Anda di halaman 1dari 115

PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA PENCURIAN

DILAKUKAN OLEH ANGGOTA GENG MOTOR DI KOTA


DEPOK
(ANALISIS PUTUSAN PN DEPOK No. 128/Pid.B/2018/PN. Depok)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Akhir


Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Disusun oleh :

Nama Mahasiswa : Muhamad Iqbal Arizeki


NIM : 16080055
Program Studi : Ilmu Hukum

PROGRAM STRATA SATU (S-1) ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA
JAKARTA
2022
PROGRAM STRATA SATU (S-1) ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI UNTUK DI UJI

Nama : Muhamad Iqbal Arizeki


NIM : 16080055
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul : PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA
PENCURIAN DILAKUKAN OLEH ANGGOTA
GENG MOTOR DI KOTA DEPOK
(ANALISIS PUTUSAN PN DEPOK No.
128/Pid.B/2018/PN. Depok)

Secara substansi telah menyatakan siap untuk di uji

Jakarta, April 2022


Disetujui oleh,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Nunuk Sulisrudatin, S.H., S.IP., M.Si. Aria Caesar Kusuma Atmaja, S.H., M.H.
NIDN : 9990207287 NIDN : 0318058107

Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma

Dr. Niru Anita Sinaga, S.H., M.H.


NIDN: 03-2710-6505

ii
PROGRAM STRATA SATU (S-1) ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Muhamad Iqbal Arizeki


NIM : 16080055

Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skripsi berjudul:


“PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA PENCURIAN
DILAKUKAN OLEH ANGGOTA GENG MOTOR DI KOTA DEPOK
(ANALISIS PUTUSAN PN DEPOK No. 128/Pid.B/2018/PN. Depok)” ini
adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan bukan
merupakan duplikasi ataupun plagiasi (jiplakan) dari hasil penelitian orang
lain. Sepengetahuan saya, topik/judul dari Skripsi ini belum pernah ditulis
oleh orang lain.
Apabila Skripsi ini terbukti merupakan hasil duplikasi atau plagiasi
(jiplakan) dari hasil penelitian orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang di berikan oleh Tim Penguji, termasuk sanksi akademik
berupa pencabutan Skripsi dan gelar akademik yang saya peroleh dari
penulisan Skripsi ini.
Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Jakarta, April 2022


Yang Menyatakan

Muhamad Iqbal Arizeki


NIM : 16080055

iii
PROGRAM STRATA SATU (S-1) ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA

PENGESAHAN SKRIPSI

PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DILAKUKAN


OLEH ANGGOTA GENG MOTOR DI KOTA DEPOK
(ANALISIS PUTUSAN PN DEPOK No. 128/Pid.B/2018/PN. Depok)

Diajukan oleh:

Nama Mahasiswa : Muhamad Iqbal Arizeki


NIM : 16080055
Program Studi : Ilmu Hukum

Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan dihadapan Sidang Tim Penguji Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma pada tanggal 11
Februari 2022 dan dinyatakan LULUS

TIM PENGUJI SIDANG SKRIPSI

1. Selamat Lumban Gaol, S.H.,M.Kn. (Ketua) ……………..


NIDN: 03-0709-7208

2. Indah Sari, S.H.,M.Si. (Anggota) ……………..


NIDN: 03-1502-7501

3. Aria Caesar Kusuma Atmaja, S.H.,M.H. (Anggota) ……………..


NIDN: 03-1805-8107

Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma

Dr. Niru Anita Sinaga, S.H., M.H.


NIDN: 03-2710-6505

iv
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi


Maha Penyayang, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-
Nya kepada kita semua, sehingga saya dapat menyelesaikan Penulisan
Skripsi dengan Judul “PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA
PENCURIAN DILAKUKAN OLEH ANGGOTA GENG MOTOR DI KOTA
DEPOK (ANALISIS PUTUSAN PN DEPOK No. 128/Pid.B/2018/PN.
Depok)”.

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat


guna menyelesaikan Program Studi Ilmu Hukum Program pada Fakultas
Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma, Jakarta. Penulis
menyadari bahwa didalam penyusunan Skripsi ini mungkin masih terdapat
banyak kekurangan yang disebabkan oleh kurang sempurnya dan
keterbatasan ilmu pengetahuan yang di kuasai penulis.

Skripsi ini dapat diselesaikan diantaranya berkat bantuan,


dorongan serta bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu disini penulis
berkeinginan mengucapkan terima kasih kepada:

1. Marsda TNI (Purn) Dr. Potler Gultom, S.H., M.M., selaku rektor
Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma, Jakarta;
2. Dr. Niru Anita Sinaga, S.H.,M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma;
3. Selamat Lumban Gaol, S.H., M.Kn., selaku Ketua Program Studi
Strata Satu (S1) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Dirgantara
Marsekal Suryadarma, Jakarta;
4. Lasmauli Noverita Simarmata, S.H., M.H., Selaku Sekretaris
Program Strata Satu (S1) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Marsekal Suryadarma, Jakarta;
5. Nunuk Sulisrudatin, S.H.,M.Si., selaku Sekretaris Program Strata
Dua (S2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Dirgantara

v
Marsekal Suryadarma, Jakarta juga sebagai Pembimbing I dalam
Penulisan Skripsi ini;
6. Aria Caesar Kusuma Atmaja, S.H., M.H., sebagai Pembimbing II
dalam Penulisan Skripsi ini, yang telah meluangkan banyak waktu
untuk membimbing dan membantu mengarahkan penulis dalam
penyesuaian Skripsi ini serta memberikan pesan moral, memberikan
motivasi dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengembangkan potensi baik akademik maupun non akademik;
7. Civitas Akademik Fakultas Hukum yang telah membantu selama
perkuliahan berlangsung;
8. (Bapak Ngadimin, Ibu Sukarni, dan Malika Fitria Azzahra), ayah, ibu,
adik dan keluarga penulis yang selalu memberikan doa, perhatian,
kasih sayang, cinta, kesabaran, dan dukungan selama penulis
menjalani Pendidikan sampai pada akhirnya penulis menyelesaikan
Skripsi ini;
9. Rekan-rekan serta sahabat-sahabat Fakultas Hukum Universitas
Dirgantara Marsekal Suryadarma juga Rekan-rekan LKBH FH
Unsurya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu
memberikan bantuan, motivasi dan cintanya selama penulis
menyelesaikan Skripsi ini.

Demikianlah, dengan segala kerendahan hati penulis berharap


semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
semua pihak yang membutuhkan.

Jakarta, April 2022

Muhamad Iqbal Arizeki


NIM : 16080055

vi
ABSTRAK

A. Nama dan NIM : Muhamad Iqbal Arizeki / NIM 16080055


B. Judul Skripsi : PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK
PIDANA PENCURIAN DILAKUKAN
OLEH ANGGOTA GENG MOTOR
DIKOTA DEPOK (ANALISIS PUTUSAN
PN DEPOK No. 128/Pid.B/2018/PN.
Depok)
C. Kata Kunci : Geng Motor, Kekerasan, Pencurian,
Pidana
D. Halaman : 97 + 2 Lampiran
E. Tahun Penyusunan Skripsi : 2021
F. Isi Skripsi : Kejahatan kriminalitas merupakan suatu
permasalahan yang banyak terjadi di sebuah kota, dari mulai pencurian,
perampokan, penculikan, pengeroyokan dan bahkan pembunuhan yang
sering terjadi. Perubahan pandangan hidup masyarakat akan
mempengaruhi motif tindak pidana.Salah satu hal yang sering terjadi dan
cukup banyak menarik perhatian adalah tindak kriminal yang dilakukan oleh
Geng Motor. Permasalahan timbul bagaimana pengaturan terhadap tindak
pidana pencurian dengan kekerasan oleh kelompok motor di Kota Depok
dalam perspektif hukum pidana di Indonesia Dan apa Pertimbangan Hukum
Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana dalam Putusan Pengadilan
Negeri Depok No. 128/Pid.B/2018/PN Dpk. Untuk menjawab permasalahan
tersebut, digunakan metode Penelitian Hukum Normatif (yuridis normatif)
atau penelitian hukum doktrinal dengan menggunakan pendekatan Undang-
Undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach) dan
pendekatan konseptual (conceptual approach), menggunakan data
sekunder, diperoleh dari sumber bahan hukum primer, sekunder dan tertier.
Bahwa Tindak Kekerasan yang dilakukan didalam suatu Kasus Pencurian
dengan maksud tujuan untuk memperlancar atau mempermudah pencurian
tersebut diatur didalam Pasal 365 ayat (1) yang mana dalam hal Perkara
Aquo ditegaskan oleh Pendapat Majelis Hakim, meskipun hanya 1 orang
Terdakwa yang melakukan Kekerasan didalam Pencurian Tersebut, maka
dianggap semua Terdakwa melakukannya. Bahwa hal ini didasari dari niat
dari para Terdakwa yang ingin mencuri Toko Pakaian Tersebut yang
menimbulkan kerugian yang sangat besar. Bahwa Pertimbangan Hukum
Majelis Hakim tersebut dapat menjadi suatu yurisprudensi terhadap tindak
pidana pencurian dengan kekerasan oleh geng motor. Bahwa terhadap
Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan tersebut, Kiranya terhadap
KUHP yang ada dibuat suatu perubahan yang berarti karena tidak adanya
ganti rugi terhadap kerugian yang dialami oleh korban. Baik secara materiil
maupun inmateriil terhadap efek dari kejahatan yang dilakukan oleh Para
Terdakwa kejahatan Pencurian dengan Kekerasan.

G. Daftar Referensi : 38 ( 27 Buku, 4 Perundang-undangan, 2


Putusan, 2 Jurnal, 3 Internet (1977–2018)).
H. Pembimbing I : Nunuk Sulisrudatin, S.H., S.IP., M.Si.

vii
Pembimbing II : Aria Caesar Kusuma Atmaja, S.H., M.H.

DAFTAR ISI

SKRIPSI............................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI UNTUK DI UJI..................................................ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI..........................................................iii
PENGESAHAN SKRIPSI..............................................................................................iv
KATA PENGANTAR......................................................................................................v
ABSTRAK......................................................................................................................vii
DAFTAR ISI...................................................................................................................viii
BAB I................................................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah....................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................6
C. Tujuan Penelitian................................................................................................7
D. Manfaat Penelitian..............................................................................................8
E. Sistematika Penulisan Skripsi.........................................................................9
BAB II.............................................................................................................................11
A. Tinjauan Pidana secara Umum......................................................................11
B. Teori Pemidanaan Secara Umum..................................................................32
C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencurian.................................38
D. Tinjauan Singkat Tentang Tindak Pidana Kekerasan..............................48
BAB III............................................................................................................................51
A. Jenis Penelitian.................................................................................................51
B. Pendekatan Penelitian.....................................................................................52
C. Jenis Data Penelitian........................................................................................53
D. Teknik Pengumpulan Data..............................................................................54
E. Sumber Bahan Hukum.....................................................................................55
F. Sistematika Penulisan Skripsi.......................................................................56
BAB IV............................................................................................................................58
A. Pengaturan terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan
dalam perspektif hukum pidana di Indonesia..................................................58

viii
B. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam menetapkan putusan
pidana kepada para terdakwa pada Putusan Pengadilan Negeri Depok
No. 128/Pid.B/2018/PN Dpk...................................................................................79
BAB V.............................................................................................................................97
A. Kesimpulan.........................................................................................................97
B. Saran....................................................................................................................98
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................99
DAFTAR RIWAYAT HIDUP..........................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................................1

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semenjak manusia dilahirkan, manusia telah bergaul dengan

manusia lainnya dalam wadah yang kita kenal sebagai masyarakat.

Mula-mula ia berhubungan dengan orang tuanya dan setelah usianya

meningkat dewasa ia hidup bermasyarakat, dalam bermasyarakat

tersebut manusia saling berhubungan dengan manusia lainnya.

Sehingga menimbulkan kesadaran pada diri manusia bahwa

kehidupan dalam bermasyarakat tersebut ditaati. Hubungan antara

manusia dengan manusia dan masyarakat diatur oleh serangkaian

nilai-nilai dan kaidah-kaidah.1 Perbuatan masyarakat yang dapat

merugikan kepentingan umum disebut dengan tindak pidana, yang

mana segala perbuatan tersebut memiliki hukum yang mengatur dari

tindakan tersebut.

Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana dinyatakan

dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 19452 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah

negara hukum,” dimana Indonesia menggabungkan beberapa sistem

hukum didalam konstitusinya. Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945 ini

mempunyai makna bahwasanya Indonesia adalah negara hukum


1
Zuleha, Dasar-dasar Hukum Pidana, Cet. 1, Ed. 1, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), hlm 1.
2
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk
selanjutnya dalam penulisan ini disebut/ditulis “UUD NRI 1945.”

1
yang pelaksanaan ketatanegaraanya dilaksanakan berdasarkan

peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Sehingga hukum sangat diperlukan untuk diterapkan ke dalam

sebuah negara agar bisa mengatasi permasalahan-permasalahan

yang terjadi di dalamnya sehingga tercapai suatu supremasi hukum

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai

negara berkembang yang memiliki penduduk yang sangat padat

terutama di kota-kota besar, Indonesia memiliki berbagai

permasalahan sosial yang timbul di tengah-tengah masyarakat.

Pergaulan antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya di

dalam kehidupan sehari-hari akan menimbulkan berbagai polemik

peristiwa atau kejadian yang memicu pergerakan peristiwa hukum.3

Selama periode tahun 2017-2019, jumlah kejadian kejahatan atau

tindak kriminalitas di Indonesia cenderung menurun. Seperti yang

disajikan pada data Kepolisian Republik Indonesia (Polri)

memperlihatkan jumlah kejadian kejahatan (crime total) pada 2017

sebanyak 336.652 kejadian, menurun menjadi sebanyak 294.281

kejadian pada tahun 2018 dan menurun pada tahun 2019 menjadi

269.324 kejadian. Sejalan dengan crime total, tingkat resiko terkena

tindak kejahatan (crime rate) setiap 100.000 penduduk juga

mengalami penurunan selama 3 tahun, yaitu 129 tahun 2017, menjadi

113 tahun 2018, dan menjadi 103 tahun 2019. Crime rate merupakan

3
Endrik Safudin, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Ed. 1, (Malang: Setara Press, 2017), hlm 45.

2
angka yang dapat menunjukkan tingkat kerawanan suatu kejahatan

pada suatu kota tertentu dalam waktu tertentu. Semakin tinggi angka

crime rate maka tingkat kerawanan akan kejahatan suatu daerah

semakin tinggi pula, dan sebaliknya.4

Pada tahun 2019 menunjukan bahwa jumlah kejadian kejahatan

hak milik/barang dengan kekerasan (pencurian dengan kekerasan) di

wilayah dengan jumlah terbanyak terdapat di Wilayah Polda Sumatera

Selatan yaitu sebanyak 723 kejadian. Di posisi kedua terbanyak

berada di wilayah Sumatera Utara dengan 685 kejadian. Dua wilayah

dengan jumlah kejadian kejahatan paling sedikit adalah di Sulawesi

Tenggara dan Maluku Utara masing-masing terjadi sebanyak 16 dan

6 kejadian.5

Kota Depok6 yang menjadi salah satu kota dengan penduduk

yang padat memiliki permasalahan kejahatan kriminalitas yang tinggi.

Kejahatan kriminalitas merupakan suatu permasalahan yang banyak

terjadi di sebuah kota, dari mulai pencurian, perampokan, penculikan,

pengeroyokan dan bahkan pembunuhan yang sering terjadi.

Banyaknya unsur kejahatan yang terjadi tentunya sangat meresahkan

serta mengganggu ketertiban, keamanan dan ketentraman warga

masyarakat Kota Depok itu sendiri. Perubahan pandangan hidup


4
Subdirektorat Statistik Politik dan Keamanan, Statistik Kriminal 2020, (Jakarta: Badan
Pusat Statistik Republik Indonesia, 2020), hlm 9.
5
Ibid., hlm 22.
6
Kota Depok adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat. Kota ini terletak tepat di selatan
Jakarta, yakni antara Jakarta dan Bogor. Dahulu Depok adalah kecamatan dalam wilayah
Kabupaten Bogor, yang kemudian mendapat status kota pada tanggal 27 April 1999. (diakses
melalui “Kota Depok” https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Depok pada hari Selasa, tanggal 11 Mei
2021, pukul 14.26 WIB).

3
masyarakat akan mempengaruhi motif tindak pidana. Salah satu hal

yang sering terjadi dan cukup banyak menarik perhatian adalah tindak

kriminal yang dilakukan oleh Geng Motor7. Belakangan ini tindakan-

tindakan yang dilakukan oleh Geng Motor semakin marak terjadi dan

sangat meresahkan masyarakat. Hal ini dikarenakan oleh faktor

tindakan yang mereka lakukan bukan lagi hanya sekadar

mengganggu ketertiban umum, misalnya dengan melakukan balapan

liar tetapi telah berkembang kearah tindak pidana kriminal yang lebih

sangat serius yaitu berupa pengeroyokan, pencurian, penjambretan,

perampokan, perusakan, penganiayaan, pengedaran barang-barang

terlarang bahkan sampai melakukan pembunuhan.

Berbeda dengan Club Motor, Club Motor biasanya

mempromosikan merek tertentu atau spesifikasi jenis motor tertentu

dengan memegang cap organisasi formal, seperti CCI (CBR Club

Indonesia), KOSTER (Komunitas Suzuki Thunder Indonesia), IDC

(Indonesia Bikers Club), HOC (Harley Owners Club), RGRC (RG

Riders Community), RGR Milenia, dan lain sebagainya. Club Motor

biasanya memiliki agenda sosial maupun agenda khusus yang sangat

bermanfaat diantaranya mengadakan kegiatan penggalangan dana

untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, membantu anak

yatim & piatu, maupun hanya sekedar agenda kopi darat (lebih

7
Geng motor adalah bagian dari suatu kultur (subkultur) masyarakat yang terbentuk dari
umumnya remaja putra atau pemuda dengan latar belakang sosial, daerah, ataupun sekolah yang
sama, yang mengasosiasikan diri dengan bersepeda motor sebagai wujud ekspresi. (diakses
melalui “Geng Motor” https://id.wikipedia.org/wiki/Geng_motor pada hari Selasa, tanggal 11 Mei
2021, pukul 14.35 WIB).

4
dikenal dengan kopdar) ataupun touring8 dan tidak mengganggu

ketertiban umum, sosial maupun bermasyarakat.

Namun, lain halnya yang dilakukan oleh Geng Motor di Kota

Depok ini, salah satu contoh kasus kriminal yang dilakukan geng

motor di Kota Depok adalah pencurian, penjarahan dan pengerusakan

sebuah Toko Pakaian Distro Fernando di Kota Depok yang dilakukan

oleh anggota Geng Motor Jembatan Mampang (Jepang) dan Geng

Motor Rawamaya Beji Rasta (RBR). Peristiwa seperti ini merupakan

masalah yang harus segera diungkap dan diselesaikan, agar

ketertiban, ketentraman dan keamanan dalam bermasyarakat tetap

terjaga dan terpelihara serta terciptanya situasi kondisi yang kondusif

terutama di Kota Depok.

Salah satu tindak pidana yang dilakukan oleh salah satu Geng

Motor di Kota Depok adalah pencurian yang disertai dengan

kekerasan sebagaimana yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri

Depok dalam Putusan Nomor 128/Pid.B/2018/PN Dpk. Bahwa tindak

pidana yang dilakukan oleh para terdakwa tersebut adalah tindak

pidana pencurian dengan kekerasan. Dalam Kitab Undang-Undang

8
Touring merupakan kegiatan berkendara dengan perjalanan jarak jauh, tidak jarang
kegiatan touring ini berkendara dari satu kota ke kota yang lain sampai satu provinsi ke provinsi
yang lain dengan menggunakan motor atau mobil pada Club Motor/Club Mobil tertentu.

5
Hukum Pidana9 tindak pidana pencurian dengan kekerasan diatur

dalam Pasal 365 ayat (1) KUHP10 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.11

Berdasarkan uraian latar belakang seperti tersebut diatas, penulis

tertarik untuk menelitinya secara mendalam dalam Skripsi dengan

judul “PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA PENCURIAN

DILAKUKAN OLEH ANGGOTA GENG MOTOR DIKOTA DEPOK

(ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK No.

128/Pid.B/2018/PN Dpk.).”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan penulis diatas,

maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana pencurian

dengan kekerasan dalam perspektif hukum pidana di Indonesia?

2. Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam menetapkan

putusan pidana kepada para terdakwa pada Putusan Pengadilan

Negeri Depok No. 128/Pid.B/2018/PN Dpk.?

9
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, untuk selanjutnya disebut/ditulis
“KUHP.”
10
Lihat, Pasal 365 ayat (1) KUHP berbunyi: “Diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian,
atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta
lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.”
11
Lihat, Pasal 55 ayat (1) KUHP berbunyi: “(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan
peristiwa pidana: 1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan
perbuatan itu; 2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau
pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya
atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.”

6
C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah terdiri dari tujuan subjektif

dan tujuan objektif, sebagai berikut:

1. Tujuan Subjektif

Adapun tujuan subjektif penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk menerapkan pengetahuan teori yang telah penulis

peroleh selama Pendidikan Ilmu Hukum dan

membandingkannya dengan praktek di lapangan antara lain

dalam mata Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana,

Penalaran dan Argumentasi Hukum serta Metode Penelitian

dan Penulisan Hukum.

b. Untuk dapat menambah pengetahuan yang lebih mendalam,

dalam bidang Hukum Pidana, dan Hukum Acara Pidana

2. Tujuan Objektif

Adapun tujuan objektif penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pengaturan hukum tindak pidana

pencurian disertai dengan kekerasan oleh kelompok motor di

Kota Depok dalam perspektif hukum pidana di Indonesia.

b. Untuk mengetahui pertimbangan Majelis Hakim dalam

menetapkan putusan pidana kepada para terdakwa pada

Putusan Pengadilan Negeri Depok No. 128/Pid.B/2018/PN

Dpk.

7
D. Manfaat Penelitian

Adapun penelitian ini memiliki beberapa manfaat baik secara

praktis, maupun secara teoritis sebagai berikut:

1. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Dapat menambah kemampuan para sarjana hukum baik

praktisi, akademisi maupun in-house lawyer dan masyarakat

umumnya dalam pemahaman dan menghadapi masalah-

masalah yang berkaitan dengan Pencurian dengan

Kekerasan;

b. Dapat menjadi salah satu bahan masukan dan pertimbangan

bagi mereka yang melakukan penelitian serupa dengan kajian

yang berbeda, dan pula memberikan pengetahuan tentang

Pertanggungjawaban tindak Pidana Pencurian dengan

Kekerasan.

2. Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Dapat memberikan informasi dan gambaran tentang

perkembangan hukum pidana yang berada di Indonesia yaitu

terkait dengan tindak pidana pencurian disertai dengan

kekerasan.

b. Dapat mendorong peneliti lain untuk lebih lanjut

mengembangkan kajian atau memperkuat konsep-konsep

8
yang dihasilkan oleh penelitian ini, sehingga dapat

memperkaya pengetahuan Hukum Pidana terutama tentang

Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan.

E. Sistematika Penulisan Skripsi

Penulisan Skripsi ini disusun dan disajikan dalam 5 (lima) bab

dimana dalam tiap-tiap bab dibagi sub bab dibagi menjadi beberapa

sub bab. Adapun sistematika penulisan Skripsi ini adalah sebagai

berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini akan menguraikan tentang Latar Belakang Masalah,

Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,

Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini dijelaskan mengenai Tinjauan Pidana secara Umum,

Teori Pemidanaan Secara Umum, Tinjauan Umum Tentang Tindak

Pidana Pencurian, Tinjauan Singkat Tentang Tindak Pidana

Kekerasan.

BAB III METODE PENELITIAN

9
Bab ini menjelaskan tentang Jenis Penelitian, Pendekatan

Penelitian, Jenis Data Penelitian, Alat Pengumpulan Data, Sumber

Bahan Hukum, Metode Analisis Data.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini mengurai tentang penjelasan pengaturan terhadap

tindak pidana pencurian dengan kekerasan oleh kelompok motor di

Kota Depok dalam perspektif hukum pidana di Indonesia dan

pertimbangan Majelis Hakim dalam menetapkan putusan pidana

kepada para terdakwa pada Putusan Pengadilan Negeri Depok No.

128/Pid.B/2018/PN Dpk.

BAB V PENUTUP

Bab ini mengurai tentang Kesimpulan dan Saran dari hasil

penelitian dan pembahasan.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pidana secara Umum

1. Pengertian Pidana dan Unsur Tindak Pidana

Pengertian dari istilah Hukum Pidana berasal dari Belanda

yaitu Straafrecht straaf dalam arti Bahasa Indonesia adalah

Sanksi, Pidana, Hukuman. Recht dalam arti Bahasa Indonesia

adalah Hukum. Menurut pakar Hukum dari Eropa yaitu Pompe,

menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah keseluruhan aturan

ketentuan Hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat

dihukum dan aturan pidananya.

Menurut Moeljatno mengatakan bahwa, Hukum Pidana adalah

bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara,

yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh

dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi

yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar

larangan tersebut.

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka

yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan

atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

11
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu

dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah

melanggar larangan tersebut.12

Kemudian pengertian istilah pidana menurut Simons

digolongkan menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut:

Hukum Pidana dalam arti Objektif adalah keseluruhan dari

larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang atas

pelanggarannya oleh Negara atau oleh suatu masyarakat hukum

umum lainnya telah dikaitkan dengan suatu penderitaan yang

bersifat khusus berupa hukuman, dan keseluruhan dari peraturan-

peraturan di mana syarat-syarat mengenai akibat hukum itu diatur

serta keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mengatur

masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari hukumannya itu

sendiri.

Sedangkan hukum pidana dalam arti subyektif dibedakan

menjadi dua, yaitu:

a. Hak dari Negara dan alat-alat kekuasaannya untuk

menghukum, yakni hak yang telah mereka peroleh dari

peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana

dalam arti objektif, pengertian hukum pidana dalam arti yang

demikian merupakan peraturan-peraturan yang bertujuan

membatasi kekuasaan dari Negara yang menghukum.

12
Moeljatno (1), Asas-asas Hukum Pidana , (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 1

12
b. Hak dari Negara untuk mengaitkan pelanggaran dengan

hukuman. Pengertian hukum pidana dalam arti subjektif yang

demikian juga disebut ius puniendi.13

Selanjutnya pengertian istilah pidana menurut pendapat dari

Satochid Kartanegara bahwa Hukum Pidana dapat dipandang dari

beberapa sudut, yaitu:

a. Hukum Pidana dalam arti Objektif, yaitu sejumlah peraturan

yang mengandung larangan-larangan terhadap

pelanggarannya diancam dengan hukuman.

b. Hukum Pidana dalam arti Subjektif, yaitu sejumlah peraturan

yang mengatur hak Negara untuk menghukum seseorang yang

melakukan perbuatan yang dilarang.14

Sementara pengertian istilah pidana menurut pendapat dari

Apeldoorn, menyatakan bahwa hukum pidana dibedakan dan

diberikan arti:

Hukum pidana Materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana

yang oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana, dimana perbuatan

pidana itu mempunyai dua bagian, yaitu bagian Objektif dan

bagian Subjektif.

Bagian Objektif merupakan suatu perbuatan atau sikapyang

bertentangan dengan hukum pidana positif, sehingga bersifat

melawan hukum yang menyebabkan tuntutan hukum dengan


13
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997),
hlm.3.
14
Teguh Prasetya, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 7

13
ancaman pidana atas pelanggarannya. sedangkan bagian

subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada pelaku

untuk dipertanggungjawabkan menurut hukum.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka pengertian

istilah pidana adalah sekumpulan peraturan hukum yang dibuat

oleh Negara, yang isinya berupa larangan maupun keharusan

sedang bagi pelanggar terhadap larangan dan keharusan tersebut

dikenakan sanksi yang dapat dipisahkan oleh Negara.

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya

dari dua sudut pandang, yaitu (1) dari sudut pandang teoritis dan

(2) dari sudut pandang Undang-undang. Maksud teoritis adalah

berdasarkan pendapat ahli hukum, yang tercermin dari pada

rumusannya. Sedangkan sudut Undang-undang adalah kenyataan

tindak pidana itu dirumuskan menjadi tinda pidana tertentu dalam

Pasal-pasal perundang-undangan yang ada.15

a. Unsur-unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis

Berdasarkan rumusan tindak pidana menurut Moeljatno,

maka unsur tindak pidana adalah perbuatan, yang dilarang

(oleh aturan hukum), ancaman pidana (bagi yang melanggar

larangan). Dari batasan yang dibuat Jonkers dapat dirincikan

unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan, melawan hukum

(yang berhubungan dengan), kesalahan (yang dilakukan oleh

15
Adami Chazawi (2), Pelajaran Hukum Pidana II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), hlm. 78.

14
orang yang dapat), dipertangungjawabkan. E.Y.Kanter dan SR.

Sianturi menyusun unsur-unsur tindak pidana yaitu:16

Ke-1 Subjek

Ke-2 Kesalahan

Ke-3 Bersifat melawan hukum (dari tindakan)

Ke-4 Suatu tindakan yang dilarang dan diharuskan oleh

UU/PerUU-an dan terhadap pelanggarnya diancam dengan

pidana

Ke-5 Waktu, tempat, keadaan (unsur objektif lainnya).

Sementara K. Wantjik Saleh menyimpulkan bahwa suatu

perbuatan akan menjadi tindak pidana apabila perbuatan itu:17

1) Melawan hukum

2) Merugikan masyarakat

3) Dilarang oleh aturan pidana

4) Pelakunya diancam dengan pidana.

Perumusan Simons mengenai tindak pidana, menunjukkan

unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:18

16
E.Y. Kanter & S.R. Sianturi, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
(Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 211.
17
K. Wantjik Saleh, Kehakiman dan Keadilan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 11.
18
Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983), hlm. 26-27.

15
1) Handeling, perbuatan manusia, dengan hendeling

dmaksudkan tidak saja eendoen (perbuatan) tetapi juga “een

natalen” atau “niet doen” (melalaikan atau tidak berbuat)

2) Perbuatan manusia itu harus melawan hukum

(wederrechtelijk)

3) Perbuatan itu diancam pidana (Strafbaarfeit Gesteld) oleh

UU

4) Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung

jawab (toerekeningsvatbaar).

5) Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan.

b. Unsur rumusan tindak pidana dalam Undang-undang

Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak

pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan dan

Buku III adalah pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu

disebutkan dalam setiap rumusan ialah tingkah laku/perbuatan,

walaupun ada perkecualian seperti Pasal 335 KUHP. Unsur

kesalahan dan melawan hukum terkadang dicantumkan dan

seringkali juga tidak dicantumkan. Sama sekali tidak

dicantumkan ialah mengenai unsur kemampuan

bertanggungjawab. Disamping itu banyak mencantumkan

unsur-unsur lain baik sekitar/mengenai objek kejahatan

maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu.

16
Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam

KUHP, maka dapat diketahui adanya delapan unsur tindak

pidana, yaitu:

1) Unsur tingkah laku

Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat, oleh

karena itu perbuatan atau tingkah laku harus disebutkan

dalam rumusan. Tingkah laku adalah unsur mutlak tindak

pidana. Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari

tingkah laku aktif atau positif (handelen) juga dapat disebut

perbuatan materiil (materiil feit) dan tingkah laku pasif atau

negatif (natalen). Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk

tingkah laku untuk mewujudkannya atau melakukannya

diperlukan wujud gerak atau gerakan-gerakan dari tubuh

atau bagian dari tubuh, sedangkan tingkah laku pasif

adalah berupa tingkah laku yang tidak melakukan aktivitas

tertentu tubuh atau bagian tubuh yang seharusnya

seseorang itu dalam keadaan tertentu, harus melakukan

perbuatan aktif, dan dengan tidak berbuat demikian

seseorang itu disalahkan karena melaksanakan kewajiban

hukumnya.

2) Unsur melawan hukum

Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau

terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifatnya bersumber

17
pada undang-undang (melawan hukum formil) dan dapat

bersumber dari masyarakat (melawan hukum materiil).

3) Unsur kesalahan

Kesalahan atau schuld adalah unsur mengenai

keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada

saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat

pada diri pelaku dan bersifat subyektif.

4) Unsur akibat konstitutif

Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada tindak pidana

materiil (materiel delicten) atau tindak pidana dimana akibat

menjadi syarat selesainya tindak pidana; tindak pidana

yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat

pidana, tindak pidana dimana akibat merupakan syarat

dipidananya pembuat.

5) Unsur keadaan yang menyertai

Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak

pidana yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku

dalam mana perbuatan dilakukan.

Unsur keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan

rumusan tindak pidana dapat:

a) Mengenai cara melakukan perbuatan;

b) Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan;

c) Mengenai obyek tindak pidana;

18
d) Mengenai subyek tindak pidana;

e) Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana; dan

f) Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana.

6) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana

Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan

yaitu tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika

adanya pengaduan dari yang berhak mengadu.

7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana

Unsur syarat ini bukan merupakan unsur pokok tindak

pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut

dapat terjadi tanpa adanya unsur ini.

8) Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana

Unsur ini berupa keadaan-keadaan tertentu yang timbul

setelah perbuatan dilakukan artinya bila setelah perbuatan

dilakukan keadaan ini tidak timbul, maka terhadap

perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan si pembuat

tidak dapat dipidana.19

2. Asas-Asas Hukum Pidana

Mengingat bahwa asas berguna untuk menentukan suatu

maksud dan tujuan dibentuknya suatu peraturan hukum, maka

perlu ditegaskan pula bahwa urgensi asas dalam undang-undang

untuk memperjelas maksud serta tujuan diberlakukannya suatu

peraturan dalam undang-undang.


19
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 83-111.

19
Bellefroid dikutip dari Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya “Asas

Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana”, terkait

dengan asas hukum umum, menyatakan sebagai berikut : 20

“Asas hukum umum itu merupakan pengendapan hukum positif


dalam suatu masyarakat. Demikian pula menurut van Eikema
Hommes yang menyatakan bahwa asas hukum tidak boleh
dianggap sebagai norma- norma hukum yang konkret, akan
tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau
petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku.”

Asas hukum umum itu kedudukannya abstrak dan bukan

merupakan suatu norma-norma hukum yang konkret, dalam artian

norma-norma hukum konkret yang telah atau pernah terjadi dalam

pergaulan masyarakat. Pada asas hukum yang sifatnya abstrak,

mengandung nilai-nilai atau kaidah-kaidah hukum yang dapat

diterapkan terhadap norma-norma hukum konkret tertentu.

Lebih lanjut, terkait dengan asas hukum, Dewa Gede Atmadja

dalam Jurnalnya berjudul “Asas-Asas Hukum dalam Sistem

Hukum” mengutip pendapat dari Paul Scholten, yaitu sebagai

berikut :21

“Asas-asas hukum itu “tendensi-tendensi yang disyaratkan


kepada hukum oleh paham kesusilaan kita”. Dipahami asas-
asas hukum itu sebagai pikiran-pikiran dasar yang terdapat di
dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing
dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengan ketentuan-
ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat
dipandang sebagai penjabarannya.”

20
Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, (Jakarta:
Erlangga, 2009), hlm. 19.
21
Dewa Gede Atmadja, “Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum,” Kertha Wicaksana,
(Vol. 12, No. 2, Agustus 2018),hlm. 146.

20
Eksistensi dari asas-asas hukum itu sendiri, yakni ada pada

peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

Adapun implementasi serta implikasi dari asas-asas hukum itu

tercermin dalam penegakan hukum itu sendiri. Oleh sebab itu,

pendapat Paul Scholten di atas yang menyinggung soal paham

kesusilaan, merupakan nilai-nilai yang dipegang dan terus

dipertahankan oleh masyarakat.

Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo dikutip dari Dewa Gede

Atmadja kemudian menyimpulkan terkait dengan asas hukum

umum itu, yakni sebagai berikut : 22

“Bahwa asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan


hukum konkret, melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya
atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret
yang terdapat dalam dan di belakang sistem hukum yang
terjelma dalam peraturan perundang- undangan dan putusan
hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan
dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret
tersebut. Ditegaskan lagi, bahwa asas hukum bukanlah kaedah
hukum yang konkret, melainkan latar belakang peraturan yang
konkret dan bersifat umum atau abstrak.”

Oleh karena asas hukum atau prinsip hukum bukanlah

peraturan hukum konkret, maka kedudukan asas hukum atau

prinsip hukum ini kedudukannya berbeda dengan peraturan

hukum konkret. Kita ambil contoh asas legalitas dalam hukum

pidana, kedudukannya sebagai dasar peraturan pidana itu

diberlakukan. Atas dasar adanya asas di dalam suatu peraturan

22
Ibid

21
perundang-undangan, maka peraturan yang konkret itu dapat

memiliki arah dan tujuan saat diberlakukan.

a. Asas Legalitas

Asas legalitas ini bersifat fundamental dalam hukum

pidana, khususnya KUHP. Terkait dengan diberlakukannya

suatu aturan pidana, maka asas legalitas dalam KUHP

berperan sebagai tolak ukur untuk menentukan suatu

perbuatan menjadi tindak pidana. Adapun cara menentukan

perbuatan menjadi tindak pidana yaitu melalui peraturan

hukum konkret, misal pasal-pasal yang ada dalam KUHP yang

menentukan suatu perbuatan yang dilarang dan dikenai sanksi.

Sementara, peran asas legalitas yang menjadi tolak ukur

tersebut memiliki maksud dan tujuan.

Menurut Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan

dengan terminologi sebagai, tiada suatu perbuatan dapat

dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut

undang-undang yang telah diadakan lebih dulu.23

Apabila diikuti prinsip yang dianut KUHP yang sekarang

berlaku, maka dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 1 (1)

KUHP yang menyatakan :

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas


kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang
telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.”

23
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 59.

22
Ketentuan pasal 1 (1) KUHP di atas mengandung

pengertian, bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang

hanya dapat diberlakukan terhadap suatu tindak pidana yang

terjadinya sesudah ketentuan pidana dalam undang-undang itu

diberlakukan.24

Dengan demikian, pasal 1 (1) KUHP mengatur tentang

berlakunya aturan pidana terhadap perbuatan atau tindak

pidana yang telah diatur di dalam undang-undang. Asas

legalitas dalam pasal 1 (1) KUHP merupakan dasar dari

berlakunya aturan pidana terhadap perbuatan yang diatur

dalam undang-undang. Sehingga, dapat dipahami bahwa asas

legalitas pasal 1 (1) KUHP berlaku untuk waktu kedepan, yakni

berlaku sesudah aturan pidana diberlakukan, dan tidak berlaku

surut atau berlaku sebelum aturan pidana itu diberlakukan.

Moh Khasan dalam tulisannya, memberikan sedikit gambaran

terkait problematika yang dihadapi oleh asas legalitas dalam

Pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu sebagai berikut :25

”Asas legalitas sering dilihat sebagai ketentuan yang secara


absolut dianggap benar sehingga secara formil pasti telah
mewakili rasa keadilan masyarakat. Oleh sebab itu maka
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang harus
ditegakkan bagaimanapun caranya dan mesti diperlakukan
sebagai representasi dari nilai-nilai keadilan. Konsekuensi
dari pola pikir dan paradigma seperti ini tentu saja adalah

24
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang: UMM Press, 2008),hlm 45.
25
Moh Khasan, Prinsip-Prinsip Keadilan Hukum Dalam Asas Legalitas Hukum Pidana
Islam, Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, (Vol. 6, No. 1, April 2017), hlm.
23.

23
persepsi yang berlebihan dengan menganggap bahwa
hukum adalah undang-undang dan undang-undang sama
dengan hukum. Paradigma formalistik dalam melihat hukum
ini telah berakibat semakin sulitnya menemukan keadilan
sejati. Yang ada adalah keadilan yang formal, sempit dan
kaku, yakni keadilan yang tidak mewakili semua hak dan
kepentingan, baik hak korban, pelaku, negara, dan
masyarakat.”

Oleh karena itu, asas legalitas yang telah dirumuskan

dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang mendasarkan seseorang

telah dianggap melakukan tindak pidana ialah berdasarkan

peraturan perundang-undangan, yang dipandang sebagai

paradigma formalistik oleh sebagian besar masyarakat.

b. Asas Teritorial

Guna menentukan tempat berlakunya peraturan pidana,

maka hal mendasar yang harus dijadikan sebagai landasan

ialah menentukan batas-batas teritorial berlakunya hukum

pidana. Adapun menentukan batas-batas teritorial tersebut,

ditentukan melalui asas hukum yang menjadi landasan

berlakunya peraturan hukum konkret.

Menurut Dr. Tongat, SH., M.Hum, asas teritorial terdapat

dalam rumusan pasal 2 KUHP yang menyatakan :

“Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia


berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana
di dalam (wilayah/teritorial) Indonesia.”

Titik berat asas teritorial ini adalah pada tempat atau

teritorial atau wilayah terjadinya tindak pidana. Jadi asas ini

menitikberatkan pada terjadinya perbuatan di dalam wilayah

24
atau teritorial negara, dengan mengesampingkan siapa yang

melakukannya. Dengan rumusan setiap orang, maka

mengandung pengertian siapa saja, baik warga negara

Indonesia sendiri maupun warga negara asing.26

Asas teritorial merupakan wilayah berlakunya hukum

pidana, di dalam pasal 2 KUHP, menyatakan setiap orang,

berarti siapa saja yang melakukan perbuatan pidana dapat

dijatuhi sanksi pidana. Sehingga, KUHP dapat berlaku bagi

siapa saja yang melakukan perbuatan pidana di dalam wilayah

negara Indonesia.

c. Asas Perlindungan

Tujuan dengan adanya asas perlindungan ini, yakni

sebagai perlindungan hukum guna menciptakan keadilan serta

kepastian hukum melalui peraturan pidana, khususnya KUHP.

Menurut Tongat dalam bukunya terkait dengan asas

perlindungan dalam KUHP, yaitu sebagai berikut : 27

“Asas ini sering juga disebut dengan asas nasional pasif.


Asas ini memuat prinsip bahwa peraturan hukum pidana
Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang
kepentingan hukum negara Indonesia, baik dilakukan oleh
warga negara Indonesia atau bukan warga negara Indonesia
yang dilakukan di luar Indonesia.”

26
Ibid, hlm. 69.
27
Ibid, hlm. 71.

25
Tempat terjadinya tindak pidana yang dimaksud dalam

asas perlindungan/asas nasional pasif ini, yakni Locus Delicti

terjadi diluar wilayah Indonesia.

Diterapkannya asas perlindungan/asas nasional pasif ini

hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan yang sungguh-

sungguh melanggar kepentingan nasional yang sangat penting

yaitu kepentingan hukum negara. Kepentingan hukum nasional

yang dipandang membutuhkan perlindungan adalah perbuatan

yang diatur dalam tiga pasal, yaitu Pasal 4 ke-1, ke-2, ke-3,

pasal 7 dan pasal 8 KUHP yaitu kepentingan nasional yang

berupa :28

1) Terjaminnya keamanan Negara dan terjaminnya

keselamatan serta martabat kepala Negara dan wakilnya;

2) Terjaminnya kepercayaan terhadap mata uang, materai-

materai dan merk-merk yang telah dikeluarkan oleh

pemerintah Indonesia;

3) Terjaminnya kepercayaan terhadap surat-surat atau

sertifikat- sertifikat hutang yang telah dikeluarkan oleh

pemerintah Indonesia;

4) Terjaminnya para pegawai Indonesia tidak melakukan

kejahatan di luar negeri;

28
Ibid, hlm. 72.

26
5) Terjaminnya keadaan, bahwa nahkoda dan atau

penumpang- penumpang perahu Indonesia tidak melakukan

kejahatan atau pelanggaran pelayaran di luar Indonesia.

Dengan demikian, asas perlindungan atau biasa disebut

asas nasional pasif ini, merupakan bentuk perlindungan

terhadap kepentingan nasional/kepentingan negara Indonesia

yang diatur dengan ketentuan-ketentuan pidana.

d. Asas Personalitas

Asas personalitas ini lebih menekankan terhadap

perbuatan seseorang (WNI) yang melakukan tindak pidana di

luar wilayah negara Indonesia, karena sebagai asas dalam

KUHP, asas ini menentukan arah dan tujuan peraturan pidana

yang konkret, yakni peraturan pidana khususnya terkait dengan

perbuatan seseorang yang melanggar KUHP di luar wilayah

Indonesia.

Asas personalitas dan asas nasionalitas aktif adalah

sama, hanya berbeda istilah. Asas personalitas atau asas

nasionalitas aktif merupakan asas tentang keberlakuan hukum

pidana Indonesia, dimana ketentuan-ketentuan hukum pidana

Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang

melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Indonesia.

Pasal 5 KUHP berbunyi sebagai berikut :

27
“(1) Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia
berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan di
luar Indonesia :
a) Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II
Buku Kedua, dan dalam pasal-pasal 160, 161, 240, 279,
450, dan 451;
b) Suatu perbuatan terhadap suatu yang dipandang
sebagai kejahatan menurut ketentuan pidana dalam
undang-undang negeri, tempat perbuatan itu dilakukan.
(2) Penuntutan terhadap suatu perbuatan yang dimaksudkan
pada huruf b boleh juga dilakukan, jika tersangka baru
menjadi warga negara Indonesia setelah melakukan
perbuatan itu.”
Lebih lanjut terkait dengan pasal 5 KUHP ini, R. Soesilo

dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP

serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (hal.

33), menjelaskan bahwa dalam pasal ini diletakkan prinsip

nationaliteit aktief atau personaliteit. Warga negara Indonesia

yang berbuat salah satu dari kejahatan-kejahatan sebagaimana

tersebut dalam sub I dari pasal ini, meskipun di luar Indonesia,

dapat dikenakan undang- undang pidana Indonesia. Apabila

mereka itu berbuat peristiwa pidana lainnya yang oleh undang-

undang Indonesia dipandang sebagai kejahatan (pelanggaran

tidak), hanya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia, jika

perbuatan yang dilakukan itu oleh undang-undang di negara

Asing dimana perbuatan itu dilakukan, diancam pula dengan

hukuman.29

29
Sovia Hasanah, Arti Asas Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif dalam Hukum Pidana,
dipublikasikan pada 28 Mei 2018,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5b07770d798f2/arti-asas-personalitas-atau-
asas-nasionalitas-aktif-dalam-hukum-pidana, diakses 11 Desember 2020.

28
Asas personalitas atau asas nasional aktif ini, merupakan

dasar berlakunya aturan pidana terhadap warga negara

Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah

Indonesia.

e. Asas Universal

Sebagai negara anggota PBB (Perserikatan Bangsa-

Bangsa), maka negara Indonesia otomatis berpartisipasi

terhadap penyelenggaraan hukum dunia. Dengan adanya asas

universal ini, maka kepentingan yang dilindungi tidak hanya

kepentingan negara Indonesia saja, tetapi juga kepentingan

hukum dunia.

Asas ini sering disebut juga asas penyelenggaraan

hukum dunia. Berlakunya asas ini tidak saja untuk melindungi

kepentingan nasional Indonesia, tetapi juga untuk melindungi

kepentingan hukum dunia. Dengan asas ini, maka aturan

pidana dalam perundang- undangan Indonesia juga berlaku

baik terhadap warga Negara Indonesia maupun warga negara

asing yang melakukan tindak pidana di luar teritorial Indonesia.

Asas ini termuat dalam ketentuan pasal 4 angka 2 dan angka 4

KUHP.30

Pasal 4 angka 2 berbunyi :

“Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas


yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai

30
Tongat, 2008, Op.Cit, hlm. 78.

29
materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh
Pemerintah Indonesia”,

sedangkan Pasal 4 angka 4 berbunyi :

“Salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438,


444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal
447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan
bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan
pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l,
m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam
keselamatan penerbangan sipil.”

3. Hukum Pidana dan Pemidanaan

Kata hukum pidana pertama-tama digunakan untuk merujuk

pada keseluruhan ketentuan yang menetapkan syarat-syarat apa

saja yang mengikat negara, bila negara tersebut berkehendak

untuk memunculkan hukum mengenai pidana, serta aturan-aturan

yang merumuskan pidana macam apa saja yang diperkenankan.

Hukum pidana dalam pengertian ini adalah hukum pidana yang

berlaku atau hukum pidana positif, yang juga sering disebut jus

poenale. Hukum pidana demikian mencangkup :31

a. Perintah dan larangan yang atas pelanggaran terhadapnya

oleh organ-organ yang dinyatakan berwenang oleh undang-

undang dikaitkan (ancaman) pidana; norma-norma yang harus

ditaati oleh siapa pun juga.

b. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa

yang dapat didayagunakan sebagai reaksi terhadap

31
Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari KUHP
Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2003),
hlm. 1.

30
pelanggaran norma- norma itu; hukum penitensier atau lebih

luas, hukum tentang sanksi.

c. Aturan-aturan yang secara temporal atau dalam jangka waktu

tertentu menetapkan batas ruang lingkup kerja dari norma-

norma.

Bahwa hukum pidana dapat juga dipergunakan dalam arti

subyektif, disini berbicara tentang jus puniendi, hak untuk

memidana. Dimengerti dengan itu adalah hak dari negara dan

organ-organnya untuk mengkaitkan (ancaman) pidana pada

perbuatan-perbuatan tertentu.32

Selanjutnya pengertian Hukum Pidana menurut Moeljatno

adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di satu

negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:33

a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh

dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi

yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar

larangan tersebut.

b. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang

telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau

dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

32
Ibid
33
Moeljatno (1), Op.Cit, hlm. 1.

31
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu

dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah

melanggar larangan tersebut.

d. Pidana Mati

B. Teori Pemidanaan Secara Umum

Pada umumnya teori pemidanaan dibagi menjadi tiga golongan

besar, yang dapat diuraikan sebagai berikut: 34

1. Pengertian Teori Absolut

Teori Absolut atau Teori Pembalasan, Teori ini mengatakan,

bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang

menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan.

Immanuel Kant mengatakan bahwa konsekuensi tersebut adalah

suatu akibat logis yang menyusul tiap kejahatan. Menurut rasio

praktis, maka tiap kejahatan harus disusul oleh suatu pidana. Oleh

karena menjatuhkan pidana itu sesuatu yang menurut rasio

praktis, dengan sendirinya menyusul suatu kejahatan yang terlebih

dahulu dilakukan, maka menjatuhkan pidana tersebut adalah

sesuatu yang dituntut oleh keadilan etis.

Tetapi Leo Polak tidak dapat menerima teori Kant, karena

teori itu menggambarkan pidana sebagai suatu paksaan (dwang)

belaka. Pada dasarnya Pidana harus bersifat suatu penderitaan

yang dapat dipertanggungjawabkan kepada etika. Pidana itu bukan


34
Andi Hamzah, 1994, Op.Cit, hlm. 15.

32
penderitaan, karena pidana hendak memaksa. Menurut Leo Polak,

pemidanaan harus memenuhi tiga syarat:35

a. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu

perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan

dengan kesusilaan dan tata hukum objektif.

b. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi.

Pidana tidak boleh memperhatikan apa yang mungkin akan

atau dapat terjadi. Jadi, pidana tidak boleh dijatuhkan dengan

suatu maksud prevensi. Umpamanya pidana dijatuhkan dengan

maksud prevensi, maka kemungkinan besar penjahat diberi

suatu penderitaan yang beratnya lebih daripada maksimum

yang menurut ukuran-ukuran obyektif boleh diberi kepada

penjahat. Menurut ukuran obyektif berarti sesuai dengan

beratnya delik yang dilakukan penjahat.

c. Beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik.

Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini

perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil. Drs.

Gerson W. Bawengan,SH. menolak teori absolut atau teori

pembalasan dengan berdasar tiga unsur :

1) Tidak ada yang absolut di dunia ini, kecuali Tuhan Yang

Maha Esa.

2) Pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan

pemuasan emosionil kepada pemegang kekuasaan dan


35
Ibid

33
merangsang ke arah sifat-sifat sadistis, sentimentil. Oleh

karena itu kepada para penonjol teori pembalasan itu,

dapatlah diterka bahwa mereka memiliki sifat-sifat sadistis.

Dan karena itu pula ajaran mereka lebih condong untuk

dinamai teori sadisme.

3) Tujuan hukuman dalam teori itu adalah hukuman itu sendiri.

Dengan demikian teori itu mengalami suatu jalan buntu, oleh

karena tujuannya hanya sampai pada hukuman itu sendiri.

Adalah suatu tujuan yang tak bertujuan, sebab dipengaruhi

dan disertai nafsu membalas.

2. Pengertian Teori Relatif

Teori Relatif atau Teori Tujuan, Menurut teori relatif, maka

dasar pemidanaan adalah pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh

sebab itu, tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan

(prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi

dari pemidanaan ialah prevensi umum dan prevensi khusus.

Dalam prevensi umum seperti dikemukakan oleh Von Feuerbach,

ialah jika seseorang terlebih dulu mengetahui bahwa ia akan

mendapat suatu pidana apabila ia melakukan suatu kejahatan,

maka sudah tentu ia akan lebih berhati-hati.

Akan tetapi, penakutan tersebut bukan suatu jalan mutlak

(absolut) untuk menahan orang melakukan suatu kejahatan.

Sering suatu ancaman pidana belum cukup kuat untuk menahan

34
mereka yang sudah merencanakan melakukan suatu kejahatan

yaitu khususnya mereka yang sudah biasa tinggal dalam penjara,

mereka yang belum dewasa pikirannya, para psikopat dan lain-

lainnya.

Yang menjadi keberatan terhadap teori prevensi umum seperti

yang dikemukakan oleh Von Feuerbach adalah apakah sesuatu

ancaman pidana itu sesuai atau tidak dengan beratnya kejahatan

yang dilakukan. Pembela teori prevensi khusus terutama adalah

Van Hamel dari Belanda. Van Hamel membuat suatu gambaran

tentang pemidanaan yang bersifat prevensi khusus, sebagai

berikut :36

a. Pemidanaan harus memuat suatu anasir menakutkan supaya

si pelaku tidak melakukan niat yang buruk. Menurut Drs.

Gerson W. Bawengan,SH. ancaman hukuman itu walaupun

mempunyai unsur menakutkan, tetapi pada prakteknya tidak

berdaya untuk mencegah kejahatan. Takut akan sesuatu tidak

selalu mengakibatkan orang menghindari apa yang

ditakutkannya.

b. Pemidanaan harus memuat suatu anasir yang memperbaiki

bagi terpidana.

c. Pemidanaan harus memuat suatu anasir membinasakan bagi

penjahat yang sama sekali tidak dapat diperbaiki lagi.

36
G.W. Bawengan, Masalah Kejahatan Dengan Sebab dan Akibat, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1977), hlm. 68.

35
d. Tujuan satu-satunya dari pemidanaan adalah

mempertahankan tata tertib hukum.

Menurut pandangan modern, prevensi khusus sebagai tujuan

dari hukum pidana adalah merupakan sasaran utama yang akan

dicapai. Sebab tujuan pemidanaan di sini diarahkan ke pembinaan

atau perawatan bagi si terpidana, yang berarti dengan pidana itu

ia harus dibina sedemikian rupa, sehingga selesai menjalani

pidananya ia menjadi orang yang lebih baik daripada sebelum ia

mendapat pidana. Menurut Prof. Soedarto, SH.,keberhasilan

pembinaan tersebut dapat dilihat dari besar kecilnya residivisme,

artinya apakah orang yang telah dipidana dan mendapat

perawatan atau pembinaan itu masih melakukan tindak pidana lagi

atau tidak.

3. Pengertian Teori Menggabungkan

Teori Menggabungkan, Dengan adanya keberatan-keberatan

terhadap teori pembalasan dan teori tujuan, maka timbullah

golongan ketiga yang mendasarkan pada jalan pikiran bahwa

pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan

mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterangkan secara

kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya

tanpa menghilangkan unsur yang ada. Teori menggabungkan ini

dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:37


37
Ibid; hlm 69

36
a. Teori menggabungkan yang menitikberatkan pembalasan,

tetapi membalas itu tidak boleh melampaui batas apa yang

perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata

tertib masyarakat;

b. Teori menggabungkan yang menitikberatkan pada pertahanan

tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat daripada

suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya

perbuatan yang dilakukan oleh terpidana;

c. Teori menggabungkan yang menganggap kedua asas tersebut

harus dititikberatkan sama.

Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan

pula dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan

dengan penghukuman. Kalau orang mendengar kata “hukuman”,

biasanya yang dimaksud adalah penderitaan yang diberikan

kepada mereka yang melanggar hukum pidana. Pemidanaan atau

pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan

seseorang di dalam masyarakat, terutama apabila menyangkut

kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan di

masyarakat, yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasannya.38

Memahami pengertian pemidanaan yang telah diuraikan di

atas berarti perlu diketahui tentang adanya perbuatan sesorang

yang terlebih dahulu melanggar tindak pidana yang diatur didalam

38
Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas
Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 13.

37
suatu undang-undang pidana, sehingga kemudian dikenal ada

perbuatan yang diatur tersebut sebagai tindak pidana.

C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencurian

1. Pengertian Pencurian

Dari segi bahasa (etimologi) pencurian berasal dari kata “curi”

yang mendapat awalan pe-dan akhiran-an. Kata curi sendiri

artinya mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak

sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi.39 Pencurian dalam

Kamus Hukum adalah mengambil milik orang lain tanpa izin atau

dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi. 40

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, arti dari kata “curi”

adalah mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak

sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Sedangkan arti

“pencurian” proses, cara, perbuatan. Kejahatan terhadap harta

benda adalah penyerangan terhadap kepentingan hukum orang

atas harta benda milik orang. Dalam buku II KUHP telah

dirumuskan secara sempurna, artinya dalam rumusannya memuat

unsur-unsur secara lengkap, baik unsur-unsur obyektif maupun

unsur-unsur subyektif.

Unsur obyektif dapat berupa, unsur perbuatan materiil, unsur

benda atau barang, unsur keadaan yang menyertai obyek benda,

unsur upaya untuk melakukan perbuatan yang dilarang, unsur


39
Zainal Abidin, Hukum Pidana I ,(Jakarta:Sinar Grafika, 2007), hlm, 346-347.
40
Adami Chazawi (1), Pelajaran Hukum Pidana , (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,
2002), hlm. 112-114

38
akibat konstitutif. Unsur subyektif dapat berupa; unsur kesalahan,

unsur melawan hukum.

Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya

dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP adalah berupa rumusan

pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi :

“barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau


sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan
pidana penjara paling lama 5 Tahun atau denda paling banyak
Rp.900,00,-“.41

Untuk lebih jelasnya, apabila dirinci rumusan itu terdiri dari

unsur-unsur objektif (perbuatan mengambil, objeknya suatu

benda, dan unsur keadaan yang melekat pada benda untuk

dimiliki secara sebagian ataupun seluruhnya milik orang lain) dan

unsur-unsur subjektif (adanya maksud, yang ditujukan untuk

memiliki, dan dengan melawan hukum).

2. Unsur-Unsur Pencurian

Suatu perbuatan atau peristiwa, baru dapat dikatakan sebagai

pencurian apabila terpenuhinya semua unsur dari pencurian

tersebut. Adapun unsur-unsur dari pencurian, yaitu :

a. Objektif

1) Unsur Perbuatan Mengambil (wegnemen)

Unsur pertama dari tindak pidana pencurian ialah

perbuatan “mengambil” barang. Kata “mengambil”

41
Lihat, Pasal 362 KUHP.

39
(wegnemen) dalam arti sempit terbatas pada menggerakan

tangan dan jari-jari, memegang barangnnya, dan

mengalihkannya ke lain tempat.42

Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil

ini menunjukan bahwa pencurian adalah berupa tindak

pidana formil. Mengambil adalah suatu tingkah laku

positif/perbuatan materill, yang dilakukan dengan gerakan-

gerakan yang disengaja. Pada umumnya menggunakan jari

dan tangan kemudian diarahkan pada suatu benda,

menyentuhnya, memegang, dan mengangkatnya lalu

membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau dalam

kekuasaannya. Unsur pokok dari perbuatan mengambil

harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan

berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam

kekuasaannya.

Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat

dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu

benda dengan membawa benda tersebut ke dalam

kekuasaanya secara nyata dan mutlak. Unsur

berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata

adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan

mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk

42
Ibid, hlm. 115-116

40
menjadi selesainya suatu perbuatan pencurian yang

sempurna.

2) Unsur Benda

Pada objek pencurian,sesuai dengan keterangan dalam

Memorie van toelichting (MvT) mengenai pembentukan

Pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda-benda

bergerak (roerend goed). Benda-benda tidak bergerak, baru

dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari

benda tetap dan menjadi benda bergerak.43

Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud

dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan

mengambil. Benda yang bergerak adalah setiap benda

yang sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat

dipindahkan (Pasal 509 KUHPerdata). Sedangkan benda

yang tidak bergerak adalah benda-benda yang karena

sifatnya tidak dapat berpindah atau dipindahkan, suatu

pengertian lawan dari benda bergerak.

3) Unsur Sebagian Maupun Seluruhnya Milik Orang Lain

Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain,

cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik

pelaku itu sendiri. Contohnya seperti sepeda motor milik

bersama yaitu milik A dan B, yang kemudian A mengambil

dari kekuasaan B lalu menjualnya. Akan tetapi bila semula


43
Ibid.

41
sepeda motor tersebut telah berada dalam kekuasaannya

kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi

melainkan penggelapan (Pasal 372 KUHP).

b. Subjektif:

1) Maksud Untuk Memiliki

Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni

unsur pertama maksud (kesengajaan sebagai maksud atau

opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam

pencurian, dan kedua unsur memilikinya. Dua unsur itu

tidak dapat dibedakan dan dipisahkan satu sama lain.44

Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang

lain itu harus ditujukan untuk memilikinya, dari gabungan

dua unsur itulah yang menunjukan bahwa dalam tindak

pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mengisyaratkan

beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan

pelaku, dengan alasan. Pertama tidak dapat mengalihkan

hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum, dan

kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya

(subjektif) saja. Sebagai suatu unsur subjektif, memiliki

adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan

barang miliknya. Apabila dihubungkan dengan unsur

maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil

44
Ibid hal. 117-118

42
dalam diri pelaku sudah terkandung suatu kehendak (sikap

batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.

2) Melawan Hukum

Adapun unsur melawan hukum dalam tindak pidana

pencurian menurut Moeljatno ialah :

“Maksud memiliki dengan melawan hukum atau


maksud memiliki itu ditunjukan pada melawan hukum,
artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan
mengambil benda, ia sudah mengetahui dan sudah
sadar memiliki benda orang lain itu adalah bertentangan
dengan hukum”.45
Karena alasan inilah maka unsur melawan hukum

dimaksudkan ke dalam unsur melawan hukum subjektif.

Pendapat ini kiranya sesuai dengan keterangan dalam MvT

yang menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan

dicantumkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana,

berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur

yang ada dibelakangnya.

Pendapat-pendapat diatas diambil dari teori-teori di bawah

ini;

1) Teori kontrektasi (contrectatie theorie),

teori ini mengatakan bahwa untuk adanya suatu

perbuatan “mengambil” disyaratkan dengan sentuhan

fisik, yakni pelaku telah memindahkan benda yang

bersangkutan dari tempatnya semula.

45
Moeljatno (2), Asas-Asas Hukum Pidana, Cet- VIII, Ed. Rev., (Jakarta:RinekaCipta,
2009), hlm 69.

43
2) Teori ablasi (ablatie theorie)

menurut teori ini untuk selesainya perbuatan

“mengambil” itu disyaratkan benda yang bersangkutan

harus telah diamankan oleh pelaku.

3) Teori aprehensi (apprehensie theorie)

berdasarkan teori ini adanya perbuatan “mengambil” itu

diisyaratkan bahwa pelaku harus membuat benda yang

bersangkutan berada dalam penguasaannya yang

nyata.46

Oleh sebab itu, berdasarkan keterangan diatas maka jelas

kita ketahui bahwa pencurian adalah suatu perbuatan

melawan hukum yang dapat merugikan pihak tertentu, dan

dalam mengungkap suatu tindak pidana pencurian, aparat

penegak hukum perlu melakukan beberapa tindakan yaitu

seperti penyelidikan dan penyidikan.

3. Jenis-Jenis Pencurian

Jenis-jenis pencurian menurut KUHP terdiri dari 5 yaitu:

a. Pencurian Biasa

Pencurian biasa diatur dalam Pasal 362 yang berbunyi :

“barang siapa mengambil sesuatu barang, yang seluruhnya


atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk
dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian,
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”47

46
Zainal Abidin, Op.Cit, hlm. 347.
47
Lihat, Pasal 362 KUHP

44
b. Pencurian Pemberatan

Pasal 363 KUHP menentukan bahwa :

1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun :

a) Pencurian ternak,

b) Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir,

gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal

karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-

hara, pemberontakan atau kesengsaraan di masa

perang,

c) Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau

pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang

dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui

atau tidak dikehendaki oleh yang berhak,

d) Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih

dengan bersekutu.

e) Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan

kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang

diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau

memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu,

perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir c disertai

dengan salah satu hal dalam butir d dan e, maka diancam

dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

45
Pencurian dalam pasal ini dinamakan “pencurian dengan

pemberatan” atau “pencurian dengan kualifikasi” dan

diancam dengan hukuman yang lebih berat.48

c. Pencurian Ringan

Pasal 364 KUHP menentukan bahwa :

“Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal


363 butir 4, begitupun perbuatan yang diterangkan dalam
Pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah
rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika
harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima
rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana
penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling
banyak dua ratus lima puluh rupiah.”49

d. Pencurian disertai dengan kekerasan/ancaman kekerasan

Pasal 365 menentukan bahwa :

1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan

tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang

dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah

pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk

memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya,

atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.

2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas

tahun :

a) Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam

sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada


48
Lihat, Pasal 363 KUHP.
49
Lihat, Pasal 364 KUHP.

46
rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau

trem yang sedang berjalan.

b) Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih

dengan bersekutu.

c) Jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan

merusak atau memanjat atau dengan memakai anak

kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

d) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam

dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur

hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh

tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau

kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan

bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang

diterangkan dalam no. 1 dan 3.50

e. Pencurian di lingkungan keluarga Pasal 367 KUHP

menentukan bahwa :

1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan

dalam bab ini adalah suami (istri) dari orang yang terkena

kejahatan dan tidak terpisah meja dan ranjang atau terpisah

harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu

tidak mungkin diadakan tuntutan pidana.


50
Lihat, Pasal 365 KUHP.

47
2) Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang

atau terpisah harta kekayaan, atau dia adalah keluarga

sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus maupun

garis menyimpang derajat kedua maka terhadap orang itu

hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan

yang terkena kejahatan.

3) Jika menurut lembaga matriarkal kekuasaan bapak

dilakukan oleh orang lain daripada bapak kandung (sendiri),

maka ketentuan ayat di atas berlaku juga bagi orang itu.51

D. Tinjauan Singkat Tentang Tindak Pidana Kekerasan

Kekerasan dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai

perihal (yang bersifat, berciri) keras, perbuatan seseorang atau

kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain

atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.52 Dari

uraian diatas tampaklah bahwa batasan dan pengertian tentang

tindak kekerasan yang diberikan adalah meliputi setiap aksi atas

perbuatan yang melanggar undang-undang hal ini adalah hukum

pidana.

Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan

salah. Kekerasan dapat diartikan sebagai perihal keras atau

perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan

51
Lihat, Pasal 367 KUHP.
52
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai
Pustaka, 2013), hlm. 550.

48
cedera atau matinya orang lain dan menyebabkan kerusakan fisik

pada orang lain.53

Menurut Santoso kekerasan juga bisa diartikan sebagai

serangan memukul (Assault and Battery) merupakan kategori hukum

yang mengacu pada tindakan ilegal yang melibatkan ancaman dan

aplikasi aktual kekuatan fisik kepada orang lain. Serangan dengan

memukul dan pembunuhan secara resmi dipandang sebagai tindakan

kolektif. Jadi, tindakan individu ini terjadi dalam konteks suatu

kelompok, sebagaimana kekerasan kolektif yang mucul dari situasi

kolektif yang sebelumnya didahului oleh berbagai gagasan, nilai,

tujuan, dan masalah bersama dalam periode waktu yang lebih lama.54

Kejahatan kekerasan oleh Yesmil Anwar diartikan sebagai

penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan

terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau

masyarakat yang mengakibatkan memar atau trauma, kematian,

kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.55

Pasal 89 KUHP menyatakan bahwa:

“Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau


kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul
dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak,
menendang, dan lain sebagainya. Yang disamakan dengan
kekerasan menurut pasal ini adalah membuat orang menjadi
pingsan atau tidak berdaya.”56

53
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka,
2014), hlm. 425.
54
Topo Santoso, Kriminologi, (Jakarta: Grafindo Persada, 2012), hlm. 24.
55
Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosio Kultural Kriminologi
Hukum, (Bandung: UNPAD Press, 2014), hlm. 5.
56
Lihat, Pasal 89 KUHP.

49
BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam memperoleh data-data yang diperlukan dalam penulisan

skripsi ini maka metode yang digunakan untuk mendapatkan hasil yang

akurat dengan menggunakan metode sebagai berikut:

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif.

Ilmu Hukum dogmatik mengkaji, memelihara, dan mengembangkan

bangunan hukum positif dengan bangunan logika, yang disebut kajian

“doktrinal” atau disebut juga kajian hukum “normatif”. 57 Penelitian

hukum doktrinal adalah penelitian berbasis kepustakaan, dengan

fokus menganalisis bahan hukum baik bahan hukum primer maupun

bahan hukum sekunder.58

Penelitian hukum doktrinal (doctrinal research) adalah

penelitian yang bertujuan untuk memberikan eksposisi yang bersifat

sistematis mengenai aturan hukum yang mengatur bidang hukum

tertentu, menganalisis hubungan antara aturan hukum yang satu

dengan yang lain, menjelaskan bagian-bagian yang sulit untuk

dipahami dari suatu aturan hukum, bahkan mungkin juga mencakup

57
Saefullah Wiradipradja, Penuntun Praktis Metode Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah
Hukum, Cet. 2, (Bandung: CV. Keni Media, 2015), hlm. 5.
58
Dyah Ochtorina Susanti & A’an Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research), Cet. 1,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 11.

50
prediksi perkembangan suatu aturan hukum tertentu pada masa

mendatang.59

B. Pendekatan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode

pendekatan perundang-undangan (statute approach)60 , pendekatan

kasus (case approach)61 dan pendekatan konseptual (conceptual

approach).62

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah

pendekatan dengan undang-undang dilakukan dengan menelaah

semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan

rumusan masalah penelitian.63 Pendekatan perundang-undangan

(statue approach) dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-


59
Ibid.
60
Statue Approach adalah pendekatan dengan undang-undang dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang akan membuka
kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu
undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan Undang-Undang
Dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Lihat, Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,
Ed. Rev, Cet. 12, (Jakarta: Kencana, Prenadamedia Group, 2016), hlm. 133.
61
Case Approach dapat diterapkan sebagai tipe perencanaan penelitian , apabila tujuan
penelitian adalah penggambaran secara lengkap mengenai suatu keadaan, perilaku pribadi,
maupun perilaku kelompok. Dengan demikian, generalisasi yang diperoleh juga sangat terbatas,
yakni hanya pada ruang lingkup obyek penelitian yang bersangkutan. Lihat, Soerjono Soekanto,
Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3 (Jakarta: Universitas Indonesia, UI-Press, 1986), hlm .55.
62
Pendekatan Konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum
yang ada. Hal itu dilakukan karena memang belum ada atau tidak ada aturan hukum untuk masalah
yang dihadapi. Dalam menggunakan pendekatan konseptual peneliti perlu merujuk prinsip-prinsip
hukum yang dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan para sarjana hukum ataupun doktrin-
doktrin hukum. Lihat, Dyah Ochtorina Susanti & A’an Efendi, Op. Cit., hlm. 115.
63
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ed. Rev, Cet. 12, (Jakarta: Kencana,
Prenadamedia Group, 2016), hlm. 133.

51
undangan dan regulasi yang berkaitan dengan pengaturan KUHP

Tentang tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam perspektif

hukum pidana di Indonesia.

Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan

menelaah Putusan Pengadilan Negeri DEPOK No.

128/Pid.B/2018/PN. Depok.

Pendekatan konseptual (conceptual approach) dilakukan

manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu

dilakukan karena memang belum ada atau tidak ada aturan hukum

untuk masalah yang dihadapi.64 Dalam menggunakan pendekatan

konseptual (conceptual approach) peneliti perlu merujuk prinsip-

prinsip hukum yang dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan

para sarjana hukum ataupun doktrin-doktrin hukum.65

C. Jenis Data Penelitian

Adapun jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah data sekunder66 yang diperoleh dari sumber bahan hukum.

Penggunaan bahan hukum sekunder dalam penelitian hukum dapat

dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:

64
Ibid., hlm. 177.
65
Dyah Ochtorina Susanti & A’an Efendi, Op. Cit., hlm. 115.
66
Bahan penelitian, dibedakan ke dalam data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh langsung dari responden dan dapat disebutkan penentuan lokasi dan subjek penelitian
(populasi dan sampel) secara rinci. Sedang jika data yang dikumpulkan adalah data sekunder,
maka bahan hukum dapat diperoleh melalui instansi-instansi tertentu, misalnya pengadilan,
DPR/Kementerian, buku-buku atau hasil laporan penelitian, berbagai data statistik, dan lain-lain.
Instrumen (alat) penelitian dapat menggunakan misalnya: observasi, wawancara, kuesioner, studi
dokumen, dan sebagainya. Lihat: Saefullah Wiradipradja, Op. Cit., hlm. 18.

52
1. untuk memperoleh latar belakang atau pemahaman yang

menyeluruh mengenai bidang hukum tertentu. Misalnya

penggunaan ensiklopedia hukum dalam penelitian hukum.

2. sebagai tempat untuk menemukan bahan hukum primer yang

terkait dengan isu hukum yang diketengahkan dalam penelitian.

Misalnya adalah American Law Reports (Laporan Hukum

Amerika) dan treatises (risalah).

3. sebagai pedoman bagi hakim ketika akan menjatuhkan putusan,

biasanya terjadi ketika tidak terdapat bahan hukum primer yang

mengatur mengenai isu hukum yang muncul atau bahan hukum

primer yang tidak cukup jelas untuk diterapkan terhadap isu

hukum yang ada. Treatises, law review, dan restatement of the

law digunakan untuk tujuan ini.67

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Pengumpulan Data Kepustakaan


Untuk memperoleh informasi atau data yang diperlukan guna

menjawab permasalahan tersebut, maka Peneliti menggunakan

Studi Kepustakaan (Library Research). Sebagaimana telah

diketahui, maka di dalam penelitian lazimnya dikenal paling sedikit

tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan

pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara atau

interview. Ketiga jenis alat pengumpulan data tersebut, dapat

67
Dyah Ochtorina Susanti & A’an Efendi, Op. Cit., hlm. 89.

53
dipergunakan masing-masing, maupun secara bergabung untuk

mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin68 untuk memperoleh

data sekunder.

2. Pengumpulan Data Lapangan


Pengumpulan Data Lapangan dilakukan dengan mengambil data

secara langsung kepada Team Jaguar Polres Metro Depok. Terkait

kepada perkara Aquo.

E. Sumber Bahan Hukum

Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini,

diperoleh dari sumber bahan hukum sebagai berikut:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, 69

sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

b. KUHP;

c. KUHAP;

d. Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Republik Indonesia.

e. Putusan Pengadilan Negeri Depok No. 128/Pid.B/2018/PN

Dpk.

68
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 66.
69
Ibid., hlm. 52.

54
2. Bahan hukum sekunder,70 merupakan bahan pustaka berupa hasil

penelitian, buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar (koran),

pamflet, leafleat.

3. Bahan hukum tertier,71 merupakan bahan pustaka berupa Kamus

Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, jurnal online dan

website.

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab, dimana dalam masing-


masing bab dibagi lagi berberapa sub bab, dengan sistematika
sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Sistematika Penulisan Skripsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Tinjauan Pidana secara Umum
B. Teori Pemidanaan secara Umum
C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencurian
D. Tinjauan Singkat Tentang Tindak Pidana Kekerasan

70
Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
seperti misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan
hukum, dan seterusnya. Lihat Loc. Cit.
71
Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks
kumulatif, dan seterusnya. Lihat Loc. Cit.

55
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
B. Pendekatan Penelitian
C. Jenis Data Penelitian
D. Alat Pengumpul Data
E. Sumber Bahan Hukum
F. Metode Analisis Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Pengaturan terhadap tindak pidana pencurian dengan
kekerasan dalam perspektif hukum pidana di Indonesia.
B. Pertimbangan Majelis Hakim dalam menetapkan putusan
pidana kepada para terdakwa pada Putusan Pengadilan
Negeri Depok No. 128/Pid.B/2018/PN Dpk.

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

56
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan

dalam perspektif hukum pidana di Indonesia.

1. Pengaturan Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan

Tindak pidana pencurian dengan kekerasan telah diatur dalam

Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHPidana) sebagai lex generalis,

namun ketentuan yang diatur menyangkut kekerasan atau

ancaman kekerasan dalam KUHP tidak secara tegas memuat

pengertian tindak pidana kekerasan atau kejahatan kekerasan.

Misalnya Pasal 89 KUHP72, kekerasan menurut ketentuan ini

hanya menegaskan membuat orang pingsan atau membuat orang

tidak berdaya (lemah). Pasal 89 KUHP ini hanya menegaskan

perbuatan yang disamakan dengan kekerasan. Melakukan

kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan yang

besar dan secara tidak sah misalnya memukul dengan

menggunakan tangan atau dengan segala macam senjata,

menyepak, menendang, dan sebagainya.

Menurut Pasal 89 KUHP ini ukuran pingsan yang dimaksud

adalah bahwa korban tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya

72
Lihat, Pasal 89 KUHP.

57
karena diberi (umpanya) minum racun kecubung, racun tikus, dan

berbagai macam obat atau alat yang dapat membuat seseorang

menjadi pingsan. Sehingga orang (korban) tersebut tidak sadar,

tidak bisa mengingat sesuatu lagi, tidak dapat mengetahui apa

yang terjadi pada dirinya. Perlu diketahui bahwa yang dapat

membuat orang pingsan bukan hanya dalam bentuk minuman

(obat) atau makanan, lebih dari itu juga bisa membuat seseorang

pingsan misalnya melalui pukulan dengan menggunakan batu

atau kayu ke arah kepala seseorang, bisa seseorang itu menjadi

pingsan dalam beberapa saat.

Makna lainnya yang terkandung dalam Pasal 89 KUHP ini

membuat orang tidak berdaya maksudnya tidak memiliki kekuatan

atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat membuat

perlawanan sedikitpun. Misalnya mengikat tangan dan kakinya

dengan tali yang ketat, mengurungnya dalam kamar, memberikan

suntikan jenis obat, sehingga orang itu menjadi lumpuh. Bedanya

dengan pingsan adalah bahwa jika tidak berdaya, orangnya masih

sadar, masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.

Terlalu luas pemaknaan kekerasan menurut Pasal 89 KUHP.

Begitu juga pemaknaan kekerasan atau ancaman kekerasan

dalam pasal-pasal menyangkut pencurian misalnya dalam Pasal

365 KUHP.

58
Pengaturan tindak pidana pencurian sebagaimana yang diatur

dalam KUHP terdapat dalam Buku II Bab XXII Pasal 362 sampai

dengan Pasal 367. Batasan pengertian tentang pencurian diatur

dalam Pasal 362, tentang jenis pencurian dan pencurian dengan

pemberatan diatur dalam Pasal 363, tentang pencurian ringan

diatur dalam Pasal 364, tentang pencurian dengan kekerasan

diatur dalam Pasal 365, dan Pasal 367 mengatur tentang

pencurian dalam keluarga. Salah satu yang memberatkan pelaku

tindak pidana adalah pencurian yang disertai dengan kekerasan.

Ketentuan dalam Pasal 365 ayat (1) KUHP73, dinamakan

pencurian dengan kekerasan (kekerasan yang dimaksud di sini

didasarkan pada Pasal 89 KUHP), misalnya termasuk pula

mengikat orang yang punya rumah, menutup dan menguncinya

dalam kamar, dan lain-lain. Kekerasan atau ancaman kekerasan

ini harus dilakukan pada orang bukan kepada barang atau harta

benda korban, dapat dilakukan sebelumnya secara bersama-sama

atau setelah pencurian itu selesai dilakukan, asal maksudnya

untuk menyiapkan atau memudahkan pencurian itu, dan jika

tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya atau

kawannya yang turut melakukan akan melarikan diri atau supaya

barang yang dicuri itu tetap ada ditangannya. Seorang pencuri

dengan merusak rumah atau pekarangannya, tidak termasuk delik

yang diatur dalam Pasal 365 KUHP ini, sebab kekerasan merusak
73
Lihat, Pasal 365 ayat (1) KUHP.

59
itu tidak dikenakannya kepada orang melainkan pada benda-

benda atau barang.

Unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang

disebutkan dalam Pasal 365 KUHP yang mana harus dipenuhi

misalnya pada ayat (1) “diikuti dengan kekerasan untuk

memudahkan pencurian”, ayat (2) ke-1 “pencurian itu dilakukan di

malam hari”, ayat (2) ke-2 “pencurian itu dilakukan oleh dua orang

secara bersama-sama atau lebih”, ayat (2) ke-3 “dengan cara

membongkar atau memanjat, menggunakan kunci palsu, perintah

palsu, atau jabatan palsu”, ayat (2) ke-4 “pencurian yang

menyebabkan ada orang lain luka berat”, ayat (3) “menyebabkan

kematian”, ayat (4) “menyebabkan ada orang lain luka berat atau

mati yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-

sama”.

Menurut Mahmud Mulyadi mengatakan bahwa pencurian

dengan kekerasan sama saja dengan perampokan. Tampaknya

beliau menegaskan hal itu dalam bukunya yang berjudul ”Criminal

Policy” terdapat dalam Pasal 365 ayat (1) KUHP, yang objek

kekerasan itu adalah orang, bukan benda-benda atau barang milik

korban.74 Apabila dilihat dari sisi tujuan dilakukannya kekerasan

perlu dikatehui hal-hal seperti misalnya ada seorang pencuri yang

dimaki-maki oleh orang yang melihatnya, karena pencuri itu sakit

hati dimaki-maki lalu memukul orang yang melihat tersebut.


74
Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Bandung: Citra Umbara, 2016), hlm. 28.

60
Peristiwa seperti ini tidak termasuk dalam pasal ini karena seperti

yang dijelaskan sebelumnya bahwa kekerasan (dalam hal ini

memukul) itu dilakukan pencuri disebabkan karena sakit hati,

bukan untuk keperluan mempermudah keperluannya mencuri.

Jadi, dapat dipahami bahwa kekerasan atau ancaman kekerasan

yang dilakukan pencuri karena tujuannya untuk mempermudah

pencurian itu dilaksanakannya, bukan karena unsur lain seperti di

atas. Ancaman sanksi dalam Pasal 365 ayat (1) KUHP adalah 9

(sembilan) tahun penjara.

Kajian terhadap ketentuan Pasal 365 ayat (2) KUHP 75 adalah

pencurian yang diperberat. Maksudnya ancaman hukuman

menurut ayat ini ditambah sebagai pemberatan terhadap delik

pencurian yang dilakukannya.

Kategori pemberatan dimaksud adalah:

a. Jika pencurian itu dilakukan pada waktu malam di dalam

sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup, yang ada

rumahnya atau di jalan umum atau di dalam kereta api atau

trem yang sedang berjalan;

b. Jika Pencurian itu dilakukan oleh dua orang bersama-sama

atau lebih;

c. Jika pencuri itu masuk dengan cara membongkar atau

memanjat atau dengan cara memalsukan kunci, memalsukan

surat perintah atau menggunakan jabatan palsu; dan


75
Lihat, Pasal 365 ayat (2) KUHP.

61
d. Jika perbuatan pencurian itu menyebabkan ada orang

mendapat luka berat.

Luka berat yang dimaksud di sini sebaiknya dirujuk pada Pasal

90 KUHP76 yang menegaskan dikatakan luka berat melekat pada

tubuh korban, dimana luka dimaksud menjadi penyakit yang tidak

bisa lagi disembuhkan dengan sempurna atau dapat

mendatangkan bahaya maut, terus-menerus tidak cakap lagi

menjalankan jabatan atau pekerjaannya, tidak lagi memakai salah

satu panca indra, kudung (rompong), lumpuh, cacat seumur hidup,

berubah pikiran lebih dari empat minggu lamanya, menggugurkan

atau membunuh anak dalam kandungan.

Apabila kategori di atas terjadi ketika pencurian itu dilakukan,

baik salah satu, dua unsur atau lebih, maka dikategorikan sebagai

tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang diperberat dan

ancaman sanksinya adalah selama-lamanya (maksimal) 12 (dua

belas) tahun penjara. Jika dikaji lebih dalam ketentuan ayat ini

rasional sekali diperberat sebab di saat orang sebagai korban

pencurian dalam keadaan istirahat di malam hari kurang

memungkinkan korban tersebut meminta tolong atau di tempat-

tempat umum bisa berakibat efek secara psikologis terhadap

orang lain yang melihatnya misalnya ada orang lain yang

mengalami trauma. Begitu juga jika pelakunya membongkar, atau

76
Lihat, Pasal 90 KUHP.

62
secara bersama-sama, atau karena kepalsuan, rasional sekali

dalam kategori sebagai pemberatan pada pelaku (pencuri).

Apabila dibandingkan Pasal 365 ayat (2) KUHP dengan Pasal

363 KUHP77 pada prinsipnya ada perbedaan tipis sekali, jumlah

sanksi yang diancamkan berbeda, Pasal 363 KUHP maksimal 7

(tujuh) tahun, Pasal 365 ayat (2) KUHP maksimal 12 (dua belas)

tahun. Perlu diketahui bahwa delik dalam Pasal 363 KUHP adalah

pencurian biasa, sedangkan delik dalam Pasal 365 ayat (2) KUHP

adalah pencurian yang disertai dengan kekerasan. Inilah yang

membedakannya sehingga ancaman sanksinya juga berbeda satu

sama lain.

Berbeda pula ancaman pidana terhadap delik pencurian dengan

kekerasan yang mengakibatkan korban atau orang lain mati

sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 365 ayat (3) KUHP 78

sebagai pemberatan. Delik ini diancam dengan hukuman penjara

selam-lamanya (maksimal) 15 (lima belas) tahun dijatuhkan

kepada pelaku. Bahkan menurut ketentuan ini dapat dilakukan

penjatuhan hukuman pencabutan hak-hak tertentu, sebagaimana

ditegaskan dalam Pasal 366 KUHPidana. Tampaknya dalam

ketentuan ini dinyatakan secara eksplisit bahwa pelakunya adalah

tunggal atau tidak lebih dari satu orang.

77
Lihat, Pasal 363 KUHP.
78
Lihat, Pasal 365 ayat (3) KUHP.

63
Sedangkan untuk jumlah pelaku pencurian dengan kekerasan

yang terdiri lebih dari satu orang atau bersama-sama, maka

pengenaan sanksi yang cocok untuk delik ini adalah Pasal 365

ayat (4) KUHP79. Ancaman sanksi menurut ketentuan ini adalah

hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, jika pencurian

dengan kekerasan itu mengakibatkan ada orang luka berat 80 atau

mati yang dilakukan oleh lebih dari satu orang atau secara

bersama-sama melakukan pencurian dengan kekerasan tersebut.

Kematian yang dimaksud dalam Pasal 365 ayat (3) KUHP adalah

kematian yang tidak disengaja oleh si pelaku. Apabila kematian itu

disengaja oleh si pelaku maka pelaku dapat dikenakan ketentuan

Pasal 339 KUHP81 tentang pembunuhan biasa. Hukuman yang

menyebabkan orang mati diperberat ancaman hukumannya jika

perbuatan pencurian itu disertai dengan kekerasan yang

mengakibatkan kematian dan dilakukan lebih dari satu orang

secara bersama-sama. Hukuman yang diperberat itu dikenakan

Pasal 365 ayat (4) KUHP yakni ancaman hukuman seumur hidup

atau hukuman sementara maksimal 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 365 ayat (4) KUHP berbeda dengan pemerasan dalam

Pasal 368 KUHP82. Jika karena kekerasan atau ancaman

kekerasan itu si pemilik barang menyerah, lalu memberikan

79
Lihat, Pasal 365 ayat (4) KUHP.
80
Lihat, Pasal 90 KUHP.
81
Lihat, Pasal 339 KUHP.
82
Lihat, Pasal 368 KUHP.

64
barangnya kepada orang yang mengancamnya, maka hal ini

masuk dalam kategori pemerasan. Tetapi, apabila si pemilik

barang itu dengan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan

tetap tidak menyerah dan kemudian pencuri mengambil barang

milik orang tersebut, maka hal ini masuk dalam kategori pencurian

dengan kekerasan.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencurian dalam Pasal 365 KUHP

Pengertian unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua

arti, yaitu unsur-unsur tindak pidana dalam arti sempit dan unsur-

unsur dalam arti luas, Misalnya unsur-unsur tindak pidana dalam

arti sempit terdapat pada tindak pidana pencurian biasa, yaitu

unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP 83, sedangkan

unsur-unsur tindak pidana dalam arti luas terdapat pada tindak

pidana pencurian dengan pemberatan yaitu unsur-unsur yang

terdapat dalam Pasal 365 KUHP.

Apabila kita perhatikan rumusan tindak pidana yang terdapat

dalam KUHP dapat dibedakan antara unsur-unsur obyektif dan

unsur-unsur subyektif. Yang disebut unsur obyektif adalah

perbuatan manusia, pada umumnya tindak pidana yang diatur

dalam perundang-undangan unsur-unsurnya terdiri dari unsur lahir

atau unsur obyektif, namun demikian adakalanya sifat melawan

hukumnya perbuatan tidak saja pada unsur subyektif yang terletak

pada batin pelaku. Bentuk suatu tindak pidana dengan unsur


83
Lihat, Pasal 362 KUHP.

65
obyektif antara lain terdapat pada tindak pidana yang berbentuk

kelakuan. Unsur-unsur tersebut juga pada Pencurian dalam

bentuk pokok, yaitu sebagai berikut:

a. Unsur obyektif

1) Barang siapa, yaitu subjek atau pelaku dari tindak pidana.

Biasa diartikan dalam artian manusia, karena pidana penjara

yang diancamkan terhadap pelaku pencurian merupakan

suatu pidana yang bertujuan untuk membatasi kebebasan

pelaku.

2) Mengambil artinya membawa barang dari tempat asalnya ke

tempat lain.

3) Suatu benda artinya ada benda yang diambil pelaku.

Adapun yang dimaksud dengan benda itu harus berharga

dan bernilai bagi korban.

4) Sebagian/seluruhnya kepunyaan orang lain artinya barang

tersebut bukan milik pelaku tetap merupakan milik orang lain

secara utuh atau sebagian.

b. Unsur subyektif

Pencurian dalam tindak pidana pencurian dengan unsur

memberatkan mempunyai arti yang sama dengan pencurian

dalam bentuk pokok, akan tetapi pencurian itu ditambah unsur lain

66
yang telah tercantum pada pasal 363 KUHP yang bersifat

memberatkan pelaku, sehingga ancaman pidananya lebih berat

dari pidana pencurian dalam bentuk pokok, yaitu pidana penjara

selama-lamanya tujuh tahun. Apabila tidak dilakukan didalam

sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada di rumahnya,

jika harga barang yang di curi tidak lebih dari dua puluh lima

rupiah diancam dengan pencurian ringan dengan pidana paling

lama tiga bulan atau piana denda dua ratus lima puluh rupiah

tentang nilai benda yang dicuri itu semula ditetapkan tidak lebih

dua puluh lima rupiah akan tetapi dengan Peraturan Pemerintah

pengganti Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1960 tentang

beberapa perubahan dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana

telah di ubah dua ratus lima puluh rupiah, pencurian dengan unsur

kekerasan termasuk suatu pencurian dengan unsur-unsur

memberatkan pula, yaitu yang disertai kekerasan atau ancaman

kekerasan. Menurut pasal 367 ayat 2 KUHP84, apabila pelaku atau

pembantu dari pencurian dari pasal 362, 364, dan 365 adalah

suami atau istri dari si korban, dan mereka dibebaskan dari

kewajiban tinggal bersama, atau keluarga sedarah semenda,

boleh dilakukan penuntutan atas pengaduan si korban pencurian,

aduan pada pencurian dalam keluarga ini termasuk delik aduan

relatif.

84
Lihat, Pasal 367 ayat (2) KUHP.

67
a. Delik formil ialah delik yang dianggap telah terlaksana apabila

telah dilakukan suatu perbuatan yang dilarang. Dalam delik

formil hubungan kausal mungkin diperlukan tetapi beda dengan

yang diperlukan dalam delik materiil. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa delik materiil tidak dirumuskan perbuatan yang

dilarang sedang akibatnya yang dirumuskan secara jelas,

berbeda dengan delik formil yang dilarang dengan tegas adalah

perbuatannya.

b. Delik materiil dimana dalam perumusannya tindak pidana hanya

disebutkan akibat tertentu sebagai akibat yang dilarang. Apabila

kita jumpai delik yang hanya dirumuskan akibatnya yang

dilarang dan tidak dijelaskan bagaimana kelakuan yang

menimbulkan akibat itu, kita harus menggunakan ajaran

hubungan kausal untuk menggambarkan bagaimana bentuk

kelakuan yang menurut logika dapat menimbulkan akibat yang

dilarang itu. Dengan begitu baru dapat diketahui perbuatan

materiil dari tindak pidana yang menyebabkan timbulnya akibat

yang dilarang. Tidak dapat ditentukan siapa yang bertanggung

jawab atas perbuatan dengan akibat yang dilarang tersebut.

Yang disebut dengan unsur subyektif ialah dilakukan dengan

kesalahan, delik yang mengandung unsur memberatkan pidana

apabila pelaku pencurian itu dengan keadaan yang memberatkan

seperti yang tertera pada Pasal 365 ayat 1, 2,3 dan 4 KUHP maka

68
pelaku pencurian ini dapat dikenakan pencabutan hak seperti

yang tertera dalam Pasal 336 KUHP yang berbunyi:

“Dalam pemidanaan karena salahsatu perbuatan yang


diterangkan dalam Pasal 362, 363, dan 365 dapat dijatuhkan
pencabutan hak tersebut dalam Pasal 345 No. 1-4”.
Oleh orang yang mampu bertanggung jawab menurut pengertian

Simons tentang adanya unsur-unsur pada tindak pidana apabila

perbuatan manusia diancam dengan pidana, melawan hukum,

dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang mampu

bertanggung jawab. Pengertian kemampuan bertanggung jawab,

Simons berpendapat bahwa kemamapuan bertanggung jawab

dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis yang membenarkan

adanya penerapan sesuatu upaya suatu pemidanaan, baik di lihat

dari sudut umum maupun dari orangnya.

Selain itu Simons juga mengatakan bahwa seseorang mampu

bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yaitu apabila ia mampu

untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya

bertentangan dengan hukum, ia dapat menentukan kehendaknya

sesuai dengan kesadaran tersebut. Selain pendapat dari para ahli,

banyak juga teori hukum yang mengajarkan bahwa hukum harus

stabil(stable), tetapi dia tidak boleh diam (still) atau kaku (rigid),

Sepintas kelihatannya pernyataan tersebut saling bertentangan

satu sama lain, tetapi sebenarnya tidak saling bertentangan,

karena demikianlah salah satu facet hakiki dari hukum dimana di

satu pihak hukum harus mengandung hukum kepastian dan

69
prediktabilitas sehingga dia harus stabil. Tetapi di lain pihak

haruslah dinamis sehingga selalu dapat mengikuti dinamika

perkembangan kehidupan manusia.

3. Sanksi Pidana terhadap Kasus Pencurian dengan Kekerasan.

Tindak pidana pencurian dengan kekerasan merupakan

pencurian dengan kualifikasi dan juga merupakan suatu pencurian

dengan unsur-unsur yang memberatkan. Pencurian dengan

kualifikasi menunjuk pada suatu pencurian yang dilakukan dengan

cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu sehingga bersifat

lebih berat dan ancaman pidananya lebih berat dari pencurian

biasa. Pembuktian terhadap unsur-unsur tindak pidana pencurian

dengan kualifikasi ini diawali dengan cara membuktikan pencurian

dalam bentuk pokoknya. Pencurian dengan pemberatan atau

pencurian dengan kualifikasi diatur dalam Pasal 363 dan 365

KUHP.

Tindak pidana pencurian dengan pemberatan diatur dalam

Pasal 363 KUHP. Pasal 363 KUHP mengatur bahwa:

a. Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

ke-1 pencurian ternak;

ke-2 pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir,

gempa bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal

karam, kapal terdampar,kecelakaan kereta api, huru-hara,

pemberontakan atau bahaya perang;

70
ke-3 pencurian di waktu malam hari dalam sebuah rumah atau

perkarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan

oleh orang yang adanya di situ tidak diketahui atau tidak

dikehendaki oleh yang berhak;

ke-4 pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih

dengan bersekutu;

ke-5 pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan

kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang

diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau

memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu,

perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

b. Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan

salah satu tersebut ke-4 dan ke-5 maka dikenakan pidana

penjara paling lama sembilan tahun.

Tindak pidana pencurian dengan kekerasan diatur dalam Pasal

365 KUHP, yaitu pencurian yang didahului, disertai, diikuti dengan

kekerasan yang akan ditujukan pada orang dengan tujuan untuk

mempermudah dalam melakukan aksinya. Dalam Pasal 365

KUHP, disebutkan bahwa:

a. Tindak pidana pencurian yang didahului, disertai atau diikuti

dengan kekerasan akan diancam hukuman penjara selama-

lamanya 9 (sembilan) tahun, dengan maksud akan

memudahkan atau menyiapkan pencurian itu atau jika

71
tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri

atau kawannya yang turut melakukan kejahatan itu akan

melarikan diri atau supaya barang yang dicuri itu tetap ada di

tangannya. Disini termasuk pula, mengikat orang yang punya

rumah, menutup di dalam kamar, kekerasan atau ancaman

kekerasan ini harus dilakukan pada orang, bukan kepada

barang dan dapat dilakukan sebelumnya, bersama-sama atau

setelah pencurian itu dilakukan, asal maksudnya untuk

menyiapkan atau memudahkan pencurian itu, danjika

tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya atau

kawannya yang turut melakukan akan melarikan diri atau

supaya barang yang dicuri itu tetap di tangannya. Seorang

pencuri dengan merusak rumah tidak masuk disini, karena

kekerasan (merusak) itu tidak dikenakan pada orang.

b. Hukuman penjara dijatuhkan selama-lamanya 12 (dua belas)

tahun.

1) Apabila perbuatan itu dilakukan pada waktu malam di

dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup, yang

ada rumahnya atau di jalan umum atau di dalam kereta api

atau di dalam trem yang sedang berjalan.

2) Jika perbuatan itu dilakukan oleh dua orang bersama-sama

atau lebih.

72
3) Jika Si tersalah masuk ke tempat melakukan kejahatan itu

dengan jalan membongkar atau memanjat, atau dengan

jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian

jabatan palsu.

4) Jika perbuatan itu menjadikan ada orang mendapat luka

berat.

c. Hukuman penjara selama-lamanya 15 (lima belas) tahun

dijatuhkan jika karena perbuatan itu ada orang mati.

d. Hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau

penjara sementara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun

dijatuhkan jika perbuatan itu menjadikan ada orang mendapat

luka berat atau mati dilakukan oleh dua orang bersama-sama

atau lebih dan disertai pula oleh salah satu hal yang

diterangkan dalam nomor 1 dan 3 ayat (2).

Pasal 365 KUHP sebagaimana yang telah disebutkan di atas,

mempunyai unsur-unsur antara lain:

a. Pasal 365 ayat (1) KUHP memuat unsur-unsur, yaitu sebagai

berikut:

1) Obyektif:

a) Pencurian dengan (didahului, disertai, diikuti); dan

b) Oleh kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap

seseorang.

2) Subyektif:

73
a) Dengan maksud untuk

b) Mempersiapkan atau mempermudah pencurian itu, atau

c) Jika tertangkap tangan memberi kesempatan bagi diri

atau orang lain dalam kejahatan itu:

(1) Untuk melarikan diri,

(2) Untuk mempertahankan pemilihan atas barang yang

dicurinya.

Adapun unsur-unsur lainnya dalam tindak pidana pencurian

dengan kekerasan, yaitu sebagai berikut:

1) Kekerasan

Kekerasan yang dimaksudkan hanya ditujukan untuk orang,

bukan untuk kekerasan terhadap barang.

2) Ancaman Kekerasan

Suatu perbuatan yang menimbulkan rasa cemas dan takut

terhadap orang yang diancam.

3) Didahului Kekerasan atau Ancaman Kekerasan

Kekerasan atau ancaman kekerasan dilakukan sebelum

melakukan pencurian atau mempersiapkan pencuriannya.

4) Disertai Kekerasan atau Ancaman Kekerasan

Kekerasan atau ancaman kekerasan dilakukan bersamaan

dengan pencuriannya.

5) Diikuti Kekerasan atau Ancaman Kekerasan

74
Kekerasan atau ancaman kekerasan dilakukan setelah

melakukan pencurian.

6) Tertangkap Tangan

Tertangkap tangan mempunyai arti bahwa pelaku ketahuan

pada saat sebelum, saat atau setelah mencuri. Selain itu,

tertangkap tangan juga berarti bahwa ditemukannya alat

atau petunjuk yang mengarah kepada pelaku yang telah

melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan.

b. Pasal 365 ayat (2) KUHP

Semua unsur yang terdapat dalam Pasal 365 ayat (2) KUHP

sudah terdapat dalam Pasal 363 ayat (1), kecuali unsur di jalan

umum, di dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.

c. Pasal 365 ayat (3) KUHP

Unsur yang terdapat dalam ayat ini mengenai matinya orang

lain yang timbul akibat adanya kekerasan dalam tindak pidana

pencurian tersebut.

d. Pasal 365 ayat (4) KUHP memuat unsur-unsur:

Hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau

penjara sementara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun

dijatuhkan jika perbuatan itu:

1) Menjadikan ada orang mendapat luka berat atau mati,

2) Dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih dan

75
3) Disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam

nomor 1 dan 3 ayat (2):

Nomor 1:

a) Pada waktu malam di dalam sebuah rumah atau

pekarangan yang tertutup, yang ada rumahnya atau di:

(1) Jalan umum,

(2) Di dalam kereta api atau di dalam trem yang sedang

berjalan.

Nomor 2:

Jika Si tersalah masuk ke tempat melakukan kejahatan itu

dengan jalan:

a) Membongkar,

b) Memanjat,

c) Memakai kunci palsu,

d) Perintah palsu, atau

e) Pakaian jabatan palsu.

Tindak pidana pencurian dengan kekerasan sebagaimana yang

diuraikan di atas merupakan satu kesatuan tindak pidana dan

bukan terdiri dari 2 (dua) tindak pidana, yaitu tindak pidana

pencurian dan tindak pidana kekerasan. Tindak pidana pencurian

dengan kekerasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 365

KUHP merupakan tindak pidana pencurian yang didahului, disertai

atau diikuti dengan kekerasan dengan maksud untuk mencapai

76
tujuan dilakukannya tindak pidana itu sendiri. Selanjutnya,

kekerasan yang dimaksudkan disini merupakan perbuatan yang

menggunakan tenaga badan yang tidak ringan. Tenaga badan

adalah kekuatan fisik yang ditujukan kepada manusia dan bukan

kekerasan terhadap barang.

Pasal 366 KUHP85 mengatur bahwa, “dalam pemidanaan

karena salah satu perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362,

363 dan 365 dapat dilakukan pencabutan hak tersebut dalam

Pasal 35 nomor 1-4. Pasal 35 KUHP sebagaimana yang

disebutkan dalam Pasal 366 KUHP mengatur bahwa:

a. Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut

dalam hal-hal yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang ini,

atau dalam aturan umum lainnya ialah:

ke-1 hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang

tertentu;

ke-2 hak memasuki angkatan bersenjata;

ke-3 hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan

berdasar aturan-aturan umum;

ke-4 hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut

hukum (gerechtelijke bewindvoerder) hak menjadi wali,

wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas,

atas orang yang bukan anak sendiri;

85
Lihat, Pasal 366 KUHP.

77
ke-5 hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan

perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;

ke-6 hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.

b. Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari

jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus lain ditentukan

penguasa lain untuk pemecatan itu.

B. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam menetapkan putusan

pidana kepada para terdakwa pada Putusan Pengadilan Negeri

Depok No. 128/Pid.B/2018/PN Dpk.

1. Kasus Posisi

Pada hari Minggu tanggal 24 Desember 2017 sekira jam

04.35 WIB ketika genk/kelompok motor RBR (Rawamaya Beji

Rasta) dan genk/kelompok motor Jepang (Jembatan Mampang)

melakukan konvoi menggunakan sepeda motor sekira 20 (dua

puluh) orang saling berboncengan melintasi Jl. Raya Bogor

sesampainya di depan Toko Fernando Jl. Sentosa Raya No. 17

RT 04/RW 11 Kelurahan Mekarjaya Kecamatan Sukmajaya

Kota Depok, genk/kelompok motor tersebut yang terdiri dari

Muhtyas Prasetya alias Bogel bin Tasdik86, Ahmad Baqir bin Abu

Bakar87, Alpin Pratama alias Caong bin Somad Padil 88, Habibi Albar

alias Bibi bin Winarno Albar89, Renaldi Alvares alias Kribi bin

86
Untuk Selanjutnya disebut/ditulis “Terdakwa I”
87
Untuk Selanjutnya disebut/ditulis “Terdakwa II”
88
Untuk Selanjutnya disebut/ditulis “Terdakwa III”
89
Untuk Selanjutnya disebut/ditulis “Terdakwa IV”

78
Ismail90, Dhimas Cahyo Pandita Hadiawan alias Karto 91, Aldi

Wijaya alias Dendi92, Adithya Achmad Bachtiarsya93, saksi

Faturahman Bin M Rusdi (Alm)94, saksi Dewa Sharul Ramadhan95,

saksi Al Gifahry96, saksi Buchori Muslim Bin Suhadi (Alm)97, saksi

Yuvita Anggraini Binti Didik Wahyudi98, saksi Bella Arsita Januarti

Binti Badaruzaman99, saksi Exter Al Afna100, saksi Muhammad Alwi

Nasution Bin M. Hawani101, dan saksi Wildan Bin Indra (Alm) 102

menghentikan kendaraan yang saat itu mereka kendarai, kemudian

saksi Wildan (Alm), saksi Buchori (Alm), Terdakwa IV, Terdakwa

VIII, dan saksi Muhammad Alwi berjalan masuk ke dalam Toko

Frinando sambil membawa senjata tajam berupa clurit dan parang,

sedangkan saat itu Terdakwa I, Terdakwa II, Terdakwa III,

Terdakwa V, Terdakwa VI, Terdakwa VII, saksi Faturahman (Alm),

saksi Dewa, saksi Gifahry, saksi Yuvita, saksi Bella, saksi Exter

tetap berada di atas sepeda motor dalam keadaan mesin menyala

sambil berjaga-jaga dan mengawasi daerah sekitar. Selanjutnya

saksi Wildan (Alm), saksi Buchori (Alm), Terdakwa IV, Terdakwa

90
Untuk Selanjutnya disebut/ditulis “Terdakwa V”
91
Untuk Selanjutnya disebut/ditulis “Terdakwa VI”
92
Untuk Selanjutnya disebut/ditulis “Terdakwa VII”
93
Untuk Selanjutnya disebut/ditulis “Terdakwa VIII”
94
Untuk Selanjutnya disebut/ditulis “Saksi Faturahman (Alm)”
95
Untuk Selanjutnya disebut/ditulis “Saksi Dewa”
96
Untuk Selanjutnya disebut/ditulis “Saksi Gifahry”
97
Untuk Selanjutnya disebut/ditulis “Saksi Buchori (Alm)”
98
Untuk Selanjutnya disebut/ditulis “Saksi Yuvita”
99
Untuk Selanjutnya disebut/ditulis “Saksi Bella”
100
Untuk Selanjutnya disebut/ditulis “Saksi Exter”
101
Untuk Selanjutnya disebut/ditulis “Saksi Muhammad Alwi”
102
Untuk Selanjutnya disebut/ditulis “Saksi Wildan (Alm)”

79
VIII, dan saksi Muhammad Alwi langsung mengacungkan senjata

ke arah saksi Nendi dan saksi Robi selaku penjaga Toko Frinando

hingga membuat saksi Nendi dan saksi Robi merasa ketakutan,

kemudian seketika itu juga saksi Wildan (Alm), saksi Buchori

(Alm), Terdakwa IV, Terdakwa VIII, dan saksi Muhammad Alwi

mengambil barang berupa celana panjang levis sebanyak 120

(seratus dua puluh) potongan, celana pendek 11 (sebelas)

potongan, jacket 5(lima) potongan dan kaos 12(dua belas)

potongan, Selanjutnya saksi Wildan (Alm), saksi Buchori (Alm),

Terdakwa IV, Terdakwa VIII, dan saksi Muhammad Alwi membagi-

bagikan celana panjang, celana pendek, jacket dan kaos tersebut

kepada Terdakwa I, Terdakwa II, Terdakwa III, Terdakwa V,

Terdakwa VI, Terdakwa VII, saksi Faturahman (Alm), saksi Dewa,

saksi Gifahry, saksi Yuvita, saksi Bella, saksi Exter; Selanjutnya

Terdakwa I, Terdakwa II, Terdakwa III, Terdakwa IV, Terdakwa V,

Terdakwa VI, Terdakwa VII, Terdakwa VIII, saksi Faturahman

(Alm), saksi Dewa, saksi Gifahry, saksi Buchori (Alm), saksi

Yuvita, saksi Bella, saksi Exter, saksi Muhammad Alwi, dan saksi

Wildan (Alm) pergi meninggalkan Toko Frinando sambil membawa

celana panjang, celana pendek, jacket dan kaos tersebut; Bahwa

akhirnya saksi Dermawan Halonoan dan saksi Arif Rakhmawan

selaku Anggota Kepolisian Resor Kota Depok berhasil melakukan

penangkapan terhadap mereka Terdakwa bersama saksi

80
Faturahman (Alm), saksi Dewam, saksi Gifahry, saksi Buchori

(Alm), saksi Yuvita, saksi Bella, saksi Exter, saksi Muhammad Alwi,

dan saksi Wildan (Alm) berdasarkan adanya laporan dari saksi

korban Candra selaku pemilik Toko Fernando dan hasil rekaman

camera CCTV yang telah memperlihatkan perbuatan mereka

terdakwa, hingga mereka terdakwa dilaporkan ke pihak

Kepolisian guna proses lebih lanjut; Akibat perbuatan para

Terdakwa telah menyebabkan Saksi Candra menderita kerugian

yang ditaksir kurang lebih sebesar Rp14.000.000,00 (empat

belas juta rupiah); Kemudian ditindaklanjuti dengan pemeriksaan

dalam persidangan di Pengadilan Negeri Depok.

2. Amar Putusan dan Pertimbangan Hukum Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Depok yang memeriksa dan mengadili

perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa pada tingkat

pertama tersebut pada tanggal 15 Mei 2018, telah menjatuhkan

Putusan yang diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk

umum, dengan amar pada pokoknya adalah sebagai berikut:

MENGADILI
a. Menyatakan Terdakwa I, Terdakwa II, Terdakwa III,
TerdakwaIV, Terdakwa V, Terdakwa VI, Terdakwa VII dan
Terdakwa VIII terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “turut serta melakukan pencurian
dengan kekerasan”;
b. Menjatuhkan Pidana kepada Para Terdakwa oleh karena itu
dengan pidana penjara masing-masing selama 8 (delapan)
tahun;
c. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan dan
penangkapan yang telah dijalani para Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;

81
d. Menetapkan agar para Terdakwa tetap berada dalam
tahanan ;
e. Menetapkan barang bukti berupa :
- 1 (satu) buah celurit;
- 1 (satu) buah parang;
- 1 (satu) buah rekaman CCTV;
- 12 (dua belas) potong celana panjang jeans;
- 1 (satu) potong celana pendek jeans;
- 3 (tiga) potong kaos;
- 3 (tiga) potong jaket parasut;
dipergunakan dalam berkas perkara lain yakni anak
Faturahman bin Muhammad Rusdi;
- 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda Revo No. Pol.
B6176ETK warna hitam tahun 2010;
dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, melalui
Terdakwa VI.

f. Membebankan para Terdakwa membayar biaya perkara


masing-masing sebesar Rp. 2.000,- (Dua Ribu Rupiah)

Amar Putusan tersebut didasarkan pertimbangan hukum

pada pokoknya adalah sebagai berikut :

Pertama bahwa benar para Terdakwa ditangkap karena diduga

telah melakukan tindak pidana pencurian dengan

kekerasan;

Kedua bahwa benar Terdakwa I, Terdakwa II, Terdakwa III,

Terdakwa IV, Terdakwa V, Terdakwa VI, Terdakwa

VII, dan Terdakwa VIII, serta Saksi Bella, Saksi Exter,

Saksi Muhammad Alwi, Saksi Wildan (Alm) dan

beberapa pelaku lainnya melakukan pencurian

berupa celana panjang sejumlah kurang lebih 144

potong, kaos 1 (satu) lusin, jaket 5 (lima) potong dan

82
celana pendek ada 6 (enam) potong, yang mana

dilakukan pada hari Minggu tanggal 24 Desember

2017 sekitar jam 04.35 WIB di sebuah toko pakaian

distro “FERNANDO” yang beralamat di Jl. Sentosa

Raya No.17, RT. 04/11, Kelurahan Mekarjaya,

Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok;

Ketiga bahwa, awalnya pada hari Sabtu sekitar jam 21.00

WIB, para Terdakwa bersama Saksi Bella, Saksi

Exter, Saksi Muhammad Alwi dan Saksi Wildan (Alm)

beserta teman-teman para Terdakwa lainnya kumpul-

kumpul di kontrakan tempat geng Jepang biasa

berkumpul. Kemudian sekitar jam 00.00 WIB, para

Terdakwa bersama Saksi Bella, Saksi Exter, Saksi

Muhammad Alwi dan Saksi Wildan (Alm) beserta

teman-teman para Terdakwa lainnya melakukan

konvoi keliling kota, yang mana di tengah konvoi

tersebut genk Jepang bergabung dengan genk RBR

dengan tujuan hendak mencari musuh untuk tawuran,

oleh karena tidak menemui musuh, para Terdakwa

bersama Saksi Bella, Saksi Exter, Saksi Muhammad

Alwi dan Saksi Wildan(Alm) beserta teman-teman

para Terdakwa lainnya melanjutkan konvoi dan ketika

sampai di depan toko Fernando, motor yang dipakai

83
Saksi Bella kehabisan bensin, selanjutnya Saksi

Wildan (Alm) menyeberang jalan dan berjalan ke arah

toko Fernando yang kemudian diikuti oleh para

Terdakwa dengan mengambil pakaian yang ada di

meja pajang yang berada di bagian depan toko;

Bahwa, Saksi Muhammad Alwi Nasution sempat

mengejar seorang penjaga toko tersebut yang

bernama Saksi Nendi dengan cara mengacungkan

senjata tajam ke arah Saksi Nendi hingga Saksi

Nendi berlari ketakutan;

Keempat bahwa benar pencurian yang disertai kekerasan

tersebut dilakukan oleh para Terdakwa dengan

masing-masing peran, yaitu:

a. Terdakwa I, ikut melakukan pencurian, tetap

berada di motor dan mendapatkan pakaian hasil

curian;

b. Terdakwa II, ikut melakukan pencurian, tetap

berada di motor tetapi tidak mendapatkan pakaian

hasil curian;

c. Terdakwa III, ikut melakukan pencurian, tetap

berada di motor dan mendapatkan pakaian hasil

curian;

84
d. Terdakwa IV, ikut melakukan pencurian dan turun

mengambil beberapa potong celana dan

membawa senjata tajam;

e. Terdakwa V, ikut melakukan pencurian, tetap

berada di motor tetapi tidak mendapatkan pakaian

hasil curian;

f. Terdakwa VI, ikut melakukan pencurian, tetap

berada di motor tetapi tidak mendapatkan pakaian

hasil curian;

g. Terdakwa VII, ikut melakukan pencurian,

kemudian bersama Saksi Bella Arsita pergi ke

pombensin untuk mengisi bensin motor yang

dikendarai oleh Saksi Bella Arsita;

h. Terdakwa VIII, ikut melakukan pencurian dan

turun mengambil 4 (empat) potong celana dan

membawa senjata tajam;

Bahwa akibat pencurian tersebut, Saksi Candra

menderit kerugian sebesar Rp15.000.000,00 (lima

belas juta rupiah);

Kelima Menimbang, bahwa oleh Penuntut Umum, Terdakwa

didakwa dengan dakwaan yang disusun secara

alternatif, yaitu:

85
Kesatu, melanggar Pasal 365 ayat (1) KUHP jo Pasal

55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau

Kedua, melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP jo Pasal

55 ayat (1) ke-1 KUHP;

Keenam Bahwa oleh karena Surat Dakwaan disusun secara

alternatif, maka Majelis Hakim akan

mempertimbangkan dakwaan yang lebih tepat dan

mendekati fakta-fakta yang dapat dibuktikan dalam

perkara ini, yang dalam hal ini Majelis Hakim memilih

dan mempertimbangkan Dakwaan Kesatu, yaitu

melanggar Pasal 365 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat

(1) KUHP, yang unsur- unsurnya sebagai berikut:

a. Unsur Barang Siapa

b. Unsur Mengambil sesuatu barang yang sama

sekali atau sebagian kepunyaan orang lain,

dengan maksud akan memiliki barang itu dengan

melawan hak dengan didahului, disertai atau

diikuti dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan terhadap orang, dengan maksud akan

menyiapkan atau memudahkan pencurian itu atau

jika tertangkap tangan (terpergok) supaya ada

kesempatan bagi dirinya sendiri atau kawannya

yang turut melakukan kejahatan itu akan

86
melarikan diri atau supaya barang yang dicuri itu

tetap ada di tangannya;

c. Unsur Yang melakukan, menyuruh melakukan

atau yang turut melakukan;

Bahwa dari uraian pertimbangan fakta di atas,

walaupun peranan masing-masing pelaku tidak

sama, tetapi oleh karena salah seorang pelaku,

yaitu Saksi Muhammad Alwi, menyebabkan

kekerasan maka seluruh pelaku dapat

dianggap juga “turut serta melakukan”;

Bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas, maka

seluruh unsur ini telah terpenuhi;

Kedelapan Bahwa dengan terbuktinya Pasal 365 ayat (1) jo

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dalam

dakwaan kesatu tersebut, maka Terdakwa I,

Terdakwa II, Terdakwa III, Terdakwa IV, Terdakwa

V, Terdakwa VI, Terdakwa VII, dan Terdakwa VIII

yang identitasnya sebagaimana tersebut di atas

haruslah dinyatakan secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana “pencurian dengan

kekerasan secara bersama-sama”, oleh karena atas

kesalahannya itu maka menurut hukum dan keadilan

para Terdakwa haruslah dijatuhi pidana;

87
Kesembilan Bahwa dalam perkara ini terhadap para Terdakwa

telah dikenakan penangkapan dan penahanan

yang sah, maka masa penahanan tersebut harus

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

Bahwa oleh karena para Terdakwa ditahan dan

penahanan para Terdakwa dilandasi alasan yang

cukup, maka perlu ditetapkan agar para Terdakwa

tetap berada dalam tahanan;

Kesepuluh Bahwa barang bukti berupa:

- 1 (satu) buah celurit;

- 1 (satu) buah parang;

- 1 (satu) buah rekaman CCTV;

- 12 (dua belas) potong celana panjang jeans;

- 1 (satu) potong celana pendek jeans;

- 3 (tiga) potong kaos;

- 3 (tiga) potong jaket parasut;

oleh karena faktanya barang-barang tersebut masih

dipergunakan untuk perkara lain, maka perlu

ditetapkan agar barang bukti tersebut

dipergunakan dalam perkara lain;

Bahwa barang bukti berupa 1 (satu) unit sepeda

motor merk Honda Revo No. Pol. B6176ETK warna

hitam tahun 2010, oleh karena faktanya barang bukti

88
tersebut disita dari Terdakwa VI, maka perlu

ditetapkan agar barang bukti tersebut dikembalikan

kepada Terdakwa VI;

Kesebelas Bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap diri para

Terdakwa, maka perlu dipertimbangkan terlebih

dahulu keadaan yang memberatkan dan yang

meringankan para Terdakwa;

Keadaan yang memberatkan:

- Perbuatan para Terdakwa merugikan

Saksi Candra hingga senilai

Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah);

- Perbuatan para Terdakwa telah meresahkan

masyarakat dan telah menjadi sorotan masyarakat

luas oleh karena menunjukkan bentuk kekerasan

secara massal (kelompok) dengan merampas

(penjarahan) milik orang lain secara melawan

hukum;

Keadaan yang meringankan:

- Para Terdakwa sopan dalam persidangan dan

mengakui terus terang perbuatannya sehingga

memperlancar jalannya persidangan;

- Para Terdakwa merasa bersalah dan menyesali

perbuatannya;

89
- Para Terdakwa berjanji tidak akan mengulangi

perbuatannya lagi;

- Para Terdakwa belum pernah dihukum;

Keduabelas Bahwa oleh karena Terdakwa dijatuhi pidana maka

haruslah dibebani pula untuk membayar biaya

perkara;

Ketigabelas Memperhatikan, Pasal 365 ayat (1) jo Pasal 55

ayat (1) ke-1 KUHP, Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta

peraturan perundang-undangan lain yang

bersangkutan;

3. Analisis Pertimbangan Hukum Majelis Hakim memberikan putusan

pidana pada Putusan Nomor 128/Pid.B/2018/PN Dpk.

Berdasarkan Pasal 197 ayat (1) KUHAP maka terhadap

putusan perkara pidana mengikuti sistematika sebagai berikut:

a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";

b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis

kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan

terdakwa;

c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta

dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari

90
pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan

kesalahan terdakwa;

e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat

tuntutan;

f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-

undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai

keadaan yang memberatkan dan yang meringankan

terdakwa;

g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim

kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi

semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan

kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang

dijatuhkan;

i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan

menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai

barang bukti;

j. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan

atau dibebaskan;

k. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama

hakim yang memutus dan nama panitera;

91
Tidak dipenuhinya atau pengabaian terhadap ketentuan Pasal

197 ayat (1) huruf a, b, c, d, e f, h, dan j mengakibatkan batalnya

sebuah putusan sebagaimana dimaksud Pasal 197 ayat (2)

KUHAP.103

Berdasarkan uraian diatas, maka Putusan Nomor

128/Pid.B/2018/PN.Dpk (Aquo) telah memenuhi sistematika yang

telah ditentukan berdasarkan Pasal 197 ayat (1) KUHAP dalam

huruf a, b, c, d, e, f, h, dan j KUHAP.

Bahwa berdasarkan Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam

Perkara Aquo yang terungkap didalam persidangan adalah sebagai

berikut:

a. Bahwa bentuk dakwaan dalam perkara Aquo adalah

Dakwaan Alternatif yang mana dalam Dakwaan pertama

adalah Pasal 365 ayat (1) KUHPJo Pasal 55 ayat (1) ke-1

KUHP dan Dakwaan kedua adalah Pasal 368 ayat (1) KUHP

Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam hal ini yang lebih

tepat dan mendekati fakta-fakta yang ada didalam

persidangan adalah Dakwaan Pertama yang mana semua

unsur-unsur dalam dakwaan tersebut terbukti yaitu :

1) Unsur Barang Siapa.

2) Unsur mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau

sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud akan

103
Lihat, Putusan MK Nomor 69/PUU-X/2012 Jo Nomor 68/PUU-XI/2013.

92
memiliki barang itu dengan melawan hak dengan

didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud

akan menyiapkan atau memudahkan pencurian itu atau

jika tertangkap tangan (terpergok) supaya ada

kesempatan bagi dirinya sendiri atau kawannya yang

turut melakukan kejahatan itu akan melarikan diri atau

supaya barang yang dicuri itu tetap ada ditangannya.

3) Unsur yang melakukan, menyuruh melakukan atau yang

turut melakukan.

b. bahwa terhadap barang bukti yang diajukan oleh karena

faktanya barang-barang tersebut masih dipergunakan untuk

perkara lain, maka perlu ditetapkan agar barang bukti

tersebut dipergunakan dalam perkara lain.

Bahwa terhadap barang bukti berupa 1 (satu) unit sepeda

motor merk Honda Revo No. Pol. B6176ETK warna hitam

tahun 2010, oleh karena faktanya barang bukti tersebut

disita dari Terdakwa VI, maka perlu ditetapkan agar barang

bukti tersebut dikembalikan kepada Terdakwa VI.

Bahwa terhadap Perkara Aquo, yang menjadi pertimbangan

dalam analisis hukum pidana Materiil adalah sebagai berikut:

a. Terhadap Penyertaan (Pasal 55 KUHP) bahwa meskipun

hanya salah satu Terdakwa yang melakukan kekerasan

93
didalam pencurian tersebut yaitu Muhammad Alwi, maka

dianggap semua Terdakwa kekerasan. Hal ini terjadi karena

Peristiwa tersebut dilakukan secara bersama-sama.

b. Terhadap keadaan yang memberatkan, karena perbuatan

para Terdakwa menyebabkan kerugian yaitu senilai

Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) dan juga karena

perbuatan para Terdakwa telah meresahkan masyarakat

dan telah menjadi sorotan masyarakat luas oleh karena

menunjukkan bentuk kekerasan secara massal (kelompok)

dengan merampas (penjarahan) milik orang lain secara

melawan hukum.

c. Terhadap keadaan yang meringankan, karena para

Terdakwa sopan dalam persidangan dan mengakui

perbuatannya sehingga memperlancar jalannya

persidangan. Para Terdakwa juga merasa bersalah,

menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi

perbuatannya lagi. Para Terdakwa belum pernah menerima

hukuman pidana.

94
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan sebagaimana telah diuraikan diatas, maka

dalam hal ini penulis menarik kesimpulan dari penulisan ini adalah

sebagai berikut:

1. Bahwa terhadap Pengaturan mengenai Pencurian dengan

menggunakan Kekerasan dalam hal dilakukan oleh Geng Motor

sudah sesuai dengan penerapan Undang-Undang yang ada.

Karena melihat dari akibat tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa

adalah suatu cara untuk mendapatkan keuntungan tanpa

memperdulikan kerugian yang ditimbulkan. Kekerasan yang

dilakukan bukanlah merupakan kekerasan yang mengakibatkan

luka fisik. Namun tetap dianggap melakukan kekerasan karena

tujuan melakukan kekerasan tersebut untuk memperlancar atau

mempermudah Kejahatan yang dilakukan oleh Geng Motor

tersebut.

2. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim sudah tepat dalam

menjatuhkan Putusan Pemidanaan terhadap Para Terdakwa yang

mana dalam Perkara Aquo sudah dijelaskan pula bahwa meskipun

hanya salah satu Terdakwa yang melakukan Kekerasan, seluruh

terdakwa dianggap melakukan hal yang sama. Sehingga

95
penjatuhan Pidana Penjara terhadap semua Terdakwa dianggap

sama tanpa adanya pengecualian.

B. Saran

Dari permasalahan sebagaimana telah diuraikan diatas, maka

dalam hal ini penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Perlu adanya perubahan terhadap sanksi terhadap tindak pidana

yang dilakukan. bahwa kerugian yang ditimbulkan akibat adanya

pencurian dengan kekerasan tersebut bukan hanya mengalami

kerugian secara material semata namun juga kerugian secara

kejiwaan. Bahwa Penjaga toko tersebut mengalami kerugian

mental yang dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan diri

untuk menjaga toko dan juga ketakutan atau Paranoia terhadap

senjata tajam yang dibawa oleh pelaku kejahatan. Dan juga

terhadap biaya perkara yang dibebankan kepada Para Terdakwa,

tidak sesuai dengan kerugian yang diterima oleh pemilik toko.

Sehingga hal ini perlu dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung

dalam hal ini yang memeriksa setiap perkara pidana yang terjadi

dimasyakat. Bahwa perlu adanya perubahan dalam KUHP yang

menjadi acuan dalam pemutusan pidana.

2. Hendaknya putusan ini menjadi suatu yurisprudensi para Hakim

dalam memutus perkara yang sama sehingga pemahaman

terhadap pencurian dengan kekerasan menjadi selaras dengan

penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan tersebut.

96
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdullah, Mustafa. dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1983.
Abidin, Zainal. Hukum Pidana I, Jakarta,Sinar Grafika, 2007.

Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2012.

Anwar, Yesmil. Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosio Kultural


Kriminologi Hukum, Bandung, UNPAD Press, 2014.
Bawengan, G.W., Masalah Kejahatan Dengan Sebab dan Akibat, Jakarta ,
Pradnya Paramita, 1977.
Chazawi, Adami (1). Pelajaran Hukum Pidana , Jakarta,PT Raja Grafindo Persada,
2002.
________(2). Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta, Rajawali Pers, 2002.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, PN


Balai Pustaka, 2013.
Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 1994.

Hiariej, Eddy O.S., Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana,
Jakarta, Erlangga, 2009.
Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Jakarta, Storia Grafika, 2002.
Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti,
1997.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Ed. Rev, Cet. 12. Jakarta: Kencana,
Prenadamedia Group, 2016.
Moeljatno (1). Asas-asas Hukum Pidana , Jakarta, Rineka Cipta, 2008.

Moeljatno (2), Asas-Asas Hukum Pidana, Cet- VIII, Ed. Rev., Jakarta,RinekaCipta,
2009.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PN Balai
Pustaka, 2014.
Prakoso, Djoko, dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai
Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1984.
Prasetya, Teguh. Hukum Pidana, Yogyakarta, Raja Grafindo Persada, 2011.
Remmelink, Jan, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP
Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta, PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Safudin, Endrik. Dasar-dasar Ilmu Hukum, Ed. 1, Malang, Setara Press, 2017.
Saleh, K. Wantjik. Kehakiman dan Keadilan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm.
11.
Santoso, Topo.Kriminologi, Jakarta, Grafindo Persada, 2012.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3. Jakarta, Universitas
Indonesia, UI-Press, 1986.
Subdirektorat Statistik Politik dan Keamanan, Statistik Kriminal 2020, Jakarta,
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, 2020.
Susanti, Dyah Ochtorina dan A’an Efendi. Penelitian Hukum (Legal Research), Cet.
1. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
Malang, UMM Press, 2008.
Wiradipradja, Saefullah. Penuntun Praktis Metode Penelitian dan Penulisan Karya
Ilmiah Hukum, Cet. 2. Bandung: CV Keni Media, 2015.
Zuleha, Dasar-dasar Hukum Pidana, Cet. 1, Ed. 1, Yogyakarta, Deepublish, 2017.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU


Nomor 2 Tahun 2002, LNRI Tahun 2002 No.2 , TLNRI No. 4168

C. Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan Negeri Depok No. 128/Pid.B/2018/PN Dpk.

Putusan MK Nomor 69/PUU-X/2012 Jo Nomor 68/PUU-XI/2013.

D. Artikel, Jurnal

Dewa Gede Atmadja, “Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum,” Kertha


Wicaksana, (Vol. 12, No. 2, Agustus 2018).
Moh Khasan, Prinsip-Prinsip Keadilan Hukum Dalam Asas Legalitas Hukum Pidana
Islam, Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, (Vol. 6,
No. 1, April 2017).
E. Internet

“Kota Depok” https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Depok


“Geng Motor” https://id.wikipedia.org/wiki/Geng_motor
“Arti Asas Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif dalam Hukum Pidana”,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5b07770d798f2/arti-
asas-personalitas-atau-asas-nasionalitas-aktif-dalam-hukum-pidana
LEMBAR BIMBINGAN SKRIPSI

Nama : MUHAMMAD IQBAL ARIZEKI


NIM : 16080055
Judul Skripsi : PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA
PENCURIAN DILAKUKAN OLEH ANGGOTA GENG
MOTOR DI KOTA DEPOK
(ANALISIS PUTUSAN PN DEPOK No.
128/Pid.B/2018/PN. Depok)

Dosen Pembimbing I : Nunuk Sulisrudatin, S.H., S.IP., M.Si.

Perihal Tandatangan
No Tanggal
Bimbingan/Konsultasi Pembimbing
1

9
LEMBAR BIMBINGAN SKRIPSI

Nama : MUHAMMAD IQBAL ARIZEKI


NIM : 16080055
Judul Skripsi : PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA
PENCURIAN DILAKUKAN OLEH ANGGOTA GENG
MOTOR DI KOTA DEPOK
(ANALISIS PUTUSAN PN DEPOK No.
128/Pid.B/2018/PN. Depok)

Dosen Pembimbing I : Aria Caesar Kusuma Atmaja, S.H., M.H.

Perihal Tandatangan
No Tanggal
Bimbingan/Konsultasi Pembimbing
1

9
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Muhamad Iqbal Arizeki, Sukoharjo, 24 Juni 1996, Islam,


Beralamat di Komplek TNI AU no. 21 RT 003, RW 005,
Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok,
Provinsi Jawa Barat, Putra dari Pasangan Suami Isteri Bapak
Ngadimin Ibu Sukarni, memiliki adik bernama Malika Fitria
Azzahra, Menempuh Pendidikan Umum Sekolah Dasar di SD
Negeri Mekarsari 2, Lulus Tahun 2008.

Kemudian menempuh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 126 Jakarta,
Lulus pada Tahun 2011, dilanjut dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 64
Jakarta, Lulus pada tahun 2014, dan melanjutkan ke Jenjang Strata Satu (S1) di Universitas
Dirgantara Marsekal Suryadarma (UNSURYA) lulus pada tahun 2022, Pengalaman
Organisasi aktif di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Unsurya, Pernah berpartisipasi
sebagai Pasukan Pengibar Bendera Pusaka Kota Madya Jakarta Timur Pada Tahun 2013.
Pengalaman Kerja dari Tahun 2015 sampai dengan sekarang Aktif bekerja sebagai Aparatur
Sipil Negara pada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Karier Pertama setelah
melaksanakan Pendidikan Pembentukan Brigadir Polri Tugas Umum Tahun Angkatan
2015/2016, berdinas di Dit Samapta Polda Metro Jaya Tahun 2016 s/d 2018, Satsabhara
Polres Metro Depok Tahun 2018 s/d 2021, Satresnarkoba Polres Metro Depok Tahun 2021
s/d Sekarang.

Jakarta, April 2022


Hormat Saya

Muhamad Iqbal Arizeki


DAFTAR LAMPIRAN

No Deskripsi Kode Lampiran

1 Surat Keputusan Dosen Pembimbing Lampiran I

2 Lembar Bimbingan Skripsi Lampiran II

Putusan Pengadilan Negeri Depok No.


3 Lampiran III
128/Pid.B/2018/PN. Depok
LAMPIRAN I
LAMPIRAN II
LAMPIRAN III

Anda mungkin juga menyukai