Anda di halaman 1dari 20

TUPOKSI SUB BAGIAN BANTUAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

1. menghimpun dan mempelajari peraturan perundang-undangan, kebijakan, pedoman dan petunjuk teknis serta bahan-
bahan lainnya yang sebagai pedoman pelaksanaan tugas;
2. menyusun rencana kegiatan dan anggaran Subbagian Bantuan Hukum dan HAM sebagai pedoman pelaksanaan tugas;
3. membagi pelaksanaan tugas kepada bawahannya;
4. menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis dan pengoordinasian di bidang pelayanan bantuan hukum dan HAM;
5. menyiapkan bahan pengendalian dan evaluasi kebijakan di bidang pelayanan bantuan hukum dan HAM;
6. melaksanakan pelayanan administrasi di bidang pelayanan bantuan hukum dan HAM;
7. mengumpulkan, menghimpun, mengolah data dan informasi yang berhubungan dengan bidang pelayanan bantuan
hukum dan HAM;
8. mengumpulkan, mengolah, menyusun dan menyajikan data yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa atau
masalah hukum dan HAM;
9. menyiapkan bahan konsultasi dengan perangkat daerah terkait sesuai dengan bidang tugasnya dalam rangka
penyelesaian sengketa atau masalah hukum dan HAM;
10.mempelajari, meneliti dan menyelesaikan perkara atau sengketa masalah hukum dan HAM dengan mempelajari surat
gugatan yang ditujukan kepada pemerintah daerah;
11.menyiapkan surat kuasa untuk mewakili pemerintah daerah atau pegawai di lingkungan pemerintah daerah dalam
menyelesaikan perkara;
12.menyiapkan bahan, melaksanakan sosialisasi dan desiminasi produk hukum peraturan perundang-undangan dan HAM
yang menyangkut bidang tugas pemerintah daerah;
13.menyiapkan bahan, melaksanakan penyuluhan hukum dan HAM secara terpadu yang menyangkut bidang tugas
pemerintah daerah;
14.melasanakan fasilitasi dan mediasi terhadap permasalahan hukum dan HAM dari masyarakat yang diajukan kepada
Pemerintah Daerah;
15.menyiapkan bahan dalam rangka bimbingan teknis bidang hukum dan HAM yang menyangkut tugas Pemerintah
Daerah;
16.memberikan usul dan saran kepada atasan sesuai bidang tugasnya;
17.melaksanakan pembinaan, bimbingan dan pengawasan kepada bawahan agar pelaksanaan tugas dapat berjalan
dengan lancar;
18.menilai pencapaian sasaran kinerja pegawai yang menjadi bawahannya dengan jalan memantau dan mengevaluasi
pegawai;
19.mengevaluasi dan menginventarisasi permasalahan yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas serta mencari
alternatif pemecahan masalah;
20.melaksanakan koordinasi dan kerjasama sesuai bidang tugasnya dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas;
21.melaksanakantugas lain yang diberikan oleh atasan terkait dengan tugas dan fungsinya; dan
22.melaporkan hasil pelaksanaan tugas/kegiatan kepada atasan.

GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA BANTUAN HUKUM


Sering kali kita mendengar tentang golongan orang yang berhak menerima zakat. Tetapi pernahkah kita mendengar
golongan yang berhak menerima bantuan hukum?. Pemberian bantuan hukum adalah salah satu perwujudan dari amanat
Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama terhadap hukum. Penyebutan hak dalam UUD 1945 ini membawa
konsekwensi tertentu, baik pengualifikasiannya maupun pihak yang memiliki kewajiban dalam pemenuhannya.

Hak atas bantuan hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam konvenan International tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik (ICCPR) pasal 16 dan pasal 26 yang menjamin setiap orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta
harus dihindarkan dari segala bentuk diskrimansi. Sedangkan pasal 14 ayat (3) ICCPR memberikan syarat terkait bantuan
hukum yaitu : 1). Kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar advokat.

Undang-Undang nomor 16 tahun 2011 memberi peluang terhadap perlindungan hak warga negara yang sedang menjalani
proses hukum. Bantuan hukum menurut undang-undang ini adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan
hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Tujuan penyelenggaraan bantuan hukum adalah menjamin
dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk mendapatkan akes keadilan.
Dalam pengaturan ruang lingkup bantuan hukum ini diberikan kepada penerima bantuan hukum yang menghadapi
masalah hukum. Dimana masalah tersebut ditentukan secara limitatif yaitu 1) masalah hukum pidana, 2). hukum perdata,
dan 3) hukum tata usaha negara baik litigasi maupun litigasi. Pemberian bantuan hukum secara litigasi terdiri dari :
pendampingan dan atau menjalankan kuasa yang dimulai dari tingkat penyelidikan,penyidikan dan penuntutan,
pemeriksaan di pengadilan, dan pendampingan dan atau menjalankan kuasa di pengadilan tata usaha negara. Sedangkan
pemberian bantuan hukum secara non litigasi meliputi : konsultasi hukum, investigasi perkara, mediasi, negosiasi,
pendampingan di luar pengadilan dan drafting dokumen.

Dalam pasal 5 ayat (1) dan (2) ditentukan kualifikasi pihak yang berhak menerima bantuan hukum yaitu 1). Orang miskin
dan 2) kelompok orang miskin. Definisi orang miskin menurut undang-undang bantuan hukum adalah orang yang tidak
dapat memenuhi hak dasarnya secara layak dan mandiri, dimana hak dasar disini meliputi hak atas pangan, sandang,
layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha dan atau perumahan. Yang dimaksud dengan tidak dapat
memenuhi kebutuhan secara layak dan mandiri adalah tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari bukan saja
untuk dirinya sendiri akan tetapi juga bagi orang yang ditanggungnya dari anak, isteri dan lain-lain.

Berdasarkan definisi miskin di atas, maka yang berhak menerima bantuan hukum gratis adalah : 1). Mereka yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan sandang yang layak, 2). Mereka yang tidak dapat memenuhi kebutahan pangan yang layak 3).
Mereka yang tidak dapat memenuhi kebutuhan papan atau perumahan yang layak, 4). Mereka yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikan yang layak dan 5). Mereka yang meskipun sudah ada pekerjaan dan
berusaha tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.

Secara umum perbuatan zalim (arab : dholim) adalah meletakkan sesuatu/perkara bukan pada tempatnya. Adapun yang
dimaksud dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya adalah meletakkan hukum atau peraturan sebagai dasar pijakan
atas semua kebijakan. Undang-undang secara jelas telah menyatakan bahwa negara bertanggungjawab terhadap
pemberian bantuan hukum bagi orang miskin. Ketika seorang pemimpin berlaku adil misalnya dengan memberikan
bantuan hukum kepada mereka yang berhak menerima sesuai dengan peraturan yang berlaku maka masyarakatpun akan
sejahtera. Demikian juga sebaliknya ketika pemimpin berlaku zalim dan tidak jujur dalam menjalankan amanah maka
rakyatpun akan berujung pada kesengsaraan.
Harapan kita semoga bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu menjadi sistem yang membantu melindungi
hak masyarakat dalam proses hukum untuk memperoleh keadilan melalui sistem peradilan yang transparan dengan
prinsip perlindungan ham

BANTUAN HUKUM
(Menurut UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum)
Pengertian dan Tujuan Penyelenggaraan Bantuan Hukum.
Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima
Bantuan Hukum. Bantuan hukum diselenggarakan degan tujuan untuk menjamin dan memenuhi hak masyarakat atau
kelompok masyarakat miskin untuk mendapatkan akses keadilan demi mewujudkan hak konstitusional semua warga
negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum. Penyelenggaraan bantuan hukum juga bertujuan
untuk menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia; dan mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggung-jawabkan.

Ruang Lingkup Bantuan Hukum.


Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum yang menghadapi masalah hukum yang meliputi masalah
hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun non llitigasi. Pemberian bantuan hukum meliputi
menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/ atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan
hukum Penerima Bantuan Hukum.

Pemberi Bantuan Hukum.


Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan
Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang Bantuan Hukum. Pelaksanaan Bantuan Hukum dilakukan oleh Pemberi
Bantuan Hukum yang telah memenuhi syarat meliputi:
a. berbadan hukum;
b. terakreditasi berdasarkan Undang-Undang Bantuan Hukum
c. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
d. memiliki pengurus; dan e. memiliki program Bantuan Hukum.
Hak dan Kewajiban Pemberi Bantuan Hukum.
Pemberi Bantuan Hukum berhak :
a. melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum;
b. melakukan pelayanan Bantuan Hukum;
c. menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Bantuan Hukum;
d. menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini;
e. mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang
pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain, untuk kepentingan pembelaan perkara;
dan
g. mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan selama menjalankan pemberian Bantuan
Hukum.
Selain memiliki hak, Pemberi Batuan Hukum berkewajiban untuk :
a. melaporkan kepada Menteri tentang program Bantuan Hukum;
b. melaporkan setiap penggunaan anggaran negara yang digunakan untuk pemberian Bantuan Hukum berdasarkan
Undang-Undang ini;
c. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Bantuan Hukum bagi advokat, paralegal, dosen,
mahasiswa fakultas hukum yang direkrut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a;
d. menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh dari Penerima Bantuan Hukum berkaitan
dengan perkara yang sedang ditangani, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang; dan
e. memberikan Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum berdasarkan syarat dan tata cara yang ditentukan
dalam Undang-Undang ini sampai perkaranya selesai, kecuali ada alasan yang sah secara hukum.

Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang
menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar
Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat.
Penerima Bantuan Hukum.
Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin. Penerima Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud
meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri yang
meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau
perumahan..
Hak dan Kewajiban Penerima Bantuan Hukum.
Penerima Bantuan Hukum berhak :
a. mendapatkan Bantuan Hukum hingga masalah hukumnya selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, selama Penerima Bantuan Hukum yang bersangkutan tidak mencabut surat kuasa;
b. mendapatkan Bantuan Hukum sesuai dengan Standar Bantuan Hukum dan/atau Kode Etik Advokat;
c. mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penerima Bantuan Hukum wajib:
a. menyampaikan bukti, informasi, dan/atau keterangan perkara secara benar kepada Pemberi Bantuan Hukum;
b. membantu kelancaran pemberian Bantuan Hukum.
A. LATAR BELAKANG
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada
tanggal 4 Oktober 2011, kemudian undang-undang ini ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Dr. Susilo
Bambang Yudhoyono pada tanggal 31 Oktober 2011. Undang-undang ini dicantumkan dalam lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 104. Adanya Undang-Undang Bantuan Hukum menjadi babak baru bagi upaya penegakan
hukum yang lebih fair dan adil di Indonesia, khususnya bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu. Undang-undang ini
telah menjadi impian sejak lama bagi para aktivis pengacara publik dan para pencari keadilan agar setiap proses dan
tahapan dalam penegakan hukum dari sejak penyelidikan, penyidikan, dan persidangan di pengadilan setiap orang
mendapatkan perlakuan secara manusiawi, dan mendapatkan akses yang sama terhadap bantuan hukum. Dalam rangka
mengimplementasikan UU Bantuan Hukum pemerintah saat ini sedang mempersiapkan peraturan perundang-undangan
yang diamanatkan pembentukannya oleh UU bantuan hukum. Setidaknya ada 3 peraturan yang disiapkan oleh
pemerintah;
1. Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
2. Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang Tata Cara Verifi kasi dan Akreditasi Lembaga Bantaun Hukum; dan
3. Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang Standar Pemberian Bantuan Hukum
Ketiga peraturan tersebut sangat vital dan menentukan bagi terlaksananya kewajiban negara memperluas akses keadilan
masyarakat melalui pemberian bantuan hukum. Oleh karena itu, kalangan masyarakat sipil lintas stakeholder (NGO,
Perguruan Tinggi, dan Komunitas) yang tergabung dalam Forum Akses Keadilan untuk Semua (FOKUS) menyusun Brief
Paper tentang implementasi UU Bantuan Hukum untuk mengkritisi dan memberikan rekomendasi bagi penyusunan
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri tersebut. FOKUS dibentuk sebagai sarana konsolidasi masyarakat sipil untuk
mengawal dan memastikan agar implementasi UU Bantuan Hukum yang dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan aspirasi
dan kepentingan para pencari keadilan.

B. PRINSIP-PRINSIP BANTUAN HUKUM


Implementasi UU bantuan hukum harus berdasarkan pada prinsip-prinsip yang secara internasional telah diakui, yaitu;
prinsip kepentingan keadilan, prinsip tidak mampu, prinsip hak untuk memilih pengacara/pemberi bantuan hukum, prinsip
negara memberikan akses bantuan hukum di setiap pemeriksaan, dan prinsip hak bantuan hukum yang efektif.
1. Prinsip Kepentingan Keadilan
Prinsip ini secara jelas termaktub dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Prinsip ini banyak
diadopsi dan dipraktikan diberbagai negara sebagai jalan utama bagi penguatan akses bagi masyarakat marjinal. Bahkan
secara jelas prinsip ini juga menjadi argumentasi dalam penjelasan Undang-Undang No. 16 Tahun 2012 tentang Bantuan
Hukum. Kepentingan keadilan dalam kasus tertentu ditentukan oleh pemikiran yang serius tentang tindak pidana yang
dituduhkan kepada tersangka dan hukuman apa saja yang akan diterimanya. Prinsip ini selalu membutuhkan penasihat
untuk tersangka dalam kasus dengan ancaman hukuman mati. Tersangka untuk kasus dengan ancaman hukuman mati
berhak memilih perwakilan hukumnya dalam setiap proses pemeriksaan kasusnya. Tersangka dengan ancaman hukuman
mati dapat membandingkan antara perwakilan hukum pilihannya dengan yang ditunjuk oleh pengadilan. Selain itu,
narapidana mati berhak untuk menunjuk penasehat untuk permohonan post-conviction judicial relief, permohonan grasi,
keringanan hukuman, amnesti atau pengampunan. Dengan prinsip ini, bantuan hukum dapat diterapkan terhadap
kasuskasus mental disability seperti pengujian apakah penahanan tersangka/ terdakwa dapat dilanjutkan atau tidak
(detention review). Dalam proses detention review tersangka atau terdakwa berhak untuk didampingi oleh advokat.
Bantuan hukum dapat diterapkan untuk kasus-kasus kejahatan ringan, ketika kepentingan keadilan memungkinkanyaitu
tersangka-terdakwa tidak bisa melakukan pembelaan sendiri dan juga lebih kondisi ekonomi dari tersangka/terdakwa
yang merupakan unemployee serta karena kompleksitas kasus sehingga membutuhkan penasehat hokum yang
berkualitas. Bantuan hukum dapat diterapkan terhadap kasus-kasus terorisme dan akses terdapat bantuan hokum tidak
boleh dihambat sejak saat tersangka atau terdakwa ditahan. Bahkan ketika negara dalam keadilan darurat, bantuan
hukum tidak boleh ditangguhkan. Tersangka tidak dapat meniadakan penasihat hokum atas dasar ia telah diberi
kesempatan untuk membela dirinya sendiri tetapi tidak menghendaki untuk membela dirinya.
2. Prinsip Tidak Mampu
Prinsip ’tidak mampu’ juga sudah menjadi pandangan umum dari prinsip pemberian bantuan hukum. Bantuan hukum
diberikan kepada kelompok masyarakat yang karena faktor ekonomi tidak dapat menyediakan advokat untuk membela
kepentingannya. Seorang terdakwa/tersangka harus tidak mampu secara fi nancial membayar advokat. Namum dalam hal
‘tidak mampu membayar’ tidak dapat hanya diartikan sebagai miskin tetapi juga dapat diartikan apakah seseorang dari
penghasilannya mampu menyisihkan dana untuk membayar jasa seorang pengacara. Sehingga penting merumuskan
standar dari kelompok yang berhak menerima bantuan hukum.
3. Prinsip Hak untuk Memilih Pengacara/Pemberi Bantuan Hukum
Prinsip ini menentukan, negara harus menjamin bahwa tersangka/ terdakwa mempunyai hak untuk memilih advokatnya
dan tidak dipaksa untuk menerima advokat yang ditunjuk oleh pengadilan kepadanya. Selain itu negara harus menjamin
kompetensi advokat yang dapat memberikan bantuan hukum secara imparsial. Kompetensi menjadi kunci utama, karena
pembelaan tidak hanya bersifat formal tetapi substansial, sehingga betul-betul membela dengan kesungguhan dan
porofesionalisme sebagaimana profesi penasehat hukum pada umumnya.
4. Prinsip Negara Memberikan Akses Bantuan Hukum di Setiap Pemeriksaan
Negara harus menjamin bahwa akses atas bantuan hukum di setiap tingkat pemeriksaan. Sistem pemeriksaan yang
tertutup seperti kasus-kasus kejahatan terhadap negara memungkinkan tidak adanya akses atas bantuan hukum. Di dalam
kondisi ini akses terhadap bantuan hukum harus tetap dijamin. Tersangka atau terdakwa berhak untuk berkomunikasi
dengan advokat, dan berhak atas akses ke pengadilan untuk menggugat atas tindakan-tindakan kekerasan oleh petugas
penjara (ill-treatment). Prinsip ini akan dapat menghindari terjadinya abuse of power dalam penanganan perkara seperti
penggunaan cara-cara kekerasan, ataupun bahkan rekayasa kasus.
5. Prinsip Hak Bantuan Hukum yang Efektif
Saat pengadilan menyediakan bantuan hukum, maka pengacara yang ditunjuk harus memenuhi kualifi kasi untuk mewakili
dan membela tersangka. Seorang pengacara yang ditunjuk oleh pengadilan untuk mewakili dan membela tersangka harus
mendapatkan pelatihan yang diperlukan dan mempunyai pengalaman atas segala hal yang berhubungan dengan kasus
tersebut. Walaupun bantuan hukum disediakan oleh pengadilan, pengacara harus dibebaskan untuk melaksanakan
pekerjaannya sesuai dengan profesionalitasnya dan kemandirian sikap yang bebas dari pengaruh negara atau pengadilan.
Bagi bantuan hukum yang disediakan oleh pengadilan, pengacara harus benar-benar dapat mengadvokasi tersangka.
Pengacara yang mewakili tersangka diperbolehkan menjalankan strategi pembelaan secara profesional. Pengacara yang
ditunjuk untuk membela tersangka harus diberikan kompensasi yang sesuai agar dapat mendorongnya untuk memberikan
perwakilan yang efektif dan memadai.SIP-PRINSIP BANTUAN HU
C. RUANG LINGKUP
1. Ketentuan dalam Undang-Undang Bantuan Hukum
Berdasarkan pasal 4 UU bantuan hukum, bahwa bantuan hukum diberikan kepada penerima bantuan hukum yang
menghadapi masalah hukum. Area bantuan hukum yang dapat diberikan meliputi kasus-kasus perdata, pidana, dan tata
usaha negara. Adapun aktivitas bantuan hukum bisa dalam bentuk litigasi maupun non litigasi. Pemberian bantuan hukum
dilaksanakan dalam rangka menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum
lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum. Undang-Undang Bantuan hukum sudah membatasi kualifi kasi
penerima bantuan hukum hanya bagi masyarakat yang tidak mampu. Pasal 5 menyatakan:
(1) Penerima Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi
hak dasar secara layak dan mandiri.
(2) Hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas pangan,
sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha,
dan/atau perumahan.
2. Permasalahan
Terkait dengan ruang lingkup dari bantuan hukum sebagaimana diatur dalam
UU bantuan hukum ini ada 3 (tiga) permasalahan yang perlu mendapatkan
perhatian.
Pertama, jenis-jenis kasus yang dapat diberikan bantuan hukum. Undang-Undang
Bantuan hukum sudah memberikan limitasi kasus apa saja yang boleh mendapatkan bantuan hukum yaitu perkara pidana
perdata, dan tata usaha negara. Sesuai dengan dinamika dan perkembangan masyarakat, hukum juga mengalami
perkembangan. Undang-undang bantuan hukum tidak memiliki visi jangka panjang dan tidak mengakomodir
perkembangan hukum mutaakhir, karena hanya membatasi bantuan hukum hanya untuk 3 area tersebut.
Faktanya, kasus-kasus yang ditangani oleh berbagai organisasi bantuan hokum tidak hanya meliputi tiga jenis kasus
tersebut, melainkan lebih luas dari itu, seperti kasus di Mahkamah Konstitusi, dan juga kasus-kasus yang menggunakan
pendekatan khusus seperti class action, legal standing, atau citizen lawsuit (CLS). Selain itu, UU tersebut juga tidak
mengakomodir keberadaan pengadilan
militer.
Kedua, jalur dan mekanisme penyelesaian kasus. UU Bantuan Hukum menentukan, bahwa bantuan hukum dapat
diberikan melalui mekanisme litigasi dan non litigasi. Sayangnya UU tidak memperjelas lebih lanjut tentang mekanisme
litigasi dan non litigasi. Layanan bantuan hukum litigasi adalah seluruh proses pemberian bantuan hukum baik di dalam
maupun di luar pengadilan. Sedangkan layanan bantuan hukum non litigasi adalah semua aktivitas bantaun hukum di luar
proses peradilan termasuk di dalamnya pendidikan hukum, investigasi kasus, konsultasi, pendokumentasian hukum,
penyuluhan hukum, penelitian hukum, perancangan hukum (legal draft ing), pembuatan pendapat (legal opinion),
mediasi, pengorganisasian, dan pemberdayaan masyarakat. Dengan ketentuan ini dapat dimaknai, bahwa seluruh
kegiatan baik litigasi maupun non litigasi yang dilakukan oleh pemberi bantuan hukum, maka negara berkewajiban untuk
menyediakan anggarannya.
Ketiga, subjek penerima bantuan hukum. UU bantuan hokum memberikan batasan terhadap masyarakat yang dapat
mengakses bantuan hukum hanya kelompok masyarakat miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar secara
layak dan mandiri.
Dengan demikian kelompok lain selain miskin secara ekonomi tidak berhak mendapatkan bantuan hukum karena UU
sudah menentukannya demikian. Adanya pembatasan tersebut menunjukkan adanya inkonsistensi antara penjelasan dan
rumusan pasal-pasal. Dalam penjelasan, UU Bantuan hukum mengutip International Covenant on Civil dan Political Rights
(ICCPR) yang
menentukan adanya dua syarat untuk mendapatkan bantuan hukum yaitu kepentingan keadilan dan tidak mampu
membayar advokat, sementara dalam penjabaran melalui pasal-pasalnya, UU Bantuan Hukum membatasi hanya untuk
kelompok miskin. Pembatasan ini juga tidak sesuai dengan frame strategi akses keadilan Bappenas yang termasuk dalam
kelompok miskin adalah kelompok-kelompok orang yang tertindas dan terpinggirkan tidak hanya karena kemiskinan,
tetapi kelompok yang karena kondisi sosial menjadi rentan.

D. PENYELENGGARA BANTUAN HUKUM


1. Ketentuan dalam Undang-Undang Bantuan Hukum
Departeman yang diberi mandat untuk menyelenggarakan bantuan hukum adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Terkait dengan penyelenggaraan bantuan hukum, undang-undang bantuan hukum sebagaimana diatur dalam
pasal 6 ayat (3)
memberikan tugas kepada Menteri untuk;
a. Menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan Bantuan Hukum;
b. Menyusun dan menetapkan Standar Bantuan Hukum berdasarkan asas-asas pemberian bantuan hukum;
c. Menyusun rencana anggaran bantuan hukum;
d. Mengelola anggaran bantuan hukum secara efektif, efi sien, transparan, dan akuntabel; dan
e. Menyusun dan menyampaikan laporan penyelenggaraan bantuan hukum kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada
setiap akhir tahun anggaran.
Selain tugas, Menteri juga memiliki beberapa wewenang. Berdasarkan pasal 7 UU bantuan Hukum menteri memiliki dua
wewenang yaitu mengawasi dan memastikan penyelenggaraan bantuan hukum dan pemberian bantuan hukum dijalankan
sesuai asas dan tujuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini; dan melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap
lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan untuk memenuhi kelayakan sebagai Pemberi Bantuan Hukum.
E. VERIFIKASI DAN AKREDITASI
Ketentuan dalam Undang-Undang Bantuan Hukum
Menteri dalam menyelenggarakan bantuan hukum memiliki wewenang untuk melakukan verifi kasi dan akreditasi
terhadap lembaga pemberi bantuan hukum. Kegiatan verifi kasi dan akreditas ditujukan untuk menilai dan menetapkan
kelayakan lembaga bantuan hokum atau organisasi kemasyarakatan sebagai Pemberi Bantuan Hukum. Untuk melakukan
verifi kasi dan akreditasi UU Bantuan Hukum mengamanatkan pembentukan sebuah panitia khusus yang memiliki 3 unsur
perwakilan di dalamnya yaitu; (a) kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak
asasi manusia; (b) akademisi; (c) tokoh masyarakat; dan lembaga atau organisasi yang memberi layanan Bantuan Hukum.
Kegiatan verifi kasi akan dilakukan setiap 3 tahun. Organisasi bantuan hukum yang dapat lolos dalam verifikasi dan
akreditasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut; diantaranya adalah berbadan hukum, memiliki kantor atau
secretariat yang tetap, memiliki pengurus, dan memiliki program bantuan hukum.
F. PEMBERI BANTUAN HUKUM
Ketentuan dalam Undang-Undang Bantuan Hukum
Undang-Undang Bantuan hukum mendefi nisikan Pemberi Bantuan Hukum sebagai lembaga bantuan hukum atau
organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum (pasal 1 nomor 3). Berdasarkan ketentuan tersebut
maka pemberian bantuan hukum kepada masyarakat
tidak mampu melekat pada fungsi dan peran sebuah organisasi baik organisasi. Untuk menjadi Pemberi Bantuan hukum
ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu; (a) berbadan hukum; (b) terakreditasi berdasarkan undang-undang ini; (c)
memiliki kantor atau sekretariat yang tetap; (d) memiliki pengurus; dan (e) memiliki program Bantuan Hukum. Dalam
menjalankan tugas-tugas dalam pemberian bantuan hukum, maka pemberi bantuan hokum berhak untuk (pasal 9);
a. melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum;
b. melakukan pelayanan Bantuan Hukum;
c. menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Bantuan Hukum;
d. menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan Bantuan Hukum berdasarkan Undang- Undang ini;
e. mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang
pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain, untuk kepentingan pembelaan perkara;
dan mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan selama menjalankan pemberian
Bantuan Hukum.
Selain wewenang, Pemberi Bantuan Hukum juga memiliki kewajiban yaitu (Pasal 10);
a. melaporkan kepada Menteri tentang program Bantuan Hukum;
b. melaporkan setiap penggunaan anggaran negara yang digunakan untuk pemberian bantuan hukum berdasarkan
Undang-Undang ini;
c. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bantuan hukum bagi advokat, paralegal, dosen, mahasiswa fakultas
hukum yang direkrut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a;
d. menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh dari Penerima Bantuan Hukum berkaitan
dengan perkara yang sedang ditangani, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang; dan memberikan bantuan hukum
kepada Penerima Bantuan Hukum berdasarkan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sampai
perkaranya selesai, kecuali ada alasan yang sah secara hukum.

Selain itu, UU Bantuan Hukum juga memberikan proteksi kepada Pemberi Bantuan Hukum terkait dengan aktivitasnya
dalam memberikan bantuan hukum. Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam
memberikan bantuan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di
luar sidang pengadilan sesuai standar bantuan hokum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik
Advokat (pasal 11).
G. SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM
Ketentuan dalam Undang-Undang Bantuan Hukum Ada beberapa prosedur yang harus dilalui oleh masyarakat yang ingin
mendapatkan bantuan hukum. Mereka harus mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan bagi yang tidak mampu
menyusun permohonan secara tertulis. Dalam hal pengajuan permohonan dilakukan secara tetulis didalamnya sekurang-
kurangnya harus berisi identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan
hukum. Setelah itu, pemohon harus menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan melampirkan surat
keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon (pasal 14). Setelah
menerima permohonan bantuan hukum dari pemohon Pemberi Bantuan Hukum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)
hari kerja setelah permohonan bantuan hukum dinyatakan lengkap harus memberikan jawaban menerima atau menolak
permohonan bantuan hukum. Dalam hal permohonan bantuan hokum diterima, Pemberi Bantuan Hukum memberikan
bantuan hokum berdasarkan surat kuasa khusus dari Penerima Bantuan Hukum.
dan jika permohonan Bantuan Hukum ditolak, Pemberi Bantuan Hukum mencantumkan alasan penolakan (pasal 15).
H. DANA BANTUAN HUKUM
Ketentuan dalam Undang-Undang Bantuan Hukum
Kebutuhan anggaran atas penyelenggaraan bantuan hukum dibebankan kepada anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(Pasal 16). Bahkan negara wajib menyediakan anggaran bantuan hukum yang akan diberikan kepada pemberi bantuan
hukum. Anggaran bantuan hukum akan dimaksukkan ke dalam anggaran kementerian hukum dan hak asasi manusia.
Selain APBN, pemerintah daerah juga dapat mengalokasikan anggaran bantuan hukum yang selanjutnya perlu diatur
dalam Peraturan Daerah (pasal 19). Selain dari anggaran pemerintah, pemberi bantuan hukum juga dapat menerima
bantuan dari berbagai kalangan dalam bentuk hibah atau sumbangan; dan/ atau sumber pendanaan lain yang sah dan
tidak mengikat.

di Indonesia sendiri berkembang konsep hukum lain yang tidak jauh berbeda dengan konsep-konsep yang lain. Para ahli
hukum dan praktisi hukum Indonesia membagi konsep bantuan hukum menjadi 2 (dua) macam, yaitu bantuan hukum
individual dan bantuan hukum struktural. Pertama, bantuan hukum individual merupakan pemberian bantuan hukum
kepada masyarakat yang tidak mampu dalam bentuk pendampingan oleh Advokat atau pengacara dalam proses
penyelesaian sengketa yang dihadapi, baik penyelesaian sengketa dalam pengadilan maupun penyelesaian sengketa lain
diluar peradilan seperti arbitrase. Semata-mata dalam rangka menjamin pemerataan pelayanan hukum kepada seluruh
lapisan masyarakat. Kedua, dalam bantuan hukum struktural, segala aksi atau kegiatan yang dilakukan tidak semata-mata
ditujukan untuk membela kepentingan atau hak hukum masyarakat yang tidak mampu dalam proses peradilan. Lebih luas
lagi, bantuan hukum struktural ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan pengertian masyarakat akan pentingnya
hukum. Disamping itu, tujuan lainnya adalah pemberdayaan masyarakat, guna memperjuangkan kepentingannya
terhadap penguasa yang kerap menindas mereka dengan legitimasi demi kepentingan pembangunan.
klasifikasi hak atas bantuan hukum dalam perundang-undangan di Indonesia.

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


a) Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
b) Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1), mengandung makna bahwa
semua warga negara Republik Indonesia memiliki kedudukan, hak, kewajiban dan diperlakukan sama dihadapan hukum
tanpa terkecuali baik bagi golongan miskin maupun golongan paling tinggi strata sosialnya, semua sama dimata hukum.
c) Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk di akui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun”.Melalui rumusan Hak Asasi Manusia yang terkandung dalam pasa-pasal Konstitusi tersebut diatas tidak terlepas
dari pandangan-pandangan pejuang HAM yang terus berkembang sampai saat ini. Dengan adanya rumusan HAM dalam
Undang-Undang Dasar 1945, maka secara konstitusional hak setiap warga negara tanpa terkecuali telah terjamin
termasuk didalamnya adalah hak atas bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu.

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP


a) Pasal 54: “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau
lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan
dalam undang-undang ini”.Konsepsi dasar daripada Pasal 54 KUHAP adalah dalam rangka untuk memberikan
keseimbangan posisi atau kedudukan antara tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana, hal tersebut sesuai
dengan anggapan bahwa tersangka atau terdakwa wajib dianggap sebagai orang yang buta akan hukum sehingga
kepadanya diberikan hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum.
b) Pasal 56: Ayat (1) :“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam
dengan pidana lima tahu atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka”. Ayat (2) “Setiap
penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan
Cuma-Cuma”.Melalui rumusan pasal tersebut diatas, negara melalui ketentuan KUHAP telah menjamin bantuan hukum
bagi masyarakat miskin yang sedang berhadapan dengan hukum. Namun, dalam ketentuan KUHAP, penasehat hukum
selaku pihak pemberi bantuan hukum bersifat pasif karena menunggu penunjukan atau pemberitahuan dari negara
(Penyidik, Jaksa atau hakim) bagi tersangka atau terdakwa yang perbuatannya diancam dengan ancaman pidana 5 (lima)
tahun atau lebih.
3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Dalam penjelasan umum, dasar pemikiran
pembentukan Undang-Undang tentang HAM adalah untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat
manusia sehingga diperlukan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Sejarah bangsa Indonesia
mencatat berbagai penderitaan yang dialami oleh masyarakat marginal dan terbelakang yang disebabkan oleh perilaku
tidak adil dan diskriminatif. Hal tersebut tercermin dari perbuatan penangkapan yang tidak sah, penculikan paksa dan
penganiayaan. Oleh karena itu, setiap warga negara yang berhadapan dengan hukum berhak mendapatkan bantuan
hukum sejak saat proses penyidikan sampai pada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum mengikat.
Dasar hukum yang mengatur mengenai hak untuk mendapatkan pendampingan hukum bagi masyarakat tidak mampu
termaktub dalam Pasal 17 dan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM.43
4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
Pasal 22: Ayat (1) “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak
mampu”.
Ayat (2) “Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pada penjelasan umum Undang-Undang
Advokat menyatakan, melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan
berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Maka dengan demikian, didalam pasal tersebut telah
tersirat makna bagi Advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi masyarakat tidak mampu.
5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU PKK)
a) Pasal 56: Ayat (1) “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”.
Ayat (2) “Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu”.Secara teori, pembebasan biaya
perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu sebagaimana disebutkan pada Pasal 56 ayat (2) biasa disebut dengan
istilah Prodeo. Berdasarkan peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014, Prodeo adalah proses berperkara di
pengadilan secara cuma-cuma dengan di biayai oleh negara melalui anggaran Mahkamah Agung.
b) Pasal 57: Ayat (1) “Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak
mampu dalam memperoleh bantuan hukum”. Ayat (2) “Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan
secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan
hukum tetap”.
Ayat (3) “Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”. Undang-Undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menghendaki bahwa
bantuan hukum diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai pada putusan terhadap perkara
tersebut telah memperoleh kekuatan hukum mengikat. Karena pada dasarnya setiap orang yang tersangkut dengan
perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Negara telah menjamin dan menanggung biaya bagi orang tidak mampu.
Pihak yang tidak mampu harus melampirkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat domisili yang
bersangkutan. Sehingga melalui surat keterangan tersebut, yang bersangkutan akan memperoleh pelayanan bantuan
hukum secara cuma-cuma oleh Advokat (probono) maupun pembebasan biaya perkara (prodeo) melalui posbakum yang
tersedia disemua lembaga peradilan di Indonesia.
6) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
Pasal 4: Ayat (1) “Bantuan hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum yang menghadapi masalah hukum”. Ayat
(2) “Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha
negara baik litigasi maupun nonlitigasi”. Ayat (3) “Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi
menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan
hukum Penerima Bantuan Hukum”. Jaminan atas hak konstitusional belum mendapatkan perhatian secara memadai
sehingga dibentuknya Undang-Undang Bantuan Hukum menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara
khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan dihadapan hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal diatas dapat dikemukakan tujuan penyelenggaraan bantuan hukum diantaranya adalah:
a) Menjamin dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk mendapatkan akses keadilan;
b) Mewujudkan hak konstitusional;
c) Menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan secara merata sebagaimana telah dijamin oleh
konstitusi.
KEPADA : HELLENA HILDEGARD
ALAMAT : JALAN SELAT SUNDA V BLOK E6 NO 15 KAV AL
DUREN SAWIT, JAKARTA TIMUR,13440
081393526944
DARI : SENJAYA RIHI
ALAMAT : JALAN GAJAH MADA NO. 33 WAIKABUBAK
SUMBA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR
082348229790

KEPADA : HELLENA HILDEGARD


ALAMAT : JALAN SELAT SUNDA V BLOK E6 NO 15 KAV AL
DUREN SAWIT, JAKARTA TIMUR,13440
081393526944
DARI : SENJAYA RIHI
ALAMAT : JALAN GAJAH MADA NO. 33 WAIKABUBAK
SUMBA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR
082348229790

Anda mungkin juga menyukai