Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PKA AUDIT SEKTOR PUBLIK

KASUS PENGADAAN BARANG DAN JASA

DISUSN OLEH:

1. ANGELA J.A KOLO


2. FILDA A. FRARE
3. MARLINDA LOBO
4. NURSYAIDA AKDAH
5. RINI E. BIRE
6. SOFANDRA G.M PAWALANG
7. YULEN M. MODOK

POLITEKNIK NEGERI KUPANG


2023
DAFTAR ISI

BAB I......................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN........................................................................................................................ 2
A. Latar Belakang...............................................................................................................2
B. Rumusan Masalah........................................................................................................ 2
C. Tujuan........................................................................................................................... 2
BAB II........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................... 3
A. Pengenalan Kasus......................................................................................................... 3
B. Pola dan Indikasi Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa.....................................3
C. Pola Korupsi Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa.........................................................4
D. Contoh Kasus................................................................................................................ 5
BAB III....................................................................................................................................... 9
PENUTUP.................................................................................................................................. 9
A. KESIMPULAN.................................................................................................................9
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengadaan barang/jasa (procurement) adalah adalah proses suatu organisasi memperoleh
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan internal dan/atau eksternal organisasi. Oleh
karena itu hampir semua organisasi, baik organisasi yang bergerak di sektor bisnis (organisasi
profit), sektor nirlaba (non-profit), maupun sektor pemerintah, melakukan proses pengadaan
untuk memenuhi kebutuhan dalam melaksanakan kegiatan mereka masing-masing. Meski
demikian, terdapat perbedaan diantara organisasi-organisasi tersebut dalam proses pengadaan
barang/jasa-nya, misalnya antara lain perbedaan dalam sumber pendanaan, cara mendapatkan
penyedia, kepentingan pelayanannya, dan lain sebagainya. Sementara kesamaan proses
pegadaan pada ketiga organisasi tersebut adalah tujuan utamanya, yaitu untuk mendapatkan
barang dan jasa dengan nilai terbaik (getting value)

B. Rumusan Masalah
1. Pengenalan kasus dan entitas mana saja yang terlibat dalam kasus korupsi dalam
pengadaan barang dan jasa
2. Pola dan indikasi korupsi dalam pengadaan barang dan jasa
3. Pola korupsi dalam pengadaan barang dan jasa
4. Contoh kasus

C. Tujuan
1. Agar mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam kasus Korupsi dalam pengadaan
barang dan jasa
2. Agar mengetahui pola apa yang digunakan untuk memeriksa kasus ini
3. Agar mengetahui apa teknik yang digunakan untuk memeriksa kasus ini
4. Untuk mengetahui apa saja bukti yang digunakan dalam kasus Korupsi pengadaan
barang dan jasa
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengenalan Kasus
Pengadaan barang/jasa (procurement) adalah adalah proses suatu organisasi
memperoleh barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan internal dan/atau eksternal
organisasi. Oleh karena itu hampir semua organisasi, baik organisasi yang bergerak
di sektor bisnis (organisasi profit), sektor nirlaba (non-profit), maupun sektor
pemerintah, melakukan proses pengadaan untuk memenuhi kebutuhan dalam
melaksanakan kegiatan mereka masing-masing. Meski demikian, terdapat perbedaan
diantara organisasi-organisasi tersebut dalam proses pengadaan barang/jasa-nya,
misalnya antara lain perbedaan dalam sumber pendanaan, cara mendapatkan
penyedia, kepentingan pelayanannya, dan lain sebagainya. Sementara kesamaan
proses pegadaan pada ketiga organisasi tersebut adalah tujuan utamanya, yaitu untuk
mendapatkan barang dan jasa dengan nilai terbaik (getting value)

B. Pola dan Indikasi Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa


Hal itu bisa dilihat melalui tiap proses mulai dari perencanaan, pemilihan, kontrak,
pelaksanaan, sampai dengan tahap evaluasi.
Sebagai tindakan yang sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara, tindak
pidana korupsi dapat menghambat pertumbuhan serta kelangsungan pembangunan
nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Salah satu sektor yang rawan korupsi ialah
di sektor pengadaan barang dan jasa.
“Dari tren penindakan kasus korupsi memang bisa dilihat secara rata-rata lebih dari
setengah kasus korupsi di Indonesia itu terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa,”
ujar Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Christian Evert dalam Webinar
Mencegah dan Mendeteksi Kecurangan - Korupsi Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, Sabtu (6/8/2022).
Menurut data yang diperoleh Christian, kasus korupsi menurut jenis pengadaan
barang dan jasa (PBJ) terbagi dalam 4 lingkup. Dengan kasus korupsi PBJ yang
memuat lebih dari setengahnya terjadi di pekerjaan konstruksi sebesar 57 persen.
Kemudian pengadaan barang sebesar 32 persen. “Namun, tidak berarti di sektor jasa
konsultansi (6 persen) atau jasa lainnya (5 persen) tidak rawan korupsi. Ada juga
pekerjaan jasa yang menjadi kasus korupsi,” kata dia.
Ia menjelaskan terdapat pola penyelewengan dalam proses pengadaan barang dan
jasa. Hal itu dapat dilihat melalui setiap proses mulai dari perencanaan, pemilihan,
kontrak, pelaksanaan, hingga evaluasi. Dari setiap tahap-tahap pengadaan barang dan
jasa, ICW mencoba memetakan pola-pola penyelewengan yang terjadi.

C. Pola Korupsi Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa

Penguatan Pengawasan Internal Sebagai Upaya Pencegahan Korupsi PBJP

Dalam tahap perencanaan, terdapat 6 pola yakni suap legislatif atau Pejabat
Anggaran; pengaturan proyek atau ijon; pengaturan spek; duplikasi proyek;
penyelewengan/penggelapan anggaran; dan memecah paket. Sedangkan dalam tahap
pemilihan memiliki 5 pola antara lain dokumen admin dan syarat palsu; jual-beli atau
sewa dokumen admin dan syarat kualifikasi; persekongkolan
horisontal/arisan/pengaturan harga; lalu persekongkolan vertikal dan suap; dan
pengubahan spek setelah kompetisi (post-bidding).

Selanjutnya pada tahap kontrak ICW mengindentifikasi 7 pola penyelewengan PBJ


yang terdiri atas mark-up atau jual ulang; mark-down dan tukar aset atau layanan
negara; proxy atau jual bendera; harga timpang; kickback dan komisi; pengubahan
kontrak tanpa addendum; serta pengubahan spek setelah pemilihan.

Lain halnya dengan pelaksanaan yang miliki 5 pola mulai dari proyek fiktif; proyek
terbengkalai/gagal/tidak sesuai spesifikasi; wanprestasi; sub-kontrak illegal; hingga
pemerasan dan pungli. Terakhir dalam hal evaluasi memiliki pola penyelewengan
berbentuk suap auditor dan pengaturan audit; menghilangkan temuan atau bukti;
meringankan hukuman; serah terima sebelum selesai; dan berita acara atau laporan
fiktif.

Hal itu bisa dilihat melalui tiap proses mulai dari perencanaan, pemilihan, kontrak,
pelaksanaan, sampai dengan tahap evaluasi.

Kemudian kami mencoba mengidentifikasi indikasi-indikasi yang mungkin bukan


penyelewengan, tapi bisa menunjukkan apakah proses pengadaan barang dan jasa itu
perlu dimonitor atau disoroti lebih dekat," terangnya.

Indikasi yang dimaksudkan oleh Christian ialah terbagi lagi dalam masing-masing
tahapan pengadaan barang dan jasa. Dalam tahap perencanaan misalnya, bisa dilihat
dari RUP tidak segera diumumkan; dokumen penawaran yang copy-paste; syarat dan
kriteria tambahan/diskriminatif/mengarah; pengadaan darurat yang tidak wajar; atau
PAGU yang sangat tipis perbedaannya dengan HPS.

Lalu pada tahap pemilihan, terdapat ‘peserta kameo’ yang cenderung tidak pernah
menang, tapi selalu ikut dalam proses penawaran; penawaran copy-paste; peserta
tunggal tanpa justifikasi; intervensi PA atau KPA; pengubahan metode; paket
gagal/batal; pengumuman terbatas dan pengubahan jadwal; manipulasi bandwidth;
hingga daftar hitam tidak diumumkan.

Di tahap kontrak, peneliti senior itu juga soroti rekam jejak buruk; pemenang tidak
sesuai hasil evaluasi/syarat tidak lengkap; mendapat banyak paket; alamat tidak
sesuai; penyimpangan atau pemotongan transaksi; dan lain-lain. Kemudian dalam
tahap pelaksanaan yang menjadi indikasi adalah terkait papan konstruksi tidak ada
atau tidak sesuai kontrak; pesaing tender jadi sub kontraktor; serta jaminan tidak
wajar.

“Terakhir dalam tahapan evaluasi, pengaduan masyarakat atau peserta tender dan
proses sanggah dengan klarifikasi tidak wajar menjadi indikasi yang dicatat ICW.”

D. Contoh Kasus
Contoh kasus yang paling nyata tentang praktek korupsi dalam pengadaan barang
dan jasa kebutuhan pemerintah adalah kerapuhan aspal jalan-jalan raya di Jakarta
serta praktek pelanggaran tata ruang yang gila-gilaan dalam beberapa tahun terakhir
ini. Curah hujan yang rendah sekalipun dengan cepat menimbulkan genangan air
pada hampir semua ruas jalan, yang kemudian menyebabkan jalan dengan cepat
berlubang.

Dalam dua contoh kasus ini, bisa dilihat bagaimana para birokrat negara atau
pemerintah daerah tutup mata (kolutif) terhadap praktek menurunkan spesifikasi
barang dan mutu pekerjaan yang dilakukan para kontraktor maupun konsultan
proyek. Modus korupsi seperti ini sudah meluas. Maksudnya, dipraktekkan di hampir
semua departemen atau lembaga negara dan pada semua pemerintahan daerah. Tidak
baru, karena berlangsung sejak pembangunan nasional dimulai pada 1970-an.
Bahkan, pada awal 1980-an, para ekonom pemerintah pun mengakui hal ini. Ekonom
seperti mantan menteri Emil Salim dan Soemitro Djojohadikusumo (almarhum)
pernah mengemukakan bahwa tidak kurang dari 30 persen kebocoran anggaran
pendapatan dan belanja negara bersumber dari kegiatan pengadaan barang dan jasa
pemerintah.
Menyedihkan karena kebocoran akibat praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme itu
masih berlangsung hingga kini. Pada 2000-an sekarang, nilai riil kebocoran APBN
per tahun anggaran bisa mencapai kisaran Rp 60-70 triliun. Jumlah ini ekuivalen 20
persen anggaran pengadaan barang dan jasa per tahun. Maka tidak aneh jika sekitar
80 persen dari 20 ribu pengaduan tindak pidana korupsi yang masuk ke Komisi
Pemberantasan Korupsi menyangkut pelanggaran terhadap Keputusean Presiden
Nomor 80 Tahun 2003 tentang Proyek Pengadaan Barang dan Jasa Kebutuhan
Pemerintah. Pada tingkat daerah, di Jawa Tengah misalnya, pengaduan masyarakat
atas pelanggaran Keppres No. 80 Tahun 2003 mencapai 126 perkara sepanjang
periode 2006-2008.

Untuk menekan potensi kebocoran anggaran ini, pemerintah berniat membuat


undang-undang baru tentang pengadaan barang dan jasa kebutuhan pemerintah pusat,
daerah, dan badan usaha milik negara. UU baru itu mengadaptasi perkembangan
dinamika bisnis terbaru sehingga memuat ketentuan tentang peran dan fungsi
perusahaan swasta sebagai mitra. Sama sekali tidak menghilangkan fungsi Keppres
No. 80 Tahun 2003, UU baru itu justru menjadi faktor pelengkap yang akan
menghilangkan area abu-abu dan menutup peluang bagi keinginan melakukan
multitafsir.

UU baru itu berfokus pada tiga area. Pertama, perubahan struktur, dengan
menerbitkan delapan buku petunjuk pengadaan barang dan jasa dari semula hanya
satu buku. Buku-buku itu mengatur ketentuan umum pengadaan barang dan jasa,
pengadaan barang, pengadaan jasa konstruksi, pengadaan jasa konsultan, pengadaan
jasa lain, pengaturan peran dan fungsi swasta, serta pengaturan swaloka. Juga
diterbitkan buku yang mengatur pengadaan barang atau jasa secara elektronik. UU
itu pun memuat peraturan baru tentang perjanjian kerangka kerja. Ketentuan
perjanjian ini membuka peluang bagi pemerintah melakukan kontrak pengadaan
barang berjangka panjang untuk tujuan berhemat. Selain itu, diperkenalkan reverse
option, yakni lelang dengan penawaran untuk mendapatkan harga termurah

Apakah pembaruan ini efektif untuk mencegah kebocoran? Kita semua berharap
begitu. Karena itu, pembaruan langkah dan strategi dalam pengadaan barang dan jasa
kebutuhan pemerintah harus bisa merespons dan mementahkan modus pembocoran
anggaran yang dipraktekkan selama ini. Kita yakin bahwa Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah sudah mempunyai catatan lengkap
mengenai modus-modus pembocoran anggaran. Dengan begitu, rancangan undang-
undang baru tentang pengadaan barang dan jasa juga memuat strategi mengamankan
dan menyelamatkan anggaran. Pada sejumlah kasus korupsi yang digelar di
Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, masyarakat sudah mendapat gambaran
cukup utuh tentang bagaimana para koruptor membuat lubang untuk menadah
anggaran proyek yang bocor.

Modus pembocoran yang lazim adalah markup (nilai proyek digelembungkan) dan
spesifikasi barang diturunkan tanpa mengoreksi nilai proyek. Ada yang nekat dengan
melakukan tender fiktif.

Apa pun modusnya, pembocoran anggaran proyek tidak akan sangat sulit jika tidak
dilakukan secara berjemaah. Kalau bermain sendiri, Anda tidak akan mendapatkan
apa-apa. Alih-alih mendapatkan untung, Anda malah bisa dijebak dan dijerat hukum.
Biar aman dan untung, harus berkolusi dengan pejabat di departemen via pemimpin
proyek hingga ke para kasir di kantor kas negara agar tagihan dana proyek lancar.
Belakangan ini jasa oknum anggota Dewan Perwakilan Rakyat pun diperlukan agar
sebuah proyek dapat disetujui dalam APBN.

Asas profesionalisme tidak laku dalam modus itu. Yang terpenting, ada hubungan
ayah-anak atau bentuk kekerabatan lainnya, hubungan karena dari partai politik yang
sama atau karena si pengusaha donatur partai, anggota kelompok atau kedekatan
pengusaha dengan pejabat tinggi negara. Dengan pendekatan inilah si Badu bisa
menjadi ketua panitia pengadaan, si Udin menjadi pemimpin proyek, dan si Poltak
menjadi pemasok barang atau jasa yang dibutuhkan departemen. Semua yang masuk
jaringan hubungan atau kedekatan itu harus mendapatkan bagiannya. Dari petinggi
departemen hingga para kasir.

Pada era otonomi sekarang ini, pemerintah, khususnya para ahli di Bappenas,
menghadapi tantangan lain berupa rekayasa kebutuhan proyek. Hal ini bisa terjadi
karena aparat pemerintah daerah yang amatiran. Modusnya, swasta atau pengusaha
calon rekanan mengintroduksi kebutuhan daerah. Biasanya dibesar-besarkan,
sehingga kebutuhan daerah itu menjadi layak. Dari gambaran kebutuhan itu,
dimunculkanlah wujud proyek yang bisa memenuhi kebutuhan tadi. Dengan iming-
iming kenikmatan ekstra bagi pejabat daerah itu, pengusaha mendorong para pejabat
tersebut untuk memasukkannya dalam usulan proyek pemerintah daerah, sekaligus
dengan rancangan dan perincian pembiayaan proyek.
Begitu diiyakan daerah, si pengusaha langsung bergerilya, membuka dan mengontak
jaringannya pada departemen-departemen di Jakarta hingga anggota DPR pada
komisi-komisi yang berkaitan dengan proyek. Targetnya, proyek yang direkayasa itu
disetujui dan masuk APBN, dan semua yang punya andil mengegolkan proyek itu
mendapat bagian atau diuntungkan. Tentu saja harus ada markup nilai proyek.

Kalau kebocoran per proyek bisa begitu besar, bisa dimaklumi. Jika sebuah proyek
diurai, akan terlihat begitu banyak materi yang dibutuhkan. Dari sinilah markup
harga barang dan jasa dilakukan. Dari sini pula penurunan spesifikasi barang
dilakukan untuk memperbesar keuntungan, tidak peduli seburuk apa mutu proyek itu
nantinya. Dengan pendekatan seperti itu, jangan mimpi akan ada lelang proyek yang
fair, terbuka, dan berdasarkan kompetensi. Kalau Anda membaca iklan lelang proyek
di surat kabar, itu hanya formalitas. Sebab, saat iklan itu dimunculkan, para
pemenangnya sudah ditetapkan.

Orang-orang di Bappenas pasti sudah mendengar ungkapan tentang arisan proyek.


Sejauh fair, tidak merugikan negara, dan berlandaskan kompetensi, arisan proyek
rasanya masih bisa diterima karena ada semangat pemerataan dari kebiasaan itu.
Namun, jika arisan proyek dijadikan sarana untuk secara bergantian membocorkan
anggaran proyek, kebiasaan ini harus diperangi. Dengan niat melakukan pembenahan
pengadaan barang dan jasa kebutuhan pemerintah, kita berharap RUU yang sedang
disusun sekarang ini juga memasuki area modus pembocoran anggaran proyek
pembangunan. Sudah begitu banyak negara dan rakyat dirugikan dari proyek
pengadaan barang dan jasa.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pengadaan barang/jasa (procurement) adalah adalah proses suatu organisasi memperoleh
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan internal dan/atau eksternal organisasi. Oleh
karena itu hampir semua organisasi, baik organisasi yang bergerak di sektor bisnis (organisasi
profit), sektor nirlaba (non-profit), maupun sektor pemerintah, melakukan proses pengadaan
untuk memenuhi kebutuhan dalam melaksanakan kegiatan mereka masing-masing. Meski
demikian, terdapat perbedaan diantara organisasi-organisasi tersebut dalam proses pengadaan
barang/jasa-nya, misalnya antara lain perbedaan dalam sumber pendanaan, cara mendapatkan
penyedia, kepentingan pelayanannya, dan lain sebagainya. Sementara kesamaan proses
pegadaan pada ketiga organisasi tersebut adalah tujuan utamanya, yaitu untuk mendapatkan
barang dan jasa dengan nilai terbaik (getting value)
Hal itu bisa dilihat melalui tiap proses mulai dari perencanaan, pemilihan, kontrak,
pelaksanaan, sampai dengan tahap evaluasi.
Sebagai tindakan yang sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara, tindak pidana
korupsi dapat menghambat pertumbuhan serta kelangsungan pembangunan nasional yang
menuntut efisiensi tinggi. Salah satu sektor yang rawan korupsi ialah di sektor pengadaan
barang dan jasa.
DAFTAR PUSTAKA
https://antikorupsi.org/id/article/korupsi-dalam-pengadaan-barang-dan-jasa
https://www.hukumonline.com/berita/a/pola-dan-indikasi-korupsi-dalam-pengadaan-barang-
dan-jasa-lt62f1041b8971c/?page=2
https://virtual-library.lkpp.go.id/id/eprint/33/1/02.%20Buku%20Informasi%20A.
%20Gambaran%20Umum%20PBJP.pdf

Anda mungkin juga menyukai