Ringkasan Disertasi
Oleh
ARRIEF CHANDRA SETIAWAN
041317037302
Abstrak
Tujuan penelitian ini yaitu untuk menganalisis pengaruh subsidi pupuk terhadap
produktivitas usaha, produktivitas lahan, produksi padi serta pendapatan petani
berdasarkan data survei Struktur Ongkos Usaha Tanaman Pangan yang dilakukan
oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia pada tahun 2017. Regresi berganda
digunakan untuk menjawab tujuan penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subsidi pupuk berpengaruh signifikan
terhadap produktivitas lahan, produktivitas usaha, produksi, dan pendapatan petani
padi. Petani padi yang menerima subsidi pupuk memiliki rata-rata produktivitas
lahan, produksi, pendapatan, dan produktivitas usaha yang lebih tinggi dibanding
yang tidak menerima subsidi pupuk. Dalam setiap satu hektar lahan pada satu
musim tanam, petani padi yang menerima subsidi mampu menghasilkan Gabah
Kering Panen (GKP) sebesar 3,54 kuintal lebih tinggi dibandingkan rumah tangga
yang tidak menerima subsidi. Mereka juga mampu menghasilkan total produksi
sebesar 3,29 kuintal lebih tinggi dibandingkan yang tidak menerima subsidi. Dari
sisi pendapatannya pun, penerima subsidi pupuk ternyata memperoleh pendapatan
usaha pertanian padi sebesar Rp 1,43 juta lebih besar dibandingkan yang tidak
menerima subsidi untuk setiap hektar lahan pada satu musim tanam. Di samping
itu, produktivitas usaha yang dihasilkan juga lebih besar 0,012 point dibandingkan
yang tidak menerima subsidi.
Ketepatan sasaran penerima subsidi pupuk masih rendah. Kasus inclusion dan
exclusion error khususnya di luar Pulau Jawa masih cukup banyak terjadi.
Kecenderungan yang ditengarai menjadi salah satu penyebab munculnya inclusion
error yaitu kelompok tani memprioritaskan anggotanya sebagai penerima subsidi
pupuk, terlepas apakah mereka memang berhak atau tidak. Sementara itu, salah satu
pemicu terjadi exclusion error karena terbatasnya akses petani padi terhadap
kelompok tani.
Kata kunci: subsidi pupuk, produktivitas, produksi padi, pendapatan petani, regresi
linier
2
Abstract
The aim of this research is to analyze the effect of fertilizer subsidies on business
productivity, land productivity, rice production and farmer income based on the
rice farming cost structure survey data conducted by Statistics in 2017. Multiple
regression is used to answer the objectives of research.
The results showed that fertilizer subsidies had a significant effect on land
productivity, business productivity, production and income of rice farmers. Rice
farmers who receive fertilizer subsidies have higher average land productivity,
production, income and business productivity than those who do not receive
fertilizer subsidies. In every one hectare of land in one planting season, rice farmers
who receive subsidies are able to produce harvested dry grain by 3.54 quintals
higher than households that do not receive subsidies. They are also able to produce
a total production of 3.29 quintals higher than those who did not receive subsidies.
In terms of income, fertilizer subsidy recipients actually received rice farming
business income of Rp 1.43 million, greater than those who did not receive subsidies
for each hectare of land during one planting season. In addition, the resulting
business productivity was 0.012 points greater than those that did not receive
subsidies.
The accuracy of targeting for fertilizer subsidy recipients is still very low. Inclusion
and exclusion errors, especially outside Java, are still quite common. This trend is
suspected to be one of the causes of inclusion errors, namely farmer groups
prioritize their members as recipients of fertilizer subsidies, regardless of whether
they are entitled to or not. Meanwhile, one of the triggers for the exclusion error
was the limited access of rice farmers to farmer groups.
Key words: fertilizer subsidy, productivity, rice production, farmer income, linear
regression
I. PENDAHULUAN
Pembangunan sektor pertanian pada hakikatnya ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan petani serta menjamin tercapainya ketahanan pangan,
bahkan kedaulatan pangan, bagi setiap penduduk. Dalam upaya mendukung
pencapaian hal tersebut, pemerintah melakukan intervensi dengan memberikan
subsidi pupuk kepada para petani. Intervensi ini harus dilakukan mengingat
pentingnya peranan pupuk dalam kegiatan produksi pertanian, khususnya padi.
3
Kebijakan subsidi pupuk di Indonesia dimulai sejak tahun 1971. Sejak tahun
tersebut, pemerintah memberikan bantuan berupa subsidi harga pupuk yang dapat
dinikmati tidak saja oleh petani padi, tetapi juga oleh semua pengusaha pertanian
di Indonesia (Hedly dan Tabor, 1989; Susila, 2010). Secara khusus, subsidi
diarahkan untuk meningkatan supply beras di Indonesia, dimana pada periode awal,
pemberian pupuk bersubsidi hanya tersedia untuk produksi padi. Pada masa itu,
kebijakan ini merupakan bagian dari upaya meningkatkan produktivitas tanaman
pangan selama revolusi hijau dalam upaya mewujudkan swasembada pangan
(OECD, 2012:21-25).
Subsidi dinilai tepat jika salah satu kondisi berikut terpenuhi yaitu rumah
tangga usaha pertanian padi yang menjadi target, secara realisasi, menerima
bantuan tersebut atau rumah tangga usaha pertanian yang tidak menjadi target,
secara realisasi, tidak menerima bantuan tersebut. Jika rumah tangga yang bukan
merupakan target penerima justru menerima subsidi pupuk maka dikatakan terjadi
inclusion error. Sementara itu, exclusion error terjadi jika rumah tangga yang
merupakan target justru tidak menerima subsidi tersebut.
Secara nominal, alokasi anggaran untuk subsidi pupuk ini cukup besar, yaitu
sekitar 20 hingga hampir mencapai 40 persen dari total anggaran ketahanan pangan
sepanjang 2010-2019. Sementara itu, realisasi penyaluran subsidi pupuk sendiri
terus meningkat dari Rp18,4 triliun di tahun 2010 menjadi Rp34,3 triliun di tahun
2019 (Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, 2020:157). Dari
waktu ke waktu, kebijakan ini dianggap semakin membebani keuangan negara.
Risiko yang muncul akibat peningkatan fluktuasi harga gas alam internasional dan
volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat mendorong terjadinya
peningkatan besaran subsidi sehingga memperbesar tekanan terhadap keuangan
negara (Kementerian Keuangan, 2015:II.4-41).
Selain dinilai membebani keuangan negara, kebijakan ini juga dinilai tidak
cukup efektif meningkatkan produktivitas. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), sepanjang 2006-
2015 subsidi pupuk mengalami peningkatan 1.088 persen. Namun, produktivitas
dan nilai tambah sektor pertanian secara berturut-turut hanya meningkat sebesar 14
4
Gambar 2.1. Pengaruh Subsidi Pada Kurva Permintaan dan Penawaran (Nicholson
dan Snyder, 2010:314)
pada tingkat pra-subsidi dari 𝑄1 ke 𝑄2 . Jadi, total biaya subsidi tidak hanya
bergantung pada jumlah tetapi juga pada sejauh mana peningkatan kuantitas yang
diminta.
Dalam fungsi produksi sederhana, asumsi yang digunakan yaitu untuk
menghasilkan output hanya dipengaruhi oleh dua input yaitu K dan L. Kondisi
demikian secara umum tidak terjadi dalam ekonomi pertanian, karena output
komoditas pertanian membutuhkan banyak input. Nicholson dan Snyder
(2010:215) menunjukkan fungsi produksi linier pertanian dimana petani
menggabungkan tenaga kerja dengan benih, tanah, hujan, pupuk, dan mesin untuk
menghasilkan output pertanian. Oleh sebab itu, fungsi produksi pertanian lebih
realistis apabila dituliskan dalam bentuk persamaan linier berikut:
𝑦 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑥1 + 𝛽2 𝑥2 + ⋯ + 𝛽𝑛 𝑥𝑛 + 𝜀 ................................. (2.1)
dimana,
y : output komoditas pertanian
𝑥𝑖 : faktor input, i = 1, 2, …, n
𝛽0 : konstanta/intercept
𝛽𝑖 : koefisien regresi, i = 1, 2, …, n
𝜀 : residu/error
Pengaruh subsidi input pertanian terhadap permintaan dan suplai input
pertanian serta suplai output pertanian diperlihatkan dalam gambar di bawah ini
(Bosch, 1985:92). Dalam pasar output, S(Q) menunjukkan kurva suplai output
sebelum adanya subsidi, S(Q)’ menunjukkan kurva suplai output setelah
diberlakukan subsidi input, dan D(Q) menunjukkan permintaan terhadap output.
Sementara itu, dalam pasar input, S(X)D menunjukkan suplai domestik dari input
pertanian sebelum diberlakukan subsidi input, S(X)’D menunjukkan suplai domestik
dari input pertanian setelah diberlakukan subsidi input, S(X)W menunjukkan suplai
total (domestik dan asing) dari input pertanian, dan D(X) menunjukkan permintaan
terhadap input pertanian.
7
Gambar 2.2. Pengaruh Subsidi Input Pertanian Terhadap Pasar Input dan Suplai
Output
Adapun kurva suplai output akan bergeser dari S(Q) menjadi S(Q)’ secara:
1. Paralel, jika tidak terjadi perubahan efisiensi produksi, atau secara matematis
dapat ditulis (δS(Q))/δX=(δS(Q)')/δX;
2. Konvergen, jika kebijakan subsidi dibarengi dengan penurunan efisiensi
produksi, atau secara matematis dapat ditulis (δS(Q))/δX>(δS(Q)')/δX;
3. Divergen, jika kebijakan subsidi dibarengi dengan peningkatan efisiensi
produksi, atau secara matematis dapat ditulis (δS(Q))/δX<(δS(Q)')/δX.
luas panen padi. Semasinghe (2014) juga telah melakukan penelitian pengaruh
subsidi pupuk terhadap produktivitas padi di Sri Lanka menggunakan data sekunder
Departemen Sensus, Statistik, dan Bank Sentral Sri Lanka yang dirumuskan dalam
2 (dua) model analisis. Hasil penelitiannya pada model pertama menyatakan bahwa
subsidi pupuk urea dan subsidi semua pupuk berpengaruh signifikan positif
terhadap luas panen padi (subsidi pupuk berpengaruh positif terhadap luas panen
padi). Sementara itu, penelitian model kedua menunjukkan hasil bahwa luas lahan
padi dan penggunaan pupuk berpengaruh signifikan positif terhadap luas panen
padi.
Selanjutnya, Mulyadiana dkk (2018) dalam penelitiannya dengan
mengombinasi data primer wawancara langsung petani padi di Kabupaten
Karanganyar dan data sekunder dari BPS menyatakan bahwa luas lahan, jumlah
pupuk urea, jumlah pupuk NPK, dan efektivitas subsidi pupuk berpengaruh
signifikan terhadap produksi padi. Efektivitas subsidi pupuk yang dinyatakan dalam
persentase diukur berdasarkan ketepatan harga, jumlah, waktu, dan tempat. Hu dan
Antle (1993) dalam penelitiannya yang melibatkan data sekunder di 24 negara
menyatakan bahwa luas lahan, jumlah tenaga kerja laki-laki, penggunaan pupuk,
kepemilikan ternak, rasio melek huruf berpengaruh signifikan terhadap
peningkatan output atau produktivitas pertanian.
Salah satu penelitian mengenai pengaruh subsidi pupuk terhadap
pendapatan petani yang dilakukan oleh Rahmanta dkk (2019) menyatakan bahwa
luas lahan dan jumlah tenaga kerja berpengaruh signifikan terhadap pendapatan
petani, kecuali efektifitas subsidi pupuk yang diukur berdasarkan ketepatan waktu,
harga, tempat, dan jumlah. Sementara itu, Hemming dkk (2018) menguraikan
bahwa pengaruh dari adanya subsidi input terhadap penurunan kemiskinan dan
peningkatan pertumbuhan secara keseluruhan akan tercapai jika sejumlah asumsi
yang mendasarinya memang dapat terpenuhi. Pertama, ketika subsidi ini
diperkenalkan, harus ada suatu mekanisme distribusi tertentu sehingga subsidi
tersedia bagi petani pada level desa. Selain itu, adanya potensi korupsi dalam
mekanisme tersebut harus diminimalisir bahkan dihilangkan untuk mencegah
terjadinya kebocoran atau pengalihan subsidi pada aktivitas lain.
10
Subsidi Pupuk
Karakteristik Petani:
Pendidikan, Umur, Jumlah
ART, Komunitas, Mitra, Produktivitas Usaha
Target Produktivitas Lahan
Produksi Padi
Karakteristik Usaha Tani: Pendapatan Petani
Irigasi
Wilayah: Provinsi
pendapatan dari usaha budidaya padi pada rumah tangga usaha pertanian ke-i. 𝐼𝑖
merupakan variabel yang menunjukkan apakah rumah tangga usaha pertanian ke-i
menerima subsidi pupuk atau tidak. 𝑋𝑖 merupakan vektor karakteristik rumah
tangga yang terdiri variabel jumlah ART, umur petani utama, dan tingkat
pendidikan petani utama.
Petani utama sendiri didefinisikan sebagai ART yang mengusahakan
budidaya padi dengan nilai pendapatan terbesar di dalam rumah tangga ke-i. 𝑆𝑖
merupakan vektor partisipasi rumah tangga dalam aktivitas jejaring sosial yang
terdiri keanggotaan dalam kelompok tani dan kemitraan. 𝑇𝑖 merupakan vektor
karakteristik usaha pertanian yang terdiri dari luas lahan pertanian dan ketersediaan
sarana irigasi. 𝑉𝑖 sendiri merupakan dummy provinsi yang bertujuan mengontrol
adanya perbedaan karakteristik antarprovinsi, baik yang disebabkan adanya
perbedaan kebijakan pembangunan regional maupun perbedaan sumber daya alam,
seperti kesuburan tanah, curah hujan, dan kekayaan biodiversitas.
Penelitian ini juga menggunakan variabel dummy provinsi untuk mengontrol
adanya perbedaan karakteristik antarprovinsi, seperti perbedaan penerapan
kebijakan pembangunan regional yang timbul sebagai akibat desentralisasi ataupun
perbedaan endowment sumber daya alam (kesuburan tanah, kekayaan biodiversitas,
cuaca). Berbagai penelitian (Gordon dan Resosudarmo, 2019:125; Kis Katos dan
Sparrow, 2015:97), khususnya di bidang ekonomi pembangunan dan regional di
Indonesia, menjelaskan bahwa variabel kontrol wilayah ini sangat penting
dimasukkan ke dalam model empiris karena cukup besarnya variasi karakteristik di
Indonesia.
diterapkan untuk semua outcome usaha tani yaitu produktivitas usaha, produktivitas
lahan, produksi padi, dan pendapatan petani.
Spesifikasi model untuk setiap outcome usaha tani adalah sebagai berikut:
1) Model 1
𝑌1 (𝑝𝑟𝑜𝑑_𝑢𝑠𝑎ℎ𝑎) = 𝛽0 + 𝛽1 𝑠𝑢𝑏𝑠𝑖𝑑𝑖 + 𝛽2 𝑒𝑑𝑢𝑐𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 + 𝛽3 𝑎𝑔𝑒 + 𝛽4 𝑛𝑎𝑟𝑡 +
𝛽5 𝑐𝑜𝑚𝑚𝑢𝑛𝑖𝑡𝑦 + 𝛽6 𝑚𝑖𝑡𝑟𝑎 + 𝛽7 𝑡𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 + 𝛽8 𝑖𝑟𝑖𝑔𝑎𝑠𝑖 +
∑33
𝑖=1 𝛽9𝑖 𝑝𝑟𝑜𝑣𝑖 + 𝜀 .................................................................... (4.2)
2) Model 2
𝑌2 (𝑝𝑟𝑜𝑑_𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛) = 𝛽0 + 𝛽1 𝑠𝑢𝑏𝑠𝑖𝑑𝑖 + 𝛽2 𝑒𝑑𝑢𝑐𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 + 𝛽3 𝑎𝑔𝑒 + 𝛽4 𝑛𝑎𝑟𝑡 +
𝛽5 𝑐𝑜𝑚𝑚𝑢𝑛𝑖𝑡𝑦 + 𝛽6 𝑚𝑖𝑡𝑟𝑎 + 𝛽7 𝑡𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 + 𝛽8 𝑖𝑟𝑖𝑔𝑎𝑠𝑖 +
∑33
𝑖=1 𝛽9𝑖 𝑝𝑟𝑜𝑣𝑖 + 𝜀 .................................................................... (4.3)
3) Model 3
𝑌3 (produksi) = 𝛽0 + 𝛽1 𝑠𝑢𝑏𝑠𝑖𝑑𝑖 + 𝛽2 𝑒𝑑𝑢𝑐𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 + 𝛽3 𝑎𝑔𝑒 + 𝛽4 𝑛𝑎𝑟𝑡 +
𝛽5 𝑐𝑜𝑚𝑚𝑢𝑛𝑖𝑡𝑦 + 𝛽6 𝑚𝑖𝑡𝑟𝑎 + 𝛽7 𝑡𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 + 𝛽8 𝑖𝑟𝑖𝑔𝑎𝑠𝑖 +
∑33
𝑖=1 𝛽9𝑖 𝑝𝑟𝑜𝑣𝑖 + 𝜀 .................................................................... (4.4)
4) Model 4
𝑌4 (𝑖𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒_𝑝𝑎𝑑𝑖) = 𝛽0 + 𝛽1 𝑠𝑢𝑏𝑠𝑖𝑑𝑖 + 𝛽2 𝑒𝑑𝑢𝑐𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 + 𝛽3 𝑎𝑔𝑒 + 𝛽4 𝑛𝑎𝑟𝑡 +
𝛽5 𝑐𝑜𝑚𝑚𝑢𝑛𝑖𝑡𝑦 + 𝛽6 𝑚𝑖𝑡𝑟𝑎 + 𝛽7 𝑡𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 + 𝛽8 𝑖𝑟𝑖𝑔𝑎𝑠𝑖 +
∑33
𝑖=1 𝛽9𝑖 𝑝𝑟𝑜𝑣𝑖 + 𝜀 .................................................................... (4.5)
dimana,
𝑌1 (prod_usaha) : produktivitas usaha
𝑌2 (prod_lahan) : produktivitas lahan
𝑌3 (produksi) : produksi padi dalam bentuk gabah kering panen
𝑌4 (income_padi) : pendapatan petani padi
𝑠𝑢𝑏𝑠𝑖𝑑𝑖 : dummy subsidi
𝑒𝑑𝑢𝑐𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 : dummy pendidikan petani
𝑎𝑔𝑒 : umur petani utama pada rumah tangga usaha pertanian padi
𝑛𝑎𝑟𝑡 : jumlah anggota rumah tangga usaha pertanian padi
𝑐𝑜𝑚𝑚𝑢𝑛𝑖𝑡𝑦 : dummy keanggotaan kelompok tani
13
2) Pendidikan (education)
Pendidikan dalam penelitian ini yaitu jenjang pendidikan terakhir yang
ditamatkan berdasarkan ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki petani.
Pendidikan dalam penelitian ini merupakan variabel dummy, yaitu 𝐷 = 1,
untuk petani yang berpendidikan ≤ SLTP sederajat, sebaliknya 𝐷 = 0.
3) Umur (age)
Umur adalah usia petani yang diukur dalam satuan tahun. Umur dihitung
dengan pembulatan ke bawah atau menurut tanggal bulan tahun pada ulang
tahun terakhir.
4) Jumlah Anggota Rumah Tangga (nart)
Jumlah anggota rumah tangga yang dalam penelitian ini adalah jumlah semua
orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah tangga (KRT,
suami/istri, anak, menantu, cucu, orang tua/mertua, famili lain, pembantu
rumah tangga yang menginap atau ART lainnya), baik yang sedang berada di
rumah maupun yang sementara tidak berada di rumah. Dalam penelitian ini,
jumlah anggota rumah tangga diukur dalam satuan orang.
5) Komunitas (community)
Komunitas yang dimaksud dalam penelitian ini menunjukkan keanggotaan
dalam kelompok tani. Variabel komunitas dalam penelitian ini adalah variabel
dummy, yaitu 𝐷 = 1 jika petani menjadi anggota kelompok tani, sebaliknya
𝐷 = 0.
6) Kemitraan (mitra)
Kemitraan dalam penelitian ini adalah kemitraan usaha dengan BUMN,
BUMD, Perusahaan Swasta, atau Koperasi. Variabel kemitraan dalam
penelitian ini merupakan variabel dummy, yaitu 𝐷 = 1 jika memiliki kemitraan
usaha, sebaliknya 𝐷 = 0.
7) Target (target)
Target dalam penelitian ini merupakan target penerima subsidi pupuk atau
bukan target penerima subsidi pupuk. Target penerima subsidi pupuk yaitu
petani yang mengusahakan lahan pertanian dengan luas maksimal 2 (dua)
hektar. Variabel target penerima dalam penelitian merupakan variabel dummy,
15
pemanenan, dalam periode 1 April 2016 hingga 31 Maret 2017. Rumah tangga
usaha pertanian padi sendiri didefinisikan sebagai rumah tangga yang di dalamnya
terdapat minimal satu orang anggota rumah tangga yang melakukan usaha pertanian
padi, baik untuk dijual maupun untuk konsumsi sendiri, dan berkedudukan bukan
sebagai buruh atau pekerja keluarga. Kegiatan pemanenan dapat dilakukan sendiri
oleh rumah tangga yang bersangkutan maupun ditebaskan.
Panen sendiri didefinisikan sebagai kegiatan pemanenan yang dikelola
sendiri oleh rumah tangga, baik menggunakan pekerja keluarga, pekerja dibayar,
maupun secara borongan. Sementara dalam penebasan, proses panen dikelola oleh
penebas. Dalam proses tersebut, rumah tangga usaha pertanian menerima harga
yang telah disepakati sebelumnya dan tidak lagi dibebani oleh kegiatan pemanenan.
Pencacahan SOUT 2017 dilakukan pada Mei-Juni 2017.
Jika dalam satu rumah tangga terdapat dua atau lebih anggota rumah
tangga yang melakukan usaha pertanian padi, maka dipilih satu anggota rumah
tangga, yang menghasilkan padi dengan nilai produksi terbesar, sebagai petani
utama. Namun jika dalam satu rumah tangga hanya terdapat satu anggota rumah
tangga yang melakukan usaha pertanian padi, maka secara otomatis anggota rumah
tangga tersebut menjadi petani utama. Usaha petani utama inilah yang kemudian
dikumpulkan informasinya baik mencakup karakteristik usaha maupun struktur
ongkosnya sehingga dalam satu rumah tangga hanya tersedia satu set data usaha
pertanian yang dilakukan oleh petani utama.
Dalam penelitian ini hanya digunakan rumah tangga usaha pertanian padi
yang petani utamanya berusia 15 tahun ke atas. Adapun sampel rumah tangga usaha
pertanian padi yang tidak memenuhi kriteria tersebut dianggap tidak valid. Sutter
dkk (2018:6) menyatakan bahwa batas usia ideal dimana seseorang memiliki
rasionalitas seperti orang dewasa adalah 15 tahun. Seseorang yang berusia kurang
dari 15 tahun dianggap belum dapat mengambil keputusan optimal sebagaimana
orang dewasa, apalagi keputusan dalam mengelola suatu usaha. Adapun masih
ditemuinya rumah tangga usaha pertanian padi dengan umur petani utama kurang
dari 15 tahun dapat disebabkan adanya kesalahan dalam proses pemasukan data
(entry) hasil pencacahan lapangan. Berdasarkan hasil eksplorasi data, diperoleh 17
17
rumah tangga usaha pertanian padi yang petani utamanya berusia kurang dari 15
tahun. Dengan tidak mengikutsertakan 17 observasi tersebut, diperoleh sampel total
rumah tangga yang akan dianalisis sebanyak 152.778 rumah tangga.
Berdasarkan sampel tersebut diperoleh informasi demografi bahwa rata-rata
umur petani utama pada 152.778 sampel rumah tangga usaha pertanian padi
mencapai 50,87 tahun. Selain itu, dalam setiap rumah tangga usaha pertanian,
secara rata-rata akan ditemui 4 orang anggota rumah tangga.
Tabel 5.1. Statistik Deskriptif Beberapa Variabel Pokok Penelitian
Standar
Variabel Rata-Rata Minimum Maksimum
Deviasi
(1) (3) (4) (5) (6)
Produktivitas usaha (rasio
nilai total output terhadap 1,54 0,94 0,0050 70,94
total biaya produksi)
Produktivitas lahan
36,80 20,22 0,0019 165,33
(kuintal/Ha/musim tanam)
Produksi padi
20,29 22,99 0,0500 1.200,00
(kuintal/musim tanam)
Pendapatan (Ribu
15.358,24 8.296,04 0,8750 108.333,30
Rupiah/Ha/musim tanam)
Subsidi pupuk (dummy) 0,47 0,50 0 1
Jumlah ART (orang) 4,04 1,65 1 21
Umur petani utama (tahun) 50,87 11,76 15 99
Community (dummy) 0,59 0,49 0 1
Kemitraan (dummy) 0,01 0,09 0 1
Irigasi (dummy) 0,38 0,49 0 1
Target (dummy) 0,44 0,50 0 1
Sumber: BPS (2017)
Dari sisi ekonomi, rata-rata pendapatan rumah tangga dari usaha pertanian
padi mencapai Rp 15,36 juta/Ha/musim tanam. Ditinjau dari produktivitas usaha,
terlihat bahwa rata-rata produktivitas usaha pada sampel rumah tangga sebesar 1,54
18
yang berarti dengan modal sebesar Rp 1 juta, rumah tangga akan memperoleh
pendapatan sebesar Rp 1,54 juta. Produktivitas usaha yang bernilai lebih dari 1
menunjukkan bahwa secara rata-rata usaha pertanian padi masih memberikan
keuntungan bagi rumah tangga usaha pertanian.
Tantangan terbesar dalam regenerasi petani adalah rendahnya profit yang
diperoleh sehingga generasi muda tidak tertarik menjadikan sektor ini sebagai mata
pencaharian. Hasil SOUT 2017 menunjukkan bahwa rata-rata keuntungan yang
diperoleh dari usaha budidaya padi di Indonesia hanya mencapai Rp 4,48
juta/Ha/musim tanam, atau sekitar Rp 1,12 juta/Ha/musim tanam. Tentunya
keuntungan ini tidak sesuai dengan gaya hidup generasi muda yang cenderung
hedonis.
Gambar 5.1. Proporsi Rumah Tangga Sampel Usaha Pertanian Padi Menurut Nilai
Produktivitas Usaha
Rendahnya profit pada usaha budidaya padi juga ditunjukkan oleh masih
banyaknya petani yang mengalami kerugian. Sebanyak 18.424 (12,06 persen)
sampel rumah tangga usaha pertanian padi tercatat mengalami kerugian dalam
usaha budidaya padinya. Kerugian ini tergambar dari produktivitas usaha (rasio
nilai output terhadap total nilai input) yang bernilai kurang dari 1.
Peranan kelompok tani dan penyuluh pertanian sebagai mediator adopsi dan
adaptasi teknologi harus lebih dioptimalkan. Faktanya, masih terdapat 62.434 (41
persen) sampel rumah tangga usaha pertanian padi yang tidak menjadi anggota
kelompok tani. Rendahnya partisipasi rumah tangga dalam kelompok tani
19
dipengaruhi oleh beberapa hal seperti lokasi kelompok tani yang jauh atau bahkan
memang tidak terdapat kelompok tani (25.420 rumah tangga), pelayanan yang
diberikan tidak memuaskan (8.947 rumah tangga), dan jenis kegiatan di kelompok
tani tersebut tidak sesuai kebutuhan rumah tangga (8.714 rumah tangga). Sementara
itu, 19.353 rumah tangga sisanya memilih alasan lainnya.
Gambar 5.2. Proporsi Rumah Tangga Sampel Usaha Pertanian Padi Menurut
Keanggotaan dalam Kelompok Tani, Status Penerimaan Penyuluhan Pertanian,
dan Kemitraan
Fasilitas lain yang bisa digunakan untuk mempercepat alih teknologi kepada
petani adalah kemitraan, baik dengan BUMN, BUMD, Perusahaan Swasta, ataupun
koperasi. Selain itu, kemitraan juga dapat memberikan manfaat penguatan modal
bagi petani. Namun rumah tangga yang memiliki kemitraan masih sangat terbatas,
yakni hanya 1.137 rumah tangga dari total 152.778 sampel.
Selain berusia tua, petani utama dalam sampel rumah tangga usaha pertanian
padi juga didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah. Di Indonesia, hanya
ditemukan 17 persen rumah tangga sampel usaha pertanian padi yang petani
utamanya berpendidikan SLTA ataupun lebih tinggi. Sementara itu, hasil analisis
per pulau, menunjukkan bahwa rumah tangga sampel usaha pertanian padi yang
petani utamanya berpendidikan SLTA ataupun lebih tinggi paling banyak
ditemukan di Pulau Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan di Pulau Jawa, ditemukan
20
rumah tangga sampel usaha pertanian padi yang petani utamanya berpendidikan
SLTA ataupun lebih tinggi dalam jumlah yang paling sedikit dibandingkan wilayah
lainnya, yakni hanya mencapai 12,83 persen.
Gambar 5.3. Persentase Rumah Tangga Sampel Usaha Pertanian Tanaman Padi
yang Petani Utamanya Berpendidikan SLTA atau Lebih Tinggi Menurut Wilayah
Gambar 5.4. Proporsi Rumah Tangga Sampel Usaha Pertanian Tanaman Padi
Menurut Jenis Lahan
Dari sisi infrastruktur fisik, irigasi menjadi infrastruktur utama dalam usaha
pertanian padi. Hal ini disebabkan sifat tanaman padi yang membutuhkan air dalam
jumlah besar dibandingkan komoditas tanaman pangan lainnya. Irigasi ini berfungsi
memastikan padi yang diusahakan tetap memperoleh air. Faktanya, hanya 38 persen
rumah tangga usaha pertanian padi yang melakukan usaha pertanian padi pada
lahan beririgasi.
21
29,97 22,90
Tidak Menerima
Tepat Exclusion error
25,74 21,39
Menerima
Inclusion error Tepat
Total 100,00
Sumber: BPS (2017)
Subsidi pupuk dikatakan tepat sasaran jika subsidi tersebut memang hanya
diterima oleh rumah tangga yang berstatus sebagai target penerima subsidi.
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara status target penerimaan subsidi dengan
status realisasi penerimaan subsidi, diketahui bahwa ketepatan sasaran penerima
subsidi pupuk hanya mencapai 51,4 persen. Proporsi tersebut terdiri dari 21,39
persen rumah tangga yang berstatus sebagai target serta menerima subsidi dan
29,91 persen rumah tangga yang berstatus bukan target penerima subsidi pupuk dan
mereka juga tidak menerima subsidi.
Secara umum, nilai produktivitas, produksi, dan pendapatan pada rumah
tangga yang menerima subsidi lebih besar dibandingkan rumah tangga yang tidak
menerima subsidi. Perbedaan yang cukup besar tampak pada produktivitas lahan
dan produksi. Pada setiap musim tanam, rata-rata Gabah Kering Panen (GKP) yang
22
mampu dihasilkan dari setiap satu hektar lahan oleh rumah tangga yang menerima
subsidi lebih banyak 8,52 kuintal dibandingkan rumah tangga yang tidak menerima
subsidi. Sementara itu, dari sisi total produksi, tampak bahwa rumah tangga yang
menerima subsidi mampu berproduksi 5,65 kuintal lebih banyak dibandingkan
rumah tangga yang tidak menerima subsidi. Hal ini tentu saja wajar, mengingat
mereka yang menerima subsidi cenderung menggunakan pupuk yang lebih besar
sehingga output yang dihasilkan juga lebih besar.
Tabel 5.3. Rata-Rata Produktivitas Usaha, Produktivitas Lahan, Produksi, dan
Pendapatan pada Sampel Rumah Tangga Usaha Pertanian Padi
Menerima
Variabel Tidak Menerima Subsidi
Subsidi
(1) (2) (3)
Produktivitas usaha (Rasio nilai total output
1,52 1,56
terhadap nilai total input)
Produktivitas lahan (Kuintal/Ha/musim tanam) 32,78 41,30
Produksi (Kuintal/musim tanam) 17,63 23,28
Pendapatan (Ribu Rupiah/Ha/musim tanam) 14.009,11 16.871,49
Sumber: BPS (2017)
Hal lain yang cukup menarik untuk diamati adalah jenis lahan irigasi yang
ternyata memberikan pengaruh sebesar 3-4 kali lebih besar dibandingkan subsidi
pupuk. Dikaitkan dengan produktivitas lahan, rumah tangga yang menggunakan
lahan irigasi memiliki produktivitas lahan sebesar 10,518 kuintal/Ha/musim tanam
lebih besar dibandingkan rumah tangga yang tidak menggunakan lahan irigasi.
Rumah tangga ini juga mampu menghasilkan produksi sebesar 7,151 kuintal/musim
tanam lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak menggunakan
lahan irigasi. Dari sisi pendapatan, rumah tangga yang menggunakan lahan irigasi
mampu menghasilkan pendapatan sebesar Rp 4,184 juta/Ha/musim tanam lebih
tinggi dibandingkan rumah tangga yang tidak menggunakan lahan irigasi.
Sedangkan dari sisi produktivitas usaha, terlihat bahwa rumah tangga yang
menggunakan lahan irigasi mampu menghasilkan produktivitas usaha sebesar
0,084 poin lebih tinggi dibandingkan yang tidak menggunakan lahan irigasi.
Sementara itu, kemitraan juga memberikan pengaruh yang lebih besar
dibandingkan subsidi pupuk. Pada produktivitas lahan, rumah tangga yang
melakukan kemitraan memiliki produktivitas lahan sebesar 3,929
kuintal/Ha/musim tanam lebih besar dibandingkan rumah tangga yang tidak
melakukan kemitraan. Rumah tangga yang memiliki kemitraan juga mampu
menghasilkan produksi sebesar 11,023 kuintal/musim tanam lebih besar
dibandingkan yang tidak melakukan kemitraan. Pendapatan yang diperoleh juga Rp
1,512 juta lebih besar dibandingkan yang tidak melakukan kemitraan untuk setiap
hektar lahan per musim tanam. Sedangkan dari sisi produktivitas usaha, rumah
tangga yang melakukan kemitraan rupanya memiliki produktivitas usaha sebesar
0,185 poin lebih tinggi dibandingkan rumah tangga yang tidak melakukan
kemitraan.
24
Tabel 5.3. Koefisien Regresi Subsidi Pupuk Terhadap Produktivitas Usaha , Produktivitas Lahan, Produksi Padi, Pendapatan Petani dengan Metode OLS
Berdasarkan hasil estimasi OLS, rumah tangga yang menerima subsidi pupuk
memiliki rata-rata produktivitas lahan, produksi, pendapatan, dan produktivitas usaha
yang lebih tinggi dibandingkan rumah tangga yang tidak menerima subsidi pupuk.
Dalam setiap satu hektar lahan pada satu musim tanam, rumah tangga yang menerima
subsidi mampu menghasilkan Gabah Kering Panen (GKP) sebesar 3,54 kuintal lebih
tinggi dibandingkan rumah tangga yang tidak menerima subsidi. Mereka juga mampu
menghasilkan total produksi sebesar 3,29 kuintal lebih tinggi dibandingkan yang tidak
menerima subsidi. Dari sisi pendapatannya pun, rumah tangga yang menerima subsidi
ternyata memperoleh pendapatan dari budidaya padi sebesar Rp 1,43 juta lebih besar
dibandingkan yang tidak menerima subsidi untuk setiap hektar lahan pada satu musim
tanam. Di samping itu, produktivitas usaha yang dihasilkan juga lebih besar 0,012 point
dibandingkan rumah tangga yang tidak menerima subsidi. Hasil ini tentunya
menambah bukti empiris yang menunjukkan adanya hubungan positif antara subsidi
pupuk terhadap produktivitas, produksi, dan pendapatan seperti yang telah dilakukan
oleh Ali dkk (2019); Wossen dkk (2017), Ranathilaka dan Arachchi (2019); Jaynea
(2018); Komarek dkk (2017), Wang dkk (2019); Herath dkk (2013), dan Mulyadiana
dkk (2018).
Hal menarik lainnya bahwa meskipun subsidi pupuk ini berkorelasi atau bahkan
memberikan pengaruh yang positif terhadap produktivitas, produksi dan pendapatan,
namun besarnya pengaruh yang dihasilkan masih lebih kecil dari yang diharapkan
(Jaynea, 2018). Untuk Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Kajian Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Bencana (TNP2K), meskipun subsidi pupuk mengalami
peningkatan sebesar 1.088 persen sepanjang 2006-2015, namun produktivitas sektor
pertanian hanya meningkat 14 persen dan nilai tambahnya hanya meningkat 38 persen.
Berkaitan dengan hal tersebut, sebenarnya akan lebih menarik jika variabel penjelas
yang dianalisis adalah besarnya subsidi pupuk yang diterima petani. Idealnya, besarnya
subsidi ini dinyatakan sebagai total nilai subsidi pupuk yang diterima petani dalam
satuan rupiah selama periode tertentu. Namun, dalam penelitian ini, hal tersebut tidak
dapat dilakukan karena informasi mengenai total nilai subsidi yang diterima petani
tidak tersedia. Informasi yang tersedia hanya apakah suatu rumah tangga menerima
26
subsidi pupuk atau tidak. Dengan demikian, penelitian ini hanya menggunakan variabel
status penerimaan subsidi pupuk dan bukan besarnya nilai subsidi yang diterima.
Selanjutnya, Jaynea (2018:11) menjelaskan bahwa faktor terpenting dalam
mencapai keberhasilan program subsidi pupuk adalah menjamin ketepatan penerima
target. Selama tingkat ketidaktepatan sasaran penerima subsidi ini masih tinggi,
manfaat yang dirasakan pun tidak optimal. Untuk Indonesia sendiri, penelitian ini
menunjukkan bahwa ketidaktepatan sasaran penerima subsidi pupuk pada usaha
pertanian padi mencapai hampir 50 persen. Oleh karenanya, dalam penelitian
selanjutnya, dapat dilakukan kajian mendalam mengenai pengaruh ketepatan sasaran
subsidi pupuk pada rumah tangga yang menerima subsidi pupuk. Dalam penelitian ini,
hal tersebut tidak dalam dilakukan karena populasi yang digunakan sebagai dasar
pengambilan sampel adalah seluruh rumah tangga usaha pertanian padi. Ketika analisis
hanya dilakukan pada sebagian sampel, yaitu hanya rumah tangga yang menerima
subsidi pupuk, maka hasil penelitian akan menjadi tidak tepat karena adanya selection
bias.
Sementara itu, Wang dkk (2018) menjelaskan bahwa optimalisasi manfaat
subsidi pupuk tidak hanya berkaitan dengan kriteria penerima dan mekanisme
distribusi saja, tetapi juga harus memperhatikan jenis pupuk yang disubsidi dan
komposisinya karena tanaman yang berbeda tentunya memerlukan jenis dan komposisi
pupuk yang berbeda juga. Dalam kasus komoditas padi, sangat memungkinkan bahwa
padi yang berbeda komoditas memerlukan jenis dan komposisi pupuk yang berbeda.
Oleh karenanya, penting untuk memasukkan data varietas padi yang digunakan ke
dalam model estimasi. Dalam penelitian ini, hal tersebut tidak dilakukan karena data
varietas padi dinilai masih belum valid. Hal ini sangat dimungkinkan karena adanya
faktor perbedaan bahasa antarwilayah di Indonesia sehingga varietas padi yang sama
bisa disebut dengan nama yang berbeda untuk wilayah yang berbeda.
Sementara itu, terkait dengan periode waktu, Gerber (2016) menemukan bahwa
pengaruh positif pemberian subsidi pupuk terhadap peningkatan produktivitas dan
produksi hanya terjadi dalam jangka pendek. Sedangkan, dalam jangka panjang subsidi
pupuk tidak lagi efektif meningkatkan produktivitas dan produksi. Tentunya hal ini
27
berkaitan dengan jenis pupuk subsidi yang didominasi oleh jenis pupuk anorganik.
Penggunaan pupuk anorganik dalam jangka panjang sendiri memberikan dampak
negatif berupa rusaknya mineral organik yang ada di dalam tanah sehingga berdampak
pada menurunnya kesuburan tanah sehingga berimplikasi pada menurunnya produksi.
Hal serupa juga disimpulkan oleh Gilbert dan Jayne (2017: 83) serta Li dkk (2014:
447). Hal ini sebenarnya sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Namun ketersediaan
data yang bersifat cross section menyebabkan kajian tersebut belum dapat dilakukan
dalam penelitian ini.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, kebijakan subsidi pupuk bagi rumah
tangga usaha pertanian padi masih diperlukan sebagai bagian dari upaya peningkatan
produksi padi dan peningkatan pendapatan petani. Namun demikian, mekanisme
penentuan penerima manfaat masih memerlukan peninjauan kembali. Jika sebelumnya
penerima manfaat hanya diusulkan oleh kelompok tani, maka sebaiknya dilakukan
verifikasi terhadap usulan tersebut oleh pihak independent misalnya dari Dinas
Pertanian setempat. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya inclusion error bisa
diminimalisir.
Selanjutnya, berdasarkan undang-undang yang berlaku saat ini, subsidi hanya
bisa diberikan kepada petani yang menjadi anggota kelompok tani. Padahal masih
banyak rumah tangga usaha pertanian yang tidak dapat bergabung dalam kelompok
tani karena masih belum adanya kelompok tani di sekitar wilayah tempat tinggal
mereka. Olah karenanya, perlu dilakukan perluasan akses rumah tangga usaha
pertanian terhadap kelompok tani dengan cara menggagas pembentukan kelompok
tani, terutama untuk wilayah yang cukup sulit dijangkau. Dengan demikian, exclusion
error dapat diminimalisir.
Lebih jauh lagi, subsidi pupuk bukanlah satu-satunya cara untuk meningkatkan
produksi padi dan pendapatan petani. Tentu saja hal ini berkaitan dengan keterbatasan
anggaran pemerintah, adanya isu dampak negatif penggunaan pupuk kimia terhadap
kesuburan tanah dalam jangka panjang, dan tidak seimbangnya peningkatan produksi
yang terjadi dengan besarnya anggaran subsidi yang dikeluarkan. Oleh karenanya,
28
kuintal/musim tanam lebih tinggi dibandingkan yang tidak menerima subsidi pupuk.
Subsidi pupuk juga memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap
pendapatan. Rumah tangga usaha pertanian budidaya padi yang menerima subsidi
pupuk memiliki pendapatan sebesar Rp 1,429 juta/Ha/musim tanam lebih tinggi
dibandingkan yang tidak menerima subsidi pupuk. Dibandingkan dengan variabel
lainnya, pengaruh penggunaan lahan irigasi dan kemitraan masih lebih besar
dibandingkan subsidi pupuk.
Beberapa saran dapat diberikan melalui penelitian ini. Pertama, peningkatan
pengawasan penentuan target maupun distribusi subsidi pupuk sebaiknya diiringi
dengan pemerataan pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas SDM,
khususnya untuk wilayah di luar Pulau Jawa, sehingga kontrol sosial dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Kedua, perluasan akses rumah tangga usaha pertanian terhadap
kelompok tani sebaiknya ditingkatkan sebagai langkah meminimalisir terjadinya
exclusion error. Upaya ini juga harus dibarengi oleh reformasi kelembagaan pada
kelompok tani itu sendiri sehingga dapat memberikan pelayanan yang efektif dan
efisien kepada para anggotanya. Ketiga, perlu dipertimbangkan melakukan shifting
jenis pupuk subsidi secara perlahan dari pupuk kimia menjadi pupuk organik. Upaya
ini sebaiknya diimbangi dengan implementasi teknologi ramah lingkungan dalam
kegiatan produksi pertanian. Keempat, dalam jangka panjang, kebijakan subsidi pupuk
perlu diintegrasikan dengan kemitraan sehingga tidak memberatkan keuangan negara
dan meminimalisir dampak negatif penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan.
Kelima, studi juga dapat diperluas dengan melakukan analisis pengaruh subsidi jangka
pendek dan jangka panjang, dimana pengaruh subsidi diukur dari besarnya nilai subsidi
yang diterima. Sebagai tambahan, dapat pula analisis diperluas untuk mengkaji dampak
ketepatan subsidi terhadap produksi dan pendapatan usaha pertanian pada rumah
tangga penerima subsidi.
30
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A., Rahut, D. B., & Imtiaz, M. (2019). Affordability Linked with Subsidy: Impact
of Fertilizers Subsidy on Household Welfare in Pakistan.
Sustainability, 11(19), 5161.
Azumah, S. B. (2019). Fertilizer Subsidy and Rice Productivity in Ghana: A
Microeconomic Study. Journal of Agricultural Studies, 7(1), 82-102.
Badan Kebijakan Fiskal. (2017a). Paradigma Baru Kebijakan Subsidi Langsung untuk
Komoditas Pangan. Jakarta: Badan Kebijakan Fiskal.
---------------------------. (2017b). Laporan Akhir Perumusan Draf Standar Operasional
dan Prosedur (SOP) Perubahan Mekanisme Penyaluran Pupuk Bersubsidi
Secara Langsung Sebagai Tindak Lanjut Perluasan Uji Coba Subsidi
Langsung Pupuk (SLP). Jakarta: Badan Kebijakan Fiskal Kementerian
Keuangan RI.
Bosch, R. A. (1985). The Economics of Agricultural Subsidies. Niewveen: Wageningen
University.
BPS. (2017). Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi 2017. Jakarta: BPS.
---------------------------. (2020, Februari 4). Luas Panen dan Produksi Padi di Indonesia
2019 (Hasil Survei Kerangka Sampel Area). Berita Resmi Statistik No.
06/02/Th. XXIII, pp. 1-12.
Chibwana, C., Fisher, M., & Shively, G. (2012). Cropland Allocation Effects of
Agricultural Input Subsidies in Malawi. World Development 40 (1), 124-133.
Chirwa, E., & Dorward, A. (2013). Agricultural Input Subsidies : The Recent Malawi
Experience. Oxford: Oxford University Press.
Debertin, D. L. (2012). Agricultural Production Economics. Ney Jersey: Macmillan
Publishing Company.
Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. (2015). Laporan Tahunan
2014. Jakarta: Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan.
---------------------------. (2020). Annual Report 2019. Jakarta: Kementrian Keuangan
Direktorat Jenderal Pajak.
Ebanyat, P., Ridder, N., Jager, A., Delve, R., Bekunda, M., & Giller, K. (2010). Impacts
of Heterogeneity in Soil Fertility on Legume-Finger Millet Productivity,
Farmers' Targeting and Economics Benefit. Nutr Cycl Agorecosyst 87, 209-
231.
Firdausy, C. M. (1997 ). Effects of the subsidy removal of fertilizer on rural poverty in
north Sulawesi, Indonesia. International Journal of Social Economics, 24(1),
207-222.
Gerber, A. (2016). Short-Term Success versus Long-Term Failure : A SImulation-
Based Approach for Understanding the POtencial of Zambia's Fertilizer Subsidi
Program in Enhanching-Maize Availability. Sustainability, 8(10), 12-17.
31
Gilbert, J., & Jaynea, T. (2017). Estimating the Enduring effect of Fertilizer Subsidies
on Comercial Fertilizer Demand and Maize Production : Panel Data Evidence
from Malawi. Journal of Agriculturian Economics, 68(1), 70-97.
Gordon, I., & Resosudarmo, B. (2019). A Sectoral Growth-Income Inequality Nexus
in Indonesia. Regional Science Policy and Practice, 11(1), 123-139.
Greene, W. (2012). EConometrics Analysis Seventh Edition. Boston: Prentice Hall.
Hedly, D. D., & Tabor, S. R. (1989). Fertilizer in Indonesian Agriculture: The Subsidy
Issue. Agricultural Economics, 3(1), 49-68.
Hemming, D. J., Chirwa, E. W., Dorward, A., Ruffhead, H. J., Hill, R., Osborn, J., &
Phillips, D. (2018). Agricultural Input Subsidies for Improving Productivity,
Farm Income, Consumer Welfare and Wider Growth in Low- and Lower-
Middle-Income Countries: A Systematic Review. Campbell Systematic
Reviews, 14(1), 1-153.
Herath, H., Gunawardena, E., & Wickramasinghe, W. (2013). The Impact of “Kethata
Aruna” Fertilizer Subsidy Programme on Fertilizer Use and Paddy Production
in Sri Lanka. Tropical Agricultural Research Vol. 25 (1), 14-26.
Hu, F., & Antle, J. M. (1993). Agricultural Policy and Productivity: International
Evidence. Review of Agricultural Economics, 15(3), 495-505.
Jaynea, T. S., Masona, N. M., Burkeb, W. J., & Ariga, J. (2018). Review: Taking Stock
of Africa’s Second-Generation Agricultural Input Subsidy Programs. Food
Policy 75, 1-14.
Joint Economic Commitee. (1972). The Economics of Federal Subsidy Programs: Joint
Economic Commitee Congress of The United States Ninety-Second Congress.
Washington: U.S Government Printing Office.
Kaiyatsa, S. (2015). Thesis : Does the Farm Input Subsidy Program Displace
Commercial Fertilizer Sales? Empirical Evidence from Agro-dealers in
Malawi. Malawi: umn.edu.
Kanthilanka, H., & Weerahewa, J. (2018). Do Price Subsidies Lead to Over
Application of Fertilizers? An Analysis of Kethata-Aruna Program of Sri
Lanka. Tropical Agricultural Research, 30(4), 133-142.
Kato, T., & Greeley, M. (2016, May 3). Agricultural Input Subsidies in Sub-Saharan
Africa. IDS Bulletin, 47(2), 33-48.
Kementerian Keuangan. (2015). Nota Keuangan APBN 2016. Jakarta: Kementrian
Keuangan.
Kis-Katos, K., & Sparrow, R. (2015). Poverty, Labor Markets, and Trade
Liberalization in Indonesia. Journal od Development Economics, 117(1), 94-
106.
Komarek, A. M., Drogue, S., Chenoune, R., Hawkins, J., Msangi, S., Belhouchette, H.,
& Flichman, G. (2017). Agricultural Household Effects of Fertilizer Price
32
Ricker-Gilbert, J., Jayne, T., & Chirwa , E. (2011). Subsidies and Crowding Out: A
Double Hurdle Model of Fertilizer Demand in Malawi. American Journal of
Agricultural Economics, 93(1), 26-42.
San, N. N., Rosegrant, M. W., & Perez, N. D. (1998). Indonesian Agriculture in
Transition: Projections of Alternative Futures. Journal of Asian Economics,
9(3), 445-465.
Semasinghe , W. M. (2014). Economic and Social Cost of Fertilizer Subsidy on Paddy
Farming in Sri Lanka. International Journal of Science and Research, 3(10),
1261-1267.
Spencer, M. H., & Amos Jr, O. M. (1993). Contemporary Economics, Eight Edition.
New York: Worth Publishers.
Susila, W. R. (2010). Kebijakan Subsidi Pupuk: Ditinjau Kembali. Jurnal Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, 29(2), 43-49.
Teka, A., & Lee, S. K. (2020). Do Agricultural Package Programs Improve the Welfare
of Rural People? Evidence from Smallholder Farmers in Ethiopia. Agriculture.
Ton, G., Vellema, W., Desiere, S., Weituschat, S., & D'Haese, M. (2018). Contract
farming for improving smallholder incomes: What can we learn from
effectiveness studies? World Development 104, 46-64.
Varian, H. R. (2010). Intermediate Microeconomics: A Modern Approach, Eighth
Edition. New York: WW Norton & Company.
Wang, S. W., Manjur, B., Kim, J. G., & Lee, W. K. (2019). Assessing Socio-Economic
Impacts of Agricultural Subsidies: A Case Study from Bhutan. Sustainability,
11(12), 1-12.
Wang, Y., Khor, L., & Siddig, K. (2018). Socioeconomic Factors Determining
Fertilizer Use in China for Different Crops: Same Factors, Different Effects.
Agroeconomy Journal, 110(5), 1-7.
Wooldridge, J. (2001). Econometrics Analysis of Crosssection and Panel Data.
London: MIT Press.
Wossen, T., Abdoulaye, T., Alene, A., Feleke, S., Gilbert, J. R., Manyong, V., &
Awotide, B. A. (2017). Productivity and Welfare Effects of Nigeria’s e-
Voucher-Based Input Subsidy Program. World Dev 97, 251-265.