Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Hadist Muadz bin Jabal tentang perpindahan zakat

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Ayat Hadist Zakat Wakaf

Dosen pengampu :

Dr. H. Darmawan, SHI.,MHI.

Disusun oleh :

Moch Ilham Iffatu Atsir (08050522046)

Achmad Rian Agung Prayoga ()

PROGRAM STUDI MANAJEMEN ZAKAT DAN WAKAF

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

i
2023

KATA PENGANTAR

Hal yang pertama dan utama yang wajib sampaikan adalah ungkapan rasa
syukur kami dari kelompok satu kepada Allah SWT karena hanya atas bimbingan dan
hidayah-Nya, kelompok kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “Hadits
Ibnu Majah Nishob Emas”

Sholawat dan Salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad


saw yang telah memberikan teladan kehidupan kepada kita semua dan semoga kita
diberikan kemampuan untuk bisa menteladani apa yang sudah dicontohkan kepada
kita.

Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ayat Hadist Zakat
Wakaf. Dalam penyusunan makalah ini kami sempat mengalami berbagai kesulitan,
oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan bantuan
kepada:

• Bapak Dr. H. Darmawan, SHI.,MHI. sebagai dosen pembimbing mata


kuliah Qawa’id Fiqhiyah di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

• Teman-teman program studi Manajemen Zakat dan Wakaf

Kami kelompok satu sangat menyadari bahwa di dalam penulisan makalah ini
tentunya masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
kelompok kami sangat mengharapkan saran dan koreksi yang membangun demi
perbaikan dan kesempurnaan makalah ini. Kelompok kami juga berharap bahwa
makalah ini dapat menjadi sarana untuk saling bertukar informasi dan sebagai bentuk
pengabdian diri penulis kepada Allah SWT.

Dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kami khususnya dan umat
islam umumnya. Amiin Ya Robbal’alamin

ii
Surabaya, 18 Maret 2023

Kelompok 11

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................................
BAB I...............................................................................................................................................
PENDAHULUAN...........................................................................................................................
A. Latar Belakang........................................................................................................................
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................................
BAB II.............................................................................................................................................
PEMBAHASAN..............................................................................................................................
A.DEFINISI PERPINDAHAN ZAKAT.....................................................................................
B. PENERAPAN PERPINDAHAN ZAKAT..............................................................................
1.Pada masa Rasulullah............................................................................................................
2.Pada masa sahabat.................................................................................................................
C. KEADAAN YANG MEMPERBOLEHKAN PERPINDAHAN ZAKAT.............................
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................
A. Kesimpulan...........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendapat jumhur yang dimaksud di atas adalah Imam Syafi’i, Imam
Maliki dan Ahmad bin Hambal yang mengatakan ketidak bolehan membawa
zakat ke negeri lain (bukan negeri muzaki), demikian juga jika dikiaskan dengan
daerah lain (bukan daerah muzaki). Namun menurut Mazhab Hanafi boleh zakat
tersebut disalurkan ke daerah lain, namun jika didapati golongan penerima zakat
atau sebagiannya ada di suatu wilayah maka wajib memberikan zakat kepada
mereka baik wilayah itu luas maupun kecil, dan haram me- mindahkan zakat ke
tempat lain, tidak diperbolehkan kecuali dengan alasan tertentu antara lain alasan
kekeluargaan dan memiliki keutamaan.

Pendapat Mazhab Hanafi kemudian dipilih oleh banyak ulama (ashab) dari
kita khususnya ketika penyalurannya diberikan kepada keluarga dekat, teman atau
orang yang memiliki keutamaan. Dan mereka berkata, dengan model seperti itu
gugurlah kewajiban zakat- nya. Dengan demikian ketika zakat itu didistribusikan
ke keluar daerah disertai mengikuti aturan yang terdapat dalam mazhab Hanafi itu
diperbolehkan.

Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Sheikh Utsaimin


(Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin) bahwa memindahkan zakat dari negeri
orang yang mengeluarkannya ke negeri lain jika hal itu membawa maslahat
hukumnya boleh. Jika orang yang mengeluarkan zakat itu mempunyai sanak
kerabat yang berhak menerima zakat di negeri lain dan zakat itu dikirim
kepadanya, maka hukumnya tidak apa-apa (boleh). Begitu juga jika standar hidup
di negeri itu tinggi, lalu dia mengirimnya ke suatu negeri yang lebih miskin, hal
itu juga boleh, tetapi jika tidak ada kemaslahatan dalam memindah zakat dari
negeri satu ke negeri lain, maka sebaiknya tidak perlu dipindahkan. Masalah ini
jika kita analogi dari satu negara ke negara lain dibolehkan maka dari satu daerah
ke daerah lain tentu juga dibolehkan jika ada maslahat di dalamnya.

1
Berdasarkan riwayat-riwayat ini para ahli fiqh (fuqaha’) berdalil bahwa
zakat dibagikan kepada orang-orang fakir di negeri atau daerah muzakki . Mereka
berbeda pendapat tentang hukum mengalihkan zakat ke negeri lain setelah mereka
berijmak bahwa boleh hukumnya mengalihkan zakat ke negeri lain jika negeri
tempat pengutipan zakat tersebut tidak membutuhkannya atau memang sudah
surplus

B. Rumusuan Masalah
1. Apa definisi perpindahan zakat?
2. Apa penerapan perpindahan zakat pada zaman Rasulullah dan sahabat?
3. Apa saja keadaan yang memperbolehkan perpindahan zakat?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi dari perpindahan zakat
2. Memiliki penerapan perpindahan zakat pada masa Rasulullah dan
sahabat
3. Mengetahui apa saja keadaan yang memperbolehkan perpndahan zakat

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI PERPIDAHAN ZAKAT

B. PENERAPAN PERPINDAHAN PADA ZAMAN RASULULLAH DAN


SAHABAT

Pada zaman rasulullah

Pelaksanaan zakat di zaman Rasulullah SAW dan yang kemudian diteruskan para
sahabatnya, yaitu para petugas mengambil zakat dari muzaki (orang yang
mengeluarkan zakat) atau muzaki sendiri secara langsung menyerahkan zakatnya
pada baitulmal, lalu oleh para petugasnya (amil zakat) disistribusikan kepada para
mustahik.

Ketika itu Rasulullah mengutus Muadz bin Jabal untuk mengurus zakat orang
Yaman. Beliau mengatakan : “Apabila mereka patuh untuk berikrar dua kalimat
syahadat dan mendirikan salat, maka beritahu kan kepada mereka bahwa Allah
mewajibkan zakat kepada mereka pada harta-harta mereka, diambil dari orang
kaya di antara mereka, lalu dikembalikan kepada yang fakir di antara mereka.”
(HR. Bukhari dan Muslim).

Pada zaman Rasulullah masalah pengelolaan zakat walaupun dalam bentuk yang
sederhana namun pengelolaan zakat pada masa itu dinilai berhasil. Karena amil
pada waktu itu adalah orang-orang yang amanah, jujur, transparan dan akuntabel.

Satu hal yang paling substansial dalam penyaluran zakat pada masa Rasulullah
adalah Rasul tidak pernah menunda penyaluran zakat. Bila zakat diterima pagi
hari maka sebelum siang hari Rasul sudah membagikannya. Sementara itu, bila
zakat diterima siang hari, maka sebelum malam hari zakat tersebut telah
disalurkan. Sehingga sifat penyaluran zakat pada masa Rasulullah adalah segera
dan tanpa sisa.

3
Pada zaman sahabat

Pengelolaan zakat di zaman Khulafa’ Al-Rasyidin

a. Masa Abu Bakar Ash-Shidiq Setelah Rasullah SAW wafat, banyak kabilah-
kabilah yang menolak untuk membayar zakat dengan alasan merupakan perjanjian
antara mereka dan Nabi SAW, sehingga setelah beliau wafat maka kewajiban
terebut menjadi gugur. Pemahaman yang salah inihanya terbatas dikalangan suku-
suku Arab Baduwi. Suku-suku Arab Baduwi ini menganggap bahwa pembayaran
zakat sebagai hukuman atau beban yang merugikan. Abu Bakar yang menjadi
khalifah pertama penerus Nabi SAW memutuskan untuk memerangi mereka yang
menolak membayar zakat dan menganggap mereka sebagai murtad. Perang ini
tercatat sebagai perang pertama di dunia yang dilakukan sebuah negara demi
membela hak kaum miskin atas orang kaya dan perang ini dinamakan Harbu
Riddah.

b. Masa Umar ibn Khatab Ia menetapakan suatu hukum berdasarkan realita


sosial. diantara ketetapan Umar RA adalah mengahapus zakat bagi golongan
mu’allaf, enggan memungut sebagian ‘usyr (zakat tanaman) karena merupakan
ibadah pasti, mewajibkan kharaj (sewa tanah), dan menentapkan zakat kuda yang
pada zaman Nabi tak pernah terjadi. Tindakan Umar RA Faisal, Sejarah
Pengelolaan Zakat Di Dunia Muslim dan Indonesia menghapus kewajiban kepada
mu’allaf bukan berarti mengubah hukum agama dsn mengenyampingkan ayat-
ayat Al-Qur’an, Ia hanya mengubah fatwa sesuai dengan perubahan zaman yang
jelas berbeda dari zaman Rasulullah SAW. Setelah wafanya Abu Bakar dan
dengan perluasan wilayah Negara Islam yang mencakup dua kerajaan Romawi
(Syria, Palestina, dan Mesir) dan seluruh kerajaan Persia termasuk Irak, ditambah
dengan melimpahnya kekayaan Negara pada masa khilafah, telah memicu adanya
perubahan sistem pengelolaan zakat. Kedua faktor tersebut mengharuskan adanya
intitusionalisasi yang lebih tinggi dari pengelolaan zakat. Perubahan ini tercermin
secara jelas pada masa khalifah Umar bin Khattab, Umar mencontoh sistem
administrasi yang diterapakan di Persia, dimana sistem administrasi pemerintahan
dibagi menjadi delapan provinsi, yaitu Mekkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah,
Kufah, Palestina, dan Mesir. Umar kemudian mendirikan apa yang disebut Al-

4
Dawawin yang sama fungsinya dengan baitul maal pada zaman Nabi
Muhammmad SAW dimana ia merupakan sebuah badan audit Negara yang
bertanggung jawab atas pembukuan pemasukan dan pengeluaran Negara. Al-
Dawawin juga diperkirakan mencatat zakat yang didistribusikan kepada para
mustahiq sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Pengembangan yang
dilakukan Umar terhadap baitul maal merupakan kontribusi Umar kepada dunia
Islam. Pada masa Umar pula sistem pemungutan zakat secara langsung oleh
negara, yang dimulai dengan pemerintahan Abdullah bin Mas’ud di Kuffah
dimana porsi zakat dipotong dari pembayaran Negara. Meskipun hal ini pernah
diterapkan Khalifah Abu Bakar, namun pada masa Umar proses pengurangan
tersebut menjadi lebih tersistematis.

c. Pada masa Utsman ibn Affan Meskipun kekayaan Negara Islam mulai
melimpah dan umlah zakat juga lebih dari mencukupi kebutuhan para mustahiq,
namun administrasi zakat justru mengalami kemunduran. Hal ini justru
dikarenakan kelimpahan tersebut, dimana Utsman memberi kebebasan kepada
‘amil dan Individu untuk mendistribusikan zakat kepada siapun yang mereka nilai
layak menerimanya. Zakat tersebut adalah yang tidak kentara seperti zakat
perdagangan, zakat emas, zakat perak, dan perhiasan lainya. Keputusan Utsman
ini juga dilatar belakangi oleh keinginan meminimalkan biaya pengelolaan zakat
dimana beliau menilai bahwa biaya yang dibutuhkan untuk mengumpulkan dana
zakat tersebut akan tinggi dikarenakan sifatnya yang tidak mudah diketahui oleh
aparat Negara.

d. Pada Masa Ali ibn Abi Thalib Situasi politik pada masa kepimimpinan
Khalifah Ali ibn Abi Thalib berjalan tidak stabil, penuh peperangan dan
pertumpahan darah, tetapi Ali ibn Abi Thalib tetap mencurahkan perhatianya yang
sangat serius dalam mengelola zakat. Ia melihat bahwa zakat adalah urat nadi
kehidupan bagi pemerintahan dan agama. Ketika Ali ibn Abi Thalib bertemu
dengan orang-orang fakir miskin dan para pengemis buta yang beragama non
muslim (Nasrani), ia menyatakan biaya hidup mereka harus ditanggung oleh
baitul maal khalifah Ali ibn Abi Thalib juga ikut terjun dalam mendistribusikan
zakat kepada para mustahiq (delapan golongan yang berhak menerima zakat).

5
Harta kekayaan yang wajib zakat pada waktu itu berupa dirham, dinar, emas dan
jenis kekayaan apapun tetap dikenai kewajiban zakat. Oleh karena itu mekanisme
yang diterapkan oleh khalifah Utsman ibn Affan tadi ternyata memicu beberapa
permasalahan mengenai transparansi distribusi zakat, dimana para ‘amil justru
membagikan zakat tersebut kepada keluarga dan orang-orang terdekat mereka.
Seiring dengan penurunan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan
berbagai konflik politik lainya yang memecahkan kesatuan Negara Islam dengan
wafatnya utsman dan naiknya Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya, maka
semakin marak pula praktek pengelolaan zakat secara individual. Hal ini ditandai
dengan fatwa Sa’id bin Jubair dimana pada saat beliau berceramah di masjid ada
yang bertanya pada beliau, apakah pebanyaran zakat sebaiknya diberikan kepada
pemerintah ? Sai’id bin Jubair mengiyakan pertanyaan tersebut. Namun pada saat
pertanyaan tersebut ditanyakan secara personal kepada beliau, ia justru
menganjurkan penanya untuk membayar zakat secara langsung kepada ashnafnya.
Jawaban yang bertentangan ini mnenunjukan bahwa kondisi pemerintah pada sat
itu tidak stabil atau tidak dapat dipercaya, sehingga kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah pun mulai menurun. Ringkas pembahasan sistem zakat yang
diterapkan dari masa ke masa mengalami sebuah perbedaan yang mana perubhan
tersebut untuk menghadapi zaman yang semakin maju, hal ini menunjukan bahwa
pintu ijtihad terbuka lebar, dan ijtihad seperti yang dicontohkan oleh para sahabat
semata-mata hanya untuk kemashlahatan ummatnya.

C. KEADAAN YANG MEMPERBOLEHKAN PERPINDAHAN ZAKAT

Hukum pemindahan zakat ke negeri lain perlu dilihat berdasarkan


keadaan penduduk setempat.
 Pertama, situasi di mana penduduk setempat tidak memerlukan wang
zakat dan menyebabkan harta zakat diagihkan ke negeri lain.
 Kedua, penduduk setempat amat memerlukan harta zakat tetapi harta
tersebut diagihkan ke negeri lain.

6
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

B. SARAN

Demikianlah makalah yang kami buat semoga dapat bermanfaat


bagi pembaca. Apabila terdapat kritik dan saran yang ingin disampaikan, silahkan
sampaikan kepada kami.

7
DAFTAR PUSTAKA

HADIS, HADIS D A N ILMU. “MAKALAH STUDI HADIS.”

KUDUS, SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI. “AL-QURAN DAN


ASPEK-ASPEKNYA.”

Fuad, I. (2016). Menjaga Kesehatan Mental Perspektif Al-Qur’an dan Hadits.


Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, 1(1), 31-50.

Khon, A. M. (2012). Ulumul hadis. Amzah.

Misbahuddin, M. (2016). Korelasi Antara Metode Hukum Kritis dan Pemahaman


(Sebuah Studi tentang Buku Al-Hadîts Imam Syafi'i) (Doctoral dissertation,
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar).

https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/1952/pengertian-kedudukan-dan-fungsi-
hadits.html

https://news.detik.com/berita/d-5588482/pengertian-hadits-menurut-bahasa-
fungsi-dan-kedudukannya. (Diakses pada 10:43, 17 September 2022)

https://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/files_dosen/modul/
Pertemuan_10IAIN1220531.pdf

https://alsofwa.com/pengertian-ilmu-mustholah-hadis-atsar-hadis-qudsi/ (Diakses
pada 10:45, 17 September 2022)

Saudaâ, L. (2013). ETIKA JURNALISTIK PERSPEKTIF AL-QUR’ AN.


KOMUNIKA: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 7(1).

Al-Qaththan, S. M. (2005). Pengantar Studi Ilmu Hadits. Pustaka AL kautsar.

8
9

Anda mungkin juga menyukai