Anda di halaman 1dari 7

Identitas Guru Sebagai Pendidik dan Pengajar

Stephanus Edy Winarto


Universitas Sanata Dharma Yogyakara
Email : stephanusedywinarto@outlookcom

Penghantar
Sebelum membicarakan mengenai pengerteian guru dan identitasnya sebagai pendidik
dan pengajar, ada baiknya membatasi cakupan bahasan mengenai Guru karena secara
tradisional dan cakupan modern, kata guru memiliki makna yang berbeda. Jadi konteks guru
yang dibahas pada tulisan ini adalah guru yang hadir di lembaga pendidikan. Kata guru ini
digunakan tidak untuk menyebut ahli pembuat Kujang ataupun ahli-ahli yang diangkat oleh
Keraton dan Kerajaan-Kerajaan di Nusantara. Guru yang dibahas dalam tulisan ini adalah
kata yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang bekerja di lembaga pendidikan baik
secara idealis maupun secara pragmatik.
Romo Driyarkara dalam buku filsafat manusia menyampaikan peran pendidikan
sebagai cara untuk memanusiakan manusia. Ia mendekati pendidik dari proses pertumbuhan
manusia mulai dari anak hingga menjadi dewasa. Dalam proses tersebut kehadiran guru tidak
hanya untuk memahami manusia sebagai makhluk yang hidup badani tetapi juga manusia
sebagai dinamika yang berubah. Dalam pengertian ini pembaca dapat membaca dengan jelas
identitas guru sebagai pendidik dan pengajar. Guru sebagai pendidik artinya guru
menanamkan nilai-nilai keutamaan kepada peserta didik. Sedangkan Guru sebagai pengajar
artinya guru menyampaikan pengajaran baik berupa kemampuan maupun pengetahuan.
Identitas guru sebagai teladan kesempurnaan hendaknya dapat diukur setidaknya dalam
tataran pengetahuan, kemampuan, dan kebijaksanaan.
Beberapa ahli pendidikan menyampaikan bahwa pendidik atau guru adalah orang
yang bertanggung jawab untuk memberikan bantuan kepada siswa dalam pengembangan fisik
dan spiritual (Dri Atmaka, 2014); yang memfasilitasi proses peralihan ilmu pengetahuan dari
sumber belajar peserta didik (Husnul Khatimah); orang yang pernah memberikan suatu ilmu
atau kepandaian kepada seseorang maupun kepada sekelompok orang (Ngalim Purwanto);
setiap orang yang berwenang dan bertugas dalam dunia pendidikan dan pengajaran pada
lembaga pendidikan formal (Drs. M. Uzer Usman); tenaga pendidik profesional memiliki
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi peserta didik pada pedidikan anak usia dini melalui jalur formal pendidikan
dasar dan pendidikan menengah (UU No.14 Tahun 2005). Dengan demikian dapat
disimpulkan 5 kompetensi dasar yang diperlukan oleh peserta didik dalam peran yang
terkandung pada pengertian-pengertian tersebut di atas. Kompetensi tersebut antara lain
adalah kompetensi spiritual, kompetensi moral, kompetensi pedagogik-didaktik, kompetensi
leadership-managerial, dan kompetensi komunikasi-relasional.

Pembahasan
1.Kompetensi Spiritual
Peran pendidik dalam Islam sebagaimana dijelaskan oleh Hafid (2019) antara lain
sebagai pembimbing, sebagai model (uswah), dan sebagai penasehat. Peran-peran tersebut
menyiratkan bahwa pendidik adalah orang yang ‘alim dan berilmu yang peran dan
tanggungjawabnya kepada masyarakat dan kepada Tuhan. Kedua adanya sosok pendidik
agung yang sifat dan sikapnya ditiru dalam setiap agama. Ketiga sebagai profesi
mensyaratkan kompetensi dan standar akademik yang harus dimiliki, dan keempat
mempunyai ijazah secara formal maupun tidak formal. (Hafid 2019)
Apa yang diuraikan Hafid dalam tulisannya menjadi salah satu petunjuk akan
pentingnya kompetensi spiritual di dalam diri seorang guru. Kompetensi spiritual tersebut
mensyaratkan adanya hubungan antara pendidik dengan Tuhan, masyarakat dan pendidik
agung selain daripada kompetensi akademis dan ijazah formal maupun non tidak formal yang
menandai bahwa seseorang sudah melalui proses pendidikan. Merenungkan makna tersebut
saya menangkap pentingnya kompetensi guru sebagai orang yang mampu untuk mengenali
dan melaksanakan kehendak Tuhan dalam setiap keadaan.
Pentingnya kemampuan dan kepedulian guru mengenai hubungan dengan Tuhan
menciptakan beberapa hal yang sangat mendasar dalam sikap guru yang mengatasi sifat-sifat
alaminya yang antara lain adalah kerendahan hati, sabar, jiwa merdeka, mengandalkan
kekuatan Tuhan, dan bertanggungjawab dengan menyediakan seluruh kemampuan dirinya
untuk mempersiapkan pengajaran, melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, dan
mengevaluasinya sebagai cara untuk bersyukur dan selalu terhubung dengan Tuhan.
Gambaran diri Tuhan yang nyata pada dirinya akan terpantul pada peserta didik. Dengan
contoh yang sangat sederhana seorang guru mengajak muridnya untuk melaksanakan shalat
maka peserta didik juga akan mengikutinya pertama karena segan terhadap gurunya tetapi
lama-lama karena adanya kebutuhan untuk selalu terbuhubung dengan Tuhan.
Guru yang memiliki kompetensi spiritualitas akan menempatkan Tuhan sebagai pusat
dalam kehidupannya. Sehingga nasehat maupun bimbingan yang diberikan seorang guru
kepada peserta didiknya tidak berasal dari dirinya sendiri tetapi berdasarkan pemahamannya
pada keadaan peserta didik dan kemudian menempatkan sabda Tuhan sebagai cermin kasih
dan petunjuk kehidupan. Nasehat-nasehatnya juga akan mendasarkan pada kebijaksanaan dan
pemahaman akan kehendak Tuhan dan bukan berdasarkan keinginan dan kecenderungan-
kecenderungan dirinya sendiri. Dalam rumusan Santo Ignatius kompetensi Spiritual berarti
Finding God in All Things menemukan Tuhan dalam segala.

2. Kompetensi Moral
Fransisca (2015) membagi kompetensi moral dalam tiga hal yakni moral knowing,
moral feeling, dan moral behaviour. Ketiga hal tersebut harus terhubung dengan empat
kompetensi dasar guru yakni pedagogi, kepribadian, sosial, dan profesional. Kompetensi
moral sebagai komponen pembentukan karakter ini terwujud nyata dalam insiatif
memperkaya diri dengan pengetahuan baru demi menunjang proses pembelajaran.(Anon
2015).
Kompetensi moral seorang guru ditandai dengan kemampuan mengenali nilai-nilai
keutamaan dalam hidup sebagai gagasan-gagasan ideal atas kemanusiaan, mulai dari
membedakan yang buruk, kurang baik, baik, lebih baik, dan paling baik, atau mengenali yang
“bener” dan “pener” yakni benar secara kontekstual. Kompetensi moral ini akan membentuk
seorang guru yang mendayakan seluruh dirinya dalam menjadi teladan yang menuntun
peserta didik melewati tahapan belajarnya menjadi bagian dari manusia terdidik yang
mengenali perannya dalam keluarga, lingkungan, dan masyarakat.
Melalui penelitian yang dilakukan Fransisca pada artikel jurna tersebut dapat
disimpulkan bahwa kompetensi moral tidak hanya berhenti pada tahap mengetahui tetapi ada
tahapan merasakan dan kemudian menjadi kebiasaan. Bahkan ia meneliti kompetensi itu
dalam konteks pelaksanaanya atau keterkaitannya pada kompetensi-kompetensi lainnya.
Pentingnya integrasi komptensi moral di dalam kompetensi-kompetensi lainnya menunjukkan
otentisitas dan kepemilikan seorang guru atas kompetensi moral tersebut.

3. Kompetensi Pedagogik-Didaktik
Endang Mulyana menyebut kompetensi pedagogi sebagai kemampuan
mengembangkan kurikulum (enacted curriculum). Mereka meneliti kemampuan ini yang
dilatih dalam workshop yang disebut subject specific pedagogy. Metode ini dikembangkan di
atas teori segitiga didaktik antara siswa, guru, dan materi yang meliputi hubungan didaktik,
hubungan pedagogik, dan antisipasi didaktik-pedagogik. (Mulyana, Ph.D., and Juandi 2014).
Apa yang dilakukan oleh Mulyana menunjukkan bahwa kompetensi pedagogik-
didaktik dapat diukur dan dievaluasi. Kemampuan untuk mengambangkan kurikulum
mencakup pengetahuan menerapkan prinsip-prinsip dasar pengembangan kurikulum,
persiapan dan penguasaan materi pengajaran yang akan digunakan di dalam kelas, dan
kalimat-kalimat persuasif, imperatif, naratif, dan deskriptif yang disiapkan oleh guru untuk
menyampaikan alur pembelajaran. Dalam hal inilah pendidikan bukan sesuatu yang spontan
tetapi sesuatu yang terencana, terprediksi, dan terukur untuk memfasilitasi manusia sebagai
makhluk badani dan makhluk yang berdinamika secara pikiran, perasaan, kehendak, dan
fisiknnya.
Dengan kompetensi pedagogik-didaktik maka seorang guru dapat menyesuaikan
kurikulum, metode, dan materi pengajaran yang sesuai dengan keadaan peserta didik.
Penyesuaian itu mencakup apa yang dibutuhkan oleh peserta didik di masa yang akan datang,
kemampuan peserta didik di masa kini, dan pengetahuan dasar apa yang sebelumnya telah
diketahui dan dihidupi sebelum mengikuti kelas.
Contoh kasusnya adalah pendidikan untuk calon pemandu wisata akan berbeda materi
pengajarannya dengan calon seorang diplomat negara. Artinya akan menjadi apa peserta
didik sebelum mengikuti pelajaran akan menentukan kurikulum pelajaran, metode, dan
materinya. Kemampuan peserta didik di masa kini dan apa yang telah mereka ketahui dan
hidupi sebelumnya dapat tergambar dari contoh kasus pengajaran BIPA di Taiwan.
Pengajaran BIPA di Taiwan menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar karena bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris lebih dekat karena sama-sama berkedudukan sebagai bahasa
kedua atau ketiga; berikutnya kosa kata dan gramatika kedua bahasa ini lebih menyerupai
dibandingkan dengan bahasa Mandarin dan berbagai bahasa suku yang hidup di Taiwan.

4. Kompetensi Leadership-Managerial
Kompetensi Leadership-Managerial adalah kompetensi yang dimiliki oleh seorang
guru di bidang kepemimpian dan pengelolaan mulai diri sendiri sampai ke kepemimpinan dan
pengelolaan kelas. Kompetensi ini mencakup kemampuan merencanakan penggunakan
waktu, pengelolaan kegiatan di kelas, hingga evaluasi terhadap terlaksananya kegiatan di
kelas. Komariah A, Triatna C (2010) menuliskan bahwa sekolah sebagai institusi tidak berdiri
sendiri. Ia terkait erat dengan nilai, budaya, dan kebiasaan yang hadir di masyarakat. Sekolah
merupakan ujungtombak dari proses modernisasi (agent of change) yang diupayakan melalui
kebijakan pemerintah. Produk dari sekolah harus berupa kompetensi unggul agar mampu
menghadapi kompetensi jenjang yang lebih tinggi. (Komariah and Triatna 2010) Visi
kepemimpinan menuju sekolah efektif ini menegaskan bahwa kompetensi itu pertama harus
dimiliki oleh guru sebelum diterapkan dan diajarkan kepada peserta didik.
Leadership atau kepemimpinan berarti kemampuan seorang guru untuk meyakinkan
orang yang dididik dan diajar olehnya untuk melakukan serangkaian kegiatan yang
sebelumnya tidak pernah dilakukannya dan menciptakan sebuah pengalaman. Pengalaman
tersebut kemudian dikelola dan melalui kemampuan managerial sehingga dapat menjadi
pengalaman yang terencana dan terukur dan menjadi jelas pencapaiannya dan apa saja yang
perlu ditambahkan dan diperbaiki guna mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Seringkali
tingkat efektivitas menjadi salah satu ukuran keberhasilan kemampuan leadership-
managerial. Padahal dalam kenyataannya dinamika peserta didik tidak dapat diukur oleh
ukuran tersebut. Kemampuan Leadership-Managerial akan menemukan cara pendidikan
yang paling jitu untuk setiap peserta didik guna membangun pengetahuannya sendiri dan
melatih kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan untuk menerapkan pengetahuannya.
Secara praktik kemampuan Leadership-Managerial akan mencakup kepemimpinan
guru dalam membawa peserta didik dalam tahapan tidak siap belajar, siap belajar, belajar,
dan refleksi pembelajaran. Pengelolaan kelas, mulai dari materi pengajaran dan sarana-sarana
pendukungnya, serta sumber-sumber pengetahuan yang beragam dan dapat diakses oleh
peserta didik, hingga bagaimana ruang kelas disusun dan ditata untuk kebutuhan tersebut.
Misalnya untuk keperluan kegiatan kelas yang bersifat kolaboratif dan diskusi diperlukan
tempat duduk melingkar untuk menciptakan suasana demokratik. Sedangkan untuk kegiatan
individual diperlukan tempat duduk berjajar. Penguasaan terhadap materi, kelas, rekan
sesama guru, dan peserta didik ikut menentukan kemampua Leadership-Managerial.

5. Kompetensi Komunikasi-Relasional
Dalam uraian mengenai profesionalisme guru SD/MI yang ditulis oleh Nursalim
(2017) menyebut empat kompetensi dasar seorang guru yaitu kompetesi profesional,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Salah satu yang
dianggap penting sebagai bagian dari kompetensi profesional adalah kemampuan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan
mengembangkan diri. (Nursalim 2017)
Pengertian kompetensi profesional di banyak tempat masih berhubungan dengan
kemampuan berkomunikasi dan menjalin relasi. Peralihan pola komunikasi normal yakni saat
manusia bertatap muka menjadi pola komunikasi virtual telah berdampak pada bergesernya
fungsi komunikasi sebagai kerja kemanusiaan menjadi tindakan narsis dan transaksional
belaka. Seperti apapun relasi yang terbangun di masa kini dan masa yang akan datang,
seorang guru harus tetap berlatih memiliki kemampuan komunikasi-relasional dengan
menjamin hak-hak peserta didik untuk mendapatkan pengajaran, pendidikan, dan
pembimbingan sehingga terus menerus tumbuh dalam dinamika belajarnya.
Kemampuan komunikasi-relasional mensyaratkan adanya keinginan untuk memahami
dan menyesuaikan. Kemampuan untuk memahami dan menyesuaiakan penggunaan bahasa
dan pola komunikasi perlu diupayakan dengan bertanya, mencari sumber informasi lain, dan
membandingkan pernyataan-pernyataan yang pernah dinyatakan sebelumnya. Dengan usaha-
usaha tersebut seorang guru tidak hanya menjaga kenyamanan peserta didik untuk mengikuti
alur pembelajaran tetapi juga menciptakan suasana yang mendukung untuk proses belajar
dengan menjauhkan emosi dan perasaan yang mengaburkan makna dan menggunakan kosa
kata yang dapat dipahami dan tidak bermakna ganda.
Komunikasi tidak juga terjadi dalam tataran pragmatik yakni fungsi penggunaan
pakaian, sikap tubuh, dan gestur. Hendaknya menggunakan pakaian yang rapi dan pantas,
sikap tubuh yang nyaman dan santai, serta gestur tubuh yang tenang dan penuh pengendalian
diri. Dengan komunikasi non verbal tersebut, kosa kata verbal yang digunakan akan menjadi
lebih dapat ditangkap maknanya. Kelas online yang menyebabkan peserta didik menutup
videonya untuk menghemat kuota menyebabkan beberapa unsur pembentuk komunikasi non
verbal menjadi tidak terbaca atau tidak nampak. Walaupun demikian seorang guru pengajar
atau pendidik dapat menjadi contoh bagaimana sikap, tindak tutur, dan gestur tubuh
digunakan selama proses pembelajaran.

Kesimpulan
Kelima kompetensi seorang guru sebagai pendidik dan pengajar bukanlah kompetensi
yang dapat dimiliki dengan mengikuti pelatihan atau membaca buku dan menulis sebuah
artikel. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat dimiliki dengan berlatih, membuka hati, dan
menguapayakan untuk terus-menerus belajar. Yang paling utama dari semua itu dibutuhkan
sikap legowo dan rela dibimbing oleh hati nurani dan selalu bersandar pada perlindungan dan
bimbingan Tuhan agar semakin peka terbiasa menggunakan kemampuan-kemampuan
tersebut karena peserta didik yang dididik adalah manusia dengan dinamika kehidupan yang
berbeda-beda. Semua kompetensi tersebut bukan hanya mendukung peserta didik untuk
memperoleh pendidikan dan pengajaran yang baik tetapi pertama-tama untuk menempatkan
guru pada posisi dan kondisi terbaik dalam menyampaikan materi yang telah disiapkannya.
Referensi
Drijarkara, N.1968. Filsafat Manusia. Yogyakarta : Kanisius.
Anon. 2015. “KETERKAITAN ANTARA MORAL KNOWING, MORAL FEELING, DAN
MORAL BEHAVIOR PADA EMPAT KOMPETENSI DASAR GURU.” Jurnal
Kependidikan: Penelitian Inovasi Pembelajaran. doi: 10.21831/jk.v45i2.7500.
Hafid, Hafid. 2019. “Pendidik Profesional.” Tafhim Al-’Ilmi. doi:
10.37459/tafhim.v11i1.3554.
Komariah, Aan, and Cepi Triatna. 2010. Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif.
Mulyana, Endang, Turmudi Ph.D., and Dadang Juandi. 2014. “MODEL PENGEMBANGAN
DESAIN DIDAKTIS SUBJECT SPECIFIC PEDAGOGY BIDANG MATEMATIKA
MELALUI PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI GURU.” Jurnal Pengajaran
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. doi: 10.18269/jpmipa.v19i2.454.
Nursalim Nursalim. 2017. “PROFESIONALISME GURU SD / MI.” Lentera Pendidikan :
Jurnal Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan. doi: 10.24252/lp.2017v20n2i10.

Anda mungkin juga menyukai