Anda di halaman 1dari 14

Hukum dan Agama: Gratifikasi dalam Hubungannya sebagai Akar Korupsi menurut

Perspektif Islam
Cahyanisa Alifa Pramesti (1901445)
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia
cahyanisa48@upi.edu

Ila Karmila (1901665)


Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia
ilakarmila@upi.edu

Agustina Dwi Puspitasari (1909890)


Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia
agustina@upi.edu

Abstrak
Gratifikasi merupakan suatu perilaku yang menjadikan suatu akar dari tindakan korupsi,
karena tindakan gratifikasi tersebut merupakan aktivitas tindakan suap yang tertunda atau
bahkan suap terselubung bagi tindakan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui hukum suatu tindakan gratifikasi dalam perseptif Islam dan juga Negara, dan
hubungannya dengan akar korupsi, untuk dapat mengetahui tindakan penegakan hukum
jika melihat adanya suatu tindakan gratifikasi. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan metoder normatif, empiris dan juga kajian literatur.
Penulis menggunakan data primer dan juga sekunder untuk memperkuat gratifikasi dalam
pandangan masyarakat dalam tindakan gratifikasi. Dalam perspektif negara tindakan
gratifikasi tidak diperbolehkan karena hal tersebut yang dapat pegawai negara dapat
melakukan tindakan tidak Amanah atau tidak adil bagi rakyat-rakyatnya dan merupakan
suatu suap yang terselubung yang dapat memicu tindak korupsi. Begitu pula bagi
perspektif agama Islam, karena suatu tindakan gratifikasi sudah terjadi pada masa
rasulullah yang dilakukan oleh Ibnu Al Lutbiyah yang menjadi pegawai zakat dan
mendapatkan gratifikasi dari pemberi zakat, dan rasulullah menjelaskan dalam hadist Abu
Daud bahwa tindakan gratifikasi atau hadiah yang diterima suatu pegawai atau pejabat
pemerintahan adalah suatu tindakan kecurangan terlebih jika berkaitan dengan jabatannya.
Kata kunci: gratifikasi, perspektif agama Islam, perspektif Negara

Pendahuluan
Islam adalah agama Rahmatan Lil Alamin yang artinya merupakan rahmat bagi
seluruh alam. Agama Islam tidak hanya mengatur umat Islam, namun dapat mengatur
kehidupan semua orang [1], sehingga agama Islam dapat bisa dipahami dalam berbagai
aspek kehidupan, yakni dengan salah satu contohnya dalam kegiatan mengatur bagaimana
tata cara beribadah yang baik, selain itu, mengajarkan bagaimana bermusyawarah dengan
benar sesuai syariat islam, mengatur perihal hukum warisan serta perekonomian tak luput
dari jangkauan Islam.
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan budaya, salah satu budaya
warisan indonesia yakni saling memberi antar sesama. Kegiatan tersebut merupakan hal
lumrah dikarenakan didalam agama Islam diajarkan bahwa memberikan sesuatu barang
atau hadiah adalah suatu bentuk perdamaian, rasa cinta, serta rasa penghargaan dari
pemberi kepada yang menerimanya [2]. Salah satu contoh yang sering dijumpai dalam
kehidupan bermasyarakat adalah ketika berkegiatan diselenggarakannya acara
mengundang ustadz/ulama/kyai dengan tujuan agar masyarakat sekitar dapat diberikan
pencerahan dalam hidup dan setelah itu, ketika acara telah selesai, masyarakat setempat
akan memberikan suatu hadiah (amplop) dengan nilai yang tinggi dalam tujunnya untuk
menghargai ataupun rasa ucapan terimakasih hal ini dilakukan dalam upaya memberikan
rasa hormat kepada tokoh agama yang bersangkutan dalam rangka telah memberikan
pencerahan serta petunjuk nasihat dalam mencari keberkahan. Contoh berikutnya adalah
seorang pebisnis yang memberikan uang dengan nominal tertentu kepada pegawai
pemerintahan setempat yang tidak secara transaksional sebagai wujud terima kasih karena
merasa terbantu dalam proses perizinan pembangunan bisnis tersebut.
Namun ternyata pada kenyatannya dalam sudut pandang lain, hal tersebut
merupakan tindakan yang cenderung bertentangan dengan hukum negara tepatnya, pada
tahun 1999 DPR bersama presiden mengesahkannya Undang-Undang Nomor 31 tahun
1999 yang sekarang telah diubah menjadi Undang-Undang pasal 12B Nomor 20 tahun
2001, yang menjelaskan tentang perihal suatu aktivitas tindak gratifikasi. Pasal tersebut
berbunyi “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya” [3].
Pengertian dari gratifikasi itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) merupakan uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan.
Sedangkan arti gratifikasi menurut pandangan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
adalah berupa tindakan pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang,
rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, serta fasilitas lainnya [4]. Gratifikasi tersebut
baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik [3].
Gratifikasi di Indonesia merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan dikarenakan
gratifikasi merupakan salah satu tindakan suap yang tertunda atau sering juga disebut
“suap terselubung” [5] . Hal ini dapat memicu pada pandangan yang tidak baik
dikarenakan akibat dari hal tersebut, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
terbiasa menerima hasil dari gratifikasi seiring berjalannya waktu akan merasa kurang hal
ini dapat memicu terjerumus dalam tindak korupsi. Oleh sebab itu gratifikasi dilarang
karena, dapat menjadi pemicu dalam melakukan aktivitas tindak pidana korupsi yang
merupakan tindak yang tidak obyektif, tidak adil, serta tidak professional dalam
melaksanakan aktivitas tugas yang dijalankannya [6].
Berdasarkan penjelasan sebelumnya meliputi pemahaman mengenai aktivitas
gratifikasi atau biasa dikenal sebagai aktivitas pemberian hadiah. Berdasarkan pandangan
Islam serta berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, penulis akan menjelaskan serta
memaparkan tentang gratifikasi menurut pandangan Islam serta hukum yang berlaku di
Indonesia sebagai asal muasal dari tindak pidana korupsi.
Penulis melakukan aktivitas menulis jurnal ini selain bertujuan agar dapat
memberikan pemahaman tentang gratifikasi yang berlaku di Indonesia, memiliki tujuan
lainnya yakni, agar dapat mengetahui hukum gratifikasi yang berlaku dalam islam lalu
mengkolerasikan hukum tersebut dengan hukum yang berlaku di Indonesia yakni dengan
salah satu penyebab akar tindak pidana korupsi. Hal yang menarik dalam jurnal ini dan
menjadi pembeda dari jurnal-jurnal yang sudah ada yakni, dalam jurnal ini penulis
menampilkan data sekunder berdasarkan website KPK, tidak hanya itu, penulis melakukan
pengambilan data secara kuantitatif dalam melakukan survey secara langsung dengan
menggunakan google form kepada masyarakat dengan sebagian besar audience yakni
kaum muda dalam bentuk upaya meningkatkan pemahaman gratifikasi serta mengetahui
bagaimana pendapat audience dalam bentuk sudut pandang masyarakat terhadap tindak
gratifikasi.

Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian, yakni dengan menggunakan
kolaborasi metode normatif dan empiris. Menurut Peter Mahmud Marzuki, metode
penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktin hukum untuk menjawab isu hukum yang
dihadapi. Sedangkan metode penelitian empiris adalah metode penelitian hukum dengan
mengamati fungsi dari suatu hukum dan penerapannya di suatu ruang lingkup atau wilayah
masyarakat. Kemudian gabungan metode normatif dan empiris berarti merupakan metode
yang menggabungkan unsur-unsur dari hukum normatif dan didukung oleh unsur empiris
berupa penambahan datanya. Sehingga dalam metode normatif-empiris ini mencakup
implementasi hukum normatif yakni undang-undang dalam penerapannya disetiap
peristiwa hukum tertentu di masyarakat.
Selain itu, dilakukan metode studi pustaka keislaman melalui berbagai sumber
yakni dari ayat-ayat Al-qur’an yang merupakan sumber hukum utama dan juga pedoman
hidup dalam agama Islam, kemudian dari hadist-hadist yang popular dan diriwayatkan oleh
periwayat-periwayat besar serta studi literature hukum Islam lainnya yang membahas
mengenai gratifikasi sebagai penguat akan hukum dari suatu tindak gratifikasi ini.
Penulis juga melakukan pendistribusian google form agar mengetahui pandangan
gratifikasi terhadap masyarakat yang ada di Sekitar wilayah Bandung terutama di
lingkungan tempat tinggal dan pekerjaannya dengan latar belakang yang beragam. Data
tersebut merupakan data primer karena diperoleh langsung dari masyarakat. Dan untuk
memperkuat data primer digunakan pula data sekunder yaitu datagratifikasi yang ada di
Indonesia yang terdapat pada literatur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dimana
menggunakan data statistik untuk menunjang kegiatan penelitian dalam menyikapi
gratifikasi di Indonesia.
Alasan penulis menggunakan metode kolaborasi normatif dan empiris adalah agar
dapat mengetahui kebiasaan masyarakat khususnya masyarakat bandung dalam memahami
tindak gratifikasi yang berlaku di wilayah Bandung , serta untuk mengetahui hukum yang
berlaku dalam lingkup masyarakat mengenai suatu gratifikasi. Penulis juga menggunakan
gabungan data primer dan sekunder untuk upaya memperkuat data primer penulis yang
didapat dari survey dengan penyebaran google form, dan data sekunder yang penulis
dapatkan di laman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) [7].

Hasil dan Diskusi


Sudah diketahui sebelumnya, bahwa aktivitas tindak gratifikasi merupakan
aktivitas dalam bentuk suatu pemberian atau penerimaan oleh penyelenggara negara atau
pegawai negeri. Yang dimaksud dalam hal tersebut yakni, pegawai negeri dan
penyelenggaran negara. Salah satu pegawai negeri lebih tepatnya seperti Pegawai Negeri
Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN), pejabat public (pemangku jabatan), dan
orang yang menerima upah dari keuangan daerah atau negara. Sedangkan penyelenggara
negara merupakan orang-orang yang menjalankan fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif
yakni mulai dari , presiden, wakil presiden ketua, wakil ketua dan anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (KPK), dan
sejenisnya sampai panitia pengadaan.
Suatu aktivitas tindakan gratifikasi memiliki kriteria-kriteria yang dilarang, yaitu:
Melakukan tindak gratifikasi yang memanfaatkan suatu jabatannya, contohnya yang sering
dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat yakni seorang kepala desa memberikan tarif
harga untuk warganya yang ingin membuat KTP (Kartu Tanda Penduduk) hal ini bertujuan
agar proses pembuatan KTP tersebut dapat di selesaikan dengan cepat melebihi waktu
normal yang biasa dilakukan dalam proses pembuatan KTP. Hal tersebut merupakan
tindakan gratifikasi yang dilarang. Hal tersebut dilarang, dikarenakan melanggar atau
sangat bertentangan dengan kode etik suatu pegawai negeri atau penyelenggaran negeri.
Suatu aktivitas tindakan gratifikasi untuk pegawai negeri dan penyelenggara negeri juga
sudah diatur pada pasal 12B dan 12C UU Tipikor sejak tahun 2001. Isi dalam pasal 12B
yakni berkenaan dengan suatu tindakan gratifikasi yang akan dianggap pemberian suap
apabila ada kaitannya dengan jabatannya dan sangat bertentangan kewajiban dengan
tugasnya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara yaitu dengan ketentuan yang
bernilai sebesar Rp 10.000.000, 00 (sepuluh juga rupiah) dengan pembuktian bahwa hal
tersebut merupakan tindakan gratifikasi tersebut sudah merambat menjadi suap akan
ditetapkan lebih lanjut oleh penuntut umum. Dan jika penerima suatu gratifikasi melapor
kepada pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selambat-lambatnya 30 hari kerja,
maka pegawai negeri atau penyelenggara negara akan dibebaskan dari ancaman tindakan
pidana suatu gratifikasi.
Gratifikasi Berdasarkan Instansi
Update data per30 Juni 2021
JUMLAH
202
No Bidang 2015 2016 2017 2018 2019 2020 LAPORA
1
N
1 Eksekutif 729
1.19 1.10 1.58 2.16 1.37 854 9.007
1 0 7 9 7
2 Yudikatif 17 7 9 11 18 24 0 86
3 Legislatif 25 20 15 35 9 25 6 135
4 BUMN/BUMD 813 737 773 718 682 412 276 4.411
5 Swasta 0 0 1 2 3 1 1 8
Jumlah 1.58 1.95 1.89 2.35 2.88 1.83 1.13 13.647
Keseluruhan 4 5 8 3 1 9 7
Tabel 1.1 Gratifikasi Berdasarkan Instansi
Berdasarkan data yang didapat dari website KPK seperti tabel 1.1 bahwa instansi
terbanyak yang dilaporkan mendapatkan gratifikasi merupakan eksekutif, eksekutif ini
termasuk presiden, wakil presiden dan mentri-mentri terkait yang membantu presiden dan
wakil presiden dalam menjalankan tugasnya di negara Indonesia ini [8]. Dan yang
mendapatkan laporan gratifikasi terkecil yaitu di instansi swasta. Untuk laporan gratifikasi
terbanyak pada tahun 2019, yaitu sebanyak 2.881 laporan gratifikasi kepada KPK dengan
melaporkan menggunakan media apapun [3] .

Gratifikasi Jenis Barang


Update data per30 Juni 2021
Gol Gol
Datang
Jenis Laporan Email Individ UP Surat/Pos WA/Lainnya
Langsung
u G
Barang 2 22 138 279 12 2
Uang/Setara Uang 5 45 67 397 17 1
Fasilitas (Tiket
Perjalanan
0 0 1 5 0 0
/Penginapan
/Lainnya)
Pernikahan (uang,
kado barang, 0 25 3 31 11 0
karangan bunga)
Rabat/Diskon
/Komisi
0 0 0 1 0 1
/Pinjaman Tanpa
Bunga
Makanan/Barang
0 111 86 40 23 0
Mudah Busuk
Sponshorship 0 0 0 0 0 0
Tidak Diketahui
0 3 1 0 1 4
Lainnya
Total 7 204 296 753 64 4
Tabel 1.2 Gratifikasi Jenis Barang
Berdasarkan Nilai Laporan
Sumber
Februa
Lapora Januari Maret April Mei Juni Jumlah
ri
n
Datang 1.761.53
3.799.0 1.345.00 411.910.
Langsun 0 0 829.000 8.000
00 0.000 000
g
264.200 37.222. 383.795. 467.371. 29.142. 32.823.2 1.214.55
E-mail
.150 650 000 000 000 26 4.026
GOL 75.720. 39.334. 214.522. 84.940.0 65.900. 34.780.0 515.196.
Individu 000 900 000 00 000 00 900
GOL 396.410 448.094 275.241. 407.307. 293.470 950.273. 2.770.79
UPG .686 .600 995 005 .400 035 7.721
Surat/ 6.100.0 236.985 171.780. 70.500.0 5.550.0 157.830. 648.745.
Pos 00 .000 940 00 00 000 940
Lainnya/ 2.650.0 3.200.00
0 0 0 550.000 0
WA 00 0
742.430 765.436 2.390.33 1.030.66 397.541 1.587.61 6.914.03
Jumlah
.386 .150 9.935 8.005 .400 6.261 2.587
Tabel 1.3 Gratifikasi Nilai Laporan
Statistic Gratifikasi
Status Jumla
2021 2020 2019 2018 2017 2016 2015
h
Milik Negara 426 545 1.394 1.311 801 702 570 6.148
Milik Penerima 37 88 235 7 43 75 70 727
Sebagian milik
26 20 130 3 64 59 101 449
negara
Proses 369 0 53 36 55 34 4 498
Non SK 271 338 1.609 994 790 1.015 806 5.501
Lainnnya
(File/Selesai/Tidak
Input SIG/ Tidak 8 0 0 0 0 1 0 324
Proses/Dikembalikan
)
Jumlah 1.137 1.005 2.881 2.353 1.898 1.955 1.584 13.647
Tabel 1.4 Statistik Gratifikasi

Gratifikasi Berdasarkan Nilai Status Penetapan


Status Nominal Penetapan
Milik Negara-SK 1.222.537.177
Non-Milik Negara 2.019.546.972
Tabel 1.5 Gratifikasi Berdasarkan Nilai Status Penetapannya.
Pada tabel 1.2 merupakan laporan gratifikasi berdasarkan jenis barang, dengan
pelaporan menggunakan media apapun mulai dari datang langsung, e-mail, aplikasi
gratifikasi online (GOL) baik secara individu maupun dalam suatu instansi negara atau unit
pengendalian gratifikasi (UPG), melalui surat atau pos dan dapat menggunakan whatsapp
dan sejenisnya.
Sedangkan pada tabel 1.3 dapat ditinjau bahwa hal tesebut merupakan besaran yang
didapatkan berdasarkan dari hasil kalkulasi ataupun biasa dikenal sebagai hasil dalam
bentuk material uang yang didapat dalam pelaporan gratifikasi melalui media apapun
kepada KPK pada tanggal 01 Januari 2021 hingga 30 Juni 2021. Aktivitas tindak
gratifikasi yang dilaporkan terbanyak pada bulan Juni, yakni sebesar Rp 1.587.616.261
atau jika dibulatkan kurang lebih uang gratifikasi yang dilaporkan adalah Rp. 1,6 miliar.
Dan hanya dalam setengah tahun uang berdasarkan pelaporan gratifikasi yang didapat
adalah sebesar Rp 6.914.032.587,-
Dan pada tabel 1.4 menunjukkan data statistik pelaporan hal ini dibagi dengan
berdasarkan jenis kepemilikan suatu gratifikasinya atau banyaknya pelaporan
gratifkasinya. Sedangkan pada tabel 1.5 merupakan hasil nominal bersumber dari jumlah
pelaporan yang berada pada tabel 1.4, yakni sebesar kurang lebih 1,2 miliar rupiah yang
dijadikan sebagai tindak pidana gratifikasi milik negara, sedangkan 2 miliar rupiah berasal
dari dana non-milik negara.

Sedangkan berdasarkan hasil Survey menggunakan googlefrom, didapat sebagai berikut:


Pernyataan Ya Tidak
Maraknya gratifikasi dilingkungan pekerjaan 64 % 36 %
Menyaksikan tindakan gratifikasi 62 % 38 %
Memberikan imbalan seperti barang atau uang atas pelayanan yang
21 % 79 %
dilakukan di desa atau kecamatan setempat
Pemberian barang/uang terhadap pelayanan tersebut menjadi suatu
10 % 90 %
keharusan
Besaran untuk imbalan tersebut ditentukan 13 % 87 %
Tindakan gratifikasi tersebut merugikan 46 % 54 %
Melaporkan kepada pihak yang berwenang ketika melihat tindakan
28 % 72 %
gratifikasi
Menolak imbalan yang diberikan berkaitan dengan
69 % 31 %
kewajiban/pekerjaan
Makana Baran
Pernyataan Uang Diskon
n g
Pemberian/gratifikasi yang dilakukan 33 % 59 % 5% 3%
Tabel 1.6 Data Berdasarkan Survey
Responden: 39 orang dengan domisili Bandung Jawa Barat
Untuk data berdasarkan survey dapat dinyatakan bahwa suatu gratifikasi sudah
banyak dilakukan dalam berbagai instansi dan dalam berbagai tingkat golongan aparatur
negara, hal ini sering kita jumpai pada golongan kalangan pejabat ataupun dalam kawasan
pegawai pemerintahan. Hal ini bersesuaian dengan statistic tentang laporan yang
menunjukkan bahwa gratifikasi sudah marak dilakukan terlebih di kalangan pejabat atau
pegawai pemerintahan, BUMN/BUMD serta swasta dengan uang serta barang yang
digunakan dalam kegiatan tersebut. Kegiatan tersebut sudah berlangsung sejak lama dan
sudah banyak yang menyaksikan tindak gratifikasi di lingkungan tersebut. Namun,
masyarakat masih tidak melaporkan kegiatan gratifikasi yang ia saksikan kepada pihak
yang berwajib, masih banyak masyarakat yang kurang paham akan tindak gratifikasi yang
berpotensi dapat merugikan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan
sebagian besar kalangan masih menganggapnya bahwa aktivitas pemberian suatu barang
atau materi tersebut adalah sebuah hal yang wajar dan merupakan suatu hadiah atau ucapan
terimakasih dari pemberi gratifikasi kepada penerima gratifikasi tersebut.
Kegiatan gratifikasi ini sangatlah bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan dan ajaran Islam. Dalam system hukum yang berlaku sebagaimana dicantumkan
dalam Undang-Undang Pasal 12B no 20 tahun 2001 ayat 1 yang menyatakan bahwa
“setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan denan jabatannnya dan berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya”, yang berarti bahwa gratifikasi itu dilarang. Untuk gratifikasi yang nilainya Rp
10.000.00,00 (sepuuh juta rupiah) atau lebih dibuktikan bukan merupakan suap oleh
penerima gratifikasi, sedangkan untuk yang nilainya kurang dari itu dibuktikan merupakan
suap oleh penuntut umum. Dalam pasal ini juga dijelaskan mengenai sanksi yang diterima
bagi pelaku tindak gratifikasi yakni pidana seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan
paling lama 20 tahun serta untuk denda pidana minimal Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan maksimal Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sanksi ini tidak berlaku
jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantas
Korupsi (KPK) dalam periode waktu 30 hari terhitung sejak gratifikasi itu diterima.
Kemudian dalam waktu paling lambat 30 hari sejak diterimanya laporan maka KPK
menentapkan gratifikasi tersebut menjadi milik penerima atau milik negara sebagaimana
yang diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam ajaran agama Islam, adanya suatu hadiah hanya berlandaskan karena bentuk
suatu tanda ucapan terimakasih dari suatu layanan yang diberikan yang berarti juga
merupakan tindak gratifikasi dapat menimbulkan suatu bentuk anggapan adannya ketidak
amanahan atau bentuk ketidak adilan dalam suatu negara khususnya negara Indonesia ini,
mengakibatkan pengambilan kebijakan yang tidak objektif, pembengkakan biaya ekononi
hingga merugikan masyarakat secara umum. Seperti yang tertera dalam Al-Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 188 yang artinya: ”Dan janganlah Sebagian kamu memakan harta
sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (jangalah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan Sebagian dari pada harta
benda oranglain itu dengan (jalan berbuat dosa), padahal kamu mengetahui” [9] . Serta
berdasarkan Al-Qur’an surat Al Anfal ayat 27 yang artinya “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah
kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu
mengetahui”[9].
Berdasarkan dua ayat Al-Qur’an tersebut dijelaskan bahwa janganlah memakan
harta oranglain dan juga janganlah berkhianat berdasarkan amanat yang dipegang. Dengan
kata lain suatu pegawai negara sudah disumpah jabatan dengan Al-Qur’an maka janganlah
mengkhianati Allah SWT dan juga para rasul Allah SWT [10], dengan melanggar sumpah-
sumpah jabatannya dan juga janganlah mengambil harta yang bukan miliknya hanya
karena para pejabat negara tersebut sudah menjalankan tugasnnya, padahal tugas tersebut
sudah diberikan gaji tersendiri oleh negara [11]. Sehingga dari dua ayat ini sudah jelas
menunjukkan bahwa tindak gratifikasi itu tidak boleh dilakukan dan merupakan suatu
peringata agar manusia dapat mengendaikan diri dari perilaku yang menyimpang.
Selain dari A-Qur’an adapula perspektif dari hadist mengenai tindak gratifikasi,
hadist tersebut sebagai berikut.
(HR. Abu Daud: 2554)
‫َع ْن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َم ْن اْسَتْع َم ْلَناُه َع َلى َع َم ٍل َفَر َز ْقَناُه ِر ْز ًقا َفَم ا َأَخ َذ َبْع َد َذ ِلَك َفُهَو ُغ ُلول‬
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa yang kami beri jabatan
untuk mengurusi suatu pekerjaan kemudian kami berikan kepadanya suatu pemberian
(gaji), maka apa yang ia ambil setelah itu (selain gaji) adalah suatu bentuk pengkhianatan."
(H.R Ahmad: 22495)
‫َهَداَيا اْلُع َّم اِل ُغ ُلوٌل‬
“Hadiah yang diterima pejabat itu suatu kecurangan”
Dari kedua hadist diatas tersebut sangatlah menjelaskan bahwa tindakan gratifikasi
sangatlah tidak baik dan suatu tindak kecurangan atau pengkhianatan dari pejabat itu
sendiri[12]. Dan Allah sangatlah melaknat orang yang menerima suap ataupun
memberikan suatu suap. Hadiah yang diterima oleh pejabat atas layanan yang diberikan
adalah akar dari sikap tidak amanah dan tdak adil pejabat tersebut dalam menjalankan
tugasnya. Dengan demikian, segala bentuk hadiah atas dasar layanan yang diberikan
kepada pejabat harus diharamkan. Sebagaimana dalam hadist lainnya menjelaskan bahwa:
Dari Usamah Ibn Malik, Muhammad bersabda.”Hadiah (Suap) tersebut dapat
menghilangkan pendengaran, menutup hati dan juga dapat menutup pengihatan” [13].
Adapula hadist yang sangat terkenal mengenai tindak gratifikasi yang sudah ada
pada zaman Rasullullah saw. Orang yang melakukan tindak gratifikasi tersebut Bernama
Ibnu Al Lutbiyah[14], beliau adalah pegawai yang ditugaskan oleh rasulullah untuk
menarik dan juga mendistribusikan suatu zakat. Ibnu Al Lutbiyah memberitahukan kepada
rasulullah dengan membawa zakat-zakat yang dikumpulkannya seraya berkata “Ini zakat
yang dikumpulkan dan ini adalah hadiah dari pemberi zakat kepada saya (Ibnu Al
Lutbiyah)”, dan rasulullah seraya berdiri dan berkata “Jika engkau (Ibnu Al Lutbiyah)
hanya duduk-duduk saja di rumah ibu dan bapakmu sambil menunggu suatu datangnya
hadiah, apakah engkau (Ibnu Al Lutbiyah) akan diberikan suatu hadiah?”. Dan rasulullah
berkata disuatu khutbahnya pada saat setelah melaksanakan sholat yang berbunyi, “Jika
suatu pegawai diberikan suatu tugas oleh negara, kemudian datanglah dan berkata, ini
adalah hadiah untukku dan ini adalah hadiah untukmu, mengapa ia tidak duduk saja di
rumah ibu dan bapaknya, sambil menunggu suatu hadiah datang? Demi Allah yang jiwa
Muhammad ada ditangan-Nya, tidak ada pegawai yang menerima suatu hadiah, melainkan
pada hari kiamat pegawai tersebut sambil memikul beban hadiah di lehenya [15]. Jika
hadiah yang diberikan tersebut adalah seekor unta maka ia akan bersuara, dan jika hadiah
tersebut adalah seekor lembu maka ia akan menguak, dan apabila hadiah tersebut adalah
seekor kambing maka ia akan mengembik (H.R Al-Bukhari:6145) [16]. Dan nabi
Muhammad menegaskan kembali dalam suatu hadist diatas yaitu H.R Abu Daud: 2554
[15] .
Pada prinsip umum fiqh jinayah (pidana Islam), hadiah yang diberikan kepada
pejabat bukan karena factor kewajiban atau jabatannya dan diberikan oleh kerabat dekat
dengan nilai yang tidak meningkat itu tidak termasuk ghulul gratifikai, begitu pula untuk
seorang hakim. Ia tidak boleh menerima pemberian atau hadiah dari orang lain yang tidak
pernah memberi hadiah kepadanya sebelum menjabat dan juga tidak boleh menerima lagi
dalam jumlah yang sangat meningkat, hakim hanya dapat menerima hadiah dari kerabat
dekatnya saja dan kerabat tersebut sedang tidak dalam perkara. Hal ini dilakukan agar
pejabat tetap dalam amanahnya dan tidak menimbulkan perilaku korupsi dan nepotisme di
lingkungan pekerjaannya.
Dalam hal ini, penulis sudah menjelaskan mengenai gratifikasi berdasarkan dari
perspektif hukum di Indonesia dan perspektif Islam, dalam hal ini tindak tersebut
cenderung negative untuk suatu gratifikasi, tetapi gratifikasi juga memiliki kecenderungan
yang positif, yakni sebagai berikut:
1. Memberikan hadiah kepada tetangga atau keluarga yang merayakan pesta
pernikahan pembaptisan, khitanan, aqiqahan, upacara adat dan semacamnya
dan memberikan suatu tanda kasih paling banyak sebesar Rp 1.000.000,00
(Satu Juta Rupiah). Dengan atas dasar rasa toleransi sesama saudara.
Seperti hadist yang tertera dibawah ini.
(HR Al Tirmidzi)
“Hendaknya kalian saling memberi hadiah karena hadiah dapat menghilangkan
kebencian yang ada dalam dada. Janganlah seseorang Wanita meremehkan arti
suatu hadiah yang ia berikan kepada tetangganya, walau hanya berupa kikil
(kaki) kambing” [13].
Hadist tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hadiah adalah suatu
yang bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan antara sesama muslim
dengan saling memberi dan mengasihi dengan sesama [17]. Dalam konteks ini
memberi yang dimaksud adalah dalam konteks sosial tanpa adanya maksud
terselubung dalam memberikan hadiah. Karena pemberian ini hanya bertujuan
untuk perdamaian, rasa cinta, dan penghargaan antar sesama umat islam yang
sudah menjadi suatu budaya di Indonesia ini [18].
2. Membantu suatu saudara ketika mendapatkan musibah atau bencana juga
merupakan tindakan gratifikasi yang mengarah pada sisi positif. Hal tersebut
dikarenakan seorang muslim wajib membantu sesama muslim lainnya yang
sudah dijelaskan pula oleh Allah SWT dalam firmannya di Al-Quran surat Al –
Maidah ayat 2, yang menjelaskan Allah SWT menyuruh semua hambanya
untuk saling tolong menolong dalam suatu tindakan kebaikan karena
sesungguhnya siksaan Allah sangat berat jika melakukan tindakan tercela.
Pemberian bantuan untuk keluarga atau saudara yang merupakan pegawai
negara atau penyelenggara negara paling besar adalah Rp 1.000.000,00 (Satu
Juta Rupiah).
3. Dan juga yang lazim untuk pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah
dilakukannya permberian atau cendramata untuk pegawai yang pensiun, pindah
kerja atau mutase, promosi jabatan dan sejenisnya, hal tersebut diperbolehkan
dengan barang atau sejenisnya dan jika dinominalkan paling banyak sebesar Rp
300.000,00 (Tiga Ratus Ribu Rupiah) per orang.
4. Jamuan atau sajian yang umum sering dilakukan kesesama rekan kerja.
Sehingga pemberian atau tindakan gratifikasi tersebut didasarkan pada tujuan, jika
tujuannya untuk membantu sesama atau menjalin silaturahmi maka gratifikasi tersebut
diperbolehkan, dan sebaliknya jika suatu pemberian atau suatu tindakan gratifikasi
mengarah pada hubungan jabatannya atau berkaitan dengan jabatannya, maka penerima
wajib untuk menolaknya. Jika tidak bisa menolak karena yang menerima adalah keluarga
dirumah ketika pegawai negara atau menyelenggara melakukan tugas diluar, maka
penerima tersebut wajib melaporakn kepada pihak yang berwajib, dalam konteks ini pihat
tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang paling lambat pengembalian
atau pelaporan tersebut 30 hari kerja setelah menerima suatu pemberian tersebut, jika
melewati waktu itu, maka penerima bisa dikatagorikan sebagai menerima suap oleh
penuntut umum.
Aktivitas gratifikasi ini juga tidak betujuan untuk menghilangkan atau menghapus
kebiasaan atau kebudayaan orang Indonesia yang sering memberi hadiah kesesamanya
dalam konteks berterima kasih. Tetapi gratifikasi ini betujuan untuk membersihkan nilai
budaya agar tidak ditunggangi oleh kepentikan para pihak-pihak yang melakukan tindakan
suap-menyuap atau bahkan tindakan korupsi. Karena pada saat ini, gratifikasi semakin
tumbuh subur di lingkungan yang tidak berprinsip baik.
Dan untuk suatu tindak gratifikasi islampun menawarkan solusi untuk mencegah
terjadinya gratifikasi dengan prinsip sadd adz-dzariah yaitu jika suatu perbuatan dapat
menimbulkan dampak negatif maka perbuatan tersebut harus dilarang secara total [19].
Mengutip berdasarkan an-Nawawi dalam syarah muslim, dalam pandangannya, hukum
menerima tindak gratifikasi adalah haram meskipun minimalnya kecil. Mengutip [10],
melihat dari sudut padang hukum agama Islam, Langkah-langkah dalam memberantasan
suatu tindak gratifikasi yang harus dilakukan, yakni sebagai berikut :
1. Memaksimalkan Hukuman bagi yang melakukan tindakan tersebut,. Pada
pandangan hukum agama Islam, memiliki dua asas utama yang dapat menjadi
sandaran hukum, yakni pengajaran (deterrence) dan suatu tindak ganti rugi atau
balasan [20]. Tetapi dalam menetapkan suatu hukuman bagi seorang hakim harus
melihat dari sudut pandang pelaku, keadaan sekitar dan juga kesejahteraan
masyarakat.
2. Penegakkan suatu hukuman bagi perundangan agama Islam, tegaknya hukum
didorong dari beberapa factor yaitu, peradilan yang bebas tanpa ada campur tangan
dari Lembaga eksekutif dan Amanah yaitu menjadi seorang hakim itu adalah suatu
Amanah Allah SWT [21] yang membuat suatu hakim harus meminta ridho-Nya
dalam segala keputusan.
3. Perubahan dan menambah baikan suatu system, perubahan sistem ini baik dalam
hukum di Negara maupun system dalam melakukan birokrasi dalam
pemerintahannya [22].
4. Pemantapan pemahaman dalam hukum untuk tindak gratifikasi, karena masih
banyak masyarakat yang kurang tahu dalam suatu tindak gratifikasi baik secara
hukum negara maupun agama, [23] hal tersebut pula yang menyebabkan adanya
tindak gratifikasi.
5. Keteladanan dalam suatu pemimpin, karena rakyat akan melihat suatu pemimpin
untuk dicontoh atau menjadi cerminan bagi rakyatnya, jika pemimpin disuatu
negara bersih dari Tindakan tercela [24] atau tindak gratifikasi dan sejenisnya maka
rakyatpun akan segan dalam melakukan Tindakan tercela.
6. Perubahan budaya, karena suatu Tindakan yang sudah menjadi suatu budaya bagi
masyarakat Indonesia, maka sebaiknya budaya tersebut dirubah atau bahkan
dihilangkan untuk kebaikan suatu negara tersebut [25] .

Konsekuensi hukum bagi penerima gratifikasi adalah melaporkan kepada pihak


yang berwenang yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melaporkan selambat-
lambatnya tiga puluh hari setelah penerimaan gratifikasi [26], menetapkan selambat-
lambatnya tiga puluh hari setelah penerimaan laporan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) untuk mengetahui lebih lanjut barang atau uang yang dijadikan suatu gratifikasi
apakah milik dari negeri atau milik dari pemberi/penerima, dan semua itu ditetapkan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) [27]. Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi
maka penerima gratifikasi akan mendapatkan hukuman pidana [28]. Semua penanganan
tindak gratifikasi jika terbukti melakukan tindak gratifikasi maka dapat dikatakan orang
tersebut menerima suap atau masuk kedalam katagori korupsi [29], maka yang berwenang
dalam menyelidiki sampai pemberian tuntutan adalah Lembaga Komisi Pemberantasan
Korupsi dan dilanjut sidang mengadilan dilakukan oleh hakim [30].
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu tidak gratifikasi
sangatlah dilarang atau tidak diperbolehkan baik dari perspektif agama maupun negara.
Negara menyebutkan bahwa suatu tindak gratifikasi adalah bentuk dari suap yang tertunda
atau suap terselubung, yang merupakan bentuk dari akar dari suatu tindak korupsi.
Begitu pula dalam perspektif agama (Islam), tindakan gratifikasi sudah ada pada
zaman rasulullah saw yang dilakukan oleh Ibnu Al Lutbiyah, yang melakukan tindakan
gratifikasi sebagai pegawai zakat [31] . Tindakan gratifikasi juga merupakan tindakan yang
dapat membuat suatu negara tidak amanah dan juga tidak adil kepada semua rakyatnya,
tetapi karena kekurangtahuan masyarakat terhadap tindakan gratifikasi membuat suatu
tindakan tersebut dimaklumi bahkan dijadikan hal yang dibolehkan saja. Mungkin
masyarakat masih keliru dalam memahami pemberian hadiah kepada sesama muslim
sebagai bentuk silaturahim dan juga hadiah kepada pegawai atau pejabat negara, hal
tersebut harus ada tindak lanjut dari negara sendiri untuk suatu mengadakan seminar atau
sosialisasi mengenai gratifikasi tersebut sebagai akar korupsi, untuk mengenalkan
gratifikasi secara detail agar masyarakat paham mulai dari definisi, sanksi dan
pengendalian atau pencegahan yang harus dilakukan juga agar para generasi bangsa tidak
terjerumus dalam tindakan gratifikasi ini.

Referensi
[1] D. Rofifah, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Gratifikasi,” Pap.
Knowl. . Towar. a Media Hist. Doc., pp. 12–26, 2020.
[2] “KORUPSI DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM Oleh: Amelia*,” Amelia, pp.
61–87, 2010.
[3] KPK, “Membangun Budaya Anti Gratifikasi,” Pengenalan Gratifikasi, p. 4, 2020,
[4] Lisa Nazifah, “Strategi Menyikapi Gratifikasi Pegawai Negeri Sipil Strategy To
Respond Gratification By Identifying Gift- Giving To Government Employee,” J.
Inov. Apar., vol. 1, no. 2, pp. 47–58, 2019, [Online]. Available: http://ejournal-
bpsdm.jakarta.go.id/index.php/monas/article/download/9/6.
[5] Firdaus, “Akar Rumput Korupsi Di Indonesia : Sebuah Perspektif Islam Grassroot of
Corruption of Indonesia : an Islamic Perspective,” MENARA Ilmu, vol. XV, no. 02,
pp. 40–50, 2021.
[6] Siti Fatimah, “Korupsi: Menelusuri Akar Persoalan dan Menemukan Alternatif
Pemecahannya,” J. Demokr., vol. 9, no. 2, 2005, [Online]. Available:
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/view/1197/1031.
[7] “Statistik Gratifikasi,” p. 2021, 2021.
[8] “KEBIJAKAN FORMULASI MENGENAI GRATIFIKASI DALAM UNDANG-
UNDANG KORUPSI DAN PENERAPAN HUKUMNYA.pdf.” .
[9] S. M. Hafit, “HADIAH DAN GRATIFIKASI DALAM AL QUR’AN (Perspektif
Tafsir Al Azhar),” 2020, [Online]. Available:
http://repository.radenintan.ac.id/id/eprint/12579.
[10] A. K. Ali, “GRATIFIKASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI
INDONESIA DAN SOLUSINYA MENURUT ISLAM Gratification in the
Perspective of Positive Law in Indonesia and the Solution According to Islam,” vol.
24, no. 2, pp. 179–206, 2016.
[11] Fathullah Luthi A.2014.40 HAdis Mudah Dihadal Sunad dan Matan.Jakarta : Al-
Mughni Press .
[12] W. Ryan, “KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TENTANG
GRATIFIKASI PERSPEKTIF I ḤTIYĀT,” vol. 3, no. 1, pp. 87–101, 2019.
[13] S. ’Abdul-M. bin H. A.-’Abbad Al-Badr, “Penjelasan 50 Hadis Inti Ajaran Islam:
Terjemah Kitab Fat-hul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba’in wa Tatimmatul
Khamsin,” pp. 1–182, 2012.
[14] M. Nasir, “Analisis Saddu Z | ari > ’ ah dalam Mencegah Gratifikasi,” vol. 1, no.
Oktober, pp. 91–104, 2020.
[15] T. Andiko, “Sanksi bagi Pemberi dan Penerima Gratifikasi Perspektif Hukum
Pidana Islam,” J. QIYAS, vol. 1, no. 1, pp. 117–132, 2016.
[16] J. Hidayat et al., “( Tinjauan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif ),”
2014.
[17] Budiono Arif.2019. SUAP DALAM AL-QUR'AN DAN RELEVANSINYA
DENGAN GRATIFIKASI DI INDONESIA.Gresik : Institut Keislaman Abdullah
Faqih.
[18] Setiadi Wicipto.2018.KORUPSI DI INDONESIA (Penyebab,Bahaya,Hambatan dan
Upaya Pemberatasan,Serta Regulasi).Jakarta :Fakultas Hukum Universitas
Pembangunan Nasional (UPN).
[19] Suma Amin M.2009. AHKAM: Jurnal Ilmu-Ilmu Syariah dan Hukum Volume
11.Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hiclayaullah
[20] Saldi Rafli.2017.Analisis Korupsi dan Dampaknya. Makassar :UIN Alauddin
Makassar
[21] S. Diajukan, M. Sebagian, S. Guna, M. Gelar, S. Sosial, and J. M. Dakwah,
“Universitas Islam Negeri Walisongo,” no. 105, pp. 1–17, 2018.
[22] N. A. Ustadzah, “Yogyakarta 2020,” no. 18913053, pp. 1–66, 2020.
[23] J. Fiqh, A. P. Islam, J. Fiqh, A. P. Islam, and A. Karim, “Al-Risalah Fazzan
Zulqarnain,” vol. 16, no. 1, pp. 1–18, 2016.
[24] “View of Korupsi Berjamaah_ Konsensus Sosial atas Gratifikasi dan Suap.pdf.” .
[25] S. Ahmad, M. Journal, F. A. I. Universitas, and U. Bogor, “AHMAD di Jurnal
Mizan Korupsi dan.”
[26] K. P. Korupsi, S. Adi, and P. Intan, “BAB I,” pp. 360–398, 1998.
[27] Warsidin.2020.Rekonstruksi Pengaturan Gratifikasi Dalam Tindah Pidana Korupsi
Berbasis Nilai Keadilan Yang Bermartabat. Semarang : Universitas Islam Sultan
Agung.
[28] A. Mahyani, “Jurnal Hukum Magnum Opus Februari 2019 Volume 2, Nomor 1
Ahmad Mahyani,” vol. 4, pp. 47–54, 2019.
[29] Prasetia Rezawan E.M.2014. Sistem Pembuktian Terbaik Dalam Pembuktian
Perkara Gratifikasi. Karanganyar : Gondangrejo
[30] P. Sengketa and M. Mediasi, “Fakultas Hukum , Universitas pasundan Abstrak,” no.
20, p. 2017, 2016.
[31] M. Fadhil, “Pendidikan Agama Islam, Internalisasi Nilai-Nilai Anti Korupsi Dan
Pencegahan Tindak Pidana Korupsi,” J. Res. Thought Islam. Educ., vol. 2, no. 1, pp.
44–60, 2019, doi: 10.24260/jrtie.v2i1.1229.

Anda mungkin juga menyukai