Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Bimas Islam Vol 16 No.

2
Website: jurnalbimasislam.kemenag.go.id/index.php/jbi
ISSN 2657-1188 (online) ISSN 1978-9009 (print)

Paradigma Islam Nusantara sebagai pondasi moderasi beragama di


Indonesia abad-21 (studi sosiohistoris)

The Islam Nusantara Paradigm as a foundation of religious moderatic In


Indonesia in the 21st Century (a study of sociohistory)

Fahmi Irhamsyah
Mahasiswa S3 Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia
Dosen STIT Fatahillah Bogor
fahmiirhamsyah@stitfatahillah.ac.id

Umasih
Associate Professor Universitas Negeri Jakarta
umasih@unj.ac.id
_________________________

Abstrak (Palatino Linotype 10, ditebalkan)


Abstrak ditulis secara ringkas dan faktual, meliputi tujuan penelitian, metode penelitian, hasil dan
simpulan. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris, panjang abstrak berkisar antara 150 - 250
kata dalam satu paragraf, huruf Palatino Linotype 10.

Kata Kunci:
Kata 1; kata 2; kata 3; kata 4; kata 5.

__________________________

Abstract
Abstract is written concisely and factually, includes the purpose of research, the method of research, the
result and conclusion of research. Abstract is written in English and Indonesian language, in account
between 150 – 250 words in one paragraph, font Palatino Linotype 10.

Keywords:
Word 1; word 2; word 3; word 4; word 5.
__________________________

A.
Henky H Hetharia dan Samuel J Mailoa Peran Institusi Keagamaan di Maluku dalam Upaya
Pemberantasan Korupsi

B. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman suku, budaya dan
agama. Jumlah penduduk Indonesia pada sensus terakhir tahun 2021 adalah 273, 8 juta
jiwa (BPS, 2021) jumlah ini hampir sama dengan gabungan 24 negara Arab yang
menyentuh sekitar 300 juta jiwa. Jumlah masyarakat Indonesia yang sangat banyak ini
semakin berwarna dengan banyaknya ragam budaya, suku dan agama di Indonesia.
Oleh karena itu sejak dahulu para pendiri bangsa memikirkan tentang bagaimana
membentuk persatuan dan kesatuan dalam keragaman yang ada sehingga
ditemukanlah symbol pemersatu bangsa yaitu tagline Bhineka Tunggal Ika dan
Pancasila.
Islam sebagai agama mayoritas yang dianut oleh masyakarat Indonesia memiliki
andil besar dalam gerak sosiohistoris bangsa Indonesia. Jumlah pemeluk agama Islam
di Indonesia pada tahun 2021 menunjukkan angka 229,62 juta jiwa (Kemenag RI, 2021).
Potensi yang luar biasa besar ini perlu diikat oleh satu pemahaman yang moderat
dalam melihat keberagaman masyarakat sehingga para ulama sejak zaman sebelum
kemerdekaan telah memilih jalan tengah (wasatiyah) dalam paradigma dan pemikiran
agama serta aktivitas keberagaman muslimin di Indonesia.
Derasnya arus informasi di era globalisasi sejak memasuki abad-21 membentuk
satu konsep “perang”jenis baru yaitu Asymmetric Warfare dimana negara dapat
berhadapan dengan kekuatan tidak berimbang ; non state. Galula dalam
Counterinsurgency warfare : Theory and practice menjelaskan tentang asymmetric warfare
dalam konteks ketahanan nasional suatu bangsa. Ia menjelaskan bahwa kini konsep
gerilya, terorisme dan kontraterorisme telah mengalami pergeseran sejak Amerika
Serikat dan banyak negara barat mulai menerapkan counterinsurgency warfare selama
perang dingin.
Galula menjelaskan bahwa pikiran, penarikan simpati, upaya memenangkan
hati dan pikiran masyakarat adalah salah satu bentuk paling efektif dalam membentuk
“senjata” jenis baru (David Galula, 1964). Sebuah pemberontakan aksi terorisme dapat
terjadi setelah melewati empat tahap penting, yaitu : Isolasi, kontrol, Ekskalasi dan
penghancuran. Maka upaya menghindari penghancuran dapat dilakukan dengan
menghindari dan memperpendek tahap Isolasi, Kontrol dan Ekskalasi. Diantara cara
paling efektif melakukan hal tersebut adalah dengan memenangkan hati dan pikiran
masyakarat.
Indonesia beberapa tahun belakangan cukup disibukkan dengan isu-isu
radikalisme dan aksi-aksi intoleran yang justru digerakkan oleh kekuatan non state
seperti media sosial yang berpotensi menggerakkan masyarakat ke arah yang
diinginkan oleh sang pembuat isu.
Isu-isu kontraproduktif ini justru keluar dengan deras disaat mulai banyak
bermunculan generasi Z dan generasi Alfa sebagai bagian dari bonus demografi, jika
isu-isu yang digerakkan oleh kekuatan non-state ini tidak dibendung, maka alih-alih
menjadi bonus demografi, potensi besar generasi Z dan alfa yang mulai menduduki

2
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 1 (2017): 1-20
Henky H Hetharia dan Samuel J Mailoa Peran Institusi Keagamaan di Maluku dalam Upaya
Pemberantasan Korupsi

jumlah mayoritas dalam demografi Indonesia justru berpotensi menjadi bencana


demografi.
Ummat Islam perlu membantu pemerintah dalam rangka mencari alternatif isu
untuk memenangkan hati dan pikiran masyarakat Indonesia, khususnya Ummat Islam,
oleh karenanya MUI mengkampanyekan Islam Wasathiyah, Muhammadiyah
mengkampanyekan Islam berkemajuan, dan Nahdlatul Ulama mengkampanyekan
Islam Nusantara.
Penelitian ini akan berfokus pada tinjauan tentang bagaimana paradigma Islam
Nusantara dapat dijadikan alternatif diskursus dalam kerangka berpikir moderasi
agama sehingga upaya pemerintah untuk melakukan deradikalisasi dan kampanye
anti pemahaman intoleran dapat lebih efektif sehingga keinginan bersama seluruh
elemen bangsa untuk mewujudkan kerukunan antar ummat beragama dapat terwujud
sehingga upaya-upaya radikalisme dapat terminimalisir.
Studi yang digunakan dalam riset ini adalah penelitian kualitatif dengan studi
literatur. Pendekatakan dalam penelitian ini adalah pendekatan multidisiplin,
khususnya Sosiologi dan Sejarah. Pisau analisis Sosiologi akan sangat bermanfaat
untuk melihat fenomena sosial di masyarakat, pola hubungan antar masyarakat serta
pola hubungan masyarakat dengan negara. Sedangkan Ilmu Sejarah sangat bermanfaat
dalam menggali data historis untuk memperkuat konvergensi sosio-culture antar
masyarakat Indonesia yang sejatinya telah terbentuk jauh sebelum Indonesia merdeka.
Pola penulisan dalam penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan pendekatan
Diakronik dan sinkronik.
Paradigma Islam Nusantara digunakan untuk menggali nilai-nilai khazanah
Islam dari dalam Sejarah Peradaban Islam Indonesia sehingga bertemu benang merah
peradaban masa lalu dengan masa kini. Realitas ini akan peneliti jadikan satu model
alternatif untuk memperkuat isu moderasi beragama, sehingga moderasi beragama
memiliki framework yang sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan berdasarkan fakta
sejarah dan kondisi bangsa. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi positif
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan memperkuat Implementasi moderasi
beragama di kalangan masyarakat Indonesia.
Penelitian ini akan menjawab dua rumusan masalah inti dari tema “Paradigma
Islam Nusantara sebagai pondasi moderasi beragama di Indonesia abad-21 (studi
sosiohistoris).” Pertama, bagaimana diskursus Islam Nusantara dapat menjadi sebuah
pendekatan dan kajian akademik? Kedua, bagaimana framework Moderasi Beragama
dalam bingkai paradigma Islam Nusantara dapat dijadikan model alternatif untuk
memenangkan hati dan pikiran masyarakat Indonesia?

C. Hasil dan Pembahasan


Sejarah sebagai sebuah ilmu memiliki dimensi masa lalu, masa kini dan
kemampuan untuk menganalisis masa depan. Dengan pemahaman sejarah yang baik,

3
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 (Januari 2016): 1-17
Henky H Hetharia dan Samuel J Mailoa Peran Institusi Keagamaan di Maluku dalam Upaya
Pemberantasan Korupsi

maka masa lalu akan selalu aktual untuk dikaji, diteliti dan dimanfaatkan dalam rangka
membuat proyeksi serta kebijakan masa kini bahkan masa depan.

Islam Nusantara Sebagai sebuah Kajian Akademik


Salah satu fakta sejarah intelektual penting dalam perjalanan dan perkembangan
ilmu pengetahuan di Indonesia adalah munculnya konsep Islam Nusantara. Islam
Nusantara mulai menjadi perbincangan hangat sejak diangkat menjadi sebuah tema
muktamar Nahdlatul Ulama ke-XXXIII tahun 2015 di Jombang Jawa Timur 1. Sejak saat
itu hingga hari ini diskursus mengenai Islam Nusantara antara para cendikiawan,
akademisi, pemuka agama, ormas Islam atau sekedar obrolan warung kopi terus
terjadi.
Secara historis, konseptualisasi Islam Nusantara sejatinya telah dikemukakan
oleh beberapa Intelekual seperti KH. Abdurrahman Wahid atau Gusdur yang
memperkenalkan konsep Pribumisasi Islam, kemudian Azyumardi Azra yang menulis
buku Islam Nusantara : Jaringan global dan lokal pada tahun 2002, namun memang
gaung Islam Nusantara terasa besar saat diusung oleh Nahdlatul Ulama sebagai Ormas
Islam Terbesar di muka bumi pada tahun 2015.
Meski Konseptualiasi Islam Nusantara terasa baru, namun sejatinya perjalanan
Islam Nusantara telah berlangsung sejak Islam masuk ke bumi nusantara itu sendiri.
Sebagaimana disampaikan Lukman Hakim Syaifudin bahwasanya Islam Nusantara
adalah nilai-nilai Islam yang diimplementasikan di bumi nusantara dan sudah sangat
lama dipraktekkan oleh para pendahulu kita dengan jalan dakwah yang santun, damai,
moderat dan penuh toleransi. 2 KH. Ma’ruf Amin juga menyatakan bahwa Islam
Nusantara memiliki tiga pilar penting yaitu Pemikiran (Fikrah), Gerakan (harakah) dan
Tindakan nyata (amaliyah) yang ditandai dengan Islahiyah, Tawazuniyah, Akhlaqiyah dan
Tasamuh.3
Nilai-nilai dan narasi tersebut lalu dikonsepsikan menjadi satu istilah “Islam
Nusantara”. Dalam ilmu sejarah narasi terbagi atas dua dimensi. Pertama, narasi
ahistoris, narasi ini terbangun dari penuturan orang-orang terdahulu yang diwariskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya, dalam ilmu sejarah narasi ini sering
diistilahkan dengan sebutan folklore4. Narasi ini bisa saja bermuatan kisah-kisah yang
bercerita tentang kebaikan-kebaikan atas pengalaman hidup orang-orang terdahulu,
namun karena sifatnya yang ahistoris dan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah maka
biasanya tidak dibukukan sehingga tidak layak dijadikan sebagai kajian akademik.
Kedua, narasi historis, narasi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya,
meskipun disampaikan dengan pola oral history atau sejarah lisan dari generasi ke
generasi, namun siapa yang berbicara, apa yang dibicarakan, disampaikan kepada

1
Ahmad Suaedy, Pengantar nomor perdana Nahdlatul Islam Nusantara (Jakarta : Jurnal Islam Nusantara Vol 1 No.
1, Juli, 2020) hal. 1
2
Zainul Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara (Tangerang : Pustaka Compass, 2016) hal.xix
3
Ibid.,
4
Asbol bin Haji Mail, Imej Telur dan Ayam dalam Masyarakat Melayu Brunei: Hubungannya dengan Folklor dan
Sejarah (Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015) hal. 19
4
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 1 (2017): 1-20
Henky H Hetharia dan Samuel J Mailoa Peran Institusi Keagamaan di Maluku dalam Upaya
Pemberantasan Korupsi

siapa, siapa saksi dan seluruh perangkat yang berfungsi untuk memvalidasi narasi
tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dalam penelitian sejarah proses ini disebut proses kritik (internal-eksternal) dan
verifikasi. Islam memiliki tradisi ilmu yang lebih tua dalam memvalidasi ajaran agama,
yaitu sanad. Keberadaan Sanad dalam agama Islam yang membuat agama ini sangat
ilmiah karena tidak semua orang bisa berbicara tanpa ilmu dalam urusan agama. Isnad
Paradigm dalam kajian Islam Nusantara telah membuktikan bahwa Islam Nusantara
bukan sekedar narasi ahistoris, atau bahkan sekedar wacana politik, keberadaan sanad
memperjelas bahwa karakter khas Islam di nusantara memiliki keunikan.

Proses Sosio-Historis Islam Nusantara


Islam nusantara terbentuk jauh sebelum muktamar Nahdlatul Ulama ke-XXXIII
tahun 2015, Islam di nusantara telah terpengaruh budaya maritim yang terbuka dan
kosmopolit akibat keberadaan Jalur rempah dan Jalur Sutera. Hal ini menyebabkan
masyarakat nusantara yang maritim lebih mudah menerima perbedaan karena terbiasa
menjadi masyarakat global dan open mind.
Pada sisi yang lain, Islam juga diterima oleh masyarakat agraria di pedalaman
nusantara yang “jarang” bersentuhan dengan masyarakat luas dan kehidupannya
sangat bergantung pada alam. Hal ini menurut Kuntowijoyo menyebabkan karakter
Islam di wilayah agraris cenderung dekat dengan budaya mistis 5. Maka Islam di
nusantara bersentuhan dengan masyarakat yang kosmopolit di satu sisi, dan
masyarakat yang dekat dengan mistis di sisi yang lain.
Faktor geografi historis ini sedikit banyak menciptakan budaya Islam Nusantara
yang berbeda dengan Islam di Arab, Mengapa? Karena Islam meskipun masuk melalui
jalur maritim, namun perkembangan Islam di nusantara justru bermula di desa-desa
dan pedalaman yang agraris. Sampainya Islam di wilayah pedalaman ini menurut Azra
dipengaruhi oleh peripatetic teacher yaitu para ulama yang juga gemar mengembara dari
satu wilayah ke wilayah lain.
Keberhasilan da’wah di pedalaman ini ditandai dengan banyak bermunculan
pesantren-pesantren sebagai bentuk pendidikan khas Islam Nusantara. Menurut Agus
Sunyoto dalam simposium Islam Nusantara di PBNU tahun 2020, pesantren adalah
pola pendidikan khas Islam Nusantara yang diadopsi dan dimodifikasi dari sistem
dukuh yang telah berlangsung sejak lama. Pada titik ini juga menurut Azyumardi Azra
terjadi proses vernakularisasi saat para ulama berhadap-hadapan dengan masyarakat
desa yang tidak se-open mind masyarakat maritim.
Hasil vernakularisasi yang masih dapat dilacak misalnya dengan melihat
beberapa kata dalam Bahasa Arab yang sangat khas dengan istilah nusantara dan tidak
ditemukan pada wilayah lain semisal “Sembahyang” untuk menyebutkan istilah
Sholat, atau “lebaran” untuk menyebutkan istilah “Iedul fitri/iedul Adha”.
Pada titik ini nampak kecerdasan para ulama, wali songo dan da’i-da’i nusantara
lainnya pada masa itu dalam berda’wah. Mereka memilih berkompromi dan

5
Kuntowijoyo, Dinamika sejarah Ummat Islam Indonesia (Yogjakarta : Shalahudin Press, 1995) hal. 132

5
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 (Januari 2016): 1-17
Henky H Hetharia dan Samuel J Mailoa Peran Institusi Keagamaan di Maluku dalam Upaya
Pemberantasan Korupsi

berdialektika dengan budaya masyarakat setempat. Keadaan ini membuat banyak


ijtihad para wali songo dan para ulama yang pada akhirnya menyebabkan satu
karakter unik dari wajah Islam Nusantara itu sendiri yang mengandung ciri-ciri dan
prinsip-prinsip Toleran (Tasamuh), Moderat (Tawassuth), tengah-tengah (I’tidal) dan
berimbang (Tawazun).6
Karakter Islam ini juga muncul disebabkan oleh proses masuknya Islam di
nusantara yang tidak melalui perang. Menurut Velkke dalam Suaedy, Islam masuk ke
Nusantara yang Ketika itu didominasi oleh pengaruh Hindu-Budha dalam Imperium
Majapahit dan Sriwijaya tidak melalui kekerasan dan peperangan, melainkan saling
serap dan damai.7

Cakupan Ilmu dalam kajian Islam Nusantara


Rute perjalanan Islam nusantara sebagai sebuah kajian akademik layaknya
proses Renaissance yang berlangsung kurang lebih 3 abad antara abad ke-14 hingga
abad ke-17. Renaissance dalam kamus brittanica bermakna period in European civilization
immediately following the Middle Ages and conventionally held to have been characterized by a
surge of interest in Classical scholarship and values.8
Minat untuk “kelahiran” kembali satu sistem ilmu tentang masyarakat Eropa di
masa kejayaan mereka (Yunani dan Romawi) mendorong banyak sarjana barat untuk
memaknai kembali peradaban mereka, mereka mengkaji kembali karya-karya besar
para pemikir mereka terdahulu untuk mengkonsepsikan kembali peradaban dalam
rangka membangkitkan kembali tradisi ilmiah dan nilai-nilai kemanusiaan yang
dianggap paling sesuai bagi peradaban barat.
Islam Nusantara tentu berbeda dengan Renaissance dari sisi substansi,
Renaissance yang erat dengan sekularistik dan cenderung mengabaikan nilai-nilai
ketuhanan, berbeda dengan proses kajian Islam Nusantara. Dalam wilayah kajian Islam
Nusantara pemaknaan kembali peradaban erat dengan nilai-nilai spiritualitas dan nilai-
nilai ketauhidan.
Nilai-nilai spiritualitas dan ketuhidan ini membuktikan bahwa Islam Nusantara
bukanlah suatu kajian akdemik yang bertentangan dengan Islam itu sendiri
sebagaimana beberapa kalangan salah kaprah terhadap konsepsi ini. Sebaliknya Islam
nusantara justru memperhatikan nilai-nilai Ilahiah yang tercantum dalam Qur’an
maupun hadist serta bagaimana warisan intelektual tercipta melalui sejarah Islam
klasik (turats) kitab-kitab klasik, nilai-nilai tradisi dan peradaban masyarakat muslim di
Nusantara.
Oleh karenanya, kajian akademik dalam Islam nusantara bersifat multidimensi.
Pisau analisis Filsafat dapat dimanfaatkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
mendasar sebagai titik tolak kajian sehingga pemaknaan ontologis, epistimologis dan
ideografis dapat dijabarkan dengan sistematis. Sedangkan Ilmu Sejarah bermanfaat

6
Ahmad suaedy., Loc.cit., hal. 4
7
Ahmad suaedy., Op.cit., hal. 5
8
https://www.britannica.com/event/Renaissance diakses pada tanggal 17 Januari 2023 pukul 07.55
6
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 1 (2017): 1-20
Henky H Hetharia dan Samuel J Mailoa Peran Institusi Keagamaan di Maluku dalam Upaya
Pemberantasan Korupsi

untuk membantu proses pencarian data (Heuristik), kritik data dalam rangka
menemukan otentifikasi data (kritik ekstern) keabsahan dan relevansi data dengan
topik kajian (kritik intern). Ilmu sejarah juga bermanfaat untuk membantu
menginterpretasi data serta menuliskannya (historiografi). Selain Ilmu sejarah, bidang
kajian kesusastraan ataupun filologi tentu sangat dibutuhkan dalam menganalisis dan
menginterpretasi teks.
Apakah hanya Filsafat, Sejarah dan Filologi saja? Tentu tidak, kajian Islam
Nusantara yang bersifat multidimensi dan multidisiplin dapat mengadopsi pola
interaksi lintas batas ilmu sosial yang digagas oleh Immanuel Wallerstein, maka bidang
ilmu sosial lain seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik, serta bidang kajian sosial
lainnya dapat digunakan sebagai alat bantu.
Framework Islam Nusantara sebagai pondasi moderasi beragama
Dalam mengkampanyekan Moderasi Beragama khususnya di kalangan Ummat
Islam, peneliti memandang bahwa pemerintah perlu memetakan dua tantangan
penting. Pertama tantangan Internal, yaitu keadaan masyarakat muslim Indonesia.
Hasil penelitian menujukkan bahwa saat ini masyarakat Islam Indonesia telah
kehilangan kosmopolitanisme Islam.
Terlalu lama “memunggungi lautan” cukup mempengaruhi karakter keislaman
masyarakat yang awalnya sangat fluid menjadi kaku. Pada titik ini pemerintah
membutuhkan “tools” untuk memecah kekakuan mindset masyarakat muslim
Indonesia. mengembalikan paradigma bangsa dengan isu Indonesia sebagai poros
maritim dunia sejatinya salah satu hal yang dapat ditempuh, namun konsep ini perlu
didukung oleh semua pihak termasuk Ummat Islam.
Kementerian Agama perlu mengkaji dengan serius bagaimana agar paradigma
“Kembali ke laut” ini juga menjadi alur berpikir yang memecah kekakuan. Jiwa
kosmopolit masyarakat Indonesia perlu dikembalikan dengan mengembangkan
konsepsi tentang Islam dan kemaritiman, sehingga terjadi konvergensi dengan isu
poros maritim dunia yang telah lebih dulu muncul.
Kedua, tantangan global. Konsep moderasi beragama harus siap bersentuhan
dengan globalisasi dimana Islam belum menjadi isu yang menarik dan arus utama.
Dalam sejarah intelektual, suatu pemahaman dapat bertahan dan menjadi arus pikiran
dunia apabila telah “berbenturan, bersentuhan dan bersinggungan” dengan dunia.
Moderasi beragama perlu menemukan narasi universal seperti narasi
kemanusiaan, peradamaian. Konsep-konsep dasar Islam dan kemanusiaan
Humanitarian Islam, Islam dan perdamaian serta isu-isu lain perlu dibuatkan narasinya,
karena sejatinya hal tersebut merupakan bagian dari pengejawantahan Islam sebagai
Rahmatan lil’alamin.
Untuk mempermudah hasil penelitian ini, peneliti akan menampilkan bentuk
framework tentang Islam Nusantara sebagai pondasi Moderasi Beragama :

7
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 (Januari 2016): 1-17
Henky H Hetharia dan Samuel J Mailoa Peran Institusi Keagamaan di Maluku dalam Upaya
Pemberantasan Korupsi

Bagian ini terdiri dari hasil penelitian dan bagaimana tema itu dibahas. Hasil yang
diperoleh dari penelitian harus didukung oleh data yang memadai. Hasil penelitian

8
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 1 (2017): 1-20
Henky H Hetharia dan Samuel J Mailoa Peran Institusi Keagamaan di Maluku dalam Upaya
Pemberantasan Korupsi

harus menjadi jawaban terkait masalah dan tujuan penelitian dinyatakan sebelumnya
di bagian pendahuluan.
Pada pembahasan harus mengandung: 1. Apakah data hasil penelitian telah
dianalisis (bukan data mentah). Dapat disajikan dengan tabel atau gambar selain
penyajian secara verbal untuk memperjelas. Bagian ini biasanya menjawab pertanyaan
apa dan bagaimana?
2. Apakah penulis menyediakan interpretasi ilmiah untuk setiap hasil atau temuan
penulis disajikan (mengapa)?
3. Apakah hasil penelitian konsisten dengan apa yang dilaporkan oleh peneliti lain
(apa lagi)? Atau apakah ada perbedaan?
Hasil dan Pembahasan ditulis huruf besar pada awal kata, jarak 1 spasi dan
ditebalkan. Jika menggunakan alat pendukung maka sederhanakan tabel dan gunakan
tabel terbuka, dan gambar peta lebih difokuskan pada objek yang diteliti serta jangan
terlalu besar ukuran filenya serta rumit (diupayakan dalam format JPG); tabel dan
gambar diberi nomor urut. Jangan menggunakan lokasi ketika merujuk ke Gambar atau
Tabel, misalnya: “….. disajikan di Gambar 1 di bawah ini.” tetapi cukup “...disajikan di
Gambar 1.” atau “…… (Gambar 1).”

Teknik pengutipan sumber rujukan disarankan menggunakan aplikasi Manajemen


Referensi seperti EndNote, Mendeley, Zotero dengan sistem catatan kaki/footnote,
menggunakan sistem sitasi Chicago Manual of Style 16th edition (full note, no ibid) font
Times Palatino Linotype 12, contoh: footnote buku9 ; buku dengan empat
penulis/editor10 ; mengutip lagi11 ; artikel jurnal12 ; website13 ; wawancara14.
Selengkapnya lihat contoh di ketentuan teknis penulisan catatan kaki.

D. Kesimpulan
Kesimpulan hendaknya merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian, dan
diungkapkan bukan dalam kalimat stastistik. Paparannya dalam bentuk alinea
yang mengalir yang berisi kaitan satu isi dengan isi yang lain. Gunakan istilah-
istilah yang bermakna substantif dalam bidang ilmu dan hindari istilah-istilah
teknis statistik/metodologis

9
Muh}ammad ‘A<bid Al-Ja>biri>, Nah}nu Wa Al-Tura>th: Qira>at Mu’a>s}irat Fi> Tura>thina> Al-
Falsafi> (Beirut: Markaz al-Thaqafi> al-‘Arabi>, 1990), 59.
10
Philip S. Gorski et al., eds., The Post-Secular in Quetion: Religion in Contemporary Society (New York and
London: New York University Press, 2012), 77.
11
Gorski et al., The Post-Secular in Quetion: Religion in Contemporary Society, 83.
12
Lyn Parker, Irma Riyani, and Brooke Nolan, “The Stigmatisation of Widows and Divorcees (janda) in
Indonesia, and the Possibilities for Agency,” Indonesia and The Malay World 44, no. 128 (2016): 30.
13
Harun Yahya, “Keajaiban Hujan,” 2011, diakses tanggal 3 Nopember 2016,
http://id.harunyahya.com/id/Artikel /38832/KEAJAIBAN-HUJAN.
14
Komar Nuruzzaman (santri), wawancara oleh Busro, Pesantren Buntet Cirebon, tanggal 14 November 2015.

9
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 (Januari 2016): 1-17
Henky H Hetharia dan Samuel J Mailoa Peran Institusi Keagamaan di Maluku dalam Upaya
Pemberantasan Korupsi

Daftar Pustaka

Sumber rujukan menggunakan sumber primer seperti artikel di jurnal ilmiah atau
prosiding, artikel di buku dari hasil penelitian, situs sejarah, artefak, dan lain-lain yang
bersifat karya asli. Perbandingan sumber primer tersebut adalah 80% dibandingkan
sumber lainnya dan berasal dari publikasi 5 tahun terakhir.
Teknik penulisan daftar pustaka disarankan menggunakan aplikasi EndNote,
Mendeley, Zotero, dan menggunakan sistem sitasi Turabian Style, no ibid, font Palatino
Linotype 12. Lihat contoh berikut (selengkapnya bisa dilihat pada ketentuan teknis
penulisan daftar pustaka):
Al-Ja>biri>, Muh}ammad ‘A<bid. Nah}nu Wa Al-Tura>th: Qira>at Mu’a>s}irat Fi>
Tura>thina> Al-Falsafi>. Beirut: Markaz al-Thaqafi> al-‘Arabi>, 1990.
Gorski, Philip S., David Kyuman Kim, John Torpey, and Jonathan Van
Antwerpen, eds. The Post-Secular in Quetion: Religion in Contemporary Society.
New York and London: New York University Press, 2012.
Parker, Lyn, Irma Riyani, and Brooke Nolan. “The Stigmatisation of Widows and
Divorcees (janda) in Indonesia, and the Possibilities for Agency.” Indonesia and
The Malay World 44, no. 128 (2016): 27–46.

Internet
Yahya, Harun. “Keajaiban Hujan,” 2011. Diakses tanggal 3 Nopember 2016 .
http://id.harunyahya.com/id/Artikel /38832/KEAJAIBAN-HUJAN.

Wawancara
Nuruzzaman, Komar (santri), wawancara oleh Busro. Pesantren Buntet Cirebon.
Tanggal 14 November 2015.

E.

10
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 1 (2017): 1-20

Anda mungkin juga menyukai