Anda di halaman 1dari 22

BAB III

KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. Definisi Kompetensi Guru


1. Kompetensi
Kompetensi dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa Inggris
Competence yang berarti kecakapan dan kemampuan. Istilah kompetensi guru
mempunyai banyak makna, Broke and Stone (1995) dalam Mulyasa 2012:25
mengemukakan bahwa kompetensi guru sebagai ...... descriptive of qualitative nature
of teacher behavior appears to be entirely meaningful. ....... kompetensi guru
merupakan gambaran kualitatif tentang hakikat prilaku guru yang penuh arti.
Sementara Charles (1994) mengemukakan bahwa: competency as rational
performance which satisfactorily meets the objective for a desired condition
(kompetensi merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang di
persyaratkan sesuai dengan kondisi yang di harapkan). Kompetensi adalah
pengetahuan, perilaku, dan keterampilan yang harus dimiliki oleh guru untuk
mencapai tujuan pembelajaran dan pendidikan. Kompetensi diperoleh melalui
pendidikan, pelatihan, dan belajar mandiri dengan memanfaatkan sumber belajar.
Kompetensi terkait erat dengan standar. Seseorang disebut kompeten dalam
bidangnya jika pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya serta hasil kerjanya sesuai
standar (ukuran) yang ditetapkan dan diakui oleh lembaga/pemerintah. (Musfah,
2011:26-29)
Sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, dijelaskan bahwa: “Kompetensi adalah seperangkat
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai
oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.” (UU RI, 2006:4)
Dari uraian diatas, nampak bahwa kompetensi mengacu pada kemampuan
melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan; kompetensi guru menunjuk
kepada performance perbuatan yang rasional untuk memenuhi spesifikasi tertentu di
dalam pelaksanaan tugas-tugas pendidikan. Dikatakan rasional karena mempunyai
arah dan tujuan, sedangkan performance merupakan perilaku nyata dalam arti tidak
hanya dapat diamati, tetapi mencakup sesuatu yang tidak kasat mata. Komptensi
merupakan komponen utama dari standar profesi di samping kode etik sebagai reglasi
perilaku profesi yang ditetapkan dalam prosedur dan sistem pengawasan tertentu.
Kompetensi diartikan dan dimaknai sebagai perangkat perilaku efektif yang terkait
dengan eksplorasi dan investigasi, menganalisis dan memikirkan, serta memberikan
perhatian, dan mempersepsi yang mengarahkan seseorang menemukan cara-cara
untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien. Kompetensi bukanlah suatu
titik akhir dari suatu upaya melainkan suatu proses yang berkembang dan belajar
sepanjang hayat (lifelong learning process). (Mulyasa, 2012: 26)
2. Guru
Guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencaharian, profesinya)
mengajar. Menurut Ahmad Tafsir, Guru adalah pendidik yang memegang mata
pelajaran di sekolah. Istilah yang lazim digunakan untuk pendidik adalah guru. Kedua
istilah tersebut berhampiran artinya, bedanya ialah istilah guru sering kali dipakai di
lingkungan pendidikan formal, sedangkan pendidik dipakai di lingkungan formal, in
formal maupun non formal. Dengan demikian guru dapat disebut pendidik dan
begitupula sebaliknya, pendidik dapat disebut guru. (Tafsir, 2004: 36)
Guru adalah pendidik profesional yang bertugas untuk mengembangkan
kepribadian siswa atau sekarang lebih dikenal dengan karakter siswa. Penguasaan
kompetensi kepribadian yang memadai diri seorang guru akan sangat membantu
upaya pengembangan karakter siswa. Dengan menampilkan sebagai sosok yang bisa
di gugu dan di tiru secara psikologis anak cenderung akan merasa yakin dengan apa
yang sedang dibelajarkan gurunya. Misalkan, ketika guru hendak membelajar
membelajarkan tentang kasih sayang kepada siswanya, tetapi di sisi lain secara
disadari atau biasanya tanpa disadari, gurunya sendiri malah cenderung bersikap tidka
senonoh, mudah marah dan sering bertindak kasar, maka yang akan melekat pada
siswanya bukanlah sikap kasih sayang, melainkan sikap tidak senonoh itulah yang
lebih berkesan dan tertanam dalam sistem pikiran dan keyakinan siswa.
(Pudjosumedi, 2013: 89)
Guru sebagai tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, memiliki
karakteristik kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
pengembangan sumber daya manusia. Pribadi guru adalah hal yang sangat penting.
Seorang guru harus mempunyai sikap yang mencerminkan kepribadiannya sehingga
dapat dibedakan dengan guru yang lain. Kepribadian menurut Zakiyah Daradjat
disebut sebagai sesuatu yang abstrak, sukar dilihat secara nyata, hanya dapat
diketahui lewat penampilan, tindakan, dan atau ucapan ketika menghadapi suatu
persoalan, atau melalui atasannya saja. (Pudjosumedi, dkk 2013: 91)
Guru merupakan sumber pengetahuan utama bagi murid-murid nya, namun
pada umumnya orang tidak memandang guru sebagai orang yang pandai yang
mempunyai intelegensi yang tinggi. Orang yang ber-IQ tinggi akan menjadi dokter
atau insinyur dan tidak menjadi guru, walaupun dalam kenyataannya terbukti bahwa
guru yang beralih jabatannya dapat melakukan tugasnya dengan baik sebagai
jenderal, gubernur, menteri, duta besar, bupati atau camat, juga sebagai usahawan,
seniman, pengarang, dan sebagainya. Walaupun demikian orang tetap berpegang
pada stereotip guru. (Nasution, 2014: 102)
3. Kompetensi Guru
Kompetensi merupakan kemampuan seseorang yang meliputi pengetahuan,
keterampilan, dan sikap, yang dapat diwujudkan dalam hasil kerja nyata yang
bermanfaat bagi diri dan lingkungannya. Ketiga aspek kemampuan ini saling terkait
dan memengaruhi satu sama lain. Kondisi fisik dan mental serta spiritual seseorang
besar pengaruhnya terhadap produktivitas kerja seseorang., maka tiga aspek ini harus
dijaga pula sesuai standar yang disepakati. Menurut sudjana (1989: 18) dalam
(Musfah, 2011: 29) membagi kompetensi guru dalam tiga bagian, yaitu “bidang
kognitif, sikap dan perilaku (performance). Ketiga kompetensi ini tidak berdiri
sendiri, tetapi saling berhubungan dan memengaruhi satu sama lain.”
Kemampuan individu dapat berkembang dengan cara pelatihan, praktik, kerja
kelompok, dan belajar mandiri. Pelatihan menyediakan kesempatan seseorang
mempelajari keterampilan khusus. Pengalaman kerja dapat membuat orang semakin
kompeten di bidangnya. Littrell (1984: 310) dalam (Musfah, 2011: 29) menjelaskan
bahwa hakikat kompetensi adalah, “kekuatan mental dan fisik untuk melakukan tugas
atau keterampilan yang dipelajari melalui latihan dan praktik.
Penilaian kompetensi dapat dilakukan dengan dua cara, langsung dan tidak langsung;
satu aspek dan banyak aspek (komprehensif) tergantung pada tujuan penilaiannya.
Seorang guru mampu mengajar dengan pendekatan atau metode active learning
misalnya, bisa langsung diamati di kelas oleh seorang kepala sekolah. Pada sisi lain,
dibutuhkan data lainnya untuk menilai konpetensi guru tersebut secara utuh, seperti
bagaimana persiapan mengajarnya, proses, dan evaluasinya. Kecuali itu, bagaimana
pula dengan perilaku guru tersebut dalam lingkungannya (sekolah). Proses penilaian
kompetensi semacam ini membutuhkan waktu minimal enam bulan hingga satu
tahun. (Musfah, 2011: 29)
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kompetensi adalah
pengetahuan, perilaku, dan keterampilan yang harus dimiliki oleh guru untuk
mencapai tujuan pembelajaran dan pendidikan. Kompetensi diperoleh melalui
pendidikan, pelatihan, dan belajar mandiri dengan memanfaatkan sumber belajar.
Dengan demikian untuk menuju suksesnya suatu pendidikan, dibutuhkan
seorang guru yang berkompeten dan mempunyai kecakapan, keahlian yang selaras
dengan tuntutan bidang kerja yang bersangkutan.
B. Kompetensi Kepribadian Guru dalam Pendidikan Islam
1. Kompetensi Kepribadian Guru
Kompetensi kepribadian, yaitu “Kemampuan kepribadian yang: (a) berakhlak
mulia; (b) mantap, stabil, dan dewasa; (c) arif dan bijaksana; (d) menjadi teladan; (e)
mengevaluasi kinerja sendiri; (f) mengembangkan diri; (g) religius.”.
Berakhlak mulia. “Pendidikan nasional yang bermutu diarahkan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.” Arahan pendidikan nasional ini hanya mungkin terwujud jika guru memiliki
akhlak mulia, sebab murid adalah cermin dari gurunya. (Musfah, 2011:43)
Sulit mencetak siswa yang saleh jika gurunya tidak saleh. Selain guru, untuk
melahirkan siswa yang saleh, perlu dukungan: Pertama, komunitas sekolah yang
saleh, seperti disiplin, demokratis, adil, jujur, syukur, dan amanah. Hadits Rasulullah
SAW yang diriwayatkan Thabrani dari Ibnu Amr menunjukkan bahwa, “Seorang
mukmin yang paling utama imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” Menurut
Husain dan Ashraf (1979:107) dalam Musfah 2011: 43 mengemukakan bahwa:
“Dalam dunia kontemporer saat ini perhatian lebih ditunjukkan pada bengunan,
peralatan, perlengkapan, dan materi, dibandingkan pada kepribadian dan karakter
guru.” Kritik ini layak direnungkan oleh manajemen lembaga pendidikan dan fakultas
pencetak calon guru. Kemegahan gedung dan kecanggihan peralatan lembaga
pendidikan tidak diiringi dengan pembinaan kepribadian dan karakter guru/dosen dan
staf. Situasi makin terasa absurd, saat perilaku guru terhadap siswa atau dosen
terhadap mahasiswa melanggar aturan yang berlaku, dan terjadi setiap saat tanpa
kontrol yang sistematis dari sekolah atau universitas.
Esesnsi pembelajaran adalah perubahan perilaku. Guru akan mampu mengubah
perilaku peserta didik jika dirinya telah menjadi manusia baik. “Pribadi guru harus
baik karena inti pendidikan adalah perubahan perilaku, sebagaimana makna
pendidikan adalah proses pembebasan peserta didik dari ketidakmampuan, ketidak
benaran, ketidakjujuran, dan dari buruknya hati, akhlak, dan keimanan.” (Musfah,
2011: 44)
Mengapa guru harus seorang yang berakhlak mulia atau berkarakter baik?
Karena diantara tugas yang amat pokok seorang guru ialah memperkukuh daya positif
yang dimiliki siswa agar mencapai tingkatan manusia yang seimbang/harmonis (al-
adalat) sehingga perbuatannya mencapai tingkat perbuatan ketuhanan (af‟al
ilahiyyat) meminjam istilah Ibn Miskawaih. Menuurt Suwito (2004:171) dalam
Musfah 2011: 44 bahwa “Perbuatan yang demikian ialah perbuatan yang semata-mata
baik dan yang lahir secara spontan.”
Apa pendekatan yang dapat digunakan untuk mencapai manusia harmonis
tersebut? Setelah mengkaji pemikiran Ibn Miskawaih, Suwito (2004: 171-2)
menyimpulkan bahwa, untuk mencapai manusia yang seimbang/harmonis yaitu:
a. Daya bernafsu (al-bahimiyyat/al-syahwiyyat) diarahkan agar mencapai tingkat
“mampu menjaga kesucian diri” (al-iffat), yakni tidak tenggelam dalam
kenikmatan dan melampaui batas, bukan pula tidak mau berusaha untuk
memperoleh kenikmatan sebatas yang diperlukan.
b. Daya berani (al-nafs al-ghadabiyyat) diarahkan untuk mencapai tingkat
“keberanian” (al-syaja‟at), yakni tidak takut terhadap sesuatu yang seharusnya
tidak ditakuti dan bukan pula berani terhadap sesuatu yang seharusnya tidak
diperlukan sikap ini.
c. Daya berpikir (al-nafs al-nathqiat) diarahkan untuk mencapai tingkat
“kebijaksanaan” (al-hikmat), yakni memiliki kemampuan rasional untuk membuat
keputusan antara yang wajib dilakukan dan yang wajib ditinggalkan. Berarti pula
tidak membekukan dan menyampingkan daya pikir, padahal sebetulnya
mempunyai kemampuan, bukan pula menggunakan daya pikir yang tidak lurus.
(Musfah, 2011: 45)

Mantap, stabil, dan dewasa. Menurut Husain dan Ashraf (1979:106) dalam
Musfah 2011:45 menerangkan bahwa: “Jika disepakati bahwa pendidikan bukan
hanya melatih manusia untuk hidup, maka karakter guru merupakan hal yang sangat
penting.” Itu sebabnya, menurut Husain dan Ashraf “Meskipun murid pulang ke
rumah meninggalkan sekolah atau kampus guru mereka, mereka tetap mengenangnya
dalam hati dan pikiran mereka, kenangan tentang kepribadian yang agung dimana
mereka pernah berinteraksi dalam masa tertentu dalam hidup mereka.” (Musfah,
2011:45)
Arif dan bijaksana. “Guru bukan hanya menjadi seorang manusia pembelajar
tetapi menjadi pribadi bijak, seorang saleh yang dapat memengaruhi pikiran generasi
muda.” Tulis Husain dan Ashraf bahwa seorang guru tidak boleh sombong dengan
ilmunya, karena merasa paling mengetahui dan terampil dibanding guru yang lainnya,
sehingga menganggap remeh dan rendah rekn sejawatnya. Allah SWT mengingatkan
orang-orang yang sombong dengan firman-Nya: “........ Kami tinggikan derajat orang
yang kami kehendaki; dan diatas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi
yang Maha Mengetahui. (QS. Yusuf: 12 :76) Sepintar dan seluas apapun pengetahuan
manusia, tidak akan mampu menandingi keluasan ilmu Allah SWT Jangankan
dibandingkan dengan ilmu Allah SWT, dengan ilmu sesama manusia pun, pasti ada
yang lebih tinggi dan luas lagi. Masalahnya kadang manusia memiliki sifat sombong.
Menjadi teladan. Mulyasa (2007:117) dalam Musfah 2011:47 menyatakan
bahwa: “Pribadi guru sangat berperan dalam membentuk pribadi peserta didik. Ini
dapat dimaklumi karena manusia merupakan makhluk yang suka mencontoh,
termasuk mencontoh pribadi gurunya dalam membentuk pribadinya.” “Secara teoritis,
menjadi teladan merupakan bagian integral dari seorang guru, sehingga menjadi guru
berarti menerima tanggung jawab menjadi teladan.” Beberapa aspek penting
pendidikan dalam teladan yang ditulis oleh Ajami (2006:131) : “ 1) manusia saling
memengaruhi satu sama lain melalui ucapan, pemikiran, dan keyakinan; 2) perbuatan
lebih besar pengaruhnya dibanding ucapan; dan 3) metode teladan tidak
membutuhkan penjelasan.” (Musfah, 2011:47)
Rasulullah SAW adalah teladan utama bagi kaum muslimin. (QS. Al-Ahzab
33:21). Ia teladan dalam keberanian, konsisten dalam kebenaran, pemaaf, rendah hati
dalam pergaulan dengan tetangga, sahabat, dan keluarganya. Demikianlah, pendidik
harus meneladani Rasulullah SAW. Dalam syair Arab disebutkan, “Perbuatan satu
orang di hadapan seribu orang lebih baik dibanding perkataan seribu orang di hadapan
satu orang (Fi‟lu rajulin fi alfi rajulin khoirun min qaulu alfi rajulin fi rajulin).”
Betapa kita membutuhkan pendidik yang saleh dalam akhlak, perbuatan, sifat, yang
dapat dilihat oleh muridnya sebagai contoh. Ajami menulis (2006:133) dalam
Musfah, 2011:47 bahwa “Para murid bisa lupa perkataan pendidik, tetapi mereka
tidak akan pernah melupakan sikap dan perbuatanny.” Al-Qur‟an mencela orang-
orang yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan: “Hai orang-orang yang
beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?” (QS. Ash-Shaf
61: 2).
Mengevaluasi kinerja sendiri. Pengalaman adalah guru terbaik (experience is
the best teacher). Demikian pepatah Inggris. Pengalaman mengajar merupakan modal
besar guru untuk meningkatkan mengajar di kelas. Pengalaman di kelas memberikan
wawasan bagi guru untuk memahami karakter anak-anak, dan bagaimana cara terbaik
untuk menghadapi keragaman tersebut. Guru jadi tahu metode apa yang baik bagi
mata pelajaran apa, karena ia pernah mencobanya berkali kali. Pengalaman bisa
berguna bagi guru jika ia senantiasa melakukan evaluasi pada setiap selesai
pengajarannya. (Musfah, 2011: 48)
Guru harus menjawab beberapa contoh pertanyaan berikut ini: Apakah siswa
merasa senang dan antusias saat belajar dengan saya? Apakah siswa dapat menjawab
pertanyaan saya di awal dan di akhir pelajaran? Apakah siswa memberikan umpan
balik saat pembelajaran berlangsung? Apakah saya menghukum siswa yang malas
dengan hukuman fisik?. Tujuan evaluasi kinerja diri adalah untuk memperbaiki proses
pembelajaran di masa mendatang. Umar bin Utbah berkata kepada guru anaknya:
“Hal pertama yang harus Anda lakukan dalam mendidik anakku adalah memperbaiki
dirimu sendiri, karena matanya melihatmu. Kebaikan baginya adalah apa yang kau
lakukan, dan keburukan adalah apa yang kau tinggalkan.” (Musfah, 2011: 48)
Guru dapat mengetahui mutu pengajarannya dari respon dan/atau umpan balik
yang diberikan para siswa saat pembelajaran berlangsung atau setelahnya, baik di
dalam kelas maupun luar kelas. Guru dapat meggunakan umpan balik tersebut sebagai
bahan evaluasi kinerjanya. Guru belajar dari respons murid. Oleh karena itu, guru
harus berjiwa terbuka; tidak anti kritik. Guru siap menerima saran dari kepala
sekolah, rekan sejawat, tenaga kependidikan, termasuk dari para siswa. (Musfah,
2011:48-49)
Mengembangkan diri. Diantara sifat yang harus dimiliki guru ialah pembelajar
yang baik atau pembelajar mandiri, yaitu semangat yang besar untuk menuntut ilmu.
Sebagai contoh kecil yaitu kegemarannya membaca dan berlatih keterampilan yang
dapat menunjang profesinya sebagai pendidik. Berkembang dan bertumbuh hanya
dapat terjadi jika guru mampu konsisten sebagai pembelajar mandiri, yang cerdas
memanfaatkan fasilitas pendidikan yang ada di sekolah dan lingkungannya. (Musfah,
2011: 49)
Religius. Penulis menambahkan ciri religiositas pada kompetensi kepribadian,
karena ia erat kaitannya dengan akhlak mulia dan kepribadian seorang muslim.
Akhlak mulia timbul karena seseorang percaya kepada Allah sebagai pencipta yang
memiliki nama-nama baik (asmaul husna) dan sifat yang terpuji. Budi pekerti yang
baik tumbuh subur dalam pribadi yang khusyuk dalam menjalankan ibadah vertikal
dan horizontal. Pribadi yang selalu menghayati ritual ibadah dan mengingat Allah
akan melahirkan sifat terpuji. Menurut An-Nawawi (2001: 171-173) dalam Musfah,
2011: 50 menerangkan bahwa: “Seorang pendidik muslim harus memiliki sifat-sifat
sebagai berikut:
1. Pengabdi Allah. Tujuan, sikap, dan pemikirannya untuk mengabdi kepada Allah,
seperti dijelaskan dalam QS. Ali Imran 3:79, “Hendaklah kamu menjadi orang-
orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu
tetap mempelajarinya.”
2. Ikhlas. Tujuannya menyebarkan ilmu hanya semata mencari keridhaan Allah.
3. Sabar dalam menyampaikan pembelajaran kepada para siswa, karena belajar
perlu pengulangan, menggunakan berbagai metode, dan biasanya peserta didik
putus asa untuk menguasai pelajaran.
4. Jujur. Tanda kejujuran ialah guru menjalankan apa yang dikatakannya kepada
siswa. Allah mencela orang-orang mukmin yang tidak jujur pada apa yang
mereka katakan, “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (2); Amat besar kebencian di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (3).” (QS. Ash-Shaf
61:2-3). (Musfah, 2011:50)

Akan menjadi sia-sia ketika seorang guru mengajarkan kebaikan jika ia sendiri
bukan sosok pribadi yang baik. Pribadi guru yang baik, mengajar dan mendidik
dengan perkataan dan perilakunya dihadapan murid, disengaja maupun tidak
disengaja, disadari ataupun tidak, peserta didik selalu belajar dari figur guru dan
orang-orang yang dianggapnya baik. Dengan demikian harus ada banyak sosok guru,
kepala sekolah, orang tua, yang benar-benar baik dan saleh, sehingga mereka selalu
belajar nilai-nilai dan perilaku baik dari sebanyak mungkin figur. (Musfah, 2011:51)
2. Pendidikan Islam
a. Definisi Pendidikan Islam
Secara teknis, ada beberapa istilah yang terkait dan berhubungan dengan
persoalan pendidikan Islam. Menurut Hasan Langgulung dalam (Bakry, 2005: 12)
menyebut tiga istilah yang sama maknanya dengan kata pendidikan yang
digunakan dalam bahasa Arab, tepatnya yang dgunakan Qur‟an dan menjadi
leksikon dalam istilah pendidikan yang berkembang di dunia Islam. Ketiga istilah
yang dimaksud adalah ta‟lim, yang kata dasarnya „alama, tarbiyah dan ta‟dib.
Tiga kata dimaksud, secara umum mengandung makna sama dengan kata
pendidikan. Kata-kata dimaksud aan terlihat dalam ayat berikut:
Kata Ta‟lim tersirat dalam firman Allah surat Al-Baqarah ayat 31 berikut
ini:

َٓ ‫َأ‬ ‫ل‬ َ َ َ َ َ َ َ ‫َ َ َّ َ َ َ أ َ أ َ ٓ ل َّ َ ل َّ َ َ ل أ َ َ أ‬
َِ‫ِنو ي َأِسسهاء‬
ِ َٔ‫ۢنب‬ َٰٓ ‫وعل َم َ َءادم َٱۡلسها ََء َُكها َثم َع َرطهم َلَع َٱله‬
ِ ‫لئِكةَِ َفقال َأ‬
َ ‫ل لأ‬
َ ‫َص َٰ ِدق‬ ٓ َ ‫َ َٰٓ ل‬
َ٣١َ‫ِني‬ ‫هؤَلءَِإِنَكيتم‬
Artinya: “ Dan Allah mengajarkan kepda Ada segala nama, kemudian Ia
berkata kepada malaikat: beritahulah aku nama-nama semua itu jika kamu
benar”.(QS. Al-Baqarah 31) (Depag RI, 2005:6)

Ta‟lim merupakan kata benda buatan (masdhar) yang berasal dari kata
„allama. Sebagian para ahli menerjemahkan istilah tarbiyah dengan pendidikan
sedangkan ta‟lim diterjemahkan dengan pengajaran. Pendidikan (tarbiyah) tidak
saja tertumpu pada domain kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik,
sementara pengajaran (ta‟lim) lebih mengarah pada aspek kognitif, seperti
pengajaran mata pelajaran Matematika. Pemadanan kata ini agaknya kurang
relevan, sebab menurut pendapat yang lain, dalam proses ta‟lim masih
menggunakan domain afektif. (Mujib, 2010: 18-19)
Kata Tarbiyah berasal dari kata Rabba, yarbi, tarbiyah : yang memiliki
makna tumbuh (nasya‟a) dan menjadi besar atau dewasa (tara‟ra‟a). Artinya,
pendidikan (tarbiyah) merupakan usaha untuk menumbuhkan dan mendewasakan
peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual. (Mujib, 2010:11)
Kata Tarbiyah, akan terlihat dalam firman Allah pada surat Al-Isra‟ ayat
24 sebagai berikut:

ٗ َ َ َّ َ َ َ َ ‫أَأل‬ َّ ‫َ َّ أ َ َ ل‬ ُّ َ َ َ َ ‫َ أ أ َ ل‬
َ‫اِن َصغِريا‬
ِ ‫ب َٱرۡحهها َكهاَربي‬ِ ‫ض َلههاَجياح َٱذل َِل َنِو َٱلرۡحةَِ َوقلَر‬
َ ِ‫وٱخف‬

َ َ٢٤

Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan


penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihiah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku watu kecil”
(Q.S Al-Isra‟: 24). (Depag RI, 2005: 284)

Ayat ini menunjukkan pengasuhan dan pendidikan orang tua kepada anak-
anaknya, yang tidka saja mendidik pada domain jasmani, tetapi juga rohani.
Tarbiyah dapat juga diartikan dengan “proses transformasi ilmu pengetahuan dari
pendidik (rabbani) kepada peserta didik agar ia memiliki sikap dan semangat
yang tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk
ketakwaan, budi pekerti, da kepribadian yang luhur.
Sebagai proses tarbiyah menuntut adanya penjenjangan dalam transformasi
ilmu pengetahuan, mulai dari pengetahuan yang dasar menuju pengetahuan yang
sulit. (Mujib, 2010:13)
Kata Ta‟dib akan terlihat dari hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:

‫اََدبّيِن َريّّب فَاَ ْح َس َن ََتْ يدميَيب‬


Artinya: “Allah mendidikku, maka Ia memberikan kepadaku sebaik-
baiknya pendidikan.

Ta‟dib lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata


krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika. Ta‟dib yang seakar dengan
adab memiliki arti pendidikan peradaban atau kebudayaan. Artinya, orang yang
berpendidikan adalah orang yang berperadaban, sebaliknya, peradaban yang
berkualitas dapat diraih melalui pendidikan. (Mujib, 2010:20)
Sekalipun ketiga istilah di atas sama-sama dapat diartikan dengan
pendidikan, namun ketiganya mengandung perbedaan yang sangat tajam. Menurut
Naquib al Attas dalam (Bakry, 2005: 13) kata ta‟lim lebih sempit maknanya
dibandingkan dengan kata tarbiyah da ta‟dib.
Ta‟lim lebih menitikberatkan pada aspek pengajaran. Dengan demikian,
ta‟lim hanya menjadi bagian dari pelaksanaan pendidikan. Sedangkan kata
tarbiyah, di negara-negara yang menggunakan bahasa Arab, maknanya terlalu
luas. Kata ini dapat digunakan untuk binatang dan tumbuh-tumbuhan dengan
pengertian memelihara atau embela, menternak dan lain-lain. Naquib lebih setuju
dengan kata ta‟dib untuk menjadi istilah pendidikan Islam. Sebab dengan kata
ta‟dib, manusia lah yang berhak memperoleh pendidikan. Kata ini dianggap tidak
terlalu luas seperti tarbiyah, namun juga sekaligus tidak terlalu sempit seperti
terlihat dari makna ta‟lim. Kata ta‟dib telah menjadi kompromi antara apa yang
dibutuhkan dari kata ta‟lim dan dari kata tarbiyah. (Bakry, 2005:14)
Dari ketiga konsep di atas, terlihat hubungan antara tarbiyah, ta‟lim dan
ta‟dib. Ketiga konsep tersebut menunjukkan hubungan teologis (nilai tauhid) dan
teleologis (tujuan) dalam pendidikan islam sesuai al-Qur‟an yaitu membentuk
akhlakul karimah.
Pendidikan sesuai perspektif Islam adalah upaya memanusiakan manusia
dengan arti yang sebenarnya, di dalamnya tercakup pembentukan manusia yang
beradab yang pada gilirannya menuju terbentuknya pibadi insan kamil. Dalam
rangka yang lebih terperinci, M Yusuf al-Qardawhi memberikan pengertian,
bahwa ; “ Pendidikan Islam adalah pendidikan manusiawi seutuhnya, akal dan
hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu,
pendidikan Islam menyiapkan manusia hidup dalam keadaan damai maupun
perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala
kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya”. Sementara itu, Hasan
Langgulung merumuskan :
“pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk
mengisi peranan memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang
diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal didunia dan memetik
hasilnya diakhirat”. (Azra, 2001: 4)

Prinsip pendidikan Islam juga ditegakan di atas dasar yang sama dan
berpangkal dari pandangan Islam secara filosofis terhadap jagad raya, manusia,
masyarakat, ilmu pengetahuan dan akhlak. Pandangan Islam terhadap masalah-
masalah tersebut, melahirkan berbagai prinsip dalam pendidikan Islam.
b. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan umum dari pendidikan Islam ialah tujuan yang akan dicapai dengan
semua kegiatan kependidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain.
Tujuan itu meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku,
penampilan, kebiasaan dan pandangan. Tujuan umum ini berbeda pada setiap
tingkatan umur, kecerdasan, situasi dan kondisi, dengan kerangka yang sama.
Bentuk insan kamil dengan pola taqwa harus dapat terambar pada pribadi
seseorang yang sudah dididik, walaupun dalam ukuran kecil dan mutu yang
rendah, sesuai dengan tingkat-tingkat tersebut. (Daradjat, 2011:30)
Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi, tujuan pendidikan Islam adalah
tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sewaktu
hidupnya, yaitu pembentukan moral yang tinggi, karena pendidikan moral
merupakan jiwa pendidikan Islam, sekalipun tanpa mengabaikan pendidikan
jasmani, akal, dan ilmu praktis.
Menurut Al-Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman, tujuan
umum pendidikan Islam tercermin dalam dua segi, yaitu: (1) insan purna yang
bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT,; (2) insan purna yang
bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kebahagiaan
hidup di dunia akhirat dalam pandangan Al-Ghazali adalah menempatkan
kebahagiaan dalam posisi yang sebenarnya. Kebahagiaan yang lebih memiliki
nilai universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang di prioritaskan. (Mujib,
2010: 80)

c. Metode Pendidikan Islam


Metode pendidikan Islam yang mewakili nama, sifat dan pekerjaanAllah
Yang Maha Baik dan Maha Sempurna niscaya akan dapat dirasakan manfaat dan
hasilnya bagi sebuah proses pendidikan Islam yang komprehensif. Metode
pendidikan Islam, dengan demikian adalah metode kasih sayang, keadilan dan
rasa syukur dalam wujud keteladanan nilai-nilai dan kepribadian Rasulullah SAW
secara alamiah, tanpa rekayasa “kepentingan”. (Suteja, 2015:9)
Di antara metode dan strategi pembelajaran yang terdapat dalam Al-Qur‟an
adalah al-hikmah, mauizah hasanah, dan al-mujadalah. Hal ini secara langsung
diajarkan kepada Nabi sebagai teknik atau cara yang dapat digunakannya dalam
mendidik dan membimbing umatnya ke jalan Allah. Selain itu terdapat pula
amthal, qissah, memulai pembelajaran dengan bertanya, dan lain sebagainya.
Teknik-teknik pembelajaran ini tidak digambrkan secara langsung sebagai suatu
metode, tetapi ia merupakan cara yang digunakan al-Qur‟an dalam
menyampaikan pesan-pesan Allah yang terdapat di dalamnya, sehingga uslub-nya
amat menarik jiwa dan menggoda hati yang membuat pesan-pesannya mudah
diterima. (Yusuf, 2013: 115)
d. Materi Pendidikan Islam
Materi atau kurikulum pendidikan Islam lahir dari pemahaman tentang
hakikat manusia, hakikat alam, dan hakikat kehidupan sosial. Kurikulum harus
menjadi cerminan dari kehendak dan ridha Allah sebagai pemberi manfaat
kekhalifahan. Muatan kurikulum pendidikan Islam harus dapat memadukan
sumber-sumber ketuhanan (ayat-ayat Quruniyah), kemanusiaan (realitas
kehidupa), dan kealaman (ayat-ayat kauiyah). (Suteja, 2015:10)
e. Konsep Pendidikan Islam
Konsep pendidikan menurut al-Quran merujuk pada informasi al-Qur‟an
yang mencakup segala aspek jagat raya ini, bukan hanya terbatas kepada manusia
semata yakni dengan menempatkan Allah sebagai pendidik yang Maha Agung.
Konsep pendidikan al-Qur‟an sejalan dengan konsep pendidikan Islam yang
dipresentasikan melalui kata tarbiyah,ta‟dib dan ta‟lim. (Nata, 2010:7)
Al-Qur‟an meletakkan kedudukan manusia sebagai khalifah Allah SWT di
Bumi. Esensi makna khalifah yakni orang yang diberi amanah oleh Allah untuk
memimpin alam. Dalam hal ini manusia bertugas memelihara dan memanfaatkan
alam guna mendatangkan kemaslahatan bagi alam semesta. (Putra Daulay,
2014:19)
Manusia dibedakan dari makhluk Allah yang lain karena ia memiliki
karakteistik utama yaitu: Fitrah baik, unifikasi ruh dan jasad, dan kemampuan
untuk berkehendak. Manusia dalam poses pendidikan adalah inti utama, kerena
pendidikan berkepentingan mengarahkan manusia kepada tujuan-tujuan tertentu.
Seorang pendidik akan terbantu dalam profesinya jika ia memahami dan memiliki
gagasan yang jelas tentang hakikat manusia. Praktek-praktek pendidikan bakal
mengalami kegagalan kecuali dibangun atas konsep yang jelas mengenai manusia.
(Suteja, 2015:7)
Manusia adalah makhluk rohaniah, di samping ia juga makhluk jasmaniah,
biologis, Tiga potensi dasar yang dimiliki manusia sebagai khalifah adalah: fitrah,
unifikasi ruh dan jasad, dan kemampuan untuk berkehendak (qudrah, free will)
Dalam dunia pendidikan manusia dibedakan dari makhluk-makhluk lain ssemisal
jin, malaikat dan binatang karena ketiga potensi dasar tersebut. Karena ketiga
potensi dasar itu pula manusia diberi amanat dan didaulat oleh Allah SWT untuk
menjadi khalifah-Nya di bumi ini (Suteja, 2015:8)
Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi. Khalifah, baik Adam maupun
keturunannya, diberi kepercayaan atau amanat untuk menglola bumi demi
kesejahteraan dan kemakmuran sluruh umat manusia serta kemanusiaan. Namun
manusia sebagai khalifah Allah tidak mungkin melaksanakan tugasnya, kecuali
dibekali dengan potensi-potensi yang memungkinkan dirinya mengemban tugas
dan amanat tersebut. Al-Qur‟an menyatakan, manusia memiliki karakteristik unik
sejak mula manusia mempunyai fitrah baik. Manusia tidak mewarisi dosa hanya
akibat pengusiran Nabi adam dari sorga.
Manusia yang dianggap layak sebagai khalifah tidak akan dapat memegang
tanggung jawab sebagai khalifah kecuali ia diperlengkapi dengan potensi-potensi
yang memungkinkannya berbuat demikian. Al-Qur‟an menyatakan bahwa, ada
beberapa ciri yang dimiliki manusia sehingga layak menjadi khalifah. Dari segi
fitrahnya, manusia sejak lahir adalah baik dan tidak mewarisi dosa Adam as. Ciri
ketiga adalah manusia dikaruniai kebebasan kemauan (iradah). Ciri keempat
adalah akal yang memungkinkan manusia melakukan pilihan antara baik dan
buruk. Keempat ciri inilah yang membedakan manusia sebagai khalifah dari
makhluk-makhluk lain, dan tujuan tertinggi dari pendidikan Islam adalah
membina individu-individu yang akan menjadi khalifah. (Suteja, 2015:8)
Dengan demikian jelaslah bahwa kompetensi kepribadian guru dalam
pendidikan Islam dintaranya yaitu: (1) Berakhlak mulia; (2) Mantap, stabil dan
dewasa; (3) Arif dan bijaksana; (4) Menjadi teladan; (5) Mengevaluasi kinerja
sendiri; (6) Mengembangkan diri; (7) Religius. Hal tersebut harus dimiliki oleh
para guru demi terciptanya tujuan pendidikan seperti yang telah di paparkan Al-
Ghazali yaitu menjadi insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
C. Guru dalam Pendidikan Islam
1. Definisi Guru dalam Pendidikan Islam
Dalam konteks pendidiakn Islam, “pendidik” atau “Guru” disebut dengan
murabbi,mu‟allim, mu‟addib, mudarris, dan mursyid. Kelima istilah tersebut
mempunyai tempat tersendiri menurut peristilahan yang dipakai dalam pendidikan
dalam konteks Islam. Di samping itu, istilah pendidik kadang kala disebut melalui
gelarnya, seperti istilah ustdz dan al-syaikh. (Mujib, 2010: 87)
Sama dengan teori Barat, pendidik dalam Islam adalah siapa saja yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang
paling bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik.
Tanggung jawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal pertama karena
kodrat, yaitu karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu
ia ditakdirkan pula bertanggung jawab mendidik anaknya; kedua karena kepentingan
kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan
anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga. Tanggung jawab pertama dan
utama terletak pada orang tua berdasarkan juga pada firman Allah seperti yang tersbut
dalam Al-Qur‟an :

ََ‫ارَةلَ َعلَ أيها‬ ‫ل أ َ ٗ َ ل ل َ َّ ل َ أ‬


َ ‫ٱۡل َِج‬ ‫َ َٰٓ َ ُّ َ َّ َ َ َ ل ْ ل ٓ ْ َ ل َ ل أ َ َ أ‬
‫اسَ َو‬
َ ‫ِيوَءانيِنواَقِنواَأىفسكمَوأهلِيكمَىاراَوقِنودهاَٱنل‬ َ ‫يأيهاٱذل‬
َ ‫ َّ َ أ ل َ َّ َ َ ٓ َ َ َ ل أ َ َ أ َ ل َ َ ل أ َ ل‬ٞ َ ٞ َ ٌ َ َٰٓ َ َ
َ٦َ‫ٱّللَناَأمرهمَويفعلِنونَناَيؤمرون‬ َ َ‫نلئِكةَغَِلظَ ِشدادََلَيعصِنون‬
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. (QS.At-Tahrim:6) (Depag RI, 2005: 560)

Yang diperintah dalam ayat itu adalah orang tua anak tersebut, yaitu ayah dan
ibu; “anggota keluarga” dalam ayat ini adalah terutama adalah anak-anaknya.
Sama dengan teori pendidikan Barat, tugas pendidik dalam pandangan Islam secara
umum adalah mendidik, yaitu mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak
didik, baik potensi psikomotor,kognitif, maupun afektif. Potensi itu harus
dikembangkan secara seimbang sampai ke tingkat setinggi mungkin menurut ajaran
Islam. Karena orang tua adalah pendidik pertama dan utama, maka inilah tugas orang
tua tersebut. (Tafsir, 2013:119-120)
Pada awalnya tugas itu adalah murni tugas kedua orang tua; jadi, tidak perlu
orang tua mengirimkan anaknya ke sekolah. Akan tetapi, karena perkembangan
pengetahuan, keterampilan, sikap, serta kebutuhan hidup sudah demikian luas, dalam,
dan rumit, maka orang tua tidak mampu lagi melaksanakan sendiri tugas-tugas
mendidik anaknya. Selain tidak mampu karena luasnya perkembangan pengetahuan
dan keterampilan, mendidik anak di rumah sekarang ini amat tidak ekonomis.
Cobalah bayangkan, seandainya orang tua mendidik anaknya sejak tingkat dasar
sampai perguruan tinggi di rumah, oleh dirinya sendiri, sekalipun katakanlah orang
tua mampu menyelenggarakan itu, apa yang akan terjadi? Mahal, tidak efisien, dan
mungkin juga tidak akan efektif. Pada zaman yang telah maju ini semakin banyak
tugas orang tua sebagai pendidik yang diserahkan kepada sekolah. Itu lebih murah,
lebih efisien, dan juga lebih efektif. Sekalipun demikian secara teoritis sekolah dan
rumah tangga seharusnya tetap menyadari sejarah pendidikan tersebut. Kesadaran itu
akan mengingatkan orang tua dari sekolah tentang perlunya dijalin kerjasama sebaik-
baiknya antara sekolah dan rumah tangga.
Pengaruh pendidikan di dalam rumah tangga terhadap perkembangan anak
memang amat besar, mendasar dan mendalam. Akan tetapi, pada zaman modern ini
pengaruh itu boleh dikatakan terbatas pada perkembangan aspek afektif, yaitu
perkembangan sikap. Pengaruh pendidikan di sekolah juga besar dan luas serta
mendalam, tetapi hampir-hampir hanya pada segi perkembangan aspek kognitif
(pengetahuan) dan psikomotor (keterampilan). Pengaruh yang diperoleh anak didik di
sekolah hampir seluruhnya berasal dari guru yang mengajar di kelas. Jadi, guru yang
dimaksud di sini adalah pendidik yang memberikan pelajaran kepada murid, biasanya
guru adalah pendidik yang memegang mata pelajaran di sekolah. (Tafsir, 2013:120-
121)
2. Kedudukan Guru dalam pendidikan Islam
Pendidik adalah bapak rohani (spiritual father) bagi peserta didik, yang
memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan
perilakunya yang buruk. Oleh karena itu, pendidik mempunyai kedudukan tinggi
dalam Islam. Dalam beberapa hadits disebutkan : “Jadilah engkau sebagai guru, atau
pelajar, atau pendengar, atau pencipta, dan janganlah kamu menjadi orang yang
kelima, sehingga engkau menjadi rusak.” Dalam Hadits Nabi SAW yang lain : “Tinta
seorang ilmuan (yang menjadi guru) lebih berharga ketimbang darah para syuhada”.
(Mujib, 2010: 88)
Salah satu hal yang amat menarik pada ajaran Islam adalah penghargaan yang
sangat tinggi terhadap guru. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan
kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan nabi dan rasul. Mengapa demikian?
Karena guru selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan Islam amat
menghargai pengetahuan. Penghargaan Islam terhadap ilmu tergambar dalam hadits-
hadits yang artinya sebagai berikut :
a) Tinta Ulama lebih berharga daripada darah syuhada.
b) Orang berpengetahuan melebihi orang yang senang beribadat, yang berpuasa dan
menghabiskan waktu malamnya untuk mengerjakan shalat, bahkan melebihi
kebaikan orang yang berperang di jalan Allah.
c) Apabila meninggal seorang alim, maka terjadilah kekosongan dalam Islam yang
tidak dapat diisi kecuali oleh seorang alim yang lain.
Dalam kitab-kitab klasik kita menemukan banyak sekali hadits yang
mengajarkan betapa tinggi kedudukan orang berpengetahuan; biasanya dihubungkan
pula dengan mulianya menurut ilmu. Al-Ghazali menjelaskan dalam (Fahmi,
1979:165) yang dikutif oleh Tafsir, 2013:122) bahwa kedudukan yang tinggi yang
diduduki oleh orang berpengetahuan dengan ucapannya bahwa orang alim yang
bersedia mengamalkan pengetahuannya adalah orang besar di semua kerajaan langit;
dia seperti matahari yang menerangi alam, ia mempunyai cahaya dalam dirinya,
seperti minyak wangi yang mengharumi orang lain karena ia memang wangi. (Tafsir,
2013:122)
3. Tugas Guru dalam Pendidikan Islam
Mengenai tugas guru, ahli-ahli pendidikan Islami-juga ahli pendidikan Barat
telah sepakat bahwa tugas guru adalah mendidik. Mendidik itu sebagian dilakukan
dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji,
menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain. Dalam literatur Barat
diuraiakan tugas-tugas guru selain mengajar. Tugas-tugas selain mengajar adalah
berbagai macam tugas yang sesungguhnya bersangkutan dengan mengajar, yaitu
tugas membuat persiapan mengajar, tugas mengevaluasi hasil belajar, dan lain-lain
yang selalu bersangkutan dengan pencapaian tujuan pengajaran .
Menurut Soejono (1982: 62) dalam (Tafsir, 2013: 126) merinci tugas pendidik
(termasuk guru) sebagai berikut :
a. Wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak-anak didik dengan
berbagai cara seperti observasi, wawancara, melalui pergaulan, angket, dan
sebagainya;
b. Berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan
menekan perkembangan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan
pembawaan yang buruk agar tidak berkembang.
c. Memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara
memperkenalkan berbgai bidang keahlian, keterampilan, agar anak didik
memilihnya dengan tepat;
d. Mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan
anak didik berjalan dengan baik;
e. Memberikan bimbingan dari penyuluhan tatkala anak didik menemui
kesulitan dalam mengembangkan potensinya. (Tafsir, 2013: 126)

Tabel 3.1 Karakteristik dan Tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam


No. PENDIDIK KARAKTERISTIK DAN TUGAS

1. Ustadz Orang yang berkomitmen dengan


profesionalitas, yang melekat pada diriya
sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu
proses dan hasil kerja serta sikap continuous
improvement.
2. Mu‟aliim Orang yang menguasai ilmu dan mampu
mengembangkannya serta menjelaskan
fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan
dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus
melakukan transfer ilmu pengetahuan,
internalisasi, serta implementasi (amaliah)
3. Murabbi Orang yang mendidik dan menyiapkan peserta
didik agar mampu berkreasi serta mampu
mengatur dan nememihara hasil kreasinya
untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi
dirinya, masyarakat, dan alam sekitarnya.
4. Mursyid Orang yang mampu menjadi model atau sentral
identifikasi diri atau menjadi pusat anutan,
teladan, dan konsultan bagi peserta
didiknya.
5. Mudarris Orang yang memiliki kepekaan intelektual dan
informasi serta memperbarui pengetahuan
dan keahliannya secara berkelanjutan, dan
berusaha mencerdaskan peserta didiknya,
memberantas kebodohan mereka, serta
melatih keterampilan sesuai dengan bakat,
minat dan kemampuannya.
6. Mu‟addib Orang yang mampu menyiapkan peserta didik
untuk bertanggung jawab dalam
membangunperadaban yang berkualitas
dimasa depan.

Berdasarkan tabel di atas, tugas-tugas pendidik amat sangat berat, yang tidak
saja melibatkan kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan afektif dan
psikomotorik. (Mujib, 2010: 92)
4. Syarat Guru dalam Pendidikan Islam
Menurut Soejono (1982:63-65) dalam Tafsir, 2013: 127 menyatakan bahwa
syarat guru adalah sebagai berikut:
a. Tentang umur harus sudah dewasa
Tugas mendidik adalah tugas yang amat penting karena menyangkut
perkembangan seseorang, jadi menyangkut nasib seseorang. Oleh karena itu,
tugas itu harus dilakukan secara bertanggung jawab. Itu hanya dapat dilakukan
oleh orang yang telah dewasa; anak-anak tidak dapat dimintai pertanggung
jawaban. (Tafsir, 2013:127)
b. Tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan ruhani
Jasmani yang tidak sehat akan menghambat pelaksana pendidikan, bahkan dapat
membahayakan anak didik bila mempunyai penyakit menular. Dari segi ruhani,
orang gila berbahaya juga bila ia mendidik. Orang idiot tidak mungkin mendidik
karena ia tidak akan mampu bertanggung jawab. (Tafsir, 2013:128)
c. Tentang kemampuan mengajar, ia harus ahli
Ini penting sekali bagi penididik, termasuk guru (orang tua) di rumah sebenarnya
perlu sekali mempelajari teori-teori ilmu pendidikan. Dengan pengetahuannya itu
diharapkan ia akan lebih berkemampuan menyelenggarakan pendidikan bagi anak
anaknya di rumah. Seringkali terjadi kelainan pada anak didik disebabkan oleh
kesalahan pendidikan di dalam rumah tangga.
d. Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi
Syarat ini amat penting dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas mendidik selain
mengajar. Bagaimana guru akan memberikan contoh-contoh kebaikan bila ia
sendiri tidak baik perangainya? Dedikasi tinggi tidak hanya diperlukan dalam
mendidik selain mengajar; dedikasi tinggi diperlukan juga dalam meningkatkan
mutu mengajar. (Tafsir, 2013:128)
5. Kode etik Guru dalam Pendidikan Islam
Kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan
kemanusiaan (hubungan relatianship) antara pendidik dan peserta didik, orang tua
peserta didik, kolegannya, serta dengan atasannya. Bentuk kode etik suatu lembaga
pendidik tidak harus sama, tetapi secara intrinsik mermpunyai kesamaan konten yang
berlaku umum. Pelanggaran kode etik akan mengurangi identitas pendidik.
Menurut Ibnu Jam‟ah, yang dikutip oleh Abd al-Amir Syams al-Din, etika
pendidik terbagi atas tiga macam, yaitu:
1. Etika yang terkait dengan dirinya sendiri. Pendidik dalam bagian ini paling tidak
memiliki dua etika, yatiu (1) memiliki sifat-sifat keagamaan (diniyyah) yang
baik, meliputi patut dan tunduk terhadap syari‟at Allah dalam bentuk ucapan dan
tindakan, baik yang wajib maupun yang sunnah, senantiasa membaca al-Qur‟an,
zikir kepada Allah baik dengan hati maupun dengan lisan, memelihara wibawa
nabi Muhammad SAW, dan menjaga perilaku lahir dan batin; (2) memiliki sifat-
sifat akhlak yang mulia (akhlaqiyyah) seperti menghias diri (tahalli) dengan
memelihara diri khusyu‟ rendah hati, menerima apa adanya, zuhud, dan memiliki
daya dan hasrat yang kuat.
2. Etika terhadap peserta didiknya. Pendidik dalam bagian ini paling tidak memiliki
dua etika, yaitu: (1) sifat-sifat sopan santun (adabiyyah), yang terkait dengan
akhlak yang mulia seperti diatas; (2) sifat-sifat yang memudahkan,
menyenangkan dan menyelamatkan (muhniyyah).
3. Etika adalah proses belajar-mengajar. Pendidik dalam bagian ini paling tidak
mempunyai dua etika, yaitu: (1) sifat-sifat memudahkan, menyenangkan, dan
menyelamatkan (muhniyyah); (2) sifat-sifat seni, yaitu seni mengajar yang
menyenangkan, sehingga peserta didik tidak merasa bosan. (Mujib, 2010: 98)
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa guru dalam pendidikan
Islam adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik
dan bertugas mendidik, yaitu menguapayakan perkembangan seluruh potensi anak
didik, baik potensi psikomotor,kognitif, maupun afektif. Potensi itu harus
dikembangkan secara seimbang sampai ke tingkat tinggi menurut ajaran Islam.

Anda mungkin juga menyukai