A. Identitas
Satuan Pendidikan : SMK Telkom Terpadu AKN Marzuqi
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/ Semester : XI/ Gasal
Materi Pokok : Cerpen
Pertemuan ke :2
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
B. Kompetensi Inti
KI 1 Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
KI 2 Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja
sama, toleran, damai), santun, responsif, dan pro-aktif sebagai bagian dari solusi atas
berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial
dan alam serta menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
KI 3 Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual,
ceramah, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan,
kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta
menerapkan pengetahuan eksplanasial pada bidang kajian yang spesifik sesuai
dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.
KI 4 Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait
dengan pengembangan diri yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, bertindak
secara efektif dan kreatif, serta mampu menggunakan metoda sesuai kaidah
keilmuan.
C. Kompetensi Dasar dan Indikatir Pencapaian Kompetensi
Kompetensi Dasar (KD) 3 Kompetensi Dasar (KD) 4
3.8 Mengidentifikasi nilai-nilai 4.8 Mendemonstrasikan salah satu nilai
kehidupan yang terkandung dalam kehidupan yang dipelajari dalam
kumpulan cerita pendek yang dibaca cerita pendek
D. Tujuan Pembelajaran
Melalui kegiatan pembelajaran dengan pendekatann pedagogik genre, saintifik, dan CLIL
dengan model saintifik peserta didik dapat memahami informasi tentang nilai-nilai
kehidupan dalam teks cerita pendek, menemukan nilai-nilai kehidupan dalam cerita
pendek,menentukan nilai kehidupan dalam teks cerita pendek, dan mendemonstrasikan
nilai kehidupan dalam teks kehidupan
Materi Pembelajaran
Fakta : Ceramah
Konsep : Pengertian ceramah
Prinsip : Nilai-nilai kehidupan cerita pendek.
Prosedur : Memahami nilai-nilai dalam cerita pendek.
E. Pendekatan/ Metode Pembelajaran
1. Pendekatan Pembelajaran
Saintifik
2. Metode Pembelajaran
Discovery Learning, Project Based Learning
F. Media/ Alat/ Bahan Pembelajaran
1. Media/ alat pembelajaran
Worksheet atau lembar kerja siswa
Lembar penilaian
Cetak : buku, modul
2. Bahan pembelajaran
Teks cerpen yang berjudul “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis.
G. Sumber Belajar
Suherli, dkk. 2017. Buku Siswa Bahasa Indonesia Kelas XI Revisi Tahun 2017. Jakarta:
Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.
Suherli, dkk. Buku Guru Bahasa Indonesia Kelas XI Revisi Tahun 2017. Jakarta: Pusat
Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.
Kosasih, E. 2014. Cerdas Berahasa Indonesia SMA/MA/SMK Kelompok Wajib. Jakarta :
Airlangga.
H. Langkah-Langkah Pembelajaran
Pertemuan Pertama
Indikator :
Memahami informasi tentang nilai-nilai kehidupan dalam teks cerita pendek.
Menemukan nilai-nilai kehidupan dalam cerita pendek.
Catatan Guru
Catatan Pengawasan
LAMPIRAN 2 MATERI
Materi Konseptual (Pertemuan ke-1)
A. Pengertian Cerpen
Cerita pendek (cerpen) adalah cerita yang menurut wujud fisiknya berbentuk pendek.
Ukuran panjang pendeknya suatu cerita memang relatif. Namun, pada umumnya cerpen
merupakan cerita yang habis dibaca sekitar sepuluh menit atau setengah jam. Jumlah
katanya sekitar 500-5000 kata. Oleh karena itu, cerpen sering diungkapkan dengan cerita
yang dapat dibaca dalam sekali duduk. Cerita pendek juga umumnya bertema sederhana.
Jumlah tokohnya terbatas. Jalan ceritanya sederhana dan latarnya meliputi ruang lingkup
yang terbatas.
Untuk memahami isi suatu cerpen, termasuk nilai-nilai yang ada di dalamnya, kita
sebaiknya mengawalinya dengan sejumlah pertanyaan. Dengan demikian, pemahaman kita
terhadap cerpen itu akan lebih terfokus dan lebih mendalam. Pertanyaan-pertanyaan itu
dapat dikelompokkan yakni mulai dari pemahaman literal, interpretatif, intergratif, kritis,
dan kreatif. Untuk itu, kita pun dapat mengujinya dengan sejumlah pertanyaan seperti
berikut.
1. Pertanyaan literal
a. Di mana dan kapan cerita itu terjadi?
b. Siapa saja tokoh cerita itu?
2. Pertanyaan interpretatif
a. Apa maksud tersembunyi di balik pernyataan tokoh A?
b. Bagaimana makna lugas dari perkataan tokoh B?
3. Pertanyaan integratif
a. Bercerita tentang apakah cerpen di atas?
b. Apa pesan moral yang hendak disampaikan pengarang dari cerpennya itu?
4. Pertanyaan kritis
a. Ditinjau dari sudut pandang agama, bolehlah tokoh C berbohong pada tokoh A?
b. Apa kelebihan dan kelemahan cerpen itu berdasarkan aspek kebahasaan yang
digunakannya?Pertanyaan kreatif
5. Pertanyaan kreatif
a. Bagaimana sikapmu apabila berposisi sebagai tokoh A dalam cerpen itu?
b. Bagaimana kira-kira kelanjutan cerpen itu seandainya tokoh utamanya tidak
B. Fungsi Cerita Pendek
Cerita pendek termasuk ke dalam genre cerita atau naratif fiksional, seperti halnya
anekdot. Keberadaannya lebih pada kepentingan memberi kesenangan untuk para
pembacanya. Meski demikian, cerita pendek juga tidak terlepas dari kehadiran nilai-nilai
tertentu di balik kisah yang mungkin mengharukan, meninabobokan, mencemaskan, dan
yang lainnya itu. Sebuah cerpen sering kali mengandung hikmah atau nilai yang bisa kita
petik di balik perilaku tokoh ataupun di antara kejadian-kejadiannya. Hal ini karena cerpen
tidak lepas dari nilai-nilai agama, budaya, sosial, ataupun moral.
1) Nilai-nilai agama berkaitan dengan perilaku benar atau salah dalam menjalankan
aturan-aturan Tuhan.
2) Nilai-nilai budaya berkaitan dengan pemikiran , kebiasaan, dan hasil karya cipta
manusia.
3) Nilai-nilai sosial berkaitan dengan tata laku hubungan antara sesame manusia
(kemasyarakatan).
4) Nilai-nilai moral berkaitan dengan perbuatan baik dan buruk yang menjadi dasar
kehidupan manusia dan masyarakatnya.
Memaknai atau menggali nilai-nilai tersebut kadang-kadang tidak mudah. Kita perlu
meresapi bagian demi bagian ceritanya secara lebih intensif, tidak sekadar menikmatinya
sebagai sarana penghibur diri.
Fungsi cerita pendek, yaitu : (1) menulis cerpen akan membantu menemukan siapa diri
kita; (2) menulis cerpen akan membantu menumbuhkan rasa percaya diri; (3) dapat
mengenal pendapat diri sendiri yang ada dalam tulisan; (4) menjadi seorang yang selalu
maju; (5) menulis cerpen akan membantu meningkatkan kreativitas dan ilmu pengetahuan;
(2) dapat berbagi pengalaman dengan orang lain, dan; (7) membantu menyalurkan emosi.
Untuk menemukan keberadaan suatu nilai dalam cerpen, kamu dapat mengajukan
sejumlah pertanyaan, misalnya, sebagai berikut.
1. Mengapa tokoh A mengatakan hal itu berkali-kali?
2. Mengapa latar cerita itu di sekolah dan pada sore hari?
3. Mengapa pengarang membuat jalan cerita seperti itu?
4. Mengapa seorang tokoh dimatikan sementara yang lain tidak?
C. Menentukan Nilai-Nilai Kehidupan dalam Teks Cerita Pendek
a. Manfaat cerita pendek.
Manfaat yang langsung dapat kita rasakan adalah bahwa cerpen memberikan
hiburan atau rasa senang. Kita memperoleh kenikmatan batin dengan membaca cerpen.
Dengan membacanya, solah-olah kita menjalani kehidupan bersama tokoh-tokoh
dalam cerpen itu. Ketika tokoh utamanya mengalami kesenangan, kita pun turut
senang; ketika mengalami kegetiran hidup, kita pun turut sedih ataupun kecewa. Selain
itu, dengan membaca suatu cerpen, kita bisa belajar tentang kehidupan kita bisa lebih
bijak dalam menghadapi beragam peristiwa yang mungkin pula kita hadapi. Misalnya,
dengan adanya tokoh yang bersikap angkuh, kita menjadi tahu bahwa sikap itu sering
menimbulkan ketersinggungan bagi pihak-pihak tertentu. Pelakunya sendiri menjadi
orang yang dijauhi orang lain. Sikap rendah hati ternyata mudah mengundang simpati.
Peduli pada orang lain, dalam sekecil apa pun bantuan yang diberikan, ternyata
menjadi sesuatu yang benar-benar berharga bagi orang yang membutuhkan.
Pernahkah kau merasakan sesuatu yang biasa hadir mengisi hari-harimu, tiba-
tiba lenyap begitu saja. Hari-harimu pasti berubah jadi pucat pasi tanpa gairah. Saat
kau hendak mengembalikan sesuatu yang hilang itu dengan sekuat daya, namun tak
kunjung tergapai. Kau pasti jadi kecewa seraya menengadahkan tangan penuh harap
lewat kalimat doa yang tak putusputusnya. Bukankah kau jadi kehilangan kehangatan
karena tak ada helai-helai sinar ultraviolet yang membuat senyumnya begitu ranum
selama ini. Matahari bagimu tentu tak sekadar benda langit yang memburaikan
kemilau cahaya tetapi sudah menjadi sebuah peristiwa yang menyatu dengan ragamu.
Bayangkanlah bila matahari tak terbit lagi. Tidak hanya kau tapi jutaan orang
kebingungan dan menebar tanya sambil merangkak hati-hati mencari liang langit,
tempat matahari menyembul secara perkasa dan penuh cahaya.(Cerpen “Matahari Tak
Terbit Pagi Ini”, Fakhrunnas M.A. Jabar.
Cuplikan cerpen di atas menggambarkan begitu berartinya kehadiran seseorang
ketika ia tidak ada lagi di sisi kita. Kita rasakan begitu sulit untuk menghadirkannya
kembali, bahkan sesuatu yang sangat tidak mungkin. Semua orang pasti akan atau
pernah mengalami keadaan seperti yang digambarkan dalam cerita itu. Hanya sosok
dan peristiwanya akan berbeda-beda. Dari gambaran seperti itu ada pelajaran yang
sangat penting bahwa kehadiran seseorang di tengah-tengah kita adalah sebuah berkah
yang harus selalu disyukuri. Kalaulah dia sudah tidak hadir lagi, maka gantinya adalah
kesedihan, penyesalan, bahkan ratapan yang menyayat.
“Kalau ada, mengapa biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya
semua? Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu
mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling
memeras. Aku beri engkau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka
beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.
Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana
engkau bisa beramal kalau engkau miskin? Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk
disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembah-Ku saja.
Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka! Hai malaikat, halaulah mereka ini kembali
ke neraka. Letakkan di keraknya.
”Semuanya jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka
sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. (Cerpen “Robohnya Surau Kami”, A.A.
Navis)
Cuplikan cerpen itu merupakan sindiran yang bisa jadi mengena pada setiap
kalangan, dalam kehidupan sehari-hari mereka. Orang-orang yang hanya
mengutamakan ibadah ritual dan mengabaikan persoalan-persoalan sosial
(kemanusiaan) menjadi objek sindiran dalam cuplikan cerpen tersebut. Sindiran seperti
itu boleh jadi lebih mengena daripada dengan menggurui langsung tentang kesadaran-
kesadaran keberagamaan yang benar.
D. Contoh Cerpen
Robohnya Surau Kami
oleh A.A. Navis
Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di neraka itu banyak temannya di dunia
terpanggang panas, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan keadaan
dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka tak kurang ibadatnya dari dia sendiri.
Bahkan, ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar Syeh
pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, lalu bertanya kenapa mereka di neraka semuanya.
Akan tetapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun tak mengerti juga.
“Bagaimana Tuhan kita ini?” kata Haji Saleh kemudian.
“Bukankah kita disuruh-Nya taat beribadah, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan
selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan ke neraka.”
“Ya. Kami juga berpendapat demikian. Tengoklah itu, orang-orang senegeri kita semua, dan tak
kurang ketaatannya beribadat.”
“Ini sungguh tidak adil.”
“Memang tidak adil,” kata orang-orang itu mengulangi
ucapan Haji Saleh.
“Kalau begitu, kita harus minta kesaksian kesalahan
kita. Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau ia silap memasukkan kita ke neraka ini.”
“Benar. Benar. Benar,” sorakan yang lain membenarkan
Haji Saleh. “Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan- Nya, bagaimana?” suatu suara
melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Saleh.
“Apa kita revolusikan juga?” tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin
gerakan revolusioner.
“Itu tergantung pada keadaan,” kata Haji Saleh. “Yang penting sekarang, mari kita
berdemonstrasi menghadap Tuhan.”
“Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,” sebuah suara
menyela.
“Setuju! Setuju! Setuju!” mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu, mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan. Dan Tuhan bertanya, “ Kalian
mau apa?”
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang
menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonya.
“O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling
taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut
nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya.
Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun membacanya. Akan tetapi,
Tuhanku yang Mahakuasa, setelah kami
Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang
tidak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar
hukuman yang Kau jatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke sorga
sebagaimana yang Engkau janjikan dalam kitab-Mu.”
“Kalian di dunia tinggal di mana?” tanya Tuhan.
“Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.”
“O, di negeri yang tanahnya subur itu?”
“Ya. Benarlah itu, Tuhanku.”
“Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang
lainnya, bukan?”
Robohnya Surau Kami.
“Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami,” mereka mulai menjawab serentak.
Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka
sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada
mereka itu.
“Di negeri, di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?”
“Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.”
“Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat itu?”
“Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.”
“Negeri yang lama diperbudak orang lain itu?” “Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah
penjajah itu, Tuhanku.”
“Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya dan diangkutnya ke negerinya, bukan?”
“Benar Tuhanku, hingga kami tidak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.”
“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil
tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?”
“Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu, kami tak mau tahu. Yang penting bagi
kami ialah menyembah dan memuji Engkau.”
“Engkau rela tetap melarat, bukan?”
“Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.”
“Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?”
“Sungguhpun anak cucu kami melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab- Mu mereka
hafal di luar kepala belaka.”
“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya,
bukan?
“Ada, Tuhanku.”
“Kalau ada, mengapa biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua? Sedang
harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau
lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri engkau
negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak
mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya
beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin? Engkau
kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan
menyembah-Ku saja.
Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka! Hai malaikat, halaulah mereka ini kembali
ke neraka. Letakkan di keraknya.”
Semuanya jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan
yang diridai Allah di dunia.
Tetapi Haji Saleh ingin juga kepastian, apakah yang dikerjakannya di dunia ini salah atau
benar. Tetapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan, ia bertanya saja pada
malaikat yang menggiring mereka itu.
“Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?” tanya
Haji Saleh.
“Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu
sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, hingga mereka itu kucar-kacir selamanya.
Itulah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum,
bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”
Demikian cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi
menjenguk.
“Siapa yang meninggal?” tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang ngeri sekali. Ia
menggorok lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya melangkah secepatnya meninggalkan istriku
yang tercengang-cengang.
Aku mencari Ajo Sidi ke rumahnya. Tetapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya
dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi. “Tidak ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan
Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana dia?”
“Kerja.” “Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya. Dia pergi kerja.”***
1. Nilai kehidupan yang dapat dipetik dari penggalan cerpen di atas adalah ...
a. Jangan beribadah saja agar tak hidup di kerak neraka,
b. Terhindar dari kemelaratan adalah jalan lain dari beribadah
c. Tuhan lebih menyukai banyak ornag yang beribadah daripada bekerja.
d. Hidup tidak cukup beribadah, tapi juga bekerja untuk penghidupan.
e. Membiarakan diri sendiri teraniaya karena harta kita diberikan kepada orang lain.
2. Nilai moral teks tersebut memuiliki latar belakang di biadang ....
a. religi
b. sosial
c. politik
d. lingkungan
e. masyarakat
Perhatikan kedua kutipan cerpen berikut!
Padahal Bu Geni Tidak selalu menyenagkan suaranya keras dan membuat
pendengarannya panas. “ Ini anak sudah hamil. Kenapa engkau sembunyikan? Kenapa
malu? Mempunyai anak bisa hamil itu anugrah bukan ditutup-tutupi. Bukan dipencet-
pencet dengan kain. Itu kan anak kamu sendiri.”
3. Sudut pandang yang digunakan pada penggalan cerpen di atas adalah ...
a. Sudut pandang campuran.
b. Sudut pandang orang ke-3 terbatas.
c. Sudut pandang orang ke-3 serba tahu.
d. Sudut pandang orang pertama pelaku utama.
e. Sudut pandang orang pertama pelaku sampingan.
4. Penggambaran watak tokoh pada cerita di atas dilakukan melalui ... .
a. uraian langsung
b. tingkah laku tokoh
c. situasi sekitar tokoh
d. dialaog antar tokoh
e. pikiran yang terlintas
B. URAIAN
Bacalah teks di bawah ini dengan seksama, untuk mengerjakan soal no 1
Antara Sahabat dan Ego
Pagi itu tampak seperti hari-hari biasanya dengan langit biru cerah yang menutupi
kampus ini. Hari itu aku ada kelas yang harus aku ikuti. Ketika aku memarkirkan motorku,
suara yang sudah tak asing lagi bagiku menghampiri telingaku, "Hei bro gimana kabar hari
ini?” Dia adalah Rengga sahabat baikku kaena kami telah berteman sejak SMA. Rengga
adalah orang yng sangat supel dalam bergaul dan sangat ramah oleh karena itu dia memiliki
teman yang sangat banyak dikampus, berbeda denganku yang sedikit cuek dan dingin. “Baik
bro!” jawabku sambil merangkul pundaknya. Kami berduapun berlalu menuju kelas kami
yang akan segera dimulai 15 menit lagi.
Sesampainya di kelas kami berdua berpisah. Aku mengambil tempat duduk yang paling
belakang. Sedangkan Rengga memilih bangku yang paling depan, tak heran karena dia
adalah anak yang pintar dan disenangi oleh setiap dosen. “Hey ga, bagaimana tugas
kelompok kita?” Andi yang merupakan teman sekelas ku menghampiri Rengga dan
menayainya. “Aku belum menyelesaikannya, bagaiman jika kita selesaikan hari ini?” jawb
Rengga. “Baiklah kalau begitu kita selesaikan di kostku selepas kelas ini” Andi menimpali.
Setelah kelas usai, kami semua meninggalkan kelas dengan wajah yang gembira.
Termasuk aku yang sedari tadi ingin segera keluar dan menuju kantin. Ketika aku ingin pergi
ke kantin, Rengga dan Andi menahanku. “Eitt, mau kemana? ingat tugas kelompok kita
gak?” kata Andi. “Tugas lagi tugas lagi kalian berdua kan bisa menyelesaikannya,” jawabku
sedikit kesal. Mendengar jawabanku, Rengga merasa kesal dia pun sedikit membentakku,
“Kau harus lebih bertanggung jawab sedikit akan tugasmu, jangan seperti ini!” “Aku tidak
peduli!” Rengga semakin marah kepadaku, mungkin ini adalah kemarahannya yang terbesar
semenjak kami berteman. “Kau sendiri kan bisa menyelesaikannnya, kau akan si pintar
sedangkan aku si bodoh!” “Kenapa kau berbicara seperti itu? ada apa denganmu? kau seperti
bukan teman yang aku kenal!” jawab Rengga dengan nada tinggi. “Baiklah kalu begitu,
anggap saja aku bukan orang yang kau kenal!” kami berdebat cukup lama. Andi yang sejak
tadi terdiam pun mulai berbicara karena suasana semakin memanas. “Kalian berdua hentikan,
Jangan berbicara seperti itu. Kalian berdua kan sahabat sejati” Andi melerai dan menasehati
kami. Aku yang sudah tidak peduli dengan itu semua pergi meninggalkan mereka berdua
dengan emosi yang masih membara.
Saat aku hendak mengambil motorku yang ku parkirkan di seberang, tiba-tiba sebuah
motor yang melaju kencang menabrakku dari belakang. Aku pun terjatuh dan tak sadarkan
diri. Cukup lam aku pingsan dan ketika terbangun aku tubuhku penuh dengan luka dan
perban. Ketika itu juga aku melihat Rengga dan Andi di sampingku. “Apa kau baik-baik
saja?” Tanya Rengga. “Iya aku baik!” jawabku dengan penuh sesal. Aku pun meminta maaf
kepada Rengga dan Anda atas tingkahku hari ini dan berjanji akan lebih bertanggung jawab
atas kewajibanku. Untung saja Rengga mau memaafkanku dan kami berdua kembali
berteman.
(AN)
Bacalah teks di bawah ini dengan seksama, untuk mengerjakan soal no 2-5
MBOK JAH
Oleh Umar Kayam
Sudah dua tahun, baik pada Lebaran maupun Sekaten, Mbok Jah tidak “turun gunung”
keluar dari desanya di bilangan Tepus, Gunung Kidul, untuk berkunjung ke rumah bekas
majikannya, keluarga Mulyono, di kota. Meskipun sudah berhenti karena usia tua, dan capek
menjadi pembantu rumah tangga, Mbok Jah tetap memelihara hubungan yang baik dengan
seluruh anggota keluarga itu. Dua puluh tahun telah dilewatinya untuk bekerja sebagai
pembantu di rumah keluarga yang sederhana dan sedang-sedang saja kondisi ekonominya itu.
Gaji yang diterimanya tidak pernah tinggi. Cukup saja. Tetapi, perlakuan yang baik dan
penuh tepa selira dari seluruh keluarga itu telah memberinya rasa aman, tenang, dan
tenteram. Buat seorang janda yang sudah setua itu, apakah yang dikehendaki lagi selain atap
untuk berteduh dan makan serta pakaian yang cukup. Lagi pula anak tunggalnya yang tinggal
di Surabaya dan menurut kabar hidup berkecukupan, tidak mau lagi berhubungan
dengannya. Tarikan dan pelukan isteri dan anak-anaknya rupanya begitu erat melengket
hingga mampu melupakan ibunya sama sekali. Tidak apa, hiburnya.
Di rumah keluarga Mulyono ini, dia merasa mendapat semuanya. Tetapi, waktu dia
mulai merasa semakin renta tidak sekuat sebelumnya – Mbok Jah merasa dirinya menjadi
beban keluarga itu. Dia merasa butuh tumpangan gratis. Dan harga dirinya memberontak
terhadap keadaan itu. Diputuskannya untuk pulang saja ke desanya.
Dia masih memiliki warisan sebuah rumah desa – yang meskipun sudah tua dan tidak
terpelihara – akan dapat dijadikannya tempat tinggal di hari tua. Dan jugategalan barang
sepetak dua petak masih juga ada. Pasti semua itu dapat diaturnya dengan anak jauhnya di
desa. Pasti mereka semua dengan senang hati akan menolongnya mempersiapkan semua itu.
Orang desa semua tulus hatinya. Tidak seperti kebanyakan orang kota, pikirnya. Sedikit-
sedikit duit, putusnya.
Maka dikemukakannya ini kepada majikannya. Majikannya beserta seluruh anggota keluarga
– yang hanya terdiri dari suami, istri, dan dua orang anak – protes keras dengan keputusan
Mbok Jah. Mbok Jah sudah menjadi bagian yang nyata dan hidup sekali dari rumah tangga
ini, kata ndoro putri. Dan siapa yang akan mendampingi si Kedono dan si Kedini yang sudah
beranjak dewasa, desah ndoro kakung, wah, sepi lho, Mbok kalau tidak ada kamu! Lagi,
siapa yang dapat bikin sambel terasi yang begitu sedap danmlekok selain kamu, Mbok, tukas
Kedini dan Kedono.
Pokoknya keluarga majikan tidak mau ditinggalkan oleh Mbok Jah. Tetapi, keputusan
Mbok Jah sudah mantap. Tidak mau menjadi beban sebagai kuda tua yang tidak berdaya.
Hingga jauh malam, mereka tawar-menawar. Akhirnya, diputuskan suatu jalan tengah. Mbok
Jah akan “turun gunung” dua kali dalam setahun, yaitu pada waktu Sekaten dan waktu Idul
Fitri. Mereka lantas setuju dengan jalan tengah itu. Mbok Jah menepati janjinya. Waktu
Sekaten dan Idul Fitri, dia memang datang. Bahkan Kedono dan Kedini selalu ikut
menemaninya duduk nglesot di halaman masjid keraton untuk mendengarkan suara gamelan
Sekaten yang hanya berbunyi tang-tung-tung-grombyang itu. Malah, lama-kelamaan mereka
bisa ikut larut dan menikmati suasana Sekaten di masjid itu.
“Kok, suaranya aneh ya, Mbok. Tidak seperti gamelan kelenengan biasanya.”
“Ya, tidak, Gus, Den Rara. Ini gending keramatnya Kanjeng Nabi Muhammad.”
“Lha, Kanjeng Nabi apa tidak ngantuk mendengarkan ini, Mbok?”
“Lha, ya, tidak. Kalau mau mendengarkan dengan nikmat, pejamkan mata kalian.”
“Nanti rak kalian bisa masuk.”
Mereka menurut. Dan betul saja, lama kelamaan suara gamelan Sekaten itu enak juga
didengar.
Selain Sekaten dan Idul Fitri itu peristiwa menyenangkan karena kedatangan Mbok Jah,
sudah tentu juga oleh-oleh Mbok Jah dari desa. Terutama juadah yang halus, dan gurih, dan
kehebatan Mbok Jah menyambal terasi yang tidak kunjung surut. Sambal itu ditaruhnya
dalam satu toples dan kalau habis, setiap hari dia masih juga menyambelnya. Belum lagi dia
membantu menyiapkan hidangan Lebaran yang lengkap. Orang tua renta itu masih ikut
menyiapkan segala masakan semalam suntuk. Dan semuanya masih dikerjakannya dengan
sempurna. Opor ayam, sambel goreng ati, lodeh, srundeng, dendeng ragi, kupat, lontong,
abon, bubuk udang, semua lengkap belaka disediakan oleh Mbok Jah. Dari mana energi itu
datang pada tubuh orang tua itu tidak seorang pun dapat menduganya.
Setiap dia pulang ke desanya, Mbok Jah selalu kesulitan untuk melepaskan dirinya dari
pelukan Kedono dan Kedini. Anak kembar laki perempuan itu, meski sudah mahasiswa,
selalu saja mendudukkan diri mereka pada embok tua itu. Ndoro putri dan ndoro kakung
selalu tidak pernah lupa menyiapkan uang sangu beberapa puluh ribu rupiah dan tidak pernah
lupa wanti-wanti pesan untuk selalu kembali setiap Sekaten dan Idul Fitri.
“Inggih, Ndoro-ndoro saya dan Gus-Den Rara yang baik. Saya pasti akan datang.”
Tetapi, begitulah. Sudah dua Sekaten dan dua Lebaran terakhir Mbok Jah tidak muncul.
Keluarga Mulyono bertanya-tanya, jangan-jangan Mbok Jah mulai sakit-sakitan atau jangan-
jangan malah …
“Ayo, sehabis Lebaran kedua, kita kunjungi Mbok Jah ke desanya,” putus ndoro kakung.
“Apa Bapak tahu desanya?”
“Ah kira-kira, ya, tahu. Wong di Gunung Kidul saja, lho. Nanti kita tanya orang.”
Dan waktu bertanya ke sana kemari di daerah Tepus, Gunung Kidul, itu ternyata lama sekali.
Pada waktu akhirnya desa Mbok Jah itu ketemu, jam sudah menunjukkan lewat jam dua
siang. Perut Kedono dan Kedini sudah lapar meskipun sudah diganjal dengan roti sobek yang
seharusnya sebagian untuk oleh-oleh Mbok Jah.
Desa itu tidak indah, nyaris buruk, dan ternyata tidak juga makmur dan subur. Mereka
semakin terkejut lagi waktu menemukan rumah Mbok Jah. Kecil, miring, dan terbuat
dari gedek dan kayu murahan. Tegalan yang selalu diceritakan ditanami dengan palawija
nyaris gundul tidak ada apa-apanya.
“Kulo nuwun. Mbok Jah. Mbok Jah.”
Waktu akhirnya pintu dibuka, mereka terkejut lagi melihat Mbok Jah yang tua itu semakin
tua lagi. Jalannya tergopoh, tetapi juga tertatih-tatih menyambut bekas majikannya.
“Walah, walah, Ndoro-ndoro saya yang baik, kok, bersusah-susah mau datang ke desa
saya yang buruk ini. Mangga, mangga, ndoro sekalian masuk dan duduk di dalam.”
Di dalam hanya ada satu meja, beberapa kursi yang sudah reot, dan sebuahamben yang
agaknya adalah tempat tidur Mbok Jah. Mereka disilakah duduk. Dan, keluarga Mulyono
masih ternganga-nganga melihat kenyataan rumah bekas pembantu mereka itu.
“Ndoro-ndoro, sugeng riyadi, nggih, minal aidin wal faizin. Semua dosa-dosa saya supaya
diampuni, nggih, Ndoro-ndoro, Gus-Den Rara.”
“Iya, iya, Mbok. Sama-sama saling memaafkan.”
“Lho, ini tadi pasti belum makan semua, to? Tunggu, semua duduk yang enak, si Mbok
masakkan, nggih?”
“Jangan repot-repot, Mbok. Kita tidak lapar, kok. Betul!”
“Aah, pasti lapar. Lagi ini sudah hampir Asar. Saya masakkan nasi tiwul, nasi dicampur
tepung gaplek, nggih.”
Tanpa menunggu pendapat ndoro-ndoronya, Mbok Jah langsung saja menyibukkan diri
menyiapkan makanan. Kedono dan Kedini yang ingin membantu ditolak. Mereka kemudian
menyaksikan bagaimana Mbok Jah yang di dapur mereka di kota dengan gesit menyiapkan
makanan dengan kompor elpiji dengan nyala api yang mantap; di dapur desa itu - yang
sesungguhnya juga di ruang dalam tempat mereka duduk – mereka menyaksikan si Mbok
dengan susah payah meniup serabut-serabut kelapa yang agaknya tidak cukup kering
mengeluarkan api. Akhirnya, semua makanan itu siap juga dihidangkan di meja. Yang
disebut sebagai sebuah makanan itu nasi tiwul, daun singkong rebus, dan sambal cabe merah
dengan garam saja. Air minum disediakan di kendi yang terbuat dari tanah.
“Silakan Ndoro, makan seadanya. Tiwul Gunung Kidul dan sambelnya Mbok Jah tidak pakai
terasi karena kehabisan terasi, dan temannya cuma daun singkong yang direbus.”
Mereka pun makan pelan-pelan. Mbok Jah yang di rumah mereka kadang-kadang masak
spaghetti atau sup makaroni, tetapi di rumahnya sendiri ia hanya mampu masak tiwul dengan
daun singkong rebus tanpa terasi. Dan keadaan rumah itu? Ke mana saja uang tabungannya
yang lumayan banyak itu pergi? Bukankah dia dulu berani pulang ke desa karena sanak
saudaranya akan dapat menolong dan menampungnya dalam desa itu? Keluarga itu, semakin
dibentuk oleh pertanyaan batin kolektif, membayangkan berbagai kemungkinan. Dan Mbok
Jah seakan mengerti apa yang sedang dipikir dan dibayangkan oleh ndoro-ndoronya, segera
menjelaskan.
“Sanak saudara saya itu miskin semua kok, Ndoro, jadi uang sangu saya dari kota, lama-lama
ya, habis buat bantu ini dan itu.”
“Lha, Lebaran begini apa mereka tidak datang to, Mbok?”
“Lha, yang dicari di sini apa lho, Ndoro. Ketupat sama opor ayam?”
“Anakmu?”
Mbok Jah menggelengkan kepala tertawa kecut.
“Saya itu punya anak to, Ndoro?”
Kedono dan Kedini tidak tahan lagi. Diletakkannya piring mereka dan langsung memegang
bahu embok mereka.
“Kau ikut kami ke kota, ya? Harus! Sekarang juga bersama kami!”
Mbok Jah tersenyum, tetapi menggelengkan kepala.
“Simbok tahu kalau anak-anakmu akan menawarkan ini. Kalian anak-anakku yang baik. Tapi
tidak. Gus – Den Rara, rumah simbok di hari tua, ya, di sini. Nanti Sekaten dan Lebaran yang
akan datang, saya pasti datang. Betul.”
Mereka pun tahu itu keputusan yang tidak bisa ditawar lagi. Lalu mereka pamit pulang.
Tetapi hujan turun semakin deras dan rapat. Mbok Jah mnegingatkan ndoro kakungnya kalau
hujan begitu akan susah mengemudi. Jalan tidak kelihatan saking rapatnya air hujan turun. Di
depan hanya akan kelihatan warna putih dan kelabu. Mereka lantas duduk berderet di amben
di beranda memandang ke tegalan. Benar, tegalan itu berwarna putih dan kelabu.
RUBRIK PENILAIAN
I. Soal pilihan ganda
Setiap soal pilihan ganda jika benar bernilai 4, sedangkan salah bernilai 0. Jadi skor
maksimal dari pilihan ganda berjumlah 40.
II. Soal uraian
Nilai maksimal soal uraian adalah 60.
: 40 + 60 = 100
KUNCI JAWABAN
PILIHAN GANDA
1. A
2. E
3. C
4. B
5. C
6. D
7. C
8. B
9. B
10. C
URAIAN
1. Nilai-nilai yang terdapat pada cerpen yang berjudul “Mbok Jah” Karya Umar Kayam
sertakan buktinya
Nilai-nilai yang terkandung di dalam cerpen
a. Nilai agama
Di dalam cerpen tersebut terkandung nilai-nilai agama bahwa kita seharusnya
jangan iri dengan orang lain karena setiap orang memiliki potensi dan bakatnya
masing-masing.
b. Nilai sosial
Cerpen tersebut mengajarkan kita untuk baik kepada setiap orang agar disenangi
oleh orang banyak dan juga cerpen tersebut mengajarkan kita bahwa emosi dan
ketidakpedulian terhadap sesuatu akan merugikan diri sendiri maupun orang lain yang
ada di sekitar kita.
c. Nilai moral
Nilai moral yang terkandung di dalam cerpen ini adalah kita harus bertanggung
jawab dengan apa yang telah menjad kewajiban kita dan juga, apa bila kita bersalah
hendaknya kita introspeksi diri dan meminta maaf.
d. Nilai budaya
Nilai budaya yang bisa kita petik di dalam cerpen ini adalah suatu persahabatan
yang kuat tidak akan goyah waluapun dengan masalah-masalah yang menghantam
mereka bila disertai dengan saling pengertian dan saling memaafkan antar sesama
teman.
2. Struktur yang terdapat pada cerpen yang berjudul “Mbok Jah” Karya Umar Kayam.
MBOK JAH
Cerpen : Umar Kayam
No. STRUKTUR
KALIMAT DALAM TEKS
TEKS
1. Abstrak Sudah dua tahun, baik pada Lebaran maupun Sekaten, Mbok
Jah tidak “turun gunung” keluar dari desanya di bilangan
Tepus, Gunung Kidul, untuk berkunjung ke rumah bekas
majikannya, keluarga Mulyono, di kota. Meski pun sudah
berhenti karena usia tua dan capek menjadi pembantu rumah,
Mbok Jah tetap memelihara hubungan yang baik dengan
seluruh anggota keluarga itu. Dua puluh tahun telah
dilewatinya untuk bekerja sebagai pembantu di rumah
keluarga yang sederhana dan sedang-sedang saja kondisi
ekonominya. Gaji yang diterimanya tidak pernah tinggi,
cukup saja, tetapi perlakuan yang baik dan penuh tepa slira
dari seluruh keluarga itu telah memberinya rasa aman,
tenang dan tentram.
Alasan : karena bagian tersebut merupakan ringkasan atu inti
dari cerita
2. Orientasi Buat seorang janda yang sudah selalu tua itu, apalah yang
dikehendaki selain atap untuk berteduh dan makan serta
pakaian yang cukup. Lagi pula anak tunggalnya yang tinggal
di Surabaya dan menurut kabar hidup berkecukupan tidak
mau lagi berhubungan dengannya. Tarikan dan pelukan istri
dan anak-anaknya rupanya begitu erat melengket hingga
mampu melupakan ibunya sama sekali. Tidak apa, hiburnya.
Alasan : karena bagian ini dari pengenalan dari seorang
janda yang tak lain adalah “Mbok Jah”.
3. Komplikasi Di rumah keluarga Mulyono ini dia merasa mendapat
semuanya. Tetapi waktu dia mulai merasa semakin renta,
tidak sekuat sebelumnya, Mbok Jah merasa dirinya menjadi
beban keluarga itu. Dia merasa menjadi buruh tumpangan
gratis. Dan harga dirinya memberontak terhadap keadaan itu.
Diputuskannya untuk pulang saja ke desanya. Dia masih
memiliki warisan sebuah rumah desa yang meskipun sudah
tua dan tidak terpelihara akan dapat dijadikannya tempat
tinggal di hari tua. Dan juga tegalan barang sepetak dua
petak masih ada juga. Pasti semua itu dapat diaturnya dengan
anak jauhnya di desa. Pasti mereka semua dengan senang
hati akan menolongnya mempersiapkan semuanya itu. Orang
desa semua tulus hatisnya. Tidak seperti kebanyakan orang
kota, pikirnya. Sedikit-sedikit duit, putusnya.
Maka dikemukakannya ini kepada majikannya. Majikannya
beserta seluruh anggota keluarganya, yang hanya terdiri dari
suami istri dan dua orang anak, protes keras dengan
keputusan Mbok Jah. Mbok Jah sudah menjadi bagian yang
nyata dan hidup sekali dari rumah tangga ini, kata ndoro
putri. Dan siapa yang akan mendampingin si Kedono dan si
Kedini yang sudah beranjak dewasa, desah ndoro kakung.
Wah, sepi lho mbok kalau tidak ada kamu. Lagi, siapa yang
dapat bikin sambel trasi yang begitu sedap dan mlekok selain
kamu, mbok, tukas Kedini dan Kedono.
Pokoknya keluarga majikan tidak mau ditinggalkan oleh
mbok Jah. Tetapi keputusan mbok Jah sudah mantap. Tidak
mau menjadi beban sebagai kuda tua yang tidak berdaya.
Hingga jauh malam mereka tawar-menawar. Akhirnya
diputuskan suatu jalan tengah. Mbok Jah akan “turun
gunung” dua kali dalam setahun yaitu pada waktu Sekaten
dan waktu Idul Fitri.
Mereka lantas setuju dengan jalan tengah itu. Mbok Jah
menepati janjinya. Waktu Sekaten dan Idul Fitri dia memang
datang. Seluruh keluarga Mulyono senang belaka setiap kali
dia datang. Bahkan Kedono dan Kedini selalu rela ikut
menemaninya duduk menglesot di halaman masjid kraton
untuk mendengarkan suara gamelan Sekaten yang hanya
berbunyi tang-tung-tang-tung-grombyang itu. Malah lama
kelamaan mereka bisa ikut larut dan menikmati suasana
Sekaten di masjid itu.
“Kok suaranya aneh ya, mbok. Tidak seperti gamelan
kelenangan biasanya.”
“Ya, tidak Gus, Dan Rara. Ini gending keramatnya Kanjeng
Nabi Mohamad.”
“Lha, Kanjeng Nabi apa tidak mengantuk mendengarkan ini,
mbok.”
“Lha, ya tidak. Kalau mau mendengarkan dengan nikmat
pejamkan mata kalian.” Nanti rak kalian akan bisa masuk.”
Mereka menurut. Dan betul saja, lama-lama suara gamelan
Sekaten itu enak juga didengar.
Selain Sekaten dan Idul Fitri itu peristiwa menyenangkan
karena kedatangan mbok Jah, sudah tentu juga oleh-oleh
mbok Jah dari desa. Terutama juadah yang halus, bersih dan
gurih, dan kehebatan mbok Jah menyambal terasi yang tidak
kunjung surut. Sambal itu ditaruhnya dalam satu stoples dan
kalau habis, setiap hari dia masih akan juga menyambelnya.
Belum lagi bila dia membantu menyiapkan hidangan lebaran
yang lengkap. Orang tua renta itu masih kuat ikut
menyiapkan segala masakan semalam suntuk. Dan semuanya
masih dikerjakannya dengan sempurna. Opor ayam, sambel
goreng ati, lodeh, srundeng, dendeng ragi, ketupat, lontong,
abon, bubuk kedela, bubuk udang, semua lengkap belaka
disediakan oleh mbok Jah. Dari mana enerji itu datang pada
tubuh orang tua itu tidak seorang pun dapat menduganya.
Setiap dia pulang ke desanya, mbok Jah selalu kesulitan
untuk melepaskan dirinya dan pelukan Kedono dan Kedini.
Anak kembar laki-perempuan itu, meski sudah mahasiswa
selalu saja mendudukkan diri mereka pada embok tua itu.
Ndoro putri dan ndoro kakung selalu tidak lupa menyisipkan
uang sangu beberapa puluh ribu rupiah dan tidak pernah lupa
wanti-wanti pesan untuk selalu kembali setiap Sekaten dan
Idul Fitri.
“Inggih, ndoro-ndoro saya dan gus-den rara yang baik. Saya
pasti akan datang.”
Tetapi begitulah. Sudah dua Sekaten dan dua Lebaran
terakhir mbok Jah tidak muncul. Keluarga Mulyono
bertanya-tanya jangan-jangan mbok Jah mulai sakit-sakitan
atau jangan-jangan malah….
“Ayo, sehabis Lebaran kedua kita kunjungi mbok Jah ke
desanya,” putus ndoro kakung.
“Apa bapak tahu desanya?”
“Ah, kira-kira ya tahu. Wong di Gunung Kidul saja, lho.
Nanti kita tanya orang.”
Dan waktu untuk bertanya kesana kemari di daerah Tepus,
Gunung Kidul, itu ternyata lama sekali. Pada waktu akhirnya
desa mbok Jah itu ketemu, jam sudah menunjukkan lewat
jam dua siang. Perut Kedono dan Kedini sudah lapar
meskipun sudah diganjal dengan roti sobek yang seharusnya
sebagian untuk oleh-oleh mbok Jah.
Desa itu tidak lndah, nyaris buruk, dan ternyata juga tidak
makmur dan subur. Mereka semakin terkejut lagi waktu
menemukan rumah mbok Jah. Kecil, miring dan terbuat dan
gedek dan kayu murahan. Tegalan yang selalu diceriterakan
ditanami dengan palawija nyaris gundul tidak ada apa-
apanya.
“Kula nuwun. Mbok Jah, mbok Jaah.”
Waktu akhirnya pintu dibuka mereka terkejut lagi melihat
mbok Jah yang tua itu semakin tua lagi. Jalannya tergopoh
tetapi juga tertatih-tatih menyambut bekas majikannya.
“Walah, walah, ndoro-ndoro saya yang baik, kok bersusah-
susah mau datang ke desa saya yang buruk ini. Mangga,
mangga, ndoro, silakan masuk dan duduk di dalam.”
Di dalam hanya ada satu meja, beberapa kursi yang sudah
reyot dan sebuah amben yang agaknya adalah tempat tidur
mbok Jah. Mereka disilakan duduk. Dan keluarga Mulyono
masih ternganga-nganga melihat kenyataan rumah bekas
pembantu mereka itu.
“Ndoro-ndoro, sugeng riyadi, nggih, minal aidin wal faifin.
Semua dosa-dosa saya supaya diampuni, nggih, ndoro-
ndoro, gus-den rara.”
“Iya, iya, mbok. Sama-sama saling memaafkan.”
“Lho, ini tadi pasti belum makan semua to? Tunggu, semua
duduk yang enak, si mbok masakkan, nggih?”
“Jangan repot-repot, mbok. Kita tidak lapar, kok. Betul!”
“Aah, pasti lapar. Lagi ini sudah hampir asar. Saya
masakkan nasi tiwul, nasi dicampur tepung gaplek, nggih.”
Alasan : karena pada bagian ini terdapat masalah yaitu
kebingungan Mbok Jah antara ingin mengikuti keinginan
majikannya atau tetap tinggal di desa.
4. Evaluasi Tanpa menunggu pendapat ndoro-ndoronya mbok Jah
langsung saja menyibukkan dirinya menyiapkan makanan.
Kedono dan Kedini yang ingin membantu ditolak. Mereka
kemudian menyaksikan bagaimana mbok Jah mereka yang
di dapur mereka di kota dengan gesit menyiapkan makanan
dengan kompor elpiji dengan nyala api yang mantap, di
dapur desa itu, yang sesungguhnya juga di ruang dalam
termpat mereka duduk, mereka menyaksikan si mbok dengan
sudah payah meniup serabut-serabut kelapa yang agaknya
tidak cukup kering mengeluarkan api. Akhirnya semua
makanan itu siap juga dihidangkan di meja. Yang disebutkan
sebagai semua makanan itu nasi tiwul, daun singkong rebus
dan sambal cabe merah dengan garam saja. Air minum
disediakan di kendi yang terbuat dari tanah. “Silakan ndoro,
makan seadanya. Tiwul Gunung Kidul dan sambelnya mbok
Jah tidak pakai terasi karena kehabisan terasi dan temannya
cuma daun singkong yang direbus.”
Alasan : pada bagian ini Mbok Jah mulai menemukan solusi
dari permasalahannya.
5. Resolusi Mereka pun makan pelan-pelan. Mbok Jah yang di rumah
mereka kadang-kadang masak spagetti atau sup makaroni di
rumahnya hanya mampu masak tiwul dengan daun singkong
rebus dan sambal tanpa terasi. Dan keadaan rumah itu? Ke
mana saja uang tabungannya yang lumayan itu pergi?
Bukankah dia dulu berani pulang ke desa karena yakin sanak
saudaranya akan dapat menolong dan menampungnya dalam
desa itu? Keluarga itu, seakan dibentuk oleh pertanyaan
batin kolektif, membayangkan berbagai kemungkinan. Dan
Mbok Jah seakan mengerti apa yang sedang dipikir dan
dibayangkan oleh ndoro-ndoronya segera menjelaskan.
“Sanak saudara saya itu miskin semua kok, ndoro. Jadi uang
sangu saya dan kota lama-lama ya habis buat bantu ini dan
itu.”
“Lha, lebaran begini apa mereka tidak datang to, mbok?”
Mbok Jah tertawa. “Lha, yang dicari di sini itu apa lho,
ndoro. Ketupat sama opor ayam?”
“Anakmu?”
Mbok Jah menggelengkan kepala tertawa kecut.
“Saya itu punya anak to, ndoro?”
Kedono dan Kedini tidak tahan lagi. Diletakkan piring
mereka dan langsung memegang bahu embok mereka. “Kau
ikut kami ke kota ya? Harus! Sekarang bersama kami!”
Mbok Jah tersenyum tapi menggelengkan kepalanya.
“Si mbok tahu kalau anak-anakku akan menawarkan ini.
Kalian anak-anakku yang baik. Tapi tidak, gus-den rara,
rumah si mbok di hari tua ya di sini mi. Nanti Sekaten dan
Lebaran akan datang saya pasti datang. Betul.”
Alasan : Mbok Jah sudah menemukan solusinya dengan
tetap tinggal di desa.
6. Koda Mereka pun tahu itu keputusan yang tidak bisa ditawar lagi.
Lalu mereka pamit mau pulang. Tetapi hujan turun semakin
deras dan rapat. Mbok Jah mengingatkan ndoro kakungnya
kalau hujan begitu akan susah mengemudi. Jalan akan tidak
kelihatan saking rapatnya air hujan turun. Di depan hanya
akan kelihatan warna putih dan kelabu. Mereka pun lantas
duduk berderet di amben di beranda memandang ke tegalan.
Benar tegalan itu berwarna putih dan kelabu.
Alasan : pada bagian ini merupakan keputusan dan
majikannya bisa memahami keinginan Mbok Jah.
3. Unsur-unsur pembangun yang terdapat pada cerpen yang berjudul “Mbok Jah” Karya
Umar Kayam
a. Setting
Tempat:
Di rumah keluarga Mulyono ini.
Penggalan paragraf yang mendukung
Di rumah keluarga Mulyono ini, dia mendapatkan semuanya…….
Rumah Mbok Jah.
Penggalan paragraf yang mendukung;
Mereka semakin terkejut lagi waktu menemukan rumah Mbok Jah…
Waktu:
Sudah dua tahun.
Penggalan paragraf yang mendukung;
Sudah dua tahun, baik pada Lebaran maupun Sekaten…….
Waktu Sekaten dan waktu Idul Fitri.
Penggalan paragraf yang mendukung;
………dua kali dalam setahun, yaitu pada waktu Sekaten dan waktu Idul
Fitri…….
Lewat jam dua siang.
Penggalan paragraf yang mendukung;
……akhirnya desa MBok Jah iu ketemu, jam sudah menunjukkan lewat jam dua
siang.
b. Alur cerita
Flashback:
Karena pada paragraf 1 menceritakan tentang Mbok Jah yang telah dua tahun
tidak berkunjung ke rumah bekas majikannya. Sedangkan paragraf selanjutnya
merupakan cerita sebelum Mbok Jah yang telah dua tahun tidak berkunjung ke
rumah bekas majikannya.
c. Tokoh
Antagonis : Anak Mbok Jah.
Protagonis : Mbok Jah, Kendono dan Kendini, Bpk. Mulyono, serta Ibu Mulyono.
Tritagonis : -
d. Perwatakan
Mbok Jah: Berprinsip, mandiri, baik hati, dan penuh kasih sayang.
Kendini dan Kendono: Manja dan baik hati.
Bpk. Mulyono: Bijaksana dan bertanggung jawab.
Ibu Mulyono: Bijaksana dan bertanggung jawab.
4. Identifikasikan kaidah kebahasaan yang terdapat pada cerpen yang berjudul “Mbok Jah”
Karya Umar Kayam seratakan buktinya!
a. contoh kalimat lampau
Kalimat lampau:
Sudah dua tahun, baik pada Lebaran maupun Sekaten, Mbok Jah tidak “turun
gunung”Akhirnya, diputuskan suatu jalan tengah. Mbok Jah akan “turun gunung” dua
kali dalam setahun, yaitu pada waktu Sekaten dan waktu Idul Fitri.
b. contoh konjungsi krononoligis
Lalu, akhirnya
c. contoh dialog
“Kok suaranya aneh ya, mbok. Tidak seperti gamelan kelenangan biasanya.”
“Ya, tidak Gus, Dan Rara. Ini gending keramatnya Kanjeng Nabi Mohamad.”
“Lha, Kanjeng Nabi apa tidak mengantuk mendengarkan ini, mbok.”
5. Jawaban tidak mengikat.
Kisi-Kisi Pengayaan
Bentuk Nomor
No Materi Indikator Soal
Soal Soal
1 Mengidentifikasi nilai- Mampu menentukan unsure Uraian 2
nilai kehidupan yang intrinsik cerpen
terkandung dalam Mampu menentukan unsur Uraian 2
kumpulan cerita ekstrinsik cerpen
pendek yang dibaca
SOAL PENGAYAAN
6. Kedudukan tokoh Pak Usman dan Larasati dalam kutipan cerpen di atas adalah…
a. tokoh antagonis, tokoh penengah
b. tokoh protagonist, tokoh penengah
c. tokoh antagonis, tokoh protagonist
d. tokoh protagonist, tokoh figuran
e. tokoh protagonist, tokoh antagonis
Bacalah penggalan cerpen di bawah ini!
Dengan tergesa Ersa menaiki bus yang nyaris meninggalkan suasana yang
kurang nyaman baginya. Dari kejauhan terdengar sayup suara “ … penumpang bus
Gemilang segera untuk memasuki kendaraan… “ Hati Ersa agak tenang karena dia
sudah berada di dalamnya. “ Mudah-mudahan sore nanti aku bisa berada di acara
itu,” harapnya dalam hati.
7. Latar waktu dan tempat pada penggalan cerpen tersebut adalah…
a. sore hari, terminal
b. siang hari, perjalanan
c. siang hari, terminal
d. pagi hari, rumah
e. pagi hari, perjalanan
Bacalah penggalan cerpen di bawah ini dengan cermat!
Meski termasuk anak yang pandai dan masuk kelas akselerasi, Romero tetap
memiliki banyak teman dan sahabat. Baginya teman adalah lingkungan yang dapat
memberikan banyak banyak inspirasi dan pengalaman yang tidak diperoleh di
bangku sekolah. Di rumah ia juga bersikap baik pada tetangga. Ia ingat ketika orang
tuanya berpesan, “ Carilah teman dan sahabat sebanyak-banyaknya karena kita tidak
bisa hidup sendiri . Suatu saat pasti kita membutuhkan orang lain.”
Alternatif
No Pernyataan
1 2 3 4
1 Saya mengikuti
pembelajaran dengan
penuh semangat.
2 Saya mengerjakan
tugas dengan baik dan
tepat waktu.
3 Saya memahami materi
pembelajaran teks
ceramah.
4 Saya menunjukkan
motivasi internal dalam
menggali informasi
tentang teks ceramah.
Alternatif
No Pernyataan
1 2 3 4
1 Mau menerima pendapat teman
2 Tidak memaksakan kehendaknya
3 Mengikuti pembelajaran dengan penuh
semangat
4 Memberi solusi terhadap pendapat yang
bertentangan
5 Sabar menunggu giliran berbicara
6 Santun dalam berargumentasi
Profil Sikap
Catatan :
Keterangan :
SB = sangat baik
B = baik
C = cukup
K = kurang
3.8.1 Memahami informasi tentang nilai-nilai kehidupan dalam teks cerita pendek.
3.8.2 Menemukan nilai-nilai kehidupan dalam cerita pendek.
1. Setelah membaca cerita di atas, kamu sudah memiliki pemahaman yang jelas tentang
pengertian dan karakteristik cerita pendek. Sekarang, buktikanlah pemahamanmu itu
dengan menunjukkan sekurang-kurangnya lima contoh cerita lainnya yang berkategori
cerpen. Sajikanlah hasilnya dalam rubrik berikut!
KUNCI JAWABAN
1. Contoh cerpen
Judul
Pengarang Sumber Inti Cerita
Cerpen
Bulan Biru Gus Tf Buku alam cerpen ini mengisahkan tentang
Sakai Kumpuan beberapa binatang yang bisa
Cerpen berbicara seperti manusia. Mereka
saling
bergotong-royong dalam mendirikan
bangunan.
Serpihan di Zaidinoor Buku Cerpen ini mengisahkan tentang
Teras Kumpuan seorang
Rumah Cerpen perempuan tua bernama Ni Siti yang
hidup seorang diri setelah
ditinggalkan suaminya. Ni Siti
bekerja sebagai pengambil getah
karet.
Rumah AK. Basuki Buku Cerpen ini mengisahkan tentang
Tuhan Kumpuan ketulusan dan kesabaran seorang Ibu
Cerpen dalam menolong orang lain. Tidak
pernah mengeluh terhadap
penderitaan yang dialaminya.
Piutang- Jujur Buku Cerpen ini tentang seorang
piutang Pranoto Kumpuan keponakan yang mempunyai piutang
Menjelang Cerpen kepada pamannya. Utang tersebut
Ajal harus dibayar sebelum pamannya
meninggal.
Alesia Sungging Buku Cerpen ini tentang perasaan seorang
Raga Kumpuan anak yang mengorbankan diri demi
Cerpen kesembuhan ibunya.
2. Menjawab pertanyaan dengan berdiskusi.
a. Peristiwa dalam cerpen ini berada di Kota, di Surau Kakek, rumah Ajo Sidi, dan lain-
lain. Terjadi pada siang dan malam hari.
b. Maksud dari Robohnya Surau Kami ialah Masjid yang berukuran kecil yangterdapat di
kota kelahiran tokoh utama. Tokoh utama ini diceritakan sebagai seseorang yang
hidupnya hanya beribadah sepanjang hari.
c. Pesan-pesan dalam cerpen ini ialah jangan cepat bangga dengan perbuatan baik yang
dilakukan karena hal tersebut bisa saja baik di hadapan manusia tetapi kurang baik di
hadapan Tuhan; jangan mementingkan diri sendiri; jangan cepat marah terhadap orang
yang memberi nasihat.
d. Setuju. Tidak ada hal yang bertentangan.
e. Hubungan dengan Tuhan begitu dekat. Kedekatan tersebut dilakukan dengan beribadah
tepat waktu dan mengamalkannya dengan berbuat baik kepada sesama.
3. Pada jawaban ini, peserta didik membuat pertanyaan secara berkelompok dan meminta
teman-teman lain menjawab pertanyaan tersebut.
a. Pertanyaan Literal:
b. Kapankah peristiwa dalam cerpen tersebut terjadi?
c. Pertanyaan Interpretatif.
d. Dalam cerpen tersebut terdapat percakapan antara tokoh protagonis dengan tokoh
antagonis. Apakah maksud yang tersembunyi di balik percakapan tokoh antagonis
kepada tokoh protagonis?
e. Pertanyaan Integratif.
f. Bercerita tentang apakah teks cerita pendek yang dibaca?
g. Pertanyaan Kritis
h. Dalam cerpen tersebut terdapat nilai-nilai budaya dan sosial. Jika dihubungkan dengan
kenyataannya, apakah nilai-nilai tersebut sudah sesuai di masyarakat?
i. Pertanyaan Kreatif
j. Bagaimana menurutmu jika tokoh utama terus-menerus mengalami penderitaan?
IPK :
4.8.1 Menentukan nilai kehidupan dalam teks cerita pendek
4.8.2 Mendemonstrasikan nilai kehidupan dalam teks kehidupan.
Soal :
1. Lakukanlah hal-hal berikut ini sesuai dengan instruksinya!
a. Bacalah kembali cerpen “Robohnya Surau Kami”!
b. Secara berkelompok, tunjukkanlah nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam
cerpen itu!
c. Mungkinkah nilai-nilai tersebut kamu aktualisasikan pula dalam kehidupan sehari-
hari?
d. Laporkan hasil diskusi kelompokmu itu dalam format berikut!
Keterangan:
1 = agama 2 = sosial 3 = budaya 4= ekonomi
Kunci Jawaban:
1. Judul Cerpen : Robohnya Surau Kami
Pengarang : AA. Navis
Sinopsis :
Dalam cerpen ini menceritakan tentang seorang kakek bernama Garin, penjaga surau
(Takmir). Menjadi seorang penjaga surau dia tidak mendapatkan honor atau gaji apa pun.
Dia hidup mengandalkan dari sedekah, yang hanya sekali pada hari Jumat. Pekerjaan
sambilannya yaitu menjadi pengasah pisau dan gunting. Apabila yang meminta tolong
perempuan biasanya dia diberi sambal. Berbeda lagi, apabila yang meminta tolong itu laki-
laki, ia diberikan rokok kadang juga uang sebagai imbalannya. Tidak sedikit juga yang
hanya memberikan ucapan terima kasih dan senyuman.
Suatu ketika, kakek terlihat murung, sedih, kesal dan bermuram durja. Ia duduk
termenung di serambil surau dengan ditemani beberapa peralatan asahan dan pisau cukur
tua berada disekitar kaki kakek. Ternyata ia baru saja bertemu dan berbicara dengan Ajo
Sidi, si pembual atau ahli pembuat cerita. Cerita-ceritanya aneh, unik, yang membuat cerita
dengan menganalogikan lawan bicara dengan sesuatu. Hari itu kakek yang dijadikan
bualan ceritanya, yang pada intinya menjadi pemeo atau semacam cerita yang menyindir
pendengar.
Ajo Sidi, si pembohong itu menceritakan seseorang bernama Haji Shaleh, yang
dulunya di dunia selalu beribadah kepadaNya, taat menjalankan perintahNya dan selalu
takwa kepada-Nya. Namun, di akhirat Haji Shaleh, malah dimasukkan ke dalam neraka,
bahkan ditempatkan pada keraknya neraka. Dia memang tak pernah mengingat anak dan
istrinya, dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri. Segala kehidupannya lahir batin
diserahkan kepadaNya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain. Bahkan dia tak pernah
membunuh seekor lalat pun. Padahal dia hidup berkaum, bersaudara namun sedikitpun tak
memperdulikannya. Dia selalu bersujud, memuji dan berdoa kepadaNya.
Setelah mendengar cerita dari Ajo Sidi, kakek hanya merenung dan memikirkannya
Seolah ia merasakan apa yang dirasakan Haji Shaleh. Keesokan harinya, kakek mengakhiri
hidupnya dengan menggorok lehernya sendiri dengan pisau cukur. Berita kematian kakek
sudah tersebar ke seluruh kampung, semua warga kampung mengurus jenazah kakek.
Semua warga mengantar kepergian jenazah kakek ke makam. Namun Ajo Sidi yang bisa
dikatakan menjadi penyebab kematian kakek, malah tetap pergi bekerja. Dan sebelum pergi
bekerja, Ajo Sidi berpesan kepada
2. Nilai-nilai:
a. Nilai sosial
Sesama manusia harus saling membantu jika orang lain berada dalam kesusahan sebab
kita adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri.
b. Nilai Moral
Saling menghormati antarsesama dan jangan saling mengejek atau menghina.
c. Nilai Agama
Melakukan yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi yang dilarang oleh-Nya,
seperti mencemooh, berbohong dan lain-lain.
d. Nilai Pendidikan
Tidak mudah putus asa dalam menghadapi kesulitan tetapi harus selaluberusaha.
e. Nilai Budaya
Memegang teguh adat istiadat atau kebiasaan di suatu masyarakat. Kemungkinan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari: Nilai-nilai yang dapat diterapkan adalah
nilai sosial, nilai moral, nilai pendidikan, nilai agama, dan nilai budaya. Masyarakat
sebagai sumber utama yang dapat mengembangkan ragam nilai-nilai kehidupan jika
setiap anggota masyarakat mampu untuk mengubah kebiasaan lama dengan kebiasaan
yang baru.
3. Mengamati Nilai-Nilai Kehidupan di Masyarakat
a. Nilai-nilai yang berkembang adalah nilai moral, sosial, agama, budaya, dan
pendidikan.
Mirna adalah seorang anak sopan, pintar, dan baik hati. Ia sangat dikagumi oleh
banyak orang di desa ia tinggal yaitu desa Jatipamor, Majalengka. Setiap hari ia harus
membantu ibunya berjualan di pasar dari sore sampai malam karena pasar tersebut
mulai buka dari sore sampai larut malam. Beberapa bulan lalu, ayahnya telah
meninggal karena penyakit yang dideritanya. Pagi hari, Mirna beraktivitas seperti biasa
yaitu sekolah. Dengan aktivitas rutin yang harus dilakukannya, Mirna tidak sedikitpun
mengeluh, apalagi meratapi takdir yang sudah terjadi. Semangat untuk terus berjuang
dan bersabar merupakan kunci Mirna dalam menjalani kehidupan ini. Tujuannya ialah
untuk menjadi anak yang berbakti dan membahagiakan ibunya.
b. Tidak ada. Semua nilai-nilai kehidupan baik itu agama, moral, budaya, sosial, ataupun
pendidikan tujuannya ialah untuk menanamkan kebiasaan yang baik dan benar.