Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits merupakan salah satu sumber pokok penetapan hukum dalam Islam.
Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam , adalah sebuah kenyataan yang
tak dapat diragukan lagi. Hadits dapat disebut juga dengan Sunnah adalah segala sesuatu
yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan,
atau taqrir-nya. Sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan hadits
tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri.
Pada zaman sahabat, hadits - hadits Nabi disampaikan dari mulut ke mulut. Pada
masa itu mereka belum terdorong membukukannya dan kekuatan hafalan sahabat pun
telah diakui sejarah. Pada masa setelah sahabat adalah para tabi’in dan tabi’ut tabi’in
yang penyampaikan hadits- hadits nabi dan mereka mulai membukukan hadits – hadits
agar tidak hilang dari perubahan zaman.
Para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in dalam meriwayatkan hadits sangat adil
dan tidak ada pertentangan diantara meraka pada masa hidup meraka. Oleh sebab itu,
dalam makalah ini akan dibahas tentang keadilan para sahabat , tabi’in dan tabi’ut tabi’in
dalam meriwayatkan dan mengajarkan hadits pada orang islam.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka pemakalah dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan sahabat dan tabi’in?
2. Bagaimana cara mengetahui atau menetapkan sahabat?
3. Bagaimana keadilan sahabat dan tabi’in?

C. Tujuan
Tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui bahwa keadilan para sahabat dan
tabi’in, dalam mengajarkan ajaran islam berpedoman pada alqur’an dan hadits.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sahabat dan Tabi’in


Sebelum kita masuk dalam pembahasan materi kita . kita harus mengetahui apa
itu sahabat tabi’in dan tabi’ut tabi’in . sehingga semua mengerti dan jelas dalam
membuat sebuah makalah sehingga pembaca mengerti apa maksud dari Makalah yang
kami buat .
1. Pengertian Sahabat
Kata sahabat menurut lughah jamak dari sahib artinya yang menyertai. Menurut
para ulama yang disebut "sahabat" adalah orang yang bertemu dengan Nabi SAW dalam
keadaan beriman dan meninggal dunia sebagai pemeluk Islam. Maka, orang yang
bertemu dengan Nabi sedang dia belum memeluk agama Islam, maka tidaklah dipandang
sahabat. Orang yang menemui masa Nabi dan beriman kepadanya tetapi tidak
menjumpainya, seperti Najasi, atau menjumpai Nabi setelah Nabi wafat, seperti Abu
Dzu'aib, yang pergi dari rumahnya setelah ia beriman untuk menjumpai Nabi di
Madinah. Setiba di Madinah, Nabi telah wafat. Maka, baik Najasi dan Abu Dzu'aib,
mereka berdua termasuk sahabat Nabi.
Ditandaskan oleh al-Hafidl, bahwa pendapat yang paling shahih yang telah
diketemukannya bahwa arti sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi dalam
keadaan dia beriman dan meninggal dalam islam, baik lama ia bergaul dengan Nabi atau
tidak, baik dia turut berperang bersama Nabi atau tidak, baik dia dapat melihat Nabi
meskipun tidak dalam satu majelis dengan Nabi, atau dia tidak dapat melihat Nabi karena
buta.
Menurut Usman ibnu Shalih, yang dikatakan sahabat adalah orang yang menemui
masa Nabi, walaupun dia tidak dapat melihat Nabi dan ia memeluk Islam semasa Nabi
masih hidup.
Sebagian 'ulama Ushul berpendapat bahwa yang dimaksud sahabat adalah orang
yang berjumpa dengan Rasul dan lama pula persahabatannya dengan beliau walaupun
tidak meriwayatkan hadits dari beliau.
Menurut al-Khudlari menerangkan dalam Ushul Fiqhnya: "tidak dipandang
seseorang, menjadi sahabat, melainkan orang yang berkediaman bersama Nabi satu
tahun atau dua tahun". Tetapi an-Nawawi membantah faham ini dengan alasan kalau

2
yang dmaksud sahabi yaitu orang yang menyertai Nabi satu atau dua tahun, tentulah
tidak boleh kita katakan Jarir al-Bajali seorang sahabat.
Menurut bahasa, sahabat (jama’ dari shahib) berarti yang menyertai atau yang menemani
Sedangkan menurut istilah, ulama’ berbeda pendapat.
1. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa sahabat ialah :
‫من لقي رسول هللا ص م مال قة عرفية في حل الحياة حل كونه مسلما ومؤمنا به‬
“Orang yang bertemu Rasulullah saw dengan pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah
saw masih hidup, dalam keadaan Islam dan beriman.”
2. Ibnu Hajar dalam kitab Al Ishabah jilid 1 : 4-5 menerangkan bahwa sahabat ialah
orang Islam yang bertemu dengan Nabi saw dan mati dalam memeluk Islam.
3. Al Jahidl berpendapat bahwa sahabat ialah orang Islam yang berjumpa dengan Nabi,
lama persahabatannya dengan Nabi dan meriwayatkan hadis dari beliau.
Adapun pengertian sahabat secara umum yang telah didefinisikan oleh para ulama’, yaitu
:
“Sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi, beriman kepadanya dan
meninggal dalam keadaan Islam”.

2. Pengertian Tabi’in
Tabi’in menurut bahasa adalah jama’ dari kata tabi’ yang artinya pengikut.
Menurut istilah, tabi’in adalah orang yang pernah bertemu dengan sahabat, iman kepada
Nabi saw dan meninggal dalam keadaan Islam. Tentang hal ini al-Khatib al-Baghdadi
mensyaratkan adanya persahabatan dengan sahabat, jadi bukan hanya bertemu.
Menurut Ibnu Katsir, yang dinamakan tabi’in tidak cukup hanya pernah melihat
sahabat, sebagaimana yang dinamakan sahabat cukup pernah melihat Nabi saw saja.
Yang membedakan adalah keagungan dan kebesaran dari melihat Nabi saw. Namun
menurut kebanyakan ahli hadis, yang dinamakan tabi’in ialah orang yang pernah bertemu
sahabat dalam keadaan beriman dan meninggal dunia dalam keadaan beriman meskipun
tidak pernah bersahabat dengan sahabat dan tidak pula pernah meriwayatkan hadits dari
sahabat.

B. Cara Mengetahui atau Menetapkan Sahabat


Cara untuk mengetahui bahwa seseorang itu adalah sahabat, ialah dengan kriteria sebagai
berikut :

3
1. Adanya khabar Mutawatir yang menyatakan bahwa orang itu adalah sahabat.
Contoh : Khulafa’ur Rasyidin
2. Adanya khabar yang masyhur tetapi belum pada tingkat mutawatir yang
menyatakan bahwa orang itu adalah sahabat. Contoh : Dlammah ibn Tsa’labah
dan Ukasyah ibn Nisham
3. Diberitakan atau diakui oleh sahabat yang terkenal kesahabatannya.
Contoh :Hamamah ibn Abi Hamamah Ad-Dausi yang diakui kesahabatannya oleh
Abu Musa Al-Asy’ari
4. Adanya keterangan dari Tabi’in yang tsiqah (kepercayaan) bahwa orang itu
Sahabat
5. Pengakuan sendiri dari orang yang adil (Islam, baligh, berakal, tidak mengerjakan
dosa-dosa kecil apalagi dosa besar yang dapat menodai agama dan sopan santun,
serta sejahtera dari sesuatu yang dapat mengurangkan kesempurnaan dirinya)
bahwa dirinya adalah seorang sahabat. Pengakuan dinyatakan sebelum seratus
tahun kewafatan Rasulullah. Apabila pengakuan tersebut dilakukan setelah
seratus tahun kewafatan Nabi saw, maka pengakuannya itu tidak diterima.

C. Keadilan Sahabat (adalat al-shahabah) dan Tabi’in


Menurut Jumhur Ulama’, bahwa seluruh sahabat itu adalah adil. Adapun yang
dimaksud adil disini adalah adanya konsekuensi para sahabat secara kontiniu dalam
menegakkan nilai-nilai agama, senantiasa ber amar ma’ruf serta tidak berbohong kepada
Rasulullah Saw.
Imam Al-Khatib al-Bagdadi, dalam kitab Kifayahnya mengatakan bahwa tidak
perlu dipersoalkan lagi mengenai keadilan para sahabat, karena keadilan sahabat sudah
ditetapkan keadilannya oleh Allah Swt., dalam ayat- ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dan
perintah ini dari Al Quran dan Hadits tersebut langsung tertuju kepada sahabat
Rasulullah dan orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu.
Imam Al- Nawawi menyatakan pendapat jumhur itu telah menjadi ijma’, oleh
karena itu tidak diperbolehkan seseorang mengkritik mereka ( para sahabat ),
karena dikhawatirkan akan menyimpang dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang telah
menegaskan keadilan mereka. Sebab mereka memiliki peran yang sangat besar dalam
menegakkan dan membela agama, membela Rasulullah Saw, menyerahkan jiwa dan

4
hartanya, bersikap sesuai dengan tatanan-tatanan-Nya dan sangat ketat dalam
melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan-Nya.
Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa keadilan sahabat telah di maklumi
berlandaskan apa yang ditegaskan Allah Swt sendiri. Selain itu Allah juga memuji
mereka. Oleh karena itu tidak perlu lagi menta’dilkan mereka sebab penta’dilan dari
Allah lebih sahih mengingat Dia adalah Dzat yang Maha Mengetahui terhadap yang
ghaib. Pernyataan Al-Ghazali mendapat dukungan ibn Salah, ia menjelaskan bahwa
keadilan sahabat sudah tidak dipertanyakan lagi. Hal ini sesuai dengan keterangan Al-
Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ bahwa mereka semua adalah adil.
Ibnu Atsir dalam kitab Al- I’tiab berkata, “walaupun para sahabat, tidak perlu kita
bahas keadaan mereka karena telah disepakati oleh Ahl al Haaq yaitu Ahl as-Sunnah wa
al Jama’ah bahwa mereka itu adil, namun wajib kita mengetahui nama-nama mereka dan
membahas perjalanan hidup mereka, serta keadaan mereka untuk kita teladani, karena
merekalah orang yang paling mengetahui tentang suluk Nabi SAW dan keadaan
kehidupan beliau.”

Dalil Keadilan Sahabat dan Tabi’in


Allah Telah Menta’dil ( memberikan penilaian adil ) kepada para sehabat nabi
SAW dengan firman – firmannya di dalam kitab suci Al Quran, maka tidak
diperlukan lagi ucapan – ucapan dari manusia – manusia Jahil yang meragukan
dan membantahnya. Dan ini adalah dalil – dalilnya :
‫مَُحَّم ٌد َر ُسوُل ِهَّللا َو اَّلِذ يَن َم َع ُه َأِش َّد اُء َع َلى اْلُك َّفاِر ُر َح َم اُء َبْيَنُهْم َتَر اُهْم ُر َّك عًا ُسَّجدًا َيْبَتُغ وَن َفْض ًال ِم َن ِهَّللا‬
‫َو ِرْض َو انًا ِس يَم اُهْم ِفي ُو ُجوِهِهْم ِم ْن أَ…َثِر الُّسُجوِد َذ ِلَك َم َثُلُهْم ِفي الَّتْو َر اِة َو َم َثُلُهْم ِفي اِأْل ْنِج يِل َكَز ْر ٍع‬
‫َأْخ َر َج َش ْطَأُه َفآَز َر ُه َفاْسَتْغَلَظ َفاْسَتَو ى َع َلى ُسوِقِه ُيْع ِج ُب الُّز َّر اَع ِلَيِغ يَظ ِبِهُم اْلُك َّفاَر َو َعَد ُهَّللا اَّلِذ يَن آَم ُنوا‬
29:‫َو َع ِم ُلوا الَّصاِلَح اِت ِم ْنُهْم َم ْغ ِفَر ًة َو َأْج رًا َع ِظ يمًا)) الفتح‬
“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang - orang yang bersama dia adalah
keras terhadap orang - orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat
mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhoan-Nya. Tanda - tanda
mereka, tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat - sifat mereka
dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus diatas pokoknya;
tanaman itu menyenangkan hati penanam - penanamnya, karena Allah menjengkelkan

5
hati orang - orang kafir (dengan kekuatan orang - orang mukmin). Allah menjanjikan
kepada orang - orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih diantara mereka
ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath: 29)
‫َو الَّساِبُقوَن اَأْلَّو ُلوَن ِم َن اْلُمَهاِج ِر يَن َو اَأْلْنَص اِر َو اَّلِذ يَن اَّتَبُعوُهْم ِبِإْح َس اٍن َرِض َي ُهَّللا َع ْنُهْم َو َر ُضوا َع ْنُه‬
]100/‫) [التوبة‬100( ‫َو َأَع َّد َلُهْم َج َّناٍت َتْج ِري َتْح َتَها اَأْلْنَهاُر َخ اِلِد يَن ِفيَها َأَبًدا َذ ِلَك اْلَفْو ُز اْلَعِظ يُم‬
“Orang - orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
selama - lamanya. Mereka kekal didalamnya. Itulah kemenangan yang besar”.
)143 ‫( البقرة‬...‫َو َك َذ ِلَك َجَع ْلَناُك ْم ُأَّم ًة َو َس ًطا ِلَتُك وُنوا ُش َهَداَء َع َلى الَّناِس َو َيُك وَن الَّرُسوُل َع َلْيُك ْم َش ِهيًدا‬
“Dan demikianlah (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat islam), umat yang
adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Al- Baqarah:143)
Perhatikan Sabda Nabi SAW dibawah ini :
)352 ‫ ص‬/ 12 ‫ (ج‬- ‫صحيح مسلم‬
‫َفَقاَل الُّنُجوُم َأَم َنٌة ِللَّس َم اِء َفِإَذ ا َذ َهَبْت الُّنُجوُم َأَتى الَّس َم اَء َم ا ُتوَع ُد َو َأَنا َأَم َنٌة َأِلْص َح اِبي َفِإَذ ا َذ َهْبُت َأَتى‬
‫َأْص َح اِبي َم ا ُيوَع ُد وَن َو َأْص َح اِبي َأَم َنٌة ُأِلَّمِتي َفِإَذ ا َذ َهَب َأْص َح اِبي َأَتى ُأَّمِتي َم ا ُيوَع ُد وَن‬
Lalu Rasulullah SAW bersabda: ‘Bintang-bintang ini merupakan amanah ( penjaga,
tanda keamanan ) bagi langit. Apabila bintang-bintang tersebut hilang, maka langit
akan tertimpa apa yang telah dijanjikan. Aku adalah amanah ( penjaga, tanda keamanan
) para sahabatku. Kalau aku sudah tidak ada, maka mereka para sahabatku, akan
tertimpa apa yang telah dijanjikan. Para sahabatku adalah amanah ( penjaga, tanda
keamanan ) umatku. Apabila para sahabatku telah tiada, maka umatku pasti akan
tertimpa apa yang telah dijanjikan kepada mereka”.[Diriwayatkan oleh Muslim no.
2531. Diriwayatkan pula oleh Ahmad 4/398-399].
)5 ‫ ص‬/ 12 ‫صحيح البخاري – (ج‬
‫َقاَل الَّنِبُّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اَل َتُسُّبوا َأْص َح اِبي َفَلْو َأَّن َأَح َد ُك ْم َأْنَفَق ِم ْثَل ُأُح ٍد َذ َهًبا َم ا َبَلَغ ُم َّد َأَح ِدِهْم‬
‫َو اَل َنِص يَفُه‬
Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabatku. Demi
Zat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, seandainya seorang dari kalian
menginfakkan emas seberat Gunung Uhud, maka belum bisa menyamai satu mud atau

6
separuhnya yang diinfakkan oleh seorang dari mereka.” (HR Bukhari dalam Shahih-nya
(3/1343) (3470), dan Muslim dalam Shahih-nya (4/1967) (2540))
Adapun Tabi’in mereka adalah murid dan pengikut setia para Sahabat. Demikian juga
Tabi’ut-Tabi’in dalam mengikuti Tabi’in.
‫ إّن الفتوى باألثار الّسلفية والفتاوى الصحابّية أولي باألخذ بها من أراء‬: ‫قال ابن قّيم الجوزية‬
‫ وإن قربها إلي الّصواب بحسب قرب أهلها من عصر الرسول صلوات هللا‬،‫المتأّخ رين وفتويهم‬
‫ وفتاوى التابعين‬،‫ وإّن فتاوى الّصحابة أولي أن يؤخذبها من فتاوى التابعين‬،‫وسالمه عليه وعلي أله‬
‫أولي من فتاوى تابعى التابعين‬...
Ibnul Qoyyim berkata: Sesungguhnya fatwa dari atsar as-Salafus Salih dan fatwa-
fatwa sahabat lebih utama untuk di ambil dari pada pendapat-pendapat dan fatwa-
fatwa mutaakhirin (orang belakang). Karena dekatnya fatwa terhadap kebenaran sangat
terkait dengan kedekatan pelakunya dengan masa Rasulullah Saw. maka fatwa-fatwa
sahabat lebih didahulukan untuk di ambil dari fatwa-fatwa tabi'in dan fatwa-fatwa
tabi'in lebih di dahulukan dari fatwa-fatwa tabiut-tabiin.
‫ فأفضل العلوم في تفسير القرآن ومعاني الحديث والكالم في الحالل والحرام ما كان‬: ‫قال ابن رجب‬
‫مأثورا عن الصحابة والتابعين وتابعيهم وأن ينتهي إلي أئمة اإلسالم المشهورين المقتدى بهم‬.
Ibnu Rajab berkata : Seutama-utama ilmu adalah dalam penafsiran al-Qur’an dan
makna-makna hadits serta dalam pembahasan halal dan haram yang ma'tsur dari
para sahabat, tabi'in dan tabiut-tabi'in yang berakhir pada Aimmah terkenal dan diikuti
.
Adapun dalil tentang sahabat , tabi’in, dan tabi’ut tabi’in sebagai berikut:

‫َو الَّساِبُقوَن ْاَألَّو ُلوَن ِم َن اْلُمَهاِج ِر يَن َو ْاَألنَص اِر َو اَّلِذ يَن اَّتَبُعوُهم ِبِإْح َس اٍن َرِض َي ُهللا َع ْنُهْم َو َر ُضوا َع ْنُه‬
‫} التوبة‬100{ ‫َو َأَع َّد َلُهْم َج َّناٍت َتْج ِر ي َتْح َتَها ْاَألْنَهاُر َخاِلِد يَن ِفيَهآ َأَبًدا َذ ِلَك اْلَفْو ُز اْلَعِظ يُم‬
artinya : Dan as-Sabiqunal awwalun dari orang – orang Muhajirin dan orang - orang
Anshar dan orang - orang yang mengikuti mereka dengan ihsan, Allah ridha kepada
mereka dan mereka ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka jannah
yang mengalir di bawahnya sungai – sungai, mereka kekal di dalamnya .
Itulah keberuntungan yang besar. ( at Taubah 100 ).
‫خيرالناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ثم يجيئ اقوام تسبق شهادة أحدهم يمينه ويمينه شها‬
}‫دته {البخاري و مسلم‬

7
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka kemudian
generasi setelah mereka, Kemudian datang suatu kaum yang kesaksiannya mendahului
sumpahnya. Dan sumpahnya mendahului kesaksiannya”. (Bukhari/Muslim)
Maksud ‫ قرني‬adalah generasi Sahabat ra. dan‫الذين يلونهم‬ yang pertama adalah Tabi’in
sedangkan ‫ الذين يلونهم‬yang kedua adalah generasi Tabi’ut-Tabi’in.
‫ طوبى لمن رآني وطوبى لمن رأى من رآنى طوبى لهم‬: ‫ قال رسول هللا‬:‫عن عبد هللا بن بسر قال‬
‫ طوبى لمن رآني وطوبى لمن رأى من رآني‬: ‫وحسن مآب {رواه الطبراني} وفي رواية الحاكم‬
‫وطوبى لمن رأي من رأي من رآني‬.
“Dari Abdullah bin Busr radliyallahu ‘anhu Rasulullah saw bersabda : Keberuntungan
bagi orang-orang yang melihatku, keberuntungan bagi orang yang bertemu dengan orang
yang melihatku. Bagi mereka keberuntungan dan tempat kembali yang baik” .
Sedangkan dalam riwayat Hakim ; Keberuntungan bagi orang melihatku, keberuntungan
bagi orang yang bertemu dengan yang melihatku, keberuntungan bagi orang yang
bertemu dengan orang yang bertemu dengan yang melihatku.

8
BAB III
PENUTUP

Kata sahabat menurut lughah jamak dari sahib artinya yang menyertai. Menurut
para ulama yang disebut "sahabat" adalah orang yang bertemu dengan Nabi saw dalam
keadaan beriman dan meninggal dunia sebagai pemeluk Islam. Maka, orang yang
bertemu dengan Nabi sedang dia belum memeluk agama Islam, maka tidaklah dipandang
sahabat. Orang yang menemui masa Nabi dan beriman kepadanya tetapi tidak
menjumpainya, seperti Najasi, atau menjumpai Nabi setelah Nabi wafat, seperti Abu
Dzu'aib, yang pergi dari rumahnya setelah ia beriman untuk menjumpai Nabi di
Madinah. Setiba di Madinah, Nabi telah wafat. Maka, baik Najasi dan Abu Dzu'aib,
mereka berdua termasuk sahabat Nabi.
Tabi'In menurut bahasa yaitu pengikut. Sedangkan yang disebut "tabi'in"
menurut istilah adalah orang yang bertemu dengan sahabat dan beriman kepada Nabi saw
serta meninggal dunia dalam keadaan beriman kepada Islam.
Keadilan para sahabat tabi’in dan tabi’ut tabi’in sudah sangat jelas di dalam
alqur’an dan hadits bahwa merekalah pembawa ajaran agama islam setelah nabi
Muhammad saw wafat, ada hadits yang mengatakan yang artinya sebagai berikut:
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka kemudian
generasi setelah mereka, Kemudian datang suatu kaum yang kesaksiannya mendahului
sumpahnya. Dan sumpahnya mendahului kesaksiannya”. (Bukhari/Muslim)

9
DAFTAR PUSTAKA

Bisri Musthafa, , al-Azwadu al-Musthafwiyah, Kudus: Menara Kudus, 1375 H hal. 23-24
Subhi As-Shalih, , Membahas Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. 69-75
Ash-Shiddiqiy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, cet ke 6 Yogyakarta: Bulan
Bintang, 1980, hal. 315-318
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung : Angkasa, 1987), Hlm. 29
Mahmud Aziz & Mahmud Yunus, Ilmu Musthalahah Hadis, (Jakarta : Jayamurni, 1974),
Hlm. 81
Badri Khaeruman, Otentitas Hadis (Studi Kritis atas Kajian Hadis
Kontemporer), (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), Hlm. 84
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009),
Hlm. 230
Ibid., Hlm. 231
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung : Angkasa, 1987), Hlm. 31
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
(Semarang,Pustaka Rizki Putra, 2002), Hlm. 209
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009),
Hlm. 166
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung : Angkasa, 1987), Hlm. 35
M. Erfan Soebahar, Aktualisasi Hadis Nabi di EraTeknologi Informasi, (Semarang:
Rasail Media Group, 2010), Hlm. 55
I'lamul Muwaqi'in IV/118
Fadlu ilmi salaf . Ibnu Rajab al-Hanbali. 58

10

Anda mungkin juga menyukai