan sebagainya yang tidak termasuk
dalam isu komunal, isu moral, isu sectarian, isu terorisme, dan isu politik-
keagamaan. Lihat Ihsan Ali Fauzi, Rudy Harisyah Alam, dan Samsu Rizal
Panggabean, Laporan Penelitian Pola-Pola Konflik Keagamaan, 10.

Kerukunan Umat Beragama … | 117


Grafik 5.1
Isu-Isu Konflik Keagamaan Hasil Penelitian YWP

n=832
350
300
250
Jumlah Kasus

200
323
150 39%
100 155 139
19% 99 17%
50 64 53
12%
8% 6%
0

Kategori isu

Sumber: Hasil penelitian Yayasan Wakaf Paramadina 200914

Dari data grafik diatas, terlihat bahwa isu komunal berada


pada intensitas isu konflik keagamaan yang paling tinggi. Insiden
yang terjadi di wilayah Kecamatan Mustika Jaya Bekasi pada tahun
2010 merupakan puncak dari beberapa insiden kecil yang
menggambarkan ketidakharmonisan antara warga yang berbeda
agama dari tahun 2007 lalu, yakni antara umat Islam dengan umat
Kristiani, dan isu ini masuk pada kelompok isu komunal seperti
pada gambar grafik 5.1 di atas.
Terkait tingkat pemahaman masyarakat terhadap PBM No. 9
dan 8 Tahun 2005, ada beberapa faktor demografi yang

14
Penelitian ini dilakukan atas kerjasama Yayasan Wakaf Paramadina
(YWP), Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada
(MPRK-UGM), dengan The Asia Foundation (TAF) dengan menggunakan sumber
primer dua media nasional yakni Kompas dan Antara . Lihat Ihsan Ali Fauzi,
Rudy Harisyah Alam, dan Samsu Rizal Panggabean, Laporan Penelitian Pola-
Pola Konflik Keagamaan, 23.

118 | Rif’atul Hasanah


mempengaruhi, seperti jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan,
penghasilan, dan keaktifan dalam organisasi.15 Faktor yang pertama
yakni jenis kelamin, dari 100 orang yang menjadi responden dalam
penelitian ini, ternyata laki-laki mempunyai pemahaman yang
lebih tinggi dibanding perempuan, tetapi tidak begitu signifikan.
Pada tingkat kerukunan, ada perbedaan yang signifikan antara
tingkat kerukunan laki-laki dengan perempuan. Tabel berikut akan
menggambarkan tingkat pemahaman masyarakat terhadap PBM
No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan tingkat kerukunan antar umat
beragama yang dilihat dari segi jenis kelamin.
Tabel 5.2
Hubungan jenis kelamin dengan pemahaman terhadap PBM No. 9
dan 8 Tahun 2006 serta tingkat kerukunan antar umat beragama
Jenis kelamin Jumlah Nilai Rata-rata
Pemahaman Laki-laki 67 58.17
Masyarakat Terhadap Perempuan 98 38.49
PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006 Total 165
Laki-laki 67 68.41
Tingkat kerukunan
Perempuan 98 35.12
antar umat beragama
Total 165

Dilihat dari tabel diatas, responden mayoritas berjenis


kelamin perempuan. Nilai rata-rata antara variabel pemahaman
terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan tingkat kerukunan antar
umat beragama, laki-laki memperoleh nilai yang lebih besar
dibandingkan perempuan. Pemahaman responden laki-laki yang
lebih tinggi mungkin disebabkan oleh keaktifan mereka di
15
Beberapa faktor tersebut termasuk dalam variabel moderator
terkaittingkat pemahaman masyarakat terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006
dengan tingkat kerukunan antar umat beragama. Variabel moderator adalah
variabel yang mempengaruhi (memperkuat dan memperlemah) hubungan antara
variabel independen dengan dependen. Variabel tersebut disebut juga sebagai
variabel independen kedua. Tingkat pemahaman masyarakat terhadap PBM No. 9
dan 8 Tahun 2006 akan berpengaruh tinggi ataupun rendah terhadap tingkat
kerukunan antar umat beragama bisa disebabkan oleh beberapa faktor yang
mempengaruhi seperti jenis kelamin, usia, tingkat kesejahteraan, tingkat
pendidikan, serta kelibatan aktif di suatu organisasi kemasyarakatan. Lihat
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung:
Alfabeta, 2009, 39.

Kerukunan Umat Beragama … | 119


organisasi kemasyarakatan baik yang berunsur keagamaan maupun
bukan berunsur keagamaan, atau dipengaruhi oleh tingkat
inteligensi mereka.
Sebuah penelitian pernah dilakukan mengkaji tentang
perbedaan gender dalam fungsi kognitif, dinyatakan bahwa laki-
laki lebih mampu mengingat dan mencerna sesuatu dibandingkan
untuk mendengar, dan juga dalam matematik dibandingkan
perempuan, sedangkan perempuan lebih kepada ingatan, hafalan,
dan ketrampilan berbahasa.16 Hal ini menjadi indikasi mengapa
laki-laki lebih memahami aturan atau kebijakan-kebijakan
pemerintah (baca: PBM) dibanding perempuan.
Pada hal kerukunan antar umat beragama, jenis kelamin
laki-laki lebih berpotensi mengalami masalah kerukunan dibanding
perempuan. Hal ini dikarenakan tingkat agresifitas laki-laki lebih
tinggi dibanding perempuan. Penelitian tentang Gender and
Aggressive Behavior: A Meta-Analytic Review of the Social Psychological
Literature dinyatakan bahwa pada umumnya tingkat agresifitas laki-
laki lebih tinggi di banding perempuan. Kecenderungan agresifitas
laki-laki ini lebih dinyatakan sebagai serangan yang menimbulkan
rasa sakit atau luka fisik, daripada penyerangan yang bertujuan
untuk menimbulkan kejahatan sosial dan psikologis.17
Faktor yang dapat mempengaruhi selanjutnya adalah usia
responden. Usia dapat mempengaruhi pemahaman seseorang
dalam mencerna nilai dan norma sosial juga kebijakan pemerintah
yang berlaku di lingkungannya. Usia menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang, tingkat
pengalaman, dan tingkat keterlibatan seseorang dalam suatu
kelompok.
Biasanya, di dalam suatu organisasi, banyak ditemukan
sekelompok pemuda yang menjadi bagian anggota atau partisipan
dalam keorganisasian, mereka mempunyai pengaruh yang tidak
sedikit dalam pengembangan arah dan tujuan kelompok karena
masih mempunyai jiwa muda dan ide-ide inovatif dalam
memajukan kelompoknya. Di sisi lain, sebuah penelitian

16
Lihat Kevin Downing, Sui-Wah Chan, Woo-Kyung Downing, Theresa
Kwong, Tsz-Fung Lam, “Measuring Gender Differences In Cognitive
Functioning”, Multicultural Education & Technology, Vol. 2 No. 1, 2008, 4-18.
17
Lihat Alice H. Eagly dan Valerie J. Steffen, Gender and Aggressive
Behavior: A Meta-Analytic Review of the Social Psychological Literature, Purdue
University, Psychological Bulletin, 1986, Vol. 100, No. 3, 309.

120 | Rif’atul Hasanah


mengungkapkan bahwa jiwa pemuda antara usia 15 sampai 29
tahun lebih memiliki tingkat agresifitas yang tinggi dibanding
mereka yang berumur lebih dari 30 tahun, dan agresifitas disini
terkadang menjadi penyebab suatu konflik yang terjadi baik secara
individual maupun kolektif, dan lebih banyak disebabkan oleh
mereka yang berjenis kelamin dan berstatus belum menikah .18
Sejalan dengan penelitian diatas, hasil penelitian ini juga
menunjukkan hasil yang sama, responden yang berusia antara 21-
30 tahun lebih berpotensi mempunyai masalah kerukunan
dibanding usia diatasnya. Hal ini mungkin disebabkan karena
mereka yang berusia lebih dewasa ingin lebih bekerja dan hidup
bertetangga dengan nyaman dan tenteram tanpa harus
memperdulikan masalah-masalah yang akan menyusahkan dirinya
saja. Di sisi lain, responden yang berusia antara 31-40 tahun
memiliki pemahaman terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 lebih
tinggi dibandingkan responden lain.19
Dari segi pendidikan, dengan total 165 orang, responden
yang berpendidikan Sarjana lebih mempunyai pemahaman
terhadap PBM lebih tinggi dibandingkan responden yang
berpendidikan Diploma dan lulusan SMA.20 Responden yang
mempunyai pendidikan tinggi lebih mempunyai dasar dan
pengetahuan tentang suatu hal yang menjadi fokus mereka dalam
bekerja dan memperdalam bidang kerjaan mereka. Penelitian
terdahulu pernah mengkaji tentang Peran Pendidikan Tinggi dalam
Masyarakat, menghasilkan bahwa mereka yang sudah merasakan

18
Christian G. Mesquida dan Neil l. Wiener, Male Age Composition and
Severity of Conflict dalam Politics and The Life Sciences (York University,
Canada, Beech Tree Publishing, 1999), 18 (2), 181-189.
19
Pernyataan ini didapat dari hasil penelitian yang menghasilkan nilai rata-
rata pemahaman masyarakat terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, rentang usia
antara 31-40 tahun memiliki rata-rata 54,32, sedangkan usia 41-50 tahun 50,16
dan usia antara 21-30 tahun 36,48. Adapun variabel tentang tingkat kerukunan
antar umat beragama, usia antara 21-30 tahun memiliki potensi lebih tinggi
dibanding responden lain. Potensi tingkat kerukunan responden yang berusia
antara 21-30 tahun sebesar 56,25, sedangkan responden yang berusia 31-40 tahun
sebesar 48,52 dan responden yang berusia antara 41-50 tahun sebesar 45,62.
20
Perolehan nilai rata-rata responden yang bertitel Sarjana sebesar 53,26,
sedangkan nilai responden yang berpendidikan Diploma 47,68 dan SMA sebesar
42,13. Hasil ini diperoleh dari perhitungan SPSS yang peneliti gunakan.

Kerukunan Umat Beragama … | 121


duduk di Perguruan Tinggi mempunyai peran dan memberikan
kontribusi dalam bidang pekerjaan mereka.21
Tingkat kerukunan antara responden yang berstatus lulusan
SMA 10% lebih berpotensi mengalami masalah kerukunan
dibanding responden lainnya.22 Tingkat pendidikan berpengaruh
juga terhadap potensi kerukunan antar umat beragama. Sebuah
penelitian tentang pengaruh faktor-faktor pendukung konflik sosial
masyarakat pada suatu daerah, menunjukkan hasil bahwa terdapat
pengaruh kelas sosial terhadap konflik sosial masyarakat. Kelas
sosial disini dapat diklasifikasikan ke dalam empat faktor yang
sangat menentukan, yaitu pendapatan, jabatan atau pekerjaan,
pendidikan, lokasi tempat tinggal dan latar belakang keluarga.23
Dengan demikian tingkat pendidikan dan atau kelas sosial
seseorang mempengaruhi keberadaannya dalam hidup
bermasyarakat.
Faktor selanjutnya adalah pekerjaan. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, bahwa pekerjaan juga termasuk dalam faktor yang
mempengaruhi kelas sosial masyarakat yang pada akhirnya akan
mempengaruhi proses sosialisasi seorang warga dengan
masyarakat dan lingkungannya. Faktor pekerjaan juga
berhubungan dengan pemahaman terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006 dan tingkat kerukunan antar umat beragama. Lihat tabel
berikut ini:

21
Walter J. Kamba, The Role of Higher Education in Society: Quality and
Pertinence, News Papers on Higher Education, Meeting Documents, UNESCO-
Non Governmental Organizations 2nd Collective Consultation on Higher
Education, Paris, 8-11 April 1991, 26.
22
Hasil analisis tingkat kerukunan responden yang berpendidikan SMA
senilai 58,13, sedangkan Diploma senilai 48,13 dan Sarjana senilai 48,15.
23
Ibnu Syamsi, “Potensi Konflik Sosial Masyarakat di Kelurahan
Condongcatur Yogyakarta” dalam Forum Kajian Fondasi Pendidikan (FOKSiP)
Universitas Negeri Yogyakarta, Fondasia Majalah Ilmiah Fondasi Pendidikan,
Vol. 1 No. 9/Th. VIII, Maret 2009, 35.

122 | Rif’atul Hasanah


Tabel 5.3
Hubungan pekerjaan dengan pemahaman terhadap PBM No. 9 dan
8 Tahun 2006 serta tingkat kerukunan antar umat beragama

Pekerjaan Jumlah Nilai Rata-rata


Pemahaman Masyarakat Wiraswasta 38 42.65
terjadap PBM No. 9 dan Pegawai Negeri 82 50.65
8 Tahun 2006
Pegawai Swasta 45 48.12
Total 165
Tingkat kerukunan antar Wiraswasta 38 48.60
umat beragama Pegawai Negeri 82 45.12
Pegawai Swasta 45 51.68
Total 165
Dari data diatas, terlihat bahwa PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006
lebih dipahami oleh responden yang berstatus PNS, sedangkan
untuk tingkat kerukunan pegawai swasta mempunyai masalah
kerukunan yang lebih tinggi dibandingkan dengan PNS dan
wiraswasta. Perolehan nilai masalah kerukunan responden yang
berstatus pegawai negeri yang lebih rendah dibanding pegawai
swasta dan wiraswasta dapat disebabkan oleh lama masa kerja dan
komitmen mereka terhadap tanggung jawab pekerjaan.
Masa kerja merupakan faktor individu yang berhubungan
dengan prilaku yang mempengaruhi komitmennya terhadap
organisasi tempat ia bekerja.24 Masa kerja merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi rendahnya potensi konflik responden
yang berstatus pegawai negeri dibandingkan pegawai swasta
ataupun wiraswasta. Idealnya seseorang yang diangkat menjadi
pegawai negeri sudah mempunyai pengalaman bekerja ataupun
masa kerja yang lama dibanding pegawai swasta atau wiraswasta.
Dikarenakan masa kerja dan pengalaman ini, mereka (baca:

24
Penelitian empiris yang dilakukan oleh Kalbers dan Cenker (2007)
terhadap 334 akuntan yang bekerja di beberapa kota metropolitan di Amerika
Serikat menunjukkan bahwa pengalaman kerja (masa kerja) berpengaruh positif
dan signifikan terhadap komitmen organisasional. Demikian pula penelitian yang
dilakukan oleh Joiner dan Bakalis (2006) terhadap 72 orang guru dari delapan
akademi di Austria menunjukkan bahwa masa kerja atau pengalaman kerja
berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional. LihatRina
Friska Bintang Siahaan,“Pengaruh Karakteristik Individu dan Kepuasan Kerja
Terhadap Komitmen Organisasi Pada PT. Angkasa Pura II Bandar Udara Polonia
Medan”, Tesis Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2010, 17.

Kerukunan Umat Beragama … | 123


Pegawai Negeri) lebih fokus dalam melaksanakan kinerjanya
sebagai aparat pemerintahan daerah yang telah dipercaya dan
diamanahkan untuk menjaga dan mengurus ketertiban warga
masyarakat.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah penghasilan.
Faktor penghasilan atau pendapatan adalah salah satu faktor yang
banyak mempengaruhi perbuatan seseorang dalam bersosialisasi
dengan orang lain, begitu juga berpengaruh pada kinerja seseorang
di lingkungan kerjanya. Hasil analisis yang didapat dari kuesioner
penelitian dinyatakan bahwa responden yang berpenghasilan
antara Rp. 2.100.000 – Rp. 3.000.000,- mempunyai pemahaman
terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 juga lebih tinggi
dibandingkan responden yang berpenghasilan rendah.25
Hubungan tingkat kerukunan antar umat beragama dengan
tingkat penghasilan, responden yang berpenghasilan antara Rp
500.000,- - Rp 1.000.000,- mempunyai potensi masalah kerukunan
lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang berpenghasilan
lebih.26 Tingkat kerukunan disini diartikan sebagai potensi
kerukunan antar umat beragama, yang tidak lepas juga dari faktor
ketidakrukunan. Tingkat pendapatan mempunyai andil dalam
mempengaruhi sikap seseorang, dengan demikian bisa dikatakan
bahwa semakin kecil pendapatan seseorang semakin besar
himpitan ekonomi yang dapat mempengaruhi kenyamanan hidup,
baik dalam diri individu maupun dengan masyarakat lain.27

25
Hal ini diperoleh dari hasil penelitian dimana nilai rata-rata responden
yang berpenghasilan antara Rp 2.100.000,- - Rp 3.000.000,- sebesar 56,28 dan
nilai rata-rata responden yang berpenghasilan antara Rp 1.100.000,- - Rp
2.000.000,- sebesar 52,19, sedangkan nilai rata-rata responden yang
berpenghasilan antara Rp 500.000,- - Rp 1.000.000,- sebesar 48,62.
26
Untuk variabel tingkat kerukunan, responden yang berpenghasilan rendah
mempunyai nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan responden yang
berpenghasilan tinggi. Nilai responden yang berpenghasilan antara Rp 500.000,- -
Rp 1.000.000,- sebesar 52,68 dan nilai responden yang berpenghasilan antara Rp
1.100.000,- - Rp 2.000.000,- sebesar 48,52, adapun nilai rata-rata responden yang
berpenghasilan antara Rp 2.100.000,- - Rp 3.000.000,- sebesar 48,06.
27
Hal ini juga dikatakan oleh A. Syafi’i Mufidz dan Rudy Pratikno ketika
ditemui di Kantor kediamannya FKUB DKI Jakarta Gedung Persada Sasana
Karya tanggal 26 November 2013. Beliau mengatakan bahwa ketika ada
sekelompok orang yang sedang berdemo dalam kasus penolakan rumah ibadat
atau sejenisnya, maka yang berorasi tersebut diajak dialog dan setelah itu ia
mendapatkan uang. Hal ini terjadi karena adanya tumpang tindih antara agama

124 | Rif’atul Hasanah


Meskipun mempunyai hubungan antara tingkat penghasilan
responden dengan tingkat kerukunan, namun hubungan ini
tidaklah dalam arti yang signifikan. Tidak bisa dikatakan bahwa
semakin tinggi tingkat penghasilan seseorang, maka semakin tinggi
pemahaman terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan semakin
rendah tingkat konflik ataupun kerukunan antar umat beragama.
Dalam penelitian ini juga menjadikan keaktifan responden
dalam suatu organisasi keagamaan sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat pemahaman PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006
dan tingkat kerukunan antar umat beragama. Suatu keaktifan
dalam organisasi kemasyarakatan (ormas) bidang keagamaan
adalah suatu bentuk usaha yang dilaksanakan untuk mewujudkan
atau mengaplikasikan iman ke dalam suatu bentuk perilaku
keagamaan. Bentuk dari keterlibatan aktif para responden seperti
keaktifan hadir dalam beberapa kegiatan keagamaan, dan keaktifan
menjadi panitia dan pengurus ormas keagamaan. Suatu ormas
dapat berfungsi sebagai wadah penyalur kegiatan sesuai
kepentingan anggotanya, sarana penyalur aspirasi masyarakat, dan
juga sebagai wadah peran serta anggota untuk memperkuat
persatuan dari tujuan ormas tersebut.
Dari total 165 orang, terdapat 2 kelompok responden, yakni
mereka yang aktif dan tidak aktif dalam organisasi keagamaan.
Sebagian besar responden tidak aktif dalam ormas keagamaan.
Jumlah responden yang tidak aktif yakni sebanyak 89 orang,
sedangkan mereka yang aktif terbagi menjadi anggota biasa dan
anggota pengurus. Responden yang berstatus sebagai anggota biasa
berjumlah 38 orang, anggota pengurus 12 orang, dan simpatisan
sebanyak 26 orang.
Responden yang menjadi anggota pengurus suatu ormas
mempunyai pemahaman yang lebih tinggi terhadap PBM
dibandingkan responden lainnya. Urutan kedua adalah responden
yang berstatus sebagai anggota biasa suatu ormas keagamaan.
Keaktifan dalam organisasi keagamaan ini bisa menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi pemahaman responden terhadap PBM
No. 9 dan 8 tahun 2006, hal ini disebabkan karena di dalam suatu
organisasi terdapat berbagai kegiatan yang memungkinkan mereka
saling bertukar pendapat dan membahas beberapa masalah yang

dan kepentingan ekonomi, kemiskinan, premanisme atau persoalan politik maka


dia menggunakan agama.

Kerukunan Umat Beragama … | 125


terjadi, salah satunya terkait konflik agama dan masyarakat.
Sementara itu, pada tingkat kerukunan antar umat beragama,
prosentase anggota pengurus ormas dan anggota biasa hampir
sebanding dan mempunyai tingkat kerukunan yang lebih tinggi
juga dibanding mereka yang tidak aktif.
Tingkat kerukunan disini diartikan sebagai potensi masalah-
masalah kerukunan yang akan terjadi. Jika dilihat dari kasus
pendirian rumah ibadat di Kampung Ciketing Asem Kelurahan
Mustika Jaya Bekasi, warga yang terlibat konflik adalah jamaat
HKBP Pondok Timur Indah (PTI) dari pihak Kristen dan beberapa
anggota dari FPI dari pihak Islam. Hal ini bisa terjadi karena dipicu
oleh beberapa faktor, diantaranya adalah terusiknya kenyamanan
hidup warga sekitar dan terancamnya identitas kaum Muslim
karena dikisaran wilayah tempat tinggal mereka akan dibangun
sebuah gereja.
Dari beberapa faktor demografi yang telah dijelaskan diatas,
faktor yang paling berpengaruh pada tingkat pemahaman
responden akan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 adalah keaktifan
responden dalam suatu organisasi keagamaan, sedangkan faktor
usia dan lainnya tidak memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap pemahaman masyarakat akan PBM tersebut, begitu juga
dalam hal tingkat kerukunan antar umat beragama, namun pada
faktor jenis kelamin, ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, laki-laki cenderung lebih memiliki tingkat agresifitas
yang tinggi dibanding perempuan dalam menjaga identitas
kelompoknya. Dalam kasus HKBP-PTI ini, aktor yang terlibat dalam
insiden tersebut adalah beberapa orang warga yang aktif dalam
kelompok agamanya sendiri dan juga berjenis kelamin laki-laki.
Faktor yang mendapatkan hasil nilai tertinggi ataupun yang
menjadi faktor paling berpengaruh dalam tingkat kerukunan antar
umat beragama adalah jenis kelamin dan keaktifan dalam ormas
keagamaan.28

28
Hasil ini didapat dengan melihat nilai rata-rata juga menggunakan Chi-
Square yang bertujuan untuk menguji hubungan atau pengaruh dua buah variabel
nominal dan mengukur kuatnya hubungan antara variabel yang satu dengan
variabel nominal lainnya. Dengan perhitungan Chi-Square, pada tingkat
pemahaman masyarakat terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, faktor keaktifan
responden dalam ormas keagamaan memperoleh nilai 0,015. Pada tingkat
kerukunan antar umat beragama, faktor jenis kelamin 0,032 dan keaktifan ormas
keagamaan mempunyai hasil sebesar 0,038. Dengan demikian, jenis kelamin dan

126 | Rif’atul Hasanah


B. Pemahaman Masyarakat terhadap Tugas Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah dan Kerukunan Antar Umat Beragama
Dalam sub bahasan pertama dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006 ini terkait dengan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah
dalam memelihara kerukunan umat beragama. Penelitian tentang
tugas dan peran kepala daerah ataupun pemerintahan daerah
setempat (Pemda) dalam memelihara kerukunan umat beragama
sudah dilakukan di beberapa daerah, seperti di Jawa Barat, Nangroe
Aceh Darussalam (NAD), juga Sumatera Selatan, menghasilkan
bahwa dalam upaya memelihara kerukunan umat beragama, Pemda
menitikberatkan pada strategi implementasi kebijakan yang sudah
diatur dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, pemberdayaan FKUB,
dan berperan serta sebagai mediator dan fasilitator lembaga/ormas
keagamaan.29
Kebijakan yang bersumber dari Kementerian Agama dan
Kementerian Dalam Negeri ini ditindaklanjuti dengan Pergub No.
17 tahun 2007 dan Pergub No. 20 tahun 2008 terkait dengan pasal
pendirian rumah ibadat. Dalam implementasinya peraturan ini
masih banyak menyimpan masalah, apalagi dalam kebijakan ini
tidak disertai ancaman sanksi bagi kepala daerah yang gagal dalam
melaksanakan amanat tersebut. Implikasinya, program itu

keaktifan ormas keagamaan memberikan pengaruh terhadap tingkat kerukunan


antar umat beragama
29
Pada peran Pemda Jabar, menyatakan bahwa kebijakan pemeliharaan
kerukunan beragama diemban oleh 3 (tiga) instansi di lingkungan Pemda Jabar,
yakni Biro Pelayanan Sosial Dasar, Badan Kesbanglinmas, serta Sekretariat
Daerah (Asisten Pemerintahan dan Asisten Kesejahteraan Sosial). Mengenai
strategi implementasi kebijakannya, dilakukan dengan menyusun Renstra pada
tiga instansi di lingkungan Pemda tersebut, dan di dalam renstra itu disusun tolok
ukur/indikator keberhasilan kebijakan. Strategi implementasi kebijakan tertuang
dalam berbagai program kerukunan umat beragama, dan program yang menjadi
prioritas adalah pemberdayaan FKUB. Kegiatan ini dijalankan dalam rangka
melaksanakan tugas pokok dan fungsi kelembagaan, yakni sebagai mediator dan
fasilitator lembaga/ormas keagamaan. Selain pada FKUB, mediasi juga ditujukan
pada berbagai elemen masyarakat, seperti ormas keagamaan serta tokoh agama.
Lihat Anik Farida, Peran Pemda Jawa Barat Dalam Memelihara Kerukunan Umat
Beragama (Studi tentang Analisis Kebijakan dan Strategi Pemda dalam
Memelihara Kerukunan Umat Beragama di Jawa Barat) (Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), 57-58.

Kerukunan Umat Beragama … | 127


cenderung dipakai hanya untuk alasan alokasi APBD tanpa disertai
dengan kontrol, evaluasi dan monitoring yang cukup. 30
Di sisi lain, keberadaan Peraturan Gubernur terkait isi PBM
di beberapa daerah sangat kurang. Hal ini menunjukkan bahwa
respon pemerintah daerah terhadap keberadaan PBM perlu
ditingkatkan.31 Terkait dengan penindaklanjutan PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006 ini, Pemerintah daerah Kota Bekasi sudah
mengimplementasikan kebijakan tersebut lewat Peraturan
Walikota Bekasi Nomor: 16 Tahun 2006 Tentang Tata Cara
Pemberian Izin Pendirian Rumah Ibadat di Kota Bekasi dan
Keputusan Walikota Bekasi Nomor: 450/Kep. 372-
Kesbangpolinmas/VIII/2011 tentang Pembentukan Forum dan
Dewan Penasehat Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara pemahaman masyarakat terhadap tugas Kepala daerah dan
Wakil Kepala Daerah dan tingkat kerukunan antar umat beragama.
Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut:
Tabel 5.4
Korelasi antara pemahaman masyarakat terhadap tugas Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan tingkat kerukunan antar
umat beragama

Pemahaman
Tingkat kerukunan
masyarakat
antar umat
terhadap tugas
beragama
Kepala Daerah
Pemahaman Pearson Correlation 1 .478**
masyarakat terhadap Sig. (2-tailed) .000
tugas Kepala Daerah N 100 165
Pearson Correlation .478** 1
Tingkat kerukunan
Sig. (2-tailed) .000
antar umat beragama
N 165 100
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

30
Lihat Anik Farida, Peran Pemda Jawa Barat Dalam Memelihara
Kerukunan Umat Beragama,, 59.
31
Dari beberapa daerah yang sudah memiliki peraturan gubernur ternyata
masih belum sesuai dengan PBM dan belum tersosialisasi dengan baik. Lihat
Kustini, Efektifitas Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Nomor 9 dan 8 Tahun
2006, Puslitbang Kehidupan Keagamaan RI, 2009, 43.

128 | Rif’atul Hasanah


Dari hasil output di atas diketahui bahwa besarnya korelasi
antara pemahaman masyarakat terhadap tugas Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama
dan tingkat kerukunan antar umat beragama adalah 0,478 dan
signifikan pada alfa 1%. Dengan nilai koefisien korelasi tersebut
menunjukkan adanya korelasi positif antara pemahaman
masyarakat terhadap tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
dalam memelihara kerukunan umat beragama dan tingkat
kerukunan antar umat beragama. Adapun analisis khusus
masyarakat biasa yang berjumlah 65 orang, diperoleh hasil korelasi
sebesar 0,173 yang berarti nilai korelasi tersebut sangat rendah.
Hal ini juga dikatakan oleh Tri Jaladara dari Direktorat
Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik, Kementerian Dalam Negeri
menekankan optimalisasi peran pemerintah daerah pada level
paling bawah untuk melakukan pembinaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, pengelolaan pengaruh radikalisme dan
terorisme yang dilakukan secara komprehensif, pengembangan
sistem peringatan dini, sinergitas pusat dan daerah dan
optimalisasi koordinasi antar lembaga di daerah.32

C. Pemahaman Masyarakat terhadap Pemberdayaan FKUB dan


Kerukunan Antar Umat Beragama

Penelitian yang membahas tentang Pemberdayaan FKUB


sudah banyak dilakukan di beberapa daerah. Beberapa diantaranya
meyimpulkan bahwa kinerja FKUB sebagai wadah komunikasi antar

32
Pada pertemuan berkala Forum Komunikasi Kelitbangan
Kementerian/Lembaga dengan tema “Mencari Solusi Konflik Sosial dalam
Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Sosial” yang diselenggarakan
Puslitbangkesos paling tidak 3 Kementerian yaitu Kementerian Sosial,
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
mempunyai kebijakan dan program penanganan konflik sosial. Kementerian
Dalam Negeri mencatat dari Januari-November 2012 telah terjadi 104 peristiwa
konflik dengan 8 pemicu utama konflik yaitu: Bentrokan antar warga 33,6%, Isu
keamanan 25%, konflik Ormas 12,5%, sengketa lahan 12,5%, Isu SARA
9,6%, ekses konflik politik 2,9%, konflik pada institusi pendidikan 2,8% dan
kesenjangan sosial 0,9%. Maka dari itu, optimalisasi peran pemerintah daerah
pada level paling bawah harus ditekankan. http://www.kemsos.go.id di unduh
tanggal 09 Februari 2013.

Kerukunan Umat Beragama … | 129


umat beragama dan menyalurkan aspirasi masyarakat untuk
dijadikan suatu pertimbangan dalam suatu kebijakan gubernur,
juga sebagai wadah yang memberikan rekomendasi pendirian
rumah ibadat, dirasa belum menunjukkan kinerja yang maksimal.
Hal ini terlihat karena masih terjadinya konflik masalah pendirian
rumah ibadat yang terjadi di berbagai tempat dan kurangnya
sosialisasi FKUB di berbagai daerah.33 Padahal menurut hasil
penelitian ini, ada kolerasi antara tingkat pemahaman masyarakat
terhadap pemberdayaan FKUB dengan tingkat kerukunan antar
umat beragama. Lihat tabel berikut:

Tabel 5.5
Korelasi antara pemahaman masyarakat terhadap pemberdayaan
FKUB dengan tingkat kerukunan antar umat beragama

Pemahaman Tingkat kerukunan


masyarakat terhadap antar umat
pemberdayaan FKUB beragama
Pemahaman Pearson Correlation 1 .346**
masyarakat terhadap Sig. (2-tailed) .000
pemberdayaan
FKUB N 165 165
Tingkat kerukunan Pearson Correlation .346** 1
antar umat Sig. (2-tailed) .000
beragama
N 165 165
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Dari hasil output di atas diketahui bahwa besarnya korelasi


antara pemahaman masyarakat terhadap pemberdayaan FKUB dan
tingkat kerukunan antar umat beragama adalah 0,346 dan

33
Lihat Ibnu Hasan Muchtar, “Peran Forum Kerukunan Umat Beragama di
Kalimantan Barat” dalam HARMONI Jurnal Multikultural dan Multireligius,
volume IX, nomor 33, Januari - Maret 2010, 147. Lihat juga Kustini,
“Optimalisasi Peran FKUB DKI Jakarta Menuju Kehidupan Yang Harmoni”
dalam Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. IX No. 33. Ahsanul Khalikin,
Peran Forum Kerukunan Umat Beragama dalam Pelaksanaan PBM Nomor 9 & 8
Tahun 2006 di Jakarta Pusat dalam Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. IX
No. 33, 2010. Bandingkan dengan Saifudin Asrori, “Studi Sosiologis Forum
Konsultasi dan Komunikasi Umat Beragama (FKKUB) Provinsi DKI Jakarta”,
Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007.

130 | Rif’atul Hasanah


signifikan pada alfa 1%. Dengan nilai koefisien korelasi tersebut
menunjukan adanya korelasi positif yang signifikan antara
pemahaman masyarakat terhadap pemberdayaan FKUB dan tingkat
kerukunan antar umat beragama.34
Adanya korelasi disini dikarenakan tugas FKUB adalah untuk
mensosialisasikan kebijakan-kebijakan pemerintah terkait dengan
keberagamaan, menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi
masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk rekomendasi
sebagai bahan kebijakan bupati/walikota. Pada tingkat FKUB Kota,
juga memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian
rumah ibadat, sehingga membantu dan memudahkan jamaat jika
ingin mendirikan rumah ibadat yang mereka butuhkan.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, FKUB Kota Bekasi
mengadakan dialog-dialog yang bersifat menanyakan isi PBM No. 9
dan 8 Tahun 2006 dan membicarakan kasus-kasus di wilayah
setempat. FKUB juga mengadakan seminar dengan beberapa
tingkatan wilayah yang bekerja sama dengan Pemerintah daerah
setempat untuk mensosialisasikan peraturan. Setelah diadakan
dialog ataupun seminar, diadakanlah rapat untuk menampung
keluhan-keluhan atau aspirasi masyarakat dan organisasi
kemayarakatan. Apabila ada aspirasi yang pro dan kontra, maka
FKUB akan mencarikan jalan keluar dan merekomendasikan hal
tersebut kepada Pemerintah. Dalam hal ini FKUB bukanlah wadah
penentu atau pengambil keputusan, karena FKUB hanya sebagai
fasilitator. Sementara itu, fungsi FKUB yang lain adalah juga untuk
merukunkan antar dan inter umat beragama dengan tetap bekerja
sama dengan lembaga keagamaan lainnya.35
Pada tahun 2012 sudah diadakan sosialisasi Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang juga membahas isi PBM
No. 9 dan 8 tahun 2006 di tingkat kecamatan dan pada awal 2013,
sosialisasi ini sudah sampai di tingkat kelurahan di Kota Bekasi.36
Sosialisasi ini sangat penting untuk dilaksanakan sampai pada
tataran masyarakat bawah agar saling mengerti dan memahami

34
Adapun analisis terhadap 65 responden yang berasal dari masyarakat
biasa, tidak menunjukkan adanya korelasi antara pemberdayaan FKUB dengan
kerukunan antar umat beragama, karena nilai yang diperoleh sebesar -0,025.
35
Wawancara dengan Pak. H. Moch. Nasrullah, anggota FKUB Kota
Bekasi di kantor FKUB Kota Bekasi pada tanggal 26 Maret 2014.
36
Wawancara dengan Pak. H. Moch. Nasrullah, anggota FKUB Kota
Bekasi di kantor FKUB Kota Bekasi pada tanggal 26 Maret 2014.

Kerukunan Umat Beragama … | 131


kebijakan yang mengatur proses lalu lintas hidup keberagamaan,
sehingga dapat meningkatkan rasa toleransi dan tidak ada lagi
konflik antar umat beragama.

D. Pemahaman Masyarakat terhadap Pendirian Rumah Ibadat dan


Kerukunan Antar Umat Beragama
Rumah ibadat merupakan sentral kegiatan keagamaan juga
sebagai tempat strategis untuk peningkatan kerukunan umat
beragama. Menurut hasil penelitian Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan Departemen Agama RI tahun 2003, dalam setiap
rumah ibadat, ada dua jenis kegiatan keagamaan yang dilakukan,
yakni kegiatan rohani dan kegiatan yang bersifat duniawi.37
Kegiatan rohani yang berisikan khotbah atau ceramah
agama tidaklah memberikan kontribusi yang berarti bagi
peningkatan kerukunan umat beragama karena isi pesan yang
terkandung dalam ceramah tersebut hanyalah sekitar peningkatan
keimanan dan keyakinan para penganut agama masing-masing. Di
sisi lain, pada kegiatan keagamaan yang bersifat duniawi lebih pada
kegiatan sosial kemasyarakatan, dengan kegiatan ini banyak
memberikan kontribusi yang berarti bagi peningkatan kerukunan
umat beragama, namun ada beberapa rumah ibadat yang tidak
mengikutsertakan umat beragama lain dalam kegiatan sosialnya
tersebut.
Kegiatan bakti sosial yang bertujuan kemanusiaan itu
memang memberikan pengaruh terhadap kerukunan umat
beragama, karena pada saat kegiatan tersebut berlangsung, bukan
saja dari kelompok umat tertentu saja, tetapi juga dari umat-umat
lain ikut berpartisipasi untuk membantu mereka yang kurang
mampu dan membutuhkan. Menurut Rudy Pratikno selaku Wakil
Ketua FKUB Provinsi DKI Jakarta mengatakan bahwa Gereja juga

37
Dua jenis kegiatan tersebut merupakan hasil dari penelitian yang
mengangkat masalah tentang “bagaimana kegiatan-kegiatan keagamaan yang
dilakukan oleh para pengelola rumah ibadat memberikan kontribusi bagi
peningkatan kerukunan umat beragama?”. Hal ini sudah dijelaskan di Bab II
penelitian ini. Untuk lebih jelasnya lihat Bashori A. Hakim, dalam Pendahuluan,
Bashori A. Hakim dan Moh. Saleh Isre (editor), Fungsi Sosial Rumah Ibadat Dari
Berbagai Agama Dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Proyek
Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang
Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen
Agama RI, 2004), 3.

132 | Rif’atul Hasanah


difungsikan sebagai Crisis Center jika ada kebakaran, banjir, gempa,
dan lainnya.38
Dalam keseharian, terkadang fungsi sosial rumah ibadat ini
tidak dibarengi dengan kenyamanan para jamaat dalam
kesehariannya. Banyak terjadi konflik terkait dengan pendirian
rumah ibadat, baik dari segi penyiaran agama maupun proses
perizinan dan pendirian rumah ibadat tersebut.
Dengan demikian, kesan yang timbul adalah rumah ibadat
dan penyiaran agama dapat memicu ketidakharmonisan antar
penganut agama yang berbeda. Beberapa konflik antar umat
beragama yang terjadi, sebagian besar diantaranya disebabkan oleh
masalah perizinan pendirian rumah ibadat yang sudah diatur dalam
PBM No. 9 dan 8 tahun 2006. Hal ini disebabkan belum
terlaksananya sosialisasi secara merata di beberapa daerah, padahal
kegiatan sosialisasi ini berpengaruh terhadap kerukunan antar
umat beragama.39
Menurut A. Syafi’i Mufidz, masalah yang banyak terjadi
dalam hal agama adalah faktor penyiaran agama dan pendirian
rumah ibadat, kedua masalah tersebut terjadi beriringan. Masalah
yang terakhir terjadi karena adanya pergeseran tujuan pendirian
rumah ibadat itu di dalam kenyataan. Penyiaran agama terselubung
akhirnya menjadi konflik pendirian rumah ibadat. Dalam rumah
ibadat juga ada unsur tokoh agama yang ikut mempunyai andil
dalam mewujudkan kerukunan umat. Warga itu tergantung dengan
tokoh atau pemimpinnya. Apabila pemimpin tersebut memberikan
penjelasan yang baik dan jelas akan peraturan-peraturan tentang
38
Wawancara dengan Rudy Pratikno di Kantor FKUB DKI Jakarta
Gedung Persada Sasana Karya, pada tanggal 26 November 2013. A. Syafi’i
Mufidz juga menambahkan jika umat tertentu ingin mengadakan bakti sosial
sebaiknya menggunakan bendera FKUB agar tidak dicurigai adanya penyiaran
agama (kristenisasi/islamisasi/budhanisasi). Wawancara dengan A. Syafi’i
Mufidz, di Kantor FKUB DKI Jakarta Gedung Persada Sasana Karya, pada
tanggal 14 November 2013.
39
Fungsi kegiatan sosialisasi yang sudah dilaksanakan di beberapa tempat
mempunyai pengaruh yang cukup nyata terhadap kerukunan antar umat beragama
yakni sebesar 17,4%. Persentase pengaruh tersebut meskipun masih relatif kecil
tetapi menunjukkan bahwa diseminasi informasi tentang PBM, keberadaan
peraturan terkait PBM (Pergub), peran Pemda dan Majelis agama dalam
kerukunan umat beragama, sertaFKUB yang dinamis dapat memberi kontribusi
positif dalam menciptakan kondisi kerukunan umat beragama. Lihat Kustini,
Efektifitas Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006,
Puslitbang Kehidupan Keagamaan RI, 2009, 43.

Kerukunan Umat Beragama … | 133


pendirian rumah ibadat, penjelasan tentang toleransi, maka
masyarakat akan menerima, namun jika pemimpinnya berdakwah
secara berprovokasi, maka warga pun akan menolak pendirian
rumah ibadat lain.40
Dalam agama Islam, ulama memainkan peran penting dalam
menciptakan, menggambarkan, dan menegosiasi “ruang agama”
dalam masyarakat muslim modern.41 Bersamaan dengan itu, pada
umat Katolik, ketika ingin mendirikan gereja, maka ada proses
konsolidasi antara paroki dengan keuskupan. 42
Pada tabel berikut dijelaskan terdapat hubungan antara
pemahaman masyarakat terhadap prosedur pendirian rumah
ibadat dengan tingkat kerukunan antar umat beragama.

Tabel 5.6
Korelasi antara pemahaman masyarakat terhadap pendirian rumah
ibadat dengan tingkat kerukunan antar umat beragama

Pemahaman Tingkat
masyarakat terhadap Kerukunan
pendirian rumah Antarumat
ibadat Beragama
Pemahaman Pearson Correlation 1 .356**
masyarakat terhadap Sig. (2-tailed) .000
pendirian rumah ibadat
N 165 165
Tingkat Kerukunan Pearson Correlation .356** 1
Antarumat Beragama Sig. (2-tailed) .000
N 165 165
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

40
Wawancara dengan Ketua FKUB DKI JakartaA. Syafi’i Mufidz, di
Kantor FKUB DKI Jakarta, tanggal 14 November 2013. Lihat juga M. Atho
Mudzhar, Merayakan Kebhinekaan Membangun Kerukunan (Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), 133.
41
Abdul Kader Tayob, “The Role and Identity of Religious Authorities in
The Nation State, Egypt, Indonesia, and South Africa Compared”, Azyumardi
Azra, Kees Van Dijk, and Nico J.G. Kaptein (editors), Varieties of Religious
Authority: Changes and Challenges in 20th Century Indonesian Islam (Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 2010), 73.
42
Wawancara dengan Rudy Pratiknodi Kantor FKUB DKI Jakarta
Gedung Persada Sasana Karya, pada tanggal 26 November 2013.

134 | Rif’atul Hasanah


Dari hasil output di atas diketahui bahwa besarnya korelasi
antara pemahaman masyarakat terhadap pendirian rumah ibadat
dan tingkat kerukunan antar umat beragama adalah 0,356 dan
signifikan pada alfa 1%. Dengan nilai koefisien korelasi tersebut
menunjukan adanya korelasi positif dan signifikan antara
pemahaman masyarakat terhadap pendirian rumah ibadat dan
tingkat kerukunan antar umat beragama.43
Dengan demikian, ketiga bahasan dalam PBM No. 9 dan 8
tahun 2006 mempunyai hubungan dengan tingkat kerukunan antar
umat beragama di Mustika Jaya Bekasi. Pada bahasan pertama, jika
dikorelasikan dengan tingkat kerukunan umat beragama
mempunyai nilai sebesar 0,478. Pada bahasan yang kedua
mempunyai nilai korelasi sebesar 0,346, dan bahasan ketiga
mempunyai korelasi 0,356, ketiga bahasan itu semua signifikan
pada alfa 1% yang mempunyai arti bahwa ketiga bahasan dalam
PBM mempunyai nilai korelasi yang sangat signifikan.
Untuk besarnya sumbangan atau kontribusi antara masing-
masing sub-variabel tingkat pemahaman masyarakat terhadap PBM
No. 9 dan 8 tahun 2006 yakni pemahaman masyarakat terhadap
tugas kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam memelihara
kerukunan umat beragama, pemahaman masyarakat terhadap
pemberdayaan FKUB, dan pemahaman masyarakat terhadap
pendirian rumah ibadat secara sendiri-sendiri dengan saling
mengontrol antara yang satu dan lainnya dengan tingkat
kerukunan antar umat beragama, hasil menunjukkan bahwasanya
sumbangan yang paling besar diberikan oleh pemahaman
masyarakat terhadap peran kepala daerah dan wakil kepala daerah
dalam memelihara kerukunan antar umat beragama, yakni sebesar
0,300. Hasil serupa juga diperoleh ketika penulis menganalisis
responden dari masyarakat biasa yang berjumlah 65 orang, namun
hasil menunjukkan bahwa tidak ada signifikansi antara sumbangan
yang diberikan dari pemahaman terhadap tugas kepala daerah dan
wakil kepala daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama
kepada kerukunan antar umat beragama.
Kontribusi yang diberikan oleh pemahaman masyarakat
akan pendirian rumah ibadat menduduki posisi kedua dalam
43
Jika dilakukan analisis terhadap 65 responden yang berasal dari
masyarakat biasa saja, didapatkan hasil yang berbeda, yakni korelasi hanya
diperoleh sebesar 0,006 yang berarti bahwa korelasi berada pada posisi sangat
rendah, bahkan tidak dianggap ada korelasi.

Kerukunan Umat Beragama … | 135


pengaruhnya terhadap tingkat kerukunan antar umat beragama di
Kecamatan Mustika Jaya sebesar 0,279. Kedua sub variabel ini
berbanding sejajar atau positif terhadap tingkat kerukunan, dalam
artian bisa dikatakan semakin tinggi pemahaman masyarakat
terhadap tugas kepala daerah dalam memelihara kerukunan antar
umat beragama dan tata cara pendirian rumah ibadat, maka akan
semakin tinggi tingkat kerukunan antar umat beragama, namun
masih pada korelasi yang rendah.
Tidak seperti pada kedua variabel lainnya, pemahaman
masyarakat terhadap pemberdayaan FKUB tidak memberikan
sumbangan apapun terhadap tingkat kerukunan antar umat
beragama. Hal ini ditunjukkan dengan nilai yang sangat kecil dan
minus, juga nilai signifikansi yang menunjukkan tidak adanya
pengaruh antara pemahaman masyarakat terhadap Pemberdayaan
FKUB dengan tingkat kerukunan antar umat beragama di
Kecamatan Mustika Jaya Bekasi. Di sisi lain, hasil yang diperoleh
ketika menganalisis khusus pada masyarakat biasa yang berjumlah
65 orang, tidak ada sumbangan apapun antara pemahaman
masyarakat terhadap pemberdayaan FKUB dan pemahaman
terhadap pendirian rumah ibadat kepada kerukunan antar umat
beragama, karena hasil yang diperoleh menunjukkan hasil minus.

136 | Rif’atul Hasanah


BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa negara, yakni
Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri berperan
penting dalam mengatur lalu lintas keberagamaan para umat
beragama. Negara berprinsip netral-aktif untuk menjamin
kebebasan beragama dari semua agama dan secara aktif mendorong
pertumbuhan masing-masing agama tanpa terkecuali. Salah satu
upaya yang dilakukan pemerintah yakni dengan dikeluarkannya
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9
dan 8 Tahun 2006.
Temuan penelitian ini dapat dilihat dari teori koordinasi
antara agama dan negara, dan teori kontrak sosial. Jika dilihat dari
teori koordinasi antara agama dan negara yang bersifat netral-aktif,
pemerintah bukan hanya menjamin kebebasan beragama tetapi
juga secara aktif mendorong pertumbuhan masing-masing agama
tanpa terkecuali. Jika dilihat dari teori kontrak sosial yang
dicanangkan oleh JJ. Rousseau, Hobbes, dan Locke, negara adalah
suatu institusi yang pertama-tama berkewajiban menjamin hak dan
kebebasan warga negara dalam memperoleh kehidupan yang layak.
Dengan PBM No. 9 dan 8 tahun 2006, pemerintah berupaya
menjamin kenyamanan hidup sosial warganya dengan mengatur
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama,
Pemberdayaan FKUB, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Kerukunan Umat Beragama … | 137


Temuan dalam penelitian ini bahwa pemahaman
masyarakat Mustika Jaya Bekasi terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006 yang membahas tiga bahasan, masyarakat Mustika Jaya lebih
memahami pada bahasan pertama yakni terkait dengan Tugas
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam memelihara
kerukunan umat beragama. Adapun pada pembahasan kedua dan
ketiga, terlihat nilai keduanya belum ada 50%, bisa dikategorikan
masyarakat belum begitu memahaminya, baik dari seluk beluk
FKUB maupun tata cara pendirian rumah ibadat. Rendahnya
pemahaman masyarakat terhadap aturan pendirian rumah ibadat
menyebabkan terjadinya konflik di Kecamatan Mustika Jaya.
Dengan demikian, rendahnya pemahaman masyarakat Mustika Jaya
Bekasi tersebut sesuai dengan penelitian Amir Fadhilah yang
menyatakan bahwa kurangnya pemahaman masyarakat terhadap
kebijakan pemerintah merupakan salah satu faktor pendorong
terjadinya konflik sosial keagamaan.
Penelitian ini juga membuktikan bahwasanya pemahaman
masyarakat terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 mempunyai
hubungan atau korelasi positif dengan tingkat kerukunan antar
umat beragama, namun tidak begitu tinggi. Korelasi positif ini
ditunjukkan oleh analisis hasil penelitian yang menunjukkan nilai
0,350. Dengan melihat koefisien determinasi, pemahaman
masyarakat terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 memberikan
sumbangan sebesar 12% terhadap tingkat kerukunan antar umat
beragama. Dengan kata lain, 88% faktor yang mempengaruhi
kerukunan umat beragama dipengaruhi oleh faktor lain. Hasil
penelitian ini (baca: 12%) tidak jauh berbeda dan mendukung hasil
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kustini tentang
efektivitas sosialisasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 yang
menyatakan bahwa manfaat sosialisasi PBM berpengaruh secara
sangat nyata terhadap kerukunan umat beragama sebesar 17,4%.
Untuk besarnya sumbangan atau kontribusi antara masing-
masing sub-variabel tingkat pemahaman masyarakat terhadap PBM
No. 9 dan 8 tahun 2006 yakni pemahaman masyarakat terhadap
tugas kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam memelihara
kerukunan umat beragama, pemahaman masyarakat terhadap
pemberdayaan FKUB, dan pemahaman masyarakat terhadap
pendirian rumah ibadat secara sendiri-sendiri dengan saling
mengontrol antara yang satu dan lainnya dengan tingkat
kerukunan antar umat beragama, hasil menunjukkan bahwasanya

138 | Rif’atul Hasanah


sumbangan yang paling besar diberikan oleh pemahaman
masyarakat terhadap peran kepala daerah dan wakil kepala daerah
dalam memelihara kerukunan antar umat beragama, yakni sebesar
0,300.
Kontribusi yang diberikan oleh pemahaman masyarakat
akan pendirian rumah ibadat menduduki posisi kedua dalam
pengaruhnya terhadap tingkat kerukunan antar umat beragama di
Kecamatan Mustika Jaya sebesar 0,279. Kedua sub variabel ini
berbanding sejajar atau positif terhadap tingkat kerukunan, dalam
artian bisa dikatakan semakin tinggi pemahaman masyarakat
terhadap tugas kepala daerah dalam memelihara kerukunan antar
umat beragama dan tata cara pendirian rumah ibadat, maka akan
semakin tinggi tingkat kerukunan antar umat beragama, namun
masih pada korelasi yang rendah. Namun pada sub variabel
pemahaman masyarakat terhadap Pemberdayaan FKUB tidak
memberikan sumbangan apapun terhadap tingkat kerukunan antar
umat beragama.

B. Saran
Penelitian ini baru dapat mengungkap pemahaman
masyarakat Mustika Jaya Bekasi terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006 dan mengaitkannya dengan tingkat kerukunan antar umat
beragama. Penelitian ini masih dirasakan kurang dan
membutuhkan serangkaian penelitian dengan cakupan yang lebih
luas dan mendalam seperti; minimnya pengetahuan masyarakat
tentang aturan-aturan pemerintah yang mengatur kerukunan umat
beragama karena kurangnya sosialisasi, banyaknya faktor penyebab
konflik antar umat beragama, rentannya faktor agama yang selalu
dijadikan alat legitimasi ketika terjadi konflik, rendahnya kontrol
sosial dari aparat keamanan dan beberapa fakta yang terjadi di
lapangan.
Setelah dilaksanakannya penelitian ini, penulis memberikan
beberapa saran yaitu: pertama, kepada masyarakat hendaknya tidak
terprovokasi oleh isu-isu keagamaan yang akan mengakibatkan
ketidakrukunan antar umat beragama. Kedua, kepada para pemuka
agama untuk tidak hanya menyiarkan dan mengajarkan aspek
aqidah semata kepada jamaatnya namun juga memperhatikan
aspek peningkatan kerukunan umat beragama. Ketiga, kepada
pemerintah pusat dan daerah untuk menggiatkan lagi sosialisasi
PBM No. 9 dan 8 tahun 2006 untuk masyarakat bawah yang belum

Kerukunan Umat Beragama … | 139


memahami tentang kebijakan atau aturan pemerintah dalam
bidang kerukunan antar umat beragama dan memasukkan muatan
pendidikan multikultural dalam kurikulum pendidikan agar anak-
anak penerus bangsa dapat memahami dan menerima segala
keragaman dalam negara Indonesia ini. Keempat, kepada para
akademisi dan peneliti untuk terus menganalisis faktor-faktor
penyebab konflik antar umat beragama dan bersama-sama dengan
pihak terkait mencarikan solusi agar tidak terjadi lagi kasus
kekerasan dan konflik antar umat beragama.

140 | Rif’atul Hasanah


DAFTAR PUSTAKA

I. SUMBER PRIMER
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Sosialisasi PBM &
Tanya Jawabnya (Edisi Tanya Jawab Yang Disempurnakan).
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2012.
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI. Tanya Jawab
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI, 2008.
Fadhilah, Amir. “Dilema Pluralisme Agama Antara Konflik Sosial
dan Integrasi Sosial” dalam Ali Nurdin dan Abd. Aziz
Hasibuan, Islam dan Prospek Keberagamaan Di Indonesia. Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2006.
FKUB Kota Bekasi, Identifikasi Masalah Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) Kota Bekasi. Bekasi: FKUB Kota Bekasi, tidak
diterbitkan.
FKUB Kota Bekasi. Kronologis Kasus Gereja HKBP Pondok Timur Indah,
Mustika Jaya Kota Bekasi. Bekasi: FKUB Kota Bekasi, tidak
diterbitkan.
FKUB Kota Bekasi. Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama. Bekasi:
FKUB Kota Bekasi, 2012.
FKUB Kota Bekasi. Rumah Ibadat Di Kota Bekasi. Bekasi: FKUB Kota
Bekasi, 2009.
Kustini.Efektifitas Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Nomor 9 dan 8
Tahun 2006. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian
Agama RI, 2009.

Kerukunan Umat Beragama … | 141


Peraturan Walikota Bekasi Nomor 16 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pemberian Izin Pendirian Rumah Ibadah Di Kota Bekasi dalam
Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, 2009.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Transformasi Konflik Badan
Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan
HAM RI tentang “Evaluasi Efektivitas Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8
Tahun 2006”, 2011.
Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian
Rumah Ibadat.
SKB No. 1/Ber/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas
Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan
Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah Agama
oleh Pemeluk-Pemeluknya.

II. SUMBER SEKUNDER


A. Buku dan Laporan Penelitian
Abduh, Sjuhada dan Muchtar, Ibnu Hasan. “Peranan FKUB dalam
Pelaksanaan Pasal 8, 9, dan 10 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 di
Provinsi Kalimantan Barat” dalam Peranan Forum Kerukunan
Umat Beragama dalam Pelaksanaan Pasal 8, 9, dan 10 Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8
Tahun 2006. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Kementerian Agama RI, 2010.
Ali, A. Mukti. Agama dan Pembangunan Indonesia VI. Jakarta: Biro
Hukum dan Humas Departemen Agama, 1975.
Amirudin, M Hasbi. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman.
Yogyakarta: UII Press, 2000.
Anderson, Bennedict. Imagined Communities. New York: Verso, 2006.
Anderson, Margaret L. dan Taylor, Howard F. Sociology:
Understanding a Diverse Society. Belmont: Thomson Wadsworth,
2006.
Appleby, R. Scott. The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence, and
Reconciliation. Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2000.

142 | Rif’atul Hasanah


Aslan, Adnan. Menyingkap Kebenaran: Pluralisme Agama dalam Filsafat
Islam dan Kristen Sayyed Hossein Nasr & John Hick, terj. Munir.
Bandung: Alifya, 2004.
Aziz, Abdul. Esai-Esai Sosiologi Agama. Jakarta: Diva Pustaka, 2006.
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan
kerukunan Hidup Umat Beragama. Jakarta: Departemen
Agama RI, 1997.
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah Republik Indonesia. Metode Penelitian
Sosial (Terapan dan Kebijaksanaan) Tahun 2000.
Basyuni, Muhammad M. Esai-Esai Keagamaan. Jakarta: FDK Press,
2008.
-------. Kebijakan dan Strategi Kerukunan Umat Beragama. Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Departeman Agama RI, 2007.
Becker, Penny Edgell. Congregation in Conflict Cultural Models of Local
Religious Life. UK: Cambridge University Press, 2004.
Boland, B.J. The Struggle of Islam in Modern Indonesia. Netherland: The
Hague Martinus Nijhoff, 1971.
Coser, Lewis. The Functions of Social Conflict. New York: Free Press,
1956.
Daulay, M. Zainuddin. dalam Kata Sambutan dalam Riuh di Beranda
Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. Achmad
Syahid dan Zainudin Daulay (editor). Jakarta: Bagian Proyek
Peningkatan pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama,
Departemen Agama RI, 2002.
-------. Mereduksi Eskalasi Konflik Antarumat Beragama di Indonesia.
Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan
Departemen Agama RI, 2001.
Djaali dan Muljono, Pudji.Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan.
Jakarta: PT Grasindo. 2008.
Farida, Anik. Peran Pemda Jawa Barat Dalam Memelihara Kerukunan
Umat Beragama (Studi tentang Analisis Kebijakan dan Strategi
Pemda dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama di Jawa
Barat). Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama
RI, 2009.
Fatwa, A. Fajruddin. “Relasi Agama dalam Konflik Sosial” dalam
Thoha Hamim, dkk (editor). Resolusi Konflik Islam Indonesia.
Jogjakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2007.

Kerukunan Umat Beragama … | 143


Fauzi, Ihsan Ali, Rudy Harisyah Alam, dan Samsu Rizal Panggabean,
Laporan Penelitian Pola-Pola Konflik Keagamaan. Jakarta: tp.,
2009.
Fox, Jonathan. A World Survey of Religion and The State. New York:
Cambridge University Press, 2008.
Ghazali, Adeng Muchtar. Agama dan Keberagamaan Dalam Konteks
Perbandingan Agama. Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Hakim, Bashori A. dalam Pendahuluan, Bashori A. Hakim dan
Moh.Saleh Isre (editor), Fungsi Sosial Rumah Ibadah Dari
Berbagai Agama Dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama.
Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup
Umat Beragama Puslitbang Kehidupan Beragama Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI,
2004.
Hamzah, Alirman. “Kerukunan Antar umat Beragama di Indonesia
dari Era Orde Baru Hingga Reformasi (Studi Kebijakan
Pemerintah 1966-2007)” Disertasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2008.
Hanani, Silfia. Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama.Bandung:
Humaniora, 2011.
HD, AP. Budiyono. Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman 2.
Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Hwang, Julie Chernov. 2009. Umat Bergerak Mobilisasi Damai Kaum
Islamis di Indonesia, Malaysia, dan Turki, Samsudin Berlian
(terj.). Jakarta: Freedom Institute,2011.
Jamu’in, Ma’arif. Resolusi Konflik Antar Etnik dan Agama. Yogyakarta:
CISCORE dan TAF, 1998.
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya,
2002.
Khalikin, Ahsanul. “Analisis Kebijakan Walikota Depok Tentang
Pencabutan IMBRumah Ibadat dan Gedung Serbaguna
Pangkalan Jati, Gandul Limo Kota Depok Tahun 2009 dalam
Dinamika Kehidupan Keagamaan di Era Reformasi, Haidlor Ahmad
(ed.). Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang kehdupan
Keagamaan Kementerian Agama RI, 2010.
-------. “Peta Kerukunan Di DKI Jakarta” dalam Achmad Syahid dan
Zainudin Daulay (editor), Riuh di Beranda Satu: Peta Kerukunan
Umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Bagian Proyek
Peningkatan pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama,
Departemen Agama RI, 2002.

144 | Rif’atul Hasanah


Kurtz, Lester R. Gods in The Global Village. California: Pine Forge
Press, 1995.
Mahendra, Yusril Ihza. Dinamika Tata Negara Indonesia Kompilasi
Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem
Kepartaian. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Makarim, Nono Anwar. “Pemerintahan yang Lemah dan Konflik”
dalam Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-
Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Dewi Fortuna Anwar,
Helene Bouvier, dkk (editor). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004.
Mudzhar, M. Atho. “Kebijakan Negara dan Pemberdayaan Lembaga
dan Pemimpin Agama dalam Rangka Keharmonisan
Hubungan Antar Umat Beragama” dalam Muhaimin AG
(editor), Damai di Dunia, Damai Untuk Semua Perspektif Berbagai
Agama. Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan
Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen
Agama RI, 2004.
-------, Menjaga Aswaja dan Kerukunan Umat. Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012.
-------, Merayakan Kebhinekaan Membangun Kerukunan. Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013.
Muhammad, Afif. Agama dan Konflik Sosial: Studi Pengalaman
Indonesia. Bandung: Marja, 2013.
Al-Munawar, Said Agil Husin. Fikih Hubungan Antar Agama. Ciputat:
PT. Ciputat Press, 2003.
-------. Fikih Hubungan Antar Agama. Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005.
An-Na’i>m, Abdulla>hi A. Islam and The Secular State: Negotiating
Future of Shari’a. Cambridge, Mass: Harvard University Press,
2008.
O.C. D. Hendropuspito. Sosiologi Agama. Jakarta: Kanisius, 1983.
Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama
RI. Masalah Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia.
Jakarta: Departemen Agama RI. 1979.
Qardhawi, Yusuf. Fiqih Negara. Jakarta: Robbani Press, 1997.
Rahman, Budhy Munawar. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman. Jakarta: Paramadina, 2001.
-------. “Resolusi Konflik Agama dan Masalah Klaim Kebenaran”
dalam Darai Keseragaman Menuju Keseragaman “Wacana
Multikultural Dalam Media”. Jakarta: LSPP, 1999.

Kerukunan Umat Beragama … | 145


Ridwan, Nur Khalik. “Dalih Agama Untuk Kekerasan” dalam Abdul
Qadir Shaleh, “Agama” Kekerasan. Jogjakarta: Primashopie
Press, 2003.
Rumadi. Mengawal Pluralisme di Tengah Kegamangan Negara, (prolog)
dalam Ahmad Suaedy, Politisasi Agama dan Konflik Komunal;
Beberapa Isu Penting di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute,
2007.
Saiffudin, Achmad Fedyani. “Multikulturalisme Sebagai Solusi Atas
Konflik-Konflik Keagamaan” dalam Islam dan Prospek
Keberagaman di Indonesia. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2006.
Sairin, Weinata. Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama
Kerukunan Berbangsa: Butir-butir Pemikiran. Jakarta: Gunung
Mulia. 2006.
Sanusi, Ahmad. Agama di Tengah Kemiskinan: Refleksi Atas Pandangan
Islam dan Kristen dalam Perspektif Kerjasama Antar Umat
Beragama. Jakarta: Logos, 1999.
Saragih, Hanna. Pedoman Bagi Orang Kristen Baru. Jakarta: Gunung
Mulia, 2001.
Sarwono, Jonathan. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.
SETARA Institute, Tiga Tahun Laporan Kondisi Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2007-2009. Jakarta: Setara
Institute, 2009.
Shaleh, Abdul Qadir. “Agama” Kekerasan. Jogjakarta: Primashopie
Press, 2003.
Sheldrake, John. Management Theory. London: Thomson, 2003.
Simmons, A. John. “Political Consent” dalam Christopher W. Morris
(editor), The Social Contract Theorists: Critical Essays on Hobbes,
Locke, and Rousseau. Maryland: Rowman & Littlefield
Publishers, 1999.
Sirait, Jamilin. “Religious Tolerance and Freedom in Indonesia” in
Indonesia Today Problems and Perspective Politics and Society Five
Years into Reformasi. Jakarta: Konrad Adenauer Stiftung, 2004.
Singh, Kultar. Quantitative Social Research Methods (New Delhi: Sage
Publications India, 2007.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran. Jakarta: UI Press. 1993.
SJ, Franz Magnis-Suseno. “Kerukunan Beragama dalam Keragaman
Agama: Kasus di Indonesia dalam Harmoni Kehidupan Beragama:

146 | Rif’atul Hasanah


Problem, Praktik & Pendidikan, Alef Theria Wasim, dkk (editor).
Yogyakarta: Oasis Publisher, 2005.
Smelser, Neil J. Theory of Collective Behavior (New York: The Free
Press, 1965. Cet. III.
Soefyanto. Pendirian Rumah Ibadat dan Catatan Perkembangan
Pembahasannya. Jakarta: Universitas Islam Jakarta, 2009.
Soetrisno, Loekman. Konflik Sosial, Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta:
Tajidu Press, 2003.
Stewart, Elbert W. dan Glynn, James A. Introduction to Sociology. New
York: McGrow Hill Company, 1975.
Suaedy, Ahmad dkk, Politisasi Agama dan Konflik Komunal; Beberapa
Isu Penting di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2007.
Sub Bagian Hukmas dan KUB Kantor Wilayah Departemen Agama
Provinsi DKI Jakarta. Pedoman Pembinaan Kerukunan Hidup
Umat Beragama. Jakarta: Departemen Agama Provinsi DKI
Jakarta, 2007.
Sudjangi, Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama: 50 Tahun
Kemerdekaan Republik Indonesia. Jakarta: Proyek Peningkatan
Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1995/1996.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta, 2008.
-------. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta, 2007.
Swatos, Jr. William H. (editor). Encyclopedia of Religion and Society.
United Kingdom: AltaMira Press. 1998.
Taher, Tarmizi. Aspiring for the Middle Path: Religious Harmony in
Indonesia. Jakarta: Censis, Centre for the Studi of Islam and
Society, 1997.
Tayob, Abdul Kader “The Role and Identity of Religious Authorities
in The Nation State, Egypt, Indonesia, and South Africa
Compared”, Azyumardi Azra, Kees Van Dijk, and Nico J.G.
Kaptein (editors), Varieties of Religious Authority: Changes and
Challenges in 20th Century Indonesian Islam. Singapore: Institute
of Southeast Asian Studies, 2010.
Thaha, Idris. “Doktrin dan Sejarah: Memperluas Cakrawala
Pemikiran” dalam Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di
Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1999.
Thompson, J. Milburn. Keadilan dan Perdamaian: Tanggung Jawab
Kristiani dalam Pembangunan Dunia, terj. Jamilin Sirait, P.
Hutapea, dan Steve Gaspersz. Jakarta: Gunung Mulia, 2009.

Kerukunan Umat Beragama … | 147


Triguna, Yudha. “Masyarakat Hindu dan Perubahan Sosial”. Modul
III Penyetaraan Guru-Guru Agama Hindu se-
Indonesia.Universitas Terbuka Jakarta, 1992/1993.
Wahid, Marzuki dan Rumadi.Fiqh Madzhab Negara Kritik Atas Politik
Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2001.
Yamin, Sofyan dan Kurniawan, Heri.SPSS Complete Teknik Analisis
Statistik Terlengkap dengan Software SPSS. Jakarta: Salemba
Infotek, 2009.
Zada, Khamami, Sjadzili, A. Fawaid dkk, Prakarsa Perdamaian.
Jakarta: PP Lakpesdam NU, 2008.
Zaqzu>q, Mah}mu>d H}amdi>. Al-Tasa>muh} fi> al-H{ad}a>rah al-Isla>miyyah.
Kairo: Majlis al-A’la> li al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, 2004.

B. Dokumentasi, Jurnal, Tesis dan Disertasi


Anwar, Marzani. “Akar Historis Konflik Islam-Kristen” dalam
HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius, Volume III,
Nomor 9, Januari-Maret 2004.
Asrori, Saifudin. Studi Sosiologis Forum Konsultasi dan Komunikasi Umat
Beragama (FKKUB) Provinsi DKI Jakarta.Tesis Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. 2007.
Astawa, I Nyoman.“Peranan Tradisi Bali Terhadap Kerukunan
Hidup Beragama dan Terhadap Ketahanan Wilayah DKI
Jakarta”. Jakarta: Tesis Pascasarjana UI. 2005.
Benyamin F. Intan, “Rumah ibadat dan Hegemoni Negara”. Suara
Pembaharuan, 3 Agustus, 2009.
Crouch,Melissa. “Regulation On Places Of Worship In Indonesia:
Upholding The Right To Freedom Of Religion For Religious
Minorities?” Singapore Journal of Legal Studies [2007], 1-21.
Downing, Kevin, Sui-Wah Chan, Woo-Kyung Downing, Theresa
Kwong, Tsz-Fung Lam, “Measuring Gender Differences In
Cognitive Functioning”, Multicultural Education & Technology,
Vol. 2 No. 1, 2008.
Eagly, Alice H. dan Steffen, Valerie J. “Gender and Aggressive
Behavior: A Meta-Analytic Review of the Social Psychological
Literature”, Purdue University, Psychological Bulletin, 1986, Vol.
100, No. 3.
Galtung, Johan. "Violence, Peace, and Peace Research" Journal of
Peace Research, Vol. 6, No. 3 (1969).
Jasmadi, “Membangun Relasi Antar Umat Beragama (Refleksi
Pengalaman Islam di Indonesia)”, Jurnal Bina’ Al-Ummah: Jurnal

148 | Rif’atul Hasanah


Ilmu Dakwah dan Pengembangan Komunitas. Vol. 5, No. 2, Juli
2010.
Kamba, Walter J. The Role of Higher Education in Society: Quality and
Pertinence, News Papers on Higher Education, Meeting
Documents, UNESCO-Non Governmental Organizations 2nd
Collective Consultation on Higher Education, Paris, 8-11 April
1991.
Khalikin, Ahsanul. “Peran Forum Kerukunan Umat Beragama dalam
Pelaksanaan PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006 di Jakarta Pusat”
dalam Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. IX No. 33. 2010.
Kustini.“Optimalisasi Peran FKUB DKI Jakarta Menuju Kehidupan
Yang Harmoni” dalam Jurnal Multikultural & Multireligius Vol.
IX No. 33.
Laporan Tahunan Kelurahan Cimuning Tahun 2010.
Majalah Ikhlas Beramal, Nomor 65 Tahun XIII Oktober 2010.
Mesquida, Christian G. dan Wiener, Neil l. Male Age Composition and
Severity of Conflict dalam Politics and The Life Sciences (York
University, Canada, Beech Tree Publishing, 1999), 18 (2).
Muchtar, Ibnu Hasan. “Peran Forum Kerukunan Umat Beragama di
Kalimantan Barat” dalam HARMONI Jurnal Multikultural dan
Multireligius, volume IX, nomor 33, Januari - Maret 2010.
Profil Monografi Kecamatan Mustika Jaya per-kelurahan Tahun
2011.
Ropi, Ismatu. ”The Politics of Regulating Religion: State, Civil
Society and the Quest for Religious Freedom in Modern
Indonesia”. Thesis The Australian National University, 2012.
Sari, Ramadhanita Mustika. “Jaring Pengaman Pencegahan Konflik:
Kasus Masyarakat Oku Timur”. Tesis UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2011.
Siahaan, Rina Friska Bintang. “Pengaruh Karakteristik Individu dan
Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi Pada PT.
Angkasa Pura II Bandar Udara Polonia Medan”.Tesis
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2010.
Soegiharti, Novie. “Kajian Hegemoni Gramsci Tentang Reaksi Sosial
Formal Terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di
Indonesia (Studi Kasus SKB Tiga Menteri tentang Pelarangan
Ahmadiyah)”. Tesis Fisip UI. 2009.
Sunardi, St. “Dilema Kerukunan Umat Beragama di Indonesia:
Antara Pendewasaan Umat dan Penguatan Fungsionaris

Kerukunan Umat Beragama … | 149


Umat” dalam HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius,
Volume III, Nomor 9, Januari-Maret 2004.
Syamsi, Ibnu. “Potensi Konflik Sosial Masyarakat di Kelurahan
Condongcatur Yogyakarta” dalam Forum Kajian Fondasi
Pendidikan (FOKSiP) Universitas Negeri Yogyakarta, Fondasia
Majalah Ilmiah Fondasi Pendidikan, Vol. 1 No. 9/Th. VIII, Maret
2009.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Wijaya. Agama, Sekte dan Perubahan Sosial (Studi tentang munculnya
sekte-sekte keagamaan pada umat Islam di kelurahan Sungai Buah
Palembang). Jakarta: FISIP UI. 2001.

C. Internet
Brahm, Eric. Religion and Conflict, November 2005, diambil dari
http://www.beyondintractability.org/bi-essay/religion-and-
conflict, tanggal 16 April 2012.
Dunn, David J. From Power Politics to Conflict Resolution: The Work of
John Burton (London: Palgrave Macmillan, 2004) diambil dari
http://www.labshop.com.au/dougcocks/BURTONREVIEW,
tanggal 22 Juli 2013.
http://bekasikota.go.id/readotherskpd/156/143/visi-dan-
misikecamatan -mustikajaya diunduh pada tanggal 12 Juni
2013.
http://www.kemsos.go.id di unduh tanggal 09 Februari 2013.
http://www.kontras.org/baru/Deklarasi%20Universal%20HAM.pdf
pada tanggal 12 Mei 2012.
Final Report of the Truth and Reconciliation Commisions of Liberia
Vol. 3: Appendices, Title IV: "The Conflict, Religion and
Tradition", “The Role of Religious and Traditional Institutions
during Conflict and Peacebuilding” Online Jornal of Religion,
Conflict, and Peace Volume 5. Issue 1, Fall 2011,
http://www.religionconflictpeace.org/volume-5-issue-1-fall-
2011/role-religious-and-traditional-institutions-during-
conflict-and (diakses pada 17 Juni 2013).

150 | Rif’atul Hasanah


International Crisis Group, Indonesia: “Christianisation” and
Intolerance, Jakarta/Brussels, 24 November 2010,
http://www.crisisgroup.org diunduh tanggal 08/03/2012.
Jappy, Opa.“Berteman Beda Agama, Bisa; Tempat Ibadah Agama
Lain di Lingkunganku, Tak Bisa” ditulis pada 21 Juni 2012.
Diunduh dari
http://sosbud.kompasiana.com/2012/06/21/berteman-beda-
agama-bisa-tempat-ibadah-agama-lain-di-lingkungan-ku-tak-
bisa-471397.html tanggal 21 Juni 2013.
Mustofa, Muhammad. “Memahami Kerusuhan Sosial, Suatu Kendala
Menuju Masyarakat Madani’, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1
No. 1 September 2000: 10-19 diunduh dari
http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1231/1
136 tanggal 23 Maret 2014.
Nasaruddin Umar pada acara Roundtable Discussion yang bertema
tentang Peran Negara dalam Pembangunan Agama
diselenggarakan oleh Kedeputian Sumber Daya Manusia dan
Kebudayaan Bappenas pada tanggal 08 Juli 2013 pukul 09.00
WIB, di ruang SG 4-5, Gedung Bappenas. Diakses dari
http://www.bappenas.go.id/print/1401/peran-negara-
dalam-pembangunan-agama-roundtable-discussion/ tanggal
11 Juli 2013.
Laporan Hasil Penelitian Hukum yang dilakukan oleh tim dari
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan
HAM RI Tahun 2011 dibawah Pimpinan Suherman
Toha,SH.,MH.,APU tentang “Eksistensi Surat Keputusan
Bersama Dalam Penyelesaian Konflik Antar dan Intern
Agama”. Diunduh dari
http://www.bphn.go.id/data/documents/lit-2011-6.pdf
tanggal 21 Juli 2013.
Menteri Agama Suryadharma Ali saat Rapat Kerja dengan Komisi
VIII DPR RI, Rabu, (9/2/2011) di Jakarta. Diunduh dari
http://pkub.kemenag.go.id diunduh tanggal 09 Februari 2013.
Wijaya, Viona. “Kajian Kritis Peraturan Bersama Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006”, Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Agustus 2013 diunduh
dari http://fh.unpad.ac.id tanggal 23 Maret 2014.

Kerukunan Umat Beragama … | 151


D. Wawancara
Wawancara dengan Drs. Rudy Pratikno, SH di Kantor FKUB DKI
Jakarta Gedung Persada Sasana Karya, pada tanggal 26
November 2013.
Wawancara dengan KH. A. Syafi’i Mufidz, MA di Kantor FKUB DKI
Jakarta Gedung Persada Sasana Karya, pada tanggal 14
November 2013.
Wawancara dengan Bpk. Nanang, Kabag Kesos Kecamatan Mustika
Jaya Bekasi di kantor Kesos Kecamatan Mustika Jaya Bekasi,
27 Agustus 2012.
Wawancara dengan H. Moch. Nasrullah, S.Pd.I anggota FKUB Kota
Bekasi di kantor FKUB Kota Bekasi pada tanggal 26 Maret
2014.

152 | Rif’atul Hasanah


GLOSARI

Agama : Suatu sistem yang terdiri dari


simbol, kepercayaan, nilai, dan
praktik dimana para penganutnya
menginterpretasikan apa yang
mereka rasakan sebagai suatu
kesakralan
Aksi Damai : Setiap tindakan yang dilakukan
tanpa kekerasan dalam rangka
menanggapi isu-isu keagamaan
yang menjadi sumber pertikaian di
masyarakat
Aksi Kekerasan : Setiap tindakan fisik yang
dilakukan dalam rangka
menanggapi isu-isu keagamaan
yang menjadi sumber pertikaian,
yang melibatkan dampak
kekerasan baik terhadap orang
(berupa kematian, luka, hilang atau
mengungsi) maupun harta benda
(berupa kerugian, kerusakan
maupun kehilangan)
Ambivalensi Kesakralan : Menganggap bahwa agama
mempunyai dua potensi yakni
sebagai sumber konflik dan
inspirasi kedamaian

Kerukunan Umat Beragama … | 153


Cluster Sampling : Teknik pengambilan sample
melalui pembentukan kesatuan-
kesatuan (unit-unit)
Dogmatik : Hal ihwal ajaran serta keyakinan
agama atau kepercayaan yg tidak
boleh dipersoalkan
Ekslusifisme : Paham yang mempunyai
kecenderungan untuk memisahkan
diri dari masyarakat
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) : Forum yang dibentuk
oleh masyarakat dan difasilitasi
oleh Pemerintah dalam rangka
membangun, memelihara, dan
memberdayakan umat beragama
untuk kerukunan dan
kesejahteraan
Hak non-derogable : Hak yang tidak bisa ditangguhkan
pemenuhannya oleh negara dalam
situasi dan kondisi apapun,
termasuk dalam keadaan bahaya
seperti perang sipil atau invansi
militer
Hegemoni : Konsep penguasaan kelompok
mayoritas untuk menanamkan
nilai moral, politik, budaya dan
pola pandang terhadap kelompok
yang didominasi
Kelompok Sempalan : Gerakan atau aliran agama yang
dianggap "aneh", alias menyimpang
dari aqidah, ibadah, amalan atau
pendirian mayoritas umat
Kerukunan Umat Beragama : Keadaan hubungan sesama umat
beragama yang dilandasi toleransi,
saling pengertian, saling
menghormati, menghargai
kesetaraan dalam pengamalan
ajaran agamanya dan kerjasama
dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara di dalam

154 | Rif’atul Hasanah


Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Koersif : Bersifat atau berkenaan dengan
koersi yakni suatu bentuk
akomodasi yang prosesnya
dilaksanakan dengan
menggunakan tekanan sehingga
salah satu pihak yang berinteraksi
berada dalam keadaan lemah
dibandingkan dengan pihak lawan
Konflik : Suatu proses sosial antara dua
orang atau lebih atau kelompok
dimana salah satu pihak berupaya
menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya
Korelasi Pearson : Salah satu ukuran korelasi yang
digunakan untuk mengukur
kekuatan dan arah hubungan linier
dari dua variabel. Dua variabel
dikatakan berkorelasi apabila
perubahan salah satu variabel
disertai dengan perubahan variabel
lainnya, baik dalam arah yang sama
ataupun arah yang sebaliknya
Negara : Negara merupakan suatu wadah
yang mempunyai otoritas tertinggi
untuk mengatur wilayah beserta
isinya dan berkewajiban untuk
memberikan perlindungan dan
memfasilitasi setiap proses dan
aktifitas keberagamaan
Netral-Aktif : Prinsip pemerintahan negara
Pancasila yakni bahwa pemerintah
bukan hanya menjamin kebebasan
beragama dari semua agama, tetapi
juga secara aktif mendorong

Kerukunan Umat Beragama … | 155


pertumbuhan masing-masing
agama tanpa terkecuali
Netral-Pasif : Prinsip pemerintahan negara
sekuler yang secara netral
menjamin kebebasan beragama
dari semua agama tanpa terkecuali,
namun di sisi lain, pemerintah
tidak mendorong
perkembangannya atau bersikap
pasif
Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan: Organisasinon pemerintah
bervisi kebangsaan yang dibentuk
berdasarkan kesamaan agama oleh
warga negara Republik Indonesia
secara sukarela, berbadan hukum,
dan telah terdaftar di pemerintah
daerah setempat serta bukan
organisasi sayap partai politik
Organisasi Masyarakat : Organisasi yang dibentuk oleh
anggota masyarakat warga negara
Republik Indonesia secara sukarela
atas dasar kesamaan kegiatan,
profesi, fungsi, agama, dan
kepercayaan terhadap Tuhan yang
Maha Esa, untuk berperan serta
dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan
Pancasila
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 : Peraturan Bersama Kementrian
Agama dan Kementerian Dalam
Negeri tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah
dalam Pemeliharaan Kerukunan
Umat Beragama, Pemberdayaan
Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB), dan Pendirian Rumah
Ibadah
Pemuka Agama : Tokoh komunitas umat beragama
baik yang memimpin ormas
keagamaan maupun yang tidak
156 | Rif’atul Hasanah
memimpin ormas keagamaan yang
diakui dan atau dihormati oleh
masyarakat setempat sebagai
panutan perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik
dengan cara kekerasan atau drastis
Perubahan Sosial : Segala perubahan pada lembaga-
lembaga kemasyarakatan di dalam
suatu masyarakat, yang
memengaruhi sistem sosialnya,
termasuk di dalamnya nilai-nilai,
sikap, dan pola perilaku di antara
kelompok-kelompok dalam
masyarakat
Populasi : Wilayah generalisasi yang terdiri
atas objek atau subjek yang
mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya
Ratifikasi : Pengesahan suatu dokumen negara
oleh parlemen, khusunya
pengesahan undang-undang,
perjanjian antarnegara, dan
persetujuan hukum internasional
Regresi : Salah satu metode statistik untuk
menjelaskan suatu variabel dengan
variabel lain
Reliabilitas : Serangkaian pengukuran atau
serangkaian alat ukur yang
memiliki konsistensi bila
pengukuran yang dilakukan
dengan alat ukur itu dilakukan
secara berulang
Rumah Ibadat : Bangunan yang memiliki ciri-ciri
tertentu yang khusus
dipergunakan untuk beribadat bagi
para pemeluk masing-masing

Kerukunan Umat Beragama … | 157


agama secara permanen, tidak
termasuk tempat ibadat keluarga
Sektarian-Aktif : Prinsip pemerintahan negara
agama yang bermakna bahwa
hanya agama tertentu mendapat
perlakuan istimewa pemerintah
Skala Guttman : Skala kumulatif atau skala yang
menginginkan tipe jawaban tegas
yakni jawaban hanya ada dua
pilihan ya/tidak atau setuju/tidak
setuju. Skor 1 untuk jawaban
setuju (ya) dan 0 untuk tidak setuju
(tidak)
Validitas : Suatu ukuran yang menunjukkan
tingkat keshahihan suatu tes
Variabel Moderator : Variabel yang mempengaruhi
(memperkuat dan memperlemah)
hubungan antara variabel
independen dengan dependen, juga
dapat berfungsi sebagai variabel
independen kedua

158 | Rif’atul Hasanah


INDEKS

A Bekasi, 9, 10, 11, 12, 15, 16, 17,


A. Wahid Hasjim, 29 18, 19, 21, 24, 25, 40, 61, 62,
Abdul Manan, 74, 83, 91 63, 64, 65, 66, 68, 69, 70, 71,
Abu Bakar Ba’asyir, 10, 116 72, 73, 74, 75, 77, 78, 83, 85,
Ahsanul Khalikin, 12, 35, 56, 90, 86, 88, 90, 91, 93, 95, 96, 98,
130 99, 100, 102, 103, 104, 106,
107, 108, 111, 112, 113, 114,
Alamsyah Ratuperwiranegara, 51
115, 116, 118, 126, 128, 131,
Alirman Hamzah, 12, 13, 50, 53
135, 136, 138, 139, 141, 142,
Amerika, 44, 123
152
Amir Fadhilah, 30, 32, 36, 37, 138
Bengkulu, 57, 96, 108
Anik Farida, 13, 14, 127, 128
Bogor, 111
Arab, 4, 10, 48, 116
Budha, 7, 25, 63, 74, 83
Asrama Haji Bekasi, 73
C
Austria, 123
Ciketing, 11, 12, 98, 99, 103, 104,
Azyumardi Azra, 43, 134, 147
112, 115, 126
B
Cimuning, 11, 17, 62, 63, 64, 72,
Badan Litbang Agama dan Diklat 85, 98, 149
Keagamaan, 4, 5, 45, 49, 132,
D
143, 144, 145
Deden Taufikurrahman, 104, 115
Bali, 14, 31, 45, 57, 96, 108, 148
Deklarasi Kerukunan, 83, 85, 91,
Bangka Belitung, 96, 108
106
Bantar Gebang, 61, 72
Departemen Agama, 5, 7, 8, 12,
Banten, 45, 96, 108 14, 28, 35, 45, 46, 49, 50, 51,

Kerukunan Umat Beragama … | 159


52, 55, 57, 58, 72, 73, 74, 86, Hindu, 7, 25, 31, 63, 74, 83, 148
89, 92, 100, 127, 132, 141, 142, HKBP PTI, 98, 99, 112
143, 144, 145, 147 Hobbes, 6, 27, 45, 46, 137, 146
Departemen Dalam Negeri, 7, 18, Hugh Goddard, 38
19, 143 I
Depok, 56, 111, 144 ICCPR, 41, 116
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 10, 11,
Indonesia, 9, 78, 116 12, 13, 15, 18, 19, 25, 27, 28,
DKI Jakarta, 8, 12, 31, 35, 45, 57, 29, 30, 31, 32, 34, 35, 38, 39,
65, 90, 91, 95, 96, 98, 100, 102, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48,
108, 115, 124, 130, 132, 133, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56,
134, 144, 147, 148, 149, 152 57, 58, 77, 79, 96, 107, 111,
DUHAM, 40, 41 116, 130, 134, 140, 141, 142,
Durkheim, 30 143, 144, 145, 146, 147, 148,
E 149, 151, 154, 156
Elbert W. Stewart, 36 International Crisis Group, 10, 12,
Eric Brahm, 29 79, 111, 116, 151
Eropa Barat, 4 Irlandia Utara, 4
F Islam, 1, 2, 4, 6, 7, 10, 12, 13, 25,
FKKUB, 90, 130, 148 30, 35, 36, 38, 39, 43, 46, 48,
Forum Kerukunan Umat 49, 50, 55, 63, 72, 74, 83, 90,
Beragama, 7, 8, 11, 17, 20, 52, 111, 116, 118, 126, 134, 141,
56, 57, 58, 59, 66, 69, 72, 73, 142, 143, 145, 146, 147, 148,
74, 75, 79, 84, 86, 89, 90, 95, 150
96, 103, 113, 115, 130, 131, J
141, 142, 149, 154, 156 J. Philip Wogemen, 47
Front Pembela Islam, 10, 78, 116 Jakarta Barat, 111
G Jakarta Pusat, 90, 111, 130, 149
Gerakan Pemuda Islam, 9, 78, 116 Jakarta Selatan, 111
Gereja Bethel Indonesia, 72 Jakarta Timur, 111
Gereja Katolik Yohanes Pemandi, Jakarta Utara, 111
72 Jambi, 108
Gereja Kristen Pasundan, 72 James A. Glynn, 36
Gramsci, 41, 42, 44, 149 Jawa Barat, 13, 14, 45, 61, 96,
H 108, 127, 128, 143
Hans Kung, 6 Jawa Tengah, 45, 108
Hendropuspito, 4, 145 Jawa Timur, 45, 108

160 | Rif’atul Hasanah


Jemaah Ansharut Tauhid, 10, 79, 144, 145, 146, 147, 148, 149,
116 150, 151, 155
JJ. Rousseau, 27, 45, 137 Kustini, 14, 95, 115, 128, 130,
Jong Islamitten Bond, 50 133, 138, 141, 149
K L
Kalimantan Barat, 95, 96, 130, Lampung, 108
142, 149 Locke, 6, 27, 45, 46, 137, 146
Kalimantan Selatan, 45, 108 M
Kalimantan Tengah, 96, 108 Maftuh Basyuni, 52
Katholik, 4, 63, 74 Majelis Ulama Indonesia, 7, 72
Kementerian Agama, 7, 8, 14, 29, Malik Fajar, 52
56, 57, 75, 91, 96, 97, 104, 106, Maluku, 35, 108
115, 127, 134, 137, 141, 142, Margaret L. Anderson, 28
144, 145 Masjid, 64
Kementerian Dalam Negeri, 127, Mochammad Dahlan, 50
129, 137, 156 Mukti Ali, 50, 51
Kementerian Hukum dan HAM, Munawir Sadzali, 52
14, 15, 95, 96, 142, 151 Mustika Jaya, 11, 15, 16, 17, 18,
Kepulauan Riau, 108 24, 25, 40, 61, 62, 63, 64, 65,
Kingsley Davis, 31 77, 83, 85, 86, 88, 91, 93, 98,
koefisien, 113, 114, 129, 131, 135, 99, 102, 103, 104, 106, 108,
138 109, 111, 112, 113, 114, 115,
Konferensi Wali Gereja Indonesia, 118, 126, 135, 136, 138, 139,
7 141, 149, 152
konflik, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, Mustika Sari, 11, 17, 62, 63, 64,
13, 14, 15, 16, 21, 22, 24, 28, 85, 91, 98, 99
29, 31, 32, 33, 35, 36, 37, 38, N
39, 44, 45, 47, 48, 53, 72, 91, NAD, 96, 108, 127
95, 96, 99, 103, 104, 107, 109, Nasaruddin Umar, 1, 151
111, 112, 116, 117, 118, 121, Nasrullah, 19, 63, 90, 95, 100,
122, 125, 126, 129, 130, 133, 131, 152
138, 139, 140
Neil J. Smelser, 34, 112
Konflik, 4, 7, 14, 15, 21, 30, 32,
Nusa Tenggara Barat, 45, 108
33, 35, 37, 38, 39, 45, 47, 48,
Nusa Tenggara Timur, 14, 45, 96,
49, 91, 96, 104, 107, 108, 117,
108
118, 122, 129, 141, 142, 143,

Kerukunan Umat Beragama … | 161


P Q.S. Al-Ma>’idah
Padurenan, 11, 62, 63, 64, 83, 85, 48, 42
91, 104, 115 Q.S. Al-Mudatsir
Pancasila, 2, 3, 43, 48, 52, 154, 38, 42
155, 156 Q.S. An-Najm
Papua, 96, 108 38-41, 42
Parisada Hindu Dharma Indonesia, Q.S. Ar-Rum
7 41, 29
Parsudi Suparlan, 30 Q.S. Asy-Syu>ra
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, 8, 48, 42
10, 11, 14, 15, 17, 20, 23, 24, Q.S. S{ad
25, 52, 59, 65, 66, 70, 74, 77, 75-83, 42
79, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89,
R
90, 91, 92, 93, 96, 97, 98, 100,
Rahmat Effendi, 83
101, 103, 107, 113, 114, 115,
Ralp Dahrendorf, 31
116, 119, 121, 122, 123, 124,
Rawa Lumbu, 61, 72, 98
125, 126, 127, 128, 131, 138,
139, 142, 156 Riau, 57, 108
Perang Salib, 4, 36 S
Persatuan Gereja-Gereja Said Agil Husin Al-Munawar, 3,
Indonesia, 7 48, 49, 52
Perwakilan Umat Budha Samuel Koening, 31
Indonesia, 7 Scott Appleby, 32, 36
Philadelphia, 115 Sebelum, 77, 82
Piagam Madinah, 46 Selo Soemardjan, 30
Pontianak, 14, 95 Setara Institute, 45, 110, 111, 146
Protestan, 4, 38, 104 setelah, 7, 50, 69, 71, 82, 100, 124
Pura, 64, 123, 149 SKB No. 1/Ber/MDN-MAG/1969,
Q 7, 8, 50, 56, 142
Q.S. Al-A’ra>f Sulawesi Barat, 96
14-17, 42 Sulawesi Selatan, 45, 108
Q.S. Al-An’a>m Sulawesi Tengah, 35, 45, 96, 108
107, 42 Sulawesi Tenggara, 57, 108
Q.S. Ali-Imron Sulawesi Utara, 108
19, 38 Sumatera Barat, 14, 95, 108
Q.S. Al-Isra Sumatera Selatan, 45, 108, 127
13-14, 42

162 | Rif’atul Hasanah


Sumatera Utara, 45, 96, 108, 123, Tri Jaladara, 129
149 U
Suryadharma, 9, 52, 53, 151 Undang-Undang Dasar 1945, 24,
Suryadharma Ali, 9, 52, 53 54
T UU No. 32 Tahun 2004, 86
Tangerang, 111 Y
The International Crisis Group, 12 Yayasan Mahanaim, 10, 116
The Wahid Institute, 7, 45, 146, Yogyakarta, 2, 4, 35, 37, 43, 45,
147 108, 113, 122, 142, 144, 146,
Tolchah Hasan, 52 147, 148, 150

Kerukunan Umat Beragama … | 163


164 | Rif’atul Hasanah
LAMPIRAN

Kerukunan Umat Beragama … | 165


PETA KOTA BEKASI

Kecamatan di Kota Bekasi :


[] 010 KEC. PONDOK GEDE
D 011 KEC. JATI SAMPURNA
•012 KEC. PONDOK MELATI
0 020 KEC. JATI ASIH
0 030 KEC. BANTAR GEBANG
0 031 KEC. MUSTIKA JAYA
•040 KEC. BEKASI TIMUR
•041 KEC. RAWA LUMBU
•050 KEC. BEKASI SELATAN
•060 KEC. BEKASI BARAT
•061 KEC. MEDAN SATRIA
0 070 KEC. BEKASI UTARA

166 | Rif’atul Hasanah


DAFTAR PERTANYAAN (ANGKET)
PENELITIAN TENTANG PELAKSANAAN PBM MENAG
DAN MENDAGRI NO 9 DAN 8 TAHUN 2006

1. Pengantar:
Kepada Yth.
Bapak/Ibu Warga Kec. Mustika Jaya Bekasi
Di Tempat

Assalamu’alaikum W.W.
Dengan hormat, kami beritahukan bahwa kami, Mahasiswa
Kajian Agama dan Studi Perdamaian, Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, bermaksud menyelenggarakan
penelitian tentang sosialisasi dan pelaksanaan Peraturan Bersama
Menteri No 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Memelihara Kerukunan
Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama,
dan Pendirian Rumah Ibadat.
Kami ingin mengetahui pemahaman bapak/ibu secara
pribadi mengenai aturan tersebut dan kami juga ingin mengetahui
persepsi bapak/ibu mengenai kerukunan umat beragama secara
umum di wilayah ini. Untuk itu kami memohon bapak/ibu berkenan
menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini, sesuai pemahaman
dan pendapat bapak/ibu.
Perlu kami sampaikan bahwa nama bapak/ibu akan kami
rahasiakan dan tidak akan muncul, baik dalam analisa maupun
laporan penelitian ini. Nama bapak/ibu hanya akan ada dalam
lembar jawaban ini untuk arsip. Jika bapak/ibu berkeberatan
mencantumkan nama, kamipun memakluminya. Perlu kami
tegaskan juga bahwa pendapat bapak/ibu adalah sangat penting bagi
penelitian ini. Terima kasih atas kerjasama bapak/ibu. Semoga Allah
SWT membalas kebaikan budi bapak/ibu.
2. Petunjuk Pengisian
a. Sebelum menjawab, baca dengan teliti pertanyaan. Apabila ada
yang tidak jelas, tanyakan kepada petugas pengumpul data.
b. Berilah tanda lingkaran pada jawaban yang paling tepat bagi
bapak/ibu.

Wassalam, Jakarta, 03 Oktober 2012


Peneliti

Kerukunan Umat Beragama … | 167


A. Identitas Responden

1. Kelurahan : ……………………………………….
2. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki
2. Perempuan
3. Usia : 1. Antara 21-30 tahun
2. Antara 31-40 tahun
3. Antara 41-50 tahun
4. Antara 51-60 tahun
5. Antara 61-70 tahun
4. Agama : ……………………………………..…
5. Tingkat Pendidikan : 1. SD/MI
2. SMP/MTs
3. SMA/MA
- Program Diploma
4. D1
5. D2
6. D3
- Perguruan Tinggi
7. S1
8. S2
9. S3
6. Pekerjaan : 1. Tidak Bekerja
2. Wiraswasta
3. Pegawai Negeri
4. Pegawai Swasta
5. Lain-Lain, tuliskan
……………………..
7. Pendapatan/penghasilan per bulan :
1. Rp 500.000,- - Rp 1.000.000,-
2. Rp 1.100.000,- - Rp 2.000.000,-
3. Rp 2.100.000,- - Rp 3.000.000,-
4. Rp 3.100.000,- - Rp 4.000.000,-
5. Rp 4.100.000,- - Rp 5.000.000,-
6. Lebih dari Rp 5.000.000,-
8. Apakah anda aktif dalam organisasi keagamaan?
1. Ya 2. Tidak
9. Jika anda aktif dalam organisasi keagamaan, apa jabatan anda?
1. Anggota biasa
2. Anggota pengurus
3. Simpatisan

168 | Rif’atul Hasanah


10. Apakah anda duduk dalam organisasi kemasyarakatan
lainnya?
1. Ya 2. Tidak
11. Jika anda aktif dalam organisasi kemasyarakatan, apa
jabatan anda?
1. Anggota biasa
2. Anggota pengurus
3. Simpatisan

Pemahaman Masyarakat Terhadap PBM No. 9 dan 8


Tahun 2006
1. Apakah anda memahami bahwa pemeliharaan kerukunan
umat beragama menjadi tanggung jawab bersama umat
beragama, pemerintah daerah dan pemerintah?
1. Ya 2. Tidak
2. Apakah anda memahami bahwa tugas dan kewajiban
bupati/walikota diantaranya memelihara ketentraman dan
ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya
kerukunan umat beragama di kabupaten/kota?
1. Ya 2. Tidak
3. Apakah anda memahami bahwa tugas dan kewajiban
bupati/walikota diantaranya menumbuhkembangkan
keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati,
saling percaya diantara umat beragama?
1. Ya 2. Tidak
4. Apakah anda memahami bahwa tugas dan kewajiban camat
diantaranya memelihara ketentraman dan ketertiban
masyarakatnya termasuk memfasilitasi terwujudnya
kerukunan umat beragama di wilayah kecamatan?
1. Ya 2. Tidak
5. Apakah anda memahami bahwa tugas dan kewajiban
bupati/walikota dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama di kabupaten/kota dibantu oleh kepala kantor
wilayah departemen agama kabupaten/kota?
1. Ya 2. Tidak
6. Apakah anda memahami bahwa tugas dan kewajiban camat
diantaranya membina dan mengkoordinasikan lurah dan
kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di
bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam
kehidupan keagamaan?
1. Ya 2. Tidak

Kerukunan Umat Beragama … | 169


7. Apakah anda memahami bahwa tugas dan kewajiban
lurah/kepala desa diantaranya memelihara ketentraman
dan ketertiban masyarakatnya termasuk memfasilitasi
terwujudnya kerukunan umat beragama di wilayah
kelurahan/desa?
1. Ya 2. Tidak
8. Apakah anda memahami bahwa tugas dan kewajiban
lurah/kepala desa diantaranya menumbuhkembangkan
keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati,
saling percaya diantara umat beragama?
1. Ya 2. Tidak
9. Apakah anda memahami bahwa FKUB dibentuk di provinsi
dan kabupaten/kota?
1. Ya 2. Tidak
10. Apakah anda memahami bahwa antara FKUB provinsi
dengan FKUB kabupaten/kota mempunyai hubungan yang
bersifat konsultatif?
1. Ya 2. Tidak
11. Apakah anda memahami bahwa tugas FKUB diantaranya
melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh
masyarakat?
1. Ya 2. Tidak
12. Apakah anda memahami bahwa tugas FKUB diantaranya
menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi
masyarakat?
1. Ya 2. Tidak
13. Apakah anda memahami bahwa tugas FKUB diantaranya
menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat
dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan
bupati/walikota?
1. Ya 2. Tidak
14. Apakah anda memahami bahwa tugas FKUB diantaranya
melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan
kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat?
1. Ya 2. Tidak
15. Apakah anda memahami bahwa tugas FKUB diantaranya
memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan rumah
ibadat?
1. Ya 2. Tidak

170 | Rif’atul Hasanah


16. Apakah anda memahami bahwa keanggotaan FKUB terdiri
atas pemuka-pemuka agama setempat?
1. Ya 2. Tidak
17. Apakah anda memahami bahwa tugas Dewan Penasihat
FKUB diantaranya membantu kepala daerah dalam
merumuskan kebijakan pemeliharaan kerukunan umat
beragama?
1. Ya 2. Tidak
18. Apakah anda memahami bahwa tugas Dewan Penasihat
FKUB diantaranya memfasilitasi hubungan kerja FKUB
dengan pemerintah daerah dan hubungan antar sesama
instansi pemerintah di daerah dalam pemeliharaan
kerukunan umat beragama?
1. Ya 2. Tidak
19. Apakah anda memahami bahwa Ketua Dewan Penasihat
FKUB tingkat kabupaten/kota dijabat oleh Wakil Walikota?
1. Ya 2. Tidak
20. Apakah anda memahami bahwa Sekretaris Dewan
Penasihat FKUB tingkat kabupaten/kota dijabat oleh
Kepala badan kesatuan bangsa dan politik kabupaten/kota?
1. Ya 2. Tidak
21. Apakah anda memahami bahwa jika dalam komposisi
jumlah penduduk di batas wilayah kelurahan/desa tidak
terpenuhi, maka pertimbangan komposisi jumlah
penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau
kabupaten/kota atau provinsi?
1. Ya 2. Tidak
22. Apakah anda memahami bahwa salah satu persyaratan
pendirian rumah ibadat harus mematuhi persyaratan
administratif seperti adanya surat keterangan kepemilikan
tanah dan persyaratan teknis bangunan gedung seperti
terpenuhinya syarat tata bangunan gedung?
1. Ya 2. Tidak
23. Apakah anda memahami bahwa persyaratan pendirian
rumah ibadat dari segi kerukunan umat beragama adalah
adanya paling sedikit terdiri dari 90 orang dewasa calon
pengguna yang disahkan oleh pejabat setempat?
1. Ya 2. Tidak
24. Apakah anda memahami bahwa sebuah rumah ibadat yang
akan dibangun, harus juga memiliki dukungan dari 60
orang warga sekitar yang disahkan oleh lurah/kepala desa?

Kerukunan Umat Beragama … | 171


1. Ya 2. Tidak
25. Apakah anda memahami bahwa pendirian rumah ibadat
harus mendapatkan rekomendasi tertulis dari FKUB dan
kepala kantor departemen agama kabupaten/kota?
1. Ya 2. Tidak
26. Apakah anda memahami bahwa rekomendasi FKUB
tentang pendirian rumah ibadat merupakan hasil
musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB yang
dituangkan dalam bentuk tertulis?
1. Ya 2. Tidak
27. Apakah anda memahami bahwa yang mengajukan
permohonan pendirian rumah ibadat adalah panitia
pembangunan rumah ibadat kepada bupati/walikota untuk
memperoleh IMB rumah ibadat?
1. Ya 2. Tidak
28. Apakah anda memahami bahwa jangka waktu
bupati/walikota untuk memberikan keputusan paling
lambat 90 (Sembilan puluh) hari sejak permohonan
pendirian rumah ibadat diajukan?
1. Ya 2. Tidak
29. Apakah anda memahami bahwa bangunan gedung bukan
rumah ibadah yang akan difungsikan sebagai rumah ibadat
sementara harus mendapat surat keterangan pemberian
izin sementara dari bupati/walikota?
1. Ya 2. Tidak
30. Apakah anda memahami bahwa izin sementara
pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat
sebagai rumah ibadat juga harus mengajukan laporan
tertulis kepada FKUB kabupaten/kota dan kepala daerah
Kandepag kabupaten/kota?
1. Ya 2. Tidak
31. Apakah anda memahami bahwa surat keterangan
pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung
bukan rumah ibadat dari bupati/walikota berlaku paling
lama 2 (dua) tahun?
1. Ya 2. Tidak
32. Apakah anda memahami bahwa penerbitan surat
keterangan izin sementara pemanfaatan bangunan gedung
bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat dapat
dilimpahkan kepada camat setelah mempertimbangkan

172 | Rif’atul Hasanah


pendapat tertulis Kepala Kandepag dan FKUB
kabupaten/kota setempat?
1. Ya 2. Tidak
33. Apakah anda memahami bahwa perselisihan akibat
pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah
oleh masyarakat setempat?
1. Ya 2. Tidak
34. Apakah anda memahami jika cara musyawarah oleh
masyarakat setempat tidak dapat dicapai, maka
penyelesaian perselisihan dilakukan oleh bupati/walikota
dibantu Kepala Kandepag kabupaten/kota melalui
musyawarah dengan mempertimbangkan saran FKUB
kabupaten/kota?
1. Ya 2. Tidak
35. Apakah anda memahami apabila dengan dua cara diatas
tidak dapat dicapai, maka penyelesaian perselisihan
dilakukan melalui Pengadilan setempat?
1. Ya 2. Tidak

MASALAH-MASALAH KERUKUNAN
16. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi
perselisihan rencana pendirian rumah ibadat?
1. Pernah 2. Tidak Pernah
17. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi
penolakan pendirian rumah ibadat?
1. Pernah 2. Tidak Pernah
18. Apakah anda bersedia untuk mengikuti rapat warga
bersama orang yang berbeda agama dengan anda?
1. Ya 2. Tidak
19. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi
perselisihan rencana penggunaan bangunan gedung bukan
rumah ibadat menjadi rumah ibadat?
1. Pernah 2. Tidak Pernah
20. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi
penyalahgunaan izin penggunaan sementara bangunan
gedung bukan rumah ibadat menjadi rumah ibadat?
1. Pernah 2. Tidak Pernah
21. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi
sengketa mengenai izin pendirian rumah ibadat?
1. Pernah 2. Tidak Pernah

Kerukunan Umat Beragama … | 173


22. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi
penolakan penggunaan bangunan gedung bukan rumah
ibadat menjadi rumah ibadat?
1. Pernah 2. Tidak Pernah
23. Apakah anda bersedia menjadi pengurus organisasi
kemasyarakatan (ormas) bersama-sama orang yang berbeda
agama dengan anda?
1. Ya 2. Tidak
24. Apakah anda bersedia untuk ikut mengamankan tempat
peribadatan orang yang berbeda agama dengan anda ketika
mereka merayakan hari besar agamanya?
1. Ya 2. Tidak
25. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi perusakan
bangunan sementara gedung bukan rumah ibadat yang
dijadikan rumah ibadat?
1. Pernah 2. Tidak Pernah
26. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi perusakan
rumah ibadat?
1. Pernah 2. Tidak Pernah
27. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi penolakan
penyelenggaraan kebaktian/peribadatan umum?
1. Pernah 2. Tidak Pernah
28. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi
perselisihan izin penyelenggaraan kebaktian/peribadatan
umum?
1. Pernah 2. Tidak Pernah
29. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi
perselisihan rencana penyelenggaraan
kebaktian/peribadatan umum?
1. Pernah 2. Tidak Pernah
30. Sepengetahuan anda, apakah disini pernah terjadi gangguan
pada saat penyelenggaraan kebaktian/peribadatan umum?
1. Pernah 2. Tidak Pernah

` TERIMA KASIH `

174 | Rif’atul Hasanah


PERATURAN BERSAMA
MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR : 9 TAHUN 2006
NOMOR : 8 TAHUN 2006

TENTANG

PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEPALA


DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH DALAM
PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA,
PEMBERDAYAAN FORUM KERUKUNAN UMAT
BERAGAMA, DAN PENDIRIAN RUMAH IBADAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI,
Menimbang : a. bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun;
b. bahwa setiap orang bebas memilih agama dan
beribadat menurut agamanya;
c. bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu;
d. bahwa Pemerintah berkewajiban melindungi
setiap usaha penduduk melaksanakan ajaran
agama dan ibadat pemeluk-pemeluknya,
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundangundangan, tidak menyalahgunakan
atau menodai agama, serta tidak mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum;
e. bahwa Pemerintah mempunyai tugas untuk
memberikan bimbingan dan pelayanan agar
setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran
agamanya dapat berlangsung dengan rukun,
lancar, dan tertib;
f. bahwa arah kebijakan Pemerintah dalam
pembangunan nasional di bidang agama antara
lain peningkatan kualitas pelayanan dan
pemahaman agama, kehidupan beragama, serta
peningkatan kerukunan intern dan antar umat
beragama;
g. bahwa daerah dalam rangka menyelenggarakan
otonomi, mempunyai kewajiban . melaksanakan
urusan wajib bidang perencanaan, pemanfaatan,

Kerukunan Umat Beragama … | 175


dan pengawasan tata ruang serta kewajiban
melindungi masyarakat, menjaga persatuan,
kesatuan, dan kerukunan nasional serta
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
h. bahwa kerukunan umat beragama merupakan
bagian penting dari kerukunan nasional;
i. bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah
dalam rangka melaksanakan tugas dan
wewenangnya mempunyai kewajiban
memelihara ketenteraman dan ketertiban
masyarakat;
j. bahwa Keputusan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/MDN-
MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur
Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan
Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan
Ibadat Agama oleh PemelukPemeluknya untuk
pelaksanaannya di daerah otonom,
pengaturannya perlu mendasarkan dan
menyesuaikan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
k. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan
huruf j, perlu menetapkan Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat;

Mengingat : 1. Undang-Undang Penetapan Presiden Nomor I


Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1965 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2726);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3298);
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik

176 | Rif’atul Hasanah


Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3886);
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4247);
5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389);
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 4 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4468);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986
tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 8
Tahun 1985 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1986 Nomor 24 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3331);
8. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional Tahun 2004-2009;
9. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi dan Tatakerja Kementerian Negara
Republik Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun
2005;
10. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005
tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I
Kementerian Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah dan terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2005;
11. Keputusan Bersama Menteri Agama dan

Kerukunan Umat Beragama … | 177


Menteri Dalam Negeri Nomor 1/BER/MDN-
MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur
Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan
Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan
Ibadat Agama oleh PemelukPemeluknya;
12. Keputusan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 1/BER/MDN-
MAG/1979 tentang Tatacara Pelaksanaan
Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri
kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia;
13. Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun
2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Wilayah Departemen Agama Propinsi dan
Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota;
14. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130
Tahun 2003 tentang Struktur Organisasi dan
Tata Kerja Departemen Dalam Negeri;
15. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Agama;

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN
MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN
PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/WAKIL
KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA,
PEMBERDAYAAN FORUM KERUKUNAN UMAT
BERAGAMA DAN PENDIRIAN RUMAH IBADAT.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bersama ini yang dimaksud
dengan :
1. Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan
sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam
pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun
1945.
2. Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya
bersama umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan,

178 | Rif’atul Hasanah


pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama.
3. Rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri
tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi
para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak
termasuk tempat ibadat keluarga.
4. Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan yang selanjutnya
disebut Ormas Keagamaan adalah organisasi nonpemerintah
bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan
agama oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela,
berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah
setempat serta bukan organisasi sayap partai politik.
5. Pemuka Agama adalah tokoh komunitas umat beragama baik
yang memimpin ormas keagamaan maupun yang tidak
memimpin ormas keagamaan yang diakui dan atau dihormati
oleh masyarakat setempat sebagai panutan.
6. Forum Kerukunan Umat Beragama, yang selanjutnya disingkat
FKUB, adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan
difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun,
memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk
kerukunan dan kesejahteraan.
7. Panitia pembangunan rumah ibadat adalah panitia yang
dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau
pengurus rumah ibadat.
8. Izin Mendirikan Bangunan rumah ibadat yang selanjutnya
disebut IMB rumah ibadat, adalah izin yang diterbitkan oleh
bupati/walikota untuk pembangunan rumah ibadat.

BAB II
TUGAS KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Pasal 2
Pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung
jawab bersama umat beragama, pemerintahan daerah dan
Pemerintah.
Pasal 3
(1) Pemeliharaan kerukunan umat beragama di provinsi menjadi
tugas dan kewajiban gubernur.
(2) Pelaksanaan tugas dan kewajiban gubernur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh kepala kantor wilayah
departemen agama provinsi.
Pasal 4
(1) Pemeliharaan kerukunan umat beragama di kabupaten/kota
menjadi tugas dan kewajiban bupati/walikota.
(2) Pelaksanaan tugas dan kewajiban bupati/walikota

Kerukunan Umat Beragama … | 179


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh kepala
kantor departemen agama kabupaten/kota.

Pasal 5
(1) Tugas dan kewajiban gubernur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 meliputi :
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat
termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama di provinsi;
b. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di provinsi
dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama;
c. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati, dan saling percaya di antara umat
beragama; dan
d. membina dan mengoordinasikan bupati/wakil bupati
dan walikota/wakil walikota dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan
ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, dan huruf d dapat didelegasikan kepada
wakil gubernur.
Pasal 6
(1) Tugas dan kewajiban bupati/walikota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 meliputi :
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat
termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama di kabupaten/kota;
b. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di
kabupaten/kota dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama;
c. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati, dan saling percaya di antara umat
beragama;
d. membina dan mengoordinasikan camat, lurah, atau
kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban
masyarakat dalam kehidupan beragama;
e. menerbitkan IMB rumah ibadat.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, huruf c, dan huruf d dapat didelegasikan kepada wakil
bupati/wakil walikota.
(3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan huruf c di wilayah kecamatan dilimpahkan kepada
camat dan di wilayah kelurahan/desa dilimpahkan kepada
lurah/kepala desa melalui camat.

180 | Rif’atul Hasanah


Pasal 7
(1) Tugas dan kewajiban camat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (3) meliputi:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat
termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama di wilayah kecamatan;
b. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling
pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di
antara umat beragama; dan
c. membina dan mengoordinasikan lurah dan kepala desa
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang
ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan
keagamaan.
(2) Tugas dan kewajiban lurah/ kepala desa sebagaimana dimaksud
dalam pasal 6 ayat (3) meliputi
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat
termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama di wilayah kelurahan/desa; dan
b. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati, dan saling percaya di antara umat
beragama.

BAB III
FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Pasal 8
(1) FKUB dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Pembentukan FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah
daerah.
(3) FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki hubungan
yang bersifat konsultatif.

Pasal 9
(1) FKUB provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
mempunyai tugas:
a. melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh
masyarakat;
b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi
masyarakat;
c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat
dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan
gubernur; dan
d. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan
kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat.

Kerukunan Umat Beragama … | 181


(2) FKUB kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) mempunyai tugas :
a. melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh
masyarakat;
b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi
masyarakat;
c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan
masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan
kebijakan bupati/walikota;
d. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan
kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat;
dan
e. memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan
pendirian rumah ibadat.
Pasal 10
(1) Keanggotaan FKUB terdiri atas pemuka-pemuka agama
setempat.
(2) Jumlah anggota FKUB provinsi paling banyak 21 orang dan
jumlah anggota FKUB , kabupaten/kota paling banyak 17
orang.
(3) Komposisi keanggotaan FKUB provinsi dan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama setempat
dengan keterwakilan minimal 1 (satu) orang dari setiap
agama yang ada di propinsi dan kabupaten/kota.
(4) FKUB dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang
wakil ketua, 1(satu) orang sekretaris, 1 (satu) orang wakil
sekretaris, yang dipilih secara musyawarah oleh anggota.

Pasal 11
(1) Dalam memberdayakan FKUB, dibentuk Dewan Penasihat
FKUB di provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Dewan Penasihat FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas :
a. membantu kepala daerah dalam merumuskan
kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama; dan
b. memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan pemerintah
daerah dan hubungan antar sesama instansi pemerintah
di daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
(3) Keanggotaan Dewan Penasehat FKUB provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh gubernur dengan
susunan keanggotaan:
a. Ketua : wakil gubernur;
b. Wakil Ketua : kepala kantor wilayah departemen

182 | Rif’atul Hasanah


agama
provinsi;
c. Sekretaris : kepala badan kesatuan bangsa dan
politik provinsi;
d. Anggota : pimpinan instansi terkait.
(4) Dewan Penasehat FKUB kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh bupati/walikota
dengan susunan keanggotaan:
a. Ketua : wakil bupati/wakil walikota;
b. Wakil Ketua : kepala kantor departemen agama
kabupaten/kota;
c. Sekretaris : kepala badan kesatuan bangsa dan politik
kabupaten/kota;
d. Anggota : pimpinan instansi terkait.

Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai FKUB dan Dewan Penasihat
FKUB provinsi dan kabupaten/kota diatur dengan Peraturan
Gubernur.

BAB IV
PENDIRIAN RUMAH IBADAT
Pasal 13
(1) Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata
dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah
penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan
di wilayah kelurahan/desa.
(2) Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama,
tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum,
serta mematuhi peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di
wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak
terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk
digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/ kota atau
provinsi.
Pasal 14
(1) Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan
khusus meliputi :
a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah
ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang
disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat

Kerukunan Umat Beragama … | 183


batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(3);
b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam
puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama
kabupaten/kota; dan
d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum
terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi
tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.

Pasal 15
Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2) huruf d merupakan hasil musyawarah dan mufakat
dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis.

Pasal 16
(1) Permohonan pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 diajukan oleh panitia pembangunan rumah
ibadat kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah
ibadat.
(2) Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90
(sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah
ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 17
Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi
bangunan gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang
dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah.

BAB V
IZIN SEMENTARA PEMANFAATAN BANGUNAN GEDUNG
Pasal 18
(1) Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai
rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan
pemberian izin sementara dari bupati/walikota dengan
memenuhi persyaratan :
a. laik fungsi; dan
b. pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman
dan ketertiban masyarakat.
(2) Persyaratan laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a mengacu pada peraturan perundang-undangan
tentang bangunan gedung.

184 | Rif’atul Hasanah


(3) Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta
ketenteraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. izin tertulis pemilik bangunan;
b. rekomendasi tertulis lurah/kepala desa;
c. pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan
d. pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama
kabupaten/kota.

Pasal 19
(1) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan
bangunan -gedung bukan rumah ibadat oleh bupati/walikota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) diterbitkan
setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor
departemen agama kabupaten/kota dan FKUB
kabupaten/kota.
(2) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan
bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 2 (dua) tahun.

Pasal 20
(1) Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dapat
dilimpahkan kepada camat.
(2) Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor
departemen agama kabupaten/kota dan FKUB
kabupaten/kota.

BAB VI
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 21
(1) Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara
musyawarah oleh masyarakat setempat.
(2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh
bupati/walikota dibantu kepala kantor departemen agama
kabupaten/kota melalui musyawarah yang dilakukan secara
adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan
pendapat atau saran FKUB kabupaten/kota.
(3) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak, dicapai, penyelesaian perselisihan
dilakukan melalui Pengadilan setempat.

Kerukunan Umat Beragama … | 185


Pasal 22
Gubernur melaksanakan pembinaan terhadap bupati/walikota
serta instansi terkait di daerah dalam menyelesaikan
perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21

BAB VII
PENGAWASAN DAN PELAPORAN
Pasal 23
(1) Gubernur dibantu kepala kantor wilayah departemen agama
provinsi melakukan pengawasan terhadap bupati/walikota
serta instansi terkait di daerah atas pelaksanaan
pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan
forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah
ibadat.
(2) Bupati/walikota dibantu kepala kantor departemen agama
kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap camat dan
lurah/kepala desa serta instansi terkait di daerah atas
pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama,
pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan
pendirian rumah ibadat.
Pasal 24
(1) Gubernur melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan
umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat
beragama, dan pengaturan pendirian rumah ibadat di
provinsi kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama
dengan tembusan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan
Keamanan, dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
(2) Bupati/walikota melaporkan pelaksanaan pemeliharaan
kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum
kerukunan umat beragama, dan pengaturan pendirian rumah
ibadat di kabupaten/kota kepada gubernur dengan tembusan
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
disampaikan setiap 6 (enam) bulan pada bulan Januari dan
Juli, atau sewaktu-waktu jika dipandang perlu.

BAB VIII
BELANJA
Pasal 25
Belanja pembinaan dan pengawasan terhadap pemeliharaan
kerukunan umat beragama serta pemberdayaan FKUB secara
nasional didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.

186 | Rif’atul Hasanah


Pasal 26
(1) Belanja pelaksanaan kewajiban menjaga kerukunan nasional
dan memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat di
bidang pemeliharaan kerukunan umat beragama,
pemberdayaan FKUB dan pengaturan pendirian rumah ibadat
di provinsi didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah provinsi.
(2) Belanja pelaksanaan kewajiban menjaga kerukunan nasional
dan memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat di
bidang pemeliharaan kerukunan umat beragama,
pemberdayaan FKUB dan pengaturan pendirian rumah
ibadat dikabupaten/kota didanai dari dan atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/ kota.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
(1) FKUB dan Dewan Penasehat FKUB di provinsi dan
kabupaten/kota dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak
Peraturan Bersama ini ditetapkan.
(2) FKUB atau forum sejenis yang sudah dibentuk di provinsi dan
kabupaten/kota disesuaikan paling lambat 1(satu) tahun sejak
Peraturan Bersama ini ditetapkan.

Pasal 28
(1) Izin bangunan gedung untuk rumah ibadat yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebelum berlakunya
Peraturan Bersama ini dinyatakan sah dan tetap berlaku.
(2) Renovasi bangunan gedung rumah ibadat yang telah
mempunyai IMB untuk rumah ibadat, diproses sesuai
dengan ketentuan IMB sepanjang tidak terjadi pemindahan
lokasi.
(3) Dalam hal bangunan gedung rumah ibadat yang telah
digunakan secara permanen dan/atau merniliki nilai sejarah
yang belum memiliki IMB untuk rumah ibadat sebelum
berlakunya Peraturan Bersama ini, bupati/walikota membantu
memfasilitasi penerbitan IMB untuk rumah ibadat dimaksud.
Pasal 29
Peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh
pemerintahan daerah wajib disesuaikan dengan Peraturan
Bersama ini paling lambat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun.

Kerukunan Umat Beragama … | 187


BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 30
Pada saat berlakunya Peraturan Bersama ini, ketentuan yang
mengatur pendirian rumah ibadat dalam Keputusan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor
01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur
Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran
Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-
Pemeluknya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 31
Peraturan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 2006

MENTERI AGAMA MENTERI DALAM NEGERI


TTD TTD

MUHAMMAD M. BASYUNI H. MOH. MA’RUF

188 | Rif’atul Hasanah


TANYA JAWAB
PERATURAN BERSAMA
MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR 9 DAN 8 TAHUN 2006
(YANG DISEMPURNAKAN TAHUN 2012)

BAB I
KETENTUAN UMUM

1. Apa yang dimaksud dengan kerukunan umat beragama?


Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama
umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling
menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran
agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Apa yang dimaksud dengan pemeliharaan kerukunan
umat beragama?
Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama
umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan,
dan pemberdayaan umat beragama.
3. Mengapa digunakan istilah ‘pemeliharaan kerukunan
umat beragama’ bukan ‘pembinaan kerukunan umat
beragama’?
Kata ’pemeliharaan’ menunjukkan keaktifan masyarakat (umat
beragama) untuk mempertahankan sesuatu yang telah ada yaitu
’kondisi kerukunan’. Sedangkan kata ’pembinaan’ menunjukkan
keaktifan dari atas (Pemerintah dan pemerintah daerah) untuk
menciptakan kerukunan umat beragama.
4. Apakah yang dimaksud dengan rumah ibadat?
Rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri- ciri tertentu
yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk
masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk rumah
ibadat keluarga.
5. Apa sajakah sebutan/nama tempat ibadat keluarga untuk
masing-masing agama?
Rumah ibadat keluarga:
- dalam Islam disebut musalla/langgar/surau/meunasah;
- dalam Kristen disebut kapel/rumah doa;
- dalam Katholik disebut kapel;
- dalam Hindu disebut sanggah/mrajan/ panti/paibon;
- dalam Buddha disebut cetya; dan

Kerukunan Umat Beragama … | 189


- dalam Khonghucu disebut siang hwee/co bio/cong bio/kong tek
su.
6. Apa yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan
Keagamaan (Ormas Keagamaan)?
Ormas Keagamaan adalah organisasi non- pemerintah bervisi
kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh
warga negara Republik Indonesia secara sukarela, berbadan
hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta
bukan organisasi sayap partai politik.
7. Apa saja contoh-contoh Ormas Keagamaan dari berbagai
agama?
Ormas keagamaan Islam antara lain Majelis Ulama Indonesia
(MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Dewan Dakwah
Islamiyah (DDI), Mathlaul Anwar.
Ormas Keagamaan Kristen antara lain Persekutuan Gereja-Gereja
di Indonesia (PGI), Persatuan Injili Indonesia (PII), Persatuan
Gereja Pantekosta Indonesia (PGPI).
Ormas Keagamaan Katholik antara lain Konferensi Waligereja
Indonesia (KWI).
Ormas Keagamaan Hindu antara lain Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI), Prajaniti Hindu Indonesia (Prajaniti), Wanita
Hindu Dharma Indonesia (WHDI), Pemuda Hindu Indonesia,
Widyapit.
Ormas Keagamaan Buddha antara lain Perwakilan Umat Buddha
Indonesia (WALUBI), Wanita WALUBI, Buddhis Muda Indonesia
(BUMI).
Ormas Keagamaan Khonghucu antara lain Majelis Tinggi Agama
Khonghucu Indonesia (MATAKIN), Majelis Agama Khonghucu
Indonesia (MAKIN), Generasi Muda Khonghucu (GEMAKU),
PERKHIN (Perempuan Khonghucu Indonesia).
8. Apa yang dimaksud dengan pemuka agama?
Pemuka agama adalah tokoh komunitas umat beragama baik yang
memimpin ormas keagamaan maupun yang tidak memimpin
ormas keagamaan yang diakui dan atau dihormati oleh masyarakat
setempat sebagai panutan dan tidak memiliki ideology yang
bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,
Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan
9. Apa yang dimaksud dengan Forum Kerukunan Umat
Beragama?
Forum Kerukunan Umat Beragama, yang selanjutnya disingkat
FKUB, adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan
difasilitasi oleh Pemerintah (dalam hal ini pemerintah daerah)
dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan
umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.

190 | Rif’atul Hasanah


10. Apa yang dimaksud dengan panitia pembangunan
rumah ibadat?
Panitia pembangunan rumah ibadat adalah panitia yang dibentuk
oleh umat beragama, ormas keagamaan yang terdaftar atau
pengurus rumah ibadat. kepanitiaan itu dapat juga diperankan
oleh ormas keagamaan atau majelis agama.
11. Apa yang dimaksud dengan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) rumah ibadat?
IMB rumah ibadat adalah izin yang diterbitkan oleh
bupati/walikota untuk pembangunan rumah ibadat.
12. Mengapa dalam istilah ’IMB rumah ibadat’
menggunakan huruf r dan i (dengan huruf kecil), bukan
R dan I (dengan huruf besar)?
Penggunaan huruf r dan i (dengan huruf kecil) dalam istilah ‘IMB
rumah ibadat’ mengandung makna bahwa pengertian IMB
tersebut sama dengan IMB gedung lainnya, hanya saja
penggunaannnya diperuntukkan bagi rumah ibadat.

BAB II
TUGAS KEPALA DAERAH DALAM
PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

13. Siapakah yang bertanggung jawab terhadap


pemeliharaan kerukunan umat beragama?
Pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab
bersama umat beragama, pemerintahan daerah, dan Pemerintah.
Khusus di lingkungan pemerintahan, pertanggungjawaban itu
bersifat hierarkis oleh masing-masing unit pemerintahan di pusat
dan daerah.
14. Mengapa dalam urutan tanggung jawab peme-
liharaan kerukunan itu yang lebih dulu disebut adalah
masyarakat, kemudian pemerintahan daerah, dan
Pemerintah? Apa maknanya?
Unsur ’masyarakat’ ditempatkan di urutan nomor pertama yang
bertanggungjawab terhadap pemeliharaan kerukunan umat
beragama. Hal itu mengandung makna bahwa masyarakat
memegang peranan penting dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama. Hal itu juga menunjukkan besarnya peran masyarakat
yang demokratis dan tidak berarti bahwa tugas pemeliharaan
kerukunan umat beragama bukan tugas utama Pemerintah.
15. Di pihak Pemerintah, siapakah yang mempunyai
tugas dan kewajiban dalam pemeliharaan kerukunan di
wilayah provinsi?
Pemeliharaan kerukunan umat beragama di tingkat provinsi
menjadi tugas dan kewajiban gubernur, karena kerukunan umat

Kerukunan Umat Beragama … | 191


beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional.
Dalam pelaksanaannya, tugas dan kewajiban tersebut dibantu oleh
wakil gubernur dan aparat terkait, serta kepala kantor wilayah
kementerian agama provinsi.
16. Di pihak Pemerintah, siapakah yang mempunyai
tugas dan kewajiban dalam pemeliharaan kerukunan di
tingkat kabupaten/kota?
Pemeliharaan kerukunan umat beragama di tingkat
kabupaten/kota menjadi tugas dan kewajiban bupati/walikota
karena kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari
kerukunan nasional. Dalam pelaksanaannya, tugas dan kewajiban
bupati/walikota tersebut dibantu oleh wakil bupati/wakilwalikota
dan aparat terkait serta kepala kantor kementerian agama
kabupaten/ kota.
17. Sebutkan tugas dan kewajiban gubernur dalam
rangka pemeliharaan kerukunan di wilayahnya!
Tugas dan kewajiban gubernur dalam rangka pemeliharaan
kerukunan umat beragama adalah:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk
memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di
provinsi;
b. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di provinsi dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama;
c. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati, dan saling percaya diantara umat
beragama;dan
d. membina dan mengoordinasikan bupati/wakil bupati dan
walikota/wakil walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat
dalam kehidupan beragama.
Ini berarti bahwa gubernur bertanggung jawab mengintegrasikan
esensi kerukunan umat beragama ke dalam pembangunan
nasional di daerahnya; dan secara proaktif memimpin
penyelesaian setiap persoalan yang terjadi di daerahnya.
18. Kepada siapakah gubernur dapat mendelegasikan
tugas-tugas dalam rangka pemeliharaan kerukunan umat
beragama tersebut?
Pelaksanaan tugaspemeliharaan kerukunan umat beragama oleh
gubernur dapat didelegasikan kepada wakil gubernur, yaitu yang
menyangkut tugas mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di
provinsi, mengoordinasikan bupati/wakil bupati dan
walikota/wakil walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan di
daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam
kehidupan beragama, dan tugas menumbuhkembangkan

192 | Rif’atul Hasanah


keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling
percaya di antara umat beragama.
19. Sebutkan tugas dan kewajiban bupati/walikota dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama!
Tugas dan kewajiban bupati/walikota dalam pemeliharaan
kerukunan umat beragama adalah:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk
memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama
dikabupaten/ kota;
b. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di kabupaten/kota
dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama;
c. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati, dan saling percaya diantara umat
beragama;
d. membina dan mengoordinasikan camat, lurah, atau kepala desa
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang
ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan
beragama; dan
e. menerbitkan IMB rumah ibadat; khusus untuk Provinsi DKI
Jakarta diterbitkan oleh gubernur.
Ini berarti bahwa bupati/walikota bertanggung jawab
mengintegrasikan esensi kerukunan umat beragama ke dalam
pembangunan nasional di daerahnya; dan secara proaktif
memimpin penyelesaian setiap persoalan yang terjadi di
daerahnya.
20. Kepada siapakah bupati/walikota dapat
mendelegasikan tugas-tugas dalam rangka pemeliharaan
kerukunan umat beragama?
Pelaksanaan tugas pemeliharaan kerukunan umat beragama oleh
bupati/walikota dapat didelegasikan kepada wakil bupati/wakil
walikota, yaitu yang menyangkut tugas mengoordinasikan
kegiatan instansi vertikal di kabupaten/kota, dan
mengoordinasikan camat, lurah, dan kepala desa dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman
dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama.
21. Apakah bupati/walikota juga dapat melimpahkan
sebagian tugasnya kepada camat dalam pemeliharaan
kerukunan umat beragama?
Dapat, yaitu dalam memelihara ketenteraman dan ketertiban
masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama, dan dalam menumbuhkembangkan keharmonisan,
saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya
diantara umat beragama.

Kerukunan Umat Beragama … | 193


22. Sebutkan tugas dan kewajiban camat dalam rangka
pemeliharaan kerukunan umat beragama!
Tugas dan kewajiban camat adalah:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk
memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di
wilayah kecamatan;
b. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati, dan saling percaya di antara umat
beragama; dan
c. membina dan mengoordinasikan lurah dan kepala desa dalam
penyelenggaraaan pemerintahan daerah di bidang
ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan
keagamaan.
Ini berarti bahwa Camat bertanggung jawab mengintegrasikan
esensi kerukunan umat beragama ke dalam pembangunan
nasional di daerahnya; dan secara proaktif memimpin
penyelesaian setiap persoalan yang terjadi di daerahnya.
23. Sebutkan tugas dan kewajiban lurah/kepala desa
dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama!
Tugas dan kewajiban lurah/kepala desa adalah:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk
memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di
wilayah kelurahan/desa; dan
b. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati, dan saling percaya di antara umat
beragama.
Tugas dan kewajiban tersebut adalah dalam rangka membantu
camat dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, termasuk
dalam pelayanan administrasi dan penyediaan informasi
keagamaan yang benar/akurat serta pencegahan gangguan
masyarakat dari luar kelurahan atau desanya.

BAB III
FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (FKUB)

24. Untuk apa Forum Kerukunan Umat Beragama


dibentuk?
Pembentukan FKUB bertujuan untuk memelihara dan
mengembangkan kerukunan umat beragama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
25. Dimana kedudukan FKUB dalam tata pemerintahan
kita?
FKUB ada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

194 | Rif’atul Hasanah


26. Apakah FKUB dapat dibentuk di tingkat kecamatan
dan kelurahan/desa?
FKUB dapat dibentuk di tingkat kecamatan dan
kelurahan/desa/distrik untuk kepentingan dinamisasi kerukunan,
tergantung pada keperluan nyata dan kesepakatan pemuka agama
serta pemuka masyarakat setempat, dengan sebutan FKUB atau
bukan FKUB, tetapi tidak memiliki tugas formal sebagaimana
FKUB tingkat provinsi, kabupaten/ kota.
27. Siapa yang membentuk FKUB?
FKUB dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah
daerah.
28. Bagaimana hubungan antara FKUB provinsi dengan
FKUB kabupaten/kota?
Hubungan keduanya bersifat konsultatif.
29. Apa tugas FKUB provinsi?
Tugas FKUB provinsi:
a. melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh
masyarakat;
b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi
masyarakat;
c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam
bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur; dan
d. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan
kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat.
Ini berarti bahwa tugas FKUB provinsi secara keseluruhan adalah
dalam rangka pemeliharaan kerukunan umat beragama yang
mencakup upaya membahasakan aspek kerukunan umat
beragama ke dalam bahasa program pembangunan agar FKUB
dapat menyusun rencana kerja secara terintegrasi dengan
pembangunan daerah.
Adapun pemberdayaan masyarakat dapat berbentuk upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai bidang
pembangunan, agar kehidupan agama lebih memiliki relevansi
dengan kehidupan masa kini.
30. Apa tugas FKUB kabupaten/kota?
Tugas FKUB kabupaten/kota adalah:
a. melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh
masyarakat;
b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi
masyarakat;
c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam
bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota;

Kerukunan Umat Beragama … | 195


d. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan
kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat;
e. memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian
rumah ibadat, dan memberikan pendapat tertulis untuk izin
sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat
yang diberikan oleh bupati/walikota; dan
f. memberikan pendapat atau saran dalam hal penyelesaian
perselisihan pendirian rumah ibadat kepada bupati/walikota.
Ini berarti bahwa tugas FKUB kabupaten/kota secara keseluruhan
adalah dalam rangka pemeliharaan kerukunan umat beragama
yang mencakup upaya membahasakan aspek kerukunan umat
beragama ke dalam bahasa program pembangunan agar FKUB
dapat menyusun rencana kerja secara terintegrasi dengan
pembangunan daerah.
Adapun pemberdayaan masyarakat dapat berbentuk upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai bidang
pembangunan, agar kehidupan agama lebih memiliki relevansi
dengan kehidupan masa kini.
31. Siapa saja yang berhak menjadi anggota FKUB?
Keanggotaan FKUB terdiri atas pemuka-pemuka agama yaitu
tokoh komunitas umat beragama baik yang memimpin ormas
keagamaan maupun yang tidak memimpin ormas keagamaan yang
diakui dan atau dihormati oleh masyarakat setempat sebagai
panutan.
Anggota FKUB memiliki spirit kebangsaan yang kuat dan tidak
menjadi pengurus/aktivis partai politik. Karena itu, anggota atau
pimpinan FKUB harus mengundurkan diri dari jabatannya setelah
ia menjadi calon tetap dalam pemilihan kepala daerah/wakil
kepala daerah, anggota DPRD, DPR RI, dan DPD RI agar supaya
FKUB tidak disalahgunakan sebagai alat untuk memperoleh
dukungan masyarakat dalam suatu proses politik praktis di
daerah. FKUB tidak boleh dijadikan sebagai forum untuk tarik ulur
kepentingan kelompok melainkan untuk mengedepankan
kepentingan kebangsaan Indonesia.
32. Berapa jumlah anggota FKUB?
Untuk tingkat provinsi jumlah anggota FKUB maksimal 21 orang
dan untuk kabupaten/kota maksimal anggotanya berjumlah 17
orang.

33. Berikan contoh cara penghitungan anggota FKUB di


suatu daerah!
Di suatu provinsi misalnya telah ditetapkan jumlah anggota FKUB
sebanyak 21 (dua puluh satu) orang. Diasumsikan bahwa di
provinsi tersebut terdapat 6 (enam) agama yang dipeluk
196 | Rif’atul Hasanah
masyarakat, yaitu: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan
Khonghucu. Langkah pertama diambil 6 (enam) orang sebagai
perwakilan setiap agama untuk menjadi anggota FKUB. Setelah itu
dihitung, 100% dari jumlah umat beragama provinsi dibagi 21 (dua
puluh satu) orang anggota FKUB provinsi, berarti seorang anggota
FKUB provinsi memerlukan proporsi penduduk umatnya 4,76%
dari keseluruhan jumlah umat beragama provinsi. Jika proporsi
suatu umat beragama adalah 4,76% atau kurang, maka seorang
wakil yang telah ditetapkan diatas berarti hanya satu itulah
wakilnya. Demikian seterusnya setiap kelipatan 4,76% bertambah
wakilnya seorang lagi. Jika kelipatan tersebut tidak persis 4,76%
maka dimusyawarahkan bersama.
Demikian pula cara untuk penghitungan anggota FKUB
kabupaten/kota. Di suatu kabupaten/kota misalnya telah
ditetapkan jumlah anggota FKUB sebanyak 17 (tujuh belas) orang.
Diasumsikan bahwa di kabupaten/kota tersebut terdapat 6 (enam)
agama yang dipeluk masyarakat, yaitu: Islam, Kristen, Katholik,
Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Langkah pertama diambil 6
(enam) orang sebagai perwakilan setiap agama untuk menjadi
anggota FKUB. Setelah itu dihitung, 100% dari jumlah umat
beragama kabupaten/kota dibagi 17 (tujuh belas) orang anggota
FKUB kabupaten/ kota, berarti seorang anggota FKUB kabupaten/
kota memerlukan proporsi penduduk umatnya 5,88% dari
keseluruhan jumlah umat beragama kabupaten/kota. Jika proporsi
suatu umat beragama adalah 5,88% atau kurang, maka seorang
wakil yang telah ditetapkan di atas berarti hanya satu itulah
wakilnya. Demikian seterusnya setiap kelipatan 5,88% bertambah
wakilnya seorang lagi. Jika kelipatan tersebut tidak persis 5,88%
maka dimusyawarahkan bersama.
34. Kenapa keanggotan FKUB dihitung menurut
perimbangan jumlah penduduk?
Perhitungan menurut perimbangan jumlah penduduk dipandang
lebih mendekati keadilan.
35. Apakah sistem keanggotaan FKUB tidak membuat
FKUB itu seperti lembaga perwakilan?
FKUB bukanlah lembaga perwakilan. FKUB merupakan sebuah
forum/wadah yang dibentuk untuk menampung seluruh aspirasi
kepentingan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat.
Demikian pula FKUB dalam mengambil keputusan selalu melalui
musyawarah dan mufakat, serta tidak melalui voting.
Prinsip tidak adanya voting ini juga untuk mengimbangi sistem
keanggotaan FKUB yang dolakukan menurut perimbangan jumlah
penduduk, sehingga lebih mengedepankan kebersamaan,
kesetaraan, kebenaran, dan keadilan.

Kerukunan Umat Beragama … | 197


36. Bagaimana jika setelah dilakukan perhitungan
berdasarkan proporsi jumlah penduduk ternyata jumlah
anggota FKUB tidak pas, dalam arti bertambah atau
berkurang 1 orang?
Dalam hal demikian, maka para pemuka agama yang
bersangkutan bermusyawarah untuk memperoleh jumlah sesuai
dengan yang ditetapkan menurut pasal 10 ayat (2).
37. Bagaimana struktur kepemimpinan FKUB?
FKUB dipimpin oleh seorang ketua, dibantu oleh 2 orang wakil
ketua, satu orang sekretaris dan satu orang wakil sekretaris.
Pengurus tersebut dipilih secara musyawarah oleh anggota.
Pengembangan struktur kepengurusan dapat dilakukan sesuai
keperluan nyata dan kesepakatan bersama serta peraturan
masing-masing daerah sepanjang tidak menambah jumlah
anggota.
38. Apa tugas Dewan Penasehat FKUB?
Tugas Dewan Penasehat FKUB:
a. Membantu kepala daerah dalam merumuskan kebijakan
pemeliharaan kerukunan umat beragama; dan
b. memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan pemerintah daerah
dan hubungan antar sesama instansi pemerintah di daerah
dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Dengan demikian hendaknya ada pertemuan berkala antara kepala
daerah dengan Dewan Penasehat FKUB dan FKUB, minimal sekali
dalam setahun. Dewan Penasehat FKUB memberi nasehat kepada
FKUB secara langsung atau melalui kepala daerah.
39. Siapa saja yang duduk sebagai anggota Dewan
Penasehat FKUB di tingkat provinsi?
Anggota Dewan Penasehat FKUB adalah para pejabat di
lingkungan pemerintah daerah yang ditetapkan oleh gubernur
dengan susunan anggota sebagai berikut:
Ketua : wakil gubernur;
WakilKetua : kepala kantor wilayah kementerian
agama provinsi;
Sekretaris : kepala badan kesatuan bangsa dan
politik provinsi;
Anggota : pimpinan instansi terkait, dengan
memperhatikan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Dengan demikian, pemuka agama tidak duduk dalam keanggotaan
Dewan Penasehat FKUB provinsi.
Apabila anggota Dewan Penasehat FKUB provinsi hendak ikut
menjadi calon dalam pemilihan kepala daerah/wakil kepala
daerah, anggota DPRD, DPR RI, dan DPD RI, ia harus
mengundurkan diri dari jabatan kepemerintahannya. Hal ini

198 | Rif’atul Hasanah


dimaksudkan agar Dewan Penasehat FKUB provinsi tidak
disalahgunakan sebagai alai untuk memperoleh dukungan
masyarakat dalam suatu proses politik praktis di daerah. Dewan
Penasehat FKUB provinsi tidak boleh dijadikan sebagai forum
untuk tarik ulur kepentingan kelompok, melainkan hanya untuk
mengedepankan kepentingan kebangsaan Indonesia.
40. Siapa saja yang duduk sebagai anggota Dewan
Penasehat FKUB di tingkat kabupaten/kota?
Anggota Dewan Penasehat FKUB adalah para pejabat di
lingkungan pemerintah daerah yang ditetapkan oleh
bupati/walikota dengan susunan anggota sebagai berikut:

Ketua : wakil bupati/wakil walikota;


Wakil Ketua : kepala kantor kementerian agama
kabupaten/kota
Sekretaris : kepala badan kesatuan bangsa dan
politik kabupaten/kota;
Anggota : pimpinan instansi terkait, dengan
memperhatikan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Dengan demikian, pemuka agama tidak duduk dalam keanggotaan
Dewan Penasehat FKUB kabupaten/kota.
Apabila anggota Dewan Penasehat FKUB kabupaten/kota hendak
ikut menjadi calon dalam pemilihan kepala daerah/wakil kepala
daerah, anggota DPRD, DPR RI, dan DPD RI, ia harus
mengundurkan diri dari jabatan kepemerintahannya. Hal ini
dimaksudkan agar Dewan Penasehat FKUB kabupaten/kota tidak
disalahgunakan sebagai alai untuk memperoleh dukungan
masyarakat dalam suatu proses politik praktis di daerah. Dewan
Penasehat FKUB kabupaten/kota tidak boleh dijadikan sebagai
forum untuk tarik ulur kepentingan kelompok, melainkan hanya
untuk mengedepankan kepentingan kebangsaan Indonesia.
41. Bagaimana pola hubungan FKUB dengan Dewan
Penasehat FKUB?
FKUB dan Dewan Penasehat FKUB adalah dua struktur organisasi
yang terpisah namun kedua lembaga tersebut mempunyai
hubungan kemitraan.
42. Apa saja yang diatur oleh Peraturan Gubernur?
Yang diatur oleh Peraturan Gubernur mengenai FKUB dan Dewan
Penasehat FKUB baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota
antara lain adalah:
a. pengukuhan/pelantikan anggota FKUB dan Dewan Penasehat
FKUB;
b. masa kerja FKUB dan Dewan Penasehat FKUB;

Kerukunan Umat Beragama … | 199


c. penggantian antar waktu FKUB dan Dewan Penasehat FKUB
bila berhalangan tetap, pindah alamat, dan sebab-sebab lain
karena tidak mampu melaksanakan tugasnya;
d. tata administrasi umum dan keuangan FKUB dan Dewan
Penasehat FKUB; dan
e. prinsip dasar tata kelola FKUB yangselanjutnya diatur dalam
anggaran rumah tangga FKUB.
Dengan demikian, Peraturan Gubernur tidak boleh mengatur
mengenai persyaratan pendirian rumah ibadat.
Dalam hal implementasi ketentuan pendirian rumah ibadat
sebagaimana diatur dalam PBM ini dihadapkan pada tantangan
kondisi geografis atau demografis tertentu (misalnya pada
masyarakat atau pulau terpencil) atau alasan lain, Gubernur
melaporkan rancangan kebijakannya kepada Pemerintah
sebagaimana diatur di dalam Pasal 24.

BAB IV
PENDIRIAN RUMAH IBADAT

43. Apa yang menjadi dasar utama keinginan mendirikan


rumah ibadat?
Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan
sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi
pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah
kelurahan/desa. Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat
beragama di wilayah kelurahan/ desa sebagaimana dimaksud di
atas tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk
digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau
provinsi.
44. Apa yang dimaksud dengan keperluan nyata dan
sungguh-sungguh?
Keperluan nyata dan sungguh-sungguh adalah bila terdapat
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) pemeluk agama dewasa
(dengan KTP) di suatu wilayah kelurahan/desa atau kecamatan
atau kabupaten/kota atau provinsi.
45. Apa lagi yang harus dipertimbangkan bila
mendirikan rumah ibadat?
Pendirian rumah ibadat dilakukan dengan tetap menjaga
kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan
ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-
undangan.
46. Di kelurahan/desa manakah rumah ibadat itu
didirikan apabila pendirian suatu rumah ibadat

200 | Rif’atul Hasanah


didasarkan atas perhitungan pada tingkat kecamatan
atau kabupaten/kota atau provinsi?
Rumah ibadat itu didirikan di kelurahan/desa dimana terdapat
dukungan 60 (enam puluh) orang dewasa penduduk setempat.
47. Apa yang dimaksud persyaratan administrarif dan
persyaratan teknis bangunan gedung?
Persyaratan administratif adalah seperti surat keterangan
kepemilikian tanah dan lain-lain. Adapun persyaratan teknis
bangunan gedung adalah seperti persyaratan tata bangunan
gedung. Kedua tata persyaratan tersebut telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung.
48. Siapa sajakah yang boleh menjadi pendukung itu?
Penduduk setempat diluar yang 90 (Sembilan puluh) orang tanpa
memandang agama yang dianut.
49. Apabila persyaratan 90 (sembilan puluh) orang
terpenuhi dan dukungan 60 (enam puluh) orang sudah
terpenuhi, persyaratan apa lagi yang diperlukan?
Ada dua persyaratan lagi yaitu rekomendasi tertulis kepala kantor
kementerian agama kabupaten/kota dan rekomendasi tertulis
FKUB kabupaten/kota.
50. Apakah dukungan 60 (enam puluh) orang tersebut
bersifat mutlak?
Tidak. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 14 Ayat (3) bahwa
apabila dukungan itu tidak mencapai 60 (enam puluh) orang maka
pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi
pembangunan rumah ibadat.
51. Apakah ketentuan mengenai kedua rekomendasi
tersebut berlaku untuk seluruh provinsi?
Ya, kecuali untuk DKI Jakarta karena di DKI Jakarta IMB
diterbitkan oleh Gubernur maka rekomendasi-rekomendasi yang
diperlukan tersebut disesuaikan pada tingkat provinsi.
Rekomendasi FKUB provinsi DKI Jakarta diterbitkan setelah
mendapatkan pertimbangan dari FKUB kabupaten/kota.
Rekomendasi Kanwil Kementerian Agama Prov. DKI Jakarta
diterbitkan setelah mendapat pertimbangan dari Kantor Kemenag
kabupaten/kota.
Penerbitan rekomendasi FKUB Provinsi DKI Jakarta tidak perlu
menunggu penerbitan rekomendasi Kanwil Kementerian Agama
DKI Jakarta, dan sebaliknya.
52. Apa saja isi rekomendasi FKUB kabupaten/kota dan
rekomendasi kantor kementerian agama
kabupaten/kota; dan apakah penerbitan rekomendasi
FKUB kabupaten/kota harus menunggu terbitnya

Kerukunan Umat Beragama … | 201


rekomendasi kantor kementerian agama
kabupaten/kota?
Rekomendasi FKUB kabupaten/kota berisi pertimbangan
mendukung atau tidak mendukung serta catatan lainnya tentang
rencana pendirian rumah ibadat yang diusulkan. Demikian juga
rekomendasi kantor kementerian agama kabupaten/kota berisi
pertimbangan mendukung atau tidak mendukung serta catatan
lainnya tentang rencana pendirian rumah ibadat yang diusulkan.
Penerbitan rekomendasi FKUB kabupaten/kota tidak perlu
menunggu terbitnya rekomendasi kantor kementerian agama
kabupaten/kota, dan sebaliknya.
53. Bagaimana cara FKUB menerbitkan rekomendasi
itu?
Rekomendasi FKUB harus berbentuk tertulis yang merupakan
hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB. Prinsip
musyawarah mufakat ini tidak boleh disalahgunakan untuk
menghambat atau menggagalkan diterbitkannya suatu
rekomendasi sehingga umat beragama tidak mengalami kesulitan
dalam mendirikan rumah ibadat.
54. Siapa yang harus mengajukan permohonan
pendirian rumah ibadat?
Permohonan pendirian rumah ibadat diajukan oleh panitia
pembangunan rumah ibadat. Panitia pembangunan rumah ibadat
dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus
rumah ibadat.
Organisasi keagamaan atau majelis agama dapat bertindak sebagai
panitia untuk mengajukan permohonan IMB rumah ibadat.
55. Kepada siapa permohonan IMB rumah ibadat
diajukan?
Permohonan IMB rumah ibadat diajukan kepada bupati/walikota,
khusus untuk DKI Jakarta diajukan kepada Gubernur.
56. Berapa lama jangka waktu
bupati/walikota/Gubernur DKI Jakarta memberikan
keputusan terhadap permohonan IMB rumah ibadat?
Bupati/walikota/Gubernur DKI Jakarta mem- berikan keputusan
paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan
pendirian rumah ibadat diajukan. Penghitungan waktu 90
(sembilan puluh) hari dimulai pada saat panitia pembangunan
menyerahkan syarat-syarat yang lengkap kepada pemerintah
kabupaten/kota/Gubernur DKI Jakarta.
57. Tindakan apa yang harus dilakukan pemerintah
daerah terhadap bangunan rumah ibadat yang telah
memiliki IMB apabila terjadi perubahan tata ruang?

202 | Rif’atul Hasanah


Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru dan
segala kompensasi serta ganti rugi sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

BAB V
IZIN SEMENTARA PEMANFAATAN
BANGUNAN GEDUNG

58. Apakah suatu bangunan gedung yang bukan rumah


ibadat dapat difungsikan sebagai rumah ibadat
sementara?
Bangunan gedung bukan rumah ibadat, dapat digunakan sebagai
rumah ibadat sementara oleh kelompok umat beragama disuatu
wilayah, setelah memperoleh Surat Keterangan Pemberian Izin
Sementara Pemanfaatan Gedung dari Bupati/ Walikota/Gubernur
DKI Jakarta.
59. Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
memperoleh surat keterangan pemberian izin sementara
pemanfaatan bangunan gedung sebagai rumah ibadat?
Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah:
a. laik fungsi yang mengacu pada peraturan perundang-undangan
tentang bangunan gedung.
b. terpeliharanya kerukunan umat beragama serta ketenteraman
dan ketertiban masya- rakat dengan persyaratan meliputi:
1) izin tertulis pemilik bangunan;
2) rekomendasi tertulis lurah/kepala desa;
3) pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/ kota; dan
4) pelaporan tertulis kepada kepala kantor kementerian agama
kabupaten/kota.
Syarat-syarat tersebut pada huruf b bersifat kumulatif, sehingga
apabila salah satu diantaranya tidak terpenuhi, maka surat
keterangan pemberian izin sementara bangunan gedung sebagai
rumah ibadat, tidak dapat dipertimbangkan.
60. Apa dasar pertimbangan bupati/walikota untuk
menerbitkan Surat Keterangan Pemberian Izin
Sementara rumah ibadat?
Surat Keterangan Pemberian Izin Sementara pemanfaatan
bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat
diterbitkan bupati/ walikota setelah mempertimbangkan pendapat
tertulis kepala kantor kementerian agama dan FKUB
kabupaten/kota.
61. Berapa lama masa berlaku Surat Keterangan
Pemberian Izin Sementara tersebut?
Surat Keterangan Izin Sementara pemanfaatan bangunan gedung
bukan rumah ibadat tersebut berlaku paling lama 2 (dua) tahun.

Kerukunan Umat Beragama … | 203


Semangat dari pengaturan ini ialah bahwa umat beragama
diharapkan agar lebih cepat memiliki rumah ibadat permanen.

62. Bagaimana apabila masa 2 (dua) tahun telah


berakhir?
Pengguna bangunan gedung bukan rumah ibadat dapat
mengajukan kembali permohonan surat keterangan pemberian
izin sementara pemanfaatan gedung sebagai rumah ibadat sesuai
persyaratan dalam pasal 18 ayat (1), (2), dan (3).
Melalui pengajuan kembali permohonan surat keterangan
pemberian izin sementara ini, diharapkan terjadi komunikasi
antara pemerintah daerah dengan umat beragama pengguna
rumah ibadat tentang pendirian rumah ibadat yang permanen.
63. Apakah wewenang bupati/walikota/Gubernur DKI
Jakarta menerbitkan Surat Keterangan Izin Sementara
Pemanfaatan Bangunan Gedung bukan rumah ibadat itu,
dapat dilimpahkan kepada pejabat lain?
Penerbitan Surat Keterangan Izin Sementara Pemanfaatan
Bangunan Gedung bukan rumah ibadat yang difungsikan sebagai
rumah ibadat, dapat dilimpahkan kepada camat setelah
mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor kementerian
agama dan FKUB kabupaten/ kota setempat. Khusus untuk DKI
Jakarta gubernur dapat melimpahkan kepada pejabat di
bawahnya.

BAB VI
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
64. Apa yang dimaksud dengan perselisihan akibat
pendirian dan penggunaan rumah ibadat?
Yang dimaksud perselisihan akibat pendirian rumah ibadat ialah
perselisihan antara pihak panitia pendiri atau pengguna atau calon
pengguna rumah ibadat dengan pihak masyarakat setempat,
dengan pemerintah daerah, dengan kantor kementerian agama
kabupaten/kota atau dengan FKUB setempat dalam hal yang
berkaitan dengan izin dan persyaratan pendirian rumah ibadat,
ataupun penggunaan bangunan gedung bukan rumah ibadat yang
akan atau telah dipergunakan sebagai rumah ibadat. Perselisihan
juga dapat terjadi antar sesama pengguna rumah ibadat dank
arena ketidakpastian pelayanan pemerintah daerah.
65. Apa yang menyebabkan terjadinya perselisihan
tersebut?
Tindakan yang mengganggu ketenteraman dan ketertiban
masyarakat sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.

204 | Rif’atul Hasanah


66. Bagaimana proses penyelesaian perselisihan akibat
pendirian rumah ibadat?
a. Penyelesaian perselisihan akibat pendirian rumah ibadat harus
diselesaikan secara berjenjang diawali di tingkat
kelurahan/desa, kecamatan, dan terakhir tingkat
kabupaten/kota dengan mengedepankan prinsip musyawarah
yang difasilitasi oleh para pemuka masyarakat setempat
termasuk FKUB.
b. Dalam hal musyawarah penyelesaian perselisihan oleh
masyarakat setempat tidak tercapai maka penyelesaiannya
ditingkatkan kepada bupati/walikota yang dibantu oleh kepala
kantor kementerian agama dengan mempertimbangkan
pendapat/saran FKUB kabupaten/kota dan harus dilakukan
secara adil dan tidak memihak sehingga masing-masing pihak
yang berselisih tidak ada yang dirugikan. Pihak-pihak yang
berselisih dihadirkan bersama dengan pihak-pihak yang terkait.
Hasil keputusan musyawarah dituangkan dalam bentuk
kesepakatan tertulis yang ditandatangani para pihak yang
berselisih dan menjadi dokumen yang mengikat.
c. Jika penyelesaian perselisihan yang dilakukan oleh
bupati/walikota setempat tidak tercapai kesepakatan, barulah
penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan Negeri
setempat. Kepada Pengadilan Negeri hendaknya disampaikan
bukti-bukti dan dokumen berita acara yang telah dicapai pada
musyawarah penyelesaian perselisihan di tingkat-tingkat
sebelumnya.
Dengan demikian proses penyelesaian perselisihan pendirian atau
penggunaan rumah ibadat hendaknya dilakukan secara bertahap,
tidak secara langsung ke Pengadilan Negeri setempat demi untuk
menjaga semangat kebersamaan, ketenteraman dan ketertiban
masyarakat dalam kehidupan keagamaan.
67. Bagaimana kalau perselisihan itu terjadi dalam hal
penggunaan rumah ibadat?
Penyelesaian perselisihan penggunaan rumah ibadat ini sama
dengan proses penyelesaian perselisihan pendirian rumah ibadat.
68. Bagaimana tanggung jawab gubernur terhadap
penyelesaian perselisihan yang berkaitan dengan rumah
ibadat?
Gubernur atau melalui Wakil Gubernur bertanggung jawab
melaksanakan pembinaan yakni monitoring, pengarahan, dan
pengawasan terhadap bupati/walikota serta instansi terkait di
daerahnya dalam menyelesaikan perselisihan pendirian dan
penggunaan rumah ibadat agar berlaku secara adil dan tidak
memihak. Informasi mengenai pelaksanaan pembinaan itu
dituangkan antara lain dalam laporan sebagaimana dimaksud

Kerukunan Umat Beragama … | 205


pada pasal 24 PBM secara berkala dan sewaktu-waktu bila ada
masalah.

BAB VII
TENTANG PENGAWASAN DAN PELAPORAN

69. Apa saja substansi yang diawasi oleh gubernur di


wilayahnya?
Gubernur dibantu oleh kepala kantor wilayah kementerian agama
provinsi melakukan pengawasan terhadap bupati/walikota serta
instansi terkait di daerahnya atas pelaksanaan pemeliharaan
kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB, dan pendirian
rumah ibadat.
Termasuk dalam pengawasan ini adalah agar setiap
kabupaten/kota memiliki APBD yang memadai bagi terlaksananya
tugas bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 PBM,
yaitu:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat
termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama di kabupaten/kota;
b. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di
kabupaten/kota dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama;
c. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati, dan saling percaya di antara umat
beragama;
d. membina dan mengoordinasikan camat, lurah, atau
kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban
masyarakat dalam kehidupan beragama;
e. menerbitkan IMB rumah ibadat.
70. Apa saja substansi yang diawasi oleh bupati/ walikota
di wilayahnya?
Bupati/walikota dibantu oleh kepala kantor kementerian agama
kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap camat dan
lurah/kepala desa serta instansi terkait di daerahnya atas
pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama,
pemberdayaan FKUB, dan pendirian rumah ibadat.
Termasuk dalam pengawasan ini adalah memastikan bahwa
panitia anggaran pemerintah daerah kabupaten/kota
mengalokasikan APBD yang memadai, dan agar setiap satuan
kerja pemerintah daerah dan kecamatan melaksanakan tugas
bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 Ayat (1)
dengan dukungan APBD tersebut.

206 | Rif’atul Hasanah


71. Bagaimana mekanisme dan waktu pelaporan
gubernur atas pelaksanaan tugas dan tanggung
jawabnya?
Gubernur melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat
beragama, pemberdayaan FKUB dan pengaturan pendirian rumah
ibadat di provinsi.
 Laporan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Agama.
 Tembusan dikirim kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum
dan Keamanan, serta Menteri Koordinator Kesejahteraan
Rakyat.
 Laporan disampaikan setiap 6 (enam) bulan pada bulan Januari
dan Juli atau sewaktu-waktu jika dipandang perlu.
72. Bagaimana mekanisme dan waktu pelaporan
bupati/walikota atas pelaksanaan tugas dan tanggung
jawabnya?
Bupati/walikota melaporkan pelaksanaan pemeliharaan
kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pengaturan
pendirian rumah ibadat di kabupaten/kota.
 Laporan disampaikan kepada gubernur.
 Tembusan dikirim kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Agama.
 Laporan disampaikan setiap 6 (enam) bulan pada bulan Januari
dan Juli atau sewaktu-waktu jika dipandang perlu.

BAB VIII
BELANJA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN TERHADAP
PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA SERTA
PEMBERDAYAAN FKUB

73. Dari mana anggaran belanja pembinaan dan


pengawasan terhadap pemeliharaan kerukunan umat
beragama serta pemberdayaan FKUB?
Anggaran belanja pembinaan dan pengawasan terhadap
pemeliharaan kerukunan umat beragama serta pemberdayaan
FKUB ditentukan sebagai berikut:
a. di tingkat nasional didanai dari dan atas beban APBN;
b. di tingkat provinsi didanai dari dan atas beban APBD provinsi;
dan
c. di tingkat kabupaten/kota didanai dari dan atas beban APBD
kabupaten/kota.
APBD provinsi dan kabupaten/kota yang dialokasikanuntuk
pelaksanaan tugas gubernur dan bupati/walikota sebagaimana

Kerukunan Umat Beragama … | 207


dimaksud Pasal 5 dan Pasal 6 PBM ini, selain dialokasikan kepada
satuan kerja pemerintah daerah yang terkait, juga dialokasikan
secara langsung kepada FKUB sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

74. Kapan batas akhir pembentukan FKUB dan Dewan


Penasehat FKUB di provinsi dan kabupaten/kota?
FKUB dan Dewan Penasehat FKUB di provinsi dan
kabupaten/kota dibentuk paling lambat tanggal 21 Maret 2007.
Dari waktu ke waktu Kementerian Agama RI dan Kementerian
Dalam Negeri RI memonitor provinsi dan kabupaten/kota yang
telah atau belum membentuk FKUB dan Dewan Penasehat FKUB,
serta mendorong dan memfasilitasi percepatan pembentukan dan
pemberdayaannya.
75. Bagaimana dengan FKUB atau forum sejenis yang
sudah dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota sebelum
berlakunya Peraturan Bersama Menteri ini?
FKUB atau forum sejenis yang sudah dibentuk di provinsi dan
kabupaten/kota disesuaikan dengan Peraturan Bersama Menteri
ini paling lambat tanggal 21 Maret 2007.
76. Bagaimana status izin bangunan gedung rumah
ibadat yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah
sebelum berlakunya Peraturan Bersama Menteri ini?
Izin bangunan gedung rumah ibadat yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah sebelum berlakunya Peraturan Bersama
Menteri ini dinyatakan sah dan tetap berlaku.
77. Bagaimana proses renovasi bangunan gedung rumah
ibadat yang telah mempunyai IMB rumah ibadat?
Renovasi bangunan gedung rumah ibadat yang telah mempunyai
IMB rumah ibadat, diproses sesuai dengan ketentuan IMB yang
mengacu pada peraturan perundang-undangan, sepanjang tidak
terjadi pemindahan lokasi. Jika tidak terjadi pemindahan lokasi,
proses pengajuan IMB dilakukan tanpa mengacu pada Pasal 14
Ayat (2). Jika terjadi pemindahan lokasi, maka pengajuan IMB
rumah ibadat diproses sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Ayat (1)
dan (2).
78. Bagaimana apabila bangunan gedung rumah ibadat
yang telah digunakan secara permanen dan/atau
memiliki nilai sejarah tetapi belum memiliki IMB rumah
ibadat sebelum berlakunya PBM ini?

208 | Rif’atul Hasanah


Bupati/walikota membantu memfasilitasi kemudahan penerbitan
IMB untuk rumah ibadat dimaksud namun pihak pengguna
bangunan rumah ibadat tetap harus mengurus IMB rumah ibadat.
Kebijakan bupati/walikota dalam membantu memfasilitasi
kemudahan penerbitan IMB tersebut dilakukan tanpa mengacu
pada Pasal 14 Ayat (2), setelah memastikan keterangan tentang
penggunaannya secara permanen dan/atau memiliki nilai sejarah
melalui pengecekan secara langsung terhadap keberadaan dan
penggunaan bangunan rumah ibadat tersebut. jika hasil
pengecekan langsung itu tidak sesuai dengan yang dilaporkan
maka pengajuan IMB rumah ibadat mengacu pada Pasal 14 Ayat
(1) dan (2).
79. Bagaimana status peraturan perundang-undangan
yang mengatur pendirian rumah ibadat yang telah
ditetapkan pemerintah daerah, sebelum keluarnya
Peraturan Bersama Menteri ini?
Peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah daerah, sebelum keluarnya Peraturan Bersama
Menteri ini, wajib disesuaikan dengan Peraturan Bersama Menteri
ini paling lambat tanggal 21 Maret 2008.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

80. Bagaimana kedudukan Surat Keputusan Bersama


(SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor
01/BER/MDN-MAG/ 1969 setelah Peraturan Bersama
Menteri ini diberlakukan?
Setelah Peraturan Bersama Menteri ini diberlakukan maka SKB
Nomor 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas
Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan
Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh
Pemeluk-pemeluknya, khusus mengenai ketentuan yang mengatur
pendirian rumah ibadat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
81. Kapan Peraturan Bersama Menteri ini diberlakukan?
Peraturan Bersama Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal 21 Maret
2006.

Kerukunan Umat Beragama … | 209


KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI
NO. 01/BER/MDN-MAG/1969

TENTANG

PELAKSANAAN TUGAS APARATUR PEMERINTAHAN


DALAM MENJAMIN KETERTIBAN DAN KELANCARAN
PELAKSANAAN PENGEMBANGAN DAN IBADAT AGAMA
OLEH PEMELUK-PEMELUKNYA
MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI

Menimbang : 1. bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap


penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaan itu;
2. bahwa Pemerintah mempunyai tugas untuk
memberikan bimbingan dan bantuan guna
memperlancar usaha mengembangkan agama
sesuai dengan ajaran agama masing-masing dan
melakukan pengawasan sedemikian rupa, agar
setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran
agama dan dalam usaha mengembangkan agama
itu dapat berjalan dengan lancar, tertip dan dalam
suasana kerukunan
3. bahwa Pemerintah berkewadjiban melindungi
setiap usaha pengembangan agama dan
pelaksanaan ibadat pemeluk- pemeluknya,
sepanjang kegiatan-kegiatan tersebut tidak
bertentangan dengan hukum yang berlaku dan
tidak mengganggu keamanan dan ketertiban
umum;
4. bahwa untuk itu, perlu diadakan ketentuan-
ketentuan mengenai pelaksanaan tugas aparatur
Pemerintah dalam menjamin ketertiban dan
kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadat
agama oleh pemelukn-pemeluknya.

Mengingat: 1. Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 29 Undang-Undang


Dasar 1945;
2. Ketetapan MPRS Nomor XXVII/RS/1966;
3. Undang-undang Nomor 18 tahun 1965;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1956;
5. Keputusan Presiden R.I. Nomor 319 tahun 1968.

210 | Rif’atul Hasanah


MEMUTUSKAN

Menetapkan: KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN


MENTERI DALAM NEGERI TENTANG
PELAKSANAAN TUGAS APARATUR
PEMERINTAHAN DALAM MENJAMIN
KETERTIBAN DAN KELANCARAN PELAKSANAAN
PENGEMBANGAN DAN IBADAT AGAMA OLEH
PEMELUK-PEMELUKNYA.

Pasal 1
Kepala Daerah memberikan kesempatan kepada setiap usaha
penyebaran agama dan pelaksanaan ibadat oleh pemeluk-
pemeluknya, sepanjang kegiatan tersebut tidak bertentangan
dengan hukum yang berlaku dan tidak menganggu ketertiban
umum.
Pasal 2
(1) Kepala Daerah membimbing dan mengawasi agar pelaksanaan
penyebaran agama dan ibadat oleh pemeluk-pemeluknya
tersebut:
a. tidak menimbulkan perpecahan diantara umat beragama;
b. tidak disertai dengan intimidasi, bujukan, paksaan atau
ancaman dalam segala bentuknya;
c. tidak melanggar hukum serta keamanan dan ketertiban
umum.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya tersebut pada ayat (1) pasal ini,
Kepala Daerah dibantu dan menggunakan alat Kepala
Perwakilan Departemen Agama setempat.

Pasal 3
(1) Kepala Perwakilan Departemen Agama memberikan
bimbingan, pengarahan dan pengawasan terhadap mereka
yang memberikan penerangan/penyuluhan/ceramah
agama/khotbah-khotbah dirumah-rumah ibadat, yang sifatnya
menuju kepada persatuan antara semua golongan masyarakat
dan saling pengertian antara pemeluk-pemeluk agama yang
berbeda-beda.
(2) Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat berusaha agar
penerangan agama yang diberikan oleh siapa pun tidak bersifat
menyerang atau menjelekkan agama lain.

Pasal 4
(1) Setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapatkan ijin dari
Kepala Daerah atau pejabat pemerintahan dibawahnya yang
dikuasakan untuk itu.

Kerukunan Umat Beragama … | 211


(2) Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini memberikan ijin yang dimaksud, setelah
mempertimbangkan:
a. pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat;
b. Planologi;
c. kondisi dan keadaan setempat.
(3) Apabila dianggap perlu, Kepala Daerah atau pejabat yang
ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari organisasi-
organsasi keagamaan dan ulama/rokhaniawan setempat.

Pasal 5
(1) Jika timbul perselisihan atau pertentangan antara pemeluk-
pemeluk agama yang disebabkan karena kegiatan
penyebaran/penerangan/penyuluhan/ceramah/khotbah agama
atau pendirian rumah ibadat, maka Kepala Daerah segera
mengadakan penyelesaian yang adil dan tidak memihak.
(2) Dalam hal perselisihan/pertentangan tersebut menimbulkan
tindakan pidana, maka penyelesaiannya harus diserahkan
kepada alat-alat penegak hukum yang berwenang dan
diselesaikan berdasarkan hukum.
(3) Masalah-masalah keagamaan lainnya yang timbul dan
diselesaikan oleh Kepala Perwakilan Departemen Agama
segera dilaporkannya kepada Kepala Daerah setempat.

Pasal 6
Keputusan bersama ini mulai berlaku pada hari ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 13 september 1969

MENTERI AGAMA MENTERI DALAM NEGERI


Cap/ttd Cap/ttd

KH. MOH. DAHLAN AMIR MACHMUD

212 | Rif’atul Hasanah


BIOGRAFI PENULIS

enulis bernama Rif’atul Hasanah. Lahir di Jakarta, 07

P
Juni 1987. Jenjang pendidikan formal penulis dimulai
dari tahun 1993 sampai 1999 di SDN 01 Sudimara
Timur Ciledug Tangerang. Setamat Sekolah Dasar, ia
melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren
Darunnajah Ulujami Jakarta Selatan. Di Pondok
tersebut, ia menghabiskan waktu untuk belajar bahasa Arab dan
Inggris juga menguatkan pelajaran agama. Semasa tinggal di Pondok
Pesantren, ia aktif di kegiatan kepramukaan dan pernah menjadi
salah satu utusan untuk menjadi peserta Australian Jambore di
Adelaide, Australia pada tahun 2004. Ia melanjutkan jenjang
pendidikan tingginya di Universitas Islam Negeri Jakarta dengan
Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) pada tahun 2005 sampai 2009.
Penulis pernah ikut aktif dalam keorganisasian Badan Eksekutif
Mahasiswa Jurusan (BEMJ) PAI selaku anggota di Bagian Penelitian
dan Pengembangan Jurusan.
Pada saat menyelesaikan skripsi, ia sudah mulai bekerja
sebagai guru di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 09 Pesanggrahan
Jakarta Selatan. Setelah resmi menyandang gelar S.Pd.I, ia mengajar di
Madrasah Tsanawiyah (MTs) Nurul Falah Jakarta Selatan sampai
sekarang. Selain mengajar, ia juga aktif di Lembaga Pengembangan
Sumber Daya Pendidikan (LPSDP) menjabat sebagai Kepala Bagian
Pengembangan Organisasi dan Anggota. Di sela-sela berorganisasi dan
mengajar, ia masih terus belajar di lembaga pendidikan non-formal
yaitu di Lembaga Bahasa Ilmu Al-Qur’an (LBIQ) dan Sibernatika
Jakarta. Pada tahun 2010, anak bungsu dari empat bersaudara ini
meneruskan pendidikannya ke jenjang Strata II dan tetap di Kampus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Konsentrasi Agama dan Studi
Perdamaian.

Kerukunan Umat Beragama … | 213

Anda mungkin juga menyukai