Anda di halaman 1dari 120

http://www.kalbefarma.

com/cdk
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
Daftar isi :
2. Editorial
4. English Summary
Artikel
5. Kesehatan Jiwa (Mental Health) di Kehidupan Modern – Kusumanto
Setyonegoro
8. Diagnosis dan Penatalaksanaan Depresi Pascastroke – Nurmiati Amir
14. Gangguan Fungsi atau Perilaku Seksual dan Penanggulangannya –
LS.Chandra
19. Antidepresan Pemicu Disfungsi Seksual – Myrna Yustina
21. Penanganan Psikologik pada Obesitas – Sylvia D. Elvira
24. Diagnosis dan Penatalaksanaan Gangguan Asperger – Theresia Kaunang
32. Aspek Klinik dan Farmakoterapi Anak dengan Gangguan Pemusatan
Perhatian / Hiperaktivitas – Yusuf Alam Romadhon
38. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyalahgunaan NAPZA
(Narkotika, Psikotropika & Zat Adiktif) di Kalangan Siswa SMU –
Raharni, Max J. Herman
44. Pengaruh Pendedahan Morfin terhadap Perilaku Masa Prasapih Mencit
(Mus musculus) Swiss-Webster – Dewi Peti Virgianti,Hana Apsari
Pawestri
49. Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam Konteks Sosial Budaya – Sunanti
Z. Soejoeti
53. Respon Terapi Tamoxifen pada Kanker Payudara Lanjut Lokal dengan
Reseptor Estrogen, Reseptor Progesteron dan Mr 29.000 Positif – Azamris
57. L-Ornitin-L-Aspartat (LOLA) Menghindari Blebbing akibat Keracunan Etanol
pada Hepatosit – Nelson Simanungkalit Pospos
60. Beberapa Temuan yang tak lazim (aneh) selama Bekerja Meneliti Susunan
Kimia Batu Ginjal – Oen Liang Hie
62. Produk Baru
63. Kegiatan Ilmiah
65. Abstrak
66. Indeks Karangan tahun 2005
68. RPPIK

149.
Kesehatan Jiwa
Faces of emotion.
http. www.kalbefarma.com/cdk
ISSN : 0125 –913X
149
Kesehatan Jiwa
2005

2005
Keterangan gambar :
Faces of emotion. www.altavista.com

EDITORIAL
Dalam kehidupan modern ini makin banyak masalah yang memerlukan
adaptasi, yang mekanismenya mungkin masih sama dengan
mekanisme adaptasi manusia di zaman purbakala berupa fight or flight
mechanism; yang tidak lagi selalu cocok dengan situasi masyarakat
saat ini. Hal tersebut akan menambah stres dan menimbulkan berbagai
reaksi tubuh/fisik.
Selain itu perkembangan farmakoterapi psikiatrik telah jauh berkembang,
meninggalkan bentuk terapi fisik seperti ECT, sesuai dengan
perkembangan teori biologik/neurotransmiter; di lain pihak penggunaan
zat tertentu justru menyebabkan gangguan psikiatrik.
Hal-hal tersebut akan dibahas dalam terbitan Cermin Dunia
Kedokteran edisi ini, sehingga dapat menambah wawasan bahwa
kelainan psikiatrik/psikologik tidaklah semata-mata gangguan psikotik/
skizofrenik saja.
Akhirnya, di edisi terakhir tahun 2005 ini redaksi mengucapkan
Selamat Hari Raya Idul Fitri, Selamat Hari Natal dan Tahun Baru
2006, semoga tahun mendatang kurang menyebabkan stres bagi
sejawat sekalian.
Redaksi
2 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
2005
International Standard Serial Number: 0125 - 913X
KETUA PENGARAH
Prof. Dr. Oen L.H. MSc
REDAKSI KEHORMATAN
PEMIMPIN UMUM
Dr. Erik Tapan
KETUA PENYUNTING
Dr. Budi Riyanto W.
- Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo
Staf Ahli Menteri Kesehatan
Departemen Kesehatan RI
Jakarta
- Prof. Dr. R Budhi Darmojo
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Semarang
PELAKSANA
- Sriwidodo WS.
-
-
TATA USAHA
- Dodi Sumarna
- E. Nurtirtayasa
Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM,
MScD, PhD.
Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia, Jakarta
Prof. DR. Hendro Kusnoto, Drg, SpOrt.
Laboratorium Ortodonti
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti
Jakarta
ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval
Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta
10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171
E-mail : cdk@kalbe.co.id
http: //www.kalbefarma.com/cdk
- DR. Arini Setiawati
Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta
NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
DEWAN REDAKSI
PENERBIT
Grup PT. Kalbe Farma Tbk.
-
-
PENCETAK
PT. Temprint
Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D
Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto
Zahir MSc.
http://www.kalbefarma.com/cdk
PETUNJUK UNTUK PENULIS
Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang
tersebut.
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan
dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama,
tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang
berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai
dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca
yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik jika disertai juga dengan abstrak
dalam bahasa Inggris. Jika tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan kirinya, lebih
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam
bentuk disket program MS Word. Nama (para) pengarang ditulis lengkap,
disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/
grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta
hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan
pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah
dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar.
Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam
naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/
atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals
(Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).
Contoh :
1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London:
William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology:
Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.
3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10.
Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung
Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O.
Box 3117 JKT. Tlp. (021) 4208171. E-mail : cdk@kalbe.co.id
Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
secara tertulis.
Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan
tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja
si penulis.

English Summary
MENTAL HEALTH IN MODERN LIFE
Kusumanto Setyonegoro
Professor in Psychiatry,
Darmawangsa Hospital, Jakarta,
Indonesia
Modern living may generate
many frustrations felt as intense
individual stress. It may be caused
by - among others:
1. Personal failure or inferiority
feeling
2. Personal losses : human life as
well as material losses
3. Unfavorable personal comparisons
4. Personal limitations : physical,
intellectual or intelligence
5. Personal feelings of guilt
These conflicts of modern life
can be severe and the individual
may need advice and help from
professionals.
Trained mental health professionals
can render such help through:
1. Consultations(eg- in outpatient
service of mental health facilities
)
2. Hospitalization for short term
intensive treatment.
3. Medications with modern psychopharmaceuticals
Cermin Dunia Kedokt.2005;149 : 5 -7
kso
FACTORS RELATED TO DRUG ABUSE
AMONG PUBLIC HIGH SCHOOL
STUDENTS IN BEKASI, WEST JAVA,
INDONESIA
Raharni, Max J. Herman
Pharmacies Research and Development
Center, Department of
Health, Jakarta, Indonesia
This study was done to obtain
information on factors related to
drugs (narcotics, psychotropics
and addictive subtances) abuse
among public high school (SMU
Negeri) students in Bekasi.
The study population of this
cross-section study was 386 high
school students in Bekasi, chosen
through multistage sampling procedure.
Chi Square test for bivariate
analysis and prediction model
of multiple logistic regression
for multivariate analysis was used.
The prevalence of drug abuse
was 16,8%. Variables found to be
significantly associated with drug
abuse in bivariate analysis were
personal characteristics (gender,
age, knowledge, attitude), environmental
factors (mother occupation,
family harmony, smoking
habit in the family, peer, leisure
activities). Gender was the most
predominant variable.
Prevention program among
high school students need to be
immediately applied in collaboration
with parents (in extracurricullar
activities), Ministry of Health,
Police and Ministry of Justice.It was
also recommended to conduct
further researches, to support drug
abuse prevention program.
Cermin Dunia Kedokt.2005; 149; 38 - 43
rhi, mjh
EFFECTS OF MORPHINE EXPOSURE
ON BEHAVIOR AMONG SWISSWEBSTER
MICE
Dewi Peti Virgianti, Hana Apsari
Pawestri*
Biologist, Faculty of Mathematics
and Physical Sciences,
Padjadjaran University, Bandung
Indonesia
*Disease Eradication Research
and Development Center, Department
of Health, Jakarta,
Indonesia
This research on pregnant
Swiss-Webster mice was done to
study the effects of morphine
exposure on behaviour in preweaning
period and bodyweight
of the offsprings.
Morphine at dose of 9,8
mg/kgbw/day;5,6 mg/kg bw/day;
2,8 mg/kg bw/day; and aquabidest
as control was injected
subcutaneously on seventh until
twelfth day of pregnancy. The
behavior of the offsprings was
tested using the Neurobehavioral
Battery Test.
There is difference (p<0,05)
in reflex test and motor reflex test
at 9,8 mg/kg bw/day and 5,6
mg/kg bw/day dose. Weight gain
is also significantly different
(p<0,05) at 9,8 mg/kg bw/day
and 5,6 mg/kg bw/day morphine
dose.
Morphine exposure caused
behavioral disparity among mice
in preweaning period.
Cermin Dunia Kedokt. 2005 ;149: 44 - 8
dvp, hap
( Bersambung Ke Hal 56 )
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
4

Artikel
OPINI

Kesehatan Jiwa(Mental Health) di


Kehidupan Modern
Kusumanto Setyonegoro
Ketua Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa
Guru Besar Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
PENDAHULUAN
Dengan kemajuan zaman, problem-problem pribadi dan
sosial dalam kehidupan manusia bukannya berkurang, tetapi
sebaliknya, bahkan bertambah sehingga mengganggunya untuk
mencapai kebahagiaan hidup yang diidam-idamkan. Perang
(dalam maupun luar negeri), pergolakan ekonomi (inflasi,
dan sebagainya) perilaku anti sosial (perampokan,
penganiayaan, perkosaan, dan sebagainya), ketidakserasian
penerapan hukum dan peraturan, hidup berkeluarga
yang bermasalah (percekcokan, perceraian, kekerasan dalam
keluarga, hidup bersama tanpa nikah, dan sejenisnya) semuanya
menambah disilusi (kekecewaan yang mendalam), kesulitan
atau ketidakmampuan untuk menegakkan nilai-nilai sosial
kultural dan melaksanakan program yang berorientasi filsafat
sosial, semuanya secara bertumpuk-tumpuk memicu konflik
dan stres ( ketegangan yang tidak pernah reda secara spontan).
Situasi seperti itu mengakibatkan kondisi maladjustment
(keadaan ketidaksesuaian diri dengan lingkungan), yang
dinyatakan secara jasmaniah (seperti kondisi sakit atau kurang
sehat hingga terpaksa tidak masuk bekerja atau bekerja tidak
efektif ) atau melahirkan perilaku menyimpang; kepribadian
yang “agak aneh” hingga kurang diterima oleh lingkungan
karena dinilai “kurang wajar”.
Dapat disaksikan orang-orang yang “pusing”,”bingung”
dan “bengong” menghadapi situasi yang menegangkan. Banyak
di antara mereka jelas menyatakan dirinya tidak berbahagia,
terpaksa hidup terus walaupun tidak melihat masa depan yang
cerah; mereka kehilangan kekuatan mental emosionalnya
untuk hidup tenteram, damai dan sejahtera cukup banyak orang
yang mengalami dan memperlihatkan penyesuaian diri secara
pribadi maupun sosial yang “kurang pantas” dan “kurang
berkenan” terhadap orang lain. Mereka yang tergolong
berkelakuan tidak efisien atau “kurang wajar” tersebut,
mungkin tidak perlu dirawat, tetapi jelas memerlukan bimbingan
mental sehingga dapat dikembalikan ke garis kehidupan
yang “lebih normal” dalam waktu yang sesingkat -singkatnya.
MASALAH-MASALAH YANG MENGHAMBAT PENYESUAIAN
DIRI
Perilaku tidak hanya tergantung pada dorongan motivasi
diri, banyak hambatan dan halangan di sekitar kita baik
yang eksternal (luar diri kita) maupun internal (dalam diri
kita). Jika suatu dorongan atau keinginan manusia dihambat
atau dihalangi, akan timbul stres. Stres dapat dianggap sebagai
suatu keharusan untuk menyesuaikan diri, yang dibebankan
pada individu. Keadaan, yang merupakan kekuatan atau
keharusan untuk menyesuaikan diri, dianggap sebagai stressor
yang dapat bersifat internal atau eksternal; biasanya tidak hanya
satu stressor saja yang membebani individu tetapi beberapa
stressor sekaligus.
JENIS – JENIS STRESSOR
Ada dua jenis stressor yang diketahui, yaitu stressor
biologik dan stressor psikologik, tetapi kebanyakan bersifat
psiko-biologik. Infeksi dapat dianggap stressor biologik yang
mengharuskan sistem pertahanan jasmani orang itu menangkalnya.
Sama halnya dengan rasa berdosa atau rasa bersalah,
yang merupakan stressor psikologik; stressor demikian mengharuskan
sistem “Diri-Aku” ( Ego system ) melakukan pertahanan
(defense) agar dapat berfungsi seimbang (normal)
lagi. Jika tidak berhasil, maka individu itu akan mengalami
kegoncangan mental. Stres dapat berpengaruh baik pada individu
secara tersendiri, maupun pada sejumlah individu secara
kelompok, umpamanya stres ekonomi atau stres bencana alam
(tsunami, gunung meletus, banjir dan sebagainya) membebani
baik individu maupun kelompok secara cukup berat.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 5
SUMBER-SUMBER STRESSOR
1. Frustrasi Eksternal (Frustrasi = kekecewaan yang
mendalam).
Hal ini terjadi bila alam bergolak sangat berat: badai,
kebakaran, gempa bumi, tsunami, kecelakaan beruntun, terutama
sekali bila disertai kematian mereka yang sangat dicintai
dan dekat dengan yang bersangkutan. Halangan atau stres
eksternal yang hebat di antaranya perang (atau perang
saudara), depresi ekonomi (inflasi, dan sebagainya) persaingan
yang terlalu tajam atau ketat, perubahan zaman
(umpama dari situasi rural ke urban) yang terlalu cepat,
ketidakstabilan hukum dan keamanan, semuanya mengakibatkan
frustrasi.
Juga dapat berupa perlakuan hukum tertentu karena
dianggap melanggar UU atau Peraturan Negara. Penyimpangan
seperti pencurian, korupsi, agresi terhadap orang lain, dan
sebagainya, semuanya dapat rnengakibatkan hukuman (yang
lebih lanjut mengakibatkan kehilangan status sosial, kehilangan
pekerjaan, masuk penjara, dan sebagainya), yang semuanya
mencetuskan frustrasi yang sangat mendalam. Juga ketidak
berhasilan memenuhi tugas pekerjaan, pendidikan dan lain-lain
dapat mengakibatkan frustrasi.
2. Frustrasi Internal
Berbagai keterbatasan pribadi juga menimbulkan
frustrasi: kendala fisik (physical handicaps), kurangnya
inteligensi dan konsentrasi, persaingan daya tarik, dan
sebagainya dapat mengurangi keberhasilan dan mengakibatkan
frustrasi. Sejumlah frustrasi berasal dari hambatan psikologik
karena pertimbangan etika (atau susila kepantasan) dan
realitas, misalnya masalah perkawinan. Bila halangan atau
pertimbangan etika dikesampingkan, mungkin timbul rasa dosa
dan rasa salah diri yang berkepanjangan. Sering kali manusia
melakukan hal-hal yang ia sendiri mungkin tidak membenarkan,
sehingga menimbulkan rasa tidak senang dan
frustrasi.
POLA STRES SELALU MERUPAKAN MASALAH
PRIBADI
Tiap individu mempunyai pola tertentu penyesuaian
diri yang sangat unik (khas). Usia, jenis kelamin,
kedudukan atau jabatan, status ekonomi dan hal-hal lain yang
terikat pada pribadinya, semuanya turut menentukan. Seorang
anak akan menghadapi suatu stres dengan pola yang berlainan
dari seorang dewasa. Seorang pejabat memiliki pola penanggulangan
stres yang berlainan dengan seorang tukang batu.
Ditambah pula, pola penyesuaian itu dapat berubah selama
perjalanan waktu. Peristiwa dalam kehidupan seperti kerugian
finansiil, kecelakaan besar, kematian dalam keluarga dekat,
semuanya mampu mengubah pola stres ditambah dengan
faktor usia, tujuan-tujuan jangka panjang manusia dapat
turut mengubah pola tersebut.
Tetapi, yang paling penting ialah bagaimana manusia
itu sendiri menilai pola stresnya dan evaluasinya. Perlu dipertimbangkan,
bahwa situasi eksternal yang dialami dan
dianggap penting oleh seseorang bagi yang lain mungkin tidak
ada pengaruhnya sama sekali.
BERAT STRES
Sama halnya dengan beban yang diletakkan di sebuah
jembatan, begitu pula dengan beban stres pada seseorang;
makin lama stres berlangsung, makin berat stres tersebut dirasakan.
Jumlah stres yang berurutan yang dialami seseorang, juga
menentukan beratnya stres. Bila seseorang sekaligus mengalami
peristiwa kehilangan pekerjaan, serangan jantung, dan ditinggal
istri, maka jelas stres yang dialaminya lebih berat, dibandingkan
dengan jika peristiwa-peristiwa itu tidak terjadi bersamaan. Efek
kumulatif stres dapat menyebabkan seseorang sekonyong-konyong
dapat "meledak pecah" sesudah terjadinya suatu stres yang (secara
sepintas) mungkin ringan saja. Harus difahami bahwa individu
dalam memandang suatu situasi tidak hanya mengenai faktanya
saja, tetapi juga bagaimana dia menilai situasi vang baru itu
berdasarkan kemampuan diri untuk mengatasinva. Hal-hal
tersebut sangat penting untuk memahami kondisi sakit jiwa
(mental illness).
REAKSI HOLISTIK (=MENYELURUH) MANUSIA DI
BIDANG KESEHATAN JIWA
Pada dasarnya, reaksi manusia terhadap stres pada dasarnya
bersifat menyerang (attack), menarik diri (withdrawal)
atau kesepakatan berdamai (compromise). Masing-masing
reaksi itu dapat terjadi secara terbuka (overt) atau tersamar
(covert). Individu dapat menurunkan taraf aspirasinya
(hasrat atau cita-cita) saat menghadapi kegagalan, atau
meningkatkan upayanya untuk mencapai tujuan. Segala reaksi
tersebut adalah upaya untuk mengimbangi problem sedemikian
rupa sehingga dapat mencapai atau mempertahankan
suatu keseimbangan psikobiososial untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasarnya .
REAKSI PENYESUAIAN DIRI (ADAPTIF) SECARA
LANGSUNG
Sikap menyerang (attack), menarik diri (withdrawal)
dan sepakat berdamai (compromise) merupakan tindakantindakan
yang dapat dianggap langsung (direct) untuk
menghadapi stres, dengan berbuat sesuatu sehingga situasi
aslinya dapat di “lunak”kan (modify) atau di “ubah” (change).
Reaksi menyerang (attack), reaksi agresi (mendobrak atau
menyerang) atau reaksi bermusuhan (hostile) dimaksud untuk
menghapus atau mengatasi halangan mencapai kepuasan.
Banyak organisme bertindak agresif saat menjumpai halangan;
yang paling sering ialah tindakan memperkuat emosi yang
menjelma menjadi sikap permusuhan. Tetapi. hanya sejumlah
kecil situasi stres saja yang dapat diatasi dengan cara demikian.
Jika serangan langsung tidak berhasil, dan frustrasi tetap
berlangsung, maka frustrasi, rasa tidak senang dan rasa sakit
hati dapat dihubungkan dengan berbagai pribadi atau objek
tertentu. Mereka itu kemudian dapat dijadikan sasaran dan sebab
dari frustrasi dan blokade yang dialaminya.
Dengan demikian, maka reaksi agresif (yang semula hanya
bersifat aktivitas yang bertambah dan serangan langsung)
kemudian diperkuat menjadi rasa benci. Sikap yang semula
hanya berupa keinginan menyerang dapat ditambah dengan
kecenderungan merusak (destroy). Jika individu merasa
6 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
diperlakukan tidak adil, tidak disukai, atau tidak diberi
kesempatan maju seperti orang lain (yang dianggap sama
dengan dia), maka ia dapat menaikkan tegangan permusuhan,
yang kemudian menjadi perilaku delinquent (melawan hukum).
Pencurian, perampokan, perusakan, pembakaran, perilaku
seksual yang melawan hukum, dan penyerangan fisik terhadap
orang-orang tertentu seringkali merupakan pola perilaku
pembangkang (defiant behavior).
REAKSI PENYESUAIAN DIRI SECARA TIDAK
LANGSUNG
Jika individu tidak melakukan reaksi penyesuaian secara
langsung, maka ia akan menempuh jalan tidak langsung. Ia
dapat melarikan diri (flight) atau menarik diri (withdrawal)
atau mengurung diri dalam kondisi ketakutan (fear atau
anxiety). Dalam kondisi itu, individu akan berkurang
efektivitas dan efisiensi hidupnya, banyak upaya dan
pekerjaannya tidak sesuai dengan yang diharapkan, seolah-olah
sia-sia belaka. Individu tersebut makin lama makin hidup
dalam dunia fantasinya dan jika tidak ditangani secara
profesional dapat terjerumus dalam keadaan sakit jiwa (mental
illness).
Pada umumnya individu yang terganggu kesehatan
jiwanya terbagi dalam :
1. Pasien-pasien dengan jiwa yang relatif sehat (dapat
bekerja dan berusaha seperti biasa) tetapi mengalami
berbagai problem hidup yang kadang-kadang
memerlukan orang lain (suami, isteri atau orang
tua/saudara) untuk mencapai penyelesaian (solusi)
yang sebaik-baiknya. Mereka dapat meminta nasihat
(counseling) pada seorang profesional: psikiater,
psychologist, educator, social worker, certified nurse dan
profesional lain. Dianjurkan tidak menghubungi ahli
nujum, dukun magician, dan sejenis karena pengetahuannya
tidak didasarkan atas asas-asas ilmiah modern.
2. Pasien neurosis khronis, psikosomatis khronis dan pasien
neuropsikiatrik perlu diobati oleh psikiater atau dokter
nonpsikiater yang berpengalaman.
3. Pasien dengan kondisi mendesak, atau tak terkendali.
Sering mengeluh konsentrasi menurun, fokus pikiran kabur,
mendengar bisikan suara (halusinasi) dan pikiran-pikiran curiga
dan bersifat mengejek atau menganggap dirinya "jahat"
(paranoid) dianjurkan segera berkonsultasi dengan psikiater.
BAGAIMANA SEBAIKNYA MENGHADAPI PASIEN DENGAN
KELUHAN KESEHATAN JIWA YANG TERGANGGU
( baik anak,remaja,dewasa,usia lanjut / lansia )
STRESS RELATIF
RINGAN
Pasien (dengan kesehatan jiwa yang relatif sehat),
dapat bekerja dan berusaha seperti biasa, tetapi
mengalami problem hidup dan penghidupan (problems
of life and living). Mereka dapat menyelesaikan
problem itu sendiri atau dengan orang lain yang dekat
dengannya untuk mencapai solusi. Mereka dapat
meminta nasihat counsellor.
STRESS SEDANG
PSIKOSOMATIK -
NEUROSIS
Pasien-pasien dengan problem hidup dan
kehidupan mendesak, memerlukan segera konseling
pada ahli yang terlatih secara ilmiah: clinical
psychologist, professional mental health nurse,social
worker, dan ahli sosial lain. Sering mereka langsung
minta bantuan atau pertolongan psikiater (swasta atau
pemerintah) sesuai dengan keinginannya sendiri,
• counsellor non-psikiater tidak pernah memberi obat
• counsellor psikiater dapat meresepkan obat
STRESS BERAT
(Psikosis)
Pasien dengan kondisi mendesak, atau “tak
terkendali” sering mengeluh konsentrasi menurun ,
fokus pikiran kabur, mendengar bisikan (halusinasi)
dan pikiran-pikiran kecurigaan atau menganggap
dirinya “jahat” (paranoid). Sering mereka sedang atau
sudah berobat ke dokter atau rumah sakit lain. Mereka
ini dianjurkan segera berkonsultasi dengan psikiater
dan dirawat.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 7
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Diagnosis dan Penatalaksanaan


Depresi Pascastroke
Nurmiati Amir
Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia /
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
ABSTRAK
Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala klinik yang
manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM-IV) merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menegakkan
diagnosis depresi.
Gejala depresi terdiri dari penurunan mud (mood), gangguan kognitif, vegetatif, retardasi
psikomotor. Ada beberapa bentuk depresi yaitu gangguan depresi mayor (unipolar, bipolar),
gangguan mud spesifik lainnya, gangguan depresi akibat kondisi medik umum atau akibat zat, dan
gangguan penyesuaian dengan mud depresi. Sampai saat ini, penyebab pasti gangguan depresi belum
diketahui. Ada beberapa faktor yang berkrontribusi yaitu faktor stresor psikososial, genetik,
kepribadian, dan biologik.
Pada stroke, gangguan depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering ditemukan.
Sekitar 15%-25% pasien stroke dalam komunitas menderita depresi, sedangkan pasien stroke yang
dirawat di rumah sakit, sekitar 30%-40% menderita depresi.
Ada beberapa jenis penatalaksanaan depresi; medikasi, psikoterapi, kombinasi keduanya,
Terapi Kejang Listrik (TKL), terapi cahaya, atau gabungan terapi cahaya dan medikasi. Mengingat
ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan depresi, penatalaksanaan yang komprehensif sangat
diperlukan.
PENDAHULUAN
Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan
sejumlah gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda pada
masing-masing individu. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM)-IV merupakan salah satu instrumen
yang digunakan untuk menegakkan diagnosis depresi. Jika
manifestasi depresi muncul dalam bentuk keluhan yang berkaitan
dengan mud (mood) (seperti murung, sedih, rasa putus
asa), diagnosis depresi dapat dengan mudah ditegakkan; tetapi
jika gejala depresi muncul dalam keluhan psikomotor atau
somatik seperti malas bekerja, lamban, lesu, nyeri ulu hati,
sakit kepala terus-menerus, adanya depresi yang melatarbelakanginya
sering tidak terdiagnosis. Ada masalah-masalah
lain yang juga dapat menutupi diagnosis depresi misalnya
pasien menyalahgunakan alkohol atau obat untuk mengatasi
depresi, atau muncul dalam bentuk gangguan perilaku(1).
Gangguan depresi sering ditemui. Prevalensi selama
kehidupan, pada wanita 10%-25% dan pada laki-laki 5%-12%.
Sekitar 15% penderita depresi melakukan usaha bunuh diri.
Walaupun depresi lebih sering pada wanita, kejadian bunuh diri
lebih sering pada laki-laki, terutama lelaki usia muda dan usia
tua. Penyebab depresi secara pasti, belum diketahui. Faktorfaktor
yang diduga berperan yaitu peristiwa-peritiwa kehidupan
yang bersifat stresor (problem keuangan, perkawinan, pekerjaan,
penyakit, dan lain-lain), faktor kepribadian, genetik,
dan biologik lain seperti gangguan hormon, keseimbangan
neurotransmiter biogenik amin, dan imunologik(2).
Pada stroke, depresi merupakan gangguan emosi yang
paling sering ditemukan. Sekitar 15%-25% pasien stroke dalam
komunitas menderita depresi. sedangkan yang sedang dirawat
di rumah sakit, sekitar 30%-40% menderita depresi.(3) Gangguan
depresi dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya. Ia
dapat pula mecetuskan, memperlambat penyembuhan atau
memperberat penyakit fisik. Selain itu, depresi dapat pula
meningkatkan beban ekonomi.
Depresi perlu diidentifikasi secara dini makin dini penatalaksanaan
makin baik prognosisnya. Ada beberapa jenis
penatalaksanaan depresi psikofarmaka, psikoterapi, kombinasi
keduanya, Terapi Kejang Listrik (TKL), terapi cahaya, atau
gabungan terapi cahaya dan psikofarmaka. Mengingat ada
8 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
beberapa faktor penyebab depresi, penatalaksanaan yang
komprehensif sangat diperlukan.
GEJALA DEPRESI
Gambaran emosi
- Mud depresi, sedih atau murung
- Iritabilitas, anksietas
- Ikatan emosi berkurang
- Menarik diri dari hubungan interpersonal
- Preokupasi dengan kematian
- Ide-ide bunuh diri atau bunuh diri
Gambaran kognitif
- Mengeritik diri sendiri, perasaan tak berharga, rasa bersalah
- Pesimis, tak ada harapan, putus asa
- Bingung, konsentrasi buruk
- Tak pasti dan ragu-ragau
- Berbagai obsesi
- Keluhan somatik
- Gangguan memori
- Ide-ide mirip waham
Gambaran Vegetatif
- Lesu dan tak ada tenaga
- Tak bisa tidur atau banyak tidur
- Tak mau makan atau banyak makan
- Penurunan berat badan atau penambahan berat badan
- Libido terganggu
- Variasi diurnal
Psikomotor
- Retardasi psikomotor
- Agitasi psikomotor
TANDA-TANDA DEPRESI
- Tidak atau lambat bergerak
- Wajah sedih dan selalu berlinang air mata
- Kulit dan mulut kering
- Konstipasi
KlASIFIKASI DEPRESI MENURUT DSM-IV
1. Gangguan depresi mayor – unipolar dan bipolar.
2. Gangguan mood spesifik lainnya
- Gangguan distimik – depresi minor.
- Gangguan siklotimik – depresi dan hipomanik saat ini atau
baru saja berlalu (secara terus menerus selama 2 tahun).
- Ganguan depresi atipik
- Depresi postpartum
- Depresi menurut musim
3. Gangguan depresi akibat kondisi medik umum dan
gangguan depresi akibat zat
4. Gangguan penyesuaian dengan mood depresi; depresi
disebabkan oleh stresor psikososial.
DEPRESI PASCASTROKE (DPS)
Gangguan depresi merupakan gangguan emosi yang paling
sering dikaitkan dengan stroke. Sekitar 15%-25% pasien stroke
dalam komunitas menderita depresi. sedangkan yang sedang
dirawat di rumah sakit, sekitar 30%-40% menderita depresi
baik mayor ataupun minor(6).
Fenomenologi simptom depresi fungsional hampir sama
dengan simptom DPS. Sekitar 50% pasien yang memenuhi
kriteria diagnostik untuk DPS melaporkan adanya kesedihan,
kecemasan, ketegangan, kehilangan minat, terbangun dini hari,
hilangnya nafsu makan dan penurunan berat badan, sulit
konsentrasi dan berpikir,serta pikiran-pikiran tentang kematian.
Meskipun penyebab pasti DPS belum diketahui, sejumlah
peneliti menyatakan bahwa lokasi lesi di otak memegang
peranan penting. Penelitian terhadap penderita stroke dengan
lesi hemisfer kiri, mendapatkan hubungan terbalik antara
beratnya depresi dengan jarak antara batas anterior lesi dengan
kutub frontal(8).
PREVALENSI
Sekitar 26% pasien pascastroke menderita depresi mayor
dan 20% depresi tipe distimik. Sekitar 40%-50% pasien dapat
menderita depresi dalam beberapa bulan pertama setelah
stroke(9). Studi prospektif (dua tahun) yang dilakukan terhadap
pasien stroke mendapatkan 26% pasien mengalami depresi
mayor dan 20% depresi minor ketika dievaluasi di rumah sakit.
Pasien yang mengalami depresi mayor ketika di dalam rumah
sakit, setelah satu atau dua tahun sembuh sempurna; sedangkan
prognosis pasien dengan depresi minor kurang baik, hanya
30% yang sembuh setelah dua tahun pasca stroke. Sekitar 30%
yang tidak mengalami depresi selama perawatan di rumah sakit
menjadi depresi setelah dua tahun pasca stroke. Durasi depresi
mayor secara alamiah berlangsung sekitar satu tahun sedangkan
durasi depresi minor lebih lama; pada beberapa kasus
berlangsung lebih dari dua tahun sehingga memenuhi kriteria
gangguan distimik(10).
Dua faktor yang telah diidentifikasi dapat mempengaruhi
perjalanan alamiah DPS yaitu:
1. Terapi dengan antidepresan
2. Lokasi lesi
Berdasarkan lokasi, frekuensi kesembuhan depresi pada
pasien dengan lesi subkorteks dan serebelum lebih tinggi bila
dibandingkan dengan pasien yang lesinya di korteks.
Impairment dalam aktivitas kehidupan sehari-hari juga berbeda
bermakna. Depresi bukanlah penyakit yang sifatnya sementara
tetapi berlangsung lama. Durasi untuk depresi mayor adalah
satu tahun sedangkan untuk depresi minor sekitar dua tahun.
LESI KORTEKS DAN SUBKORTEKS
Dari penelitian terhadap pasien pascastroke didapatkan
bahwa sekitar 44% pasien dengan lesi di korteks kiri
mengalami depresi sedangkan pada pasien dengan lesi di
subkorteks kiri 39%. Depresi pada lesi di korteks kanan 11%
dan di subkorteks kanan 14%. Tidak terdapat perbedaan kejadian
depresi yang bermakna antara lesi di korteks dengan
subkorteks.Tetapi prevalensi depresi lebih tinggi secara
bermakna pada lesi di hemisfer kiri dibandingkan dengan lesi
di hemisfer kanan(11).
Bila dilihat lebih jauh, pasien dengan lesi korteks frontal
kiri anterior lebih sering mengalami depresi jika dibandingkan
dengan pasien dengan lesi korteks frontal kiri posterior.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 9
Dengan perkataan lain, depresi akan lebih berat jika lesi lebih
dekat ke kutub frontal. Depresi lebih sering pada pasien dengan
lesi di hemisfer anterior kiri daripada lesi hemisfer anterior
kanan. Lesi di korteks frontal dorsolateral dan lesi ganglia basal
kiri menimbulkan depresi mayor yang lebih sering dan lebih
berat dibandingkan dengan lesi di tempat lain.
LESI SIRKULASI SEREBRI MEDIA DAN POSTERIOR
Suatu penelitian dilakukan terhadap 37 pasien dengan lesi
sirkulasi serebri posterior dibandingkan dengan 42 pasien
dengan lesi sirkulasi serebri media. Lesi sirkulasi serebri
posterior dibagi lagi menjadi hemisfer temporo-oksipital dan
lesi batang otak/serebelum. Depresi mayor/minor terjadi pada
48% pasien dengan lesi sirkulasi serebri media dan pada 35%
pasien dengan lesi batang otak/serebelum. Setelah enam bulan,
frekuensi depresi 82% pada pasien dengan lesi sirkulasi serebri
media dan 20% pada sirkulasi serebri posterior; setelah 1-2
tahun, frekuensi depresi adalah 68% dan 0%. Perjalanan
depresi di regio batang otak/serebelum lebih pendek. Penemuan
ini menunjukkan bahwa mekanisme depresi akibat lesi di arteri
serebri media berbeda dengan lesi di batang otak/serebelum.
Hal ini karena lesi di batang otak biasanya kecil dan tidak
begitu merusak jaras biogenik amin yang berperan penting
dalam memodulasi emosi.
LESI HEMISFER KANAN
Suatu penelitian terhadap 54 pasien stroke (diagnosis
dengan CT-scan) melaporkan bahwa 66% pasien dengan
depresi mayor dan 63% dengan depresi minor mempunyai lesi
di massa putih (white matter) lobus parietal. Riwayat psikiatrik
dalam keluarga pasien dengan lesi hemisfer kanan yang
menderita depresi, lebih tinggi secara bermakna bila dibandingkan
dengan pasien dengan lesi di hemisfer kanan yang tidak
depresi(12).
FAKTOR RISIKO PREMORBID DAN DEPRESI
Meskipun lesi anterior kiri dan posterior kanan berhubungan
dengan depresi pascastroke, tidak semua pasien
dengan lesi ini menjadi depresi. Pasien depresi lebih sering
mempunyai riwayat keluarga atau pribadi menderita depresi
dibandingkan dengan pasien nondepresi; lokasi bukanlah faktor
tunggal dalam terjadinya depresi pascastroke. Adanya atrofi
subkorteks, riwayat keluarga dan pribadi menderita depresi
sebelum stroke merupakan faktor yang berperan dalam
terjadinya depresi pascastroke(13).
Pasien dengan lesi hemisfer kanan yang berkembang
menjadi depresi mayor setelah stroke mempunyai riwayat
keluarga menderita gangguan psikiatrik lebih tinggi dibandingkan
dengan yang tidak depresi. Ini menunjukkan bahwa faktor
genetik juga ikut berperan dalam terjadinya depresi
pascastroke(12).
HUBUNGAN DENGAN HENDAYA (IMPAIRMENT)
FISIK
Penelitian yang menggunakan instrumen ADL untuk
menilai hendaya fungsi sehari-hari penderita pascastroke
melaporkan adanya hubungan antara depresi dengan hendaya
fisik atau hendaya fungsi sehari-hari. Hendaya fungsi dapat
menimbulkan depresi dan depresi dapat mempengaruhi beratnya
hendaya fungsi sehari-hari. Pasien stroke yang tidak
depresi tidak menunjukkan perubahan fungsi sehari-hari
bahkan dengan berjalannya waktu fungsi kehidupan sedikit
lebih meningkat. Depresi berpengaruh terhadap penyembuhan
yaitu memperlambat penyembuhan fisik(1).
DEPRESI DAN HENDAYA KOGNITIF
Pasien stroke dengan depresi mengalami defisit intelektual
dengan mengobati depresi, defisit intelektualnya membaik.
Hendaya kognitif (penurunan skor Mini Mental State
Examination - MMSE), lebih berat pada pasien dengan lesi
hemisfer kiri yang mengalami depresi mayor daripada pasien
dengan lesi yang sama tetapi tidak mengalami depresi
sedangkan pada pasien dengan lesi hemisfer kanan tidak
terlihat adanya perbedaan penurunan fungsi kognitif antara
kelompok yang depresi dengan nondepresi. Dengan perkataan
lain, depresi mayor yang dikaitkan dengan stroke hemisfer kiri
terlihat menimbulkan hendaya kognitif yang bermakna.
DEPRESI DAN AFASIA
Sekitar 53% pasien afasia mengalami depresi. Penemuan
ini hampir sama dengan frekuensi depresi mayor atau minor di
antara pasien stroke nonafasia. Frekuensi depresi lebih tinggi
pada pasien afasia motorik daripada afasia global (71%:44%)
Peneliti lain juga melaporkan bahwa depresi pada pasien afasia
motorik lebih tinggi daripada global (63%:16%)(14). Tingginya
frekuensi depresi pada pasien afasia motorik disebabkan oleh
tingginya kesadaran mereka akan hendaya mereka. Selain itu,
lesi yang menimbulkan afasia motorik juga menimbulkan
depresi. Menegakkan diagnosis depresi pada pasien dengan
defisit pemahaman yang berat agak sulit. Diagnosis dapat
dibuat berdasarkan perilaku yang dapat diobservasi seperti
kurang tidur, menolak makan, gelisah, agitasi, atau retardasi,
dan adanya pemeriksaan DST positif.(15)
MEKANISME TERJADINYA DPS
Penyebab pasti belum diketahui. Ada dugaan DPS
disebabkan oleh disfungsi biogenik amin. Badan sel serotoninergik
dan noradrenergik terletak di batang otak dan ia
mengirim proyeksinya melalui bundel forebrain media ke
korteks frontal. Lesi yang mengganggu korteks prefrontal atau
ganglia basalis dapat merusak serabut-serabut ini. Ada dugaan
DPS disebabkan oleh deplesi serotonin dan norepinefrin akibat
lesi frontal dan ganglia basalis(16). Respons biokimia terhadap
lesi iskemik bersifat lateralisasi. Lesi hemisfer kiri menyebabkan
penurunan biogenik amin tanpa adanya kompensasi peninggian
regulasi serotonin akibatnya, gejala depresi dapat
muncul. Sebaliknya lesi hemisfer kanan menyebabkan peninggian
regulasi serotonin (karena mekanisme kompensasi)
yang bersifat protektif terhadap depresi.
TEORI PSIKOBIOLOGIK
Teori psikoanalitik
Menurut Freud pasien depresi menderita kehilangan
nyata atau imajiner atas obyek cinta yang bersifat ambivalen.
Pasien bereaksi dengan kemarahan yang kemudian diarahkan
10 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
kepada diri sendiri, dan ini menyebabkan penurunan harga diri
dan terjadi depresi.
Teori kognitif menyebutkan suatu “tritunggal kognitif” tentang
distorsi persepsi yaitu :
a. Interpretasi negatif seseorang tentang pengalaman
hidupnya.
b. Menyebabkan devaluasi dirinya,
c. Yang akhirnya menyebabkan depresi.
Teori biologik memfokuskan pada abnormalitas norepinefrin
(NE) dan serotonin (5-HT) serta dopamin (D). Hipotesis
katekolamin menyatakan bahwa depresi disebabkan oleh
rendahnya kadar NE otak dan dopamin. Walaupun demikian,
pada beberapa pasien kadar MHPG (metabolit utama NE) tetap
rendah. Hipotesis indolamin menyatakan bahwa rendahnya 5-
HT otak (atau metabolit utama, 5-HIAA) dapat menyebabkan
depresi. Mekanisme kerja antidepresan yang diketahui, mendukung
teori ini trisiklik memblok ambilan NE dan 5-HT dan
menghambat oksidasi NE oleh monoamin oksidase inhibitor.
Depresi juga dihubungkan dengan ketidakseimbangan neurohormonal.
Teori neurofisiologik penelitian terbaru menyatakan
bahwa mungkin terdapat hipometabolisme di lobus frontal atau
menyeluruh pada depresi atau beberapa abnormalitas fundamental
ritmik sirkadian pada pasien depresi.
PEMERIKSAAN BIOLOGIK DEPRESI
Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis dan prognosis depresi.
- Dexamethasone suppression test (DST) hasil tes positif bila
tidak terjadi penekanan plasma kortisol 6-24 jam setelah
pemberian deksametason oral.
- Peningkatan kortisol serum (30% pasien depresi
mengalami hipertrofi adrenal)
- Penurunan kadar MHPG (3-methoxy-4 - hydroxyphenylene
– glycol) urin, suatu hasil katabolit metanorepinefrin dan
5-HIAA cairan serebrospinal (CSS) yaitu suatu metabolit
serotonin pada penderita depresi.
- Uji stimulasi TSH (TSH turun dan tidak ada respons TSH
dan GH terhadap TRH eksogen, menunjukkan depresi
unipolar).
- Rekaman tidur - terdapat gangguan pola tidur : Latensi
REM memendek waktu antara masuk tidur dengan mulai
tidur REM (indikator paling baik) sering terbangun,
terbangun dini hari, penurunan tidur NREM peningkatan
densitas REM (frekuensi gerakan bola mata cepat pada
tidur REM). Semua ini mungkin ciri-ciri orang yang rentan
untuk depresi.
- Uji tantangan stimulansia beberapa pasien depresi membaik
sementara bila diberi 10 mg amfetamin.
Penggunaan klinik rutin uji-uji ini sangat sedikit; yang
paling baik dilihat adalah :
a. Pola tidur abnormal
b. Kadar TSH dan respons TRH abnormal
c. Bila setelah pengobatan DST positif, merupakan indikator
hasil terapi yang buruk.
Semua uji-uji ini sensitivitas dan spesifikasinya tidak
cukup baik (terlalu banyak positif palsu dan negatif palsu).
Bagaimanapun, keadaan ini dapat menunjukkan bahwa faktor
biologi memegang peranan pada beberapa pasien depresi selain
lingkungan yang juga berperan penting, karena 25% pasien
dengan kondisi medik serius dan yang menderita stres psikososial
berat akan menderita depresi mayor (1).
Penelitian dengan PET dan fMRI untuk mengetahui lokasi
gangguan ini di SSP memberi harapan. Depresi mayor diduga
berkaitan dengan penurunan aktivitas korteks prefrontal
lateralis terutama sisi kiri, kaudatus, putamen, dan mungkin
juga amigdala(1,8).
PENATALAKSANAAN DEPRESI
Perlu pemeriksaan medik dan psikiatrik untuk menyisihkan
depresi sekunder. Tanyakan tentang gambaran-gambaran
vegetatif dan evaluasi potensi untuk bunuh diri.
Apakah pasien :
a. Mengalami ketidakmampuan akibat gangguan ini.
b. Mempunyai lingkungan rumah yang destruktif atau
dukungan lingkungan yang terbatas.
c. Mempunyai ide-ide bunuh diri.
d. Mempunyai penyakit medik terkait yang memerlukan
pengobatan atau perawatan.
Semua pasien depresi mesti mendapatkan psikoterapi,
beberapa memerlukan tambahan terapi fisik. Jenis terapi bergantung
dari diagnosis, berat penyakit, umur pasien, respons
terhadap terapi sebelumnya.
PSIKOTERAPI
Psikoterapi yaitu terapi yang digunakan untuk menghilangkan
keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan
psikologik atau pola perilaku maladaptif. Terapi ini dilakukan
dengan jalan pembentukan hubungan profesional antara terapis
dengan pasien.
Psikoterapi untuk DPS dapat diberikan secara individu,
kelompok, atau pasangan sesuai dengan gangguan psikologik
yang mendasarinya. Beberapa pasien dan klinisi sangat
meyakini manfaat intervensi psikoterapi tetapi ada pula yang
sebaliknya yaitu tidak percaya. Berdasarkan hal ini, keputusan
untuk melakukan psikoterapi sangat dipengaruhi oleh penilaian
dokter atau pasiennya.
Terapi kognitif (TK)
Ada dugaan bahwa penderita depresi adalah orang yang
“belajar menjadi tak berdaya”. Depresi diterapi dengan memberikan
pasien latihan ketrampilan dan memberikan pengalaman-
pengalaman tentang kesuksesan. Terapi ini bertujuan
untuk menghilangkan simptom depresi melalui usaha yang
sistematis yaitu mengubah cara pikir maladaptif dan otomatik
pada pasien-pasien depresi. Dasar pendekatannya adalah suatu
asumsi bahwa kepercayaan-kepercayaan yang mengalami
distorsi tentang diri sendiri, dunia, dan masa depan dapat
menyebabkan depresi. Pasien harus menyadari cara berpikirnya
yang salah. Kemudian ia harus belajar cara merespons cara
pikir yang salah tersebut dengan cara yang lebih adaptif. Dari
perspektif kognitif, pasien dilatih untuk mengenal dan
menghilangkan pikiran-pikiran negatif dan harapan-harapan
negatif. Cara ini dipraktekkan di luar sesi terapi dan menjadi
modal utama dalam mengubah gejala.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 11
Terapi ini berlangsung lebih kurang 12-16 sesi dengan tiga
fase yaitu:
1. Fase awal (sesi 1-4) membentuk hubungan terapeutik
dengan pasien. Mengajarkan pasien tentang bentuk
kognitif yang salah dan pengaruhnya terhadap emosi dan
fisik. Menentukan tujuan dan goal terapi. Mengajarkan
pasien untuk mengevaluasi pikiran-pikirannya yang
otomatis.
2. Fase pertengahan (sesi 5-12) mengubah secara berangsurangsur
kepercayaan yang salah. Membantu pasien
mengenal akar kepercayaan diri. Pasien diminta mempraktekkan
ketrampilan berespons terhadap hal-hal yang
depresogenik dan memodifikasinya.
3. Fase akhir (sesi 13-16) menyiapkan pasien untuk terminasi
dan memprediksi situasi berisiko tinggi yang relevan untuk
kekambuhan dan mengkonsolidasikan pembelajaran melalui
tugas-tugas terapi sendiri.
Terapi perilaku
Intervensi perilaku terutama efektif untuk pasien yang
menarik diri dari lingkungan sosial dan anhedonia. Terapi ini
sering digunakan bersama-sama terapi kognitif. Tujuannya
adalah meningkatkan aktivitas pasien, mengikutkan pasien
dalam tugas-tugas yang dapat meningkatkan perasaan yang
menyenangkan.
Fase awal pasien diminta memantau aktivitasnya, menilai
derajat kesulitan aktivitasnya, kepuasannya terhadap aktivitasnya.
Pasien diminta melakukan sejumlah aktivitas yang menyenangkan.
Latihan ketrampilan sosial, asertif, dapat meningkatkan
hubungan interpersonal dan dapat menurunkan
interaksi submisif.
Fase akhir fokus berpindah ke latihan mengontrol diri dan
pemecahan masalah. Diharapkan ilmu yang didapat dalam
terapi dapat digeneralisasi dan dipertahankan dalam lingkungan
pasien sendiri.
Psikoterapi suportif
Psikoterapi ini hampir selalu diindikasikan. Memberikan
kehangatan, empati, pengertian dan optimisme. Bantu pasien
mengidentifikasi dan mengekspresikan emosinya dan bantu
untuk ventilasi. Mengidentifikasi faktor-faktor presipitasi dan
membantu mengoreksi. Bantu memecahkan problem eksternal
(misalnya masalah pekerjaan, rumah tangga). Latih pasien
untuk mengenal tanda-tanda dekompensasi yang akan datang.
Temui pasien sesering mungkin (mula-mula 1-3 kali per
minggu) dan secara teratur, tetapi jangan sampai tidak berakhir
atau selamanya. Kenalilah bahwa beberapa pasien depresi
dapat memprovokasi kemarahan terapis (melalui kemarahan,
hostilitas, tuntutan yang tak masuk akal, dan lain-lain).
Psikoterapi psikodinamik
Dasar terapi ini adalah teori psikodinamik yaitu kerentanan
psikologik terjadi akibat konflik perkembangan yang tak
selesai. Terapi ini dilakukan dalam periode jangka panjang.
Perhatian pada terapi ini adalah defisit psikologik yang
menyeluruh yang diduga mendasari gangguan depresi. Misalnya,
problem yang berkaitan dengan rasa bersalah, rasa rendah
diri, berkaitan dengan pengalaman yang memalukan, pengaturan
emosi yang buruk, defisit interpersonal akibat tak
adekuatnya hubungan dengan keluarga.
Psikoterapi dinamik singkat (brief dynamic psychotherapy)
Sesinya lebih pendek. Tujuannya menciptakan lingkungan
yang aman buat pasien. Pasien dapat mengenal materi
konfliknya dan dapat mengekspresikannya.
Terapi kelompok
Tidak ada bentuk terapi kelompok yang spesifik. Ada
beberapa keuntungan terapi kelompok.
1. Biaya lebih murah
2. Ada destigmatisasi dalam memandang orang lain dengan
problem yang sama
3. Memberikan kesempatan untuk memainkan peran dan
mempraktekkan ketrampilan perilaku interpersonal yang
baru
4. Membantu pasien mengaplikasikan ketrampilan baru
Terapi kelompok sangat efektif untuk terapi jangka pendek
pasien rawat jalan juga lebih efektif untuk depresi ringan.
Untuk depresi lebih berat terapi individu lebih efektif.
Terapi perkawinan
Problem perkawinan dan keluarga sering menyertai
depresi dan dapat mempengaruhi penyembuhan fisik. Oleh
karena itu, perbaikan hubungan perkawinan merupakan hal
penting dalam terapi ini.
Psikoterapi berorientasi tilikan (insight)
Jangka terapi cukup lama, dapat berguna pada pasien
depresi minor kronik tertentu dan beberapa pasien dengan
depresi mayor yang mengalami remisi tetapi mempunyai
konflik(17).
Deprivasi tidur parsial
Bangun mulai di pertengahan malam dan tetap jaga sampai
malam berikutnya, dapat membantu mengurangi gejala-gejala
depresi mayor buat sementara(1).
TERAPI BIOLOGIK
Antidepresan
Sebagian besar penderita depresi membutuhkan antidepresan
(70%-80% pasien berespons terhadap antidepresan),
walaupun yang mempresipitasi terjadinya depresi jelas terlihat
atau dapat diidentifikasi. Mulailah dengan SSRI atau salah satu
antidepresan terbaru. Jika tak berhasil, pertimbangkan antidepresan
trisiklik, atau MAOI (terutama pada depresi
“atipikal”) atau kombinasi beberapa obat jika obat pertama tak
berhasil. Harus hati-hati dengan efek samping dan harus sadar
bahwa antidepresan “dapat” mempresipitasi episode manik
pada beberapa pasien bipolar (10% dengan TCA, dengan SSRI
lebih rendah, tetapi semua konsep tentang “presipitasi manik”
masih diperdebatkan).
Setelah sembuh dari episode depresi pertama, obat
dipertahankan untuk beberapa bulan, kemudian diturunkan.
Beberapa pasien membutuhkan obat pemeliharaan jangka
12 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
panjang(1,18). Anti depresan saja (tunggal) tidak dapat mengobati
depresi.
Lithium
Bermanfaat untuk depresi bipolar akut dan beberapa
depresi unipolar. Ia cukup efektif pada bipolar serta untuk
mempertahankan remisi dan begitu pula pada beberapa pasien
unipolar.
Antikonvulsan
Juga sama baiknya dengan lithium untuk mengobati
kondisi akut, meskipun kurang efektif untuk pemeliharaan(1,11).
Antidepresan dan lithium dapat dimulai bersama-sama dan
lithium diteruskan setelah remisi.
Pasien psikotik, paranoid atau sangat agitasi membutuhkan
antipsikotik, tunggal atau bersama-sama dengan antidepresan,
lithium antipsikotik atipik juga terlihat efektif.
Terapi Kejang Listrik (TKL)
Mungkin merupakan terapi pilihan bila :
a. Obat tak berhasil
b. Kondisi pasien menuntut remisi segera (misalnya; bunuh
diri yang akut).
c. Pada beberapa depresi psikotik.
d. Pada pasien yang tak dapat mentoleransi obat (misalnya
pasien tua yang berpenyakit jantung). Lebih dari 90%
pasien memberikan respons.
Latihan fisik
Lari dan renang dapat memperbaiki depresi, dengan
mekanisme biologis yang belum dimengerti dengan baik(1).
KESIMPULAN
Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan
sejumlah gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda pada
masing-masing individu. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM-IV) merupakan salah satu instrumen
yang digunakan untuk menegakkan diagnosis depresi.
Gejala depresi terdiri dari penurunan mood, gangguan
kognitif, vegetatif, retardasi psikomotor. Ada beberapa bentuk
depresi yaitu gangguan depresi mayor (unipolar, bipolar),
gangguan mood spesifik lainnya,gangguan depresi akibat
kondisi medik umum atau akibat zat, dan gangguan penyesuaian
dengan mood depresi. Sampai saat ini, penyebab pasti
gangguan depresi belum diketahui. Ada beberapa faktor yang
berkrontribusi yaitu faktor stresor psikososial, genetik, kepribadian,
dan biologik.
Pada stroke, gangguan depresi merupakan gangguan emosi
yang paling sering ditemukan. Sekitar 15%-25% pasien stroke
dalam komunitas menderita depresi. sedangkan pasien stroke
yang sedang dirawat di rumah sakit, sekitar 30%-40% menderita
depresi.
Ada beberapa jenis penatalaksanaan depresi medikasi,
psikoterapi, kombinasi keduanya, Terapi Kejang Listrik (TKL),
terapi cahaya, atau gabungan terapi cahaya dan medikasi.
Mengingat ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan
timbulnya depresi, penatalaksanaan yang komprehensif sangat
diperlukan.
KEPUSTAKAAN
1. Akiskin HS. Mood disorder; introduction and overview. Dalam: Sadock
BJ, Sadock VA (eds.) Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of
Psychiatry, 7th ed, Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins, 1999,
1284-98
2. Blazer DG, Kessler RC, McGonagle KA. The prevalence and distribution
of major depression in a national community sample: the National
Comorbidity Survey. Am J Psychiatr. 1994;151:979-86.
3. Fricchione G, el-Chemali Z, Weilburg JB, Murray GB. Neurology and
Microsurgery. Dalam: Wise MG, Rundell JR, (eds). Textbook of
Consultation-Liaison Psychiatry, Psychiatry in the Medically Ill.
American Psychiatric Publ., Inc, Washington DC, London, England, 2nd
ed., 2002; hal. 679-700.
4. Nierenberg AA, Alpert JE, Pava J. Course and treatment of atypical
depression. J Clin Psychiatr. 1998;59(suppl 18);5-9.
5. Lewy AJ, Bauer VK, Cutler NL. Morning vs evening light treatment of
patients with winter depression. Arch Gen Psychiatr. 1998;55:890-96.
6. Robinson RG, Starkstein SE. Neuropsychiatric Aspect of Cerebrovascular
Disease. Dalam: Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of
Psychiatry, 7th ed, Sadock BJ, Sadock VA, (eds.), Philadelphia,
Lippincott, Williams & Wilkins, 1999, 242-50
7. Lipsey JR, Spencer WC, Rabin PV. Phenomenological comparison of
postsroke depression and functional depression. Am J Psychiatr. 1986;
143:527-29.
8. Kennedy SH, Javanmard M, Vaccarino FJ. A review of functional
neuroimaging in mood disorders: positron emission tomography and
depression. Can J Psychiatr. 1997;42:467-75.
9. Robinson RG, Starr LB, Kubos KL. A two-year longitudinal study
poststroke mood disorder: findings during the initial evaluation. Stroke
1983;14:736-41.
10. Robinson RG, Bolduc PL, Price TR. Two-year longitudinal study of
poststroke mood disorder: diagnosis at one and two years. Stroke
1987;18:837-43.
11. Robinson RG, Price TR. Comparison of cortical and subcortical lesions in
the production of poststroke mood disorder. Brain, 1987; 110;1045-59.
12. Soares JC, Mann JJ. The anatomy of mood disorders—review of
structural neuroimaging studies. Biol Psychiatr. 1997;41:86-106.
13. Starkstein SE, Robinson RG, Price TR. Comparison of patients with and
without post-stroke major depression matched for size and location of
lesion. Arch Gen Psychiatr 1988,45: 247-55.
14. Signer S, Cummings JL, Benson DF. Delusion and mood disorders in
patients with chronic aphasia. J Neuropsychiatr Clin. Neurosciences,
1989;1:40-5.
15. Ross ED, Gordon WA, Hibbart M. The dexamethasone suppression test,
post-stroke depression, and the validity of DSM-II-based diagnostic
criteria. Am J Psychiatr. 1986;38;1344-30
16. Robinson RG, Strarr LB, Kubos KL. Mood disorders in stroke patients:
importance of lesion location. Brain 1989;107: 81-93.
17. Jorgensen MB, Dam H, Bolwig TG. The efficacy of psychotherapy in
non-bipolar depression: a review. Acta Psychiatr Scand 1998;98:1-13.
18. DeRubies RJ, Gelfand LA, Tang TZ. Medications versus cognitive
behavior therapy of severely depressed outpatients: meta-analysis of four
randomized comparisons. Am J Psychiatr. 1999;156:1007-13.

A friend’s eye is a good looking-glass


Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 13
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Gangguan Fungsi atau Perilaku


Seksual dan Penanggulangannya
LS. Chandra
Sanatorium Dharmawangsa Jakarta, Indonesia
PENDAHULUAN
Membicarakan hal ikhwal seksual sering menimbulkan
asosiasi pikiran tertentu yang merupakan dampak atau
konsekuensi/aspek psikososial perilaku seksual (penyelewengan
ekstramarital, seks premarital, seks sebelum waktunya dan
sebagainya ).
Di antara pelbagai jenis disfungsi seksual pada pria dan
wanita, yang paling umum adalah kesulitan ereksi (erectile
dysfunction), yaitu pria tidak dapat berereksi (mengalami ereksi
penis) atau bisa ereksi tapi lemah sehingga tidak dapat melakukan
coitus secara memadai dan mengakibatkan keluhan pada
wanita mitra seksnya. Usaha menyembuhkan gangguan/
disfungsi ini dapat mengatasi sebagian besar (tidak seluruh)
masalah yang dihadapi pasangan seks (suami isteri). Salah satu
alasan menggunakan zat atau bahan/obat untuk fungsi seksual
adalah anggapan bahwa kemampuan/potensi seksual dapat
ditingkatkan dengan meminum obat/zat tersebut. Apa yang
dibahas dalam makalah ini mencakup hal ikhwal seks yang
berlaku segala umur tetapi terutama ditujukan untuk kelompok
individu yang mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsi
seksual.
BATASAN
• Perilaku seksual adalah manifestasi aktivitas seksual
yang mencakup baik hubungan seks (intercourse; coitus;
cohabitatio) maupun masturbasi.
• Dorongan/Nafsu seksual adalah minat/niat seseorang
untuk memulai atau mengadakan hubungan intim (sexual
relationship).
• Kegairahan Seksual (Sexual Excitement) adalah respons
tubuh terhadap rangsangan seksual. Ada dua respons yang
mendasar yaitu myotonia (ketegangan otot yang meninggi)
dan vasocongestion (pengisian pembuluh darah dengan
cairan) terutama pada alat kelamin (Belliveau Richter,
1970).
• Disfungsi (psiko) seksual adalah gangguan respons fungsi
seksual. Pada pria : kegagalan yang menetap atau berulang,
sebagian atau keseluruhan, untuk memperoleh dan
atau mempertahankan ereksi sampai terselesaikannya
aktivitas seksual. Pada wanita: kegagalan yang menetap
atau berulang, baik sebagian atau secara keseluruhan,
untuk memperoleh dan atau mempertahankan respons
lubrikasi vasokongesti sampai berakhirnya aktivitas
seksual.
Ada 6 jenis kelainan fungsi seksual (sexual dysfunction):
1. Sexual desire disorder
- Hypoactive sexual desire
- Sexual aversion disorder
- Hyperactive sexual desire
2. Sexual arousal disorder
- Erectile disorder (impotence)
- Frigidity, lack of vaginal lubrication
3. Orgasm disorder
- Premature,delayed or lack of ejaculation (pria)
- Anorgasmia (orgasmic dysfunction) (wanita)
4. Sexual pain disorder
- Vaginismus (wanita)
- Dispareunia (pria dan wanita)
5. Unspecified Sexual Dysfunction
- Orgasmic anhedonia
- Mastubatory pain
- Autoerotic asphyxiation
6. Lain-lain
- Postcoital dysphoria
- Nymphomania
Sekitar 70% disfungsi seksual (tak termasuk erectile
dysfunction disorder) disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan
(psikologis), terapi terutama berupa psikoterapi dan latihan
behavioral.Obat-obat hanya berperan fasilitatif atau adjunctive,
hanya digunakan pada kasus tertentu.
Organ seks manusia yang terlibat dalam hubungan intim
bukan hanya alat kelamin kedua jenis manusia (penis dan
vagina); penghayatan erotis melibatkan juga bagian atau organ
tubuh lain, bahkan yang fungsinya sangat berlainan sekalipun
(anus).
14 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
Rangkaian respons seksual ( Sexual Response Cycle – SRC)
Hal-hal yang terjadi saat seseorang mengalami bangkitan /
rangsang seksual (bergairah secara seksual) dan berperilaku
seksual secara umum melibatkan tahap-tahap sebagai berikut
(berlaku untuk segala umur) (Masters & Johnson, 1996):
• tahap istirahat (tidak terangsang)
• tahap rangsangan (excitement) melibatkan stimuli sensoris
• tahap plateau (pendataran)
• tahap orgasme: melibatkan ejakulasi, kontraksi otot
• tahap resolusi (mencakup pasca orgasme)
Dalam keadaan tidak terangsang, penis dalam keadaan
flaksid/ kendur, vagina dalam keadaan kering dan kendur juga.
Pada saat minat seksual timbul, karena stimuli/rangsangan
psikologis atau fisik, mulailah tahap rangsangan /excitement.
Pada pria maupun wanita ditandai dengan vasokongesti (bertambahnya
aliran darah ke genitalia-rongga panggul) dan
myotonia (meningkatnya ketegangan/tonus otot, terutama juga
di daerah genitalia). Vasokongesti dan myotonia merupakan
isyarat utama tahap excitement dan menyebabkan ereksi penis
pada pria serta basahnya vagina (vaginal sweating) dan ereksi
clitoris pada wanita (tidak selalu). Proses-proses ini biasanya
tidak berada di bawah kontrol kesadaran atau kemauan.
Memikirkan seks tidak selalu menimbulkan ereksi atau
basahnya vagina, begitu juga sebaliknya. Tidak selalu jelas apa
yang menyebabkan seseorang menjadi terangsang (bernafsu)
secara seksual. Kadang-kadang mudah diketahui seperti
melihat orang yang seksi/cantik/menggairahkan, melakukan
petting tetapi bisa juga tidak jelas. Apapun yang memulai,
kegairahan seksual hanya berlanjut jika stimuli psikologis dan
fisik menetap. Jika kegairahan meningkat, orang akan masuk
tahap plateau vasokongesti dan myotonia mendatar tetapi
minat seks tetap tinggi. Fase plateau dapat singkat atau lama
tergantung rangsangan dan dorongan seks individu, latihan
sosial dan konstitusi/tubuh orang itu. Sebagian orang menginginkan
orgasme secepatnya, yang lain dapat mengendalikannya,
yang lain lagi menginginkan plateau yang lama sekali.
Tahap orgasme relatif singkat saja. Ketegangan psikologis
dan otot dengan cepat meningkat, begitu juga aktivitas tubuh,
jantung dan pernapasan. Kemudian tiba-tiba terjadi pelepasan
/release ketegangan seks, disebut klimaks/orgasme. Orgasme
dapat dicetuskan secara psikologis (dengan fantasi) dan secara
somatik dengan stimulasi bagian tubuh tertentu, yang berbeda
bagi tiap orang, (biasanya penis, scrotum, testes pada pria dan
clitoris, vagina, uterus pada wanita). Tiap bagian tubuh
manusia dapat merupakan organ sexy. Daerah manapun yang
dirangsang, tempat utama kenikmatan adalah di otak, tempat
utama pelepasan adalah panggul. Pada pria orgasme biasanya
mencakup ejakulasi juga. Pada wanita dan remaja prapuber
tidak ada ejakulasi. Sesudah orgasme, pria biasanya segera
memasuki fase resolusi menjadi pasif dan tidak responsif, penis
mengalami detumescence, sering pria tertidur dalam fase ini.
Sebagian wanita juga mengalami seperti ini, tetapi sebagian
besar umumnya masih responsif secara seksual, bergairah dan
masuk ke dalam fase plateau lagi, orgasme lagi sehingga
terjadi orgasme multipel. Sesudah orgasme, baik pria maupun
wanita kembali (mengalami resolusi) ke fase istirahat.
Keduanya mengalami relaksasi mental dan fisik, merasa
sejahtera. Banyak pria dan wanita merasakan kepuasan
psikologis atau relaksasi tanpa mencapai orgasme yang lain
merasa kecewa bila tanpa orgasme. Ada banyak variasi perilaku
pria dan wanita selama orgasme. Tidak ada yang lebih baik dari
yang lainnya.
PENGARUH OBAT TERHADAP FUNGSI / PERILAKU
SEKSUAL
Sudah berabad lamanya orang mencari obat/makanan yang
dapat meningkatkan/menambah/memperbaiki kemampuan atau
kenikmatan seksualnya (“obat kuat"). Beberapa zat/obat/
makanan telah disebut-sebut memiliki khasiat aphrodisiac
disebut sex enhancers tetapi perlu diketahui bahwa penggunaan
saat tertentu dapat justru mengakibatkan berkurangnya kemampuan
bahkan juga kenikmatan seksual, selain efek
samping lain. Penelitian-penelitian sampai hari ini belum dapat
menemukan obat yang dapat meningkatkan kemampuan
seksual seseorang, tanpa batas, bekerja pada siapa saja.
Penggunaan obat/zat untuk maksud ini tidak hanya pada orangorang
dewasa saja tetapi sejalan dengan meluasnya gangguan
penggunaan zat, makin banyak dijumpai orang-orang muda,
remaja yang terlibat dalam eksperimen menggunakan obat-obat
untuk menunjang perilaku seksualnya, suatu hal yang
sebetulnya tidak wajar atau tidak diperlukan.
Penggunaan obat dalam kaitannya dengan perilaku seksual
manusia dapat terjadi dalam beberapa keadaan. Dalam keadaan
normal dapat dijumpai pada pria yang mulai lanjut usia, yang
fungsi dan kemampuan seksnya telah mulai berkurang/mundur,
misalnya minum kopi beberapa saat sebelum melakukan
aktivitas seksual dapat membantu meningkatkan kemampuan
seksualnya. Demikian juga beberapa zat/bahan lain yang
mengandung kafein (coklat, kakao). Mereka yang sering gugup
bila berhadapan dengan 1awan jenisnya dapat dibantu dengan
obat penenang dalam dosis tertentu, tetapi jika dosis ini
dilampaui maka yang terjadi justru kemunduran kemampuan.
Mereka yang kurang yakin mengenai kemampuan seksualnya,
merasa rendah diri atau malu, kadang-kadang juga
menggunakan obat atau minuman beralkohol. Seorang wanita
yang menyadari perbuatannya adalah terlarang, tetapi tak
berdaya menolaknya, dapat meminum sejenis pi1 tidur untuk
membius dirinya sesaat sebelum berkencan, agar tidak
merasakan penderitaan (merasa tertekan karena malu)
ketika melakukan hubungan yang terlarang itu. Remaja
yang menga1ami hambatan atau penyimpangan dalam perkembangan
psikoseksualnya dapat bereksperimentasi dengan
obat-obatan untuk mendapatkan perasaan mantap dalam hal
seksual. Seseorang yang dorongan seksnya terlalu besar
sehingga sulit dikendalikan kadang-kadang meminta pertolongan
dokter untuk mendapatkan obat penekan nafsu seks.
Demikian juga isteri atau suami yang kewalahan melayani
permintaan teman hidupnya dalam hal seks, mungkin secara
diam-diam meminta pertolongan dokter atau dukun agar diberi
obat pelemah seks untuk partnernya itu. Obat-obat yang
digunakan bukan hanya yang tergolong dapat merangsang atau
menekan seks saja, melainkan juga obat yang sebetulnya untuk
penyakit jantung misalnya vasodi1atansia atau obat untuk
infeksi alat kemaluan, atau salep pelicin. Bahaya yang dapat
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 15
timbul selain penyalahgunaan dan atau ketergantungan zat/
obat, dapat berupa efek samping obat yang dipakai (insomnia,
gastritis, impotensi, tekanan darah rendah, reaksi psikotik,
radang saluran kemih dan sebagainya).
Ada sejumlah besar obat, baik yang harus diresepkan
maupun yang dapat dibeli bebas, mempunyai pengaruh
terhadap fungsi seksual manusia. Penelitian mengenai hal ini
masih amat terbatas sehingga tidak banyak diketahui tentang
peranan sesungguhnya obat-obat tersebut dalam pengaturan
fungsi seksual manusia.
Berikut daftar obat-obat nonpsikotropik atau nonpsikoaktif,
yang dapat mempengaruhi fungsi seksual manusia.
A. Obat-obat Antihipertensi
Dapat menurunkan libido dan fungsi seks
1. Diuretika
- thiazide
- ethacrynic acid
- furosemide
- spironolactone
2. Non-diuretika
- alpha-methy1dopa
- guanethidine
- hydralasine
- reserpine
- propranolol.
- nimodipin
- penghambat ganglion: pentolinium,mecamy1amine
B. Hormon
- androgen : testosteron
- anti androgen: estrogen
- cyprosterone acetate
- medroxyprogesterone acetate/MPA
- kortikosteroid
- prednison,
- prednisolon
C. Psikotropika ( bahan psikoaktif)
1. Sedatif dan hipnotik
- Meprobamate : Medicar®
- Benzodiazepin: Chlordiazepoxide (Librium®); Diaze -
pam (Valiurn®); Alprazolam; Clobazam dan
sebagainya)
- Barbiturat (Luminal®, Pentothal®, Nembutal® dan
sebagainya)
- Methaqualone
2. Antipsikotika
- Phenothiazine (Largacti1®,Melleril®,Stelazine®)
- Haloperidol (Haldol®, Serenace®)
- Monoamine-Oxidase Inhibitor (MAO-I): (Aurorix®)
- Tricyclic Antidepressants (TCAs)
- Lithium Carbonate (Priadel®; Theralite®)
- Anticholinergics (Cimetidine; Clofibrate; L-Dopa)
3. Alkohol/minuman beralkohol
4. Nikotin (tembakau, sigaret)
5. Marijuana (gelek, ganja, hasish, cimeng)
6. Opioid (heroin)
7. Amfetamin (MDMA, Ecstasy)
8. Kokain
9. Halusinogen (LSD/acid, mushroom)
SEKS DAN ALKOHOL
Alkohol dosis rendah dapat meningkatkan fungsi dan
perilaku seksual, tetapi dalam dosis tinggi dan lama akan
menimbulkan disfungsi seksual, bahkan kemandulan. Faktor
kepribadian atau kondisi mental mereka yang sedang dalam
suasana jiwa gembira, dengan minum alkohol akan bertambah
gembira, tetapi jika dalam suasana murung, malah akan makin
murung, fungsi seksnyapun akan makin buruk.
SEKS DAN NIKOTIN
Pada mereka yang tidak terbiasa merokok, mengisap rokok
sebelum coitus mungkin akan memperburuk fungsi/perilaku
seksualnya akibat intoksikasi nikotin. Banyak perokok mengisap
rokok dulu sebelum melakukan hubungan intim karena
sudah terbiasa dan karena nikotin memberikan sedikit
rangsangan , sedikit menyegarkan (nikotin mempunyai sifat stimulan).
SEKS DAN MARIJUANA
Pemakaian sekali-sekali mungkin dapat meningkatkan
fungsi seks dan fantasinya; dan seperti alkohol, bersifat
melancarkan (to facilitate). Penggunaan kronis, sama seperti
heroin/opioida akan menurunkan fungsi seks atau menyebabkan
kemandulan karena menurunkan kadar hormon testosteron
dalam darah. Sebagian pemakai menceritakan kenikmatan seks
yang meninggi jika sebelum coitus mereka mengisap ganja.
Sebagian lagi tidak merasakan efek tersebut.
SEKS DAN OPIAT/OPIOIDA
Dosis rendah dan sekali-sekali dapat memperlambat
ejakulasi, dosis tinggi dan kronis akan menyebabkan kemandulan
dan penurunan fungsi seks karena menyebabkan penurunan
testosteron serum. Wanita pecandu banyak yang menggunakan
seks untuk mendapatkan uang pembeli heroin atau dimanfaatkan
secara seksual oleh pria pengedar atau pacarnya yang
ketergantungan heroin.
SEKS DAN OBAT ANTIDEPRESAN
Obat-obat antidepresan dapat menyebabkan kesulitan
orgasme pada wanita dan kesulitan ejakulasi pada pria; yang
merupakan efek samping utama. Ini terjadi misalnya pada
antidepresan trisiklik seperti clomipramine, imipramine,
amitriptyline, dan lebih jarang oleh desipramine, amoxapine
dan nortriptyline. Untuk golongan MAO-I, tersering oleh
phenelzine. Pargyline, isocarboxazid dan tranylcypromine
kurang menyebabkan disfungsi seksual .
Untuk golongan antidepresan atipikal: trazodone menyebabkan
anorgasmia/inhibisi ejakulasi sertraline menyebabkan
kelambatan ejakulasi, dan fluoxetine menyebabkan kesulitan
orgasme atau orgasme spontan. Cyproheptadine dapat
memulihkan disfungsi ejakulasi/orgasme akibat antidepresan.
Antidepresan diperlukan dan efektif untuk disfungsi seksual
yang merupakan gejala depresi. Vilaxazine dan trazodone
16 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
dilaporkan lebih efektif daripada yang lainnya untuk memperbaiki
ereksi dan minat seksual pada pasien depresi.
Antidepresan juga efektif untuk sexual phobia dan
premature ejaculation. (yang terakhir ini memanfaatkan efek
samping antikholinergik) untuk ini yang tersering dipakai
adalah imipramine, walaupun yang lain juga bisa termasuk
MAO-Is. Clomipramine terkenal karena mempunyai efek
paradoksal : menginduksi atau menghambat orgasme wanita.
SEKS DAN LITHIUM
Laporan hanya sedikit terutama menurunkan dorongan
seks dan menyebabkan disfungsi ereksi.
SEKS DAN ANTIPSIKOTIKA
Efek antipsikotika terhadap fungsi seks sulit dipastikan,
karena beberapa faktor harus dipertimbangkan. Terhapuskannya
gejala psikotik dapat memperbaiki fungsi seks secara
keseluruhan. Pada pasien skizofrenia memang sudah terdapat
penurunan fungsi seksual sebelum onset psikosis. Efek sedatif
(dan berkurangnya mobilitas/pergerakan sebagai efek samping
ekstrapiramidal) cenderung mengurangi aktivitas /perilaku
seksual.
Kesulitan seksual yang paling sering ditimbulkan oleh obat
antipikotika adalah hambatan ejakuIasi yang paling parah oleh
Thioridazine (Melleril®) dan Chlorpromazine/CPZ (Largacti1®,
Promactil®). Chlorprothixene (Taractane®) dan Trif1uoperazine
(Stelazine®) kurang menyebabkan hambatan ejakulasi. CPZ
dapat menghapuskan kesulitan ejakulasi akibat thioridazine.
Begitu juga chlorprothixene dapat mengeliminir kesulitan
ejakulasi/orgasme akibat chlorpromazine. Trif1uoperazine
malah dapat menimbulkan ejakulasi spontan pada satu kasus.
Keterlambatan ejakulasi terjadi pada dosis rendah.
Hambatan ejakulasi total terlihat pada dosis thioridazine 25-
600 mg sehari.Tampaknya ada kesamaan di antara pria dan
wanita dalam hal efek samping fungsi seksual akibat medikasi
antipsikotika. Pada kebanyakan kasus, disfungsi seksual dialami
satu sampai dua minggu sesudah medikasi antipsikotika
pada semua kasus, fungsi seksual kembali normal dalam ± 3
hari penghentian medikasi.
SEKS DAN STIMULANSIA DAN KOKAIN
Perlu dipertimbangkan beberapa faktor sebagai berikut :
1. Pada pecandu amfetamin dapat dijumpai insidens yang
lebih tinggi kasus kepribadian antisosial, skizoid dan
paranoid (Ellinwood, 1967) juga cenderung terdapat
insidens problem identitas seksual yang lebih tinggi
(Mott,1972)
2. Perubahan-perubahan nafsu seks akibat penggunaan
amfetamin tampaknya berhubungan erat dengan penyesuaian
seksual (sexual adjustment) yang sudah ada :
a. Mereka yang sexually inhibited menga1ami pengurangan
inhibisi
b. Mereka yang terlibat praktek seksual atipikal mengalami
peningkatan perilaku (misal sadomasochisme dan incest
yang ekstrim).
Efek samping seksual stimulansia sangat bervariasi,
kadang-kadang agak saling bertentangan. Dapat terjadi
peningkatan dan penurunan nafsu seks, ereksi spontan dan
impotensi. Baik dosis dan lamanya pemakaian, cara pemakaian
(mode of use), riwayat kehidupan seks individu, setting sosial
dan bahkan harapan si pemakai merupakan faktor-faktor yang
menentukan. (Piemme,1976). Dosis rendah akan memperlancar,
dosis tinggi akan menghambat perilaku seksual.
Berkurangnya inhibisi akibat pemakaian stimulansia dapat
meningkatkan dorongan seks dan kenikmatan. Euphoria dan
perasaan mengambang/melayang (floating sensation) akibat
pemakaian stimulansia dapat meningkatkan atau mengimitasi
pengalaman orgasme (Siegel, 1982a, Hollister , 1975). Baik
pemakai pria maupun wanita ternyata menunjukkan partisipasi
yang lebih sering dalam praktek-praktek seksual atipikal
(exhibitionisme, promiscuity, sado-masochism dan incest).
Efek samping seksual tersering : keter1ambatan atau
inhibisi ejakulasi. Tampaknya ada perbedaan mencolok dalam
sikap pria dan wanita pemakai stimulansia: para pemakai pria
berpandangan positif terhadap seks, sedangkan para pemakai
wanita lebih banyak berpandangan negatif dan tidak puas
(Ellinwood & Rockwell, 1975; Gossop, Stern, Connel 1974;
Greaves, 1972, Knapp, 1972).
SEKS DAN BUSPIRON (Buspar®)
Buspiron mernpengaruhi sistem neurotransimter serotonergik,
dopaminergik dan noradrenergik (McEvoy, 1990).
Pasien disfungsi seksual yang memperoleh buspiron maksimum
60 mg/hari sampai 4 minggu menunjukkan perbaikan
fungsi seksual.
SEKS DAN FENFLURAMIN
Obat ini bersifat anti obesitas, anorektik dan mendepresi
SSP, meningkatkan pelepasan serotonin dan menghambat
ambilan kembali serotonin (McEvoy,1990). Dapat menurunkan
dorongan/nafsu seks pada dosis 120 mg/hari (Hughes, 1971)
dan 240 mg/hari (Sroule, 1971), mungkin karena efek sampingnya
(disforia, perut kembung, kramp perut, konstipasi dan
anxietas (O'Keane & Dinan, 1991). Impotensi dilaporkan oleh
Hollingsworth & Amatruda (1969). Stevenson & Solyom
(1990) melaporkan dua kasus dorongan seks meninggi (dosis
60 mg/hari) pada dosis 120 mg/hari pasien mengalami
preokupasi seks terus menerus, yang berkurang dan 1enyap
sesudah 7 hari penghentian obat ketika obat diberikan lagi,
libido meningkat lagi dalam 4 hari.
SEKS DAN LSD. (halusinogenik, serotonin agonist dan
antagonist, norepinephrine blocking, dopamine agonist.)
Pada pasien dengan kelainan psikoseksual, LSD 25-100
mcg. seminggu selama 2 bulan dapat meningkatkan fungsi
seksual (MacCal1um, 1968).
SEKS DAN ANKSIOLITIK
Bensodiazepin dapat bermanfaat untuk mendatangkan
keadaan relaks yang diperlukan untuk aktivitas seksual tetapi
juga dapat mengganggu respons seksual karena itu harus
diberikan secara hati-hati, dimulai dengan dosis rendah,
disesuaikan dengan kebutuhan dan dihentikan segera setelah
cara lain sudah dikuasai oleh pasien. Jika disfungsi seksual
rnerupakan bagian dari gangguan cemas, pemberian anti
anksietas harus menuruti prinsip pengobatan neurosis.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 17
Alprazolam yang dikenal bermanfaat untuk serangan panik
ternyata lebih efektif dibandingkan antianksietas lain untuk
mengurangi sexual phobia atau anticipatory anxiety selama
coitus.
SEKS DAN BARBITURAT
Barbiturat kadang-kadang digunakan o1eh sex therapist
untuk hipnosis agar mengatasi hambatan psikologis pasien
dalam hal seks. Harus ada informed consent dan hati-hati agar
terhindar dari tuntutan hukum. Kadang-kadang digunakan juga
pada kasus vaginismus untuk mendatangkan tidur sehingga
dapat dilakukan dilatasi vagina, tetapi jarang efektif dan dapat
menimbulkan trauma psikologis lebih lanjut.
PENUTUP
Walaupun telah ratusan tahun lamanya mencari dan menggunakan
obat atau bahan untuk meningkatkan potensi/
kemampuan seksual, masih sedikit data hasi1 penelitian yang
terkontrol baik dan objektif. Menggunakan obat-obatan untuk
maksud tersebut tanpa panduan dokter dapat mendatangkan
bahaya. Penanggulangan gangguan fungsi ereksi diharapkan
dapat membantu pasangan seks untuk melakukan coitus secara
memadai.
KEPUSTAKAAN
1. Diamond M, Karlens A. Sexual Decisions. Boston: Little,Brown & Co.
1980.
2. Kelodny RC. et al. Textbook of Sexual Medicine; Boston: Little Brown
& Co,1979.
3. Williams G.MS. Management of Impotence. Medicine Digest 1991; 9 (6)
4. Meston CM, Gorzalka BE. Psychoactive Drugs and Human Sexual
Behavior: the role of serotonergic activity. J. Psychoactive Drugs 1992 ;
24(1).
5. Ng ML.Treatment of Functional Sexual Disorder, the role of drugs.
Med.Progr. 1994; 21(8)
LAMPIRAN:
BEBERAPA MEDIKASI UNTUK DISFUNGSI SEKSUAL
1. Untuk sexual desire disorders
- Hyperactive desire : Thioridazine; CPZ; Cyprosterone
acetate; Medroxyprogesterone acetate (im)
- Hypoactive desire: 5 Testosterone (hanya untuk pria),
Ephedrine; Bromocriptine, Levodopa.
- Sex phobia : Alprazolam (Xanax®)
2. Untuk sexual arousal disorders
- Erectile disorder: Viloxasin, Trazodone, Yohimbine;
Gonadotropin releasing hormone (inhaler), Prostaglandin
E (intracaversona1 )
- Vaginal dryness: estrogen pada menopause/ oophorectorny
3. Orgasmic disorders
- Premature ejaculation : imipramine, thioridazine, phenoxybenzamine
- Retarded ejaculation (anejaculation): ephedrine
- Anorgasmia/orgasmic dysfunction: diazepam
4. Sexual pain disorder
- Vaginismus/dyspareunia : diazepam
5. Lain-lain
- nymphomania/sex offenders : medroxyprogesterone
acetate im, cyproterone acetate
18 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
IKHTISAR

Antidepresan Pemicu Disfungsi


Seksual
Myrna Justina
Dokter Umum Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi, Jawa Barat
PENDAHULUAN
Pengobatan psikiatri saat ini telah memberikan sumbangsih
yang luar biasa dalam penatalaksanaan depresi mayor
selama 2 dekade terakhir ini. Sejak pertengahan tahun 1980an,
telah beredar 9 obat baru yang mewakili 4 kelas obat untuk
pengobatan depresi mayor di Amerika Serikat, yang meliputi
penghambat selektif ambilan serotonin (selective serotonin
reuptake inhibitors / SSRIs - fluoxetine, sertraline, paroxetine,
citalopram), penghambat ambilan serotonin-norepinefrin
(serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors / SNRIsvenlafaxine,
mirtazapine), penghambat serotonin2A dan
penghambat lemah ambilan serotonin (nefazodone) dan
penghambat ambilan dopamin dan norepinefrin (bupropion).
Perbedaan khasiat klinis antara antidepresan baru dengan
yang lama seperti antidepresan trisiklik dan penghambat
monoamin-oksidase telah terbukti di dalam meta-analisis beberapa
uji klinis(1). Meskipun demikian pola efek sampingnya
telah diketahui secara luas dan menjadi topik pembahasan
beberapa literatur(2-5). Salah satu hal yang sangat mengkhawatirkan
akibat pemakaian bahan antidepresan yang umum
adalah disfungsi seksual(3, 4, 6).
DISFUNGSI SEKSUAL SEBAGAI PENGARUH NEGATIF
ANTIDEPRESAN
The Diagnostic and Statistical Manual, Edisi keempat
(DSM-IV)(7) menjabarkan disfungsi seksual sebagai gangguan
hasrat seksual dan atau di dalam siklus tanggapan seksual yang
menyebabkan tekanan berat dan kesulitan hubungan antar
manusia. Disfungsi seksual ini dapat terjadi pada 1 atau lebih
dari 4 fase siklus tanggapan yaitu hasrat (libido), bangkitan,
orgasme/pelepasan, dan pengembalian. Meskipun hampir
sepertiga pasien disfungsi seksual terjadi tanpa pengaruh
(penggunaan)obat, beberapa petunjuk mengarahkan bahwa
antidepresan dapat mencetuskan atau membangkitkan disfungsi
seksual(3, 4, 6).
Neurofisiologi fungsi seksual tidaklah sederhana dan
melibatkan beberapa jalur berganda dan neurotransmiter.
Antidepresan dapat mempengaruhi fungsi seksual manusia
melalui beraneka mekanisme. Beberapa studi dan literatur menunjukkan
bahwa antidepresan dapat memicu disfungsi
orgasme melalui penghambatan adrenergik alfa,antikolinergik
atau pengaruh serotonergik(8). Tipe disfungsi seksual yang
dilaporkan meliputi impotensi, penurunan libido, kelainan
ejakulasi pada laki-laki, dan kelainan orgasme pada wanita(9).
Tabel 1(9) memerinci insidens disfungsi seksual yang
dilaporkan dari informasi peresepan setiap antidepresan baru
yang beredar sejak tahun 1986. Laporan berbagai literatur(10-12).
mengarahkan dugaan insidensi disfungsi seksual yang dipicu
oleh beberapa antidepresan lebih besar di dalam praktek klinik
daripada yang diperoleh dari informasi peresepan.
Tabel 1. Laju disfungsi seksual yang disesuaikan dengan plasebo dari
informasi peresepan antidepresan baru yang dipasarkan di
Amerika Serikat
Bahan Impotensi
(%)
Penu -
runan
libido
(%)
Kelainan
orgasme
pria (%)
Kelainan
orgasme
wanita
(%)
Lainlain
(%)
Fluoxetine 2 3
Sertraline 6 14
Paroxetine 3 13 2 10
Citalopram 3 2 6
Venlafaxine 6 2 12 3
Bupropion <1 <1 <1
Nefazodone 1
Mirtazapine
Keterangan:
Diambil dari berbagai hasil uji klinis yang representatif. Data ini tidak
dapat dibandingkan antar uji klinis karena perbedaan kategori dan definisi
disfungsi seksual, serta metodologi pengumpulan data yang tidak seragam.
Perhatian utama mengenai antidepresan sebagai pemicu
disfungsi seksual tertuju pada kelas SSRIs. Hal ini karena kelas
ini memegang peranan utama pengobatan depresi di Amerika
Serikat. Tiga uji klinis acak(12-14) telah secara sistematik menilai
disfungsi seksual yang dipicu oleh SSRIs.
Uji klinis acak yang pertama(12) membandingkan khasiat
sertraline (dosis rerata 82 mg perhari) dengan citalopram (dosis
rerata 34 mg perhari) pada 400 pasien depresi. Di dalam uji
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 19
klinis ini, kehilangan hasrat seksual dilaporkan sebesar 3,5%
pasien yang mendapatkan sertraline dan 6,5% pasien yang
mendapatkan citalopram, disfungsi ejakulasi 10,5% untuk
sertraline dan 14,4% untuk citalopram, dan disfungsi orgasme
wanita 5% untuk sertraline dan 7% untuk citalopram.
Uji klinis acak yang kedua(13) membandingkan khasiat
sertraline (dosis rerata 145 mg perhari), amitriptiline (dosis
rerata 104 mg perhari) dan plasebo pada 448 pasien depresi
rawat jalan. Pasien ditanyai pada interval yang teratur untuk
menilai pengaruh negatif termasuk disfungsi seksual. Khasiat
pengobatan adalah setara pada kedua kelompok pengobatan
aktif dan keduanya lebih unggul daripada plasebo. Insiden
disfungsi seksual pria yang berupa keterlambatan orgasme
primer atau anorgasmia adalah 21% untuk sertraline, 7,7%
untuk amitriptilin, dan 1,4% untuk plasebo.
Uji klinis acak yang lebih kecil(14) membandingkan
fluvoxamine (dosis rerata 102 mg perhari) dan paroxetine
(dosis rerata 36 mg perhari) dalam pengobatan 60 pasien
depresi rawat jalan. Meskipun khasiat pengobatan dilaporkan
setara, kelainan ejakulasi pria dilaporkan 21% untuk paroxetine
dan 7% untuk fluvoxamine, penurunan libido 17% untuk
paroxetine dan 13% untuk fluvoxamine. Karena jumlah
sampelnya kecil, perbedaan yang didapatkan tidak bermakna.
PILIHAN PENGOBATAN DEPRESI PADA PASIEN
SEKSUAL AKTIF
Kecenderungan disfungsi seksual akibat penggunaan
SSRIs dan SNRI mengakibatkan banyak klinisi mencari pilihan
pengobatan lain untuk pasien depresi yang masih aktif seksual.
Tiga antidepresan yang beredar sejak tahun 1986 tampaknya
mempunyai laju pengaruh negatif seksual yang lebih rendah
dari SSRIs dan SNRI, yaitu bupropion, nefazodone dan
mirtazapine. Beberapa uji klinis acak telah membuktikan
kesamaan khasiat dengan SSRIs dan keuntungan dalam hal
disfungsi ereksi pada bupropion dan nefazodone, sedangkan
pengalihan pengobatan ke mirtazapine menunjukkan perbaikan
disfungsi seksual pada uji klinis yang tidak acak.
Dalam menghadapi antidepresan pemicu disfungsi seksual,
para klinisi mempunyai beberapa pilihan. Pendekatan pertama
adalah menunggu untuk menentukan apakah gejala mereda
dengan berjalannya waktu atau mengubah dosis bahan yang
digunakan. Pendekatan kedua adalah menyesuaikan dosis naik
atau turun untuk mendapatkan dosis efektif dengan pengaruh
negatif yang minimal. Pendekatan ketiga adalah menjadualkan
interupsi obat, menambahkan bahan lain yang melawan
disfungsi seksual dan mengganti antidepresan lain yang
mempunyai pengaruh negatif yang lebih kecil. Dari ketiga
pendekatan tersebut, pendekatan pertama hanya bermanfaat
pada sekelompok kecil pasien(15). Beberapa peneliti(16)
melaporkan pemulihan gejala disfungsi seksual sesaat ketika
dosis antidepresan dititrasi turun untuk mencapai kadar
minimum efektif. Keberhasilan penjadualan libur obat untuk
memulihkan fungsi seksual juga masih terbatas. Penambahan
obat yang melawan disfungsi seksual juga masih belum
terbukti manfaatnya dari uji klinis acak terkontrol. Oleh karena
itu, pengalihan obat tampaknya merupakan pilihan umum.
Kelompok ahli melaporkan aktifitas pengalihan obat sebesar
25% dari SSRIs ke bahan lain karena alasan disfungsi seksual,
meskipun kadang-kadang khasiat pengobatannya belum
seefektif SSRIs/SNRIs untuk penyakit tertentu yang bersangkutan.
PENUTUP
Dari berbagai studi terkontrol telah diketahui antidepresan
dapat memicu disfungsi seksual terutama pada kelompok yang
umum digunakan. Meskipun belum diteliti secara rinci,
peningkatan laju putus obat dan penurunan kepatuhan berobat
jelas akan meningkatkan kegagalan pengobatan pada pasienpasien
yang aktif seksual. Selain itu pengaruh negatif ini jelas
mempunyai dampak pada biaya pengobatan, karena pilihan
yang lain lebih mahal, selain juga memerlukan bahan untuk
melawan disfungsi seksual ini. Kelompok tertentu ini jelas
memerlukan perhatian yang lebih besar, oleh karena itu perlu
formula farmasi dan organisasi perawatan untuk menentukan
bahan lini pertama dengan pengaruh negatif yang paling kecil,
mudah tersedia, dan setara dengan bahan yang lain.
KEPUSTAKAAN
1. Anderson IM. Selective serotonin reuptake inhibitors versus tricyclic
antidepressants: a meta-analysis of efficacy and tolerability. J Affect
Disord 2000; 58: 19-36.
2. Preskorn SH. Comparison of the tolerability of bupropion, fluoxetine,
imipramide, nefazodone, paroxetine, sertraline and venlafaxine. J. Clin.
Psychiatr. 1995; 56(Suppl 6): 12-21.
3. Rosen RC, Lane RM, Menza M. Effects of SSRIs on sexual function: a
critical review. J. Clin Psychopharmacol 1999; 19: 67-85.
4. Dewan MJ, Anand VS. Evaluating the tolerability of the newer
antidepressants. J Nerv Ment Dis 1999; 187: 96-101.
5. Goldstein BJ, Goodnick PJ. Selective serotonin reuptake inhibitors in the
treatment of affective disorders-III. Tolerability, safety, and
pharmacoeconomics. J Psychopharmacol 1998; 12(Suppl): S55-87.
6. Piazza LA, Markowitz JC, Kocsis JH. et al. Sexual functioning in
chronically depressed patients treated with SSRI antidepressants: a pilot
study. Am J Psychiatr. 1997; 154: 1757-9.
7. Diagnostic and Statistical Manual for Psychiatric Disorders. Edisi
keempat. Washington, DC: American Psychiatric Association, 1994.
8. Zajecka J, Fawcett J, Schaff M, Jeffries H, Guy C. The role of serotonin
in sexual dysfunction: fluoxetine-associated orgasm dysfunction. J Clin
Psychiatr. 1991; 52: 66-8.
9. Physicians’ Desk Reference. Edisi ke-55. Mortvale, NJ: Medical
Economics Co., Inc., 2001.
10. Patterson WM. Fluoxetine-induced sexual dysfunction (letter). J Clin
Psychiatr.1993; 54: 71.
11. Herman JB, Brosman AW, Follack MH, Falk WE, Biederman J,
Rosenbaum JF. Fluoxetine-induced sexual dysfunction. J Clin Psychiatr.
1990; 51: 25-7.
12. Ekselius L, von Knorring LEG. A double-blind study comparing
sertraline and citalopram in patients with major depression treated in
general practice (Abstract). Eur Neuropsychopharmacol 1997; 7(Suppl):
S147.
13. Reimherr FW, Chouinard G, Cohn CK, et al. Antidepressant efficacy of
sertraline: a double-blind, placebo- and amitriptyline-controlled,
multicenter comparison study in outpatients with major depression. J Clin
Psychiatr. 1990; 51(Suppl B): 18-27.
14. Kiev A, Feiger A. A double-blind comparison of fluvoxamine and
paroxetine in the treatment of depressed outpatients. J Clin Psychiatr.
1998; 58: 146-52
15. Montejo-Gonzales AL, Llorca G, Izquierdo JA, et al. SSRI-induced
sexual dysfunction: fluoxetine, paroxetine, sertraline, and fluvoxamine in
a prospective, multicenter, and descriptive clinical study of 344 patients.
J Sex Marital Ther 1887; 23: 176-94.
16. Harvey KV, Balon R. Clinical implications of antidepressant drug effects
on sexual function. Ann Clin Psychiatry 1995; 7: 189-201.
20 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Penanganan Psikologik
pada Obesitas
Sylvia D. Elvira
Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta,Indonesia
PENDAHULUAN
Obesitas merupakan suatu kondisi yang dahulu
dianggap sebagai lambang kesejahteraan dan tidak berkaitan
dengan penyakit. Insidens dan prevalensinya meningkat, baik
di negara maju maupun di negara-negara berkembang, sejalan
dengan perkembangan teknologi yang memberikan kemudahan
dan perubahan gaya hidup. Namun, berkaitan
dengan risiko kesehatan dan dampaknya terhadap kualitas
hidup, kini obesitas merupakan problem atau penyakit(1,3).
Obesitas merupakan masalah yang diperhatikan
karena berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas berbagai penyakit, antara lain hipertensi, gangguan
kardiovaskuler, diabetes, gangguan endokrin lainnya, penyakit
kandung empedu, problem paru dan pernafasan,
artritis, gangguan tidur, ketidakmampuan untuk berpartisipasi
pada aktivitas-aktivitas rekreasi dan olahraga, rendahnya harga
diri dan problem citra-tubuh(1,4).
Akhir-akhir ini obesitas dinyatakan sebagai penyakit
kronik dengan penyebab multifaktorial. Dari penelitianpenelitian
didapatkan bahwa obesitas tidak disebabkan oleh
penyebab tunggal melainkan oleh hubungan yang kompleks
antara faktor genetik, fisiologik, metabolik,
psikologik, sosioekonomik, gaya hidup dan faktor budaya.
Bila ditinjau dan aspek psikologik, obesitas dapat merupakan
suatu kondisi tersendiri yang antara lain
merupakan gejala dari gangguan makan (misalnya bulimia
nervosa), atau merupakan kondisi yang berkaitan dengan
citra-diri dan harga-diri, yang mempunyai dasar psikodinamika
tertentu. Pada makalah ini hanya akan dibahas
mengenai obesitas sebagai gejala dari gangguan makan,
disertai penanganannya secara garis besar.
OBESITAS
Kata obesitas berasal dari bahasa Latin: obesus, obedere,
yang artinya gemuk atau kegemukan. Obesitas atau gemuk
merupakan suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan
penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan. Pendapat
lain mengatakan bahwa obesitas merupakan gangguan medik
kronik yang tidak dapat disembuhkan dan hanya dapat
diobati(4,5).
Sebagian orang menggolongkan obesitas sebagai suatu
kelainan akibat kurangnya pengendalian diri dan hal tersebut
bisa jadi telah menjadi anggapan umum(3). Pengendalian diri
yang dimaksud di sini tentunya pengendalian terhadap keinginan
untuk makan Bila kita melihat seseorang dengan
obesitas, yang terbayang adalah bahwa orang itu telah makan
sedemikian banyak sehingga bentuk tubuhnya menjadi seperti
yang kita lihat. Mengapa ia makan sedemikian banyak? Tidak
merasa kenyangkah ia hingga tidak berhenti makan saat ia sudah
merasa kenyang? Atau, apakah porsi makannya memang
sedemikian besar dan hal itu telah menjadi kebiasaannya sejak
lama, atau bahkan sejak kecil? Mengapa ia tidak dapat mengendalikan
keinginan makannya?
TERJADINYA OBESITAS
Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan
dan keluaran energi sehingga terjadi kelebihan energi yang
selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak(2). Etiologinya
multifaktorial, baik faktor individual (biologik dan psikologik)
maupun lingkungan. Bila faktor yang dapat merupakan etiologi
yang berasal dari individu seperti gangguan endokrin, serta
faktor organik lainnya ternyata tidak ditemukan, kondisi ini
dapat merupakan konsekuensi dari suatu keadaan yang
dialami seseorang, yang tidak dapat mengendalikan keinginannya
untuk makan, bagi orang tersebut makan dilakukan bukan
untuk memenuhi kebutuhan untuk mengganti energi yang telah
digunakan dan dikeluarkan pada aktivitas fisik atau psikologik
tertentu, melainkan karena memang ingin makan dan makan,
yang tidak mampu dikendalikan olehnya.
Kondisi ingin makan dan makan itu termasuk dalam kelompok
gangguan makan dalam PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia) maupun dalam
DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
disorders).Gangguan makan t Dibacakan pada Simposium Penanganan Gangguan Obesitas dan ersebut, yang kondisi pasien-
Metabolisme Androgen pada Masa Reproduksi, Jakarta 31 Agustus 2002
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 21
nya biasanya tampak gemuk atau mengalami obesitas, terdiri
atas binge-eating disorder dan bulimia nervosa(6,7).
Pada binge-eating disorder gejala yang ditemui yaitu
seseorang makan pada suatu periode tertentu, dengan jumlah
yang lebih banyak dan lebih cepat daripada kebanyakan orang,
hingga ia merasa benar-benar sangat kenyang (uncomfortably
full). Biasanya makan dilakukan tidak pada saat lapar,
seorang diri karena malu makan dalam jumlah besar. Biasanya
orang tersebut mengalami depresi atau merasa bersalah setelah
makan(6,9,10).
Bulimia adalah kecenderungan atau dorongan untuk makan
banyak, berlebihan, mungkin disertai nafsu makan besar mungkin
pula tidak(11).Gejalanya serupa dengan binge-eating disorder
disertai perilaku mengeluarkan kembali makanan tersebut,
baik dengan cara memuntahkan atau dengan menggunakan
pencahar(6,9,10).
PSIKODINAMIK OBESITAS
Obesitas terjadi karena makan berlebih (over-eating).
Pada awal kehidupan, seorang bayi mempersepsikan makanan
sebagai pengekspresian rasa cinta, dan persepsi tersebut sering
masih tersisa. Pada saat pemberian makan, seorang ibu dapat
memindahkan perasaan cemas atau ansietas yang dialaminya
kepada anaknya. Makan dapat menjadi cara untuk mengatasi
kecemasan, yang terjadi karena frustrasi yang dialami, karena
adanya persepsi bahwa cinta dan perhatian setara dengan
makanan. Kelebihan makan mungkin merupakan indikasi adanya
ansietas dini tersebut(12).
Menurut Hamburger, makan berlebih merupakan respons
terhadap ketegangan emosional yang tidak spesifik, atau
merupakan substitusi dari gratifikasi yang tidak dapat ditoleransi
pada situasi-situasi tertentu dalam kehidupan,
atau merupakan gejala dari gangguan emosional yang
mendasarinya, terutama depresi(12).
Bulimia nervosa maupun binge-eating disorder dapat
dialami seseorang mungkin karena ketidakmampuannya
untuk mengatasi masalah-masalah hidup secara praktis.
Ketidakmampuan tersebut biasanya dalam pengendalian
emosi, pemrosesannya, serta mengatasinya. Ini terjadi
mungkin karena adanya depresi yang mendasarinya. Depresi
tersebut dapat terjadi karena terhambatnya proses perkembangan
mental seseorang sehingga ia lebih nyaman
menggunakan mekanisme adaptasi (atau defensi) yang biasa
digunakannya pada fase perkembangan yang lebih dini, yaitu
fase oral (fase di saat seseorang mengatasi problem hidupnya
terutama dengan mulut, biasanya pada usia antara 0-18
bulan). Mekanisme defensi yang digunakan adalah introyeksi,
yaitu memasukkan suatu objek ke dalam struktur psikis
individu(11) objek ini semula bersifat kongkrit (karena kemampuan
berpikir yang masih terbatas dan didominansi oleh
proses pikir primer) berupa makanan, tetapi kemudian
secara bertahap dapat berkembang menjadi lebih abstrak
(misalnya ibu atau orang lain yang dicintai atau dianggap
dekat dan nantinya dapat berupa lain ide, harga diri, prestasi,
dan sebagainya)(l).
Depresi dapat pula terjadi secara sekunder karena
obesitasnya individu mengalami obesitas namun mempunyai
keinginan atau bayangan mengenai bentuk tubuh yang 'ideal'
sehingga mengalami depresi karena bayangan bentuk tubuh
tersebut tidak dapat dicapainya. Kemungkinan lain, depresi
terjadi karena gangguan citra-tubuh (sering berupa distorsi,
yaitu bila melihat di depan cermin, seseorang tidak melihat
tubuhnya seperti apa adanya dalam realitas) seseorang yang
obes, jarang menyadari seberapa gemuk dirinya(14). Mengenai
kedua hal ini tidak akan dibahas lebih mendalam dalam
makalah ini.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan terhadap obesitas merupakan pendekatan
holistik dan komprehensif, termasuk meneliti latar
belakang terjadinya obesitas pada seseorang, apakah murni
karena gangguan metabolik atau gangguan organik lainnya,
ataukah berperan pula faktor psikologik tertentu sebagaimana
telah dibahas sebelumnya(610). Biasanya penatalaksanaannya
meliputi pemberian farmakoterapi, pengaturan diet, latihan fisik,
pengubahan gaya hidup.
PENANGANAN PSIKOLOGIK
Pada pasien dengan obesitas yang dasarnya adalah gangguan
makan yang didasari oleh depresi, maka penanganannya
sesuai dengan penatalaksanaan terhadap gangguan depresi,
yaitu pemberian psikofarmaka dan psikoterapi. Psikofarmaka
yang diberikan berupa antidepresi golongan apa saja, antara lain:
Serotonin Selective Reuptake Inhibitor (SSRI) (sertraline 1 x 50
mg per hari, atau fluoxetine 1 x 20 mg per hari, atau
fluvoxamine Ix 50 mg per hari), reversible monoamine
oxidase inhibitor (RIMA) (moclobemide 2 x 150 mg per
hari), maupun trisiklik dan tetrasiklik (imipramin, maprotilin),
disesuaikan dengan kondisi pasien (umur, pekerjaan dan
kegiatan sehari-harinya serta sosio-ekonomi).
Psikoterapi yang diberikan dapat berupa psikoterapi dengan
pendekatan dinamik, atau non-dinamik, seperti terapi kognitifperilaku,
atau modifikasi perilaku. Pemilihan jenis psikoterapi
disesuaikan dengan kondisi dan kepribadian pasien. Pada psikoterapi
dinamik, tujuan utama adalah pencapaian tilikan
(insight),yaitu mengajak pasien untuk lebih memahami diri dan
kehidupannya (termasuk konflik dan pelbagai problem yang
pernah dihadapi dan cara mengatasinya), baik pasien maupun
dokter berperan aktif dalam proses. Pada setiap pertemuan,
topik yang dibahas disesuaikan dengan yang ingin dikemukakan
oleh pasien topik mengenai hal-ihwal yang berkaitan
dengan depresi atau gangguan makan atau obesitas yang
dialami dapat dibahas sesuai dengan kebutuhan. Biasanya
dilakukan dalam jangka panjang, minimal 3-12 bulan.
Pada terapi kognitif-perilaku, pasien diajak untuk menilai
cara berpikirnya selama ini yang lebih cenderung ke arah
irasional (sering berpikir negatif secara otomatis tentang diri
dan kondisi yang dialaminya), pasien diajak untuk mengubah
cara berpikirnya ke arah yang lebih rasional pasien juga
diajak untuk dapat menggunakan cara lain untuk menghadapi
stres dan perasaan-perasaan negatif lainnya yang
mengarah pada perilaku 'bingeing' dan makan berlebihan.(14)
Pada terapi perilaku (behavior modification), tujuan
terapi adalah membantu pasien memodifikasi kebiasaan
22 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
makannya, meningkatkan aktivitas fisik, meningkatkan kesadaran
akan kedua hal tersebut (pengubahan kebiasaan
makan dan latihan fisik). Pasien diminta mengidentifikasi dan
mencatat saat, suasana dan tempat sewaktu keinginan makan
timbul serta frekuensi makannya pasien kemudian diarahkan
untuk dapat mengontrol stimulus agar dapat memutuskan
rantai antara peristiwa yang membangkitkan keinginan
makan dengan perilaku makannya (contohnya antara lain
dengan membatasi tempat-tempat makannya, atau dengan
mengambil segelas air putih di antara setiap gigitan
makanan, mengunyah dengan frekuensi tertentu). Kemudian
pasien diajak untuk memodifikasi konsekuensi dari
perilaku makannya untuk self-reward (termasuk mengembangkan
kemampuan assertive, belajar menyatakan 'tidak'
serta mengembangakn self-talk yang positif)(6,14-16).
KESIMPULAN
Obesitas merupakan gangguan yang disebabkan oleh
pelbagai macam faktor, yang merupakan hubungan yang
kompleks antara faktor genetik, fisiologik, metabolik,
psikologik, sosioekonomik, gaya hidup dan faktor
budaya. Faktor psikologik juga berperan dalam terjadinya
obesitas, antara lain berupa terdapatnya gangguan makan
yaitu bulimia nervosa atau binge-eating disorder, yang
didasari oleh adanya depresi yang dialami seseorang.
Penanganan psikologik terhadap obesitas adalah sesuai
dengan yang dilakukan terhadap depresi, yaitu pemberian
psikofarrnaka berupa anti depresi, serta psikoterapi, baik
dengan pendekatan dinamik, atau terapi kognitif-perilaku,
atau modifikasi perilaku yang disesuaikan dengan kondisi dan
kepribadian pasien.
KEPUSTAKAAN
1. Waspadji S. Kegemukan: pendekatan klinis dan pemilihan obatnya,
dalam Prosiding Temu Ilmiah Akbar 2002. Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Imu Penyakit Dalam FKUI2002: 69-71.
2. Sjarif DR. Evaluasi dan tatalaksana obesitas pada anak, dalam Prosiding
Temu Ilmiah Akbar 2002. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2002:
3. Soegondo S. Obesitas dan permasalahannya, dalam Prosiding Temu
Ilmiah Akbar 2002. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Imu Penyakit
Dalam FKUI 2002: 64.
4. Obesity, is it an eating disorder? Anorexia Nervosa & Related Eating
Disorders, Inc. ANRED, 2002.
5. Myers MD. Comprehensive obesity treatment. www.weight.com. 2000
6. Brownell KD, Wadden TA. Obesity dalam Comprehensive Textbook of
Psychiatry, ed. VII, Kaplan , Sadock. (eds.) 2000: 1787, 1789, 1792.
7. Direktorat Kesehatan Jiwa, Ditjen Pelayanan Medik, Departemen
Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia edisi III (PPDGJ-III) -1995.
8. Schwartz M. Binge eating disorder: a new eating disorder
category.webmaster@ct. addictionprofessionals. com 1998.
9. Fairburn. Risk factors for binge eating disorder. Arch. Gen. Psychiatr.
1998,55: 425
10. Grinker RR, Robbins FP. Obesity, dalam Psychosomatic case book,
NewYork Toronto: The Blakiston Co. Inc. 1954: 191-2
11. Lubis DB. Pengantar psikiatri klinik. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 1989:
91.
12. Psychological causes of obesity
13. Eating disorder and obesity.www.austinpsych.com/services.eating dis. html.
14. Palmer MP. Complexity of obesity. www.innerself.com.
15. Autres Traitements. Psychotherapy for obesity. www.obesity-diet.com
16. Bray GA. Behavior modification in the treatment of obesity. Lousiana State
University Jan 2001.
17. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical
Manual for Mental Disorders -fourth edition (DSM-IV), 1994.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 23
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Diagnosis dan Penatalaksanaan


Gangguan Asperger
Theresia Kaunang
Sub Bagian Psikiatri Anak dan Remaja, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN
Gangguan Asperger merupakan salah satu jenis gangguan
dari kelompok gangguan perkembangan pervasif(1-3). Dalam
DSM IV kategori ini meliputi gangguan autistik, gangguan
Rett, gangguan disintegrasi pada anak, gangguan Asperger dan
gangguan perkembangan pervasif yang tidak ditentukan
(pervasive developmental disorder not otherwise specified)(4-6).
Tulisan asli tentang gangguan Asperger pertama kali
dipublikasikan di Jerman oleh Hans Asperger (1942)(7-9).
Asperger menggambarkan 4 anak yang mengalami kesulitan
integrasi sosial dalam kelompoknya. Ia menyebutkan kondisi
ini sebagai “autistic psychopathy”, yang menunjukkan suatu
gangguan kepribadian dengan ditandai oleh isolasi sosial(10-13).
Dengan meningkatnya jumlah kasus autisme dalam tahuntahun
terakhir ini, terlihat meningkat pula angka kejadian
gangguan Asperger, karena gangguan ini termasuk dalam
spektrum autistik. Pada awalnya, di Indonesia sangat jarang
klinikus mendiagnosis gangguan Asperger, bahkan hampir
tidak ada. Akan tetapi beberapa tahun terakhir ini mulai ada
beberapa kasus gangguan Asperger yang terdiagnosis,
demikian juga seperti yang terlihat dalam media massa dan
website. Namun demikian belum ada data di RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Sangatlah penting mengetahui dan
menyegarkan kembali ingatan tentang gangguan Asperger agar
memudahkan klinikus mendiagnosis gangguan ini. Tulisan ini
berusaha membahas gangguan Asperger secara singkat.
DEFINISI
Gangguan Asperger ditandai dengan gangguan dalam
interaksi sosial dan terhambatnya perhatian serta perilaku
seperti yang terlihat pada autisme, tetapi tidak ada kelambatan
dalam berbicara dan berbahasa reseptif, perkembangan
kognitif, ketrampilan menolong diri sendiri, atau keingintahuan
terhadap lingkungan(1).
EPIDEMIOLOGI
Menurut Volkmar, prevalensi gangguan Asperger adalah 1
di antara 10.000(1). Kepustakaan lain menyebutkan 20-25 setiap
10.000 orang anak(5). Angka kejadian gangguan Asperger
dengan kriteria diagnosis Gillberg & Gillberg (1989) atau dengan
kriteria ICD-10 terlihat meningkat. Gillberg & Gillberg
memperkirakan 0,26%(14).
Pada tahun 1991 suatu penelitian menyebutkan prevalensi
gangguan Asperger 2,6-3 setiap 1000 anak(11). Menurut
penelitian suatu populasi 3,6-7,1 dalam 1000 anak dengan
rentang usia 7-16 tahun (Ehler & Gillberg, 1993)(3,8,15). Di RS
Broadmoor, sebuah rumah sakit khusus, prevalensi gangguan
Asperger mencapai 1,5%(15). Wolf dkk (1991) menemukan 3-
5% kasus skizoid mirip dengan gangguan Asperger(8).
Wing (1978) mengatakan bahwa gangguan Asperger menunjukkan
rasio laki-laki : perempuan 15:4, sedangkan menurut
Wolff & Barlow(1979) rasio laki-laki : perempuan adalah
9:1(9). Kepustakaan lain (1981) mengatakan 10-15:1. Ehler dan
Gillberg (1993) menyebutkan 4:1(8). Prevalensi gangguan
Asperger pada anak usia 7-16 tahun adalah 0,71 % ; laki-laki
0,97% dan perempuan 0,44%(15).
ETIOLOGI
Etiologi gangguan Asperger masih menjadi perdebatan(16).
Gangguan Asperger merupakan kondisi yang termasuk dalam
spektrum autisme, sehingga kepustakaan menyebutkan bahwa
etiologinya sama(10). Beberapa kepustakaan mengatakan bahwa
etiologinya terkait dengan genetik dan kerusakan otak(17-20).
Sedangkan Ciaranello dan Ciaranello (1995) membagi etiologi
gangguan Asperger ke dalam dua tipe yaitu genetik dan non
genetik(3).
Tipe genetik.
Etiologi genetik berhubungan dengan kontrol gen pada
perkembangan otak(3). Hubungan genetik antara autisme dan
gangguan Asperger dapat digambarkan sebagai berikut: anak
yang menderita gangguan Asperger seringkali ayahnya memiliki
kesulitan dalam interaksi sosial(1). Terdapat beberapa
laporan adanya transmisi keluarga pada gangguan Asperger.
Gillberg mengatakan terdapat patologi “Asperger Syndromelike”
pada anggota keluarga terdekat dari penderita gangguan
Asperger(8). De Long & Dwyer menemukan gangguan Asperger
24 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
pada keluarga dari anak yang menderita gangguan autistik high
functioning(11). Faktor genetik menunjukkan adanya hubungan
antara autisme dengan gangguan Asperger(21). Sejumlah 9%
anak penderita autisme mempunyai ayah sindrom Asperger
atau ciri-ciri Asperger(22).
Secara genetik peranan kromosom fragile-X untuk terjadinya
gangguan Asperger sangat bermakna(11,22,23). Studi
kembar dua memberi dukungan adanya dasar genetik gangguan
ini(3), akan tetapi pada studi kembar tiga tidak. Jikapun dasar
etiologinya genetik, faktor lain perlu dipertimbangkan misalnya
keadaan prenatal, perinatal dan postnatal(23).
Non genetik
Ciaranello (1995)mengatakan etiologi nongenetik meliputi
infeksi prenatal. Menurut Chess (1997) ada peningkatan
insidens setelah pandemi rubella. Infeksi varisela dan toxoplasmosis
prenatal berhubungan dengan terjadinya gangguan
ini. Juga berhubungan dengan riwayat ibu, riwayat kehamilan
dan persalinan. Hipotiroid pada ibu selama kehamilan berkaitan
dengan terjadinya gangguan ini(3).
Beberapa penelitian melaporkan hubungan antara gejala
gastrointestinal dengan gangguan autistik. D’eufemia dkk,
mengatakan bahwa terdapat peningkatan permeabilitas usus
pada pasien gangguan spektrum autistik. Ini memberi kesan
bahwa disfungsi gastrointestinal berhubungan dengan gangguan
perkembangan pervasif (19,24).
Pemeriksaan beberapa penderita Asperger menunjukkan
adanya abnormalitas makroskopis asam amino dengan peningkatan
arginin, ornitin, histidin, treonin dan serin. Jadi
memperlihatkan adanya aminoasiduria(25). Davis, Fennoy
(1992) menyebutkan bahwa penyalahgunaan zat berperan
untuk terjadinya gejala spektrum autistik pada anak yang dilahirkan.
Penelitian menemukan bahwa penyalahgunaan kokain
dan zat lain dapat berhubungan dengan gangguan ini(3). Adanya
hubungan temporal antara vaksinasi MMR dan gangguan spektrum
autistik masih diperdebatkan(16). Faktor imunitas nampaknya
berperan untuk terjadinya gangguan Asperger. Beberapa
penderita menunjukkan disfungsi atau abnormalitas sejumlah
sel T(20). Proses penyakitnya adalah akibat langsung dari
gangguan di susunan saraf pusat(16). Terjadi hipometabolisme
glukosa di cingulata anterior dan posterior pada penderita
gangguan spektrum autistik. Juga terlihat adanya penyusutan
volume girus cingulata anterior kanan, khususnya area
Brodmann’s 24(21).
Wing mengatakan ada riwayat trauma serebral pada pra,
peri dan post-natal(23). Gambaran pencitraan otak, memperlihatkan
adanya lesi di substansia alba girus temporal medial
kanan. Beberapa penelitian menggambarkan adanya disfungsi
hemisfer kanan pada gangguan Asperger(8,26). Juga memperlihatkan
adanya abnormalitas fasikulus longitudinal inferior,
suatu serabut ipsilateral yang menghubungkan lobus oksipitalis
dan temporalis serta pola aktivitas abnormal di daerah kortikal
temporal ventral(27). Girus temporal medial dan sulkus temporal
superior yang berbatasan, berperan pada ekspresi wajah dan
kontak mata langsung(10). Disfungsi lobus frontalis memperlihatkan
adanya defisit fungsi eksekutif.(8). Pada gangguan
Asperger ditemukan adanya ganglioside yang meningkat bermakna
pada cairan serebrospinal(8). Semua abnormalitas yang
terjadi, berhubungan dengan gejala klinis dan neuropsikologi(
9,28). Bukti neuropatologi yang bervariasi menyebabkan
perdebatan tentang lokasi kerusakan(12). Laporan terakhir menyebutkan
etiologi penyakit spektrum autistik berhubungan
dengan kondisi biomedis(19).
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis penderita gangguan Asperger dalam
beberapa hal sebagai berikut:
Interaksi sosial
Penderita gangguan Asperger mengalami isolasi sosial,
tetapi tidak selalu menarik diri di antara orang lain. Walaupun
demikian pendekatan mereka terhadap orang lain adalah
inappropriate atau dengan cara eksentrik. Mereka menunjukkan
perhatian untuk bersahabat bila bertemu orang lain, tapi
selalu terhambat oleh pendekatan yang kaku dan tidak sensitif
terhadap perasaan orang lain. Mereka juga tidak sensitif atas
komunikasi samar-samar dari orang lain, misalnya tidak memahami
tanda kebosanan, pergi karena terburu-buru dan keadaan
yang memerlukan privacy(1).
Hal ini menyebabkan kesulitan membina hubungan persahabatan.
Mereka tidak mengerti petunjuk yang halus/samar,
gaya bicara metafora, dan seringkali dianggap konkrit(14).
mengerti pertanyaan, tetapi tidak dapat menggunakan pengetahuan
yang dimilikinya untuk memecahkan masalah(23).
Penderita gangguan Asperger tidak dapat mengomentari
tujuan aktivitas sosial, perasaan dan elemen sosial lainnya dari
suatu cerita(10). Penderita gangguan ini mampu menjelaskan
dengan benar (kognitif dan cara yang formal) tentang emosi,
maksud yang diharapkan dan aturan sosial. Namun demikian
tidak dapat menerapkan pengetahuan ini secara intuitif dan
spontan, sehingga kehilangan waktu untuk berinteraksi(1).
Terhadap orang lain, mereka sangat kaku, bereaksi tidak
sesuai dan gagal berinterpretasi, serta kurang mempunyai ekspresi
wajah(1,3,11). Mereka kurang peka terhadap lingkungan,
tidak peduli dengan ekspresi emosi orang lain(1,3), dan kurang
empati dengan perasaan orang lain(2,8,9,11), sehingga Gillberg
mengklasifikasikannya ke dalam kelompok gangguan
empati(29).
Saat sedang berbicara, penderita tidak menatap sehingga
memperlihatkan kurang atensi dan kurang berrespons dengan
isyarat sosial(8). Dengan demikian menunjukkan komunikasi
yang kurang mendalam(3). Gangguan Asperger menyebabkan
hambatan untuk mengenal wajah orang lain. Keadaan ini
merupakan inti dari disabilitas sosial(8,27).
Penderita gangguan ini menyenangi lingkungan yang
penuh rutinitas dan terstruktur. Mereka suka dipuji, suka
memperoleh kemenangan, dan mampu menjadi juara, akan
tetapi sering mendapatkan kegagalan, ketidaksempurnaan dan
kritik(14).
Motorik
Anak dengan gangguan Asperger mempunyai riwayat
kemahiran motorik yang tertunda(1,29), seperti mengayuh
sepeda, menangkap bola (tidak ada koordinasi antara kedua
tangan)(30,31). membuka botol dan panjat-memanjat(1,10). Mereka
sulit mengikat dasi atau tali sepatu. Mereka tampak kurang
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 25
koordinasi serta menunjukkan pola jalan yang resmi(1,10). aneh
dan sulit untuk berbaris(31). Terdapat motoric clumsiness(10,29,30).
Menunjukkan kesulitan menulis dengan tangan, sehingga
menjadi malu atau marah karena ketidakmampuan menulis
rapi. Mereka mempunyai kemampuan menggunakan komputer
dan keyboard sehingga lebih memilih komputer daripada
menulis tangan(22). Tampak jelas terdapat gangguan ketrampilan
motorik-visual dan visuospatial(11,17,31,32). Mereka mengalami
kesulitan menggunting bentuk dari kertas(30). Dalam hal psikomotor
mereka menunjukkan gerakan stereotipik(9,10,31,32).
Kognitif
Kemampuan intelektual penderita menetap(10). Tidak ada
defisit kognitif(3,8), namun beberapa penelitian menggambarkan
adanya defisit daya ingat dalam beberapa aspek(33,34). Kepustakaan
lain mengatakan bahwa kemampuan daya ingat
cukup baik dan mereka mengingat tanpa berpikir. Penderita
Asperger dapat mengingat dengan seksama fakta, bentuk, data,
waktu dan lain-lain. Mereka tertarik pada topik luar biasa
yang mendominasi pembicaraan mereka(1). Mereka mengumpulkan
banyak informasi tentang fakta di dunia(3). Sejumlah
besar topik dikumpulkan dengan semangat. Mereka mempelajari
topik seperti ular, nama binatang, pemandu televisi,
musim, data pribadi anggota kongres, jadwal kereta api dan
astronomi, tanpa pengertian luas dari fenomena yang terlibat(
1,23). Mereka unggul dalam bidang matematika dan ilmu
pengetahuan. Mereka dapat mengingat banyak frasa tapi tidak
dapat menggunakannya dalam konteks yang benar(14).
Pada umumnya IQ mereka normal sampai superior. Verbal
IQ lebih tinggi dibandingkan dengan performance IQ(29,35,36)
Akan tetapi terdapat gangguan dalam konsep belajar(1).
Suatu penelitian melalui story-telling memperlihatkan
adanya gangguan imajinasi(37). Penelitian lain juga mendapatkan
gangguan kreativitas dan imajinasi(38).
Bahasa
Secara kasar perkembangan bahasa penderita gangguan
Asperger nampak normal, tidak ada kesulitan menempatkan
bahasa. Pasien berbicara agak formal dengan tata bahasa yang
tinggi, sehingga pada awal perkembangan tidak dapat didiagnosis.
Asperger menyebutkannya little professor. Ada tiga
aspek pola komunikasi yang menarik secara klinik pada
gangguan Asperger yaitu :(1)
1. Pembicaraan ditandai dengan kurangnya prosodi, pola
intonasi terbatas, walaupun nada suara dan intonasi tidak
sekaku dan semonoton gangguan autistik(1,3,9). Bicaranya
terlalu cepat, tersentak-sentak, dengan volume yang
kurang modulasi: misalnya suara keras walaupun lawan
bicara berada dalam jarak dekat. Kurang pertimbangan
untuk situasi sosial tertentu, misalnya di perpustakaan atau
pada keadaan gaduh(1,39).
2. Pembicaraan tangensial dan sirkumstansial, sehingga
memberi kesan suatu asosiasi longgar dan inkoheren(1,3).
Sebagian pasien memberi kesan gangguan proses pikir.
Gaya bicara egosentris dengan menggunakan kata-kata
harfiah(1,3,11). seperti monolog tentang nama, kode, atribut
di televisi dari berbagai negara. Gagal memberi alasan atau
komentar tentang suatu pembicaraan dan secara jelas
membatasi topik(1).
3. Gaya bicara bertele-tele tentang subyek favorit dan tidak
peduli apakah pendengar tertarik,menolak atau mencoba
menyelipkan kata-kata untuk mengganti subyek. Mereka
tidak pernah sampai pada satu titik kesimpulan. Lawan
bicara seringkali gagal mencoba menguraikan masalah
atau logika, ataupun mengalihkan topik(1).
KRITERIA DIAGNOSTIK
Dahulu para peneliti membuat kriteria diagnosis gangguan
Asperger sendiri yaitu: kriteria diagnostik Wing (1981),
Gillberg and Gillberg (1989), Szatmari dkk (1989), kriteria
diagnostik ICD 10 (1990), kriteria diagnostik DSM IV(13,40).
Sekarang ICD 10 dan DSM IV digunakan sebagai kriteria
diagnosis.
Kriteria diagnosis Gangguan Asperger menurut DSM IV:
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, seperti yang
ditunjukkan oleh sekurangnya dua dari berikut :
- Ditandai gangguan dalam penggunaan perilaku
nonverbal multipel seperti tatapan mata, ekspresi
wajah, postur tubuh, dan gerak-gerik untuk mengatur
interaksi sosial.
- Gagal mengembangkan hubungan dengan teman
sebaya yang sesuai menurut tingkat perkembangan.
- Gangguan untuk secara spontan membagi kesenangan,
perhatian atau prestasi dengan orang lain (seperti
kurang memperlihatkan, membawa atau menunjukkan
obyek yang menjadi perhatian orang lain).
- Tidak adanya timbal balik sosial dan emosional.
2. Pola perilaku, minat dan aktivitas yang terbatas, berulang
dan stereotipik, seperti yang ditunjukkan oleh sekurang -
kurangnya satu dari berikut :
- Preokupasi dengan satu atau lebih pola minat yang
stereotipik, dan terbatas, yang abnormal baik dalam
intensitas maupun fokusnya.
- Ketaatan yang tampaknya tidak fleksibel terhadap
rutinitas atau ritual yang spesifik dan nonfungsional.
- Manerisme motorik stereotipik dan berulang (menjentik
dan mengepak-ngepak tangan atau jari, atau
gerakan kompleks seluruh tubuh).
- Preokupasi persisten dengan bagian-bagian obyek.
3. Gangguan ini menyebabkan gangguan yang bermakna
secara klinis dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi
penting lainnya.
4. Tidak terdapat keterlambatan menyeluruh yang bermakna
secara klinis dalam bahasa (misalnya, menggunakan kata
tunggal pada usia 2 tahun, frasa komunikatif digunakan
pada usia 3 tahun).
5. Tidak terdapat keterlambatan bermakna secara klinis
dalam perkembangan kognitif atau dalam perkembangan
ketrampilan menolong diri sendiri dan perilaku adaptif
yang sesuai dengan usia (selain dalam interaksi sosial), dan
keingintahuan tentang lingkungan pada masa kanak-kanak.
6. Tidak memenuhi kriteria untuk gangguan pervasif spesifik
atau skizofrenia(6).
Klasifikasi gangguan perkembangan pervasif yang ada
26 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
sekarang ini kurang memuaskan orang tua yang mempunyai
anak dengan gangguan ini, klinikus dan peneliti akademik.
Karena reliabilitas dan validitas dari data empirik gangguan ini,
dianjurkan pendekatan baru untuk klasifikasinya(40).
DIAGNOSIS BANDING
1. Autisme infantil
Gangguan Asperger berbeda dengan autisme infantil
dalam onset usia onset autisme infantil lebih awal(2,41), juga
berbeda dalam keparahan penyakit yaitu autisme infantil lebih
parah dibandingkan gangguan Asperger(2,42). Pasien autisme
infantil menunjukkan penundaan dan penyimpangan dalam
kemahiran berbahasa serta adanya gangguan kognitif(2,17).Oral
vocabulary test menunjukkan keadaan yang lebih baik pada
gangguan Asperger. Defisit sosial dan komunikasi lebih berat
pada autisme(17). Selain itu ditemukan adanya manerisme
motorik sedangkan pada gangguan Asperger yang menonjol
adalah perhatian terbatas dan motorik yang canggung, serta
gagal mengerti isyarat nonverbal. Lebih sulit membedakan
gangguan Asperger dengan autisme infantil tanpa retardasi
mental. Gangguan Asperger biasanya memperlihatkan gambaran
IQ yang lebih baik daripada autisme infantil(2), kecuali
autisme infantil high functioning(41). Batas antara gangguan
Asperger dan high functioning autism untuk gangguan berbahasa
dan gangguan belajar sangat kabur(8). Gangguan
Asperger mempunyai verbal intelligence yang normal sedangkan
autisme infantil mempunyai verbal intelligence yang
kurang(2). Gangguan Asperger mempunyai empati yang lebih
baik dibandingkan dengan autisme infantil, sekalipun keduanya
mengalami kesulitan berempati(2,11).
2. Gangguan perkembangan pervasif yang tidak ditentukan
Gangguan Asperger lebih berat dalam disfungsi sosial(1,10).
3. Gangguan kepribadian skizoid
Gangguan kepribadian skizoid tidak memperlihatkan
keparahan dalam gangguan sosial, juga tidak ada kelainan pada
pola perkembangan awal seperti yang tampak pada gangguan
Asperger(1,43). Gillberg memberi gambaran anak dengan
gangguan Asperger memenuhi kriteria gangguan kepribadian
skizoid untuk orang dewasa(44) Wolf dan Cull (1986) mengatakan
bahwa gangguan Asperger merupakan varian dari gangguan
kepribadian skizoid(45) dan identik dengan gangguan
kepribadian skizoid pada orang dewasa(14). Sementara Tantam
(1988,1991) mengatakan bahwa jelas berbeda antara gangguan
Asperger dan gangguan kepribadian skizoid(46).
4. Skizofrenia
Gangguan Asperger didiagnosis banding dengan
skizofrenia onset masa kanak-kanak(8). Kombinasi dari bicara
bertele-tele, bicara sendiri, pola pembicaraan inkoheren, gagal
mengganti topik pembicaraan dan gagal memberi latar belakang
suatu cerita, menyebabkan kekeliruan mendiagnosis
Skizofrenia. Gangguan Asperger lebih menunjukkan disfungsi
komunikasi daripada gangguan proses pikir(1,10). Ekspresi wajah
yang abnormal terdapat pada kedua gangguan ini(18).
5. Gangguan Kepribadian Obsesi Kompulsi.
Beberapa gejala gangguan Asperger bertumpang tindih
dengan gangguan kepribadian obsesi kompulsi seperti fungsi
sosial yang terbatas. Keadaan ini menyebabkan gangguan
Asperger didiagnosis banding dengan gangguan Kepribadian
Obsesi Kompulsi(8,9).
Tabel 1. Differential diagnostic features of autism and nonautistic
pervasive developmental disorders(1)
Feature Autistic
disorder
Asperger’s
disorder
Pervasive
developmental
disorder NOS
Age at recognition
(month) 0-36 Usually > 36 Variable
Sex ratio
M>F M>F M>F
Loss of skills Variable Usually not Usually not
Social skills Very poor Poor Variable
Communication
skills Usually poor Fair Fair to good
Circumscribed -
interests
Variable
(mechanical)
Variable
Marked (facts)
Variable
Unknown
Family history of
similar problems
Sometimes Frequent Frequent
Seizure disorder Common Uncommon Uncommon
Head growth -
deceleration No No No
I.Q. range
Severe MR
to normal
Mild MR to
normal
Severe MR to
normal
Outcome Poor to fair Fair to good Fair to good
PROGNOSIS DAN PERJALANAN PENYAKIT
Perbedaan klinik antara gangguan autisme dan gangguan
Asperger mempunyai nilai prognosis(21). Gangguan Asperger
mempunyai prognosis yang lebih baik(12,22,29). Terdapat perbedaan
rentang keparahan dari gangguan Asperger, sehingga
beberapa kasus tidak terdiagnosis karena penderitanya hanya
tampak aneh dan eksentrik(14). Perempuan mempunyai prognosis
yang lebih baik(47). Perjalanan penyakit dan akibatnya
sangat bervariasi(1) karena IQ dan ketrampilan berbahasanya
relatif baik(41). Beberapa anak dapat mengikuti pendidikan
secara teratur dengan mendapat dukungan sedangkan yang lain
membutuhkan pendidikan khusus. Keadaan ini disebabkan
karena gangguan dalam perilaku dan interaksi sosial, bukan
karena defisit akademik(1).
Prediksi masa depan anak Asperger positif. Beberapa
pasien menggunakan talenta khususnya untuk memperoleh
pekerjaan yang dapat menunjang kehidupannya sendiri(1).
Perilaku buruk seringkali didasari ketidakmampuan mengkomunikasikan
frustrasi dan kecemasan(14). Pada saat remaja,
mereka tidak menyadari kalau berbeda dengan yang lain dan
sering disingkirkan dalam hubungan interpersonal. Pada saat
dewasa mereka beradaptasi sangat superfisial, egosentris dan
terisolasi(3). Gangguan bipolar dan gangguan cemas dapat
menjadi komorbiditas untuk gangguan Asperger(5,11,48). Frustrasi
kronis akibat kegagalan berulang apabila berbicara dengan
orang lain dan saat menjalin persahabatan menye- babkan
penderita dengan gangguan Asperger dapat menderita juga
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 27
gangguan mood(1).
Beberapa penderita dapat mempunyai gambaran katatonik(
8) gangguan obsesi kompulsi(3,5,49) ide bunuh diri, temper
dan gangguan menentang(49). Penderita gangguan Asperger
mengalami penurunan berat badan dan gangguan makan(50).
Pada beberapa populasi penelitian ditemukan adanya komorbiditas
gangguan ini dengan gangguan tik(2,5,40) dan sindrom
Tourette(3,8,22) Volkmar & Klin,1997 mengatakan adanya
komorbiditas antara gangguan Asperger dengan Attention
Deficit Hiperactivity Disorder(3).
Menurut Tantam (1980), penderita Asperger memperlihatkan
perilaku antisosial pada saat dewasa(45). Gangguan
Asperger akan berkembang pada kecenderungan paranoid(22).
Mawson dan kawan-kawan (1985), menunjukkan adanya
hubungan antara gangguan Asperger dengan perilaku kekerasan
dan agresif serta membakar rumah(15). Beberapa gangguan
medis spesifik yang dapat bersamaan dengan gangguan Asperger
yaitu tuberous sclerosis,(17,26,39) Marfan-like syndrome,
Kleine-Levin syndrome, fragile X syndrome dan sindrom
kromosom lain termasuk translokasi kromosom 17-19(8).
PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya adalah suportif dan simtomatis; meliputi
beberapa aspek antara lain ketrampilan sosial dan komunikasi,
orangtua, pendidikan, pekerjaan dan terapi yang lain.1
Ketrampilan sosial dan komunikasi
Penderita Asperger mempunyai kecenderungan menggantungkan
diri pada aturan yang kaku dan rutinitas. Keadaan ini
dapat digunakan untuk mengembangkan kebiasaan yang positif
dan meningkatkan kualitas hidup. Strategi menyelesaikan
masalah diajarkan untuk menangani keadaan yang sering
terjadi, situasi sulit seperti terlibat dengan hal baru, kebutuhan
sosial dan frustrasi. Dibutuhkan latihan untuk mengenal situasi
sulit dan memilih strategi yang pernah dipelajari untuk situasi
seperti itu(1).
Program Behavioral Modification dilakukan untuk melatih
anak agar bersikap lebih layak dan dapat diterima secara sosial.
Dalam program ini yang diintervensi adalah(51).
• Rutinitas harian.
• Pengendalian temper tantrum
• Komunikasi
• Aspek emosi
Ketrampilan sosial dan komunikasi sebaiknya diajarkan oleh
ahli komunikasi untuk berbicara pragmatis. Keadaan ini dapat
dilakukan dalam terapi dua orang atau terapi kelompok kecil.
Terapi komunikasi meliputi:(1)
1. perilaku nonverbal yang sesuai (cara memandang untuk
interaksi sosial, memonitor dan mencontoh perubahan
suara).
2. membaca kode verbal dari perilaku nonverbal orang lain
3. social awareness.
4. perspective taking skill
5. interpretasi yang benar untuk komunikasi yang berarti
ganda.
Kelompok self support dapat membantu penderita Asperger.
Pengalaman kecil pada kelompok self-support memberi kesan
bahwa individu dengan gangguan Asperger menikmati kesempatan
tertentu dengan orang lain. Ia dapat mengembangkan
hubungan di sekitar aktivitasnya dengan orang lain untuk
membagi perhatian. Perhatian khusus dibuat untuk menciptakan
kesempatan sosial melalui kelompok minat.
Mereka membutuhkan kasih sayang, kelembutan hati,
kepedulian, kesabaran dan pengertian. Jika mereka mendapat
kannya, sedikitnya dapat lebih terlibat dalam masyarakat(14).
Orang tua
Orang tua berperan sangat besar dalam penatalaksanaan
gangguan Asperger. Beberapa strategi yang menolong orangtua
untuk menghadapi anaknya :
- Buatlah pembicaraan yang sederhana sesuai dengan tingkat
pengertian mereka
- Buatlah instruksi yang sederhana untuk pekerjaan yang rumit
dengan menggunakan daftar atau gambar.
- Mencoba mengkonfirmasi apakah mereka mengerti apa yang
dibicarakan atau ditanyakan. Jangan membuat pertanyaan yang
cukup dijawabYes/No.
- Jelaskan bahwa mereka harus menatap saat berbicara dengan
orang lain, beri semangat, pujian untuk prestasi, khususnya
pada saat mereka menggunakan ketrampilan sosial tanpa
disuruh.
- Untuk anak kecil yang tampaknya tidak mau mendengar,
berbicara dengan dinyanyikan akan lebih bermanfaat.
- Berilah pilihan yang dibatasi dua atau tiga pilihan(14).
Pendidikan
Sangat bermanfaat jika anak dimasukkan ke sekolah yang
memahami kesulitan anak dan orangtuanya. Guru harus menyadari
bahwa muridnya mempunyai gangguan perkembangan
dan berbeda dari murid lain(5,14). Ketrampilan, konsep, prosedur
yang teratur, strategi kognitif dan norma-norma perilaku dapat
diajarkan dengan efektif(1).
Beberapa prinsip umum sekolah agar dapat diaplikasikan
pada anak dengan gangguan Asperger :(5)
- Rutinitas kelas harus konsisten, terstruktur, dan sebisa
mungkin dapat diramalkan. Mereka harus dipersiapkan terlebih
dahulu. Termasuk jadual istirahat, hari libur dan sebagainya.
- Aturan diterapkan dengan seksama. Beberapa anak kaku
dengan aturan. Pedoman dan aturan diterangkan dengan jelas,
akan menolong jika melalui tulisan.
- Guru mengambil kesempatan pada bidang yang menjadi
perhatian anak saat mengajar. Anak akan belajar dengan baik
dan memperlihatkan motivasi dan perhatian yang besar bila
sesuai dengan yang dijadualkan.
- Banyak anak gangguan Asperger berespons baik secara
visual dengan alat seperti : jadual, chart, list, gambar dsb.
- Secara umum mengajar dengan konkrit. Hindari gaya
bahasa yang sulit dimengerti seperti sarkasme, idiom dan
sebagainya.
- Strategi mengajar didaktik dan eksplisit dapat membantu
anak memperoleh kecakapannya pada bidang fungsi eksekutif.
- Pastikan bahwa staf lain seperti guru olahraga, sopir bus,
petugas perpustakaan dan kafetaria mengetahui keadaan anak.
Lakukanlah pendekatan terhadap mereka.
28 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
Pekerjaan
Dalam pekerjaan, manfaatkan kemampuan mereka untuk
dapat mandiri. Kemandirian dalam berbagai bidang menjadi
prioritas(1). Penderita gangguan Asperger dilatih dan ditempatkan
pada pekerjaan yang mendapat dukungan dan perlindungan
dengan demikian mereka tidak akan mengalami gangguan
psikologik. Sebaiknya pekerjaan mereka tidak melibatkan
tuntutan sosial yang intensif, tekanan waktu atau membutuhkan
perubahan cepat. Jangan ditempatkan pada situasi baru yang
membutuhkan pemecahan masalah(1).
Terapi lain
Diberikan psikoterapi dan terapi okupasi. Psikoterapi suportif
dapat menolong penderita agar dapat beradaptasi dengan perasaan
sedih, frustrasi dan ansietas. Keadaan yang langsung terfokus pada
pemecahan masalah lebih berguna daripada pendekatan berorientasi
tilikan (insight)(32). Terapi okupasi sangat dibutuhkan,
diberikan oleh seorang terapis yang berpengalaman, untuk
melatih koordinasi gerakan(32). Intervensi farmakologi tak kalah
penting untuk menghilangkan gejala dan psikopatologi lain(32).
Diutamakan jika ada gejala agresivitas dan self injuries.
Golongan antagonis serotonin dopamin seperti risperidone,
olanzapine, quetiapine(52,53) dan serotonin selective reuptake
inhibitor seperti fluoxetin menurut kepustakaan sangat baik
untuk gangguan Asperger. Clomipramine efektif untuk terapi
gejala obsesi kompulsi pada gangguan ini. Terapi stimulan
bermanfaat untuk mengatasi gangguan atensi(8).
Nutrisi dapat menolong anak dengan gangguan Asperger.
Makanan bebas gluten dan kasein sangat dianjurkan. Hal ini
berdasarkan pada hipotesis opioid pada autisme. Mega dosis
vitamin dan mineral dianjurkan pada penatalaksanaan gangguan
spektrum autisme. Diet bebas fenol dan salisilat, gula, zat
aditif, jamur/fermentasi dianjurkan dengan menggunakan rotasi
diet(54,55). Integrasi sensorik dilakukan pada anak gangguan
spektrum autisme dengan tujuan untuk memperbaiki sistem
registrasi dan modulasi dari berbagai input sensorik, memfasilitasi
fungsi regulasi, memfasilitasi proses dari berbagai input
sensorik, dan membantu perkembangan praksis dan ketrampilan
untuk memecahkan masalah(56).
ILUSTRASI KASUS
B, laki-laki, 7 tahun, datang dengan keluhan suka memukul
dan berteriak jika keinginan tidak atau lama dipenuhi.
Pasien lebih suka main sendiri dan sulit berteman, juga di
sekolah. Pasien kelihatan aneh dan tidak bisa bergaul. Pasien
suka bermain permainan aneh yang diciptakan sendiri. Ia tidak
bisa mengerti dan peduli dengan perasaan orang lain. Ia sering
melempar, menonjok tanpa mempedulikan orang lain, tapi
tidak boleh ditegur. Pasien juga suka membangkang.
Nilai pelajaran cukup bagus dengan rata-rata 7-9 untuk
matematika dan pelajaran hafalan. Pasien kurang abstraksi,
sulit mengerti bahasa. Pasien anak tunggal, kedua orang tua
bekerja, riwayat prenatal tidak ada keluhan, proses persalinan
dengan risiko ketuban pecah dini, berat badan lahir 3,5 kg,
panjang badan 49 cm.
Pasien mengikuti aktivitas seperti taekwondo, piano dan
komputer. Pasien bercita-cita ingin menjadi pilot karena ia
ingin naik pesawat yang ada baling-balingnya di hidung dan
mesinnya jet. Pasien masuk TK pada usia 5 tahun, bisa membaca
dan berhitung pada usia 4 tahun, tidak ada keterlambatan
bicara dan berbahasa. Usia 6 tahun masuk SD. Di kelas II cawu
II pasien pindah sekolah, karena murid di SD sebelumnya
terlalu banyak.
Pada pemeriksaan pasien tampak bersikap kaku, berbicara
dengan bahasa yang baku dan sangat formal tanpa memandang
lawan bicaranya (menghindari kontak mata). Pasien bicara
keras dan tidak bisa pelan. Pasien memperlihatkan gangguan
interaksi sosial dalam kontak mata yang kurang adekuat.
Memperlihatkan respons yang tertunda waktu disapa.
Pembicaraannya kurang modulasi dan nampak monoton. Ia
tidak menunjukkan rasa sedih atau kecewa saat menceritakan
tidak bisa makan McDonald, padahal ia menyukainya. Ia tidak
berespons dengan ekspresi wajah dan sikap orang lain. Ia tidak
membalas jika orang lain tersenyum kepadanya. Pasien menyebutkan
tanda waktu secara detil misalnya waktu ditanyakan
jam berapa pulang sekolah, ia menjawab jam dua belas lewat
tiga puluh enam menit, sepuluh detik, demikian juga untuk
pertanyaan lain mengenai waktu. Pada saat ditanya, pertanyaan
harus diulang baru pasien menjawab. Terkadang jawaban tidak
sesuai.
Saat ditegur karena melakukan kesalahan, pasien berkata:
”mengapa marah-marah, saya tidak salah”, dengan wajah tak
bersalah. Ia tidak bisa menulis rapi dan sering marah-marah
dan berteriak-teriak karena tidak bisa menulis rapi. Ia sering
menghindari pekerjaan menulis. Pada saat menjiplak pasien
tidak dapat melakukannya dengan rapi dan teratur, ia melakukannya
berulang-ulang sampai bosan dan istirahat.
Demikian juga saat menggunting gambar di kertas terlihat
sangat kaku dan hasilnya tidak rapi. Apabila pasien melakukan
sesuatu yang sulit, kemudian gagal maka ia akan frustrasi dan
berteriak-teriak. Setiap kali kunjungan pasien melakukan hal
yang rutin yaitu menggambar, padahal tidak disuruh. Untuk
mengubah kebiasaan pasien ke hal-hal yang baru harus melalui
proses dan tidak boleh langsung karena pasien akan ngambek.
Di rumah pasien suka main playstation. Interaksi pasien
dengan orangtuanya: pasien dapat ditinggal orang tuanya tanpa
protes, tetap bisa bermain dengan baik (asyik sendiri). Orientasi
dan persepsi baik, Mood/afek inappropriate, empati sulit
dirabarasakan, proses pikir terhambat.
DISKUSI
Memahami gambaran klinis dan kriteria diagnostik adalah
modal untuk mendiagnosis gangguan Asperger. Gambaran
klinis yang mirip atau tampaknya bertumpang tindih dengan
gangguan dalam spektrum autistik, dapat menyulitkan diagnosis.
Deteksi dini gangguan Asperger dapat dilakukan jika
mampu melakukan anamnesis dan pemeriksaan dengan teliti
untuk menegakkan diagnosis. Etiologi gangguan Asperger
masih dalam perdebatan, sehingga sampai saat ini penatalaksanaan
pada dasarnya adalah suportif dan simtomatis.
Terapi non farmakologis dan farmakologis diberikan
sesuai kebutuhan pasien. Pendekatan multidisiplin bermanfaat
untuk memberikan terapi yang holistik dan komprehensif.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 29
PUISI KARANGAN SEORANG ANAK
GANGGUAN ASPERGER
Ironing Out the Wrinkles
Life was once a tangled mess.
Like missing pieces, in a game of chess.
Like only half a pattern for a dress.
Like saying no, but meaning yes.
Like wanting more, and getting less.
But I’m slowly straightening it out.
Life was once a tangled vine.
Like saying yours, and meaning mine.
Like feeling sick, but saying fine.
Like ordering milk, but saying wine.
Like seeing a tree, and saying vine.
But I’m slowly straightening it out.
Life is now a lot more clear.
The tangles are unraveling,
And hope is near.
Sure there are bumps ahead.
But no more do I look on with dread.
After fourteen years the tangles have straightened.
(Vanessa Regal)30
Gambar 1 : Dari seorang anak penderita gangguan Asperger
KEPUSTAKAAN
1. Volkmar FR, Klin A. Pervasive developmental disorder. Dalam : Kaplan
HI, Sadock BJ. Comprehensive Textbook of Psychiatry, 7th ed, Baltimore,
William & Wilkins;1999:2674-7.
2. Bowman EP. Asperger’s syndrome and autism: the case for a connection.
Br J Psychiatr. 1988; 152 : 377-82.
3. Rosen BS. Asperger’s syndrome, high functioning autism, and disorder of
autistic continuum. http://www.asperggersyndrome.com. Diakses 4 April
2001.
4. Levin K. Pervasive developmental disorder: PDD-NOS, Asperger
disorder and autism parent information booklet. http://www.children
hospital.org/ici/publications. Diakses 4 April 2001.
5. Bauer S. Asperger syndrome. http://www.asperger.org/articles. Diakses 4
April 2001.
6. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder 4th ed. American
Psychiatric Association.Washington, DC:75-7.
7. Volkmar FR, Klin A, Siegel B, et al. Field trial for autistic disorder in
DSM-IV. Am J Psychiatr. 1994;151:1361-7.
8. Gillberg C. Asperger syndrome and high functioning autism, Br J
Psychiatr. 1998;172:200-9
9. Kerbeshian J, Burd L. Asperger’s syndrome and Tourette syndrome: the
case of the Pinball Wizard. Br J Psychiatr. 1986;148:731-6.
10. Volkmar FR, Klin A, Schultz RT et al. Clinical case conference :
Asperger’s disorder. Am J Psychiatr. 2000;157:262-7.
11. Cox AD. Is Asperger’s syndrome a useful diagnosis ?. Arch. Dis.
Childhood 1991;66: 259-62.
12. Kerbeshian J, Burd L, Fisher W. Asperger’s syndrome: to be or not to
be?. Br J Psychiatr. 1990;156:721-5.
13. Ehlers S, Gillberg C. The epidemiology of Asperger syndrome : A total
population study. Cambridge University Press, 1993.
14. Lord R. Asperger syndrome. http: www.asperger.orgarticle. Diakses 4
April 2001.
15. Scragg P, Shah A. Prevalence of Asperger’s syndrome in a secure
hospital. Br J Psychiatr. 1994;165:679-82
16. Editorial. By one name. J Pediatr. 2000;136:576-7.
17. Szatmari P et al. Two year outcome of preschool children with autism or
Asperger’s syndrome and high functioning autism. Br J Psychiatr.
1998;172:200-9.
18. Tantam D. Lifelong eccentricity and social isolation II: Asperger’s
syndrome or schizoid personality disorder?. Br J Psychiatr.1988;153:
783-91.
19. Editorial. Zebras in the livingroom : The changing faces of autism. J
Pediatr.1999;135:533-5.
20. Connolly AM et al. Serum autoantibodies to brain in Landau-Kleffner
variant, autism, and other neurologic disorder. J Pediatr. 1999;134:607-
13.
21. Volkmar FR et al. Nosology and genetic aspect of Asperger syndrome. J
Autism Dev Disord.1998;28(5):457-63.
22. Gillberg CL. Autism and autistic-like conditions : subclasses among
disorder or empathy. Cambridge University Press. 1992.
23. Burguine E, Wing L. Identical triplets with Asperger’s syndrome. Br J
Psychiatr. 1983; 143:261-5.
24. Horvath K et al. Gastrointestinal abnormalities in children with autistic
disorder. J. Pediatr. 1999;135:559-63.
25. Milles, Capelle. Asperger’s syndrome and aminoaciduric : a case sample.
Br J Psychiatr.1987;150:397-400.
26. Rinehart NJ et al. Atypical interference of local detail on global
processing in high -functioning autism and Asperger’s disorder.J Child
Psychol Psychiatr. 2000; 41 (6) :769-78.
27. Schultz RT, Gaulthier I et al. Abnormal ventral temporal cortical activity
during face discrimination among individuals with autism and Asperger
syndrome. Arch Gen Psychiatr. 2000;57:331-40.
28. Jones PB, Kerwin RW. Left temporal lobe damage in Asperger’s
syndrome. Br J Psychiatr.1987; 150:397-400.
29. Klin A, Volkmar FR et al. Validity and neuropsychological
characterization of Asperger syndrome: convergence with nonverbal
learning disability syndrome. Cambridge University Press.1995.
30. Attwood T. Motor Clumsiness. http://www.Asperger.org/articles. Diakses
4 April 2001.
31. Ringman JM, Jankovic J. Occurrence of tics in Asperger’s syndrome and
autistic disorder. J Child Neurol. 2000;156:394-400.
32. Grossman JB, Klin A, Carter AS, Volkmar FR. Verbal bias in recognition
of facial emotion in children with Aspreger syndrome. J Child Psychol
Psychiatr. 2000;41(3):369-79.
33. Bowler DM, Gardiner JM, Grice S et al. Memory illusions: false recall
and recognition in adults with Asperger’s syndrome. Abnorm Psychol.
2000;109(4): 663-72.
34. Bowler DM, Gardiner JM, Grice SJ. Episodic memory and remembering
in adults with Asperger syndrome. J Autism Dev Disord.2000; 30(4):295-
304.
30 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
35. Miller JN, Ozonoff S. The external validity of Asperger disorder: lack of
evidence from the domain of neuropsychiatry. J Abnorm Psychol.
2000;109(2):227-38.
36. Bolton PF et al. Association of tuberous sclerosis of temporal lobes with
autism and atypical autism. Lancet.1997;349:392-5.
37. Craig J, Baron-Cohen S. Story-telling ability in children with autism or
Asperger syndrome: a window into the imagination. Isr J Psychiatry Relat
Sci. 2000;37(1): 64-70.
38. Craig J, Baron-Cohen S. Creativity and imagination in autism and
Asperger syndrome. J Autism Dev. Disord.1999;29(4):319-26.
39. Littlejohns CS, Clarke DJ, Corbett JA. Tourette-Like Disorder in
Asperger syndrome.Br J Psychiatr.1990;156:430-3.
40. Szatmari P. The classification of autism, Asperger syndrome and
pervasive developmental disorder. Can J Psychiatr. 2000;45(8):731-8.
41. Charman T, Skuze DH. Autism. Psychiatr. Medicine Internat. 2000; 3:
54-6.
42. Baron-Cohen S. Is Asperger syndrome/high-functioning autism
necessarily a disability?.Dev Psychopathol.2000;12(3):489-500.
43. Prior M, Eisenmajer R, Leeham et al. Are there subgroup within the
autistic spectrum?. A cluster analysis of groups of children with autistic
spectrum disorder. J Child Psychol Psychiatr. 1998;39(6):893-902.
44. Wolff S. “Schizoid” personality in childhood and adulthood life. III : the
childhood picture. Br J Psychiatr.1991;159:629-35.
45. Everall IA, Lecounter A. Firesetting in an adolescent boy with Asperger
syndrome.Br J Psychiatr. 1990;157:284-7.
46. Walker A. Separate realities; a plain narrative of a-posteriori cognition:
analogue for comparisons with and between Asperger’s syndrome and
other autistic spectrum condition. http://www.shifth.mistral.co.uk/autism.
Diakses 4 April 2001.
47. Attmood T. Asperger syndrome: Some common question.:
http://www.asperger.org/article. Diakses 4 April 2001.
48. Ghaziuddin M et al. Comorbidity of Asperger syndrome : a preliminary
report. J Intellect Disabil Res. 1998;42:279-83.
49. Green J et al. Social and psychiatry functioning in adolescent with
Asperger syndrome compared with conduct disorder. J Autism Dev
Disord.2000;30(4) :27993.
50. Sobanski E. Further evidence for a low body weight in male children
and adolescent with Asperger’s disorder. Eur Child Adolesc Psy.1999;
8(4):312-4.
51. Grossman R. Behavioral Modification Programme for PDD Children.
Child Neurology and Developmental Centre. www.child brain.com.
Diakses 8 April 2003
52. Sadock BJ, Kaplan HI, Pervasive Develompental Disorder. Synopsis of
Pychiatry, 9th ed, 2002 :1208-22.
53. Zepf B. Risperidone for aggressive behavior in autistic children. Am.
Family Physician 2003:Feb.
54. Mehl-Madrona L.Effective Therapies for Autism and other Developmental
Disorder. Autism/Asperger’s Digest Magazine, 2000.
55. Susilo RPP. Pengalaman menjalankan diet pada anak Autistic Spectrum
Disorder. Konferensi Nasional Autisme I, Jakarta, 2003 :182-9.
56. Utama DK. Terapi sensori integrasi untuk anak-anak dengan gangguan
spektrum autisme. Konferensi Nasional Autisme I, Jakarta, 2003 : 73-9.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 31
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Aspek Klinik dan Farmakoterapi
Anak dengan Gangguan Pemusatan
Perhatian / Hiperaktivitas
Yusuf Alam Romadhon
Dokter PTT di Puskesmas Kartasura II Kab Sukoharjo, Jawa Tengah
ABSTRAK
Gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (GPP/H) merupakan suatu sindrom neuropsikiatrik
yang sering dijumpai dengan onset pada masa anak di tahun-tahun awal sekolah.
Menurut DSM-IV, GPP/H dibagi atas tiga subtipe: (1) subtipe inatensi, (2) subtipe
hiperaktif-kompulsif, (3) kombinasi. Terdapat penurunan gejala sebesar 50% setiap 5 tahun antara
usia 10 hingga 25 tahun, tetapi adanya kondisi psikiatri yang terjadi bersamaan dengan GPP/H
seperti gangguan mood, gangguan perilaku menentang (ODD [oppositional defiant disorder]),
gangguan bipoler dan sindrom Tourrette, dalam suatu penelitian prospektif akan meningkatkan 11
kali menetapnya gejala, 9 kali terjadinya gangguan kepribadian antisosial dan 4 kali lebih tinggi
kejadian gangguan penyalahgunaan obat; prediktor terkuat menetapnya psikopatologi adalah
komorbiditas psikiatrik dan riwayat GPP/H keluarga.
Dalam farmakoterapi GPP/H, psikostimulansia mempunyai tempat yang unik dan utama;
sejauh ini methylphenidate merupakan psikostimulansia yang paling banyak diteliti dan digunakan
karena menunjukkan hasil yang lebih efektif dan efek samping yang minimal dibandingkan obat
jenis yang lain seperti antidepresan dan neuroleptik.
Kata kunci : Gangguan pemusatan perhatian/hiperaktif, aspek klinik, farmakoterapi.
PENDAHULUAN
Gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (GPP/H)
merupakan suatu sindrom neuropsikiatrik yang sering dijumpai
dengan onset usia kanak-kanak, sebagian besar menjadi nyata
(dan menjadi perhatian medik) di tahun-tahun pertama kelas
sekolah(1). Kondisi ini merupakan suatu gangguan heterogen
dengan etiologi yang tidak diketahui(1,2). Di Amerika merupakan
satu dari problem klinik dan kesehatan masyarakat utama
karena berhubungan dengan morbiditas dan disabilitas
anak-anak, remaja dan dewasa. Pengaruhnya pada masyarakat
adalah dalam hal finansial, stres pada keluarga, pengaruh
negatif pada kegiatan akademik, pekerjaan dan juga kepercayaan
diri(2). Data dari penelitian cross-sectional,
retrospektif dan follow-up menunjukkan bahwa anak-anak
dengan GPP/H berisiko menderita gangguan psikiatrik lain
baik di masa kanak-kanak, remaja dan dewasa yang meliputi
perilaku antisosial, penyalahgunaan zat serta gangguan mood
dan kecemasan(1,2). Keterkaitannya dengan gangguan tersebut
membuatnya menjadi suatu kelompok gangguan yang lebih
kompleks(3). Pengenalan, penilaian (assessment) dan penatalaksanaan
dini dari kondisi-kondisi ini dapat mengarahkan
kembali perkembangan edukasional dan psikososial pada
sebagian besar anak dengan GPP/H(4).
Nama dan nosologi GPP/H telah menjalani sejumlah
perubahan dalam beberapa dekade terakhir. Di tahun 1960-an
dalam DSM-II gejala-gejala motorik yang ditekankan serta
gangguan diberi nama reaksi hiperkinetik dari anak-anak. Di
tahun 1980-an, DSM-III menamai kembali sebagai gangguan
32 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
pemusatan perhatian dan menekankan inatensi sebagai
gambaran inti. Di tahun 1987 dalam DSM-III-R dinamai
kembali dengan gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas
(attention deficit/hyperactivitydisorder[ADHD]). Baik inatensi
maupun hiperaktivitas ditekankan sama pentingnya sebagai
gambaran inti. Dalam DSM-IV dikenal tiga subtipe tergantung
pada gejala yang dominan; subtipe dominan inatensi, subtipe
dominan hiperaktivitas-impulsivitas dan subtipe campuran(2).
PREVALENSI
Penelitian GPP/H di masyarakat memperlihatkan prevalensi
antara 1,7%-16%, tergantung pada populasi dan
metodologi diagnostik yang dipergunakan (tabel 1)(1).
Dengan menggunakan kriteria DSM IV, bila dibandingkan
dengan versi sebelumnya, maka lebih banyak perempuan yang
didiagnosis subtipe inatensi. Angka prevalensi juga sangat
bervariasi tergantung sampel yang diteliti, pada sampel
sekolah 6,9% (5,5%-8,5%) dibandingkan sampel komunitas
10,3% (8,2%-12,7%)(4).
Pada uji lapangan DSM IV didapatkan kecenderungan
perbedaan usia untuk masing-masing subtipe. Anak dengan
GPP/H subtipe hiperaktif-impulsif rata-rata usianya 5,7 tahun,
subtipe kombinasi rata-rata usianya 8,5 tahun dan subtipe
inatensi rata-rata usianya 9,8 tahun. Penderita GPP/H subtipe
kombinasi dan hiperaktif-impulsif paling bermasalah dengan
perilaku mereka di rumah, sedangkan penderita dengan subtipe
inatensi cenderung lebih bermasalah di bidang akademik dan
secara bermakna lebih sering menggunakan fasilitas-fasilitas
pelayanan di sekolah. Penderita subtipe inatensi menunjukkan
taraf yang lebih rendah dalam hal atensi, kenakalan, agresifitas
dan gejala-gejala gangguan perilaku, tetapi tidak berbeda
dengan subtipe lain dalam hal masalah-masalah sosial,
psikosomatik atau gejala-gejala kecemasan dan depresi(2).
Tabel 1. Penelitian mengenai prevalensi Gangguan Pemusatan Perhatian/
Hiperaktivitas(1).
Tempat Sumber, tahun Kriteria # Prevalensi
Selandia Baru Anderson dkk., 1987 DSM III 6,7
New York, NY Cohen, 1988 DSM III 3-6
Ontario Szatmarl dkk., 1989 DSM III 6,3
Puerto Rico Bird dkk., 1988 DSM III 9,5-16,1
Pusat kota AS Newcorn dkk., 1989 DSM III† 12,9
Pittsburg, PA Costelo dkk., 1988 DSM III-R 2,6
Iowa Lindgren dkk., 1990 DSM III‡ 2,8
Jerman Baumgnertel dkk, 1995 DSM III§ 9,6
London, Inggris Esser dkk., 1990 DSM III-R 1,7
Mannheim, Jerman Esser dkk., 1990 DSM III-R 4,2
AS Pelham dkk., 1992 DSM III-R 2,5-4,0
Tennessee Wolraich dkk., 1996 DSM III-R 7,3 ‫װ‬
AS Shaffer dkk., 1996 DSM III-R 4,1
# DSM III: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 7hird Ed
DSM III-R: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Third
Ed. yang direvisi; DSM IV: Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, Fourth Ed.
† Prevalensi 18,9% menggunakan DSM III-R
‡ Prevalensi 6,1% menggunakan DSM III-R
§ Prevalensi 9,0% subtipe inatensi, 3,9 % subtipe hiperaktif-impulsif, 4,8%
subtipe campuran total 17,8% menggunakan DSM IV; 10,9% menggunakan
DSM III-R
‫ װ‬Prevalensi 5,4% subtipe inatensi, 2,4% subtipe hiperaktif-impulsif, 3,6%
subtipe campuran menggunakan DSM IV
DIAGNOSIS GPP/H
Menegakkan diagnosis GPP/H pada anak harus berdasarkan
ciri-ciri yang memenuhi kriteria diagnosis (tabel 2).
Sedangkan langkah untuk menegakkan diagnosis dan evaluasinya
dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 2. Kriteria Diagnosis Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktif*
A. Baik : (1) atau (2)
(1). Gangguan Pemusatan Perhatian (Inatensi)
Sekurang-kurangnya ada 6 dari gejala gangguan pemusatan perhatian
ini yang muncul dalam 6 bulan terakhir.
- Tidak mampu memberikan perhatian terhadap hal-hal yang kecil,
sering membuat kesalahan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi
saat mengerjakan tugas di sekolah.
- Tidak mampu memusatkan perhatian secara terus-menerus pada
saat menyelesaikan tugas atau bermain.
- Sering tampak seperti tidak memperhatikan.
- Sering tidak dapat mengikuti perintah dan gagal menyelesaikan
tugas sekolah atau tugas lainnya.
- Sering mengalami kesulitan mengatur tugas atau aktivitas lainnya.
- Sering menolak atau tidak menyukai tugas yang memerlukan
perhatian terus-menerus.
- Sering kehilangan barang-barang atau alat yang diperlukan.
- Perhatian mudah teralih oleh rangsangan dari luar.
- Sering lupa menyelesaikan tugas/kegiatan rutin sehari-hari.
(2). Hiperaktivitas dan Impulsivitas
Sekurang-kurangnya ada 6 dari gejala gangguan hiperaktivitas dan
impulsivitas ini yang muncul dalam 6 bulan terakhir
• Hiperaktivitas
- Sering tangan dan kaki tidak bisa diam atau banyak bergerak di
tempat duduk.
- Sering meninggalkan tempat duduk saat mengikuti kegiatan di kelas
atau kegiatan lain yang mengharuskannya tetap duduk.
- Sering berlari-lari atau memanjat-manjat secara berlebihan.
- Tidak dapat mengikuti aktivitas atau bermain dengan tenang dan
santai.
- Selalu bergerak terus seperti digerakkan oleh mesin.
- Sering banyak berbicara.
• Impulsivitas
- Terlalu cepat memberikan jawaban sebelum pertanyaan selesai
didengar.
- Sulit menunggu giliran.
- Sering melakukan interupsi atau mengganggu orang lain.
B. Gejala-gejala tersebut terjadi sebelum usia 7 tahun.
C. Gejala-gejala tersebut terjadi pada lebih dari satu situasi.
D. Gejala-gejala tersebut secara klinis nyata menimbulkan hendaya
dalam kegiatan sosial, akademis dan tugas-tugas lainnya.
E. Gejala-gejala tersebut tidak diakibatkan oleh gangguan perkembangan
pervasif, schizophrenia dan gangguan jiwa yang lain. (misal,
gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan disosiatif atau
gangguan kepribadian).
* Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Ed.
Kode berdasarkan tipenya; 314.01 GPP/H, Tipe Kombinasi: bila terdapat
baik kriteria A(1) maupun A(2) dalam 6 bulan terakhir; 314.00 GPP/H, Tipe
Inatensi: bila terdapat kriteria A(1), tetapi tidak terdapat kriteria A(2) dalam
6 bulan terakhir; 314.01 GPP/H, Tipe Hiperaktif-Impulsif bila terdapat
kriteria A(2) tetapi tidak terdapat kriteria A(1) dalam 6 bulan terakhir.
Catatan pengkodean: Untuk individu (terutama remaja dan dewasa) yang saat
ini mempunyai gejala-gejala, yang tidak lagi memenuhi kriteria secara utuh,
sebaiknya dimasukkan “Dalam Remisi Parsial”. (dari referensi 1)
Ada tiga subtipe GPP/H (DSM IV) berdasarkan dominasi
gejalanya, yaitu:
1. GPP/H subtipe inatensi (GPP/H-i) memenuhi sedikitnya 6
dari 9 kriteria perilaku inatensi.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 33
2. GPP/H subtipe hiperaktif-impulsif (GPP/H-hi) memenuhi
sedikitnya 6 dari 9 kriteria perilaku hiperaktif-impulsif.
3. GPP/H subtipe kombinasi (GPP/H-k) memenuhi sedikitnya
6 dari 9 perilaku baik dari daftar inatensi maupun dari
hiperaktif impulsif.
Anak yang memenuhi kriteria diagnostik untuk gejalagejala
perilaku GPP/H tetapi tidak menunjukkan hendaya
fungsional tidak dapat didiagnosis GPP/H. Gejala-gejala GPP/
H harus ada di dua atau lebih situasi (seperti di rumah dan di
sekolah), dan perilaku harus berpengaruh buruk secara
fungsional baik di sekolah maupun di lingkungan sosial.
Diagnosis tersusun dari sintesis informasi orang tua, laporan
sekolah, juga perawat kesehatan jiwa jika mereka dilibatkan
serta dari wawancara/pemeriksaan anak. Dalam DSM IV
diperlukan bukti adanya gejala yang ada sebelum usia 7 tahun,
pada beberapa kasus, gejala-gejala GPP/H tidak dikenali oleh
orang tua atau guru sampai anak berusia lebih dari 7 tahun,
pada saat lebih sering berhadapan dengan tugas-tugas sekolah.
Usia onset dan lamanya gejala dapat diperoleh dari orang tua
melalui anamnesis secara komprehensif(4).
PERJALANAN PENYAKIT DAN KOMORBIDITAS
GPP/H
Penelitian follow-up jangka panjang anak dengan GPP/H
hingga remaja dan dewasa awal menunjukkan bahwa GPP/H
seringkali menetap dan berhubungan dengan disfungsi dan
psikopatologi yang bermakna dalam kehidupannya di kemudian
hari. Remaja dan dewasa muda GPP/H berrisiko untuk
gagal sekolah, kesulitan emosional, hubungan buruk dengan
teman sekolah dan sering bermasalah dengan hukum.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masalah agresi
dan perilaku di masa kanak-kanak merupakan prediksi
menetapnya GPP/H di kehidupan remaja dan dewasa muda,
namun demikian masih relatif sedikit yang diketahui mengenai
faktor- faktor risiko yang menentukan perkembangan GPP
/H(2). Secara rata-rata, gejala menurun sekitar 50% setiap 5
tahun antara usia 10 hingga 25 tahun. Hiperaktivitas sendiri
menurun lebih cepat ketimbang impulsivitas dan inatensi(1).
Sejumlah kondisi psikiatri dapat terjadi bersamaan dengan
GPP/H. Antara 10% hingga 20% anak dengan GPP/H baik dari
sampel komunitas dan klinis menderita gangguan mood, 20%
menderita gangguan perilaku dan lebih dari 40% mungkin
mendenta ODD (gangguan perilaku menentang).
Hanya sekitar 7% pasien GPP/H menderita sindrom tik
atau Tourrette, tetapi 60% dari pasien sindrom Tourrette
menderita GPP/H, yang memunculkan kemungkinan adanya
etiologi bersama. Gangguan belajar (terutama gangguan membaca)
dan intelegensia subnormal juga meningkat dalam
populasi total GPP/H atau sebaliknya. Secara keseluruhan
mungkin 65% anak-anak GPP/H akan memiliki 1 atau lebih
kondisi komorbid, yang mungkin tidak akan dikenali tanpa
melakukan evaluasi dan anamnesis yang memadai.Suatu
penelitian prospektif penderita GPP/H dibandingkan dengan
kelompok kontrol selama rata-rata 16 tahun mendapatkan
peningkatan 11 kali menetapnya gejala GPP/H (11% lawan
1%), peningkatan 9 kali terjadinya gangguan kepribadian
antisosial (18% lawaan 2%) dan angka gangguan penyalahgunaan
obat 4 kali lebih tinggi (16% lawan 4%).
Prediktor terkuat menetapnya psikopatologi adalah
komorbiditas psikiatrik dan adanya riwayat keluarga GPP/H(1).
FARMAKOTERAPI PADA GPP/H
Psikostimulansia mempunyai tempat yang unik dalam
psikofarmakologi pediatrik(5). Walaupun terdapat lebih dari
150 penelitian terkontrol mengenai stimulansia dengan subyek
lebih dari 5000 anak-anak, remaja dan dewasa, sebagian besar
penelitian terbatas pada anak laki-laki kulit putih, usia laten
dan tidak lebih lama dari 2 bulan. Penelitian-penelitian ini
mencatat efektifitas dan keamanan stimulansia pada semua
kelompok usia terutama pada anak usia laten, tetapi secara
konsisten juga melaporkan bahwa rata-rata 30% anak-anak
dengan GPP/H tidak memberikan respons terhadap obat-obat
(stimulan) ini. Sejauh ini methylphenidate merupakan stimulansia
yang paling banyak diteliti, meskipun demikian
beberapa pasien mungkin lebih menunjukkan respons terhadap
satu stimulansia daripada dengan stimulansia yang lain(2).
Macam-macam stimulansia yang umumnya diresepkan
untuk terapi GPP/H pada anak serta sediaan yang tersedia dan
strategi penentuan dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada
Tabel 3. Di Indonesia stimulansia yang beredar saat ini adalah
methylphenidate (Ritalin®), penggunaan untuk anak usia
sekolah dianjurkan dimulai dengan dosis 5 mg bid diberikan
sebelum sarapan pagi dan makan siang karena methylphenidate
umumnya efektif untuk 3 sampai 4 jam. Bila perlu,
dosis ditingkatkan secara bertahap 5-10 mg/minggu. Pasien
usia sekolah umumnya sudah berrespons pada dosis 0,3-0,8
mg/kgbb. Dosis yang lebih tinggi dapat menimbulkan efek
buruk pada konsentrasi dan belajar(1).
Saat ini tersedia preparat methylphenidate sustained
release untuk mempermudah dan meningkatkan ketaatan
pasien dalam minum obat, tetapi pemberian obat di siang hari
oleh guru di sekolah dapat membuat anak menjadi malu
sehingga menyulitkan keteraturan berobat pasien(1).
Biederman dan kawan-kawan telah melakukan penelitian
terkontrol, acak menggunakan methylphenidate 0,1 mg/kg/
hari pada dewasa dengan GPP/H DSM III-R onset anak-anak
penilaian menggunakan instrumen baku terpisah atas GPP/H
saja, GPP/H dengan depresi dan GPP/H dengan anxietas
didapatkan respons terapi yang nyata dibandingkan plasebo
(78% banding 4%) respons terhadap methylphenidate tidak
tergan-tung pada jenis kelamin, komorbiditas psikiatri atau
riwayat gangguan psikiatri lainnya(2).
Walaupun stimulansia mengakibatkan anoreksia dan
penurunan berat badan, pengaruhnya pada pertambahan tinggi
badan kurang pasti. Laporan terdahulu menunjukkan penurunan
pertumbuhan tinggi badan yang menetap yang berhubungan
dengan stimulansia, tetapi laporan lainnya tidak dapat membuktikannya.
Tinggi akhir anak tampaknya tidak terpengaruh,
tetapi tidak ada yang meneliti pengaruh stimulansia pada
pertumbuhan anak yang diterapi jangka panjang secara terusmenerus
dari anak-anak sampai dewasa muda. Lebih lanjut,
defisit pertumbuhan dapat merupakan cermin keterlambatan
pematangan yang berkaitan dengan GPP/H itu sendiri (yakni
dismaturitas) ketimbang terapi stimulansia(2,6).
34 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
A
Diagnosis dan Evaluasi
Anak dengan Gangguan PemusatanPerhatian/Hiperaktivitas(4)
Algoritma Klinik
1
Anak usia 6-12 th datang dengan orang tua
atau guru yang memprihatinkan prestasi
akademik yang rendah dan/atau perilaku
khusus ATAU klinisi menilai
kondisi-kondisi ini selama skrining
kesehatan
Ya Ke Box 8
3
Memenuhi
kriteria GPP/H
DSM IV harus
meliputi apakah
gejala
berpengaruh
secara fungsional
dan pd performa
dalam 2 situasi
/lebih dalam 6 bl
terakhir
Penilaian di Sekolah:
• Penilaian elemen khusus
o inatensi ; hiperaktivitas dan impulsivitas
• Gunakan checklist (btk singkat) perilaku GPP/H
• Ax dari guru meliputi
o perilaku dalam kelas
o pola belajar
o intervensi dalam kelas
o derajat hendaya fungsional
• Bukti pekerjaan di sekolah
o kartu laporan
o sampel pekerjaan sekolah
Penilaian di keluarga:
• Pencatatan elemen khusus dgn wawancara atau
gunakan cbecklist GPP/H:
• Pencatatan harus meliputi
o inatensi; hiperaktivitas dan impulsivitas dalam
2 situasi/lebih
o usia onset
o lamanya gejala
o derajat hendaya fungsional
Apakah anak memenuhi
kriteria GPP/H DSM IV?
2
Penilaian anak oleh klinisi di
pelayanan primer meliputi:
• Ax dan Pmx baku
• Pmx neurologik
• Penilaian di keluarga
• Penilaian di sekolah
Klinisi di pelayanan primer:
pertimbangkan GPP/H pd anak yg datang
dg keluhan sbb:
• Tak dapat duduk tenang/hiperaktif
• Kurang atensi/konsentrasi yg buruk
/tampak spt tdk mendengarkan/melamun
• Bertindak tanpa berfikir/impulsif
• Problem perilaku
Tidak
Tidak
Nilai ulang pasien/
keprihatinan orang tua
Ya Nilai dan terapi
Apakah tdp bukti variasi atau
masalah perkembangan ata u
kondisi lain
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 35
B
n
8
Lanjutan dari box 4
Kondisi yg
berhubungan/menyertai)
dpt meliputi:
• Ggn belajar/bahasa
• ODD
• Ggn perilaku
• Anxietas
• Depresi
• Kondisi lain
9
12
Nilai kondisi yg
menyertai
Apakah terdapat kondisi
yg berkaita Ya
Tidak 10 13 15
Kondisi yg
menyertai dpt
dikonfirmasi?
Dx GPP/H &
kondisi yg
menyertai
Diagnosis GPP/H Ya
11 Tidak Edukasi orang tua/ 14 16
pasien dan terapi Edukasi orang tua/
Kembali ke box 10 pasien dan terapi
Tabel 3. Psikostimulansia yang umumnya diresepkan untuk terapi GPP/H pada pasien
pediatri; sediaan yang tersedia dan strategi penentuan dosis yang dianjurkan*
Obat Sediaan tablet
(mg)
Dosis
awal
Interval
antar dosis
Kecepatan titrasi
(mg/mgg)
Dosis terapetik
umumnya a
Methylphenidate 5, 10, 20 5mg bid 3-4 5-10 0,3-0,8
mg/kg/dosisb
Dextroamphetamine 5, 10, 15 5 mg qd
atau bid 4-6 5 0,2-0.5
mg/kg/dosisc
Adderall d 10, 20 5 mg qd
atau bid 4-6 5 0,15-0,4
mg/kg/dosis
Pemoline 18,75; 37,5;
75
37,5 mg
qam 18,75 1-2 mg/kg/harif
* Diambil dari referensi 1; di Indonesia yang tersedia adalah methylphenidate (Ritalin ® )
a Remaja dapat memerlukan dosis mg/kg lebih rendah daripada pasien usia sekolah.
b Total dosis harian lebih dari 60 mg tidak dianjurkan.
c Hanya kasus jarang yang memerlukan lebih dari 40 mg/hari
d Terdiri dari bagian yang sama amfetamin aspartat, amfetamin sulfat, dextroamfetamin sacharat dan dextroamfetamin sulfat
e Pemoline tersedia dalam bentuk tablet kunyah
f Dosis harian maksimum 112,5 mg/hari

ZAT LAIN
Zat nonstimulansia yang telah diteliti secara luas untuk
pengobatan GPP/H meliputi antidepresan (Tabel 4), α agonis
dan neuroleptik
Antidepressan
Tricyclic antidepressant (TCA) terutama imipramin dan
desipramin, merupakan komponen farmakoterapi kedua terbanyak
untuk GPP/H. Dua puluh sembilan penelitian (18
terkontrol, 11 terbuka) telah mengevaluasi penggunaan TCA
pada 1016 orang anak dan remaja dan 63 orang dewasa
GPP/H. Hampir semua (93%) melaporkan sedikitnya perbaikan
sedang. Meskipun demikian sebagian besar penelitian
TCA untuk terapi GPP/H relatif singkat, mulai dari beberapa
36 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
minggu hingga beberapa bulan, sedikit yang hingga lebih dari
2 tahun. Hasil penelitian baik jangka panjang maupun jangka
pendek sama positifnya(2,6). Untuk desipramin, ada laporan
kematian mendadak (sudden death) pada anak-anak yang
menggunakan obat ini( 2,5,6).
Antidepresan baru bupropion hydrochloride yang memblok
reuptake norepinefrin dan dopamin, secara konsisten
dapat menurunkan gejala-gejala GPP/H pada pasien muda
dalam uji klinik terkontrol. Sedangkan fluoxetin, serotonin
specific reuptake inhibitor (SSRI) masih dipertanyakan efektivitasnya
sebagai monoterapi pada GPP/H(1,2,5,6).
Tabel 4. Antidepressan dengan berpotensi bermanfaat bagi penderita
pediatri dengan GPP/H(5).
Tricyclic antidepressant
Amitriptilin
Desipramin
Imipramin
Nortriptilin a
Monoamine Oxidase Inhibitor
Bupropion
Fluoxetin a
Venlafaxine a
a Penelitian terkontrol belum pernah dilakukan

αAgonis
Klonidin mempunyai sifat agonis α adrenergik terutama
digunakan untuk terapi hipertensi bermanfaat untuk terapi
anak dengan GPP/H. Manfaat tersebut telah dilaporkan pada 4
penelitian, 1 penelitian terbuka, 1 tinjauan retrospektif dan 2
penelitian terkontrol dengan total 122 pasien. Dosis harian
yang digunakan 4 sampai 5 μg/kgbb. (dosis rata-rata 0,2
mg/hari). Semua penelitian melaporkan respons perilaku
positif, 50%-70% subyek sedikitnya menunjukkan perilaku
sedang. Akan tetapi efek pada kognisi masih kurang jelas(2).
Neuroleptik
Neuroleptik potensi rendah seperti thioridazine dan
chlorpromazine, juga potensi tinggi seperti haloperidol mampu
menurunkan perilaku disruptif (mengganggu) dalam penelitian
terkontrol. Akan tetapi karena efek sampingnya dan kenyataan
bahwa stimulansia lebih efektif ketimbang antipsikotik, neuroleptik
tidak dianjurkan pada GPP/H tanpa komplikasi(5).
Rapley dan kawan-kawan melakukan penelitian deskriptif
mengenai pola diagnosis dan terapi pada 223 anak GPP/H
berusia 1-3 tahun dari data klaim Medicaid Michigan. Lebih
dari separuhnya menerima pengobatan psikotropik (57%),
hanya sedikit yang mendapat layanan psikologis (27%). Dua
puluh dua obat psikotropik yang berbeda telah digunakan, 46%
menggunakan lebih dari 1 obat psikotropik, 30% dengan
kombinasi yang digunakan secara bersamaan dan 44% kombinasi
yang digunakan secara berurutan. Obat-obat psikotropik
yang digunakan dapat dilihat pada tabel 5.
Walaupun maksud penelitian ini adalah untuk menekankan
perlunya batasan kriteria diagnosis yang lebih baik dan
terapi yang efektif pada anak-anak yang sangat muda dengan
GPP/H, namun tidak ada salahnya digunakan sebagai bahan
perbandingan untuk penatalaksanaan GPP/H.
Tabel 5. Obat-obat psikotropik yang digunakan pada anak usia 1-3
tahun dengan GPP/H berdasarkan frekuensi penggunaannya(7).
Nama Generik Obat
Jumlah anak yang diterapi
(N = 223)
Methylphenidate hydrochloride
Clonidine hydrochloride
Dextroamphetamine sulfate
Imipramine hydrochloride
Thioridazine hydrochloride
Pemoline
Guanfacine hydrochloride
Trazodone hydrochloride
Fluoxetine hydrochloride
Nortriptyline hydrochloride
Venlafaxine hydrochloride
Sertraline hydrochloride
Amitriptyline hydrochloride
Buspiron hydrochloride
Bupropion hydrochloride
Desipramine hydrochloride
Doxepin hydrochloride
Haloperidol
Lithium carbonate
Nefazodone hydrochloride
Risperidone
Temazepam
73
48
31
24
18
15
9
9
7
6
5
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
KEPUSTAKAAN
1. Goldman LS et al. Diagnosis and Treatment of Attention
Deficit/Hyperactivity Disorder in Children and Adolescent. Council
Report. JAMA 1998; 279: 14
2. Biederman J. Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder: A Life Span
Perspective. J. Clin. Psychiatr. 1998; 59 (Suppl 7) : 4-12
3. Inu Wicaksono. Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas.
Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaanya dalam: Seminar Kesulitan
Belajar Bukan Halangan untuk Berprestasi pada Kasus Anak dengan
GPP/H. PPPTKA dan Kandepdiknas Jogjakarta, Februari, 2000.
4. American Academy of Pediatrics Clinical Practice Guideline. Diagnosis
and Evaluation of the Child with Attention Deficit/Hyperactivity
Disorder. Pediatrics 2000; 105 (5).
5. Findling RL, Dogin JW. Psychopharmacology of ADHD. Children and
Adolescents. J. Clin. Psychiatr. 1998 ; 59 (Suppl 7) : 42-8.
6. Biederman J. Psychopharmacology. in: Wiener JM (ed.). Textbook of
Child &Adolescent Psychiatry. American Psychiatric Press, 1991.
7. Rappley MD et al. Diagnosis of Attention Deficit/Hyperactivity Disorder
and Use of Psychotropic Medication in Very Young Children. Arch
Pediatr Adolesc Med. 1999; 153.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 37
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
38
HASIL PENELITIAN

Faktor-faktor yang Berhubungan


dengan Penyalahgunaan NAPZA
(Narkotika, Psikotropika & Zat
Adiktif)
di Kalangan Siswa SMU
Raharni, Max J. Herman
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN
Masalah penyalahgunaan napza telah mengkhawatirkan,
yang jika tidak segera ditanggulangi merupakan ancaman bagi
kesejahteraan generasi yang akan datang. Penanggulangan
secara preventif harus dimasyarakatkan dengan berbagai upaya.
Penyalahgunaan napza (narkotika, psikotropika & zat
adiktif) adalah pemakaian obat secara terus-menerus atau
sekali-sekali secara berlebihan, serta tidak menurut petunjuk
dokter. Penyalahgunaan obat tersebut dapat menimbulkan
gangguan baik badan maupun jiwa seseorang, diikuti dengan
akibat sosial yang tidak diinginkan(1).
Korban penyalahgunaan napza di Indonesia akhir-akhir ini
cenderung makin meningkat dan tidak hanya terbatas pada
kelompok masyarakat mampu tetapi telah merambah ke
kalangan masyarakat kurang mampu baik di perkotaan maupun
pedesaan dan melibatkan tidak hanya pelajar SMU dan
mahasiswa tetapi juga pelajar SD(2).
Narkotika adalah bahan yang diperoleh dari opium
mentah (getah yang membeku) dari buah tanaman Papaver
somniverum L dan telah mengalami proses pengolahan tertentu
(morfin, candu, heroin) selain itu petidin, kokain, ganja juga
tergolong bahan narkotika(1). Psikotropika adalah beberapa
obat atau zat tertentu yang dapat disalahgunakan dan dalam
keadaan tertentu bisa menimbulkan ketergantungan (adiktif)
misalnya fenobarbital, diazepam, benzodiazepin, amfetamin(1).
Zat adiktif lain adalah nikotin dalam rokok, etanol dalam
minuman beralkohol dan pelarut lain yang mudah menguap
seperti bensin dan lain-lain.
Penyalahgunaan napza merupakan penyakit endemik
masyarakat modern, penyakit kronik yang berulangkali
kambuh dan merupakan gangguan mental adiktif. Semua zat
yang termasuk napza menimbulkan adiksi (ketagihan) yang
pada gilirannya berakibat ketergantungan.
Berdasarkan data Rumah Sakit Ketergantungan Obat
(RSKO) di Jakarta, dalam kurun waktu 4 tahun (1997-2000)
kunjungan pasien rawat jalan maupun rawat inap korban napza
cenderung meningkat. Baik pasien rawat jalan maupun rawat
inap sebagian besar berpendidikan SLTA (38% untuk rawat
jalan dan 42,5% untuk rawat inap). Sebagian besar (78,1%)
berusia 15–24 tahun. Jenis napza yang digunakan sangat bervariasi,
di antaranya opiat, ganja, amfetamin, sedatif hipnotik,
inhalansia, alkohol, kokain, atau multipel(3).
Dari hasil penelitian terhadap siswa SMU di Jakarta Timur
diketahui pengetahuan siswa terhadap narkoba, sikap, pengawasan
orang tua, hubungan dengan orang tua responden
berpengaruh terhadap risiko penyalahgunaan napza(4).
Sekolah merupakan lingkungan formal kedua yang besar
pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian anak.
Sekolah tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan
ketrampilan, setiap sekolah mempunyai kebudayaan sendiri
yang unik berupa aturan, tata tertib, dan kebiasaan yang
mempengaruhi proses dan cara belajar anak. Dengan demikian
kurikulum dan peraturan sekolah mempengaruhi kepribadian
anak(5). Di sekolah yang tidak baik dan terutama muatan
pendidikan agama dan budi pekertinya minimal, jumlah murid
yang terlibat tawuran dan penyalahgunaan obat lebih banyak
dibandingkan dengan di sekolah yang kondusif(6).
Dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan napza perlu
dilakukan melalui pola pre-emptif, preventif, represif,
treatment dan rehabilitasi serta pola peningkatan partisipasi
masyarakat melalui Siskamtibmas Swakarsa(7).
Faktor -faktor yang berhubungan dengan penyalahgunaan
zat pada remaja
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menyalahgunakan
napza meliputi faktor individu (personal) dan faktor
lingkungan. Penerimaan masyarakat, keadaan lingkungan yang
miskin atau serba kurang dan patologi individual dapat menambah
kemungkinan penyalahgunaan zat(1). Faktor kepribadian,
teman sebaya dan pengaruh orang tua berpengaruh kuat
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 39
salah satu faktor saja sudah cukup untuk menyebabkan
penyalahgunaan napza(8).
Berdasarkan pengertian di atas, penelitian penyalahgunaan
napza pada remaja dirasa sangat penting, khususnya faktorfaktor
yang berhubungan dengan terjadinya penyalahgunaan
napza pada remaja khususnya di kalangan siswa SMU yang
merupakan kelompok yang rawan terhadap penyalahgunaan
napza. Penelitian dilaksanakan di SMU Negeri kota Bekasi,
yang masyarakatnya sangat heterogen serta letaknya yang
berdekatan dengan ibukota Jakarta.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penyalahgunaan
napza di kalangan siswa SMU Negeri di Kota
Bekasi.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran penyalahgunaan napza di kalangan
siswa SMU di kota Bekasi.
2. Mengetahui hubungan antara faktor individu yang meliputi
karakteristik remaja (umur, jenis kelamin), pengetahuan dan
sikap dengan penyalahgunaan napza di kalangan siswa
SMU di Kota Bekasi
3. Mengetahui hubungan antara faktor lingkungan yang
meliputi lingkungan dalam keluarga (demografi ayah/ibu,
keharmonisan keluarga, komunikasi keluarga, sosial ekonomi,
kebiasaan merokok) dan lingkungan luar keluarga
(kelompok teman sebaya, penggunaan waktu luang) dengan
penyalahgunaan napza di kalangan siswa SMU di kota
Bekasi.
4. Mengetahui secara bersama -sama hubungan antara faktor
individu yang meliputi karakteristik remaja, pengetahuan,
sikap dan faktor lingkungan yang meliputi demografi ayah
/ibu, keharmonisan keluarga, komunikasi keluarga, sosial
ekonomi, kebiasaan merokok, kelompok teman sebaya,
penggunaan waktu luang dengan terjadinya penyalahgunaan
napza di kalangan siswa SMU di Kota Bekasi.
BAHAN DAN METODE
Penelitian potong lintang dilakukan di SMU Negeri di
Kota Bekasi. Penelitian ini terbatas pada masalah penyalahgunaan
napza dan faktor-faktor yang berhubungan dengan
faktor individu (umur, jenis kelamin, pengetahuan, sikap) dan
faktor lingkungan yaitu lingkungan dalam keluarga (demografi
ayah/ibu, keharmonisan keluarga, komunikasi keluarga, sosial
ekonomi, kebiasaan merokok), dan lingkungan luar keluarga
(kelompok teman sebaya dan penggunaan waktu luang).
Batasan Variabel
1) Pengetahuan responden : Kemampuan responden untuk
menjawab 10 pertanyaan tentang hal-hal mendasar mengenai
penyalahgunaan napza, jenis obat yang sering disalahgunakan,
termasuk napza, akibat yang ditimbulkan.
2) Sikap responden : Suatu bentuk reaksi atau respon terhadap
penyalahgunaan obat, yang meliputi pemikiran, perasaan;
diukur melalui 15 pertanyaan .
3) Tingkat pendidikan ayah/ibu: Pendidikan formal yang
telah diselesaikan oleh ayah/ibu responden
4) Pekerjaan ayah/ibu: Usaha yang dikerjakan ayah/ibu
responden untuk membiayai keluarganya
5) Keharmonisan keluarga: Hubungan sehari-hari responden
(adanya pertengkaran, perbedaan paham, perbedaan pendapat)
dengan anggota keluarga lain. Diukur secara tidak langsung
berdasar pendapat responden tentang frekuensi pertengkaran
antar orangtua .
6) Komunikasi keluarga: Hubungan sehari-hari yaitu adanya
kebiasaan makan bersama, kebiasaan membicarakan masalah
dan kebiasaan berkumpul keluarga seperti menonton TV, olah
raga di dalam keluarga responden, dengan orangtua, kakak,
adik atau anggota keluarga yang lain.
7) Tingkat sosial ekonomi merupakan gambaran umum
ekonomi keluarga responden, yang diukur berdasarkan kepemilikan
beberapa kelengkapan rumah tangga yang lazim.
8) Kebiasaan merokok : Ada tidaknya anggota keluarga yaitu
ayah, ibu atau saudara serumah yang merokok setiap hari.
9) Kelompok sebaya : Keeratan responden dengan teman penyalahguna
obat diukur dengan menanyakan frekuensi pertemuannya.
10) Penggunaan waktu luang: Kegiatan responden di luar
waktu sekolah; yang termasuk kegiatan positif adalah ekstrakurikuler,
les, olahraga dan yang termasuk kegiatan negatif
adalah ngobrol, nongkrong.
11) Penyalahgunaan obat: kondisi responden masih menggunakan
napza minimal 1 bulan terakhir saat menjawab kuesioner
Populasi
Populasi penelitian adalah siswa SMU Negeri di Wilayah
Kotamadya Dati II Bekasi. Populasi target diambil secara
purposif berdasar kondisi SMU baik dari segi sosial ekonomi,
maupun letak geografi dan sesuai arahan atau kategori SMU
menurut Dinas Pendidikan kota Bekasi yaitu kategori baik,
katagori cukup, dan kategori kurang.
Sampel
Sampel diambil dari populasi yang dipilih dengan
karakteristik berjenis kelamin pria dan wanita, duduk di kelas
satu sampai dengan kelas tiga SMU negeri, tinggal di wilayah
kodya Bekasi.
Besar sampel
{Z 1-a/2 vPo(1-Po)+Z 1-ß vPa(1-Pa)}
N = -------------------------------------------------
(Pa-Po)
Keterangan :
N = besar sampel minimal
a = 5%; Z 1-a = 1,96
ß = 20%; Z 1-ß = 0,84
Po = 0,10
Pa-Po = 0,05
a = Probabilitas kesalahan menolak Ho, seharusnya Ho tidak ditolak.
ß = Probabilitas kesalahan tidak menolak Ho, seharusnya Ho ditolak
Dengan menggunakan rumus di atas, didapat jumlah
sampel minimal 385. Pengambilan sampel secara simple
random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
survai, dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
40
Analisis Data
Dilakukan secara bertahap yaitu univariat, bivariat dan
multivariat.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Gambaran penyalahgunaan napza berdasarkan kategori SMU
Menyalahgunakan
Kategori SMU napza
Ya Tidak
% pengguna
SMU baik 12 77 13,48
SMU cukup 9 135 6,25
SMUkurang 44 109 28,00
Jumlah 65 321 16,84
Analisis Bivariat
Hubungan beberapa variabel dengan penyalahgunaan
napza terlihat pada tabel 2.
Tabel 2. Hubungan faktor individu (jenis kelamin, umur, pengetahuan,
sikap) dan faktor lingkungan dengan penyalahgunaan napza
Menyalahgunakan napza
Ya Tidak
Faktor individu Jumlah % Jumlah %
P OR 95% CI
Jenis kelamin
*Laki-laki
*Perempuan
60
5
28,8
2,8
148
173
71,2
97,2
0,000
14,03
5,488- 35,849
Umur
* > 17 tahun
* < 17 tahun
59
6
19,7
6,9
240
81
80,3
93,1
0,008
3,42
1,381-7,976
Pengetahuan
* Buruk
* Baik
38
27
22,5
12,4
131
190
77,5
87,6
0,013
2,04
1,188-3,507
Sikap
*Negatif
*Positif
21
44
11,9
21,1
156
165
88,1
78,9
0,023
0,51
0,287-0,887
Faktor
Lingkungan
Pendidikan ayah
*Rendah
*Tinggi
7
58
20,6
16,5
7
294
79,4
83,5
0,710
0,761
,316-1,830
Pendidikan ibu
*Rendah
*Tinggi
10
55
8,4
20,6
109
212
91,6
79,4
0,269
1,48
0,806-2,715
Pekerjaan ayah
*Tidak Bekerja
*Bekerja
5
50
41,7
16,0
17
314
58,3
84,0
0,052
0,27
0,082-0,871
Pekerjaan ibu
*Tidak Bekerja
*Bekerja
38
27
13,5
26,0
244
77
86,5
74
0,006
2,52
1,291-3,925
Keharmonisan
*Tidak harmonis
*Harmonis
62
3
20,7
3,4
237
84
79,3
96,6
0,000
7,33
2,239-23,959
Komunikasi
*Buruk
*Baik
11
54
28,2
15,6
28
293
71,8
84,4
0,076
2.13
0,101-4,537
Sosial ekonomi
*Tinggi
*Rendah
63
2
18,1
5,3
285
36
81,9
94,7
0,075
3,98
0,934 -16,959
Kebiasaan rokok
*Ya
*Tidak
52
13
21,8
8,8
187
134
78,2
91,2
0,002
2,87
1,501-5,474
Teman sebaya
*Bergaul
*Tidak gaul
48
17
30,2
7,5
111
210
69,8
92,5
0,000
5,34
2.930-9,720
Waktu luang
*Kegiatan negatif
*Kegiatan positif
56
9
37,6
3,8
93
228
62,4
96,2
0,000
15,26
7,240-32,100
Tabel 2 adalah model akhir tanpa menyertakan variabel
interaksi yaitu faktor-faktor yang dianggap cukup berpengaruh
terhadap penyalahgunaan napza di kalangan siswa SMU di
antaranya adalah: Jenis kelamin, umur, pengetahuan, komunikasi,
teman sebaya, penggunaan waktu luang.
Analisis Multivariat
Analisis menggunakan analisis multipel regresi logistik
pada tingkat kepercayaan 95%. Variabel independen yang
masuk sebagai kandidat dalam model adalah yang mempunyai
hubungan bermakna dengan variabel dependen (penyalahgunaan
napza, p< 0,25), yaitu jenis kelamin, umur, pengetahuan,
sikap, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, keharmonisan keluarga,
komunikasi keluarga, kebiasaan merokok, sosial ekonomi,
teman sebaya, waktu luang. Hasil analisis dapat dilihat pada
tabel 3. Kemudian dilakukan penentuan model faktor penentu
penyalahgunaan napza dengan cara semua variabel kandidat
dicobakan secara bersama-sama (tabel 4). Model terbaik
mempertimbangkan 2 penilaian yaitu nilai rasio log-likelihood
(p< 0,05) dan nilai signifikansi p wald (p< 0,05) Variabel yang
mempunyai p wald > 0,05 dikeluarkan dari model, pengeluaran
variabel secara bertahap satu persatu dimulai variabel yang p
nya tertinggi.
Pemilihan variabel yang berhubungan dengan penyalahgunaan
napza
Tabel 3. Model standar regresi logistik multivariat tentang faktor-faktor
yang berhubungan dengan penyalahgunaan napza di kalangan
siswa SMU
Variabel OR SE B P 95% CI
Jns kelamin
Umur
Pengetahuan
Sikap
Pekerjaan ayah
Pekerjaan ibu
Keharmonisan kel
Komunikasi kel
Sosial ekonomi
Kebiasaan rokok
Teman sebaya
Waktu luang
17,83
11,87
4,87
0,52
2,48
0,59
4,26
4,85
6,78
,79
4,31
25,06
,6120
,6276
,4684
,4529
,7909
,4610
,7424
,6424
1,169
,5408
,5308
,5189
2,88
2,47
1,58
-,65
,91
-,52
1,45
1,58
1,91
-,23
1,46
3,22
0,0000
0,0001
0,0007-0,15
20
0,2513
0,2565
0,0508
0,0139
0,1016
0,6718
0,0059
0,0000
5,372 59,167
3,471 40,633
1,943 12,187
,215 1,269
,526 11,674
,240 1,463
,995 18,271
1,378 17,093
0,685 67,078
,275 2,295
1,522 12,196
9,782 67,079
-2 log likelihood = 155,431 G = 194,540 p-value = 0,000
Tabel 4. Model akhir regresi logistik multivariat tentang faktor-faktor
yang berhubungan dengan penyalahgunaan napza di kalangan
siswa SMU tanpa menyertakan variabel interaksi (rencana
model)
Variabel OR SE B P 95% CI
Jenis kelamin
Umur
Pengetahuan
Komunikasi
Teman sebaya
Waktu luang
29,77
9,89
4,52
5,15
5,55
26,62
,5783
,5755
,4329
,5971
,4682
,4940
3,39
2,29
1,51
1,64
1,70
3,28
,0000
,0001
,0005
,0061
,0003
,0000
9.586 92,482
3,203 30,572
1,934 10,552
1,596 16,583
2,197 13,775
10,107 70,089
-2 log likelihood = 167,266 G = 182,705 p-value = 0,000
Pengujian interaksi
Dengan mengacu pada Tabel 4 maka langkah selanjutnya
adalah mencari interaksi dari setiap variabel independen
tersebut, sehingga diperoleh variabel yang berinteraksi dengan
ketentuan p < 0,05. (Tabel 5).
Hasil analisis interaksi tahap pertama antara rencana model
dengan variabel interaksi teman sebaya*jenis kelamin terhadap
penyalahgunaan napza terlihat pada Tabel 6.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 41
Tabel 5. Variabel independen yang berinteraksi menggunakan metode
determinan
Variabel independen Interaksi
Teman sebaya Teman sebaya *jenis kelamin
Teman sebaya *pengetahuan
Teman sebaya *waktu luang
Tabel 6. Hasil analisis regresi logistik antara va riabel jenis kelamin,
umur, pengetahuan, waktu luang, dengan teman sebaya*jenis
kelamin (full model tahap pertama)
Variabel OR SE B P 95% CI
Jenis kelamin
Umur
Pengetahuan
Komunikasi
Teman sebaya
Waktu luang
Tmnsby/jnskel
35871,51
8,93
4,38
5,29
9512,86
27,89
0,0004
20,503
,569
,428
,631
20,509
,493
20,514
10,488
2,189
1,478
1,666
9,160
3,328
-7,909
,6090
,0001
,0005
,0083
,6551
,0000
,6998
,000 1,023E+22
2,922 27,278
1,896 10,139
1,536 18,231
,000 2,728E+21
10,617 73,2 84
,000 1,063E+14
-2 Loglikelihood = 160,909 G = 6,356 p-value = 0,117
Setelah dimasukkan variabel interaksi teman sebaya,jenis
kelamin ke dalam model, nilai p variabel teman sebaya,jenis
kelamin > 0,05, berarti tidak berbeda signifikan. Selain itu
terjadi kelainan nilai OR dan CI pada variabel jenis kelamin
dan teman sebaya. Nilai OR jenis kelamin menjadi 35871,51
dan 95%CI menjadi tidak terhingga. Dengan demikian variabel
interaksi ini tidak masuk dalam model akhir multivariat.
Hasil interaksi tahap kedua antara variabel yang masuk
dalam rencana model dengan variabel interaksi teman sebaya,
pengetahuan terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil analisis regresi logistik antara variabel jenis kelamin,
umur, pengetahuan, waktu luang, dengan teman sebaya,
pengetahuan (full model tahap kedua)
Variabel OR SE B P 95% CI
Jenis kelamin
Umur
Pengetahuan
Teman sebaya
Waktu luang
Tmnsby/penget
29,77
9,89
4,52
5,14
5,50
26,61
,5783
,5755
,4329
,5971
,4682
,4940
3,39
2,29
1,51
1,64
1,71
3,28
,0000
,0001
,0005
,0061
,0003
,0000
9,586 92,428
3,203 30,572
1,934 10,553
1,596 16,583
2,198 13,775
10,107 70,089
-2 Loglikelihood = 153,945 G = 3,320 pvalue = 0,0684
Terlihat bahwa nilai p variabel interaksi teman
sebaya*pengetahuan > 0,05, tidak signifikan. Sehingga variabel
interaksi ini tidak masuk dalam model akhir multivariat.
Tabel 8. Hasil analisis regresi logistik antara variabel jenis kelamin,
umur, pengetahuan, waktu luang, dengan teman sebaya,waktu
luang (full model tahap ketiga)
Variabel OR SE B P 95% CI
Jenis kelamin
Umur
Pengetahuan
Komunikasi
Teman sebaya
Waktu luang
Tmnsby/luang
30,40
9,71
4,36
5,13
9,90
46,29
,44
,5766
,5697
,4338
,6135
,8848
,8727
1,0061
3,41
2,27
1,47
1,63
2,29
3,84
-,82
,0000
,0001
,0007
,0077
,0096
,0000
,4130
9,821 94,125
3,178 29,651
1,861 10,193
1,540 17,064
1,748 56,088
8,369 256,061
,061 3,153
- 2 Loglikelihood = 183,412 G = 0,707 p-value = 0,4005
Hasil interaksi tahap ke tiga antara variabel interaksi
dengan variabel yang masuk dalam rencana model terlihat pada
Tabel 8. p variabel interaksi teman sebaya/waktu luang >
0,05,berarti tidak berbeda signifikan. Dengan demikian
variabel interaksi ini tidak masuk dalam model akhir
multivariat.
Analisis interaksi mulai dari tahap pertama sampai tahap
ke tiga seperti diuraikan di atas, ternyata menunjukkan tidak
ada interaksi. Adapun model akhir dari seluruh rangkaian dan
tahapan analisis multivariat adalah kembali pada rencana
model tanpa ada interaksi (Tabel 9).
Tabel 9. Model akhir analisis regresi logistik antara variabel jenis
kelamin, umur, pengetahuan, komunikasi keluarga, waktu
luang, dengan penyalahgunaan napza
Variabel OR SE B P 95% CI
Jnskelamin
Umur
Pengetahuan
Komunikasi
Teman sebaya
Waktu luang
29,77
9,89
4,52
5,15
5,55
26,62
,5783
,5755
,4329
,5971
,4682
,4940
3,39
2,29
1,51
1,64
1,70
3,28
,0000
,0001
,0005
,0061
,0003
,0000
9.586 92,482
3,203 30,572
1,934 10,552
1,596 16,583
2,197 13,775
10,107 70,089
-2 log likelihood = 167,266 G = 182,705 p-value = 0,000
Tabel 9 merupakan model akhir bahwa faktor-faktor yang
berhubungan dengan penyalahgunaan napza di kalangan siswa
SMU di antaranya adalah : Jenis kelamin, umur, pengetahuan,
komunikasi keluarga, teman sebaya, penggunaan waktu luang.
PEMBAHASAN
Keterbatasan penelitian
1) Penelitian potong lintang (cross sectional) mengukur
variabel independen dan variabel dependen pada saat bersamaan,
sehingga hasilnya tidak dapat diartikan sebagai
hubungan sebab akibat.
2) Banyak faktor yang berhubungan dengan penyalahgunaan
napza, tetapi hanya beberapa variabel yaitu karakteristik
remaja, pengetahuan, sikap, pendidikan ayah-ibu, pekerjaan
ayah-ibu, keharmonisan keluarga, komu nikasi keluarga, sosial
ekonomi, kebiasaan merokok dalam keluarga, teman sebaya,
dan penggunaan waktu luang yang diukur.
3) Kemungkinan bias pada penelitian ini adalah bias seleksi
yaitu distorsi efek berkaitan dengan cara pemilihan subyek atas
dasar sukarela, kemungkinan subyek terpilih kebanyakan dari
siswa yang menyalahgunakan napza, sehingga terjadi over
estimate.
Selain itu bias ketidakjelasan waktu (temporal ambiguity)
yaitu hubungan positif antara penggunaan waktu luang dengan
penyalahgunaan napza, mu ngkin merefleksikan munculnya
penggunaan waktu luang setelah subyek menyalahgunakan
napza. Instrumen atau alat ukur yang belum terstandarisasi,
sehingga hasilnya mungkin kurang sesuai dengan keadaan yang
sesungguhnya bisa menyebabkan under estimate maupun over
estimate.
Faktor individu yang berhubungan dengan penyalahgunaan
napza
Karakteristik (Jenis Kelamin dan Umur)
Responden dalam penelitian ini berjumlah 386 orang siswa
SMU di kota Bekasi laki-laki 53,9% dan perempuan 46,1%,
sebagian besar berumur 17 tahun (44,6%). Hasil analisis
menunjukkan ada hubungan bermakna (p<0,05) antara jenis
kelamin dengan penyalahgunaan napza. Nilai OR 29,77 artinya
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
42
siswa laki-laki berpeluang 29,77 kali lebih besar untuk
menyalahgunakan napza dibanding siswa perempuan.
Hasil analisis dari kelompok umur menunjukkan hubungan
bermakna (p<0,05) antara umur dengan penyalahgunaan napza.
Nilai OR 9,89 artinya siswa yang berumur 17 tahun ke atas
berpeluang 9,89 kali lebih besar untuk menyalahgunakan napza
dibanding siswa SMU yang berumur kurang dari 17 tahun.
Perbedaan jenis kelamin dalam perilaku kenakalan remaja
menunjukkan bahwa remaja pria cenderung lebih nakal
dibandingkan dengan remaja perempuan (Simon, 1996).
Pengetahuan tentang napza
Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna
antara pengetahuan tentang napza dengan terjadinya
penyalahgunaan napza (p< 0,05).
Nilai OR 4,52 artinya ada kecenderungan siswa yang
berpengetahuan buruk tentang napza berpeluang sebesar 4,52
kali untuk menyalahgunakan napza dibanding dengan siswa
yang pengetahuannya baik tentang napza .
Hasil ini berbeda dengan Tarigan (2000) 61,6% kelompok
penyalahguna napza mempunyai pengetahuan baik dan 38,4%
mempunyai pengetahuan buruk serta 72,2% kelompok
penyalahguna menggunakan napza pada awalnya hanya karena
ingin tahu. Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan karena
metode penelitiannya lain yaitu kasus kontrol, dan cara
pengambilan sampelnya berdasar kriteria kasus dan kontrol,
sedangkan pada penelitian ini pengambilan sampel secara acak
dan menggunakan metode potong lintang.
Faktor Lingkungan yang Berhubungan dengan Penyalahgunaan
Napza
Komunikasi keluarga
Sebagian besar responden berada dalam keluarga yang
komunikasinya buruk (89,9%). Hasil analisis menunjukkan ada
hubungan bermakna antara komunikasi keluarga dengan
penyalahgunaan napza (p<0,05). Nilai OR 5,15 artinya siswa
yang komunikasi keluarganya buruk berpeluang 5,15 kali lebih
besar untuk menyalahgunakan napza dibandingkan dengan
siswa yang komunikasi keluarganya baik
Komunikasi dalam keluarga sangat penting untuk kesejahteraan
dan keharmonisan keluarga. Komunikasi yang efektif
sangat dibutuhkan oleh remaja untuk menyelesaikan tahap
perkembangannya, sehingga pengertian, perhatian, dan penerimaan
lingkungan terhadap keberadaannya juga sangat
dibutuhkan. Keluarga merupakan fundamen yang pertama dan
utama bagi pembentukan jiwa anak (Darwis, 2000)
Pergaulan dengan teman sebaya yang menggunakan napza
Sebanyak 49,0% responden mempunyai teman yang
menggunakan napza, sedangkan 58,8% responden tidak pernah
bergaul dengan penyalahguna napza; 22 % tiap hari bergaul
dengan pengguna napza .
Ada hubungan bermakna antara pergaulan teman sebaya
dengan penyalahgunaan napza (p < 0,05).Nilai OR 5,55 artinya
siswa yang bergaul dengan teman sebaya pengguna napza
berpeluang 5,55 kali menyalahgunakan napza dibanding siswa
yang tidak pernah bergaul dengan teman sebaya pengguna
napza.
Para remaja mulai belajar mencari identitas diri dan
biasanya mereka mencoba melonggarkan ikatan dengan orang
tua, sehingga ada dorongan untuk bergaul dengan teman
sebayanya kadang mereka mencoba napza agar bisa diterima
sebagai anggota kelompok sebaya. Penerimaan oleh kelompok
sebaya memberi rasa bangga dan meningkatkan harga diri.
Penggunaan waktu luang
Responden yang menggunakan waktu luang untuk les
sebanyak 33,9%,21,2% untuk kegiatan ekstrakurikuler dan
20,5% digunakan untuk nongkrong. Hasil analiisis menunjukkan
hubungan bermakna antara penggunaan waktu luang
dengan penyalahgunaan napza (p<0.05).
Nilai OR 26,62 artinya siswa yang menggunakan waktu
luang untuk kegiatan negatif berpeluang 26,62 kali lebih besar
untuk menyalahgunakan napza dibanding siswa yang menggunakan
waktu luang untuk kegiatan positif. Kegiatan negatif
menambah risiko penyalahgunaan napza.
Pembahasan hasil analisis multivariat
Analisis multivariat bertujuan untuk mendapatkan model
terbaik dalam menentukan determinan penyalahgunaan napza.
Dalam pemodelan ini semua variabel kandidat diikutsertakan
dalam model secara bersama-sama. Pemilihan model dilakukan
secara hirarki dengan cara semua variabel yang telah lolos
sensor dimasukkan ke dalam model, kemudian variabel yang
nilai p nya tidak signifikan dikeluarkan dari model secara
bertahap dimulai dari nilai p yang terbesar.
Setelah melalui seluruh tahapan analisis dengan memperhitungkan
adanya variabel interaksi, maka variabel yang masih
tetap bertahan sampai model akhir multivariat adalah jenis
kelamin, umur, pengetahuan, komunikasi, pergaulan teman
sebaya, penggunaan waktu luang, karena semuanya memiliki
p<0,05, berarti ke enam variabel tersebut berhubungan secara
signifikan dengan penyalahgunaan napza. Nilai OR masing
masing adalah OR jenis kelamin = 29,77; OR umur = 9,89; OR
pengetahuan = 4,52; OR komunikasi keluarga = 5,15; OR
pergaulan teman sebaya = 5,55; dan OR penggunaan waktu
luang 26,62.
Dari keenam variabel signifikan di atas, jenis kelamin
merupakan faktor paling dominan yang berhubungan dengan
penyalahgunaan napza, berikutnya adalah penggunan waktu
luang, umur, pergaulan teman sebaya, komunikasi keluarga,
dan pengetahuan.
Tidak ditemukannya beberapa variabel yang diduga berhubungan
dengan penyalahgunaan napza,mungkin karena
kesalahan pengisian kuesioner,keterbatasan penelitian,atau
responden tidak jujur dalam mengisi kuesioner.
KESIMPULAN
1) Faktor jenis kelamin OR 29,77 artinya siswa SMU lakilaki
29,77 kali lebih mungkin menyalahgunakan napza
dibandingkan dengan siswa SMU perempuan setelah variabel
umur, pengetahuan, komunikasi keluarga, pergaulan teman
sebaya, penggunaan waktu luang, dikendalikan. Jenis kelamin
merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan
penyalahgunaan napza.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 43
2) Faktor umur OR 9,89 artinya siswa SMU berumur 17
tahun ke atas 9,89 kali lebih mungkin menyalahgunakan napza
dibandingkan siswa SMU berumur kurang dari 17 tahun,
setelah variabel jenis kelamin, pengetahuan, komunikasi
keluarga, pergaulan teman sebaya, dan penggunaan waktu
luang dikendalikan.
3) Faktor pengetahuan OR 4,52 artinya siswa SMU yang
berpengetahuan buruk tentang napza 4,52 kali lebih mungkin
menyalahgunakan napza dibandingkan siswa SMU yang
berpengetahuan baik tentang napza, setelah variabel jenis
kelamin, umur, komunikasi keluarga, pergaulan teman sebaya
dan penggunaan waktu luang dikendalikan.
4) Faktor komunikasi keluarga OR 5,15 artinya siswa SMU
yang komunikasi keluarganya buruk 5,15 kali lebih mungkin
menyalahgunakan napza dibanding siswa SMU yang komunikasi
keluarganya baik, setelah variabel jenis kelamin, umur,
pengetahuan, pergaulan teman sebaya, dan penggunaan waktu
luang dikendalikan.
5) Faktor pergaulan teman sebaya OR 5,50 artinya siswa
SMU yang bergaul dengan teman sebaya pengguna napza 5,50
kali lebih mungkin menyalahgunakan napza dibanding siswa
SMU yang tidak pernah bergaul dengan teman sebaya pengguna
napza setelah variabel jenis kelamin, umur, pengetahuan,
komunikasi keluarga, dan penggunaan waktu luang, dikendalikan.
6) Penggunaan waktu luang OR 26,62 artinya siswa SMU
yang menggunakan waktu luang untuk kegiatan negatif 26,62
kali lebih mungkin menyalahgunakan napza dibanding siswa
SMU yang menggunakan waktu luang untuk kegiatan positif
setelah variabel jenis kelamin, umur, pengetahuan, komunikasi
keluarga dan pergaulan teman sebaya dikendalikan.
SARAN
1. Bagi Dinas Dikbud, perlu meningkatkan program intervensi
penanggulangan masalah penyalahgunaan napza dalam
bentuk penyuluhan kepada siswa SMU melalui pendekatan
lintas sektoral melibatkan Departemen Kesehatan, Kehakiman
dan Kepolisian.
2. Perlu dilakukan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, mengundang
orang tua murid untuk mencari cara mencegah
penyalahgunaan napza.
3. Perlu lebih meningkatkan pengawasan orang tua terhadap
anak, terutama pada kegiatan waktu luang.
4. Disarankan untuk suatu penelitian kualitatif lebih lanjut,
sehingga paduan kedua penelitian akan sangat bermanfaat
sebagai masukan ke institusi SMU, melalui dinas Dikbud.
KEPUSTAKAAN
1. Depkes RI. Pemuda dan Narkoba. Jakarta, 1991.
2. Depkes RI. Laporan Tahunan Kunjungan Pasien Rawat Jalan dan Rawat
Inap Rumah Sakit Ketergantungan Obat. Jakarta, 2000.
3. Depkes RI. Pedoman Penyebarluasan Informasi Tentang Pencegahan
Penyalahgunaa Narkotika, Psikotropika Dan Zat Adiktif lainnya, Buku
Pegangan Bagi Pendidik, 1999/2000
4. Tarigan B. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyalahgunaan Narkoba
di kalangan murid SMU di Jakarta Timur, 2000.
5. Yatim DI. Kepribadian, Keluarga dan Narkotika, Tinjauan Sosial
Psikologis. Jakarta: Arcan, 1990,
6. Hawari D. Penyalahgunaan dan Ketergantungan Narkotik, Alkohol dan
Zat Adiktif (NAZA), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001.
7. Wresnowiro M dkk. Masalah Narkotika & Obat Berbahaya. Yayasan
Mitra Bintibmas, Jakarta, 2000,
8. Brook, dikutip oleh Wetner IB. Child and Adolescent Psychopathology.
Ch. 13: Alcohol and Drug Abuse. New York:Jhon Wiley & Sons Inc.
1982.
9. Depkes RI. Pedoman Penyebarluasan Informasi Tentang Pencegahan
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan zat Adiktif lainnya, Buku
Pegangan Bagi Tokoh Masyarakat Orang Tua, Organisasi kemasyarakatan/
LSM, Jakarta, 1999/2000.
10. Syahrudin D dkk. Mari bersatu memberantas bahaya penyalahgunaan
narkoba (NAZA). BP, 1999.
11. Berk EL. Development through the Lifespan. Allyn & Bacon, A Viacom
Company USA, 1998.
12. Ariawan I. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Jurusan
Biostatistik dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia. 1998,
13. Hawkins D et al. Childhood predictors and the prevention of adolescent
substance abuse. dalam Jones CL dkk. Research Monograph Series 56.
Research Analysis and Utilization System Etiology of Drug Abuse
Implication for Prevention, National Institute On Drug Abuse, 1985.
14. Kaplan HI, Sadock, BJ. Personality Disorder of Drug Dependence,
Modern Synopsis of Comprehensive Textbook of Psychiatry-III.
Baltimore, London: Williams and Wilkins, 1982,
UCAPAN TERIMAKASIH
Disampaikan kepada Prof. DR. Nuning M Kiptiyah dan Dra. Evie
Martha,Mkes atas segala bimbingannya. Juga kepada pimpinan kepala sekolah
SMU Negeri di Kota Bekasi atas bantuan dan partisipasinya sehingga
penelitian ini dapat selesai dengan baik.
All truth is not to be told at all times
HASIL PENELITIAN

Pengaruh Pendedahan Morfin


Terhadap Perilaku Masa Prasapih
Mencit (Mus musculus) Swiss-Webster
Dewi Peti Virgianti, Hana Apsari Pawestri*
Sarjana Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran, Bandung
*Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN
Morfin diperoleh dari opium yang merupakan getah buah
Papaver somniferum muda yang dikeringkan. Opium tersebut
mengandung lebih dari 20 alkaloid, terutama morfin. Pohon P.
somniferum ditanam di seluruh dunia termasuk Eropa yaitu di
bekas negara Yugoslavia Asia yaitu di Iran, Myanmar, Indo-
China, India dan Pakistan serta di Amerika yaitu di Amerika
Latin sampai Meksiko(1). Pada awalnya pohon ini dibudidayakan
di negeri Arab untuk menghasilkan opium yang
digunakan untuk obat disentri. Pada pertengahan abad ke-17
opium mulai masuk ke Eropa, dan pada abad ke-18 mulai
populer digunakan sebagai rokok di Asia (2).
Morfin pertama kali diisolasi pada tahun 1803 oleh
seorang farmakolog Jerman Friedrich Serturner untuk kepentingan
pengobatan sebagai obat penghilang nyeri (narcotic
analgesic) di dunia kedokteran dan sampai sekarang merupakan
sumber analgesik utama yang belum bisa ditandingi.
Setelah penemuan jarum dan syringe penggunaan morfin
makin mudah, sehingga banyak terjadi penyalahgunaan fungsi
morfin sampai menyebabkan kecanduan(3).
National Household Survey on Drug Abuse (NHSA) di
Amerika menemukan bahwa antara tahun 2000 - 2001 jumlah
pecandu narkotik termasuk morfin di kalangan anak muda
meningkat 1,1 % pada usia 12-17 tahun dan 2,7 % pada usia
18-25 tahun tetapi tidak ada perubahan yang signifikan pada
usia di atas 26 tahun. Dilaporkan juga banyak di antaranya
yang kemudian menderita sakit mental serius terutama pada
perempuan(4).
Penggunaan narkotik termasuk morfin di kalangan
perempuan berisiko sangat tinggi, apalagi pada masa kehamilan.
Penggunaan rokok, alkohol, atau obat terlarang pada
masa kehamilan berpengaruh negatif pada anak yang dilahirkan(
5).
Morfin beraksi terutama di susunan saraf pusat sebagai
depresan dan stimulan. Morfin dapat melewati sawar plasenta
(placenta barrier) sehingga dapat menyebabkan depresi pernafasan,
miosis (kontraksi pupil) dan sindrom penghentian
(withdrawal syndrome) pada bayi baru lahir(2).
Oleh karena itu, sangatlah menarik untuk meneliti pengaruh
morfin terhadap perkembangan otak anak yang dilahirkan
dari ibu yang kecanduan, karena perkembangan otak anak
sebelum lahir serta pada awal kehidupannya sangat rentan
terhadap pengaruh beberapa zat asing. Zat asing (terutama zat
toksik) tersebut dapat mempengaruhi perkembangan saraf di
antaranya perubahan struktur sel, fungsi, migrasi, dan diferensiasinya,
dan atau mempengaruhi proses pertumbuhan
akson dan dendrit, mekanisme neurokimia, formasi sinap, dan
mielinisasi(6). Zat-zat toksik tersebut dapat menyebabkan
kerusakan permanen pada perkembangan dan fungsi otak, yang
mempengaruhi perilaku dan kemampuan belajar di kemudian
hari. Hal tersebut dapat diuji dengan metode neurobehavioral
test salah satunya adalah behavioral test battery (metode
perilaku berurut), yang terdiri dari uji kemampuan refleks,
sensorik, dan motorik pada bayi baru lahir sebelum masa sapih.
Penelitian pengaruh pendedahan morfin terhadap perkembangan
perilaku telah dilakukan. Morfin dengan tiga dosis
berbeda , yaitu dosis rendah (10 mg/kgbb.), dosis sedang (35
mg/kgbb.), dan dosis tinggi (70 mg/kgbb.) disuntikkan pada
tikus Sprague Dawley secara intraperitoneal (i.p) mulai umur
kebuntingan 5-20 hari. Hasilnya menunjukkan keterlambatan
pertumbuhan pada grup dengan dosis sedang walaupun untuk
semua dosis pengaruhnya tidak dapat diamati secara visual(7).
Penelitian lain(8) mendedahkan morfin i.p pada tikus
dengan dosis 20 mg/kgbb. yang kemudian ditingkatkan
bertahap hingga 56 mg/kgbb. mulai 5 hari sebelum perkawinan
sampai umur kebuntingan 16 hari. Hasilnya semua anakan
memperlihatkan sindrom penghentian (withdrawal syndrome).
Saat lahir, kondisi anakan rata-rata memiliki kemampuan
44 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
bernafas yang kurang baik, keterlambatan waktu terbukanya
mata, dan kematangan seks yang terlalu awal pada betina.
BAHAN DAN METODA PENELITIAN
Rancangan penelitian dan analisis data
Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental di
laboratorium pada mencit Swiss-Webster menggunakan Rancangan
Acak Lengkap (completely randomized design).
Terdapat empat kelompok perlakuan yang terdiri dari tiga
kelompok dosis perlakuan dan satu kelompok kontrol.
Perkembangan perilaku anak mencit diamati mulai umur 5 hari
(Post Natal Day-5) sampai 21 hari (PND-21) dengan metode
Test Perilaku Berurut (Behavioral Test Battery) dengan 6 kali
pengulangan (berdasarkan rumus Federer) untuk setiap kelompok
perlakuan sehingga jumlah total mencit betina (dara) yang
digunakan adalah 24 ekor.
Parameter yang diamati adalah persentase keberhasilan
kemampuan refleks, kemampuan motorik, kemampuan sensorik,
dan berat badan. Data keberhasilan anak mencit pada
refleks membalikkan badan dan berat badan dianalisis dengan
menggunakan uji ANAVA, jika hasilnya berbeda nyata dengan
kontrol dilanjutkan dengan uji t-Dunnet. Data keberhasilan
refleks menghindari jurang dan geotaksis negatif, serta kemampuan
motorik (berenang) dianalisis menggunakan uji
Kruskal-Wallis, jika hasilnya berbeda nyata dilanjutkan dengan
uji Multiple Comparison. Data persentase keberhasilan kemampuan
motorik anak mencit (mengangkat badan dan
anggota belakang) dan kemampuan sensorik (penglihatan,
pendengaran, dan penciuman) masing-masing dianalisis secara
deskriptif.
Bahan dan alat
Morfin yang digunakan dalam percobaan ini adalah morfin
HCl injeksi, sedangkan mencit yang digunakan adalah mencit
betina (dara) berumur 2-3 bulan dengan berat badan 25-35
gram. Mencit-mencit tersebut kemudian dipelihara dalam
kandang dan diberi makan secara ad-libitum. Selanjutnya
mencit betina yang telah diketahui dalam keadaan estrus
disatukan dengan mencit jantan dewasa. Bila pada vulva
mencit betina sudah terlihat sumbat vagina, maka hari tersebut
dinyatakan sebagai hari ke-1 kebuntingan. Dari masing-masing
mencit yang berfungsi sebagai inang, diambil 3 ekor anak
untuk diuji.
Perlakuan Hewan Coba
Penentuan dosis disesuaikan dengan berat badan rata-rata
mencit tiap kelompok. Dosis morfin yang digunakan yaitu 9,8
mg/kgbb./hari 5,6 mg/kgbb./hari; 2,8 mg/kg bb./hari dan satu
kelompok kontrol. Pada umur kebuntingan 7-12 hari, terhitung
dari mulai tampak sumbat vagina, induk mencit Swiss-Webster
diberi suntikan secara s.c menggunakan alat suntik steril sekali
pakai. Setelah melahirkan, berat badan anak-anak mencit
ditimbang satu minggu sekali dan disiapkan untuk pengujian
mulai umur 5 hari (PND-5) sampai 21 hari (PND-21)(9). Dari
tiap anakan dipilih perwakilannya sebanyak 3 ekor.
PENGUMPULAN DATA
A. Uji Kemampuan Refleks
1. Refleks Membalikkan Badan (Surface Righting
Reflex)(9)
Uji ini dilakukan pada anak mencit berumur 5 hari. Anak
mencit yang akan diuji diletakkan terlentang di tempat datar.
Waktu yang diperlukan oleh anak-anak mencit untuk mengubah
posisi dari posisi terlentang ke posisi telungkup dicatat
dengan stopwatch.
2. Refleks Menghindari Jurang (Cliff Avoidance)(10)
Pengamatan dilakukan pada anak mencit berumur 6 hari.
Anak mencit yang akan diuji diletakkan di atas meja datar
tangan dan hidung diletakkan sejajar di tepi meja tempat anak
mencit itu berada. Kemudian diamati reaksi anak mencit dan
dicocokkan dengan skor :
- Skor 0 : anak mencit bergerak maju dan menjatuhkan
dirinya ke jurang
- Skor 1 : anak mencit diam saja di posisinya
- Skor 2 : anak mencit berhasil menghindari jurang dengan
memutar posisi tubuhnya.
Laju keberhasilan dihitung dengan cara mengamati berapa
persen anak mencit yang mampu menghindari jurang.
3. Refleks Geotaksis Negatif (Negative Geotaxis Reflex)(10)
Pengamatan dilakukan pada anak mencit 7 hari. Anak
mencit yang akan diuji diletakkan pada suatu tempat miring
dengan sudut kemiringan 25°, kemudian diamati reaksinya dan
dicocokkan dengan skor :
- Skor 0 : anak mencit tidak dapat menahan berat tubuhnya
dan menukik turun ke bagian dasar tempat miring
- Skor 1 : anak mencit diam saja di posisinya
- Skor 2 : anak mencit berhasil menahan berat tubuhnya dan
memutar posisi tubuhnya.
Laju keberhasilan dihitung dengan cara menghitung berapa
persen yang berhasil menahan berat tubuhnya dan memutar
posisi tubuhnya.
B. Uji Kemampuan Motorik
1. Perkembangan Kemampuan Berenang
Pengujian dilakukan terhadap anak mencit berumur 8, 10,
12 hari. Anak mencit tersebut dijatuhkan ke dalam bejana berisi
air hangat (27-300C), kemudian diamati gerakannya; hasil
pengamatan dicocokkan dengan skor :
Posisi sudut kepala:
Skor 0 : menyelam
Skor 1 : hidung di atas permukaan air
Skor 2 : hidung dan kepala bagian atas berada di permukaan/
di atas permukaan air
Skor 3 : seperti pada skor 2, mata telah berada di atas
permukaan air, daun telinga ¼-nya berada pada
permukaan air.
Skor 4 : seperti pada skor 3, seluruh bagian daun telinga telah
berada di atas permukaan air
Arah berenang :
Skor 1 : mengapung
Skor 2 : berenang melingkar
Skor 3 : berenang lurus atau mendekati lurus
Skor 4 : tenggelam
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 45
Penggunaan anggota badan:
Skor 1 : mengayuh dengan ke-4 anggota badan
Skor 2: mengayuh hanya dengan anggota belakang, anggota
depan dalam posisi diam
Skor 3 : tanpa mengayuh
2. Perkembangan Kemampuan Mengangkat Badan dan
Anggota Belakang
Pengujian dilakukan pada anak mencit mulai umur 7 hari
sampai seluruh anak mencit yang diamati mampu mengangkat
badan dan anggota belakangnya sehingga tidak terjatuh. Anak
mencit yang akan diuji, tangannya diletakkan pada kawat
dengan diameter 2 mm, panjang 20 cm yang direntangkan di
antara 2 tiang kayu setinggi 30 cm. Kemudian diamati berapa
persen anak mencit yang dapat menggenggam (grasping) dan
mengangkat badan serta kakinya, sehingga tidak terjatuh.
C. Uji Kemampuan Sensorik
1. Perkembangan Kemampuan Penciuman
Pengamatan dilakukan terhadap anak mencit umur 21 hari.
Anak mencit digenggam supaya diam, lalu hidungnya didekatkan
ke batang kapas (cotton bud) yang telah dicelupkan ke
dalam cologne. Hasil positif bila anak mencit menghindar dan
negatif bila diam saja.
2. Perkembangan Kemampuan Penglihatan
Pengamatan dilakukan pada anak mencit mulai umur 7
hari sampai seluruh anak mencit yang diuji memberikan
tanggapan positif terhadap uji ini. Anak mencit dipegang ujung
ekornya dan didekatkan pada tongkat horizontal dan dijaga
misainya tidak menyentuh tongkat. Hasil pengujian dinilai
positif bila anak mencit yang diuji mampu meraih tongkat.
3. Perkembangan Kemampuan Pendengaran
Pengamatan dilakukan pada anak mencit mulai umur 7
hari sampai seluruh anak mencit yang diuji memberikan
tanggapan positif terhadap uji ini. Tanggapan dinilai positif bila
anak mencit tersentak pada saat kedua batang logam dipukulkan
secara diam-diam di atasnya. Anak mencit yang belum
mendapat giliran, harus dijauhkan dari tempat peng-amatan
agar tidak terbiasa (terhabituasi) dengan rangsangan bunyi
yang akan diberikan.
Hasil dan Pembahasan
Hasil pengamatan menunjukkan terdapat kelainan pada
perilaku yang disebabkan oleh kerusakan otak dan tulang
belakang. Selengkapnya data yang diperoleh adalah sebagai
berikut :
A. Uji Kemampuan Refleks
Uji statistik (Tabel 1) menunjukkan bahwa kemampuan
refleks anak mencit dalam uji membalikkan badan, menghindari
jurang, dan geotaksis negatif berbeda nyata dengan
kontrol pada dosis 5,6 mg/kgbb./hari dan 9,8 mg/kg bb./hari.
Rata-rata refleks membalikkan badan anak mencit pada dosis
tersebut jauh lebih cepat dibandingkan kontrol. Hal tersebut
terjadi karena morfin yang didedahkan mempengaruhi sistem
motorik spinalis yang merupakan pengendali tonus otot skelet.
Morfin ditemukan di terminal akson aferen primer substansia
gelatinosa tulang belakang, dan juga di nukleus spinal nervus
trigeminus(11). Thompson (2002) juga menemukan bahwa letak
reseptor-reseptor opiat adalah di prosesus aksonal, yaitu di
terminal saraf presinap. Keberadaan morfin tersebut meningkatkan
pelepasan asetilkolin bebas yang menyebabkan
peningkatan aktivitas spontan motorik(2).
Tabel 1. Kemampuan Refleks Anak Mencit Umur 5,6,7 hari (n=18)
Jenis Uji Dosis (mg/kg bb./hari)
0 (kontrol) 2,8 5,6 9,8
Refleks
membalikkan
badan (PND-5)
Waktu (detik)
8,25±0,73
6,08±0,73
5,42±0,88*
3,47±0,52*
Reflek
Menghindari
Jurang (PND-6)
Keberhasilan
100 %
100 %
67 %*
56 %*
Reflek Geotaksis
Negatif (PND-7)
Keberhasilan
100 %
100 %
67 %*
50 %*
Keterangan :
(*)= berbeda nyata dengan kontrol, PND=post natal day, rataan ± sd
Pada uji menghindari jurang ketidakberhasilan anak
mencit ditunjukkan dengan sikap diam atau menjatuhkan diri
ke jurang (meloncat). Hal tersebut karena morfin meningkatkan
sintesis dopamin pada neuron-neuron dopaminergik yang
tersebar di sistem limbik sehingga mempengaruhi kelabilan
emosi dan menyebabkan depresi(2). Selain itu, morfin juga
meningkatkan produksi serotonin (5-HT) di nukleus rafe
batang otak yang menyebabkan tingkah laku bunuh diri(13).
Kerusakan sistem penerimaan nyeri sejak masa kandungan dan
pasca lahir akan menimbulkan sikap perusakan diri karena
ingin merasakan nyeri, dengan cara meloncat, membakar diri,
atau menabrakkan diri(14). Sedangkan dalam uji geotaksis
negatif ketidakberhasilan anak mencit ditunjukkan dengan
sikap diam atau tidak bisa menahan berat tubuh sehingga anak
mencit terus turun dengan posisi menukik menuju bawah
bidang miring. Hal tersebut terjadi karena morfin menghambat
motoneuron spinal, menyebabkan anggota gerak belakang terganggu(
15).
Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian morfin pada masa
kebuntingan tidak berpengaruh pada sudut kepala dan penggunaan
anggota gerak pada saat anak mencit berenang, tetapi
berpengaruh terhadap arah berenang. Melingkarnya arah
berenang anak mencit karena morfin mempengaruhi dan merusak
sistem ekstrapiramidal. Sistem ekstrapiramidal [korteks
serebrum basal ganglia yang terdiri dari nucleus caudatus,
nucleus lentiformis dan globus pallidus merupakan pusat
gerakan bawah sadar. Fungsinya antara lain memelihara posisi
tubuh normal dan mengatur tonus otot(16). Morfin juga dapat
menghambat dan mengeksitasi sel Purkinye di otak kecil. Otak
kecil merupakan pusat pemelihara keseimbanganan serta pengatur
gerakan sehingga arah berenang menjadi melingkar.
46 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
B. Uji Kemampuan Motorik
1. Perkembangan Kemampuan Berenang
Tabel 2. Perkembangan Kemampuan Berenang Anak Mencit (PND-8,10,12)
Dosis (mg/kg BB/hari)
0 (Kontrol 2,8 5,6 9,8
Skor Skor Skor Skor
Jenis Uji
1234123412341234
PND-8
-Sudut
-Arah
-Penggunaan
anggota
badan
18
12
6
18
18
16
2
18
18
16
2
18
18
13
5
18
PND-10
-Sudut
-arah
-Penggunaan
anggota
badan
18
3
15
18
18
4
14
18
18
6
12
18
18
10
8
18
PND-12
-Sudut
-arah
-Penggunaan
anggota
badan
18
18
18
18
1
18
18
5*
13*
18
18
6*
12*
18
Keterangan :
(*) = berbeda nyata dengan kontrol, PND=post natal day
2. Perkembangan Kemampuan Mengangkat badan dan
Anggota Belakang
Tabel 3. Persentase keberhasilan anak mencit dalam uji kemampuan
mengangkat badan pada tiap dosis (%)
Tabel 3 menunjukkan peningkatan persentase kemampuan
mengangkat badan dari hari ke hari pada semua perlakuan,
keberhasilan mengangkat badan terjadi lebih awal pada anak
mencit yang diberi morfin di antaranya memanjat(2).
C. Uji Kemampuan Sensorik
Tabel 4. Perkembangan Kemampuan Sensorik Anak Mencit (n=72)
Dosis (mg/kg bb./hari)
Jenis Uji 0
(Kontrol) 2,8 5,6 9,8
Uji Penglihatan
- PND-14
- PND-15
61 %
100 %
50 %
100 %
50 %
100 %
44 %
100 %
Uji Pendengaran
- PND-13
- PND-14
- PND-15
56 %
89 %
100 %
56 %
94 %
100 %
61 %
89 %
100 %
56 %
89 %
100 %
Uji Penciuman
- PND-21 100 % 100 % 100 % 100 %
Pengamatan deskriptif memperlihatkan tidak satupun yang
berbeda dengan kontrol. Hal tersebut terjadi karena morfin
tidak merusak korteks sensorik serebrum karena di daerah itu
tidak terdapat reseptor opiat. Selain itu, pemberian morfin
dilakukan pada saat neurulasi, saat organ belum terbentuk
sehingga morfin tidak mengganggu pembentukan organ-organ
sensorik.
Dosis Hari
7 8 9 10 11 12 13 14
Kontrol 0 0 0 11 44 50 83 100
2,8 mg/kg
bb/hari
0 5.6 11 22 44 89 100 100
5,6 mg/kg
bb/hari
0 17 28 50 61 100 100 100
9,8 mg/kg
bb/hari
0 22 39 56 72 100 100 100
Tabel 5. Rata-rata perkembangan berat badan anak mencit PND-4,7,14,21
Dosis Berat badan (g)
PND-1 PND-4 PND-7 PND-14 PND-21
Kontrol 1.46 2.94 4.50 6.84 10.37
2,8 mg/kgbb./hari 1.51 3.01 4.53 6.61 10.02
5,6 mg/kgbb./hari 1.32 2.61 4.03 5.93 9.31
9,8 mg/kgbb./hari 1.24 2.46 3.83 5.67 8.91
Uji statistik data tabel 5 menunjukkan berat badan anak
mencit berbeda nyata dengan kontrol pada dosis 5,6
mg/kgbb./hari dan 9,8 mg/kgbb./hari. Ini berarti morfin dapat
lebih menurunkan berat badan dibandingkan dengan kontrol.
Morfin berpengaruh langsung menghambat pertumbuhan fetus,
selain itu zat asing selain morfin dapat menyebabkan malnutrisi
karena mengganggu aliran darah yang menuju fetus sehingga
menghambat pertumbuhan dan berat badan fetus(17).
KESIMPULAN
1. Pemberian morfin dosis subletal pada masa kebuntingan
menyebabkan penyimpangan perilaku masa prasapih dan
penurunan berat badan anak mencit Swiss-Webster.
Penyimpangan yang berbeda nyata dengan kontrol
ditemukan pada uji refleks (membalikkan tubuh,
menghindari jurang, dan geotaksis negatif) dan pada uji
motorik (kemampuan berenang dan mengangkat anggota
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 47
badan), sedangkan pada uji sensorik tidak berbeda nyata.
2. Penyimpangan perilaku yang ditimbulkan tergantung besar
dosis. Pada penelitian ini yang berbeda nyata dengan
kontrol adalah pada dosis 9,8 mg/kgbb./hari dan 5,6 mg/kg
bb./hari; pada dosis 2,8 mg/kgbb./hari tidak berbeda nyata.
SARAN
Perlu dilakukan pengamatan lanjutan terhadap kemampuan
belajar dan memori serta analisis jaringan bagian otak yang
diduga rusak pada mencit dewasa (PND-60).
KEPUSTAKAAN
1. Razak AMD. Kumpulan Dadah Narkotik. Article. (http://www.
prn.usm.my) . 1995
2. Pradhan S, Dutta S. Drug Abuse. Clinical and Basic Aspect. CV. Mosby
Co. St Louis. 1997
3. Hamilton GR, Baskett TF. In the Arms of Morpheus: the Development
of Morphine for Postoperative Pain Relief. Anasthesiol..2000; (April) 47
(4) : 367
4. Young L. Use of Marijuana, Cocaine, Pain Relievers and Tranquilizers
Increased According to National Household Survey on Drug Abuse.
Report Article. (http://www.samsha.gov). 2002
5. Ahluwalia I. Multiple Lifestyle and Psychological Risk and Delivery of
Small for Gestational Age Infant. Obstetr. Gynecol. 2001;97(5).
6. Association of Canada. Resolution : The Need for Federally Mandate
Developmental Neurotoxicity Testing to Protect Human Health: Central
Nervous System Development. (http://www.Idac-taac.ca).1994
7. Fujinaga M. Teratogenic and Postnatal Developmental Studies of
Morphine in Sprague Dawley Rats. Teratology 1998; 38 (5): 401-410
8. Lapointe G, Nasal G. Morphine treatment During Rat Pregnancy:
Neonatal & Preweaning consequences. Biology Neonate J. 1982;42 (1-2):
22-30
9. Turner AR. Screening Methods in Pharmacology. Academic Press. New
York.1965
10. Grabow ST, Dougherty MP..Cervicomedullary Intrathecal Injection of
Morphine Produces Antinociception in The Orafacial Formalin Test in
The Rats. Anaesthesiol. .2001; 95: 1427-1434
11. Anonim.Cerebrum and Cerebellum-The Secret of The Central Nerve.
http://www.okmedi.net.2001.
12. Thompson TG. Recovery Month/ The National Household Survey on
Drug Abuse. (http://www. ncbi. nml. nih. gov)2002
13. Dalpiaz A. et al. Thermodynamics of Serotonin Receptor Interaction.
John Wiley & Sons. Ltd. Italy. 2001
14. Anand KJ, Scalzo FM.. Can Adverse Neonatal Experiences Alter Brain
Development and Subsequent Behaviour?. Biology of Neonate J.
2000;77 (2): 69-82
15. Kakinohana M. et al. Intrathecal Administration of Morphine, but not
Small dose, Induced Spastic Paraparesis After a Noninjurious Interval of
Aortic Occlusion in Rat. Anaesthes. Analges. 2003; 96
16. Mustcher E. Dinamika Obat. Ed. 5. Terj: MB. Widiarto & AS Ranti.
Penerbit ITB. Bandung.1991
17. Wierrother H et. al. Intrauterine Blood Flow and Long-Term Intellectual,
Neurologic, and Social Development. Obstetr. Gynecol. .2001.60 : 108-
114
48 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit


dalam Konteks Sosial Budaya
Sunanti Z. Soejoeti
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya
pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran,
kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap
penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal. Dan kesehatan yang demikian yang menjadi dambaan
setiap orang sepanjang hidupnya. Tetapi datangnya penyakit
merupakan hal yang tidak bisa ditolak meskipun kadangkadang
bisa dicegah atau dihindari.
Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak
dan universal karena ada faktor-faktor lain di luar kenyataan
klinis yang mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya.
Kedua pengertian saling mempengaruhi dan pengertian yang
satu hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yang lain.
Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran,
dan lain-lain bidang ilmu pengetahuan telah mencoba
memberikan pengertian tentang konsep sehat dan sakit ditinjau
dari masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan sakit
merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau
ketidakmampuan manusia beradap-tasi dengan lingkungan baik
secara biologis, psikologis maupun sosio budaya(1).
UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa:
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan
sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan
ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat
sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik,
mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa merupakan
bagian integral kesehatan.
Definisi sakit: seseorang dikatakan sakit apabila ia
menderita penyakit menahun (kronis), atau gangguan kesehatan
lain yang menyebabkan aktivitas kerja/kegiatannya terganggu.
Walaupun seseorang sakit (istilah sehari-hari) seperti masuk
angin, pilek, tetapi bila ia tidak terganggu untuk melaksanakan
kegiatannya, maka ia dianggap tidak sakit(2).
MASALAH SEHAT DAN SAKIT
Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks yang
merupakan resultante dari berbagai masalah lingkungan yang
bersifat alamiah maupun masalah buatan manusia, sosial
budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya.
Derajat kesehatan masyarakat yang disebut sebagai psycho
socio somatic health well being, merupakan resultante dari 4
faktor(3) yaitu:
1. Environment atau lingkungan.
2. Behaviour atau perilaku,
Antara yang pertama dan kedua dihubungkan dengan
ecological balance.
3. Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi,
distribusi penduduk, dan sebagainya.
4. Health care service berupa program kesehatan yang
bersifat preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.
Dari empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku
merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya (dominan)
terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat.
Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kelas sosial,
perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan
yang sama (yang ditentukan secara klinis), bergantung dari
variabel-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi yang
berbeda di kalangan pasien.
Pengertian sakit menurut etiologi naturalistik dapat dijelaskan
dari segi impersonal dan sistematik, yaitu bahwa sakit
merupakan satu keadaan atau satu hal yang disebabkan oleh
gangguan terhadap sistem tubuh manusia.
Pernyataan tentang pengetahuan ini dalam tradisi klasik
Yunani, India, Cina, menunjukkan model keseimbangan
(equilibrium model) seseorang dianggap sehat apabila unsurunsur
utama yaitu panas dingin dalam tubuhnya berada dalam
keadaan yang seimbang. Unsur-unsur utama ini tercakup dalam
konsep tentang humors, ayurveda dosha, yin dan yang.
Departemen Kesehatan RI telah mencanangkan kebijakan
baru berdasarkan paradigma sehat(4). Paradigma sehat adalah
cara pandang atau pola pikir pembangunan kesehatan yang
bersifat holistik, proaktif antisipatif, dengan melihat masalah
kesehatan sebagai masalah yang dipengaruhi oleh banyak
faktor secara dinamis dan lintas sektoral, dalam suatu wilayah
yang berorientasi kepada peningkatan pemeliharaan dan perlindungan
terhadap penduduk agar tetap sehat dan bukan hanya
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 49
penyembuhan penduduk yang sakit. Pada intinya paradigma
sehat memberikan perhatian utama terhadap kebijakan yang
bersifat pencegahan dan promosi kesehatan, memberikan
dukungan dan alokasi sumber daya untuk menjaga agar yang
sehat tetap sehat namun tetap mengupayakan yang sakit segera
sehat. Pada prinsipnya kebijakan tersebut menekankan pada
masyarakat untuk mengutamakan kegiatan kesehatan daripada
mengobati penyakit.
Telah dikembangkan pengertian tentang penyakit yang
mempunyai konotasi biomedik dan sosio kultural(5). Dalam
bahasa Inggris dikenal kata disease dan illness sedangkan
dalam bahasa Indonesia, kedua pengertian itu dinamakan
penyakit.
Dilihat dari segi sosio kultural terdapat perbedaan besar
antara kedua pengertian tersebut. Dengan disease dimaksudkan
gangguan fungsi atau adaptasi dari proses-proses biologik dan
psikofisiologik pada seorang individu, dengan illness dimaksud
reaksi personal, interpersonal, dan kultural terhadap penyakit
atau perasaan kurang nyaman(1).
Para dokter mendiagnosis dan mengobati disease, sedangkan
pasien mengalami illness yang dapat disebabkan oleh
disease illness tidak selalu disertai kelainan organik maupun
fungsional tubuh.
Tulisan ini merupakan tinjauan pustaka yang membahas
pengetahuan sehat-sakit pada aspek sosial budaya dan perilaku
manusia; serta khusus pada interaksi antara beberapa aspek ini
yang mempunyai pengaruh pada kesehatan dan penyakit.
Dalam konteks kultural, apa yang disebut sehat dalam suatu
kebudayaan belum tentu disebut sehat pula dalam kebudayaan
lain. Di sini tidak dapat diabaikan adanya faktor penilaian atau
faktor yang erat hubungannya dengan sistem nilai.
KONSEP SEHAT SAKIT MENURUT BUDAYA
MASYARAKAT
Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, sosial
dan pengertian profesional yang beragam. Dulu dari sudut
pandangan kedokteran, sehat sangat erat kaitannya dengan
kesakitan dan penyakit. Dalam kenyataannya tidaklah sesederhana
itu, sehat harus dilihat dari berbagai aspek. WHO melihat
sehat dari berbagai aspek(6). Definisi WHO (1981): Health is a
state of complete physical, mental and social well-being, and
not merely the absence of disease or infirmity. WHO mendefinisikan
pengertian sehat sebagai suatu keadaan sempurna
baik jasmani, rohani, maupun kesejahteraan sosial seseorang.
Sebatas mana seseorang dapat dianggap sempurna jasmaninya?
Oleh para ahli kesehatan, antropologi kesehatan dipandang
sebagai disiplin biobudaya yang memberi perhatian
pada aspek-aspek biologis dan sosial budaya dari tingkah laku
manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya
sepanjang sejarah kehidupan manusia yang mempengaruhi
kesehatan dan penyakit. Penyakit sendiri ditentukan oleh
budaya: hal ini karena penyakit merupakan pengakuan sosial
bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran normalnya
secara wajar .
Cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena
yang dapat dikaitkan dengan munculnya berbagai macam
penyakit, selain itu hasil berbagai kebudayaan juga dapat
menimbulkan penyakit.
Masyarakat dan pengobat tradisional menganut dua konsep
penyebab sakit, yaitu: Naturalistik dan Personalistik. Penyebab
bersifat Naturalistik yaitu seseorang menderita sakit
akibat pengaruh lingkungan, makanan (salah makan), kebiasaan
hidup, ketidak seimbangan dalam tubuh, termasuk juga
kepercayaan panas dingin seperti masuk angin dan penyakit
bawaan. Konsep sehat sakit yang dianut pengobat tradisional
(Battra) sama dengan yang dianut masyarakat setempat, yakni
suatu keadaan yang berhubungan dengan keadaan badan atau
kondisi tubuh kelainan-kelainan serta gejala yang dirasakan.
Sehat bagi seseorang berarti suatu keadaan yang normal, wajar,
nyaman, dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan
gairah. Sedangkan sakit dianggap sebagai suatu keadaan badan
yang kurang menyenangkan, bahkan dirasakan sebagai siksaan
sehingga menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan
aktivitas sehari-hari seperti halnya orang yang sehat(7). Sedangkan
konsep Personalistik menganggap munculnya penyakit
(illness) disebabkan oleh intervensi suatu agen aktif yang dapat
berupa makhluk bukan manusia (hantu, roh, leluhur atau roh
jahat), atau makhluk manusia (tukang sihir, tukang tenung).
Menelusuri nilai budaya, misalnya mengenai pengenalan
kusta dan cara perawatannya. Kusta telah dikenal oleh etnik
Makasar sejak lama. Adanya istilah kaddala sikuyu (kusta
kepiting) dan kaddala massolong (kusta yang lumer), merupakan
ungkapan yang mendukung bahwa kusta secara endemik
telah berada dalam waktu yang lama di tengah-tengah masyarakat
tersebut(8).
Hasil penelitian kualitatif dan kuantitatif atas nilai - nilai
budaya di Kabupaten Soppeng, dalam kaitannya dengan penyakit
kusta (Kaddala,Bgs.) di masyarakat Bugis menunjukkan
bahwa timbul dan diamalkannya leprophobia secara ketat
karena menurut salah seorang tokoh budaya, dalam nasehat
perkawinan orang-orang tua di sana, kata kaddala ikut
tercakup di dalamnya. Disebutkan bahwa bila terjadi pelanggaran
melakukan hubungan intim saat istri sedang haid, mereka
(kedua mempelai) akan terkutuk dan menderita kusta/kaddala.
Ide yang bertujuan guna terciptanya moral yang agung di
keluarga baru, berkembang menuruti proses komunikasi dalam
masyarakat dan menjadi konsep penderita kusta sebagai
penanggung dosa. Pengertian penderita sebagai akibat dosa dari
ibu-bapak merupakan awal derita akibat leprophobia. Rasa
rendah diri penderita dimulai dari rasa rendah diri keluarga
yang merasa tercemar bila salah seorang anggota keluarganya
menderita kusta. Dituduh berbuat dosa melakukan hubungan
intim saat istri sedang haid bagi seorang fanatik Islam dirasakan
sebagai beban trauma psikosomatik yang sangat berat(8).
Orang tua, keluarga sangat menolak anaknya didiagnosis kusta.
Pada penelitian Penggunaan Pelayanan Kesehatan Di
Propinsi Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat (1990),
hasil diskusi kelompok di Kalimantan Timur menunjukkan
bahwa anak dinyatakan sakit jika menangis terus, badan
berkeringat, tidak mau makan, tidak mau tidur, rewel, kurus
kering. Bagi orang dewasa, seseorang dinyatakan sakit kalau
sudah tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, tidak enak badan,
panas dingin, pusing, lemas, kurang darah, batuk-batuk, mual,
diare. Sedangkan hasil diskusi kelompok di Nusa Tenggara
50 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
Barat menunjukkan bahwa anak sakit dilihat dari keadaan fisik
tubuh dan tingkah lakunya yaitu jika menunjukkan gejala
misalnya panas, batuk pilek, mencret, muntah-muntah, gatal,
luka, gigi bengkak, badan kuning, kaki dan perut bengkak.
Seorang pengobat tradisional yang juga menerima
pandangan kedokteran modern, mempunyai pengetahuan yang
menarik mengenai masalah sakit-sehat. Baginya, arti sakit
adalah sebagai berikut: sakit badaniah berarti ada tanda-tanda
penyakit di badannya seperti panas tinggi, penglihatan lemah,
tidak kuat bekerja, sulit makan, tidur terganggu, dan badan
lemah atau sakit, maunya tiduran atau istirahat saja. Pada
penyakit batin tidak ada tanda-tanda di badannya, tetapi bisa
diketahui dengan menanyakan pada yang gaib. Pada orang
yang sehat, gerakannya lincah, kuat bekerja, suhu badan
normal, makan dan tidur normal, penglihatan terang, sorot mata
cerah, tidak mengeluh lesu, lemah, atau sakit-sakit badan(9).
Sudarti (1987) menggambarkan secara deskriptif persepsi
masyarakat beberapa daerah di Indonesia mengenai sakit dan
penyakit; masyarakat menganggap bahwa sakit adalah keadaan
individu mengalami serangkaian gangguan fisik yang menimbulkan
rasa tidak nyaman. Anak yang sakit ditandai dengan
tingkah laku rewel, sering menangis dan tidak nafsu makan.
Orang dewasa dianggap sakit jika lesu, tidak dapat bekerja,
kehilangan nafsu makan, atau “kantong kering“ (tidak punya
uang). Selanjutnya masyarakat menggolongkan penyebab sakit
ke dalam 3 bagian yaitu :
1. Karena pengaruh gejala alam (panas, dingin) terhadap
tubuh manusia
2. Makanan yang diklasifikasikan ke dalam makanan panas
dan dingin.
3. Supranatural (roh, guna-guna, setan dan lain-lain.).
Untuk mengobati sakit yang termasuk dalam golongan
pertama dan ke dua, dapat digunakan obat-obatan, ramuanramuan,
pijat, kerok, pantangan makan, dan bantuan tenaga
kesehatan. Untuk penyebab sakit yang ke tiga harus dimintakan
bantuan dukun, kyai dan lain-lain. Dengan demikian upaya
penanggulangannya tergantung kepada kepercayaan mereka
terhadap penyebab sakit.
Beberapa contoh penyakit pada bayi dan anak sebagai berikut :
a. Sakit demam dan panas.
Penyebabnya adalah perubahan cuaca, kena hujan, salah
makan, atau masuk angin. Pengobatannya adalah dengan cara
mengompres dengan es, oyong, labu putih yang dingin atau
beli obat influensa. Di Indramayu dikatakan penyakit adem
meskipun gejalanya panas tinggi, supaya panasnya turun.
Penyakit tampek (campak) disebut juga sakit adem karena
gejalanya badan panas.
b. Sakit mencret (diare).
Penyebabnya adalah salah makan, makan kacang terlalu
banyak, makan makanan pedas, makan udang, ikan, anak
meningkat kepandaiannya, susu ibu basi, encer, dan lain-lain.
Penanggulangannya dengan obat tradisional misalkan dengan
pucuk daun jambu dikunyah ibunya lalu diberikan kepada
anaknya (Bima Nusa Tenggara Barat) obat lainnya adalah
Larutan Gula Garam (LGG), Oralit, pil Ciba dan lain-lain.
Larutan Gula Garam sudah dikenal hanya proporsi campurannya
tidak tepat.
c. Sakit kejang-kejang
Masyarakat pada umumnya menyatakan bahwa sakit panas
dan kejang-kejang disebabkan oleh hantu. Di Sukabumi disebut
hantu gegep, sedangkan di Sumatra Barat disebabkan hantu
jahat. Di Indramayu pengobatannya adalah dengan dengan
pergi ke dukun atau memasukkan bayi ke bawah tempat tidur
yang ditutupi jaring.
d. Sakit tampek (campak)
Penyebabnya adalah karena anak terkena panas dalam,
anak dimandikan saat panas terik, atau kesambet. Di Indramayu
ibu-ibu mengobatinya dengan membalur anak dengan asam
kawak, meminumkan madu dan jeruk nipis atau memberikan
daun suwuk, yang menurut kepercayaan dapat mengisap
penyakit.
KEJADIAN PENYAKIT
Penyakit merupakan suatu fenomena kompleks yang
berpengaruh negatif terhadap kehidupan manusia. Perilaku dan
cara hidup manusia dapat merupakan penyebab bermacammacam
penyakit baik di zaman primitif maupun di masyarakat
yang sudah sangat maju peradaban dan kebudayaannya.
Ditinjau dari segi biologis penyakit merupakan kelainan
berbagai organ tubuh manusia, sedangkan dari segi kemasyarakatan
keadaan sakit dianggap sebagai penyimpangan perilaku
dari keadaan sosial yang normatif. Penyimpangan itu dapat
disebabkan oleh kelainan biomedis organ tubuh atau lingkungan
manusia, tetapi juga dapat disebabkan oleh kelainan
emosional dan psikososial individu bersangkutan. Faktor
emosional dan psikososial ini pada dasarnya merupakan akibat
dari lingkungan hidup atau ekosistem manusia dan adat
kebiasaan manusia atau kebudayaan(11).
Konsep kejadian penyakit menurut ilmu kesehatan bergantung
jenis penyakit. Secara umum konsepsi ini ditentukan
oleh berbagai faktor antara lain parasit, vektor, manusia dan
lingkungannya.
Para ahli antropologi kesehatan yang dari definisinya dapat
disebutkan berorientasi ke ekologi, menaruh perhatian pada
hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan alamnya,
tingkah laku penyakitnya dan cara-cara tingkah laku
penyakitnya mempengaruhi evolusi kebudayaannya melalui
proses umpan balik (Foster, Anderson, 1978)(12).
Penyakit dapat dipandang sebagai suatu unsur dalam
lingkungan manusia, seperti tampak pada ciri sel-sabit (sicklecell)
di kalangan penduduk Afrika Barat, suatu perubahan evolusi
yang adaptif, yang memberikan imunitas relatif terhadap
malaria. Ciri sel sabit sama sekali bukan ancaman, bahkan
merupakan karakteristik yang diinginkan karena memberikan
proteksi yang tinggi terhadap gigitan nyamuk Anopheles.
Bagi masyarakat Dani di Papua, penyakit dapat merupakan
simbol sosial positif, yang diberi nilai-nilai tertentu. Etiologi
penyakit dapat dijelaskan melalui sihir, tetapi juga sebagai
akibat dosa. Simbol sosial juga dapat merupakan sumber
penyakit. Dalam peradaban modern, keterkaitan antara simbolsimbol
sosial dan risiko kesehatan sering tampak jelas,
misalnya remaja merokok.
Suatu kajian hubungan antara psikiatri dan antropologi
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 51
dalam konteks perubahan sosial ditulis oleh Rudi Salan
(1994)(13) berdasarkan pengalaman sendiri sebagai psikiater;
salah satu kasusnya sebagai berikut: Seorang perempuan yang
sudah cukup umur reumatiknya diobati hanya dengan vitamin
dan minyak ikan saja dan percaya penyakitnya akan sembuh.
Menurut pasien penyakitnya disebabkan karena “darah kotor”
oleh karena itu satu-satunya jalan penyembuhan adalah dengan
makan makanan yang bersih , yaitu ‘mutih’ (ditambah vitamin
seperlunya agar tidak kekurangan vitamin) sampai darahnya
menjadi bersih kembali. Bagi seorang dokter pendapat itu tidak
masuk akal, tetapi begitulah kenyataan yang ada dalam
masyarakat.
PERILAKU SEHAT DAN PERILAKU SAKIT
Penelitian-penelitian dan teori-teori yang dikembangkan
oleh para antropolog seperti perilaku sehat ( health behavior ),
perilaku sakit (illness behavior) perbedaan antara illness dan
disease, model penjelasan penyakit (explanatory model ), peran
dan karir seorang yang sakit (sick role), interaksi dokterperawat,
dokter-pasien, perawat-pasien, penyakit dilihat dari
sudut pasien, membuka mata para dokter bahwa kebenaran
ilmu kedokteran modern tidak lagi dapat dianggap kebenaran
absolut dalam proses penyembuhan(13).
Perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan
yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar memperoleh
kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah tindakan
yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan
kebersihan diri, penjagaan kebugaran melalui olah raga dan
makanan bergizi(14). Perilaku sehat diperlihatkan oleh individu
yang merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu
mereka betul-betul sehat. Sesuai dengan persepsi tentang sakit
dan penyakit maka perilaku sakit dan perilaku sehat pun
subyektif sifatnya. Persepsi masyarakat tentang sehat-sakit ini
sangatlah dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu di
samping unsur sosial budaya. Sebaliknya petugas kesehatan
berusaha sedapat mungkin menerapkan kreteria medis yang
obyektif berdasarkan gejala yang tampak guna mendiagnosis
kondisi fisik individu.
PERSEPSI MASYARAKAT
Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda
antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, karena
tergantung dari kebudayaan yang ada dan berkembang dalam
masyarakat tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang berlainan
dengan ilmu kesehatan sampai saat ini masih ada di masyarakat;
dapat turun dari satu generasi ke generasi berikutnya dan
bahkan dapat berkembang luas.
Berikut ini contoh persepsi masyarakat tentang penyakit
malaria, yang saat ini masih ada di beberapa daerah pedesaan
di Papua (Irian Jaya). Makanan pokok penduduk Papua adalah
sagu yang tumbuh di daerah rawa-rawa. Selain rawa-rawa,
tidak jauh dari mereka tinggal terdapat hutan lebat. Penduduk
desa tersebut beranggapan bahwa hutan itu milik penguasa gaib
yang dapat menghukum setiap orang yang melanggar
ketentuannya. Pelanggaran dapat berupa menebang, membabat
hutan untuk tanah pertanian, dan lain-lain akan diganjar
hukuman berupa penyakit dengan gejala demam tinggi,
menggigil, dan muntah. Penyakit tersebut dapat sembuh
dengan cara minta ampun kepada penguasa hutan, kemudian
memetik daun dari pohon tertentu, dibuat ramuan untuk di
minum dan dioleskan ke seluruh tubuh penderita. Dalam
beberapa hari penderita akan sembuh.
Persepsi masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan
ditentukan dari penuturan sederhana dan mudah secara turun
temurun. Misalnya penyakit akibat kutukan Allah, makhluk
gaib, roh-roh jahat, udara busuk, tanaman berbisa, binatang,
dan sebagainya.
Pada sebagian penduduk Pulau Jawa, dulu penderita
demam sangat tinggi diobati dengan cara menyiram air di
malam hari. Air yang telah diberi ramuan dan jampi-jampi oleh
dukun dan pemuka masyarakat yang disegani digunakan
sebagai obat malaria.
PENUTUP
Cara dan gaya hidup manusia, adat istiadat, kebudayaan,
kepercayaan bahkan seluruh peradaban manusia dan lingkungannya
berpengaruh terhadap penyakit. Secara fisiologis
dan biologis tubuh manusia selalu berinteraksi dengan
lingkungannya.
Manusia mempunyai daya adaptasi terhadap lingkungan
yang selalu berubah, yang sering membawa serta penyakit baru
yang belum dikenal atau perkembangan/perubahan penyakit
yang sudah ada.
Kajian mengenai konsekuensi kesehatan perlu memperhatikan
konteks budaya dan sosial masyarakat .
KEPUSTAKAAN
1. Kliemen, 1978
2. Biro Pusat Statistik. Profil Statistik Wanita, Ibu dan Anak di Indonesia.
Jakarta, 1994.
3. Blum HL. Planning for Health; Development Application of Social
Change Theory. , New York: Human Science Press, 1972. p.3.
4. Paradigma Sehat, Pola Hidup Sehat, dan Kaidah Sehat. Pusat Penyuluhan
Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI, 1998.
5. Capra, 1982
6. Arie Walukow. Dari Pendidikan Kesehatan ke Promosi Kesehatan.
Interaksi 2004; VI (XVII):4
7. Profil Pengobat Tradisional di Indonesia. Dir. Bina Peran Serta Masy.,
DirJen. Pembinaan Kes.Mas.. Departemen Kesehatan RI. 1997. hal. 4
8. Ngatimin, HM.Rusli. Dari Nilai Budaya Bugis di Sulawesi Selatan.
Apakah kusta ditakuti atau dibenci?. Lembaga Pengabdian Masyarakat
Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. 1992.
9. Nizar Zainal Abidin. Laporan Penelitian Pengobatan Tradisional Daerah
Bandung. Disajikan pada Lokakarya II tentang Penelitian Pengobatan
Tradisional. Ciawi, 22-24 Februari 1993.
10. Sudarti, 1987
11. Loedin AA. Dalam:Lumenta B.Penyakit, Citra Alam dan Budaya.
Tinjauan Fenomena Sosial. Cet.pertama Penerbit Kanisius, 1989. hal.7-8.
12. Priyanti Pakan, MF.Hatta Swasono. Antropologi Kesehatan. Jakarta:
Percetakan Universitas Indonesia, 1986.
13. Rudi Salan. Interface Psikiatri Antropologi. Suatu kajian hubungan antara
psikiatri dan antropologi dalam konteks perubahan sosial. Disampaikan
dalam Seminar Perilaku dan Penyakit dalam Konteks Perubahan Sosial.
Kerjasama Program Antropologi Kesehatan Jurusan Antropologi Fisip UI
dengan Ford Foundation , Jakarta 24 Agustus 1994. hal 13.
14. Solita Sarwono. Sosiologi Kesehatan: beberapa konsep beserta
aplikasinya. Gajah Mada University Press. Cet. pertama, 1993. hal. 31-
36.
15. WHO. The Otta wa Charter for Health Promotion,1986.
52 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
HASIL PENELITIAN

Respon Terapi Tamoxifien pada


Kanker Payudara Lanjut Lokal
dengan Reseptor Estrogen,
Reseptor
Progesteron dan Mr 29.000 Positif
Azamris
Divisi Onkologi, Lab/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/
Rumah Sakit Umum Daerah Dr M Djamil Padang, Sumatra Barat
ABSTRAK
Kanker payudara stadium lanjut lokal (III B) menduduki tempat teratas di Indonesia yang
penanganan primernya dengan radiasi dan penanganan sekunder secara hormonal sistemik.
Pengobatan hormonal reseptor estrogen dan reseptor progesteron belum memberikan hasil
maksimal, untuk itu diupayakan parameter lain yang dikenal dengan Mr 29.000.
Telah dilakukan penelitian secara uji klinik acak terkontrol, dengan pemeriksaan Estrogen
reseptor positif, Progesteron reseptor positif dan Mr 29.000 positif, pada penderita kanker
payudara lanjut lokal stadium III B, yang mendapat terapi Tamoxifen. Kemudian dinilai hasil
terapi setelah 3 bulan, apakan responnya lebih baik atau tidak.
Penelitian ini melibatkan 42 kasus kanker payudara lanjut lokal. Jumlah penderita
premenopause sama dengan penderita postmenopause, ER(+) ditemukan 11kasus, dan ER (–) 31
kasus. Dan Mr 29.000 (+) 7 kasus dari 11 kasus ER (+). Hanya 5 kasus yang memenuhi syarat
untuk penelitian, karena itu penelitian ini hanya deskriptif saja, penelitian perlu dilanjutkan
dengan kriteria yang lebih terarah dengan umur penderita 50 tahun atau lebih, sampel diperbesar
lebih dari 30 kasus dan waktu penelitian minimal tiga tahun. Kesimpulan pada penelitian ini
belum dapat diambil oleh karena jumlah kasus yang sedikit.
Kata kunci : kanker payudara lanjut lokal, reseptor estrogen, reseptor progesteron, Mr 29.000.
PENDAHULUAN
Kanker payudara merupakan penyakit keganasan wanita
yang paling sering dijumpai di Indonesia setelah kanker mulut
rahim 15,85 %(1) di RS Dr M Djamil 65%-70% penderita
kanker payudara datang dalam stadium lanjut, sedangkan
stadium lanjut lokal (III B) 43,40 %(2). Terapi primer berupa
radiasi memberikan kontrol 70%-72%, sedangkan terapi
hormonal tamoxifen merupakan terapi sekunder(2-5). Terapi
yang di dasarkan pada pemeriksaan estrogen reseptor dan
progesteron reseptor pada kanker payudara belum dikembangkan
di RS Dr M Djamil secara umum(6). Terapi hormonal
bersifat sistemik spesifik, jadi efektif untuk kasus-kasus lanjut
lokal, regional dan metastasis jauh(2) pada dasarnya tujuan
terapi hormonal Tamoxifen ini untuk meniadakan atau
mengurangi pengaruh estrogen terhadap jaringan kanker
payudara, yaitu mencegah uptake estrogen pada jaringan
kanker yang mengandung reseptor estrogen, yang dapat
memacu pertumbuhan kanker payudara(6).
Kodamark dan kawan-kawan menduga terapi dengan anti
estrogen Tamoxifen pada kanker payudara, bekerja menekan
pada tingkat sel induk, tidak membasmi sel kanker(7).
Responsifitas kanker payudara terhadap terapi hormonal
kurang lebih 50%, didasarkan pada reseptor estrogen positif(8).
Reseptor estrogen dan reseptor progesteron pada kanker
payudara merupakan petanda bahwa tumor sensitif terhadap
terapi Tamoxifen 70%-85%(9,10). Kegagalan terapi hormonal
berdasarkan status reseptor estrogen dan reseptor progesteron
menuntut penggunaan parameter lain untuk meningkatkan
keberhasilan terapi hormonal ini. Pertengahan tahun 1980
ditemukan antibodi yang reaktif terhadap satu protein yang
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 53
diduga berkaitan erat dengan molekul reseptor estrogen, protein
ini berupa fosfoprotein dikenal dengan protein Mr 29.000(11,12).
Keberadaan Mr 29.000 ini berkorelasi dengan reseptor estrogen
kanker payudara namun maknanya belum jelas(13).
Bila sel eukariotik terpapar suhu tinggi dan berbagai stres,
sel-sel ini akan bereaksi dengan menghasilkan sejumlah kecil
protein yang disebut Heat Shock Protein(14,15). Hormon juga
dapat mempengaruhi eksperesi HSP 27. Bermacam-macam
protein dihasilkan pada keadaan di atas antara lain: Mr 29.000
(HSP 27), Mr 90.000 (HSP90) serta HSP 70. Mr 29.000 atau
estrogen related protein merupakan suatu fosfoprotein yang
berhubungan dengan ER(+), yang terlibat dalam sebagian besar
kanker payudara(16).
Antigen Mr 29.000 ini telah dapat dideteksi dengan
antibodi monoklonal D5 yang timbul pada reaksi dengan
reseptor estradiol manusia yang telah dimurnikan(16) MR 29.000
hanya ditemukan pada jaringan yang mengandung ER (+)(11,17).
Tidak satupun tumor dengan Mr 29.000 (-) dapat dikendalikan
dengan pengobatan hormonal. 20% reseptor estradiol positif
mempunyai Mr 29.000 fosfolipid rendah tumor ini buruk
responnya terhadap pengobatan hormonal(17).
Pada kanker payudara terdapat hubungan sangat bermakna
dengan jumlah reseptor estrogen sitoplasma, antibodi spesifik
D5 bereaksi dengan Mr 29.000 sitosol ER (+) dan tidak
bereaksi dengan ER (-)(17) Cano dan kawan-kawan pada
penelitiannya mendapatkan penderita yang Mr 29.000 (+) 50%
memberikan respon lengkap atau sebagian terhadap terapi
hormonal, sedangkan 12% gagal mendapatkan perbaikan(17).
P e r s e n t a s e p e n derita kanker payudara lanjut lokal yang ER (+)
TUJUAN PENELITIAN 26%.
Apakah keberadaan Mr 29.000 yang menyertai reseptor
estrogen dan reseptor progesteron memberikan makna dalam
responsivitas terapi Tamoxifen.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian uji klinik terkontrol
yang dilakukan di Bagian Bedah Onkologi/HNB RS Dr M
Djamil Padang. Penelitian dilakukan mulai 1 Januari 2003
sampai dengan 31 Desember 2003. Responden adalah penderita
kanker payudara stadium lanjut lokal (stadium III B).
Pemilihan sampel dilakukan secara acak sederhana.
Kriteria bagi responden yang diikutkan pada penelitian ini
adalah :
1. Wanita penderita kanker payudara.
2. Kanker Payudara Stadium III B - T4 N0-2 M0 dan setiap T
N3 M0(UICC 1992).
3. Belum pernah mendapat terapi kanker.
Setiap responden menjalani biopsi insisional dan hasilnya
diperiksa secara microwave untuk menentukan reseptor
Estrogen dan Progesteron serta pemeriksaan non microwave
pada protein Mr 29000.
HASIL
Jumlah kasus kanker payudara lanjut lokal dari bulan
Januari 2003 sampai Desember 2003 terkumpul sebanyak 42
kasus. Dengan rentangan umur termuda 28 tahun dan tertua 78
tahun.
Tabel 1. Distribusi umur penderita kanker payudara lanjut lokal (n = 42)
Umur Jumlah Kasus %
20 – 29
30 – 39
40 – 49
50 – 59
60 – 69
70 – 79
Total
2
5
13
11
9
2
42
5
12
31
26
21
5
100
Tabel 2. Distribusi status menopause penderita kanker payudara lanjut
lokal (n = 42)
Menopause Jumlah Kasus %
Pre menopause
Post menopause
Total
21
21
42
50
50
100
Tabel 3. Distribusi status ER penderita kanker payudara lanjut lokal
(n = 42)
Umur ER (+) ER (-)
20 – 29
30 – 39
40 – 49
50 – 59
60 – 69
70 – 79
Total
0
2
1
3
4
1
11
2
3
12
8
5
1
31
Tabel 4. Distribusi ER (+) berdasarkan status menopause pada penderita
kanker payudara lanjut lokal (n=11)
Menopause ER (+) %
Pre menopause
Post menopause
Total
3
8
11
27
73
100
Taberl 5. Distribusi Mr 29.000 berdasarkan ER (+) pada penderita kanker
payudara lanjut lokal (n = 11)
Tipe Jumlah Kasus %
Mr 29.000 (+)
Mr 29.000 (-)
Total
7
4
11
64
36
100
Tabel. 6. Respon terapi tamoxifen pada penderita kanker payudara lanjut
lokal ER (+) PR(-), Mr 29.000 (+).
Respon Terapi Jumlah Kasus %
Respon Komplit
Respon Parsial
Tidak respon
Total
1
1
2
4
25
25
50
100
54 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
Tabel 7. Respon terapi tamoxifen pada penderita kanker payudara lanjut
lokal ER (+) PR(+).
Tipe Respon positif Tidak respon
Mr 29.000 (+)
Mr 29.000 (-)
Total
2
1
3
1
1
2
DISKUSI
Kanker payudara lanjut lokal 31% ditemui pada usia 40-49
tahun, dan 50% penderita yang diamati masih haid teratur.
Tidak ada perbedaan penemuan penelitian ini dengan laporan
dari RSCM dan Jepang(18,19). Reseptor estrogen positif terlihat
makin meningkat pada usia ≥ 50 tahun, sedangkan reseptor
estrogen negatif tinggi pada usia ≤ 60 tahun. Ditinjau dari
status menopause, reseptor estrogen positif ditemukan
sebanyak 8 dari 11 kasus post menopause (73%), dan 3 dari 11
kasus premenopause (27%).
Kurang lebih 50% tumor primer mengandung reseptor
estrogen (positif) dan reseptor estrogen ini meningkat dengan
bertambahnya usia(3) penderita premenopause lebih sedikit
yang estrogen reseptor positif-ER (+) (30%) dibandingkan
dengan penderita post menopause (60%)(11). Pada penelitian ini
terlihat status reseptor estrogen positif makin meningkat pada
usia lanjut (tabel 5) tidak berbeda dengan kepustakaan(3).
Marsigliante dkk melaporkan bahwa 178 (65%) tumor P29
positif dan sisanya 95 (35%) P29 negatif. P29 berhubungan
sangat bermakna dengan ekspresi ER (+) (p<0,001). Penemuan
Mr. 29.000 (+) pada penderita kanker payudara lanjut lokal ini
sama seperti yang ditemukan oleh Marsigliante S(20).
Adanya korelasi kuat antara ER (+) dengan Mr 29.000 (+)
ini bisa digunakan untuk menilai respon terapi tamoxifen(21).
Pada 31 penderita kanker payudara lanjut lokal dengan ER(-)
PR(-) ternyata 1 kasus memberikan respon komplit, yang
sampai sekarang masih kontrol. Kepustakaan menyatakan 5% -
10% penderita kanker payudara ER(-) PR(-) memberi respon
dengan terapi hormonal(20,22). Pada penderita kanker payudara
lanjut lokal ER(+), PR(-), Mr 29.000 (+) satu kasus respon
komplit, dua kasus tidak memberikan respon. Dari 2 penderita
ER (+) PR (–) Mr 29.000 (-), 1 kasus respon parsial, 1 kasus
tidak respon.
Terapi tamoxifen berrespon pada dua penderita kanker
payudara lanjut lokal dengan ER(+) PR(+) Mr 29.000 (+)
Sedangkan pada penderita kanker payudara lanjut lokal ER(+)
PR(+) Mr 29.000(-) satu kasus memberi respon (tabel 7).
Jensen dkk. (1971)(23) mendapatkan 35%-40% penderita kanker
payudara ER(+) tidak memberi respon terhadap terapi
hormonal, mungkin karena estrogen komplek yang terbentuk
tak sanggup berimigrasi ke dalam inti sel kanker.
Beberapa laporan mengatakan 60% penderita kanker
payudara yang mempunyai reseptor estrogen positif memberikan
respon terapi hormonal bila ER (+) PR (+) respon
terapi mencapai 70-80%(3,8,23,24). Bahkan ada penelitian yang
mencapai respon terapi hormonal 85%(9). Bila reseptor estrogen
(+) dan reseptor progesteron (-) respon terapi 30%(3,8,23,25). Cano
A dan kawan-kawan(11,16) melaporkan bahwa penderita kanker
payudara yang ER (+) Mr 29.000 (+) memberikan respon terapi
hormonal yang tinggi (50%).
Pada penelitian ini respon terapi hormonal Tamoxifen pada
penderita kanker payudara ER (+) PR (+) Mr 29.000 (+)
diharapkan mendekati 100%. Dari jumlah sampel yang didapat,
tidak bisa dilakukan analisis statistik tetapi secara klinis pada
lima kasus yang memenuhi kriteria untuk penelitian ini terlihat
respon terapi cukup baik pada kasus Mr 29.000 (+) jika
dibandingkan dengan yang Mr 29.000 (-).
SARAN
1. Penelitian respon terapi Tamoxifen pada penderita kanker
payudara lanjut lokal dengan ER (+) PR (+) Mr 29.000 (+)
perlu dilanjutkan dengan kriteria yang lebih terarah yaitu
umur penderita di atas 50 tahun atau sudah menopause
untuk mendapatkan reseptor estrogen tinggi sehingga Mr
29.000 (+) yang didapat juga lebih tinggi.
2. Diperlukan waktu minimal tiga tahun untuk mendapatkan
sampel yang besar.
3. Diperlukan waktu follow up minimal enam bulan untuk
menilai respon terapi.
4. Untuk menentukan strategi pengobatan berdasarkan
reseptor hormonal, sudah waktunya diusulkan pemeriksaan
tersebut yang selama ini belum dilaksanakan secara umum
di RS Dr M Djamil Padang.
KEPUSTAKAAN
1. Ramli M, Tjindarbumi D, Simanjuntak DC, Poetiray E, Albar ZA, Darwis
I, Breast Cancer in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital: Management and
problematics. In: Advanced Postgraduate Course: Oncology, Medical
Faculty, University of Indonesia and Dharmais Cancer Hospital, National
Cancer Center,under the auspices of the Dutch Foundation Postgraduate
Medical Courses . Jakarta 8-10 November 1993. pp. 92-100.
2. Ramli M, Tjindarbumi D : Penatalaksanaan kanker payudara lanjut.
Dipresentasikan pada : Seminar Nasional II Kanker Payudara dan
Simposium Diagnosa Dini Tumor Ganas. Perhimpunan Ahli Bedah
Onkologi Indonesia, Manado 11 -13 Febuari 1988.
3. Harris JR, Morrow M, Bonadonna G. Cancer of the Breast. In: Principles
and Practice of Oncology, 4 th.ed. Philadelphia. 1993, pp. 1264-1332.
4. Ramli M. Kanker payudara, deteksi dini dan diagnosa kanker payudara.
Dipresentasikan pada Kursus Singkat pencegahan, diagnosa dini dan
pengobatan penyakit kanker FKUI-RSCM.
5. Sheldon T, Hayes DF. Primary radiation therapy for locally advanced
breast cancer. Cancer 1988; 60: 1219-1225.
6. Ramli M. Penatalaksanaan mutakhir kanker payudara. Dipresentasikan
pada Simposium dalam rangka HUT YKI wilayah Sumsel. Palembang
1995.
7. Kodama F, Green GL. Relation of estrogen expression to clonal growth
and antiestrogen effect on human breast cancer cell. Cancer Res. 1985;
45; 2720-24.
8. Forest PM. Tamoxifen as adjuvant therapy. Breast cancer controversy in
management; 1994; 377 – 91.
9. Fields SM, Koeller JM. Hormonal therpy in clinical oncology. 1993;
1165-76.
10. Jensen EV. Hormone Dependency of the Breast Cancer. Cancer
1987;47:1165-76.
11. Coffer AI, Lewis KM et al . Monoclonal antibodies against component
related to soluble estrogen reseptor. Cancer Res. 1985; 45: 3684-94.
12. Ciocca DR, Luque EM. Immunological evidence for the identity between
the HSP 27 estrogen related heat shock protein and the P29 estrogen
reseptor associated protein in breast and endometrial cancer. Breast Can
Res Treat 1991; 20:33-42.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 55
13. Hulka BS, Liu et al. Steroid hormones and risk of breast cancer 1994;
74;1111-24.
14. Petco L, Linguist S. HSP 26 is not required for growth and high
temperature, nor for thermotolerance, spare development, or germination.
Cell 1986; 45: 885 – 94.
15. Carper SW, Duffy JJ, Gerner EW. Heat shock protein in thermotolerance
and other cellular process. Cancer Res 1987; 47: 5249 – 86.
16. Cano A, Coffer A et al. Histochemical studies with an estrogen receptor
related protein in human breast tumor. Cancer Res. 1986 ; 46 : 6475 – 80.
17. Coffer AI, Spiller GH et al. Immunoradiometric studies with monoclonal
antibody against a component related to human estrogen reseptor. Cancer
Res 1985 ; 45 : 3694 – 98.
18. Tjindarbumi D, Ramli M, Watanabe S . Clinopathological Aspects of
Breast Cancer, A joint study between Indonesia and Japan. Med. J. Indon.
1995; 4(3): 148 – 153.
19. Nomura Y, Miura S et al. Relative effect of steroid hormone receptor on
prognostic of patient with operable breast cancer. Cancer 1992; 69:153 –
64.
20. Marsigliante S, Greco S, Biscozzo L. Transciptionally active non ligand
binding estrogen reseptor in breast cancer. Cancer lett 1992; 66:183 – 91.
21. Hayward JL, Rubben RD. Assessment of response therpy in advanced
breast cancer. Br.J.Cancer 1977;35:292 - 8
22. Fracchia AA, Evans JF, Einenberg BL. Stage III carcinoma of the breast :
Ann. Surg. 1980 ; 192 (6): 705-9.
23. Hubay CA, Arafah B, Gordon NH, Guyton SP, Cowe JP. Hormone
receptor . Surg. Clin. N.Am. 1984; 64 (6):1155 – 72.
24. Oster M W. Endocrine therapy and chemotherapy for breast carcinoma.
In: Disease of the Breast 3rd.ed. Philadelphia: Haagensen CD. 1993 . pp.
991 – 1011.
25. King RJ, Coffer AI. Histochemical studies with a monoclonal antibody
raise against a partially purified soluble estradiol receptor preparation
from human myometrium. Cancer Res. 1985; 45: 5728 – 85.
( Sambungan Halaman 4 )
English Summary
L-ORNITHIN-L-ASPARTATE (LOLA)
PREVENTS BLEBBING IN
HEPATOCYTES CAUSED BY ETHANOL
EXPOSURE
Nelson Simanungkalit Pospos
Board of Technologial Research
and Application, Jakarta,
Indonesia
Freshly isolated hepatocytes
exposed to ethanol 0,65 mol/l,
produced blebs on cell surfaces.
Blebs formation can be totally
prevented by 30 min aminoacid
LOLA preincubation.
Cermin Dunia Kedokt. 2005 ; 149 : 57 - 59
nsp
SOME UNUSUAL FINDINGS DURING
KIDNEY STONES ANALYSIS
Oen Liang Hie
Professor emeritus, Department of
Biochemistry, Faculty of Medicine,
University of Indonesia,
Jakarta, Indonesia.
Some experiences during urinary
stone analysis are presented.
Among them are :
1. A stone removed from the back
part of the nose of a young man
of about 20 year-old. No pain was
reported, only a feeling of some
obstruction of his airway.
Our analysis revealed that the
stone was formed around a rubber
eraser usually attached at the top
of a pencil. The patient could not
recall when he used that kind of
pencil during childhood.
2. A bladder stone the size of a
tennis ball.
Analysis revealed that the stone
was formed around a roll of
gauze, left behind by a surgeon
who operated on the patient years
ago for prostate hypertrophy.
Cermin Dunia Kedokt. 2005 ; 149 : 60 -61
olh
Cermin 56 Dunia Kedokteran No. 149, 2005
HASIL PENELITIAN

L-Ornitin-L-Aspartat (LOLA)
Menghindari Blebbing akibat
Keracunan Etanol pada Hepatosit
Nelson Simanungkalit Pospos
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta Indonesia
ABSTRAK
Isolat sel hati tikus segar bila dipapari etanol dengan konsentrasi 0,65 mol/l akan menimbulkan
terbentuknya blebs di permukaan sel. Bila asam amino LOLA diinkubasikan lebih dulu
selama 30 menit baru setelah itu dipapari etanol, pembentukan blebs dapat dihindari.
PENDAHULUAN
Peranan asam amino di dalam tubuh tidak terbatas hanya
sebagai bahan bangunan untuk protein, ensim atau hormon
saja, namun juga sebagai molekul intermedier yang penting
dalam reaksi biokimia. Akhir-akhir ini peranan asam amino
sebagai obat juga makin dikenal, terutama dalam terapi
penyakit hati, baik sendiri sendiri ataupun sebagai campuran 2
asam amino atau lebih(1). ( Tabel 1).
Tabel 1.
Nama
Obat
Kandungan
Asam Amino Penggunaan
Sulfolitruw L-Serin, Methionin Hepatokholesistopati kronis.
Hepa-Merz LOLA Gangguan penyakit hati akut dan
kronis dengan hiperammonemi.
Leberam Arginin Gangguan fungsi hati dgn atau
tanpa hiperammonemi.
Rochmalat Arginin Hiperammonemi.
Hepasteril Arginin Hepatitis kronis.
Polilevo Arginin-HCl
Cendrangolo (1962) melaporkan efek terapi Asam
glutamat dalam berbagai penyakit hati terutama pada koma,
karena kemampuannya mengikat gugus NH3, dan dalam reaksi
tersebut terbentuk Glutamin yang tidak toksik(2). Somatostatin
memperlihatkan efek proteksi terhadap keracunan Phalloidin,
Etanol dan DMSO4
(3). Beberapa peneliti tertarik menguji efek
proteksi garam L-Ornithin-L-Aspartat (LOLA). Salvatore et al.
(1958) melaporkan efek proteksi campuran Ornithin dan Asam
aspartat terhadap keracunan CCl4
(4). Kerusakan hati akibat
Diphenylbutazon dapat dihindari dengan pemberian LOLA,
juga bila Diphenylbutazon diberikan dalam dosis tinggi
pemberian i.p. lebih efektif dari i.v(5). Pemberian Ornithin,
Citrullin, Arginin, Asam aspartat dan LOLA, yang merupakan
komponen dari siklus sitrat pada tikus dalam keadaan
hiperamonemi endogen menurunkan kadar amoniak secara
signifikan(6).
Pemberian lebih dulu LOLA dapat menghindari kerusakan
hati yang signifikan akibat hipokalemi(7).
Sementara itu dilaporkan pula, bahwa LOLA dapat
menghindari terjadinya coma hepaticum akibat Amoniak,
dimana terjadi peningkatan ekskresi Urea yang signifikan(8).
Pemberian lebih dulu LOLA pada tikus percobaan meningkatkan
metabolisme, terlihat dari bertambahnya stamina berenang
tikus tikus tsb(9,10 ).
Penelitian ini bertujuan menguji efek proteksi LOLA
terhadap keracunan etanol pada isolat sel hati tikus
BAHAN DAN CARA
Tikus yang dipergunakan adalah jenis Sprague-Dawley
jantan dengan berat rata rata 220 g. Collagenase D, Hepes dari
Serva, Heidelberg; EGTA dari Sigma, Deisenhofen; Nembutal
dari Eva, Paris Liquemin N 25000 dari Hoffman-La-Roche,
Basel Percoll dari Pharmacia-Freiburg dan Ham’s F-12 dari
Seromed-Berlin. Bahan kimia lainnya dari Merck, Darmstadt.
Isolasi sel hati dilakukan dengan metoda Eckel et al,1979
terhadap yang telah dimodifikasi(11). Untuk menguji keracunan
etanol pada sel hati, suspensi sel hati (1,0-1,5 juta/ml)
diinkubasikan dengan 0,65 mol etanol/liter, dimana kira-kira ±
85% Blebs terbentuk. Medium yang dipergunakan adalah
Ham’s F-12 volume akhir berjumlah 1 ml. Setelah masa
inkubasi (30 menit) berakhir, isolat sel hati disimpan pada suhu
4oC untuk selanjutnya diamati dengan mikroskop. Vitalitas sel
dilakukan menggunakan pewarna trypan blue (0,5%) dalam
OCCCCCNCCCCCO
HHHHHH
HHO
H
HH
Rumus LOLA
NH3
+ NH3
OO+
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 57
cairan NaCl-fisiologis. Vitalitas sel berkisar antara 85-95%
untuk semua percobaan.
Di samping vitalitas sel, perubahan permukaan sel
merupakan hal yang penting dalam mendeteksi pengaruh asam
asam amino, hal ini dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop
biasa (light microscope). Agar lebih jelas, dilakukan
pemotretan dengan menggunakan scanning electron microscope,
untuk itu 1,0 sampai 1,5 juta sel difiksasi menggunakan
larutan 1% Glutaraldehyd dalam 0,1 mol buffer Cacodylat.
Setelah 2 kali dibilas masing-masing selama 15 menit dengan
buffer yang sama, difiksasi lagi selama 1 jam dengan 0,5%
Os(VIII)-oxid. Dibilas lagi 2 kali 15 menit dengan buffer yang
sama, setelah itu dilakukan dehidrasi menggunakan alkohol,
50%, 70% dan 100%, masing masing 5 menit. Setelah itu
dikeringkan di atas Leit-Tabs, kemudian diasapi dengan goldphallidium
(sputter coater). Sediaan kemudian dapat diamati
menggunakan Rasterelektronen-mikroskop JSM U3, Jeol.
HASIL
Pemberian etanol pada isolat sel hati yang masih segar,
akan menimbulkan blebs di permukaan sel yang bentuknya
spesifik (Gb. 1). Permukaan tersebut berbeda dibanding permukaan
isolat sel hati segar tanpa perlakuan (Gb.2)(12). Blebs
yang terbentuk akan kembali menyusut (reversibel) dalam
waktu kira-kira 30 menit, karenanya penghitungan blebs harus
dilakukan dengan cermat.
( Gb.1 ) ( Gb.2 )
Gambar 3. Proteksi efek L-Ornithin-L-Aspartat . Hepatosit terlebih
dahulu diinkubasi dengan berbagai konsentrasi LOLA
selama 30 menit,baru setelah itu diberi 0,65 mol etanol/l
selama 30 menit pada suhu 25oC. Data yang disajikan adalah
nilai rata rata ± SD (n=3)
Gambar 3 dapat terlihat bahwa konsentrasi sekitar 200
mmol LOLA/l telah memperlihatkan proteksi yang sempurna,
menyerupai kontrol. Di bawah mikroskop, blebs di permukaan
sel tidak kelihatan lagi, sehingga tidak ada perbedaan dengan
kontrol.
DISKUSI
Munculnya blebs (protrusionen, blister) di permukaan sel,
marupakan indikasi dini hipoksia atau toksikasi sel(13).
Beberapa senyawa yang telah diketahui menyebabkan timbulnya
blebs, seperti: Phalloidin(14), Brombenzol (Thor dan
Orrenius, 1980), DSMO4 dan etanol(3), Cystamin(15), Paracetamol(
16), THA(17). Setiap senyawa menimbulkan bentuk blebs
yang berbeda dapat reversibel dan irreversibel. Blebs yang
dibentuk etanol tergolong reversibel. Beberapa peneliti sepakat,
bahwa terbentuknya blebs disebabkan oleh gangguan pada
sitoskelet(3,13,18). Karena keberadaan sitoskelet dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti ATP(19), ion H+(20), Thiol(21), dan ion
Ca2+ (22), maka perubahan yang terjadi terhadap faktor tersebut
mempengaruhi pula eksistensi sitoskelet.
Kerusakan sel karena etanol disebabkan interaksinya
dengan membran. Interaksi itu mempengaruhi membran baik
secara kimiawi maupum fisikawi dan selanjutnya dapat
mengganggu penyampaian signal dari sel ke sel(23,24). Diduga
terjadinya kerusakan sel oleh etanol disebabkan terbentuknya
acetaldehid serta turunnya ratio NAD+/NADH(25,26).
Meningkatnya konsentrasi ion Ca2+ di dalam sitosol
dianggap penyebab terbentuknya blebs(13,27). Konsentrasi ATP
intrasel memperlihatkan penurunan signifikan akibat keracunan
Etanol(12). Asam amino di samping sebagai unsur utama
pembentukan protein, ensim dan hormon, juga banyak berperan
kunci dalam proses biokimia, seperti dalam Siklus-TCA dan
Siklus-Urea, yang saling berhubungan. Amoniak - produk akhir
metabolisme protein/asam amino yang dikenal sangat toksik,
melalui.Siklus-Urea, dimana asam amino Ornithin dan Arginin
ikut langsung berperan oleh tubuh diubah menjadi Urea yang
kurang toksik dan pemberian Ornithin menstimulasi pembentukan
Urea. Proses ini berlangsung dalam hati dan membutuhkan
3 molekul ATP(28), empat asam amino yaitu Arginin,
Ornithin, Asam glutamat dan Asam aspartat merupakan katalisator
dari Siklus-Urea(2).
Gambar 1. Scanning electron micrograph (SEM) isolat sel hati
tikus yang dipapari etanol (Perbesaran 3000X).
Gambar 2. Scanning electron micrograph (SEM) isolat sel hati tikus
yang baru diisolasi etanol (Perbesaran 3000X).
Asam aspartat berperan bukan saja sebagai donatur NH3
kepada Siklus Urea, tetapi juga setelah mengalami desaminasi
berubah menjadi Oxalasetat yang merupakan substrat dari
Siklus TCA. Mekanisme kerja proteksi efek LOLA diduga
karena menstimulasi kedua siklus tersebut, sehingga produksi
ATP meningkat dan kadar amoniak menurun.
KEPUSTAKAAN
1. Rote Liste. Hrsg. Bundesverband der Pharmazeutischen Industrie e.V.,
Frankfurt. 1992.
2. Cedrangolo F. Ornitina ed acido aspartico: Catalizatori dell’ureogenesi.
Recentissimo impiego in terapia epatoprotettiva. La Riforma Medica
1962; 76, 1453-1456.
3. Rao, GS., Lemoch, H., Usadel, KH...Behandlung mit Somatostatin
schuetzt die Rattenleber gegen Laesion durch Phalloidin, Aethanol, und
Dimethylsulfoid. Freiburger Kolloqium Attempto Verlag Tuebingen
GmbH. 1982
0
20
40
60
80
100
120
I
Proteksi %
I
I
I
100 200 300 400
LOLA, mmol / l
58 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005
4. Salvatore F, Cozzolino D, Scoppa P. Bio. Appl. 1958. 5, 237 & Boll.Soc.
It. Biol. Sperim. 34, 620
5. Zicha K, Zicha M. Die Leberschutzwirkung von L-Ornithin-L-aspartat
bei Arzneimittelschaeden an Ratten. Gastroenterologie, 1968. Karl
Demeter Verlag, p. 423-429.
6. Hermann G. Beeinflussung der an der Ratte experimentell erzeugten
endogenen Hyperammoniaemie durch Aminosaeren. Arzneimittel-
Forschung, 1970; 20: 377-379.
7. Raab W. Experimenteller Nachweis einer Leberschutwirkung des LOrnithin-
L-Aspartats am odell der Schaedigung durch Hypokaliaemie.
Wiener klinische Wochenschrift Springer Verlag Wien-New York, 1972.
p. 348-349.
8. Katsunuma N, Nishii Y. Study on the effect of L-Aspartic acid, LOrnithine,
LOLA on urea synthesis by means of rat liver slice., Study on
the effect of L-Aspartic acid, L-Ornithine, LOLA on urea synthesis by
means of rat liver slice. Merz Co. GmbH & Co. Chemische Fabrik,
Frankfurt
9. Cutinelli L. Arzneim. Forsch 1970; 20,
10. Ogawa S, IkawaY, Komatsu F. Anti-fatigue effect and influence of LOrnithine-
L-Aspartat on stamina.
11. Rao G.S, Lemoch H, Kessler H.. Prevention of phalloidin-induced lesion
on isolated rat hepatocytes by novel synthetic analogues of somatostatin.
Klin.Wochenschr. 1986; 64, 79-86.
12. Simanungkalit N. Effects of Ethanol on Isolated Hepatocytes: Alteration
in Cell Surface and Intracellular ATP. Med J Univ. of Indon. 1994;
3(4):.208-212.
13. Jewell SA, Bellomo G, Thor., Orrenius S, Smith T. Blebs formation in
hepatocytes during drug metabolism is caused by disturbances in thiol
and calcium ion homeostasis. Science 1982; 217: 1257-1259.
14. Weiss,E, Sterz I, Frimmer,M, Kroker R. Electron microscopy of
isolated rat hepatocytes before and after treatment with palloidin. Beitr.,
Path. 150, 345-3561973
15. Nicotera P, Hartzell P, Baldi, Svenson, S, Bellomo G, Orrenius S.
Cystamine induced toxicity in hepatocytes through the elevation of
cystolic and the stimulation of a nonlysosomal proteolityc system. J.
Biol.Chem. 1986; 261:14628-14635
16. Chenery R.J. Metabolism and toxicity of drugs in mammalian hepatocyte
culture. In: In vitro methods in toxicology. Ed. AtterwillCK. Cambridge
Univ.Press, Cambridge, 1987. 211-233.
17. Simanungkalit N. THA (1,2,3,4-Tetrahydro-9-Aminoacridin), Obat
Alzheimer Terbukti Merusak Isolat Sel Hati. Medika 1999 (V):7.
18. Hasky DL, Hay ED. Freeze-fracture studies of the developing cell
surface. J. Cell Biol. 1978;; 78: 756-768
19. Clarke M, Spudich JA. Non muscle contractile proteins: The role of actin
and myosin in cell mortality and shape determination. Ann.Rev.Biochem
1977; 46: 797-822
20. Condeelis J., Vahey M. A calcium- and pH-regulated protein from
Dyctiostellum discoideum that cross-links actin filaments. J. Cell.Biol.
1982; 94: 466-471
21. Tait J, Frieden. Chemical modification of actin. Biochemistry 1982; 24:
6046-6053.
22. Schliwa M. Protein associated with cytoplasmic actin. Cell 1981;.25:
587-590.
23. Chin JH, Goldstein DB. Drug tolerance in biomembranes: a spin label
study of the effects of ethanol. Science 1977; 196: 684-685
24. Seeman P. The membrane actions of anasthesics and tranquilizers.
Pharmacol. Rev. 1972; 24: 583-655.
25. Lieber C. Metabolic effects produced by alcohol in the liver and other
tissue. Adv. Intern. Med. 1986; 14: 151-155. Filippini,
26. Filippini L.. Leberschaden durch Alkohol. Hrsg. Wilhelm Goldmann
Verlag, Muenchen 1971
27. Lemaster JJ, Stemkowski J, Ji S, Thurman RGJ. Cell surface changes and
enzyme release during hypoxia and reoxygenation in the isolated.
Perfudsed rat kiver. Cell Biol. 1983; 97:778-786.
28. Krebs HA.et al. Hoppe-Seyler s Zeitschrift f. physiol. Hemie, 1932; 210:
33.
29. Du Ruisseau JP, Greenstein J.P, Winitz, Birnbaum S.Arch.
Bioch.Biophys. 1956; 64: 355.
30. Eckel J, Rao GS, Rao .L, Breuer H.. Uptake of L-tri-iodothyronine by
isolated rat liver cells. Biochem.J. 1979; 182: 473-491.
31. Hennery RJ. Metabolism and toxicity of drugs in mammalian
hepatocytes culture. In: vitro methods in toxicology. Ed.Atterwill,CK.
Cambridge University Press, Cambridge, 1987. 211-233.
32. Lemaster JJ, Di Giuseppi, J, Nieminen A, Hermann B. Blebbing, free a..
and mitochondrial membrane potential preceding cell death in
hepatocytes. Nature 1978; 325:78-81
33. Sioya A, Kuraishi K, Kakimoto, TamamaY, Tobita K, Nezu Y, Isono H,
Shimizu T, Furukawa T. Pharmacological study on L-Ornithine-LAspartate.
Chugai Pharmaceutical Central Laboratory.
Cermin Dunia Kedokteran 2006
Topik Mendatang
- Masalah Kandungan / Kehamilan
- Gizi dan Makanan
- Masalah Paru
- Masalah Interna / Penyakit Dalam
Redaksi tetap mengharapkan sumbangan naskah dari para sejawat, tidak terbatas pada rencana
topik di
atas.
Terimakasih atas kerjasama yang baik selama ini.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 59
PENGALAMAN

Beberapa Temuan yang


tak lazim (aneh) selama Bekerja
Meneliti Susunan Kimia Batu Ginjal
Dr. Oen Liang Hie
Profesor Emeritus Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta
PENDAHULUAN
Beberapa waktu yang lampau, ketika masih aktif di bagian
Biokimia FKUI Jakarta, kami telah melakukan analisis kimia
komponen penyusun batu di sistem traktus urinarius. Batu yang
telah diteliti berasal dari yang keluar secara spontan maupun
yang dikeluarkan melalui tindakan pembedahan ( MKI 38, 155 -
158, 1988 ).
Batu tersebut selain datang dari RSCM-FKUI juga datang
dari rumah sakit lain dan juga atas permintaan perseorangan.
Analisis kimiawi komponen batu ginjal dilakukan dengan tujuan
agar diketahui susunannya, seperti urat, oksalat atau fosfat.
Dengan pengetahuan ini dokter atau pasien dapat mengambil
langkah-langkah, misalnya dengan mengubah diet, sehingga
mengurangi kemungkinan terulang kembali pembentukan batu
(rekurensi).
Selama kegiatan tersebut pernah diterima permintaan analisis
batu bukan hanya berasal dari traktus urinarius, tetapi juga
berasal dari organ lain seperti kandung empedu. Juga pernah
terjadi permintaan analisis sebuah batu dari seorang "penderita"
yang berhasil dikeluarkan dari tubuh oleh seorang "pintar", akan
tetapi terbukti bahwa batu tersebut hanya sebuah batu kali biasa.
ILUSTRASI KASUS
Berikut akan diuraikan beberapa temuan yang tidak lazim
atau aneh selama analisis rutin di atas:
A. Pada suatu hari seorang dokter bagian Telinga Hidung
Tenggorakan (THT) RSCM-FKUI mengirim surat dengan
permintaan analisis susunan batu yang berhasil dikeluarkan
dari bagian dalam hidung pasien laki-laki berumur kurang
lebih 20 tahun. Pada surat tersebut juga diberi keterangan
bahwa penderita hanya mengeluh tentang rasa tersumbat
pada salah satu saluran pernapasannya tanpa disertai rasa
nyeri. Tak dapat diingat olehnya hal-hal yang dapat
menerangkan kehadiran benda tersebut di dalam hidungnya.
Analisis
Benda yang berhasil dikeluarkan oleh dokter THT tersebut
keras seperti batu berbentuk agak bulat, berdiameter kurang
lebih 1 cm, berwarna hitam, dan tidak berbau busuk. Jelas ter -
lihat bahwa benda tersebut bukan berasal dari seekor serangga.
Setelah dicuci bersih maka warna menjadi kurang hitam, akan
tetapi tidak dapat ditemukan tanda-tanda pengenal asalnya.
Oleh karena kerasnya bagian luar,maka kami berusaha
membelah benda tersebut agar dapat melihat bagian tengahnya
dan memperoleh bahan agar dapat dianalisis susunan kimianya.
Bagian luar yang keras dan berperan sebagai pembungkus memang
tersusun dari garam kalsium (Ca) hingga pantas disebut batu. Batu
tersebut dicoba dibelah dengan gergaji kecil dan tipis yang
lazim dipakai untuk membuat huruf atau gambar dari kayu
triplek. Sewaktu gergaji mendekati bagian tengah, dirasakan
sulit bergerak leluasa terasa gergaji tersebut terjepit. Hal
seperti ini tak pernah kami alami sebelumnya. Dengan susah
payah pemotongan dengan gergaji diteruskan sehingga benda
terbelah dua. Terlihat bagian tengah "batu" bersifat kenyal seperti
karet. Dengan mengambil sedikit bahan bagian tengah dan
membakarnya maka tercium bau sangit yang mengingatkan
seperti karet dibakar; berarti terdapat elemen sulfur atau belerang.
Apa mungkin benda ini berasal dari karet? Kemudian saya
teringat akan salah satu cara yang kami pergunakan sewaktu
masih kecil yaitu bila hendak membuat sebuah bola bekel yang
telah mengeras menjadi lunak kembali, yaitu dengan merendamnya
dalam minyak tanah.
Catatan: Karet yang dipakai dalam pembuatan bola bekel adalah
karet yang telah mengalami vulkanisasi yang berarti karet telah
direaksikan dengan sulfur untuk memperoleh elastisitas (daya
pantul) karet yang diinginkan. Hasil rendaman potongan benda
tersebut dalam minyak tanah selama satu malam, membuat
benda menjadi besar dan juga menjadi lebih kenyal seperti karet.
Kesimpulan
Inti dari batu hidung yang diteliti memang berasal dari
karet. Bagaimana menerangkan ini? Hasil pemikiran kami
adalah karet di bagian tengah batu berasal dari karet penghapus
yang terdapat di ujung pensil (gb. 1). Memang dapat diingat
oleh penderita bahwa pada masa kecilnya, ia menggunakan
pensil dengan karet penghapus di ujungnya. Diperkirakan
sewaktu memasukkan ujung pensil ke dalam liang hidung, ujung
Cermin 60 Dunia Kedokteran No. 149
karet tersebut terlepas. Usaha untuk mengeluarkannya membuat
benda tersebut makin terdorong ke dalam dan potongan karet
tersebut menyangkut di saluran belakang hidungnya. Oleh
karena tak ada rasa nyeri maka peristiwa tersebut diabaikan.
Pasien tidak ingat lagi kapan peristiwa itu terjadi.
Gambar 1. Contoh bentuk karet penghapus pensil
Penjelasan
Sebagai mekanisme pertahanan, tubuh akan membungkus
atau melapisi benda tersebut dengan menggunakan lapisan atau
endapan berunsur kalsium sehingga akhirnya terbentuk batu.
B. Pada suatu hari datang sebuah bungkusan kain kasa putih
yang berisi sebuah batu sebesar bola tenis disertai keterangan
bahwa benda ini hasil tindakan pembedahan, dikeluarkan dari
buli-buli (kandung kemih) seorang penderita laki-laki berusia
lanjut yang telah mengalami pembedahan prostat empat tahun
yang lalu (catatan: operasi prostat pada masa itu dilakukan
dengan membuka dinding perut dan buli-buli di daerah supra
pubis!)
Gambar 2. Batu seukuran bola tenis
Bola tersebut seperti batu berwarna kuning kotor. Untuk
meneliti susunan kimianya, batu tersebut perlu dibelah agar
memperoleh bagian tengahnya untuk analisis kimiawi. Sewaktu
digergaji dengan gergaji biasa terjadi hal sebagai berikut: pada
kurang lebih pertengahan bola, gigi gergaji terasa melewati suatu
bagian yang jauh lebih lunak dari bagian permukaan batu.
Setelah terbelah dua, pada bagian tengah batu dapat terlihat
ujung-ujung benang yang ternyata berasal dari kain kasa ( Gb. 2
dan 3 ).
Gambar 3. Tampak benang kasa pada bagian tengah batu ( pembesaran lOOx )
Disimpulkan batu ini terbentuk dari inti kain kasa yang
tertinggal dalam buli-buli sewaktu tindakan operasi sekian tahun
yang lalu (catatan: tertinggalnya gulungan kain kasa tersebut tidak
disadari oleh ahli bedahnya). Setelah melewati masa bertahuntahun,
tubuh berhasil menutupi/membungkus dengan endapan/
lapisan garam kalsium dan akhirnya terbentuklah batu yang
diuraikan di atas.
KESIMPULAN
Kedua uraian tersebut mengingatkan kita akan berita yang
dimuat dalam surat kabar tentang ditemukannya sebuah mumi
yang tertinggal selama 26 tahun di dalam perut seorang wanita.
Dalam kalangan ahli kebidanan, hal ini disebut lithopaedion.
Sebagai seorang yang menggeluti ilmu biokimia, perlu
disampaikan kepada pembaca bahwa elemen kalsium di dalam
tubuh yang sudah memiliki berbagai fungsi, masih juga dapat
bekerja sebagai pelapis benda asing di dalam tubuh.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Benny Handojo R untuk segala
bantuan sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149 61

Produk Baru
Lodopin – Antipsikotik Atipik Zotepine
Terapi Terbaru untuk Kasus Skizofrenia
Psikosis adalah suatu kumpulan gejala atau sindrom yang
berhubungan gangguan psikiatri lainnya, tetapi gejala tersebut bukan
merupakan gejala spesifik penyakit tersebut, seperti yang tercantum
dalam kriteria diagnostik DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders) maupun ICD-10 (The International Statistical
Classification of Diseases) atau menggunakan kriteria diagnostik
PPDGJ- III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa).
Arti psikosis sebenarnya masih bersifat sempit dan bias yang berarti
waham dan halusinasi, selain itu juga ditemukan gejala lain termasuk
di antaranya pembicaraan dan tingkah laku yang kacau, dan gangguan
daya nilai realitas yang berat. Oleh karena itu psikosis dapat pula
diartikan sebagai suatu kumpulan gejala/terdapatnya gangguan fungsi
mental, respon perasaan, daya nilai realitas, komunikasi dan hubungan
antara individu dengan lingkungannya. Skizofrenia adalah salah satu
penyakit yang termasuk dalam golongan psikosis dan merupakan
penyakit psikotik yang paling sering dan paling banyak diketahui, hal
ini tidak berarti skizofrenia sinonim dengan psikosis. Insidensi
skizofrenia di Indonesia sendiri belum jelas.
Penyebab pasti penyakit ini sampai saat ini masih belum jelas
diketahui; dari autopsi ditemukan kelainan di area otak tertentu,
termasuk sistem limbik, korteks frontal, dan ganglia basalis, misalnya
pelebaran sulkus, fisura, serta ventrikel, perubahan asimetri hemisfer
serebri, dan gangguan densitas otak, namun tidak ada satupun yang
khas atau selalu ditemukan pada penderita skizofrenia. Petunjuk
adanya peran genetik pertama kali didapat dari penelitian keluarga.
Jumlah penderita dalam keluarga lebih banyak dibandingkan dengan
penderita pada populasi umum. Satu dari 100 orang dalam populasi
umum pernah menderita skizofrenia dalam periode hidupnya,
sementara dari 100 saudara kandung penderita dijumpai 13 orang juga
skizofrenia. Dari penelitian "epidemiologi keluarga" terlihat bahwa
risiko untuk keponakan adalah 3 persen, masih lebih tinggi dari
populasi normal yang hanya 1 persen. Dengan demikian,
kemungkinan anak tumbuh sehat adalah 97 persen. Makin dekat
hubungan keluarga biologis, makin tinggi risiko terkena skizofrenia.
Etiologi lain yang mendukung adalah bahwa aktivitas neurotransmiter
dopamin berlebihan pada jalur dopamin di susunan saraf pusat yaitu
jalur mesolimbik dapat mencetuskan gejala positif skizofrenia, selain
itu penurunan aktivitas neurotransmiter dopamin pada jalur dopamin
juga mengakibatkan munculnya gejala negatif serta fungsi kognitif,
selain itu juga dihubungkan adanya gejala ekstrapiramidal yang sering
muncul pada pasien skizofrenia.
Saat ini PT. Kalbe Farma Tbk telah memiliki 2 obat antipsikotik;
setelah Zofredal® yang mengandung risperidone telah dijual di
pasaran, bulan Agustus lalu telah diluncurkan produk baru antiskizofrenia
dengan nama dagang Lodopin® yang mengandung zat aktif
zotepine; produk yang dijual di Indonesia ini mempunyai nama
dagang yang sama dengan di Jepang, jadi Lodopine merupakan
produk original. Zotepine adalah suatu antipsikotik atipik golongan
dibenzothiepine yang dapat mengurangi fungsi dopamin di 4 jalur
dopamin yang terdapat di susunan saraf pusat. Zotepine bekerja
menghambat 2 reseptor dopamin (D1 dan D2 like receptors) selain itu
zotepine dapat berikatan dengan 4 subtipe reseptor serotonin (5HT2a,
5HT2c 5HT6 dan 5HT7). Zotepine juga dapat berikatan dengan
reseptor adrenergik 1 (α1) dan reseptor histamin 1 (H1); selain itu
zotepine mempunyai keunikan yaitu mampu menghambat re-uptake
noradrenalin, yang dapat mengimbangi sebagian efek antagonisme
reseptor α 1- adrenergik dari zotepine. Profil farmakokinetik obat ini
dengan mula kerja yang cukup cepat yaitu 2-3 jam dapat memberikan
manfaat yang segera terhadap penderita skizofrenia, lagipula tidak
dipengaruhi oleh makanan.. Penelitian di beberapa negara di Eropa
dan Jepang, memperoleh hasil bahwa zotepine secara bermakna dapat
memperbaiki gejala positif, negatif serta perbaikan pasien skizofrenia
secara klinis yang dinilai dengan beberapa cara skoring antara lain
Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS), Clinical Global Impressions
(CGI), Scale for the Assessment of Negative Symptoms (SANS) serta
Positive and Negative Signs Scoring System. Kelebihan zotepine yang
lain selain efektivitasnya, juga ditunjukkan dari hasil beberapa
penelitian yaitu dapat mengurangi efek samping ekstrapiramidal,
dalam hal ini membandingkan zotepine dengan antipsikotik
konvensional yaitu haloperidol dan chlorpromazine; serta pernah juga
dibandingkan dengan antipsikotik antipik lain yaitu clozapine -
hasilnya bahwa pemakaian zotepine secara bermakna dapat
memperbaiki fungsi kognitif pasien skizofrenia meskipun efektivitasnya
dalam memperbaiki gejala positif dan negatif sebanding. Zotepine
juga efektif menekan angka kekambuhan, terbukti dalam penelitian
atas pasien skizofrenia kambuhan.
KEPUSTAKAAN
1. A Comparison of an Atypical and Typical Antipsychotic: Zotepine versus
Haloperidol in Patients with Acute Exacerbation of Schizophrenia: A
Parallel Group Double Blind Trial. Psychopharmacol. Bull. 1996; 32:81-
87.
2. Summary of Product Characteristics. Printed for Certificate of
Pharmaceutical Product Number PP048518. Knoll Ltd, England.
3. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III.
Departemen Kesehatan RI 1993.
4. Faktor Genetika pada Skizofrenia, http://www.kompas.com/
kompascetak/0311/17/inspirasi/692476.htm
5. Standard Commodity Classification no. 871179 of Japan Fujisawa
Pharmaceutical Co.,Ltd. Agent for shizophrenia Lodopin.
6. Zotepine in the prevention of recurrence: a randomised, double blind
placebo-controlled study for chronic schizophrenia. Psychopharmacology
2000:150;237-43.
7. Improvement of cognitive function in schizophrenic patients receiving
Clozapine or Zotepine: Result from a double blind study.
Pharmacopsychiatry 1997; 30(2): 35-42 .
8. A Placebo controlled comparison of zotepine versus chlorpromazine in
patients with acute exacerbation of schizophrenia. Acta Psychiatr.Scand.
2000;101: 218-25 .
62 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

Kegiatan Ilmiah
Innogene Kalbiotech, anak perusahaan PT Kalbe Farma untuk
menembus pasar dunia, Jakarta 29 Juli 2005
Tidak hanya unggul dalam negeri saja (saat ini "KLBF" adalah
perusahaan farmasi terbesar di Bursa Efek), PT Kalbe Farma bercitacita
menembus pasar dunia. Caranya adalah menciptakan produkproduk
baru (paten internasional). Jadi bangsa Indonesia bisa bangga
bahwa nantinya akan lahir obat-obatan farmasi original yang
diproduksi oleh PT Kalbe Farma. Melalui Innogene Kalbiotech, Kalbe
Farma akan menjadi drug development company dengan fokus pada
clinical development. Demikian hasil Press Conference di Kantor
Marketing PT Kalbe Farma, Jumat 29 Juli 2005, yang diikuti dengan
acara penandatanganan kerjasama dengan perusahaan Recombio pada
Senin 1 Agustus 2005 (tampak dalam foto: Peserta dari acara
penandatanganan co-developement agreement Innogene Kalbiotech
dengan Recombio untuk produk vaksin kanker dengan kode 1E10).
Kalbe Farma Dinner Symposium, Solo 23 Juli 2005
Kontroversi cairan Koloid versus Kristaloid sudah berlalu
beberapa dekade yang lalu. Saat ini menurut penuturan Dr. Sun
Sunatrio, para ahli sudah menyadari bahwa kedua cairan ini bisa
saling melengkapi. Hal ini diungkapkan dokter dari FKUI/RSCM
dihadapan sekitar 200-an dokter peserta acara Dinner Symposium
Kalbe Farma yang mengambil tema: Acid Base Balance in Colloid
Therapy (Fluid Therapy).
Kalbe Farma Lunch Symposium, Solo 23 Juli 2005
Pada keadaan sepsis, terapi antimikroba harus segera dimulai
setelah sampel darah untuk pemeriksaan biakan diambil. Resume
diskusi mengenai antibiotik pada Simposium Makan Siang kali ini,
menjelaskan bahwa Levofloksasin (Cravit®) diketahui mempunyai
efek yang cepat dengan penetrasi sel yang tinggi. Begitu pula, obat
untuk gram negatif ini, mempunyai kadar intraseluler yang tinggi
dalam sel fagosit sehingga bermanfaat untuk terapi sepsis karena
bakteri.
Seminar BTXA, Jakarta 10 Agustus
2005
Menurut dr Juan P Sanchez ahli bedah
plastik dan rekonstruksi dari Makati
Medical Center Filipina, hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam penggunaan produk
kecantikan antara lain: sudah terdaftar pada
badan otoritas suatu negara dan
kredibilitasnya. Selama kurang lebih 4
jam, dokter ahli bedah plastik dan penulis
buku “Bagaimana Komunikasi Efektif dengan Pasien“, menjelaskan
hal-hal yang berhubungan dengan BTXA® (toksin clostridium
botulinum tipe A), produk bioteknologi PT Kalbe Farma. Moto yang
digunakan adalah Goodbye Wrinkles.
Presentasi Buku Terbitan Baru UI: Komunikasi Dokter dengan
Pasien, Jakarta 2 Juni 2005
Acara Peluncuran Buku "Kupersembahkan Buku Untukmu
Indonesia" merupakan acara penutup dari rangkaian acara Dies Natalis
UI ke 55 tahun 2005 untuk bagian FKUI. Ketua Umum Dies tahun ini
adalah Dr. Tjandra Yoga Aditama. Pada acara tersebut dr.Sjamsurijal
Djauzi mempresentasikan bukunya yang merupakan salah satu dari 51
buku terbaru terbitan UI tahun 2004.
Simposium Ilmiah Elektrofisiologi sebagai penatalaksanaan
terkini Aritmia, RS. Mitra Keluarga Kelapa Gading, 18 Juni 2005
Atrial fibrillation (AF) adalah kelainan irama jantung yang paling
banyak didapat. Begitu banyaknya kejadian sehingga AF sudah
menjadi penyakit epidemik global. Saat ini, menurut Dr Yoga Yuniadi
SpJP, penatalaksanaan AF dapat dilakukan dengan tindakan invasif,
yaitu pemasangan alat pacu jantung atau yang lebih dikenal dengan
tindakan ablasi.
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 63
Penanganan & Pencegahan virus Hepatitis pada penyakit Ginjal
Kronis, Jakarta 18 Juni 2005
IKCC kembali mendampingi, memberi informasi dan menjadi
wadah bagi rekan-rekan pasien ginjal kronis maupun rekan-rekan yang
peduli terhadap ginjal, tempat seluruh partisipan dapat berbagi
pengalaman dan tips. Sabtu 18 Juni 2005, bertempat di Conference
Room PT. Bintang Toedjoe Pulomas, IKCC mengadakan seminar
mengenai Hepatitis dengan tema “Penanganan & Pencegahan Virus
Hepatitis pada Ginjal Kronis” bersama dr. J. Boas Saragih, SpPD,
DTM & H dari RS PGI Cikini.
Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular IV,
Jakarta 1-3 Juli 2005
Gagal jantung merupakan sindrom yang timbul akibat ketidakmampuan
jantung memompakan darah ke dalam sirkulasi jaringan
tubuh walaupun tekanan pengisian ke dalam jantung cukup tinggi
(kegagalan pengisian ke dalam ventrikel kiri). Simposium yang
berlangsung selama 3 hari ini diselenggarakan oleh CME Ilmu
Penyakit Dalam bekerjasama dengan Ikatan Keseminatan Kardioserebrovaskular
Indonesia (IKKI) , diikuti oleh sekitar 1.000 peserta.
Simposium Forum Onkologi Bandung (FOB) ke-2, Bandung 7-8
Juli 2005
Kemoterapi ajuvan maupun neoajuvan sangat berperan meningkatkan
lamanya revisi dan harapan hidup pasien kanker payudara
stadium dini. Simposium yang berlangsung 2 hari ini diikuti oleh
sekitar 50 dokter Bedah Onkologi dan Hematologi Onkologi.
KONAS PETRI XI, PERPARI VII, PKWI VIII, PIT II PAPDI
cabang Surakarta, Solo 22 – 24 Juli 2005
Para dokter sebaiknya memberlakukan preparat herbal sebagai
obat ajuvan yang berarti tidak seharusnya diberikan terus menerus.
Manfaat fitofarmaka memang sangat baik jika diberikan pada mereka
yang mengalami kekurangan zat tersebut. Namun pemberian terus
menerus adalah berlebihan dan jangka panjang bisa mengakibatkan
efek yang tidak diinginkan. Demikian pembahasan yang disampaikan
Prof. Dr. HA Guntur Hermawan, dr, SpPD-KPTI dihadapan sekitar
800 peserta acara yang berlangsung di Hotel Quality Solo, pada sesi
"Peran Respon Imun pada Usia Lanjut".
Hidup Fit Bebas Anemia, Jakarta 23 Juli 2005
IKCC kembali mengadakan pertemuan rutin bulanan bagi
penderita ginjal dan rekan-rekan yang peduli terhadap ginjal, Sabtu,
23 Juli 2005, bertempat di RS Pertamina Pusat Jakarta Selatan, dengan
mengangkat tema Hidup fit, bebas anemia bagi penderita ginjal dan
gagal ginjal. Bersama dr. Hariadi Wirotomo, DSPD.
Pelatihan VI PERMAPKIN: Pengenalan Proses Sertifikasi ISO
9001:2000 di RS, Jakarta 25-27 Juli 2005
Bagi pelanggan (baik perorangan maupun perusahaan), MUTU
biasanya diartikan dengan (1) permintaan/persyaratan yang sudah
dinyata-kan sebelumnya, (2) kecocokan dalam penggunaan dan (3)
barang/ tempat/waktu/harga yang tepat/sesuai. Demikian Pengenalan
Proses Sertifikasi ISO 9001:2000 yang disampaikan oleh Ibu Dwi
Indah Prastyastuti kepada sekitar 40 manager perumahsakitan dari
seluruh Indonesia di Jakarta.
12th International Symposium on Shock and Critical Care, Bali,
12 – 14 Agustus 2005
Acara ini diselenggarakan di Discovery Kartika Plaza Hotel,
Kuta Bali, merupakan satu rangkaian yang terdiri dari simposium
utama, tracheostomy workshop, dan dilanjutkan Basic Course hingga
16 Agustus 2005. Simposium utama dibuka dengan pemukulan gong
secara bergantian oleh dr. Tri Wahyu selaku ketua panitia, dr. Ernest
Benjamin selaku penasehat dan dr.Joseph Varon selaku ketua seksi
ilmiah. Acara bertaraf internasional ini dihadiri oleh sekitar 500
peserta dan puluhan pembicara mancanegara, seperti Australia,
Canada, Perancis, Jerman, Hong Kong, India, Malaysia, Meksiko,
New Zealand, Arab, Singapura, Inggris, dan Amerika.
Seminar II Revolution on Anti Aging Medicine, Jakarta 13
Agustus 2005
Hormon Testosteron digunakan sebagai first line therapy di
negeri Tirai Bambu (Cina) untuk pria yang mengalami depresi.
Demikian penjelasan dr Erwin Peetosutan, SpP, pakar Anti Aging
Indonesia, saat memberikan ceramah kepada sekitar 250 peserta yang
mengikuti Series of Seminar & Workshop dari Perkumpulan Awet
Sehat Indonesia (PASTI). Seri seminar berikutnya akan di
selenggarakan di tempat yang sama pada Sabtu, 26 November 2005.
Seminar Air Hexagonal dan Kesehatan, Jakarta 14 Agustus 2005
Fungsi air dalam tubuh tidak hanya menghilangkan haus, tetapi
juga metabolisme hidup, kesehatan dan proses penuaan. Stres yang
menyerang hampir setiap orang juga dapat mengeringkan persediaan
air dalam tubuh, sebaliknya kekurangan air juga dapat menyebabkan
stres. Anda perlu minum air berkualitas baik untuk mencegah
penyakit, kata Walter Kim, PhD, CEO of Keosan Co.Ltd. Seminar
tentang air hexagonal dan kesehatan yang berlangsung di Jakarta, 14
Agustus 2005 ini dihadiri oleh sekitar 150 undangan dari kalangan
dokter.
First International Meeting on Hospital Role in Occupational
Medicine, Jakarta 19 - 20 Agustus 2005
Pencegahan merupakan pendekatan yang relatif murah dibandingkan
mengobati. Apalagi jika kita turut memperhitungkan juga
waktu kerja yang terbuang selama pengobatan. Hal ini diutarakan Sr.
Specialist on Occupational Safety and Health ILO Subregional Office
for South Asia, Ingrid Christensen, pada saat memberikan Plenary
Lecture, hari pertama Simposium Internasional Pertama yang
mengambil topik Hospital Role in Occupational Medicine di Hotel
Borobudur Jakarta, Indonesia. Simposium dihadiri oleh sekitar 200
peserta pelaku/pengamat Kesehatan Kerja (dokter dan non dokter).
The 5th Annual Scientific Meeting on Pharmacology, Jakarta 26-
27 Agustus 2005
The 5th Annual Scientific Meeting on Pharmacology and
Therapy yang berlangsung 2 hari mengambil tema Recent
Pharmacotherapy. Acara dibuka dengan kata sambutan dari ketua
panitia Dr. Suharti K Suherman SpFK(K) dilanjutkan dengan kata
sambutan oleh wakil Dekan II FK UI, dr Prijo Siditomo Sp. Rad.
The 4th Annual Scientific Meeting Raffles Hospital Singapore 27
Agustus 2005
Ada beberapa hal baru pada acara tahunan ke-4 dari Raffles
Hospital Singapore. Misalnya, menurut Ketua Panitianya, dr Tan Yew
Ghee, tempat pelaksanaannya yang tidak lagi dilakukan di rumah
sakit, melainkan di Sheraton Towers Hotel dengan fasilitas konferensi
dan audiovisual yang baik. Hal kedua dalam simposium bertema
"Gynaecology and Paediatrics - The GP's Perspective" adalah
diundangnya dokter-dokter luar negeri seperti dari Indonesia,
Malaysia, Bangladesh, Myanmar dan Sri Lanka.
Laporan lengkap dari pelbagai simposium di atas, bisa diakses
pada http://www.kalbefarma.com/seminar.
64 Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

ABSTRAK
MEROKOK DAN FUNGSI PARU
Fungsi paru membaik jika seseorang
berhenti merokok, tetapi manfaatnya
berkurang akibat kenaikan
berat badan yang menyertainya, terutama
di kalangan pria.
Sejumlah 6654 orang dari 27
kilinik/rumahsakit diukur fungsi parunya
di tahun 1991-93 saat mereka berusia
20-44 tahun, kemudian diulang
pada tahun 1998-2002.
Dibandingkan dengan mereka yang
tidak pernah merokok, penurunan
FEV1 lebih rendah pada mereka yang
berhenti merokok (beda rata-rata 5.4
ml/tahun 95%CI: 1.7 sd. 9.1) dan di
kalangan mereka yang berhenti
merokok dalam masa survai (2.5 ml; -
1.9 sd. 7.0) dan paling nyata di
kalangan perokok (-4.8 ml; -7.9 sd. –
1.6). Di kalangan perempuan, masingmasing
1.3 ml/tahun (-1.5 sd. 4.1); 2.8
ml (-0.8 sd. 6.3) dan –5.1 ml (-7.5 sd. –
2.8). Perbedaan ini tidak bermakna.
Selain itu FEV1 menurun –11.5 ml (-
13.3 sd. –9.6) per kg. kenaikan berat
badan di kalangan pria dan –3.7 ml (-
5.0 sd. –2.5) per kg. kenaikan berat
badan di kalangan perempuan; hal ini
menghilangkan manfaat berhenti
merokok pada 38% pria dan 17%
perempuan.
Lancet 2005;365:1629-35
brw
ALFAFETOPROTEIN SERUM
DAN RISIKO SIDS
Selama ini diketahui bahwa peningkatan
kadar alfa fetoprotein serum
saat kehamilan trimester ke dua merupakan
pertanda disfungsi plasenta dan
dapat meramalkan risiko lahir mati.
Para peneliti di Inggris menyelidiki
kaitannya dengan risiko SIDS (sudden
infant death syndrome).
Di antara 214 532 wanita dengan
kelahiran tunggal di Skotlandia, tercatat
114 kasus SIDS (2.7 per 1000
kelahiran di antara mereka dengan
quintile tertinggi).
Dengan nilai quintile terendah
sebagai patokan, odd ratio kejadian
SIDS untuk empat quintile berikut
ialah 1.7 (95%CI: 0.8-3.5), (0.9-3.7),
2.5 (1.3-4.8) dan (1.4-5.4) p for trend =
0.001.
Risiko SIDS berbanding terbalik
dengan berat badan lahir dan usia
kehamilan; jika faktor-faktor di atas
dikoreksi, maka odd ratio SIDS
menjadi berturut-turut: 1.7 (0.8-3.5);
1.7 (0.8-3.5); 2.2 (1.1-4.4), 2.2 (1.1-
4.3), p for trend = 0.01.
Mereka menyimpulkan adanya
hubungan langsung antara kadar AFP
serum ibu pada trimester ke dua
dengan risiko SIDS, mungkin karena
risiko pertumbuhan janin terhambat
dan kelahiran prematur.
N.Engl.J.Med.2004;351:978-86
Betametason sering digunakan ibu
hamil untuk mencegah sindrom
gangguan pernapasan bayinya. brw
BERHENTI MEROKOK MENGGUNAKAN
KOYO (PATCH) NIKOTIN
Sejumlah 34 090 perokok yang
menghubungi hotline untuk berhenti
merokok dikirimi koyo nikotin untuk
penggunaan 6 minggu – dengan dosis
21 mg., 14 mg. dan 7 mg./hari masingmasing
untuk 2 minggu. Setelah 6
bulan diambil secara acak 1305 orang
dari kelompok tersebut untuk dibandingkan
dengan kontrol yang diambil
dari kelompok yang sebenarnya akan
diikutkan dalam percobaan ini, tetapi
karena kesalahan teknis, tidak.
Ternyata lebih banyak pengguna
koyo yang tetap tidak merokok setelah
6 bulan (33% vs. 6%, p<0.0001);
perbedaan ini tetap bermakna setelah
penyesuaian faktor demografik dan
jumlah rokok yang diisap (OD 8.8,
95%CI 4.4 -17.8).
Persentase berhenti merokok lebih
tinggi di kalangan yang lahir di luar
AS (87 - 39%), usia > 65 tahun (40 –
47%) dan merokok kurang dari 20
batang/hari (116 – 35%). Mereka yang
mendapat konseling lebih banyak yang
berhenti merokok (246 – 38% vs. 189
– 27%, p=0.001).
Dengan asumsi kelompok kontrol tetap
merokok, stop rate di kalangan penerima
NRT 20%; sedikitnya 6038
berhenti merokok karena program ini
dan biayanya $464 tiap orang yang
berhenti merokok.
Lancet 2005;365:1849-54
brw
RISIKO PENGGUNAAN BETAMETASON
ANTENATAL
Para peneliti mengamati risiko efek
samping pengobatan tersebut dengan
cara memeriksa 534 anak yang
dilahirkan setelah berusia 30 tahun. Di
akhir penelitian, 253 anak kelompok
betametason dibandingkan dengan 281
anak plasebo. Ternyata tidak
didapatkan perbedaan bermakna dalam
hal berat badan, lipid darah, tekanan
darah, kadar kortisol plasma,
prevalensi diabetes atau riwayat
gangguan kardiovaskuler. Pada tes
toleransi glukosa menggunakan 75 g.
glukosa, kelompok betametason
mempunyai kadar insulin plasma 30
menit yang lebih tinggi (60.5 vs. 52.0
mIU/L; ratio of geometric means 1.16
[95%CI 1.03-1.31], p=0.02) dan kadar
glukosa 120 menit lebih rendah (4.8 vs.
5.1 mmol/L; diff. –0.26 mmol/L [-0.53
– 0.00], p=0.05) dibandingkan dengan
kelompok plasebo.
Mereka menyimpulkan bahwa penggunaan
betametason cukup aman.
Lancet 2005;365:1856-62
brw
Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 65

Indeks
Karangan Cermin Dunia
Kedokteran
Tahun 2005
CDK 146. Ginekologi 2
English Summary
Najoan Nan Warouw, Sugiarto Wiriadinata - Hubungan Serum
Feritin Ibu Hamil Trimester ke Tiga dengan Bayi Berat Badan Lahir
Rendah
Dewi Parwati, Dyah W. Isbagio, Sarwo Handayani, Farida
Siburian - Status Imun Tetanus Wanita Usia Subur di Daerah
Endemis Malaria
Eddy Suparman - Malaria pada Kehamilan
Ferry Armanza, Made Kornia Karkata - Kadar Asam Urat
sebagai Prediktor Luaran Pengelolaan Preeklampsia Berat Preterm
Zulkhairi, Salli R Nasution - Sindroma Nefrotik pada Kehamilan
Sahadewa DP, Suwardewa TGA, Jaya MS - USG Transvaginal
Dibandingkan dengan D&C PA untuk Diagnostik Perdarahan
Uterus Abnormal
Supriatmaja IPG, Suwardewa TGA - Pengaruh Senam Hamil
Terhadap Persalinan Kala Satu dan Kala Dua
Suharto - Penatalaksanaan Fisioterapi pada Nyeri Pinggang Bawah
Aspesifik akibat Joint Block Thoracal dan Lumbal
Olwin Nainggolan, Jenry Walles Simanjuntak - Pengaruh
Ekstrak Etanol Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack)
terhadap Perilaku Seksual Mencit Putih
Informatika Kedokteran : Pengembangan Kurikulum Informatika
Kesehatan Berbasis Kompetensi pada Program Pendidikan Dokter
dan Ilmu Keperawatan
Kegiatan Ilmiah
Kapsul : FDA-Approved Antiretroviral Agents
Abstrak :
Manfaat rtPA Lancet 2004;363:768 –74
Manfaat simvastatin Lancet 2004;363:757 – 67
Variasi pendidikan kedokteran BMJ 2004 ; 328:207-9
di Australia
Kortikosteroid untuk croup N.Engl.J.Med.2004;351:1306 – 13
Terapi tumor payudara dini N.Engl.J.Med.2004;351:963 – 70
Eritromosin oral dan risiko N.Engl.J.Med.2004;351:1089 – 96
komplikasi jantung
Lumpektomi untuk tumor N.Engl.J.Med.2004;351:1306 – 13
payudara
Partus pasca operasi caesar BMJ 2004;328:311 - 4
Risiko stroke berulang BMJ 2004; 328:326 – 8
CDK 147.Kardiologi
English Summary
Santoso M. Setiawan T. - Penyakit Jantung Koroner
William Sanjaya, Abdul Hakim Alkatiri - Current Trends of
Treatment in Hypertension
Sunarya Soerianata, William Sanjaya - Peranan Penghambat
Reseptor Angiotensin II dalam Hipertrofi Ventrikel Kiri Vaskuler
Idris Idham, William Sanjaya - Angiotensin-II dan Remodelling
Selvinna - Disfungsi Endotel dan Obat Antihipertensi
Jansen Silalahi - Gas Nitrogen Oksida - Polutan atau Vital bagi
Kehidupan?
Yanto Sandy Tjang, Gero Tenderich, Lech Hornik, Michiel
Morshuis, Kazutomo Minami, Richardus Budiman, Reiner
Korfer - Pengalaman Klinis Transplantasi Jantung
Santosa, Soenarto, Suyanto Hadi - Pengenalan Miopati
Mitokondria
Olwin Nainggolan, Cornelis Adimunca - Diet Sehat dengan Serat
Sulistyowati T, Cornelis Adimunca, Raflizar - Efek Teh Hitam
[(Camellia sinensis O.K. Var. Assamica (Mast)] terhadap Plak
Aterosklerosis pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus) strain New
Zealand White
4
5 – 15
16 – 18
19 – 28
29 – 38
39 – 43
44 – 47
48 – 51
52 – 54
55 – 57
58
59 – 60
61
62
62
62
62
62
63
63
63
63
4
5–9
10 – 12
13 – 15
16 – 19
20 – 25
26 – 30
31 – 34
35 – 42
43 – 46
47 – 50
Tjandra Yoga Aditama - Rokok di Sinetron
Rully MA Roesli, Enday Sukandar, Rubin Gondodiputro,
Rachmat Permana - Kenaikan Kadar Hemoglobin setelah
Pemberian Epoeitin Alfa (HEMAPO®) selama 12 Minggu pada
Penderita Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis
Produk Baru: Kalferon
Informatika Kedokteran : Website Kalbe Farma hadir dengan
tampilan baru
Kegiatan Ilmiah
Kapsul : Medication for chronic musculoskeletal pain
Abstrak
Asma atopik dan - N.Engl.J.Med.2004;351:1068-80
lingkungan rumah
Risiko stroke berulang BMJ 2004; 328:326-8
Efektivitas kontrol DM dengan Lancet 2004;363:423-28
hanya diet
Deteksi dini kelainan colon Lancet 2005;365:305-11
CDK 148.Imunisasi
English Summary
Enny Muchlastriningsih - Penyakit-penyakit Menular yang Dapat
Dicegah dengan Imunisasi di Indonesia
Dyah Widyaningroem Isbagio - Masa Depan Pengembangan
Vaksin Baru
Ainur Rofiq, Agus Suwandono, Eko Rahardjo, Rudi Hendro P -
Serosurvei Influenza pada Pekerja, Penjual dan Penjamah Produk
Ayam di 8 Propinsi Kejadian Luar Biasa Flu Burung yang
Menyerang Ayam
Mardi Santoso, Herman Salim, Hasanudin Alim - Avian
Influenza (Flu Burung)
Sarjaini Jamal - Apakah SARS akan Berjangkit Kembali ?
Sarwo Handayani - Infeksi Campak Karakteristik dan Respon
Imunitas yang Ditimbulkan
Enny Muchlastriningsih - Kecenderungan Kasus Campak Selama
Empat Tahun (1997 – 2000) di Indonesia
Bambang Heriyanto, Enny Muchlastriningsih, Sri Susilowati,
Diana Siti Hutauruk - Kecenderungan Kejadian Luar Biasa
Chikungunya di Indonesia – tahun 2001-2003
Rudi Hendro P, Eko Rahardjo, Masri Sembiring Maha, John
Master Saragih - Investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB)
Chikungunya di Desa Harja Mekar dan Pabayuran Kabupaten
Bekasi tahun 2003
Gendrowahyuhono - Status Antibodi Anak Balita Pasca Pekan
Imunisasi Nasional (PIN) IV di Makassar
Gendrowahyuhono - Status Antibodi Anak Sekolah Dasar
Sebelum dan Sesudah Program Bulan Imunisasi Anak Sekolah
(BIAS) di Yogyakarta
Eko Rahardjo - Pemeriksaan Spesimen Serum Darah terhadap Zat
Anti Legionella
Sarwo Handayani - Deteksi Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan
Human Metapneumovirus (HMPV) dengan Reverse Transcriptase
Polymerase Chain Reaction (RT- PCR)
Eulis A. Datau, Candra Wibowo - Introduction to Anti-Aging
Medicine
Produk Baru: Terapi Osteoporosis
Betafit,Kombinasi Betaine – Vitamin E
Informatika Kedokteran : Daftar Simposium/seminar di Website
Kalbe Farma
Kegiatan Ilmiah
Kapsul : Medication for chronic musculoskeletal pain
51 – 53
54 – 57
58
59
60 – 61
62
63
63
63
63
4
5 – 11
12 – 16
17 – 20
21 – 24
25 – 29
30 – 34
35 – 36
37 – 39
40 – 42
43 – 45
46 – 48
49 – 50
51 - 54
55 -59
60
61
62
63
66 Cermin Dunia Kedokteran No. 149
CDK 149. Kesehatan Jiwa
English Summary
Kusumanto Setyonegoro – Kesehatan Jiwa (Mental Health) di
Kehidupan Modern
Nurmiati Amir - Diagnosis dan Penatalaksanaan Depresi
Pascastroke
LS. Chandra – Gangguan Fungsi atau Perilaku Seksual dan
Penanggulangannya
Myrna Yustina – Antidepresan dan Fungsi Seksual
Sylvia D. Elvira - Penanganan Psikologik pada Obesitas
Theresia Kaunang - Diagnosis dan Penatalaksanaan Gangguan
Asperger
Yusuf Alam Romadhon - Aspek Klinik dan Farmakoterapi Anak
dengan Gangguan Pemusatan Perhatian / Hiperaktivitas
Raharni, Max J. Herman - Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika & Zat
Adiktif) di Kalangan Siswa SMU
4
5
8-13
14-18
19-20
21-23
24-31
32-37
38-43
Dewi Peti Virgianti, Hana Apsari Pawestri - Pengaruh
Pendedahan Morfin terhadap Perilaku Masa Prasapih Mencit (Mus
musculus) Swiss-Webster
Sunanti Z. Soejoeti - Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam
Konteks Sosial Budaya
Azamris - Respon Terapi Tamoxifien pada Kanker Payudara Lanjut
Lokal dengan Reseptor Estrogen, Reseptor Progesteron dan Mr
29.000 Positif
Nelson Simanungkalit Pospos - L-Ornitin-L-Aspartat (LOLA)
Menghindari Blebbing pada Hepatosit akibat Keracunan Etanol
Oen Liang Hie – Beberapa Temuan yang Taklazim (aneh) Selama
Bekerja Meneliti Susunan Kimia Batu Ginjal
Produk Baru: Lodopin
Kegiatan Ilmiah
Abstrak
Indeks Karangan Tahun 2005
44-48
49-52
53-56
57-59
60-61
62
63
65
66-67
KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE BULAN OKTOBER – DESEMBER 2005
BULAN TANGGAL KEGIATAN DAN TEMPAT ACARA SEKRETARIAT PANITIA
29/9 – 01/10
17th Weekend Course on Cardiology (17th WECOC) :
Acute Cardiovascular Care
Hotel Borobudur
Department Cardiology and Vascular Medicine Faculty of
Medicine University of Indonesia/RS. Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita
Jl. Letjen S. Parman Kav. 87 Slipi, Jakarta Barat
Tlp.: 62-21-5684085 ; Fax. : 62-21-5686203
E-mail : info@kardiologi-ui.com
Oktober Website : http://www.kardiologi-ui.com
01 – 02
Kongres Nasional II Perhimpunan Patobiologi Indonesia
‘The Management of Sepsis-SIRS Based on Epigenetic
& Genetic Mechanism - The bridging of basic science to
clinical application’
Hotel Hyatt Regency
Graha Masyarakat Ilmiah Kedokteran (GRAMIK)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Jl. Mayjen
Prof. Dr. Moestopo No. 47 Surabaya
Tlp. : 031-5020569, Fax. : 031-5013749
E-mail : konas_ppi@yahoo.com
13 – 16
Temu Ilmiah dan Kongres XIII PERSAGI : Gizi Baik
Investasi Pembangunan
Inna Grand Bali Beach, Sanur - Bali
DPP Persagi, Direktorat Gizi Masyarakat
Jl. HR Rasuna Said Jakarta 12950
Tlp. : 021-527 7382 ; Fax. : 021-521 0176
E-mail : atmarita@gizi.net
24 – 27
Konas IX & Annual Meeting PERNEFRI Bali 2005 :
The 9th National Congress & Annual Meeting of
Nephrology 2005
Hotel Discovery Kartika Plaza, Kuta - Bali
Division of Nephrology, Department of Internal Medicine
University of Udayana / Sanglah Hospital Denpasar,
Jl. Kesehatan Sanglah Denpasar Bali
Tlp. : 0361-245733 ; Fax. : 0361-229799
E-mail : pernefri@_ix@yahoo.com
25 – 26
4th Jakarta Digestive Week : Update in Gastrointestinal
Malignancy
Jakarta Convention Center
Sub Bagian Bedah Digestif FKUI / RSUPNCM
Jl. Diponegoro 71. Jakarta
Tlp. : 021-39100938, 3148705 ; Fax. : 021-3148705
E-mail : jdw2005@pharma-pro.com
26 Revolution on Anti Aging Medicine
Hotel Menara Peninsula, Jakarta
PASTI, Jl. Sawo 15, Menteng Jakarta 10350
Tlp. : 021-391 6241 ; Fax. : 021-314 1850
November
29 – 02
International Conference on Occupational Health in The
Informal Sector (ICOHIS): Millenium Goals - Serving
the Underserved Working Population
Hotel Sheraton Mustika, Yogyakarta
Ministry of Health, Republic of Indonesia
Jl. HR. Rasuna Said Kav. X-5 No. 4-9 Jakarta 12950
Tlp. : 62-21-5275256, 5214875
Fax. : 62-21-5275256
02 – 04
The Seventh International Meeting on Respiratory Care
Indonesia (RESPINA - 2005)
Hotel Borobudur, Jakarta
Persahabatan Hospital, Asthma Building, 2nd Floor
Persahabatan Raya, Jakarta 13230
Tlp. : 62-21-4786 4646 ; Fex: 62-21-4786 6543
E-mail : respina@pharma-pro.com ; www.respina.org
03 – 04
Jakarta Diabetes Meeting ‘Practical Insight on
Preventing and Treating : Diabetes Obesity and Cardio
Metabolic Disease’
Hotel Novotel Mangga Dua, Jakarta
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI /
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Tlp. : 021-3100075 / 3907703 ; Fax. : 021-39111740
E-mail : endo_id@indo.net.id
Desember
08 – 09
8th Asia Pacific Symposium On Cardiac Pacing &
Electrophysiology
Hotel Westin Nusa Dua, Bali
Departemen Kardiologi FKUI/Pusat Jantung Nasional
RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita
Jl. Letjend. S. Parman Kav. 87 Slipi, Jakarta Barat
Tlp. : 021-5608239 Fax. : 021-5608239
E-mail : secretariat@apspe2005.org
Informasi terkini, detail dan lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbefarma.com/calendar
Cermin Dunia Kedokteran No. 149 67

Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Pola penyesuaian diri terhadap stres meliputi hal berikut,
kecuali:
a) Melawan
b) Menarik diri
c) Mengubah situasi
d) Kompromi
e) Membenci
2. Depresi pasca stroke dikaitkan dengan lesi di :
a) Frontal
b) Temporal kiri
c) Temporal kanan
d) Parietal
e) Oksipital
3. Yang bukan merupakan uji biologik depresi :
a) Dexamethasone suppresion test
b) Kadar kortikosteroid cairan otak
c) Kadar kortisol serum
d) Kadar MHPG serum
e) Uji stimulasi TSH
4. Antidepresan yang dianjurkan saat awal terapi :
a) Trisiklik
b) MAO inhibitor
c) SSRI
d) Litium
e) Psikoterapi
5. Anksiolitik yang dikenal lebih efektif untuk mengatasi
sexual phobia/anticipatory anxiety :
a) Diazepam
b) Buspiron
c) Klobazam
d) Alprazolam
e) Trazodon
6. Perbedaan gangguan Asperger dengan autisme ialah dalam
hal :
a) Teori vaksinasi
b) Perkembangan kognitif
c) Kemungkinan penyebab genetis
d) Mula timbul masa kanak-kanak
e) Menarik diri
7. Anjuran diet pada gangguan Asperger berupa diet :
a) Bebas lemak dan kolesterol
b) Tinggi protein
c) Rendah gula/karbohidrat
d) Bebas gluten dan kasein
e) Rendah garam
8. Terapi utama Gangguan Pemusatan Perhatian / Hiperaktif :
a) Psikoterapi
b) Metilfenidat
c) Haloperidol
d) Imipramin
e) Bupropion
9. Zat berikut merupakan derivat opiat kecuali :
a) Morfin
b) Petidin
c) Kodein
d) Heroin
e) Kokain
JAWABAN RPPIK :
1. B 2. A 3. B 4. C 5. D
6. A 7. D 8. B 9. E
Cermin 68 Dunia Kedokteran No. 149

Anda mungkin juga menyukai