Anda di halaman 1dari 9

Journal on Education

Volume 05, No. 04, Mei-Agustus 2023, pp. 11667-11675


E-ISSN: 2654-5497, P-ISSN: 2655-1365
Website: http://jonedu.org/index.php/joe

Analisis Yuridis Peranan Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana di


Indonesia

Mohd. Yusuf Daeng M.1, Reni Astuti 2, Robin Eduar3, Zulkardi4, Muhammad Fadli i’lmi5, Geofani
Milthree Saragih6
1, 2, 3,4,5
Universitas Lancang Kuning, Jl. Yos Sudarso No.KM 8, Umban Sari, Kec. Rumbai, Kota Pekanbaru, Riau
6
Universitas Riau, Jl. Pattimura No.9, Cinta Raja, Kec. Sail, Kota Pekanbaru, Riau
yusufdaeng23@gmail.com

Abstract
The Attorney General's Office of the Republic of Indonesia is a government institution that has an important role
in the criminal justice process which has the main task of carrying out prosecutions and other authorities that it
has as one of the law enforcers. In this research, the focus that will be the main topic is the role of prosecutors in
the criminal justice system in Indonesia. Prosecutors are civil servants with functional positions who have
specificity and carry out their duties, functions and authorities based on the law. When he enters the trial, the
Prosecutor switches status to become a Public Prosecutor (as long as he has been given a task order as a Public
Prosecutor in a case). The Public Prosecutor is a Prosecutor who has been given the authority to prosecute and
carry out decisions up to the Judge's decision and other matters that have been regulated in the law. This study
uses a juridical normative research type by linking the subject matter to the main topic in this research, namely
the role of the prosecutor in law enforcement in the criminal justice system in Indonesia.
Keywords: Prosecutor's Office, Criminal Justice System, Criminal Law.

Abstrak
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang memiliki peranan penting dalam proses
peradilan pidana dimana memiliki tugas utama yaitu melaksanakan penuntutan serta kewenangan lainnya yang
dimiliki sebagai salah satu penegak hukum. Dalam penelitian ini, fokus yang akan dijadikan topik utama adalah
peranan jaksa dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Jaksa adalah pegawai negeri sipil dengan jabatan
fungsional yang memiliki kekhususan dan melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangannya berlandaskan pada
undang-undang. Apabila sudah masuk dalam persidangan, Jaksa beralih status menjadi Penuntut Umum (selama
telah diberikan perintah tugas sebagai Penuntut Umum dalam suatu perkara). Penuntut Umum merupakan Jaksa
yang telah diberikan kewenangan untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hingga putusan
Hakim serta hal lainnya yang telah diatur di dalam undang-undang. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
normatif yuridis dengan mengaitkan pokok pembahasan terhadap topik utama di dalam penelitian ini yakni
peranan Jaksa dalam penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Kata Kunci: Kejaksaan, Sistem Peradilan Pidana, Hukum Pidana.

Copyright (c) 2023 Mohd. Yusuf Daeng M., Reni Astuti, Robin Eduar, Zulkardi, Geofani Milthree Saragih
🖂 Corresponding author: Mohd. Yusuf Daeng M
Email Address: yusufdaeng23@gmail.com (Universitas Lancang Kuning, Jl. Yos Sudarso No.KM 8, Umban
Sari, Kec. Rumbai, Kota Pekanbaru, Riau)
Received 28 February 2023, Accepted 6 March 2023, Published 7 March 2023

PENDAHULUAN
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak
sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-undang. Peran yang demikian menuntut seorang jaksa
tidak hanya menguasai disiplin hukum pidana, tetapi juga disiplin hukum perdata dan tata usaha negara
(DJUNAEDI, 2014). Jaksa tidak hanya dituntut menguasai hukum positif yang bersifat umum (lex
generalis) tetapi juga yang bersifat khusus (lex specialis) yang banyak lahir akhir-akhir ini (Kelik
Pramudya & Ananto Widiatmoko, 2010). Secara etimologi, istilah Jaksa berasak dari kata Adhyakasa
11668 Journal on Education, Volume 05, No. 04, Mei-Agustus 2023, hal. 11667-11675

(Sanskerta) yang berarti hakim kerajaan tinggi. Berdasarkan ejaan yang paling tua, pada masa
pemerintahan VOC ditulis dengan kata jaxa. Hingga pada masa pemerintahan Kolonial Belanda pada
tahun 1942, kata jaxa berubah menjadi djaksa yang digunakan untuk menyebut pejabat bumi putera
yang hampir sama dengan magistrate. Kemudian, pada masa penjajahan Jepang istilah djaksa mulai
digunakan untuk menyebut penegak hukum yang berwenang menuntut perkara-perkara pidana (R.M.
Surahman & Andi Hamzah, 1996). Kejaksaan Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintahan
yang menjalankan kekuasaan negaradi bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-
undang. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin
oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden (Imman Yusuf Sitinjak,
2018). Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara
khususnya di bidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan (en een ondelbaar).
Hingga saat ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Erdianto Effendi, masih sering terjadi
perdebatan apakah institusi Kejaksaan merupakan bagian dari pemerintah atau terlepas dari pemerintah
(Erdianto Effendi, 2021). Jika Kejaksaan terlepas dari pemerintah, maka Jaksa Agung selaku pimpinan
tertinggi instansi Kejaksaan tidak berada di bawah Presiden. Jika demikian, kepada siapakah Kejaksaan
bertanggung jawab? Jika Kejaksaan berada di bawah pengadilan atau menjadi bagian dari kekuasaan
Yudikatif, tentu saja akan menyebabkan Jaksa tidak lagi mandiri, namun subordinat di bawah
Pengadilan. Dalam penegakan hukum, Jaksa berada pada posisi sentral dan peranan strategis dalam hal
proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan
keputusan pengadilan (Ali Imron, 2016). Jaksa menjadi salah satu pilar penting dalam penegakan
hukum di Indonesia. Di Indonesia jaksa memiliki peran di dalam persidangan. Peran, yang dimaksudkan
adalah jaksa memiliki tugas, fungsi, kewajiban dan serta kewenangan dari sebelum dimulainya
persidangan sampai dengan dijatuhkannya putusan oleh hakim yang mana putusan tersebut sudah
memiliki kekuatan hukum yang tetap atau sudah final and binding dan kemudian diakhiri dengan
eksekusi yang dilakukan oleh jaksa eksekutor atau jaksa penuntut umum (Moh. Andika Surya Lebang
& Rendi Kastra, 2021). Dalam penelitian ini akan dikaji mengenai peranan dan kedudukan Kejaksaan
(Jaksa) dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

METODE
Metode yang peneliti digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian normatif. Jenis
penelitian normatif adalah suatu proses menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, ataupun
doktrin-doktrin hukum, untuk menjawab isu hukum yang sedang dihadapi (Derita Prapti Rahayu &
Sulaiman, 2020). Pendekatan penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian hukum ini
adalah pendekatan undang-undang (statute approach). Selain itu dalam penelitian digunakan juga
pendekatan kasus (case approach) dengan menelaah kasus dengan isu hukum yang dihadapi (Peter
Mahmud Marzuki, 2014). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sumber data sekunder. Data
Analisis Yuridis Peranan Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Mohd. Yusuf Daeng M., Reni Astuti ,
Robin Eduar, Zulkardi, Muhammad Fadli i’lmi, Geofani Milthree Saragih 11669

sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan yang berkaitan dengan masalah
penelitian. Sedangkan data sekunder yang peneliti gunakan berupa bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-
catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim. Sedangkan Sumber-sumber bahan sekunder berupa buku-buku teks, kamus-kamus hukum,
jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2014).

HASIL DAN DISKUSI


Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Sebelumnya, perlu untuk membahas mengenai beberapa defenisi tentang sistem peradilan
pidana. Menurut Reksodiputro, sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk
menanggulangi masalah kejahatan. Pengertian menanggulangi dimaksudkan sebagai usaha untuk
mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat (M. Reksodiputro, 2007).
Sistem yang bekerja untuk pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan terpidana. Kemudian, menurut Atmasasmita, sistem
peradilan pidana sebagai suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan
kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan sistem. Pendapat tersebut sejalan dengan apa yang
disampaikan Remington & Ohlin mengenai sistem peradilan pidana sebagai pemakaian pendekatan
sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem
merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi, dan sikap atau
tingkah laku sosial (Romli Atmasasmita, 2010). Sistem peradilan pidana merupakan suatu sistem karena
di dalam sistem peradilan pidana tersebut terdiri dari komponen-komponen atau lembaga yang masing-
masing mempunyai wewenang dan tugas sesuai bidangnya serta peraturan yang melatarbelakanginya
masing-masingnya (Riki Afrizal, 2020).
Secara yuridis dan faktual, sub-sistem Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagai pengemban
kekuasaan penegakan hukum, tidak bernaung dalam satu atap kekuasaan yudikatif. Kepolisian dan
Kejaksaan dua pilar penegakan hukum dalam fungsi penyidikan dan penuntutan disamping Lembaga
Pemasyarakatan sebagai pelaksana pidana di bawah kendali kekuasaan Pemerintah. Dilihat dari
perspektif konstitusi, secara kelembagaan ketiga lembaga pengemban fungsi Yudikatif tersebut adalah
organ Eksekutif dan di bawah subordinasi kekuasaan Eksekutif. Kalau secara konstitusional Kekuasaan
Kehakiman diakui sebagai kekuasaan yang merdeka, tentunya sub-sistem penyelenggara Kekuasaan
Kehakiman di bidang penegakan hukum pidanapun harus berada dalam satu atap atau dalam satu ranah
kekuasaan yudikatif (Pujiyono, 2012). Sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) merupakan
suatu sistem yang sengaja dibentuk guna menjalankan upaya penegakan hukum (hukum pidana) yang
dalam pelaksanaannya dibatasi oleh mekanisme kerja tertentu dalam suatu aturan tentang prosedur
hukum tertentu yang dikenal dengan sistem peradilan pidana. Menghukum pelaku tindak pidana dan
menjamin pelaksanaan hukum disuatu negara (Ferdian Rinaldi, 2022). Mardjono Reksodiputro
11670 Journal on Education, Volume 05, No. 04, Mei-Agustus 2023, hal. 11667-11675

memberikan definisi sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem yang berlaku di masyarakat untuk
menanggulangi masalah kejahatan dalam arti menanggulangi kejahatan dalam batas-batas toleransi
masyarakat. Oleh karenanya tujuan sistem peradilan pidana adalah (Mardjono Reksodiputro, 1994):
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
2. Menyelesaiakan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas karena keadilan telah
ditegakan dan yang bersalah dipidana;
3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi
kejahatannya.
Dalam sistem peradilan pidana, Barda Nawawi Arief pernah menjelaskan subsistem peradilan
pidana yang diwujudkan melalui 4 (empat) subsistem diantaranya (Rico Yodi Tri Utama & Retno
Saraswati, 2021):
1. Kewenangan “Penyidikan” oleh Badan/ lembaga Penyidik;
2. Kewenangan “Penuntutan” oleh badan/lembaga Penuntut Umum;
3. Kewenangan “mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana” oleh Badan Pengadilan;
4. Kewenangan “pelaksanaan Putusan Pidana” oleh Aparat Pelaksanaan pidana/Eksekusi.
Sub-sistem Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagai pengemban kekuasaan penegakan hukum,
tidak bernaung dalam satu atap kekuasaan yudikatif. Kepolisian dan Kejaksaan dua pilar penegakan
hukum dalam fungsi penyidikan dan penuntutan disamping Lembaga Pemasyarakatan sebagai
pelaksana pidana di bawah kendali kekuasaan Pemerintah. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi
wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-
undang. Peran yang demikian menuntut seorang jaksa tidak hanya menguasai disiplin hukum pidana,
tetapi juga disiplin hukum perdata dan tata usaha negara. Jaksa tidak hanya dituntut menguasai hukum
positif yang bersifat umum (lex generalis) tetapi juga yang bersifat khusus (lex specialis) yang banyak
lahir akhir-akhir ini (J. Pajar Widodo, 2012).
Peranan Kejaksaan (Jaksa) Dalam Sistem Peradilan Pidana
Hal penting dalam sistem peradilan pidana yakni terdapat sub sistem penuntutan yang dilakukan
oleh Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang
berperan sebagai aparat penegak hukum dengan mejalankan fungsinya yang mempunyai wewenang
sebagai penuntut umum, pelaksanaan putusan pengadilan serta wewenang lain yang diatur dalam
undang-undang kejaksaan dalam koridor sebagai aparat penegak hukum. Jaksa memiliki peranan
penting dalam persidangan dan jaksapunlah yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
melakukan penuntutan sebagai penuntut umum yang bertindak atas nama Negara dalam menjalankan
tugas dan wewenangannya (Appludnopsanji & Pujiyono, 2020). Diantara beberapa subsistem sistem
peradilan pidana, instituisi Jaksa (Penuntut Umum) memiliki peranan yang sangat penting dalam
penanganan suatu perkara pidana, oleh karenanya Kejaksaan memiliki kewenangan untuk menguji
Analisis Yuridis Peranan Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Mohd. Yusuf Daeng M., Reni Astuti ,
Robin Eduar, Zulkardi, Muhammad Fadli i’lmi, Geofani Milthree Saragih 11671

suatu perkara dalam proses persidangan dihadapan majelis hakim dalam melaksanakan kegiatan
penegakan hukum (Djunaedi, 2014). Kejaksaan Negara Republik Indonesia sebagai lembaga negara
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh
kekuasaan pihak manapun, yakni dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (Josua D. W. Hutapea, 2017). Pada dasarnya, secara
substansial di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dibedakan antara Jaksa dan Penuntut umum. Berdasarkan Pasal 6 huruf a
KUHAP, Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai
penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sedangkan di dalam Pasal 6 huruf b KUHAP, Penuntut umum didefenisikan sebagai jaksa yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Sehingga dapat dikatakan bahwa Penutut Umum sudah pasti adalah Jaksa. Pengertian Jaksa berkorelasi
dengan aspek jabatan atau pejabat fungsional, sedangkan pengertian penuntut umum berkorelasi dengan
aspek fungsi dalam melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim di depan persidangan
(Lilik Mulyadi, 2012). Berangkat dari aspek jabatan dan pejabat fungsional yang berkenaan dengan
yang telah ditegaskan sebelumnya, pada hakikatnya yang menjadi tugas dan wewenang Jaksa dalam
proses hukum acara pidana dapat meliputi hal-hal berikut:
1. Melakukan permintaan pemeriksaan kembali perkara pidana karena surat catatan pemeriksaan
perkara tersebut hilang sedangkan Keputusan Pengadilan harus terus dijalankan atau apabila
terhadap surat keputusan atau turunan sah keputusan asli ataupun petikan dari keputusan asli timbul
keragu-raguan perihal macam, jumlah dan waktu berakhirnya hukuman yang telah dijalankan
tersebut, pengadilan yang bersangkutan karena jabatannya atas permintaan Jaksa, ataupun atas
permintaan terhukum setelah mengadakan pemeriksaan dapat mengadakan penetapan resmi tentang
macam, jumlah waktu berakhirnya hukuman tersebut (Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1952 Tentang Peraturan Untuk Menghadapi Kemungkinan Hilangnya Surat Keputusan Dan
Surat-Surat Pemeriksaan Pengadilan;
2. Wajib mengundurkan diri apabila masih terikat dalam hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan terdakwa
(Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman);
3. Melaksanakan penetapan dan putusan Hakim dalam perkara pidana (Pasal 30 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan);
4. Meminta kepada Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan kemudian menetapkan dapat atau
tidaknya seseorang diekstradisi dan Jaksa menghadiri sidang tersebut dan memberikan pendapatnya
(Pasal 27, Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi);
5. Melakukan penyidikan menurut ketentutan khusus acara pidana sebagaimana yang telah ditentukan
dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP atau melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang sebagaimana ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang
11672 Journal on Education, Volume 05, No. 04, Mei-Agustus 2023, hal. 11667-11675

Nomor 16 Tahun 2004 dan melakukan permintaan secara tertulis terhadap pengeluaran barang
rampasan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal
7, Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana);
6. Melakukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas berdasarkan situasi dan kondisi demi
hukum, keadilan dan kebenaran;
7. Melakukan pemeriksaan apabila terdapat indikasi kuat telah terjadi penyelewengan dan
penyimpangan atau penyalahgunaan yang dilakukan oleh Pejabat/ Pegawai/ Kepala Desa dan
perangkatnya dalam jajaran departemen dalam negeri yang diduga sebagai tindak pidana khusus
seperti korupsi, penyeludukan dan subversi setelah terlebih dahulu memberitahukan kepada Pejabat
yang berwenang;
8. Melakukan penyeldidikan dan/atau penyidikan atau hasil temuan BPKP dalam melaksanakan tugas
pengawasannya menemukan kasus yang berindikasi korupsi.
Jaksa memiliki kewenangan dalam hal penyadapan sebagai bagian dari kewenangan Jaksa di
bidang intelijen. Adapun pemberian peranan penyadapan tersebut memiliki beberapa tujuan yaitu
sebagai berikut (Debby Jayanti et al., 2022):
1. Untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim;
2. Untuk kepentingan intelijen negara;
3. Untuk kepentingan peradilan pidana.
Selain itu, peranan Jaksa sebagai penegak hukum di bidang intelijen ditegaskan di dalam Pasal
30B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, adapaun peranan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Berwenang menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan untuk
kepentingan penegakan hukum;
2. Menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan;
3. Melakukan kerja sama intelijen dan/atau penyelenggara intelijen negara lainnya di dalam maupun
di luar negeri;
4. Melaksanakan pencegahan korupsi, kolusi dan nepotisme;
5. Melaksanakan pengawasan multimedia.
Kemudian, peranan dan wewenang Jaksa lainnya ditegaskan di dalam Pasal 30C Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan Republik Indonesia yakni sebagai berikut:
1. Menyelenggarakan kegiatan statistic kriminal dan Kesehatan yustisial kejaksaan;
2. Turut serta dan aktif dalam pencarian kebenaran atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang
berat dan konflik sosial tertentu demi terwujudnya keadilan;
3. Turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta
proses rehabilitasi, restitusi dan kompensasinya;
Analisis Yuridis Peranan Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Mohd. Yusuf Daeng M., Reni Astuti ,
Robin Eduar, Zulkardi, Muhammad Fadli i’lmi, Geofani Milthree Saragih 11673

4. Melakukan mediasi penal, melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan pidana
pengganti serta restitusi;
5. Dapat memberi keterangan sebagai bahan informasi dan verifikasi tentang ada atau tidaknya
dugaan pelanggaran hukum yang sedang atau telah diproses dalam perkara pidana untuk
menduduki jabatan publik atas permintaan instansi yang berwenang;
6. Menjalin fungsi dan kewenangan di bidang keperdataan dan/atau bidang publik lainnya
sebagaimana diatur di dalam undang-undang;
7. Melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda atau uang pengganti;
8. Melakukan penyadaban berdasarkan undang-undang khusus yang mengatur mengenai penyadapan
dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana.
Sama dengan Kepolisian, Jaksa juga merupakan pranata publik penegak hukum yang di dalam
sistem peradilan pidana justru merupakan sumber awal dari suatu proses peradilan (M. Yuhdi, 2014).
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan
supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta
pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Yohana EA Aritonang et al., 2022). Sistem Peradilan
Pidana adalah suatu cara pengendalian kejahatan yang melibatkan berbagai lembaga, yakni Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan lembaga Pemasyarakatan (Barhamudin & Abuyazid Bustomi, 2023). Dengan
demikian, Kejaksaan merupakan salah satu penegak hukum yang memiliki peranan sentral dalam
penegakan hukum di Indonesia.

KESIMPULAN
Dalam sistem peradilan pidana terdapat beberapa bagian sub-sistem yang menjadi satu
kesatuan. Kepolisian dan Kejaksaan menjadi dua pilar penting dalam penegakan hukum dalam fungsi
penyidikan dan penuntutan disamping Lembaga Pemasyarakatan sebagai pelaksana pidana di bawah
kendali kekuasaan Pemerintah. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-
undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-undang. Peran yang
demikian menuntut seorang jaksa tidak hanya menguasai disiplin hukum pidana, tetapi juga disiplin
hukum perdata dan tata usaha negara. Jaksa tidak hanya dituntut menguasai hukum positif yang bersifat
umum (lex generalis) tetapi juga yang bersifat khusus (lex specialis) yang banyak lahir akhir-akhir ini.
Kejaksaan memiliki peranan penting dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

REFERENSI
Ali Imron. (2016). Peran Dan Kedudukan Empat Pilar Dalam Penegakan Hukum Hakim Jaksa Polisi
Serta Advocat Dihubungkan Dengan Penegakan Hukum Pada Kasus Korupsi. Jurnal Surya
Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum Dan Keadilan, 6(1), 96.
11674 Journal on Education, Volume 05, No. 04, Mei-Agustus 2023, hal. 11667-11675

Appludnopsanji, & Pujiyono. (2020). Restrukturisasi Budaya Hukum Kejaksaan Dalam


Penuntutan Sebagai Independensi di Sistem Peradilan Pidana Indonesia. SASI, 26(4), 572.
Barhamudin, & Abuyazid Bustomi. (2023). Jaksa Penyidik dan Penuntut Umum Dalam Pidana
Korupsi Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia. Solusi, 21(1), 69.
Debby Jayanti, Usman, & Elly Sudarti. (2022). Kewenangan Jaksa Melakukan Penyadapan Dalam
Proses Peradilan Pidana. Jurnal Sains Sosio Humaniora, 6(1), 673.
Derita Prapti Rahayu, & Sulaiman. (2020). Metode Penelitian Hukum. Thafa Media.
Djunaedi. (2014). Tinjauan Yuridis Tugas Dan Kewenangan Jaksa Demi Tercapainya Nilai-Nilai
Keadilan. Jurnal Pembaharuan Hukum, 1(1), 85.
Djunaedi. (2014). Tinjauan Yuridis Tugas Dan Kewenangan Jaksa Demi Tercapainya Nilai-Nilai
Keadilan. Jurnal Pembaharuan Hukum, 1(1), 84.
Erdianto Effendi. (2021). Hukum Acara Pidana Perspektif KUHAP Dan Peraturan Lainnya. Refika
Aditama.
Ferdian Rinaldi. (2022). Proses Bekerjanya Sistem Peradilan Pidana Dalam Memberikan Kepastian
Hukum Dan Keadilan. Jurnal Hukum Respublica Fakultas Hukum Universitas Lancang
Kuning, 21(2), 180.
Imman Yusuf Sitinjak. (2018). Peran Kejaksaan Dan Peran Jaksa Penuntut Umum Dalam Penegakan
Hukum. Jurnal Ilmiah Maksitek, 3(3), 99.
J. Pajar Widodo. (2012). Reformasi Sistem Peradilan Pidana Dalam Rangka Penanggulangan Mafia
Pengadilan. Jurnal Dinamika Hukum, 12(1), 110.
Josua D. W. Hutapea. (2017). Tugas Dan Wewenang Jaksa Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Lex Crimen, VI(2), 60.
Kelik Pramudya, & Ananto Widiatmoko. (2010). Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum. Pustaka
Yustisia.
Lilik Mulyadi. (2012). Hukum Acara Pidana . PT Alumni.
M. Reksodiputro. (2007). Hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana: Kumpulan karangan buku
ketiga. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi)
Universitas Indonesia.
M. Yuhdi. (2014). Tugas Dan Wewenang Kejaksaan Dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum. Jurnal
Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 27(2), 94.
Mardjono Reksodiputro. (1994). Sistem Peradilan Pidana Indonesia . Universitas Indonesia.
Moh. Andika Surya Lebang, & Rendi Kastra. (2021). Perbandingan Antara Peran Jaksa Di Indonesia
Dengan Peran Jaksa Di Daearah Administrasi Khusus Macao Dalam Sistem Peradilan Pidana.
Jurnal Cahaya Keadilan, 9(2), 1–2.
Peter Mahmud Marzuki. (2014). Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Kencana Prenada Media Group.
Pujiyono. (2012). Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia Dalam Perspektif Kemandirian
Kekuasaan Kehakiman. Masalah-Masalah Hukum, 41(1), 119.
Analisis Yuridis Peranan Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Mohd. Yusuf Daeng M., Reni Astuti ,
Robin Eduar, Zulkardi, Muhammad Fadli i’lmi, Geofani Milthree Saragih 11675

Rico Yodi Tri Utama, & Retno Saraswati. (2021). Independensi dan Urgensi Restrukturisasi Sistem
Peradilan Pidana Indonesia Berdasarkan Aspek Kekuasaan Kehakiman. AJUDIKASI : Jurnal
Ilmu Hukum, 5(1), 54.
Riki Afrizal. (2020). Penguatan Sistem Peradilan Pidana Melalui Kewajiban Penyampaian Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
130/PUU-XIII/2015. Jurnal Yudisial, 13(3), 395.
R.M. Surahman, & Andi Hamzah. (1996). Jaksa Di Berbagai Negara, Peranan Dan Kedudukannya.
Sinar Grafika.
Romli Atmasasmita. (2010). Sistem peradilan pidana kontemporer. Kencana.
Yohana EA Aritonang, July Ester, & Herlina Manullang. (2022). Peranan Kejaksaan Dan Upaya
Melakukan Pengelolaan Hasil Eksekusi Barang Bukti Tindak Pidana Korupsi (Studi Di
Kejaksaan Negeri Binjai). Nommensen Law Review, 1(1), 25.

Anda mungkin juga menyukai