Anda di halaman 1dari 213

Manusia dengan segala keterbatasan dan kelebihan-nya, seolah menjadi

NURHILALIATI
perbincangan yang tiada akhir. Selama manusia dan peradaban masih ada, maka topik
tentang ini tidak akan pernah basi. Kekayaan khazanah intelektual yang terus bermunculan,
merupakan respons terhadap persoalan manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri,
lingkungan masyarakat, alam semesta, dan dengan sang pencipta.
Karya yang ada di hadapan pembaca ini menghadirkan wacana tentang potensi
manusia yang disoroti dari perspektif Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik. Kedua
disiplin ilmu ini memiliki perbedaan sekaligus persamaan dalam mewacanakan potensi
manusia sebagai subjek pendidikan. Pendidikan Islam yang konsep pendidikannya
didasarkan pada nilai-nilai yang diadopsi dari al-Qur'an berkeyakinan bahwa manusia

PENDIDIKAN ISLAM DAN PSIKOLOGI HUMANISTIK: Relas atau Negasi?


merupakan makhluk yang memiliki kapasitas fisik dan psikis yang memiliki fitrah atau
potensi yang baik, yang telah dialiri citarasa ketuhanan. Konsep yang berpijak pada al-Asma
al-Husna ini membawa konsekuensi bahwa manusja bisa dan diharapkan dapat melakukan
sifat-sifat seperti yang digambarkan dalam konsep tersebut, meskipun sebatas titik optimal
kemanusiaannya. Model pendidikan yang di-berikan akan menentukan apakah potensi
yang dimiliki itu akan berkembang ke arah positif atau ke arah negatif. Oleh karena itu,
model pendidikan yang dilaksanakan adalah pendidikan yang tidak keluar dari bingkai fitrah
PENDIDIKAN ISLAM
yang dimiliki manusia, yang dilaksanakan secara demo-kratis dan dialogis.
DAN
Nurhilaliati, lahir di Dompu sebuah kota kecil di Provinsi NTB pada 8 Februari 1973.
Pendidikan Madrasah Ibtida'iyah (1985) dan Madrasah Tsanawiyah (1988); kemudian
PSIKOLOGI HUMANISTIK:
merantau ke Kota Bima untuk melanjutkan ke Pendidikan Guru Agama (1991). Pendidik-an
Tinggi ditempuh di Fakultas Tarbiyah Mataram IAIN Sunan Ampel yang diselesaikan tahun RELASI ATAU NEGASI?
1996. Pada tahun 1997 melanjutkan studi di Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam, selesai tahun 1999. Tahun 2000
sampai sekarang diangkat menjadi Dosen Tetap pada Jurusan Tarbiyah STAIN Mataram
(IAIN Mataram sekarang), sebagai pengampu Mata Kuliah Ilmu Pendidikan Islam.
Menikah dengan Muhammad Salahuddin M.Ag, M.Pd. 2003 dan dikaruniai dua
anak: Ahmad Dzaky Syujja (2004) dan Ahmad Javid Lavida (2009). Semasa menjadi
NURHILALIATI
mahasiswa merupakan penulis aktif pada harian lokal Suara Nusa (Lombok Post sekarang).
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan: (1) Dampak Poligami terhadap Pendidikan
Anak di Kecamatan Sakra Lombok Timur (2) Implikasi Konsep EQ dalam Kurikulum SD Kelas I
(3) Kekerasan terhadap Anak di Dunia Pendidikan (Studi di Pondok Pesantren Nurul Hakim
Kediri) (4) Implementasi Konsep Madrasah Unggulan di MAN 2 Mataram (5) Pendidikan al-
Qur'an di Kota Dompu (6) Dialog Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik tentang Potensi
Manusia. Tulisan di jurnal: (1) Gender dan Seksualitas (2) Menyoal Kesetaraan Gender (3)
Membangun Budaya Sensitif Gender di Madrasah (4) Pengaruh Pemahaman Keagamaan
dan Dunia Pendidikan pada Kekerasan terhadap Perempuan. “Perempuan dan Mahar”
dalam Team PSW IAIN Mataram, Membangun Relasi Menolak Subordinasi. Tahun 2007
pernah mengikuti Short Course Teacher and Librarianship di McGill University. Selama
tahun 2007-2009 merupakan trainer dan pendamping pada kegiatan LAPIS ELOIS
kerjasama dengan PSW IAIN Mataram. Penulis juga merupakan salah satu penyunting
Jurnal Tatsqif Fakultas Tarbiyah dan Jurnal Ulumuna IAIN Mataram.
ISBN
I S B N978-623-90165-5-5
623901655-1

9 7 8 6 2 3 9 0 1 6 5 5 5
PENDIDIKAN ISLAM
DAN PSIKOLOGI HUMANISME:
RELASI ATAU NEGASI?
PENDIDIKAN ISLAM DAN
PSIKOLOGI HUMANISME:
RELASI ATAU NEGASI?

Penulis:
Nurhilaliati

ALAMTARA
INSTITUTE
Perpustakaan Nasional RI. Katalog Dalam Terbitan (KDT)

PENDIDIKAN ISLAM DAN PSIKOLOGI HUMANISME:


RELASI ATAU NEGASI?

Penulis:
Nurhilaliati

Editor:
Muh. Salahuddin
Mukhlis Muma Leon

Penyunting Akhir:
Iskandar Dinata

Cetakan Pertama, Mei 2011

Diterbitkan Oleh:
Alam Tara Institute
Jln. Patut No. 14 Pejeruk Mataram, NTB
Telp. 0370-621497

Kerjasama dengan
Insan Madani Institute

ISBN 978-623-90165-5-5

All Right Reserved


Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizing
tertulis dari penulis dan penerbit.
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Halaman Persembahan
Dengan penuh cinta…
karya ini dipersembahkan
untuk anak-anakku: Syujja‟ dan Javid.
Semoga tiada potensi baik yang tak terasah
dalam dekapan kasih Mama dan Bapak…
PENGANTAR PENULIS

Manusia dengan segala keterbatasan dan kelebihan-


nya, seolah menjadi perbincangan yang tiada akhir. Selama
manusia dan peradaban masih ada, maka topik tentang
ini tidak akan pernah basi. Kekayaan khazanah intelektual
yang terus bermunculan, merupakan respons terhadap
persoalan manusia dalam hubungannya dengan diri
sendiri, lingkungan masyarakat, alam semesta, dan dengan
sang pencipta.
Karya yang ada di hadapan pembaca ini menghadir-
kan wacana tentang potensi manusia yang disoroti dari
perspektif Pendidikan Islam dan perspektif Psikologi
Humanistik. Kedua disiplin ilmu ini memiliki perbedaan
sekaligus persamaan dalam mewacanakan potensi manusia
sebagai subjek pendidikan. Pendidikan Islam yang konsep
pendidikannya didasarkan pada nilai-nilai yang diadopsi
dari al-Qur'an berkeyakinan bahwa manusia merupakan
makhluk yang memiliki kapasitas fisik dan psikis yang me-
miliki fitrah atau potensi yang baik, yang telah dialiri

 vii 
Nurhilaliati

citarasa ketuhanan. Konsep yang berpijak pada al-Asma


al-Husna ini membawa konsekuensi bahwa manusja bisa
dan diharapkan dapat melakukan sifat-sifat seperti yang
digambarkan dalam konsep tersebut, meskipun sebatas
titik optimal kemanusiaannya. Model pendidikan yang di-
berikan akan menentukan apakah potensi yang dimiliki
itu akan berkembang ke arah positif atau ke arah negatif.
Oleh karena itu, model pendidikan yang dilaksanakan
adalah pendidikan yang tidak keluar dari bingkai fitrah
yang dimiliki manusia, yang dilaksanakan secara demo-
kratis dan dialogis.
Psikologi Humanistik memandang bahwa manusia
memiliki potensi yang baik, dan merupakan gejala kejiwaan
yang hanya terdapat pada manusia, tidak sama dengan
makhluk lainnya serta bukan merupakan pancaran dari
sifat-sifat Tuhan. Manusia adalah makhluk bebas sepenuh-
nya. Bahkan dialah yang akan menentukan segalanya,
karena manusia dianggap dapat menjalankan play God.
Dengan kata lain, manusia adalah kesatuan jiwa-raga-
rohani secara integral dan ia mengada serta menyadari
penuh keberadaannya. Oleh karena itu ia memiliki otoritas
atas kehidupannya.
Koherensi yang dapat dilihat adalah pada model
pendidikan yang harus mengoptimalkan potensi-potensi
dimiliki dan masih potensial dalam diri manusia dan
diarahkan kepada pendidikan yang mengutamakan ke-
bebasan peserta didik, yang dilaksanakan secara demo-
kratis dan dialogis. Inkoherensi antara keduanya Nampak
pada konsep kebebasan yang ingin dikembangkan pada

 viii 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

peserta didik. Pendidikan Islam ingin menciptakan ke-


bebasan pada peserta didik dalam relasinya secara uni-
versal dengan lingkungan dan itu akan dipertanggung-
jawabkan pada Pencipta. Sementara itu, Psikologi
Humanistik menanamkan kebebasan mutlak, yang tetap
harus dipertanggungjawabkan tetapi hanya pada sesama
manusia. Pemberian kebebasan secara luas ini diimbangi
dengan keharusan mengajarkan disiplin, sikap menghargai
orang lain dan mengajarkan system nilai. Dialog antara
keduanya akan menghasilkan konsep Humanistik-
Teosentris.
Karya ini pada awalnya merupakan Tesis Magister
pada Program Pascasarjana IAIN Yogyakarta tahun 1999.
Tenggang waktu yang begitu lama antara masa penulisan
dengan penerbitan, sesungguhnya berasal dari keraguan
penulis apakah ini sudah layak publisitas atau belum. Tetapi
setelah melalui pertimbangan, kebutuhan, atau bahkan fase
hibernasi yang cukup panjang tersebut, akhirnya penulis
mencoba membangun kepercayaan diri dengan prinsip
sampaikanlah walau mungkin menurut pembaca, ini tidak
seberapa. Percayalah, insya Allah ini adalah awal dan masih
ada yang lain.
Melalui ruang ini, penulis sebenarnya merasa tidak
cukup untuk menyampaikan “sekedar” kata terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu proses meta-
morfosa tesis ini pada bentuk buku. Mereka yang di-
maksud adalah, para penulis yang karya-karyanya telah
mengkonstruk bangun intelektual buku ini. Maaf jika apa
yang saya kutip dan ringkas belum mewakili maksud; itu
bukan penyederhanaan, tapi semata-mata keterbatasan.

 ix 
Nurhilaliati

Pak Subandi (Psikologi UGM), saran, dan motivasinya


baru bisa terwujud sekarang, tetapi itu tidak mengurangi
terima kasih saya atas sharing yang terjadi padda waktu itu.
Alam Tara, yang memfasilitasi penerbitan, Aba Du Wahi
dan D'Atun, ternyata dan semoga waktu scrta keadaan
tidak akan merubah keaslian' yang ada. Mukhlis Muma
Leon, menjadi penyunting dan pembaca karya orang lain
adalah pekerjaan yang tidak ringan, terima kasih telah
meluangkan waktu di antara urusan lainnya. Pesanku, akhiri
petualanganmu dengan menyuntíng seorang perempuan
yang membelaimu dalam ruang perjodohan yang penuh
"rahmah" (baca: kasih sayang).
Special thanks untuk suami dan anak-anakku (Syujja dan
Javid), orang-orang yang tiada pernah dan semoga tidak
akan mengeluh. Kalian adalah motivasi yang tiada akhir
dalam menjalani dinamika ruang dan waktu. Bapak dan
Mama, tiada kata di dunia ini yang dapat mewakili telah apa
yang ingin kuucapkan atas semua bimbingan yangt
diberikan. Saudara-saudaraku: D'Suri, Rahmah, Agus, dan
Zakiah, keragaman adalah modal dasar membangun
kekuatan maha dahsyat.
Penulis sangat menyadari bahwa karya ini masih jauh
untuk itu kritikan dan saran perbaikan dari sempurna,
sangat diperlukan demi perbaikan.

Kebun Sari, Mataram, Mei 2011

Penulis

x
DAFTAR ISI

Halaman Persembahan ~ v
Pengantar Penulis ~ vii
Daftar Isi ~ xi

Bab I
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanisme:
Rasionalisasi Kajian ~ 1

Bab II
Pendidikan Islam ~ 18
A. Permasalahan Seputar Pendidikan Islam ~ 18
1. Hakekat Pendidikan Islam 18
2. Tujuan Pendidikan Islam 26
3. Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidikan
Islam ~ 31
B. Teori tentang Manusia dan Potensinya ~ 38
1. Konsep Manusia dalam Pandangan
Pendidikan Islam ~ 38

 xi 
Nurhilaliati

2. Potensi Manusia dalam Pandangan


Pendidikan Islam ~ 46
a. Fitrah Manusia dalam Pandangan Pendidikan
Islam ~ 50
b. Potensi Rohaniah Manusia ~ 57
c. Potensi Akal ~ 61
d. Kebebasan Kehendak Manusia ~ 65
C. Pendidikan Islam Sebagai Sarana Aktualisasi
Potensi ~ 69

Bab III
Psikologi Humanistik ~ 83
A. Tinjauan Historis ~ 83
B. Teori tentang Manusia dan Potensinya
1. Hakekat Potensi Dasar dan Kemampuan
Manusia - 100
2. Potensi Dasar Manusia dalam Pandangan
Psikologi Humanistik ~ 104
a. Cinta ~ 104
b. Kebebasan dan Tanggungjawab
Transendensi Manusia ~ 116
d. Kesadaran (Consciousness) Manusia ~ 120
C. Pendidikan Model Psikologi Humanistik ~ 123

 xii 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Bab IV
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik: Dialog
dan Aplikasi ~ 136
A. Koherensi dan Inkoherensi ~ 136
1. Hakekat Potensi Dasar Manusia ~ 137
2. Model Pendidikan untuk Aktualisasi Potensi
Manusia ~ 148
3. Orientasi dan Sasaran ~ 152
B. Aplikasi Dialog dalam Pengembangan Pendidikan
Islam ~ 157

Bab V Kesimpulan ~ 175

Daftar Pustaka ~ 180


Indeks ~ 192
Biodata Penulis ~ 197

 xiii 
BAB I
Pendidikan Islam
dan Psikologi Humanisme:
Rasionalisasi Kajian

Pendidikan dan psikologi adalah dua hal yangurgen


dalam diskursus ilmu pengetahuan. Statemen tersebut
berdasarkan alasan bahwa dalam masyarakat yang dinamis,
pendidikan memegang peranan yang menentukan
eksistensi dan perkembangan suatu masyarakat, oleh
karena, pendidikan merupakan usaha melestarikan dan
mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai ke-
budayaan kepada generasi berikutnya. Demikian juga
dengan peranan pendidikan Islam di kalangan umat Islam,

1
Nurhilaliati

tidak lain adalah untuk melestarikan, mengalihkan, men-


transformasikan, dan menginternalisasikan nilai-nilai Islam
kepada pribadi generasi penerusnya, sehingga nilai-nilai
kultural-religius yang dicita-citakan dapat tetap berfungi
dan berkembang dalam masyarakat dari waktu ke waktu.
Di sisi lain, karena psikologi adalah ilmu pengetahuan
yang berusaha memahami sesama manusia, dengan tujuan
untuk dapat memperlakukan manusia dengan lebih tepat,
maka pengetahuan psikologi adalah hal yang perlu dan
penting. Selain itu, upaya membimbing dan mengarahkan
perkembangan jiwa dan pertumbuhan jasmaniah dalam
pengertian pendidikan, tidak dapat dipisahkan dari
pengertian psikologis. Karena pekerjaan mendidik atau
mengajar yang bersasaran manusia yang sedang tumbuh
dan berkembang harus didasarkan atas tahap-tahap
perkembangan dan pertumbuhan psikologis.
Tanpa disadari, dengan tanpa pandangan psikologis,
bimbingan dan pengarahan yang bernilai paedagogis, tidak
akan menemukan sasaran yang tepat, yang berakibat pen-
capaian tujuan pendidikan yang tidak tepat pula. Antara
paedagogik dengan psikologi (khususnya Psikologi
Pendidikan) saling mengembangkan dan memperkokoh
dalam proses pengembangan akademiknya lebih lanjut,
juga dalam proses pencapaian tujuan pembudayaan
manusia melalui proses kependidikan.
Dalam literatur ilmu pengetahuan, terutama Pendidi-
kan (Islam) dan Psikologi (Humanistik) dijumpai berbagai

2
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

pandangan dan kajian terhadap manusia, yang dilakukan


oleh para pakar, yang kemudian menyusun konsep dan
teori tentang manusia, mulai dari hakekat, potensi diri dan
aktualisasinya, sampai pada tujuan hidup manusia.
Pendidikan Islam memandang manusia sebagai kajian
yang menarik, karena pribadinya yang unik dan hakekat
manusia yang sulit dipahami dan dimengerti oleh manusia
itu sendiri. Manusia yang merupakan kreasi terbesar
Tuhan, adalah satu-satunya makhluk yang perbuatannya
mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Tuhan
dan kemudian akan menjadi sejarah (Q.S. 5: 56 dan 75:
36), dan ia adalah makhluk kosmis yang sangat penting,
karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-
syarat yang diperlukan.1 Syarat itu menyatakan bahwa
manusia adalah sebagai suatu kesatuan jiwa-raga dalam
hubungan timbal-balik dengan dunia dan sesamanya.
Dalam kesatuan itu, ada unsur jasmani yang membuat
manusia sama dengan dunia di luar dirinya. Di samping
itu, ada unsur lain yang membuat dirinya mampu
mengatasi dunia sekitarnya serta dirinya sebagai jasmani,
unsur kedua sebenarnya sudah tampak dalam berbagai
makhluk hidup, yaitu sesuatu yang diberi nama jiwa (soul).2

1 Ismail Raji al-Faruki, Islam dan Kebudayaan, (Bandung: Mizan, 1984),


h. 12.
2Muhaimin & Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik
dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), 9-
10.

3
Nurhilaliati

Menurut al-Quran, yang merupakan sumber bagi


Pendidikan Islam, manusia menempati posisi istimewa
dalam alam ini. Manusia adalah wakil Allah di muka bumi
(Q.S. 2: 30).3 Ini menunjukkan tanggungjawab yang berat
bagi manusia. Oleh karena itu, manusia dibekali dengan
berbagai potensi yang tidak akan berkembang dengan
sendirinya, melainkan membutuhkan lingkungan yang
kondusif dan edukatif, sehingga potensi yang ada pada
dirinya menjadi aktual. Dalam kaitannya dengan tugas-tugas
kekhalifan manusia di bumi, diperlukan usaha pewarisan
nilai-nilai dari generasi ke generasi secara terus menerus,
sehingga tatanan umat manusia menjadi baik dan sempurna,
sesuai dengan tuntutan ajaran Agama Islam. Dalam hal ini,
sarana utama yang dibutuhkan untuk pengembangan
kehidupan manusia tidak lain adalah pendidikan, dalam
dimensi yang setara dengan tingkat daya cipta, daya rasa,
daya karsa masyarakat beserta anggotanya.
Di antara kesempurnaan penciptaan manusia adalah
dilengkapinya dengan akal. Melalui pertimbangan akalnya,
manusia dapat menentukan pilihannya. Termasuk dalam

3 “Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada para Malaikat:


“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.
Mereka berkata: “Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
tu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah. Padahal, kami senantiasa bertasbih memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?” Tuhan-mu berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui" (QS. 2: 30).

4
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

hal ini, kebebasan manusia dalam memilih beriman atau


tidak beriman (Q.S. 18: 29).4 Al-Qur'an memandang,
dengan kesempurnaan penciptaan manusia dibandingkan
dengan makhluk lainnya, maka proses kesempurnaan se-
lanjutnya yang lebih hakiki sangat tergantung pada faktor
manusia itu sendiri sebagai makhluk yang memiliki
kesadaran dan tanggungjawab (Q.S. 13: 11)5 dan sebagai
makhluk yang bebas menentukan pilihan (Q.S. 91: 8).6
Sejalan dengan misi Agama Islam yang diturunkan
Allah kepada manusia, maka proses kependidikan Islam
berusaha merealisasikan misi itu dalam tiap pribadi
manusia, yaitu “menjadi manusia sejahtera dan bahagia
dalam cita Islam”. Pada sisi lain, Psikologi Humanistik
timbul sebagai reaksi terhadap pandangan-pandangan
Psikoanalisis dan Behaviorisme, yang dianggap telah
mereduksi hakekat dan sifat-sifat manusia pada taraf non-
manusiawi, serta menganggap bahwa unsur lingkungan
merupakan penentu tunggal perlakuan manusia. Mazhab
psikologi ini memandang bahwa manusia memiliki kualitas

4 “Dan katakanlah: “kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka


barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS. 18: 29).
5 “Bagi manusia ada Malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya

bergiliran, di muka bumi dan belakangnya, mereka menjaganya atas


perintah Allah” (QS. 13:11).
6 “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasihan dan

ketakwaan” (Q5 91:8).

5
Nurhilaliati

yang tipikal insani sebagai karakteristik eksistensinya, serta


dalam batas-batas tertentu mampu mengaktualisasikan-nya.
Atau dalam bahasa lain, Psilkologi Humanistik sangat
menghargai keunikan pribadi, penghayatan subjekuf.
kebebasan, tanggungjawab dan terutama kemampuan
mengaktualisasikan diri bagi tiap individu.
Dalam kaitannya dengan pendidikan, Psikologi
Humanistik menghendaki suatu bentuk pendidikan baru,
Pendidikan ini akan memberi tekanan lebih besar pada
pengembangan potensi seseorang, terutama potensinya
untuk menjadi manusiawi, memahami diri dan orang lain
serta berhubungan dengan mereka, mencapai pemuasan
atas kebutuhan dasar manusia dan tumbuh ke arah
aktualisasi diri, Pendidikan ini akan membantu orang
menjadi pribadi yang sebaik-baiknya sesuai dengan
kemampuannya.7
Apabila dipotret dari perspektif ilmuwan Muslim
tentang pandangan Psikologi Humanistik tersebut, maka
akan dijumpai beragam pendapat. Di satu sisi ada yang
memandang bahwa konsep yang ditawarkan oleh aliran
tersebut, tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sedang
di sisi lain memandang bahwa apa yang ditawarkan oleh
aliran tersebut bertentangan dengan ajaran Agama Islam.

7 Frank. G. Goble, Mazhab Ketiga, terjemahan Supratin, (Yogyakarta

Kanisius, 1998), h. 119.

6
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Menurut kelompok pertama, Psikologi Humanistik


mewakili suara Islam. Bahkan Badri menganjurkan para
psikolog Muslim, agar mempelajari ajaran tersebut.8
Sementara kelompok yang kedua mengatakan bahwa,
pandangan Psikologi Humanistik sangat optimistik dan
bahkan terlampau optimistik terhadap upaya pengem-
bangan sumber daya manusia, sehingga manusia di-
pandang sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan
play-God (peran Tuhan).9
Bertitik tolak dari pandangan Pendidikan Islam dan
Psikologi Humanistik terhadap potensi manusia seperti
yang diuraikan di atas, maka kiranya akan menarik untuk
mencari dan menelusuri aspek-aspek persamaan maupun
perbedaan kedua disiplin ilmu tersebut, sehingga akan jelas
sisi mana dari Psikologi Humanistik yang sesuai dan benar-
benar bertentangan dengan sudut pandang Islam, khusus-
nya dalam melihat potensi manusia. Akhirnya nanti,
diharapkan tidak akan ada lagi persepsi yang keliru
terhadap salah satu dari keduanya.
Penulis sengaja mengambil Psikologi Humanistik
untuk dihadapkan dengan Pendidikan Islam, karena
berdasarkan adanya hipotesis bahwa pandangan Psikologi

8 Djamaluddin Ancok, & Fuad Nashari Suroso, Psikologi Islami, Solusi


atas Problem-problem Psikologi, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 68-69.
9 Hanna Djumhana Bustama, Integrasi Psikologi dengan Islam,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 52.

7
Nurhilaliati

Humanistik tentang manusia banyak kesamaannya dengan


ajaran Islam. Sehingga, pada akhirnya nanti, masing-masing
“berdialog”. Karena lewat dialog, akan tercipta suasana
berbagi ide dan berbagi pengalaman, dengan tetap men-
jaga dan menghargai eksistensi masing-masing. Dengan
dialog maka dapat dihindari sikap eksklusif yang cenderung
untuk menutup diri dan merasa benar sendiri.
Dengan demikian, maka tulisan ini hanya dibatasi pada
upaya mendialogkan antara pendidikan Islam dengan
Psikologi Humanistik, khususnya dalam pandangan
tentang potensi manusia. Karena pembicaraan dititik-
beratkan pada manusia, maka pembahasan akan dipusat-
kan pada aspek-aspek antara lain hakekat fitrah atau
potensi manusia itu sendiri, lalu manusia dan pendidikan,
dan juga konsep tentang pendidikan sebagai sarana
aktualisasi dan optimalisasi potensi. Selain itu akan dilihat
juga aplikasi dari penggabungan kedua teori tersebut
dalam pengembangan pendidikan Islam. Masing-masing
akan dikaji dari perspektif Pendidikan Islam dan Psikologi
Humanistik. Untuk itu, maka permasalahan urgen yang
akan dijadikan sebagai acuan kerja adalah “Bagaimana
pandangan Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik
tentang potensi manusia, dan aspek apa saja yang dapat
didialogkan antara Pendidikan Islam dengan Psikologi
Humanistik dalam pandangannya tentang potensi
pendidikan manusia, kemudian bagaimana penerapan hasil

8
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

dialog keduanya dalam upaya pengembangan Pendidikan


Islam?”
Tujuan tulisan ini adalah ingin mengkaji, mendalami,
menganalisis, dan membandingkan pandangan Pendidikan
Islam dan Psikologi Humanistik tentang potensi manusia
serta mengupayakan suatu dialog antara Pendidikan Islam
dengan Psikologi Humanistik dalam pandangan tentang
potensi manusia, lalu mencoba menawarkan suatu hasil
dialog keduanya untuk pengembangan Pendidikan Islam.
Hasil pengkajian yang diperOleh diharapkan akan
menjadi kontribusi ilmiah terhadap dunia Pendidikan
Islam, khususnya dalam memperkaya konsep pendidikan,
yaitu mengambil pandangan-pandangan positif dari
Psikologi Humanistik untuk diterapkan dalam pelaksana-
an pendidikan Islam. Atau menciptakan sinkronisasi dan
harmonisasi antara konsep yang dipilih keduanya, dalam
upaya pengembangan pendidikan Islam.
Objek kajian dalam tulisan ini adalah potensi manusia.
Tujuannya yaitu mencari dan mengetahui pandangan
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik, untuk
kemudian mengangkat persamaan dan perbedaan,
sehingga akan jelas kemungkinan mendialogkan antara
kedua pihak tersebut. Oleh sebab itu, secara substantive
objek studi ini ditelaah dengan pendekatan multidisiplin,
guna mencapai tujuan tersebut di atas.

9
Nurhilaliati

Pendekatan utama yang digunakan dalam kajian ini


adalah pendekatan filosofik, yaitu suatu sudut tinjau yang
menempatkan objek secara utuh, menyeluruh dan men-
dasar. Berkaitan dengan pendekatan tersebut, maka
metode yang digunakan dalam hal ini, adalah pertama-
tama deskriptif, kemudian komparatif, dan terakhir analisis-
sintesis. Deskriptif dilakukan dengan memaparkan ber-
bagai pandangan Pendidikan Islam dan Psikologi
Humanistik yang berkenaan dengan potensi manusia,
memahami jalan pikiran atau makna yang terkandung di
dalammya.
Metode komparatif secara khusus digunakan untuk
menbandingkan antara pandangan Pendidikan Islam
dengan Psikologi dan Humanistik tentang potensi
manusia. Perbandingan ini dimaksudkan untuk menemu-
kan persamaan dan perbedaan dalam masalah-masalah
tertentu, sehingga akan diketahui koherensi maupun
inkoherensi antara pandangan keduanya. Melalui
bandingan antara pandangan-pandangan keduanya
diharapkan dapat menemukan sikap atau pandangan
elektik yang dapat bermanfaat bagi pengembangan
Pendidikan Islam itu sendiri. Kenyataan memang me-
nunjukkan bahwa Pendidikan Islam dan Psikologi
Humanistik memiliki orientasi yang berbeda, sehingga
masing-masing teori perlu didudukkan saling melengkapi
dan komplementer. Penalaran yang digunakan dalam hal

 10 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

ini, adalah tata fikir relevansi, yang menunjuk pada


hubungan yang lebih bersifat fungsional, sesuai dengan
dimensi yang diperbandingkan.10
Selanjutnya, analisis dipergunakan dalam arti secara
kritis membahas, meneliti dan meninjau berbagai pandang-
an Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik tentang
potensi manusia, guna menemukan konsep yang lebih
komplementer dan padu. Berikut merangkum unsur-
unsur yang dipandang aktual dan relevan dengan konteks
Pendidikan Islam masa kini. Dalam hal ini digunakan tata
fikir induktif.11 Akhirnya dengan sintesis diharapkan
menemukan sesuatu kesatuan pendapat yang lebih utuh
dan padu. Tata fikir yang digunakan adalah deduktif dan
reflektif-kontekstual.12
Perlu pula dijelaskan bahwa pada beberapa bagian,
kajian ini adalah kajian yang murni kepustakaan (pure library
research), yaitu semua data yang ada dalam tulisan ini akan
diambil dari tulisan para ahli yang kompeten dalam kedua
cabang ilmu tersebut. Data dalam tulisan ini ada dua, yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer adalah semua
tulisan yang semua pembahasan pokoknya adalah masalah-
masalah yang diuraikan di atas. Acuan utama untuk

10 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake


Sarasin Press, 1996), h. 71.
11 Ibid., h. 66

12 Ibid.

 11 
Nurhilaliati

Pendidikan Islam adalah karya-karya dari beberapa penulis


yang konsen dengan Pendidikan Islam, seperti
Abdurrahman Saleh Abdullah, Syed Muhammad Naquib
al-Attas, Abdul Fattah Jalal, Abdurrahman an-Nahlawi,
Omar Muhammad Attoumy Asyaibani, M Arifin, Hasan
Langgulung, dan sebagainya. Kemudian acuan utama
untuk Psikologi Humanistik, adalah buku-buku karya para
tokoh pendiri dan pengembang Psikologi Humanistik inu
sendiri, seperti Gordon W, Allport, Carl Rogers dan
Abraham Maslow, baik yang ditulisnya sendiri atau
pembahasan tentangnya oleh orang lain. Karena Maslow
dianggap sebagai pendiri mazhab Psikologi ini, maka
dalam tulisan ini banyak sekali pandangannya yang akan
dikemukakan, bahkan akan mendominasi uraian-uraian
tentang masalah yang dibahas. Sedangkan data sekunder
adalah semua tulisan yang mendukung dan sesuai dengan
objek kajian. Misalnya buku-buku filsafat pendidikan
(Islam atau umum), psikologi dan filsafat (terutama
eksistensial) secara umum.
Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka konseptual
yang diajukan dalam tulisan ini adalah: manusia adalah
makhluk yang terdiri dari dua substansi. Pertama, substansi
jasad/materi, yang bahan dasarnya adalah dari materi yang
merupakan bagian dari alam semesta ciptaan Allah, dan
dalam pertumbuhan dan perkembangannya tunduk dan
mengikuti sunatullah (hukum alam). Kedua, substansi

 12 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

imateri/non jasad, yaitu penghembusan/peniupan roh


yang bercitarasa ketuhanan kedalam diri manusia, sehingga
manusia merupakan benda organik yang mempunyai
hakekat kemanusiaan serta mempunyai berbagai alat
potensial dan fitrah.
Manusia yang terdiri atas dua substansi itu, telah
dilengkapi dengan alat-alat potensial dan potensi-potensi
dasar tersebut disebut fitrah, yang harus diaktualkan dan
atau dipertumbuhkembangkan dalam kehidupan nyata di
dunia melalui proses pendidikan, untuk selanjutnya
dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya kelak diakhirat.
Abdul Fattah Jalal dalam bukunya Min Usul al-
Tarbawiyah fi al-Islamiyab,13 telah mengkaji ayat-ayat Al-
Qur'an yang berkaitan dengan alat-alat potensial yang
dianugrahkannya oleh Allah kepada manusia untuk meraih
ilmu pengetahuan. Masing-masing alat itu saling berkaitan
dan melengkapi dalam mencapai ilmu. Alat-alat tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Al-Sams dan al-Shuam (alat peraba dan alat pencium)
sebagaimana firman Allah dalam Q.S. 6: 7 dan Q.S. 12:
94.
2. Al-Sam'u (alat pendengaran). Penyebutan alat ini
dirangkaikan dengan penglihatan dan qalbu, yang
menunjukkan adanya saling melengkapi antara ber-

13 Abdul Fattah Jalal, Min Usul al-Tarbawiyah fi al-Islamiyah, (Mesir: Dar

al-Kutub, 1977), h. 103-110.

 13 
Nurhilaliati

bagai alat tersebut untuk mencapai ilmu pengetahuan,


sebagaimana yang terdapat daam firman Allah Q.S. 17:
36, 23: 78, 3: 9, 67: 23 dan sebagainya.
3. Al-Abshar (penglihatan). Banyak ayat al Qur'an yang
menyeru manusia untuk melihat dan merenungkan apa
yang dilihatnya, sehingga mencapai hakekatnya,
sebagaimana firman Allah dalam Q.S. 7: 185, 10: 101,
32: 27, dan sebagainya.
4. Al-„Aql (daya pikir). Al-Qur'an memberi perhatian
khusus terhadap penggunaan akal dalam berpikir
sebagaimana firman Allah dalam Q.S. 3: 191 dan
pembahasan lain tentang pentingnya akal dalam
kehidupan manusia.
5. Al-Qalb (kalbu). Hal ini termasuk alat ma'rifah yang
digunakan manusia untuk mencapai ilmu, sebagai-
mana firman Allah dalam Q.S. 22: 46, 47: 24 dan
sebagainya.

Di samping itu, Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya


menjelaskan,14 bahwa manusia telah diberi hidayah Oleh
Allah secara bertingkat. Pengertian hidayah di sinií
sebagaimana dikemukakan Rasyid Ridha, ialah petunjuk
halus yang memudahkan seseorang untuk mencapai
sesuatu yang dicari atau mencapai tujuan.

14 Mustafa al-Maraghi, Mustafa al-Maraghi, terjemahan Anshari Umar

Sitanggal, dkk, (Semarang: Toha Putra, 1987).

 14 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Dalam diskursus psikolopi juga ditemukan bahwa


makhluk manusia memiliki alat-alat seperti yang disebut-
kan di atas. Dan para psikolog telah merincinya ke dalam
beberapa aspek: perhatian, pengamatan, tanggapan, ingat-
an, berfikir, persaan, yang kesemuanya disebut aktivitas
manusia yang dapat diamati maupun tidak diamati.15
Semua unsur yang ada pada manusia tersebut, akan
tumbuh dan berkembang dengan baik apabila mendapat
perhatian dari usaha pendidikan.
Jadi, dalam Islam, manusia dipandang sebagai
manusia, karena memiliki derajat yang tinggi, ber-
tanggungjawab atas semua yang diperbuat serta makhluk
pemikul amanah yang berat. Apapun perbuatan manusia,
termasuk di dalamnya perbuatan hina karakteristik
manusia tetap difhargai sebagai manusia bukan didentik-
kan dengan hewan, Walaupun seperti (perbuatan) hewan
dari segi sifatnya, tetapi substansinya tetap beda, sebagai-
mana dipertegas oleh Allah dalam surat 7: 179.
Keseluruhan deskripsi tentang keranggka teoretik di
atas dapat disimpulkan, bahwa yang, menjadi landasan
teori kajian ini ada dua: pertama, pandangan Pendidikan
Islam yang mengatakan bahwa Allah teclah menganugrah-
kan kepada manusia sebagian potensi atau kapasitas diri-
Nya yang terangkum dalam al-Asma‟ al-Husna. Dan untuk

15 Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1995), h. 13-15.

 15 
Nurhilaliati

mengaktualisasikan selaruh potensi dirinya itu manusia


memerlukan usaha pendidikan. Kedua, pandangan
Psikologi Humanistik yang mengatakan bahwa manusia
dalah makhluk unik yang mempunyai kemauan dan
kebebasan. Manusia dapat berbuat menurut kemauannya
sendiri sehingga ia dapat dimintai pertanggungjawaban.
Salah satu aspek unik manusia adalah adanya keyakinan
akan adanya nilai tersebut dapat dibuktikan secara ilmiah
Manusia pada dasarnya memiliki potensì baik, minimal
lebih banyak baiknya dari buruknya.
Pembahasan tentang potensi manusia, yang ditinjau
dari perspektif pendidikan Islam maupun Psikologì
Humanistik, secara parsial telah banyak dilakukan dalam
kajian-kajian yang dilakukan oleh beberapa penulis
rerdahulu. Hal ini terjadi, karena memang salah satu yang
menjadi subjek sekaligus objek kajian ilmu pengetahuan
adalah manusia itu sendiri.
Hampir semua buku atau karya ilmiah lainnya yang
berbau pendidikan, khususnya Pendidikan Islam, akan
menggelar pembicaraan tentang manusia di dalamnya,
yaitu bagaimana hakekat manusia, apa tujuan hidupnya,
potensi yang dimilikinya, cara mengaktualisasikan potensi
tersebut dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan
psikologi, terlebih Psikologi Humanistik. Sekedar contoh
untuk karya-karya yang terdahulu yang dimaksud antara
lain adalah Ilmu Pendidikan Islam karya M. Arifin, Manusia
dan Pendidikan, Asas-asas Pendidikan Iskam, keduanya adalah

 16 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

karya Hasan Langgulung, Third Force, The Psychology of


Abrabam Maslow karya Frank G. Goble, dan masih banyak
lagi yang lain. Semua buku itu secara panjang lebar
memperbincangkan manusia. Namun dalam batasan-
batasan tertentu, maksudnya, masih dalam bingkai ilmu
itu sendiri, tanpa mengaitkan dengan disiplin lain.
Kelemahan yang akan ditemuí dalam buku-buku
tersebut adalah adanya kecendrungan untuk menyalahkan
pihak lain dan menganggap diri sendiri sebagai pihak yang
paling benar. Padahal masing-masing bisa saling mengisi.
Sedangkan kelebihannya, terutama bagi penulis, adalah
tersedianya diskursus yang lengkap tentang manusia.
Adapun kelebihan tulisan ini adalah adanya upaya tentang
bagaimana mendialogkan masing-masing pihak untuk
memperoleh titik-temunya, sehingga akan terlihat
persamaan dan perbedaannya, untuk kemudian akan saling
mengisi. Hasil dari dialog antara keduanya akan digunakan
untuk pengembangan (konsep) pendidikan Islam.
Dengan demikian, signifikansi dan kecorisinalan kajian
ini terletak pada adanya tawaran untuk mendialogkan dan
kemungkinan harmonisasi atau sinkronisasi antara
pendidikan Islam dengan psikologi Humanistik dalam
pandangannya tentang potensi manusia. Suatu kajian yang
belum dilakukan sebelumnya. Namun tidak dipungkiri
bahwa hadirnya buku-buku tersebut di atas, dan juga buku
yang mendukung akan digunakan untuk penyelesaian
permasalahan yang diangkat.

 17 
BAВ II
Pendidikan Islam

A. Permasalahan Seputar Pendidikan Islam

1. Hakekat Pendidikan Islam


Membicarakan pendidikan dalam konteks Islam,
maka akan dijumpai bahwa kata pendidikan yang dikenal
dalam bahasa Indonesia lebih menggunakan istilah-istilah
tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib dalam bahasa Arabnya. 1 Setiap

1Secara umum, pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia


untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dalam
masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian, bagaimanapun

 18 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda, karena


perbedaan teks dan konteks kalimatnya. Meskipun
demikian, dalam hal-hal tertentu, istilah-istilah tersebut
mempunyai kesamaan makna, karena pada dasarnya,
formulasi hakekat Pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan
begitu saja dari ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur'an
dan al-Sunnah, karena kedua sumber tersebut merupakan
pedoman otentik dalam penggalian khazanah keilmuan
apa pun. Dengan berpijak kepada keduanya diharapkan
akan diperoleh gambaran yang jelas tentang hakekat
pendidikan Islam.
Istilah tarbiyah yang berasal dari akar kata rabb berarti
mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi

sederhananya suatu peradaban, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu


proses pendidikan. Oleh sebab itu, sering dinyatakan pendidikan telah ada
sepanjang sejarah peradaban manusia. Karena pada hakekatnya pendidikan
adalah usaha manusia melestarikan hidupnya. Tim Dosen IKIP Malang,
Pengantar Dasar Kependidikan, (Malang: IKIP, 1981), h. 2. Bandingkan
dengan Suryosubroto B., Beberapa Aspek Dasar Kependidikan, (Jakarta: Bina
Aksara 1992), h. 26. Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang
Kependidikan Islam, (Bandung: al-Ma'arif, 1995), h. 183. Rumusan lain
adalah yang diajukan oleh Brubacher: "Education should be thought of as process
of man's reciprocal adjustment to nature, to bis fellows and to the ultimate nature of the
cosmos. Education is the organized development and equipment of all the poors of
buman being, moral, intellectual, and physical, by and for their individual and sosial
uses, directed toward the union of these activities with their final end, education is the
process in with the powers (abilities, capabilities of men which are suspectible to
babituation are perfected by good babits, by means artistically contrived, and employed
by a man to belp anotber or bimself achieve the end in view (i.e. good habits)". John S.
Brubacher, Modern Philosophbies of Education, Fourth Education, (New Delhi:
Tata McGraw-Hill Publishing Company LTD., 1981), h. 371.

 19 
Nurhilaliati

setahap sampai pada batas yang sempurna.2 Dalam al-


Qur'an, kata tarbiyah dengan berbagai kata yang
serumpun dengannya diulang sebanyak 872 kali.3 Kata ini
selanjutnya digunakan al-Qur'an untuk berbagai hal, antara
lain digunakan untuk menerangkan salah satu sifat Allah,
yaitu Rabb al-„alamin yang diartikan pemelihara, pendidik,
penjaga, penguasa dan penjaga sekalian alam.4 Selain itu,
digunakan juga untuk kata yang lebih diperinci lagi, yaitu
yang dipelihara, dididik, dan seterusnya itu ada
berupa al-arsy al-„azhim (9: 129), al-masyáriq (37: 126), al-
maghrib (55: 17), al-baldah (27: 91), al-bayt (106: 3), dan al-
falaq (113: 1).
Beberapa ayat tersebut menunjukkan dengan jelas
bahwa kata rabb sebagaimana yang disebutkan al-Qur'an
ternyata digunakan untuk menunjukkan objek yang
bermacam-macam, yang dalam hal ini meliputi benda-
benda yang bersifat fisik dan non-fisik. Dengan demikian
pendidikan meliputi pemeliharaan terhadap seluruh
makhluk Tuhan.
Istilah kedua adalah ta'lîm yang berasal dari akar kata
„ilm yang digunakan secara khusus untuk menunjukkan
sesuatu yang dapat diulang dan diperbanyak, sehingga

2 Al-Ragib al-Asfahâny, Majam al-Mufradát li a-Alfaz al-Qurân, (Beirut:

Dar al-Fikr, tt.), h. 198.


3 Muhammad Fuâd al-Bâqy, Mu‟jam al-Mufahras li al-Alfaz al-Qur'ân al-

Karim, (Beirut, Dâr al-Fikr, 1987), h. 285-299.


4 Q.S. 1:1, 5: 28, 6: 45, 71, 162, dan 164, dan 7: 54.

 20 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

menghasilkan bekas atau pengaruh pada diri seseorang.


Dan ada pula yang mengatakan bahwa kata tersebut
digunakan untuk mengingatkan jiwa agar memperoleh
gambaran mengenai arti tentang sesuatu, dan terkadang
kata tersebut dapat pula diartikan pemberitahuan.5 Dalam
al-Qur'an, kata ta‟lîm dengan berbagai kata yang serumpun
dengannya disebutkan sebanyak 840 kali dan digunakan
untuk arti yang bermacam-macam. Terkadang digunakan
Allah untuk menjelaskan pengetahuan-Nya yang diberikan
kepada manusia (2: 60), yang ada pada manusia (11: 79),
dan digunakan untuk menjelaskan bahwa Allah mengetahui
orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya (2: 143).
Berdasarkan informasi ini, jelas bahwa kata ta‟lîm di dalam
al-Qur'an mengacu kepada adanya sesuatu yang berupa
pengetahuan yang diberikan kepada seseorang yang
bersifat intelektual.
Adapun istilah ta'dîb yang berakar pada kata adab
tidak dijumpai dalam al-Qur'an, tetapi dijumpai dalam al-
Hadist antara lain yang berbunyi, addabanî rabbî fa absana
ta'dibî (Tuhan telah mendidikku, dan telah membuat
pendidikanku sebaik-baiknya).
Para pakar (pendidikan utama) berbeda pendapat
tentang penggunaan ketiga istilah terbut dalam dunia
pendidikan. Al-Nahlawy misalnya, cenderung mengguna-
kan kata tarbiyah berasal dari tiga kata yaitu, pertama, raba-

5 al-Asfahâny, Majam al-Mufradát…, h. 356.

 21 
Nurhilaliati

yarbû yang berarti bertambah dan tumbuh, karena


pendidikan mengandung misi untuk menambah bekal
pengetahuan peserta didik dan menumbuhan potensi yang
dimilikinya. Kedua, rabbiya-yarbâ yang berarti menjadi besar,
karena pendidikan juga mengandung missi untuk
membesarkan jiwa dan memperluas wawasan seseorang,
Ketiga, rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai
urusan, menuntun, menjaga dan memelibara.6
Al-Attas berpendapat bahwa kata yang paling tepat
untuk mewakili kata pendidikan adalah kata ta'dîb, karena
istilah tarbiyah dinilainya terlalu luas, yakni mencakup
pendidikan untuk hewan juga. Sedangkan kata ta'dîb
sasaran pendidikannya hanya manusia.7
Berbeda dari kedua pendapat di atas, Jalal mengata-
kan bahwa istilah yang lebih komprehensif untuk mewakili
pendidikan adalah istilah talim, karena menurutnya istilah
ini lebih universal sebab berhubungan dengan pemberian
bekal pengetahuan yang dalam Islam ilmu pengetahuan
dinilai sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan yang
tinggi.
Apa yang diuraikan di atas merupakan perbedaan
pendapat yang sebenarnya tidak perlu untuk dibicarakan

6 Abdurrahman al-Nahlawy, Ushûl at-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa


Asâlibubá, (Beirut, Dâr al-Fikr, 1979), h. 18.
7 Syed Muhammad al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education,

(Jeddah, King Abdul Aziz University; 1979), h. 52.

 22 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

secara panjang lebar, karena antara ketiganya memang


memiliki kesan yang berbeda namun saling mengisi. Istilah
ta‟lîm mengesankan proses pemberian akal pengetahuan,
sedangkan istilah tarbiyah mengesankan proses pembinaan
dan pengarahan bagi pembentukan kepribadian dan sikap
mental. Sementara istilah ta'dîb mengesankan proses
pembinaan terhadap sikap moral dan etika dalam kehidup-
an yang lebih mengacu pada peningkatan martabat
manusia.
Secara operasional, istilah Pendidikan Islam merupa-
kan usaha untuk mengubah tingkah laku individu dalam
kehidupan pribadi, masyarakat dan atau kehidupan dalam
alam sekitarnya melalui proses pendidikan. Perubahan di
atas berdasarkan pada nilai-nilai Islam.8 Dengan demikian,
jelaslah proses pendidikan merupakan rangkaian usaha
membimbing dan mengarahkan potensi hidup manusia
yang berupa kemampuan dasar dan kemampuan belajar
sehingga terjadi perubahan di dalam kehidupan pribadi
sebagai makhluk individu dan sosial serta hubungannya
dengan alam sekitar. Proses tersebut senantiasa berada
dalam nilai-nilai Islam, yaitu nilai yang melahirkan syari'ah
dan akhlaq al-karimah. Atau dalam kata lain, pendidikan
Islam adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan
kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya

8Omar Muhammad al-Thoumy as-Syaebâny, Falsafah at-Tarbiyah al-

Islâmiyyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 399.

 23 
Nurhilaliati

sesuai dengan cita Islam, karena nilai-nilai Islam telah


menjiwai dan mewanai corak kepribadiannya.9
Rumusan lain adalah seperti yang diajukan Oleh
Marimba bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam
adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pen-
didik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta
didīk, menuju terbentuknya kepribadian yang utama.10
Dengan mengikuti rumusan Marimba, Karim menambah-
kan beberapa unsur, sehingga terkesan sedikit luas, yaitu
bimbingan atau pengarahan secara sadar oleh pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik
menuju terbentuknya manusia yang sempurna (relatif)
yang didasarkan pada nilai dan ajaran Islam yang ber-
hubungan dengan Tuhan, alam semesta, manusia,
masyarakat, moralitas, dan ilmu pengetahuan.11
Kemudian dengan mengutip Ibrahim,12 Muhaimin
dan Mujib menulis bahwa yang dimaksud dengan pen-

9 HM. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1984),


h. 14, dan lihat juga H.M. Arifin, Pendidikan Islam Tinjanan Teoritis dan
Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdispiner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h.
10.
10 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung

Al-Ma'arif, 1989, h. 19.


11 Ruslim Karim, “Hakekat Pendidikan Islam Sebagai Upaya

Pembebasan Manusia”, dalam Ahmad Busyairi dan Azharuddin Sahil,


Tentangan Pendidikar Islam, (Yogyakarta: LPM UII, 1987), h. 14.
12 Islamic edacation in true sense of the term, is a sistem of education wich

enables a man to leate his live according to the Islamic ideology, so that he may easily
moudd his life in accordance with tenets of Islam. And thus peace and prosperity may

 24 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

didikan Islam adalah suatu sistem pendidikan yang


memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupan-
nya sesuai dengan ajaran Islam.13
Jadi, Pendidikan Islam lebih banyak ditujukan kepada
pemberian sikap mental yang akan terwujud dalam amal
perbuatan, baik untuk keperluan diri sendiri maupun
orang lain. Pada sisi lain, Pendidikan Islam tidak hanya
bersifat teoretis saja, tetapi juga praktis. Ajaran Islam tidak
memisahkan antara iman dan amal saleh. Oleh karena itu,
Pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan
amal. Dan karena Pendidikan Islam berisi ajaran tentang
sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat menuju
kesejahteraan hidup perorangan dan bersama, maka
pendidikan Islam adalah pendidikan individu dan
masyarakat.”14
Dengan demikian, nafas keislaman dalam pribadi
seorang Muslim merupakan elan vital yang menggerakkan
perilaku yang diperkokoh dengan ilmu pengetahuan yang
luas, sehingga ia mampu memberikan jawaban yang tepat

prevail in bis own life as well as in thewhole world. This islamic scheme of education
is, of necessity and all embaracing sistem, for Islamic encompasses the entire gamut
of a Muslim life. It can justly beside that all branches of learning wich are not
Islamic are included in the Islamic education. The scopes of Islam ic education has
been changing at different time. In view of the demands of the age and the development of
science and technology, its scope has else widened.
13 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran ..h. 134-135.
14 Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992),

h. 22.

 25 
Nurhilaliati

guna terhadap tantangan perkembangan ilmu dan tekno-


logi. Oleh karena itu, Pendidikan Islam harus memiliki
ruang lingkup yang berubah-rubah menurut waktu yang
berbeda-beda. Ia bersifat lentur terhadap perkembangan
kebutuhan manusia dari waktu ke waktu.15
2. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan memiliki cakupan yang amat luas,
karena di dalam tujuan tercakup berbagai masalah, seperti
keinginan, proses, ramalan, dan maksud. Hal ini meng-
gambarkan dengan jelas bahwa tujuan dalam prakteknya
menghendaki pilihan-pilihan yang dilakukan secara
saksama terhadap berbagai alternatif yang ditawarkan.
Kesalahan memilih alternatif dalam perumusan suatu
tujuan akan membawa hasil yang salah pula. Itulah sebab-
nya, suatu rumusan tujuan pendidikan tidak dapat dibuat
secara sembarangan, atau dibuat tanpa mempertimbang-
kan berbagai kemungkinan yang akan dihasilkan dalam
kegiatan pendidikan.
Menjawab pertanyaan tentang apakah tujuan Pen-
didikan Islam, maka kembali akan dilihat pendapat
beberapa pakar pendidikan. Ahmad Tafsir misalnya men-
coba menjelaskan tujuan Pendidikan Islam dengan merujuk
kepada berbagai pendapat para pakar pendidikan Islam.

15
Mujayin Arifin, Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat:
suatu Pendekatan Filosofis, Paedagogis, Psikososial dan Kultural, (tt.: Golden
Trayon Press; t.), h. 8.

 26 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Dari berbagai pendapat tersebut, in membagi tujuan


Pendidikan Islam kepada tujuan yang bersifat umum dan
tujuan yang bersifat khusus. Menurutnya, untuk
merumuskan tujuan Pendidikan Islam secara umum harus
diketahui lebih dahulu ciri manusia sempurna menurut
Islam.16 Dengan kata lain, konsepsi manusia menurut Islam
sangat membantu dalam merumuskan tujuan pendidikan
Islam. Dalam hal ini, manusia adalah makhluk yang me-
miliki unsur jasmani dan unsur rohani, fisilk dan jiwa yang
memungkinkan ia dapat diberi pendidikan. Selanjutnya
manusia ditugaskan untuk menjadi khalifah di muka bumi
sebagai pengamalan ibadah kepada Tuhan dalam arti yang
seluas-luasnya. Konsepsi ini pada akhimya akan membantu
merumuskan tujuan Pendidikan Islam, karena pada
hakekatnya tujuan pendidikan adalah gambaran ideal dari
manusia yang ingin melalui proses pendidikan.17
Muhammad 'Athiyah al-Abrasy, mengatakan bahwa
pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari Pendidikan Islam,
dan Islam menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti
dan akhlak adalah jiwa Pendidikan Islam. Mencapai suatu
akhlak sempurna adalah tujuan sebenarnya dari Pendidik-

16
Ahmad Tafsir, llmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung
Remaja Rosda Karya, 1994), h 34.
17
Abuddin Nata, Filafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), h. 49.

 27 
Nurhilaliati

an Islam.18 Dari pendapat ini dapat dilihat bahwa aspek


kemanusiaan yang ingin dicapai adalah manusia yang
memiliki akhlak yang sempurna sebagaimana tujuan per-
utusan Nabi Muhammad.
Hasan Langgulung mengemukakan, ketika berbicara
tentang tujuan pendidikan maka hal itu tidak boleh di-
pisahkan dengan pembicaraan tentang tujuan hidup
manusia, karena memang tujuan pendidikan adalah sama
dengan tujuan hidup manusia. Pendidikan hanyalah satu
alat yang dilalui oleh manusia untuk memelihara kelanjutan
hidupnya sebagai individu maupun sebagai masyarakat.19
Selanjutnya Syaibani berkata bahwa Pendidikan Islam
hendaknya dipersiapkan untuk dua kehidupan sekaligus,
yaitu kehidupan masa kini di dunia dan kehidupan masa
akan datang di akhirat. Tujuan yang akan datang merupa-
kan tujuan tertinggi pelaksanaan Pendidikan Islam.20
Ali Ashraf mengatakan bahwa pendidikan seharus-
nya bertujuan menimbulkan pertumbuhan yang seimbang
dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual,
intelektual, rasional diri, perasaan, dan kepekaan tubuh
manusia. Karena itu, pendidikan seharusnya menyediakan

18 Muhammad 'Athiyah al-Abrasy, Dasar dasar Pokok Pendidikan,


terjemahan Bustami A. Gani & Djohar Bahri, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 15.
19 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, suatu Analisa Psikong

dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), h. 55.


20 As-Syaibani, Falsafah at-Tarbiyah..., h. 410.

 28 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspek


spiritual, intelektual, imaginatif, fiskal, ilmiah, linguistik
baik secara individual maupun secara kolektif, serta
memotivasi semua aspek untuk mencapai kebaikan dan
kesempurnaan. Dengan demikian, tujuan akhir pendidikan
Muslim adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada
Allah, pada tingkat individual, masyarakat dan ke-
manusiaan pada umumnya.21
Sejalan dengan upaya pembinaan seluruh potensi
manusia sebagaimana yang disebutkan diatas, menarik
sekali pendapat yang dikemukakan oleh Muhammad
Quthb. Menurutnya, Islam melakukan pendekatan yang
menyeluruh terhadap wujud manusia, sehingga tidak ada
yang tertinggal dan terabaikan sedikit pun, baik segi
jasmani maupun segi rohani, baik kehidupannya secara
mental, dan segala kegiatannya di bumi ini. Islam me-
mandang manusia secara totalitas, mendekatinya atas dasar
apa yang terdapat dalam dirinya, atas dasar fitrah yang
diberikan Allah kepadanya, tidak ada sedikit pun yang
diabaikan dan tidak memaksakan apapun selain apa yang
dijadikan sesuai dengan fitrahnya.22 Pendapat ini memberi-

21 Ali Ashrof, Horison Baru Pendidikan Iskam, (Jakarta: Pustaka


Firdaus, 1993), h. 2, bandingkan dengan Sjjad Husain & Ali Ashr, Crisis in
Muslim Education, (Jeddah: Hodder and Stoughton King Abdul Aziz, 1979),
h. 37.
22 Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terjemahan Salman

Harun, (Bandung: PT. al-Maarif, 1984), h. 27.

 29 
Nurhilaliati

kan gambaran bahwa apa yang menjadi tujuan Pendidikan


Islam, adalah mengusahakan pembinaan seluruh potensi
dan fitrah manusia secara serasi, selaras dan seimbang.
Kalau pendapat ini dipotret dari pendidikan di Indonesia,
maka yang ingin diciptakan adalah pendidikan manusia
seutuhnya.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para
pakar tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan Pendidikan
Islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di
muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu me-
laksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengelola
bumi sesuai dengan kehendak Tuhan.
2. Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas
kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam
rangka ibadah kepada Allah sehingga tugas tersebut
terasa ringan dilaksanakan.
3. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga
ia tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.
4. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan
jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan
ketrampilan yang semua itu dapat digunakan untuk
mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya,
Mengarahkan manusia agar dapat mencapai ke
bahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.23

23 Nata, Filsafat Pendidikan....., h. 53-4

 30 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Dari uraian tentang tujuan yang ingin dicapai dari


pelaksanaan Pendidikan Islam tersebut di atas, maka dapat
dilihat bahwa penyusunan tujuan Pendidikan Islam, tidak
bisa dilepaskan dari potensi dan fitrah manusia, karena
pendidikan itu sendiri yang diharapkan dapat menjadi alat
untuk mengoptimalkan potensi dan fitrah yang masih
potensial dalam diri manusia.
3. Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidikan Islam
dibicarakan di sini dengan alasan, karena kedua disiplin
ilmu ini merupakan salah satu landasan yang dijadikan titik
pijak yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan
Pendidikan Islam.24

24 Peranan Filsafat bapi Pendidikan (Islam) dapat dilihat dari

penerapan ketiga cakupannya (epistemologiy, aksiologi, dan metafisika


atau ontolog) dalam penyelenggaraan dunia pendidikan. Epistemologi
diperlukan antara lain dalam hubungannya dengan penyusunan dasar-dasar
kurikulum. Kurikulum yang lazimnya diartikan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan pendidikan, dapat diumpamakan sebagai jalan raya yang
perlu dilewati oleh peserta didik dalam usahanya untuk mengenal dan
memahami pengetahuan. Supaya mereka dapat berhasil dalam mencapai
tujuan tersebut, perlu mengenal hakekat pengetahuan sedikit demi sedikit.
Aksiologi sebagai cabang filsafat yang mempclajari nilai, dekat pula dengan
dunia pendidikan, karena dunia nilai menjadi danar pendidikan pula dan
karenanya selalu dipertimbangkan dalam penentuan tujuan pendidikan.
Perumusan mengenai tujuan tanpa mempertinbangkan prinsip-prinsip dari
dunia nilai adalah hampa. Di samping itu, pendidikan sebagai fenomena
sosial, kultural, dan keagamaan tidak dapat dilepas dari sistem nilai. Nilai

 31 
Nurhilaliati

Sebelum mengemukakan pengertian Filsafat Pen-


didikan Islam, terlebih dahulu akan ditelusuri pengertian
istilah Filsafat Pendidikan, dengan maksud untuk mem-
peroleh pengertian dan pemahaman yang mendalam dan
tidak parsial tentang istilah tersebut.
Menurut John Dewey, Filsafat Pendidikan merupakan
suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental,

dan implikasi aksiologi dalam pendidikan ialah, pendidikan menguji dan


mengintegrasikan semua nilai tersebut ke dalam kchidupan manusia dan
membinanya di dalam kepribadian anak. Karena untuk mengatakan bahwa
sesuatu bernilai baik, bukanlah suatu yang mudah, apalagi menilai dalam
arti yang mendalam untuk membina dalam kepribadian yang ideal.
Metafisika adalah bagian yang mempelajari kenyataan, yang selanjutnya
menjurus pada kebenaran. Kebenaran akan timbul bila orang telah dapat
menarik kesimpulan bahwa pengetahuan yang dimilikinya adalah nyata.
Untuk mengetahui bahwa sesuatu itu benar atau tidak benar, maka salah
satu upaya yang mesti dilalui adalah dunia pendidikan. Lihat Imam
Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi offset,
1988), h. 21. Untuk pengertian epistemologi, aksiologi, dan metafisika,
dapat dibaca dalam P. Hardono Hadi, Epistemoiogi, (Yogyakarta: Kanisius,
1994). Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecaban Masalah Menurut Karl Poppar,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991). Anton Bakker, Ontologi
(Mitafisika Umum), (Yogyakarta: Kanisius, 1992). Lorens Bagus, Metafisika,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991). Louis O. Kattsoff, Element of
Philosophy, terjemahan Soejono Socmatgono, (Yogyakarta: Bayu Indra
Grafika, 1989). Bertrand Russel, History of Western Philosophy, (London:
George Allen &Unwin LTD., 1961). Jonathan Barnes, "Life and Work”,
dalam Jonathan Barnes, ed., The Cambridge Companion of Aristotle,
(Cambridge: Cambridge University Press, 1946). Frederick Capleston, S.J.
A History of Philosophy, Vol. I, (London: Search Press, 1946). K. Bartehs,
Sejarah Filsafai Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1987).

 32 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya


perasaan (emosional), menuju ke arah tabiat manusia. Oleh
karena itu, filsafat bisa dikatakan sebagai teori pendidik-
an.25 Sementara itu, Barnadib berpendapat bahwa Filsafat
Pendidikan pada hakekatnya adalah merupakan jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan.
Oleh sebab itu, bersifat filosofis dengan sendirinya adalah
penerapan suatu analisis filosofis terhadap lapangan
pendidikan.26
Pendapat lain dikemukakan oleh Syaibani yang
mengatakan bahwa Filsafat Pendidikan adalah aktivitas
berpikir yang teratur, sehingga menjadikan filsafat tersebut
sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan me-
mudahkan proses pendidikan. Maksudnya, karena Filsafat
Pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat
yang diupayakan untuk mencapainya, maka Filsafat
Pendidikan dan pengalaman kemanusiaan merupakan
faktor integral atau satu kesatuan. Sementara itu, filsafat
juga diartikan sebagai pelaksana pandangan filsafat dan
kaidah filsafat dalam bidang pendidikan. Filsafat tersebut
menggambarkan satu aspek dari aspek-aspek pelaksana

25 John Dewey, Democracy and Education, (New York: The Macmillan

Company, 1946), h. 383


26 Barnadib, Filsafat Pendidikan..., h.14-15 dan bandingkan dengan

Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan


Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), h. 39.

 33 
Nurhilaliati

filsafat umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan


prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari
filsafat umum, dalam upaya memecahkan persoalan.
persoalan pendidikan secara praktis.27
Untuk menyimpulkan pendapat-pendapat tersebut di
atas, maka di sini akan dikemukakan batasan-batasan yang
berhubungan dengan filsafat pendidikan seperti sebagai
berikut: pertama, filsafat pendidikan merupakan pelaksana
pandangan filsafat dan kaidah filsafat dalam bidang
pengalaman kemanusiaan yang disebut pendidikan. Maka
filsafat pendidikan berusaha untuk menjelaskan dan
menerangkan supaya pengalaman bermanusia ini sesuai
dengan kehidupan baru. Filsafat pendidikan mengandung
upaya untuk mencari konsep-konsep yang menempatkan
manusia di tengah gejala-gejala yang bervariasi dalam
proses pendidikan. Kemudian terdapat pula upaya untuk
menjelaskan berbagai makna yang menjadi dasar dari
konsep-konsep pendidikan dengan aspek tumpuan per-
hatian manusia. Kedua, mempelajari filsafat pendidikan,
karena adanya kepercayaan, bahwa kajian ini sangat penting
dalam mengembangkan pandangan terhadap proses
pendidikan, dalam upaya memperbaiki keadaan pendidik-
an. Persoalan pendidikan yang berhubungan dengan
bimbingan, penilaian, metode, dan sebagainya merupakan

27 Syaibani, Falsafatus Tarbiyah.…..,h. 13.

 34 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

tanggungjawab filsafat pendidikan yang sangat bergantung


pada usaha bimbingan tingkah laku anak didik dan sikap
mereka terhadap masyarakat. Ketiga, filsafat pendidikan
memiliki prinsip-prinsip, kepercayaan dan konsep yang
terpadu satu dengan lainnya. Hal ini diungkap agar supaya
menjadi dasar atas pernyataan, politik, rancangan
program, kurikulum, dan kaidah-kaidah pengajaran, yang
tentunya diharapkan dapat menemukan solusi atas
persoalan-persoalan pendidikan.28
Setelah mengikuti uraian mengenai pengertian Filsafat
Pendidikan, didapatkan bahwa pengertian tersebut belum
menjelaskan secara lebih khusus mengenai apa yang
dimaksud dengan Filsafat Pendidikan Islam. Namun
demikian, penjelasan seperti tersebut di atas, selain
merupakan hal yang secara akademis mesti dilakukan, juga
setidak-tidaknya dapat membantu dalam menjelaskan
pengertian Filsafat Pendidikan Islam. Dalam hal ini akan
dijumpai pula berbagai pendapat para ahli yang mencoba
merumuskan pengertian Filsafat Pendidikan Islam.
Syaibani misalnya, berpendapat bahwa Filsafat Pendidikan
Islam adalah pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah-
kaidah filsafat dalam bidang pendidikan yang didasarkan
pada ajaran Islam. Lebih lanjut ia mengatakan, supaya
Filsafat Pendidikan Islam dapat memperoleh manfaat,

28 Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media

Pratama, 1997), h. 15-16.

 35 
Nurhilaliati

tujuan-tujuan dan fungsi-fungsi yang diinginkan, maka


untuk melengkapinya, maka filsafat tersebut harus diambil
dari berbagai sumber.29
Pandangan lain adalah Muzayyin Arifin seperti dikutip
oleh Abuddin Nata yang berpendapat bahwa Filasafat
Pendidikan Islam pada hakekatnya adalah konsep berpikir
tentang kependidikan yang bersumber atau berlandaskan
ajaran-ajaran Agama Islam, tentang hakekat kemampuan
manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan, serta di-
bimbing menjadi manusia Muslim yang seluruh pribadinya
dijiwai oleh ajaran Islam.30
Dengan berpijak pada pandangan tentang Pendidikan
Islam, Marimba mengatakan bahwa Filsafat Pendidikan
Islam merupakan perenungan-perenungan mengenai
hakekat Pendidikan Islam, serta bagaimana usaha-usaha
pendidikan dilaksanakan dalam rangka mencapai ke-
berhasilan sesuai dengan hukum-hukum Islam, sehingga
pada akhirnya akan menuntun para pendidik dalam usaha-
nya secara sadar membimbing anak didiknya menjadi
penganut Islam sejati.31
Dari beberapa pendapat tersebut, diketahui bahwa
Filsafat Pendidikan Islam tidak lain adalah penerapan
kaidah-kaidah filsafat dalam bidang pendidikan yang

29
Syaibani, Falsafatut Tarbiyah…, h. 13
30
Nata, Filsafat Pendidikan…, h. 13
31
Marimba, Pengantar Filsafat… h. 24.

 36 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

mendasarkan diri pada nilai atau ajaran Islam. Untuk itu,


maka hendaknya Filsafat Pendidikan Islam memperhatikan
berbagai ilmu pengetahuan dan juga pengalaman seluas
pandangan Islam, baik sebagai agama maupun sebagai
budaya dan peradaban manusia. Karena, seperti dikatakan
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam adalah filsafat tentang
pendidikan yang tidak dibatasi oleh lingkungan ke-
lembagaan Islam saja atau oleh ilmu pengetahuan dan
pengalaman keislaman semata-mata, melainkan men-
jangkau segala ilmu dan pengalaman yang luas seluas
aspirasi komunitas Muslim. Maka pandangan dasar yang
dijadikan titik tolak adalah ilmu pengetahuan teoretis dan
praktis dalam bidang keilmuan yang berkaitan dengan
masalah pendidikan yang ada dan akan ada dalam
masyarakat yang berkembang terus tanpa mengalami
kemandegan.
Berdasarkan semua deskripsi di atas, maka dapat
diketahui bahwa bagi Pendidikan Islam, Filsafat Pendidik-
an Islam memiliki peranan yang memberikan kemampuan
memilih yang lebih baik, memberi arah suatu sistem,
mengontrolnya, dan memberi arah kepada asas-asas lain
(historis, ekonomi, politik, psikologi, dan sebagainya)
dalam Pendidikan Islam. Karena landasan filosofis ini
mengandung sebagian ilmu etika dan estetika, ideologi, dan
logika untuk memberi arah kepada pengajaran dan
menyelaraskan interaksi masing-masing, menyusun sistem-
sitemnya sesudah diteliti dan dikritik, dianalisis da n

 37 
Nurhilaliati

dibuat sintesis. Atau dengan kata lain, Pendidikan Islam


sangat membutuhkan jasa pemikiran filosofis, yaitu
pemikiran yang sistematis, logik, radikal, universal, dan
objektif terhadap berbagai masalah yang terdapat dalam
bidang pendidikan.
Di samping persoalan-persoalan yang relah dibahas di
atas, aspek terpenting yang menjadi perhatian utama
Pendidikan Islam adalah pembicaraan tentang manusia.
Karena pembicaraan tentang manusia mencakup wilaysh
kajian yang sangat luas, maka pembicaraan selanjutnya
hanya dibatasi pada potensi manusia, Dalam hal ini telah
bermunculan berbagai kajian tentang manusia yang di-
sesuaikan dengan berbagai disiplin ilmu yang ada. Pem-
bahasan di sini dilakukan dengan memadukan berbagai
pandangan (dari kalangan Islam) yang ada.

B. Teori tentang Manusia dan Potensinya


1. Konsep Manusia dalam Pandangan Pendidikan
Islam
Manusia adalah suatu entity yang unik. Keunikannya
terletak pada wujudnya yang multi dimensi dan bahkan
untuk menciptakannya pernah didialogkan lebih dahulu
oleh Allah dengan Malaikat, Oleh karena itu, manusia yang
diserahi fungsi sebagai pengelola bumi, harus berusaha
untuk bagaimana dapat menjalankan fungsi ini dengan
sebaik-baiknya menggali dan mengembangkan potensi

 38 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

yang ada pada dirinya, termasuk mengkaji dirinya sendiri


dengan segala aspeknya. Manusia sebagai objek kajian,
adalah merupakan suatu hal yang manarik karena selalu
ada saja yang misterius, khususnya aspek-aspek internal
yang abstrak yang menyangkut psikis dan spiritualnya. Hal
inilah yang menyulitkan manusia untuk mengkaji dirinya
sendiri secara subjektif, karena bersatunya objek dengan
subjek.
Untuk itulah antara lain al-Qur'an diturunkan, yaitu
memberikan klarifikasi dan tuntunan baik tersurat maupun
tersirat tentang problematika manusia sebagai objek
kajian. Dengan harapan, fungsi yang diperankan manusia
dapat dilaksanakan sebaik mungkin, sehingga wajah Islam
akan mempribadi dalam sosok seorang Muslim.32
Dalam rangka memperkenalkan potret potensi yang
dimiliki manusia, maka dalam al-Qur'an ada tiga istilah kunci
yang mengacu kepada makna pokok manusia: bashar, insan,
dan an-nas. Sebenarnya masih ada konsep lain yang jarang
digunakan dalam al-Qur'an dan dapat dilacak pada salah
satu di antara tiga istilah tersebut, yaitu unas, unasi, ins.33

32
Djamaluddin Darwis, "Manusia menurut Pandangan al-Qur'an",
dalam H.M. Chabib Thoha, Priyono, dan F. Syukur, ed., Reformulasi Pendadikan
Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan FT. IAIN Walisongo, 1996), h. 966.
33
Unas disebut lima kali dalam al-Qur'an (2: 60, 7: 82, 70: 160, 17: 71,
21: 56). Dalam al-Qur'an Surah 2:60, misalnya unas digunakan untuk
menunjukkan 12 golongan dalam Bani Israil. Q.S. 17: 21 dengan jelas
menunjukkan makna ini pada Hari Kiamat Kami memanggil setiap unas dengan imam

 39 
Nurhilaliati

Bashar memberikan referensi pada manusia sebagai


makhluk biologis. Maksudnya, yang selalu dimunculkan
adalah sifat-sifat biologis manusia: makan, minum, seks,
dan sebagainya. Istilah ini misalnya digunakan dalam kasus
Nabi Muhammad yang diperintahkan oleh Allah untuk
menegaskan (kepada orang kafir), bahwa secara biologis
ia sama dengan manusia lainnya, karena dari segi ini, kita
tidak dapat menafsirkan basharan mithlukum seperti manusia
lain dalam berbuat dosa. Kecenderungan para rasul untuk
tidak patuh pada dosa dan kesalahan bukan sifat-sifat
biologis, tetapi sifat-sifat psikologis (spiritual).
Kata insan mempunyai arti melihat, mengetahui, dan
meminta izin. Atas dasar ini, kata tersebut mengandung
petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan
kemampuan penalaran. Dengan penalarannya itu manusia
dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya; ia dapat
pula mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, dan
terdorong untuk meminta izin menggunakan sesuatu yang
bukan miliknya. Pengertian ini menunjukkan dengan jelas
adanya potensi untuk dapat dididik pada diri manusia.
Dengan informasi ini, dapat dikatakan bahwa manusia
adalah makhluk yang dapat diberi pelajaran dan pendidikan.

mereka. Anasi hanya disebut satu kali (25: 49), Anasi dalam bentuk jarmak dari
insan, dengan mengganti nun atau ya atau bisa juga bentuk jamak dari insi. Ins
disebut 18 kali dalam al-Qur'an, dan selalu dihubungkan dengan jinn sebagai
pasangan makhluk manusia yang mukallaf (6: 112, 128, 130; 7: 38, 179; 17: 88;
27: 17 dan lain-lain).

 40 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Insan dapat dikelompokkan dalam tiga kategori.


Pertama, insan dihubungkan dengan keistimewaannya
sebagai khalifah atau pemikul amanah. Kedua, insan di-
hubungkan dengan predesposisi negatif dalam diri
manusia. Dan ketiga, insan dihubungkan dengan proses
penciptaan manusia. Kecuali kategori ke tiga, semua
konteks insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau
spiritual.34
Pada kategori pertama, dapat dilihat bahwa ke-
istimewaan manusia sebagai wujud yang berbeda dengan
hewani. Menurut al-Qur'an, manusia adalah makhluk yang
diberi ilmu, karena itu manusia diberi kemampuan
mengembangkan ilmu dan daya nalarnya. Karena itu juga,
kata insan berkali-kali dihubungkan dengan kata nazar. Insan
disuruh bernazar (merenungkan, memikirkan, meng-
analisis, mengamati) perbuatannya (79: 35). Dalam hubung-
an inilah, setelah Allah menjelaskan sifat insan yang tidak
labil, Allah berfirman: akan Kami perlihatkan kepada mereka
(insan) tanda-tanda Kami di alam semesta ini dan pada diri mereka
sendiri sebingga jelas baginya bahwa itu al-haq (41: 53).
Kedua, manusia adalah makhluk pemikul amanah (33:
72). Menurut Fazlur Rahman, amanah adalah menemukan
hukum alam, menguasainya atau dalam istilah al-Qur'an

34
Jalaluddin Rahmat, “Konsep-konsep Antropologis", dalam Budhy
Munawar Rahman, ed., Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta:
Paramadina, 1995), h. 77.

 41 
Nurhilaliati

“mengetahui nama-nama semuanya” dan kemudian meng-


gunakannya dengan inisiatif moral insani untuk mencipta-
kan tatanan dunia yang baik.35 At-Tabataba'i dengan
mengutip berbagai pendapat mufassir, mengatakan bahwa
makna amanah adalah predisposisi untuk beriman dan
mentaati Allah. Di dalamnya terkandung makna khilafah.
Ketiga, karena manusia memikul amanah, maka insan
dalam al-Qur'an juga dihubungkan dengan konsep
tanggungjawab (75: 3, 36; 50: 16). Ia diwasiatkan untuk
berbuat baik (29: 8; 31: 14; 46: 15). Amalnya dicatat dengan
cermat untuk diberi balasan sesuai dengan apa yang
dikerjakannya (53: 39). Karena itu insan-lah yang dimusuhi
oleh setan (17: 53; 59: 16) dan ditentukan nasibnya di Hari
Kiamat (75: 10, 13, 14; 79: 35; 80: 17; 89: 23).
Keempat, dalam menyembah Allah, insan sangat
dipengaruhi oleh lingkungannya. Bila ia ditimpa musibah,
ia cenderung menyembah Allah dengan ikhlas; bila ia men-
dapat keberuntungan ia cenderung sombong, takabur, dan
bahkan musyrik (10: 12; 11: 9; 17: 67, 83; 39: 8, 49).
Pada kategori kedua, kata insan dihubungkan dengan
predisposisi negatif pada diri manusia. Menurut al-Qur an,

35
Fazlur Rahman, "The Qur'anic oncept of God, the Universe, and
Man", dalam Islamic Studies, Maret 1967, VI: 1, Lihat juga bukunya Islam,
(Chicago: University of Chicago press, 1979), h. 30-42.

 42 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

manusia itu cenderung zalim dan kafir (14: 34; 26: 66; 43:
15), tergesa-gesa (17: 11; 21: 37), bakhil (17: 100), bodoh
33: 72), banyak membantah atau mendebat (18: 54; 16:
14; 36: 77), resah gelisah dan segan membantu (70: 19;
20: 21), ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita
(84: 6; 90: 4), tidak berterima kasih (100: 6), berbuat dosa
(96: 6; 75: 5).
Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada
kategori pertama, insan menjadi makhluk paradoksal, yang
berjuang mengatasi konflik dua kekuatan yang saling ber-
tentangan, yaitu kekuatan mengikuti fitrah (memikul
amanah Allah) dan kekuatan mengikuti predisposisi
negatif.36
Beberapa pengertian di atas menunjukan bahwa
manusia dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup
dan lingkungan yang ada. Manusia memiliki kemampuan
yang tinggi untuk beradaptasi dengan perubahan yang
terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial
maupun perubahan alamiah. Manusia menghargai tata
aturan etik, sopan, santun dan sebagai makhluk yang
berbudaya. Manusia tidak liar, baik secara sosial maupun
secara alamiah.
Secara menarik proses penciptaan manusia atau asal
kejadian manusia dinisbatkan pada konsep insan dan bashar
sekaligus. Sebagai insan, manusia diciptakan dari tanah liat,

36
Jalaluddin Rahmat, Konsep-konsep ..., h. 102.

 43 
Nurhilaliati

saripati tanah, tanah (15: 26; 55: 14; 23: 12; 32: 7).
Demikian pula bashar berasal dari tanah liat (15: 28; 38:
71; 30: 20) dan air (25: 54).37 Proses penciptaan manusia
menggambarkan secara simbolis karakteristik bashari dan
karakteristik insani, karena manusia adalah gabungan
kekuatan tanah dan hembusan ilahi. Tanah mengandung
unsur materi dan ruh mengandung unsure non-materi,
Keduanya harus bergabung dalam keseimbangan. Tidak
boleh mengurangi hak salah satunya untuk memenuhi hak
yang lain.
An-Nás adalah konsep yang mengacu kepada
manusia sebagai makhluk sosial. Berkaitan dengan hal ini
banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok
sosial dengan karakteristiknya. Ayat-ayat ini lazimnya di-
kenal dengan ungkapan wa min an-nâs. Dengan mem-
perhatikan ungkapan ini, maka akan ditemukan kelompok
manusia yang menyatakan beriman, tetapi sebetulnya tidak
beriman (2: 8), yang mengambil sekutu terhadap Allah
(2: 165),yang memikirkan kehidupan dunia (2: 200), yang
berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk dan al-kitab
(22: 3, 8; 31: 20); di samping ada sebagian orang yang rela
mengorbankan dirinya untuk keridhoan Allah.
Ungkapan kedua adalah akhtar an-nâs yang menunjuk-
kan bahwa sebagian besar manusia mempunyai kualitas

37
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Iskam, terjemahan H.M. Rasjidi,
Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 102.

 44 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

rendah, baik dari ilmu maupun dari segi iman. Menurut


al-Qur'an sebagian manusia tidak berilmu (7: 187; 12: 21;
28: 68; 30: 6, 30; 45: 26;), tidak bersyukur (40: 61; 2: 243;
12: 38), tidak beriman (11: 17; 12: 103; 13: 1), dan masih
banyak lagi sifat negatif lainnya.
Dari uraian di atas tampak al-Qur'an memandang
manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, dan sosial.
Sebagaimana ada hukum-hukum yang berkenaan dengan
karakteristik biologis manusia, maka ada juga hukum-
hukum yang mengendalikan manusia sebagai makhluk
psikologis dan makhluk sosial.
Manusia sebagai bashar berkaitan dengan unsur
material, yang dilambangkan dengan unsur tanah. Pada
keadaan ini, manusia secara otomatis tunduk kepada
takdir Allah di alam semesta, sama taatnya seperti
matahari, hewan dan tumbuhan. Ia dengan sendirinya
musayyar. Namun manusia sebagai insân dan an-nâs bertalian
dengan unsur hembusan Ilahi. Kepadanya dikenakan
aturan-aturan, tetapi ia diberikan kekuatan untuk tunduk
atau melepaskan diri darinya. Ia menjadi mahluk yang
mukhayyar. Ia menyerap sifat-sifat rabbaniah seperti sama',
bashar, kalam, qadar.38 38
Karena pada manusia ada predisposisi negatif dan
positif sekaligus, menurut al-Qur'an, kewajiban manusia

38
Jalaluddin Rahman, Konsep-konsep..., h. 80.

 45 
Nurhilaliati

ialah memenangkan predisposisi yang positif. Hal ini


terjadi apabila manusia tetap setia terhadap amanah
dipikulnya. Secara dirancang sesuai amanah. Dan al-Ouran
tidak lain merupakan rangkaian ayat yang mengingatkan
manusia untuk memenuhi janjinya itu.
Terdapat dua komponen esensial yang membentuk
hakikat manusia yang membedakannya dengan hewan,
yaitu potensi mengembangkan iman dan ilmu. Usaha
untuk mengembangkan keduanya disebut 'amal salih.39
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu dan iman
adalah dasar yang membedakan manusia dengan makhluk
lainnya dan inilah hakekat kemanusiaannya.
2. Potensi Manusia dalam Pandangan Pendidikan
Islam
Sudah menjadi pengetahuan universal dalam kalangan
Islam, bahwa tugas dan fungsi utama perutusan manusia ke
dunia adalah sebagai khalifah, yaitu sebagai wakil Allah
dalam mengatur dunia dan menampakkan kasih sayang
untuk seluruh alam. Karena itu, ketika membicarakan
potensi manusia, maka berarti harus dimulai dari pem-
bicaraan tentang fungsinya tersebut, sebab keduanya me-
miliki hubungan yang signifikan.
Fungsi kekhalifahan ini, sekalipun secara tekstual
dalam ayat al-Qur'an (Q.S. 2: 30) tidak menyentuh manusia,

39
Ibid.

 46 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

tetapi tidak ada lain yang dapat ditunjuk kecuali manusia.


Dalam penciptaannya tidak dijumpai cacat dan
kekurangan. Kesempurnaan penciptaan itu dengan tujuan
agar dapat menjaga fungsi kemanusiaannya sendiri sesuai
dengan yang dipolakan oleh Allah. Lebih lanjut di-
kemukakan bahwa malaikat pun tidak dapat memerankan
fungsi kekhalifahan walaupun ia lebih suci dan diberikan
kekuatan oleh Allah, karena ia hanya diciptakan dari satu
sisi kejadian (one side of creation) tanpa adanya emosi serta
nafsu yang dari keduanya akan menumbuhkan cinta
sebagai dasar terlaksananya fungsi kekhalifahan. Sekalipun
tidak mustahil, emosi dan nafsu akan menyeret ke tataran
yang paling rendah, di samping juga dapat mengangkat ke
posisi hamba Allah yang paling tinggi dan mulia. Ke-
kuatan ini pula yang menimbulkan kreativitas, penguasa-an
alam melalui ilmu yang membawanya “mendekati” sifat
yang diwakili manusia yaitu Allah, sehingga manusia
sebagai wakil Allah berpotensi mengadopsi sifat-sifat Allah
yang memberikan kewenangan untuk mengatur bumi.
Potensi inisiatif merupakan wujud dari kesempurnaan
ciptaan Allah dan merupakan cerminan dari Allah Yang
Maha Tahu, Maha Sempurna dan ini makna dari fungsi
kekhalifahan (vicegerent). Untuk pelaksanaan fungsi
perutusan tersebut, maka kepada manusia Allah memberi-
kan potensi-potensi yang dapat dikembangkan dalam
perjalanan hidupnya.

 47 
Nurhilaliati

Membicarakan tentang potensi ini, beberapa pakar


memberikan pandangannya masing -masing yang
sebenarnya mengandung makna yang tidak berbeda secara
esensial, tetapi hanya berbeda dalam teknis penguraiannya.
Penekanan mengenai hakekat potensi manusia yang
sesungguhnya, berasal dari ayat di bawah ini yang
menandai, bahwa Allah telah membuat perjanjian
kesaksian (amanat) dengan manusia agar berlaku adil dan
baik hati. Untuk melaksanakan amanah tersebut, maka
kepada manusia dianugerahi bekal yang berupa potensi-
potensi. Ayat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
“Dan ingatlah ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
kepada jinwa mereka (seraya) berfirman: Bukanlah aku ini
tuhanmu? Mereka menjawab: betul (sesungguhnya engkau
adalah tuhan kami), kami menjadi saksi agar pada hari
kiamat engkau tidak mengatakan: sesunggubnya kami tidak
pernah diberi peringatan (tentang ke-esa-an Allah)”.40

“Dan ketika Aku sempurnakan kejadiannya (manusia),


Aku tiupkan ruh-Ku ke dalam dirinyd”.41

40
Q.S. 7: 172.
41
Q.S. 15: 29; 36: 72.

 48 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Ayat-ayat di atas membuktikan, bahwa Allah men-


janjikan kepada manusia agar mengaku Allah sebagai
Tuhan dan sembahannya.42
Berangkat dari ayat-ayat tersebut, maka diketahui
bahwa dalam diri manusia, selain mengandung unsur jiwa
dan raga, juga terdapat unsur lain (yang sangat esensial)
yang dinamakan dengan unsur rohaniah. Keterpaduan
antara ketiga unsure ini dalam diri manusia merupakan
karakteristik wawasan islami seperti filsafat dan psikologi.43
Hasan Langgulung mengatakan bahwa tugas ke-
khalifahan manusia tidak dapat dijalankan dengan baik
apabila manusia tidak memiliki potensi untuk itu. Dengan
alasan inilah maka menurutnya manusia memiliki dan
dilengkapi dengan sejumlah potensi yang memungkinkan-

42
Dalam hal ini Nurcholish berkomentar, "Nilai kemanusiaan tidak
mungkin bertentangan dengan nilai keagamaan, demikian pula nilai
keagamaan mustahil berlawanan dengan nilai kemanusiaan. Agar tidak
dibuat sebagai penghalang bagi kemanusiaan (Q.S. 22: 78). Maka sesuatu
yang sejalan dengan nilai kemanusiaan (bermanfaat untuk manusia) tentu
akan bertahan lama di bumi, sedangkan yang tidak sejalan (tidak berguna
untuk manusia) tentu akan sirna (QS. 13: 17). Agama berasal dari Tuhan
tetapi untuk kepentingan manusia sendiri. Manusia harus berbuat baik
demi memperoleh perkenan Tuhan, dan justru dengan berusaha
memperoleh perkenan dan ridha Tuhan itu, manusia berbuat sebaik-
baiknya untuk dirinya sendiri (Q.S. 41: 46)". Nurcholish Madjid, Iskam
Daktrim dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h.xvi.
43
Hanna Djumhana Bastaman, "Corak Filosofis Psikologi yang
Islami", dalam Ulumul Qur'an, Vol. III, No. 4, TH. 1992.

 49 
Nurhilaliati

nya dapat memikul tugas tersebut. Potensi dan sekaligus


ciri-ciri tersebut meliputi: fitrah baik, ruh, kebebasan ke
hendak dan akal.44 Untuk pembahasan selanjutnya, maka
potensi manusia dalam tulisan ini akan mengikuti pembagi-
an tersebut, dengan alasan bahwa pembagian yang dilaku-
kan Langgulung sesuai dengan kajian pendidikan.
a. Fitrah Manusia dalam Pandangan Pendidikan
Islam
Tidak ada yang dapat menemukan pengertian
hakikiah tentang makna fitrah yang sesungguhnya. Sebab
kata fitrah yang digunakan secara sederhana pada banyak
tempat berarti makhluk yang diciptakan.45
Kata fitrah berasal dari kata fathar yang berarti
belahan; dari makna ini muncul makna lain seperti kejadian
dan penciptaan. Menurut Ibnu Abbas, kata fathr digunakan
untuk makna kejadian dan penciptaan sejak semula.
Dengan demikian, fitrah manusia adalah apa yang menjadi
kejadiannya atau bawaannya sejak lahir, yaitu suatu sistem
dan tata kerja yang diciptakan Allah pada manusia sejak
awal kejadiannya sehingga menjadi bawaan,46 seperti yang

44
Langgulung, Manusia ..., h. 57.
45
Abdurrahman Salch Abdullah, Teori Pendidikan Menurut al-Qur'an,
terjemahan H.M. Arifin & Zaenuddin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 20
46
M. Quraish Shihab, "Manusia dalam Pandangan al-Qur'an”. Makalah
pada Simposium Nasional Psikologi Islami pada Fakultas Psikologi UMS
Surakarta, 1994.

 50 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

terlihat dalam ayat berikut:


“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah (itulah) agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”47
Interpretasi yang diberikan terhadap ayat tersebut
telah menimbulkan bermacam-macam pendapat di
kalangan para pakar dan ulama. Di antaranya ada
mengartikan fitrah sebagai kesucian (tuhr). Menurut al-
Auza'i, fitrah adalah kesucian dalam jasmani dan rohani.
Dalam konteks pendidikan, kesucian adalah kesucian
manusia dari dosa waris, atau dosa asal.
Pendapat kedua mengartikan fitrah sebagai Islam
(Dienul Islam). Abu Hurairah berpendapat bahwa yang
dinamakan fitrah adalah agama. Pendapat ini berpijak pada
hadis: “Bukankah aku telah menceritakan kepadamu pada
sesuatu yang Allah menceritakan kepadaku dalam Kitab-Nya,
bahwa Allah menciptakan Adam dan anak cucunya untuk
berpotensi menjadi orang-orang Islam.” Oleh karena itu, anak
kecil yang meninggal dunia akan masuk surga, karena ia
dilahirkan dengan Dienul Islam walaupun ia terlahir dari
keluarga non Muslim. Namun, pemaknaan “al-Islam” ini

47 Q.S. 30: 30.

 51 
Nurhilaliati

kurang tepat, sebab kalau manusia lahir dengan membawa


agama Islam, mengapa pada tahap berikutnya terdapat
manusia yang menjadi kafir? Dan mengapa dalam al-
Qur'an dinyatakan bahwa ada satu kaum yang khusus
diciptakan sebagai penghuni neraka? (QS. 7: 179). Jadi,
fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah (at-Tauhid).
Karena manusia lahir dengan membawa konsep tauhid,
atau paling tidak ia berkecenderungan untuk meng-Esa-
kan Tuhannya, maka kepada manusia dianugerahi potensi
diri yang telah dialiri citarasa ketuhanan, yang pada akhir-
nya membawa manusia untuk memiliki sifat seperti yang
ada dalam sifat Tuhan itu sendiri, yang dalam Islam disebut
al-asma al-husna. Ini dilakukan karena kepada manusia
diberi tugas dan tanggungjawab sebagai khalifah di bumi.
Potensi “ketuhanan” ini tidak akan berkembang dengan
baik kalau tidak melalui pembiasaan melalui proses pen-
didikan. Jadi, pelaksanaan pendidikan dalam Islam,
diarahkan kepada upaya memaksimalkan potensi ketuhan-
an yang ada dalam diri manusia.
Pemahaman ketiga mengatakan bahwa fitrah berarti
kondisi penciptaan manusia yang mempunyai ke-
cenderungan untuk menerima kebenaran. Secara fitri,
manusia cenderung dan berusaha mencari serta menerima
kebenaran walaupun hanya bersemayam dalam hati kecil-
nya. Adakalanya manusia telah menemukan kebenaran,
namun karena faktor eksogen yang mempengaruhinya, ia

 52 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

berpaling dari kebenaran yang diperoleh. Fitrah membuat


manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung
pada kebenaran banif, sedangkan pelengkapnya adalah hati
nurani sebagai pancaran keinginan kepada kebaikan,
kesucian dan kebenaran. Di sinilah akan nampak bahwa
tujuan hidup manusia adalah dari, oleh dan untuk kebenar-
an yang mutlak. Kebenaran yang terakhir dan kebenaran
Tuhan Yang Maha Esa, Karena kebenaran merupakan
fitrah dan tujuan dari segala kenyataan (Q.S. 2: 156; 6: 116).
Dengan demikian, fitrah berarti potensi dasar manusia
sebagai alat mengabdi Allah. Penafsiran ini dikemukakan
oleh filosof dan fuqaha'. Para filosof yang beraliran
“empirisme” memandang aktivitas fitrah sebagai tolok
ukur pemaknaannya, demikian juga fuqaha' memandang
bahwa keadaan manusia merupakan cerminan dari jiwa-
nya, sehingga hukum diterapkan menurut apa yang dilihat,
bukan dari hakikat di balik perbuatan tersebut.
Pendapat lain yaitu, fitrah berarti ketetapan atau
kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan dan ke-
sesatannya. Manusia lahir dengan ketetapannya, apakah ia
nanti menjadi orang yang bahagia atau menjadi orang yang
sesat? Semua itu tergantung pada ketetapan yang di-
peroleh sejak manusia itu lahir. Ketetapan manusia
selanjutnya disebut fitrah, yang tidak dapat dipengaruhi
oleh kondisi eksogen apapun termasuk pendidikan.
Apabila ketetapan asal baik, maka proses kehidupannya

 53 
Nurhilaliati

akan selalu baik walaupun awal perbuatannya sesat.


Demikian juga sebaliknya, apabila ketetapan awalnya sesat,
ia akan menjadi sesat walaupun beraktivitas seperti orang
yang baik. Di sini fitrah berarti tabiat alami yang dimiliki
manusia (human nature), karena manusia lahir dengan
membawa perwatakan yang berbeda-beda. Watak itu
dapat berupa jiwa pada anak atau hati sanubarinya yang
dapat menghantarkan pada ma'rifatullah.48 Selain itu, ada
juga yang mengartikan fitrah sebagai al-gharizab (instink)
dan al-munázallah (wahyu dari Allah).49

48
"Dalam pandangan al-Ghazali, watak manusia terbagi atas empat,
yaitu: (1) manusia bodoh, tidak dapat membedakan yang benar dan yang
salah. Manusia model ini mudah sekali dirubah watak dan tabiatnya la
hanya membutuhkan seorang pendidik yang mau memberi petunjuk dan
memimpinnya; (2) manusia yang mengetahui akan keburukan sesuatu yang
buruk, tetapi tidak melaksanakan suatu kebaikan bahkan kadang-kadang
melakukan keburukan dengan dorongan nafsunya. Watak manusia model
ini dapat diubah dengan melatih diri untuk menghindari perbuatan yang
buruk dan membiasakan diri untuk berbuat sesuatu kebaikan; (3) manusia
yang telah mempunyai keyakinan bahwa buruk itu baik dan indah baginya.
Manusia model ini sulit diperbaiki, kalaupun dapat, hanya sebagian kecil
saja; (4) manusia yang berkeyakinan bahwa mengerjakan sesuatu kejahatan
merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Manusia model ini hampir tidak
dapat dididik dan diperbaiki wataknya.
49
Ibnu Taimiyah membagi fitrah manusia menjadi dua macam: (1)
Fitrah al-Munárallah, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri manusia, fitrah
ini berupa petunjuk al-Qur'an dan as-Sunnah, yang digunakan sebagai
kendali dan pembimbing bagi fitrah al-Gharizah; (2) Fitrah al-Gharizah,
yaitu fitrah inheren dalam diri manusia yang memberi daya akal yang
berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.

 54 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Beragamnya interpretasi yang tampak di atas, sebenar-


nya hanya menunjuk kepada tiga pengertian, yaitu pertama,
fitrah adalah agama, kedua, fitrah adalah tauhid, dan ketiga,
fitrah adalah bentuk yang diberikan kepada manusia saat
penciptaannya dahulu, sehingga telah menjadi miliknya.
Ketiga pengertian tersebut bermuara kepada satu hal,
yaitu fitrah menunjukan potensi dasar yang baik yang di-
miliki oleh manusia, yang dibawanya sebagai bekal untuk
mengarungi hidup di alam dunia. Dan ini diserahkan
sepenuhnya kepada manusia, apakah ia mau memilih yang
baik atau tidak baik untuk masa depannya. Dari sini di-
ketahui bahwa fitrah merupakan istilah yang mengandung
makna potensi-potensi positif dan bukan potensi-potensi
negatif. Dalam kata lain, fitrah adalah potensi-potensi dasar
manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk
menerima rangsangan (pengaruh) dari luar menuju pada
kesempurnaan dan kebenaran.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manusia
adalah makhluk yang baik secara fitrah sejak semula. Salah
satu ciri utama fitrah adalah manusia menerima Allah se-
bagai Tuhan dan manusia memiliki kecenderungan ber-
agama. Menurut Langgulung manusia lahir bukan dengan
Islam, tetapi ia memiliki potensi untuk menjadi Islam. Jadi,
sebab-sebab yang menjadikan seseorang tidak percaya
terhadap Tuhan bukanlah sifat asalnya, tetapi berhubungan
dengan pengaruh sekitarnya.

 55 
Nurhilaliati

Ketika mengkaitkan antara fitrah dengan pendidikan.


maka fitrah yang dimiliki oleh manusia harus mendapar
tempat dan perhatian, serta pengaruh baik dari faktor
eksternal manusia (lingkungan), supaya ia dapat
mengembangkan dan melestarikan potensinya yang positif
dan dapat mencegah berkembangnya potensi yang negatif.
Karena seperti penjelasan Quraish Shihab, walaupun al-
Qur'an menegaskan bahwa manusia berpotensi positif dan
negatif, namun diperoleh isyarat bahwa pada hakekatnya
potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya,
hanya saja, daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik
kebaikan. Karena itulah, maka manusia dituntut untuk
senantiasa memelihara dirinya dan tidak mengotorinya.50
Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap
fitrah manusia. Bahkan faktor tersebut dapat mem-
pengaruhi kepribadian manusia. Namun, ia bukanlah
faktor satu-satunya yang berpengaruh tanpa ada dukungan
dari faktor lainnya. Karena fitrah itu sendiri tidak akan
berkembang tanpa dipengaruhi Oleh kondisi lingkungan
yang mengitarinya, yang mungkin dapat dimodifikasikan
atau dapat diubah secara drastis manakala lingkungannya
itu tidak memungkinkan menjadikannya lebih baik.
Dengan demikian, faktor eksternal yang dipadukan dengan

50 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1997), h.


286.

 56 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

fitrah, sifat dasarnya bergantung kepada sejauh mana


interaksi eksternal dengan fitrah itu berperan.
b. Potensi Rohaniah Manusia
Manusia memiliki ruh, sebagaimana dikatakan oleh
al-Qur'an bahwa kehidupan manusia tergantung pada
wujud ruh dalam badannya. Tentang bagaimana wujud dan
bentuknya, Allah melarang untuk mempersoalkannya (Q.S.
17: 85).51 Tingkah laku manusia merupakan interaksi antara
ruh dan badan. Walaupun manusia memiliki ruh dan badan
tetapi ia dipandang sebagai pribadi yang terpadu.
Firman Allah dalam surat al-Isra tersebut menyirat-
kan bahwa persoalan ruh adalah persoalan yang amat
rumit, sehingga ada yang beranggapan bahwa hal itu tidak
perlu dibicarakan, sebab hanya akan menimbulkan
kebingungan. Namun demikian, perlu diakui bahwa
masalah ruh adalah sesuatu yang amat penting dan perlu
diperhatikan oleh manusia, karena dengan mengenali
ruhnya, maka manusia akan memahami dan mengenali
dirinya, sehingga akan memudahkan ia mempertanggung-
jawabkan segala perbuatannya di hadapan Allah.

51 Mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah bahwa ruh


adalah urusan Tuhanmu, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit" (Q.S. 17:
85).
52 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta:

Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984), h. 583.

 57 
Nurhilaliati

Kata rûh - jamaknya arwâb - memiliki banyak arti,


seperti dalam arti roh, jiwa, sukma, hakekat-intisari, wahyu,
malaikat jibril dan hukum Allah serta perintah-Nya.52
Menurut Ibnu Atsir, ruh dipakai dalam berbagai arti,
namun yang paling umum dipakai ialah sesuatu yang di-
jadikan sandaran bagi jasad dan dengan ruh itu tercipta
kehidupan. Sedangkan menurut Ibnu al-'Arabi, kata ruh
mempunyai banyak arti, yaitu al-farh yang berarti ke-
gembiraan, al-Qur'an, al-amr yakni perintah atau arah, dan
al-nafs yang berarti jiwa atau kekuatan.53
Para ahli sufi memandang al-rûh sebagai tempat
bermuaranya al-akhlâq al-makhmudah atau sumber bagi
perilaku-perilaku dan akhlak terpuji. Ruh dalam pengerti-
an ini memiliki istilah lawan, yaitu al-nafs yang menjadi
sumber dan tempat bermuaranya al-akhláq al-mazmûmah
atau perilaku-perilaku dan akhlak tercela. Selain itu, kata
al-rúb diartikan juga sebagai sumber dan tempatnya
kehidupan, yaitu aspek-aspek yang latifah, bersih dan bebas
dari pengaruh kekuasaan al-nafs dan dari belenggu
inderawi.54 Sementara itu, al-Ghazali memaknai al-rûh
dalam dua pengertian. Pertama, diartikan sebagai sesuatu
yang halus dan indah dalam diri manusia yang mengetahui

52

53 Ibnu Manzur, Lisân al-Arab, (Mesir: Dar al-Misriyah, 1968), h. 281-


91.
54 Abu al-Wafa al-Ghanimi at-Taftazani, Dirâsab fi al-Falsafab al-

Islâmîyah, (Mesir: Maktabah al-Qohirah al-Hadisah, 1957), h. 139.

 58 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

dan mengenal segalanya seperti halnya qalb dalam artian


metafisik, yang memungkinkan manusia mengetahui dan
menangkap pengertian yang bersifat ketuhanan.55
Dalam al-Qur'an penyebutan kata al-rúh kadang
dikaitkan dengan kata al-quds yang dipahami sebagai
Malaikat Jibril, Kitab Injil, ruh yang dapat menghidupkan
orang mati dan juga ruh Tuhan yang dianugerahkan kepada
Nabi Isa as, sebagai penghormatan kepadanya. 56 Kata al-

55 Al- Ghazali, Ibyâ Uhum ad-Din, terjemahan Ismail Yakub (Ihya al-
Ghazali), (tk. : Faizan, 1984), h. 6-12. Berkaitan dengan potensi rohaniah
yang dimiliki manusia, memang sangat menarik pembagian yang dilakukan
oleh al-Ghazali, yang mengawali kajiannya dari pemahamannya tentang
penciptaan manusia dan memberi tekanan pada aspek rohaniah dan
jasmaniah. Kalbu dalam artian fisik adalah jantung, berupa segumpal
daging berbentuk lonjong, terletak dalam rongga dada kiri. Sedangkan
dalam artian non-fisik adalah sebagian karunia Tuhan yang halus (lathifah),
bersifat ketuhanan (rabbaniah), yang ada hubungannya dengan jantung.
Kalbu yang halus dan indah inilah hakekat kemanusiaan manusia mengenal
dan mengetahui segalanya, serta menjadi sasaran perintah, cela, hukum dan
tuntutan dari Tuhan. Ruh diartikan sebagai nyawa atau "sumber" hidup.
Dan diartikan juga sebagai sesuatu yang halus dan indah dalam diri
manusia yang mengetahui dan mengenal segalanya seperti halnya kalbu
dalam pengertian non-fisik. Nafsu yang memiliki dua arti, Pertama yaitu
dorongan agresif (ganas) dan dorongan erotik (birahi), yang dapat menjadi
sumber malapetaka dan kekacauan bila tidak dikendalikan diadabkan.
Adapun pengertian kedua yaitu al-nafs al-mutmainnah yang lembut dan
tenang seperti pengertian kalbu dan roh dalam segi non-fisik. Akal dapat
diartikan sebagai daya fikir atau potensi intelegensi. Dan dapat juga
dimaknai seperti ketiga unsur tersebut di atas dalam pengertian non-fisik.
56
Musa Asy'arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur'an,
(Yogyakarta: LSFI, 1992), h. 72.

 59 
Nurhilaliati

rûh juga digunakan Oleh al-Qur'an untuk menunjukkan


sesuatu dari Allah yang dibawa malaikat kepada hamba-
hamba-Nya. Dalam konteks ini, al-rûh mengandung makna
sebagai wahyu yang harus dijadikan pedoman hidup oleh
manusia yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat dan
disampaikan oleh para rasul-Nya.
Selain dalam dua pengertian di atas, al-Qur'an meng-
gunakan kata al-rûh untuk menyatakan sesuatu yang
dihembuskan dari Allah ke dalam diri manusia dan men-
jadi bagian penting dari hidupnya. Dalam konteks ini, al-
rûh lebih dekat pengertiannya pada nyawa, yang berarti
ruh merupakan unsur komplemen yang memiliki hubungan
timbal balik dengan jasad manusia. Tanpa ruh, jasad tidak
berarti dan tanpa jasad ruh tidak bermakna pula. Dengan
adanya ruh maka seluruh komponen yang ada dalam diri
manusia (seperti penglihatan, pendengaran dan hati)
menjadi berguna.
Ketika dipotret dari perspektif pendidikan, kaitan
antara dihembuskannya ruh ke dalam diri manusia dengan
diciptakannya pendengaran, penglihatan dan hati, maka al-
rûh di sini hendaknya dipahami sebagai unsur yang,
memimpin dan membimbing tingkah laku manusia untuk
melakukan perbuatan baik dan kebenaran, yang perlu
mendapat perhatian dan arahan agar tidak terjadi kesalahan
dalam bertindak dan berbuat.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa al-rûh
merupakan bimbingan dan pimpinan dari Tuhan yang

 60 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

hanya diberikan kepada manusia dan tidak diberikan


kepada makhluk lain, dan hal ini merupakan unsur
pembeda manusia dengan makhluk Tuhan yang lainnya.
Rûb adalah daya yang bekerja secara spiritual untuk
memahami kecbenaran dan sebagai pusat kreatifitas
perilaku dan kebudayaan. Relevansinya dengan pem-
bentukan perilaku dan kepribadian manusia, peran ruh
adalah sebagai pemimpin bagi unsur-unsur yang ada dalam
diri manusia, yang dapat mengarahkannya ke jalan yang
lurus. Berdasarkan kenyataan ini, maka aspek rohaniah
hendaklah menjadi fokus utama dalam pelaksanaan
pendidikan Islam, sehingga tercipta hubungan yang erat
antara manusia dan Tuhan.57
c. Potensi Akal
Potensi akal yang terdapat pada manusia dalam
pengertian Islam bukan berarti otak, melainkan daya
berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal dalam
Islam merupakan perpaduan dari tiga unsur, yaitu pikiran,
perasaan dan kemauan. Bila ketiganya tidak menyatu maka
tidak ada akal. Akallah yang memberikan jalan bagi
manusia untuk memilah dan memilih apakah sesuatu itu

57
Abbas Mahjub, Usûl al-Fikr al-Tarbawi fi al-Islâm, (Beirut: Dar al-
Ibnu Katsir, 1987), h.18. Unsur lain yang perlu diperhatikan berkaitan
dengan fokus pendidikan adalah pendidikan yang mengacu kepada
pengembangan aspek-aspek yang memungkinkan pelaksanaan tugas
kekhalifahan manusia.

 61 
Nurhilaliati

baik atau buruk. Dan Allah selalu memerintahkan manuci


untuk menggunakan akalnya agar dapat memahami
fenomena alam. Namun, perlu juga disadari bahwa akal
memiliki keterbatasan.
Munawwar Chalil berpendapat bahwa potensi akal
yang dimiliki manusia merupakan penyempurnaan bagi
potensi lain.58 Karena, dengan potensi akal ini manusia
mampu berpikir dan berkreasi menemukan ilmu penge-
tahuan sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan kepada
manusia untuk fungsi kekhalifahannya. Kemajuan dunia
ini sangat ditentukan oleh kemajuan fungsi akal manusia.
Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam al-Qur'an tidak
terdapat kata al-aql, melainkan hanya kata kerja bentuk
kini dan lampau. Secara bahasa kata tersebut berarti tali
pengikat atau penghalang, yaitu menghalangi seseorang
terjerumus dalam kesalahan atau dosa.59
Berangkat dari pengertian di atas, maka dapat dikata-
kan bahwa orang yang dapat menggunakan akalnya pada
dasarnya telah mampu mengikat hawa nafsunya, sehingga
hawa nafsu tidak dapat menguasai dirinya dan ia mampu
mengendalikan diri dan akan memahami kebenaran.

58 Munawwar Chalil menyamakan antara pengertian hidayah dengan


potensi ketika memaknai Q.S. 1: 6. Menurutnya terdapat empat potensi
khusus, yaitu wujdâniyab, hissiyah, 'aqliyah, diniyah dan satu potensi khusus,
yaitu taufiqiyah. Munawwar Chalil, Tafsir Hidayaturrahman, (Solo: AB Siti
Syamsiah, 1958), h.57-58.
59 M. Quraish Shihab, Manusia dalam..., h. 12.

 62 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Orang yang dikuasai hawa nafsu akan mengakibatkan


dirinya terhalang dalam memahami dan melakukan
kebenaran, Berdasarkan inilah, maka akal dapat pula di-
maknai sebagai suatu potensi rohaniah yang berfungsi
membedakan mana yang benar dan yang salah. Berkaitan
dengan ini Ghazali mengemukakan dua pegertian akal,
pertama secara fisik diartikan sebagai daya pikir atau
potensi intelegensi untuk memahami segala hal, kedua
diartikan secara metafisik sebagai karunia Tuhan yang
halus, sebagai sifat dari segala pemahaman yang menjadi
sumber pengetahuan.60 Dengan demikian, akal merupa-
kan daya berpikir yang terdapat dalam diri manusia,
sebagai potensi ghaib yang dapat menuntun manusia
kepada pemahaman diri dan alam semesta.
Dalam al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang mem-
bicarakan peranan akal dalam kehidupan manusia. Akal ini
pulalah yang membedakan secara tajam antara makhluk
manusia dengan makhluk-makhluk lainnya.
Semua ayat al-Qur'an tentang akal menunjuk pada
fungsi akal memahami kebenaran yang fisik dan yang
metafisik yang akan digunakan sebagai alat untuk
memahami realitas konkret dan realitas ghaib. Kegiatan
akal adalah kesatuan pemikiran dan kalbu dalam usaha
memahami kebenaran. Menggunakan akal berart i

60 al- Ghazali, Ihyá‟..., h.5.

 63 
Nurhilaliati

menggunakan kemampuan pemahaman terhadap realitas


konkret dan realitas spiritual. Realitas konkret dipahami
oleh pikiran sedang realitas spiritual dipahami oleh kalbu.61
Berdasarkan ayat-ayat al-Qur'an, Quraish Shihab
menyimpulkan fungsi akal ke dalam tiga bagian:62 Pertama,
akal berfungsi sebagai daya untuk memahami dan meng-
gambarkan sesuatu, seperti yang termaktub dalam firman
berikut: “Demikian itulah pemahaman-pemahaman Kami
kepada manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali
orang-orang yang mengetahui”.63 Kedua, akal berfungsi sebagai
dorongan moral bagi manusia, seperti firman Allah
berikut: “Dan janganlah dekati perbuatan-perbuatan keji – yang
nampak atau yang tersembunyi - jangan pula membunuh jiwa yang
diharamkan Allah dengan sebab yang benar, demikian itu
diwasiatkan Tuhan kepadamu, semoga kamu memiliki dorongan
moral untuk meninggalkannya”.64 Ketiga, akal berfungsi
sebagai daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan
serta hikmah. Untuk maksud ini biasanya digunakan kata
rushd. Daya ini menggabungkan kedua daya yang disebut
di atas, sehingga ia mengandung daya memahami, daya
menganalisa, dan menyimpulkan serta dorongan moral
yang disertai dengan kematangan berpikir. Seorang yang

61 Musa Asy'arie, Manusia Pembentuk…, h. 100.


62 M. Quraish Shihab, Manusia dalam…, h. 12-14.
63 QS. 29: 43.

64 Q.S. 6: 51.

 64 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

memiliki dorongan moral bisa saja tidak memiliki daya


nalar yang kuat, tetapi seseorang yang memiliki rushd, dia
telah menggabungkan keistimewaan keduanya.
Berdasarkan kegunaan akal yang diuraikan di atas,
maka dapat dikatakan bahwa seseorang yang tidak dapat
menggabungkan kedua unsur (moral dan nalar) tersebut,
orang itu belum dapat menggambarkan keutuhan dan
makna sebenarnya dari akal. Hal ini apabila dikaitkan
dengan upaya pendidikan, maka pendidikan hendaknya
menggambarkan kegiatan yang memperbaiki dan
meningkatkan kedua unsur tersebut. Selain itu, dengan akal
pula maka manusia disebut sebagai makhluk berpikir, yang
berarti jika manusia tidak mampu untuk berpikir, maka
tidak mungkin Allah memerintahkan kepada manusia
untuk menggunakan akal pikirannya secara optimal. Dan
dengan kemampuan akal pikirannya, kepada manusia
diharapkan akan dapat menciptakan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang akan digunakan sebagai wahana untuk
mencapai kesejahteraan hidup manusia.
d. Kebebasan Kehendak Manusia
Manusia memiliki kebebasan kemauan atau kebebas-
an kehendak, yaitu kebebasan untuk memilih tingkah
lakunya sendiri, kebaikan atau keburukan. Manusia bahkan
memiliki kebebasan untuk beriman atau tidak beriman.
Mengenai kebebasan manusia, ada dua golongan
ulama Islam yang berbeda. Pertama, manusia itu mujbar

 65 
Nurhilaliati

Dalam perbuatannya, ia tidak memiliki kebebasan


(golongan Jabariah). Kedua, manusia memiliki kebebasan
kehendak serta kemauan untuk menentukan pilihan
(golongan Qadariah).65 Kedua pendapat ini mendasarkan
pandangan mereka pada al-Qur'an dan as-Sunnah.
Golongan pertama dianut oleh aliran kalam tradisional
yang menyatakan bahwa dalam diri manusia ada dua daya
yaitu daya Tuhan dan daya manusia. Untuk mewujudkan
suatu perbuatan, daya yang berpengaruh dan efektif
adalah daya Tuhan, sedangkan daya manusia tidak
berpengaruh kalau tidak didukung oleh daya Tuhan.66
Sedangkan golongan kedua dianut oleh aliran kalam
rasional, yang mengatakan bahwa manusialah yang
menciptakan perbuatannya dan ialah yang berha k

65 Istilah qadariah mengandung dua arti. Pertama, orang-orang yang


memandang manusia berkuasa dan bebas atas perbuatannya. Dalam arti
ini, qadariah berasal dari kata qadara yakni berkuasa atau mempunyai qudrah.
Kedua, orang-orang yang memandang nasib manusia telah ditentukan dari
azal. Dengan demikian, qadariah di sini berarti menentukan, yakni ketentuan
Tuhan atau nasib. Kaum Mu‟tazilah menentang sebutan qadariah yang
diberikan kepada mereka. Nama ini, kata mereka, lebih tepat diberikan
kepada orang yang percaya bahwa kadar baik dan buruk datang dari Tuhan.
Sebab-sebab mereka dinamakan qadariah karena mereka memandang bahwa
perbuatannya draujudkan oleh daya mereka sendiri dan bukan oleh Tuhan.
Menurut keterangan ahli Teologi Islam, faham qadariah kelihatannya
ditimbulkan pertama kali oleh Ma'bad al-Jauhani (w. 80 H). Ahmad Amin,
Fajr al-Islám, (Kairo: an-Nahdah, 1965), h. 225.
66 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarab Anaisa

Pertandingan, (Jakarta : UI Press, 1989), h.11.

 66 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

memperoleh balasannya di akhirat.67


Apabila dikaitkan dengan pendidikan, perbedaan
pandangan tentang siapa yang menentukan perbuatan
manusia pada gilirannya akan berpengaruh dalam perlaku-
an terhadap peserta didik. Bagi golongan yang mengata-
kan bahwa manusia mujbar dalam perbuatannya akan mem-
berikan perlakuan pasif kepada peserta didik. Sebaliknya
bagi golongan yang memandang bahwa manusia memiliki
kebebasan kehendak dalam menentukan dalam pilihannya
akan memberikan perlakuan secara aktif, dinamis dan
kreatif kepada peserta didik.
Dalam Pendidikan Islam, prinsip kebebasan mem-
punyai arti penting, baik dari segi individu maupun dari
segi masyarakat. Secara individu, kebebasan akan mem-
bawa kebahagiaan, meningkatkan produktifitas, merealisir
bakat, minat, daya cipta dan spontanitas, mendorong
berbuat adil, serta lebih pantas untuk menjadi khalifah
dalam memakmurkan bumi. Sedang dari segi masyarakat,
kebebasan merupakan salah satu keharusan bagi masya-
rakat secara keseluruhan, termasuk keharusan kehidupan
sosial yang baik. Sebab tidak ada jalan kepada kemajuan
masyarakat dan kehidupan, kecuali dengan kebebasan.
Yaitu kebebasan yang bertanggungjawab.68

67 Abu al-Fath Muhammad al-Syahrastani, al-Milâl wa al-Nihâl,


(Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h.45.
68 Langgulung, Beberapa Pemikiran…, h. 57-59.

 67 
Nurhilaliati

Menurut Nasr, dengan bantuan akalnya manusia akan


mampu memilih secara bebas antara yang nyata dan khayal,
antara yang mutlak dan yang nisbi. Apabila manusia tidak
memiliki kemauan bebas, maka agama tidak akan punya
arti.69 Jadi, kemauan bebas merupakan sesuatu yang
penting bagi konsepsi religius tentang manusia.
Allah sendiri pun memberikan kebebasan memilih
jalan hidup yang disukai masing-masing manusia, tetapi
dengan konsekuensi yang berbeda. Karena lengkapnya
bekal yang diberikan kepada manusia, maka orang lain,
termasuk Nabi sekalipun, tidak dibenarkan oleh Allah
untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain dalam
memilih jalan hidup yang dianggapnya benar. Kewajiban
manusia kepada orang lain adalah menjelaskan seterang-
terangnya informasi penting dalam hidup manusia dan
memberikan kesempatan untuk memilihnya, dalam rangka
membantu memilih jalan hidup yang benar dengan segala
macam fasilitas yang ada, agar tercapai kualitas ketakwaan
yang sebenarnya.
Selain fitrah dan kecmpat potensi tersebut di atas,
Allah juga telah memberikan berbagai sarana kepada
manusia untuk bisa belajar, yakni pendengaran, penglihatan
dan hati, sebagaimana yang tercantum dalam surat 16: 78,70

69 Seyyed Hosein Nasr, Ideal and Realities of Islam, (London: George


Allen & Unwin Ltd., 1975), h.19.
70 Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan

 68 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

yang oleh al-Maududi ditafsirkan, pendengaran merupa-


kan pemeliharaan pengetahuan yang diperoleh. Penglihatan
merupakan pengembangan pengetahuan sebagai hasil
observasi dan penelitian, dan hati merupakan sarana mem-
bersihkan ilmu pengetahuan dari kotoran dan noda,
sehingga melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
murni. Jika ketiga pengetahuan ini dipadukan, tercipta
pengetahuan “baru” yang sesuai dengan apa yang
dikaruniakan Allah kepada manusia yang akan mampu
mengatasi dan menundukkan makhluk lain agar tunduk
kepada-Nya.71 Dengan melihat ini, maka pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu dari
tugas-tugas hidup manusia sebagai khalifatullah. Sebab
untuk dapat mengolah dan mengelola bumi supaya
berguna bagi kemanusiaan, maka diperlukan orang-orang
yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
C. Pendidikan Islam Sebagai Sarana Aktualisasi
Potensi
Pembahasan pada bagian-bagian sebelumnya telah
menjelaskan bahwa pendidikan Islam pada hakekatnya
adalah pendidikan yang berdasarkan al-Qur'an dan Sunnah
Rasul, yang bertujuan untuk membantu perkembangan

tidak mengerti sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran,


penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur".
71 an-Nahlawi, Ushûl al-Tarbiyah..., h. 42.

 69 
Nurhilaliati

manusia menjadi lebih baik. Karena pada dasarnya,


manusia lahir dengan keadaan fitrah dan membawa serta
sejumlah potensi. Pertanyaan yang mungkin muncul setelah
mengetahui bahwa manusia telah membawa serta sejumlah
potensi untuk mengarungi kehidupannya di dunia, adalah
bagaimanakah agar manusia itu dapat menjadi lebih
manusiawi ? atau dengan pertanyaan lain, bagaimana cara-
nya agar manusia dapat mencapai titik optimal dalam batas
kemakhlukannya?
Terhadap permasalahan ini dapat diberikan jawaban
singkat, manusia akan menjadi lebih manusia lagi, atau
manusia akan menjadi mampu menjalankan perannya
secara optimal, kalau kepada mereka diberikan bekal
didikan dan pelatihan secara efektif dan efisien sesuai
dengan tuntunan dan tuntutan Islam. Karena pendidikan
merupakan upaya seseorang untuk mengembangkan
potensi yang dimilikinya agar dapat mewarnai kualitas
kehidupannya. Tegasnya, pendidikan adalah upaya me-
manusiakan manusia, supaya mencapai titik optimal dalam
batas kemkhlukannya. Lalu permasalahan yang lebih
penting sekarang adalah pendidikan model bagaimanakah
yang dapat dijadikan sebagai sarana aktualisasi potensi diri
manusia tersebut?
Menjawab pertanyaan tersebut, maka terlebih dahulu
harus melihat kenyataan bahwa manusia adalah makhluk
yang memiliki struktur bi-dimensional, yakni dimensi
jasmaniah dan dimensi rohaniah. Ditinjau dari segi fisik-

 70 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

biologik, manusia boleh dikatakan telah mencapai


kesempurnaan bentuk (physically and biologically finished),
tetapi dari segi rohaniah, spiritual, intelektual dan moral
tidak pernah mengenal titik henti (morally unfinished), Secara
rohaniah hidup ini memang suatu proses dan proses ini
identik dengan perubahan, baik pada wilayah kultural,
hubungan-hubungan sosial, politik, ckonomi, maupun
pada wilayah yang bersifat moral. Dengan kata lain,
hakekat kehidupan manusia adalah proses perubahan.
Dari segi fisik-biologik manusia hampir sama dengan
hewan, dalam arti pertumbuhan dan perkembangannya
lebih banyak dipengaruhi Oleh proses alamiah. Tetapi dari
segi rohaniah, spiritual dan moral, manusia dapat melawan
arus proses alam dan mampu menilai serta mengontrol
alam sekitar, sehingga ia mampu beradaptasi dengannya
serta mampu mengubahnya.72
Di sisi lain, sementara pemikir seperti al-Maraghi,
Muhammad Quthb, dan Syaibani, beranggapan bahwa
manusia adalah makhluk tiga dimensi, yaitu selain
memiliki jasmaniah dan rohaniah, ia juga memiliki akal.
Ketiganya adalah kesatuan utuh yang saling berinteraksi
dalam diri manusia.
Kaitannya dengan pelaksanaan pendidikan Islam,
maka dalam implikasinya haruslah pendidikan yang bisa

72 Achmadi, Islam sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta:


Aditya Media, 1992), h. 50.

 71 
Nurhilaliati

mencakup ketiganya, bukan pendidikan yang dilaksanakan


secara parsial. Karena pandangan yang parsial tidak akan
melahirkan manusia yang berkepribadian utuh dan juga
tentunya akan membahayakan eksistensi manusia itu
sendiri. Dari sini maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan Islam seharusnya menggunakan pendekatan
yang menyeluruh terhadap keseluruhan wujud manusia,
supaya tidak ada yang tertinggal atau terabaikan, baik dari
segi jasmani, rohani ataupun akal.
Namun, dapat dikatakan bahwa yang menjadi landas-
an rekayasa strategis pendidikan dan sekaligus sebagai
potensi yang harus dikembangkan dalam proses pendidik-
an adalah manusia dalam dimensi rohaniah. Pada dimensi
ini, manusia memiliki sejuta potensi yang sangat niscaya
menjadi objek dan subjek pengembangan pendidikan.
Karena faktor inilah maka pendidikan harus berpijak pada
potensi yang dimiliki manusia, karena potensi tersebut
tidak dapat berkembang tanpa adanya rangsangan dari luar,
yakni proses pendidikan itu sendiri.
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa
potensi manusia dapat dilihat dalam kenyataan bahwa ia
adalah makhluk yang memiliki fitrah, makhluk yang
memiliki potensi rohaniah, makhluk yang memiliki potensi
akal dan makhluk yang memiliki kebebasan kemauan. Dan
sebagai konsekuensinya, maka ia berpikir, berpolitik, mem-
punyai kebebasan memilih, sadar diri, mempunyai norma

 72 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

dan tukang bertanya. Tegasnya manusia menjadi makhluk


yang berperadaban.73 Dengan potensi ini sangatlah jelas
dan rasional jika Islam sejak awal telah memproklamirkan
diri sebagai agama yang mengangkat derajat manusia
sedemikian tingginya, yaitu sebagai khalifah tuhan di bumi.
Dengan demikian, khalifah merupakan ungkapan
sederhana untuk menyebut dan mengartikulasikan tugas-
tugas kemanusiaan manusia, dan atribut ini oleh
Koentowijoyo disebut sebagai atribut revolusioner,
memiliki muatan makna yang sangat luas. Sebab untuk
mengidentifikasikan diri ke dalam atribut khalifatullah
haruslah melalui proses internalisasi sifat-sifat Tuhan ke
dalam dirinya dan mampu mengapresiasikan serta
mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, dan karena
sifat-sifat Tuhan mempunyai dimensi yang tidak terbatas,
maka kesalehan moral, spiritual dan intelektual manusia
juga tidak terbatas.74 Dengan atribut khalifatullah inilah,
manusia sebenarnya sangat berkepentingan dengan
berbagai perubahan, tidak saja apresiatif dan solider
terhadap perubahan-perubahan tersebut, tetapi juga yang
lebih penting manusialah yang menjadi actor dan
perekayasa perubahan tersebut. Di sinilah letak pentingnya
mengapa Islam sejak awal telah memaklumkan diri sebagai

73 Endang Syaefuddin Anshari, Kuliab Islam, (Bandung: Pustaka


Salman ITB, 1980), h. 3.
74 Ali Ashraf, Horison Baru..., h. 3.

 73 
Nurhilaliati

agama pembawa perubahan, yang salah satu segi


praktisnya dilakukan melalui dunia pendidikan. Dengan
demikian, pendidikan merupakan tuntutan dan
kepentingan dasar untuk merealisasikan tugas khalifatullah
bagi manusia.
Dalam surat al-Hijr yang menceritakan tentang
peniupan roh Tuhan pada manusia dapat diinterpretasikan,
bahwa dalam diri manusia memiliki cita rasa atau sifat-
sifat ketuhanan, tentu terbatas kemakhlukan manusia, ia
akan bertindak sebagai subjek dalam setiap perubahan,
dan bukan menjadi objek dari perubahan itu.
Menurut al-Qur'an, Allah menciptakan langit dan
bumi bukan untuk main-main (Q.S. 21: 16-17), tetapi
dengan tujuan tertentu, di antaranya adalah agar manusia
menemukan kebesaran Allah. Ia juga menciptakan manusia
untuk menyembah kepada-Nya (Q.S. 51: 56). Untuk itulah
maka Allah menghembuskan kepadanya roh-Nya (Q.S. 17:
29 dan 32: 9). Inilah sebabnya pada manusia terdapat sifat-
sifat kecerdasan dan kemauan disamping kesanggupannya
bersifat kasih sayang, sabar, dan lain-lain, yaitu sifat-sifat
yang terdapat pada Allah secara mutlak dan tak terbatas
pada manusia. Oleh sebab itu manusia diciptakan untuk
semua tujuan dan diberikan kepadanya kuasa spiritual
untuk mencapai tujuan itu. Dan karena kuasa itu berasal
dari Allah, maka jelas bahwa telah diberi kepadanya
sebagai suatu tanggungjawab (amanah). Ini berarti bahwa

 74 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

manusia harus menggunakan kemampuan mental dan


spiritual untuk menyembah dan mematuhi Allah dalam
rangka ciptaan dan rancangan-Nya.75
Kalau interpretasi tersebut di atas dikaitkan dengan
firman Allah dalam Surat al-A'râf: 180,76 maka dalam diri
manusia teraliri cita rasa ketuhanan dalam dimensi al-
Asma' al-Husna. Sebagai konsekuensinya, jika Tuhan
memiliki sifat al-Qadir (Maha Kuasa), maka pada diri
manusia juga terdapat sifat berkuasa dalam melakukan
berbagai perubahan. Bila Tuhan bersifat al-Khaliq (Maha
Pencipta), maka manusia juga memiliki sifat daya cipta
(daya kreasi) untuk menciptakan sesuatu yang baru. Bila
Tuhan memiliki sifat al-Malik (Maha memiliki segala
kekuasaan), maka manusia memiliki daya yang mampu
menguasai alam demi kepentingan dan kesejahteraan diri-
nya. Dan banyak lagi potensi lain yang dimiliki manusia
yang merefleksikan cita rasa ketuhanan yang berakar dari
atribut-atribut Tuhan yang indah tadi.
Potensi (fitrah) seperti itulah dalam proses pendidik-
an yang harus dikembangkan dan diberi rangsangan, agar
potensi tersebut mengejawantah dalam kehidupan sehari-

75Langgulung, Manusia dan Pendidikan..,h. 325.


76 Allah mempunyai al-Asma' al-Husna, maka bermohonlah kepada-
Nya dengan menyebut al Asma' al-Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang
yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya,
Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan".

 75 
Nurhilaliati

hari, tidak terasa asing bahkan tidak mengalami culture shock


dengan berbagai arus global yang senantiasa menerpa se-
tiap saat. Tidak sebaliknya, proses pendidikan justru meng-
hambat peluang berkembangnya potensi tersebut. Misal-
nya pendidikan hanya dianggap sebagai proses pemaksaan
suatu nilai, pendidikan hanya dianggap sebagai proses
pelestarian budaya, atau secara teknis, pendidikan di-
laksanakan secara otoriter.
Manusia, menurut Surat al-Isra: 24 memang di-
pandang sebagai homo edukandum, makhluk yang harus
dididik.77 Tetapi pengertian dididik di sini harus dipahami
sebagai proses pematangan dan rangsangan terhadap
potensi, agar potensi manusia itu lebih berkembang dan
sekaligus teraplikasikan dalam dunia realitas, sehingga
potensi tersebut betul-betul bermakna dalam kehidupan.
Rangsangan dalam proses pendidikan berarti pen-
didikan menghadapi masalah. Pendidikan lebih berbentuk
problem solving process, yakni dengan cara menyajikan
masalah kehidupan yang disesuaikan dengan tema materi
pelajaran, kemudian masalah tersebut dicarikan solusinya
dengan cara melibatkan anak didik. Proses pematangan
potensi dalam praktek pendidikan berarti: Pertama, me-
nyeleksi bobot dan kemampuan dasar manusia melalui

77 “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua (orang tua)


dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihanilah
keduanya, sebagaimana mereka telah mendidikku waktu kecil.”

 76 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

pendidikan. Kedua, bobot dan kemampuan yang telah ter-


seleksi dalam proses pendidikan lebih dikembangkan lagi
guna melaksanakan tugas hidupnya secara sempurna dalam
kehidupan masyarakatnya.78
Dalam pandangan Islam, potensi atau fitrah manusia
bersifat positif dan mengandung optimism dalam melihat
realitas faktual dan aktual menuju masa depan yang
dinamis. Tetapi kemunduran pertumbuhan dan per-
kembangan manusia terjadi karena adanya polarisasi
kecenderungan ke arah negative dan pesimistis, bahkan
terkesan jalan di tempat, hanya menjadi objek perubahan
dan menjadi instrumen kehidupan, hal ini lebih disebabkan
oleh faktor-faktor eksternal, termasuk di dalamnya adalah
kesalahan atau disfungsionalisasi peranan pendidikan.
Di sinilah barangkali, dan ini merupakan tugas pen-
didikan, yaitu bagaimana potensi baik itu tidak ter-
kontaminasi dan ternodai oleh pengaruh eksternal dan
negative, yakni nilai budaya yang senantiasa menciptakan
kondisi permisif terhadap hal-hal yang bersifat negatif,
bagaimana proses pendidikan dapat menciptakan kondisi
kondusif dalam mengimplementasikan potensi-potensi
internal dan tercermin dalam sikap dan tingkah laku, tidak
sebaliknya, sikap dan perilaku lebih merupakan cermin
pengaruh eksternal yang negatif.

78 H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan …, h. 58.

 77 
Nurhilaliati

Dengan melihat berbagai pandangan tentang potensi


atau fitrah manusia serta kecendrungan yang sangat
esensial (bersifat fitri) seperti kebebasan, betapa manusia
seharusnya menjadi acuan yang tidak boleh ditinggalkan
dalam proses pendidikan, baik sebagai acuan pelaksanaan
pendidikan itu, maupun acuan penentuan materi
pendidikan. Dengan memberikan kebebasan pada anak
didik, sekaligus sebagai bekal untuk memperoleh
kemampuan yang produktif. Pendidikan sebagai proses
pematangan fitrah dan potensi tentu tersirat di dalamnya
penanaman nilai agama dan missi kemanusiaan. Dapatlah
dikatakan bahwa program pendidikan sebagai usaha untuk
menumbuhkan daya kreativitas anak, melestarikan nilai-
nilai ilahi dan insani, serta membekali peserta didik dengan
kemampuan yang produktif.79
Dengan demikian, maka konsep fitrah juga meng-
hendaki agar pendidikan Islam diarahkan untuk bertumpu
pada tauhid. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat
hubungan yang mengikat manusia dengan Allah. Apa saja
yang dipelajari anak didik seharusnya tidak bertentangan
dengan prinsif tauhid ini. Kepercayaan manusia akan
adanya Allah melalui fitrahnya tidak dapat disamakan
dengan teori yang memandang bahwa monoteisme se-
bagai suatu tingkat kepercayaan agama yang tertinggi.

79 Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubaban Sosial: Suatu Teors

Pendidikan, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1987), h. 176.

 78 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Tauhid merupakan inti dari semua ajaran agama (Islam)


yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Munculnya
kepercayaan tentang banyaknya Tuhan yang mendominasi
manusia hanya terjadi ketika tauhid telah dilupakan.
Konsep tauhid bukan hanya sekedar jargon teologis bahwa
Allah itu esa, tetapi juga menyangkut masalah otoritas.
Konsep tauhid inilah yang menekankan keagungan Allah
yang harus dipatuhi dan diperhatikan dalam kurikulum
pendidikan Islam.
Bertolak dari fungsi dan tugas khalifatullah yang di-
emban manusia inilah, maka pendidikan Islam harus
dibangun. Bangunan pendidikan Islam yang bermuatan
tauhid inilah yang bisa mengantarkan manusia menuju
tugas-tugas kekhalifahan sekaligus yang dapat meng-
imbangi dan bahkan memotori perubahan, baik yang
bersifat global atau perubahan ke arah pengembangan
pemikiran Islam itu sendiri.
Keseluruhan deskripsi di atas dapat diambil intinya,
bahwa antara potensi dan fitrah dengan proses ke-
pendidikan merupakan dua hal yang harus selalu bekerja-
sama dalam mewujudkan suatu makhluk manusia sesuai
dengan yang dititahkan Oleh Allah. Karena fitrah manusia
bukanlah suatu hal yang dapat berkembang dengan sendiri-
nya tanpa campur tangan dari unsur lain, demikian juga,
pendidikan adalah faktor penting yang akan berfungsi
untuk mengarahkan fitrah atau potensi positif yang dimiliki
manusia agar mencapai titik optimalnya.

 79 
Nurhilaliati

Potensi yang merupakan kemampuan dasar bagi


setiap manusia lahir dalam bentuk sangat sederhana. Untuk
menumbuhkannya dalam bentuk implikatif praktis, maka
pemberian rangsangan melalui proses pendidikan harus
dilakukan dengan tepat dan cermat. Sebab kesalahan
dalam bentuk rangsangan, bukan saja menghambat
berkembangnya fitrah dan potensi, tetapi juga lebih di-
khawatirkan justru pertumbuhan dan perkembangan
tersebut mengarah pada yang lebih buruk, kalaupun
manusia mempunyai potensi atau fitrah yang baik, tetapi
ia akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan pengaruh
lingkungan alam sekitarnya.80
Teori yang ada baiknya menjadi pegangan bagi setiap
pengajar dan pendidik Muslim dalam menjalankan
Pendidikan Islam adalah teori al-fadilah, yaitu teori yang
semula dikenalkan Oleh al-Ghazali, diangkat kembali oleh
Atiyah al-Abrasyi, dan dikembangkan oleh Hasan
Langgulung.
Teori pendidikan al-fadilah berangkat dari indetermi-
nisme, bukan seperti konsep determinisme yang ditawarkan
oleh M.J. Langeleveld, yang alirannya masih banyak
dijumpai di Indonesia, Konsep pendidikan determinisme
memandang peserta didik sebagai orang yang belum
dewasa, orang yang masih menggantungkan hidupnya

80 Fadhil al-Jamali, Filsafat Pendidikan dalam al-Qur'an, terjemahan Judi

al-Falasany, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), h. 64-66.

 80 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

kepada orang lain, serta orang yang belum memiliki


pengetahuan, mereka memerlukan bimbingan dan per-
tolongan orang dewasa yang memiliki beberapa kelebihan
dibanding dengan mereka.
Teori al-fadilah berangkat dari asumsi bahwa peserta
didik adalah orang yang memiliki potensi serba positif,
memiliki tauhid, memiliki rasa ingin tahu (curiosity) yang
sangat tinggi, serta memiliki kesucian jiwa. Mungkin karena
inilah, maka peserta didik dalam konsep pendidikan Islam
disebut murid dari akar kata arada-yuridu-iradatan-muridan,
orang yang memiliki kreasi, memiliki kehendak dan moti-
vasi, mencipta menjadi lebih baik dan lebih sempurna.
Konsepsi Pendidikan Islam yang berdasarkan al-Qur'an
dan al-Hadis memiliki jangkauan ke depan, karena itu
falsafah pendidikan Islam lebih tepat jika menggunakan
falsafah progresifisme, yaitu pendidikan yang mendahului
gerak perubahan sosial.
Pendidikan hendaknya tidak diartikan sekedar sebagai
pelestarian nilai-nilai luhur, penyesuaian diri terhadap
dunia kerja, maupun sebagai proses transformasi penge-
tahuan dan teknologi. Sebab jika demikian adanya, maka
hakekat pendidikan sebagai anak bangsa akan selalu
tertinggal oleh kemajuan sosial.
Pendidikan pada hakekatnya adalah suatu proses
perubahan sosial, personal development, proses adopsi dan
inovasi dalam pembangunan, pendidikan harus men-

 81 
Nurhilaliati

dahului perubahan sosial. Dan dalam kaitannya dengan


perubahan sosial inilah maka pendidikan Islam harus
memberikan makna pengembangan nilai-nilai kemanusiaan
yang lebih adil dan beradab.
Kemanusiaan adalah nilai-nilai objektif yang dibatasi
oleh kultur tertentu, nilai kebebasan, kemerdekaan, ke-
bahagiaan. Persamaan hak adalah nilai-nilai kemanusiaan
yang dibangun di atas fondasi individualisme dan demo-
krasi. Sedangkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab
adalah nilai kemanusiaan yang dibangun dari idealisasi
tentang nilai baik dan benar bersifat mutlak.
Keadilan tidak dapat ditegakkan di atas fondasi
kebatilan. Adil dan hak adalah dua sisi dari sekeping uang
emas. Nilai kemanusiaan yang beradab tidak dapat di-
bangun di atas nafsu yang rakus dan hedonis, sebab ia tidak
akan melahirkan peradaban melainkan akan melahirkan
kebiadaban. Anak dari kebiadaban adalah kehancuran,
sedangkan anak peradaban adalah pembangunan.
Satu kesimpulan yang dapat diambil dari uraian pada
sub pokok bahasan ini adalah bahwa Pendidikan Islam
yang dapat menjadi sarana aktualisasi potensi manusia
adalah pendidikan yang memperhatikan seluruh aspek
potensi yang dimiliki manusia, yang mencakup potensi
rohaniah, jasmaniah, dan akal.

 82 
BAB III
Psikologi Humanistik

A. Tinjauan Historis
Sebelum abad XIX, studi tentang tingkah laku
manusia hampir seluruhnya merupakan dacrah wewenang
para ahli filsafat. Berkat penemuan-penemuan Galileo,
Isaac Newton, dan para ilmuwan lain sesudah mereka, per-
hatian tentang manusia serta tingkah lakunya sedikit demi
sedikit mulai bergeser dari tangan para teolog ke tangan
para ilmuan. Wilhelm Wundt (1832-1920) umumnya diakui
sebagai pendiri psikologi ilmiah. Ia menerbitkan sebuah
buku pegangan umum tentang ilmu baru ini, dan pada
tahun 1879 ia mendirikan laboratorium psikologi resmi
yang pertama di kota Leipzig Jerman. Pada tahun 1881 ia

 83 
Nurhilaliati

juga menerbitkan jurnal pertama di bidang Psikologi


Eksperimental.
Pada tahun 1954 saat Maslow menerbitkan bukunya
yang berjudul Motivation and Personality,1 ada dua teori besar
yang berpengaruh di kalangan universitas-universitas di
Amerika. Meski banyak teori-teori kecil, namun sebagian
besar psikiater, psikolog, dan sarjana dalam bidang ilmu-
ilmu tingkah laku dapat menelusuri sumber pemikiran
meraka dari Sigmund Freud atau J.B. Watson.
Sebelum membahas lebih jauh tentang sejarah
kelahiran Psikologi Humanistik, 2 perlu untuk ditelusuri

1 Karena penulisan kesulitan dalam memperoleh buku Maslow


Motivation and Personality, maka dalam tulisan ini akan digunakan sumber
sekunder, yaitu karangan-karangan Maslow yang lainnya maupun buku-
buku lain. Di antara buku Maslow yang digunakan dalam hal ini adalah The
Furtber Reaches of Human Nature dan Toward a Psychology of Being.
Sedangkan tulisan lainnya adalah A History of Moderd Psychology tulisan
Duane Schultz, A History of Paycbology John G. Benjafield, Historical
Foundation of Modern Prychology Howard H. Kindler, dan "Humanistic
Models of Human Development" tulisan N. Groeben dalam Torsten
Husen & Neville postlethwaite, ads, The International Encyclopedia of
Education. Artikel tentang majalah ini adalah yang ditulis Bastin J
Parangimalil, "Maslow's Holistic Psychology and Humanistic Religion",
dalam Journal of Dharma, No. 10, th. 1985.
2 Tentang pengertian Psikologi Humanistik, Kartini Kartono

mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Psikologi Humanistik yaitu:


pertama, suatu pendekatan terhadap psikologi yang menekankan usaha
melihat orang sebagai mahkluk yang utuh, dengan memusatkan diri pada
kesadaran subjektif, meneliti masalah manusiawi yang penting serta
memperkaya kehidupan manusia. Kedua, suatu pendekatan psikologis secara

 84 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

lebih dahulu secara ringkas kedua mazhab yang men-


dahuluinya, Mazhab Psikoanalisis dan Behaviorisme,
supaya dapat diketahui apa sebenarnya yang melatari
kemunculan mazhab baru tersebut.
Mazhab pertama adalah Mazhab Psikoanalisis atau
Freudianisme yang dirintis Oleh Sigmund Freud (1856-
1939). Ia mengajukan satu di antara teori-teori tentang
tingkah laku manusia yang paling komprehensif dan
paling berpengaruh dalam sejarah mutakhir. Aliran
muncul sebagai pokok perdebatan sejak diterbitkannya
karya besarnya yang pertama pada tahun 1900, The
Interpretation of Dreams, Freud merupakan seorang perintis
yang mengabdikan hidupnya untuk mengupas masalah
orang yang menderita sakit mental. Sampai batas tertentu,

umum, yang menekankan sifat-sifat karakteristik yang membedakan


mahkluk manusia dari hewan lainnya. Para Psikolog Humanistik terutama
sekali menekankan kapasitas manusiawi yang positif dan konstruktif. Ketiga,
suatu pendekatan terhadap studi atas keberadaan manusia, yang
menekankan masalah keseluruhan pribadi serta unsur-unsur pokok internal
dan integratif dari totalitas pribadi. Kartini Kartono & Dali Gulo, Kamus
Psikologi, (Bandung: Pionir Jaya, 1987), h. 207. Dari rumusan ini, jelas
kiranya bahwa manusia bagi Psikologi Humanistik sangat berbeda dengan
apa yang dipahami oleh Behaviorisme dan Psikoanalisis. Manusia harus
dipahami sebagai makhluk utuh dan ditelaah secara holistik yang memiliki
karakteristik manusiawi khas berbeda dengan hewan. Ia memiliki sejumlah
potensi positif dan konstruktif yang penelaahannya harus dilakukan secara
keseluruhan pribadi, serta unsur-unsur pokok internal dan integratif dari
totalitas pribadi, sehingga pemahaman perilaku manusia secara utuh dan
holistik dapat diperoleh.

 85 
Nurhilaliati

karyanya merupakan reaksi terhadap pengagungan daya


kehendak dan citra manusia rasional. Sebagai seorang
penulis yang produktif, ia mengubah teori-teorinya setelah
memperoleh data baru, namun sejumlah gagasan pokok-
nya relatif tidak berubah. Bukan hanya metode-metode
teologi yang ditolaknya, melainkan juga kesimpulan-ke-
simpulannya. Bagi Freud, pengalaman religius merupakan
paham kekanak-kanakan belaka.
Pendapat Freud sangat dipengaruhi oleh pemikiran
Darwin yang bertolak dari premis bahwa manusia adalah
produk evolusi yang terjadi secara kebetulan. Benda hidup
lahir dan berkembang akibat kegiatan daya-daya kosmik
terhadap benda-benda anorganik. Manusia hanyalah
binatang, tak lebih dan tak kurang. Katanya, “dalam gerak
perkembangan ke arah peradaban, manusia beroleh kedudukan
yang berkuasa atas sesama mabkluk dalam kerajaan binatang.
Namun belum puas dengan keunggulan ini, manusia mulai
menciptakan jurang perbedaan antara sifatnya dengan sifat sesama
makhluknya itu. Ia menyangkal bahwa mereka memiliki akal,
sedangkan dirinya sendiri dipertalikannya dengan suatu jiwa yang
abadi, dan menyatakan diri sebagai turunan Ilabi, agar dapat
memutuskan tali persamaan dirinya dengan kerajaan binatang…”
Kita semua tahu bahwa setengah abad lebih sedikit silam,
penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan Darwin, para
kolaborator maupun pihak pendahulunya, telah meng-
akhiri kecongkakan manusia. Manusia bukanlah mahkluk

 86 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

yang berbeda apalagi lebih unggul dari binatang; ia berasal


dari bangsa binatang, punya hubungan lebih dekat dengan
sejumlah anggota jenis lainnya.3
Selama kariernya Freud berusaha mereduksi tingkah
laku manusia ke dalam ukuran-ukuran kimiawi dan fisika
belaka. Minatnya tertumpah pada orang-orang yang meng-
alami gangguan mental, sedangkan laboratoriumnya tidak
lain adalah pasien mentalnya sendiri. Ia kurang menaruh
minat pada implikasi sosial dari teori-teorinya. Ia menarik
perhatian orang pada jiwa yang tidak sadar serta pengaruh-
nya terhadap tingkah laku manusia. Jiwa dilukiskannya
sebagai gunung es yang puncaknya, yaitu bagian yang
sadar, merupakan bagian kecil dibandingkan bagian yang
tidak tampak, yang merupakan bagian yang tidak sadar.
Seluruh kepribadian, seperti yang di rumuskan oleh
Freud, terdiri dari tiga sistem yang penting. Ketiga sistem
itu dinamakan id, ego, dan super-ego. Dalam diri seseorang
yang mempunyai jiwa yang sehat, ketiga sistem itu merupa-
kan satu susunan yang bersatu secara harmonis. Dengan
bekerja sama secara teratur, ketiga sistem itu memungkin-
kan seorang individu untuk bergerak secara efisien dan
memuaskan dalam lingkungannya. Tujuan dari gerak-gerik
ini adalah untuk memenuhi keperluan dan keinginan
manusia yang pokok. Sebaliknya, kalau ketiga sistem

3 Frank G. Goble, Mazbab .., h. 19.

 87 
Nurhilaliati

kepribadian ini bertentangan satu sama lain, maka orang


yang bersangkutan dinamakan orang yang tidak dapat
menyesuaikan diri. Ia tidak puas dengan dirinya sendiri
dan dengan dunia dan efisiensinya menjadi kurang.4
Dari uraian ringkasan tentang Freudianisme di atas,
kita dapat menangkap tanda-tanda bahwa pandangan
mazhab ini terhadap manusia dilakukan secara parsial dan
“tidak adil”, karena mereka hanya membahas apa yang
mereka namakan dengan ketidaksadaran. Padahal, manusia
adalah makhluk kompleks yang harus disoroti dari
berbagai aspek.
Mazhab kedua adalah Mazhab Behaviorisme.
Nampaknya mazhab ini muncul sebagai reaksi terhadap
teori yang dimunculkan Oleh Psikoanalisis. Behaviorisme
banyak menolak konsep-konsep yang diajukan oleh
mazhab Psikoanalis. Sebenarnya, teori ini berasal dari
pemikiran Filsafat abad XVI dan XVII, terutama pen-
dapat John Locke tentang akal manusia yang beranggapan
bahwa anak-anak adalah tabularasa atau kertas putih.
Setelah mendapat pengalamanlah baru kertas putih
dipenuhi oleh pikiran-pikiran. Di antara pelopor utama
mazhab ini adalah Pavlov (1849-1936), J.B. Watson (1876-
1958) dan Skinner (1904-1990).

4 Calvin, S. Hall, A Primer of Freudian Psybology, terjemahan S. Tasrif,

Jakarta: PT Pembanguan, 1980), h. 29.

 88 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Mereka beranggapan bahwa mempelajari tingkah laku


yang dapat diamati secara langsung melalui perangsang-
perangsang yang menyebabkan tingkah laku ini, dan
faktor-faktor yang menguatkannya yang dapat dikontrol
melalui eksperimen, itulah cara yang paling baik untuk
membentuk teori yang sesuai dengan tingkah laku
manusia.5
Teori ini berkisar pada soal utama, yaitu proses belajar
yang ditunjukkan dengan teori (S-R), dimana S (stimulus)
merupakan perangsang yang dihadapi oleh benda hidup
dan R merupakan gerakbalas (respondent) benda hidup
terhadap perangsang yang dihadapinya. Kebiasaan (habits)
merupakan konsep dasar (key-concept) pada teori mereka
tentang tingkah laku, dan ia merupakan poros pribadi.
Seseorang, memperoleh kebiasaannya, artinya ia mem-
pelajari. Sedangkan pribadi itu tidak lain dari susunan
tertentu yang terdiri dari kebiasaan-kebiasaan. Susunan
itulah yang menentukan tingkah laku seseorang dan
membedakan pribadinya dari orang-orang lain. Teori ini
menekankan pentingnya faktor-faktor lingkungan yang
dihadapi seseorang dalam hidupnya.6
Kedua mazhab psikologi yang telah diuraikan di atas,
nampaknya sama saja, yaitu sama-sama mereduksikan

5 B.F Skinner, About Behaviorism, (New York: Vintage Book, 1976), h.


20
6 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran …, h. 140.

 89 
Nurhilaliati

potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh manusia.


Masing-masing pihak mengetengahkan teori yang tidak
dikemukakan Oleh teori yang lainnya. Yang sebenarnya
kalau kedua pandangan tersebut digabung, maka akan me-
munculkan satu pandangan yang sangat bagus untuk
pengembangan lebih lanjut pembahasan seputar manusia.
Nampaknya inilah yang menjadi pusat perhatian Mazhab
Humanistik.7
Pada tahun 1964, sebuah konfrensi di Old Saybrook,
menetapkan Psikologi Humanistik sebagai gerakan sosial
dalam psikologi. Pendirinya adalah tokoh-tokoh Psikologi
Personaliti dan disiplin Humanistik seperti Gordon
Allport, Hendy Murray, Gardner Murphy dan George
Kelly. Carlotte Buhler, mempresentasikan sebuah tradisi
penelitian ala Eropa yang kemudian dilabeli dengan “Life-
span Development”; Jacques Barzun dan Rene Dubos
sebagai humanis dari segi literatur dan pengetahuan
biologi; Carl Rogers, Maslow dan Rollo May, menjadi
tokoh intelektual dari gerakan tersebut. Tentang pendirian
mazhab psikologi ini Rollo May berkomentar sebagai
berikut:

7 Uraian tentang latar belakang sejarah kelahiran Mazhab Psikologi


Humanistik dalam bagian-bagian tulisan ini ada yang diambil dari Dedih
Surana, "Perilaku dalam Perspektif Psikoanalisa. Behaviorisme dan
Psikologi Humanistik (Telaah Psikologi Islami)", Tesis magister, (Yokyakarta:
PPS IAIN Sunan Kalijaga, 1997), tentunya dengan banyak penambahan
dari beberapa literatur lain.

 90 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

“That conference developed out of the groundswell


of protest againt the theory of man of Behaviorism
on the one side and orthodox Psychoanalysis on the
other. That is why we are often called the Third Force.
There was a Feeling all sides among different
Psychologist that neither of these two version of
psychology dealt with human beings as human. Nor
did they dealt with real problems of life. They left
great numbers of people feeling alienated and empty.
At that coference we discussed what the chief
clements of Humanistic Psikology would be.”8
Psikologi Humanistik sering juga disebut dengan
mazhab ketiga dalam psikologi. Diperkenalkan oleh se-
kelompok ahli psikologi di bawah kepemimpinan
Abraham Maslow pada pertengahan abad XX. Mazhab
baru ini lahir sebagai reaksi atau sikap protes menentang
teori-teori psikologi dua mazhab terdahulu, yakni Mazhab
Psikologi Psikoanalisis dan Mazhab Psikologi Behavioris-
me. Para ahli Psikologi Humanistik berpandangan bahwa
penekanan begitu kuat oleh Behaviorisme yang me-
mandang perilaku manusia mutdlak dipengaruhi kondisi
lingkungannya, atau psikoanalisis yang memandang bahwa
perilaku manusia sangat ditentukan oleh Psikologi
Humanistik berpendapat bahwa manusia adalah mahkluk

8 J.P Guilfrod, “Humanistic Psichology”, dalam Raymond J. Corsini,

ed., Encyclopedia of Psichology, (New York: John Wiley & Sons, 1994), vol. II.

 91 
Nurhilaliati

yang mempunyai kebebasan melebihi determinan-


determinan yang ditunjukkan oleh Behaviorisme atau
Psikoanalisis. Manusia adalah penentu utama bagi tingkah
lakunya. Ia merupakan agen yang sadar, bebas memilih
atau menentukan setiap tindakannya.9
Manusia atau individu harus dipahami dan dipelajari
sebagai keseluruhan yang integral, khas, terorganisir,
meliputi aspek-aspek dasar dari pribadi yang menyeluruh.
Tidak seperti kaum Psikoanalisis yang memusatkan diri
pada penyelidikan orang-orang yang mengalami gangguan
neurotis dan psikotis, atau kaum Behavioris yang me-
mahami dan menerangkan tingkah laku manusia secara
terpisah dan clementalistik. Pemahaman terhadap tingkah

9 Pendapat para tokoh Psikologi Humanistik ini nampaknya banyak


dipengaruhi oleh pandangan Filsafat Eksistensial, yang dikemukakan oleh
tokoh-tokoh klasiknya seperti, Nietzsche, Dostoevsky dan Bergson. Dan
juga para tokoh modern seperti Berdayacv, Buber, Heidegger, Jaspers,
Kafka, Marcel, Merleau-ponty dan Tilich. Selain itu akan dilihat pula
kemiripan pandangan umum Psikologi Humanistik ini dengan Psikologi
Eksistensial seperti yang dikemukakan oleh Ludwig Binswanger dan Medard
Boss Juga banyak dipengaruhi oleh Psikologi Gestalt dan Fenomenologi.
Dengan beragamnya pengaruh yang diperoleh para pendiri dan
pengembangnya, maka tidak heran kalau mazhab ini bisa dikatakan sebagai
aliran yang sedikit mendapat kecaman dan kritikan atas konsep yang
dimunculkannya. Bahkan diprediksikan sekaligus diharapkan juga, bahwa
psikologi ini dapat menjadi tumpuan masa depan, terutama dalam
perlakuan terhadap manusia. Tentang prediksi ini dapat dilihat dalam Duane
Schultz, A Hislory of Modern Psikology, (New York: Academic Press, 1975),
h. 370-376.

 92 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

laku manusia harus dilakukan secara holistik, sehingga


motif-motif yang menggerakkan menusia bertingkah laku
akan diketahui secara menyeluruh.
Sebagai gerakan ilmiah yang memiliki pengaruh luas,
Psikologi Humanistik memiliki sejumlah tokoh perintis
dan pendukung. William James, seorang filosof sekaligus
psikolog Amerika (1842-1910) disebut sebagai perintis
cikal bakal gerakan Psikologi Humanistik. Ia terkenal
dengan pendekatan aliran kesadaran terhadap gejala-gejala
mental dan pandangannya yang serba dinamis. Selanjutnya,
di bawah ini akan diuraikan secara ringkas beberapa tokoh
mazhab ini dan pandangan mereka seputar manusia.
Gordon W. Allport (1897-1967) memberikan
kontribusi mengenai studi kepribadian dan motivasi se-
bagai kekuatan penggeraknya. Ia merumuskan kepribadi-
an sebagai organisasi dinamis di dalam diri individu
menyangkut sistem-sistem psikofisik yang menentukan
tingkah laku karakteristik dan pikirannya. Kepribadian
manusia bersifat dinamis yang terus menerus berkembang
Secara potensial.10
Allport mengatakan bahwa ada kontradiksi
fundamental antara ilmu pengetahuan dengan intuisi dalam
memandang manusia. Kedua hal ini kemudian dinamakan-
nya dengan nomothetic dan idiografhic. Nomothetic mencoba

10 Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, Theories of Personality, (New

York: John Wiley & Sons, 1978), h. 437-442.

 93 
Nurhilaliati

mencapai hukum yang berlaku umum untuk semua


manusia dan prosedurnya didasarkan pada pengukuran
yang akurat terhadap tingkah laku. Sedangkan idiographic
mencoba melihat masing-masing individu sebagai ke-
seluruhan yang unik dan menjangkau pada pemahaman
intuitif. Kedua aspek tersebut harus dikombinasikan.11
Allport mengajukan pendapat bahwa komposisi
psikologis manusia adalah seperangkat sifat atau ciri dan
desposisi dari attitude dan habit, nilai, intensi dan motif-
motif, dan memadukan semua unsur tersebut merupakan
suatu tugas yang tidak ringan.12
Walaupun sifat atau desposisi nyata adanya dalam diri
seseorang, namun hal ini tidak dapat diamati secara
langsung. Melainkan dapat diduga dari tingkah laku yang
diwujudkan. Allport menulis dalam kaitannyan dengan ini
sebagai berikut:
“A specific act is always the product of many
determinants, not only of lasting sets, but of
momentary pressures in the person and in the
situation. Its only the repeated occurrence of acts
having the same significance (equivalence of response)

11 P.E. Vernon, "Gordon Willard Allport", dalam Raymond J. Corsini


ed., Enyclopedia of Psychology, (New York: John Wiley & Sons, 1994), Vol. 12
12 G.W. Allport, Personality: A Psycbological Interpretation, (New

York: Holt, 1937), h. 48.

 94 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

following upon a definable range of stimuli having


the same personal significance (equivalence of stimuli)
that make necessary the inference of traits and
personal dispositions. The tendencies are not at all
time active, but are persistens even when latent, and
have relatively low thresholds of arousal.”13
Hal tersebut penting bukan hanya untuk meng-
indikasikan sifat apa yang ditunjuk, tetapi juga untuk mem-
bedakannya dari konsep-konsep yang berhubungan. Habit
juga menentukan kecenderungan, tetapi sifat lebih umum
dalam situasi yang tepat baginya dan dalam respons yang
dijalani. Dengan demikian, sifat mempresentasikan ke-
berhasilan mengkombinasikan atau mengintegrasikan dua
atau lebih habit.
Dari pandangan yang diajukan Allport tersebut di
atas, dapat diketahui bahwa yang penting untuk diperhati-
kan dari makhluk manusia adalah self dan egonya dan
bukan dari segi organismenya.
Tokoh berikutnya adalah Carl Rogers (1902-1987)
yang memberi sumbangan tentang teknik berpusat pada
orang yang memerlukan bantuan (dient centered approach)
dalam penanganan psikoterapinya. Ia sangat optimis
terhadap sifat alami manusia. Dia yakin, bahwa dorongan
paling dasar adalah aktualisasi, yaitu memelihara -

13 G.W. Allport, Pattern and Grouth in Personality, (New York: Holt,

Rinehart & Winston, 1961), h. 374.

 95 
Nurhilaliati

menegakkan-mempertahankan diri dan meningkatkan diri


sendiri.
Sebelumnya, pandangan Rogers disebut “self theory”,
tetapi tidak lama setelah itu terlihat karakteristik
posisi Rogers sangat berbeda secara akurat dengan yang
sebelumnya. Hal ini sangat jelas dalam karya-karyanya yang
belakangan muncul. Perhatiannya lebih dicurahkan kepada
organisme dan bukan pada the self (sebagaimana Allport).
Dan memang self atau self concept, adalah mungkin
menjadi sebuah gambaran pribadi yang terdistorsi.
Rogers mengidentifikasi dirinya dengan orientasi
Humanistik dalam psikologi kontemporer. Menurutnya,
Psikologi Humanistik menentang apa yang dianggapnya
sebagai pesimisme yang suram dan keputusasaan yang
inheren dalam pandangan tentang manusia pada satu sisi,
dan konsepsi yang melukiskan manusia sebagai robot
dalam pandangan Behaviorisme di sisi lain. Psikologi
Humanistik lebih optimistik tentang manusia. Mazhab ini
percaya bahwa pribadi mengandung dalam dirinya poten-
sialitas untuk pertumbuhan yang sehat dan kreatif.
Kegagalan dalam merealisasikan potensi-potensi diri ini
disebabkan pengaruh yang menarik dan didistorsi oleh
latihan dari orang tua, pendidikan dan tekanan sosial
lainnya.
Efek yang membahayakan itu, menurutnya, dapat
diatasi jika individu tersebut ingin menerima tanggung-
jawab untuk kehidupannya sendiri. Jika tanggungjawab ini

 96 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

diterima, Rogers percaya, manusia akan segera melihat


betapa pentingnya sebuah pribadi baru yang memiliki
“bighly aware, self-directing, explorer of inner, perhaps more than
outer, space, scornful of the conformity of institutional and the
dogma of autority”.
Teori teorinya tentang kepribadian, seperti halnya
Freud, Adler, Sullivan, dan Horney, berangkat dari
pengalamannya sendiri dalam bekerja dengan individu-
individu dalam hubungan terapeutik. Stimulus besar dalam
pemikiran psikologisnya adalah “kelanjutan pengalaman
klinis individu yang menerima dirinya sendiri atau diterima
oleh yang lainnya, sangat dibutuhkan dalam menolong
pribadi tersebut”.
Dalam pandangan dunia psikologi, Roger diidentik-
kan dengan sebuah metode psikoterapi, dan dia dianggap
sebagai pemula dan kemudian pengembangnya. Tipe
terapi yang dikemukakan olehnya dikenal dengan nama
nondirective atau client-centered therapy.14 Pandangan Rogers
nampak berbeda secara diametral dengan pandangan yang

14 Dalam proses terapeutik, seorang individu (diperlakukan sebagai


klien, bukan sebagai pasien) masuk bersama dengan terapis-nya dalam
suatu hubungan, yang di dalamnya klien menjadi meningkat kesadaran
tentang perasaan dan pengalamannya. Dalam proses ini, terapis merefleksi
perasaan klien, sehingga hubungan mereka menjadi hangat dan bersahabat.
Terapis tidak boleh membuat kritikan dan tidak boleh menghukum klien.
Lihat R.W. Lundin, "C.R. Rogers", dalam Raymond J. Corsini, ed.,
Encyclopedia of Psychology, (New York: John Wiley & Sons, 1994), Vol. IV.

 97 
Nurhilaliati

dikemukakan oleh Allport, yaitu dia lebih mementingkan


organisme manusia daripada the self-nya. Suatu pandangan
yang tidak perlu dalam konsep yang diajukan Allport.
Tokoh lainnya adalah Abraham H. Maslow dengan
teori aktualisasi diri dan kebutuhan bertingkatnya; Rolo
May dengan pemahamannya pada keberadaan (existence)
sebagai dimensi dalam psikologi; dan Victor Frankl
dengan teori hidup bermakna dalam logoterapinya.
Meski diakui terdapat perbedaan di antara tokoh-
tokoh Psikologi Humanistik ini, namun mereka sama-
sama mengakui kelemahan dalam teori serta metode Psiko-
analisis dan Behaviorisme dalam mengkaji tingkah laku
manusia. Mereka diikat pula oleh suatu pandangan yang
sama bahwa manusia harus dipahami secara integral dan
holistik, serta berniat untuk menegakkan dan mengem-
bangkan potensi manusia (buman potential movement) dalam
kerangka acuan Humanistic Psychology. Mereka memahami
manusia sebagai makhluk yang utuh dan integral. Ia
memiliki kebebasan dan bertanggungjawab atas semua
tingkah lakunya.15
Walaupun terdapat banyak tokoh yang memberikan
kontribusi bagi kemunculan Psikologi Humanistik, ke-
lahirannya sebagai mazhab psikologi alternatif tidak bisa
dilepaskan dari nama Abraham Maslow (1908-1970),

15 John Bp. Shaffer, Humanistic Prycbologby, (USA: Prentice Hall,

1978), h. 18.

 98 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

mengingat dialah yang paling lantang mengkritik teori-


teori Psikoanalisis dan Behaviorisme serta mengajukan
pandangan baru sebagai solusinya. la pula yang paling gigih
mempertahankan berbagai kritikan yang dialamatkan
kepada kelompoknya.
Maslow sendiri pada mulanya adalah pengikut dan
pengagum Behaviorisme, namun setelah banyak membaca
tentang Psikologi Freudian, antusiasmenya pada
Behaviorisme mulai surut. Sehingga setelah sekian banyak
ia mengkaji teori dan metode kedua mazhab tersebut, ia
menemukan banyak kekurangan dan kelemahannya.
Kenyataan ini membawa dirinya pada pencarian psikologi
alternatif, sebagai teori dan metode yang menyeluruh
tentang perilaku manusia.
Maslow yang yakin akan adanya dasar ilmiah untuk
menetapkan tingkah laku yang benar dan yang salah,
kemudian meneliti sifat-sifat atau nilai-nilai yang dimiliki
oleh orang-orang yang sehat, dan bahkan sangat sehat
(tentu saja menurut penilaiannya), yakni pribadi yang
teraktualisasikan, wakil kelompok yang olehnya dinamakan
the growing tip. Dari situ dia menemukan nilai-nilai utama
atau nilai-nilai luhur, yang dia namakan Being-values atau B-
values, yang berisi: kebenaran (truth), kebajikan (goodness),
keindahan (beauty), kesatuan (unity), dikhotomi-trand-
sendensi (dichotomy-trandcendence), keaktifan (aliveness/ proces),
keunikan (uniqueness), kesempurnaan (perfection),

 99 
Nurhilaliati

keperluan (necessity), penyelesaian (completion/finality)


keadilan (justice), keteraturan (order), kesederhanaan
(simplicity), kekayaan (richness), kesantaian (effortlessness),
humor (play-fulness), kecukup-dirian (self-sufficieng), dan
kebermaknaan (meaningfulness).

B. Teori tentang Manusia dan Potensinya


1. Hakekat Potensi Dasar dan Kemampuan
Manusia
Keyakinan bahwa manusia memiliki sejumlah besar
potensi dan kemarmpuan yang tak tersalurkan merupakan
salah satu aspek penting dari teori komprehensif tentang
motivasi manusia yang dkemukakan oleh Maslow dan
tokoh-tokoh lain pengembang mazhab ini. Mereka yakin
bahwa setiap anak, paling tidak hampir setiap anak, lahir
dengan membawa potensi dan kemampuan serta kebutuh-
an untuk berkembang secara psikologis.
Mazhab psikologi ini tidak memusatkan perhatian
untuk mencari sebab mengapa seseorang berprestasi
rendah, tetapi perhatian diarahkan pada cara-cara me-
ningkatkan prestasi dengan memanfaatkan potensi
manusiawi yang dimiliki setiap orang. Dengan mempelajari
kelompok manusia terbaik, yakni kelompok teratas yang
jumlahnya kurang dari satu persen, kitab akan memperoleh
gambaran, manakah potensi dan kemampuan manusia
yang sesungguhnya. Maslow yakin, kebanyakan orang,

 100 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

kalau bukan semua orang, memiliki kebutuhan serta ke-


cenderungan untuk mengaktualisasikan diri. Namun,
kendati pun semua orang memiliki kemampuan ini, hanya
kecil sekali prosentase orang yang berhasil mencapainya.
Hal ini sebagian disebabkan karena orang buta akan
kemampuan mereka sendiri. Mereka tidak menyadari batas
kemungkinan yang dapat mereka capai dan tidak me-
mahami ganjaran dari aktualisasi diri.
Konsep mazhab psikologi ini tentang manusia sama
sekali tidak mengesampingkan kemungkinan terjadinya
perbedaan-perbedaan genetik yang dibawa sejak se-
seorang lahir, namun konsepsi itu sekaligus juga mengakui
adanya kemampuan-kemampuan yang bersifat umum
pada seluruh spesies. Kemampuan-kemampuan hebat ini
terdapat pada setiap manusia, namun sukar diukur. Kata
Maslow, “Kita tak dapat mengukur sampai berapa tinggi seseorang
akan tumbuh, kita banya bisa mengukur berapa tinggi badannya
saat ini. Kita tidak akan pernah dapat mengukur seberapa inteligen
orang itu akan dapat berkembang dalam kondisi-kondisi yang serba
terbaik, kita hanya bisa mengukur seberapa inteligen ia dalam
kondisi-kondisi yang nyata ada”.
Potensi manusia jauh lebih besar dari pada wujud
yang telah dimanfaatkan. Ini disebabkan manusia sebenar-
seperti jembatan yang dibangun oleh para insinyur.
Mempunyai kapasitas jauh lebih besar daripada ketahanan
yang harus ditopangnya. Dengan kata lain, manusia itu

 101 
Nurhilaliati

overbuilt. Berbagai keterbatasan menyebabkan seseorang


berprestasi di bawah kemampuan, atau tidak dapat
mewujudkan potensi yang dimilikinya.16
Arthur W. Combs menyebutkan beberapa keterbatas-
an ini, antara lain: (1) keterbatasan fisiologis (yang timbul
karena badan dalam kondisi yang kurang baik: terlalu lelah,
kurang makan, atau kurang gizi, sakit dan sebagainya); (2)
keterbatasan kesempatan (antara lain timbul karena ke-
adaan lingkungan yang kurang memadai); (3) keterbatasan
pemenuhan kebutuhan primer; (4) keterbatasan konsep-
diri (yang menimbulkan seseorang enggan berusaha lebih
keras karena merasa kurang mampu); (5) keterbatasan
tantangan dan ancaman: orang merasa tertantang bila
menghadapi masalah sukar yang diminatinya, yang ia
percaya ada kemungkinan ia berhasil, sebaliknya orang
merasa terancam, bila ia menghadapi masalah yang ia
merasa di luar kemampuan pengelolaannya.17
Potensi yang menjadi perhatian para pendukung
mazhab ini adalah potensi khas yang terdapat pada
manusia, seperti hubungan manusiawi dan afeksi, kebebas-
an, dimensi transenden, kesadaran, dan sebagainya. Carl

16 Paul Eggen & Don Kauchak, Educational Psycholgy, Windows on


Classroom, (New Jersey: Prentice-Hall Inc, 1997), h.348.
17 Soctarlinah Sukadji, “Pengaruh Penataran Pengembangan Pribadi

Guru untuk Meningkatkan Komponen Afektif Proses Mengajar Belajar


terhadap Prestasi Belajar Murid di Sekolah Dasar Pedesaan”, Disertasi
Doktor, (Yogyakarta: UGM, 1984), h. 85-86.

 102 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Rogers berpendapat bahwa terciptanya hubungan


manusiawi yang selaras, disertai penerimaan tanpa syarat,
pengertian yang empatik dan kepercayaan bahwa se-
seorang memiliki kompetensi untuk mengarahkan diri
sendiri, memberikan peluang bagi seseorang untuk
“tumbuh” dan melakukan reorganisasi diri. Dasar pikiran
inilah yang kemudian diterapkannya dalam client-centered
therapy.18 Kemudian dasar pemikiran ini diperluas
penerapannya pada pendidikan.
Maslow mengingatkan, tentu saja tidak boleh ber-
pandangan tidak realistis tentang kemampuan manusia.
Memang terdapat kecenderungan ke arah perkembangan
dalam kodrat manusia, namun juga harus disadari adanya
kecenderungan sebaliknya, yakni kecenderungan untuk
mundur, takut terhadap perkembangan, gagal meng-
aktualisasikan diri.
Dengan demikian, potensi manusia menurut Psiko-
logi Humanistik adalah sejumlah unsur yang terdapat
dalam diri manusia, yang dapat dioptimalkan fungsinya,
dan potensi tersebut tidak sama dengan makhluk lainnya
atau yang membedakannya dari makhluk lain terutama
hewan.

18 Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, Theories of ..,h. 288-292.

 103 
Nurhilaliati

2. Potensi Dasar Manusia dalam Pandangan


Psikologi Humanistik
Permbahasan terdahulu telah menunjukkan bahwa
menurut Psikologi Humanistik, manusia mempunyai
potensi yang sangat banyak. Narmun untuk membatasi
terlalu meluasnya pembahasan, maka pada bagjan ini yang
akan dibahas hanya aspek cinta, kebebasan dan tanggung-
jawab, kesadaran diri, dan transendensi.
a. Cinta
Pembicaraan Psikologi Humanistik tentang cinta
selalu dikaitkan dengan keakraban (encounter). Ini beranti
bahwa istilah cinta yang dimaksud adalah keuar dari diri
sendiri dan menghadap pada orang lain serta bersedia
untuk menerima dan memperlakukan orang lain tersebut
dengan baik. Karena, dengan cinta seseorang akan meng-
hampiri dan menghadap orang lain sambil memberí, dan
karena cinta pula ia seakan-akan melepaskan keterarahan-
nya pada diri sendiri, supaya dengan demikian orang lain
akan dapat diperhatikan.19 Dengan demikian, cinta yang
menghadapkan diri pada orang lain bercirikan “ke-
bersediaan diri” dan “kesediaan”.
Jamesan Crumbaugh menggambarkan keakraban
sebagai hubungan mendalam antara seorang pribadi

19 P. Leenhouwers, Manusia dalam Lingkangannya, rerjemahan Veeger,


(Jakarta Gramedia, 1970), h. 229.

 104 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

dengan pribadi lain. Hubungan ini ditandai oleh rasa


kedekatan, keterbukaan dan saling menerima satu dengan
lainnya (dalam bahagia dan kedukaan), saling mengagumi
dan mempercayakan rahasia. Berdasarkan ini, maka cinta
bukanlah sesuatu yang didasarkan atas pertimbangan-
pertimbangan rasional, melainkan hanya merupakan
sesuatu yang diwarnai oleh alasan-alasan emosional.
Namun demikian, hubungan seperti ini sangat penting dan
dibutuhkan dalam kehidupan manusia, baik dalam
statusnya sebagai makhluk individu maupun sebagai
makhluk sosial, karena masing-masing pihak dapat saling
membantu dalam mengatasi berbagai kesulitan, dapat
meningkatkan keyakinan diri, dan mengembangkan rasa
diri berharga (being somebody) setidaknya bagi dirinya dan
bagi orang lain dalam ikatan keakraban itu. Sebaliknya
tanpa keakraban, seseorang akan mengalami alienasi diri
dan merasa sendirian dalam menanggung beban hidup,
yang pada akhirnya akan menimbulkan stress emosional
yang berat.20
Selain dengan sesama manusia, keakraban dapat
dijalin dan dibina dengan makhluk lain, dan bahkan dengan
Higber Being. Membina dan meningkatkan keakraban
dengan sesama manusia dilakukan dengan menerapkan
prinsip pelayanan (service), yakni berusaha mengetahui apa
yang dibutuhkan oleh orang lain dan kemudian memenuhi-

20 Bastaman, Dari Antbroposentris ..., h. 80-81.

 105 
Nurhilaliati

nya. Sedangkan untuk mengembangkan keakraban dengan


Higher Being, dapat dilakukan dengan meditasi dan latihan-
latihan spiritual.
Keakraban sebagai salah satu kualitas manusia sudah
seharusnya melibatkan intensionalitas dan harus pula
didasari oleh transendensi diri, yakni menghubungkan diri
dengan sesuatu atau seseorang di luar dirinya sendiri, baik
itu berupa nilai-nilai yang harus dipatuhi maupun pribadi
lain yang dikasihi. Dengan demikian, melalui cintalah
seseorang akan benar-benar mengenal dan memahami
keunikan kepribadian orang yang dikasihinya, tanpa
terlebih dahulu harus ditanyakan atau diungkapkan oleh
yang bersangkutan.
Membahas tentang cinta, Rachman mengatakan
bahwa cinta muncul ketika manusia mengalami keter-
pisahan dari hubungan primernya dengan alam sehingga
manusia sebenarnya terlempar dalam kesendirian. Dalam
rangka usaha mengatasi kesendiriannya, maka manusia
mencari “persatuan” (relatedness) baru, agar keterpisahan
eksistensial yang sangat menakutkan itu dapat diatasi. Cara
yang dilakukan untuk itu bergantung tingkat kebudayaan
yang ada. Usaha mencari “persatuan” itu bisa dilakukan
dalam dua kemungkinan. Pertama, penyatuan diri dengan
dunia, seperti ketundukan dan penyesuaian diri pada
pribadi tertentu, pada suatu kelompok atau lembaga
bahkan juga pada Tuhan. Manusia yang berusaha mencari

 106 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

penyatuan dengan cara ini, berusaha menjadi bagian dari


orang lain, sehingga keutuhan eksistensi-nya lenyap. Kedua,
bisa dilakukan dengan usaha mendominasi orang lain,
sehingga sesamanya menjadi bagian dirinya. Kondisi
inipun menyebabkan keutuhan pribadi dapat hilang.
Namun, kedua cara mengatasi problem eksistensial ter-
sebut tidak memecahkan masalah keterpisahan manusia-
wi, karena keduanya merupakan upaya menghancurkan
keutuhan diri.21 Jadi, melalui cinta manusia mengatasi
problem eksistensialnya secara rasional. Cinta adalah suatu
bentuk hubungan interpersonal yang paling fundamental,
karena menyangkut rasa tanggungjawab, perhatian, respek
atau hormat pada setiap makhluk manusia lainnya, dalam
keinginan memajukan hidupnya, yang bersumber pada
afeksi murni, rasionalitas, dan daya produktivitas.22
Jika dilihat dari piramida kebutuhan yang disusun
oleh Maslow, maka cinta masuk pada tingkat kebutuhan
akan rasa memiliki-dimiliki dan rasa kasih sayang yang
muncul setelah kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan
rasa aman telah terpenuhi. Selanjutnya, orang akan men-
dambakan hubungan penuh kasih sayang dengan orang
lain pada umumnya, khususnya kebutuhan akan rasa me-

21 Budhy Munawar-Rachman, “Situasi Eksistensial dan Realisasi Diri:


Psikoanalisis Pasca Freudian dan Masalah Spiritual”, dalam Fuad Nashari,
ed, Membangun Paradigma Psikologi Islami, (Yogyakarta: SIPRESS, 1994), h.
21.
22 Ibid, h. 22.

 107 
Nurhilaliati

miliki tempat di tengah kelompoknya, dan ia akan berusaba


keras mencapai tujuan yang satu ini. Ia akan berharap mem-
peroleh tempat semacam itu melebihi segala-galanya di
dunia ini, bahkan mungkin kini ia lupa bahwa tatkala ia
merasa lapar ia akan mencemoohkan cinta sebagai sesuatu
yang tidak nyata, tidak perlu atau tidak penting.
Cinta, sebagaimana kata itu digunakan Oleh Maslow,
tidak boleh dikacaukan dengan seks, yang dapat
dipandang sebagai kebutuhan fisiologis semata-mata.
Karena, biasanya tingkah laku seksual ditentukan oleh
banyak kebutuhan, bukan hanya Oleh kebutuhan seksual
melainkan juga oleh ancka kebutuhan lain, yang utama di
antaranya adalah kebutuhan akan cinta dan kebutuhan
akan kasih sayang.
Cinta adalah suatu permulaan penting dalam meng-
hindari sifat apathy. Sebagaimana Rollo May mendeskripsi-
kan bahwa dengan kemunculan “a new morality...of
authenticity in relationship” yang kemudian diklaimnya
sebagai dasar untuk membangun cinta, membuat orang-
orang tidak tertarik pada uang dan kesuksesan, tetapi
mereka lebih tertarik untuk mencari kejujuran, keterbuka-
an, sesuatu yang lebih berperasaan dan sebagainya. May
beralasan bahwa cinta dan keinginan atau kebutuhan dapat
saling mendukung, dan menurutnya kedua hal tersebut
diawali dengan adanya perhatian, karena baginya, kehilang-
an perhatian bukan saja menciptakan apathy, tetapi juga
eksistensi perhatian adalah apa yang mungkin membuat

 108 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

cinta dan keinginan akan menjadi berlawanan. Perhatian


dimulai dengan cinta dan akan berakhir tanpa cinta.23
Sekalipun demikian, Maslow menemukan bahwa
tanpa cinta, pertumbuhan dan perkembangan kemampuan
orang akan terhambat, karena cinta menyangkut suatu
hubungan sehat dan penuh kasih mesra antara dua orang,
termasuk sikap saling percaya. Dalam hubungan yang sejati
tidak akan ada rasa takut. Seringkali cinta menjadi rusak
jika salah satu pihak merasa takut kalau-kalau kelemahan
serta kesalahannya terungkap. Dan jangan-jangan orang
lain akan mampu melihat dan menembus topeng-topeng
kita, topeng-topeng represi yang dipaksakan pada kita oleh
adat istiadat dan kebudayaan.
b. Kebebasan dan Tanggungjawab
Para pendukung Psikologi Humanistik sangat mem-
perhatikan dan memberikan tempat bagi kebebasan
manusia, bahkan memberikan kebebasan yang jauh lebih
besar porsinya daripada yang sebenarnya dimiliki. Karena,
seandainya tidak ada kebebasan, maka tidak akan ada
tanggungjawab moral, kebajikan, jasa, keharusan moral
serta kewajiban. Sebab hubungan yang kuat antara
kebebasan dengan realitas-realitas spiritual itu jelas.
Sebelumnya, perlu untuk menegaskan arti kata
“kebebasan” dan “bebas”, sebab kedua kata ini digunakan

23 Benjafield, A History..., h. 270.

 109 
Nurhilaliati

dalam makna yang berlainan, sehingga akan jelas apa yang


dimaksudkan apabila berbicara tentang “kebebasan”
manusia dan hidupnya yang “bebas”. Kata bebas tidak
hanya dikenakan kepada manusia, tetapi juga kepada
benda. Namun istilah bebas tidak menyingkapkan apapun
tentang struktur- dalam barang itu sendiri. Sebab, ia tidak
dapat berbuat apa-apa. Tidak menjadi lain atau berubah.
Bebas itu akan menjadi lain kalau dikenakan pada
manusia, perbuatannya atau kelakuannya. Dalam hubungan
dengan manusia, kata bebas justru menyatakan dan
menyingkapkan sesuatu tentang diri manusia sendiri
dengan keadaan batinnya. Manusia disebut bebas-setidak-
tidaknya sejauh bahasa yang biasa dipakai- kalau ia
“kosong” bukan dalam arti bahwa ia dapat menjadi milik
orang lain, melainkan dalam arti bahwa perbuatannya
tidak mungkin dapat dipaksakan atau ditentukan “dari
luar”. Sebaliknya ia memiliki sendiri perbuatannya.
Sesuatu perbuatan disebut bebas, kalau manusia sungguh
mengambil inisiatif dalam batin, dan perbuatannya
merupakan tanggungjawab dirinya. Dari sini bebas me-
nunjukkan bahwa manusia sendiri mempunyai kemungkin-
an untuk memberi arahan dan isi kepada perbuatannya
sendiri. Sehingga pada akhirnya “kebebasan” merupakan
ciri khas atau sifat perbuatan dan kelakuan yang dapat
ditemui hanya pada manusia dan bukan pada benda.
Kemanusiaan seorang manusia akan bertambah jika
ia berhasil hidup setaraf dan setinggi dengan potensi-

 110 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

potensi yang bisa ditemukan dalam dirinya. Karena hidup


manusia adalah suatu “tugas”, dalam arti bahwa manusia
harus selalu berusaha untuk mengembangkan hidupnya
atas cara yang makin terpadu, supaya semua aspek yang
telah tersedia sebagai “kemungkinan” diwujudkan
sebagaimana mestinya. Dalam rangka inilah kebebasan
dan tanggungjawab tampil ke depan. Hidup telah di-
percayakan kepada manusia sendiri, supaya manusia
dengan bebas memberi tanggapan konkret atas
“panggilan” dan “tugas”nya untuk mewujudkan diri.
Membicarakan tentang kebebasan manusia, maka
akan ditemui beberapa macam kebebasan: kebebasan
dalam arti kehendak bebas, kebebasan dalam arti cita-cita
dan kebebasan dalam arti politik dan sosiologis.24 Di sini
hanya akan dibahas kebebasan dalam bentuk yang
pertama, yaitu kehendak bebas.25
Setiap orang yang secara spontan berbicara tentang
kebebasan sebagai sifat kelakuan, itu dimaksudkan sebagai
perbuatan manusia yang dilakukan tanpa penekanan yang

24 P. Leenhouwers, Men Zijn..., h. 91-96


25 Kehendak cenderung ke arah suatu kebaikan yang disajikan oleh
inteligensi. Kehendak sendiri tidak mengenal kebaikan, ia bukanlah suatu
kemampuan untuk mengenal, tiap-tiap kegiatannya yang bebas harus
diterangi oleh pengenalan intelektual. Dan justru oleh karena interaksi terus-
menerus antara inteligensi dan kehendak itulah, maka manusia adalah suatu
makhluk yang bebas. Lihat Louis Leahy, Manusia Sebuab Misteri, Sintesa
Filosofis tentang Makhluk Paradoksal, (Jakarta: Gramedia pustaka Utama,
1993), h. 147-148.

 111 
Nurhilaliati

memaksa. Tidak ada faktor, baik dari “luar” maupun dari


“dalam”, yang membatalkan atau menghapuskan ke-
mungkinan bagi manusia untuk mengambil keputusan
sendiri mengenai hidupnya. Orang yang bersangkutan
tidak berada di bawah kekangan orang lain atau paksaan
dari dalam. Jadi, kebebasan kehendak dapat juga dikata-
kan sebagai kebebasan psikologis yaitu kebebasan yang
memungkinkan subjek untuk memilih antara berbagai
tindakan yang mungkin. Sebaliknya, paksaan psikologis
adalah kecenderungan yang memaksa seseorang untuk
melakukuan perbuatan tertentu atau sebaliknya membuat-
nya tidak mungkin untuk melakukan beberapa kegiatan
tertentu.
Namun demikian, tiadanya paksaan atau penekanan
belum merupakan ciri khas dan inti pokok kebebasan
manusia. Sebab tiadanya paksaan hanya menyebut sesuatu
tentang situasi pada waktu orang bertindak. Menyatakan
bahwa tidak ada paksaan atau penekanan hanya akan
mempunyai nilai bobot, kalau dimaksudkan juga bahwa
manusia yang bersangkutan mempunyai kemampuan
untuk berperan dan bertindak atas dasar kemauan sendiri.
Oleh kerena itu, kebebasan mengungkapkan sesuatu hal
yang bersangkutan dengan sifat khusus kemauan.
Maksudnya, manusia mempunyai kemampuan untuk
menentukan diri. Dengan kata lain, manusia dapat menjadi
pangkalan perbuatannya sendiri. Karenanya, kelakuan

 112 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

manusia bukan hanya hasil dari berbagai proses. Manusia


tidak dibendung Oleh hukum-hukum yang mendeterminir
seluruh tingkah lakunya dan menjadikannya bergantung
pada kekuatan-kekuatan dari luar yang menyebabkan dan
menentukan reaksinya atas bermacam-macam perangsang
dan pengaruh. Justru karena manusia dapat menentukan
perbuatannya sendiri, ia telah menjadi orang bagi dirinya
atau seorang pribadi yang hidupnya bertumpuh pada diri
sendiri dan merupakan pangkalan kelakuannya sendiri.
Dalam dan olech kebebasan ini ia sadar bahwa dirinya
berbeda dengan makhluk lain.26
Kalau dipahami seperti di atas, maka kebebasan
merupakan kualifikasi tertentu atau ciri kehendak.
Kebebasan itu disebabkan oleh kenyataan bahwa manusia
dibekali dengan kesadaran dan kemampuan berfikir,
maupun kemampuan menilai dan mempertimbangkan arti
dan bobot perbuatannya sebelum ia mengambil keputusan.
Maslow berteori bahwa kemerdekaan dan kebebasan
merupakan kebutuhan psikologis dasar, kerena seseorang
yang telah mencapai kemerdekaan sejati (bukan
kemerdekaan yang dibayar dengan lenyapnya rasa aman
serta rasa dilindungi, melainkan kemerdekaan yang

26 William L. Rowe, Philasopby of Religion, (Belmont, California:


Wadsworth Publishing Company, 1993), h.141-154. bandingkan dengan
David Elton Trucblood, Philosopby of Religion, (New York: Harper &
Brothers, 1957), h. 275-290.

 113 
Nurhilaliati

tumbuh dari rasa aman serta rasa dilindungi yang me-


madai) tidak akan dengan sukarela ataupun dengan mudah
membiarkan kemerdekaannya itu direnggut dari
tangannya. Namun memang kita tidak tahu, apakah ini
juga berlaku pada orang yang menjadi budak.
Ketika mengaitkan kebebasan manusia dan eksistensi
manusia serta mengakui bahwa eksistensi adalah ciri khas
manusia, maka ciri utama eksistensi ialah manusia menjadi
terbuka kepada situasi. Ini berarti bahwa melaluí dan
karena keterbukaan itu manusia terarahkan pada situasi
itu juga. Sebagaimana manusia dari dalam dibatasi oleh
situasi, demikian juga kebebasan adalah “kebebasan yang
bersituasi”.
Manusia harus memandang kebebasan dirinya atas
cara konkret dalam ketergantungan dan keterjalinannya
pada situasi konkret. Ia harus menghayati dan melaksana-
kan kebebasannya dalam situasi itu, Seandainya ia tidak
dapat mengarahkan kebebasannya kepada situasi konkret,
kebebasan itu tidak dapat bergerak sedikit pun dan tidak
mempunyai relevansi apa pun bagi hidupnya.
Dengan demikian inti kebebasan adalah kemungkinan
untuk menentukan sendiri sikap batin terhadap situasi
faktual, dan kalau benar demikian adanya, maka justru
karena kebebasan itu manusia menjadi tidak tersentuhkan.
Sekalipun orang lain mengambil kemungkinan untuk
mengubah suatu situasi konkret, mereka tidak pernah

 114 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

dapat merampas dari orang lain kemungkinan untuk “diri


dalam batin” menentukan sikap orang lain terhadap situasi.
Dengan kata lain, kebebasan sejati manusia adalah
sedemikian dalam, sehingga tidak dapat disentuh oleh
lain. Inti kepribadian manusia dan dimensi
kedalaman dirinya adalah tak tersentuh oleh siapa pun.
Kedalaman dirinya yang tak tersentuh ini memberi kepada
manusia rasa aman dan kepastian hidup.
Berdasarkan kebebasannya, manusia bertindak
dengan bertitik tolak dari dalam batinnya. Kelakuannya
bukan akibat yang dapat dipastikan berdasarkan keteratur-
an hukum yang diperhitungkan, melainkan hasil penentuan
diri sendiri, seluruh diri manusia adalah subjek tingkah
laku, dan diri manusia yang sama adalah juga pihak yang
menanggung dan memiliki kebebasan. Jadi, seluruh faktor
yang dapat mempengaruhi manusia sebagai subjek yang
bertindak dapat mempengaruhi kebebasan juga.
Berangkat dari uraian di atas, timbul pertanyaan
mengenai hubungan antara kebebasan manusia dengan
kausalitas Tuhan. Kalau membenarkan bahwa manusia
bebas, maka tidak dapat membenarkan adanya pengaruh
Tuhan yang menentukan manusia. Sebab, pada pokoknya,
penentuan entah oleh Tuhan, entah oleh benda, atau oleh
sama manusia, itu sama saja. Kebebasan menolak semua
bentuk determinisme.

 115 
Nurhilaliati

Menjawab permasalahan di atas, maka harus tetap


berpegang bahwa manusia memang memiliki kebebasan,
tetapi juga tetap mempertahankan bahwa Tuhan memiliki
pengaruh juga atas manusia. Dengan mengatakan bahwa
Tuhan menghasilkan manusia yang dibekali dengan
kebebasan dan kemampuan untuk memakai kebebasan itu,
kiranya dapat membuka cakrawala bagi pemahaman
hubungan antara manusia dengan Tuhan. Berkat pengaruh
dan kualitas Tuhan, manusia adalah manusia bebas dan
dapat hidup sebagai manusia bebas pula.
c. Transendensi Manusia
Transendensi adalah sebuah kualitas kehidupan
manusia. Pengertian ini sangat berkaitan dengan kebebasan
yang dimiliki oleh manusia. Bahkan bisa dikatakan bahwa
transendensi merupakan penelaahan yang lebih mendalam
tentang konsep kebebasan itu sendiri. Bila kebebasan
adalah keterbukaan awal dari kemanusiaan, maka
transendensi adalah sebuah proses kreatif yang melanjut-
kan dan memperkembangkan kebebasan itu sendiri.
Dalam ungkapan transendensi terkandung sebuah
pengertian mengenai “gerak melampaui”, baik itu merupa-
kan gerak yang makin mendalam (kualitatif) maupun gerak
yang “melewati batas-batas tertentu” (kuantitatif). Bila
dinamika kualitas yang dimiliki Oleh manusia, maka gerak
itu selalu mencoba menembus sebuah “batas”. Dan seperti
halnya dalam dunia empiris, batas tidak hanya dimengerti

 116 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

sebagai “penghalang”. Demikian pula dalam gerak tran-


sendensi ini, batas' bahkan menjadi sebuah kemungkinan'
untuk memperluas cakrawala, baik cakrawala waktu
maupun tempat.27
Jurgen Moltmann bahkan mengatakan bahwa masa
depan itu adalah paradigma baru dari transendensi.
Namun, bukan hanya masa depan yang menembus batas
waktu dan tempat saja yang bisa disebut sebagai sebuah
transendensi manusia. Keterlibatan dengan dunia sekitar
manusia, hubungan dengan sesama manusia, keterlibatan
religius dan bahkan keterlibatan politik, bisa disebut
sebagai cara keberadaan dari transendensi. Dengan kata

27 Transcendence means “going beyond”. So inquiry and formulation

do not merely reproduce the content of sensible experience, but go beyond


it. So reflection, grasp of the unconditioned an judgement are not content
with mere objects of defining, supposing, considering but go beyond
them to the universe of facts, of being, of what is truly affirmed and really
is. Moreover, one can rest content with knowing things as related to us, or
one can go beyond that to join the scientist as searching for knowledge of
things as related to another. One can go beyond present science and
common sense, to grasp the dynamic structure of our rational knowing and
doing, and then formulate a metaphysic and an ethic. Finally, one can ask
wether human knowledge is confined to the universe of proportionale being,
or goes beyond it to the realm of transcendent being: and this transcendent
realm may be conceived either relatively or absolutely, either as beyond man
or as the ultimate in the whole process of going beyond. Clariy, in spite of
name, the imposing transcendence is the elementary natter of asking further
question. It means a development in man's Anowiedge relevant to a
development in man's being. Lihat B.I. Lonergan, Insight, (Darton: Longman
& Todd, 1970), h. 635-6.

 117 
Nurhilaliati

lain, transendensi adalah sebuah 'gerak untuk menjadi lebih


kualitatif', sehingga, karenanya manusia mencapai sebuah
kemanusiaan yang lebih penuh dan bernilai.28
Beberapa tokoh Eksistensialis yang mengemukakan
pendapat mereka tentang transendensi manusia adalah
seperti Nietzsche, Sartre dan Marcel.29 Teori Nietzsche
tentang transendensi banyak dipengaruhi oleh Teori
Evolusi dan ditafsirkan secara lahiriah. Ia melihat bahwa
kemanusiaan adalah sebuah 'bentuk peralihan', Cinta
manusia terhadap kehidupan sesungguhnya lebih disebab-
kan karena keyakinan bahwa kehidupan manusia itu akan
“habis” dan “diubah”. Manusia bagaikan sebuah “jembat-
an” yang berada di antara dua tepi jurang. Ia adalah “mulia”
bukan karena ia menjadi sebuah tujuan, melainkan karena
ia menjadi “jembatan”. Dengan demikian, sesungguhnya
eksistensinya adalah sekaligus transendensinya.
Menurut Sartre, secara fundamental manusia itu
adalah sebuah “keinginan untuk berada”, Tetapi keberada-
an untuk dirinya ini sungguh rapuh; tidak ada jaminan
keamanan dan keutuhan untuk berada dalam dirinya.
Karena inilah maka manusia tidak dapat mempercayai apa

28 H. Witdarmono, “Dimensi Transendensi Manusia”, dalam Mudji


Sutrisno ed., Manusia dalam Pijar-Pijar Kekayaan Dimensinya, (Yogyakarta:
Kanisius, 1993), h. 55.
29 Pendapat dan pandangan para tokoh Eksistensial banyak diangkat

di sini katena pandangan para Psikolog Humanistik banyak yang


dipengaruhi Oleh tokoh-tokoh tersebut.

 118 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

yang diinginkannya. Situasi inilah yang menjadi asal-usul


transendensi. Manusia mencoba untuk “mengatasi” dirinya
menuju sesuatu yang tidak dimilikinya. Ia sungguh menjadi
sebuah “kesadaran yang tidak bahagia”, yang tidak mem-
punyai kemungkinan mengatasi ketidakbahagiaan.
Kalau nada dari Sartre adalah pesimistis, tidak
demikian dengan Marcel. Seperti halnya Sartre, Marcel
juga mencari dasar transendensi manusia dari 'ketidak-
puasan' terhadap kehidupan itu sendiri. Perbedaannya
terletak pada segi yang diberikan pada transendensi itu.
Marcel membandingkan transendensi dengan imanensi.
Transendensi memang merupakan sebuah gerak ke atas'
dan keluar', tetapi gerak itu tidak hanya berkisar pada
realitas manusia belaka. Pengertian transendensi harus
dilihat dalam arti metafisiknya yang penuh. Ia mengacu
pada 'pribadi lain', bahkan pada 'pribadi mutlak'. Ada
gerak dari transendensi manusia menuju transendensi ilahi.
Sartre melihat bahwa perjuangan menuju transendensi
adalah sebuah pergumulan yang sangat pribadi sifatnya.
Sedangkan Marcel menckankan bahwa dalam transendensi
itu yang penting adalah hubungan interpersonal. Kesetiaan
pada pribadi yang lain dengan sendirinya sudah merupa-
kan sebuah transendensi, yang melewati batas-batas
kepentingan pribadi. Dengan demikian transendensi bisa
dihayati sekaligus sebagai “anugerah” dan “perjuangan”.
Dari uraian di atas, ternyata transendensi tidak dapat
“direbut” begitu saja, namun masih terletak dala m

 119 
Nurhilaliati

jangkauan dunia manusia sendiri di mana ia menerimanya


sebagai anugerah atau bakat. Tetapi di samping itu, ter-
nyata pengalaman banyak orang sepanjang masa terdapat
suatu transendensi yang lebih luhur lagi dan yang
digambarkan oleh orang yang mengalaminya sebagai
“berasal dari luar jangkauan pengalaman manusia di dunia
ini”.
d. Kesadaran (Consciousness) Manusia
Kesadaran adalah istilah yang biasanya diberikan
untuk melukiskan subjektivitas manusia, yaitu pengalaman-
pengalaman pribadinya. Ketika seseorang memiliki ke-
sadaran, dia secara subjcktif sedang mengalami.30” Seorang
individu yang sadar, secara normal akan memberi respon
terhadap berbagai stimulan. Dengan demikian, kesadaran
merujuk pada kondisi atau cara suatu organisme mem-
proses secara khusus informasi atau stimulan dari
lingkungannya, yang di dalamnya pengalaman subjektif
muncul.
Rogers mengatakan bahwa kesadaran adalah
pengalaman dasar manusia, dan mendefinisikannya
sebagai “simbolisasi dari beberapa pengalaman manusia
untuk lebih mempertajam definisinya, Rogers mem-

30Ada empat proses fundarmental yang dialami Oleh mental manusia


ketika terjadi kesadaran, yaitu perceiving, feeling, thinking, dan willing
Selengkapnya baca Melvin H. Mars, Introduction to Pgyebology, (New
Macmillan Publishing Co., Inc., 1976), h. 79-83.

 120 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

bedakan antara kesadaran dan pengalaman organisma.


Menurutnya, pengalaman organisma mencakup segala
sesuatu yang secara potensial dapat menyadarkan yang
hadir dalam organisma tersebut pada waktu tertentu.
Totalitas pengalaman ini merupakan lapangan fenomenal
seseorang. Lapangan fenomenal merupakan karangan
acuan yang dimiliki seorang individu yang hanya diketahui
oleh dirinya sendiri. Sementara itu, isi kesadaran terdiri
dari pengalaman tersimbolkan yang dikarenakan oleh
lapangan fenomenal pada waktu tertentu, yang tersusun
dari pengalaman sadar (simbolis) atau pengalaman tidak
sadar. Pengalaman yang tersimbolkan kadang-kadang
tidak dapat berhububungan dengan suatu realitas di luar
pikiran. dalam keadaan seperti seperti ini, seseorang akan
mengadopsi suatu tingkah laku yang membuatnya tidak
dapat menyesuaikan diri, yang akan menyebabkan
keretakan antara ideal-self dan real-self. Ideal-self adalah self-
Image yang dipikirkan oleh individu bahwa dia harus
melakukan hal itu. Ketika terjadi pemutusan antara ideal-
self dan real self, individu akan cenderung lebih intensif. Ini
berarti bahwa kesadaran harus berfungsi dalam meng-
asimilasi setiap pengalaman seseorang. Kapasitas
kesadaran unik yang dimiliki seseorang difungsikan secara
bebas dan penuh, maka akan ditemukan bahwa manusia
hemiliki kapasitas integratif yang luar biasa dari sistem
nervous internal, suatu keseimbangan, mempertinggi

 121 
Nurhilaliati

realitas diri, dan mempertinggi tingkah laku yang lain.


dengan demikian Rogers meletakkan pengaruh yang besar
pada perluasan kesadaran yang secara total konsisten
dengan pengalaman organismik yang penting bagi
pemenuhan fungsi diri manusia.31
Untuk mencari hakekat kesadaran, Sartre mengikuti
prinsip yang dikemukakan Russel yaitu prinsip kesadaran
intensionalitas, yakni semua kesadaran adalah kesadaran
pada sesuatu. Kesadaran selalu merujuk pada objek yang
berada di luar diri. Dan tidak memiliki isinya sendiri.
Kesadaran ini ditandai oleh dua ciri, yaitu kesadaran diri
dan kesadaran akan sesuatu. Kesadaran akan sesuatu
bersifat absolut karena sesuatu tidak ada dan tidak bisa
memiliki kesadaran murni pada dirinya, sebab pada dirinya
kesadaran itu kosong. Dari sini Sartre menyimpulkan
kesadaran dengan it is not what it is tetapi it is wbat it is not.32
Kesadaran memegang peranan penting bagi tingkah
laku manusia, dan terdapat dua pendapat tentang hal ini,
yaitu active-role dan passive role. Aktive-role adalah hipotesis
yang memandang kesadaran sebagai Sesuatu yang
memainkan bagian penting dalam menentukan tingkah

31 John Marius Manickanamparambil, “Meeting of Humanistic and


Religious Goals in Theory of Growth Orientation of Carl Rogers”, dalam
Journal of Dharma, No. 14, Th. 1989, h, 198.
32 Menye Menye Raymond, “Exsperience of Nothingness: “A Form

of Humanisic Religious Experience”, dalam Journal of Dharma, No. 14, 1n.


1989, h. 180.

 122 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

laku, bahkan ketika ia berfungsi sebagai aktivitas neural


dalam otak. Sedangkan passive-role adalah hipotesis yang
memandang kesadaran sebagai sesuatu yang tidak mem-
punyai sebab yang signifikan bagi tingkah laku, tetapi
muncul hanya sebagai sebuah fungsi dari proses (kerja)
otak.33
Dengan demikian, apa pun pendapat orang tentang
kesadaran manusia, secara substantif kesadaran merupa-
kan suatu unsur penting yang harus ada dalam diri manusia,
kerena dengan kesadaran yang dimilikinya, manusia akan
dapat berbuat dan bertindak secara bertanggungjawab.
C. Pendidikan Model Psikologi Humanistik
Carl Rogers berpendapat bahwa pendidikan yang
pada umumnya dilaksanakan, bermula dari adanya asumsi
bahwa peserta didik tidak dapat dipercayai. Karena
adanya asumsi dasar yang demikian, maka pendidikan
harus dapat memberikan motivasi, memberi informasi,
menyusun materi yang akan disampaikan, dan harus meng-
gunakan ujian, responsi, tes prestasi yang standar, dan
pada setiap kesempatan pertemuan instruksional akan me-
maksa peserta didik untuk melakukan kegiatan yang di-
kehendaki oleh pendidik. Pendidikan yang humanistis,
hendaknya menggunakan asumsi yang berbeda, yaitu
bahwa peserta didik dapat dipercayai. Tentang hal ini

33 Marx, Introduction…, h. 76.

 123 
Nurhilaliati

Rogers menulis sebagai berikut :


“You can trust him to desire to learn in every way
which will maintain or enhance self, you can trust him
to make use of resources in which will serve this end:
you can trust him to evaluate himself in ways which
will make for self-progress; you can trust him to grow,
provided the atmosphere for growth is available to
him”.34
Lalu bagaimana model pendidikan yang dikatakan
sesuai dengan prinsip-prinsip Psikologi Humanistik?
Menjawab pertanyaan tersebut, maka uraian di bawah ini
akan membahas beberapa unsur yang berkaitan dengan
pendidikan, seperti kurikulum, tujuan dan sasaran pen-
didikan, guru, dan suasana kelas. Unsur-unsur tersebut
dibahas secara global, dalam arti hanya melihat pandangan
umum Psikologi Humanistik terhadap pendidikan.
Kurikulum yang dapat dikatakan mengandung
muatan humanistik apabila isinya secara teoretis relevan.
Artinya, isi ini menjajagi bidang-bidang yang akan
membantu para peserta didik menangani secara lebih
efektif persoalan-persoalan khusus dalam kehidupannya.
Kurikulum yang prosesnya humanistik ialah
kurikulum yang pendekatannya berusaha mendidik para

34 Carl Rogers, Client-Centered Therapy; Its Current Practice, Implication,

and Theory, (Boston Dsl: Houghton Mifflin Co., 1965), h. 359.

 124 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

peserta didik, dengan proses atau keterampilan yang


mereka butuhkan, atau akan mereka butuhkan untuk
membimbing kehidupan mereka, dalam usaha menangani
persoalan identitas, kekuasaan, dan hubungan dengan
sesama.
Tinjauan yang mungkin diperoleh dari pelaksanaan
kurikulum pendidikan model humanistik dapat dilihat
dalam beberapa dimensi seperti sebagai berikut:
1. Dimensi piliban atau kontrol. Peserta didik dapat
menentukan sendiri sasaran dan membuat sendiri
keputusan yang akan diambilnya, baik bagi kehidupan
akademik maupun bagi kehidupan sehari-harinya.
2. Dimensi perhatian dan perasaan. Semakin humanistic
suatu kurikulum, maka akan semakin memusatkan
perhatiannya kepada perasaan dan minat peserta
didiknya.
3. Dimensi keterampilan hidup manusia (manusia utuh). Dalam
pendidikan humanistik, tidak hanya nalar yang
diperhatikan, melainkan juga perkembangan manusia
seutuhnya. Pendidikan humanistik mengintegrasikan
keterampilan berpikir dengan keterampilan kehidup-
an yang diperlukan sebagai manusia efektif: perasaan,
pilihan, komunikasi dan tindakan.
4. Dimensi evaluasi diri. Seorang dewasa menilai sendiri
kemajuan belajarnya, kadang dengan memilih me-
ngerjakan tes, mencari umpan balik, kadang-kadang

 125 
Nurhilaliati

juga dengan mengumpulkan data mengenai dirinya


sendiri, yang semua itu kemudian akan dijadikan
sebagai alat untuk mengevaluasi perkembangan
dirinya.
5. Dimensi guru sebagai fasilitator. Dalam iklim pendidikan
humanistik, guru berubah statusnya dari pengarah
proses belajar menjadi fasilitator atau pembantu. Ia
cenderung lebih berpengertian daripada tidak peduli
atau menghakimi, lebih jujur dan tulus daripada
peran. Peran-peran cenderung timbal balik, hingga
kadang-kadang guru “belajar” dari peserta didik, dan
peserta didik saling membantu atau saling mengajar.
Lalu apakah yang ingin dicapai melalui pendidikan?
Rogers mengatakan bahwa tujuan pendidikan yang sejalan
dengan Client-Centered Therapy hanyalah satu, yaitu yang
secara umum bertipe demokratik. Dengan mengutip
Huchins ia mengatakan bahwa “fhe foundation of democracy
is universal suffrage. Universal suffrage makes every man a ruler.
If every man is a ruler, every man needs the education that rulers
ought to bave...tbe main purpose of a democratic educational sistem
is education of rulers”. Sehingga pendidikan demokratik
akan membantu peserta didik untuk menjadi manusia
yang: dapat mengambil tindakan atas inisiatifnya sendiri
dan bertanggungjawab atas tindakan tersebut; dapat
dengan bijak membuat pilihan dan mengarahkan dih.
belajar dengan kritis, mampu mengevaluasi sumbangan

 126 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

orang lain; mendapatkan pengetahuan yang relevan untuk


memecahkan berbagai masalah; lebih penting lagi, mampu
menyesuaikan diri secara fleksibed dan bijak terhadep
situasi masalah baru; dapat menginternalisasikan pen-
dekatan adapif terhadap masalah dengan mengganakan
semua pengalaman yang relevan dengan bebas dan kreaif,
secara efektif dapat bekerja sama dengan orang lain dalam
berbagai aktivitas; bekerja bukan demi pengakuan dan
orang lain, tetapi demi kegunaan sosialisasinya sendiri.35
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sasaran
pendidikan tidak hanya demi kelangsungan hidup pribadi
atau menambah pendapatan seseorang, atau memperoleh
kekuasaan terhadap orang lain, tetapi juga untuk memper-
kaya kehidupan seseorang, untuk perkembangan pribadi
seseorang, melampaui kebutuhan mempertahankan hidup
dan pendapatan. Dalam hal ini, Maslow mengatakan bahwa
ada dua macam belajar yang berlawanan, pertama, exstrinsic
learning ialah belajar hal-hal yang berada di luar diri orang
yang belajar, yang sifatnya impersonal, yang maknanya
ditentukan oleh anggapan orang lain tanpa mempertanya-
kan apakah orang yang belajar itu berminat atau menema-
kan makna dari hal-hal yang dipelajarinya. Ciri lain proses
belajar ini adalah pengajar aktif, peserta didik pasif. Kedua,
intrinsic learning ialah mengenal dirinya sendiri. Cara belajar
ini oleh Maskow disebut juga dengan “learning to be a person”,

35 Ibid., h. 387-388

 127 
Nurhilaliati

yang berkaitan dengan diri peserta didik sendiri. Tetapi


pelajaran yang paling ekstrinsik sekalipun jauh lebih
berguna dan lebih efektif bila berdasarkan identitas yang
sehat, ialah bila dilakukan oleh orang yang mengetahui
apa yang diinginkannya, tahu dirinya sendiri, tahu kemana
ia akan pergi, dan tahu tujuan akhirnya.
Kemudian pendidik dan pengajar yang bagaimana
yang dapat memberikan suasana ideal ini? Menurut
Rogers, tuntutan paling besar terhadap pendidik atau
pengajar ialah tuntutan sikap. Tiga sikap penting yang mesti
dimiliki oleh seorang pendidik yang dapat menciptakan
suasana model pembelajaran humanistik adalah pendidik-
an yang memiliki sikap: (1) sikap kepercayaan yang
mendalam terhadap manusia, (2) sikap sebagai fasilitator
yang tulus, jujur, dan tanpa pamrih, dan (3) sikap empati,
atau memahami reaksi yang diberi oleh peserta didik.36
Selanjutnya Maslow mengatakan, tugas pertama pendidik
ialah mengungkapkan dan menemukan “diri “ sendiri, dan
menerima dirinya sendiri, kemudian menerima orang
seperti “apa adanya”, dan membantu orang lain sesuai
dengan apa yang telah ada pada diri orang tersebut. Ia
juga menyarankan untuk menggunakan pengalaman
puncak (peak exxperience), atau pengalaman yang memukau,
atau mempesonakan sebagai sasaran imbalan belajar,
maupun akhir dan permulaan belajar. Untuk maksud ini,

36 Ibid, h. 392.

 128 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

maka pendidik jangan langsung begitu saja memulai


pelajaran, tetapi terlebih dahulu membuat para peserta
didiknya dalam keadaan tenang dengan membayangkan
pengalaman puncak masing-masing. Kemudian dengan
suasana hati yang senang dan tenteram ini para peserta
didik akan menghadapi tugas-tugas mereka.
Isaac Brown, yang memperkenalkan “confluent
education” (pendidikan yang mempertemukan dua aliran
yang kemudian mengalir secara bersama-sama) mengata-
kan bahwa pendidikan humanistik ialah pendidikan yang
konfluen, yang merupakan integrasi atau pertemuan dari
aliran komponen afektif dan komponen kognitif. Afektif
yang dimaksud di sini adalah aspek perasaan atau emosi
dari pengalaman dan proses belajar. Perasaan anak dan
orang dewasa mengenai keinginannya untuk belajar,
perasaan selama belajar, dan perasaan setelah mempelajari
sesuatu, termasuk dalam komponen afektif ini. Sedangkan
yang dimaksud dengan komponen kognitif adalah
aktivitas pikir seperti pengenalan terhadap benda, sampai
fungsi-fungsi intelektual. Hal-hal yang dipelajari dan
proses-proses belajar intelektual termasuk dalam
komponen kognitif, kecuali bila yang dipelajari ini sikap
atau nilai-nilai, yang termasuk komponen afektif.
Selanjutnya Brown menyatakan bahwa hubungan
antara intelek dan afektif bersifat simbiotik yang tidak
mungkin dipisahkan. Integrasi proses belajar kognitif akan

 129 
Nurhilaliati

menguntungkan keduanya. Orang berpikir disertai


perasaan, dan orang berperasaan disertai berpikir. Sesuatu
yang dipelajari menjadi relevan bila yang dipelajari itu
secara pribadi bermakna, yaitu bila ada perasaan mengenai
hal yang dipelajari tersebut. Berdasarkan pemikirannya
inilah maka Brown menyarankan untuk memisahkan
proses belajar afektif dengan proses belajar kognitif.
Brown menckankan bahwa pendidikan diperlukan tidak
hanya untuk peningkatan mutu kehidupan, tetapi juga
diperlukan untuk mempertahankan hidup. Alasan untuk
ini adalah karena pendidikan juga diperlukan untuk bekal
hidup, karena itu maka tujuan instruksionalnya penting
Tetapi, hendaknya tujuan instruksional dan evaluasinya
lengkap, tidak hanya kognitif, tetapi juga afektif, seperti
sikap dan apresiasi.
Suasana seperti apakah yang memungkinkan peserta
didik dapat dipercaya untuk berkembang sendiri?
Menurut Rogers, suasana paling efektif untuk meningkat-
kan proses belajar yang bermakna ialah suasana yang tidak
mengancam pribadi peserta didik dan memudahkan
pengalaman persepsi yang khas. Secara kongkrit suasana
tersebut sering disebut oleh Rogers sebagai suasana yang
penuh penerimaan, penuh pengertian, dan penuh peng-
hargaan. Suasana ini bersifat permisif, empatik, menyadar-
kan pada tanggungjawab peserta didik dalam batas
kemampuan keadaan dan wewenang pendidik, atau dalam
batas kebutuhan kelayakan psikologis yang dapat dicapai

 130 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

pendidik. Pendidik atau pengajar hanyalah fasilitator, yang


sebagian besar waktunya diluangkan untuk menyediakan
yang dibutuhkan oleh peserta didik. Suasana saling
menghormati dan saling membebaskan ekspresi diri, serta
memungkinkan pikiran-pikiran dan tindakan kreatif dapat
berkembang. Padahal, sebenarnya peserta didik banyak
memiliki pikiran dan persepsi kreatif yang luar biasa,
tetapi sebagian besar telah dihancurkan oleh acara rutin
sekolah.
Deskripsi di atas menunjukan bahwa yang menjadi
titik tekan Psikologi Humanistik dalam bidang pendidikan
adalah suasana belajar dan sikap guru yang dapat men-
ciptakan kebebasan. Kebebasan yang dimaksud adalah
kebebasan yang bersifat batin, yang sama sekali berbeda
dengan alternatif lahiriah yang sering dihubungkan dengan
kebebasan. Kebebasan adalah mutu keberanian yang
memungkinkan seseorang dapat melangkah ke sesuatu
yang tidak menentu, yang belum dikenal, yang dipilihnya
sendiri. Ini adalah beban tanggungjawab bagi seseorang
yang memilih kebebasan. Ini suatu pengakuan terhadap
pribadi sendiri, bahwa ia adalah proses yang timbul,
bukan produk akhir yang statis. Menurut Rogers, ke-
cenderungan pendidikan pada umumnya makin menjauh
dan kebebasan ini. Penekanan yang begitu kuat diberikan
oleh pendidikan pada umumnya bersifat konformis, patuh,
dan kaku.

 131 
Nurhilaliati

Dengan demikian, sekolah atau kelompok belajar


yang strukturnya humanistik, ialah yang memiliki struktur
lingkungan belajar sedemikian rupa, sehingga memberi
kesempatan yang sebanyak-banyaknya kepada para
peserta didik untuk mendalami bidang-bidang humanistic
atau isi lain yang mereka pilih sendiri dan mendorong
mereka belajar dan berlatih proses-proses humanistic
sebagai bagian dari pendidikan mereka.
Untuk memberikan penilaian apakah suatu kelas itu
humanistik atau tidak dapat dilihat secara gradual; yaitu
seberapa jauh dimensi-dimensi tersebut di atas dipraktek-
kan, seberapa perimbangan tekanan diberikan pada
keterampilan kognitif dibanding dengan keterampilan-
keterampilan lainnya.
Dengan demikian, metode-metode dan pemikiran
yang telah ditawarkan oleh Psikologi Humanistik tersebut
dapat dikatakan memainkan peranan penting dalam
pengaplikasiannya di dunia pendidikan, baik dalam ruang-
an kelas maupun untuk pendidikan bagi orang dewasa.
Pendidikan humanistik yang reprentif menganjurkan
untuk menggunakan pendekatan Group-Oriented yang jauh
lebih luas dan mendalam daripada apa yang dilaksanakan
dalam kelas-kelas tradisional (teacher oriented). Psikologi
Humanistik sangat menekankan pada Group Teaching dan
responsibilitas yang harus dimiliki oleh kelompok tersebut
atas segala yang dilakukannya.

 132 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Dalam konteks Group-Centered Educational Approach ini,


tema sentral yang menjadi peraturannya adalah satu
metode yang membiarkan anggota group untuk bekerja-
sama secara demokratis, sehingga dengan demikian akan
mendukung otonomi dan responsibilitas individual, Pen-
didikan humanistik (sebagai aplikasi dari Psikologi
Humanistik dalam lapangan pendidikan), bertujuan untuk
membantu perkembangan self-actualization para peserta
didik, yang dinyatakan secara tidak langsung, bahwa
peserta didik adalah mampu untuk mengalami tahap
pembelajaran secara personal dan sangat berarti.37
Belajar yang signifikan dalam pengertian ini juga,
adalah fokus dari non-directive, person-centered approach yang
dikembangkan dalam teori Rogers, ditujukan pada self-
initiations, self-control dan self-evaluation para peserta didik
dan juga keterlibatan mereka pada level kognitif dan
emosional dan sebagainya.
Dalam pendekatan gestal, pengintegrasian hasil
belajar kognitif dan afektif bahkan diperoleh dengan men-
cakupkan dimensi fisik dan sosial, dan tujuan dari pen-
dekatan ini adalah untuk membantu perkembangan
rileksasi fisik dan psikologis, training fisik, memperbaiki
komunikasi dan keterampilan sosial. Tujuan belajar dan

37 N. Groeben, “Humanistic Models of Human Development”,


dalam Torsten Husen & T. Neville Postlethwaite (eds.), The Engyclopedia of
Education, (USA: Elsevier Science Inc., 1994), Vol. 5, h. 2690-2091.

 133 
Nurhilaliati

perkembangan individu tidak dapat langsung dipikirkan


(sebagaimana yang telah dipostulasikan Maslow). Hanya
dukungan tak langsung yang dapat diberikan, dan inipun
mensyaratkan pembongkaran sebuah struktur
institusional yang telah mapan. Satu konsekuensi yang
sangat keras bagi institusi sekolah adalah terciptanya
suasana atau iklim kelas yang terbuka. Sebuah atmosfir
informal yang membiarkan tiap peserta didik untuk belajar
menurut langkahnya sendiri; dalam kelompok kecil,
subjek yang berbeda dapat diikuti dan beragam aktivitas
belajar terjadi secara simultan.
Kemudian tentang implikasi motivasi dalam
pengajaran, maka Psikologi Humanistik berpendapat
bahwa motivasi seorang yang belajar tergantung pada
bagaimana ia memandang dirinya sebagai orang dan
bagaimana mereka melihat kontribusi yang diberikan
sekolah terhadap pertumbuhan mereka. Pengajaran yang
baik adalah “proses yang mengundang para peserta didik
untuk melihat dirinya sendiri sebagai sesuatu yang memiliki
able, valuable, self-directing dan melakukan segala sesuatu
berdasarkan dorongan dari persepsinya sendiri”.38
Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa dua elemen yang
sangat esensial dari proses mengajar-belajar bagi
Psikologi Humanistik adalah bubungan peserta didik-pendidik

38 Paul Eggen & Don Kauchak, Educational Psycbology...,h. 350.

 134 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

dan iklim kelas. Guru yang suportif dan penuh perhatian


serta mempercayai setiap peserta didiknya sebagai
individu adalah hal yang penting, dan mereka menyadari
serta mempertimbangkan emosi para peserta didik dan
pertumbuhan pribadi mereka dalam segala hal yang
mereka lakukan. Sedangkan iklim kelas merupakan suatu
hasil perkembangan dari hubungan kolektif guru-peserta
didik yang terbentuk oleh waktu. Ruangan kelas
humanistik adalah lingkungan yang aman yang dipercayai
peserta didik bahwa mereka dapat belajar dan berharap
dapat melakukan hal tersebut.

 135 
BAB IV
Pendidikan Islam dan
Psikologi Humanistik:
Dialog dan Aplikasi

A. Koherensi dan Inkoherensi


Pembahasan yang dilakukan terdahulu yang tercakup
dalam pembahasan tentang konsep fitrah dan hakekat
manusia, potensi yang dimiliki oleh manusia, implikasi
potensi dalam pendidikan manusia, dan model pendidikan
yang dapat menjadi sarana aktualisasi potensi yang dimiliki
manusia, baik pada landasan filosofis, pola dasar dan atau
berbagai pandangan para tokoh pendidikan dan Psikologi

 136 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Humanistik, maupun penjabaran lebih lanjut tentang


prinsip utamanya, maka dapat ditarik beberapa prinsip
yang koheren dan juga yang inkoheren antara kedua
perspektif tersebut, yaitu dalam aspek pandangan tentang
hakekat potensi dasar manusia, model pendidikan untuk
aktualisaasi potensi manusia, landasan dan orientasi kajian.
Masing-masing aspek tersebut, akan diuraikan secara
mendetail dalam uraian sebagai berikut:

1. Hakekat Potensi Dasar Manusia


Uraian pada bab-bab terdahulu, telah menunjukkan
kelebihan maupun kekurangan konsep masing-masing
diskursus. Kedua disiplin ilmu ini sama-sama mengakui
bahwa manusia memiliki potensi dalam dirinya, baik
potensi yang positif maupun yang negatif. Dan untuk per-
kembangan berikutnya sangat tergantung dari bagaimana
upaya manusia tersebut mengaktualisasi potensi yang
dimilikinya. Pendidikan Islam berangkat dari keyakinan
bahwa potensi yang dimiliki manusia adalah merupakan
sesuatu yang dialiri citarasa ketuhanan, yang dalam
pengembangannya sangat bergantung kepada bagaimana
manusia tersebut mengoptimalkannya. sedangkan Psiko-
logi Humanistik memandang, potensi yang dimiliki
manusia adalah semata-mata sebagai sesuatu yang dimiliki
oleh manusia, selama manusia itu sadar bahwa dia memiliki-
nya dan mau mengaktualisasikannya.

 137 
Nurhilaliati

Dalam pandangan Pendidikan Islam, berbagai


diskursus tentang manusia paling tidak bertolak dari
fungsi ganda yang diemban manusia, yaitu sebagai khalifah
dan juga sebagai 'abd Allah sekaligus. Khalifah sebagai
fungsi transenden dan 'abd sebagai fungsi imanen.1
Dalam pandangan Pendidikan Islam, manusia adalah
makhluk Allah yang paling mulia dan memiliki derajat yang

1 Keterbukaan manusia terhadap dunia yang berarti juga “kebebasan”


manusia merupakan salah satu dimensi transenden manusia. Dimensi
transenden manusia mengungkapkan diri dalam kebebasan, kreativitas,
hubungan antara pribadi, pengharapan dan pengalaman religius. Kita dapat
mengatakan bahwa transendensi adalah “menjadi lebih”, dan bila kita
mengatakan “lebih”, jelas tidak kita maksudkan lebih secara kuantitatif,
tetapi kualitatif suatu pendalaman, pemekaran, dan penghayatan hidup
atau suatu humanisasi kehidupan yang lebih penuh dan lebih benar.
Pendidikan pada dasarnya membantu peserta didik untuk mengatasi
batasan-batasan determinasi historisnya, agar ia semakin berkembang dalam
berbagai dimensi kemanusiaannya. Oleh karena itu, transendensi termasuk
salah satu kebutuhan dasar manusia yang dapat digolongkan menjadi uga.
Pertama, kebutuhan subsistensi, yaitu kebutuhan manusia untuk dapat
mempertahankan keutuhan dirinya atau individualitasnya baik pada tingkat
fisik atau psikis. Kedua, kebutuhan perkembangan, yang merupakan kekuatan
yang mendorong manusia untuk pengembangan potensialitasnya.
Kebutuhan ini mencakup perkembangan semua kebutuhan psikofisik.
Ketiga, kebutuhan akan transendensi yaitu kebutuhan yang mendorong
individu untuk mengatasi individualitasnya yang mempersatukan diri
dengan sesama. Dengan alam, dan juga untuk memberi komitmen pada
nilai-nilai manusiawi, termasuk di dalamnya kebutuhan untuk menyerahkan
diri pada kekuatan yang mengatasinya yaitu Tuhan. M Sastraprateja, S.J.,
“Pembangunan Pendidikan Berwawasan Kemanusiaan”, dalam Jarnal
Media Inovasi No. I TH.VIII 1998. h. 17.

 138 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

tinggi dibanding dengan makhluk lainnya. Manusia hidup


di dunia dengan mengemban amanah dan tugas sebagai
khalifah dan 'abd Allah, dengan tujuan penciptaannya untuk
memakmurkan bumi seisinya serta beribadah kepada al-
Khaliq.
Untuk mensukseskan tugas dan fungsi transendensi
ini, manusia dilengkapi dengan potensi-potensi tertentu,
antara lain (1) kemampuan untuk mengetahui sifat-sifat,
fungsi, dan kegunaan segala macam benda (Q.S. 2: 31),
(2) kemampuan menundukkan bumi, langit, dan segala
isinya (QS: 45: 12-13), (3) dianugerahi akal pikiran dan
pancaindera (Q.S. 67: 23), dan kekuatan positif untuk
mengubah corak kechidupan dunia ini (Q.S. 13: 11). Dengan
potensi akal pikiran ini manusia bertanya, melakukan
kontemplasi, melakukan refleksi dan mengantisipasi masa
depannya.2 Bahkan potensi ilmiah yang membedakan dan
mengistimewakan manusia dari makhluk lainnya. Maka
adak heran, apabila seorang filosof berkata: “aku berpikir,
maka aku ada”, untuk menunjukan potensi akal pikiran
manusia sebagai potensi asasi eksistensinya.”3

2 Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davics, Faces of Islam: Conservahon


on Contemporary Issues, terjemahan A.E. Priyono dan Ade Armando,
(Bandung: Mizan, 1992), h. 89
3 Pendapat ini berpengaruh kuat pada kalangan ahli logika, sehingga

ada pernyataan “al-Insanu Hayawan an-Natiq”. Dalam pandangan Islam,


pernyataan ini tidak dapat dipertahankan, karena manusia memiliki derajat
paling tinggi dan sebaik-baiknya ciptaan di antara makhluk lainnya,

 139 
Nurhilaliati

Keistimewaan manusia terletak pada kepemilikan


ilmu, akal, kemauan, ikhtiar, dan kemampuan untuk mem-
bedakan sesuatu yang baik dan buruk atau yang benar dan
salah. Keistimewaan ini, jika difungsikan yang sesungguh-
nya dengan dasar nilai-nilai agama (Islam), akan memberi
arti bagi kehidupan itu sendiri, dan dapat mengarahkan
kepada suatu tujuan pengabdian kepada Allah. Namun
keistimewaan ini tidak berdaya guna dalam kehidupan itu
sendiri, jika tidak bersentuhan dengan realitas objektif,
dan proses persentuhan ini harus melewati proses
pendidikan yang konsen terhadap kecenderungan dasar
manusia dengan menggunakan cara demokratis dan
dialogis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kehidupan
atau hidup merupakan proses pendidikan dan pendidikan
merupakan proses yang hidup.4

bertanggungjawab atas segala perbuatannya, dan pemikul amanah yang


berat. Otak dan indera hewan tidak berfungsi untuk membentuk persepsi-
persepsi yang kemudian diujicoba untuk memastikan suatu hipotesis. Di
samping itu akan membentuk pengertian: hewan adalah manusia yang
berakal. A.M. Sacfuddin et.al., Desekularisasi Pemikiran, Landasan Islamisası,
(Bandung: Mizan, 1991), h. 48.
4 Rupert C. Lodge, Philosophy of Education, (New York: Harer &

Brothers, 1947), h. 23. Dalam hal ini Emanucl Kant mengemukakan bahwa
manusia dapat menjadi manusia karena pendidikan. Sementara itu John
Dewey, dalam Democracy and Education, berpendapat bahwa pendidikan
adalah salah satu fungsi sosial (a sosial junction), sebagai pengarah (as drecion)
dan sebagai alat yang mengantarkan ke tahapan pertumbuhan dan
perkembangan (as means of growth), sehingga mengantarkan manusia
menjadi lebih bertanggungjawab.

 140 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Di samping adanya potensi di atas, manusia, untuk


melaksanakan tugas dan fungsi kekhalifahannya, diberi
petunjuk yang pada pokoknya terbagi ke dalam dua bagian,
(a) petunjuk yang bersifat permanen dan terperinci yang
tidak pernah dibutuhkan campur tangan pemikiran
manusia dan tidak mengalami perubahan dalam kondisi
dan situasi apapun, (b) petunjuk yang bersifat global atau
umum dan dalam hal ini manusia diberi wewenang untuk
memikirkannya sesuai dengan kondisi sosio-kultural dan
jiwa dari petunjuk yang bersifat umum tersebut.5
Sementara itu, dalam fungsinya sebagai abd (hamba)
manusia memiliki kewajiban untuk taat dan beribadah
kepada Allah. Ketaatan di sini bermakna taat dan tunduk
kepada hukum dan peraturan penciptaan-Nya agar tidak
tergelincir pada kekeliruan. Tegasnya, segala bentuk lahir
batin semampu mungkin disesuaikan dengan pedoman
yang termuat dalam nilai-nilai dikehendaki oleh-Nya.
Pengakuan ketaatan ini, juga berarti pengakuan akan
sesuatu kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia
selaku hamba. Baru setelah itu manusia menggunakan hak-
hak asasinya sebagai ungkapan kemerdekaan dan ke-
bebasannya.
Adapun bentuk pengabdian kepada Allah, bisa secara
“langsung”, yaitu melaksanakan peraturan-peraturan yang

5 M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur'an, Fungsi dan Peran Wahyu

dalam Kebidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), h. 235.

 141 
Nurhilaliati

mengatur hubungan antara hamba dengan tuhannya, yang


tata caranya telah diatur secara terperinci dalam al-Qur'an
dan al-Hadis, dan bisa juga secara “tidak langsung”, yaitu
melaksanakan sesuatu aktivitas yang titik tolaknya ikhlas
dan ditujukan untuk mencapai ridha Allah, seperti
melakukan amal shaleh.
Dengan demikian, sebagai khalifah dan 'abd Allah
manusia mempunyai tanggungjawab kepada Allah,
sesamanya, dan alam semesta. Tanggungjawab kepada
Allah, di samping melaksanakan tugas sesuai dengan
kehendak-Nya, juga melaksanakan perintah dan aturan-
aturan (syari'ah) yang telah ditetapkan-Nya. Ini juga berarti
keharusan manusia untuk beragama, dalam hal ini tentunya
agama yang diridhai Allah (Islam). Bentuk tanggungjawab
terhadap sesama manusia, berarti penyelamatan umat
manusia dari kesengsaraan, kehinaan, keterbelakangan,
dan terutama penghormatan hak-hak asasi manusia dan
menjunjung tinggi nilai-nilai humanistik lainnya.
Sedangkan tanggungjawab terhadap alam semesta, berarti
berupaya semaksimal mungkin untuk memakmurkan
bumi, tidak membuat kerusakan pada alam dan lingkungan
serta menciptakan keharmonisan antara dirinya (alam
mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos).
Sementara itu, pada sisi lain, pandangan Psikolog
Humanistik tentang hakekat dan potensi yang dimiliki oleh
manusia, dapat dilihat dari rumusan para tokohnya yang

 142 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang


memiliki: love, creativity, self, growth, organism basic need-
matification, self actualization, higher values, becaming, spontanity,
play, humor, affection, naturalness, warmth, ego-trandsendence,
objectivity, autonomy, responsibility, meaning fairplay,
trandendental experience, psychological bealth and related cocept. 6
Rumusan yang dikemukakan tersebut, menunjukkan
bahwa Psikologi Humanistik memandang sifat-sifat dan
kemampuan-kemampuan manusia, merupakan gejala
kejiwaan yang hanya dimiliki oleh manusia dan tidak
dimiliki Oleh makhluk lainnya (hewan), dan bukan pula
merupakan sifat “dewa-dewi” atau pengejawantahan
kualitas keilahian yang sangat sakral dan ideal. Gejala-gejala
tersebut adalah hal-hal yang tercakup dalam cipta, rasa,
karya, dan karakteristik manusiawi lainnya, yang tidak
terdapat pada makhluk lainnya.7
Dengan demikian, Psikologi Humanistik memandang
manusia sebagai makhluk yang berpotensi dengan citra
baik, atau lebih banyak baiknya dari pada buruknya.
Manusia merupakan kesatuan jiwa-raga-rohani secara
Integral, dan ia mengada dalam dunia (being-in-the-world),
dan menyadari penuh akan keberadaannya. Oleh karena

6 Hanna Djumhana Bastaman, “Dari Anthroposentris ke Anthropo-


Religiosus-Sentris, Telaah Kritis atas Psikologi humanistik”, dalam Fuad
Nashari (ed), Membangun Paradigma Psikologi Islami, (Yokyakarta: Sipress,
1997), h. 78.
7 Ibid., h. 78-79.

 143 
Nurhilaliati

itu ia memiliki otonomi dan otoritas atas kehidupannya


sendiri sebagai makhluk yang sadar, mandiri, pelaku aktif
yang dapat menentukan (hampir) seluruhnya.
Dalam melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatannya,
manusia dimotivasi Oleh adanya hasrat atau keinginan
untuk memperoleh sesuatu yang dinamakan dengan hidup
yang lebih bermakna, yaitu makna hidup yang sesuai
dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Hasrat untuk meraih
hidup yang lebih bermakna inilah yang menjadi landasan
sekaligus motivasi utama manusia melakukan aktivitasnya.
Perkembangan moral dan spiritual merupakan sesuatu
masuk dalam wilayah alam komunal, oleh sebab itu,
maka segala aktivitas manusia berkaitan dengan makna
baik dan buruk atau benar dan salah, sesuai dengan nilai
luhur manusiawi yang dipegang dan disepakati oleh
komunitas manusia pada waktu dan tempat tertentu.
Bastaman menilai, apabila ditelaah lebih lanjut dan
mendalam, gejala-gejala insani yang diungkapkan dalam
rumusan Psikologi Humanistik di atas, ternyata semuany?
melibatkan proses-proses eksistensial seperti: self-awareness
self-distance, self-objectification, self-detachment, self-directing,
intensionality. Semua unsur proses eksistensial tersebut
merupakan human qualities yang menunjukkan kemampuan
manusia untuk memandang dirinya sebagaimana adanya
sekarang, dan mengarahkan serta memproyeksikan kepada
hal-hal di luar dirinya dan kekinian-nya. Proses-proses dan
kualitas-kualitas insani ini merupakan sifat asli dan asasi

 144 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

yang tak terpisahkan dari eksistensi manusia, serta menjadi


hakekat kemanusiaannya. Dan tampaknya tidak dimiliki
oleh makhluk lain khususnya hewan.
Kaitannya dengan pembahasan tentang eksistensi
manusia, mungkin ada baiknya melihat pandangan
Kierkegaard, seorang tokoh pendiri Eksistensialisme,
bahwa manusia mempunyai esensi dan eksistensi sekaligus.
Esensi menunjuk pada aspek materi yang dimiliki oleh
manusia dan non-manusia. Sedangkan eksistensi menunjuk
kepada aspek kesadaran yang hanya dimiliki oleh manusia
saja. Sedangkan selain manusia tidak memiliki eksistensi.
Eksistensi adalah ciri khas manusia.8 Dan eksistensi yang
bersumber dari aspek kesadaran manusia, adalah kesadar-
an aktual yang terjadi dalam ruang dan waktu.9 Ia merupa-
kan suatu kategori yang terdapat pada individu bebas.
Tegasnya, seorang individu yang cksis, diibaratkan sebagai
seorang aktor atau pemain bukan penonton. Ia memiliki
komitmen pada diri sendiri, karena ia memberikan bentuk
dan arah bagi hidupnya. Ia eksis dengan tujuan di mana ia

8 Driyarkara, Percikan Filsafat, (Jakarta: Pembangunan, 1978), h. 56.


Yang menarik dari Eksistensialisme Kierkegaard adalah bahwa puncak dari
manusia bereksistensi berkonotasi agamis. Hal ini karena bentuk tertinggi
dari bereksistensi adalah realisasi diri manusia sebagai jiwa yang bermanifes
dalam hubungan dirinya dengan absolut (Tuban). Bereksistensi dalam
tahap ini berarti proses sintesisasi antara yang terbatas dengan yang tidak
terbatas.
9 Titus, Living Issues …, h. 384.

 145 
Nurhilaliati

secara aktif berjuang memilih dan menolak sesuatu.10


Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bereksistensi
adalah aktualisasi diri manusia yang individual, subjektif
dan bebas dalam kehidupan.
Dengan bentuk-bentuk eksistensi tersebut, dapat
dikemukakan bahwa bereksistensi berarti berani meng-
adakan pilihan yang bersifat menentukan kehidupan dalam
tahapan eksistensi apapun. Jika manusia tidak berani
menentukan pilihan berarti pula proses pembebasan
pengaruh-pengaruh atau tekanan yang menghilangkan jati
diri manusia itu sendiri.
Memang, yang sangat menarik dalam kajian hakekat
dan potensi manusia adalah kajian yang dilakukan oleh
aliran Eksistensial, sebagai aliran yang sangat mem-
pengaruhi Psikologi Humanistik, yang menjadikan
manusia sebagai subjek sekaligus juga sebagai objek.
Manusia dijadikan tema sentral dalam semua kajian yang
dilakukan. Tidak seperti pandangan aliran Materialisme dan
juga Idealisme yang dinilai memandang dan mengkaji
manusia secara parsial.11

10 Frederick Copleston, A History of Philosophy, (London: Search Press,


1963), h. 347.
11 Dengan menatap manusia sebagai subjek dan objek, maka

eksistensial merupakan reaksi terhadap Idealisme dan Materialisme.


Idealisme yang memandang manusia hanya dari segi roh, jiwa atau akalnya
saja, telah mengabaikan persoalan realitas. Manusia hanya dipandangnya
sebagai subjek semata. Sebaliknya, materialisme yang memandang manusia

 146 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Manusia adalah makhluk yang mampu mengenal


dirinya sendiri, dan ini merupakan ciri khas manusiawi,
karena hanya manusialah yang mempunyai keinginan dan
mampu mengenali dirinya sendiri, serta memanfaatkan
pengetahuannya itu untuk pengembangan diri.
Dalam perspektif psikologis, pengenalan diri berarti
pandangan realistis dan objektif seseorang tentang dirinya
sendiri. Secara operasional hal ini merupakan usaha-usaha
untuk memperluas dan memperdalam kesadaran tentang
berbagai aspek, kecenderungan, dan kekhususan-
kekhususan diri sendiri dan lingkungannya, baik yang telah
teraktualisasi maupun yang masih merupakan potensi.
Selain itu, mengingat setiap manusia memiliki kekuatan dan
kelemahan, mengenal diri berarti upaya meningkatkan
kesadaran terhadap kekuatan dan kelemahan diri sendiri.
Ini berarti bahwa di satu pihak manusia dapat berfungsi
sebagai subjek yang mengenali diri, dan di lain pihak sebagai
objek yang dikenali. Dan inilah kekhususan manusia, ia
mampu mengambil jarak dengan dirinya sendiri dan
menghayati diri sebagai subjek dan objek sekaligus.12

hanya merupakan materi belaka telah terjadi reduksi bagi eksistensi manusia
itu sendiri, atau manusia hanya dijadikan objek saja. Berangkat dari
perbedaan pandangan kedua aliran tersebut, maka Eksistensialisme
mencoba mengakomodasi kedua pandangan tersebut, yaitu bahwa hakekat
manusia sesungguhnya merupakan kesatuan unit dan totalitas fisik maupun
non-fisik.
12 Bastaman, Dari Antbroposentris…, h. 80.

 147 
Nurhilaliati

Kegiatan mengenal dan mengembangkan diri, masih


menurut Bastaman, mengisyaratkan bahwa eksistensi
manusia ditandai dengan kesadaran diri seperti apa adanya
sekarang (Aku-aktual) dan kesadaran tentang gambaran
diri seperti diidam-idamkannya (Aku-ideal). Dan
dinamika pengembangan diri, bahkan eksistensi manusia,
pada dasarnya berlangsung di antara dua pola kesadaran
diri tersebut: The actual-self vs The ideal-self atau Being vs
Meaning. Dalam hal ini, seseorang dapat memproyeksikan
dirinya ke masa depan seperti yang diidamkannya, maupun
mentransendensikan dirinya keluar dari dimensi personal
kepada dimensi sosial. Dalam pandangan Psikologi
Humanistik, kehidupan ini tidak selalu memberikan
kesenangan, tetapi terutama menawarkan makna yang
harus dipenuhi dan tantangan-tantangan yang harus
dijawab. Kenyataan hidup tidak menyediakan keseimbang-
an tanpa tegangan, tetapi justru menawarkan tegangan
kreatif, yaitu tegangan antara kenyataan diri pada waktu
sekarang dengan makna-makna yang harus dipenuhi. Dan
di antara kedua pilar inilah proses pengembangan diri
(becoming) berlangsung.

2. Model Pendidikan untuk Aktualisasi Potensi


Manusia
Dalam aspek ini kedua disiplin ilmu ini mengakui
bahwa salah satu alat untuk aktualisasi dan pengembangan
potensi manusia adalah melalui dunia pendidikan. Dan

 148 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

nampaknya model pendidikan yang ingin dikembangkan


oleh keduanya memiliki kesamaan, yaitu pendidikan yang
dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki manusia
sehingga mencapai titik optimal dalam batas
kemanusiaannya.
Perbedaan yang dapat ditemui antara kedua konsep
ini adalah, sebenarnya pada tataran teologis. Agama Islam
memandang manusia secara totalitas, mendekatinya atas
dasar apa yang terdapat dalam dirinya, tidak ada sedikit
pun yang diabaikan dan tidak memaksakan apa pun kecuali
apa yang dijadikan sesuai dengan fitrah dan potensinya.
Namun, dalam perkembangan historisnya, pandangan
yang sangat ideal tersebut, seakan tenggelam dalam
keterlenaan interpretasi historis, yang kadang-kadang lebih
banyak menyimpang dari makna yang sebenarnya. Untuk
itulah, maka kepada manusia diberi kebebasan untuk
menentukan nasibnya. Dan ini tidak berarti manusia bebas
dengan kebebasan mutlak. Dia bebas tetapi dengan
tanggungjawab atas segala perbuatannya tersebut di
hadapan tuhan.
Berbeda dengan konsep kebebasan yang ditawarkan
oleh Islam, Psikologi Humanistik memandang kebebasan
adalah milik mutlak manusia yang digunakan untuk
kesejahteraan manusia itun sendiri, dalam artian, walaupun
kepada manusia dimintai pertanggungjawabannya, tetapi
Itu hanya dalam urusannya dengan sesama manusia, tidak
ada keterlibatan Tuhan di dalamnya.

 149 
Nurhilaliati

Pendidikan dapa t ditinjau dari dua segi, yaitu


masyarakat dan individu. Dari segi masyarakat
pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi
tua kepada generasi muda, agar kehidupan masyarakat
tersebut terus berlanjut. Sedangkan dari segi individu,
pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang
terpendam dan tersembunyi dalam diri manusia.
Pelaksanaan pendidikan menurut Islam didasarkan
pada konsep humanis yang meyakini bahwa manusia
merupakan makhluk yang berdimensi jasmaniah, rohaniah
dan spiritual, yang ketiganya merupakan satu kesatuan yang
saling berinteraksi dalam diri manusia. Selain pandangan
tersebut, juga karena adanya keyakinan bahwa manusia,
sebagai makhluk tuhan merupakan pemegang dua status
sekaligus, yaitu sebagai khalifah dan 'abd Allah. Untuk
dapat merealisasikan kedua status dan tanggungjawab
tersebut, maka kepada manusia dianugerahi sejumlah
potensi, yang dalam keyakinan Islam, potensi yang dibawa
manusia sejak kelahirannya adalah sesuatu yang dialiri
citarasa ketuhanan.
Berdasarkan realitas yang ada dalam diri manusia,
maka pendidikan yang harus dilaksanakan adalah
pendidikan yang memfokuskan diri pada pengembangan
seluruh potensi yang dimiliki manusia, sehingga akan
dicapai titik optimal, yang pada akhirnya akan melahirkan
kepribadian yang utuh. Namun, dapat dikatakan bahwa
yang menjadi landas rekayasa strategis pendidikan dan

 150 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

sekaligus sebagai potensi yang harus dikembangkan dalam


proses pendidikan adalah manusia dalam dimensi
rohaniah. Karena pada dimensi ini, manusia memiliki
sejuta potensi yang sangat niscaya menjadi objek dan
subjek pengembangan pendidikan.
Karena dalam diri manusia terdapat potensi negatif
dan positif sekaligus, menurut al-Qur'an, kewajiban
manusia adalah memenangkan potensi yang positif. Oleh
karena itu, dalam rangka menciptakan kondisi kondusif
bagi berkembangnya potensi positif dan rasa optimisme,
maka pelaksanaan pendidikan hendaknya dilangsungkan
secara demokratis, terbuka dan dialogis.
Apa yang ditawarkan dari pendidikan Islam tersebut
di atas, dapat dilihat benang merahnya dengan konsep
pendidikan yang ingin dikembangkan oleh Psikologi
Humanistik. Menurut mazhab psikologi ini, pendidikan
humanis yang relevan adalah yang menekankan pada
kebebasan peserta didik dengan pendekatan Group-Oriented
dan responsibilitas.
Dalam konteks Group-Oriented, tema sentral yang
menjadi perhatiannya adalah salah satu metode yang
membiarkan anggota group untuk bekerja sama secara
demokratis, sehingga dengan demikian akan mendukung
otonomi dan responsibilitas individual, yang pada
akhirnya akan membantu perkembangan self-actualization
para peserta didik.

 151 
Nurhilaliati

Selain itu, dua unsur penting yang perlu diperhatikan


adalah hubungan peserta didik-pendidik dan iklim kelas. Guru
diharapkan memberikan perhatian penuh serta
mempercayai setiap peserta didiknya sebagai individu, dan
menyadari serta mempertimbangkan emosi para peserta
didik dan pertumbuhan pribadi mereka dalam segala hal
yang mereka lakukan. Sedangkan iklim kelas yang humanis
adalah lingkungan yang aman dan dipercayai oleh peserta
didik sebagai tempat bagi mereka untuk dapat belajar
dengan baik.
Namun demikian, aspek inkoherensi yang dapat
ditemui dari konsep dan praktik pendidikan yang
kembangkan oleh keduanya adalah, kalau Psikologi
Humanistik menekankan kebebasan peserta didik dengan
kebebasan mutlak, sementara pendidikan Islam, meskipan
menekankan kecbebasan bagi peserta didik, namun ke
bebasan tersebut masih dilihat dalam hubungannya dengan
hak makhluk lain dan bahkan dengan al-Khaliq.

3. Orientasi dan Sasaran


Pembahasan terdahulu menunjukan kalau asumsi yang
dipegang oleh Psikologi Humanistik ialah, manusia pada
dasamya memiliki potensi-potensi baik, minimal lebih
banyak baiknya daripada buruknya. Penelaahan yang
dilakukan diletakkan pada kualitas khas manusia, yakni
sifat-sifat khusus yang terpatri pada eksistensi manusia,
seperti kemampuan abstraksi, daya analisis dan sintesis

 152 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

imajinasi, kreativitas, kebebasan berkehendak, tanggung-


jawab, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan
pribadi, humor, sikap etis, dan rasa estetika.
Pandangan tersebut di atas menunjukan bahwa
mazhab psikologi tersebut berkeyakinan bahwa manusia
adalah makhluk bermartabat tinggi, sadar, mandiri,
pelaku aktif yang dapat menentukan (hampir) segalanya
dan memiliki otoritas penuh atas dirinya. Sehingga tidak-
lah keliru, kalau dari pandangan tersebut lahir anggapan
bahwa manusia adalah the self-determining being dan juga the
center of relatedness, yaitu makhluk yang mampu sepenuhnya
menentukan tujuan-tujuan yang paling diinginkannya dan
cara-cara mencapai tujuan itu yang dianggapnya paling
tepat.13
Anggapan yang begitu memusatkan perhatian pada
keseluruhan diri manusia tersebut dikenal dengan antropo-
sentris, atau pandangan yang menempatkan manusia
sebagai pusat dari segala pengalaman dan relasi-relasinya,

13 “Bugental dan Yalom menunjukan asumsi filosofis tentang manusia


ke dalam beberapa poin: (1) Man, as a man, supersedes the sum total of
parts (that is, man can not be understood from a scientific study of part
functions), (2) Man has his being in human context (that is, man can not
be understood by part functions which ignore interpersonal experience),
(3) Man is aware (and can not be understood by psychology which fails to
recognize man's conscious, many layered self-awareness), (4) Man has choice
(man is not by stander to his cxistence, he creates his own experiences, (5)
Man is intensional (man points to the future, he has purposes, value and
meaning), seperti dikutip oleh Bastaman, Ibid., h. 83.

 153 
Nurhilaliati

penentu utama semua peristiwa yang menyangkut masalah


manusia dan kemanusiaan. Pandangan ini mengangkat
derajat manusia ke tempat yang paling tinggi, ia seakan-
akan causa prima yang unik, pemilik akal budi yang sangat
hebat, serta memiliki kebebasan penuh untuk berbuat apa
yang dianggap baik bagi dirinya.
Orientasi Psikologi Humanistik dengan Pendidikan
Islam dalam memandang manusia sangat berbeda,
walaupun pada dasarnya sama-sama memusatkan
perhatian kepada manusia. Perbedaannya karena Psikologi
Humanistik berorientasi antroposentrisme, yang akan
mudah sekali memberi peluang pada manusia untuk
menganggap dirinya sebagai 'sang penentu tunggal yang
paling berdaulat' yang mampu melakukan play-God
sekalipun dalam peringkat manusiawi. Ini tercermin antara
lain dari tumbuhnya konsep kebebasan pribadi yang sangat
ekstrim, yang selangkah lagi dapat berkembang menjadi
ketidakpedulian sosial total dan kecongkakan yang
anarkhis. Dengan kebebasan dan kedaulatan yang serupa
itu, pandangan antroposentris dengan mudah akan
menyangkal dan meniadakan hubungan transcendental
antara manusia dengan Tuhannya serta menetapkan banwa
hanya dimensi tritunggal dimensional somato-psiko-
sosiokultural-lah yang dapat diterima dan diyakini paling
absah dan ilmiah dalam menjelaskan perilaku manusia.
Dalam hal ini yang ditonjolkan adalah unsur akal dan

 154 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

intelektualitas saja, sedangkan unsur lain seperti ruh dan


hubungan metafisis antara manusia dengan Tuhan dianggap
di luar jalur ilmiah. Kalaupun ada perhatian terhadap
perilaku agama dan tindak ibadah, hal itu diterangkan
semata-mata dari level bio-psiko-kultural belaka.14
Pada sisi lain pendidikan Islam berpegang pada
keyakinan bahwa manusia, meskipun ia merupakan
makhluk yang memiliki kebebasan penuh untuk
menentukan langkahnya, namun hal itu masih dilihat dalam
hubungannya dengan sang pencipta (Tuhan). Atau dengan
kata lain, kedudukan manusia sebagai makhluk dan relasi
antara ciptaan dengan penciptaan ini memberi corak
khusus pada eksistensi manusia, dalam artian manusia tidak
sendirian dalam menjalani hidupnya, ia ada dalam
kaitannya dengan makhluk-makhluk lain dan juga dengan
Tuhan sebagai penciptanya. Dengan demikian, karakteristik
eksistensi manusia harus dicari dalam relasinya dengan
sang pencipta dan makhluk-makhluk Tuhan lainnya.15

14 Ibid., h. 85.
15 Tentang relasi antara Tuhan dan manusia ini, sangat menarik
pembahasan yang dilakukan oleh Izutsu yang membagi relasi tersebut
dalam empat macam relasi, yaitu: (1) Relasi Ontologis: antara Tuhan sebagai
sumber eksistensi manusia yang utama dan manusia sebagai representasi
dunia wujud yang eksistensinya berasal dari Tuhan, (2) Relasi Komunikatif:
di sini Tuhan dan manusia dibawa ke dalam korelasi yang dekat satu sama
lain, tuhan tentu saja mengambil inisiatif, melalui komunikasi timbal
balik, (3) Relasi Tuan-Hamba: relasi ini melibatkan Tuhan sebagai Tuan
(Rabb) dan pihak manusia sebagai hamba-Nya ('abd), (4) Relasi Etik: relasi

 155 
Nurhilaliati

Sehingga dapat dikatakan bahwa orientasi pendidikan


Islam dalam memandang manusia bersifat antroposentris
dan juga teosentris.
Hadirnya orientasi teosentris selain akan mencegah
perkembangan ekstrim anthroposentrisme yang di-
kembangkan oleh Psikologi Humanistik, juga akan mem-
perluas cakrawala lingkungan hidup manusia. Karena
manusia tidak saja melakukan relasi horizontal dengan alam
(diri sendiri dengan lingkungannya), tetapi juga menegak-
kan relasi trensendental dengan Tuhan. Untuk itu, konsep-
konsep seperti fitrah ketuhanan, keimanan dan ibadah
perlu diintroduksi pada Psikologi Humanistik. Di samping
mengintegrasikan dan mengukuhkan dimensi spiritual
dalam sistem dimensional somato-psiko-sosiokultural
seperti yang dianut pada masa sekarang, sehingga eksis-
tensi manusia menjadi unitas dari somato-psiko-sosio-
kultural-spiritual. Hal ini merupakan pendorong dan
peluang untuk pengembangan positif bagi Psikologi
Humanistik.16

ini didasarkan kepada perbedaan yang paling mendasar antara dua aspek
yang berbeda, yang dapat dibedakan dengan konsep tuhan itu sendiri dengan
segala kebaikannya dan “ketidakbaikannya”, demikian juga dengan konsep
manusia yang selalun memiliki dua sifat yang berlawanan. Untuk
pembahasan yang lebih jelas lagi baca Toshihiko Izutsu, God and Man in the
Koran: Semantics of the Koranic Weltanshcaung, terjemahan Agus Fachri Husein
dkk (Relasi Tuhan dan Manusia), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h.79.
16 Bastaman, Dari Antbroposentris .., h. 86.

 156 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Namun demikian, masih menurut Bastaman, perlu


dipahami bahwa hadirnya orientasi theosentris sama sekali
bukan untuk menggantikan orientasi antroposentris yang
sekarang dianut secara mapan Oleh Psikologi Humanistik,
melainkan untuk menambah dan melengkapi serta men-
dorong ke arah perkembangan yang lebih baik dan positif.
Maksudnya, Psikologi Humanistik dengan antroposentris-
me-nya yang mengembangkan citra manusia bebas, ber-
daulat, cerdas, pusat dari segala relasi, dan penentu tunggal
segala peristiwa, menandai model perkembangannya ke
arah ateis. Dalam hal ini, Psikologi Humanistik tidak perlu
mengubah orientasi antroposentris menjadi teosentris,
tetapi perlu membuka diri dan berani melakukan perbaik-
an dengan menambahkan unsur ketuhanan, yakni
antroposnya adalah manusia bertuhan.

B. Aplikasi Dialog dalam Pengembangan Pendidik-


an Islam
Pendidikan Islam masa kini dihadapkan kepada
tatangan yang jauh lebih berat dari tantangan yang di-
hadapi pada masa awal penyebaran dan perkembangan
Islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan
idealitas umat manusia yang serba multi-interest yang!
dimensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang multi
kompleks pula. Dengan demikian, tugas Pendidikan Islam
dalam proses pencapaian tujuannya tidak lagi menghadapi

 157 
Nurhilaliati

problema kehidupan yang simplistis, melainkan amat


kompleks, sebagai akibat rising and demand manusia
semakin kompleks pula. Semakin kompleks rising and
demand, semakin kompleks pula hidup kejiwaannya, maka
semakin sulit pula jiwa manusia itu diberi nafas agama.
Oleh karena itu diperlukan sistem atau metode yang me-
narik. Orientasi Pendidikan Islam dalam zaman teknologi
masa kini dan masa depan perlu diubah pula. Yang semula
berorientasi kepada kehidupan ukhrawi menjadi duniawi-
ukhrawi bersamaan. Orientasi ini menghendaki suatu
rumusan tujuan pendidikan yang jelas. Karena itu program
pembelajarannya harus lebih diproyeksikan ke masa depan
dari pada masa kini atau masa lampau. Meskipun masa
lampau dan masa kini tetap dijadikan sebagai khazanah
kekayaan empiris yang amat berharga bagi batu loncatan
ke masa depan, sehingga nostalgia ke masa keemasan
dunia Islam masa lampau (abad VII-XIV) tidak perlu lagi
mengobsesi pemikiran kita.
Lebih-lebih dalam menghadapi pergeseran nilai-niai
kultural yang tradisional dari dunia kehidupan, yang belum
menemukan pemukiman yang mapan, maka Pendidikan
Islam dituntut untuk menerapkan pendekatan dan orien-
tasi baru yang relevan dengan tuntutan zaman, justru
karena Pendidikan Islam membawa prinsip dan nilai-nilai
absolutisme yang bersifat mengarahkan trend perubahan
sosio-kultural itu.

 158 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Di satu pihak, pendidikan adalah merupakan alat


pembudayaan manusia. Sedang di lain pihak dapat di-
pandang sebagai salah satu aspek dari kebudayaan atau
peradaban yang satu sama lain saling mengembangkan.
Bila penyelenggaraan. Pendidikan mengalami suatu tingkat
kemajuan, maka masyarakat umat manusia pun terangkat
mangalami kemajuan sebanding, dan daya kembangnya
mendorong usaha pendidikan itu sendiri, oleh karena
pendidikan sebagai suatu alat pembudayaan yang pada
saat tertentu merupakan cermin dari cita-cita masyarakat.
Dilihat dari proses kehidupan masyarakat yang ber-
cita-cita semakin maju, maka pendidikan yang berada
dalam proses kehidupan tersebut, mengandung ciri-ciri
yang bersifat mengarahkan terhadap perkembangan
kehidupan masyarakat. Dalam proses pendidikan inilah
terdapat berbagai masalah yang menyangkut kebijaksana-
an, strategi penyelenggaraannya dengan berbagai pra-
sarana dan sarananya, baik fisik maupun non-fisik. Dan
permasalahan yang menyangkut proses pendidikan itu
tidak berhenti selama manusia itu sendiri masih bercita-
cita untuk memajukan kesejahteraan umum dan men-
cerdaskan kehidupannya. Itulah sebabnya maka pandangan
yang menyatakan bahwa pendidikan itu berlangsung
selama hayat manusia (life long education) adalah wajar
dijadikan strategi pendidikan (khususnya di Indonesia) dan
konsekuensinya adalah bahwa pendidikan itu tidak hanya

 159 
Nurhilaliati

berlangsung di lingkungan formal saja melainkan juga


harus dilangsungkan di luar sekolah, baik bagi anak
sebelum masa sekolah maupun bagi mereka yang telah
berusia dewasa atau lanjut.
Pendidikan Islam yang berlangsung melalui proses
operasional menuju tujuannya memerlukan model dan
sistim yang konsisten yang dapat mendukung nilai-nilai
moral spiritual yang melandasinya. Nilai-nilai tersebut
teraktualisasikan berdasarkan orientasi kebutuhan
perkembangan fitrah murid (learner's potentials orientation)
yang dipadu dengan pengaruh lingkungan cultural yang
ada. Oleh karena itu, manajemen kelembagaan pendidikan
Islam memandang bahwa seluruh proses kependidikan
dalam institusi adalah sebagai suatu sistim yang ber-
orioentasi kepada perbuatan yang nyata (action-oriented
sistem) berdasarkan pendekatan sistemik.
Kelembagaan Pendidikan Islam merupakan sub-
sistem dari sistem masyarakat atau bangsa. Dalam
operasionalisasinya selalu mengacu dan tanggap kepada
kebutuhan perkembangan masyarakat. Tanpa bersikap
demikian, lembaga pendidikan yang ada dapat menimbul-
kan kesenjangan sosial dan kultural. Kesenjangan inilah
yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik antara
pendidikan dengan masyarakat. Dan dari sanalah timbul
krisis pendidikan yang intensitasnya berbeda-beda
menurut tingkat atau taraf rising demands masyarakat.

 160 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Sebegitu jauh peranan pendidikan didesak untuk


melakukan inovasi, terutama perubahan kurikulum dan
perangkat manajemen. Atas dasar alasan-alasan tertentu,
para kritikus yang pakar, melontarkan berbagai pandangan
kritis, bahkan sinis terhadap posisi pendidikan. Dari
pandangan ilmuan dari berbagai disiplin ilmu, ada yang
menganggap bahwa sekolah terlalu monopolis-elitis, tidak
lagi humanis atau populis, sistemnya sudah usang, tak
berdaya dalam memacu modernisasi masyarakat, bahkan
ada yang menganggap bahwa sekolah tidak lain diper-
samakan dengan mental blenders, yang membingungkan
masyarakat.
Gambaran yang diuraikan di atas merupakan cermin-
an kemelut yang terjadi di dalam masyarakat yang purna-
Industrial (post-industrial society). Namun demikian
permasalahannya, lembaga pendidikan Islam khususnya,
narus bangkit kesadarannya bahwa lembaga pendidikan
Islam yang masih bersifat konservatis dan statis dalam
menyerap tendensi dan aspirasi masyarakat tradisional
seperti masa kini, perlu memacu diri untuk melakukan
inovasi dalam wawasan, strategi dan program-program-
nya sedemikian rupa, sehingga mampu menjawab secara
aktual dan fungsional terhadap tantangan baru.
Apabila diingat bahwa misi pendidikan Islam lebih
berorientasi kepada nilai-nilai luhur dari Tuhan, yang harus
diinternalisasikan ke dalam lubuk hati setiap pribadi

 161 
Nurhilaliati

manusia melalui berbagai bidang kehidupan, mungkin


pendekatan sistemik yang bersifat missionair di mana
faktor humanisasi menjadi sentral strategi, perlu lebih
diprioritaskan dalam perencanaan.
Salah satu langkah strategis dalam menyongsong dan
menyikapi millenium baru (abad XXI), pendidikan Islam
perlu merekonstruksi wawasannya tentang manusia
peserta didik) sebagai unsur penting dalam keseluruhan
diskursus kependidikan. Kalau selama ini, salah satu
pandangan yang masih mewarnai dan dipegangi oleh para
pelaksana pendidikan, adalah bahwa peserta didik merupa-
kan pihak yang tersubordinasi dan pihak pendidik ber-
ada pada posisi sebaliknya, serta masih banyak lagi poin-
poin penting di sekitarnya yang memerlukan perhatian
serius dari para pemegang kebijaksanaan dalam dunia
pendidikan yang lebih bersifat atau berwawasan humanıs.
Pendidikan yang berwawasan humanis atau ke-
manusiaan pada dasarnya adalah pendidikan yang
menekankan perhatiannya pada individu manusia seca
utuh, tidak hanya terletak pada ranah psikologik saja atau
hanya motoriknya saja, atau kognitifnya saja, tetapi pada
keutuhan antropologik peserta didik sebagai manusia
dalam arti sebagai pribadi dengan segala karakteristik
sosial budayanya.
Apabila pendidikan Islam ingin melaksanakan
pendidikan yang berwawasan humanis, maka, seperti
pendapat Djohar, fokus pendidikan hendaknya diletakkan

 162 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

pada dua dimensi, yaitu pertama, bagaimana cara memper-


lakukan sasaran pendidikan, yaitu individu peserta didik
di dalam proses pendidikan yang manusiawi. Kedua, bagai-
mana sistim pendidikan, manajemen pendidikan,
penyelenggaraan pendidikan termasuk belajar mengajar,
dilaksanakan sehingga dapat mewujudkan perlakuan
terhadap sasaran pendidikan itu menjadi manusiawi.17
Lebih lanjut Djohar berpendapat bahwa, apabila
suatu pendidikan berwawasan humanis ingin ditekankan
pada keutuhan antropologik peserta didik, maka
beberapa hal berikut dapat dilaksanakan:
1. Pendidikan memberi kesempatan pada setiap peserta
didik untuk mengembangkan diri dan menemukan jati
dirinya.
2. Orangtua bukan penentu pilihan pendidikan bagi
anaknya.
3. Peran guru adalah “Tut Wuri Handayani” dalam
proses pendidikan dan pembelajaran.
4. Proses pendidikan lebih berorientasi pada diskoveri
dan dan inkuiri dari pada sekedar menerima atau
mengikuti prosedur sistematik.
5. Sekolah dan masyarakat harus menjadi lingkungan
yang kondusif bagi perkembangan pribadi peserta
didik, di luar lingkungan keluarga.

17 Djohar, “Pembangunan Pendidikan Berwawasan Kemanusiaan”,

dalam Media Inovasi Nomor I TH. VIII 1998.

 163 
Nurhilaliati

6. Manajeman pendidikan yang penyelenggaraan


pendidikan harus mendukung terwujudnya proses
pendidikan yang manusiawi.18
Masih menurut Djohar, supaya profil pendidikan
seperti yang dijelaskan di atas dapat diwujudkan, maka
diperlukan kondisi pendidikan tertentu, seperti yang akan
diuraikan di bawah ini.
Kondisi untuk mewujudkan pengembangan dan jati diri.
Uraian sebelumnya telah menjelaskan bahwa setiap peserta
didik memiliki potensi untuk berkembang. Akan tetapi
potensi itu dapat terhambat karena tidak didukung oleh
lingkungannya. Setiap peserta didik diharapkan dapat me-
miliki kesempatan untuk menampilkan dirinya baik dalam
dimensi psikis maupun dalam dimensi fisik. Kemampuan
dinamika organisasi psikofisik setiap peserta didik akan
menentukan karakteristik kepribadiannya. Kemampuan
dinamika organisasi psikofisik setiap orang memang jage
ditentukan oleh karakteristik internalnya.
Di sisi lain, jati diri merupakan suatu jawaban ter-
hadap pertanyaan, 'siapa saya ini ?' yang dapat menjawab
pertanyaan ini adalah pengalaman yang dialami dalam
perbuatan keseharian seseorang. Sebab tanpa melalui per-
buatan nyata, maka akan sulit bagi seseorang untuk
menemukan jati dirinya. Akan tetapi dimungkinkan juga
seseorang tidak pernah mampu menemukan jati dirinya,

18 Ibid., h. 41.

 164 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

karena tidak memiliki kondisi untuk mencapai jati diri


itu.19 Kondisi yang diperlukan agar seseorang dapat
menemukan jati dirinya adalah kesempatan untuk berbuat
sesuatu. Dari kegagalannya, dari keberhasilannya, dan lain-
lain, seseorang memperoleh pengalaman untuk menemu-
kan jati diri mereka.
Salah satu faktor kondusif utama yang dibutuhkan
untuk membantu terwujudnya pengembangan diri dan jati
diri adalah sifat kemandirian.20 Setiap peserta didik me-
merlukan pengalaman psikis terhadap kegagalan, ke-
berhasilan, jatuh, bangkit, sedih, senang, puas, kecewa,
yang semuanya akan mampu membangun kedewasaan
emosional mereka.21

19 Dari jati dirinya seseorang mampu menemukan jalan hidupnya,


mampu menentukan apa yang seharusnya diperbuat dan seharusnya
dihindari. Dari jati dirinya, maka seseorang akan dapat menentukan
bagaimana cara untuk meraih sukses. Dari jati diri seseorang, la akan
menentukan kapasitas usaha untuk meraih sukses itu. Dari jati dirinya,
seseorang dapat menentukan siapa kawan yang harus diajak untuk
bekerjasama. Dari jati dirinya, seseorang dapat menentukan ke mana la
akan mengembangkan ambisi dan karirnya.
20 Djohar, Pembangunan Pendidikan ..., h. 42.
21 Kematangan emosional anak (peserta didik) ternyata semakin nyata

peranannya dalam menentukan keberhasilan seseorang, Kalau semula IQ


merupakan faktor yang dianggap paling menentukan keberhasilan
seseorang, Akan tetapi dalam perkembangan yang terakhir, justru EQ yang
paling menentukan keberhasilan seseorang. Kedewasaan emosional
menggambarkan kematangan pribadi seseorang Kedewasaan emosional
anak ditentukan oleh perkembangan keterampilan fisik dan sosial mereka,
yang berarti ditentukan oleh kemampuan mereka untuk menentukan diri

 165 
Nurhilaliati

Kedewasaan emosional yang diharapkan dari seorang


anak sangat ditentukan oleh adanya kerjasama dan ke-
terampilan fisik dan sosial mereka yang saling mendukung
yang berarti anak yang memiliki keterampilan fisik yang
baik, selain membantu perkembangan sosialnya, juga
didukung oleh perkembangan sosialnya. Dan sebaliknya
anak yang memiliki keterampilan sosial baik, juga didukung
dan berpengaruh terhadap perkembangan fisik mereka.
Keduanya bersama-sama menentukan perkembangan
kedewasaan emosional.
Kondisi yang memungkinkan terjadinya per-
kembangan fisik dan sosial anak adalah apabila setiap anak
memiliki kesempatan untuk menggerakkan fisiknya dan
memiliki kesempatan untuk bergaul dengan lingkungannya.
Apabila anak telah memilki kesempatan untuk meng-
gerakkan tubuhnya dan untuk bergaul dengan lingkungan
mereka, namun kesempatan itu tidak digunakan, maka
diperlukan dorongan agar kesempatan itu dapat diguna-
kan sebaik-baiknya.

secara fisik dan sosial. Bagaimana seorang anak menggerakkan anggota


tubuhnya, bagaimana seorang anak bergaul dengan lingkungannnya temyata
menentukan kedewasaan emosional mereka. Untuk selanjutnya dan lebut
terperincinya teori tentang kedewasaan emosional ini dapat dibaca dalam
Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional terjemahan T. Hermaya, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1996). Dan selanjutnya tentang aplikasinya dapat
dibaca dalam Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emosi Intelligence pada Anak,
terjemahan Alex Tri Kantjono, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1S97

 166 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Kegagalan anak dalam perkembangan fisik dan sosial


mereka, baik dikarenakan tidak adanya kesempatan
maupun karena tidak dimanfaatkannya kesempatan yang
ada, maka akan mengganggu perkembangan emosional
mereka, dan akan mengganggu perkembangan pribadi
mereka.
Tentang uraian di atas, Djohar menyimpulkan bahwa
kondisi yang diperlukan, baik untuk mencapai per-
kembangan pribadi maupun untuk menemukan jati diri
setiap orang, adalah adanya kesempatan orang itu dan
dimanfaatkannya kesempatan itu untuk berbuat sesuatu
untuk menampilkan dirinya, yang pengendalian dan
evaluasinya dilakukan oleh mereka sendiri. Referensi dari
orang-orang yang lebih berpengalaman atau dari orang
yang lebih dewasa tentunya sangat bermanfaat untuk mem-
percepat dicapainya perkembangan itu. Namun demikian
peran referensi berbeda dengan intervensi. Karena
referensi bersifat sebagai pilihan, sedangkan intervensi
lebih bersifat pemaksaan pengaruh dari luar diri anak.
Kondisi untuk Kesempatan Membangun Budaya dan Individu
Belajar. Semua kegiatan seseorang yang menghasilkan
pengalaman pada dasarnya adalah kegiatan belajar.
Pengalaman pada dasarnya adalah milik seseorang yang
diperoleh dari hasil internalisasi kejadian-kejadian atau
informasi eksternal yang diperoleh orang itu. Proses
internalisasi informasi sehingga informasi itu menjadi
bangunan final milik masing-masing orang, bagi kelompok

 167 
Nurhilaliati

orang tertentu berbeda dengan kelompok orang lain. Ada


kelompok orang yang memiliki informasi eksternal itu
langsung menjadi bangunan final tanpa pengolahan, akan
tetapi ada kelompok orang yang terlebih dahulu mengolah
informasi eksternal itu sebelum dijadikan bangunan final
miliknya. Oleh kerena itu, proses internalisasi informasi
eksternal itu dapat melalui proses pengolahan atau tanpa
melalui proses pengolahan.
Budaya dan individu belajar hanya akan terjadi apabila
seseorang tersosialisasi dengan proses pengolahan
informasi, yaitu apabila seseorang secara terus-menerus
melakukan kegiatan mengolah informasi menjadi bangun-
an kognitifnya.22 Agar seseorang memiliki kemampuan ini,
maka diperlukan kesempatan untuk melakukan dalam
kehidupan sehari-hari. Dari kegiatan sehari-hari inilah ia
memperoleh keterampilan yang pada saatnya keterampilan
itu menjadi bagian dari kehidupan, yang berarti ke-
terampilan itu telah menjadi budaya mereka.

22 Proses pengolahan informasi tidak hanya terbatas pada informasi


tekstual akan tetapi termasuk juga informasi empirik. Untuk melakukan
pengolahan infomasi empirik, diperlukan struktur metodologi yang
mencalap kegjatan pengamatan, pengukuran, pendataan, pengolahan data,
analisis data, inferensi, menangkap masalah-masalah baru dari hasil
pengamatan itu, dan mengajukan prediksi atau asumsi atas jawaban masalah
itu untuk dijadikan petunjuk cara pemecahan masalah baru. Informasi
empik ini yang tidak dapat langsung dimiliki seseorang tanpa melalui
proses pengolahan. Sosialisasi terhadap proses ini yang justru
memungkinkan seseorang memiliki budaya ilmu.

 168 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Berdasarkan uraian di atas, maka agar budaya dan


individu belajar dapat menjadi milik seseorang, maka ke-
padanya diberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan
helajar itu secara mandiri dan terus-menerus. Kondisi ini
jelas belum dijumpai secara penuh pada saat ini. Pendidikan
saat ini lebih memaksakan kurikulum kepada peserta didik,
lebih memaksakan informasi tekstual daripada
mengembangkan kemampuan atau membudayakan belajar
dan membangun individu belajar.
Kondisi Supaya Anak Mampu Menentukan Dirinya
Sendiri. Sampai saat sekarang, campur tangan orang tua
dalam 'menentukan' pendidikan anaknya masih sangat
dominan. Bahkan orangtua-lah yang berkuasa menentukan
segala aspek pendidikan anaknya, yang sering tidak sesuai
dengan kondisi, minat, bakat, dan kemampuan anaknya itu.
Prestasi anak lebih dipaksakan, khususnya untuk
memenuhi keinginan orang tua agar anaknya menjadi
pemegang juara kelas. Anak diharuskan mengikuti
berbagai kursus agar keinginan orang tua itu dapat
dipenuhi, meskipun mungkin telah berada di luar batas
kemampuan anaknya, dan di luar alam kehidupan usia
anak. Jalur pendidikan sering dipaksakan, agar anaknya
mengikuti pendidikan sesuai dengan kehendak orang tua,
meskipun mungkin bertentangan dengan minat dan
bakatnya.

 169 
Nurhilaliati

Pemaksaan terjadi di mana-mana, baik terjadi di


dalam kehidupan keluarga maupun sekolah. Pendidikan
tidak humanis masih tetap bercokol dalam keluarga dan
masyarakat. Pendidikan anak kadang tidak lebih dari
sekedar menjaga gengsi orang tua. Kalau orang tua bisa
meraih posisi seperti pada saat sekarang, kenapa anak tidak
bisa melebihinya. Persepsi seperti ini masih banyak me-
warnai pola pikir orang tua, sehingga membuat mereka
sangat mendominasi putusan pilihan pendidikan anaknya.
Padahal, anak juga adalah manusia yang memiliki hak untuk
memilih sesuatu sesuai dengan cita dan kemampuannya.
Selanjutnya Djohar menawarkan, supaya anak mampu
menentukan pilihan pendidikan dirinya sendiri, maka iklim
dan jenis pendidikan yang perlu direalisasikan adalah : (1)
diperlukan adanya pendidikan karier, (2) menekan terjadi-
nya berbagai bentuk pemaksaan terhadap hak-hak anak,
(3) orangtua cukup memberikan kondisi belajar sebaik-
baiknya di rumah, (4) melakukan kontrol terhadap peri-
laku belajar anak, (5) menumbuhkan kemandirian belajar,
dengan tanpa harus dipacu oleh orang tuanya, (6) mengem-
bangkan kemampuan anak untuk mengatur waktu, antara
belajar, bermain, bergaul dan melakukan entertainment.23
Kondisi Pembelajaran Oleb Guru. Proses mengajar
sekarang ini merupakan implementasi dari konsep 'sistem
penyampaian‟. Artinya indikator mengajar yang baik

23 Djohar, Pembangunan Pendidikan..., h. 43.

 170 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

apabila guru dapat menyampaikan bahan ajar sebaik-


baiknya.24
Dalam setiap pelaksanaan pengajaran, guru
diharapkan mampu menciptakan proses pembelajaran
yang kondusif. Ia diharapkan mampu menciptakan
organisasi bahan ajar dan desain kegiatan belajar yang
dapat menciptakan terjadinya interaksi belajar antara
peserta didik dengan objek dan persoalan belajar sebaik-
baiknya. Dalam hal ini, memang penjelasan guru terhadap
hal-hal dirasa sulit bagi siswa sangat dibutuhkan dan
akan sangat membantu jika guru mampu memberikan
penjelasan yang baik.
Upaya yang dapat dilakukan oleh guru untuk
mengendalikan kegiatan peserta didik, adalah seperti
memperhatikan kesulitan peserta didik, memberikan
bantuan untuk mengatasi kesulitan peserta didik,
mengadakan evaluasi, dan melakukan remediasi terhadap
organisasi belajar yang dipandang tidak kondusif.
Singkatnya, guru melakukan Tut Wuri Handayani' dalam
proses belajar peserta didik. Sebaliknya guru tidak me-
mamerkan kemampuan kepada peserta didik, melainkan

24 Tentang seberapa jauh dampak yang dapat diberikan oleh


keterlibatan guru dalam perkembangan peserta didik dapat dilihat dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa pakar pendidikan, dalam
Harvey A. Averch, How Effective Is Scbooling, A Critical Review of Research,
(New Jersey: Educational Technology Publications Englewood Cliffs,
1974), h. 58-64

 171 
Nurhilaliati

guru hendaknya memperhatikan kesulitan dan kekurangan


mereka untuk dicarikan jalan keluarnya. Juga memper-
hatikan kekurangan dan kelemahan perencanaan program
pembelajaran untuk memperbaikinya. Di samping itu guru
dapat memperhatikan peserta yang unggul untuk
dimanfaatkan membantu peserta yang ketinggalan, karena
melalui bahasa atau komunikasi antar-peserta mungkin
kesulitan dapat lebih mudah diatasi,
Agar pendidikan yang humanis seperti yang diharap.
kan dapat tercapai dan diwujudkan, maka guru diharapkan
berani menekan diri, memberikan waktu belajar untuk
digunakan peserta untuk meraih hasil sebanyak-banyaknya.
Kondisi Untuk Mengemebangkan Belgjar Dengan Diskoveri
dan Inquiri. Konsekuensi untuk mewujudkan berbagai
pertimbangan pendidikan yang humanis seperti yang
diuraikan di atas, menurut Djohar, maka dituntut terjadi
proses diskoveri dan inquiri dalam proses belajar daripada
peserta didik hanya sekedar menerima informasi atau
melaksanakan kegiatan dengan prosedur sistematik.
Belajar dengan diskoveri dan inguiri akan mampu
menggali pengalaman belajar lebih banyak daripada
peserta sekedar menerima informasi atau mengikuti
prosedur sistematik. Dan kondisi seperti ini mungkin akan
tercipta jika cara berpikir peserta didik juga turut diper-
baharui. Dalam istilah Noeng Muhadjir, kalau selama ini
konsep berpikir yang dipegang dan diyakini adalah cara

 172 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

berpikir konvergen, linier, hierarkhi dan vertikal, maka


sudah saatnya pendidikan sekarang menanamkan cara
berpikir divergen, lateral, horizontal dan dekonstruksi.
Pada akhirnya belajar dengan diskoveri dan inquiri yang
menggunakan struktur kegiatan ilmiah seperti yang dijelas-
kan di atas, akan melibatkan segala aspek pribadi peserta
didik, baik keterampilan fisik, intelektual, emosional,
bahkan sosial, yang mampu memberikan pengalaman
pribadi untuk pengembangan diri dan jati diri setelah mem-
bangun budaya dan individu belajar. Apapun yang
dicitakan dan diharapkan dari dunia pendidikan, tidak
mungkin akan terwujud apabila kondisi sekolah dan
masyarakat serta kondisi manajerial pendidikan dan
penyelenggaraan pendidikan tidak memberikan nuansa
yang kondusif.
Dalam realitas dunia pendidikan, kondisi sekolah
yang lebih terkendali lebih mudah diciptakan daripada
kondisi masyarakat. Masyarakat luas lebih berkedudukan
sebagai panggung pentas perilaku anggota masyarakat,
daripada menjadi media terstruktur pendidikan anak.
Namun demikian, di dalam masyarakat yang kedudukan-
nya sebagai panggung pentas pribadi dan prilaku bahkan
budaya anggota masyarakat itu juga akan dijadikan
referensi bagi peserta didik yang masih dalam taraf
pertumbuhan dan perkembangannya.

 173 
Nurhilaliati

Di pihak lain, pemberian kewenangan yang lebih besar


pada pelaksana pendidikan sangat dibutuhkan, agar
pendidikan yang berwawasan humanis dapat diwujudkan
melalui program pendidikan yang terstruktur. Agar
pemikiran ini dapat terwujud, maka diisyaratkan ada
tanggungjawab para pelaksana pendidikan. Hal ini berarti
dibutuhkan kesiapan dari para pelaksana pendidikan atas
pemberian kewenangan pelaksanaan pendidikan ini,
sehingga kewenangan yang diberikan kepadanya tidak
disalahgunakan.
Kondisi pendidikan seperti yang dilukiskan di atas,
akan terwujud apabila diciptakan deregulasi pendidikan
yang bersifat akomodatif bagi masyarakat yang majemuk.
Karena deregulasi pendidikan akan melahirkan manajemen
pendidikan yang mengakomodasikan terwujudnya
fleksibilitas dan bukan rigiditas penyelenggaraan pen-
didikan. Oleh karena itu maka segala bentuk manajemen
pendidikan yang mengakibatkan terjadinya rigiditas dalam
penyelenggaraan pendidikan harus dihindari, karena ini
merupakan sesuatu yang tidak humanis. Manajemen
pendidikan yang membatasi kreativitas para penyeleng-
gara pendidikan adalah pemandulan, yang akhirnya akan
melahirkan primordialisme pendidikan itu sendiri.

 174 
BAB V
Kesimpulan

Pendidikan Islam yang secara normatif-teologis


berlandaskan al-Qur'an dan secara historis kultural
berlandaskan kepada pemekaran pemahaman dan
erpretasi terhadap al-Qur'an. Oleh karenanya, al-Qur'an
memiliki pandangan yang sangat revolusioner tentang
manusia, yaitu perutusan manusia di bumi adalah dengan
mengemban amanah dan tugas sebagai khalifah dan 'abd,
Allah, yang tujuan penciptaannya untuk memakmurkan
bumi dan segala isinya. Untuk itu, manusia dipandang
sebagai makhluk yang memiliki kapasitas fisik dan psikis
yang memiliki fitrah atau potensi baik, yang telah dialiri
citarasa ketuhanan. Konsep yang dikembangkan dari
konsep al-asma‟ al-husna ini membawa konsekuensi bahwa

 175 
Nurhilaliati

manusia bisa dan diharapkan dapat melakukan sifat-sifat


seperti yang digambarkan dalam al-asma al-husna tersebut
meskipun sebatas titik optimal kemampuannya sebagai
manusia.
Potensi yang dimiliki manusia tersebut bisa
berkembang ke arah positif dan juga ke arah negatif. Dan
ini sangat tergantung dari bagaimana model pendidikan
yang ditawarkan untuk membentuk, mendidik, dan
mengarahkan potensi tersebut. Pendidikan Islam
berkeyakinan bahwa manusia memiliki kewajiban untuk
mengembangkan potensinya yang positif dan hendaknya
dapat menekan potensi negatif hingga pada taraf paling
minimal. Oleh karena itu, model pendidikan yang
dilaksanakan adalah pendidikan yang tidak keluar dari
batas-batas fitrah yang ada dalam diri manusia, yang
dilaksanakan secara demokratis dan dialogis.
Psikologi Humanistik juga berpandangan bahwa
dalam diri manusia terdapat potensi-potensi yang baik,
atau setidaknya, yang baik lebih mendominasi yang negatif.
Potensi yang dimiliki manusia tersebut merupakan gejala
kejiwaan yang hanya terdapat pada manusia, tidak dimiliki
oleh makhluk lain, dan juga bukan merupakan pancaran
dari sifat-sifat Tuhan. Manusia adalah makhluk bebas
sepenuhnya. Bahkan dialah yang akan menentukan segala
kehidupannya, dia dianggap memiliki kemampuan
menjalankan play-God. Satu hal yang bisa mengarah ke arah

 176 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

positif, karena sangat menghargai kemampuan manusia,


namun akan banyak memberi kesempatan berkembangnya
ke arah negatif, karena manusia akan menjadi congkak dan
menganggap dialah penentu tunggal perjalanan kehidupan
dunia. Dalam kata lain, manusia adalah kesatuan jiwa-raga-
rohani secara integral dan ia mengada dan menyadari
penuh keberadaannya. Oleh karena itu, ia memiliki
otoritas atas kehidupannya, selama hal itu sesuai dengan
nilai luhur manusiawi.
Ketika kedua disiplin ilmu ini didialogkan, dalam
pandangannya tentang potensi manusia, maka akan
diperoleh aspek koheren sekaligus inkoheren, yaitu dalam
aspek potensi dasar manusia, aspek model pendidikan
yang dapat digunakan sebagai sarana aktualisasi potensi
manusia, serta sasaran atau orientasi masing-masing. Pada
model pendidikan yang ingin dikembangkan, keduanya
sepakat dengan pendidikan yang dapat mengoptimalkan
potensi-potensi yang dimiliki dan masih potensial dalam
diri manusia dan diarahkan kepada pendidikan yang meng-
utamakan kebebasan peserta didik, yang dilaksanakan
secara demokratis dan dialogis. Namun benang merah
antara keduanya akan terputus ketika sampai pada model
atau konsep kebebasan yang ingin dikembangkan pada
pesera didik. Pendidikan Islam ingin menciptakan iklim
kebebasan peserta didik, namun kebebasan tersebut
dilihat dalam relasinya secara universal dengan keseluruhan

 177 
Nurhilaliati

lingkungannya dan itu diyakini akan dipertanggungjawab-


kan di hadapan sang pencipta. Sementara Psikologi
Humanistik menanamkan kebebasan mutlak, dalam artian
meskipun akan dipertanggungjawabkan, namun itu
terbatas hanya pada sesama manusia saja, tidak ada
orientasi 'futuristik'. Peserta didik diberikan kesempatan
memilih dan dibiarkan membuat keputusan sendiri.
Namun gagasan tentang pemberian kebebasan yang lebih
luas dalam pendidikan harus diimbangi dengan kaharusan
mengajarkan disiplin, serta sikap menghargai orang lain,
dan juga mengajarkan sistem nilai.
Berangkat dari uraian di atas, maka dapat diketahui
bahwa orientasi masing-masing disiplin tersebut berbeda.
Pendidikan Islam, yang sebenarnya secara normatif-
teologis menghargai dan menjunjung tinggi martabat
kemanusiaan, namun dalam perkembangan historisnya
direduksi menjadi cenderung teosentris. Sedangkan
Psikologi Humanistik cenderung pada antroposentris.
Kedua kecenderungan tersebut apabila dibiarkan berjalan
sendiri-sendiri, akan mengalami kepincangan. Karena itu
sangat baik apabila keduanya saling memasuki dan
melengkapi, yaitu Pendidikan Islam di samping mematang-
kan teosentrismenya, dia juga harus menyadari bahwa,
Islam juga mengajarkan menghormati manusia, sehingga
diperlukan banyak pengkajian ulang. Oleh karena itu.
Pendidikan Islam perlu mengembangkan konsep Teosentris-

 178 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Humanistik. Demikian juga dengan Psikologi Humanistik,


supaya orientasi antroposentris tidak berkembang secara
liar dan sewenang-wenang, alangkah baiknya jika konsep
ini dikaitkan juga dengan konsep teosentris, sehingga
terwujud manusia teosentris. Dan pada akhirnya masing-
masing akan merupakan konsep yang harmonis dan tidak
berjalan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, Psikologi
Humanistik perlu mengembangkan konsep Humanistik-
Teosentris.
Dalam pengembangan Pendidikan Islam ke depan,
di samping berpegang kepada orientasi teosentris,
hendaknya juga memperhatikan orientasi antroposentris,
yang ketika diaplikasikan dalam Pendidikan Islam, dapat
dilaksanakan dalam bentuk, antara lain pendidikan yang
memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk
menentukan langkah sesuai dengan kebutuhannya,
mengembangkan pendidikan yang mengarah kepada
discovery dan inquiry, dan guru hendaknya hanya menempat-
kan diri sebagai fasilitator.

 179 
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. Abdurrahman Saleh, 1990, Teori Pendidikan


Menurut Al-Qur'an, terjemahan H.M. Arifin &
Zaenuddin, Jakarta: Rincka Cipta.
al-Abrasy. Muhammad Athiyah, 1974, Dasar-dasar Pokok
Pendidikan Islam, terjemahan Bustami A. Gani &
Djohar Bahri, Jakarta: Bulan Bintang.
Achmadi, 1992, Islam sebagai Paradigma Pendidikan Islam,
Yogyakarta: Aditya Media.
Allport. G.W., 1937, Personality: A Pychological Interpretation,
New York: Holt.
------------, G.W., 1961, Pattern and Growth in Personality,
New York: Holt, Rinehart & Winston.
Amin, Ahmad, 1965, Fajr al-Islanm, Kairo: an-Nahdah.
Ancok, Djamaluddin, & Fuad Nashari Suroso, 1995.
Psikologi Islami: Solusi Atas Problem-Problem
Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anshari, Endang Syaefuddin, 1980, Kuliah Islam, Bandung:
Pustaka Salman ITB.
Arifin, H.M., 1984, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara.
------------, 1993, Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan
Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner,
Jakarta: Bumi Aksara.

 180 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Arifin, Mujayin, Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika


Masyarakat: Suatu Pendekatan Filosofis, Pedagogis,
Psikososial, dan Kultural, tk: Golden Trayon Press;
tt.
al-Asfahâny, Ar-Ragib, Mu'jam al-Mufradât li al-Alfáz al-
Qurân, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.
Ashrof, Ali, 1993, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta:
Pustaka Firdaus.
------------, Ali & Sajjad Husain, 1979, Crisis in Muslim
Education, Jeddah: Hodder and Stoughton King
Abdul Aziz.
Asy'arie, Musa, 1992, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam
al-Qur'an, Yogyakarta: LSFI.
al-Attas, Syed Muhammad Naquib, 1979, Aims and
Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul
Aziz University.
Averch, Harvey A., 1974, How Effective Is Schooling, A
Critical Review of Research, New Jersey:
Educational Technology Publications
Englewood Cliffs.
B., Suryosubroto, 1992, Beberapa Aspek Dasar Kependidikan,
Jakarta: Bina Aksara.
Bagus, Lorens, 1991, Metafisika, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Bakker, Anton, 1992, Ontologi (Metafisika Umum),
Yogyakarta: Kanisius.

 181 
Nurhilaliati

al-Bâqy, Muhammad Fuâd, 1987, Mu'jam al-Mufahras li al-


Alfaz al Qur'án al-Karîm, Beirut: Dâr al-Fikr.
Barnadib, Imam, 1988, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode,
Yogyakarta: Andi offset.
Barnes, Jonathan, 1946, “Life and Work”, dalam Jonathan
Barnes, ed., The Cambridge Companion of Aristotle,
Cambridge: Cambridge University Press.
Bartens, K., 1987, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta:
Kanisius.
Bastaman, Hanna Djumhana, 1992, “Corak Filosofis
Psikologi yang Islami”, dalam Ulumul Qur'an,
Vol. III, No. 4.
------------, 1996, “Dari Anthroposentris ke Anthropo-
Religiosus-Sentris: Telaah Kritis atas Psikologi
humanistik”, dalam Fuat Nashari (ed.),
Membangun Paradigma Psikologi Islami, Yogyakarta:
Sipress.
------------, 1997, Integrasi Psikologi dengan Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Benjafield, John G., A History of Psychology, tk.: tp, t.
Boisard, Marcel A., 1980, Humanisme dalam 1slam.
terjemahan H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang.
Brubacher, John S., 1981, Modern Philosophbies of Education,
Fourth Education, New Delhi: Tata McGraw-Hill
Publishing Company LTD.

 182 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Capleston, Frederick, S.J, 1946, A History of Philosoplry, Vol.


I, London: Search Press.
Chalil, Munawwar, 1958, Tafsir Hidayaturrahman, Solo: AB
Siti Syamsiah.
Copleston, Frederick, 1963, A History of Philosopby,
London: Search Press.
Darajat, Zakiah, 1992, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara.
Darwis, Djamaluddin, 1996, “Manusia menurut Pandangan
al-Qur'an”, dalam H.M. Chabib Thoha, Priyono,
dan F. Syukur, ed., Reformulasi Pendidikan Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan FT. IAIN
Walisongo.
Dewcy, John, 1946, Democracy and Education, New York:
The Macmillan Company.
Djohar, 1998, “Pembangunan Pendidikan Berwawasan
Kemanusiaan”, dalam Media Inovasi, No. I TH.
TIIA
Dayarkara, 1978, Percikan Filsafat, Jakarta: Pembangunan.
Eggen, Paul & Don Kauchak, 1997, Educational
Psycholgy, Windows on Classroom, New Jerscy:
Prentice-Hall Inc.
al-Faruki, Ismail Raji, 1984, Islam dan Kebudayaan, Bandung:
Mizan.
al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, 1984, terjemahan Ismail
Yakub, tk.: Faizan.

 183 
Nurhilaliati

Goble, Frank. G., 1998, Mazhab Ketiga, terjemahan


Supratinya, Yogyakarta: Kanisius.
Goleman, Daniel, 1996, Kecerdasan Emosional, T. Hermaya,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Groeben, N., 1994, “Humanistic Models of Human
Development”, dalam Torsten Husen & T.
Neville Postlethwaite (eds), The Encyclopedia
Education, USA: Elsevier Science Inc., Vol. 5.
Guilfrod, J.P., 1994, “Humanistic Psikology”, dalam
Raymond J. Corsini, ed., Encyclopedia of Psikology,
New York: John Wiley & Sons, Vol.II.
Hadi, P. Hardono, 1994, Epistemologi, Yogyakarta:
Kanisius.
Hall, Calvin, S., 1980, A Primer of Freudian Psyhology,
terjemahan S. Tasrif, Jakarta, PT Pembangunan.
------------, Calvin S., & Gardner Lindzey, 1978, Theories of
Personality, New York: John Wiley & Sons.
Izutsu, Toshihiko, 1997, God and Man in the Koran: Semantics
of the Koranic Weltanshcaung, terjemahan Agus
Fachri Husein dkk (Relasi Tuhan dan Manusia),
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Jalal, Abdul Fattah, 1977, Min Usul al-Tarbawiyah fi al-
Islamiyah, Mesir: Dar al-kutub.
Jalaluddin & Abdullah idi, 1997, Filsafat Pendidikan, Jakarta:
Gaya Media Pratama.

 184 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Al-Jamali, Fadhil, 1986, Filsafat Pendidikan dalam al-Qur'an,


terjemahan Judi al-Falasany, Surabaya: Bina
Ilmu.
Karim, Ruslim, 1987, “Hakekat Pendidikan Islam Sebagai
Upaya Pembebasan Manusia”, dalam Ahmad
Busyairi dan Azharuddin Sahil, Tantangan
Pendidikan Islam, Yogyakarta, LPM UII.
Kartono, Kartini & Dali Gulo, 1987, Kamus Psikologi,
Bandung: Pionir Jaya.
Kattsoff, Louis O., 1989, Element of Philosophy, terjemahan
Soejono Soematgono, Yogyakarta: Bayu Indra
Grafika.
Kendler, Howard H., 1987, Historical Foundations of Modern
Psychology, Chicago: The Dorsey Press.
Langgulung, Hasan, 1995, Beberapa Pemikiran tentang
Kependidikan Islam, Bandung: al-Ma'arif.
------------, 1989, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa
Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-
Husna.
Leahy, Louis, 1993, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis
tentang Makhluk Paradoksal, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Leenhouwers, P., 1970, Manusia dalam Lingkungannya,
terjemahan K.J. Veeger, Jakarta: Gramedia.
Lodge, Rupert C., 1947, Philosophy of Education, New York:
Harer & Brothers.

 185 
Nurhilaliati

Lonergan, B.I., 1970, Insight, Darton: Longman & Todd.


Lundin, R.W., 1994, “C.R. Rogers”, dalam Raymond J.
Corsini, ed., Encyclopedia of Psychology, New York:
John Wiley & Sons, Vol. IV.
Madjid, Nurcholish, 1992, Islam Dokirin dan Peradaban,
Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Mahjub, Abbas, 1987, Usûl al-Fikr al-Tarbawi fi al-Islâm,
Beirut: Dar al-Ibnu Katsir.
Manickanamparambil, John Marius, 1989, “Meeting of
Humanistic and Religious Goals in Theory of
Growth Orientation of Carl Rogers”, dalam
Journal of Dharma, No. 14.
Manzur, Ibnu, 1968, Lisan al-Arab, Mesir: Dar al-Misriyah.
al-Maraghi, Mustafa, 1987, Mustafa al-Maraghi, terjemahan
Anshari Umar Sitanggal, dkk, Semarang: Toha
Putra.
Marimba, Ahmad D., 1989, Pengantar Filsafat Pendidikan
Islam, Bandung: Al-Ma'arif.
Marx, Melvin H., 1976, Introduction to Psychology, New York:
Macmillan Publishing Co., Inc.
Maslow, Abraham, 1982, The Farther Reachers of Human
Nature, Harmondsworth: Penguin Books.
------------, Abraham, 1969, Toward Psychological Being, New
York: VNR, Comp.
Muhadjir, Noeng, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif,
Yogyakarta: Rake Sarasin Press.

 186 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

------------, Noeng, 1987, Ilmu Pendidikan dan Perubahan


Sosial: Suatu Teori Pendidikan, Yogyakarta: Rake
Sarasin.
Muhaimin & Abdul Mujib, 1993, Pemikiran Pendidikan
Islam: Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar
Operasionalisasinya, Bandung: Trigenda Karya.
Munawir, Ahmad Warson, 1984, Kamus al-Munawwir,
Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir.
An-Nahlawy, Abdurrahman, 1979, Ushúl at-Tarbiyah al-
Islámiyyah wa Asálíbuhá, Beirut: Dâr al-Fikr.
Nasr, Seyyed Hosein, 1975, Ideal and Realities of Islam,
London: George Allen & Unwin Ltd.
Nasution, Harun, 1989, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, Jakarta : UI Press.
Nata, Abuddin, 1997, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
Parangimalil, Bastian J., 1985, “Maslow's Holistic
Psychology and Humanistic Religion”, dalam
Journal of Dharma, No. 10.
Rachman, Budhy Munawar, 1994, “Situasi Eksistensial dan
Realisasi Diri: Psikoanalisis Pasca Freudian
dan Masalah Spiritual”, dalam Fuad Nashari,
ed., Membangun Paradigma Psikologi Islami,
Yogyakarta: SIPRESS.
Rahman, Fazlur, 1967, “The Qur'anic oncept of God, the
Universe, and Man”, dalam Islamic Studies,
Maret.

 187 
Nurhilaliati

------------, Fazlur, 1979, Islam, Chicago: University of


Chicago Press.
Rahmat, Jalaluddin, 1995, “Konsep-konsep Antropologis”,
dalam Budhy Munawar Rahman, ed.,
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah,
Jakarta: Paramadina.
Raymond, Menye Menye, 1989, “Exsperience of
Nothingness: A Form of Humanistic Religious
Experience”, dalam Jurnal of Dharma, No. 14.
Rogers, Carl, 1965, Client-Centered Therapy; Its Current
Practice, Implicatio, and Theory, Boston Dsl.:
Houghton Mifflin Co.
------------, Carl, 1969, Freedom to Learn, Columbus: Charles
E. Merril Publishing Company.
Rowe, William L, 1993, Philosophy of Religion, Belmont,
California: Wadsworth Publishing Company.
Russel, Bertrand, 1961, History of Western Philosopby,
London: George Allen & Unwin LTD.
Saefuddin, A.M., et.al., 1991, Desekularisasi Pemikiran,
Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan.
Sardar, Ziauddin dan Merryl Wyn Davies, 1992, Faces of
Islam: Conservation on Contempoerary Issues,
terjemahan A.E. Priyono dan Ade Armando,
Bandung: Mizan.

 188 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Sastraprateja, M., 1998, “Pembangunan Pendidikan


Berwawasan Kemanusiaan”, dalam Jurnal Media
Inovasi No. I TH.VIII.
Schultz, Duane, 1975, A History of Modern Psychology, New
York: Academic Press.
Shaffer, John Bp., 1978, Humanistic Psychologhy, USA:
Prentice Hall.
Shapiro, Lawrence E., 1997, Mengjarkan Emosi Intelligence
Pada Anak, terjemahan Alex Tri Kantjono,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Shihab, M. Quraish, 1994, “Manusia dalam Pandangan al-
Qur'an”, Makalah pada Simposium Nasional
Psikologi Islami pada Fakultas Psikologi UMS
Surakarta.
------------, M. Quraisy, 1992, Membumikan al-Qur'an, Fungsi
dan Peran Wabyu dalam Kebidupan Masyarakat,
Bandung: Mizan.
------------, M. Quraish, 1997, Wawasan al-Qur'an, Bandung:
Mizan.
Skinner, B.F., 1967, About Behaviorism, New York: Vintage
Book.
Surana, Dedih, 1997, “Perilaku dalam Perspektif
Psikoanalisa, Behaviorisme, dan Psikologi
Humanistik: Telaah Psikologi Islami”, Tesis
Magister, Yokyakarta: PPS IAIN Sunan Kalijaga.

 189 
Nurhilaliati

Sukadji, Soetarlinah, 1984, “Pengaruh Penataran


Pengembangan Pribadi Guru untuk
Meningkatkan Komponen Afektif Proses
Mengajar Belajar terhadap Prestasi Belajar
Murid di Sekolah Dasar Pedesaan”, Disertasi
Doktor, Yogyakarta: UGM.
Suryasubrata, Sumadi, 1995, Psikologi Pendidikan, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
as-Syaebany, Omar Muhammad at-Thoumy, 1979, Falsafah
at-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, terjemahan. Jakarta:
Bulan Bintang.
al-syahrastani, Abu al-Fath Muhammad, al-Milâl wa al-
Nihâl, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Syam, Mohammad Noor, 1988, Filsafat Pendidikan dan
Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya:
Usaha Nasional.
Tafsir, Ahmad, 1994, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
Bandung: Remaja Rosda Karya.
at-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi, 1957, Dirásah fî al-
Falsafah al-Islâmîyah, Mesir: Maktabah al-Qohirah
al-Hadisah.
Taryadi, Alfons, 1991, Epistemologi Pemecaban Masalah
Menurut Karl Popper, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Tim Dosen IKIP Malang, 1981, Pengantar Dasar
Kependidikan, Malang: IKIP.

 190 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Trucblood, David Elton, 1957, Philosophy of Relgjon, New


York: Harper & Brothers.
Quthb, Muhammad, 1984, Sistem Pendidikan Islam,
terjemahan Salman Harun, Bandung: PT. al-
Maarif.
Vernon, P.E., 1994, “Gordon Willard Allport”, dalam
Raymond J. Corsini ed., Encyclopedia of Psychology,
New York: John Wiley & Sons, Vol.
Warid, Achmad, 1996, “Pendidikan Pembebasan Kajian
Konsep-konsep Kependidikan dalam Islam”,
Tesis Magister, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,
Witdarmono, H., 1993, “Dimensi Transendensi Manusia”,
dalarn FX. Mudji Sutrisno ed., Manusia dalam
Pijar-pijar Kekayaan Dimensinya, Yogyakarta:
Kanisius.

 191 
Nurhilaliati

Indeks

A B
„Abd, 138, 139, 141, 142, 150, 175 Al-Baldah, 20
Al-Aql, 14 Bashar, 39, 40, 43, 44, 45
Al-Abrasyi, 80 Bastaman, 144, 148, 157
Al-Abshar, 14 Al-Bayt, 20
Abstraksi, 152 Beauty, 99
Active-role, 122 Behaviorisme, 5, 85, 88, 91, 92,
Afektif, 129, 130, 133 96, 98, 99
Akal, 4, 14, 23, 30, 50, 54, 61, 62, Being-values 99
63, 64, 65, 71, 72, 82, 86, 88, Belajar, 23, 68, 89, 126, 127, 128,
139, 140, 154 129, 130, 131, 132, 133, 134,
Aliveness, 99 135, 152, 163, 167, 168, 169,
Amanah, 15, 41, 42, 43, 46, 48, 74, 170, 171
139 Bi-dimensional, 70, 139
Amerika, 84, 93
Antroposentris, 153, 154, 156, C
157, 178, 179 Client-Centered Therapy, 97, 103,
Al-Asma' al-Husna, 15, 75 126,
Attitude, 94 Completion, 100
Confluent education, 129
Culture shock, 76

 192 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Curiosity, 81 Guru, 124, 126, 131, 135, 152,


163, 170, 171, 172
D
H
Darwin 86
Determinisme 80, 115 Habits, 19, 89
Dichotomy-trandcendence 99 Homo edukandum, 76
Diskoveri, 163, 172, 173 Human potential movement, 98
Humanistik-Teosentris, 179
E
Effordlessness, 100 I
Ego, 87 Idealisme, 146
Eksistensi, 1, 72, 107, 108, 114, Ideal-self, 121, 148
145,146, 148, 152, 155, 156 Idiografhic, 93
Emosi, 47, 129, 135, 152, 166 Ilmuan, 83, 161
Esensi, 145 Imajinasi, 153
Exstrinsic learning, 127 Imanen, 138
Individu, 6, 23, 25, 28, 67, 87,92,
F 93,94, 96, 97, 1 05,1 20, 121,
Al-Falaq 20 134, 135, 138, 145,150, 152,
Fasilitator, 126, 128, 131, 179 162, 167, 168, 169
Filsafat, 12, 31, 32, 33, 34, 35, 36, Inkoheren, 137, 177
37, 83, 88 Inquiri, 172, 173
Fitrah, 8, 13, 29, 30, 31, 43, 50, 51, Insan, 41
52, 53, 54, 55, 56, 57, 68, 70, Insan, 39, 40, 41, 42, 43
72, 77, 78, 79, 149, 160, 175 Intelektual, 21, 28, 29, 33, 71, 73,
Freud 84, 85, 86, 87, 97 90, 129, 173
Futuristik, 178 Interpersonal, 107, 127
Intuitif, 94
G
Galileo, 83 J
Gestalt, 92 Jabariah, 66
Al-Gharizah, 54 James, 93
Al-Ghazali, 58, 80 Jasmaniah, 2, 59, 70, 71, 82, 150
Goodness, 99 Justice, 100

 193 
Nurhilaliati

Meaningfulness, 100
Mikrokosmos, 142
Morally unfinished, 71
Mujbar, 65, 67
K Mukhayyar, 45
Kalam, 45, Multi-interest, 157
Kebebasan, 5, 6, 16, 50,65, 66, 67, Al-Munázallah, 54
68, 72, 78, 82, 92, 98, 102, Murphy, 90
104, 109, 110, 111, 112, 113, Murray, 90
114, 115,116, 131, 149, 177,
178, 179 N
Keluarga, 51, 163, 170 Al-Nafs, 58
Khalifah, 4, 27, 30, 41, 46, 52,67, Nazar, 41
73,138, 139, 142 Necessity, 100
Al-Khaliq, 75, 139, 152 Newton, 83
Kitab Injil, 59 Nomotheuc, 93
Kognitif, 129, 130, 132, 133 Non-directive, 133
Koheren, 137, 177 Normatif-teologis, 175, 178
Kurikulum, 31, 35, 79, 124, 125,
161 O
Order, 100
L Otonomi, 133, 144, 151
Langeleveld, 80
Langgulung, 12, 17, 28, 49, 50, 55, P
80 Pacdagogik, 2
Passive role, 122
M
Pavlov, 88
Ma'rifatullah, 54 Peak experience, 128
Al-Maghrib, 20 Pendidik, 20, 24, 36, 80, 123, 162
Makrokosmos, 142 Pendidikan Islam 1,3,4,7, 8, 9,
Maslow, 12, 17, 84, 90, 91, 98, 99, 10,11,12, 15, 16, 18, 19, 23,
100, 101, 103, 107, 108, 109, 25, 26, 27, 28, 30, 31, 32, 35,
113, 127, 134 36, 37,38, 67, 69, 80
Materialisme, 146

 194 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

Perasaan, 15, 28, 33, 61, 125, 129, Richness, 100


130 Rogers 12, 90, 95, 96, 97, 103,
Perfection, 99 120, 122, 124, 126, 128, 130,
Person-centered approach, 133 131, 133
Personal development, 81
Peserta didik, 22, 24, 31, 67, 78, Rohaniah, 49, 61, 63, 70, 71, 72,
80, 81, 123, 124, 125, 126, 82, 150, 151
127, 128, 129, 130, 131, 132, Rüh, 58, 61
133, 134, 135, 138, 151, 152,
162, 163, 164, 165, 169, 171, S
173, 177, 178, 179 Al-Sam'u, 13
Play-fulness, 100 Sama', 45
Play-God, 7, 154, 176 As-Sams, 13
Predisposisi, 42, 43, 45 Self-actualization, 133, 143, 151
Primordialisme, 174 Self concept, 96
Psikoanalisis, 5, 85, 88, 91, 92, 98, Self-control, 133
99 Self-cvaluation, 133
Psikologi Eksperimental, 84 Self-image, 121
Psikologi Humanistik, 5, 6, 7,8,9, Self-initiations, 133
10,11, 12, 16, 83, 84, 90, 91, Self-sufficiency, 100
93,96, 98, 104, 109, 123, 124, Simplicity, 100
132, 133, 134, 136, 176, 178, Sintesis, 11, 38, 152
179 Skinner, 88
Spiritual, 28, 29, 40, 41, 61, 64, 71,
Q 73, 74, 75, 106, 109, 144, 150,
Qadariah, 66 156, 160
Al-Qalb, 14 Stimulus, 89, 97
Al-Quds, 59 Super-ego, 87
Syari'ah, 23, 142
R
Rabb, 19, 20, 155 T
Rasional diri, 28 Ta'dib, 18
Real-self, 121 Ta'lim, 18
Respondent, 89 Tarbiyah, 18, 9, 20, 21,22, 23
Responsibilitas, 132, 133, 151 Tekstual, 46, 168, 169

 195 
Nurhilaliati

Teolog, 83 Unas, 40
Teori al-Fadilah, 80, 81 Uniqueness, 99
Teosentris, 156, 157, 178, 179 Unity, 99
Teosentris-Humanistik, 178
The Growing Tip, 99 W
Transendensi, 104, 106, 1 16, 117, Watson, 84, 88
118, 119, 120, 138, 139 Wundt, 83
Truth, 99
Tut Wuri Handayani, 163, 171

 196 
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik:...

BIODATA PENULIS

Nurhilaliati, lahir di Dompu sebuah kota kecil di


Provinsi NTB pada 8 Februari 1973. Pendidikan
Madrasah Ibtida'iyah (1985) dan Madrasah Tsanawiyah
(1988); kemudian merantau ke Kota Bima untuk
melanjutkan ke Pendidikan Guru Agama (1991). Pendidik-
an Tinggi ditempuh di Fakultas Tarbiyah Mataram IAIN
Sunan Ampel yang diselesaikan tahun 1996. Pada tahun
1997 melanjutkan studi di Program Pascasarjana IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta Konsentrasi Pemikiran
Pendidikan Islam, selesai tahun 1999. Tahun 2000 sampai
sekarang diangkat menjadi Dosen Tetap pada Jurusan
Tarbiyah STAIN Mataram (IAIN Mataram sekarang),
sebagai pengampu Mata Kuliah Ilmu Pendidikan Islam.
Menikah dengan Muhammad Salahuddin M.Ag, M.Pd.
2003 dan dikaruniai dua anak: Ahmad Dzaky Syujja
(2004) dan Ahmad Javid Lavida (2009). Semasa menjadi

 197 
Nurhilaliati

mahasiswa merupakan penulis aktif pada harian lokal Suara


Nusa (Lombok Post sekarang). Beberapa penelitian
yang pernah dilakukan: (1) Dampak Poligami terhadap
Pendidikan Anak di Kecamatan Sakra Lombok Timur (2)
Implikasi Konsep EQ dalam Kurikulum SD Kelas I (3)
Kekerasan terhadap Anak di Dunia Pendidikan (Studi di
Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri) (4) Implementasi
Konsep Madrasah Unggulan di MAN 2 Mataram (5)
Pendidikan al-Qur'an di Kota Dompu (6) Dialog
Pendidikan Islam dan Psikologi Humanistik tentang
Potensi Manusia. Tulisan di jurnal: (1) Gender dan
Seksualitas (2) Menyoal Kesetaraan Gender (3)
Membangun Budaya Sensitif Gender di Madrasah (4)
Pengaruh Pemahaman Keagamaan dan Dunia Pendidikan
pada Kekerasan terhadap Perempuan. “Perempuan dan
Mahar” dalam Team PSW IAIN Mataram, Membangun
Relasi Menolak. Subordinasi. Tahun 2007 pernah mengikuti
Short Course Teacher and Librarianship di McGill University.
Selama tahun 2007-2009 merupakan trainer dan
pendamping pada kegiatan LAPIS ELOIS kerjasama
dengan PSW IAIN Mataram. Penulis juga merupakan
salah satu penyunting Jurnal Tatsqif Fakultas Tarbiyah dan
Jurnal Ulumuna IAIN Mataram.

 198 

Anda mungkin juga menyukai