Cabang Jambi
1. Pendahuluan
Kebutuhan energi akhir-akhir ini sangatlah besar dikarenakan pesatnya perkembangan
teknologi disemua bidang. Dengan kebutuhan energi yang begitu banyak, bahan bakar fosil
dan gas bumi tidak mampu mencukupi semua kebutuhan, maka untuk memenuhi
kebutuhan tersebut dimanfaatkan energi terbarukan. Salah satu energi terbarukan yang
sumbernya berlimpah di Indonesia adalah Energi Surya.
Pemanfaatan energi surya di Indonesia masih sangat rendah. Tercatat hingga 2011 total
aplikasi baru mencapai 17 MWp. Jika dibandingkan dengan kapasitas terpasang
pembangkit listrik di Indonesia sebesar 33,7 GW, maka kontribusi tenaga surya untuk
pembangkit listrik baru sebesar 0,05 %. Berdasarkan Perpes No 5 Tahun 2006 pemerintah
sudah mencanangkan target memperbesar kontribusi sumber energi terbarukan dalam
bauran energi sampai dengan 17 % termasuk tenaga surya sebesar 0,2-0,3 % pada tahun
2025. Untuk mengejar target tersebut diperlukan sekitar 0,8-1,0 GW kapasitas terpasang
PLTS. Maka diperlukan penambahan kapasitas 65 MW per tahun tapi pemanfaatannya
masih rendah, yaitu hanya 2,5 MW per tahun.
PLTS ini juga merupakan bagian dari program PLN untuk melistriki 100 pulau terdepan di
seluruh Indonesia dengan PLTS. Program ini ditargetkan bisa beroperasi sebelum
peringatan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2012. Selain itu PLN juga menargetkan bisa
melistriki 1.000 pulau di seluruh Indonesia menggunakan PLTS paling lambat pada 2014.
Program PLTS yang sudah dibangun dan dan sudah beroperasi antara lain :
o PLTS Morotai berkapasitas 600 kilo Watt peak (kWp)
o PLTS 350 kWp di Pulau Sebatik, Kaltim
o PLTS 100 kWp di Pulau Miangas, Sulawesi Utara
Berdasarkan data penyinaran matahari yang dihimpun dari 18 lokasi di Indonesia, radiasi
surya di Indonesia dapat diklasifikasikan berturut-turut sebagai berikut:
o Kawasan Barat Indonesia (KBI) sekitar 4,5 kWh/m2/ hari dengan variasi bulanan
sekitar 10%;
o Kawasan Timur Indonesia (KTI) sekitar 5,1 kWh/m2/ hari dengan variasi bulanan
sekitar 9%.
Dengan demikian, potensi tenaga surya rata-rata Indonesia adalah sekitar 4,8 kWh/m2/ hari
dengan variasi bulanan sekitar 9% setara dengan nilai peak sun hour (PHS) sebesar 4,8
jam/hari.
Pada sel surya terdapat sambungan (junction) antara dua lapisan tipis yang terbuat dari
bahan semikonduktor yang masing-masing disebut sebagai semikonduktor jenis “P”
(positif) dan semikonduktor jenis “N” (negatif ). Semikonduktor jenis-N dibuat dari
kristal silikon dan terdapat juga sejumlah material lain (umumnya posfor) dalam batasan
bahwa material tersebut dapat memberikan suatu kelebihan elektron bebas. Elektron adalah
partikel sub atom yang bermuatan negatif, sehingga silikon paduan dalam hal ini disebut
sebagai semikonduktor jenis-N (Negatif). Semikonduktor jenis-P juga terbuat dari kristal
silikon yang didalamnya terdapat sejumlah kecil materi lain (umumnya boron) yang dapat
menyebabkan material tersebut kekurangan satu elektron bebas. Kekurangan atau
hilangnya elektron ini disebut lubang (hole). Karena tidak ada atau kurangnya elektron
yang bermuatan listrik negatif maka silikon paduan dalam hal ini sebagai semikonduktor
jenis-P (Positif).
Susunan sebuah solar cell, sama dengan sebuah dioda, terdiri dari dua lapisan yang
dinamakan PN junction. PN junction itu diperoleh dengan jalan menmbahkan sebatang
bahan semikonduktor silikon murni (valensinya 4) dengan impurity (pengotor) yang
bervalensi 3 pada bagian sebelah kiri, dan yang di sebelah kanan ditambahkan dengan
impurity bervalensi 5.
Sehingga pada bagian kiri terbentuk silikon yang tidak murni lagi dan dinamakan silikon
jenis P, sedangkan yang sebelah kanan dinamakan silikon jenis N. Di dalam silikon murni
terdapat dua macam pembawa muatan listrik yang seimbang. Pembawa muatan listrik yang
positif dinamakan hole, sedangkan yang negatif dinamakan elektron. Setelah dilakukan
proses pengotoran itu, di dalam silikon jenis P terbentuk hole (pembawa muatan listrik
positif) dalam jumlah yang sangat besar dibandingkan dengan elektronnya. Oleh karena itu
di dalam silikon jenis P, hole merupakan pembawa muatan mayoritas, sedangkan elektron
merupakan pembawa muatan minoritas. Sebaliknya, di dalam silikon jenis N terbentuk
elektron dalam jumlah yang sangat besar sehingga disebut pembawa muatan mayoritas,
dan hole disebut pembawa muatan minoritas.
Di dalam batang silikon itu terjadi pertemuan antara bagian P dan bagian N (PN junction).
Bila sekarang, bagian P dihubungkan dengan kutub positip dari sebuah batere, sedangkan
kutub negatipnya dihubungkan dengan bagian N, maka terjadi hubungan yang dinamakan
“forward bias” dimana dalam keadaan forward bias, di dalam rangkaian itu timbul arus
listrik yang disebabkan oleh kedua macam pembawa muatan. Jadi arus listrik yang
mengalir di dalam PN junction disebabkan oleh gerakan hole dan gerakan elektron. Arus
listrik itu mengalir searah dengan gerakan hole, tapi berlawanan arah dengan gerakan
elektron. Sekedar untuk lebih menjelaskan, elektron yang bergerak di dalam bahan
konduktor dapat menimbulkan energi listrik. Dan energi listrik inilah yang disebut sebagai
arus listrik yang mengalir berlawanan arah dengan gerakan elektron.
Tapi, bila bagian P dihubungkan dengan kutup negatif dari batere dan bagian N
dihubungkan dengan kutub positifnya, maka sekarang terbentuk hubungan yang
dinamakan “reverse bias” dimana dengan keadaan seperti ini, maka hole (pembawa
muatan positif) dapat tersambung langsung ke kutub positif, sedangkan elektron juga
langsung ke kutub positif. Jadi, jelas di dalam PN junction tidak ada gerakan pembawa
muatan mayoritas baik yang hole maupun yang elektron. Sedangkan pembawa muatan
minoritas (elektron) di dalam bagian P bergerak berusaha untuk mencapai kutub positif
batere. Demikian pula pembawa muatan minoritas (hole) di dalam bagian N juga bergerak
berusaha mencapai kutub negatif. Karena itu, dalam keadaan reverse bias, di dalam PN
junction juga ada arus yang timbul meskipun dalam jumlah yang sangat kecil (mikro
ampere). Arus ini sering disebut dengan reverse saturation current atau leakage current
(arus bocor).
Ada yang menarik dalam keadaan reverse bias itu. Bila suhu PN junction tersebut
dinaikkan ternyata dapat memperbesar arus bocor yang terjadi. Berarti bila diberi energi
(panas), pembawa muatan minoritas di dalam PN junction bertambah banyak. Karena
cahaya itu merupakan salah satu bentuk energi, maka bila ada cahaya yang menimpa suatu
PN junction dapat juga menghasilkan energi yang cukup untuk menghasilkan pembawa
muatan. Gejala seperti ini dinamakan fotokonduktif. Berdasarkan gejala fotokonduktif itu
maka dibuat komponen elektronik fotodioda dari PN junction itu. Dalam keadaan reverse
bias, dengan memperbesar intensitas cahaya yang menimpa fotodioda dapat meningkatkan
aras arus bocornya. Arus bocor dapat juga diperbesar dengan memperbesar tegangan batere
(tegangan reverse), tapi penambahan arus bocornya itu tidak signifikan. Bila batere dalam
rangkaian reverse bias itu dilepas dan diganti dengan beban tahanan, maka pemberian
cahaya itu dapat menimbulkan pembawa muatan baik hole maupun elektron. Jika iluminasi
cahaya itu ditingkatkan, ternyata arus yang timbul semakin besar. Gejala seperti ini
dinamakan photovoltaic. Cahaya dapat memberikan energi yang cukup besar untuk
memperbesar jumlah hole pada bagian P dan jumlah elektron pada bagian N. Berdasarkan
gejala photovoltaic ini maka dapat diciptakan komponen elektronik photovoltaic cell.
Karena biasanya matahari sebagai sumber cahaya, maka photovoltaic cell sering juga
disebut solar cell (sel surya) atau solar energy converter.
Jadi sel surya itu pada dasarnya sebuah fotodioda yang besar dan dirancang dengan
mengacu pada gejala photovoltaic sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan daya
yang sebesar mungkin. Silikon jenis P merupakan lapisan permukaan yang dibuat sangat
tipis supaya cahaya matahari dapat menembus langsung mencapai junction. Bagian P ini
diberi lapisan nikel yang berbentuk cincin, sebagai terminal keluaran positif. Di bawah
bagian P terdapat bagian jenis N yang dilapisi dengan nikel juga sebagai terminal keluaran
negatif.
Untuk mendapatkan daya yang cukup besar diperlukan banyak sel surya. Biasanya sel-sel
surya itu sudah disusun sehingga berbentuk panel, dan dinamakan panel photovoltaic (PV).
3. Amorf (film tipis) silikon. Menggunakan sedikit silikon dan juga memproduksi sel
surya yang efisien. Ini berarti sistem film yang tipis mengambil luasan yang lebih
luas dari dua sebelumnya tadi, tetapi memiliki keuntungan dari harga panel dan
dapat digunakan pada permukaan melengkung atau tidak beraturan jenis ini tidak
cocok untuk panel yang solid.
Sel surya komersil yang biasa terdapat di pasaran ialah sel surya berjenis silikon yang
ditandai dengan garis biru dengan efisiensi optimum skala laboratorium sekitar 25% yang
dikembangkan oleh University of New South Wales (UNSW) Australia. Sel surya jenis ini
pulalah yang ditemukan pertama kali di tahun 1954 oleh para peneliti Bell Laboratories
secara tidak disengaja. Tim sel surya USNW dipimpin oleh Prof. Martin Green sebagai
leader-nya. Sel surya jenis silikon ini dapat dikatakan menguasai 90% pasar sel surya
dunia karena teknologinya sudah cukup mapan mengingat pesatnya industri semikonduktor
dewasa ini (Gambar 8). Tidak terdapat catatan efisiensi baru dari jenis sel ini hingga sejak
tahun 1999. Perlu diketahui, rata rata sel surya silikon yang dipasarkan (komersial)
berefisiensi antara 12-15%.
Dewasa ini, sel surya silikon mendapat tantangan dari sel surya berjenis lapis tipis (thin
film technologies) dengan tanda garis hijau. Hal ini memang sudah diproyeksikan
sebelumnya mengingat stok silikon yang memang pada awalnya hanya dialokasikan untuk
industri semikonduktor, bukan untuk sel surya. Keunggulan sel surya lapis tipis terletak
pada dimensinya yang jauh lepih tipis dan lebih ringan dibandingkan dengan sel surya
silikon yang padat dan berat. Disamping itu, jenis material yang dipergunakan sel surya
tipe ini sangat beragam dengan perhatian utama penelitian saat ini ada pada material
CuInGaSe2 (copper indium-galium diselenide) dan CdTe (cadmium tellurida). Kedua jenis
material untuk sel surya ini memiliki efisiensi dalam skala laboratorium yang nyaris
mencapai 20% dengan efisiensi sel surya komersil sekitar 10-12%, lebih sedikit dari sel
surya jenis silikon. Pasar sel surya lapis tipis masih sangat kecil, yakni dibawah 1%.
Namun dengan banyaknya penelitian yang mengeksplorasi sel surya jenis ini, ditambah
dengan teknik pembuatannya yang murah, efisiensi sel diproyeksikan akan terus
meningkat.
Semakin canggih teknik pembuatannya, maka semakin bagus hasil yang diperoleh.
Pendapat ini mungkin dapat diterapkan di dalam industri sel surya. Rekor efisiensi sel
surya skala laboratorium sekitar 39% telah dicapai dengan teknologi paling mutakhir,
yakni sel surya “multi-junction” yang diproduksi oleh National Renewable Energy
Laboratory (NREL) di bawah Departemen Energi AS. Berbeda dengan sel surya jenis
lainnya yang hanya memiliki satu buah komponen yang berfungsi sebagai penyerap cahaya
matahari, sel surya multijunction ini memiliki dua atau tiga lapisan komponen penyerap
sinar matahari yang disusun vertikal di dalam satu sel. Material ini biasanya terdiri dari InP
(Indium Phospor), InGaP (Indium Galium Phospor) dan GaP (Galium Phospor). Tingkat
kerumitan pembuatan sel surya jenis ini ialah pada teknik integrasi komponen-komponen
penyerap sinar matahari tersebut di dalam sebuah sel yang mutlak memperhitungkan letak
dan posisi atom-atom di dalam kristal semikonducktor yang dipakai.
Keungulan dari sel surya multijunction ialah, dapat menyerap lebih banyak spektrum
cahaya tampak yang jatuh di atas permukaannya dibanding dengan sel surya dengan satu
buah komponen penyerap cahaya matahari. Ditambah dengan keberadaan cermin
konsentrator yang memfokuskan cahaya matahari ke permukaan sel sehingga intensitas
cahaya yang ditangkap meningkat, efisiensi akhir yang diperoleh ialah sebagaimana
disebutkan di atas, kira-kira dua kali rekor efisiensi sel surya lapis tipis. Meski demikian,
untuk komersialisasi, sel surya jenis ini agaknya masih menunggu waktu yang cukup lama
untuk dipasarkan karena paling mahal dibandingkan jenis lainnya.
Yang cukup menarik ialah perkembangan pesat teknologi dan efisiensi sel surya DSSC
(Dye sensitized solar cell) dan sel surya organik yang berbahan baku utama polimer. Sejak
ditemukan di akhir tahun 90-an, perkembangannya cukup menjanjikan sebagai alternatif
baru sel surya yang murah dan berefisiensi tinggi. Data tahun 2006 (tidak dicantumkan di
Gambar 7) menunjukkan bahwa sel surya DSSC mencapai efisiensi skala laboratorium
11%. Dan sejak tahun 2005 sudah mulai masuk ke pasaran secara terbatas.
Mencermati trend peningkatan efisiensi sel surya skala laboratorium, kalangan energi
terbaharukan memilki harapan dan optimis bahwa sel surya ke depannya mampu
berkompetisi dengan jenis sumber energi terbaharukan lainnya dalam menjawab
peningkatan permitaan energi dunia.
Listrik tenaga surya terdiri dari beberapa komponen. Beberapa komponen yang akan Anda
temukan dalam sistem tenaga surya dasar adalah kolektor, inverter, pemutus sirkuit,
baterai, kontrol pengisi panel surya, mount untuk kolektor dan panel layar Anda. Setiap
komponen dalam sistem listrik tenaga surya sangat penting dan harus dipastikan bahwa
komponennya berkualitas baik.
1. Solar Kolektor
Kolektor adalah komponen yang mengumpulkan energi surya. Biasanya kolektor panel
surya ini berada di atap. Lokasi dari panel surya sangat penting dan itu harus
ditempatkan di mana sinar matahari maksimum akan jatuh.
Biasanya panel surya itu diletakkan dengan posisi statis menghadap matahari. Padahal
bumi itu bergerak mengelilingi matahari. Orbit yang ditempuh bumi berbentuk elips
dengan matahari berada di salah satu titik fokusnya. Karena matahari bergerak
membentuk sudut selalu berubah, maka dengan posisi panel surya itu yang statis itu
tidak akan diperoleh energi listrik yang optimal. Agar dapat terserap secara maksimum,
maka sinar matahari itu harus diusahakan selalu jatuh tegak lurus pada permukaan panel
surya. Jadi, untuk mendapatkan energi listrik yang optimal, sistem sel surya itu masih
harus dilengkapi pula dengan rangkaian kontroler optional untuk mengatur arah
permukaan panel surya agar selalu menghadap matahari sedemikian rupa sehingga sinar
mahatari jatuh hampir tegak lurus pada panel suryanya. Pengembangan ini dikenal juga
dengan istilah “solar tracking”. Kontroler seperti ini telah banyak dibuat dan dapat
dipesan dipasaran. Kontroler ini menggerakkan panel surya secara otomatis supaya sinar
matahari jatuh tegak lurus.
2. Charge Controller
Solar Charge Controllers diperlukan oleh sebagian besar sistem listrik tenaga surya yang
menggunakan baterai. Mereka bekerja untuk mengatur daya yang bergerak dari panel
surya memasuki baterai. Charge controller yang tepat akan menghindari baterai dari
kondisi overcharged.
Jenis paling sederhana dari fungsi charge controller adalah untuk memonitor tegangan
baterai dan membuka sirkuit untuk menghentikan proses pengisian ketika tegangan
mencapai tingkat tertentu. Pada kontrol type sederhana, ini dilakukan dengan
menggunakan relay mekanik.
Kemudian dengan teknologi yang lebih maju menggunakan Modulasi lebar pulsa (Pulse
width Modulation) menjadi standar untuk mekanisme pengendalian biaya. Ini adalah
teknik dimana jumlah daya yang ditransfer ke baterai menurun secara bertahap ketika
baterai semakin mendekati maksimal. PWM memperpanjang usia baterai bahkan lebih,
karena menurunkan beban pada baterai. Dengan cara ini juga memungkinkan untuk
menggunakan controller PWM untuk menjaga baterai dalam keadaan terisi penuh,
selama yang Anda inginkan. PWM adalah pengisi daya yang lebih rumit, tetapi
cenderung lebih tahan lama, karena tidak bergantung pada koneksi pemecah mekanis.
Kemajuan terbaru dalam surya charge controller adalah maximum power point tracking
atau kekuatan pelacakan titik maksimum, MPPT. Keuntungan utama dari pengendali
MPPT adalah kemampuan mereka untuk mengubah tegangan ekstra ke dalam kuat arus.
Fitur ini memiliki beberapa manfaat utama. Sebagian besar sistem tenaga surya
menggunakan baterai 12 volt, mirip dengan yang digunakan pada mobil, tetapi manfaat
ini terus terlepas dari tegangan. Sebagian besar panel surya menghasilkan tegangan yang
lebih daripada yang dibutuhkan oleh baterai. Ketika tegangan ekstra diubah menjadi
kuat arus, muatan tegangan tetap pada tingkat yang optimal, sedangkan waktu yang
dibutuhkan untuk mengisi penuh baterai berkurang. Dengan cara ini, sistem tenaga
surya secara keseluruhan dapat mempertahankan tingkat efisiensi tertinggi.
Sebuah kontrol pengisi panel surya MPPT memperkecil jumlah daya yang hilang yang
dialami sistem listrik tenaga surya. Listrik tegangan rendah yang bergerak melalui
kabel, maka akan mengalami kerugian yang besar, sehingga mengurangi efisiensi sistem
secara signifikan. Daya yang digunakan oleh controller PWM dalam suatu sistem
dengan baterai 12V dalam banyak kasus berada sekitar 18V. Dengan kontroler MPPT,
tegangan akan secara signifikan lebih tinggi. Ini berarti bahwa pengendali MPPT
terlihat kehilangan daya yang lebih sedikit.
Charge controller MPPT berharga sedikit lebih mahal, tetapi memberikan peningkatan
efisiensi yang signifikan. MPPT sangatlah dianjurkan untuk hal ini. Pencegah aliran
arus kembali (reverse) kemampuan lain yang dibutuhkan oleh kontrol pengisi panel
surya yang modern adalah. Panel surya akan berhenti menghasilkan listrik ketika
matahari tidak kelihatan, sehingga baterai akan mulai mengirim listrik kembali kepada
mereka pada saat-saat seperti ini. Kerugian daya yang disebabkan oleh hal ini sangatlah
menjengkelkan. Sekarang ini, charge controller akan membuka sirkuit, mencegah arus
balik untuk kembali ke panel surya.
3. Inverter DC to AC
Inverter adalah komponen yang akan mengubah 12 volt daya DC ke listrik AC 110 V
atau 220 V. Ada berbagai jenis inverter yang tersedia di pasaran dan harga dan jenisnya
tergantung pada anggaran kita.
4. Battery
Berfungsi menyimpan arus listrik yang di hasilkan oleh Panel Surya sehingga listriknya
masih bisa dimanfaatkan saat sinar matahari tidak cukup untuk menghasilkan listrik dari
sel surya seperti pada malam hari atau cuaca mendung.
Kelemahan PLTS
Meskipun Pembangkit Listrik Tenaga Surya mempunyai berbagai kelebihan/ keuntungan,
namun PLTS memiliki kelemahan. Berikut ini adalah kelemahan dari PLTS :
a. Memiliki ketergantungan pada cuaca. Saat mendung kemampuan panel Surya
menangkap sinar Matahari tentu akan berkurang. Akibatnya PLTS tidak bisa
digunakan secara optimal. Karena saat mendung kemampuan PLTS menyimpan
energi berkurang sekitar 30 persen. Untuk itu perlu dikembangkan teknologi
penyimpanan energi listrik dengan kapasitas besar dan murah.
b. Biaya investasi PLTS masih tinggi, yaitu mencapai 1,1 milyar per MW. Jika PLTS
nanti kapasitasnya 30 MW, berarti biaya yang dibutuhkan Rp.330M. Hal ini
disebabkan komponennya masih diimport dari luar negri.
c. Belum ada kebijakan serius dari pemerintah untuk penggunaan energi surya seperti
yang dilakukan diluar negri dimana masyarakat yang menggunakan PLTS akan
diberikan insentif dan lain sebagainya sehingga bisa memacu keinginan masyarakat
untuk penggunaan PLTS. Bila permintaan sudah banyak akan mendorong
pengembangan teknologi surya ditanah air serta bisa menjadi pertimbangan untuk
mendirikan pabriknya ditanah air.
FITRATUL QADRI
[ 8006206Z ] - [ SPEC-02 ]
PT PLN (Persero) Wilayah S2JB Cabang Jambi
Magister Teknik Mesin, Institut Teknologi Bandung
E-mail : fitratul.qadri@pln.co.id dan fitratul.qadri@yahoo.com