1. menghimpun dan mempelajari peraturan perundang-undangan, kebijakan, pedoman dan petunjuk teknis serta bahan-
bahan lainnya yang sebagai pedoman pelaksanaan tugas;
2. menyusun rencana kegiatan dan anggaran Subbagian Bantuan Hukum dan HAM sebagai pedoman pelaksanaan tugas;
3. membagi pelaksanaan tugas kepada bawahannya;
4. menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis dan pengoordinasian di bidang pelayanan bantuan hukum dan HAM;
5. menyiapkan bahan pengendalian dan evaluasi kebijakan di bidang pelayanan bantuan hukum dan HAM;
6. melaksanakan pelayanan administrasi di bidang pelayanan bantuan hukum dan HAM;
7. mengumpulkan, menghimpun, mengolah data dan informasi yang berhubungan dengan bidang pelayanan bantuan
hukum dan HAM;
8. mengumpulkan, mengolah, menyusun dan menyajikan data yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa atau
masalah hukum dan HAM;
9. menyiapkan bahan konsultasi dengan perangkat daerah terkait sesuai dengan bidang tugasnya dalam rangka
penyelesaian sengketa atau masalah hukum dan HAM;
10.mempelajari, meneliti dan menyelesaikan perkara atau sengketa masalah hukum dan HAM dengan mempelajari surat
gugatan yang ditujukan kepada pemerintah daerah;
11.menyiapkan surat kuasa untuk mewakili pemerintah daerah atau pegawai di lingkungan pemerintah daerah dalam
menyelesaikan perkara;
12.menyiapkan bahan, melaksanakan sosialisasi dan desiminasi produk hukum peraturan perundang-undangan dan HAM
yang menyangkut bidang tugas pemerintah daerah;
13.menyiapkan bahan, melaksanakan penyuluhan hukum dan HAM secara terpadu yang menyangkut bidang tugas
pemerintah daerah;
14.melasanakan fasilitasi dan mediasi terhadap permasalahan hukum dan HAM dari masyarakat yang diajukan kepada
Pemerintah Daerah;
15.menyiapkan bahan dalam rangka bimbingan teknis bidang hukum dan HAM yang menyangkut tugas Pemerintah
Daerah;
16.memberikan usul dan saran kepada atasan sesuai bidang tugasnya;
17.melaksanakan pembinaan, bimbingan dan pengawasan kepada bawahan agar pelaksanaan tugas dapat berjalan
dengan lancar;
18.menilai pencapaian sasaran kinerja pegawai yang menjadi bawahannya dengan jalan memantau dan mengevaluasi
pegawai;
19.mengevaluasi dan menginventarisasi permasalahan yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas serta mencari
alternatif pemecahan masalah;
20.melaksanakan koordinasi dan kerjasama sesuai bidang tugasnya dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas;
21.melaksanakantugas lain yang diberikan oleh atasan terkait dengan tugas dan fungsinya; dan
22.melaporkan hasil pelaksanaan tugas/kegiatan kepada atasan.
Hak atas bantuan hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam konvenan International tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik (ICCPR) pasal 16 dan pasal 26 yang menjamin setiap orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta
harus dihindarkan dari segala bentuk diskrimansi. Sedangkan pasal 14 ayat (3) ICCPR memberikan syarat terkait bantuan
hukum yaitu : 1). Kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar advokat.
Undang-Undang nomor 16 tahun 2011 memberi peluang terhadap perlindungan hak warga negara yang sedang menjalani
proses hukum. Bantuan hukum menurut undang-undang ini adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan
hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Tujuan penyelenggaraan bantuan hukum adalah menjamin
dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk mendapatkan akes keadilan.
Dalam pengaturan ruang lingkup bantuan hukum ini diberikan kepada penerima bantuan hukum yang menghadapi
masalah hukum. Dimana masalah tersebut ditentukan secara limitatif yaitu 1) masalah hukum pidana, 2). hukum perdata,
dan 3) hukum tata usaha negara baik litigasi maupun litigasi. Pemberian bantuan hukum secara litigasi terdiri dari :
pendampingan dan atau menjalankan kuasa yang dimulai dari tingkat penyelidikan,penyidikan dan penuntutan,
pemeriksaan di pengadilan, dan pendampingan dan atau menjalankan kuasa di pengadilan tata usaha negara. Sedangkan
pemberian bantuan hukum secara non litigasi meliputi : konsultasi hukum, investigasi perkara, mediasi, negosiasi,
pendampingan di luar pengadilan dan drafting dokumen.
Dalam pasal 5 ayat (1) dan (2) ditentukan kualifikasi pihak yang berhak menerima bantuan hukum yaitu 1). Orang miskin
dan 2) kelompok orang miskin. Definisi orang miskin menurut undang-undang bantuan hukum adalah orang yang tidak
dapat memenuhi hak dasarnya secara layak dan mandiri, dimana hak dasar disini meliputi hak atas pangan, sandang,
layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha dan atau perumahan. Yang dimaksud dengan tidak dapat
memenuhi kebutuhan secara layak dan mandiri adalah tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari bukan saja
untuk dirinya sendiri akan tetapi juga bagi orang yang ditanggungnya dari anak, isteri dan lain-lain.
Berdasarkan definisi miskin di atas, maka yang berhak menerima bantuan hukum gratis adalah : 1). Mereka yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan sandang yang layak, 2). Mereka yang tidak dapat memenuhi kebutahan pangan yang layak 3).
Mereka yang tidak dapat memenuhi kebutuhan papan atau perumahan yang layak, 4). Mereka yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikan yang layak dan 5). Mereka yang meskipun sudah ada pekerjaan dan
berusaha tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.
Secara umum perbuatan zalim (arab : dholim) adalah meletakkan sesuatu/perkara bukan pada tempatnya. Adapun yang
dimaksud dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya adalah meletakkan hukum atau peraturan sebagai dasar pijakan
atas semua kebijakan. Undang-undang secara jelas telah menyatakan bahwa negara bertanggungjawab terhadap
pemberian bantuan hukum bagi orang miskin. Ketika seorang pemimpin berlaku adil misalnya dengan memberikan
bantuan hukum kepada mereka yang berhak menerima sesuai dengan peraturan yang berlaku maka masyarakatpun akan
sejahtera. Demikian juga sebaliknya ketika pemimpin berlaku zalim dan tidak jujur dalam menjalankan amanah maka
rakyatpun akan berujung pada kesengsaraan.
Harapan kita semoga bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu menjadi sistem yang membantu melindungi
hak masyarakat dalam proses hukum untuk memperoleh keadilan melalui sistem peradilan yang transparan dengan
prinsip perlindungan ham
BANTUAN HUKUM
(Menurut UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum)
Pengertian dan Tujuan Penyelenggaraan Bantuan Hukum.
Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima
Bantuan Hukum. Bantuan hukum diselenggarakan degan tujuan untuk menjamin dan memenuhi hak masyarakat atau
kelompok masyarakat miskin untuk mendapatkan akses keadilan demi mewujudkan hak konstitusional semua warga
negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum. Penyelenggaraan bantuan hukum juga bertujuan
untuk menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia; dan mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggung-jawabkan.
Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang
menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar
Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat.
Penerima Bantuan Hukum.
Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin. Penerima Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud
meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri yang
meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau
perumahan..
Hak dan Kewajiban Penerima Bantuan Hukum.
Penerima Bantuan Hukum berhak :
a. mendapatkan Bantuan Hukum hingga masalah hukumnya selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, selama Penerima Bantuan Hukum yang bersangkutan tidak mencabut surat kuasa;
b. mendapatkan Bantuan Hukum sesuai dengan Standar Bantuan Hukum dan/atau Kode Etik Advokat;
c. mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penerima Bantuan Hukum wajib:
a. menyampaikan bukti, informasi, dan/atau keterangan perkara secara benar kepada Pemberi Bantuan Hukum;
b. membantu kelancaran pemberian Bantuan Hukum.
A. LATAR BELAKANG
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada
tanggal 4 Oktober 2011, kemudian undang-undang ini ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Dr. Susilo
Bambang Yudhoyono pada tanggal 31 Oktober 2011. Undang-undang ini dicantumkan dalam lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 104. Adanya Undang-Undang Bantuan Hukum menjadi babak baru bagi upaya penegakan
hukum yang lebih fair dan adil di Indonesia, khususnya bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu. Undang-undang ini
telah menjadi impian sejak lama bagi para aktivis pengacara publik dan para pencari keadilan agar setiap proses dan
tahapan dalam penegakan hukum dari sejak penyelidikan, penyidikan, dan persidangan di pengadilan setiap orang
mendapatkan perlakuan secara manusiawi, dan mendapatkan akses yang sama terhadap bantuan hukum. Dalam rangka
mengimplementasikan UU Bantuan Hukum pemerintah saat ini sedang mempersiapkan peraturan perundang-undangan
yang diamanatkan pembentukannya oleh UU bantuan hukum. Setidaknya ada 3 peraturan yang disiapkan oleh
pemerintah;
1. Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
2. Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang Tata Cara Verifi kasi dan Akreditasi Lembaga Bantaun Hukum; dan
3. Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang Standar Pemberian Bantuan Hukum
Ketiga peraturan tersebut sangat vital dan menentukan bagi terlaksananya kewajiban negara memperluas akses keadilan
masyarakat melalui pemberian bantuan hukum. Oleh karena itu, kalangan masyarakat sipil lintas stakeholder (NGO,
Perguruan Tinggi, dan Komunitas) yang tergabung dalam Forum Akses Keadilan untuk Semua (FOKUS) menyusun Brief
Paper tentang implementasi UU Bantuan Hukum untuk mengkritisi dan memberikan rekomendasi bagi penyusunan
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri tersebut. FOKUS dibentuk sebagai sarana konsolidasi masyarakat sipil untuk
mengawal dan memastikan agar implementasi UU Bantuan Hukum yang dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan aspirasi
dan kepentingan para pencari keadilan.
Selain itu, UU Bantuan Hukum juga memberikan proteksi kepada Pemberi Bantuan Hukum terkait dengan aktivitasnya
dalam memberikan bantuan hukum. Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam
memberikan bantuan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di
luar sidang pengadilan sesuai standar bantuan hokum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik
Advokat (pasal 11).
G. SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM
Ketentuan dalam Undang-Undang Bantuan Hukum Ada beberapa prosedur yang harus dilalui oleh masyarakat yang ingin
mendapatkan bantuan hukum. Mereka harus mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan bagi yang tidak mampu
menyusun permohonan secara tertulis. Dalam hal pengajuan permohonan dilakukan secara tetulis didalamnya sekurang-
kurangnya harus berisi identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan
hukum. Setelah itu, pemohon harus menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan melampirkan surat
keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon (pasal 14). Setelah
menerima permohonan bantuan hukum dari pemohon Pemberi Bantuan Hukum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)
hari kerja setelah permohonan bantuan hukum dinyatakan lengkap harus memberikan jawaban menerima atau menolak
permohonan bantuan hukum. Dalam hal permohonan bantuan hokum diterima, Pemberi Bantuan Hukum memberikan
bantuan hokum berdasarkan surat kuasa khusus dari Penerima Bantuan Hukum.
dan jika permohonan Bantuan Hukum ditolak, Pemberi Bantuan Hukum mencantumkan alasan penolakan (pasal 15).
H. DANA BANTUAN HUKUM
Ketentuan dalam Undang-Undang Bantuan Hukum
Kebutuhan anggaran atas penyelenggaraan bantuan hukum dibebankan kepada anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(Pasal 16). Bahkan negara wajib menyediakan anggaran bantuan hukum yang akan diberikan kepada pemberi bantuan
hukum. Anggaran bantuan hukum akan dimaksukkan ke dalam anggaran kementerian hukum dan hak asasi manusia.
Selain APBN, pemerintah daerah juga dapat mengalokasikan anggaran bantuan hukum yang selanjutnya perlu diatur
dalam Peraturan Daerah (pasal 19). Selain dari anggaran pemerintah, pemberi bantuan hukum juga dapat menerima
bantuan dari berbagai kalangan dalam bentuk hibah atau sumbangan; dan/ atau sumber pendanaan lain yang sah dan
tidak mengikat.
di Indonesia sendiri berkembang konsep hukum lain yang tidak jauh berbeda dengan konsep-konsep yang lain. Para ahli
hukum dan praktisi hukum Indonesia membagi konsep bantuan hukum menjadi 2 (dua) macam, yaitu bantuan hukum
individual dan bantuan hukum struktural. Pertama, bantuan hukum individual merupakan pemberian bantuan hukum
kepada masyarakat yang tidak mampu dalam bentuk pendampingan oleh Advokat atau pengacara dalam proses
penyelesaian sengketa yang dihadapi, baik penyelesaian sengketa dalam pengadilan maupun penyelesaian sengketa lain
diluar peradilan seperti arbitrase. Semata-mata dalam rangka menjamin pemerataan pelayanan hukum kepada seluruh
lapisan masyarakat. Kedua, dalam bantuan hukum struktural, segala aksi atau kegiatan yang dilakukan tidak semata-mata
ditujukan untuk membela kepentingan atau hak hukum masyarakat yang tidak mampu dalam proses peradilan. Lebih luas
lagi, bantuan hukum struktural ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan pengertian masyarakat akan pentingnya
hukum. Disamping itu, tujuan lainnya adalah pemberdayaan masyarakat, guna memperjuangkan kepentingannya
terhadap penguasa yang kerap menindas mereka dengan legitimasi demi kepentingan pembangunan.
klasifikasi hak atas bantuan hukum dalam perundang-undangan di Indonesia.