Alkisah, buaya dan kancil tinggal di wilayah yang sama. Sudah lama buaya
mengincar kancil untuk di jadikan santapannya. Namun, kancil selalu bisa
menghindar dari kejarannya. Ia adalah hewan yang banyak akal sehingga buaya
selalu kesulitan untuk menangkapnya.
Meski selalu lolos dari kejaran buaya, namun lama-lama kancil merasa khawatir
juga. Karena itu, ia pindah rumah ke daerah lain untuk menjauhi buaya. Ia
tinggal dibawah sebuah pohon besar di hilir sungai.
Awalnya buaya merasa bingung karena tidak melihat kancil di tempat biasanya.
Maka ia pun mencarinya ke sana-kemari, bertanya kepada para hewan yang
ditemuinya.
“Oh, kancil pindah ke pohon di dekat hilir sungai,” kata burung kecil yang ditanya
oleh buaya.
Tentu saja buaya senang mendengar informasi itu. Segera saja ia pergi ke
tempat yang dimaksud oleh si burung. Ia sudah tidak sabar lagi untuk memburu
si kancil. Ia benar-benar merasa penasaran, ingin menikmati daging kancil yang
sudah lama ia idam-idamkan.
Hening. Tidak ada jawaban. Kancil kemudian bertanya lagi. “Ada apa batu
sahabatku? Biasanya kau menjawab sapaanku.”
“Oh, jadi biasanya batu ini berbicara?” batin Buaya yang sedang berdiam diri di
batu itu. “Kalau begitu aku harus pura-pura menjawabnya supaya kancil tidak
curiga.”
Kancil terkikik dalam hati melihat kebodohan buaya. Lantas ia berkata, “Jadi kau
ada di situ ya, Buaya? Tak kusangka, kau mengejarku sampai ke sini.”Buaya
kaget. Rupanya penyamarannya sudah ketahuan. Sadarlah ia bahwa kancil telah
mengakalinya. Ia benar-benar kesal dengan kebodohannya sendiri.
Lagi-lagi selamatlah kancil dari kejaran buaya. Itu semua berkat kecerdasannya
yang jauh melampaui buaya. Sementara buaya terpaksa gigit jari karena lagi-lagi
gagal menangkap kancil yang sudah lama diincarnya.