Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam ISSN 2088-9992 (Print)

Vol. 9, No. 2, Desember 2019, Hal. 190-199 E-ISSN 2549-8738 (Online)

KONSELING INDIGENOUS BERBASIS TATA NILAI BUDAYA


LAMPUNG “PIIL PESENGGIRI” DALAM PEMBENTUKAN
PERILAKU DISIPLIN SISWA
Permata Sari1, Siti Zahra Bulantika2
1,2
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN Raden Intan Lampung
1
permataontel93@gmail.com, 2 szahrabulantika@gmail.com

Abstraksi: Tujuan penulisan ini adalah untuk merumuskan konseling indigeneous


berbasis nilai-nilai pill pesenggiri. Lebih khususnya penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis nilai-nilai dalam piil pesenggiri untuk pembentukkan perilaku disiplin siswa.
Pada piil pesenggiri memiliki 4 aspek yang mengatur kehidupan manusia yaitu nemui
nyimah, nengah nyappur, sakai sambaiyan dan bejuluk adek. Dengan memahami 4
aspek dalam piil pesenggiri yang mengajarkan manusia untuk hidup dalam aturan dan
norma yang berlaku di masyarakat, maka konselor dapat mendampingi konseli untuk
mengatasi masalah kedispilinan yang dihadapi konseli. Metode dalam penelitian ini adalah
library research. Penelitian menghasilkan tahapan dalam konseling indigeneous dengan
menggunakan nilai-nilai piil pesenggiri yaitu pertimbangan nilai, menerima nilai,
internalisasi nilai, memiliki nilai dan menerapkan nilai-nilai piil pesenggiri.

Keywords: indigenous counseling, piil pesenggiri.

Pendahuluan
Kehidupan manusia senantiasa dihadapkan dengan beberapa permasalahan, yang
berkaitan dengan aturan-aturan hidup yang berhubungan dengan nilai moral, nilai agama dan nilai
kain yang berlaku di masyarakat. Pentingnya masalah aturan, nilai, moral, tata tertib, dan
pendisiplinan bagi kehidupan manusia dalam rangka menjadikan harkat, martabat dan hidupnya
sejahtera. Tugas dunia pendidikan memberikan proses pembelajaran disiplin bagi individu.
Kenyataannya, permasalahan tentang kedisiplinan justru seperti momok yang menakutkan bagi
penyelenggara pendidikan dan peserta didik. Hasil survei Gallup (dalam Geoff Colvin, 2008) yang
diambil dari anggota masyarakat dan para pendidik selama beberapa tahun di Amerika membuat
perankingan tata tertib sekolah dan masalah mengenai perilaku disiplin peserta didik masuk dalam
peringkat tiga tertinggi dari masalah utama yang dihadapi sekolah. Setiap siswa dituntut untuk
dapat berperilaku sesuai dengan aturan dan tata tertib yang berlaku. Kepatuhan dan ketaatan
siswa terhadap aturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah disebut sikap disiplin siswa,
sedangkan peraturan, tata tertib, dan berbagai ketentuan lainnya yang berupaya mengatur perilaku
siswa disebut disiplin sekolah.

Disiplin sekolah adalah usaha sekolah untuk memelihara perilaku siswa agar tidak
menyimpang dan dapat mendorong siswa untuk berperilaku sesuai dengan norma, peraturan dan

190
Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam ISSN 2088-9992 (Print)
Vol. 9, No. 2, Desember 2019, Hal. 190-199 E-ISSN 2549-8738 (Online)

tata tertib yang berlaku di sekolah. Disiplin sekolah lebih dari sekadar hukuman, termasuk salah
satu upaya mengembangkan disiplin diri siswa (Bear, 2005). Permasalahan tentang disiplin adalah
fenomena transaksional yang bersarang di ruang kelas, sekolah, dan ekologi komunitas. Interaksi
yang menghasilkan perilaku disiplin dan ketidak disiplinan siswa dipengaruhi oleh kebutuhan
perkembangan siswa; guru, siswa, dan budaya sekolah; status sosial ekonomi siswa; komposisi
dan struktur sekolah dan ruang kelas; tuntutan pedagogis; harapan dan kapasitas peran siswa dan
guru untuk memenuhi harapan yang ditetapkan secara kelembagaan untuk peran mereka; dan
iklim sekolah.1 Transaksi ini dapat melibatkan masalah kecocokan siswa dan peraturan sekolah
yang dirasakan siswa tidak mendukung keinginan-keinginan mereka untuk berekspresi.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di SMK yang ada di Kota Bandar Lampung
menunjukkan tingkat kedisplinan siswa masih masuk dalam kategori sedang. Dari 238 siswa yang
tersebar dari beberapa SMK menunjukkan 24,4% (58 siswa) masuk dalam kategori rendah, 58%
(138 siswa) masuk dalam kategori sedang dan 17,6% (42 orang) masuk dalam kategori tinggi.
Perilaku tidak disiplin siswa meliputi bidang pribadi, social dan belajar seperti datang terlambat,
kelengkapan seragam, tidak mengerjakan pekerjaan rumah dan perkelahian antar teman.

Berbicara tentang pendidikan di lembaga pendidikan, tidak cukup hanya mengulas


tentang materi pelajaran tapi juga harus mengurai tentang layanan pengembangan diri siswa yang
sesuai dengan Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik (SKKPD). Pengembangan
kemandirian diri siswa ini berkaitan dengan layanan konseling. Oleh karena itu, konselor
diharapkan mampu memfasilitasi peserta didik agar mampu mengembangkan potensi dirinya
atau mencapai tugas-tugas kemandiriannya.

Salah satu langkah memfasilitasi peserta didik dalam proses konseling, adalah dengan
memberikan layanan yang sesuai dengan nilai-nilai konseli. Akan tetapi, proses konseling selama
ini didominasi teori-teori dari Barat, yang dalam aplikasi di lapangan kerap mengalami hambatan,
karena banyak yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia. Adanya kesenjangan
budaya, antara budaya barat dan budaya Indonesia membuat Guru Bimbingan dan Konseling
(BK) mengalami kesulitan dalam menerapkan model-model konseling dalam praktik konseling.2
Penelitian lain menunujukkan bahwa model konseling barat memiliki keterbatasan saat
diterapkan pada beberapa populasi seperti penduduk Asia-Pasifik, penduduk Amerika keturunan

1D. Osher et al., “How Can We Improve School Discipline?,” Educational Researcher 39, no. 1 (2010): 48–58.
2Andi Mappiare, “Meramu Model Konseling Berbasis Budaya Nusantara: Kipas (Konseling, Intensif, Progresif,
Adaptif, Struktur)” (2017).

191
Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam ISSN 2088-9992 (Print)
Vol. 9, No. 2, Desember 2019, Hal. 190-199 E-ISSN 2549-8738 (Online)

Afrika dan Amerika Latin.3 Adanya keterbatasan tersebut, konselor perlu memodifikasi langkah-
langkah dalam proses konseling ketika memberikan layanan kepada konseli yang beragam latar
belakang budayanya.

Kompetensi kesadaran juga perlu didukung dengan kompetensi pengetahuan yang


menggambarkan keberagaman nilai-nilai kepercayaan dan pengalaman multibudaya yang
terstruktur dalam konseling.4 Pemahaman tentang budaya harus dimiliki konselor agar proses
konseling dapat berjalan dengan baik. Pemahaman tentang nilai-nilai budaya ini nantinya akan
mempermudah konselor dalam memahami konseli pada proses konseling ataupun harapan-
harapan suatu budaya terhadap manusia. Salah satu hal yang dapat membantu konselor adalah
dengan memahami tentang konseling indigenous. Konseling indigenous akan membantu konselor
mengkonstruk nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup masyarakat. Salah satu pendekatan
konseling yang berbasis budaya Indonesia dalam penelitian ini adalah konseling berbasis budaya
Lampung. Nilai-nilai budaya Lampung yang ada dalam piil pesenggiri akan diinternalisasikan pada
layanan konseling. Tata nilai budaya Lampung terdiri dari empat komponen yaitu bejuluk beadok
berarti bertata krama, nengah nyampur bermakna tata pergaulan bermasyarakat, nemui nyimah adalah
terbuka tangan dan ramah tamah dan sakai sembayan artinya gotong royong. Nilai- nilai moral
yang kokoh dan etika standar yang kuat dalam tata nilai budaya Lampung sangat diperlukan bagi
individu maupun masyarakat melalui proses konseling indigenous, khususnya di sekolah secara
eksplisit (terencana), terfokus, dan komprehensip untuk menghadapi tantangan-tantangan masa
depan agar pembentukan siswa yang berkarakter disiplin dapat terwujud sehingga terhindar dari
perilaku-perilaku yang menyimpang.

Konseling indigeneous ini nantinya akan menghasilkan tahapan-tahapan dalam proses


konseling dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang ada dalam piil pesenggiri. Nilai-nilai yang akan
dipertimbagkan adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan perilaku disiplin, yang nantinya dapat
diterapkan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari.

Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis library research, hal ini
dikarenakan pada penelitian ini lebih banyak meggunakan sumber-sumber pustaka sebagai
rujukan. Penelitian ini melibatkan identifikasi sumber yang factual mengenai rumusan penelitian.
Adapun sumber primer yang digunakan adalah kitab kuntara raja niti, buku-buku yang mengkaji

3 Lynda Henley Walters and Gerald Corey, “Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy,” Family Relations
29, no. 1 (1980): 133, http://www.jstor.org/stable/583738?origin=crossref.
4 Judith H. Katz, “The Sociopolitical Nature of Counseling,” The Counseling Psychologist 13, no. 4 (1985): 615–624.

192
Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam ISSN 2088-9992 (Print)
Vol. 9, No. 2, Desember 2019, Hal. 190-199 E-ISSN 2549-8738 (Online)

tentang piil pesenggiri dan jurnal-jurnal terbaru tentang penelitian mengenai piil pesenggiri. Adapun
tahapan dalam penelitian ini merujuk pada tahapan George yaitu: (1) menentukan topik, (2)
melibatkan imajinasi, (3) menentukan rumusan masalah, (4) mengembangan rencana dan strategi
penelitian, (5) mendiskusikan alat referensi dan basis data, (6) mengidentifikasi sumber, (7)
evaluasi, (8) mendalami pemahaman berdasarkan pada refleksi dan (9)
menginterpretasikan/mendeskripsikan hasil. 5

Pembahasan
Konseling Indigenous
Konseling indigenous erat kaitannya dengan pemikiran dan keyakinan-keyakinan objektif
ataupun subjektif dalam kehidupan masyarakat tradisional. Pandangan subjektif berkaitan dengan
keunikan individu, sedangkan pandangan objektif berkaitan dengan struktur budaya di mana
individu itu berasal.6 Konselor harus bersedia untuk belajar dan memiliki pengetahuan terkait
dengan model konseling yang berasal dari nilai-nilai asal konseli.7 Konseling indigenous
merupakan salah satu proses konseling yang membantu individu untuk menangani
permasalahannya dengan prinsip, kepercayaan, cara berfikir, pengetahuan dan nilai-nilai dimana
inndividu tersebut berasal.8 Istilah tentang pandangan terkait prinsip-prinsip dan praktik
kehidupan tradisional di Indonesia dikenal dengan kearifan lokal, yaitu warisan nilai-nilai dari
leluhur yang dijunjung hingga saat ini.

Keberadaan tradisi seperti upacara adat (ritual) diyakini oleh masyarakat sebagai warisan
leluhur yang mempunyai makna, nilai, dan fungsi tertentu. Sebagai salah satu media pendidikan,
upacara ritual siklus hidup banyak memberikan hukum-hukum, nasihat, ataupun perintah agar
seseorang dan sekelompok orang menjadi manusia yang baik.9 Kearifan lokal merupakan
keseluruhan pengalaman berupa gagasan, pandangan hidup, nilai, norma, bahasa, dan adat-
istiadat yang dimiliki suatu masyarakat, yang dianggap baik dan dipakai secara turun menurun di
daerah tertentu (Moordiningsih, 2009; Grayshield., et., al., 2010). Kearifan local biasanya
ditemukan dalam bentuk tulisan dan ucapan (oral tradition) yang bersifat menyeluruh dan lokal.

5 Margie Ruppel, “Book Review,” The Journal of Academic Librarianship 35, no. 2 (2009): 189–190,
http://dx.doi.org/10.1016/j.acalib.2009.01.015.
6 Florence Hiu-Ha Chong and Hung-Yi Liu, “Indigenous Counseling in the Chinese Cultural Context: Experience

Transformed Model,” Asian Journal of Counselling 9, no. 2 (2002): 49–68.


7 “Counseling the Culturally Diverse_ Theory and Practice - Derald Wing Sue,” n.d.
8 Ibid.
9 Pembelajaran Apresiasi, Sastra Lama, and Menengah Atas, “Sarmadan, 2013 Upacara Adat Katoba Pada

Masyarakat Muna (Analisis Struktural, Nilai-Nilai Kultural, Dan Pemanfaatannya Dalam Pembelajaran Apresiasi
Sastra Lama Di Sekolah Menengah Atas) Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu” (2013).

193
Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam ISSN 2088-9992 (Print)
Vol. 9, No. 2, Desember 2019, Hal. 190-199 E-ISSN 2549-8738 (Online)

Konselor yang membantu konselinya dalam proses konseling harus menggunakan nilai-
nilai serta kepercayaan yang ada dalam budaya konseli. Pertautan antara filosofi konseling dengan
nilai-nilai budaya konseli mendorong tercapainya tujuan konseling yang lebih cepat. Hal ini juga
disampaikan oleh Corey yang menjelaskan bahwa penekanan spiritualitas dan unsur kebudayaan
menjadi hal yang sangat penting dalam praktik konseling di masa yang akan datang.

Sue mengusulkan agar setiap konselor harus memiliki tiga karakteristik yaitu kesadaran
dan keyakinan budaya, pengetahuan dan keterampilan budaya.10 Kesadaran dan keyakinan budaya
yang dimiliki konselor merujuk pada kepekaan konselor terhadap dirinya, nilai dan bias dan
bagaimana hal tersebut dapat mempengaruhi persepsi klien, masalah klien, dan hubungan
konseling. Pengetahuan budaya merujuk pada pengetahuan konselor tentang budaya klien,
pandangan dunia, dan harapan untuk hubungan konseling. Keterampilan budaya merujuk pada
kemampuan yang dimiliki konselor untuk melakukan intervensi dengan cara seperti itu sensitif
secara budaya .

Nilai Budaya Lampung


Etnis Lampung memiliki podaman hidup yang biasa dikenal dengan piil pesnggiri. Piil
berasal dari bahasa Arab fiil yang berarti perilaku dan pesenggiri maksudnya keharusan bermoral
tinggi, berjiwa besar, tahu diri, serta kewajiban. Piil pesenggiri memiliki 4 komponen yaitu bejuluk
adek (prinsip keberhasilan/gelar adat), nyemui nyimah (prinsip penghargaan), sakai sembayan (prinsip
kerjasama) serta nengah nyappur (prinsip persamaan).11 Keempat ajaran ini menjelaskan tentang
harga diri etnis Lampung yang harus ditanamkan dalam diri mereka, agar dapat berperilaku baik
dan tidak mempermalukan keluarga.

Bejuluk adek (gelar adat) merupakan nama panggilan keluarga seorang laki/perempuan
yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau remaja yang belum menikah, dan adek
bermakna gelar/nama panggilan adat seorang laki/perempuan yang sudah menikah melalui
prosesi pemberian gelar adat. Bejuluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung,
oleh karena itu bejuluk adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang
bersangkutan. Karena bejuluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat
Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud prilaku

10 P. Ruiz, Strategies for Building Multicultural Competence in Mental Health and Educational Settings, Psychiatric Services, vol.
58, 2007.
11 Sulistyowati Irianto and Risma Margaretha, “Piil Pesenggiri: Modal Budaya Dan Strategi Identitas Ulun Lampung,”

Makara Human Behavior Studies in Asia 15, no. 2 (2011): 140; Permata Sari, “Pengembangan Panduan Pertimbangan
Nilai Ajaran Nengah Nyapur Etnis Lampung Untuk Mereduksi Perilaku Bulying Siswa SMK” (2018): 1095–1099.

194
Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam ISSN 2088-9992 (Print)
Vol. 9, No. 2, Desember 2019, Hal. 190-199 E-ISSN 2549-8738 (Online)

pergaulan. Bejuluk-adek merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota
masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya
dalam setiap perilaku dan karyanya.

Nemui-Nyimah merupakan sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka memberi dan
menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan.12 Untuk menciptakan suatu sikap
keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu
keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, ikatan keluarga
secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran.

Nengah nyappur yang merupakan prinsip persamaan yang menggambarkan seseorang


untuk bergaul tanpa membeda-bedakan orang lain. Masyarakat Lampung yang digambarkan
dalam nengah nyappur adalah individu yang memprioritaskan kekeluargaan dengan sikap yang
suka bergaul dengan siapapun tanpa membedakan suku, agama, tingkatan, asal-usul, dan
golongan.13

Sakai-Sambaiyan merupakan sikap gotong royong agar masyarakat Lampung saling tolong
menolong dengan masyarakat di sekitarnya. Sakai-sambayan mencerminkan sikap solidaritas yang
tinggi terhadap berbagai kegiatan yang ada di lingkungan. Oleh itu, piil pesenggiri sebagai pedoman
hidup masyarakat Lampung merupakan kristalisasi nilai-nilai dan aturan yang ada di masyarakat
yang bertumbuh dan dijalankan dalam masyarakat sebagai makhluk sosial dan budaya.

Seiring berkembangnya jaman nilai-nilai leluhur pill pesenggiri semakin hilang dalam diri
masyarakat Lampung termasuk siswa dan konselor di sekolah. Jika dihubungkan dengan urgensi
dalam bimbingan dan konseling saat ini, konselor harus memiliki dan menerapkan nilai-nilai piil
pesenggiri dalam dirinya sebelum melakukan konseling indigeneous dengan nilai-nilai tersebut kepada
konseli. Hal ini diperkuat dengan penelitian pendapat Setyaputri yang menyatakan bahwa
Konselor multibudaya harus memiliki wawasan nilai-nilai budaya, dimana konselor tersebut
dalam kehidupan pribadi atuau socialnya atau saat memberikan layanan konseling dengan nilai-
nilai yang dipahaminya. 14

12 Irianto and Margaretha, “Piil Pesenggiri: Modal Budaya Dan Strategi Identitas Ulun Lampung.”
13 Sari, “Pengembangan Panduan Pertimbangan Nilai Ajaran Nengah Nyapur Etnis Lampung Untuk Mereduksi
Perilaku Bulying Siswa SMK.”
14 Nora Yuniar Setyaputri, “Karakter Ideal Konselor Multibudaya Berdasarkan Nilai Luhur Semar,” Jurnal Kajian

Bimbingan dan Konseling 2, no. 2 (2017): 58–65.

195
Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam ISSN 2088-9992 (Print)
Vol. 9, No. 2, Desember 2019, Hal. 190-199 E-ISSN 2549-8738 (Online)

Perilaku Disiplin
Disiplin merupakan cara masyarakat untuk mengajarkan anak berperilaku sesuai dengan
aturan yang ada di masyarakat (Hurlock, 1999). Disiplin juga merupakan suatu sikap moral siswa
yang terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai – nilai ketaatan,
kepatuhan, keteraturan dan ketertiban berdasarkan acuan nilai moral. Siswa yang memiliki disiplin
akan menunjukkan ketaatan, dan keteraturan terhadap perannya sebagai seorang pelajar yaitu
belajar secara terarah dan teratur. Dengan demikian siswa yang berdisiplin akan lebih mampu
mengarahkan dan mengendalikan perilakunya. Disiplin memiliki peranan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia terutama siswa dalam hal belajar. Disiplin akan memudahkan siswa
dalam belajar secara terarah dan teratur.

Terdapat empat unsur tentang disiplin yaitu peraturan, hukuman, penghargaan dan
konsistensi. Peraturan adalah pola yang ditetapkan oleh masyarakat dilingkungan untuk mangatur
tingkah laku seseorang. Hukuman merupakan konsekuensi yang diberikan karena suatu kesalahan
, perlawanan atau pelanggaran sebagai ganjaran atau pembalasan. Penghargaan merupakan setiap
bentuk kebanggaan untuk suatu hasil yang baik. Penghargaan tidak harus berbentuk materi tetapi
dapat berupa kata–kata pujian, senyuman atau tepukan di punggung. Banyak orang yang merasa
bahwa penghargaan itu tidak perlu dilakukan karena bisa melemahkan anak untuk melakukan apa
yang dilakukan. Sikap guru yang memandang enteng terhadap hal ini menyebabkan anak merasa
kurang termotivasi untuk belajar. Konsistensi berarti tingkat keseragaman atau stabilitas.
Konsistensi tidak sama dengan ketetapan dan tiada perubahan. Dengan demikian konsistensi
merupakan suatu kecenderungan menuju kesamaan. Disiplin yang konstan akan mengakibatkan
tiadanya perubahan untuk menghadapi kebutuhan perkembangan yang berubah. Mempunyai
nilai mendidik yang besar yaitu peraturan yang konsisten bisa memacu proses belajar anak.
Dengan adanya konsitensi anak akan terlatih dan terbiasa dengan segala yang tetap sehingga
mereka akan termotivasi untuk melakukan hal yang benar dan menghindari hal yang salah.

Konseling Indigenous Berbasis Nilai-nilai Piil Pesenggiri dalam Pembentukan Perilaku


Disiplin Siswa
Konseling indigenous berbasis nilai-nilai piil pesenggiri ini merupakan strategi konseling yang
digunakan konselor untuk membantu konseli mengevaluasi perilaku siswa dengan nilai-nilai yang
ada pada piil pesenggiri. Nilai-nilai tersebut bukan hanya nilai-nilai yang tertulis akan tetapi nilai
tidak tertulis sekalipun, hal ini mengharuskan konselor memiliki pemahaman tentang nilai-nilai
yang ada pada piil pesenggiri. MacCluskie menjelaskan bahwa sistem nilai dan keyakinan konselor
dapat memengaruhi cara konselor bekerja dengan konselinya, hal ini menunjukkan pentingnya

196
Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam ISSN 2088-9992 (Print)
Vol. 9, No. 2, Desember 2019, Hal. 190-199 E-ISSN 2549-8738 (Online)

kesadaran diri dan pengetahuan diri sebagai landasan untuk mengembangkan kompetensi
multikultural.15 Bersedia mengakui dan memperhitungkan pengaruh budaya di luar individu yang
mempengaruhi kehidupan konseli dan pengalaman emosional merupakan langkah signifikan
menuju kesadaran multikultural.16

Perilaku tidak disiplin dalam perpesktif konseling bisa disebut dengan identitas gagal
(failure identity). Sikap-sikap yang ditunjukkan dengan perilaku yang kurang diterima oleh
lingkungan di sekeliling peserta didik akan menyebabkan siswa memiliki hubungan sosial yang
kurang baik dengan orang-orang di sekitarnya misalnya saja dijauhi dan dibenci. Hal ini membuat
kebutuhan akan cinta siswa tidak terpenuhi, padahal Wubbolding (2007) menjelaskan bahwa
kebutuhan yang paling sering membuat individu merasa gagal adalah kebutuhan akan cinta (love
and belonging). Untuk mengubah identitas gagal (perilaku tidak disipilin) menjadi identitas sukses
(perilaku yang bisa diterima), konseling indigenous membantu siswa untuk mengevaluasi
perilakunya apakah sudah sesuai dengan nilai-nilai yang ada.

Pada konseling indigenous nantinya konselor membantu mengevaluasi perilaku yang


sudah dilakukan konseli saat ini. Pada tahap ini konselor menanyakan sejauh mana tindakan yang
dilakukan oleh konseli untu mengembangkan sikap disiplinya. Konselor dan konseli sama-sama
menilai perilaku yang dilakukan konseli saat ini dengan pertimbangan tujuan pribadi konseli.
Konselor mengajak konseli untuk menginternalisasikan nilai-nilai dalam piil pesenggiri dalam
rencana penyelesaian masalahnya. Adapun tahapan dalam konseling indigenous melalui tahapan
pertimbangan nilai dimana siswa mempertimbangkan nilai-nilai yang ada dalam piil pesenggiri yang
berhungan dengan perilaku disiplin. Kemudian siswa dapat menerima nilai-nilai yang ada dalam
piil pesenggiri, setelah siswa dapat menerima nilai-nilai tersebut siswa dapat menginternaslisasikan
nilai-nilai tersebut terhadap perilaku disiplin, sehingga siswa dapat menanamkan nilai-nilai dalam
piil pesenggiri dalam dirinya. Sampai pada tahap akhir siswa dapat mempraktikkan nilai-nilai ini
agar dapat berperilaku disiplin.

Konseling indigenous juga sudah banyak dikembangkan dengan berbagai nilai-nilai budaya
Indonesia, misalnya saja konseling indigenous dengan nilai gusjigang.17 yang mengonstruk nilai-nilai

15 Kathryn MacCluskie, ‫ استفاده از نانوفیلتراسیون در تصفیه آبهاي لبشور ( مطالعه موردي‬،‫ رشیدیمهرآبادي‬.‫ا‬.‫ع‬،‫ فاضلی‬.‫م‬،‫ روستایی‬.‫ج‬
‫چاههاي کهورستان‬No Title, n.d.
16 Sari, “Pengembangan Panduan Pertimbangan Nilai Ajaran Nengah Nyapur Etnis Lampung Untuk Mereduksi

Perilaku Bulying Siswa SMK.”


17 Hasan Mahmud, “Indigenous Konseling Gusjigang Dalam Pemikiran Kearifan Lokal Sunan Kudus,” Konseling

Edukasi Journal Of Guidance and Counseling 2, no. 1 (2018): 117–131, http://journal.stainkudus.ac.id/


index.php/Konseling_Edukasi/article/view/4137.

197
Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam ISSN 2088-9992 (Print)
Vol. 9, No. 2, Desember 2019, Hal. 190-199 E-ISSN 2549-8738 (Online)

gusjigang ke dalam layanan konseling. Penelitian yang dilakukan Sari (2018) mengembangkan
layanan konseling realitas dengan menginternalisasikan nengah nyappur untuk mereduksi perilaku
bullying siswa.

Kesimpulan
Konselor harus memiliki kompetensi multikultuural yaitu kesadaran, pengetahuan dan
keterampilan budaya agar dapat memanfaatkan nilai-nilai yang ada pada budaya konseli untuk
membantu proses konseling berjalan dengan lancar. Pembentukan perilaku disiplin dalam
konseling indigenous yang berbasis tata nilai budaya Lampung bisa dijadikan salah satu alternatif
yang bisa digunakan. Konselor sekolah diharapkan dapat berperan dalam pembentukan perilaku
disiplin siswa. Selain itu konselor harus terampil dalam menerapkan pendidikan perilaku disiplin
dalam layanan konseling indigenous terutama kearifan lokal budaya setempat khusunya yang
dibahas pada artikel ini budaya Lampung di sekolah. Nilai-nilai dalam piil pesenggiri ini dapat
dimasukkan dalam proses konseling dengan menggunakan pertimbangan nilai melalui tahapan:
pertimbangan nilai, menerima, internalisasi, memiliki nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai piil
pesenggiri.

Daftar Rujukan
Apresiasi, Pembelajaran, Sastra Lama, and Menengah Atas. “Sarmadan, 2013 Upacara Adat
Katoba Pada Masyarakat Muna (Analisis Struktural, Nilai-Nilai Kultural, Dan
Pemanfaatannya Dalam Pembelajaran Apresiasi Sastra Lama Di Sekolah Menengah Atas)
Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu” (2013).

Ariyani, F., Yufrizal, H., Agus, E.S. & Mustofa, A. (2014). Konsepsi Piil Pesenggiri Masyarakat
Adat Lampung Waykanan di Kabupaten Waykanan (Sebuah Pendekatan Discourse
Analysis). Lampung: Aura Publishing.

Geoff Colvin.2008. 7 Langkah untuk menyusun rencana disiplin kelas proaktif. Jakarta: PT.
Indeks http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/04/disiplin-siswa-di-sekolah/

Hiu-Ha Chong, Florence, and Hung-Yi Liu. “Indigenous Counseling in the Chinese Cultural
Context: Experience Transformed Model.” Asian Journal of Counselling 9, no. 2 (2002): 49–
68.

Hurlock, & Elizabeth, B. (1996). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta : Erlangga.

Irianto, Sulistyowati, and Risma Margaretha. “Piil Pesenggiri: Modal Budaya Dan Strategi
Identitas Ulun Lampung.” Makara Human Behavior Studies in Asia 15, no. 2 (2011): 140.

Kathryn MacCluskie. ‫ استفاده از نانوفیلتراسیون در تصفیه آبهاي‬،‫ رشیدیمهرآبادي‬.‫ا‬.‫ع‬،‫ فاضلی‬.‫م‬،‫ روستایی‬.‫ج‬


‫لبشور ( مطالعه موردي چاههاي کهورستان‬No Title, n.d.

Katz, Judith H. “The Sociopolitical Nature of Counseling.” The Counseling Psychologist 13, no. 4

198
Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam ISSN 2088-9992 (Print)
Vol. 9, No. 2, Desember 2019, Hal. 190-199 E-ISSN 2549-8738 (Online)

(1985): 615–624.

Mahmud, Hasan. “Indigenous Konseling Gusjigang Dalam Pemikiran Kearifan Lokal Sunan
Kudus.” Konseling Edukasi Journal Of Guidance and Counseling 2, no. 1 (2018): 117–131.
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Konseling_Edukasi/article/view/4137.

Mappiare, Andi. “Meramu Model Konseling Berbasis Budaya Nusantara: Kipas (Konseling,
Intensif, Progresif, Adaptif, Struktur)” (2017).

Osher, D., George G. Bear, Jeffrey R. Sprague, and Walter Doyle. “How Can We Improve
School Discipline?” Educational Researcher 39, no. 1 (2010): 48–58.

Ruiz, P. Strategies for Building Multicultural Competence in Mental Health and Educational Settings.
Psychiatric Services. Vol. 58, 2007.

Ruppel, Margie. “Book Review.” The Journal of Academic Librarianship 35, no. 2 (2009): 189–190.
http://dx.doi.org/10.1016/j.acalib.2009.01.015.

Sari, Permata. “Pengembangan Panduan Pertimbangan Nilai Ajaran Nengah Nyapur Etnis
Lampung Untuk Mereduksi Perilaku Bulying Siswa SMK” (2018): 1095–1099.

Setyaputri, Nora Yuniar. “Karakter Ideal Konselor Multibudaya Berdasarkan Nilai Luhur
Semar.” Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling 2, no. 2 (2017): 58–65.

Sumari, M., Jalal, F., & Idris, U. (2008). Cultural issues in counseling: An international
perspective. Counselling, …, 4(1), 24– 34. Retrieved from
http://www.mentalhealthacademy.com.au/journal_archive/cph083.pdf.

Walters, Lynda Henley, and Gerald Corey. “Theory and Practice of Counseling and
Psychotherapy.” Family Relations 29, no. 1 (1980): 133.
http://www.jstor.org/stable/583738?origin=crossref. “Counseling the Culturally
Diverse_ Theory and Practice - Derald Wing Sue,” n.d.

199

Anda mungkin juga menyukai